ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika ‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
Karakteristik Anak Jalanan dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin1 Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas
Abstrak Isu perlindungan anak di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang cukup. Undang-undang 4 tahun 1979 yang melingkupi kesejahteraan anak, dan No. 23 tahun 2002 dalam hal perlindungan anak. Hak anak, seperti hak hidup, hak perlindungan dari ancaman, hak persamaan derajat dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, hak untuk dipekerjakan, dan hak untuk mendapatkan kebutuhan mereka seperti makanan, pakaian, dan tempat bernaung. Secara kuantitatif, jumlah anak-anak jalanan di Padang telah meningkat. Penelitian ini memberikan informasi mendalam tentang berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh anak-anak jalanan di kota Padang. Penelitian ini dilakukan di lima titik perkumpulan anak-anak jalanan di Padnag. Studi ini menemukan kekerasan terhadap anak-anak jalanan dan beberapa faktor yang menyebabkannya. Demoralisasi di kalangan anak jalanan merupakan reaksi terhadap situasi yang serba terbatas dan kerasnya kehidupan di jalanan. Sulit untuk membuat batasan yang tegas tentang moralitas pada kelompok anak jalanan. Kehidupan dan kekerasan yang terjadi di jalanan, tetap merupakan suatu realitas fenomenologis bagi anak jalanan. Terlihat juga berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi sesama anak jalanan di dalamnya sarat dengan muatan resiprositas, dan dapat dilihat sebagai bentuk jejaring pengaman sosial. Kata Kunci: Anak jalanan, kekerasan, perlindungan sosial
Abstract Protection issues of children's rights in Indonesia has not received sufficient attention. Law 4 of 1979 concerning child welfare, and No. 23 of 2002 on the protection of children. Children's rights, such as the right to life, the right to protection from the threats to her own safety, the right to equality in education, employment, health, the right to employment, the right to meet the needs of food, clothing and shelter. Quantitatively, the number of street children in the city of Padang in the last ten years has increased. This research provides in-depth information about the various forms of violence experienced by street children in the city of Padang. This study was conducted in five point activity gathering place and street children in the city of Padang. The study found that violence to street children and some factors which it caused the violence. Demoralization among street children is a reaction to a situation that is very limited and the rigors of life on the streets. It is difficult to make strict limits on the morality of the group of street children. All forms of violence experienced by children and street, is a phenomenological reality for street children and a variety of social interactions that occur among street children in it loaded with a cargo of reciprocity, and can be seen as a form of social safety networks. Keywords: Street children, violence and abuse, social protection
1
176
Pengajar pada Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas. E-mail:
[email protected]
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
Pendahuluan Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera, berpenduduk dengan jumlah penduduk 1.106.421 jiwa (BPS 2013). Pola pemukiman penduduk terkonsentrasi di pusat kota, lokasi-lokasi pemukiman padat, antara lain, daerah Purus, Parupuak Tabing, Simpang Haru, Lubuk Begalung dan Seberang Padang. Namun, pasca gempa 2009, terjadi perubahan konsentrasi penduduk Kota Padang, yang semula dipusat kota dekat dengan pantai, bergeser arah timur ke Kecamatan Kuranji dan Koto Tangah. Permasalahan yang dihadapi pemerintah Kota Padang, hampir sama dengan masalah yang dihadapi pemerintah kota-kota lainnya di Indonesia, antara lain tingginya angka urbanisasi dari angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tidak tersedianya lapangan kerja untuk mereka, sehingga banyak warga kota tidak memiliki pekerjaan tetap, dan bekerja serabutan. dilihat dari profil keluarga anak jalanan, data yang diperoleh dari pengelola rumah singgah, sebagian besar orang tua anak jalanan tidak memiliki keterampilan, dan bekerja sebagai nelayan, petani dan buruh bangunan. Perkembangan Kota Padang menjadi kota besar di Sumatera Barat, secara sosial dan secara spasial mulai terlihat, di beberapa kelurahan pemukiman penduduk relatif padat, dan sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor informal. Secara geografis pemukiman penduduk yang relatif padat, sebagian berada di dekat pantai dengan infra struktur yang masih terbatas. Kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor informal menjadi sumber pendapatan utama masyarakat yang tinggal di kawasan pemukiman padat di sekitar pantai. Bekerja sebagai buruh kasar, seringkali tidak tersedia sepanjang waktu dan mengakibatkan pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Akibatnya banyak anggota keluarga yang akhirnya bekerja serabutan. Lokasi pemukiman yang berdekatan den-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
gan kawasan wisata pantai memberi peluang kepada ibu-ibu dan dan anak perempuan untuk berpartisipasi dalam menopang ekonomi keluarga, dengan berjualan minuman dan makanan ringan kepada wisatawan. Perempuan terlibat aktif di sektor informal, karena pekerjaan di sektor informal tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar. Kenyataan ini menepis cara pandang yang menyangkal kemampuan ekonomi perempuan. Adanya ideologi yang membatasi ruang gerak perempuan di sektor domestik tidak beralasan, karena dalam praktiknya perempuan bekerja dan memberikan sumbangan ekonomi yang signifikan untuk kelangsungan keluarga. Adanya berbagai program pembangunan belum mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan taraf hidup keluarga dan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan penduduk miskin di Kota Padang. Di beberapa kawasan, seperti kawasan by pass transformasi pembangunan yang berlangsung justru menghasilkan sejumlah dampak negatif, antara lain karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian akan sangat berpengaruh terhadap keluarga yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Proses marginalisasi keluarga petani di perkotaan, secara langsung akan terlihat menurunnya inisitaif, pudarnya kemandirian dan akan memicu munculnya konflik sosial yang bersifat vertikal maupun horizontal yang dialami masyarakat perdesaan. UUD 1945, khususnya pasal 27 ayat 2, mengamanatkan bahwa: “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam kenyataannya amanat tersebut tidak mudah diwujudkan, mengingat kemajemukan masyarakat Indone Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan imsia. Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Anak merupakan aset masa depan, kegagalan dalam memahami kebutuhan anak, akan berujung pada kegagalan dalam membuat anak untuk mandiri di masa Jaminan sosial dalam suatu masyarakat
177
merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan negara maupun yang diselenggarakan institusiinsitusi sosial yang ada dalam masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya. Di Indonesia peran negara sebagai penyelenggara jaminan sosial masih terbatas pada kelompok sosial tertentu, seperti pegawai negeri, ABRI, pegawai BUMN, tenaga kerja di sektor swasta, sedangkan untuk kelompok sosial lainnya, kurang lebih sekitar 80% yang bergerak di sektor pertanian; kelautan dan informal di perkotaan belum dapat diselenggarakan oleh negara. Di sisi lain, insititusi sosial yang berbasis masyarakat secara signifikan berperan sebagai penyelenggara jaminan sosial mulai berkurang perannya dalam masyarakat. Hasil pendataan sosial ekonomi penduduk Kota Padang, menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk miskin; tahun 2010; 306.108 jiwa naik menjadi 326.705 jiwa tahun 2011. Meningkatnya jumlah keluarga miskin di Kota Padang, akan berpengaruh terhadap kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga, sehingga keluarga miskin akan melakukan berbagai strategi adaptasi agar apa yang menjadi kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Tidak ada data yang betul-betul valid tentang berapa jumlah anak-anak yang terpaksa harus berada di jalanan agar kebutuhan anakanak dan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Padang, pada tahun 2012 diperkirakan ada sekitar 1651 orang anak-anak yang mencari nafkah dijalanan, namun angka tersebut terus mengalami peningkatan. Secara umum karakteristik atau karakteristik yang menonjol untuk anak jalanan yang terdapat di Kota Padang adalah sebagai berikut; 1) anak-anak yang masih memiliki hubungan dengan orang tuanya dan tidak lagi sekolah. Keluar rumah di pagi hari, kembali ke rumah sore hari. 2) Anak yang masih sekolah, akan tetapi keluar rumah di pagi hari atau sore hari, sebelum atau sesudah jam sekolah. Masih memiliki hubungan dengan orang tua, atau mereka berada di luar
178
rumah sepengetahuan orang tua. 3) Anak-anak yang sudah putus sekolah, hubungan dengan orang tua terbatas. 4) Anak-anak yang tidak bersekolah dan bersama orang tuanya berada di jalanan dan tidak memiliki tempat tinggal, biasanya berada di jalanan sampai tengah malam. Di Kota Padang, lokasi tempat berkumpul dan beraktivitas anak jalanan berada di lima lokasi, yaitu, 1) lokasi di perempatan jalan Khatib Sulaiman, 2) lokasi di perempatan kantor Pos besar jalan Sudirman, 3) lokasi pasar raya Kota Padang, 4) lokasi jalan Ratulangi dan jalan Patimura, 5) Lokasi jalan By pass, perempatan Lubuk Begalung. Pilihan lokasi secara kebetulan saja, namun di keempat lokasi tersebut, menurut informan tempat-tempat yang memungkinkan mereka mendapat uang (Erwin 2011) Di beberapa kota besar di Indonesia, kekerasan terhadap anak jalanan mengalami peningkatan, baik kualitas dan kuantitas, sebagaimana yang diberitakan media elektronik dan media cetak. Gejala yang sama juga terjadi di Kota Padang, sebagaimana yang dilansir oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang (Padang Ekspres 19/07/2011). Tingkat kekerasan yang terjadi pada anak jalanan di Kota Padang, juga sudah sangat mengkhawatirkan, sebagaimana yang dilansir oleh Direktur LBH Padang Vino Oktavia menyebutkan, data yang masuk ke LBH, ada lima item kasus anak, antara lain, pemerkosaan 14 kasus, pencabulan 21 kasus, kekerasan terhadap anak 28 kasus, sodomi dua kasus dan perdagangan anak tiga kasus (Padang Ekspres, 19/07/2011). Salah satu faktor penyebabnya adalah karena sebagian besar waktu mereka ada di jalanan. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adala pengamatan langsung di lokasi tempat anak jalanan melakukan aktifitas dan pada beberapa tempat tinggal anak jalanan. Wawancara ter struktur dilakukan
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
dengan staf dinas sosial, staf satpol PP dan pengelola rumah singgah. Wawancara terstruktur dengan anak jalanan dilakukan di beberapa tempat dengan berjanji terlebih dahulu. Proses dan tahapan pelaksanaan penelitian yang dilakukan adalah (1) pengumpulan data tentang karakteristik anak jalanan (2) bentukbentuk kekerasan yang dialami anak jalanan (3) cara-cara yang dilakukan anak jalanan untuk menghadapi petugas satpol PP dan petugas kepolisian. Analisis data dimulai pada saat pengumpulan data di lapangan, kemudian mengelompokkan data yang diperoleh ke dalam kategori-kategori sesuai dengan tujuan penelitian. Pada tahap awal data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan emik. Maksudnya peneliti meminta anak jalanan memaknai kondisi mereka sebagai bagian dari masyarakat luas dan dalam kaitannya dengan interaksi mereka dengan Satpol PP. Selanjutnya, baru dilakukan interpretasi data dari perspektif etik. Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Pedesaan Pada masyarakat pedesaan Sumatera Barat, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya instabilitas dalam keluarga luas matrilineal, seperti; (1) adanya perbedaan kemampuan ekonomi dari wanita-wanita yang telah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua pihak perempuan. Biasanya, pengantin baru atau keluarga baru akan tinggal bersama orang tua mempelai wanita. Keluarga baru yang sudah mempunyai kemampuan membangun rumah atau menyewa rumah akan keluar dari rumah orang tua istri; (2) terjadi konflik antara keluarga inti dalam keluarga luas matrilineal; (3) adanya konflik antar generasi karena tidak memperoleh kesempatan memanafaatkan harta pusaka, maupun antara suami dengan mertua yang disebabkan karena tinggal bersama dalam satu rumah. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan sempitnya lapangan kerja di sektor pertanian, telah mengakibatkan tingginya angka migrasi pada masyarakat pedesaan di Sumatera Barat.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
Faktor kepadatan penduduk tidak merupakan variabel yang berdiri sendiri dalam menjelaskan gejala merantau pada masyarakat pedesaan, satu keluarga yang baru tinggal di Kota Padang menyatakan, alasan kenapa mereka meninggalkan desa dan mencoba mencari pekerjaan di Kota Padang, disebabkan karena faktor pendapatan yang dia peroleh di Kota Padang, jauh lebih baik dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh kalau bekerja sebagai petani. Proses modernisasi, melalui intensifikasi dan mekanisasi pertanian, secara nyata telah memberikan pengaruh terhadap hubungan sosial ekonomi dalam masyarakat pedesaan. Nilainilai yang semula lebih mengutamakan kolektifitas melemah, pada hal nilai-nilai tersebut menempatkan individu secara sosial ekonomi lebih terjamin kehidupannya. Menurut Evers, di Kota Padang, telah terjadi perubahan status pemilikan tanah dari kepemilikan tanah yang bersifat komunal ke pemilikan yang bersifat individual. Beberapa faktor penyebab, menurut Evers adalah adanya perluasan kota dan pertambahan penduduk. Meningkatnya kepadatan penduduk, mengakibatkan terjadinya perubahan pola tempat tinggal, dari rumah Gadang ke rumah-rumah kecil yang didiami oleh keluarga inti. Keluarga inti menjadi penting dan merupakan unit produksi dan unit konsumsi (Evers 1985: 133–156). Hubungan sosial ekonomi diantara keluarga inti matrilineal dalam sebuah paruik (keluarga luas matrilineal) melemah, dan kalau dapat dihindari. Beberapa informan berpendapat, pinjam meminjam antara individu dalam keluarga luas matrilineal, sebaiknya dihindari. Kalau mempunyai uang, lebih baik diberikan saja kepada saudaranya, dari pada meminjamkan. Dipihak lain, anggota keluarga yang membutuhkan pinjaman lebih suka untuk meminjam uang kepada orang dari luar keluarga luas matrilineal atau berlainan suku. Mereka merasa malu kalau saudara mereka tidak memberikan pinjaman. Dan sebaliknya, kalau ia memberi kan pinjaman kepada orang dari luar keluarga
179
luas matrilinealnya, menurut informan, ia dengan mudah dapat menagihnya. Kalau uang yang dipinjamkan tidak dibayar, maka mereka akan mempersoalkan, bila diperlukan akan diselesaikan secara hukum. Dengan keluarga sendiri, hal-hal yang disebutkan terakhir sulit dilakukan. Menurut Naim (1979: 15-23), sejumlah faktor pendorong berkembangnya tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau, dengan bertambah banyaknya anggota keluarga pada tingkat paruik ( keluarga luas matrilineal), mengakibatkan sawah-ladang semakin lama semakin tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga luas matrilineal. Kelangkaan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, menjadi kekuatan pendorong bagi sebagian dari anggota keluarga luas matrilineal untuk pergi merantau. Dengan demikian tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau, disamping mempunyai dimensi kultural, akan tetapi juga mempunyai dimensi sosial ekonomi dan pendidikan. Meningkatnya jumlah keluarga miskin berkorelasi positif terhadap bertambahnya jumlah anak-anak yang melakukan berbagai aktivitas di jalanan. Kemiskinan telah melahirkan sejumlah persoalan dalam keluarga, antara lain; meningkatnya intensitas konflik dalam keluarga dan pendeknya masa kanankanak. Berbagai program anti-kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah, masih sarat muatan politik sehingga tidak tepat sasaran dan pada beberapa kasus program anti-kemiskinan justru semakin memiskinkan keluarga miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan, karena program anti-kemiskinan telah mengganggu jejaring pengaman sosial (social safety net), basis keluarga, pertemanan dan ketetanggaan dalam masyarakat. Kehadiran anak jalanan merupakan sebuah fenomena strukturl dan kultural; negara belum mampu melindungi seluruh warga negaranya dan insitusi sosial yang berbasis pada masyarakat mulai tidak berfungsi dan melemahnya akses individu terhadap tanah milik bersama
180
serta memudarnya solidaritas sosial dalam keluarga luas matrilinial. Artinya pada saat keluarga luas matrilineal tidak menjalankan fungsinya, seyogyanya peran tersebut dijalankan oleh negara, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UUD 1945. Hidup di jalanan merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh anak jalanan untuk mempertahankan hidupnya. Agar kehidupan mereka dapat berjalan terus maka anak jalanan harus melakukan berbagai cara agar dapat beradaptasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial di mana mereka berada. Proses adaptasi dapat diartikan sebagai perubahan pada pola tingkah laku agar terpenuhi kebutuhan persyaratan minimal agar manusia dapat melangsungkan hidupnya dalam suatu lingkungan tertentu. Dalam melakukan adaptasi anak jalanan harus melakukan penyesuaianpenyesuaian tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya. Ukuran sesuai atau tidaknya tingkah laku dalam lingkungan adalah apabila anak jalanan dapat bertahan hidup di dalam lingkungan di mana ia berada (Ahimsa-Putra 1980). Menurut Tata Sudradjat (2010) anak jalanan yang beresiko tinggi dari berbagai tindak kekerasan adalah anak-anak yang berada di jalanan selama 24 jam, atau lebih dari 16 jam, di mana semua fasilitas di jalanan dijadikan sebagai ruang dalam kehidupan mereka. Mereka biasa tidur di taman, bangku-bangku penumpang, kolong jembatan, emperan toko dan tempat lain yang mereka angap aman. Mereka sebenarnya tidak bekerja serius, hanya kalau ingin makan saja dan umumnya dengan mengemis, mengamen minta sama temannya atau mencuri. Mereka tinggal berkelompok yang anggotanya saling membantu satu sama lainnya dalam urusan makan, mencari uang, bermain dindong, atau kencan dengan teman wanita. Karakteristik anak jalanan yang rentan mengalami kekerasan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tata Sudradjat (2010), adalah anak jalanan yang waktunya lebih dari 16 jam
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
dijalanan, apalagi 24 jam. Karaktersitik yang dimaksud jumlahnya kecil untuk anak jalanan yang ada di Kota Padang. Hasil penelitian Erwin (2011), menunjukkan sebagian besar anak jalanan di Kota Padang (86%) selalu pulang ke rumah (orang tua, saudara dan teman). Hanya sekitar 14%, dari anak jalanan tidak pulang ke rumah pada malam hari. Hal ini disebabkan karena berbagai hal, antara lain, hujan, ketiduran sehingga mereka tidak pulang ke rumah. Anak-anak jalanan menanggapi kemiskinan dan kelangkaan sumber daya yang ada dalam keluarga dengan berbagai cara, ada kesan apatis dan materialistis dalam berinteraksi baik sesama anak jalanan maupun dalam berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya. Sikap apatis dan perilaku konsumerisme dalam kondisi yang serba terbatas membawa mereka ke perilaku-perilaku yang kalau dilihat dari cara pandang masyarakat luas adalah perilaku yang tidak diharapkan. Karakteristik yang tampak pada anak jalanan adalah menguatnya hubungan sosial yang akrab berdasarkan pertemanan, dibandingkan dengan hubungan sosial yang berdasarkan kekerabatan dan tempat tinggal atau ketetanggaan, beberapa kasus yang ditemui memberikan indikasi tersebut. Bagaimana anak jalanan melakukan proses adaptasi sehingga diterima di lingkungan anak jalanan, terlihat dari pengalaman dari salah seorang anak jalanan sebut saja Dino, sebagai berikut; Kehidupan Dino sulit dipahami, keinginan untuk mendapatkan uang dan keinginan untuk menghabiskan uang berjalan seimbang. Penghasilannya sebagai anak jalanan setiap hari, selalu saja habis di gunakan untuk membeli minuman keras TKW dan anggur Orang Tua. Penuturan Dino, kenal dengan minuman pada waktu pertama kali berada di jalanan, diajak oleh Rudi. Pada waktu itu uang yang dipakai untuk membeli minuman adalah uang yang dibawa Dino dari rumah. Setengah terpaksa Dino mengikuti ajakan Rudi untuk membeli minuman. Esok harinya, Rudi yang membeli minuman dan uang yang diperoleh Dino digu-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
nakan untuk membeli nasi dan rokok, begitu seterusnya. Rudi dan Dino menjadi teman baik satu sama lain, pertemanan Dino dengan Rudi, membawa Dino ke lokasi Taman Melati sebagai lokasi untuk mendapatkan uang pada malam hari. Aktivitas yang dilakukan Dino dan Rudi di Taman Melati tidak menentu, ada saja yang menyuruhnya untuk membeli rokok dan membeli minuman beralkohol, antara TKW, anggur Orang Tua dan tuak (minuman keras yang terbuat dari air nira atau kelapa yang telah difermentasi). Menurut penuturan Rudi dan Dino, kebutuhan akan rokok dan minuman beralkohol tidak sulit mereka dapatkan, walaupun mereka tidak memiliki uang. Apabila mereka tidak punya uang, mereka mendapat minuman dan rokok, biasanya dengan membantu orang lain membelikan rokok dan minuman, biasanya mereka kebagian rokok dan minuman. Sebagai anak jalanan Rudi dan Dino belajar bagaimana cara bertahan hidup di lingkungan yang keras. Mengonsumsi minuman beralkohol merupakan salah satu strategi bagi Rudi dan Dino beradaptasi dan bertahan di lingkungan yang keras. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Rudi dan Dino cendrung berperilaku tidak baik dan menjadi nakal dibanding anak-anak yang lain. Dengan mengambil kasus Rudi dan Dino, pola adaptasi yang mereka lakukan didasarkan pada motivasi untuk bertahan di jalanan Lokasi sekitar lapangan Imam Bonjol sudah menjadi tempat rekreasi masyarakat, menurut informan, biasanya sekitar jam empat sore sampai dengan enam sore, lapangan Imam Bonjol ramai dikunjungi warga masyarakat, sebagian warga, ada yang melakukan olah raga ringan, dan ada juga warga masyarakat yang melakukan kegiatan santai. Disamping itu Balkon yang ada di lapangan Imam Bonjol, seringkali juga digunakan oleh warga untuk duduk-duduk, dan pada bagian tertentu digunakan oleh warga untuk tidur. Salah seorang anak jalanan menuturkan, Balkon lapangan Imam Bonjol, dijadikan tempat tidur oleh sebagian anak jalanan laki-laki, terutama di siang hari. Ada juga yang tidur di Balkon lapangan
181
Imam Bonjol malam hari, biasanya karena hari hujan dan malas untuk pulang ke rumah. Karakteristik Anak Jalanan Hasil penelitian menunjukkan bahwa lamanya waktu anak jalanan melakukan kegiatan di jalanan sekitar delapan jam sampai dengan 12 jam, sekitar 54%; dan sekitar 12 jam sampai dengan 14 jam kurang lebih 32%, dan sekitar 14 % berada di jalanan lebih dari 14 jam. Hasil wawancara dengan staf Dinas Sosial Kota Padang, saat dikonfirmasi mengenai masalah berapa lama waktu yang digunakan anak jalanan berada di jalanan, membenarkan gambaran data tersebut, hal ini didasarkan data pada saat dilakukan operasi penjaringan (razia) anak jalanan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah seorang pengurus rumah singgah. Menurutnya, jumlah anak jalanan yang betul-betul tidak memiliki orang tua atau saudara di Kota Padang relatif kecil. Data-data yang ada pada beberapa rumah singgah menunjukkan jumlah anak jalanan yang betul-betul memerlukan rumah singgah sebagai tempat tinggal, jumlahnya relatif kecil. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar anak jalanan yang ada di kota Padang tinggal bersama orang tua atau bersama saudara-saudaranya. Kota Padang sebagai ibukota Propinsi Sumatera Barat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Evers (1985), merupakan kota yang dijadikan sebagai pintu gerbang oleh masyarakat yang berasal dari kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Menurut Everts (1985) karakteristik dari penduduk kota Padang memiliki mobilitas yang tinggi, berpendidikan rendah, dan sebagian besar bekerja sebagai buruh dan pedagang kaki lima. Migrasi yang ke luar dan masuk ke kota Padang yang stabil. Hal ini terlihat dari daerah asal anak jalanan yang ada di Kota Padang, disamping berasal dari kota Padang, juga berasal dari kabupaten dan kota yang berdekatan dengan kota Padang. Di salah satu rumah singgah yang ada di Kota Padang, daerah asal anak jalanan adalah seb-
182
agai berikut: Pesisir Selatan 21 orang, Pariaman 19 orang , Solok 17 orang dan kota Padang 22 orang. Kasus di salah satu rumah singgah Srikandi misalnya, dari 114 anak yang dibina terdapat dua orang anak jalanan yang tidak tinggal bersama orang tua atau saudara-saudaranya, anak jalanan yang dimaksud sebelum mendapat pembinaan di rumah singgah Srikadi biasanya mereka tidur di pasar atau di emperan toko. Begitu pula dengan anak jalanan yang dibina di Rumah Singgah Bina Generasi menunjukkan bahwa pada umumnya anak-anak tersebut masih tinggal bersama orang tua atau saudarasaudara dari ibunya, atau ada sebagian anak jalanan yang sudah memiliki penghasilan lebih baik dan merasa sudah bisa mandiri, maka mereka akan menyewa rumah sendiri secara bulanan. Kenyataan tersebut di atas memberikan indikasi, pola perlindungan sosial yang berbasis pada sistem kekerabatan matrilineal, dalam batas tertentu masih berfungsi. Dalam konteks itu, pendapat yang dikemukakan oleh Oscar Lewis (1993), tentang karakteristik dan beberapa faktor penyebab muncul dan berkembangnya kebudayaan kemiskinan. Menurut Oscar Lewis (1993) kebudayaan kemiskinan akan muncul dan berkembang pada masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral, tidak akan ditemui pada masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal atau patrilineal, karena pola perlindungan sosial yang berbasis masyarakat dalam sistem kekerabatan matrilineal dan patrilineal dalam batas tertentu tetap akan berfungsi. Kalau dilihat faktor penyebab, kenapa anakanak berada di jalanan dan melakukan berbagai aktivtas ekonomi, temuan data menunjukkan ada beberapa faktor penyebab hadirnya anakanak di jalanan, sekitar 43% dari anak-anak menyebutkan faktor ekonomi orang tua, yang menjadi alasan kenapa mereka berada di jalanan; faktor perceraian orang tua dan ketidak harmonisan orang tua sekitar 32% sedangkan sisanya faktor lingkungan sosial (pertemanan),
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
25%. Faktor ekonomi, sebagian dari anak jalanan, berada di jalanan karena disuruh oleh orang tua mereka karena bekerja serabutan di Pasar Raya, seperti buruh angkat barang; buruh cuci piring; dan jualan sayur-sayuran. Ada juga diantara anak jalanan berada di jalanan untuk mencari nafkah, karena mereka melihat sendiri orang tua mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi ini mengakibatkan anak-anak yang seharusnya dapat mengikuti pendidikan di sekolah terpaksa putus sekolah dan turun ke jalan mencari uang. Meskipun pada awalnya anak-anak bekerja di jalan untuk membantu ekonomi keluarga, namun lama kelamaan pekerjaan di jalan tersebut sudah menjadi kebutuhan mereka sehingga sulit untuk keluar dari aktivitas tersebut. Bahkan tidak jarang orang tua justru mengandalkan anak-anak mereka yang mencari uang sementara mereka tetap tinggal di rumah dan tidak mengerjakan apa-apa. Faktor perceraian dan ketidakharmonisan dalam keluarga, untuk sebagian anak jalanan menjadi alasan atau penyebab mereka berada di jalanan, sehingga mereka mencari jalan sendiri dengan hidup di jalan. Menurut mereka dengan keluar dari rumah, sejumlah hal yang terjadi di rumah bisa mereka lupakan. Ada kesan berada dijalanan sebagai reaksi atau bentuk perlawanan terhadap kondisi dalam keluarga yang mereka alami. Temuan lapangan menunjukkan, anak jalanan dengan latar belakang perceraian dan ketidakharmonisan dalam keluarga, banyak terlibat dalam tindak kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Informasi dari salah seorang anak jalanan senior, menyebutkan anak jalanan dari latar belakang tersebut, banyak yang melakukan tindakan-tindakan negatif seperti mabukmabukan dan menghisap ganja atau narkoba. Adanya kecenderungan sebagaimana tersebut di atas, menurut informan disebabkan karena waktu pertama kali turun ke jalan mereka membawa uang dan uang tersebut mereka gunakan untuk membeli barang-barang yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
dapat membuat mereka melupakan persoalaan yang terjadi dalam keluarga. Aktivitas ekonomi yang mereka lakukan di jalanan lebih disebabkan karena meningkatnya kebutuhan untuk mengonsumsi minuman beralkohol, merokok dan lain sebagainya. Tindak kekerasan terhadap anak jalanan juga banyak dilakukan oleh anak jalanan sendiri dengan latar belakang perceraian dan ketidakharmonisan dalam keluarga. Biasanya menurut informan, anak jalanan kelompok ini malas bekerja dan tidak mau berhemat. Semua uang yang didapatkan digunakannya sendiri. Pada umumnya anak jalanan tidak peduli dengan masa depannya. Bagi mereka yang penting bisa menghasilkan uang hari ini baik untuk keperluan belanja atau jajan sendiri maupun untuk diserahkan kepada orang tua mereka. Dari anak jalanan yang terjaring dan dibina di Rumah Singgah hanya sekitar 10% saja yang memikirkan masa depan secara lebih baik. Mereka inilah yang kemudian bersedia untuk mengikuti kegiatan pendidikan atau sekolah. Sementara 90% lainnya lebih memilih untuk tetap bekerja di jalanan. Hal ini diakui baik oleh Dinas Sosial maupun Rumah Singgah yang mengatakan bahwa sedikit sekali anak-anak jalanan yang bersedia untuk melanjutkan pendidikan mereka meskipun sudah diberikan beasiswa. Permasalahan utama adalah sulitnya anak jalanan dikembalikan ke sekolah karena dengan bersekolah mereka tidak dapat lagi mencari uang dan itu berarti dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan keluarga. Selain itu dari sisi orang tua juga ada sikap anak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian dengan menyuruh mereka bekerja di jalan. Pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan adalah sangat beragam. Secara umum pekerjaan anak jalanan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) pedagang asongan. Jenis dagangan yang dijual antara lain kantong plastik, koran, mainan anak-anak, dan makanan ringan. Pada umumnya anak jalanan melakukan kegiatan tersebut di sekitar pasar, taman
183
kota atau tempat keramaian. Selain itu juga ada di sekitar perempatan jalan/lampu merah. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan pekerjaan ini berkisar antara 8 – 12 tahun. 2) Penjual jasa. Kegiatan yang dilakukan antara lain menyemir sepatu, dan membantu mengangkat barang-barang belanjaan dari orang lain. Kegiatan ini dilakukan di sekitar pasar, taman kota, dan masjid. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan kegiatan tersebut antara 8 - 12 tahun. 3) Mengamen dan mengemis. Kegiatan mengamen dan mengemis dilakukan di sekitar perempatan jalan (lampu merah). Usia anak jalanan yang melakukan pekerjaan mengamen dan mengemis ini bervariasi antara 8 – 19 tahun, bahkan juga terdapat anak-anak dibawah usia 8 tahun (Erwin 2011). Hasil wawancara dengan Dinas Sosial, menyebutkan ada tiga jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan tersebut, kelompok pengamen dan pengemis, merupakan kelompok yang sangat sulit untuk dibina karena pada kelompok ini, selain bekerja sendiri juga terdapat anak-anak yang dikoordinir oleh suatu “jaringan” yang memanfaatkan anak-anak jalanan untuk memperoleh penghasilan. Salah seorang staf dinas sosial mengatakan, hasil dari pekerjaan anak jalanan bisa mencapai Rp50.000,- per hari. Bahkan untuk pekerjaan mengamen bisa memperoleh uang sampai Rp65.000,- per hari. Hal ini menjadi alasan yang cukup untuk menjadikan anak jalanan sulit melepaskan diri dari pekerjaan tersebut karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri dengan jumlah yang relatif besar. Namun, saat ditanyakan kepada beberapa orang informan, menyebutkan pendapatan mereka tidak pernah lebih dari Rp40.000,- dalam sehari. Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan Angka kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak (PA) Samsul Ridwan, “kekerasan terhadap anak tahun 2011 meningkat dibandingkan tahun 2010, yakni 2.413
184
kasus di tahun 2010 meningkat menjadi 2.508 kasus pada tahun 2011. Dari jumlah 2.508 kasus yang dilaporkan dan ditangani Komnas Anak, 1.020 kasus atau setara dengan 62,7%adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan. Sedangkan persentase sisanya adalah berupa kekerasan fisik dan psikis (Toriq 2011). Kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke KPAI itu tidak dijelaskan terjadi pada anak yang berada di mana. Akan tetapi, diasumsikan ini terjadi termasuk pada anak jalanan karena anak jalanan sangat rentan terhadap kasus kekerasan. Kondisi ini tentu memprihatinkan, anak-anak tersebut mestinya berada di lingkungan yang aman seperti di keluarga atau di kerabat mereka. Mereka tidak seharusnya ada di jalan, karena jalanan amat berbahaya bagi anak-anak seumur mereka. Akan tetapi, karena suatu hal memaksa mereka berada di jalan untuk jadi pengemis, pengamen, atau pedagang asongan. Menurut informan pengelola rumah singgah, ada berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada anak jalanan, antara lain; pemukulan, ditendang, dipaksa melakukan suatu perbuatan yang melanggar norma, seperti melempar dan menggores mobil dengan paku; melakukan pelecehan seksual ke anak xjalanan perempuan, serta mengeluarkan kata-kota kotor dan makian. Pelaku kekerasan terhadap anak jalanan, bisa berasal dari anak jalanan itu sendiri; aparat keamanan (aparat kepolisian dan satpol PP); serta warga masyarakat yang melewati dan berpapasan dengan anak jalanan. Faktor penyebab terjadinya kekerasan; sesama anak jalanan; anak jalanan usia muda dipaksa oleh anak jalanan yang lebih tua usianya, sedangkan dalam pengaruh zat kimia (ngelem) dan obatobatan; dari masyarakat umum karena pernah mempunyai pengalaman tidak menyenangkan dengan anak jalanan. Data yang dilansir oleh Direktur LBH Padang (Padang Ekspres 2011). tingkat kekerasan yang terjadi pada anak jalanan di kota Padang, menyebutkan, ada 5 item kasus anak, antara lain, pemerkosaan
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
14 kasus, pencabulan 21 kasus, kekerasan terhadap anak 28 kasus, sodomi 2 kasus dan perdagangan anak 3 kasus. Selama penelitian, dilakukan verifikasi di lapangan, namun data yang ada belum menunjukkan angka-angka yang dimaksud. Hal ini bisa saja disebabkan karena kelemahan penelitian ini, belum dapat menemukan fakta yang dimaksud. Penyiksaan Fisik Kehidupan jalanan yang keras, telah melahirkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Perlakuan yang diterima oleh anak jalanan, telah mengakibatkan berbagai perilaku anak jalanan yang tidak sesuai dengan normanorma yang berlaku dalam masyarakat luas. Kekerasan yang di terima oleh anak jalanan bersumber dari dalam dan luar; 1) dari dalam kelompok anak jalanan; dari usia tua ke yang muda dari kelompok yang berbeda dan karena perbedaan seks 2) dari luar, biasanya berasal dari masyarakat yang berinteraksi dengan mereka, dan dari aparat pemerintah, baik satpol PP maupun pihak kepolisian. Bentuk-bentuk kekerasan Fisik yang dialami oleh anak jalanan yang bersumber dari dalam kelompok. Menurut salah seorang informan terjadi karena anak jalanan yang masih muda usianya tidak mengikuti perintah dari anak jalanan yang usianya lebih tua, karena tidak mengikuti perintah, maka anak jalanan yang masih muda dipukul, ditendang dan dilarang beroperasi di lokasi yang diklaim oleh anak jalanan yang usia tua merupakan lokasi mereka. Salah satu kasus yang dialami oleh seorang anak jalanan, ia disuruh membelikan rokok, tetapi uang tidak diberikan. Seringkali juga anak jalanan usia tua minta uang kepada anak jalanan yang masih muda, kalau tidak diberikan, maka anak jalanan usia tua akan memarahi dan memukul anak jalanan usia muda. Kekerasan yang bersumber dari luar, biasanya dari pihak aparat satpol PP dan kepolisian. Kekerasan pisik terjadi pada saat satpol PP dan aparat kepolisian sedang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
melakukan penertiban. Pihak kepolisian seringkali melakukan penertiban di jalanan pada saat ada kunjungan pejabat pemerintah pusat yang akan melewati jalan di mana anak jalanan melakukan berbagai aktivitas. Pihak kepolisian, meminta anak jalanan untuk berada jauh dari jalanan. Apabila anak jalanan tidak menjalankan perintah, aparat kepolisian tidak segan-segan untuk memukul. Kekerasan serupa juga dilakukan oleh satpol PP saat melakukan razia yang dilakukan oleh satpol PP, pada saat satpol melakukan razia penertiban, saat mereka ditangkap, seringkali disertai dengan pukulan dan pada saat mereka diproses oleh satpol PP. Kekerasan sangat dirasakan oleh anak jalanan, terutama yang dialami oleh anak jalanan yang usianya masih relatif muda, penindasan dalam bentuk pemukulan dan tendangan oleh anak jalanan yang usia tua. Mereka sering kali dipukul, ditendang dan diperlakukan sewenang-wenang. Kekerasan yang dialami anak jalanan tidak hanya melukai fisik namun juga mental. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat, dapat saja terjadi sebagaimana pemberitaan di salah satu media; (ANTARA News), memperlihatkan bahwa kekerasan fisik, dari aparat satpol PP dan aparat Kepolisian. Pemberitaan Antara News; Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Padang akan mengambil tindakan tegas terhadap anak-anak jalanan yang berkeliaran di daerah tersebut sebagai upaya mengatasi salah satu masalah masyarakat di kota tersebut. Tindakan tegas dapat dalam bentuk pemukulan terhadap anak-anak jalanan yang tetap berkeliaran, Kepala Dinsosnaker Padang, dalam rapat kerja dengan DPRD Padang, Jumat. Ia menambahkan, tindakan tegas juga akan diberlakukan kepada para pengemis yang berkeliaran di jalanan. Tindakan tegas diperlukan karena Dinsoskerja Padang telah kewalahan dalam mengatasi anak-anak jalanan yang semakin banyak di kota ini. Selain itu, banyaknya anak-anak jalanan telah menjadi kritikan keras DPRD terhadap pemerintah kota, khususnya
185
pada kinerja Dinsosnaker Padang. Terhadap rencana tindakan tegas dan keras yang akan dilakukan Dinsosnaker, ia meminta dukungan dari DPRD Padang. Beberapa anggota DPRD Kota Padang tidak sependapat dengan rencana dan tindakan tegas yang akan dilakukan terhadap anak jalanan, karena akan menimbulkan pelanggaran HAM. Anggota Fraksi Demokrat DPRD Padang, menilai aksi kekerasan dan penangkapan terhadap anak jalanan bisa menimbulkan pelanggaran HAM. Tindakan aparatur pemerintah Kota Padang terhadap anak jalanan jelas memperlihatkan terbatasnya pengetahuan dan informasi mengenai anak jalanan. Ketidakberpihakan pemerintah kota Padang terlihat dari rendahnya alokasi APBD, yang dapat digunakan untuk program pembinaan anak jalanan. Salah seorang staf pemerintah Kota Padang menyebutkan alokasi dana APBD sangat kecil hanya cukup untuk biaya penertiban, sementara untuk melakukan pembinaan belum tersedia dana. Saat di konfirmasi kepada salah seorang pengurus rumah singgah, menyatakan rumah singgah yang di kelola tidak mendapat bantuan dari pemerintah Kota Padang. Pada awalnya rumah singgah yang ia dirikan mendapat bantuan penuh Departemen Sosial Republik Indonesia, melalui Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat, namun bantuan tersebut hanya berlangsung dua tahun, sejak tahun 2011 sampai sekarang bantuan dari Departemen Sosial sudah tidak ada lagi. Penyiksaan Emosi Bentuk-bentuk penyiksaan emosi yang dialami oleh anak jalanan berasal dari dalam dan dari luar kelompok. Penyiksaan yang berasal dari dalam kelompok sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang informan; biasanya anak jalanan yang senior, menyuruh anak jalanan junior untuk melakukan hal-hal diluar keinginan mereka seperti; melempar atau menggores kendaraan apabila pemilik kendaraan tidak memberi mereka uang pada saat mereka mengamen. Ada juga pemaksaan dari
186
anak jalanan senior kepada anak jalanan junior, untuk mengambil barang penumpang yang ada dalam angkutan umum. Apabila ketahuan dan ditangkap, biasanya anak jalanan senior tidak bertanggung jawab. Tindakan-tindakan tersebut sebenarnya dilakukan oleh anak jalanan junior karena terpaksa dan dalam kondisi yang terancam oleh anak jalanan senior. Namun, penyiksaan emosi yang disebabkan oleh masyarakat luas, biasanya dalam berbagai bentuk, antara lain; setelah mengamen mereka meminta uang. jika uang tidak mereka dapatkan, mereka akan dimarahi atau dibentak untuk segera pergi menjauh.. Menurut informan, pada waktu-waktu tertentu mereka memang betul-betul membutuhkan uang karena mereka belum makan, dan uang yang diperoleh akan digunakan untuk membeli makanan. Sisi lain, pengalaman salah seorang anak jalanan yang daerah operasi mereka di sekeliling lapangan Imam Bonjol, pada sore hari mereka seringkali melihat pasangan muda mudi dan ada juga pasangan yang berusia lanjut yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilihat oleh anak jalanan. Perilaku pasangan yang tidak pada tempatnya, memberikan pengalaman psikis dan emosi yang tidak baik pada anak jalanan, dan pada waktu-waktu tertentu timbul keinginan dari anak jalanan yang masih sangat muda usia untuk melakukannya. Salah seorang anak jalanan, pernah memergoki laki-laki dan perempuan yang sedang berpacaran di Balkon Imam Bonjol. Pasangan yang lagi berpacaran, memberi uang Rp10.000,- kepada anak jalanan dan menyuruh anak jalanan untuk pergi. Kekerasan yang bersumber dari luar, bi asanya berupa perilaku verbal yang dilakukan oleh masyarakat saat berinteraksi dengan anak jalanan, biasanya dalam bentuk kata-kata yang melecehkan anak jalanan, bentuk makian dan lain sebagainya. Hasil observasi di salah satu tempat anak jalanan beroperasi, perilaku verbal berupa kata-kata yang memosisikan anak jalanan tidak sebagai manusia, seringkali terdengar dan Ada juga saat anak jalanan menuju
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
suatu kendaraan, si pengemudi meminta anak jalanan pergi dengan mengucapkan kata-kata kasar. Salah seorang pengemudi kendaraan bermotor, ada yang menendang anak jalanan, saat lampu hijau menyala. Anak jalanan tidak bisa membalas, hanya bisa mengupat. Pelecehan Seksual Bentuk-bentuk kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami oleh anak jalanan, terutama anak jalanan yang perempuan, sebagian besar berasal dari dalam kelompok. Anak jalanan perempuan berada diposisi yang buruk, mereka sangat rentan dan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual seperti pelecehan seksual, perkosaan, penjerumusan ke dalam prostitusi.Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak jalanan atau dengan masyarakat luas. Pelecehan seksual terhadap anak jalanan adalah suatu bentuk kekerasan di mana seseorang menggunakan anak jalanan untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual terhadap anak jalanan seperti itu sering terjadi. Menurut salah seorang anak jalanan, perilaku-perilaku itu sudah biasa bagi mereka. Anak laki-laki memegang dada atau paha anak perempuan atau sebaliknya, anak perempuan memegang kemaluan anak laki-laki. Salah seorang informan menuturkan, kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada anak perempuan, pada mulanya karena anak jalanan laki-laki yang masih junior, diperintah oleh anak jalanan senior, untuk memegang bagian tertentu (dada dan paha) dari anak jalanan perempuan. Awalnya anak jalanan junior terpaksa melakukan, akan tetapi karena mereka juga sering melihat perilaku remaja yang demikian, maka perilaku tersebut menjadi kebiasaan. Tindakan pelecehan itu terjadi karena berbagai faktor, seperti saat hujan yang memaksa
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
mereka harus berkumpul atau duduk saling berdekatan selama berteduh atau saat ada acara tertentu di Lapangan Imam Bonjol. Pengunjung yang ramai dan berdesak-desakan membuat mereka dengan mudah melakukan pelecehan seksual baik terhadap wanita anak jalanan maupun terhadap wanita lain. Penuturan salah seorang informan anak jalanan laki-laki yunior, pengalaman memegang bagian tertentu dari anak jalanan perempuan, yang pada awalnya disuruh oleh anak jalanan senior, kemudian menjadi pengalaman yang menyenangkan dan menjadi kebiasaan. Andi berusia 12 tahun, tindakan pelecehan seksual terhadap anak jalanan perempuan dianggap tindakan yang biasa dan menurut Rudi anak jalanan perempuan juga tidak marah kalau Andi melakukannya. Andi lebih suka mengganggu anak jalanan perempuan yang usianya lebih tua dari Andi, biasanya dilakukan pada sore hari menjelang malam. Berbeda dengan Rudi dan Dino yang biasanya berada di Taman Melati dan Taman Budaya pada malam hari, menurut penuturan mereka, hal yang seperti itu dialami oleh banyak anak jalanan. Menurut mereka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan, karena baik yang laki-laki maupun yang perempuan sama-sama menyukainya, walaupun pada mulanya yang perempuan terpaksa melakukannya. Pengalaman Rudi dan Doni sudah berlangsung lama, apalagi wilayah mereka beraktivitas semakin luas sampai ke pinggiran pantai Padang. Sekarang Rudi sudah memiliki pacar dan pacar Rudi seringkali juga diganggu oleh Doni, dan Rudi tidak marah kepada Doni. Menurut Rudi, apa yang dilakukan Doni terhadap pacarnya hal yang biasa, selama tidak meniduri pacarnya. Sulit untuk membuat batasan yang tegas mengenai moralitas pada kelompok anak jalanan, akan tetapi tetap merupakan suatu realitas fenomenologis bagi anak jalanan dan sesuai dengan pernyataannya mereka. Pada kelompok anak jalanan ada sistem nilai yang diyakini bersama, berbagai interaksi sosial yang terjadi
187
di antara sesama anak jalanan di dalamnya sarat dengan muatan resiprositas. Simpulan Karakterstik anak jalanan di Kota Padang, dilihat dari daerah asal sebagian besar berasal dari kabupaten sekitar Kota Padang, seperti: Pesisir Selatan, Pariaman, Solok dan Tanah Datar. Data-data yang ada pada beberapa rumah singgah menunjukkan jumlah anak jalanan yang betul-betul memerlukan rumah singgah sebagai tempat tinggal, jumlahnya relatif kecil. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar anak jalanan yang ada di Kota Padang tinggal bersama orang tua atau bersama saudara-saudaranya. Menguatnya hubungan sosial yang akrab berdasarkan pertemanan, dibandingkan dengan hubungan sosial yang berdasarkan kekerabatan dan tempat tinggal atau ketetanggaan. Ada berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada jalanan, antara lain pemukulan, ditendang, dipaksa melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar norma, seperti melempar dan menggores mobil dengan paku; melakukan pelecehan seksual ke anak jalanan perempuan, serta mengeluarkan kata-kata kotor dan makian. Pelaku kekerasan terhadap anak jalanan, bisa berasal dari anak jalanan itu sendiri; aparat keamanan (aparat kepolisian dan satpol PP); serta masyarakat yang melewati dan berpapasan dengan anak jalanan. Faktor penyebab terjadinya kekerasan; sesama anak jalanan; anak jalanan usia muda dipaksa oleh anak jalanan yang lebih tua, anak jalanan yang sedang dalam pengaruh zat kimia (ngelem) dan obat-obatan. Kekerasan juga dilakukan oleh aparat satpol PP dan aparat Kepolisian. Mereka seringkali dipukul, ditendang dan diperlakukan sewenang-wenang. Kekerasan yang dialami anak jalanan tidak hanya melukai fisik namun juga mental.
188
Streotip yang dilekatkan pada kehidupan anak jalanan dari sudut pandang masyarakat dan pemerintah menggambarkan sebuah kelompok marginal yang berada pada ruang publik dengan streotip liar, kotor, jahat dan mengganggu ketentraman masyarakat. Kehadiran anak jalanan dan kekerasan terhadap anak jalanan, dilihat dari perspektif kultural menunjukkan adanya kegagalan sistem matrilineal dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam memberikan perlindungan sosial terhadap seluruh anggota keluarga luas matrilineal. Keluarga luas matrilineal digerakan oleh nilai-niai komunal dan dijadikan dasar dalam menyusun sistem nilai dan norma dalam masyarakat,. Namun, dalam perkembangannya dihadapkan pada konstruksi sosial masyarakat patriarki, dimana peran keluarga inti menjadi dominan. Bertambahnya jumlah anak jalanan, dan meningkatnya kekerasan terhadap anak jalanan, tetap menjadi tanggung jawab bersama. Akan tetapi pemerintah daerah harus berada posisi terdepan dan memberikan contoh bagaimana seharusnya memperlakukan anak jalanan. Demoralisasi dan hedonisme dikalangan anak jalanan merupakan reaksi terhadap situasi yang serba terbatas dan kerasnya kehidupan di jalanan. Sulit untuk membuat batasan yang tegas tentang moralitas pada kelompok anak jalanan. Kehidupan dan kekerasan yang terjadi di jalanan, tetap merupakan suatu realitas fenomenologis bagi anak jalanan dan kelompok anak jalanan menghadirkan sistem nilai dan sistem norma yang diyakini bersama, yang terlihat berbeda dengan sistem nilai dan sistem norma pada masyarakat. Nilai-nilai moral diletakkan di atas pertimbangan rasional saat berhadapan dengan kerasnya kehidupan di jalanan. Berbagai interaksi sosial yang terjadi sesama anak jalanan di dalamnya sarat dengan muatan resiprositas dan dapat dilihat sebagai bentuk jejaring pengaman sosial.
Erwin, Karakteristik Anak Jalanan...
Daftar Pustaka BPS Provinsi Sumatera Barat 2012 Provinsi Sumatera Barat dalam Angka. Erwin 2006 Tanah Komunal: Melemahnya Solidaritas Sosial pada Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Padang: Universitas Andalas Press Erwin 2011 “Pola Penanganan Anak Jalanan dan Pengemis di Sumatera Barat. Kasus Kota Padang dan Kota Bukittinggi”. Jurnal Antropologi Tahun XI,Nomor 14.Juli-Desember. Evers, Hans-Dieter 1985 Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di malaysia dan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Heeddy Ahimsa, Putra 1980 Penjual sate ayam Madura di Yogyakarta: Studi tentang perubahan strategi adaptasi mereka. Skripsi sarjana tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia Ismawan, Bambang 2003 “Merajut Kebersamaan untuk Menanggulangi Kemiskinan” dalam Jurnal Ekora No. 6, September 2003. Jakarta: YAPPIKA Lewis, Oscar 1993 “Kebudayaan Kemiskinan”. Dalam Parsudi Suparlan (ed). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Murray, Alison 1994 Pedagang Jalanan dan Pelacur. Jakarta: LP3ES Naim, Muchtar 1979 Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Widjaja, A.W. 1989 Anak Jalanan. Jakarta: Badan koordinasi Kegiatan Kesejahteraan DKI Jakarta dan Jurusan Psikologi UI.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
189
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika
‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution
Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin