Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
Dr Hefni Effendi MPhil Dosen IPB dan Dosen Tamu di Universitas Duesseldorf, Jerman
Istilah pedagogik secara etimologi berasal dari kata Yunani paidagogeo. Secara harfiah diartikan membimbing anak. Dalam perkembangannya pedagogik berkaitan dengan strategi mengajar. Ada kalangan berpendapat pedagogik diperlukan untuk pendidikan dasar dan menengah karena proses pembelajarannya membutuhkan metodologi yang terstruktur dan josu.
Lain halnya dengan pendidikan tinggi yang mahasiswanya berumur di atas 17 tahun. Metode pembelajaran orang dewasa (andragogik), yang bermuara pada penumbuhkembangan kemampuan bernalar, kreatif, kritis, dan independen, kiranya lebih cocok. Bahkan, di Jerman mahasiswa pascasarjana tidak lagi diistilahi student melainkan mitarbeiter, yakni orang yang ikut bekerja di universitas untuk bersama-sama menggali kekayaan, kedalaman, dan keunikan khazanah ilmu.
Pada 2008 ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mencanangkan akan menyertifikasi 12 ribu dosen yang akan dimulai pada Agustus. Sertifikasi ini sebagai pewujudnyataan Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 45 bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani.
1/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
Sertifikasi yang berujung pada penganugerahan sertifikat ini bertujuan menilai profesionalisme dosen. Dosen yang kompeten melaksanakan tugasnya adalah dosen yang memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial yang diperlukan dalam praktik pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemerintah menyediakan berbagai tunjangan serta maslahat, sebagai penghargaan atas profesionalisme dosen.
Salah satu kriteria yang diacu dalam sertifikasi adalah penguasaan pedagogik. Penguasaan pedagogik secara teoritik kiranya akan menjadi titik lemah dari hampir semua dosen karena memang proses rekrutmen dosen tak mencantumkan adanya kriteria penguasaan pedagogik, kecuali mungkin untuk dosen di universitas yang dulunya IKIP atau di Fakultas Pendidikan dan Keguruan.
Untuk menjadi dosen di sebagian besar perguruan tinggi semata-mata hanya dinilai dari kemampuan akademik yang diejawantahkan melalui indeks prestasi. Setelah itu maka jadilah si calon dosen tersebut mengajar, membimbing, meneliti, dan melakukan pengabdian pada masyarakat.
Selama berkarya sebagai dosen, barangkali pernah ikut pelatihan yang terkait dengan pedagogic, seperti Akta V, pekerti (Pelatihan Keterampilan Teknologi Instruksional) dan AA (Ap plied Approach ). Tapi, hanya segelintir dosen yang ikut program tersebut.
2/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
Di sinilah akan terjadi penilaian semu karena menyertifikasi aplikasi metodologi pengajaran yang sebelumnya tak pernah secara formal dipelajari. Kalau dosen berkemampuan pedagogik baik, itu karena talenta dan intuisi sebagai pendidik.
Adapun kompetensi pedagogik yang harus dikuasai meliputi kemampuan merancang pembelajaran, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan menilai proses dan hasil pembelajaran, kemampuan memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sekiranya dosen yang akan disertifikasi diharuskan mengikuti pelatihan pedagogik dulu, mungkin kendala ini akan tereduksi.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen, disebutkan bahwa dosen yang akan disertifikasi minimal berkualifikasi magister, pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya dua tahun, dan memiliki jabatan akademik minimal asisten ahli. Di antara 56.176 dosen di 82 perguruan tinggi negeri (PTN), 13,6 persen bergelar doktor, 48,9 persen bergelar magister, 37 persen sarjana, dan 0,37 persen diploma.
Secara keseluruhan terdapat 156.474 dosen yang tersebar di 2.869 PTN dan perguruan tinggi swasta. Profesor sesuai dengan kemumpunian ilmunya tak perlu disertifikasi lagi sudah dianggap kompeten sehingga 2.500 profesor mendapat kehormatan pertama menikmati keistimewaan dari adanya program sertifikasi ini dengan tambahan satu bulan gaji setiap bulan mulai Januari 2008.
3/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
Bagi dosen yang bergelar magister dan doktor harus sabar, tunggu giliran disertifikasi dan urutan siapa yang didahulukan juga belum diatur, apakah asisten ahli, lektor, atau lektor kepala. Sebaliknya bagi dosen yang hanya bergelar sarjana, terpaksa gigit jari karena tak terpilih dalam program sertifikasi dosen ini.
Bagi dosen junior, ini akan jadi pemantik untuk studi lanjut ke jenjang magister dan doktor. Bagi dosen senior yang sudah mengabdi bertahun-tahun dan memiliki kedalaman dan juga berwawasan keilmuan cukup luas, hanya menjadi penonton. Ini tentu akan menyentuh rasa keadilan.
Unsur yang dinilai dalam sertifikasi mencakup penilaian empirical, yakni berupa bukti yang terkait dengan kualifikasi akademik dan angka kredit dosen sesuai Surat Keputusan Menkowasbangpan No 38 Tahun 1999. Penilaian persepsional adalah penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri, mahasiswa, teman sejawat, dan atasan, terhadap empat kompetensi dosen (pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian).
Penilaian personal adalah pernyataan dari dosen tentang prestasi dan kontribusi yang telah diberikannya dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi. Ketiga komponen penilaian ini disatukan dalam suatu berkas dokumen yang disebut portofolio dosen.
Untuk penilaian empirik tak perlu dikhawatirkan karena ada bukti autentiknya. Hal yang rawan subjektivitas adalah penilaian persepsional dan personal yang tolok ukur penilaiannya berbasis
4/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
semantic differential , yaitu 1 (sangat tidak baik/sangat rendah/tidak pernah), 2 (tidak baik/rendah/jarang), 3 (biasa/cukup/kadang-kadang), 4 (baik/tinggi/sering), dan 5 (sangat baik/sangat tinggi/selalu).
Penilaian persepsional dan personal yang dilakukan oleh mahasiswa, teman sejawat, atasan, dan diri sendiri adalah semacam pengawasan melekat dari orang-orang yang terkait langsung di sekitar dosen tersebut. Penilaian oleh mahasiswa bisa bias jika mahasiswa tersebut misalnya membandingkan fasilitas pengajaran di kampusnya yang dipakai oleh dosen yang disertifikasi dengan fasilitas di kampus lain yang lebih baik.
Juga bisa bias seandainya mahasiswa tersebut pernah mengambil mata kuliah sebelumnya yang diampu oleh dosen yang disertifikasi dan mendapat nilai jelek sehingga barangkali mahasiswa itu akan memainkan subjektivitasnya dalam memberikan skor.
Sumber bias dari penilaian atasan berupa subjektivitas dapat dikesampingkan, sesuai dengan tugas atasan yang membina dan mengayomi anak buahnya. Bias lainnya bisa muncul dari penilaian teman sejawat yang mungkin senang melihat orang susah dan sebaliknya, atau konflik personal lainnya. Penilaian dari lima orang mahasiswa dan tiga teman sejawat yang dirahasiakan ini akan dirata-rata. Tetapi, jika ada pencilan penilaian yang sangat berbeda dari yang lain, apakah perlu dieliminir atau tetap dirata-rata?
Lembar deskripsi diri juga disinyalir bisa menjadi bias karena bisa saja mencantumkan sesuatu
5/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
yang tidak dilakukan. Di dalam sertifikasi ini aspek kejujuran yang menjadi ukuran integritas seorang dosen juga secara tak langsung diujikan pada pengisian lembar deskripsi ini.
Pada UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 52 dinyatakan ada tunjangan selain gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, yaitu tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan kehormatan, tunjangan khusus, dan tunjangan lain-lain. Tunjangan tersebut tidak cuma-cuma, tapi diberikan berbasis kinerja profesionalisme yang salah satunya melalui unjuk kerja pada sertifikasi ini. Bagi perguruan tinggi badan hukum milik negara, tunjangan lain-lain tersebut seyogyanya akan lebih bervariasi lagi.
Upaya pemerintah untuk membenahi kualitas pendidikan melalui sertifikasi dosen, akreditasi program studi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN), dan sebagainya perlu diapresiasi dan disokong oleh segenap civitas akademika. Perbaikan kesejahteraan dosen berbasis kinerja ini diperkirakan akan lebih baik hasilnya daripada hanya meningkatkan gaji dosen tanpa ada tuntutan konkret peningkatan kompetensi dan profesionalisme yang barometernya bisa diukur.
Perbaikan kesejahteraan ini diharapkan dapat menguniversitaskan kembali dosen-dosen yang selama ini berkiprah di luar, bukan di jalur akademik, agar kembali ke core competence-nya sebagai dosen yang profesional, mumpuni di bidangnya, dan berbudi luhur.
Ikhtisar: - Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan penilaian menjadi subjektif.
6/7
Subjektivitas dalam Sertifikasi Dosen
- Sertifikasi tersebut tetap memberikan manfaat.
7/7