Edisi Desember 2003
Tiga Tahun Otonomi Daerah::
Cuplikan Peristiwa dan Kebijakan Dra. Rustriningsih, MSi :
“Strengthening Pemerintah Propinsi terhadap Kabupaten belum optimal.” SEGERA HADIR : PERINGKAT DAYA TARIK INVESTASI 200 KABUPATEN / KOTA DI INDONESIA
AKUNTABILITAS OTDA Tiga Tahun Otonomi Daerah: Cuplikan Peristiwa dan Kebijakan Dra. Rustriningsih, MSi :
“Strengthening Pemerintah Propinsi terhadap Kabupaten belum optimal.” SALAH LANGKAHKAH KITA DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI? Semangat Otonomi Daerah dan Desentralisasi yang Berbahaya Panudiana Kuhn
“Otonomi Daerah Seharusnya Di Tingkat Propinsi” Pengelolaan Kepelabuhan dan Problem Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah (Kajian Perda Kepelabuhan No.01/2001, 10/2002, dan 11/ 2002 Kota Cilegon)
SEGERA HADIR : PERINGKAT DAYA TARIK INVESTASI 200 KABU-PATEN / KOTA DI INDONESIA Gambar Sampul : F. Sundoko. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http:// www.google.com/ dan sumber foto lain yang disebutkan bersama dengan foto.
AKUNTABILITAS OTDA Rapor merah begitulah penilaian yang acapkali diberikan kepada pemerintah – pusat maupun daerah – dalam melaksanakan otda, setidaknya menurut penilaian kalangan dunia usaha. Tentu bisa didebatkan kalangan dunia usaha mana yang menilainya? Pelaku usaha nasional, daerah, atau multinasional? Pelaku usaha yang tergantung proyek pemerintah dan dekat kekuasaan atau yang berjuang di arena pasar?. Perdebatan dengan atau tanpa dukungan data dan analisis ilmiah pun tidak akan bisa putus soal itu, apalagi hanya kolom kecil ini media pengungkapannya, namun bukan disitu soalnya – substansinya adalah adanya fakta kelemahan pelaksanaan otda disana sini. Hendaknya dicatat bahwa bukan ukuran ukuran langsung demokratisasi ataupun kesejahteraan rakyat sebagai tujuan otonomi daerah yang dipakai untuk memberikan rapor tersebut, namun kepentingan dunia usaha untuk mendapatkan pelayanan aktivitas usaha yang hendak digunakan. Dalam tataran produk kebijakan, benturan perundangan di tingkat pusat (UU, PP, Keppres, KepMen) maupun daerah (Perda, SK/SE Bupati/ Walikota) baik mengenai pertanahan, pemanfaatan hutan, dan perijinan investasi merupakan cerita yang selalu berulang sebagai penyebab ketidakpastian yang karenanya menambah opportunity cost berupa hilangnya waktu dan biaya biaya yang terserap di dalamnya. Tambahan nilai rapor merah patut juga diberikan karena lemahnya fungsi pengawasan pusat yang kerap kedodoran dalam menyikapi valid tidaknya suatu kebijakan daerah. Demikian juga halnya bila menilik praktek perilaku pemilik kekuasaan birokrasi yang semestinya berperan sebagai pelayan dalam melayani dunia usaha namun dalam prakteknya mewujud sebagai tuan dalam wajah kekuasaannya, nilai merah patut juga ditambahkan. Nilai merah dalam rapor semakin meriah jika penilaian melebar ke fakta lapangan otda diluar kompetensi langsung dunia usaha untuk menilainya, semisal soal money politic PILKADA, kisruh pemekaran daerah yang memakan jiwa, standar yang membingungkan soal pengesahan atau sanksi bagi kepemimpinan daerah; yang tidak langsung terkait aktivitas usaha – namun tetap berimplikasi ke aktivitas usaha. Betapa tidak, karena bagaimana melakukan aktivitas usaha di lingkungan politik yang labil dan korup, bagaimana mungkin berbisnis di lingkungan yang sarat pertentangan fisik? Perjalanan 3 tahun otda menorehkan berbagai peristiwa, dari yang sekedar hiruk pikuk minim arti sampai yang memberi kontribusi yang (semestinya) berarti secara fundamental. Satu konsep yang acapkali diperbincangkan, diseminarkan, namun tetap sulit untuk dikenali dalam realitasnya selalu menjadi muara penilaian yakni akuntabilitas. Dalam tingkatan yang ‘sederhana’, siapkah kalangan pemerintahan mengembangkan kriteria penilaian dan dinilai dengan standar kinerja yang terukur? Siapkah unsur pemerintahan akuntabel terhadap keberhasilan atau kegagalan berdasar ukuran tersebut? Siapkah seorang pemimpin mengakui kegagalannya dengan segala konsekuensi jabatan? Soalnya barangkali tidak adanya suatu akuntabilitas atas dasar sikap mental kita sebagai bangsa – Indonesia. Jangankan perasaan bersalah sebagai sikap mental yang dimiliki seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan/kegagalannya, budaya malu pun amat jarang dimiliki para pemimpin kita (meskipun dalam berbagai kasus cukup terang benderang diekspos di publik). Kalau begitu soalnya lantas apa yang bisa kita harapkan untuk perbaikan?. Mungkinkah mengharapkan akuntabilitas dari penyelenggara pemerintahan untuk perbaikan pelayanan atas dasar sikap mental tersebut? Kalau kita bisa memilih, mestinya akuntabilitas kinerja otda itulah yang patut dikembangkan, melaksanakan peran secara optimal dan siap menanggung resiko atas kesuksesan atau kegagalan yang dicapai. Ibarat sebuah sekolah, kita ingin maju di lingkungan sekolah favorit dengan standar kompetensi tinggi atau di sekolah underdog tanpa tuntutan prestasi?. Kalau sekolah favorit pilihan kita, barangkali memang masih banyak nilai merah yang menghiasi rapor kita; repotnya banyak yang merasa lebih nyaman lulus ala kadarnya daripada tinggal kelas untuk suatu lompatan kemajuan. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 15th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Tiga Tahun Otonomi Daerah::
Cuplikan Peristiwa dan Kebijakan “Banyak cara yang dipakai untuk mengevaluasi perjalanan otonomi daerah. Sebagian orang coba mengembangkan neraca ukur yang menimbang cost and benefit, risk and opportunity (ongkos dan capaian, resiko dan peluang) dari makna kehadiran eksperimentasi kebijakan besar itu. Sebagian lainnya lagi lebih memilih cara penggambaran kronologis (napak tilas), di mana ukuran kemajuan lebih ditentukan oleh tahapan waktu (dengan asumsi semakin hari mestinya menjadi lebih baik). Sedangkan jenis terakhir, dan ini banyak dipakai untuk langsung menukik pokok soal, adalah cara penonjolan isu-isu utama yang berhasil atau gagal dilaksanakan. Catatan tiga tahun otonomi ini memilih cara ini.”
I. Otonomi Daerah Mulai Berlaku Efektif Setelah melewati masa transisi satu setengah tahun sejak disahkan pertengahan 1999, UU No. 22 Thn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Thn 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diberlakukan secara efektif tanggal 1 Januari 2001. Tenggang waktu yang cukup lama antara masa pengesahan (1999) dengan masa pemberlakuan dimaksudkan sebagai kesempatan bagi pusat untuk melengkapi segala aturan pendukung, baik aturan organik maupun sektoral, dan bagi daerah untuk mempersiapakan diri menjalankan peran barunya tersebut. Kenyataan belakang hari menunjukkan, masa transisi itu gagal dimanfaatkan.
II. Pembagian Kewenangan Meski pasal 7 ayat (1) UU No.22/99 dengan cukup jelas menggariskan skema pembagian kewenangan pusat (5 kewenangan) dan daerah (sisa selainnya), penjabaran dalam arturan organik maupun sektoral justru
2
Biro Dokumentasi Bina Graha
Setelah melewati masa transisi satu setengah tahun sejak disahkan pertengahan 1999, UU No. 22 Thn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Thn 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah diberlakukan secara efektif tanggal 1 Januari 2001.
menunjukkan deviasi serius. Misalnya, dalam salah satu aturan organik terpenting dari Undang-Undang tersebut, yakni PP No. 25 Tahun 2000, diketahui bahwa secara kuantitatif wewenang yang dimiliki oleh pemerintah pusat sekitar 218 dan menyangkut 25 bidang, untuk propinsi sebagai daerah otonom terbatas sebanyak 111 kewenangan dan 20 bidang, dan untuk kab/kota menjadi tidak jelas. Sedangkan dalam aturan sektoral, terlihat adanya keterlambatan dan bahkan keengganan pengaturan desentralisasi kewenangan, seperti dalam sektor pertanahan (melalui Keppres No.10/ 2000 yang kemudian dikoreksi dengan Keppres No.34/2003), sektor kehutanan (dengan diberlakukannya UndangUndang No. 41/99 yang cenderung berorientasi pusat), sektor perkebunan (dengan belum dialihkannya kewenangan pemberian HGU ke daerah), dan lain sebagainya. Sejauh ini, penyelesaian sengketa kewenangan ini, pada level regulasi maupun apalagi implementasi, tak cukup jelas.
III. Manajemen Keuangan Daerah dan Perimbangan Fiskal Kehadiran UU No.25/99 dan sejumlah aturan pendukungnya membawa efek perbaikan tertentu dalam manajemen keuangan lokal dan formula perimbanag keuangan pusatdaerah. Diantaranya adalah adanya penetapan prosentase bagi hasil sejumlah pajak (PBB, PPh Perorangan) dan SDA (pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan); penetapan plafon jumlah DAU dan DAK ke daerah; dibentuknya dana cadangan daerah untuk membiayai pembangunan; perubahan prinsip anggaran berbasis kinerja dan format APBD yang sebelumnya berimbang dan dinamis menjadi format yang memungkinkan defisit; kebebasan daerah dalam mengelola keuangan daerah (esensi desentralisasi fiskal); dll. Namun dalam pelaksanaannya selama tiga tahun ini, refromasi hubungan keuangan pusat-daerah tidak selamanya berjalan mulus dan
sesuai aturan. Dalam soal DAU, sebagai jenis dana perimbangan yang paling banyak dibicarakan, pasal 7 UU No25/99 menetapkan bahwa jumlah dana yang dialokasikan untuk daerah sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Apa yang terjadi ? Setiap tahunnya, prosentase DAU terhadap PDN ini selalu dibawah ambang minimal 25%, yakni 20,23% di tahun 2000, 22,99% di tahun 2001, 22,89% di tahun 2002 dan 22,90% di tahun 2003 ini. Belum lagi soal bagi hasil pajak dan SDA yang belum transparan perhitungannya dan dirasa tidak cukup adil oleh daerah. Semua contoh ini menunjukkan, betapa aturan yang sudah sedemikian gamblang masih juga dilangkahi, yang pada g i l i r a n n y a memunculkan konflik intens pusat-daerah.
memahami bahwa sumber daya alam selalu memiliki konteks yang melampaui entitas politik dan batasan administrative sehingga pengelolaan yang terintegrasi dengan daerah-daerah lain justru akan lebih menguntungkan semua pihak. Hubungan antara daerah ini juga terganggu dengan orinetasi daerahisme yang kuat setiap daerah,
berarti kolutif (dalam momen LPJ, pemilihan Kepala Daerah, Pembuatan kebijakan). Biasanya, DPRD selalu memenangi hubungan bermasalah itu, sejalan dengan telah bergesernya kesimbangan kekuatan (legislativeheavy). Contoh terakhir adalah kasus pemilihan Bupati Karangnyar, yang sampai saat ini belum sungguh selesai karena Dewan setempat memboikot
IV. Hubungan Antar Daerah Selain konflik dengan pusat, 3 tahun Tata kelola (governance) di daerah adalah hasil interaksi eksekutif, legislatif, masyarakat sipil dan pelaksanaan otonomi ini komunitas bisnis. Sayang, di antara unsur ini masih terjalin suatu hubungan bermasalah. Hubungan juga ditandai oleh konflik antara eksekutif dan legislatif, misalnya, kalau bukan bersifat konflik, berarti kolutif (dalam momen antara level LPJ, pemilihan Kepala Daerah, Pembuatan kebijakan). p e m e r i n t a h a n (Kabupaten/Kota dan Propinsi) dengan menghambat akses pendatang, hasil pemilihan dan berencana pemilihan baru. maupun antara daerah. Konflik antara perpindahan pegawai dan lalu lintas mengadakan barang/jasa dari daerah lain. Sedangkan konflik yang melibatkan level pemerintahan cukup marak di Propinsi Jawa Tengah, NTT, Kaltim, Sementara itu, asosiasi daerah komunitas bisnis, biasanya terkait dll. Bentuknya bisa berupa (APKASI, APEKSI, dll) belum dengan penyelesaian sengketa tanah ketidakhadiran dalam Rakorbang di sepenuhnya efektif bagi pencarian atau problem ketenagakerjaan Propinsi, putusnya pengawasan solusi konflik semacam ini karena lebih (dengan masyarakat) atau tuntutan propinsi (Inspektorat Wilayah) atas kuatnya orientasi eksternal lembaga penciptaan iklim usaha kondusif, Kab/Kota, sampai kepada tidak tersebut (ketika daerah menghadapi deregulasi perijinan dan pengurangan perlunya lagi ijin kepada gubernur bagi pusat) ketimbang internal (problem pungutan (dengan pemerintah). Potret tiga tahun ini menunjukkan bahwa seorang Bupati/Walikota yang hendak antar daerah sendiri). konflik para pemangku peran di daerah meninggalkan daerahnya. Sementara ini lebih eskalatif dan intensif V. Hubungan antar Elemen konflik antar-daerah biasanya ketimbang masa sebelumnya menyangkut konflik perebutan wilayah Governance di Daerah atau sumber daya alam (perebutan 22 pulau di Kepualaun Seribu antar DKI Tata kelola (governance) di daerah VI. Desentralisasi Korupsi Jakarta dan Banten, problem TPA adalah hasil interaksi dari para Otonomi daerah dituding sebagai sampah antara DKI Jakarta dengan pemangku peran kunci yang ada, yakni penyebab meluasnya korupsi di Kabupaten Bekasi, masalah sumber eksekutif, legislatif, masyarakat sipil daerah. Seiring menyebarnya air minum dan bagi hasil antara DI dan komunitas bisnis. Sayang, di kekuasaan dari pusat ke daerah, Yogyakarta dengan Kabupaten antara unsur ini masih terjalin suatu praktik korupsi (yang memang lekat Magelang, dan lain sebagainya). hubungan bermasalah. Hubungan dengan kepemilikan kuasa) juga ikut Berkait konflik perbutan sumber daya antara eksekutif dan legislatif, terdesentralisasi. Paling kurang, alam ini, banyak daerah yang belum misalnya, kalau bukan bersifat konflik,
Photo courtesy of the Staf Organisasi dan Humas Depdagri
3
otonomi menjadi kesempatan bagi cor- bank data pemerintah pusat pemberian pemungutan PBB, dll) atau ruption spreading dari Jakarta ke (Depdagri/Depkeu) sebanyak 3510 pemberian prosentase bagi hasil yang lokasi-lokasi baru di daerah, dan dari buah. Sejumlah 3312 diantaranya telah besar (PPh perorangan, PPN, dll) yang semuanya berpusat di ekskutif dikaji dan dievaluasi, di mana 237 kepada daerah, adanya upaya capacuntuk kemudian menyebar ke legisla- direkomendasikan untuk dibatalkan, 7 ity building para legal drafter (Pemda tive (karena bergesernya pula buah sudah dibatalkan oleh daerah dan DPRD) agar mereka mampu kekuasaan ke lembaga ini). Dalam tiga sendiri, dan 108 buah langsung menyusun Perda yang ideal, baik fortahun ini, kita mendengar bagaimana dibatalkan oleh Mendagri. Ihwal mula maupun materi pengaturan, dan pejabat dan elite politik di daerah digiring aparatur hokum ke meja hijau dan bahkan penjara. Itu yang terjadi dengan Bupati Kepulauan Riau, Bupati Flores Timur, anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat atau Sumatera Selatan, untuk sekedar menyebut sebagiannya. Korupsi sudah menyerupaia suatu kejahatan sosial yang berimplikasi dahsat ke segala segi: merusak efisiensi dan logika kerja birokrasi sehat, melemahkan daya saing daerah, mengurangi jatah anggaran bagi kesejahteraan umum, dan merupakan Tujuan Otonomi Daerah - Target terpenting lain dari otonomi adalah perbaikan pelayanan publik bagi kampanye politik buruk kesehateraan yang merata dan berkelanjutan di berbagai pelosok daerah. Dalam tiga tahun ini, sebagian bagi otonomi itu sendiri. daerah sudah mulai berbenah diri dengan memperkenalkan inovasi-inovasi public service reform yang Sementara pada sisi baru. lain, geliat masyarakat sipil untuk mengungkap dan kebermasalahan Perda ini, banyak berbagai upaya lainnya. telah mengemuka. mengadvokasi pembaruan clean gov- polemik ernment menunjukkan arah yang Sebagiannya menyangkut sebab VIII. Pelayanan Publik cukup menjanjikan, sebagaimana bisa kemunculan Perda bermasalah terungkapnya korupsi di Sumatera tersebut, di mana baik pusat maupun Selain aspek demokratisasi lokal, Barat oleh Forum Peduli Sumbar atau daerah menyumbangkan faktor target terpenting lain dari otonomi korupsi di Flores Timur oleh Komite negatifnya masing-masing. Sebagian adalah perbaikan pelayanan publik polemik itu berkaitan dengan tindak bagi kesehateraan yang merata dan Reformasi Flotim. lanjut sebagai solusi untuk berkelanjutan di berbagai pelosok menyelesaikan kemunculan Perda daerah. Harus diakui, dalam tiga tahun bermasalah tersebut. Secara jangka ini, sebagian daerah sudah mulai VII. Peraturan Daerah pendek, instrumen yang ada adalah berbenah diri dengan Tiga tahun otonomi dilaksankan, pemfungsian peran pengawasan memperkenalkan inovasi-inovasi pubselama itu pula peraturan daerah represif pusat atas peraturan daerah lic service reform yang baru. Secara muncul bak cendawan di musim hujan. (sejauh itu dalam batas waktu 45 hari singkat contoh kasus yang bisa disebut, Sebagian Perda itu dinilai bermasalah Perda itu diterbitkan {15 hari misalnya, di Takalar, dengan proses (dengan ukuran normatifnya adalah pengiriman setelah disahkan dan 30 yang bisa kita saksikan, pembuatan kepentingan umum dan peraturan di hari bagi pusat untuk menilai}) atau sebuah KTP bisa diselesaikan dalam atasnya), sehingga muncul tuntutan pun mekanisme judicial review waktu kurang dari 10 menit. Di untuk segera merevisi atau bahkan (sejauh batas dalam batas waktu 180 Bandung, dibentuk sebuah komisi ommembatalkan keberadaan regulasi hari semenjak diterbitkan). Sedangkan budsman sebagai tempat pengaduan yang jelas akan menjadi factor negatif secara jangka panjang, rekomendasi efektif kepentingan warga. Di Bontang, dalam pelaksanaan otonomi itu. Untuk yang meuncul seputar advokasi Walikotanya secara teratur melalui perbaikan berinteraksi dengan warganya melalui Perda yang berkaitan dengan pajak, kebijakan retribusi, dan jenis pungutan lainnya perimbangan keuangan pusat-daerah televisi lokal sehingga berbagai saja, sejak diberlakukannya otonomi dan pemberian taxing power yang luas keluhan atas kinerja birokrasinya bisa sampai saat ini telah terkumpul di ke daerah (misalnya dengan langsung tersalurkan. Dan yang paling kppod / p. agung pambudhi
4
berkembang luas adalah upaya pembangunan pelayanan investasi dan administratif di bawah satu atap, sebagai yang dikenalkan di Kutai Timur, Sidoarjo, Gianyar, dll. Tentu bahwa, pelaksanaan berbagi inovasi itu masih trial and error, dan tidak sepenuhnya konsisten. Yang menarik pula bahwa inovasi-inovasi itu bervariasi, baik lokus sebarannya (terjadi di banyak daerah) maupun dari segi bentuk program (menampilkan beragam dan keunikan inovasi). Sehingga yang terjadi adalah saling belajar, mencontoh, dan memperkaya satu sama lain melalui tukar pengalaman dalam studi banding atau rapat kerja asosiasi daerah. Namun di luar itu, masih banyak pula berita tentang betapa otonomi belum membawa efek nyata bagi perbaikan pelayanan Peran Elite Lokal - Dalam pemekaran daerah secara normatif, ditetapkan sejumlah prasyarat pembentukan daerah baru, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial ini, kalau bukan semakin merosot politik, jumlah penduduk, dan luas daerah.Namun dalam praktiknya, pertimbangan politik kualitasnya karena berbagi aturan dan kepentingan kekuasaan para elite lokal juga mengemuka. perijinan baru yang kurang jelas, tumpang tindih, berbelit, dan berbiaya tinggi. Makna otonomi lalu praktiknya, pertimbangan politik dan multitafsir sehinga menyebabkan menjadi hambar oleh keberadaan para kepentingan kekuasaan para elite lokal kesimpangsiuran dalam praktik birokrat yang masih berpikir dengan juga mengemuka. Bahkan, pihak bergayut dengan munculnya tuntutan cara lama (new power, old mindset). pemerintah pusat menilai, motif politik baru seperti reformasi elektoral bagi dan kepentingan subyektif pemilihan kepala daerah langsung mendominasi segala ukuran rasional- atau pembaruan arsitektur fiskal yang IX. Pemekaran Daerah obyektif sebagai tertera dalam PP lebih berimbang antar daerah (horizontal) maupun dengan pusat (vertikal), Sebelum menutup tahun 2003 ini, No.129. merupakan sebagian alasan yang DPR kembali menyetujui 13 RUU melatarinya. Alhasil, proses revisi UU sebagai pengesahan terbentuknya 24 X. Rencana Revisi UU Otda ini kian menggelinding saat ini. daerah otonom (kabupaten/kota) yang baru. Sebelumnya, sudah terbentuk Bahkan sebelum UU No.22/99 dan Sebanyak 282 anggota DPR dari 9 325 Kabupaten dan 91 Kota, baik yang UU No.25/99 diberlakukan, sebagian fraksi telah menyetujui draf revisi UU sebagian besarnya mer upakan pihak telah menuntut untuk merevisi No.22/99 tentang Pemerintahan warisan daerah otonom sebelum sejumlah pasal yang dikandungnya. Daerah susunan Badan legislasi pemberlakukan UU No.22/99 maupun Tuntutan itu terus berlanjut dalam Nasional (Balegnas) sebagai RUU usul yang merupakan hasil peningkatan kurun satu setengah tahun inisiatif Dewan. Keputusan penting itu status dari daerah administratif pelaksanaannya. Polemik (pro-kontra) diambil dalam Rapat Paripurna DPR, menjadi daerah otonom dan yang mendominasi berita seputar otonomi. senin (10/11), setelah lama menunggu merupakan daerah otonom baru Kalau dibuat peta posisi, mereka yang draf usulan pemerintah (Depdagri) setelah UU itu berlaku. Itu berarti, terlibat terbagi dalam tiga kubu: yang tak kunjung rampung hingga hari jumlah keseluruhan daerah kelompok pro-revisi (terutama ini. Selanjutnya, kita akan melihat kabupaten/kota kita saat ini adalah 440 Depdagri dan pelaku bisnis), kelompok bagaimana pemerintah dan wakil buah daerah otonom. Sedangkan di kontra-revisi (terutama asosiasi rakyat di tingkat pusat membahas level propinsi, terdapat 32 propinsi pemerintah daerah), dan di berbagai materi krusial dalam draf yang telah disahkan, yang terdiri dari tengahnya—sebut saja—kelompok revisi DPR dan sandingan sejumlah 26 propinsi lama (minus Timtim dari “pro dengan reserve” yakni setuju draf pihak lainnya (termasuk dari jumlah sebelumnya 27 buah) ditambah revisi namun berdasar dan didahului pemerintah pusat, asosiasi daerah, dengan 6 propinsi hasil pemekaran oleh suatu evaluasi komprehensif LIPI dan Koalisi Ornop). Semua proses (meski dengan catatan bahwa 2 (diusung sebagian pegiat/peneliti itu mesti berjalan transparan dan propinsi, yakni Kepri dan Irian Jaya otonomi daerah). Menyingkat cerita, melibatkan partisipasi dan konsultasi Bagian Barat belum disahkan dalam perkembangan terakhir, publik yang luas. Inilah isu utama yang Presiden). Secara normatif, ditetapkan tampaknya posisi runcing tersebut banyak menarik perhatian dalam sejumlah prasyarat pembentukan banyak mengalami moderasi, karena perjalanan otonomi daerah tahun daerah baru, seperti kemampuan lalu semua pihak sepakat bahwa revisi depan.* (ndi) ekonomi, potensi daerah, sosial politik, UU tersebut merupakan keniscayaan. jumlah penduduk, dan luas daerah (PP Banyaknya substansi (pasal) yang No.129 Thn 2000). Namun dalam dinilai salah/lemah, atau yang bersifat kppod / p. agung pambudhi
5
Dra. Rustriningsih, MSi :
“Strengthening Pemerintah Propinsi terhadap Kabupaten belum optimal.” Dalam KPPOD News Edisi Oktober 2003, telah diangkat pandangan Kepala Daerah Kab. Kutai Kertanegarai, Drs. Syaukani, HR., dan dari kalangan dunia usaha Bambang Sujagad, MA, Presiden Direktur PT. Repindo Jagad Raya, berkaitan dengan rencana revisi UU Otonomi Daerah. Pada edisi kali ini kembali dipaparkan pemikiran lain berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan rencana revisi UU Otonomi Daerah dari Bupati Kebumen, Dra. Rustriningsih, MSi,. “Kelebihan dari konsep otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia menunjukkan adanya realisasi kemauan secara nyata dari pemerintah pusat kepada daerah dengan adanya desentralisasi pengakuan kewenangan daerah. Namun ada kelemahannya adalah belum sepenuhnya PP sebagai pendukungnya diterbitkan. Selain itu dalam rangka keberhasilan dari realisasi konsep tersebut belum diikuti pentahapan secara tegas dan monitoring serta evaluasi,” demikian diungkapkan perempuan kelahiran 3 Juli 1967 yang pada tanggal 23 Maret 2000 dilantik menjadi Bupati Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Menurut Rustriningsih dengan pelaksanaan otonomi daerah secara politis telah berkembang prinsipprinsip demokratisasi dan transparansi baik di kalangan masyarakat maupun dijajaran birokrasi di daerah. Sementara secara teknis telah dilakukan upaya-upaya menuju pada kemandirian dan peningkatan kapasitas daerah. Yang masih menjadi kendala dari pelaksanaan otonomi daerah ini karena antara konsep dan pelaksanaan dilapangan belum sepenuhnya menunjukkan kesesuaiannya. Berkaitan dengan pelaksanaan 11 kewenangan wajib yang telah dilimpahkan kepada daerah Rustriningsih menilai belum sepenuhnya sesuai. Sebagai contoh adalah kewenangan di bidang pertanahan yang termasuk dalam 11 kewenangan wajib daerah yang masih belum tuntas, maupun dalam pelaksanaan pengelolaan hutan juga masih sering terjadi benturan kepemimpinan. Menurut Rustriningsih untuk jenis kewenangan yang telah direalisasikan
6
penyerahannya, semestinya diikuti dengan peningkatan kemampuan personal lewat transfer knowledge dari lembaga yang sebelumnya menangani. Dilihat dari aspek kapasitas daerah
pemerintahan menjadi berlebihan. Hal yang juga sangat krusial adalah karena strengthening pemerintah propinsi terhadap kabupaten juga belum optimal. Ditinjau dari kewenangan lintas Kabupaten/Kota berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan investasi memperlihatkan bahwa pemerintah Propinsi perlu untuk proaktif dan mengadakan langkahlangkah nyata, koordinatif dan diatur dengan regulasi yang jelas.
Revisi UU Otonomi Daerah
dalam menjalankan tugas Pemerintah/ pelayanan kepada masyarakat dengan penyerahan 11 kewenangan wajib, juga dirasakan belum mencukupi. Hal ini perlu diadakan peninjauan kembali dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman daerah. Beberapa kendala bagi daerah dalam melaksanakan kewenangan wajib, diantaranya disebabkan belum adanya persepsi yang sama tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah antara eksekutif dan legislatif. Hal ini terjadi karena belum adanya tolok ukur kinerja eksekutif - legislatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dengan tidak adanya tolok ukur tersebut seringkali intervensi legislatif terhadap praktek penyelenggaraan
Bupati Perempuan yang bergelar Master Ilmu Politik dari UGM ini mempunyai beberapa pemikiran berkaitan dengan revisi UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah. “Deadline target revisi pada tahun 2006 setelah diadakan monitoring dan evaluasi.” Sementara untuk mekanisme penjaringan aspirasi untuk revisi UU No.22/1999 tersebut dilaksanakan di daerah secara berjenjang, dengan melibatkan sejumlah responden meliputi semua stakeholder, seperti Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha. Beberapa bagian dari UU Otonomi Daerah yang disorotinya adalah sebagai berikut : Pertama, Bab II Pembagian Daerah. Berkaitan dengan konsep kelembagaan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, menurutnya tetap seperti yang diatur dalam UU No.22/ 1999 sekarang ini. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan dan pemantapan arti otonomi daerah itu sendiri. Selanjutnya perlu dipertimbangankan kembali mengenai kedudukan dan keberadaan wilayah atau daerah Propinsi sebagai daerah otonom, sebagaimana diatur dalam Bab II UU No.22 yang mengatur mengenai Pembagian Wilayah, khususnya pada
pasal 3. Menurut Rustiningsih, keberadaan pada UU No.22/1999 belum sesuai dengan kewenangan keberadaan daerah (Kabupaten/kota) tentang Pemerintahan Daerah ini. yang diberikan.” Ditambahkannya pula merupakan daerah yang mewakili Menurut Rustriningsih desa tidak bahwa dalam mengimplementasikan kepentingan propinsi, sehingga praktis masuk dalam struktur pemerintahan DAU belum efektif dan efisien karena propinsi tidak memiliki wilayah/ daerah, tetapi masuk dalam sistim belum adanya kesamaan persepsi dan daerah. “Pasal 3 dan pasal-pasal pemerintahan nasional. “Khusus optimalisasi dari DAU tersebut. lainnya yang terkait dengan wilayah untuk Desa, sebaiknya dibuatkan UU daerah Propinsi dihapus atau ditinjau kembali, dan justru perlu dimasukkan secara tegas dan jelas mengenai wilayah daerah Kabupaten/ Kota sehingga Pasal 3 tersebut menjadi berbunyi : Wilayah daerah K a b u p a t e n / Ko t a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah daerah dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.” Salah satu pasal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Pembangunan yang partisipatif - Rakyat Kebumen merupakan kekuatan utama dari daerahnya, dibanding Pasal 10 ayat (2) potensi-potensi alam dan ekonomi lainnya. Kekuatan itu akan menjadi semakin besar apabila rakyat diberi m e n g e n a i kepercayaan untuk menjalankan tugas membangun daerahnya, yaitu dengan pembangunan yang bersifat penangkapan ikan partisipatif. secara tradisional tidak dibatasi wilayah laut. tersendiri atau judul UU No.22/1999 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Menurutnya kriteria tradisional pada disesuaikan dengan UU tentang sistim Kebumen Selain mengemukakan penjelasannya pasal tersebut tidak pemerintahan nasional.” Selain jelas, dan lebih baik dihapus. menyoroti hal-hal di atas, pemikirannya mengenai revisi UU Kedua, Bab IV Kewenangan Rustriningsih juga menyoroti Bab XIV Otonomi, Rustriningsih juga Daerah. Pada Pasal 9 ayat (1) mengenai Ketentuan Lain Lain. Pada menanggapi beberapa permasalahan khususnya mengenai kewenangan pasal 118 ayat (1) dan (2) diatur yang mewarnai pelaksanaan otonomi propinsi dalam bidang pemerintahan mengenai Propinsi Daerah Tingkat I daerah selama tiga tahun ini. lainnya sebagaimana dijelaskan pada Timor Timur berdasarkan referendum Menyinggung mengenai sejumlah penjelasan UU No.22/1999, menurut rakyat Timor Timur menghendaki peraturan daerah yang dinilai Kandidat Doktor di Ilmu Politik ini terpisah dari NKRI, sebaiknya dihapus bermasalah dan memberatkan sangat berpengaruh dalam proses atau ditinjau kembali karena tidak masyarakat dan dunia usaha penetapan kebijakan umum daerah relevan. Rustriningsih berujar, “Adanya kebijakan daerah yang bermasalah kabupaten/kota, sehingga tidak sesuai dengan sifat pemberian otonomi yang Perimbangan Keuangan antara menurut kami hal yang wajar dan harus dicarikan dan dibahas solusinya. luas, nyata, bertanggung jawab kepada Pusat dan Daerah. daerah Kabupaten/Kota. Menurutnya Dari pengalaman memimpin Kab. Namun demikian perlu diketahui, pada kalimat “dalam hal tertentu” Kebumen dan bergaul dengan kepala sebenarnya hal ini tidak banyak, pada pasal tersebut terdapat unsur daerah lainnya di Indonesia, pada mengingat proses pembuatan ketergantungan. Untuk itu maka pasal pelaksanaan otonomi daerah sekarang kebijakan, Perda atau SK Kepala yang mengatur mengenai kewenangan ini daerah masih menggantungkan Daerah, dilandasi dengan prinsip Propinsi dalam bidang pemerintahan pelaksanaan otonomi kepada alokasi demokratisasi, transparansi, aspiratif tertentu lainnya tersebut harus DAU akibat dari rendahnya kapasitas dan responsive.” Menurut ditinjau kembali. fiscal/ keuangan daerah. “Total alokasi Rustriningsih munculnya perda-perda Ketiga Bab XI Desa. Pasal 93 DAU masih terbatas dan belum sampai 111 untuk ditinjau kembali mencukupi kebutuhan daerah serta (Bersambung ke halaman 14)
7
8
SALAH LANGKAHKAH KITA DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI? Dr. Bambang Permadi S. Brodjonegoro UU OTONOMI DAERAH Tahun Alternatif kebijakan lainnya telah atau kota sekitar dua puluh lima ribu dihapus seperti pembentukan negara sampai empat juta orang. 1999 Keseriusan untuk melaksanakan desentralisasi dimulai di kawasan Asia yang tengah mengalami masa krisis, yang mana Indonesia terkena dampak terbesar akibat krisis tersebut, dan saat terjadinya perubahan pemerintahan dari otoriter menjadi demokrasi, sebagai reaksi atas sistem pemerintahan yang cenderung sangat terpusat selama tiga dekade. Pemerintahan demokratis yang terbentuk setelah jatuhnya rejim Suharto tidak memiliki kekuatan untuk menyatukan Indonesia, sebagaimana yang dimiliki oleh pemerintahan sebelumnya. Sejumlah propinsi yang kaya akan sumber daya alam merasa tidak puas dengan bagi hasil yang diberikan oleh pemerintah pusat. Struktur kekuasaan terpusat telah memunculkan perasaan berbeda antara Jakarta atau Jawa, untuk mewakili pusat, dan daerah lainnya. Hal ini terutama disebabkan karena kontribusi yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah lebih kecil dari yang mereka berikan kepada pemerintah pusat. Sementara itu, di beberapa daerah terjadi gerakan yang dimaksudkan untuk memisahkan diri dari Indonesia, seperti di Timor Timur, Aceh, Papua, dan Riau. Pemerintahan Habibiee, yang terbentuk setelah jatuhnya rejim Suharto, dihadapi dengan masalah bagaimana cara untuk mempertahankan keutuhan negara. Kemudian, pemerintahan Habibie memutuskan adanya peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah, sehingga mengurangi peranan pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada pemerintah daerah.
federal dan pemerintahan yang lebih terpusat serta membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni dari pemerintah pusat. Pemerintahan Habibie membuat UU Desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tanggung jawab untuk menyiapkan kedua UU tersebut diberikan kepada suatu kelompok yang terdiri dari aparat pemerintah dan akademisi. Waktu yang diberikan kepada mereka sangat pendek sehingga tidak tersedia waktu yang cukup untuk berkonsultasi dengan beberapa pihak terkait. Situasi tersebut tentu saja mempengaruhi beberapa aspek yang dimasukkan dalam UU tersebut. Pertama, karena terdapat beberapa tingkat atau level pemerintah daerah, sehingga tingkat yang mana mendapat pengalihan kekuasaan menjadi pertanyaan mendasar. Berdasarkan UU No. 22/1999, pemerintah kabupaten dan kota merupakan level yang tepat sebagai penerima pengalihan kekuasaan. Pemerintah provinsi akan dialihkan ke pemerintah pusat dan untuk mengawasi pemerintah kabupaten dan kota. Fomulasi ini berdasarkan UU No. 5/ 1974. UU ini dimaksudkan untuk menekan sebesar mungkin gerakan separatis dengan kekuatan politik atau kemunculan kekuatan politis untuk menjauhi pusat. Terdapat pula argument efisiensi dalam pemberian jasa public sedekat mungkin kepada masyarakat tanpa hilangnya skala ekonomi, dengan populasi kabupaten
Kedua, meskipun kecenderungan untuk memisahkan diri terjadi dan lebih kuat di beberapa daerah, reformasi struktur pemerintahan yang terjadi di seluruh pemerintah daerah di Indonesia, kecuali di Jakarta, akan berlanjut sampai terbentuk daerah khusus tanpa ada lagi sub dari kabupaten atau kota. Dapat disimpulkan bahwa formulasi ini mencerminkan keengganan pemerintah pusat untuk menerapkan sistem federal dan kesetiaan terhadap Negara kesatuan. Ketiga, ciri lainnya dari UU No. 22/1999 adalah fungsi dan aktivitas pemerintah yang lebih luas yang ditransfer ke pemerintah daerah. Hal ini berarti pemerintah pusat memiliki wewenang dan tanggung jawab hanya atas keamanan dan pertahanan Negara, hubungan agama, sistem hukum, kebijakan fiskal dan moneter, hubungan luar negeri, dan fungsi khusus lainnya seperti perencanaan makro ekonomi, sistem transfer fiskal, administrasi pemerintahan, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan teknologi. Fungsi lain yang tidak disebutkan secara khusus diberikan kepada pemerintah daerah, lebih spesifik lagi UU menyebutnya sebagai tanggung jawab pemerintah daerah, seperti jasa publik, manajemen kesehatan, pendidikan dan budaya, pertanian,transportasi, peraturan mengenai kegiatan industri dan perdagangan, investasi, lingkungan, penggunaan tanah, koperasi, dan pengembangan SDM. Keempat, untuk membiayai kegiatannya, pemerintah daerah
9
membutuhkan sumber dana. UU No.25/1999 menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengenakan pajak dan retribusi, dan pemerintah pusat memberikan sebagian pendapatan tersebut kepada daerah. Pajak pemerintah provinsi yang utama adalah pajak kendaraan, yang mana dianggap sebagai variasi dari pajak properti atau kekayaan. Jenis pajak yang pemerintah kabupaten atau kota dapat kenakan dibatasi pada tujuh jenis pajak, yaitu pajak hotel dan restoran, iklan, bahan bangunan, penggunaan air bawah tanah, hiburan, sewa bangunan, serta berbagai macam retribusi. Kelima, untuk menutupi kekurangan sumber pendapatan dari pajak, UU No. 25/1999 menetapkan bagi hasil pajak antara pusat dan daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, tambang, dan hutan, dibagikan dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota. Ini adalah ciri utama perimbangan keuangan yang terdapat dalam UU No. 25/1999. Bagi hasil dari pajak penghasilan perorangan menyusul ditetapkan kemudian. Keenam, ciri utama lainnya dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah adanya transfer dari pusat ke daerah, yang disebut Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU merupakan dana yang diberikan kepada kabupaten atau kota untuk menutupi gap antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula tertentu dengan prinsip bahwa daerah yang lebih miskin menerima lebih besar daripada daerah yang kaya. Pemerintah pusat berkewajiban untuk mentransfer sedikitnya 25% dari pendapatan domestik dalam bentuk DAU. DAK diberikan kepada daerah tertentu untuk maksud tertentu. Ketujuh, dengan adanya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk meminjam baik dari sumber domestik maupun internasional, serta dari insstitusi
10
Ketimpangan Ekonomi - Sejumlah propinsi yang kaya akan sumber daya alam merasa tidak puas dengan bagi hasil yang diberikan oleh pemerintah pusat. Struktur kekuasaan terpusat telah memunculkan perasaan berbeda antara Jakarta atau Jawa, untuk mewakili pusat, dan daerah lainnya. keuangan publik, termasuk lembaga keuangan multilateral dan lembaga bantuan keuangan, pemerintah pusat, dan lembaga keuangan swasta. Namun, terdapat batasan tertentu untuk menjamin manajemen keuangan pemerintah daerah. Pinjaman jangka panjang dibatasi untuk pembangunan infrastruktur, sementara pinjaman jangka pendek hanya digunakan untuk keperluan operasional. Pinjaman jangka panjang tidak boleh lebih dari 75% dari pendapatan per tahun, rasio bunga hutang jangka panjang tidak lebih dari 2,5 kali, dan hutang jangka pendek tidak lebih dari 1/6 total anggaran pengeluaran per tahun. Hutang luar negeri harus melalui pemerintah pusat.
BEBERAPA MASALAH DAN ISU SEPUTAR OTONOMI DAERAH Visi pemerintah setelah tralisasi Desentralisasi di kesatuan memunculkan dilema, trade- off dan
desennegara banyak bahkan
kontradiksi, karena integritas nasional dan pembangunan nasional, yang secara tidak langsung dinyatakan dalam pembuatan keputusan di pusat, juga merupakan tujuan penting suatu negara. Karena itu, harus ada keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, yang tergantung pada sejarah negara, keadaan geografis, dan tahapan pembangunan. Satu masalah penting dengan kebijakan desentralisasi di Indonesia adalah bahwa waktu dan energi yang cukup belum dicurahkan dalam pembahasan visi dan struktur negara. Selain itu, kebijakan desentralisasi diadopsi lebih sebagai reaksi atas bahaya disintegrasi nasional yang disebabkan oleh kelompok separatis tertentu. Masalah ini ditambah lagi oleh strategi desentralisasi pemerintah. Lolosnya dua UU otonomi khusus untuk Aceh dan Papua dan penerimaan pemerintah atas konsep asymmetric decentralization, berarti bahwa UU No. 22/1999 dan UU No. 25/ 1999 telah gagal dalam mempertahankan integritas nasional. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah merevisi UU No. 22/1999 dan UU No. 1999. Revisi
sebaiknya tidak terbatas pada masalah teknis, tetapi mempertimbangkan kembali bentuk struktur pemerintahan dan mencari formasi konsensus nasional. Pembagian Wewenang, Fungsi, dan Tanggung Jawab Kesulitan utama yang muncul dari penerapan UU No. 22 adalah belum jelasnya pembagian wewenang, fungsi, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Meskipun hal tersebut jelas, kenyataannya terdapat perbedaan yang besar antara tujuan yang tertulis dalam UU dengan kapasitas institusi dan sumber daya manusia dari aparat pemerintah daerah. Kurangnya kejelasan dan realisasi UU No. 22/1999 lebih jauh ditambah lagi dengan adanya kecenderungan birokrasi pemerintah pusat untuk mencari pengaruh yang lebih besar dan menentang pengurangan wewenang. Kurangnya kejelasan pembagian fungsi juga berarti bahwa usaha serius untuk mengestimasi kebutuhan fiskal pemerintah daerah belum dilakukan, dan kapasitas fiskal pemerintah daerah, baik secara agregat dan individu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut belum direalisasi. Hal yang sama juga terjadi untuk kapasitas sumber daya manusia dan lembaga pemerintah daerah. Struktur Keuangan Publik Perumusan struktur keuangan publik membutuhkan pertimbangan yang efisien dan efektif. Struktur keuangan public normative yang dibangun berdasarkan prinsip dasar “fiscal federalism” cenderung menciptakan kekurangan pendapatan pemerintah daerah. Hal ini karena pajak yang ditransfer ke pemerintah daerah terbatas pada pajak yang menciptakan “spillover effects” minimum di luar kekuasaan hukum pemerintah. Pemerintah daerah biasanya tidak mempunyai akses atas basis pajak tersebut, seperti pajak perdagangan internasional, pajak penghasilan perusahaan atau pajak nilai tambah, dan sumber utama pajak mereka adalah pajak barang tidak
bergerak, konsumsi, dan lainnya. Di negara berkembang lainnya, jenis pajak ini hanya sedikit dan tidak cukup untuk membiayai pengalihan wewenang ke pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: (1) derajat otonomi pajak yang harus diberikan kepada pemerintah daerah, (2) kebutuhan atas transfer dalam skala besar dari pusat, (3) pinjaman pemerintah daerah untuk mendukung penerimaan daerah. Pertama, sulit untuk menentukan tingkat otonomi pajak yang seharusnya diberikan kepada daerah pada tahap pembangunan saat ini. Tingkah laku pemerintah daerah tidak pasti dan kemampuan administrasi mereka terbatas. Fiscal federalism menyatakan bahwa kebebasan yang semakin besar dalam pajak seringkali menyebabkan “persaingan pajak” yang dapat menyebabkan kurangnya penyediaan jasa publik. Kedua, ketergantungan pemerintah daerah pada transfer dari pusat umumnya tinggi. Tranfer antar pemerintah merupakan masalah yang sulit karena transfer tersebut efektif dalam mengoreksi ketidakseimbangan vertikal dan horizontal dari keuangan pemerintah daerah dan karena transfer tersebut memberikan insentif dan disinsentif tertentu kepada pemerintah daerah. Salah satu cara yang memungkinkan untuk mengurangi ketergantungan yang besar terhadap transfer pemerintah pusat adalah menambah jenis pajak. Khususnya, pajak pertambahan nilai dapat menjadi pajak yang dapat dibagihasilkan. Peningkatan bagi hasil pajak dengan mengurangi DAU mempunyai beberapa keuntungan. Penerimaan bagi hasil pajak berasal dari daerah itu sendiri,dan meningkatkan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Bagi hasil pajak juga dapat menyesuaikan dan memfasilitasi manajemen kebijakan anggaran pemerintah pusat untuk kepentingan makro ekonomi. Dengan peningkatan bagi hasil pajak dan pengurangan transfer, DAU dapat digunakan untuk mengoreksi “ketidakseimbangan horizontal” antar
pemerintah daerah. Ketiga, wewenang pemerintah daerah untuk meminjam merupakan sesuatu yang sah, namun karena kemampuan pemerintah daerah yang beraneka ragam, pemerintah pusat harus membuat aturan yang jelas. PP No. 107/2000 menjelaskan hal tersebut, namun masih dapat diperbaiki. Meskipun pinjaman pemerintah daerah telah diatur, mungkin saja terjadi kegagalan pembayaran hutang. Hal ini perlu diatur dalam peraturan tersebut. Isu lainnya adalah pinjaman luar negeri pemerintah daerah, khususnya dari lembaga keuangan multilateral dan lembaga bantuan bilateral. Semua pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat. Sejumlah peraturan dan kriteria yang mengatur hal ini juga harus ditetapkan. Sebagai tambahan, karena pinjaman daerah terutama diperuntukkan untuk proyek pembangunan, mekanisme dalam pemilihan proyek, persiapan, dan evaluasi harus dibuat. KESIMPULAN : PROSPEK DI MASA DEPAN Pengalihan wewenang dan desentralisasi fiskal yang ditetapkan oleh pemerintahan Habibie pada tahun 1999 dan diimplementasikan pada tahun 2001, menghasilkan perubahan besar pada struktur pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah membawa sejumlah masalah dan isu yang berkaitan dengan rancangan awal kebijakan desentralisasi. Masalah tersebut mulai dari pembagian wewenang, fungsi, dan tanggung jawab antara pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota, sampai pada struktur keuangan publik, distribusi fiskal di antara pemerintah daerah, kebutuhan untuk memperbaiki kapasitas sumber daya manusia dan lembaga, dan kebutuha untuk membangun koordinasi yag efektif. *) Tulisan ini hasil saduran dan terjemahan. Makalah disajikan pada Seminar 50 Tahun LPEM FEUI: “Ekonomi Indonesia Dalam Tanda Tanya”, 2003. Dr. Bambang Permadi S. Brodjonegoro adalah Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
11
Semangat Otonomi Daerah dan Desentralisasi yang Berbahaya Maddaremmeng A. Panennungi Semangat otonomi daerah di era awal reformasi nampaknya saat ini mengalami pembelokan atau bahkan pembalikan arah dari tujuan awal yang bermaksud mensejahterakan seluruh warga di daerah tersebut, bukan hanya eksekutif-legislatif dan perangkatnya. Beberapa semangat otonomi daerah dan desentralisasi yang harus dicermati perkembangannya. Pertama adalah semangat pemekaran Provinsi, Kabupaten, bahkan Kecamatan yang semakin intens. Bukan hanya pada level wacana, tapi suatu usaha yang nyata. Kedua adalah semangat yang tinggi dalam pembuatan Perda yang bertujuan meningkatkan PAD dengan membebankan masyarakat. Semangat pemekaran daerah-daerah merupakan suatu tanda tanya yang harus mendapat porsi perhatian yang besar demi kelangsungan otonomi daerah dan desentralisasi itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa garda terdepan dari otonomi daerah adalah daerah tingkat II (kabupaten/kota) yang nampaknya berasal dari alasan keamanan berupa kekhawatiran pelepasan diri dari NKRI jika diberikan ke daerah tingkat I (provinsi). Meskipun terhindar dari usaha pelepasan diri dari NKRI, ternyata semangat pelepasan diri dari daerah induk sebelumnya yang marak. Bahkan ada kabupaten yang setelah dibagi dua, ada semangat untuk membagi lagi kabupaten yang baru berdiri itu. Mungkin saja semangat pemekaran ini diilhami oleh keinginan akan tersedianya jabatanjabatan baru atau keinginan mendapatkan dana transfer pusat, atau bahkan alasanalasan lain yang sifatnya faktor sejarah, etnis, kebudayaan, atau (bahkan) agama. Namun bahaya semangat pemekaran ini tidak hanya menyangkut faktor non ekonomi yang mungkin menjadi alasan dominan, juga beberapa faktor ekonomi yang sangat penting untuk diperhatikan. Faktor administrasi yang semakin rumit akan menjadi persoalan ke depan yang akan menghalangi lancarnya lalulintas barang, modal, dan bahkan manusia sebagai tulang punggung kegiatan ekonomi. Hal ini diperparah oleh kurangnya semangat membina kerja sama “ekonomi perbatasan” diantara provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga tingkat desa. Konflik horizontal kepentingan ekonomi daerah akan semakin kental di masa depan. Bukan hanya karena semangat pemekaran, tetapi juga sisa dari
12
permasalahan ekonomi perbatasan yang dari dulu ada akan menjadi lebih terbuka. Selain ketidaklancaran lalulintas barang, modal, dan manusia juga dimungkinkan adanya degradasi pada penyediaan infrastruktur. Semua daerah akan berebut untuk memungut pajak atau retribusi yang mereka rasa menjadi hak daerahnya, namun enggan untuk menanggung beban pelayanan yang semestinya. Permasalahan tersebut akan semakin kompleks ketika kita melihat hilangnya skala ekonomis sebagai akibat dari pemekaran. Pada dataran yang lebih riil lagi sebagai contoh adalah setiap daerah berlomba-lomba untuk membuka pelabuhan baru, lapangan terbang baru dan sebagainya yang sama sekali tidak memperhitungkan skala ekonomis. Pada akhirnya akan menimbulkan misalokasi sumberdaya yang pada gilirannya menimbulkan inefisiensi. Sebab pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan kebutuhan secara luas, namun persepsi sepihak yang hanya melihat keinginan daerahnya. Konsekuensi yang paling berbahaya dari semua itu adalah eksploitasi sumberdaya yang berlebihan sebagai bagian usaha Pemda meningkatkan penerimaan atau bahkan dari masyarakatnya sendiri. Misalnya munculnya pengkaplingan hutan-hutan dan (pada gilirannya) laut yang tadinya di bawah satu daerah, namun setelah dimekarkan, maka eksploitasinya semakin gencar dilakukan oleh daerah-daerah tersebut. Sepertinya usaha pemekaran daerah ditafsirkan sebagai kesempatan seluas-luasnya mengeksploitasi sumber daya alam tanpa menghiraukan aspek ekologis berupa eksternalitas negatif yang bakal menimpa di kemudian hari baik daerahnya maupun tetangganya. Hal ini berlangsung terutama di daerah yang sumber daya alamnya menjanjikan. Kedua adalah semangat meningkatnya Perda mengenai Pajak dan Retribusi. Munculnya UU No. 34/2000 sebagai pengganti UU No. 18/1997, memberikan keleluasaan daerah untuk berkreasi pajak daerah. Dampak yang kemudian marak adalah bermunculannnya pajak dan retribusi baru yang dinilai bermasalah. Perda-perda tersebut sangat beragam, mulai dari usaha untuk memungut produksi tanaman holtikultura, pemakaian jalan, peredaran hasil hutan, surat kepemilikan ternak, bongkar muat barang,
hingga pembuatan surat ijin becak. Semangat perda pajak dan retribusi ini akan beresiko pada efisiensi ekonomi dan investasi di daerah yang bersangkutan yang mungkin tidak disadari. Beban masyarakat karena krisis akan semakin besar dengan sendirinya. Ada cerita yang sangat sedih dari sebuah kabupaten yang oleh DPRD-nya “dipaksakan” agar Pemda menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) lebih besar dari ajuan Pemda. Ini agak ironis dan menggunakan logika terbalik. Seharusnya DPRD melindungi masyarakat dengan meminta penurunan target PAD, tapi yang dilakukan sebaliknya. Sehingga beban masyarakat justru berasal dari wakilnya yang seharusnya membela kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Sementara pengawasan dan sistem administrasi yang belum baik akan memudahkan penyelewengan. Meskipun nilainya masih kecil, namun ke depan persoalan pengawasan dan administrasi akan menjadi persoalan. Belum lagi potensi lahirnya radikalisasi dari warga yang anti pajak dan retribusi sebagai bagian dari “pembangkangan sipil” yang melihat ketidakadilan dalam persoalan pajak dan retribusi. Otonomi daerah dan desentralisasi memang harus terus dilanjutkan dan didukung, namun harus dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap semangatsemangat yang bertentangan dengan semangat awal: demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Khususnya dalam pemekaran daerah pada tingkat desa hingga provinsi, penggunaan data statistik yang diandalkan sebagai indikator untuk pemenuhan syarat tidaklah cukup. Bahkan harus dilakukan upaya verifikasi untuk menghindari adanya “kejahatan statistik”, yang dilakukan demi pemenuhan syarat yang sifatnya data sekunder. Dalam menangani pajak dan retribusi yang bersifat membebani masyarakat bawah, pemerintah pusat harus tegas dalam hal ini. Belum lagi permasalahan yang paling rumit di masa depan adalah pemberantasan “desentralisasi korupsi”. Untuk masalah ini, kawan saya sempat menyindir, “Bagaimana mungkin mengajari anak kencing berdiri, kalau bapaknya sendiri masih kencing berlari?”. *) Penulis adalah staf peneliti LPEM FEUI dan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Panudiana Kuhn
“Otonomi Daerah Seharusnya di Tingkat Propinsi” “ Pelaksanaan otonomi daerah belum menunjukkan perbaikan pelayanan terhadap aktivitas perekonomian, sebaliknya yang menonjol adalah pungutan terhadap dunia usaha yang bertambah banyak, bahkan saat ini setelah reformasi dan otonomi daerah, permintaan sumbangan sumbangan lingkungan lebih berani menentukan jumlah yang diminta”. Sebagai pengusaha, Panudiana Kuhn berharap bahwa dengan otonomi daerah, pelayanan pemerintah terhadap aktivitas usaha menjadi semakin baik, namun sampai saat ini harapan itu tidak terwujud bahkan dalam hal pungutan semakin membebani dunia usaha sebagaimana diungkapkan di atas. Ketua Dewan Pengurus Daerah APINDO Propinsi Bali yang bergerak di sektor usaha tekstil dan produk tekstil, hotel dan restaurant ini menilai seharusnya upaya pemerintah untuk mendapatkan pemasukan dari aktivitas usaha dilakukan bukan dengan cara ekstensifikasi jenis pungutan namun melalui intensifikasi. Pungutan (pajak) di Bali dinilainya belum optimal dalam pengertian potensi wajib pajak yang semestinya dijaring seharusnya masih besar bila dilakukan dengan baik namun kenyataannya bukan mengintensifkan pungutan terhadap wajib pajak yang belum terjaring tetapi melebar ke membuat jenis jenis pungutan tambahan yang membebani aktivitas usaha. Untuk intensifikasi pungutan tersebut dia mengusulkan agar kantor kantor pelayanan pajak semestinya ada di
tingkat kelurahan sehingga memudahkan pembayaran bagi wajib pajak dan lebih mudah bagi petugas pajak untuk menjaring wajib pajak. “Kalau pemasukan pajak besar khan kemampuan untuk pembangunan lebih baik” demikian dikatakan Panudiana. Sementara itu, mengenai pungutan, walaupun tidak menunjuk ke jenis pungutan tertentu, namun dikatakannya bahwa jenis pungutan meningkat bahkan permintaan sumbangan
setengah hati karena bukan diberikan di tingkat Propinsi, semestinya otonomi diberikan di tingkat Propinsi agar bisa meningkatkan fungsi koordinasi dan kontrol pemerintahan”. Dalam konteks Bali yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor pariwisata, tidak tepat kalau level pemerintahan otonom di tingkat Kabupaten/Kota karena Bali dikembangkan sebagai daerah pariwisata dalam kesatuan wilayah Bali bukan terpecah pecah antar Kabupaten/Kota. “Menjual pariwisata disini adalah menjual Bali, bukan Badung, Gianyar, Denpasar, Karang Anyar, Buleleng, dll.; tiap tiap daerah mempunyai fungsinya sendiri sendiri; ada yang sebagai tempat akomodasi, obyek wisata alam, wisata kesenian, dll.”. Bila otonomi di Bali dikelola terpecah pecah tiap daerah, efek yang sudah dan akan terus terjadi adalah kerusakan obyek obyek wisata. Dalam wawancara dengan berbagai kalangan lainnya di Bali (eksekutif, legislatif, NGO, Akademisi) ungkapan Panudiana Kuhn tersebut mendapatkan kebenarannya; misalnya adanya pembangunan fisik hotel dan restauran disepanjang tepi sungai yang dianggap merusak panorama alam sebagai obyek wisata (karena daerah yang bersangkutan ingin mendapatkan pajak hotel dan restauran yang merupakan pajak daerah); adanya pertentangan antar daerah di Bali yang memicu munculnya rencana suatu daerah yang akan melarang wisatawan memasuki daerahnya (atau menerapkan pungutan bagi wisatawan yang memasuki
kppod / p. agung pambudhi
dari lingkungan sekitar tempat usaha lebih berani menentukan jumlah sumbangan yang diminta. Level Pemerintahan Daerah Otonom Selain menyoal tambahan beban dunia usaha di masa otonomi daerah, pengusaha yang juga salah satu Ketua KADIN Propinsi Bali ini, menyampaikan pendapatnya mengenai kewenangan daerah otonom. Dikatakannya bahwa “otonomi daerah dilaksanakan
13
daerahnya) karena merasa kurang mendapatkan bagian yang adil dari daerah lain yang diuntungkan dari pajak hotel dan restauran sementara wisatawannya datang ke Bali untuk melihat obyek wisata di daerahnya, namun menginap di daerah lain. Meskipun bukan merupakan keahliannya, namun Panudiana mengemukakan bahwa efek negatif dari terkotak kotaknya pengembangan pariwisata Bali tersebut bisa mempengaruhi tingkat pelayanan kesehatan dan pendidikan di daerah daerah, terutama daerah Bali bagian Utara seperti Jembrana, Bangli, dan Buleleng yang tertinggal perekonomiannya sehingga kemampuan pelayanan kesehatan dan pendidikan di daerah daerah tersebut dikhawatirkannya akan menurun. “Kalau level otonomi daerah di tingkat Propinsi, maka
dapat dilakukan koordinasi yang baik untuk memperhatikan pembangunan daerah daerah Bali yang selama ini kurang mendapat perhatian, infrastruktur bisa ditingkatkan untuk daerah daerah tersebut” demikian dikatakan Panudiana. Ditambahkannya bahwa masih banyak tugas pemerintah daerah untuk membenahi persoalan pariwisata Bali, yang saat ini ditambah dengan masalah otonomi daerah; satu hal yang penting adalah menjadikan arah pengembangan pariwisata di Bali menjadi tourism for Bali bukannya Bali for tourism. Berbagai efek negatif pariwisata di Bali yang selama ini terus berkembang seperti alkohol, pelacuran, perjudian, narkoba harus mendapat perhatian; bila energi habis untuk persoalan koordinasi otonomi antar daerah dikhawatirkannya masalah
masalah tersebut kurang tertangani dengan baik. Meskipun lebih banyak mengungkapkan kelemahan kelemahan otonomi daerah, Panudiana Kuhn juga mengemukakan hal hal positif seperti: kebebasan berbicara lebih baik (akibat reformasi), putaran uang di daerah lebih banyak karena bagian penerimaan uang bagi daerah lebih banyak (karena otda) yang bisa menggairahkan ekonomi daerah. Ditambahkannya bahwa meskipun kualitas pelayanan usaha masih tetap belum memuaskan di Bali pada umumnya, namun dalam hal pelayanan perijinan di Kabupaten Gianyar setelah otonomi daerah menjadi lebih baik; “Gianyar yang terbaik melaksanakan otonomi daerah di Bali”. (pap)
Dra. Rustriningsih, MSi : “Strengthening Pemerintah . . . (sambungan dari halaman 7) yang dinilai bermasalah tersebut mungkin karena kapasitas fiskal daerah kecil. Namun dikatakannya pula bahwa di Kabupaten Kebumen tidak ada perda bermasalah karena perda-perda yang ada banyak yang sifatnya pengembangan-pengembangan saja. Untuk konsep dan pelaksanaan pengawasan terhadap produk kebijakan daerah Rustriningsih berpendapat bahwa perlu dilakukan dengan melibatkan semua komponen terkait. Sementara pengawasan represif oleh Pemerintah Pusat terhadap kebijakankebijakan daerah diraksakan perlu untuk maksud pembinaan dan pengembangannya. Rustriningsih tidak sependapat bahwa ada kesan hubungan pusat dan daerah tidak harmonis. “Kami kurang sependapat, karena seharusnya kita memaklumi masa yang sedang dilalui relatif baru tiga tahun. Justru yang perlu peningkatan keharmonisan adalah jajaran Pemerintah Pusat itu sendiri baik secara internal, interdeparte-mental, maupun eksternal khususnya dengan jajaran legislatif.” Menurut Kader PDIP yang pernah menjadi anggota DPR Pusat ini, unsur-unsur pemerintahan pusat mer upakan
14
penentu dan pembuat kebijakan yang penerapannya di daerah, sehingga harus harmonis dan solid. Dalam upaya menciptakan ankuntabilitas dan tranparansi dalam pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah Kabupaten Kebumen, dilakukan press briefing secara reguler. Tujuan dari dilakukannya press briefing ini adalah untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui pers seputar perkembangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sektor tertentu. Setiap hari pada stasiun radio pemerintah daerah, RSPD, ada program dimana masyarakat dapat berdialog secara langsung dengan Bupati. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan program-progam pembangunan dan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat tersosialisasikan kepada masyarakat dan masyarakat dapat memberikan masukan kepada pemda. Mengenai keterbatasan DAU maupun PAD Kab. Kebumen, Rustriningsih tidak terlalu merisaukannya. Di mata Bupati Rustriningsih, rakyat Kebumen merupakan kekuatan utama dari daerahnya, dibanding potensi-potensi alam dan ekonomi lainnya. Kekuatan itu akan menjadi
semakin besar apabila rakyat diberi kepercayaan untuk menjalankan tugas membangun daerahnya, yaitu dengan pembangunan yang bersifat partisipatif. Dicontohkannya dalam pembangunan 895 ruang kelas sekolah yang rusak dan roboh, baik karena bencana, maupun karena usia tua dan kualitas bangunannya yang memang buruk sehingga perlu direhabilitasi. ‘’Bagi Kebumen, otonomi daerah sama artinya dengan manajemen krisis,’’ tuturnya. Tokoh PDIP ini mengaku mendapatkan banyak hikmah ketika ia mengubah kebijakan revitalisasi gedung SD menjadi bantuan stimulan. Perbaikan gedung-gedung SD itu diserahkan pada masyarakat desa di mana gedung itu berada, bukan pada para kontraktor. Gerakan ini disambut dengan semangat gotong royong yang luar biasa dari masyarakat. ‘’Masyarakat memberikan yang terbaik bagi upaya rehabilitas bangunan SD di daerahnya, sekalipun Pemerintah Kabupaten hanya memberikan stimulan masing-masing Rp 5 juta per ruangan. Ini membuktikan, masyarakat akan berusaha keras jika diberi kepercayaan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi sendiri,’’ tuturnya. (git, teet)
Pengelolaan Kepelabuhan dan Problem Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah (Kajian Perda Kepelabuhan No.01/2001, 10/2002, dan 11/2002 Kota Cilegon)
Tiga tahun otonomi daerah berlangsung, ihwal pemetaan kewenangan pusat-daerah tak kunjung tuntas. Meski pasal 7 ayat (1) UU No.22/1999 telah membuat daftar jenis-jenis kewenangan milik pemerintah pusat dan sisa selebihnya sebagai kewenangan daerah, penerjemahan UU ini dalam aturan sektoral maupun organiknya tidak selamanya konsisten, bahkan menimbulkan kekacauan dan penyimpangan regulasi yang serius. Peta arsitektur kewenangan pusat-daerah lalu menjadi kabur. Satu contoh kasus, yang hendak diangkat sebagai tema tulisan ini, adalah soal kewenangan pelabuhan. Pajak atas Jasa Kepelabuhanan - Perda No.10/2002 tentang Pajak atas Jasa kepelabuhan dan Sekali lagi mer ujuk UU Perda No.11/2002 tentang Retribusi Jasa Kepelabuhan. Menyangkut pajak, obyek yang dikenakan No.22/99, masalah pungutan adalah fasilitas tambatan kapal dan fasilitas dermaga. kewenangan adalah bagian urusan yang ditransfer ke level daerah. lanjutan dalam level aturan di moda. Terhadap semuanya itu, Pemda maupun dalam memiliki kewenangan pembinaan, Selain pasal 7, keterangan mengenai bawahnya yang meliputi pengaturan (penetapan implementasinya. hal ini bisa dilihat dalam pasal 11 ayat kebijakan kepelabuhan), pengawasan (2), yang bahkan menjadi salah satu (pemantauan, penilaian dan tindakan Contoh Penerapan di Kota Cilegon. kewenangan wajib yang mesti korektif atas pelaksanaan) dan Pemerintah daerah Kota Cilegon dilaksanakan pihak daerah. pengendalian (pemberian arahan dan menetapkan pengaturan, pengawasan Jangkauan keberlakuan kewenangan petunjuk dalam pelaksanaan, serta dan pengendalian berbagai pelabuhan ini juga berlaku di kawasan otorita pemberian bimbingan dan penyuluhan yang ada dalam wilayah yurisdiksinya yang terletak di dalam daerah otonom masyarakat mengenai hak dan ke dalam tiga aturan, yakni Perda No. (pasal 119). kewajibannya sebagai pengguna jasa 01 Thn 2001 tentang Kepelabuhan di Namun, sebagai telah dikatakan, kepelabuhan). Kota Cilegon, Perda No.10/2002 keberadaan UU ini tidak diikuti Secara lebih rinci, kewenangan tentang Pajak atas Jasa Kepelabuhan dengan sinkronisasi pada UU sektoral Pemda tersebut dijabarkan dalam dan Perda No.11 Thn 2002 tentang dan aturan organik di bawahnya. pasal 26, seperti: (1) penilikan kegiatan Retribusi Jasa Kepelabuhan. Perda Dalam kasus pelabuhan, sektor yang akan menjadi bahan kajian lalu lintas kapal yang masuk dan pelabuhan yang merupakan bagian utama dalam tulisan ini adalah Perda keluar pelabuhan; ( 2 ) penilikan pengaturan dari UU No.21/1992 No.01/2001, sedangkan dua Perda terhadap persyaratan kelaik-lautan tentang Pelayaran masih ditempatkan berikutnya dipakai sebagai pelengkap kapal; ( 3 ) pelayanan pemandauan dan sebagai kewenangan pusat. Dan hal analisa. penundaan kapal serta penyediaan itu terjabarkan dalam aturan organik Dalam Perda No.01/2001, dan pemeliharaan alur pelayaran; (4) PP No.81/2000 tentang Kenavigasian kepelabuhan diartikan sebagai segala pencegahan dan penanggulangan dan PP No. 69/2001 tentang sesuatu yang berkaitan dengan pencemaran perairan pelabuhan; (5) Kepelabuhan. Semuanya ini penyelenggaraan pelabuhan dan pengamanan dan penertiban dalam menunjukkan, di level pusat saja, kegiatan lainnya dalam melaksanakan lingkungan kerja; ( 6 ) penilikan aturan menyangkut satu hal yang fungsi pelabuhan untuk menunjang terhadap pembangunan dan sama saling bertabrakan dan pada perpindahan intra dan atau antar pengoperasian pelabuhan; (7) gilirannya menimbulkan kekacauan
15
pelaksanaan fungsi karantina; (8) dan wajib menyesuaikan diri dengan isi kontroversi yang menyulut di fungsi-fungsi lainnya. Semua fungsi Perda ini paling lambat 4 bulan; (2 ) sekitarnya menunjukkan lekatnya pemerintahan daerah dilaksanakan tanah pantai di wilayah Cilegon yang sejumlah problem serius dalam oleh Administrator Pelabuhan yang sudah menjadi hak pengelolaan atas pelaksanaan otonomi dewasa ini. dikoordinasikan oleh walikota. Dan nama PT Pelindo II pada saat mulai Pertama, sekali lagi, bahwa untuk memberikan pertimbangan berlakunya Perda ini menjadi hak pembagian kewenangan pusat daerah tentang masalah teknis kemaritiman,, pengelolaan daerah, kecuali hak belum sepenuhnya jelas. Kedua, dibentuk Dewan Maritim, yang terdiri pengelolaan tersebut diatas tanah koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, atas unsur Pemda, unsur asosiasi yang diperoleh dengan pembelian oleh antara aturan sektoral (departemen) pelabuhan dan dermaga, dan unsur PT Pelindo II; (3) perjanjian antar PT dan aturan organik di level nasional akademisi dan praktisi kemariitiman. pelindo II dengan pengelola pelabuhan belum sepenuhnya efektif. Ketiga, Penyelenggara pelabuhan terdiri khusus dan dermaga khusus asas disiplin dalam hirarki hukum dari BUMN, BUMD, koperasi dan mengenai sewa perairan dan antara pusat dan daerah belum pihak swasta. Ijin penyelenggaran perjanjian kerja sama pengoperasian sepenuhnya mewujud. pelabuhan dikeluarkan melalui pelabuhan serta perjanjian lainnya Lalu, posisi sikap semacam apa penetapan Walikota. Dengan yang bertentangan dengan Perda ini yang perlu diambil menyangkut Perda mempertimbangkan usulan penyelnggaraan pelabuhan, Pemda juga menetapkan tarif pelayanan jasa kepelabuhan, dengan memperhatikan kepentingan pelayanan umum, peningkatan mutu pelayanan, kepentingan pemakai jasa, kelestarian lingkungan, dll. Pemungutan tariff jasa pelabuhan dilakukan Kerja sama Pusat dan Daerah - Ada konsep jalan tengah yang pada urusan-urusan tertentu bisa oleh penyelenggara dipakai. Bahwa dalam penyelenggaraan urusan-urusan tersebut diperlukan adanya interkoneksi dan pelabuhan, dan atas interdependesi pusat daerah, karena keterkaitan dan jangkaun dari urusan tersebut. dasar tariff tersebut dikenakan pajak dan atau retribusi dinyatakan tidak berlaku; (4) daerah No.01 Thn 2001 ini ? Agaknya, sulit lingkungan kerja pelabuhan dan untuk kita bersikap hitam-putih. daerah (pasal 36) Sebagai tindak lanjutnya, setahun daerah lingkungan kepentingan Sebagian pihak masuk dari kemudian ditetapkan Perda No.10/ pelabuhan berdasar keputusan argumentasi dasar legal. Namun 2002 tentang Pajak atas Jasa Menteri Perhubungan dinyatakan dengan mengacu ke sana, antara yang kepelabuhan dan Perda No.11/2002 tidak berlaku di Kota Cilegon. pro dan kontra atas Perda itu samatentang Retribusi Jasa Kepelabuhan. sama memiliki level dan kekuatan Menyangkut pajak, obyek yang Ulasan dan Usulan yuridis yang sama. Kalau argumen pro Kehadiran Perda No.01 Thn 2001 ini mendasarkan diri pada UU No.22/99, dikenakan pungutan adalah fasilitas tambatan kapal dan fasilitas dermaga. telah memunculkan kontroversi dalam argumen kontra juga memiliki dasar Dasar pengenaan pajak adalah jumlah hubungan Jakarta dengan Cilegon. UU yakni UU No.21/92 yang sama pembayaran yang dilakukan kepada Mendagri telah dua kali mengeluarkan sampai hari ini efektif berlaku. penyelenggara pelabuhan, dengan surat keputusan menyangkut sikap Pendapat selama ini bahwa UU No.22/ tarif pajak ditetapkan sebesar 20%. pusat atas keberadaan Perda ini. Pada 99 adalah batu penjuru dan dasar bagi Sedangkan retribusi, obyek 18 januari 2002, melalui SK No.188.342/ UU sektoral yang lain adalah pendapat pungutannya adalah atas pemberian 186/SJ, Mendagri memerintahkan Wali yang berangkat dari sikap moral dan jasa labuh, jasa penundaan dan Kota Cilegon agar mengusulkan komitmen terhadap otonomi semata, pemanduan, serta pemberian pencabutan Perda itu kepada DPRD namun sejauh ini tidak satu pun sejumlah ijin. Penetapan struktur dan Kota Cilegon. Karena tak dindahkan, aturan yang menempatkan posisi besaran tarif dari retribusi perijinan lalu menyusul surat yang lebih tegas istimewa demikian bagi UU No.22/99. tertentu ini berdasar prinsip lagi pada tanggal 4 November 2003, SK Tampaknya, keyakinan bahwa UU memperoleh keuntungan yang layak Mendagri No.12 Thn 2003, yakni No.22/99 adalah batu penjuru menjadi sebagai pengganti investasi, biaya keputusan pembatalan final. Alasan alasan bagi Pemda Kota Cilegon untuk perawatan, biaya asuransi, dll, dan pembatalan ini karena Perda No.01/ mengambil alih kewenangan bertentangan dengan pengaturan, menutup sebagian/ seluruh biaya 2001 pengawasan dan kepentingan umum dan peraturan pengendalian pemberian ijin. kepelabuhan di Hal lain yang krusial dalam Perda perundangan yang lebih tinggi (UU wilayahnya, tanpa perlu peduli bahwa No.01/2001 adalah pada pasal-pasal N0.21/92, PP No.81/00, dan PP No.69/ UU No.21/92 masih mengatur sektor peralihan. Diantaranya diatur bahwa: 01). tersebut secara sentralistis. Bahkan Kehadiran Perda ini dan dalam PP No. 69 Thn 2001 masih (1) semua pelabuhan yang telah ada
16
menempatkan peran pusat secara masyarakat atas suatu urusan. dan para user-nya berjangkauan luas sentral. Misalnya, kalau dalam Perda membutuhkan kapasitas Namun di luar teori yang cen- dan No.01/2001 ditegaskan kewenangan derung memisahkan pusat-daerah itu, pengurusan yang tinggi sehingga pengaturan, pengawasan dan ada konsep jalan tengah yang pada kewenangan pengelolaannya ada pada pengendalian Pemda, pasal 11 PP ini urusan-urusan tertentu bisa dipakai. pusat (lewat BUMN PT Pelindo). justru menempatkan semuanya itu ke Bahwa dalam penyelenggaraan Namun, tentu lingkungan dan tangan Menteri Perhubungan; atau urusan-urusan tersebut diperlukan fasilitas pendukung pelabuhan kalau dalam Perda No.01/2001 adanya interkoneksi dan internasional itu juga terkait ditegaskan (interkoneksi) kewenangan dengan dampak Walikota dan lokal dan bisa P e m d a dita-ngani Cilegon atas d e n g a n lingkungan kapasitas terkerja dan batas, maka selingkungan baiknya diserahkepentingan kan ke daerah. pelabuhan, Fasilitas pendupasal 18 PP kung yang bisa ini justru diserahkan membagipengurusannya b a g i n y a kepada daerah, berdasarkan misalnya, jasa jenis pelabuhpemanduan an, di mana kapal, pajak daerah kabuparkir di lokasi paten/kota kepelabuhan, hanya berhak dan sebagainya. atas pelabuhPola pembagian an lokal dan kewenangan pelabuhan peyang mempernyeberangan hitungkan faftor dalam Kabu- Pusat dan Daerah - Dalam konteks negara kesatuan, konsep ini terasa cocok. Lalu lintas e k s t e r n a l i t a s , p a t e n / K o t a perdagangan barang dan jasa, misalnya, mestinya menjadi urusan bersama pusat dan daerah efisiensi dan bersangkutan. sehingga di setiap tempat terdapat standar pengaturan yang relatif sama. efektvitas, Yang jauh akuntabilitas lebih penting dan interkoneksi dari pada sekedar menganalisa apa interdependesi pusat daerah, karena ini juga bisa dipakai sebagai paramyang terjadi saat ini adalah, bagimana keterkaitan dan jangkaun dari urusan eter dalam pembagian pengurusan opsi jalan penyelsaian ke depan ? Di tersebut. Dalam konteks negara pelabuhan nasional, pelabuhan relevel pemerintahan mana tepatnya kesatuan, konsep ini terasa cocok. gional, dan pelabuhan lokal ke masingurusan kepelabuhan ini ditempatkan Lalu lintas perdagangan barang dan masing level pemerintahan tertentu. ? Berbagai pertanyaan ini membawa jasa, misalnya, mestinya menjadi kita kepada konsep distribusi urusan bersama pusat dan daerah Penutup Berbeda dari berbagai kajian Perda kewenangan dalam pengelolaan sehingga di setiap tempat terdapat urusan pemerintahan. Setiap standar pengaturan yang relatif sama. sebelumnya yang lebih mengupas isi pembagian kewenangan, apakah tetap Bagaimana halnya urusan aturan, tekanan perhatian dalam di pusat atau dilimpahkan ke daerah, kepelabuhan ? Kalau pusat dan daerah kajian edisi ini, yang terkait dengan perlu mengacu kepada sejumlah memahami bahwa esensi kewenangan tema besar evaluasi otonomi daerah, kriteria berikut: adalah pelayanan bagi kesejahteraan lebih kepada potret hubungan Æ Eksternalitas: menyangkut level masyarakat dan bukan kekuasaan kewenangan pusat daerah. Perda Kota pemerintahan mana yang terkena semata, maka kesediaan untuk Cilegon ini dipakai sebagai kasus yang dampak langsung dari pelaksanaan berbagi misi mulia itu akan amat baik untuk memotret arsitektur suatu urusan. memudahkan mereka menyepakati kewenangan pemerintahan dalam Æ Efisiensi dan Efektivitas: batas kewenangannya masing-masing konteks desentralisasi dan otonomi. menyangkut level pemerintahan mana dalam satu urusan. Menggabungkan Dari berbagai sisi lemah pelaksanaan yang—berdasarkan analisa cost-and faktor eksternalitas, efisiensi dan otonomi itu, pembagian kewenangan benefit (efisiensi) dan analisa efektivitas, akuntabilitas dan tuntutan adalah satu problem besar yang kapasitas (efektivitas)—yang bisa interkoneksi dan interdependesi di mencolok. Maka rencana perbaikan lebih berdaya guna dan berhasil guna atas, pola pembagian kewenangan UU No.22/1999 saat ini mesti pula menjalankan suatu urusan. yang pas adalah pada hirarki peran menuntaskan masalah tersebut.(ndi) Æ Akuntabilitas: menyangkut level dan fungsi pelabuhan. Pelabuhan pemerintahan mana yang paling pas internasional (utama primer), diminta pertanggunggugatan oleh misalnya, tentu dampak eksternalitas Photo courtesy from BATAM, Pearl of Indonesia © Bernadus Sendauw
17
SEGER A HADIR : SEGERA ARIK INVEST ASI PERINGK AT DA YA TTARIK PERINGKA DAY INVESTASI 200 K ABUP ATEN / K OT A DI INDONESIA KABUP ABUPA KOT OTA Melanjutkan dua penelitian terdahulu, untuk ketiga kalinya, tahun 2003 ini KPPOD kembali melakukan penelitian “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia.” Hal utama yang hendak dihasikan dari penelitian ini adalah peringkat daya tarik investasi Kabupaten/Kota, disamping juga untuk melihat permasalahanpermasalahan dalam pengembangan investasi di daerah-daerah yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini antara lain diharapkan dapat dijadikan panduan bagi para investor dalam membuat keputusan berinvestasi di suatu daerah, dan bagi pemerintah daerah dapat dijadikan masukan dalam perumusan strategi kebijakan pembangunan daerahnya khususnya dalam rangka mendorong perkembangan ekonomi dan aktivitas dunia usaha dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Jumlah daerah yang diperingkat bertambah dari 134 daerah kabupaten/ kota menjadi 200 daerah kabupaten/ kota. Faktor, Variabel, dan Indikator yang digunakan untuk pemeringkatan kali ini masih sama dengan pemeringkatan sebelumnya. Faktorfaktor utama yang digunakan untuk pemeringkatan tersebut yaitu, Faktor Kelembagaan, Faktor Sosial Politik, Faktor Ekonomi Daerah, dan Faktor Infrastruktur, yang dijabarkan kembali dalam 17 variabel dan 52 indikator. Sama seperti penelitian pada tahun sebelumnya, bersamaan dengan pemeringkatan ini juga dilakukan penelitian lapangan mengenai “Iklim Investasi Sektor-Sektor Usaha Tertentu” di 20 Daerah Kabupaten / Kota, yang tersebar di 16 Propinsi. Ada 7 (tujuh) sektor yang menjadi obyek penelian lapangan tersebut yaitu, sektor, kehutanan, perkebunan, pertanian pangan, perdagangan jasa, industri, perikanan, dan pertambangan. Disamping studi sektoral, juga dilakukan terhadap
18
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Daerah Otorita Batam. Penelitian lapangan mengenai iklim investasi sektoral ini dimaksudkan untuk melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh investasi untuk sektorsektor yang bersangkutan. Untuk melakukan penelitian lapangan tersebut melibatkan 20 orang peneliti lapangan yang sudah berpengalaman dalam melakukan berbagai penelitian. Mereka berasal dari berbagai Universitas dan Lembaga Penelitian di daerah yang bersangkutan dan beberapa diantaranya berasal dari Universitas dan Lembaga Penelitian dari Jakarta. Sebelum turun lapangan, pada tanggal, 13-14 Agustus 2003, bertempat di Hotel Mercure, Slipi, Jakarta Barat dilakukan pertemuan antara Tim peneliti KPPOD dengan 20 Area Researcher. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk koordinasi dan penjelasan mengenai design penelitian, seperti rancangan penelitian, metode yang digunakan, dan hal-hal lainnya, sebelum Area Researcher turun lapangan. Beberapa hari setelah dilakukan pertemuan koordinasi di Jakarta, para Area Researcher menyebar ke dua puluh daerah penelitian turun lapangan dan melakukan penelitian sektoral dan untuk rating keperluan penelitian rating. Selama proses penelitian lapangan tersebut Tim Peneliti dari KPPOD juga ikut serta ke tiap-tiap daerah untuk mendampingi dan berkoordinasi dengan para Area Researcher. Yang menjadi nara sumber untuk penelitian sektoral dan rating ini antara lain dari kalangan dunia usaha di daerah, unsur LSM, Perguruan Tinggi di Daerah, kalangan eksekutif dan legislatif daerah yang bersangkutan. Untuk penelitian sektoral ini berakhir pada tanggal 30 Oktober 2003. Sementara penyebaran kuesioner untuk pemeringkatan 225 daerah dilakukan mulai awal bulan Agustus
2003. Penyebaran kuesioner tersebut melibatkan interviewer dari berbagai daerah. Mereka ini merupakan jejaring KPPOD di daerah maupun partner para Area Researcher di daerah. Para interviewer ini terdiri dari dosen, mahasiswa, LSM, dan lembaga penelitian yang ada di daerah, semuanya berjumlah kira-kira 180 interviwer, untuk 200 daerah. Untuk penjelasan teknis dilakukan oleh para Area Researcher maupun oleh tim peneliti KPPOD. Dari 225 daerah yang direncanakan untuk dilakukan rating, 23 daerah diantaranya tidak ada partner lokal sebagai inter viewer. Untuk penyebaran kuesioner di 23 daerah tersebut dilakukan dengan mailing quesioner ke para pelaku usaha yang ada di daerah tersebut. Secara keseluruhan kuesioner yang berhasil diisi oleh responden dunia usaha untuk setiap daerah pemeringkatan berjumlah antara 30 sampai dengan 40 kuesioner. Sehingga untuk 225 200 daerah kurang lebih ada 6000 kuesioner. Tidak seluruh kuesioner yang disebar tersebut kembali secara bersamaan, sehingga untuk proses input data dan pengolahan data agar tidak terlalu memakan waktu banyak kuesionerkuesioner yang telah terisi oleh para pelaku usaha di input secara paralel bersamaan dengan turun lapangan. Hingga saat ini proses pengolahan data masih terus berlangsung. Pada tanggal, 13-14 November 2003 kembali dilakukan pertemuan ke-20 Area Researcher dan tim peneliti KPPOD untuk presentasi hasil temuan lapangan mengenai Iklim Investasi Sektoral. Pada pertemuan tersebut juga dimaksudkan untuk sistesa hasil temuan lapangan untuk melihat pola-pola iklim investasi di setiap sektor. Peringkat Daya Tarik Investasi 200 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2003 secara keseluruhan kita tunggu hasilnya pada awal Januari 2003. (git)
KILAS KEGIATAN PEMERINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI 200 KABUPATEN / KOTA DI INDONESIA
dok. kppod
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan, Sudjai Kartasasmita dan Pengusaha Perikanan Sutara Martadisastra memberikan masukan ke Tim Peneliti KPPOD.
dok. kppod
Pembahasan desain penelitian dan kuesioner oleh tim peneliti KPPOD.
dok. kppod
Wawancara dengan pengusaha daerah yang juga Ketua Kadin Kab. Bima.
dok. kppod
Wawancara dengan Sekda Kab. Tebo Jambi sebagai wakil dari unsur pemerintah daerah.
dok. kppod
Tim Peneliti melakukan “cleaning” kuesioner jawaban responden.
dok. kppod
Presentasi para koordinator peneliti daerah untuk sintesis penelitian.
19
DPR Setujui 24 Kabupaten baru DPR akhirnya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan 24 Kabupaten baru di 13 Provinsi menjadi Undang-Undang. Wakil Ketua DPR Soetardjo Surjoguritno yang memimpin rapat paripurna itu menyatakan seluruh fraksi sepakat menerima draft ke-13 RUU yang telah dibahas sebelumnya oleh Komisi II dan Depdagri itu. Kedua puluh empat kabupaten baru tersebut adalah Kab. Kolaka Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Bombana, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Lingga, Kab. Tojo Una-Una, Kab. Melawai, Kab. Sekadau, Kab. Minahasa Utara, Kab. Supiori, Kab. Samosir, Kab. Serdang Bedagai, Kab. Oku Timur, Kab. Dharmasraya, Kab. Pasaman Barat, Kab. Solok Selatan, Kab. Lebong, Kab. Kepahiang, Kab. Kepulauan Aru, Kab. Seram bagian Barat, Kab. Seram bagian Timur, dan Kab. Bener Meriah di Nanggroe Aceh Darussalam. (Bisnis Indonesia)
Sumbangan Pihak Ketiga Propinsi Kaltim dan Pemkot Bontang Pupuk Kalimantan Timur (PKT) tidak mau dijadikan memenuhi permintaan sumbangan dari pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Kota Bontang yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Dua Perda itu masingmasing Perda Pemprop Kalimantan Timur No. 2 Tahun 1999 dan Perda Pemkot Bontang No. 25 Tahun 2002 tentang Sumbangan Pihak Ketiga “dianggap” memeras karena mengatur permintaan sumbangan kepada PKT masing-masing Rp 1.000 per zak pupuk yang dihasilkan oleh pabrik pupuk yang berlokasi di Kota Bontang itu. Direktur Utama PKT Omay K. Wiraatamadja mengatakan jika perda itu dipenuhi maka akan mengganggu keuangan PKT dan hal itu telah disetujui oleh Kementrian BUMN sebagai pemegang saham PKT dengan mengirimkan surat tembusan ke pemerintah dan DPRD Kalimantan Timur dan Pemkot Bontang. Sementara itu, Wali Kota Bontang, Sofyan Hasdam, dihubungi di Bontang Rabu (3/12) mengatakan, daerah lebih banyak menanggung kerugian seperti masalah lingkungan akibat kegiatan perusahaan yang ada di daerah. Selain itu menurut Sofyan, “ Selama ini kontribusi dalam bentuk community development dikelola oleh perusahaan sendiri. Dengan masuk ke APBD, pemerintah daerah bisa mengelola dana itu sendiri untuk kepentingan masyarakat”. (Kompas)
Akhir Kemelut Pilkada Karanganyar
Mendagri Perintahkan Lantik Bupati Terpilih Menteri Dalam Negeri memerintahkan Gubernur Jawa Tengah segera melantik Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Rina Iriani Sri Ratnaningsih dan Sri Sadoyo Hardjomiguno. Dalam kawat Mendagri No T130.33/1689/OTDA, Mendagri menyatakan pilkada yang dimenangkan oleh Bupati dan Wakil Bupati terpilih sah sesuai dengan perundang-undangan dan tuduhan adanya politik uang ternyata tidak terbukti. Namun demikan sejumlah anggota DPRD menyatakan menolak SK Mendagri tersebut dan memilih untuk melakukan pemilihan ulang. Dalam Rapat Paripurna Khusus yang digelar DPRD Karanganyar Jumat (5/12) guna menanggapi surat keputusan Mendagri tersebut, DPRD Karanganyar memilih untuk tetap melakukan pemilihan ulang.(Kompas)
Medan Tetap Berlakukan Parkir Rp. 7.500 per Jam Pemkot Medan tetap bersikukuh menjalankan Perda Perparkiran dengan tarif Rp. 7.500 per jam pada enam ruas jalan utama di Medan, walaupun protes dari warga mengalir deras. Wakil Wali Kota Medan, Maulana Pohan mengatakan tujuan memberlakukan tarif parkir sebesar itu telah mendapatkan persetujuan dari DPRD Medan. Menurut dia, kalau ketentuan itu sudah dalam bentuk peraturan (Perda) tidak ada alasan bagi Pemkot Medan untuk menunda pelaksanaannya. Pemkot dan DPRD Medan sudah menyetujui penetapan tarif parkir di enam ruas jalan di Medan Rp 7.500 per jam dan tambahan Rp 2.500 pada jam berikutnya. Ke-6 ruas jalan yang dikenakan tarif parkir sebesar itu adalah Jl. Sutomo, Jl. Ahmad Yani, Jl. Thamrin, Jl. KS. Tubun, Jl. Pandu, dan Jl. Cirebon. Dasar pengenaan tarif parkir yang besar itu menurut Maulana adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas yang sudah sangat mengganggu.(Kompas)
Semarang Terapkan Standar Pelayanan Pemkot Semarang menerapkan standar pelayanan minimal (SPM) mulai awal 2004 menyangkut pelayanan umum dan hubungan kerja antarinstansi. Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Semarang mengatakan, saat ini seluruh instansi di wilayahnya baik dinas maupun kantor wajib membuat SPM untuk memudahkan masyarakat sekaligus memberikan kepastian biaya dan waktu penyelesaian pelayanan. Untuk mengoptimalkan penerapan SPM, pihak Pemkot Semarang akan bekerja sama dengan PT Telkom untuk membuka saluran telepon bebas pulsa bagi masyarakat. (Bisnis Indonesia)
20
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.