Daftar Pustaka KOALISI Jiwa Atmaja...................................................................
1
MASIH PERLUKAH MEMBACA Redaksi..........................................................................
2
MEMBACA ULANG POLA ILMIAH POKOK KEBUDAYAAN Jiwa Atmaja...................................................................
4
SUBAK, EPOS RAMAYANA, DAN ZAMAN KALIYUGA Wayan Windia ............................................................... 14 CARA MEMPERCANTIK D I R I YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN Ni Wayan Sudari ........................................................... 16 PATRIARKI DAN KESEHATAN SEKSUAL Mangku Karmaya.......................................................... 21 HARMONISASI SAPI BALI DALAM SATU SISTEM ALAM SEMESTA Sayang Yupardhi .......................................................... 23 MEMBAYANGKAN MASA DEPAN PEGUYANGAN: ANTARA IDENTITAS BUDAYA DAN PELUANG EKONOMI KREATIF I Nyoman Darma Putra ................................................. 26 BILA MAHASISWA JERMAN BERBAHASA INDONESIA I Nengah Sudipa............................................................ 31 MAHALNYA BIAYA POLITIK KEKUASAAN I Nyoman Sugiarta ........................................................ 34
WAHANA MEDIA PEMATANG ALUMNI UDAYANA
TINJAUAN BUKU: TERIMA KASIH, PAK JIWA I Kadak Surya Kencana, S.Pd. ...................................... 40
No. 87 Th. XXX Mei 2014 Ilustrasi Cover: repro
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
3
Sajian Utama
MEMBACA ULANG
POLA ILMIAH POKOK KEBUDAYAAN Jika Anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka ja wabannya sederhana: Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia. Plato (428—347 SM).
Jiwa Atmaja
1.
Pendahuluan
S
etelah 38 tahun Pola Ilmiah Pokok (selanjutnya disingkat PIP) Kebudayaan ditetapkan Senat Universitas Udayana, perlukah disegarkan kembali ingatan kita melalui sebuah seminar? Tanpa harus menyisihkan fungsi seminar sebagai arena bertukar pikiran, seringkali seminar harus berakhir dengan wacana kelisanan, tanpa dokumen y a n g lengkap d a n
4
komperehensif, yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang, atau dapat dibaca dan dirujuk oleh peminat yang berada di luar ruang seminar itu. Oleh karena itu, jika generasi sekarang ingin memahami kembai PIP Kebudayaan, maka yang harus dilakukan antara lain mencari dokumen yang mungkin merekam pemikiran-pemikiran para seneor mengenai PIP Kebudayaan agar usia institusi kita tidak sia-sia oleh pengulangan-pengulangan yang sama antargenerasi. Ternyata tidak mudah mendapatkan dokumen
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
dimaksud, dan harus diakui kalau sebagian besar di antara kita kurang menghargai dokumen dan sejarah. Akibatnya, generasi yang akan datang kehilangan rujukan dalam menyatakan sesuatu dalam pengulangan belaka, jika belum dapat dikatakan malahan selalu memulai dari awal dalam membahas sesuatu, yang berkaitan dengan lembaga dan pendidikan. Apa yang dianggap kemajuan peradaban masa kini ternyata tidak lebih bijaksana dari peradaban masa lalu. Juga, dapat terjadi hal sebaliknya, tanpa berpikir historis, kita tidak mengetahui apakah
konsep, pemikiran dan strategi kebudayaan para pendahulu kita masih dapat digunakan di tengah dinamika kehidupan sosial dan keilmuan yang begitu cepat. Mungkin tidak banyak orang yang sejalan dengan pemikiran di atas, lalu mengaku bahwa institusi yang dikelolanya memiliki PIP Kebudayaan, yang akan memberinya identitas, tetapi tidak mengetahui apakah PIP dan kebudayaan itu, juga tidak tahu apa yang harus dilakukan? Akibatnya, PIP Kebudayaan ibarat selembar bendera yang dikibarkan di udara pada setiap perayaan Dies Natalis dan diturunkan setelah perayaan usai. Demikian seterusnya sehingga tanpa disadari PIP Kebudayaan telah dideklarasikan 38 tahun yang lalu, kini terasa tanpa menunjukkan kemajuan daripada sekadar memikirkan integrasi kurikulum (bernuansa kebudayaan) pada masing-masing fakultas. Demikian juga yang dipikirkan para seneor kita setelah PIP Kebudayaan ditetapkan pada rapat Senat Unud (12/03/1976). Dua belas tahun kemudian (1988), baru berhasil didaftar sejumlah matakuliah yang dianggap dapat merepresentasikan kebudayaan (lihat lampiran BPPIP Unud (1988). Jika sekarang (2014), kita masih berpikir mengenai hal yang sama, kemajuan seperti apa yang telah dicapai? Pertanyaan ini masih dapat disusul dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain, misalnya apakah Unud memiliki paradigma kebudayaan yang dapat dijadikan payung (kajian) multidisiplin dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang akan menjadi identitas Unud? Apakah Unud menyiapkan desain kajian/penelitian mengenai kebudayaan? Apakah masyarakat
Bali sebagai agensi kebudayaan Bali, yang unik dan eksotik, yang menjadi pertimbangan utama mengapa Unud tanpa berpikir panjang memilih kebudayaan sebagai PIP, telah dan akan menerima kontribusi hasil kajian (ilmu pengetahuan) para pakar kita? Apakah out-put Unud memiliki karakter yang khas, yang akan menunjukkan identitasnya? 2. Masih Mencari Landasan Konseptual Untuk melihat kemajuan apa yang telah dicapai Unud sehubungan dengan PIP Kebudayaan, dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, membaca ulang Buku Pedoman Pola Ilmiah Pokok (BPPIP) Kebudayaan? Kedua, apakah BPPIP disosialisasikan secara merata di lingkungan internal Unud? Dalam pembacaan ulang BPPIP akan diketahui apakah BPPIP memenuhi kriteria sebagai pedoman, dalam arti mengandung unsur strategi akademik/pendidikan, paradigma dalam rangka pengembangan dan mereproduksi pengetahuan, dan model pengabdian sesuai dengan dinamika sosial budaya masyarakat sekitarnya? Agaknya, ciri-ciri ini belum dimiliki oleh BPPIP sebagaimana akan ditunjukkan dalam paparan berikut. Jika keadaan BPPIP seperti itu, mengapa BPMU tidak memiliki keinginan untuk melakukan revisi atas BPPIP? Sebelum memaparkan hal di atas, patut diakui bahwa BPPIP berhasil disusun dan diterbitkan dalam lingkungan terbatas setelah Rektor ketika itu membentuk TIM Satuan Tugas PIP Unud melalui SK Rektor No. 2351/PT17.H/ III/N.13/1987. PIP Kebudayaan untuk pertama kali tercantum
dalam Statuta Unud tahun 1983, dan Statuta ini tanpaknya beberapa kali mengalami revisi, tetapi substansi PIP Kebudayaan Unud tidak berubah. Salah satu alasan disusun dan diterbitkan BPPIP adalah belum adanya pengertian dan definisi tunggal tentang PIP dan PIP Kebudayaan. Pengertian PIP dan PIP Kebudayaan masih bervariasi di lingkungan Universitas Udayana sendiri. Kegiatan dan pengembangan penelitian dan pengabdian pada masyarakat di Universitas Udayana belum berorientasi pada PIP Kebudayaan. Demikian dikemukakan Tim Satgas BPPIP Unud. Tentu saja tidak mungkin mendapatkan pengertian dan definisi tunggal tentang kebudayaan, yang mungkin adalah persepsi yang sama mengenai kebudayaan sehingga terjadi polarisasi aktivitas pendidikan dan penelitian dalam arti luas. Lebih jauh diungkapkan oleh TIM Satgas BPPIP bahwa kegiatan dan pengembangan penelitian, serta pengabidan pada masyarakat di Universitas Udayana belum secara jelas dirasakan berorientasi pada PIP Kebudayaan” (BPPIP Unud, 1988: 1). Lagi-lagi, kita harus mengajukan pertanyaan mengapa variasi pengertian kebudayaan di kalangan civitas akademika Universitas Udayana masih terjadi? Apakah karena belum ditemukannya pengertian tunggal mengenai kebudayaan itu harus diselesaikan dengan usaha mencantumkan entitas kebudayaan ke dalam kurikulum masing-masing fakultas? Jika pertanyaan ini lebih menimbulkan kesan bahwa Tim Satgas frustasi mengenai hal itu, maka haruslah dicarikan fakta tekstualnya
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
5
sebagai berikut. Menurut Tim Satgas BPPIP, kebudayaan adalah kerangka baku yang digunakan sebagai acuan dalam melihat, menilai, menentukan dan mengkaji masalah-masalah kebudayaan sebagai fenomena keilmuan (BPPIP Unud; bdk. Bagus, 2001: 5). Dalam rumusan PIP Kebudayaan tersebut, justru pengertian kata kebudayaan masih bersifat polisemi. Saptutunya, kata “Kebudayaan” pada PIP, mengandung makna kontekstual, yakni dalam konteks pendidikan dan konteks ontologi (formulasi objek keilmuan). Kata “kebudayaan” dalam konteks pendidikan lebih bermakna strategis, yakni bagaimana upaya yang dapat dilakukan agar menghasilkan out-put yang berbudaya? Ciri-ciri seperti apa yang tampak secara kasat mata pada diri (out-put) yang dapat diklaim sebagai berbudaya? Ciriciri fisik ini tentu mengarah juga kepada sikap mental sang diri. Apakah lingkungan baik fisik mapun akademik memiliki faktor yang kuat dalam membangun karakter berbudaya? Ternyata kita belum dapat menjawab
6
semua pertanyaan itu, apalagi menyiapkan infrastrukturnya. Ketika menjelaskan mengenai kebudayaan dalam konteks pendidikan, Tim Satgas BPPIP mencari acuan pada pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan GBHN:”Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti” [...]. Beberapa kali pun Undang-undang tentang Pendidikan direvisi agaknya tujuan pendidikan seperti itu tidak dapat diubah kecuali mengubah redaksi bahasanya saja sesuai selera politik yang sedang berkuasa. Di sini, dimensi aksiologi kebudayaan dilekatkan pada tujuan pendidikan yang dapat mengubah karakter peserta didik, yang berujung pada pembangunan karakter bangsa. Dimensi aksiologi kebudayaan juga dilekatkan pada partisipasi dan kontribusi sarjana dalam pembangun lokal (Bali) dan nasional (Indonesia). Kebudayaan dalam konteks pendidikan adalah melihat kaitan kebudayaan d a n
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
pendidikan. Meskipun definisi mengenai pendidikan sama banyak dengan definisi kebudayaan, agaknya definisi pendidikan yang diberikan oleh Kontjaraningrat dapat dijadikan rujukan. Ahli antroplogi ini menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk mengalihkan adat-istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru (via Said, 1989: v). Definisi ini tidak saja sarat dengan nuansa kebudayaan, paling tidak telah menunjukkan bahwa pendidikan memiliki nuansa kebudayaan. Dalam proses pendidikan seperti itu, dinamika transformasi kebudayaan antargenarasi dianggap berperan dalam membangun, paling tidak melestarikan peradaban manusia masa lalu yang adiluhung, tentu dengan upaya revitalisasi. Dengan kata lain, kebudayaan dalam konteks [kegiatan] pendidikan sangat diharapkan dapat mengarah kepada character building, apalagi di tengah degradasi moral elite penyelenggara negara yang semakin mengkhawatirkan. Meskipun degradasi moral itu tidak memiliki kaitan langsung dengan pendidikan
tinggi, tetapi tidak mudah menghindari tanggung jawab institusi pendidikan tinggi oleh karena degradasi moral koruptor itu justru dilakukan kalangan terdidik lulusan perguruan tinggi. Dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil sebagaimana diharapkan. Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Kedua, pengelolaan pendidikan yang ada selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pasar (Naim, 2012: 30). Strategi input oriented lebih bersandar pada asumsi bahwa bilmana semua input pendidikan telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan akan menghasilkan output yang bermutu pula. Kebudayaan dalam konteks pendidikan peradaban terlihat jelas pada alam pikiran Jerman. Di situ, terdapat dua istilah, yakni “kultur” dan “bildung”, yang dalam bahasa Anglosakon cukup dinyatakan dalam salah satu istilah, yakni “culture”. “Bildung” dalam dirinya melambangkan sumbangan pimikiran Jerman (Hegel, Fiichte), dan sastra (Goethe, Schiller) pada pengertian kebudayaan dan pada perwujudannya (Daoed Joesoef “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, 1986 : 3). Dua dari pengertian pokoknya adalah pembentukan intelektual, estetik dan moral pada manusia (serupa dengan konsep Tri Hita Karana pada masyarakat Bali). Persoalannya kemudian bagaimana menjalankan asumsi ini, dan bagaimana melihat dan membuktikan suatu output memiliki karakter mandiri dan berbudaya tanpa pernah
memikirkan strategi pendidikan peradaban itu sendiri. Sementara itu, kita juga menemukan istilah civilization (peradaban). Menurut Encyclopedia American pengertian civilization telah berkembang selama sejarah umat manusia. Pertama, kata itu berhubungan dengan sifat manusia yang berkelakuan baik dan dapat mengendalikan diri. Kemudian terjadi perkembangan dalam pengertian itu, yaitu civilization diartikan sebagai pertumbuhan menusia dalam menguasai pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai perilaku luhur. Artinya, apa pun definisi pendidikan yang dibuat orang, suatu hal yang selalu ditemukan adalah upaya sengaja mendewasakan manusian dan menjadikan [manusia] lebih manusiawi. Dalam abad ke-21, konsep ilmu antropologi menjelaskan bahwa kebudayaan adalah jumlah keseluruhan perilaku manusia sebagai hasil pelajaran (learned behavior, yang berbeda dari instinctive behavior), memperkuat pengertian kedua mengenai civilization tersebut (Suryahadiprodjo, dalam Agus S. Sarjono, 1999: 62). Tidak terhenti sampai pada pengertian civilizition kedua, kemudian berkembang lagi pengertian civilization yang baru, yang menekankan sifat khas dan adanya perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa. Dengan pengertian ini, maka di dunia ada berbagai peradaban. Jadi, berbeda dengan pengertian civilization pertama dan kedua, yang melihat perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan, civilization dalam pengertian ketiga cenderung melihat aspek lokalitas peradaban
bangsa-bangsa, di samping aspek universal peradaban. Memang, pembicaraan mengenai peradaban tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan pada umumnya yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat, atau yang diciptakan manusia dalam perkembangan sejarahnya. Setakat ini kita mahfum bahwa kata “kebudayaan” bersifat polisemi. Kata “kebudayaan” pada PIP juga berarti objek ontologis yang tidak mungkin menghasilkan konsep dan formulasi tunggal. Pada 1952, Kroeber dan Kluckhonhn, menemukan tidak kurang dari 166 definisi mengenai “kebudayaan” selama kurun waktu 1871—1952, yang diajukan oleh sarjana antroplogi, sosiologi, psikologi, ahli ilmu sosial, bahkan sarjana kimia, biologi dan ahli filsafat (Joesoef, 1986). Setiap sarjana menyatakan batasan pengertiannya sendiri, tekanan arti sendiri dan kadangkaang meliputi isu yang saling bertentangan. Hal ini tidak mengherankan karena sebagian besar dari definisi tersebut sebenarnya berupa definisi kerja (technical term), sedangkan kebudayaan (culture) yang dirumuskan sebagai definisi kerja baru muncul di dalam tulisantulisan ahli antropologi pada pertengahan abad ke-19. Kendala pada diri sendiri: Kalau dimensi ontologi kebudayaan pada PIP disederhanakan sebagai fenomena (objek) kebudayaan, maka kendala mulai tampak, yang muncul dari keberhimpitan antara subjek (penliti) dan objek (penelitian). Pelekatan subjek kepada objek cenderung
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
7
menjerumuskan subjek ke dalam pandangan dengan “kaca mata dekat”. Kecenderungan ini juga dilihat oleh I Gusti Ngurah Bagus (2003: 23) yang menyatakan bahwa selama ini, masyarakat Bali pada umumnya dan bahkan para budayawan dan pakar-pakar terkait terlalu terbenam pada konsep lama kebudayaan, yakni kebudayaan sebagai pedoman, panutan, dan norma sehingga menganggap masyarakat pendukung kebudayaan ada dan hidup dengan dibatasi oleh nilainilai budaya tersebut. Dalam pandangan tersebut, orang Bali yang baik (yang mengindahkan dan menjaga kebudayaan Bali) adalah orang yang memelihara keajegan (kebudayaan) Bali yang luhur dan adiluhung (ber-“budaya tinggi”) itu sendiri. Pandangan umum seperti itu, berimplikasi kuat pada cara pandang dalam memahami kebudayaan yang tidak sesuai dengan situasi (kekinian) perkembangan ilmu pengetahuan humaniora dan sosial. Kebudayaan pada aras ini lebih kepada penubuhan nilai dalam struktur sosial melalui pembentukan epistemologi dalam struktur pemikiran (Arif, 2010: 25). Dalam konteks keseharian, keadaan seperti ini tidak sulit ditemukan dalam aktivitas ritual masyarakat Hindu Bali, yang lebih menonjolkan unsur teater daripada hakikat ritual yang sebenarnya. Ritual seperti ini, dilihat oleh Balander (1984; Suryawan, 2013: 19) sebagai pintu masuk kekuasaan tradisional, yang kemudian menyusun dan mengatur tata upacara dalam dimensi dan makna tunggal. Umumnya, para pakar kebudayaan memahami dinamika kebudayaan Bali yang demikian itu, akan
8
tetapi tidak menyumbangkan perspektif apa pun, malahan larut menjadi agensi kebudayaan. Jika demikian, apa peran perguruan tinggi di Bali yang memilih PIP Kebudayaan baik secara terangterangan maupun gelap? Di tempat-tempat lain, secara keilmuan situasi ini kemudian menunjukkan pergeseran epistemik dari study of culture kepada cultural studies. Sebagaimana diketahui study of culture menempatkan kebudayaan sebagai satu domain yang dikaji secara bebas nilai, maka cultural studies menempatkan pengkaji budaya dan teori budaya sebagai subjek aktif petarung pemaknaan dalam suatu sites of contested representation and resistence. Jika Unud dan perguruan tinggi lain di Bali, yang memilih PIP Kebudayaan, semestinya melihat kondisi ini, lalu memilih untuk mengembangkan cultural studies dengan sungguh-sungguh tanpa
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
membuang semangat untuk berpihak kepada jalur kebudayaan kecil, dan tidak menjadi agensi kekuasaan yang mengatur tata laksana ritual yang membebani rakyat. Kembali pada soal polisemi dimensi ontologi kebudayaan pada PIP, BPPIP menggunakan cara berpikir, antara lain terjadinya konsentrasi kerja dengan memikirkan dan mencari-cari unsur (objek meterial) kebudayaan yang dapat diintegrasikan pada mata kuliah tertentu pada masing-masing fakultas. Upaya ini, agaknya bersifat instan dan upaya yang paling mudah, meskipun demikian membutuhkan tiga dekade untuk menuntaskannya. Mencari dan Memformulasikan Konsep Dasar Telah disebutkan bahwa kedudukan Universitas Udayana di bagian selatan pulau Bali
adalah kedudukan strategis, apabila kemudian menentukan kebudayaan sebagai Pola Ilmiah Pokok. Kata strategi dalam pengertian demikian adalah posisi yang dianggap menguntungkan sehubungan dengan potensi lingkungannya, yakni pulau Bali, yang memang dikenal memiliki kebudayaan yang unik dan eksotik. Akan tetapi, ketika berpikir dalam konteks keilmuan, strategi adalah [cara] memandang sesuatu sebagai kekuatan (Pranarka, 1987: 19). Dalam konteks ini, sepatutnya diperhitungkan dua hal, yakni kebudayaan dalam konteks pendidikan dan kebudayaan dalam konteks keilmuan masingmasing memiliki strategi, bahkan dalam konteks pengabdian pun diperlukan strategi apabila dipehami kondisi kebudayaan Bali yang akan menjadi target Tridharma. Dalam rangka inilah pengembangan keilmuan harus dilihat pula dari sistem filsafat ilmu yang berdeminsi, atau beraspek tiga, yang terdiri atas komponen ontologis, epistemologi an aksiologi. Sekadar mengulang, epistemologi adalah disiplin kefilsafatan mengenai pengetahuan, ontologi adalah disiplin kefilsafatan mengenai struktur, dan deontologi (aksiologi) adalah disiplin kefilsafatan mengenai hal-hal yang sifatnya normatif, meliputi etika perorangan dan etika sosial (Pranarka, 1987: 13). Pengembangan keilmuan PIP Kebudayaan dapat menjadikan Filsafat Ilmu Pengetahuan sebagai landasan filosofisnya dengan memberi dimensi kebudayaan di sana sehingga mencapai formulasi kebudayaan sebagai strategi (kata kerja), bukan semata kebudayaan sebagai
kata benda. Meskipun bagian ini masih memerlukan diskusi yang panjang dan tidak dapat diberikan di sini, harus diyakini bahwa mata kuliah filsafat ilmu seperti itu dapat efektif diberikan di berbagai bidang dan strata daripada memikirkan kuliah ilmu kimia bernuansa kebudayaan. Apabila kita mempertimbangkan tugas universitas adalah melaksanakan Tridharma perguruan tinggi, maka kebudayaan sebagai objek harus dipertimbangkan secara epistemologi, dan pertimbangan ini mencakup tiga tahapan: 1) pertimbangan strategis, 2) pertimbangan kebudayaan, dan 3) pertimbangan pendidikan. Pertimbangan strategis adalah [cara] memandang sesuatu [pengetahuan] sebagai kekuatan; pertimbangan kebudayaan bermakna bahwa berbicara mengenai epistemologi adalah berbicara tentang pengetahuan manusia, dan berbicara mengenai kebudayaan adalah berbicara m e n g e n a i manusia itu sendiri, dan pertimbangan pendidikan a d a l a h pertimbangan yang melihat pendidikan sebagai proses d i a l e k t i k pengetahuan =
menjadi suatu kekuatan apabila memiliki kedekatan epistemologi dengan potensi lingkungannya, yakni kebudayaan Bali. Di situ, BPPIP mengunakan metafora “warna” untuk menunjukkan unifikasi keilmuan Universitas Udayana. Metafora ini dengan mudah dapat dimengerti, tetapi belum menjelaskan aspek epistemologi kata kerja kebudayaan pada PIP. Karena itu, secara maknawi metafora “warna” keilmuan dengan mudah menodorong orang tergelincir ke dalam keadaan polisemi, yang di satu pihak merasa bangga karena telah memiliki “warna” tertentu, dan di pihak lain belum mampu menunjukkan substansi “warna” itu sendiri. Unsur-unsur apa yang dapat membangun pilihan “warna” keilmuan itu? Dalam BPPIP Unud dijelaskan landasan filosofis PIP Kebudayaan seturut tridimensi filsafat ilmu pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi: )0'-*-%'
3>7AB3;=:=57
Masing-masing dimensi filsafat keilmuan di atas dijelaskan secara umum, misalnya landasan ontologi menguraikan tentang apa yang ingin diketahui dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
9
epistemolgi menguraikan tentang metode, cara dan tahapan yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan keilmuan tersebut. Landasan aksiologi menguraikan tentang makna ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia (Suyatna, dkk., 1988: 13—14). Dengan penjelasan secara umum ini, unifikasi dan kekhasan kajian budaya dan kebudayaan sebagai objek polisemi yang akan dikaji belum terang, barangkali dari sinilah muncul gagasan untuk menyerahkan persoalan ini kepada masing-masing fakultas/program studi, dan secara personal untuk memikirkan landasan filosofis keilmuan masing-masing. Dalam hal yang satu ini Tim Penyusun BPPIP Kebudayaan benar bahwa dalam pelaksanaan PIP Kebudayaan, kebudayaan sebagai pokok permasalahan yang akan dikaji dalam pengembangan ilmu haruslah didefinisikan lebih dulu (1988: 13). Sebagaimana juga Bagus, Tim Penyusun BPPIP Kebudayaan ini juga mengutip pandangan Koentjaraningarat (dalam Alfian, 1985) yang merinci tujuh komponen kebudayaan, yakni (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Konsep ini (yang dianggap sebagai isi kebudayaan) kemudian digabungkan dengan konsep yang seakan-akan dapat mengatasi polisemi kebudayaan dengan menganjurkan untuk menganalisis konsep kebudayaan yang sangat luas ruang lingkupnya itu, sebaiknya dilakukan pada dua dimensi, yakni dimensi wujud dari kebudayaan, dan dimensi isinya. Dengan solusi seperti itu, seakan-akan persoalan ontologi dan epistemologi teratasi, tingal
10
persoalan aksiologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa ditinjau dari dimensi wujudnya, kebudayaan yang hanya ada pada makhluk manusia mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu (1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan, konsep, pikiran manusia yang disebut sistem budaya (cultural system), (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas, yang disebut sistem sosial (social system), dan (3) wujud sebagai benda, yang
agaknya I Gusti Ngurah Bagus (2001) melihat konsep dasar dan landasan filosofis keilmuan yang diformulasikan BPPIP Kebudayaan itu belum selesai, maka melalui jalan yang sama, disusunnya model yang dapat dianggap sebagai kelanjutan dari konsep dasar yang belum lengkap itu, yang disebutnya bentuk, fungsi dan makna. Bagus pun memvisualisasikan modelnya sebagai berikut.
'3=@3B7A
$@/9B7A
>:C@/:93A38/6B3@//<
+ ),
. / &4 ,% ,
)0'-*-%'
!
!#
-,1-*-%'
#.'01# +-*-%'
!#,12)
$2,%0'
. *#+ & ,
. 3-,% ,
;=23:B3=@7 0/@C93A38/6B3@//<;/AF/@/9/B
disebut kebudayaan fisik (psichal system). Dari sini BPPIP menarik kesimpulan demikian: Apabila kedua dimensi analisis konsep kebudayaan tersebut dikombinasikan ke dalam satu bagan, akan terjadi suatu kerangka kebudayaan yang dapat dipakai sebagai pangkal analisis segala macam kebudayaan yang mungkin dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan hasil analisis tersebut dipakai mewarnai pengembangan dan penerapan ilmu yang ada (Suyatna, dkk., 1988: 14). Dalam hubungan ini,
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
Dalam tulisan (2001) tersebut, Bagus tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagan yang disebutnya “keunggulan tujuan ganda PIP kebudayaan di Universitas Udayana”. Akan tetapi, pada bagan di atas didapati paralelitas landasan [filsafat] keilmuan di satu pihak dengan landasan filosofis PIP Kebudayaan di pihak lain, serta domain praksis kebudayaan Bali sebagai objek kajian. Dengan catatan, kata “kebudayaan” di sini bukan diartikan delam konteks pendidikan, melainkan dalam konteks kajian (keilmuan)
kebudayaan. Membaca model kajian kebudayaan di atas, agaknya Bagus meyakini juga bahwa paralelitas antara landasan filosofia PIP Kebudayaan dan kebudayaan (objek) praksis itu akan dapat menghasilkan model dan/atau teori baru, dan domain praksis dapat memberi manfaat praktis, yakni kesejahteraan (aksiologis) pada masyarakat. Jika demikian, Bagus menyadari bahwa apa yang telah diformulasikannya hanya beru merupakan landasan epistemologis, yang secara konseptual menemukan paralelitasnya dengan aspek ontologi kebudayaan Bali, yang memiliki konsep Tri Hita Karana sebagai praksis tujuan. Secara epistemologi, pernyataan Bagus ini sangat benar tetapi mengabaikan bahwa atmosfer keilmuan yang kurang kondusif di lingkungan Universitas Udayana khususnya, Bali pada umumnya justru merupakan suatu hambatan untuk dapat menghasilkan teori baru. Dari landasan filosofis keilmuan (bangunan segitiga di tengah) di atas, Bagus kemudian menarik dan menghasilkan model kajian yang disebutnya bentuk, fungsi dan makna sebagai berikut ini.
+ ),
#,12)
2,%0'
Dijelaskan oleh Bagus bahwa aspek bentuk menyoroti dan membatasi apa (aspek ontologi) yang ingin diketahui (Bagus, 1988). Dalam kaitan ini, keterwujudan atau bentuk yang menandai keberadaan sesuatu yang fenomenal itu dapat digapai dan dicapai secara inderawi, sehingga dapat diperoleh faktafakta empirik. Fakta-fakta empirik seperti peristiwa dan gejala kealaman yang terkait dengan manusia, masyarakat, dan kebudayaannya itu, dihubunghubungkan dan diangkat saripati, serta dinamika internal yang ada di balik fakta-fakta. Dengan demikian, pengetahuan kebenaran objektif tentang sesuatu atau apa yang berbentuk itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya Bagus menyatakan: Namun demikian, pemerolehan pengetahuan keilmuan itu merupakan hasil proses kerja yang teratur, terurut, dan terpadu. Hal ini mengacu kepada bagaimana (aspek epistemologi) metode, cara, tahapan yang digunakan dan ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan keilmuan itu. Ini berarti aspek ontologi terkait erat, dipengaruhi, dan bahkan sangat ditentukan oleh aspek epistemologi. Jalinan dan paduan keduanyalah yang menentukan proses perekayasaan ilmu sebagai suatu sistem. Dengan kata lain, aspek ontologi ilmu dipengaruhi, ditentukan, dan diperani oleh tata kerja keilmuan (metodologi) demi terwujudnya atau struktur ilmu (Bagus, 1988: 55). Bagus memperkirakan bahwa prestasi budaya ilmu untuk menemukan kebenaran secara empirik dan rasional itu haruslah mengandung makna tertentu yang memang terkait guna dengan
dan demi kehidupan manusia. Di sini, jelas bahwa Bagus memberi dimensi aksiologis pada kemungkinan pengembangan ilmu budaya, bukan cultural studies yang menganggap makna berdimensi epistemologis, yakni sesuatu (hasil) signifikasi semiotik atas objek ontologi. Hal ini dapat dimengerti karena Bagus memiliki basis antropologi linguistik (struktural) yang sangat kuat. Di samping memperoleh kebenaran yang faktual dan objektif, ilmu pengetahuan memang memberikan kemudahkemudahan yang lebih penting lagi adalah dengan ilmu pengetahuan itu, manusia harus lebih mampu memanusiawikan kebaradaannya, lebih meningkatkan harkat dan mutu kemanusiaannya dengan peringkat keadaban yang lebih memuncak pula. Sifat aksiologis inilah, meskipun sangat tergantung pada faktor manusia itu sendiri, yang harus dimiliki oleh ilmu pengetahuan dan terutama ilmuwan. Perwujudan sikap dan segi aksiologi keilmuan ini, sangat tergantung pula pada tingkat kesadaran, bobot dan mutu moralitas setiap pekerja ilmu atau pemakai jasa ilmu pengetahuan (Bagus, 1988: 55). Aspek aksiologi keilmuan ini bagi Tim Penyusun BPPIP Universitas Udayana diterjemahkan secara eksplisit harus berperan dalam pembangun lokal (Bali) dan nasional. Dengan mudah kita dapat menyetujui pernyataan Bagus di atas. Sebagai pola ilmiah pokok, maka konsep pengembangan keilmuan dalam kerangka PIP Kebudayaan itu jelas mengacu kepada ketiga aspek tersebut. Aspek bentuk dan fungsi (ontologi dan epistemologi) menjamin
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
11
keutuhan dan kestrukturan ilmu pengetahuan tersebut. Aspek makna (aksiologi) memberikan nilai guna dari ilmu pengetahuan yang dilandasi moral itu, demi perkembangan, pengembangan kebudayaan, dan kemanusiaan, di samping bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, penerimaan konsep dasar keilmuan yang dirumuskan Bagus di atas, perlu diberi catatan. Pertama, cara Bagus melihat dimensi ontologis kebudayaan sebagai sasaran kajian seperti itu, haruslah diakui sebagai pandangan keilmuan yang masih konvensional dan kurang mempertimbangkan dinamika keilmuan yang demikian pesat, yang mencapai klimak pada pernyataan Derrida bahwa segalanya adalah tanda, yang tidak berbentuk. Bagaimana kita memaknainya? Dengan pernyataan demikian, tidak berarti formulasi Bagus
12
tidak aktual, melainkan sangat mempertimbangkan atmorfer keilmuan di Universitas Udayana yang belum kondusif untuk memilih genre cultural studies dan pembacaan ini benar adanya. Kedua, aspek makna dalam aras aksiologi disinonimkan dengan nilai guna, yang dalam pemahaman cultural studies [aspek makna] adalah sisi lain dari kebenaran yang harus dicari oleh subjek pengkaji secara hermenuitik atau semiotika apabila objek kajian itu tidak berbentuk. Ketiga, konsep dan landasan keilmuan tersebut memang diperlukan sebagai landasan pengembangan keilmuan dalam kerangka PIP Kebudayaan, akan tetapi hanya sebagai landasan, yang di atasnya orang dapat membangun teori baru sebagaimana diharapkan oleh Bagus. Harapan ini tampaknya semakin jauh oleh gerusan visi pendidikan instan.
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
3. Simpulan dan Saran: 1. PIP adalah strategi pengembangan keilmuan, yang mempertimbangkan potensi lingkungan, untuk mengangkat unifikasi dan kekhasan PT bersangkutan. 2. PIP Kebudayaan adalah kerangka acuan dalam melihat,menilai, menentukan dan mengkaji masalahmasalah kebudayaan sebagai fenomena keilmuan. 3. Seturut tridimensi filosofis keilmuan, maka implementasi PIP Kebudayaan dilaksanakan pada dimensidimensi Tridharma PT dalam bidang penelitian terpadu (multidisiplin). Dengan catatan dimensi aksilogis tidak harus dan selalu diterjemahkan dalam bentuk pengabdian pada masyarakat dalam tindakan konkret saja, misalnya “bersih desa”, tetapi memperhitungkan
difusi ilmu pengetahuan dan mecerdaskan masyakar sekitarnya dalam bidang kebudayaan. Saran: 4. Perlu restrukturisasi lembaga-lembaga di lingkungan Universitas Udayana sebagai pelaksana penelitian dan memproduksi ilmu pengetahuan demi pengembangan ilmu itu sendiri dan pencerdasan lingkungan, serta mengawal perubahan dan rekayasa kebudayaan Bali khususnya, kebudayaan nasional pada umumnya. Restrukturisasi ini berkaitan dengan pengalokasian dana penelitian yang efektif untuk mendapatkan capaian yang mendukung “warna” keilmuan Unud sendiri. 5. Kajian Bali menjadi lembaga induk dari beberapa departemen (hukum adat, sapi bali, makanan tradisional, dll.) yang secara koordinatif bekerjasama dengan LPPM Unud untuk memproduksi ilmu pengetahuan bidang budaya demi difusi dan Tridharma PT. 6. Revisi BPPIP Unud, menemukan paradigma baru untuk “memayungi” polisemi makna kebudayaan, dan mengintegralkan aneka konsep keilmuan tanpa harus menghancurkan perbedaan konsep dasar masing-masing subdidiplin yang ada. 7. Mengubah visi Pascasarjana untuk menghasilkan peneliti yang tangguh di bidang kebudayaan yang sesuai dengan dinamika keilmuan yang berkembang di luar, tanpa menghancurkan
kekuatan lokalitas budaya lokal. Program Kajian Budaya tidak hanya menghasilkan magister dan doktor an sich, tetapi juga melaksanakan agenda penelitian yang secara politis menguatkan citra unifikasi keilmuan Universitas Udayana. [] Daftar Pustaka Arif, Syaiful. 2010. Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural. Yogyakarta: Ar-Russ Media. Bagus, I Gusti Ngurah. 1978. “Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Suatu Acuan Penggarapannya”, dalam Lembaran Pengkajian Budaya. _________. 1991. “Kerangka Konseptual Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan yang Brwawasan Budaya”, dalam majalah Widya Pustaka Edisi khusus Tahun VIII, hlm. 7— 11. _________. 2001. “Aplikasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan di Universitas Udayana dan Prospeknya di Tengah Perubahan Paradigma Ilmu”. Makalah disampaikan pada Kuliah Perdana Pascasarjana Universitas Udayana, 31 Agustus. Bagus, I Gusti Ngurah. 2003. “Titik Balik Paradigma Pengembangan Kebudayaan Bali untuk Masa Depan”. Makalah Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Jenks, Chris. 1993. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joesoef, Daoed. 1986. “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu
Pengetahuan”. Makalah kunci disampaikan dalam Forum Seminar Nasional “Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu” diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, 3—4 September. Naim, Ngainun. 2012. Charahter Building. Yogyakarta: ArRuzz Media. Pranarka, A.M.W. 1987. Epistemologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Proklamasi. Sarjono, Agus S. 1999. Pembebasan Budaya-budaya Kita. Jakarta: Gramedia. Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta: PT Gramedia. Soepramo, H.A., dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosiobudaya Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. Tashallori, Abbas dan Charles Teddiie. 1998. Mixed Methodology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said,M. 1989. Ilmu Pendidikan. Bandung: Alumni. Suyatna, I Gde, dkk. 1988. Buku Pedoman Pola Ilmiah Pokok. Denpasar: Universitas Udayana. Tim Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. 1988. “Pola Ilmiah Pokok Universitas Udayana”, makalah disampaikan pada Seminar Strategi Pengembangan Perguruan Tinggi yang Berorientasi pada Pola Ilmiah Pokok, 2 Mei di Denpasar.
WAHANA | No. 87 Th. XXX | Mei 2014
13