Daftar Pustaka TERINGAT MITOS KECENDIKIAAN Jiwa Atmaja .................................................................
1
IKAYANA PERLU MENCARI PEREKAT ..............
2
SEKITAR GAGASAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN TINGGI, ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Jiwa Atmaja .................................................................
4
PEMBERDAYAAN SISTEM SUBAK DI BIDANG EKONOMI DAN TEKNOLOGI Wayan Windia ............................................................
9
PERSAINGAN KEBAHASAAN: Bahasa Internasional Ancam Bahasa Nasional, Bahasa Nasional Ancam Bahasa Lokal I Wayan Pastika .......................................................... 16 HARAPAN BARU DARI MOS - Sebagai Pengganti Antibiotik dalam Ransum Unggas I Dewa Gede Alit Udayana ....................................... 19 ANJING GILA, SAPI GILA DAN ORANG“GILA” I Ketut Berata .............................................................. 22 PIKIRAN AMORAL SUMBER KEHANCURAN BANGSA DAN NEGARA Sayang Yupardhi & Nyoman Subagia .................... 25 FENOMENA GOLPUT DALAM PESTA DEMOKRASI A. Agung Putu Swabawa .......................................... 28
WAHANA
MENGENAL LEBIH JAUH TAMAN TRADISIONAL BALI Sudarsana A.A. Gede Dalem dan Sang Made Sarwadana ..................................... 32
No. 85 Th. XXX Maret 2014
Tinjauan Buku: IMAJINASI PENGHALUS JIWA Jiwa Atmaja ................................................................. 37
MEDIA PEMATANG ALUMNI UDAYANA
Ilustrasi Cover: repro
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
3
Sajian Utama
SEKITAR GAGASAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN TINGGI, ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Jiwa Atmaja
S
etelah polemik m e n g e n a i otonomi perguruan tinggi, menyusul dibatalkannya Undang-undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Makamah Konstitusi. Dalam pandangan MK, UU tentang BHP tersebut tidak sesuai dengan konstitusi karena berdampak pada pendiskriminasian hakhak warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Disusul kemudian dengan berbagai peraturan baik menyangkut institusi maupun kinerja dosen,
4
yang menyebabkan pengelola dan dosen perguruan tinggi “gaduh” dalam melaksanakan semua instruksi itu. Kecuali, suatu hal “kegaduhan” masih mengesankan bahwa perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN) hanya merupakan perpanjangan tangan dari Kemendikti. Akhir Januari dan awal Februari 2014, terjadi kembali polemik mengenai kemungkinan perguruan tinggi berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (KPT-Iptek). Tidak tanggung-tanggung, kali ini gagasan menempatkan pendidikan tinggi di bawah
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
KPT-Iptek muncul dari konvensi Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Sebelas Maret (UNS), di Surakarta 30-31 Januari 2014. Mengapa FRI merekomendarikan hal seperti itu, alih-alih teguh memperjuangkan otonomi yang tidak pernah tuntas dan belum berhasil digenggamnya? Adakah para rektor itu geram karena penelitian di perguruan tinggi kurang produktif, kurang terkonsentrasi dan tidak integral karena itu harus dibentuk suatu lembaga lagi untuk mengurusnya? Atau, gagasan itu muncul dari perguruan tinggi negeri papan atas, karena merasa telah melakukan penelitian secara maksimal,
tetapi dana yang dialokasikan Pemerintah untuk mereka sangat terbatas? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dengan sendirinya sehubungan dengan kemungkinan miskomunikasi antarrektor perguruan tinggi itu sendiri dan ketidak-utuhan informasi yang disampaikan melalui media massa kepada publik. Masalah ketidakutuhan informasi yang sampai ke publik agaknya dapat dibenarkan mengingat dua hal, pertama Ketua FRI, Rafik Karsidi dan Ketua Dewan Pembina FRI, Laode M Kamaluddin, merasa perlu mendatangi kantor redaksi harian Kompas (2/4/2014), disertai Tantri Abeng, antara lain untuk menjelaskan tren universitas di dunia yang telah berubah, yakni melaksanakan kerjasama intensif dengan kalangan industri. Lagilagi, ini bukanlah informasi terbaru yang harus mereka sampaikan. Kedua, ihwal miskomunikasi itu juga diakui oleh Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, yang juga salah seorang nara sumber dalam konvensi FRI di Surakarta itu (lihat “Kontroversi KemendiktiRistek, Kompas 26/2/2014, hlm. 6). Kalaupun Azyumadi Arza mengaku ada di sana, ia tidak merasa perlu menjelaskan apakah gagasan membentuk KPT-Iptek merupakan materi yang dibahas dalam konvensi, karena ia lebih tertarik untuk menjadikan perguruan tinggi kita sebagai universitas riset dengan berbagai alasan, kegiatan riset di Indonesia terpencar-pencar pada berbagai lembaga dan instansi, seperti Kementeristek, LIPI, dan BPPT. Institusi-institusi ini, menurut Azra, bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi sehingga tidak mampu mencapai hasil maksimal dalam memajukan Iptek. Untuk
menuju impiannya itu, Arza menyempaikan resep, antara lain perlu meninjau ulang ketentuan tentang tugas para dosen, riset yang dilakukan para dosen bukan sekadar riset rutin untuk kenaikan pangkat dengan dana APBN/DIP/ PT (ini artinya perlu menambah dana), publikasi yang lebih luas. Seluruh paparan Azra masuk akal dan ideal sebagaimana umumnya intelektual di Indonesia yang gigih memperjuangkan gagasan baru, tetapi ujungujngnya hanya soal dana penelitian, apakah dengan dana yang memadai riset di perguruan tinggi akan produktif baik secara kualitas maupun kuantitas? Seorang intelektual memang harus yakin akan kebanaran gagasannya, karena itu ia harus mencari momentum untuk memunculkannya:”Di lingkungan FRI, gagasan itu menemukan momentum ketika forum ini dipimpin oleh Laode M. Kamaluddin”, tulis Azra (Kompas, 26/02/2014, hlm. 5).Sayang, saat ini publik sulit mempercayai suatu gagasan baru secara konsisten akan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, selalu ada “udang di balik batu”. Dari sini, tahulah kita bahwa gagasan mendirikan KPT-Iptek bukanlah gagasan Laode, tetapi gagasan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, yang justru disambut dingin oleh FRI (Budi Widianarko, Kompas 1/3/2014, hlm. 6). Karena itu, gagasan mendirikan KPT-Iptek tersebut bukan murni gagasan FRI. Di sini, Arza memang tidak melakukan miskomunikasi, tetapi mengabaikan fakta bahwa gagasan KPT-Iptek Irman Gusman tersebut disambut dingin oleh para rektor yang hadir pada konvensi FRI, “gagasan pemisahan urusan PT dari jenjang pendidikan yang lebih rendah jangan-jangan hanya
dilandasi cara pandang pragmatis dan jalan pintas”, tulis Budi Widianarko (Kompas, 1/3/2014). Bukan Widianarko adalah juga anggota FRI? Keheranan lain yang diungkapkan Widianarko adalah mengapa gagasan pembentukan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi tersebut justru menjadi salah satu butir yang direkomendasikan FRI? Padahal, ketika gagasan ini dilontarkan Irman Gusman, para rektor menyambutnya dingin dan ekspresi mereka menunjukkan keraguan apakah gagasan tersebut merupakan pilihan yang tepat. Jika demikian, pastilah ada serangkaian negosiasi di luar forum yang mengubah “olok-olok” tersebut menjadi salah satu butir rekomendasi FRI. Mungkinkah di balik negosiasi itu, ada landasan yang pragmatis? Para penyebar gagasan KPTIptek tampaknya mengabaikan kondisi riset di perguruan tinggi saat ini, yang harus didalami dengan menjawab pertanyaan apakah dana besar dapat menjamin kualitas penelitian, mengingat kebiasaan dalam melakukan riset berakhir dalam pertanggung jawaban administrasi, bukan pertanggung jawaban ilmiah. Atau, sesungguhnya mereka mengetahui kondisi riset di berbagai PT saat ini, lalu ingin membangkitkannya, tentu melalui tuntutan pengalokasian dana riset yang lebih besar, yang jika dipenuhi Pemerintah dipastikan akan turun lebih besar di beberapa PTN besar saja. Alasannya masuk akal, PT di luar itu belum mengembangkan basis riset yang kuat dan memadai. Sejujurnya, kampuskampus kita belum merupakan komunitas ilmiah yang worthy bythe name. Karena itu, adalah tugas para rektor untuk mewujudkannya (Daoed Joesoef
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
5
“Missi Perguruan Tinggi Kita”, Kompas, 18/2/2014, hlm. 6). Dengan kalimat yang agak terus terang dapat dikatakan, umumnya, riset-riset di PT tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, karena harus berakhir tanpa defusi dan tanpa verifikasi publik. Siapa yang akan menilai karya riset guru besar itu? Kecuali, karya riset itu dimodifikasi kemudian ditransmisikan ke publik agar publik dapat menilainya, jika secara internal tidak terjadi dialektika yang semestinya. Kondisi seperti itu, harus diakui secara jujur dan jika gagasan KPTIptek muncul dari kondisi seperti itu, maka pernyataan Widianarko bahwa “jangan-jangan gagasan tersebut dilandasi cara pandang pragmatis” dapat dibenarkan. Memang, ke depan kita harus mengubah atmosfer akademik ke arah yang lebih baik, tetapi siapa, gagasan dan tindakan macam yang dapat mengubahnya? Justru tugas berat yang harus dilakukan agar peserta didik memiliki kultur belajar yang baik adalah membangun komunitas akademik (learning community) yang sehat. Komunitas belajar tidak hanya dibangun di dalam sekolah atau kampus, tetapi juga lingkungan tempat mahasiswa itu tinggal. Kultur belajar itu tidak hanya dibangun dengan perkuliahan yang reguler sebanyak 18 kali pertemuan per semester, tetapi juga didukung lingkungan kampus yang mendorong kaum terpelajar itu untuk mandiri mengumpulkan informasi dan memformulasikan kembali baik secara individual maupun kelompok. Tidak mungkin kultur belajar itu tumbuh di atas kondisi yang semerawut, kecuali Rabindranath Tagore yang dapat melakukan perkuliahan di bawah pohon lantaran memiliki mahasiswa yang berbakat dan bermental baja.
6
Selain itu, pembentukan komunitas keilmuan harus disertai dengan pengembangan kajian-kajian keilmuan yang mendasarkan pada pendekatan multidisiplin dan interdisiplin. Ke depan, tampaknya akan terjadi perubahan besar dalam bentuk dan cara-cara pengkajian. Bentuk pendekatan transdisiplin akan memberi ruang yang lebih seimbang pada setiap orientasi kajian, pendekatan, dan pengetahuan sehingga tidak mustahil akan terbangun pengetahuan dengan perspektif non-linier dan kaya dimensi karena di dalamnya terjadi jalinan hubungan dan gabuangan pengalaman-pengalaman yang berbeda, tetapi bersatu untuk saling melengkapi (Prasodjo, dalam Irianto, 2012: 51). Tuntutan demikian sangat terasa bagi Universitas yang mengembangkan Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan. Kesalahpahaman tentang Missi Lagi pula, apakah perguruan tinggi kita hanya melaksanakan riset? Barangkai demikian yang ditangkap oleh Daoed Joesoef ketika gagasan mengenai KPTIptek dilontarkan ke publik. Daoed Joesoef kemudian menulis:”Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT” (Kompas, 18/2/2014, hlm. 6). Pada bagian lain dari tanggapannya, Daoed Joesoef mengakui bahwa PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang “siap pakai” di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita sedemikian rupa sehingga mengusai semakin banyak
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
potensi tersembunyi dalam alam dan interaksi manusia. Spirit ilmiah, paling tidak menggunakan penalaran tidak saja perlu dikembangkan di lingkungan kampus, tetapi juga pada masyarakat di luar kampus agar tidak seluruh kehidupannya diatur oleh mitos. Baik Daoed Joesosef maupun Budi Widianarko memandang bahwa mandat atau tugas universitas bukanlah hanya melaksanakan riset. Bahkan, ketika kita melihat kembali peran yang diterapkan dari sebuah universitas riset (research university), maka produk pertamanya adalah pendidikan. Widianarko lalu mengutip Lendel, dalam perekonomian berbasis ilmu pengetahuan (knowledge economy) sekali pun universitas dapat dipandang layaknya sebuah industri multiproduk dengan tujuh produk, yaitu (1) pendidikan, (2) produk budaya, (3) tenaga kerja terlatih, (4) penelitian kontrak, (5) difusi teknologi, (6) penciptaan pengetahuan baru, dan (7) produk dan industri baru. Dalam melaksanakan tugas pendidikan seyogianya, universitas menghasilkan periset yang andal, terutama di tingkat S2 dan S3. Meskipun tidak semua mahasiswa yang berkuliah di tingkat S2 dan S3 dapat diberdayakan menjadi periset yang tangguh, paling tidak dapat dihasilkan 25 % dari keseluruhan mahasiswa dapat dibentuk menjadi periset yang andal dan merekalah yang akan menggerakkan lembaga-lembaga yang menjalankan tugas khusus penelitian. Untuk mencapai tujuan itu, spirit keilmuan harus dibangun dan dikembangkan secara terus menerus di universitas. Sejujurnya, bandingkan pandangan ini dengan apa yang dilakukan para pengelola pascarsajana, umumnya mereka melayani kepentingan pragmatis
banyak pihak untuk mendapatkan gelar akademik tertinggi. Salah satu indikasinya adalah melayani bahkan mendorong mereka untuk menyelesaikan studi secapatnya dengan alasan tempat duduk yang bersangkutan menghambat mahasiswa baru yang akan datang. Padahal, mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tidak duduk di kelas perkuliahan. Sejalan dengan Widiarnako, Daoed Joesoef menilai Tridharma PT di negeri ini sudah benar, untuk tahap akademis Indonesia dewasa ini. Tugas pertama dan terutama PT adalah mendidik, baru riset, lalu pengabdian masyarakat. Karena itu, saran Daoed Joesoef, para rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan PT yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemajuan peradaban human dan demi perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Lagi-lagi, tidak nyaman untuk disinggung justru mengenai pelaksanaan missi yang sejati ini pun, PT kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para aktivis akademika mengabaikan begitu saja natur ilmu pengetahuan. D e n g a n demikian, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa gagasan untuk menjadikan perguruan tinggi kita research university adalah sebuah utopia, bahkan menjadi mimpi di siang hari untuk mengharapkan hasil penelitian universitas dapat diimplementasikan kalangan industri, apalagi untuk
mendapatkan royalti dan hak paten. Bukan ingin merendahkan budaya riset di perguruan tinggi yang ada, akan tetapi kalangan industri sendiri umumnya memiliki tim riset yang andal untuk memenuhi kebutuhannya. Meskipun demikian, risetriset unggulan harus tetap diupayakan implementasinya untuk kesejahteraan umat manusia, tanpa mengabaikan atau mengurangi tugas pendidikan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang mandiri unggul dan berkarakter. Pandangan di atas telah dikemukakan oleh mantan Presiden Soeharto ketika menyampaikan amanat di depan para rektor universitas dan institut swasta se Indonesia pada 1986: “Sebagai negara yang sedang membangun, jelas kita memerlukan banyak universitas. Tetapi yang jelas bukan
sembarang universitas. Yang kita perlukan adalah universitas yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan yang mampu memberi sumbangan kepada pembangunan. Karena itu, jauh lebih penting dari besarnya jumlah, maka yang harus kita perhatikan adalah tingginya mutu, mutu yang dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa mutu maka universitas dan sarjana tidak akan mampu menggerakkan pembangunan masyarakat, malahan mungkin sebaliknya, menjadi beban masyarakat” (dikutip dari Soeparmo, 1986:1). Penegasan Presiden Orde Baru di atas mengisyaratkan dua gagasan utama yang memberikan gambaran tentang citra perguruan tinggi, yaitu (1) perguruan tinggi mempunyai fungsi strategis dalam perspektif pembangunan Indonesia; dan (2) fungsi strategis perguruan tinggi terletak pada mutu ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan serjana berpotensi pembangunan yang dihasilkannya. Apakah karena penegasan itu disampaikan oleh penguasa orde baru, maka kita abaikan saja? Atau, kita abaikan penegasan itu, karena kita telah merasa tinggal landas dan tidak perlu lagi melakukan pembangunan? Jika demikian, mengapa infrastruktur publik kita banyak yang ambruk, mengapa juga aspek mentalitas kita juga ambruk, justru di tingkat elite penguasa yang nota bene memiliki kewajiban menjaga dan
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
7
mengembangkan kedua aspek tersebut. Memang, pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan perkuliahan juga memerlukan pengembangan riset. Namun, menggelumbungkan riset di atas kondisi kultur belajar yang lemah seperti itu, ternyata lebih mengesankan keinginan untuk memburu dana riset untuk menambah penghasilan. Mengubah generasi muda yang berkarakter dan integral melalui pendidikan tinggi agaknya merupakan kebutuhan yang mendesak sehubungan juga dengan status perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan. Tugas ini tidak mungkin diabaikan atau dikurangi mengingat kebusukan di tingkat politik elite demikian parah, korupsi semakin meluas, yang harus diminimumkan dengan membangun generasi muda yang lebih berbudaya dan berkarakter untuk menyingkirkan mereka di tahta yang sekarang mereka kangkangi. Untuk hal ini saja kita tidak memiliki konsep, tidak memiliki landasan filosifis, apalagi dapat mewujudkannya. Alih-alih mengubah diri menjadi research university, kehancuran negara bangsa sudah di depan mata karena terlambat membangun generasi muda berkarakter mulia. Penutup Paparan di atas juga menunjukkan dinamika pemikiran sekitar kemungkinan mengembangkan perguruan tinggi di Indonesia. Dinamika pemikiran itu, menunjukkan beberapa hal. Pertama, justru kalangan terpelajar kurang memiki kepekaan untuk fokus dalam memahami suatu masalah. Hal ini dapat dianalisis dari beragamannya opini yang muncul, yang dapat mengaburkan akar masalah. Padahal, pemikiran Riman
8
Gusma, pihak yang melontarkan gagasan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dengan Kementerian Riset dan Teknologi menjadi Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi tidak seperti yang dipikirkan para penanggapnya (lihat Irman Gusman “Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset”, Kompas 6/3/2014, hlm 6). Gusman merinci alasan mengapa gagasan tersebut dilontarkan, antara lain (1) mengoptimalkan penggunaan dana 20% APBN untuk fungsi pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 hasil amademen, (2) dengan dikeluarkannya Ditjen Dikti dari Kemdikbud, kementerian ini bisa lebih fokus hanya untuk urusan pendidikan dasar dan menengah dengan sasaran utama pembentukan karakter bangsa sebagaimana ditegaskan dalam tujuan pendidikan nasional; (3) untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat perlu dilakukan sinergi antara fungsi pendidikan tinggi. Pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi akan menjadi sarana dan wahana implementasi dari sinergi itu. Bukankah sasaran yang ingin dicapai Riman Gusman masuk akal? Mengapa para nara sumber dan anggota FRI, yang menulis dan tulisannya sudah diulas di atas, tidak memahami hal itu, malahan menggeser masalah ke soal riset dan mengulasnya dengan opininya sendiri? Bukankah para rektor itu menyandang status guru besar? Agaknya, ada sesuatu yang tidak beres ketika seseorang merasa berada di puncak kekuasaan dan status, yakni kurang menggunakan kesederhanaannya untuk memahami suatu masalah dengan
WAHANA | No. 85 Th. XXX | Maret 2014
benar kemudian memberinya solusi. Akar masalah tidak pernah dipahami, opini muncul spontan dan melebar, serta tidak menghasilkan solusi yang tepat. Di balik semua itu, spirit keilmuan agaknya menurun drastis. Daftar Pustaka Anonim. 2014. Pendidikan Tinggi: Tren Universitas di Dunia. Jakarta: Kompas, 25/2, hlm. 12. Armstrong, Karen. 2012. Compassion. Bandung: Mizan. Azra, Azyumardi. 2014. Kontroversi KemendiktiRistek. Jakarta: Kompas, 26/2, hlm. 6. Gusman, Riman. 2014. “Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek”. Jakarta: Kompas, 6/3/2014, hlm. 6. Joeseoef, Daoed. 2014. “Misi Perguruan Tinggi Kita. Jakarta: Kompas, 18/2, hlm. 6. Suyono. 2014. Tri Dharma PT dan Karier Dosen. Kompas, 28/2, hlm. 6. Soepramo, H.A., dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosiobudaya Indonesia. Surayaba: Airlangga University Press. Prasojo, Eko. 2012. “Otonomi Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) sebagai Pilar Menuju Uinversitas Berkelas Dunia”. Dalam Sulistyowati Irianto (ed) Otonomi Perguruan Tinggi Suatu Keniscayaan. Jakarya: Buku Obor. Widianrako, Budi. 2014. Universitas, Rumah Belajar. Jakarta: Kompas, 1/3, hlm. 6.