BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 1 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 2.1.2 Tugas dan fungsi 2.1.2.1 Tugas rumah sakit Berdasarkan UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 4, dinyatakan bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Depkes RI, 2009).
2.1.2.2 Fungsi rumah sakit Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 5, rumah sakit umum mempunyai fungsi: a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan 2.1.3 Pembagian rumah sakit berdasarkan jenis, pengelolaan dan klasifikasi 2.1.3.1 Jenis rumah sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Pasal 18 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan, terdiri atas: i. Rumah Sakit Umum ii. Rumah Sakit Khusus
2.1.3.2 Pengelolaan rumah sakit Berdasarkan pengelolaan (UU No 44, 2009 Pasal 20 dan Pasal 21), terdiri atas 2 jenis, yaitu: i. Rumah Sakit Publik ii. Rumah Sakit Privat
2.1.3.3 Klasifikasi rumah sakit umum Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Pasal 24 tentang rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit:
-
Klasifikasi rumah sakit umum adalah: i. Rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis. ii. Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. iii. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. iv. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
-
Klasifikasi rumah sakit khusus adalah: i. Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap.
Universitas Sumatera Utara
ii. Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. iii. Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. 2.1.4 Visi dan Misi Visi rumah sakit merupakan pernyataan untuk mengkomunikasikan sifat dari keberadaan rumah sakit dan misi suatu pernyataan singkat dan jelas tentang alasan keberadaan rumah sakit, maksud, atau fungsi yang diinginkan untuk memenuhi pengharapan dan kepuasan konsumen dan metode utama untuk memenuhi maksud tersebut (Siregar dan Amalia, 2004).
2.2 Komite/Panitia Farmasi dan Terapi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya (KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004). Tujuan Komite Farmasi dan Terapi adalah menerbitkan kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004, fungsi dan ruang lingkup PFT adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus. d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosis dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus-menerus penggunaan obat secara rasional. f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Formularium Rumah Sakit Berdasarkan KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004, tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Adanya formularium diharapkan dapat menjadi pegangan para dokter staf medis fungsional dalam memberi pelayanan kepada pasien sehingga tercapai penggunaan obat yang efektif dan efisien serta mempermudah upaya menata manajemen kefarmasian di rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004). Kegunaan
formularium
di
rumah
sakit
adalah
untuk
membantu
menyakinkan mutu dan ketepatan penggunaan obat di rumah sakit, sebagai bahan edukasi bagi staf medik tentang terapi obat yang benar dan memberi ratio manfaat yang tinggi dengan biaya yang minimal (Siregar dan Amalia, 2004).
2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Berdasarkan KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004, tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, struktur organisasi instalasi farmasi rumah sakit mencakup penyelenggaraan pengelolaan perbekalan farmasi, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu.
2.4.1
Pengelolaan perbekalan farmasi Menurut KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober
2004, pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari
pemilihan,
perencanaan,
pengadaan,
penerimaan,
penyimpanan,
Universitas Sumatera Utara
pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Tujuan pengelolaan perbekalan farmasi adalah mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efesien, menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi, mewujudkan sistem informasi manajemen berdaya guna dan tepat guna dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
1. Pemilihan Merupakan proses kegiatan mulai dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat essensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan transaksi pembelian.
2. Perencanaan Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
Universitas Sumatera Utara
antara lain: konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan berdasarkan DOEN, formularium rumah sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik.
3. Pengadaan Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi) dan secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan, melalui produksi/pembuatan sediaan farmasi (produksi steril dan produksi non steril), dan melalui sumbangan/droping/hibah.
4. Penerimaan Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi: Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa, barang harus bersumber dari distributor utama, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin dan expire date minimal 2 tahun
5. Penyimpanan Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan kestabilannya,
Universitas Sumatera Utara
mudah tidaknya meledak/terbakar, dan tahan/tidaknya terhadap cahaya, disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
6. Pendistribusian Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, sistem floor stock, resep individu dan dispensing dosis unit atau kombinasi Sistem pelayanan distribusi meliputi sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan dan sistem unit dosis
2.4.2 Pelayanan farmasi klinis Pelayanan farmasi klinis adalah praktik kefarmasian berorientasi kepada pasien dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan obat sehingga meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat. Pelayanan farmasi klinis (Depkes RI, 2004), meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Pelayanan lnformasi Obat (PIO) Menurut KepMenKes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004, merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan pelayanan informasi obat
adalah untuk menyediakan informasi mengenai obat kepada
pasien dan tenaga kesehatan dilingkungan rumah sakit, menyediakan informasi untuk
membuat
kebijakan-kebijakan
yang
berhubungan
dengan
obat,
meningkatkan profesionalisme apoteker dan menunjang terapi obat yang rasional.
a. Konseling Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Tujuan konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat-obat lain (Depkes RI, 2004). Kegiatan yang dilakukan dalam konseling meliputi membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien, menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien dengan metode Three prime questions, apa yang dikatakan dokter mengenai obat, bagaimana cara pemakaian, efek yang
Universitas Sumatera Utara
diharapkan dari obat tersebut, memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan
obat
dan
verifikasi
akhir:
mengecek
pemahaman
pasien,
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
b. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Tujuan MESO adalah menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat (tidak dikenal dan frekuensinya jarang), menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal sekali, yang baru saja ditemukan dan mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya efek samping obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya efek samping obat (Depkes RI, 2004).
c. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) PKOD dilakukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit. Tujuan PKOD menurut Depkes RI, 2004 adalah mengetahui kadar obat dalam darah dan memberikan rekomendasi pada dokter yang merawat.
d. Visite pasien/Ronde Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya (Depkes RI, 2004). Tujuan visite adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien dan bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
e. Pengkajian Penggunaan Obat (EPO) Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien (Depkes RI, 2004). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter tertentu, membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang lain, penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik dan menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
f. Pemantauan Terapi Obat Berbagai hal yang dipantau apoteker dalam pemantauan terapi obat adalah penyalahgunaan obat, salah penggunaan obat, pola penulisan resep yang abnormal, duplikasi resep, interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, interaksi obat-uji laboratorium, reaksi obat merugikan, inkompatibilitas pencampuran intravena, kondisi patologis penderita yang dapat mempengaruhi efek merugikan dari terapi obat yang ditulis, data laboratorium farmakokinetik klinik untuk mengevaluasi kemanfaatan terapi obat dan mengantisipasi efek samping, toksisitas atau ROM (Siregar dan Amalia, 2004).
g. Dispensing
Universitas Sumatera Utara
Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi (Depkes RI,2004). Tujuannya adalah mendapatkan dosis yang tepat dan aman, menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral, menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu, dan menurunkan total biaya obat. Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya:
(a) Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan (Depkes RI, 2004). Kegiatannya meliputi mencampur sediaan intravena kedalam cairan infus, melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai dan mengemas menjadi sediaan siap pakai.
(b) Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi Kegiatan pencampuran nutrisi parenteral dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptik sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai. Kegiatan yang dilakukan meliputi mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan perorangan, dan mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi (Depkes RI, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Faktor yang perlu diperhatikan tim yang terdiri dari dokter, apoteker, perawat dan ahli gizi, sarana dan prasaran, ruangan khusus, lemari pencampuran (biological safety cabinet) dan kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
(c) Dispensing sediaan farmasi berbahaya Penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun pemberian kepada pasien sampai kepada pembuangan
limbahnya.
Secara operasional
dalam
mempersiapkan
dan
melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai sehingga kecelakaan terkendali. Kegiatannya adalah melakukan perhitungan dosis secara akurat, melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai, mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan, mengemas dalam pengemas tertentu, membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku (Depkes RI, 2004). 2.5 Instalasi Central Sterile Supply Department (CSSD) Central Sterile Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi merupakan satu unit atau departemen dari rumah sakit yang menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan, sterilisasi terhadap semua alat atau bahan yang membutuhkan kondisi steril (Depkes RI, 2009). Tujuan adanya CSSD di rumah sakit adalah membantu unit lain di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, untuk mencegah terjadinya infeksi,
Universitas Sumatera Utara
menurunkan
angka
kejadian
infeksi
dan
membantu
mencegah
serta
menanggulangi infeksi nosokomial, efisiensi tenaga medis/paramedis untuk kegiatan yang berorientasi pada pelayanan terhadap pasien dan menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan (Depkes RI, 2009). Tugas CSSD di rumah sakit adalah menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien, melakukan proses sterilisasi alat/bahan, mendistribusikan alatalat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi maupun ruangan lainnya, memilih peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu, mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, desinfeksi maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu, melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi bersama
dengan
panitia
pengendalian
infeksi
nosokomial,
memberikan
penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sterilisasi dan mengevaluasi hasil sterilisasi (Depkes RI, 2009). Alur aktivitas fungsional CSSD dimulai dari proses pembilasan, pembersihan/dekontaminasi, pengeringan, inspeksi dan pengemasan, memberi label, pembuatan, sterilisasi, penyimpanan sampai proses distribusi (Depkes RI, 2009). Lokasi CSSD sebaiknya berdekatan dengan ruangan pemakai alat/bahan steril terbesar di rumah sakit. Dengan pemilihan lokasi seperti ini maka selain meningkatkan pengendalian infeksi dengan meminimalkan resiko kontaminasi silang, serta meminimalkan lalu lintas transportasi alat steril (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Ketersediaan ruangan CSSD yang memadai merupakan suatu keharusan untuk keefisienan dan keoptimalan fungsi kerja CSSD. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang dari ruang kotor ke ruang bersih, maka ruangan CSSD dibagi menjadi ruang dekontaminasi, ruang pengemasan alat, ruang produksi dan prossesing, ruang sterilisasi dan ruang penyimpanan barang steril (Depkes RI, 2009). 2.6 Instalasi Gas Medis Penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan diatur berdasarkan KepMenKes No. 1439/MENKES/SK/XI/2002 tanggal 22 November 2002 Pasal 1, Gas Medis adalah gas dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan untuk pelayanan medis pada sarana kesehatan. Jenis gas medis yang dapat digunakan
pada
sarana
pelayanan
kesehatan
(KepMenKes
No.
1439/MENKES/SK/XI/2002 tanggal 22 November 2002 Pasal 2), meliputi: Oksigen (O2), Nitrous Oksida (N2O), nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2), cyclopropana (C3H6), helium (He), udara tekan (Compressed Air) (Medical Breathing Air), mixture gas. 2.6.1 Penyimpanan Gas Medis Persyaratan penyimpanan gas medis adalah lokasi sentral gas medis harus jauh dari sumber panas dan oli serta mudah dijangkau sarana transportasi, aman dan harus terletak di lantai dasar dan ruang sentral gas medis harus memiliki luas yang cukup, mudah dilakukan pemeliharaan, dilengkapi ventilasi, pencahayaan yang memadai, memenuhi persyaratan spesifikasi (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Pendistribusian Gas Medis Distribusi gas medis dilayani dengan menggunakan troly yang biasanya ditempatkan dekat dengan pasien, pemakaian gas diatur melalui flowmeter pada regulator, regulator harus dites dan dikalibrasi, penggunaan gas medis sistem tabung hanya bisa dilakukan 1 tabung untuk 1 orang dan tabung gas beserta troly harus bersih dan memenuhi syarat sanitasi (higienis) (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara