In June 2010, the Calvin College centers and institutes (http://www.calvin.edu) along with other college leaders, in partnership with the International Association for the Promotion of Christian Higher Education (http://www.iapche.org), organized a conference. The purpose of this conference was both to strengthen the contribution of Reformed Christian faith for world Christianity and also to listen to some global Christian partners. Richard Mouw, president and professor of Christian philosophy at Fuller Theological Seminary (http://www.fuller.edu), delivered the opening address; this document presents his address in translation. A book containing many of the lectures from this conference is now published: Shirley J. Roels, ed., Reformed Mission in an Age of World Christianity (Grand Rapids, MI: Calvin Press, 2011). This volume, written in English, is available for purchase from the Calvin College campus store (http://store.calvin.edu) and from most major bookstores. Also, the individual chapters in this book are available (in English only) as PDF files, available for download free of charge from the Calvin Center for Christian Scholarship (http://www.calvin.edu/admin /cccs/rcc). We gratefully acknowledge the efforts of Amos Oei and Niko De Mus in preparing this translation.
Dipilih untuk sebuah Misi Global: Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas Richard J. Mouw Sekitar satu dekade lampau saya menjumpai sebuah buku dengan judul menarik, Mormon Neo-Orthodoxy. Saya ingin tahu tentang pandangan bahwa sesuatu yang ―baru‖ (―neo‖) sedang terjadi dalam Mormonisme, jadi saya membaca apa yang pengarang itu sajikan. Ternyata si pengarang, O. Kendal White, seorang professor sosiologi, adalah penganut Mormon dan dia menulis buku itu karena dia kuatir dengan apa yang dia lihat sebagai perkembangan-perkembangan baru dalam pemikiran Mormon. Sejumlah sarjana Mormon jaman sekarang, Professor White berpendapat, sedang meninggalkan apa yang White anggap sebagai ajaran esensial pendiri Mormonisme, Joseph Smith. Dan saya terkejut karena pada intinya Professor White berpendapat bahwa dia kuatir para penganut Mormon belakangan ini sudah mulai berpikir seperti kaum Calvinist. Alasan mengapa itu adalah hal yang buruk, menurut Professor White, adalah karena Joseph Smith mendirikan sebuah agama yang menentang ajaran-ajaran dasar Reformasi Protestan. Para reformator abad ke-16 – dan kaum Calvinist khususnya terang-terangan dalam hal ini – mengajarkan tiga tema ini, dia berkata: bahwa Allah adalah Sosok (Being) yang Berdaulat yang secara total ―berbeda‖ dari ciptaan; bahwa manusia adalah makhluk berdosa yang begitu butuh ditolong oleh Allah; dan bahwa keselamatan adalah hanya melalui anugerah. Tiga tema itu bagi White bertentangan dengan pandangan Joseph Smith bahwa Allah itu terbatas; manusia itu bisa mengembangkan diri sendiri; dan bahwa kita memperoleh keselamatan dengan melakukan perbuatan baik.1 Meskipun Profesor White bermaksud untuk menggambarkan apa yang dia lihat sebagai kekurangan – kekurangan perspektif Reformed, saya senang membaca apa yang dia harus katakan. Dia tentunya tepat untuk membandingkan pandangan Reformed itu dengan sebuah gambaran dimana sesosok Allah yang terbatas mendorong kita untuk terlibat dalam proyek fundamental pengembangan diri untuk memperoleh keselamatan kita melalui perbuatan – perbuatan baik. Gambaran itu tentunya bagi setiap orang Kristen Reformed adalah tidak tepat dibandingkan dengan berita indah bahwa sosok Allah yang berdaulat telah mengirimkan seorang Juruselamat untuk melakukan bagi kita apa yang kita tidak bisa lakukan sendiri. Namun saya harus segera menambahkan bahwa tema – tema kaum Calvinis yang Professor White kemukakan bukanlah keseluruhan kisah Reformed. Mereka adalah cara dimana kaum Kristen Reformed menjawab sebuah pertanyaan fundamental: Bagaimana seseorang menjadi benar di hadapan Allah? Hanya berhenti pada jawaban terhadap pertanyaan itu, sayangnya, adalah mendapatkan sebuah perspektif teologis yang sangat sempit. Tradisi kita telah selalu menekankan bahwa mendapatkan anugerah yang kita terima dari Allah
1
O. Kendall White Jr., Mormon Neo-Orthodoxy: A Crisis Theology (Salt Lake City: Signature Books, 1987), xi–xviii.
harus juga menggerakkan kita pada sebuah ketaatan yang aktif, dan kepada sebuah gaya hidup Kristiani yang memiliki cakupan yang cukup luas. Kita, kaum Reformed, telah selalu mencintai doktrin pemilihan (election). Namun kita juga telah memahami bahwa hanya berhenti pada pengetahuan bahwa kita dipilih untuk diselamatkan sebagai sesuatu yang terjadi pada kita tidaklah cukup. Bayangkan, misalnya, seorang politis dipilih untuk menjabat sebuah kedudukan nasional dan setelah terpilih selama – lamanya berfokus pada fakta bahwa dia telah dipilih untuk menjabat. Bayangkan juga pemimpin ini menugaskan diadakannya studi – studi tentang bagaimana dia itu bisa sampai terpilih. Bayangkan juga bahwa kapanpun dia berbicara di depan rakyat dia berbicara tentang betapa terhormatnya dia untuk terpilih menjadi orang yang menjabat kedudukan itu. ―Bukankah itu hal yang luar biasa,‖ dia mungkin berkata, ―bahwa dari semua orang di dunia, Saya adalah orang yang terpilih.‖ Tentu pasti akan tiba waktunya dimana rakyatnya akan bertanya, ―Apa yang kami pilih kamu untuk lakukan? Apa yang akan kamu lakukan sekarang bahwa kamu berada di dalam kedudukan terpilih ini?‖ Dan hal yang sama juga berlaku bagi pemilihan kita oleh Allah untuk menduduki jabatan sebagai orang - orang percaya. Kita perlu untuk berpikir banyak tentang apa yang kita telah dipilih untuk lakukan di dalam dunia. Ini tentunya telah menjadi penekanan yang diajukan oleh baik World Alliance of Reformed Churches and the Reformed Ecumenical Council, dua konfigurasi gereja – gereja yang sekarang menggabungkan diri untuk membentuk World Communion of Reformed Churches. Dan perencana – perencana konferensi sekarang telah sangat sadar terhadap agenda Reformed yang lebih tertata jelas ini. Mereka meminta kita di sini untuk bepikir bersama tentang bagaimana kita dapat menggali dari sumber – sumber masa lalu Reformed kita – demikian juga sumber – sumber dari tradisi – tradisi teologis dan spiritual lainnya – untuk menanggapi isu – isu kompleks dunia kontemporer kita. Sesuai dengan pernyataan ―satu Tuhan, satu iman, satu baptisan‖ yang kita telah akui bersama, bagaimana kita seharusnya berdiskusi satu sama lain di masa kini untuk berusaha menaati kehendak Allah dalam konteks – konteks budaya kita yang semakin menantang? Dan, sesuai dengan pertumbuhan agensi – agensi, pelayanan – pelayanan parachurch dan organisasi, termasuk yang disebut ―sekuler,‖ yang melayani dengan tujuan – tujuan untuk menghadirkan Kekuasaan Allah di dunia jaman sekarang, apakah peran gereja institutional – jemaat – jemaat lokal demikian juga penjabat – penjabat gerejawi – dalam mengembangkan tujuan – tujuan yang sama itu? Masalah menjadi semakin kompleks dengan adanya fakta bahwa dalam 400 abad lebih sejak jaman Reformasi, iman Reformed telah menjadi sebuah fenomena global – menurut salah satu perhitungan, sekitar 700 sinode Reformed Presbyterian tersebar di seluruh dunia. Kita tiba pada dialog ini, karenanya, dengan kesadaran terhadap suara – suara yang mewakili banyak suku dan bahasa dan bangsa di bumi. Dan adalah hal yang menggembirakan bahwa beberapa keluarga spiritual dan teologis lainnya juga telah memilih untuk bergabung di dalam pertemuan raya kita di sini. Kita perlu untuk mengambil manfaat dari kekayaan pengalaman, memori dan perspektif yang berbeda – beda yang dimungkinkan oleh pertemuaan ini. Ada gambaran indah dalam Yesaya 60, dimana sang nabi mengungkapkan kepada kita bahwa TUHAN menghendaki kumpulan orang – orang Kerajaan untuk ―mengisap susu bangsa – bangsa.‖ Itu adalah gambaran yang luar biasa – kenyataan tentang banyak budaya 2
dan identitas bangsa dapat menjadi (dalam program Allah untuk memperbaharui ciptaan) sebuah sumber yang memberi kehidupan, sebuah kesempatan untuk bertumbuh bersama dan saling menguatkan. Menurut saya setelah bertahun – tahun berpikir tentang keterlibatan multi-budaya yang mana kita para pengikut Kristus terpanggil di dalamnya, saya banyak dibantu oleh para pemikir yang telah menyelami manfaat – manfaat yang datang dari dari sebuah kepekaan terhadap kebutuhan kontekstualisasi teologi. Salah satu penulis favorit saya dalam hal ini adalah teolog Amerika-Jepang, Kosuke Koyama, khususnya ketika dia membahas masalah ini dalam bukunya yang berjudul, Waterbuffalo Theology. Di situ Koyama berefleksi tentang pengalamannya dikirim, di awal karirnya, oleh gerejanya di Jepang sebagai misionari ke Thailand utara. Koyama terbiasa hidup di kota besar sebelum dia dikirim ke Thailand utara itu, dan tiba – tiba dia berada di tempat dimana banyak terdapat sawah – sawah padi. Ketika dia mengendari sepeda motornya di desa, dia menuliskan, dia melihat orang – orang yang dalam kesehariannya berdiri di air yang dangkal di sisi kerbau; lalu hari – hari itu diikuti oleh sebuah musim dimana mereka harus menemukan cara untuk tetap tinggal kering selama musim hujan. Koyama memutuskan untuk membaca Alkitab seakan-akan dia itu berdiri di samping kerbau di sawah. Dengan cara demikian, perikop – perikop dan gambaran – gambaran muncul di benaknya yang tak pernah dia pikirkan. Dia menemukan bahwa ada banyak hal tentang air di Alkitab. Allah memerintah dari sebuah tempat di atas hujan dan banjir. Allah tinggal kering! Tema – tema ini menjadi bagian utama dalam usahanya menyajikan berita Injil kepada orang – orang di daerah itu.2 Di akhir bukunya, Koyama mengeneralisasi metode yang dia telah gunakan dalam usahanya untuk memahami apa yang Alkitab katakan kepada budaya Thailand utara. Misionaris – misionaris, dia katakan, harus menemukan sebuah tempat dimana mereka ―berada diantara‖ (―sandwiched‖) Alkitab dan budaya yang mana Allah telah memanggil mereka. Mereka karenanya harus terlibat dalam eksegesis dua arah, bekerja dalam dua usaha penafsiran, dan mereka harus membawa pertanyaan – pertanyaan dan jawaban – jawaban itu ke Alkitab, supaya menafsirkan dengan baik apa yang Allah perlu katakan tentang hal – hal tersebut.3 Nyanyian natal yang kita kenal berbicara dengan jelas tentang kelahiran Juruselamat di Bethlehem: ―Harapan dan ketakutan segala masa dipenuhi bagimu malam ini.‖ Bagian ―segala masa‖ adalah sangat penting. Saat ia berdiri ―berada diantara‖ (―sandwiched‖) Alkitab dan realitas keseharian pedesaan Thailand, Kosuke Koyama mengeksegesis harapan dan ketakutan orang – orang yang bekerja di samping kerbau di sawah – sawah. Dan dalam membahas bersama tentang konteks budaya kita kita dapat memperoleh gambaran – gambaran tertentu bagaimana iman Reformed kita dapat menjawab ―harapan dan ketakutan segala masa.‖ Kita memiliki sebuah kesempatan indah di pertemuan ini, karenanya, untuk membawa pengalaman – pengalaman berbagai konteks cultural pada refleksi kita bersama tentang apa artinya untuk menjalankan agenda Reformed di arena global masa kini. Beberapa dari kita telah berpikir tentang hal ini dalam keseharian hidup di
2 3
Kosuke Koyama, Water Buffalo Theology (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1974), vii–viii, 32–40. Koyama, Water Buffalo Theology, 91.
3
kota – kota besar, sementara yang lain di tengah kesengsaraan unik yang terjadi apakah itu di dunia manajemen teknologi canggih atau di dekat sawah – sawah, dan lagi lainnya – suara – suara yang perlu kita dengar dengan penuh perhatian – yaitu mereka yang terlibat secara langsung dengan orang – orang miskin dan mereka yang tertindas. Untuk terlibat dalam diskusi bersama berbagai macam ―berada diantara‖ (―sandwiched‖) bukankah sekedar hal yang ―indah‖ untuk dilakukan. Ini bukanlah sekedar pilihan, jika kita akan berpikir tentang apa artinya menjadi Reformed hari ini. Faktanya adalah bahwa faktor – faktor yang telah menjadi pemelihara dan penjaga identitas Reformed di masa lalu tidak bisa berfungsi lagi. Kesetiaan yang kuat terhadap denominasi, solidaritas kesukuan, pengulangan formula – formula masa lampau – tidak satupun dari antaranya yang bisa menolong kita hari ini. Kita perlu untuk menjadi lebih terarah dalam berteologi, bekerja keras untuk mengaplikasikan pelajaran – pelajaran baik dari masa lampau pada konteks multi budaya jaman kita sekarang. Dan itu sesungguhnya adalah sebuah tantangan yang menarik. Teolog Belanda abad ke-19, Herman Bavinck, berpendapat tentang kaitan antara apa yang Allah lakukan di dunia dan konsep gambar Allah yang menggarisbawahi pentingnya penelaahan berbagai perspektif budaya. Dia meneliti bahwa penciptaan manusia di dalam rupa Allah di kisah penciptaan Kejadian ―bukanlah akhir namun permulaan perjalanan Allah bersama manusia.‖ Dalam memberikan mandat kepada manusia pertama untuk ―beranak-cucu dan bertambah banyak,‖ Bavinck berpendapat, Allah telah membuat jelas bahwa ―bukan hanya laki-laki, ataupun bukan hanya laki-laki dan wanita bersama, namun keseluruhan kemanusiaan bersama adalah gambar Allah yang sungguh-sungguh lengkap.‖ Hal ini dikarenakan, dia berkata, ―gambar Allah itu terlalu kaya untuk hanya direalisasikan sepenuhnya di dalam satu orang, betapapun hebat talenta yang orang itu miliki.‖ Demikian pula, makna gambar Allah secara kolektif ini, Bavinck menekankan, ―bukanlah sebuah entitas yang statis melainkan entitas yang bertumbuh dan mengembangkan dirinya sendiri‖ dalam kekayakan keanekaragaman umat manusia yang tersebar di pelbagai tempat dan jaman. Bagi Bavinck, kita tidak akan sepenuhnya memahami apa gambar Allah yang sesungguhnya sampai akhir jaman, ketika, menjelang bagian akhir kitab Wahyu rasul Yohanes melihat visi itu di Yerusalem Baru dimana ―kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa‖ kepadanya (Wahyu 21:26).4 Untuk diskusi kita saat ini, ini menunjukkan bahwa kita mungkin berpikir sang Pencipta telah mendistribusikan berbagai aspek berbeda dari keserupaan ilahi ke pelbagai kelompok budaya, dengan setiap kelompok menerima, apa adanya, sebuah penugasan unik untuk mengembangkan beberapa atau aspek-aspek lain dari gambar ilahi. Karenanya, hanya ketika pertemuan raya terakhir seluruh umat manusia di bumi, ketika banyak suku, bahasa dan bangsa akan dinyatakan dalam hormat dan kekayaan mereka di Yerusalem Baru, saat itulah kita akan melihat berbagai kemuliaan gambar Allah dalam kepenuhannya.
4
Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol. 2: God and Creation, editor John Bolt dan penterjemah. John Vriend (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 577–78.
4
Visi mulia itu seharusnya menginformasi fokus kita di sini di konferensi ini saat kita terlibat dalam diskusidiskusi kita bersama yang lebih detil. Kita punya segala macam alasan, sebagai contoh, untuk mendekati dengan penuh keyakinan sebuah agenda luas untuk diri kita sendiri saat kita berpikir tentang tantangan-tantangan kompleks pemuridan di dunia kita sekarang. Keyakinan itu telah lama menjadi semangat dominan mereka dalam komunitas Reformed. Sesungguhnya mandat untuk berpikir besar tentang misi Kristen terjadi sejak permulaan tradisi kita. John Calvin memiliki minat besar dalam topik-topik social, politik, ekonomi dan hal-hal budaya lainnya dan minat ini diteruskan ke banyak penerus-penerus tradisinya; sesungguhnya, perhatian terhadap hal-hal itu sering muncul dalam hidup mereka. Itu tentu kelihatan jelas di Skotlandia. Seperti seorang sarjana dalam studi beberapa abad pendahuluan pemikiran Reformed di Skotlandia menulis bahwa penekanan teologis langsung Reformasi adalah proklamasi indah ―Tak satupun kecuali Kristus yang menyelamatkan‖ – sebuah tema yang diyakini bersama oleh kaum-kaum Protestan lainnya selama masa itu – dan, saya segera tambahkan, oleh lebih dari sekedar sejumlah kecil orang-orang Katolik! Namun segera saja, sang pengamat melihat, kaum-kaum awal Presbiterian menambahkan proklamasi lain pada agenda Reformed: ―Tak satupun melainkan Kristus berkuasa.‖5 Sayangnya, kaum awal Presbiterian itu berusaha untuk menegakkan kekuasan Kristus seringkali dengan cara perang berdarah untuk kontrol politis – yang juga muncul di tempat lain di dunia Reformed. Namun di hati kampanye yang menyedihkan itu adalah sebuah masukan berarti bagi kaum Reformed: bahwa Allah yang telah memilih individu-individu oleh anugerah berdaulat juga menghendaki individu-individu itu terlibat dalam sebuah komunitas perjanjian yang akan dalam kehidupan kolektifnya secara aktif mendemonstrasikan kekuasan Kristus atas segala realitas ciptaan. Hal tersebut diungkapkan dengan jelas oleh teolog-politikus Belanda abad ke-19, Abraham Kuyper, yang dalam masa pendirian Free University (Vrije Universiteit) di Amsterdam, mengemukan manifestonya yang sering kali dikutip: ―Tidak ada satu inci pun dalam seluruh area eksistensi manusia yang mana Kristus, yang adalah Penguasa atas segalanya, tidak berteriak: ‗Milik-Ku!‘‖6
Tanpa banyak kata, kita orang Reformed bukanlah satu-satunya orang yang peduli tentang meluaskan kekuasan Kristus atas segala area kehidupan. Kita harus banyak belajar dari tradisi-tradisi lain belakangan ini. Salah satu ekspresi terbaik di abad ke-20 tentang kebutuhan sebuah visi hidup Kristen yang lebih luas terdapat di dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan pada sesi akhir sidang oleh para bishop Katolik yang berkumpul di Konsili Vatikan Kedua di tahun 1965. Judul panjangnya adalah ―Konstitusi Pastoral atas Gereja di Dunia Modern,‖ yang juga dikenal sebagai Gaudiam et Spes, bahasa Latin untuk kata-kata pembukaan dokumen itu. Begini dokumen itu dimulai: Sukacita dan harapan, dukacita dan kekuatiran umat manusia jaman ini, khususnya mereka yang miskin atau tertindas oleh satu atau lain hal, inilah sukacita dan harapan, dukacita dan kekuatiran
5
J. D. Douglas, Light in the North: The Story of the Scottish Covenanters (Grand Rapids: Eerdmans, 1964), 13. Abraham Kuyper, ―Sphere Sovereignty,‖ dalam Abraham Kuyper: A Centennial Reader, ed. James D. Bratt, p. 461–90 (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 488. 6
5
para pengikut Kristus. Sesungguhnya, tidak ada hal yang benar-benar bersifat manusiawi yang gagal membunyikan gema itu dalam hati mereka.7 ―Tidak ada hal yang benar-benar bersifat manusiawi yang gagal membunyikan gema itu dalam hati [Kristiani kita].‖ Tidak saja itu merupakan sebuah penegasan indah yang kaum Kristen Reformed dukung, saya yakin bahwa John Calvin sendiri akan ingin kita untuk memberikan penegasan itu. Sebenarnya, ada banyak orang yang tidak mengharapkan bahwa sejenis empati terhadap umat manusia secara umum sedemikian bisa sejalan dengan sebuah pandangan Reformed terhadap banyak hal. Musim panas lalu, Nicholson Baker menulis sebuah essay menarik tentang Kindle di majalah New Yorker, dan salah satu kritiknya terhadap media bacaan elektronik itu berkaitan dengan efek membosankan yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tampak di layar Kindle. Hal-hal yang ditemukan lucu ketika dibaca lewat media lain, Baker laporkan, tidak memberikan efek serupa padanya ketika dia membaca melalui Kindle. Masalah mendasar, dia katakan, berkaitan dengan jenis huruf yang dipakai; bentuk yang Kindle gunakan adalah – dan ini merupakan kata-kata Baker sendiri – ―suram dan Calvinist.‖8 Itulah gambaran iman Reformed yang seringkali dikenal lewat tafsiran budaya. Dan ada sesuatu yang memang terkait erat dengannya – tentu saja ada sisi suram dari iman Reformed seperti yang telah dilakukan oleh beberapa orang di dalamnya. Salah satu penulis biografi Calvin yang bersimpati dengan Calvin, sejarahwan William Bouwsma, berpendapat bahwa kesuraman memang benar-benar Calvin punyai, namun itu bukanlah seluruh kisah tentang karakter sang Reformer. Bouwsma berpendapat bahwa ada tarik-menarik dalam psikologi Calvin, dan tarik-menarik itu begitu dalam sehingga kita perlu berpikir, seperti yang diungkapkan Bouwsma, ―Dua Calvin, hidup bersama saling tidak nyaman dalam pribadi historis yang sama.‖ Salah satu dari John Calvin itu adalah apa yang Bouwsma sebut ―Calvin filosofis.‖ Ini adalah Calvin y ang menyukai ―orthodox statis,‖ dan ―merindukan sangat inteligensia, keteraturan dan kepastian;‖ Calvin yang demikian sangat berhati-hati terhadap konsep kebebasan, dan ―dia bergumul untuk mengontrol baik dirinya sendiri dan dunia.‖ Namun ada juga Calvin yang cukup berbeda, kata Bouwsma. Ini adalah Calvin yang menunjukkan sebuah semangat ―humanist‖; dia ―fleksibel sampai pada titik opportunistik, dan seorang revolusioner.‖ Inilah Calvin yang ―cenderung untuk merayakan paradox-paradoks dan misteri yang menjadi makna keberadaan.‖9 Saya harus mengaku bahwa dalam perjalanan saya sebagai seorang Kristen Reformed saya menemukan diri saya semakin tertarik pada versi Kristen Reformed yang Bouwsma hubungkan dengan sisi John Calvin yang ―humanist.‖ Saya suka perspektif Reformed yang bersukacita dalam segala karya buatan Allah, dimanapun kita temukan itu, menelusurinya dengan penuh semangat dan sukacita – menggunakan frase indah yang Susan
7
Gaudiam et Spes, Teks bahasa Inggris tersedia di http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents /vat-ii_cons_19651207_gaudium-et-spes_en.html. 8 Nicholson Baker, ―A New Page,‖ New Yorker, August 3, 2009, http://www.newyorker.com/reporting/2009/08/03 /090803fa_fact_baker. 9 William Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (New York: Oxford University Press, 1988), 230–31.
6
Schreiner pilih sebagai judul bukunya tentang pandangan Calvin terhadap alam, ―Theater kemuliaan Allah.‖10 Inilah cara melihat hal-hal yang Lewis Smedes temukan ketika dia memulai kuliah sarjananya di kampus ini lebih dari setengah abad lampau. Smedes, yang mengajar di Calvin College bertahun-tahun sebelum menyelesaikan karirnya di Fuller Seminary, adalah seorang sarjana teologis-etis yang baik dan seorang penulis yang laris yang menulis sebuah kisah pribadi yang indah, My God and I, yang segera terbit sesudah meninggalnya di Desember 2002. Di salah satu bagian buku itu, Smedes menggambarkan pengalamannya berpindah ke Calvin College di masa-masa studinya, setelah menghabiskan beberapa tahun dalam sebuah program di Moody Bible Institute di Chicago. Smedes tidak begitu senang dengan lingkungan fundamentalist di Moody, dan dia tiba di Calvin dengan harapan menemukan sebuah pembentukan dasar iman yang lebih kuat baginya. Dia tidak dikecewakan. Sesungguhnya, seperti yang dia kisahkan, dia terkejut dengan fakta bahwa dia menemukan dimensi-dimensi baru yang menarik dari komitmen imannya dalam sesi awal kelas Komposisi Bahasa Inggris. Profesor di kelas itu, Jacob Vandenbosch, kata Smedes, ―memperkenalkan kepada saya hari itu kepada sosok Allah yang bahkan saya tidak pernah dengar sebelumnya.‖ Ini adalah sosok Allah, seperti yang Smedes ceritakan, yang Menyukai kalimat-kalimat indah dan tidak senang dengan kata penentu sifat yang bergantung [dangling modifiers]. Saat kamu percaya ini, dimana kamu dapat berhenti? Jika Sang Pembuat Alam Semesta mengagumi kata-kata yang ditempatkan dengan baik, pikirkan betapa dia menyenangi pemikiran yang tajam, betapa dia pasti cinta sebuah konserto Bach dan jika dia mencintai sebuah konserto Bach, pikirkan betapa dia menghargai setiap usaha manusia untuk menghadirkan sebuah pencicipan, betapapun kecilnya, dari Kerajaan Keadilan, Kedamaian dan Kebahagian-Nya terhadap orang-orang tertindas di dunia. Singkatnya, saya menjumpai sang Pembuat Alam Semesta yang mencintai dunia yang dia buat dan dedikasikan untuk penebusan. Saya menemukan sukacita TUHAN, bukan lewat sebuah persekutuan doa, melainkan lewat kelas Komposisi Bahasa Inggris 101.11 Sesungguhnya, ketika kita berpikir pola lintas-budaya dari Allah, kita mungkin ingin untuk mengijinkan sedikit lagi kebebasan literatur dari yang Smedes lakukan. Misalnya, Allah mungkin tidak senang ketika menemukan kata penentu sifat yang bergantung dalam jenis-jenis literatur tertentu, namun Allah mungkin sebenarnya menghargai mereka ketika mereka muncul dalam sebuah ekspresi yang tertata dengan indah oleh seorang artis hip-hop yang ditujukan untuk menentang ketidakadilan. Setidaknya, Smedes menunjukkan sesuatu yang penting – bukan tidak seperti apa yang uskup-uskup Katolik tunjukkan ketika mereka menekankan bahwa segala sesuatu yang ― betul-betul (murni) manusiawi‖ pasti menjumpai ―gema dalam hati Kristen kita.‖
10
Susan E. Schreiner, The Theater of His Glory: Nature and the Natural Order in the Thought of John Calvin (Grand Rapids: Baker Books, 1995). 11 Lewis B. Smedes, My God and I: A Spiritual Memoir (Grand Rapids: Eerdmans, 2003), 56–57.
7
Dan jika kita menumbuhkembangkan kemampuan untuk mendengar gema-gema itu, kita pasti bersedia untuk menelusuri dengan penuh semangat bersama dalamnya dan tingginya realitas yang diciptakan, karena ―TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya‖ (Mazmur 24:1). Saat kita berusaha untuk memahami berbagai aspek dari dunia itu, kita harus melakukannya dengan kesadaran bahwa apa yang menjadi fokus kita adalah sesungguhnya sebuah bagian dari kepenuhan sebuah realitas ciptaan yang mana kita dipanggil juga untuk kasihi – dan dalam kasih kita berusaha untuk memahami garis-garis bentuk realitas itu dalam segala misterinya, sehingga kita dapat membuat keterkaitan dan menumbuhkembangkan sebuah pamahaman yang sesuai untuk mengagumi dan menjadi terpesona dalam kehadiran kekompleksan makhluk ciptaan, bahkan dalam kebobrokannya masa kini. Saya perlu untuk merujuk kembali ke sebuah sumber Katolik. Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya dengar seorang imam ungkapkan tentang Paus Yohanes XII ketika dia masih seorang kardinal Italia. Dia sedang makan malam suatu malam dengan seorang asistennya yang melaporkan tentang seorang imam lainnya, seorang pemberontak sejati, yang melakukan banyak hal yang mempermalukan tatanan hirarki. Kardinal yang menjadi Paus di masa depan itu mendengar dengan tenang, mengisap anggur dari sebuah piala yang mahal. Akhirnya si asisten berteriak karena frustasi, ―Bagaimana anda bisa dengan tenang mendengar tentang hal ini? Apakah anda tidak benar-benar menyadari apa yang imam itu telah perbuat?‖ Sang kardinal dengan lembut bertanya kepada imam muda itu, ―Milik siapakah piala ini?‖ ―Milik anda, yang mulia,‖ si imam menjawab. Sang kardinal lalu melempar piala itu ke lantai dan menjadi pecah berkeping-keping. ―Dan sekarang milik siapakah piala itu?‖ dia bertanya. ―Masih milik anda,‖ adalah jawabannya. ―Demikian pula imam itu masih saudara saya dalam Kristus,‖ kata si kardinal, ―meskipun dia sudah bobrok dan pecah berkeping-keping.‖ Ciptaan mungkin sudah bobrok dan terpecah berkeping-keping di bawah kondisi-kondisi dosa sekarang, namun Allah masih mengasihinya. Inilah mengapa Yesus datang ke dalam ciptaan, dalam sebuah misi penebusan yang bertujuan untuk memulihkan apa yang Allah kasihi. Dalam Efesus 4 sang Rasul membuat itu jelas bahwa kita tidak dapat memahami dengan benar kenaikan Kristus ke surga kecuali kita pertama-tama menangkap fakta bahwa ―Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah…untuk memenuhkan segala sesuatu‖ (Ef. 4:9). Dan kasih Yesus begitu dalam sehingga dia masih menanggung sengsara di dalam dan atas kebobrokan alam semesta. Gambar kebobrokan ini khususnya terkait erat dangan konteks budaya kita sekarang, apalagi dengan adanya fenomena yang sering dihubungkan dengan ide bahwa kita sedang hidup di era ―postmodern,‖ yaitu, fenomena fragmentasi. Di tahun 1930 seorang penyair Amerika terkenal Edna St. Vincent Millway menulis beberapa bait di salah satu sajaknya yang bagi beberapa orang di antara kita bagaikan sebuah nubuatan yang sedang digenapi di jaman ini. Dia menulis tentang ―era bertalenta‖ yang akan mempunyai cukup ―kuasa untuk membangunkan bulan dengan jejak kakinya.‖ Era ini, dia katakan, akan tiba pada ―masa kegelapannya,‖ ―sebuah masa dimana fakta-fakta akan berjatuhan dari langit seperti ‗sebuah hujan meteor.‘‖ Fakta-fakta yang tidak berkaitan ini, sang penyair observasi, akan ―tergeletak tak tertanyakan [dan] tak terkaitkan.‖ Segala pengetahuan
8
ini, jika diintegrasikan, akan menghasilkan cukup bahan setiap harinya untuk menyembuhkan masalah-masalah kita. Namun – dia meratap – ―tidak ada perkakas tenun yang menganyamnya menjadi kain.‖12 Hal itu pasti bergaung di masa sekarang. Kita umumnya mendengar keluhan-keluhan hari-hari ini tentang bagaimana disiplin-disiplin kesarjanaan telah menjadi begitu terspesialisasi sehingga sulit untuk memperoleh suatu perspektif menyeluruh yang terintegrasi atas keping-keping pengetahuan yang tersedia bagi kita. Saya menyaksikan ini di salah satu universitas yang saya kunjungi, dimana anggota-anggota fakultas psikologi mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk memahami satu sama lain. Masing-masing wilayah penelitian mereka begitu terspesialisasi sehingga mereka tidak tahu bagaimana mengkaitkan apa yang mereka pelajari bahkan pada usaha-usaha yang dilakukan oleh kolega-kolega terdekat mereka. Menggunakan bait sang penyair di atas: mereka tidak dapat mememukan perkakas tenun untuk menganyam banyak hal bersama. Dan kita semua sadar cara—cara dimana hasil pencarian Google kita menghadirkan di layar komputer kita: ―Tak tertanya [dan] tak terkait.‖ Apa yang kita harus katakan pada pola-pola kehidupan masa kini yang terfragmentasi ini? Satu hal jelas yang kita harus katakana, atas dasar otoritas Alkitab, adalah bahwa nubuatan Edna St. Vincent Millay, secara literal, adalah keliru: masih ada sebuah perkakas tenun untuk menganyam semua fakta-fakta menjadi sebuah kain. Dan sesungguhnya ada seseorang yang adalah Tuhan perkakas itu, seperti sang Rasul ungkapkan dengan jelas dalam Kolose pasal 1: ―Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada [terpegang bersama] di dalam Dia.‖ Dengan adanya karakter kehidupan masa kini yang semakin terfragmentasi, tantangan untuk menelusuri makna dari dimensi ―terpegang bersama‖ oleh pribadi dan karya Kristus adalah mendesak dan membuat kita terlibat di dalamnya. Dan dalam hal ini, saya harus menekankan keyakinan saya yang terus bertumbuh bahwa kita membutuhkan suatu penekanan yang diperbaharui dalam komunitas Reformed atas pentingnya kehidupan beribadah gereja sebagai pusat arena yang mana Kristus menyatakan pada kita realitas pelayanan ―memegang bersama‖-Nya. Sangat disayangkan bahwa banyak dari kita, sebagai orang-orang Kristen Reformed, telah menghasilkan cara-cara yang meremehkan pentingnya dipupuk oleh pemberitaan Firman dan kehidupan sacramental Tubuh Kristus. Kadang kala akademia kita telah menumbuhkembangkan suatu pamahaman yang menjauhkan diri dari kehidupan ibadah gereja. Di satu pihak, komunitas Reformed kita sudah mencenderungkan diri pada sebuah pemahaman skenario ―wilayah kedaulatan‖ (―sphere sovereignty‖) yang mana berakibat gereja secara institutional terpinggirkan. Dan di lain pihak, tentu saja, kita sudah sering sangat menekankan pemikiranpemikiran sosial dari tradisi kita dan sebagai akibat kita kadang kala memisahkan usaha pemuridan dari peran krusial gereja dalam membentuk kita sebagai murid-murid melalui memanggil kita ke dalam perjumpaan bersama secara komunitas dengan Allah yang hidup.
12
―Sonnet,‖ 1939, http://www.amblesideonline.org/Millay.shtml.
9
Tema konferensi ini adalah sangat indah: ―Misi Reformed di dalam sebuah Jaman Dunia Kekristenan.‖ Itu menekankan fakta bahwa kita dikirim ke dunia untuk menyebarluaskan kekuasaan Yesus Kristus. Kita mempunyai sebuah panggilan untuk mengerjakan karya Allah dalam ciptaan yang masih Allah kasihi, bahkan dalam kebobrokannya. Namun penting bagi kita untuk menjadi jelas tentang fakta bahwa kita hanya dapat mempunyai sebuah panggilan jika ada seorang Pemanggil, seseorang yang memberikan panggilan kepada kita – dan sang Pemanggil ini adalah juga layak menerima sembah sujud kita. Dalam karya klasiknya, A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez menekankan bahwa program politis yang terkait dengan gerakan pembebasan harus berpusat pada ―sebuah spiritualitas pembebasan.‖ Gutierrez tentunya sadar akan bahaya-bahaya mengabsolutkan usaha-usaha politis yang menjadi favorit kita, yang karenanya menjadi sangat selektif dalam menemukan tema-tema Kristen yang berguna untuk menyebarkan tujuan-tujuan yang sudah kita sendiri tentukan. Untuk mengatasi kecenderungan sedemikian, Gutierrez berpendapat bahwa hidup kekristenan harus ―dipenuhi dengan sebuah pemahaman yang hidup tentang tahu berterima kasih [gratuitousness]. Persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua [umat manusia] lebih dari segalanya adalah sebuah pemberian.‖ Partisipasi kita dalam ibadah, dia katakan, adalah sebuah ―kegiatan ‗waktu luang,‘‖ adalah sebuah ―waktu yang ‗terbuang,‘ [yang] mengingatkan kita bahwa Tuhan berada di luar kategori yang berguna dan yang tidak berguna.‖ Dalam persekutuan ibadah kita dengan Allah, Gutierrez mengatakan pada kita, kita melihat ke depan ke sebuah masa depan indah saat kita mendengar, dia katakan, ―undangan untuk berpartisipasi dalam sukacita eskatologis.‖13 Latar belakang untuk sukacita eskatologis itu digambarkan secara dramatis dan memberikan inspirasi oleh sang Pelihat dari Patmos, ketika dia melaporkan bahwa dia menatap ke langit dan melihat ―suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: ‗Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!‘‖ (Rev. 7:9–10). Kiranya waktu kita bersama di pertemuan ini memberikan kepada kita semacam gambaran tentang bagaimana kelihatannya waktu kita bergabung dengan pertemuan yang lebih raya di jaman akhir.
13
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973), 206–7.
10