ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika ‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra1 Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Abstrak Badan Penasehat Perselisihan Perceraian dan Perkawinan (BP4) didirikan pemerintah sebagai salah satu upaya menekan angka perceraian. Akan tetapi perceraian terus berlangsung dari waktu ke waktu dan secara kuantitatif meningkat setiap tahunnya, dengan berbagai macam akibat atau dampak yang ditimbulkannya. Pencegahan dan penanggulangan masalah perceraian tidak dapat hanya diserahkan kepada aparat pemerintah saja karena masalah tersebut bersifat multidimensional; sosial, kultural dan moral. Untuk mengatasinya haruslah melibatkan semua unsur, potensi dan pranata sosial dalam komuniti lokal. Kata kunci: Perceraian, keluarga luas, institusi lokal Abstract Advisory Board Disputes Divorce dan Marriage (BP4) established government as part of efforts to reduce the divorce rate. But divorce continues from time to time and quantitatively increasing every year, with a variety of result / impact there of. Prevention and mitigation of the problem of divorce can not be left to government officials just because the problem is multidimensional; social, cultural and moral. To overcome this problem must involve all the elements and social institutions in the local community. Keywords: Divorce, extended family, local institutions
1 Fachrina dan Rinaldi Eka Putra, pengajar di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas. E-mail:
[email protected] dan
[email protected].
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
101
Pendahuluan Perceraia n mer upa ka n ter put usnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian (cerai hidup) dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku (Gulardi dalam Ihromi 1999). Meskipun diketahui adanya berbagai macam akibat yang ditimbulkan oleh perceraian namun perceraian itu sendiri tetap ada dan terus berlangsung dari waktu ke waktu pada setiap masyarakat, bahkan secara kuantitatif meningkat setiap tahunnya. Data Ditjen Badilag MA, mencatat 285.184 perkara berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama seIndonesia pada tahun 2010, dimana dalam 5 tahun terakhir peningkatan perkara yang masuk bisa mencapai 81%. (http://www.detiknews. com). Di Sumatera Barat rata-rata setiap tahunnya terjadi peningkatan angka perceraian sekitar 20% sampai 40% pada setiap kota dan kabupaten (http://www.sumbaronline.com). Badan Penasehat Perselisihan Perceraian dan Perkawinan (BP4) di lingkungan KUA didirikan pemerintah sebagai salah satu upaya untuk menekan angka perceraian dan menyosialisasikan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah di setiap kesempatan. Pemerintah memberdayakan perekonomian keluarga dengan segala macam programnya karena perceraian dianggap juga berkaitan dengan faktor ekonomi keluarga. Akan tetapi kebijakan dan upaya tersebut ternyata masih kurang berhasil karena perceraian terus mengalami trend peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan perceraian dalam masyakarat perlu dicermati dan disikapi dengan baik, karena perceraian cenderung berdampak negatif, baik terhadap anak, pasangan bercerai, keluarga maupun terhadap lingkungan masyarakat secara umum (Hendrawati (1990), Karim dalam Ihromi (1999), Fachrina dan Anggraini (2007).
102
Orang tua (ayah dan ibu) merupakan ujung tombak dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga. Perceraian membawa perubahan terhadap kewajiban peran dan hubungan sosialnya, yang akhirnya mempengaruhi pelaksanaan dan pemenuhan fungsi-fungsi keluarga. Seperti dijelaskan oleh Goode (2007), keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dimana lembaga-lembaga lain dalam masyarakat tergantung pada eksistensi keluarga. Peran dan tingkah laku yang dipelajari dalam keluarga merupakan contoh (prototif) peran dan tingkah laku yang diperlukan pada segi-segi lainnya dalam masyarakat. Penelitian mendalam mengenai upaya pencegahan perceraian di tengah-tengah masyarakat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang lebih luas karena dapat memperlemah ketahanan sosial masyarakat. Melemahnya ketahanan sosial masyarakat akan dapat mengganggu keberlanjutan pembangunan di Indonesia karena ketahanan sosial merupakan salah satu indikator dari pembangunan yang berkelanjutan (Hikmat 2003). Pencegahan dan penanggulangan masalah perceraian tidak boleh hanya diserahkan kepada aparat pemerintah saja karena masalah tersebut bersifat multidimensional; sosial, kultural dan moral. Untuk mengatasinya haruslah melibatkan semua unsur dan potensi, serta pranata sosial yang ada dalam komuniti lokal. Fokus tulisan ini adalah mendeskripsikan mekanisme penyelesaian masalah ketidakstabilan keluarga dan upaya pencegahan perceraian yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau serta menjelaskan potensi-potensi yang dipunyai keluarga luas dan institusi lokal dalam pencegahan perceraian. Perceraian Perceraian d apat diar ti kan sebagai berakhirnya hubungan antara suami dan istri dalam sebuah perkawinan secara hukum, namun perceraian tidak hanya berarti putusnya hubungan suami dan istri. Banyak hal
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
yang ditimbulkan dan harus dihadapi sebagai dampak dari perceraian, baik oleh pasangan yang bercerai maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian, karena menyangkut aspek emosi, ekonomi, dan sosial serta pengakuan secara resmi oleh masyarakat (Karim dalam Ihromi 1999). Berdasarkan berbagai hasil penelitian, penyebab perceraian sangat beragam, seperti tidak ada kecocokan, ketegangan personal, KDRT, poligami atau selingkuh, masalah keuangan, nikah di bawah tangan, jarak usia yang terlalu jauh dan kawin usia muda (Fachrina 2005, 2006; Khairuddin 2004; Bakaruddin dkk 1998). Disamping faktor internal dari suami dan istri itu sendiri, diketahui faktor campur tangan keluarga dan tekanan sosial serta lemahnya kontrol sosial masyarakat ikut yang berperan terhadap terjadinya perceraian (Fachrina 2007; Karim dalam Ihromi 1999). Goode (1966), Scanzoni dan Scanzoni (1981) menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-perubahan lainnya di dalam masyarakat, yakni (1) Berkaitan dengan perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian, masyarakat pada umumnya tidak lagi memandang perceraian sebagai sesuatu hal yang memalukan dan mentoleransi perceraian sebagai suatu alternatif jalan terbaik bagi pasangan itu. (2) Adanya perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat, temanteman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan. (3) Menguatnya gejala individualis dan menjadikan persoalan rumah tangga adalah urusan pribadi. (4) Peralihan fungsi-fungsi keluarga kepada lembaga lainnya di luar keluarga dan (5) adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (Karim dalam Ihromi 1999) Perubahan struktur keluarga luas ke keluarga konjugal yang sesuai dengan kebutuhan industrialisasi, menyebabkan keluarga konjugal tidak terlalu tergantung seperti halnya unit-unit keluarga lainnya kepada jaringan sanak kelu-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
arga yang lebih luas dan mempunyai implikasi yang luas pula (Goode 2007). Keluarga luas tidak lagi menyangga pasangan suami istri, dan tidak banyak menerima bantuan dari kerabat, begitu juga sebaliknya. Akibatnya di antara mereka mempunyai dasar yang lemah bagi kontrol sosial satu atas yang lain. Keluarga luas lebih dapat bertahan daripada keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Seiring dengan melemahnya pengawasan keluarga luas di sini keluarga konjugal mempunyai beban tanggung jawab emosional dan finansial yang semakin besar pula. Jika suami atau istri dalam kenyataan terjadi konflik, tidak memperoleh kasih sayang dan kesenangan di dalam unit keluarga, maka mereka akan kehilangan dorongan untuk terus mendukungnya. Oleh karena itu angka perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung tinggi (Goode 2007). Namun demikian upaya-upaya tertentu harusnya dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi maraknya perceraian di tengah masyarakat. Menurut Karim (dalam Ihromi 1999), setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah ketidakstabilan dan ketidakbahagiaan perkawinan yang merupakan sumber penyebab perceraian. Goode (2007) mengemukakan beberapa pola pencegahan terjadinyanya perceraian yaitu; (1) Merendahkan atau menekan keinginan-keinginan individu tentang apa yang bisa diharapkan dari sebuah perkawinan, dikembangkan secara turun temurun nilai-nilai yang menganggap betapa pentingnya institusi kehidupan keluarga. (2) Menanamkan nilai-nilai yang mementingkan hubungan kekerabatan daripada hubungan suami istri dalam perkawinan. (3) Tidak menganggap penting sebuah perselisihan. (4) Mengajarkan anak-anak dan para remaja untuk mempunyai harapan yang sama terhadap sebuah perkawinan. Tujuannya nanti dalam perkawinan seorang suami atau istri dapat berperan seperti yang diharapkan oleh pasangannya. Akan tetapi bagaimana cara atau mekanisme yang dilakukan akan berbeda
103
pada setiap masyarakat dan negara. Kota Padang dan Kota Payakumbuh dipilih sebagai lokasi penelitian secara sengaja masingmasing mewakili daerah pesisir (rantau) dan darat (luhak), disamping merupakan daerah perkotaan di propinsi Sumatera Barat dimana masyarakatnya diasumsikan mempunyai variasi status sosial ekonomi yang relatif beragam. Pendekatan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yakni obeservasi dan wawancara mendalam terhadap informan penelitian yang diambil secara sengaja (porpusive sampling) yaitu suami atau istri yang bercerai dan orang tuanya serta tokoh masyarakat seperti ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, pimpinan formal dan informal (wali nagari atau lurah, pihak KUA, PA dan Kepala KAN, LPM, KUA). Mekanisme Penyelesaian Masalah Ketidakstabilan Keluarga Perkawinan merupakan bagian dari proses kehidupan yang dilalui dan dianggap penting baik oleh individu maupun masyarakat. Melalui perkawinan, seseorang akan dapat hidup bersama lawan jenisnya, membentuk keluarga dan melahirkan anak-anak untuk melanjutkan keturunan dalam hubungan yang harmonis. Idealnya setiap orang dalam masyarakat ketika memutuskan untuk menikah mengharapkan akan membentuk keluarga dengan kehidupan perkawinan yang bahagia dan sejahtera sampai akhir hayat, sesuai dengan tujuan dasar perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Di dalam institusi perkawinan tersebut setiap orang yang telah saling terikat sebagai anggota keluarga berusaha untuk melaksanakan hak dan kewajiban nya sesuai perannya masing-masing. Akan tetapi diakui bahwa hal-hal yang seharusnya ada dalam suatu perkawinan bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataannya dalam suatu perkawinan seringkali muncul berbagai masalah yang tidak dikehendaki, namun tidak
104
dapat dihindari. Masalah yang timbul dalam suatu perkawinan terutama oleh pasangan suami istri dapat menyebabkan terjadinya perselisihan, pertengkaran atau ketegangan dalam rumah tangga sehingga memunculkan apa yang disebut dengan kekacauan keluarga (instabilitas keluarga). Instabilitas keluarga atau ketidakstabilan dalam perkawinan, didefinisikan oleh Ismail (2008) sebagai suatu bentuk kecenderungan untuk melakukan perceraian sebagai jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Konsep ini terdiri dari dua komponen yaitu secara kognitif dan secara tingkah laku (behavioral). Secara kognitif, pasangan yang menikah mempunyai suatu pemikiran bahwa perkawinan adalah sesuatu yang menyulitkan dan sering membayangkan tentang perceraian, sedangkan komponen tingkah laku dapat dilihat dalam bentuk perbuatan seperti bercerita kepada teman tentang perceraian, mencari nasihat dan bantuan dari pengacara, konsultan perkawinan atau tokoh agama. Kondisi ketidakstabilan keluarga yang berkelanjutan berkaitan dengan disorganisasi keluarga itu sendiri. Dimana disorganisasi keluarga dapat diartikan sebagai perpecahan dalam keluarga sebagai suatu unit, terputus atau retaknya peran sosial jika satu atau beberapa orang anggotanya gagal menjalankan kewajiban sesuai dengan peran sosial mereka. Disorganisasi keluarga dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara suami istri dalam berbagai hal sehingga keberfungsian sosial keluarga tidak berjalan seperti yang diharapkan dan akhirnya dapat menimbulkan atau memicu terjadinya perceraian (Khairuddin 1995). Ketidakstabilan keluarga cenderung dirasakan oleh informan berkaitan dengan semakin seringnnya terjadi pertengkaranpertengakaran dalam penyelesaian masalahmasalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Disamping masalah ekonomi keluarga seperti kesenjangan pendapatan antara suami dan istri atau suami tidak bekerja, juga menyangkut masalah prilaku atau kebiasaan buruk pasangan. Kurangnya perhatian kepada
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
pasangan, suami jarang di rumah, mudah emosi, sikap mementingkan diri sendiri dan tidak saling menghargai, selingkuh, KDRT sampai kepada masalah pengasuhan anak merupakan persoalan-persoalan berikutnya yang relatif sering dialami dalam kehidupan perkawinan informan penelitian. Dalam hal ini Gulardi (dalam Ihromi 1999), menjelaskan bahwa dalam masalah penyesuaian diri antara suami istri, perbedaan pandangan terhadap kehidupan perkawinan terutama mengenai kewajiban suami istri merupakan masalah yang paling menentukan. Menurut informan bercerai pada penelitian ini, mekanisme yang ditempuh dalam penyelesaikan ketidakstabilan keluarga dalam berbeda berdasarkan bentuk dan kad a r d a r i masalah-masalah yang dihad api oleh masi ng-masi ng kelu a rga. Ketika muncul masalah yang menur ut informan masih dalam skala relatif kecil dan tidak prinsipil pada umumnya informan akan berusaha untuk berlaku sabar dan mendiamkan masalah tersebut. Pada tahap ini pertengkaran adalah sesuatu yang wajar saja terjadi di dalam kehidupan berumah tangga. Di saat sedang bertengkar pihak suami cenderung pergi keluar rumah meninggalkan istri agar pertengkaran tidak terus berlanjut, meskipun mereka menyadari hal demikian tidaklah menyelesaikan masalah sebenarnya. Jika masalah yang dihadapi relatif besar dan serius atau tidak dapat ditolerir lagi seperti pasangan selingkuh atau kawin lagi, sering mengalami KDRT dan suami pergi menelantarkan keluarga maka pada tahap ini barulah mereka membicarakan dan meminta pertimbangan keluarga luas (orang tua atau mertua, saudara dan mamak rumah). Akan tetapi dalam kasus-kasus perceraian dalam penelitian ini terdapat kecenderungan informan telah terlebih dahulu memutuskan untuk bercerai sebelum membicarakannya dengan keluarga luas tersebut. Artinya mereka hanya sekedar memberitahukan bahwa akan terjadi peceraian. Penyelesaikan masalahmasalah dalam perkawinanan berkaitan dengan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
ketidakstabilan keluarga cenderung dilakukan dalam lingkup keluarga itu sendiri (hanya melibatkan pasangan suami istri), karena merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu melibatkan pihak lain di luar keluarga inti. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya mengatasi ketidakstabilan keluarga dalam masyarakat Minangkabau pada umumnya berlaku relatif sama dengan apa yang juga dilakukan oleh keluarga pada masyarakat umumnya. Hal ini lebih kepada kemampuan pasangan suami istri mengatasi berbagai masalah dalam perkawinannya. Akan tetapi jika dihubungkan dengan keberadaan kekerabatan matrilineal dalam masyarakat Minangkabau, dasar kehidupan orang Minang adalah hidup berkelompok dan bukan individual, dimana pembentukan kelompok diatur sesuai ketentuan garis ibu (Amir 1999). Menurut Amir kelompok terkecil adalah suku serumpun, anggotanya disebut sebagai “berdunsanak sehulu semuara” (bersaudara karena seketurunan dari dulu sampai akhir zaman), dan berlaku ketentuan adat “suku nan tidak bisa dianjak, malu nan tidak dapat dibagi sehina semalu”. Prinsip ini menjadi pedoman tata krama kehidupan, landasan berpikir dan bertindak orang Minang yang menimbulkan rasa solidaritas tinggi dalam lingkungan kekerabatan. Begitu juga halnya dengan perkawinan. Perkawinan dianggap bukanlah hanya antara dua individu (suami istri) yang menikah tetapi adalah juga perkawinan antara dua keluarga yang akan membentuk keluarga yang lebih besar. Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau merupakan urusan keluarga, untuk itu diperlukan penyesuaian dalam banyak hal karena adanya berbagai perbedaan latarbelakang keluarga, baik asal usul, kebiasaan hidup, tingkat sosial, tata krama, bahasa dan lain-lain. Namun demikian dalam perjalanan kehidupan perkawinan itu sendiri pada kenyataannya mengandung unsur-unsur yang sarat dengan kemungkinan konflik. Masyarakat Minang menyadari betul bahwa akan selalu terdapat
105
perbedaan pandangan, pendirian dan sikap antar orang satu dengan yang lain seperti terlihat dalam pepatah “kepalo samo hitam, pikiran ba lain-lain”. Untuk itu dalam menghadapi suatu masalah haruslah dicari jalan keluarnya yaitu dengan mekanisme musyawarah untuk mufakat, tetapi bukan “sepakat untuk tidak se-mufakat”, musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran (Amir 1999). Jadi bagaimanapun proses pengambilan keputusan, tetapi setelah terdapat kata mufakat, maka keputusan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak. Upaya Pencegahan Perceraian yang Terdapat dalam Masyarakat Minangkabau Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian khususnya tokoh masyarakat, dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau mempunyai mekanisme pencegahan perceraian. Hal ini sudah dimulai dari awal sekali sebelum anak kemenakan melakukan pernikahan yaitu dalam tahapan seleksi jodoh, Proses seleksi jodoh dalam masyarakat Minangkabau idealnya adalah berdasarkan kepada pola perkawinan yang dianut oleh masyarakat Minang, yaitu pola perkawinan eksogami yang merupakan perkawinan di luar suku, ke dua belah pihak atau salah satu pihak dari yang menikah tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya. Bentuk perkawinan dalam Masyarakat Minangkabau terdiri dari: (1) perkawinan ideal, (2) perkawinan larangan, (3) perkawinan pantang dan (4) perkawinan sumbang (Navis 1986). Perkawinan ideal bagi orang Minang adalah perkawinan antara keluarga dekat, perkawinan ambil mengambil dan perkawinan orang sekorong, sekampung, senagari, seluhak dan selanjutnya sesama orang Minangkabau. Perkawinan antara keluarga dekat merupakan perkawinan awak samo awak yaitu perkawinan antara anak dan kemenakan, atau lebih dikenal sebagai perkawinan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang
106
ke bako sama dengan mengawini kemenakan ayah. Sementara itu perkawinan ambil mengambil adalah perkawinan silang seperti kakak beradik laki-laki dan perempuan A menikah dengan kakak beradik laki-laki dan perempuan B. Tujuan perkawinan ini adalah mempererat hubungan kekerabatan antar orang beriparbesan selain untuk mencari calon yang pantas untuk anak kemenakan (Navis 1986). Dengan adanya bent u k perkawinan yang ideal ini sesungguhnya adalah untuk melindungi agar lembaga perkawinan yang dibangun oleh perkawinan “awak samo awak” tersebut tidak menjadi rapuh, karena masingmasing keluarga menganggap saling mengenal dan mengetahui latar belakang keluarga. Ini adalah sebuah mekanisme orang Minang untuk mengukuhkan hubungan perkawinan itu sendiri. Sementara itu perkawinan terlarang adalah perkawinan yang tidak dapat dilakukan menurut hukum perkawinan yang telah umum seperti mengawini ibu kandung, ayah, anak saudara seibu, saudara kandung dan sebagainya. Kemudian perkawinan pantang merupakan perkawinan yang akan merusak sistem adat, yakni perkawinan antara orang setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum dan sesuku meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak sekampung halaman. Sementara itu perkawinan sumbang adalah pantangan perkawinan untuk memelihara kerukunan sosial seperti mengawini orang yang telah diceraikan kaum kerabat atau sahabat, mempermadukan perempuan yang sekerabat dan mengawini orang tengah dalam pertunangan (Navis 1986). Masyarakat Minangkabau diminta untuk tidak melakukan bentuk perkawinan ini. Dapat dikatakan bahwa adanya bentukbentuk perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau yang dijadikan landasan dalam proses pemilihan jodoh adalah sebagai manifestasi dari salah satu upaya pencegahan perceraian. Menentukan atau memilih jodoh, membuat persetujuan dan mengadakan
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
perjamuan (resepsi) merupakan tugas kaum kerabat. Idealnya anak kemenakan tidak dibiarkan memilih jodoh sendiri, ini bertujuan agar mendapatkan jodoh yang terbaik dan menjaga agar anak kemenakan tidak melupakan kaum kerabatnya. Perkawinan ini didukung oleh kaum kerabat, sehingga jika terjadi masalah-masalah dalam proses perkawinan itu sendiri yang dilakukan oleh anak kemenakan maka kerabat akan ikut bertanggung jawab menyelesaikannya atau akan berusaha untuk memperbaikinya. Proses seleksi jodoh yang dilakukan sesuai dengan adat merupakan sebuah langkah awal dalam mengantisipasi terjadinya perceraian. Ketika anak sudah mulai beranjak dewasa dan dipandang oleh orang tua itu sudah pantas untuk naik pada jenjang pernikahan, maka pihak orang tua melakukan kegiatan dengan istilah “ampok-ampok kalambu”, melibatkan keluarga kedua belah pihak, sehingga perkawinan tidaklah sebatas perkawinan dua individu tetapi secara otomatis menjadi perkawinan dua buah keluarga luas, suku dan ninik mamak. Jika terjadi persoalan dalam hubungan perkawinan maka mereka akan membawa masalah itu kepada keluarga dan melibatkan ninik mamaknya. Pada akhirnya mereka akan malu jika terjadi perceraian, karena malu itu tidak hanya sebatas malu kedua belah pihak, tetapi malu orang sekampung dan sesuku. Akan tetapi kenyataan di lapangan hampir semua informan memilih jodoh dan menikah tidak melalui proses seperti yang dijelaskan di atas. Pergeseran bentuk keluarga luas ke keluarga inti yang diiringi perubahan peran mamak dalam mayarakat Minangkabau berdampak kepada proses pemilihan jodoh. Pada umumnya informan hanya melibatkan keluarga luas pada tahapan prosesi upacara perkawinan. Begitu juga dengan masalah yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan sampai keputusan bercerai cenderung tidak melibatkan keluarga luas dan ninik mamak mereka. Akhirnya perceraian terus mengalami peningkatan. Angka perceraian di Sumatera Barat,
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
rata-rata setiap tahunnya terjadi peningkatan sekitar 20% sampai 40% pada setiap kota dan kabupaten. Di kota Padang sebagai salah satu lokasi penelitian ini, pengadilan Agama kelas I A mencatat angka perceraian hingga November 2012 berjumlah 580 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya 2011 sebanyak 501 kasus perceraian, 2010 terdapat 424 kasus dan 401 kasus pada tahun 2009, dan hanya sekitar 10% dari kasus gugatan yang masuk tidak jadi bercerai (http://m.antaranews.com/berita/2013). Sementara itu di Kota Payakumbuh angka perceraian selama tahun 2010 dinyatakan juga relatif tinggi, tercatat perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama sebanyak 469 dari 670 perkara. Angka ini mengalami peningkatan 15% dibanding tahun 2009, Menyikapi kecenderungan peningkatan angka perceraian tersebut Wakil Walikota Payakumbuh H. Syamsul Bahri, mengajak seluruh jajaran Pengadilan Agama untuk menekan perkara perceraian. Diakui Wawako, meminimalisir kasus tersebut, bukan saja tanggung PA, tetapi juga tanggung jawab instansi terkait lainnnya, seperti KUA, Kantor Kementerian Agama serta seluruh juru dakwah. Di samping itu beliau juga menekankan pentingnya peranan orang tua, ninik mamak pemangku adat, sehingga idealnya persoalan-persoalan rumah tangga dapat diselesaikan secara internal oleh keluarga bersangkutan, dan sebaiknya dihindari kasus tersebut sampai ke Pengadilan Agama. (http:// www.sumbaronline.com/berita/2012). Pada prinsipnya dalam penyelesaian persoalan-persoalan dalam kehidupan perkawinan agar tidak mengarah kepada perceraian terlebih dahulu diselesaikan oleh pasangan suami istri itu sendiri sebagai pihak yang terlibat langsung dan memahami inti persoalan tersebut. Seperti apa yang dinyatakan oleh salah seorang informan Jh (47 tahun) dari LPM Balai Janggo Koto Baru, “ Biasanya jika ada persoalan dalam rumah tangga itu, keluarga terdekat yang akan menyelesaikannya terlebih dahulu. Kemudian dari sini tentu ninik mamak masing-
107
masing yang akan ikut menyelesaikannya. Tetapi kadang-kadang ego dan pola pikir suatu keluarga memengaruhi cara mereka menyelesaikan persoalannya. Kalau dalam masyarakat Minangkabau, kita mempunyai tungganai di rumah gadang. Jadi tungganai inilah yang terlebih dahulu menangani kasus ini sebelum sampai kepada ninik mamak. Jika ini tidak selesai pada tataran ini maka baru nanti sampai kepada ninik mamak masing-masing dan dilaksanakan pertemuan untuk memusyawarahkan persoalan anak kemenakan”.
Potensi Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Pencegahan Perceraian Dari beberapa kasus di lapangan upaya yang pernah dilakukan dalam pencegahan terjadinya tindakan perceraian oleh pasangan suami istri dapat dikatakan bahwa peran keluarga luas seperti keberadaan orang tua, mertua dan mamak relatif tidak termanfaatkan fungsinya. Begitu juga dengan keberadaan institusi lokal yang ada dalam masyarakat antara lain; Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) atau Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tingkat Nagari, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) serta institusi informalnya lainnya seperti Bundo Kanduang, Majelis Taklim dan Kelompok Arisan. Idealnya dalam masyarakat Minangkabau dengan sistem kekerabatan Matrilineal memberikan ruang yang sangat besar kepada keluarga luas berperan dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat di Minangkabau bukanlah dalam bentuk keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, melainkan adalah sepesukuan. Dengan relatif besarnya cakupan keluarga di Minangkabau tentunya terkandung berbagai potensi-potensi yang dapat digunakan sebagai dasar tata nilai dalam upaya pencegahan perceraian di tengah masyarakat. Orang tua, mertua, saudara dan ninik mamak berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang relatif banyak menjadi penting
108
perannya sebagai sosok yang dianjuang tinggi dilambuak gadang, ditinggikan sarantiang dan didulukan salangkah, dapat memberikan pemahaman dan pelajaran atau nasehat-nasehat kepada anak kemenakan baik sebelum melangsungkan perkawinan bagaimana sebaiknya bertindak dalam menjalankan kehidupan perkawinan ataupun saat sedang menjalani perkawinan itu sendiri. Tentunya sikap kearifan dan adil harus melekat pada peran mereka sebagai orang tua dan ninik mamak. Jangan sebaliknya justru keberadaan mereka yang menjadi pemicu terjadinya perceraian oleh anak kemenakan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai perubahan sosial dalam masyarakat dewasa ini menimbulkan pergeseran terhadap struktur keluarga dalam masyarakat Minangkabau, yakni pergeseran dari keluarga luas menjadi keluarga inti sekaligus berimplikasi terhadap peran dari keluarga luas itu sendiri (Erwin 2003) dan Azwar (2005). Namun demikian untuk masalah yang berkaitan dengan perkawinan secara adat, keluarga luas dan ninik mamak relatif masih terlibat. Begitu pun layaknya untuk masalah perceraian. Keberadaan mamak dalam keluarga luas hendaknya dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pencegahan perceraian terhadap anak kemenakan dan dalam masyarakat Minangkabau pada umumnya. Dalam penelitian Azwar (2005), dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau mempunyai struktur pesukuan tiga tingkat yaitu sasuku, sakaum dan saparuik. Sasuku diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki hubungan suku yang sama dan sakaum adalah kelompok yang memiliki ninik yang sama. Saparuik yaitu kelompok orang yang memiliki satu mande atau nenek dan merupakan tingkat kekerabatan yang paling kecil. Menurutnya selama ini tingkat kekerabatan kaum dan paruik frekuensi relasi masih cukup tinggi antar sesama dimana proses kontak dan komunikasi masing-masing anggota kerabat terjalin sangat intens tanpa sebuah pemaksaan tetapi kebersamaan dan berja-
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
lan di bawah pengawasan mamak kepala waris. Masyarakat di sini saling kunjung mengunjungi antar anggota paruik masih dalam frekuensi cukup tinggi setiap harinya atau setiap minggunya. Jika terdapat anak kemenakan sakit atau dapat musibah, maka dengan suka rela anggota kerabat di bawah kepemimpinan mamak kepala waris membantu mencarikan jalan keluar. Akan tetapi di satu sisi Azwar mengakui proses melemahnya peran keluarga luas menyebabkan terjadinya perubahan hubungan antar anggota kerabat paruik. Untuk itu beranjak dari penjelasan Azwar tersebut, maka sifat hubungan yang terdapat dalam masyarakat tersebut terkandung potensi yang relatif cukup besar untuk dapat digunakan dalam hal pencegahan perceraian. Mamak dapat memaksimalkan peran dan tanggung jawabnya terhadap anak kemenakan yang mempunyai masalah dengan perkawinan. Untuk itu, ke depannya dapat dilakukan upaya penguatan kembali hubungan-hubungan dalam sistem kekerabatan keluarga luas, khususnya hubungan anak kemenakan. Keluarga luas, terutama orang tua dan mamak sebagai pihak yang berperan dalam memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap keberlangsungan perkawinan anak kemenakan, perlu diberikan penyuluhan-penyuluhan yang dapat meluruskan kembali persepsi mereka mengenai hubungan anak kemenakan di dalam keluarga pada masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini diupayakan peran aktif mereka dalam mewujudkan keberfungsian keluarga terkait peranperan dalam sistem kekerabatan tersebut. Sehubungan dengan langkah penguatan peran mamak maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah penguatan peran Tigo Tungku Sajarangan (TTS). Untuk mengembalikan khittah masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Bupati Solok Drs. H. Syamsu Rahim menyatakan bahwa revitalisasi peran ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai sangat diperlukan. Untuk mengembalikan peran TTS tersebut, maka diperlukan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
kesepakatan dan kesepahaman bersama kembali di tengah-tengah masyarakat, agar masingmasing unsur TTS tersebut kembali berjalan, dengan mendudukkan kembali peran mereka? Selanjutnya keberadaan Kerapatan Adat Nagari (KAN), sebagai salah satu kelembagaan yang ada di masyarakat Minangkabau dapat menyinergikan proses penguatan peran TTS dalam kehidupan bermasyarakat. KAN adalah sebuah lembaga adat Minangkabau di tingkat nagari yang bertugas sebagai penjaga dan pelestari adat dan budaya Minangkabau. KAN merupakan lembaga adat tertinggi di nagari, tempat berhimpunnya penghulu di nagari yang disebut ninik mamak. Meskipun dari beberapa peran KAN cenderung kepada menangani masalah perkara adat yang berhubungan dengan sako dan pusako, tetapi dalam rangka menjaga kelestarian dan pelaksanaan adat istiadat itu sendiri KAN dapat juga diharapkan perannya dalam menjaga keberlangsungan perkawinan suatu keluarga di kenagariannya. Seperti yang telah dilaksanakan oleh KAN Koto Baru Balai Janggo Kota Payakumbuh. Sebagai KAN terbaik di Sumatera Barat lembaga ini sudah melaksanakan upaya pencegahan perceraian dengan melakukan program pembekalan bagi calon pengantin (Catin). Bekerjasama dengan KUA, KAN ikut terlibat dalam screening Catin. Hal ini diakui oleh informan penelitian dari KUA Kecamatan Payakumbuh Utara. Setiap Catin yang akan menikah dan sudah terdaftar di KUA, akan diberikan pembinaan kepada catin, dengan materi antara lain mengenai Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, ibadah yang perlu dilakukan dalam rumah tangga, fiqih meliputi pengertian, syarat dan rukun nikah. Pemahaman mengenai keluarga sakinah, mawadah, warrahmah dan materi berkaitan dengan masalah gizi keluarga, kedudukan harta bersama dan pengelolaan keuangan keluarga. Materi dari KAN, berupa nasihat yang diberikan oleh penghulu mengenai hubungan sosial dalam masyarakat Minang. Di sini akan disampaikan antara lain bagaimana peran sebagai urang sumando di kampuang urang
109
dan tingkah laku urang sumando. Sumando yang terbaik dan diharapkan adalah sumando kaganti ninik mamak. Institusi lokal lain dalam masyarakat Minangkabau, yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Sesuai dengan namanya lembaga ini berperan dalam aspek pemberdayaan masyarakat khususnya dalam hal ekonomi. Salah satu tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu meningkatkan ekonomi kerakyatan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Secara kelembagaan institusi ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat bagi upaya pencegahan terhadap perceraian. LPM tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat dan merupakan wahana aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Salah satu tujuannya adalah mendorong, mendirikan dan memberdayakan peran wanita dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga. Oleh karena salah satu faktor dominan penyebab perceraian adalah faktor ekonomi rumah tangga, berkaitan dengan suami tidak bekerja atau ketidakcukupan uang belanja rumah tangga dan kesenjangan pendapatan berdasarkan penelitian terdahulu merupakan pemicu perceraian, untuk itu di sini diperlukan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga. Pemberdayaan ini dapat dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Kelompok-kelompok informal dalam masyarakat seperti kelompok arisan dan majelis taklim pun dapat dimanfaatkan keberadaannya dalam upaya pencegahan perceraian di tengah masyarakat. Optimalisasi peran dan fungsi kelompok ini dalam sosialisasi nilainilai keagamaan dan bagaimana membangun keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah sebagai bekal bagi pasangan menikah dalam menjalankan biduk perkawinan. Penutup Ketidakstabilan keluarga berkaitan dengan semakin sering terjadi nya terjadi pertengkaran-pertengakaran dalam penyelesaian
110
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari akibat ketidakcocokan prinsip, pendapat, sikap dan perilaku. Hampir keseluruhan informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa adanya berbagai masalah yang terjadi dalam perkawinan merupakan faktor pemicu mereka untuk mengambil langkah perceraian. Secara khusus masyarakat Minangkabau tidaklah mempunyai cara-cara mengatasi ketidakstabilan keluarga yang menunjukkan kekhasan dari masyarakat Minangkabau itu sendiri dan relatif sama dengan apa yang juga dilakukan oleh keluarga pada masyarakat umumnya. Di sini dalam menghadapi suatu masalah haruslah dicari jalan keluarnya yaitu dengan mekanisme musyawarah untuk mufakat, tetapi bukan “Sepakat untuk tidak semufakat”. Upaya pencegahan perceraian yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau, dimulai dari langkah antisipasi yakni, pertama dilakukan pada tahapan seleksi jodoh dan perkawinan sesuai aturan adat dan agama. Kemudian pembekalan bagi Catin oleh orang tua, mamak, lembaga KAN bersama KUA. Selanjutnya orang tua dan mamak ikut mengawasi dan menyelesaikan masalah kehidupan perkawinan anak kemenakan. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan pada umumnya informan tidak menempuh tahapan tersebut. Peran keluarga luas seperti keberadaan orang tua, mertua dan mamak serta institusi lokal; LKAAM atau KAN di tingkat Nagari, LPM, Majelis Taklim, Bundo Kanduang tidak berfungsi dalam upaya pencegahan perceraian. Untuk itu upaya penguatan kembali peran keluarga luas, terutama orang tua dan mamak dalam memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap keberlangsungan perkawinan anak kemenakan, perlu diberikan penyuluhanpenyuluhan yang dapat meluruskan kembali persepsi mereka mengenai hubungan anak kemenakan di dalam keluarga pada masyarakat Minangkabau. Demikian juga dengan penguatan peran Tigo Tungku Sajarangan (TTS) dan institusi lokal.
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
Daftar Pustaka Amir, M. S. 1999 Adat Minangkabau; Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. Azwar, 2005 Implikasi Perubahan Struktur Pemilikan Tanah dalam Relasi Sosial Komunitas Lokal di Wilayah Pinggiran Kota Padang, Studi kasus di Kec Koto Tangah. Disertasi Program Pasca Sarjana tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Padjajaran. Erwin 2004 Perubahan Fungsi Sosial Ekonomi dan Dinamika Pengelolaan Tanah dalam Keluarga Matrilineal Minangkabau, Studi Kasus Nagari Sunagai Tarab Sumbar. Disertasi Program Pasca Sarjana tidak diterbitkan. Bandung Universitas Padjajaran. Fachrina 2005 Makna Perceraian bagi Masyarakat dalam masyarakat Minangkabau Kontemporer. Laporan Penelitian. Padang: Lembaga Penelitian Universitas Andalas. 2006 Pandangan Masyarakat terhadap Perceraian (Studi kasus cerai gugat dalam Masyarakat Minangkabau kontemporer). Padang: Laporan Penelitian Forum HEDS. Fachrina & Aziwarti 2007 Perubahan Nilai-Nilai Perceraian di kalangan Wanita Bercerai (Studi terhadap istri yang cerai gugat dalam masyarakat Minangkabau kontemporer). Laporan Penelitian SKW DIKTI. Padang: Lembaga Penelitian Universitas Andalas. Goode, William J. 2007 Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Bina Aksara. Gulardi, Sri Tresnaningtias 1999 “Perubahan Nilai di Kalangan Wanita Bercerai”. Dalam Ihromi T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hendrawati, 1990 Dampak Perceraian terhadap Wanita Minangkabau. Padang: Lembaga Penelitian UNAND. Hikmat, Harry, 2003 Ketahanan Sosial: Konsep, Konstruksi dan Indkator. Makalah tidak diterbitkan dalam diskusi. Ihromi, T.O (Penyunting) 1999 Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Karim, Erna 1999 “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scanzoni, Letha Dawson dan Jhon Scanzoni
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
111
1981 Men, Women and Change: A Sociology of Marriage and Family. New York: McGraw.Hill Book Company. Sumber Internet Redaksi 2012 Angka perceraian masih tinggi dipayak umbuh dalam http://www.sumbaronline.com/berita/ tahun-2010-angka-perceraian-masih-tinggi-di-payakumbuh, diakses tanggal 12 Maret 2012. Redaksi 2013 Angka perceraian di Indonesia Tinggi dalam http://m.antara-sumbar.com, Angka Perceraian di Indonesia Tinggi, diakses tanggal 12 September 2013 Redaksi 2013 Perceraian Menignkat di Kota Padang dalam http://m.antaranews.com/berita/angka perceraian meningkat di kota padang, diakses tanggal 8 Oktober 2013
112
Fachrina dan Rinaldi, Upaya Pencegahan Perceraian...
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika
‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution
Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin