2
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan unit gawat darurat. Tenaga keperawatan merupakan posisi yang penting pada rumah sakit karena berada pada baris terdepan karena melakukan kontak langsung dalam memberikan pelayanan pada pasien. Tenaga keperawatan yang biasa disebut dengan perawat didefinisikan sebagai pekerjaan yang memiliki kemampuan dan wewenang keperawatan
(Undang-Undang
Kesehatan
dalam
RI,
melakukan tindakan
1992).
Bentuk
tindakan
keperawatan terukur melalui kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat itu sendiri. Perawat dengan pemberian pelayanan tanpa henti selama 24 jam rentan terkena stres kerja berupa konflik dengan dokter, diskriminasi antar tenaga medis, beban kerja yang tinggi, menghadapi pasien dan kematian pasien, serta protes dari keluarga pasien (Mark & Smith, 2011). Rachmawati (2007) memaparkan bahwa Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melakukan survei untuk mengukur tingkat stres kerja pada perawat. Hasilnya yaitu ditemukan bahwa sebanyak 50,9% perawat mengalami stres di tempat kerja. Stres kerja yang dialami oleh perawat ditandai dengan perasaan mudah pusing, lelah, perawat kurang ramah, kurang istirahat sebagai akibat dari beban kerja yang terlalu tinggi dan penghasilan yang kurang memadai. Perawat dengan beban kerja yang tinggi akan menyebabkan stres dan rentan terhadap burnout. Penelitian mengenai burnout di Indonesia telah banyak dilakukan salah satunya dilakukan oleh Yulihastin (2009) yang mengkaji burnout yang terjadi pada perawat. Hasilnya yaitu pasien sering mengeluh akan penyakitnya, hal ini yang membuat perawat mengalami kelelahan. Tidak hanya dari sisi pasien saja yang
3
dapat membuat perawat mengalami kelelahan fisik, emosi dan juga mental tetapi dari sisi keluarga pasien yang banyak menuntut dan complain, rekan kerja yang tidak sejalan dan dokter yang cenderung arogan. Hal ini dapat menyebabkan perawat mengalami stres. Permasalahan yang terjadi perawat telah banyak terungkap dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Permasalahan yang terjadi di berbagai rumah sakit juga terjadi pada salah satu rumah sakit di Yogyakarta yaitu rumah sakit X. Hasil pengambilan data awal yang di lakukan dengan wawancara dan focus group discussion pada perawat di rumah sakit X Yogyakarta, didapatkan bahwa perawat merasa beban kerjanya tinggi karena harus mengerjakan beberapa tugas selain tindakan keperawatan itu sendiri. Perawat di rumah sakit X melakukan tindakan lainya seperti administratif, cleaning service dan Clinical Instructure secara bersamaan dengan tindakan keperawatan. Hal ini tentunya menyebabkan beban kerja perawat bertambah. “karena kita di sini ngga cuma keperawatan aja, kadang kita di sini dipilih jadi CI (clinical instructure), di sini ada juga yang administrasi, kalau d rumah sakit lain ya ngga ada kaya gitu. Saya juga bantu di poli jantung, kalau ada pasien treadmill itu saya juga yang nangani.” (R5, W1, P4, L17) “masih rancu ya manajemen di sini karena kami harus eee administrasi juga masih perawat, jadi semua difokuskan pada perawat jadi semua tanggung jawab dipikulkan ke perawat. Yang membuat rincian jam itu kami, kalau ada trouble antar dokter juga kamilah yang harus menengahi.” (R4, W1, P2, L18) “Kita itu kan sebenernya membersihkan ruangan itu bukan tugas pokok kita, nanti kalo kita bersihin ruangan malah tugas pokok kita itu ga selesai mbak tapi kalo kitaga bersihin ya nanti kena juga. Makanya perawat di sini itu serba bisa. Selain itu mbak rincian pasien yg mau pulang itu kita juga yg melakukan rincian mbak. Kalo di RS lain kan urusan administrasi sudah ada bagian lain mbak. Lah kalo di sini itu kita juga mbak yg handle.” (R7, W1, P10, L18)
4
Permasalahan yang dihadapi perawat tidak hanya berasal dari satu sumber saja. Hal ini mengingat bahwa pekerjaan perawat sendiri merupakan pelayanan yang menyangkut kepuasan pasien, dan juga hubungan dengan tenaga medis lainnya. Data lain yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu perawat pada rumah sakit X mengungkapkan bahwa mereka juga kerap mendapatkan complain dari keluarga pasien dan permasalahan dengan tenaga medis selain perawat. “Ya manusiawi ya, udah capek-capek pasiennya ga cuman itu, tapi ngeyel juga yauda saya diem aja. Orang ngga senyum itu juga di complain. Banyak mba di sini itu kan kelas 3 pendidikannya tingkat bawah jadi banyak yang seperti itu. Terserah aja ya tapi ya kalau udah tua-tua ya biarin aja” (R5, W1, P2, L24) “Ya kadang itu mbak kena marah. Trus kan telpon di sini itu tersentral jadi gabisa seenaknya telpon keluar gitu. Lah kadang itu telponnya rusak jadi ya harus pake pulsa pribadi gitu mbak” (R7, W1, P10, L5) “Ya dimarahin dokter mbak tapi dokter di sini itu ga sampe yg gimana gitu sih mbak kan mereka juga ga bisa kalo ga ada kita. Tapi ya ada sih dokter yg marahin kita di depan pasien gitu rasanya itu sakit hati gitu mbak kan pasiennya jadi merasa tidak percaya sama kita. Ya harga diri kita ini dijatuhkan di depan pasien dan keluarga” (R7, W1, P10, L9)
Brooks (2001) mengungkapkan bahwa adanya stres kerja, burnout, penurunan kualitas
pelayanan
dan
produktivitas
yang
dialami
perawat
merupakan indikasi bahwa pihak rumah sakit kurang memperhatikan quality of work life (QWL) dari perawat. Robbins (dalam Brooks, 2001) mendefinisikan QWL sebagai suatu proses dimana suatu organisasi merespon kebutuhan karyawan dengan mengembangkan mekanisme yang memungkinkan mereka untuk lebih terlibat dengan cara meningkatkan partisipasi dalam membuat keputusan untuk membangun kehidupan mereka di tempat kerja. QWL juga
5
diartikan oleh Cascio (1998) dengan dua arti yang berbeda. QWL dapat dipandang sebagai kondisi aktual organisasi dalam penerapannya mengenai kebijakan
perusahaan
tentang
pengembangan
karir,
pengawasan
yang
demokratis, job involvement, dan kondisi kerja yang aman. Arti kedua yaitu, membandingkan QWL dengan persepsi karyawan mengenai kepuasannya, keamanannya dan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang. QWL juga menyangkut kesempatan karyawan dalam memutuskan hal-hal terkait pekerjaan mereka seperti desain tempat kerja dan apa yang dibutuhkan agar mampu memberikan pelayanan terbaik. QWL
lebih
lanjut
dikembangkan
dengan
memperhatikan
konteks
pekerjaan. QWL dengan konteks pekerjaan perawat dikembangkan oleh O’ Brien Pallas dan Baumann (1992); Attridge dan Callahan (1990); dan Villeneuve, Semogas, Peereboom, Irviene, McGillis dan Walsh (1995). QWL pada konteks perawat atau disebut dengan quality of nurse work life (QNWL) atau kualitas kehidupan kerja perawat. Landasan untuk mengembangkan QWL dalam konteks pekerjaan perawat yaitu pada pengembangan skala QWL yang umum oleh Levine, Taylor dan Davis (1984) seluruh subjek yang digunakan untuk pembuatan alat ukur tersebut tidak ada yang berprofesi sebagai perawat. Oleh karena itu, Brooks (2001) mengembangkan alat ukur QWL dalam konteks perawat. Penelitian Brooks (2001) mengkaji penelitian sebelumnya mengenai QNWL yaitu mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi QNWL perawat seperti faktor internal pada rumah sakit dan juga faktor eksternal dari luar rumah sakit itu sendiri juga berpengaruh pada kualitas kehidupan kerja perawat. Brooks (2001) mendefinisikan QNWL sebagai tingkat kepuasan perawat
6
untuk memuaskan kebutuhan personal melalui pengalaman kerjanya di organisasi dengan secara bersamaan mencapai tujuan organisasi. Penjelasan mengenai definisi QWL dan QNWL di atas, peneliti menyimpulkan bahwa QWL lebih menekankan pada modifikasi lingkungan internal organisasi agar karyawan mempersepsikan bahwa organisasi membantu untuk memenuhi kebutuhannya melalui pengalaman yang didapatkannya tanpa mempertimbangkan faktor eksternal di luar lingkungan organisasi. Berbeda dengan QNWL, QNWL sendiri tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan personal karyawan melalui pengalaman bekerjanya, namun menekankan juga pada tercapainya tujuan organisasi melalui produktivitas karyawan dengan mempertimbangkan pengaruh faktor eksternal organisasi. Kesimpulan tersebut mengacu pada teori Brooks (2001) yang mendefinisikan QNWL sebagai persepsi perawat dalam memenuhi dan memuaskan kebutuhannya sehingga mampu untuk produktif dan mencapai tujuan organisasi yaitu dengan memberikan kualitas pelayanan yang tinggi pada pasien. Brooks (2001) memaparkan bahwa QNWL terdiri dari 4 dimensi yaitu work life/home life, work design, work context, dan work world. Work life/home life didefinisikan sebagai pertemuan peran antara kehidupan kerja sebagai perawat dan kehidupan di rumah. Work design didefinisikan sebagai komposisi pekerjaan perawat dan menjelaskan tentang pekerjaan perawat. Work context menjelaskan mengenai konteks pekerjaan dimana perawat bekerja dan mengeksplorasi pengaruh dari sistem lingkungan kerja baik terhadap perawat maupun pasien. Work world didefinisikan sebagai pengaruh lingkungan sosial dan perubahan pada dunia keperawatan.
7
Pentingnya QWL dalam konteks pelayanan kesehatan terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Almalki, FitzGerald dan Clark (2012) yang menemukan bahwa kebanyakan perawat memiliki QWL yang rendah karena tidak adanya retensi dari pihak rumah sakit. Padahal dengan memperhatikan QWL para perawat maka ada beberapa keuntungan yang didapat oleh rumah sakit, yaitu rendahnya tingkat turnover (Chan & Morrison, 2000; Sofield & Salmond,
2003),
pengingkatan
pelayanan
kesehatan
(Cabiago,
2009),
meningkatnya kepuasan kerja, produktivitas, peningkatan kompetensi dan kinerja (Chen, Chu, Wang & Lin, 2008; Finn, 2001) dan komitmen (Vagharseyyedin, Vanaki, dan Mohammadi, 2011). Beberapa penelitian dilakukan untuk mengkaji variabel-variabel yang menjadi prediktor dari QNWL. Vagharseyyedin, dkk., (2011) melakukan kajian literatur dan merangkum penelitian-penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi QNWL. Hasilnya yaitu terdapat enam tema besar yang menjadi prediktor dari QNWL yaitu kepemimpinan dan gaya manajemen atau rentang pengambilan keputusan, shift kerja, gaji dan tunjangan, hubungan dengan rekan kerja, karakteristik demografi dan beban kerja atau tekanan kerja. Berdasarkan enam tema besar dari penelitian Vagharseyyedin, dkk., (2011), didapatkan bahwa kepemimpinan dan gaya manajemen merupakan penelitian yang banyak dilakukan yaitu sebanyak 16 penelitian yang mendukung untuk peningkatan QNWL. Akan tetapi penelitian yang berfokus menguji kepemimpinan sebagai prediktor dari QNWL hanya terdapat 9 penelitian yaitu dilakukan oleh Beaudoin dan Edgar, (2003); Bediako, (2002); Brooks & Anderson, (2004); Dargahi dan Yazdi (2007), Dolan, Garcia, Cabezas, & Tzafrir, (2008); Gifford, Zammuto & Goodman, (2002); Hsu & Kernohan, (2006); Krueger, Lohfeld,
8
Edward, Lewis & Tjam, (2002); Lewis, Brazil, Krueger, Lohfeld & Tjam, (2001) dan Smith, Hood dan Piland (2008). Kepemimpinan yang dimaksudkan yaitu tidak secara spesifik membahas gaya kepemimpinan apa yang cocok untuk meningkatkan QNWL. Akan tetapi lebih kepada peran pemimpin dalam membangun relasi dengan perawat dengan memberikan motivasi, pemberian rekognisi yang dilakukan langsung oleh pemimpin
akan
meningkatkan
QNWL.
Penelitian
terbaru
mengenai
kepemimpinan yang meningkatkan QWL dilakukan oleh Gillet, Fouquereau, Bonnaud-Antignac, Mokounkolo dan Colombat (2013) yang mengkaji lebih spesifik mengenai gaya kepemimpinan transformasional berkontribusi dalam peningkatan QNWL. Lain halnya dengan Datta (2015), pada penelitiannya dikaji gaya kepemimpinan autentik dalam meningkatkan QWL karyawan. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut yaitu bahwa gaya kepemimpinan autentik dapat meningkatkan QWL secara signifikan dengan sumbangan efektif sebesar 77,3%. Kepemimpinan autentik meningkatkan kepercayaan diri bawahan dan kemampuan mereka sehingga akan membantu meningkatkan QWL bawahan. Perbedaan penelitian Gillet, dkk., (2013) dan Datta (2015) yaitu subjek penelitian yang dilakukan oleh Gillet dan rekan-rekannya merupakan perawat sedangkan subjek penelitian yang dilakukan oleh Datta adalah pegawai kantoran. Peran kepemimpinan autentik yang cukup besar pada peningkatan QWL pada pegawai kantoran, menyebabkan peneliti ingin lebih lanjut meneliti peran kepemimpinan autentik itu sendiri pada peningkatan kualitas kehidupan kerja perawat. Kepemimpinan autentik didefinisikan oleh Avolio, Gardner, Walumbwa, Luthans dan May (2004) sebagai kepemimpinan yang menerapkan nilai-nilai positif pada dirinya sebagai dasar acuan dalam berperilaku. Pemimpin yang
9
autentik memiliki konsep diri dan identifikasi diri yang kuat, jelas, stabil dan konsisten. Luthans dan Avolio (2003) menekankan bahwa kepemimpinan autentik diarahkan oleh nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga pemimpin berperilaku sesuai dengan apa yang benar dan apa yang adil bagi dirinya dan bagi bawahannya. Kepemimpinan autentik didefinisikan oleh Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing dan Peterson (2008) sebagai pola perilaku pemimpin yang digambarkan dan menekankan kapasitas psikologis positif dan iklim positif untuk meningkatkan self-awareness yang tinggi, internalisasi perspektif moral, keseimbangan dalam proses informasi dan hubungan yang transparan sebagai bagian dari pemimpin yang bekerja dengan bawahannya dan mengembangkan pengembangan diri yang positif. Berdasarkan pemaparan mengenai definisi kepemimpinan autentik, peneliti mengacu pada definisi dari Walumbwa, dkk., (2008) yaitu kepemimpinan autentik merupakan kepemimpinan yang dalam berperilaku sesuai dengan nilainilai positif yang ada pada diri pemimpin, keterbukaan dalam menjalin relasi dengan bawahannya, pengambilan keputusan yang objektif dan sesuai dengan standar moral dirinya sehingga ketika bekerja akan dapat mengembangkan pengembangan diri yang positif. Walumbwa, dkk., (2008) mengungkapkan bahwa kepemimpinan autentik memiliki 4 karakteristik yaitu self-awareness, relational transparency, internalized moral perspective and balanced processing. Self-awareness merupakan pemimpin yang dapat memahami kekuatan, motivasi dan kelemahannya dan bagaimana orang lain melihat kepemimpinannya. Relational transparency yaitu perilaku pemimpin yang bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan melalui kedekatan yang dicirikan dengan bertukar informasi secara terbuka dan
10
pemimpin mengekspresikan pemikiran dan perasaannya secara terbuka. Internalized moral perspective merupakan perilaku pemimpin yang dipandu oleh standar moral internal pemimpin itu sendiri. Balanced processing yaitu perilaku pemimpin yang mengacu pada objektivitas dalam menganalisis seluruh data terkait sebelum mengambil keputusan. Penerapan kepemimpinan autentik terbukti secara empirik melalui beberapa penelitian dalam menumbuhkan aspek positif pada karyawan. Luthans dan Avolio (2005) memaparkan bahwa pemimpin autentik menghargai perbedaan yang ada pada setiap individu karyawannya dan berfokus pada pengembangan pada kekuatan yang dimiliki oleh karyawan. Pengembangan karyawan berdasarkan kekuatan yang dimiliki oleh karyawan telah banyak mendapatkan respon positif dari karyawan itu sendiri. Gallup Organization (dalam Snyder & Lopez, 2007) menyatakan bahwa pengembangan karyawan sebaiknya difokuskan pada pembangunan aset yang dimiliki oleh karyawan itu sendiri. Gallup kemudian melakukan survei mengenai pengembangan kekuatan yang dimiliki oleh karyawan yang dilakukan secara online. Hasilnya yaitu 60% dari total 459 karyawan yang mengikuti survei tersebut menyatakan bahwa karyawan yang mempelajari kekuatan yang dimiliki akan membantu untuk lebih produktif dan percaya diri. Kekuatan yang dimiliki oleh karyawan dan dapat dikembangkan oleh pemimpin dapat berupa karakter positif pada karyawan (Linley & Joseph, 2004). Salah satu karakter positif tersebut yaitu grit. Grit didefinisikan oleh Duckworth, Peterson, Matthews dan Kelly (2007) sebagai ketekunan (perseverance) dan keinginan yang kuat dalam pencapaian tujuan akhir meskipun dengan banyaknya tantangan. Eskreis-Winkler, Shulman, Beal, dan Duckworth (2014) menguji
11
secara empirik dalam 4 konteks penelitiannya mengenai grit. Eskreis-Winkler, dkk., (2014) meneliti grit pada konteks militer, pernikahan, sekolah dan karyawan sales. Hasil yang didapatkan bahwa individu yang memiliki grit yang tinggi, tidak hanya sekedar bekerja keras pada tugas yang diberikan namun lebih kepada secara terus-menerus memberikan target yang tinggi dalam waktu yang berkepanjangan. Duckworth, dkk., (2007) menjelaskan bahwa individu yang memiliki grit akan mampu mengoptimalisasikan kemampuannya dan mencapai keberhasilan karena adanya semangat dan kerja keras yang dimilikinya. Peneliti menyimpulkan pengertian grit yang mengacu pada definisi yang diungkapkan oleh Duckworth, dkk., (2007) sebagai ketekunan dalam pencapaian tujuan jangka panjang dan kekonsistensian dalam ketertarikannya pada hal yang sama. Individu dengan grit yang tinggi akan mampu untuk tetap fokus dan produktif dalam berbagai situasi yang dihadapinya untuk mencapai tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada konteks organisasi, karyawan dengan grit yang tinggi mampu bertahan mencapai tujuan jangka panjang perusahaan walaupun banyak tekanan yang dihadapi. Hal ini didukung oleh penelitian Eskreis-Winkler, dkk., (2014) dan Duckworth, dkk., (2007) yang telah menguji grit secara empirik mampu memprediksi kesuksesan individu karena individu tersebut tetap fokus dan memiliki stamina yang ekstrim pada pencapaian tujuan jangka panjang dan kontrol diri agar konsisten terhadap suatu ketertarikan. Ketiga variabel penelitian di atas yaitu kepemimpinan autentik, grit dan QNWL dapat dijelaskan lebih jelas dengan Social Cognitive Theory (SCT) dan dibuat dinamika hubungan antara ketiga variabel. Akan tetapi, penjelasan untuk
12
variabel QNWL akan terlebih dahulu dijelaskan dengan menggunakan teori Socio-Technical System (STS) yang mendasari terciptanya QNWL. Brooks (2001) mengemukakan bahwa QNWL tidak hanya sekedar untuk memenuhi pemuasan kebutuhan karyawan saja, melainkan lebih dari itu. Oleh karena itu, Brooks memakai teori STS untuk mengkaji QNWL. Brooks (2001) memaparkan bahwa teori STS beranggapan bahwa dengan mendesain pekerjaan yang tepat akan memberikan kesejahteraan pada karyawan karena jika
karyawan
merasa
telah
terpenuhi
kebutuhan
personalnya
melalui
pengalaman yang didapat pada pekerjaannya maka dalam waktu yang bersamaan, karyawan akan produktif dan membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Cherns (dalam Brooks & Anderson, 2005) menjelaskan teori STS menganggap organisasi sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungan di luar organisasi. Oleh karena itu, organisasi dapat lebih fleksibel dalam memenuhi kebutuhan karyawannya dan juga merancang komponen organisasi (sosial dan teknis) yang ada di dalamnya yang disesuaikan untuk pencapaian tujuan organisasi. Teori STS merupakan teori dalam bidang manajemen. Pada bidang psikologi, teori yang melibatkan lingkungan dan sumber daya individu dalam berperilaku terdapat pada teori SCT. Bandura (1986) memaparkan bahwa SCT menekankan pada pendapat bahwa individu dipandang sebagai penentu aktif dalam
pembentukan
perilakunya
melalui
interaksi
lingkungannya.
Pada
hubungan ini, perilaku bersifat dinamis dan muncul atas respon dari interaksi antara lingkungan dan individu itu sendiri. Kualitas kehidupan kerja perawat (QNWL) akan terwujud jika perawat tersebut sebagai individu mampu untuk memenuhi kebutuhannya serta secara
13
bersamaan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang tinggi. Pemberian pelayanan kesehatan yang tinggi akan lebih mudah diwujudkan ketika seorang karyawan telah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya hingga kebutuhannya yang terpenting. Sirgy, Efraty, Siegel dan Lee (2001) menjelaskan bahwa karyawan memenuhi kebutuhannya yang menurut hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan paling dasar akan terpenuhi lebih dahulu hingga paling puncak hierarki yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Hierarki kebutuhan setelah kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan bersosialisasi dengan orang-orang yang ada pada lingkungan kerjanya termasuk atasan dan bawahan dan juga kebutuhan merasa diterima dan diakui bahwa dirinya merupakan bagian dari pada organisasi tersebut. Sosok pemimpin dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan relasi antara atasan dan bawahan. Salah satu gaya kepemimpinan yang mampu untuk memenuhi kebutuhan bawahannya dan meningkatkan produktivitasnya yaitu gaya kepemimpinan autentik (Yagil & Medler-Liraz, 2014). Seorang pemimpin agar mampu untuk mengarahkan bawahannya maka diperlukan kemampuan untuk mempengaruhi (Yukl, 2010). Pemimpin autentik dalam mempengaruhi bawahannya memiliki ciri khas yaitu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan menerapkan nilai-nilai acuannya dalam pengambilan keputusan. Konsistensi antara perilaku dan nilai yang dimiliki pemimpin
akan
membuat
bawahannya
memandang
pemimpin
memiliki
kredibilitas dan bawahan akan lebih hormat serta percaya pada pemimpin. Pemimpin juga menjalin relasi dengan bawahannya dengan cara terbuka atas kritik dan saran mengenai kelebihan maupun kelemahan dirinya. Pemimpin memproses informasi dengan objektif ketika dihadapkan dengan permasalahan yang ada dalam organisasi. Woolley, Caza, dan Levy (2011) menyimpulkan
14
bahwa keseluruhan perilaku pemimpin tersebut akan menciptakan iklim kerja yang baik. Ryan dan Deci (2001) juga menjelaskan bahwa ketika seorang pemimpin mengetahui nilai-nilai, belief dan kekuatan yang ada dalam dirinya, dan direalisasikan pada perilakunya, pemimpin tersebut juga akan membantu bawahannya untuk melakukan hal yang sama. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan karyawannya yang pada akhirnya ketika kesejahteraan meningkat maka akan diikuti dengan peningkatan produktivitas itu sendiri. Tercapainya kedua hal ini, maka tercapai pula kualitas kehidupan kerja perawat (Giallonardo, Wong & Iwasiw, 2010; Wong, Laschinger & Cummings, 2010; Datta, 2015; Gillet, dkk., 2013; Vagharseyyedin, dkk., 2011). Pemimpin autentik akan menciptakan lingkungan kerja dengan iklim kerja positif
(Woolley,
dkk.,
2011).
Hal
ini
dimanfaatkan
pemimpin
untuk
mengembangkan karyawannya dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada diri karyawan tersebut. Gardner dan Schermerhorn (2004) menyatakan bahwa pemimpin yang autentik menghargai setiap perbedaan dari karyawannya sehingga pemimpin akan mengembangkan kekuatan yang dimiliki karyawannya dan hal ini akan membantu karyawan untuk lebih produktif. Salah satu kekuatan yang dimiliki karyawan dan dapat dikembangkan oleh pemimpin autentik yaitu grit.
Eskreis-Winkler,
dkk.,
(2014)
menjelaskan
bahwa
grit
sendiri
dikarakteristikkan sebagai individu yang menyelesaikan apa yang dimulainya, pekerja keras pada pencapaian sesuatu dan juga tekun akan pencapaian tujuan yang lebih tinggi secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Karakter ini dibutuhkan dalam profesi perawat dalam pencapaian tujuan jangka panjang rumah sakit yaitu dalam pemberian layanan kesehatan yang terbaik. Perawat juga dalam kesehariannya harus menyelesaikan sesuatu yang dimulainya
15
sampai selesai karena pekerjaan perawat merupakan pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Banyaknya masalah yang dihadapkan pada perawat juga menuntut perawat agar mampu menghadapinya dan berfokus pada pencapaian tujuan pemberian layanan yang terbaik. Perawat yang memiliki grit yang telah berkembang baik akan lebih cepat untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kualitas kehidupan kerjanya. Singh dan Jha (2008) memaparkan bahwa grit akan membantu dalam memenuhi kebutuhannya. Ketekunannya dalam meraih tujuan yang sama dalam waktu yang panjang dan kegigihannya dalam menghadapi tantangan akan membuat perawat yang memiliki grit lebih tangguh dalam pencapaian kualitas kehidupan kerja. Mortazavi, Yazdi dan Amini (2012) dan juga Nafei (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa karakter positif individu mampu untuk meningkatkan QWL karena karyawan tersebut akan mampu fleksibel dalam menghadapi tantangan pekerjaan dan berjuang untuk memuaskan kebutuhannya hingga puncak hierarki kebutuhan yaitu aktualisasi diri dimana individu tersebut akan merasa telah berfungsi secara optimal dalam bekerja. Keuntungan lainnya perawat dengan grit tinggi juga tidak akan mudah keluar dari pekerjaannya. Eskreis-Winkler, dkk., (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang memiliki grit yang tinggi tidak akan mudah untuk pindah atau keluar dari pekerjaannya. Cara pemimpin RS yang autentik untuk membantu perawat dalam meraih kualitas kehidupan kerja adalah dengan memanfaatkan grit sebagai kekuatan yang ada dalam diri perawat tersebut. Peran pemimpin autentik dengan ciri khas menghargai perbedaan yang ada pada karyawannya, memperlakukan perawat yang memiliki grit dengan membebaskan perawat tersebut untuk melakukan
16
tugasnya dan meraih tujuannya dengan caranya masing-masing sesuai dengan nilai yang dimilikinya namun tetap pada payung besar bahwa tujuan utama yang harus diraih adalah tujuan rumah sakit. Secara tidak langsung hal tersebut akan mampu membantu memenuhi kebutuhan dirinya serta membuat kualitas kehidupan kerjanya meningkat. Cara pemimpin autentik disini dalam mendorong perawat yang memiliki grit contohnya bisa dengan memberikannya tantangantantangan pekerjaan agar terus terpacu untuk terus berkembang. Duckworth, dkk., (2007) dan Eskreis-Winkler, dkk., (2014) mengatakan bahwa cara yang tepat untuk meningkatkan tingkat grit individu adalah dengan menumbuhkan kepercayaan diri dan juga mindset bahwa suatu kegagalan adalah pembelajaran. Peran pemimpin di sini yakni menumbuhkan kepercayaan diri dengan memberikan feedback atas kinerja perawat, menumbuhkan growth mindset dan memantau terus atas pencapaian tujuan dengan mengetahui kendala-kendala serta apa yang dapat dilakukan perawat selanjutnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Datta (2015) dimana pemimpin autentik akan menumbuhkan kepercayaan diri pada bawahannya agar dia mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerjanya. Peran grit sebagai mediator di sini dimaksudkan yaitu peran pemimpin tanpa dibantu oleh grit karyawan juga akan mampu untuk menciptakan kualitas kehidupan kerja perawat. Akan tetapi, dengan adanya grit, pemimpin akan lebih mudah untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja perawatnya. Individu yang memiliki karakter grit akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhannya karena ketika gagal memenuhi kebutuhannya, individu tersebut akan berjuang kembali hingga tujuannya tercapai. Wujud dari pengaruh pemimpin autentik di sini adalah berkembangnya aset karyawan yaitu berupa grit sebagai bentuk pengembangan