ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika ‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution1 Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Sumatera Utara
Abstrak Dalam satu dekade terakhir, persoalan fenomena perubahan iklim telah menjadi perdebatan serius bagi masyarakat di seluruh belahan dunia. Dampak dari terjadinya gejala perubahan iklim dapat dirasakan atau dialami secara langsung oleh suatu kelompok masyarakat di setiap wilayah lingkungan. Berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat yang berkaitan dengan fenomena perubahan iklim dapat diungkap dengan menelusuri pengetahuan (budaya) mereka dalam memahami dan memerkirakan berbagai keadaan lingkungan; persepsi mereka terhadap keadaan lingkungan yang kini mengalami kesimpangiuran; dan upaya yang diterapkan mereka dalam menghadapi kesimpangsiuran atas keadaan lingkungan. Kesemuanya itu akan merepresentasikan bagaimana budaya mengungkap perubahan iklim yang bukan hanya tentang persoalan lingkungan fisik semata, melainkan juga merupakan suatu fenomena sosial-kultural. Kata kunci: Perubahan Iklim, Pengetahuan (Budaya), Kesimpangsiuran Lingkungan, dan Fenomena Sosial-Kultural. Abstract In the last decade, the issue of climate change phenomenon has been a serious debate for the people around the world. The impact of the climate change symptom can be felt or experience directly by a societal group in any environment. The problems being experienced by the people related with the climate change phenomenon can be revealed by tracing their knowledge (culture) in understanding and predicting the circumstances of the environment; their perception about the environment which has been more unpredictable in the recent time; and the effort that were applied by them to face of the unpredictable circumstances of the environment. That would be represented how culture revealed the climate change was not only about the physical environment, but also the social-cultural phenomenon. Keywords: climate change, knowledge (culture), unpredictable environment, and social-cultural phenomenon.
1 Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos. M.A., staf pengajar pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2014, ditetapkan sebagai dosen tetap pada Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh. E-mail:
[email protected],
[email protected]
152
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
Sejak beberapa dekade lalu, terutama dalam satu dekade terakhir, masyarakat di berbagai negara di seluruh wilayah dunia sedang berhadapan dengan permasalahan lingkungan yang sangat serius, yaitu peristiwa ‘pemanasan global’2 yang mengakibatkan terjadinya peningkatan temperatur bumi dan juga memicu terjadinya ‘perubahan iklim’ secara global. Perubahan iklim global merupakan kenyataan ekologis yang kini menjadi salah satu permasalahan utama karena berdampak pada terjadinya perubahan intensitas curah hujan di suatu daerah, anomali (kesimpangsiuran) terhadap cuaca dan keadaan iklim, hingga terjadinya berbagai bencana alam akibat cuaca ekstrem yang tentunya berakibat buruk bagi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah dunia (Numberi 2009; RAN-MAPI 2007; Susandi 2008; Susanta dan Sutjahjo 2007; Winarto 2010). Perubahan iklim global sebagai permasalahan lingkungan yang sangat serius, ternyata turut berimplikasi terhadap minat dan perhatian para akademisi dari berbagai bidang keilmuan maupun para aktivis atau pemerhati lingkungan, untuk mengkaji persoalan perubahan iklim secara lebih serius. Kajian yang dilakukan oleh Cox (2005) misalnya, menghadirkan salah satu gagasan (historis-ekologis) yang memperlihatkan bahwa ternyata peristiwa perubahan iklim global itu tidak hanya terjadi pada masa kini, tetapi juga telah terjadi berulang kali di masa lampau, pada skala global maupun regional yang turut memengaruhi kemunculan maupun keruntuhan berbagai peradaban masyarakat dunia. Lynas (2004) hadir dengan pandangan yang menegaskan bahwa perubahan iklim memang telah terjadi dan tengah berlangsung di berbagai belahan dunia. Dari hasil pengamatannya selama dua tahun (2000 - 2002) di beberapa negara di lima (5) benua, diungkapkan pen2 WALHI dalam laporannya (2007) menginformasikan bahwa terjadinya pemanasan global itu diakibatkan adanya peningkatan jumlah emisi (buangan) ‘Gas Rumah Kaca’ (GRK) pada lapisan udara yang berada dekat dengan permukaan bumi (atmosfer). Gas tersebut memerangkap paparan panas dari matahari yang kemudian mengakibatkan suhu bumi semakin panas.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
emuan fakta-fakta tentang berbagai fenomena alam yang terjadi di luar kelaziman dan dianggap berkaitan sebagai gejala atas tengah berlangsungnya perubahan iklim. Salah satunya adalah peristiwa banjir yang berlangsung setiap tahunnya di Inggris, mengakibatkan beberapa kota, seperti York, Shropsire, Bewdley, dan Monmouth dikepung air bah sehingga memaksa warga untuk mengungsi ke tempat lain. Lynas (2004) juga memaparkan data penelitian (IPCC) Intergovernmental Panel on Climate Change yang menyatakan bahwa beberapa negara: Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Jepang, Inggris, Norwegia, Afrika Selatan, Brazil (khususnya di wilayah timur laut), dan seluruh kawasan bekas Negara Uni Soviet, mengalami peningkatan curah hujan hingga ke tingkat ekstrem. Penelitian yang dilakukan oleh Kerr (1993) tentang sikap dan tanggapan masyarakat yang menetap di sekitar kawasan Pegunungan Alpen di Eropa dalam keberkaitannya dengan perubahan iklim global, menemukan adanya ketergantungan aktivitas kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat terhadap kondisi lingkungan, mengindikasikan betapa perubahan iklim merupakan suatu ancaman yang sangat akut bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Kondisi ini kemudian menyebabkan masyarakat harus menggagas pemikiran-pemikiran baru yang lebih ideal untuk menghasilkan tindakan-tindakan adaptif terhadap ancaman perubahan iklim. Dahinden (1994 via Wilenius 1996) dalam kajian yang dilakukannya di Surselva dan Ticino (Swiss) menemukan bahwa perubahan iklim bukan hanya persoalan lingkungan alamiah, namun juga melibatkan dimensi sirkumstansi publik (ekonomi, politik, dan lingkungan) sebagai suatu bentuk respon (pinggiran) terhadap kepedulian lingkungan. Salah satu respon dimaksud berupa kritik terhadap model mitigasi (pencegahan) yang terlihat sebagai pilihan kebijakan pemerintah yang lebih baik dari model adaptasi, namun ternyata tidak ada langkah-langkah radikal
153
yang disarankan, melainkan hanya berupa informasi, pendidikan, dan teknologi yang masih bersifat himbauan. Telaah Kultural terhadap Permasalahan Perubahan Iklim Global Persoalan perubahan iklim, sudah semestinya berangkat dari realitas yang berlangsung di masyarakat. Dengan kata lain, kajian-kajian mengenai perubahan iklim yang berangkat dari tanggapan-tanggapan sosial-kultural oleh masyarakat merupakan suatu hal penting dan harus dilakukan. Seperti kata ‘global’ yang melekat pada isu perubahan iklim (global climate change) itu sendiri misalnya, dapat dikatakan merupakan produk kultural yang cenderung dipahami secara berbeda oleh kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia, dan tentu saja berkemungkinan menjadi hal yang sangat kontroversial. Berbagai hasil kajian dari kalangan ilmuan sosial-humaniora turut bersumbangsih dalam mengajukan gagasan tentang bagaimana menghadapi persoalan perubahan iklim global yang tengah berlangsung. Dahinden (1994), Jaeger (1993), dan Kerr (1993), via Wilenius (1996); Crate dan Nuttal (2009); Cruikshank (2005); Strauss dan Orlove (2003), merupakan sederet nama dari sekian banyak ilmuan (sosial-humaniora) yang menyoroti bagaimana masyarakat menanggapi dan menghadapi sekelumit persoalan perubahan iklim, dengan karakter perspektif sosial-kultural yang lekat dalam telaah kajian mereka. Di Indonesia, khususnya kajian tentang persoalan perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat yang dilakukan sangat serius serta lekat dengan perspektif sosial-kultural, datang dari salah seorang begawan antropologi, Winarto (2010). Dari hasil kajian mereka ditemukan adanya variasi pandangan dan tanggapan dari setiap kelompok masyarakat di suatu wilayah dalam menanggapi maupun menghadapi persoalan perubahan iklim. Varian persepsi berbasis kultural dari setiap
154
kelompok masyarakat tersebut berimplikasi terhadap seperti apa, kemudian bagaimana mereka memandang maupun memahami permasalahan perubahan iklim di wilayah (lingkungan) mereka dengan karakter lokalitasnya tersendiri. Sebagaimana juga pandangan yang dikemukakan oleh Alland (1975), Amsikan (2000), Attfield (2010), Awang (2000), Lampe (2006), Poerwanto (2008), Sutton (2004), Wahyuningsih (1997), bahwa setiap kelompok manusia atau masyarakat yang berdiam di berbagai wilayah akan senantiasa berupaya menanggapi, mengantisipasi, dan menghadapi permasalahan lingkungannya (fisik maupun sosial) demi keberlanjutan akan kehidupan yang tetap terjaga dan semakin lebih baik. Winarto dalam naskah saintifik yang bertajuk Climate and Culture: Changes, Lessons, and Challenges (2010) dengan sangat tegas menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan fenomena alam yang tidak mudah untuk diamati, diprediksi, dan diantisipasi secara akurat. Meskipun bukanlah suatu hal yang mudah, berbagai upaya khusus dalam menafsirkan kembali dan memperkaya pengetahuan tentang fenomena perubahan iklim merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan. Pengetahuan pada sekelompok manusia yang berbeda dan dengan domain yang berbeda atas berbagai pengetahuan ilmiah maupun lokal, juga akan sangat bervariasi. Winarto (2010) selanjutnya juga merepresentasikan bagaimana kekuatan pendekatan sosial-kultural dalam perspektif antropologi, sangat mampu mengungkap peran budaya masyarakat guna menyikapi dan menghadapi persoalan perubahan iklim secara tepat dan bersolusi. Representasi tentang peran kebudayaan pada suatu kelompok masyarakat (khususnya masyarakat petani) yang ternyata sangat relevan dalam menanggapi serta menghadapi persoalan perubahan iklim dan implikasi alamiah yang terjadi di sekitar mereka. Dengan demikian, persoalan perubahan iklim kini tidak lagi hanya diartikan sebagai fenomena alamiah dengan telaah matematis, kimiawi, dan biologis
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
semata, namun merupakan fenomena perubahan lingkungan yang patut dicermati dengan telaah kultural yang lekat dan dapat dijangkau pemahamannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, tulisan ini juga bermaksud untuk mengungkap bagaimana suatu kelompok masyarakat membaca perubahan keadaan lingkungan yang berimplikasi terhadap kehidupan perekonomian mereka, dalam konteks permasalahan perubahan iklim global yang tengah dihadapi oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Dari ‘Pokok Hari Mlaut’ Hingga ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya (Lokal) pada Nelayan Belawan Bahari di Sumatera Utara dalam Membaca Gejala Perubahan Iklim (Global)
berinteraksi dengan lingkungan laut tentu membutuhkan perangkat pengetahuan kelautan yang merupakan salah satu komponen atas budaya melaut mereka. Perangkat pengetahuan nelayan Belawan Bahari mengenai lingkungan dimaksud bukanlah hanya berupa deskripsi umum atas kondisi atau berbagai gejala alamiah dari suatu lingkungan pesisir dan lautan. Pengetahuan tersebut juga meliputi pengungkapan lebih jauh dan mendalam tentang berbagai konsepsi mereka tentang berbagai keadaan maupun gejala alamiah dari lingkungan pesisir dan laut, sebagai komponen penting yang dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan melaut. ‘Pokok Hari Mlaut4’
Kelompok masyarakat yang diperbincangkan di dalam tulisan ini adalah masyarakat Nelayan Belawan Bahari yang berada di wilayah pesisir laut Belawan, Provinsi Sumatera Utara. Mengapa nelayan? Sebagaimana dikatakan oleh Numberi (2009), Suharsono (2009), Susanta dan Sutjahjo (2007), bahwa salah satu wilayah yang akan mengalami dampak serius akibat terjadinya perubahan iklim3 adalah lingkungan pesisir, seperti delta pasang-surut, muara sungai, rawa-pesisir, laguna, dan juga hingga berakibat pada penurunan produktivitas perikanan (tangkapan) hasil laut. Dalam tulisan ini penulis ber upaya mengungkap bagaimana mereka menanggapi dan menghadapi situasi maupun kondisi lingkungan yang cenderung mengalami anomali sebagai implikasi dari perubahan iklim global, dengan menggunakan pendekatan sosial-kultural, atau lebih tepatnya melalui perspektif antropologi dengan menyoroti dimensi tertentu dari suatu sistem kebudayaan, yaitu melalui sistem pengetahuan lingkungan dari masyarakat Nelayan Belawan Bahari. Kehidupan masyarakat Belawan Bahari sebagai masyarakat nelayan yang senantiasa
Sistem pengetahuan tentang keadaan lingkungan sebagai pedoman bagi aktivitas melaut para nelayan Belawan Bahari dikenal dengan istilah ‘Pokok Hari Mlaut’. Salah satu aspek atau komponen utama dari perangkat pengetahuan pokok hari atau pokok hari mlaut itu adalah tentang pengetahuan musim melaut, meliputi: pengetahuan tentang keadaan alamiah yang ter jadi di lautan, seperti keadaan angin, ombak, maupun pergerakan arus laut yang berlangsung dalam rentang atau periode musim. Pengetahuan terhadap musim melaut menjadi sorotan utama dalam tulisan ini karena berkaitan dengan gejala keadaan alamiah di laut, dan juga cenderung representatif guna menampilkan perubahan lingkungan sebagai penanda atas berlangsungnya gejala perubahan iklim. Terkait dengan periodisasi cuaca tahunan sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar wilayah di Indonesia, wilayah Belawan Bahari dan perairan laut di sekitarnya juga memiliki dua kategori cuaca yang berlangsung dalam periodisasi musim di setiap tahunnya, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan oleh nelayan Belawan Bahari disebut juga dengan musim barat (pokok hari bulan
3 Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan pola cuaca lokal maupun regional.
4 ‘Mlaut’ merupakan istilah lokal yang sama artinya dengan kata ‘melaut’ dalam bahasa Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
155
barat), dan musim kemarau disebut dengan musim timur (pokok hari bulan timur). Pengetahuan tentang keadaan lingkungan di laut terkait berlangsungnya musim penghujan atau musim barat itu oleh nelayan laut tengah disebut dengan ‘pokok hari bulan barat’, sebaliknya, pada musim kemarau atau musim timur disebut dengan ‘pokok hari bulan timur’. Selain kedua musim tersebut, mereka juga mengenal satu musim lagi yang kehadirannya menjadi penanda peralihan antara musim timur dan musim barat, yaitu ‘musim alihan’ atau disebut juga dengan ‘musim barat kering’ yang dapat berlangsung selama dua hingga tiga bulan. Sebagaimana dikatakan oleh Wak Kiduk5: “Dari musim timur mau ke musim barat, ada juga musim alihannya, kalo kami orang laut bilangnya musim barat kering. Waktu musim barat kering tuh, hujan turun, udah gitu angin turun juga, nandakan mau nyambut kepala barat dia. Kalo pas tiap-tiap pertukaran musim katanya, laut tuh gak ada ikan, sampe dua bulan bisa tuh biasanya”. (Nelayan Belawan Mahari)
Keadaan pergerakan angin merupakan salah satu keadaan alamiah utama yang berlangsung sesuai dengan periode musim. Keadaan pergerakan angin sangat menjadi perhatian nelayan ketika melaut karena dapat berpengaruh terhadap arah pergerakan maupun kekuatan arus laut, besar atau kecilnya ombak, dan terjadinya badai maupun berbagai ancaman bahaya lainnya di lautan.
Ditinjau dari arah gerak angin dan cuaca tahunan yang berlangsung di wilayah perairan laut Belawan Bahari dan sekitarnya, diketahui bahwa arah pergerakan angin bertiup dari arah barat dan berlangsung selama bulan Oktober hingga April. Sebaliknya, pada bulan April sampai dengan Oktober, wilayah Belawan Bahari dan wilayah perairan di sekitarnya dilintasi oleh angin yang bergerak dari arah timur ke barat. Secara teoritik, setiap pergerakan angin barat dan angin timur dikatakan berhembus sesuai arah pergerakannya dan berlangsung selama enam bulan secara bergantian (Hutabarat 2001). Akan tetapi, nelayan Belawan Bahari juga memiliki pemahaman tersendiri terkait dua kategori pergerakan angin tersebut. Pergerakan kedua angin tahunan itu dipahami dengan memperhitungkan kekuatan bertiupnya angin yang paling besar dan periode berlangsungnya pergerakan angin secara simultan dalam pokok hari bulan barat dan pokok hari bulan timur. Angin barat dikatakan berhembus ‘kencang’ atau bertiup dengan kekuatan yang besar pada pokok hari bulan barat kedua sampai dengan kelima, atau berlangsung pada bulan November sampai dengan Februari dalam perhitungan masehi. Sementara angin timur bertiup dengan kekuatan besar hanya pada pokok hari bulan timur pertama sampai dengan ketiga, dalam perhitungan masehi berarti berlangsung pada akhir bulan maret atau awal April sampai dengan bulan Juni.
Tabel 1 Musim Melaut dan Arah Pergerakan Angin
5 Salah seorang nelayan Belawan Bahari.
156
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
Dengan demikian, diketahui bahwa kegiatan mlaut akan lebih dioptimalkan oleh para nelayan laut tengah pada masa pokok hari bulan timur, dan ruang jelajah pelayaran serta lokasi mlabuh lebih diperluas untuk menghadapi ‘masa tangkapan sulit’ yang biasanya berlangsung pada periode pokok hari bulan barat. Dari kategori angin tahunan yang terdiri dari angin barat dan angin timur sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, nelayan Belawan Bahari juga memiliki kategori angin lainnya yang diidentifikasi dan dipahami berdasarkan arah kedatangan, dan juga sifat dari pergerakannya yang kemudian disebut dengan angin mlaut. Dikatakan sebagai angin mlaut karena keadaan angin di tengah laut pada suatu periode tertentu juga berimplikasi terhadap keadaan arus laut, atau bahkan menimbulkan keadaan ombak yang dapat membahayakan keselamatan para nelayan ketika berada di lautan. Angin mlaut merupakan kategori angin yang berkaitan langsung dengan aktivitas melaut dan terbagi atas dua, yaitu ‘angin tenang’ atau angin biasa yang kehadirannya tidak sampai mengakibatkan keadaan perairan di lautan menjadi bergejolak, dan ‘angin jahat’ atau angin yang bertiup kencang serta dapat menimbulkan badai di lautan. Beberapa jenis ‘angin tenang’ yang penyebutannya juga berkaitan dengan arah kedatangannya antara
lain adalah: angin timur atau timur tepat, angin timur laut atau timur padang; sedangkan yang termasuk ‘angin jahat’ adalah: angin barat laut, angin tenggara, dan angin selatan. Selain itu, ada dua jenis angin yang bersifat unik karena keberadaannya dapat termasuk ke dalam dua kategori angin tersebut, yaitu angin barat daya dan angin tenggara. Angin barat daya termasuk ke dalam kategori angin tenang apabila periode musim yang tengah berlangsung adalah musim timur atau pokok hari bulan timur, tetapi apabila periode musim yang tengah berlangsung adalah musim barat, maka, angin barat daya berubah menjadi angin jahat. Berbeda halnya dengan angin barat daya, angin tenggara dapat menjadi angin jahat ketika periode musim yang berlangsung adalah musim timur karena dapat bertiup dengan sangat kencang dan menghasilkan badai di lautan. Sebagaimana diungkapkan oleh Wak Kiduk: “Angin yang bagus tuh pas musim timur. Kayak angin timur laut, sepoi-sepoi dia. Terus angin timur tepat, malamnya angin barat daya. Kalo ini aja anginnya, tenanglah angin laut tuh. Tapi lain juga angin barat daya nih. Pas musim timur memang tenang dia, tapi kalo musim barat, ribut laut tuh bisa dibuatnya.”
Angin tenang bagi nelayan laut tengah
Gambar 1. Skema Angin Mlaut
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
157
adalah jenis angin yang mendukung pelaksanaan mlaut. Pada musim timur atau periode pokok hari bulan timur, jenis angin tenang yang dominan bertiup biasanya adalah angin dari arah timur, yaitu angin timur dan angin timur laut. Kedua jenis angin ini diharapkan kehadirannya oleh nelayan laut tengah karena biasanya ikan dan biota laut lainnya lebih mudah diperoleh. ‘Pokok Hari Nyalah’ Pokok hari mlaut sebagai suatu sistem pengetahuan dalam memperkirakan suatu keadaan lingkungan di lautan yang dimiliki dan dipahami oleh mereka selama ini, ternyata kini tidak lagi mampu menghadirkan akurasi perkiraan secara tepat. Kenyataan bahwa keadaan lingkungan (laut) telah mengalami kesimpangsiuran atau tidak lagi presisi yang kini dihadapi oleh nelayan Belawan Bahari, turut ditandai dengan kemunculan satu istilah yang sebelumnya tidak terdengar dalam kehidupan mereka sebagai nelayan dengan budaya melautnya, yaitu ‘pokok hari nyalah’. Penggunaan istilah pokok hari nyalah yang semakin sering terdengar dan digunakan sejak sekitar tahun 2008 lalu, ternyata memiliki keterkaitan dengan perubahan skema pengetahuan mereka dan keadaan lingkungan di lautan. Nelayan Belawan Bahari telah banyak mendapatkan pengalaman terkait perkiraan keadaan lingkungan di lautan yang dianggap keliru dari prediksi pengetahuan mereka. Selain keadaan lingkungan di laut yang sebenarnya telah menjadi tantangan dan tidak jarang merupakan ancaman bagi mereka dalam melaksanakan kegiatan mlaut, pokok hari nyalah kini menjadi tantangan sekaligus ancaman baru dan utama bagi mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Wak Kiduk: “Pokoknya sebab yang sudah terjadi dulu tuh, kini coba terjadi, sekarang tidak! Nampak kacau cuaca di laut sekarang tuh, dah nyalah pokok hari sekarang nih! Sekarang ada juga yang gak ada tandanya, tapi terjadi!”
158
Apa yang dikatakan oleh Wak Kiduk tersebut dapat diartikan sebagai berikut: pengetahuan tentang penyebab berlangsungnya suatu keadaan alamiah di lautan yang dimiliki dan dipahami oleh mereka selama ini, sulit untuk diterapkan di masa sekarang ini. Keadaan cuaca di laut sudah tidak menentu, dan pokok hari mlaut dipertanyakan ketepatannya di masa sekarang ini. Kemudian, pada masa sekarang ini juga terjadi beberapa peristiwa alam yang berlangsung tanpa pertanda atau tidak dikenali tanda-tanda kehadirannya. Pokok hari nyalah dapat diartikan sebagai suatu ungkapan (sains-lokal) untuk menyatakan keadaan lingkungan yang kini tidak lagi sesuai dengan prediksi pengetahuan (pokok hari mlaut) mereka, atau sebagai ungkapan atas realitas konsep lingkungan yang mengalami kesimpangsiuran. Selain itu, pokok hari nyalah juga merupakan konseptualisasi atas realitas keadaan alamiah lingkungan yang tidak lazim dari keadaan lingkungan dalam poros pokok hari mlaut, sebagaimana yang dipahami dan oleh mereka selama ini. Ragam ketidaktentuan atas keadaan lingkungan yang sementara ini dialami dan disadari oleh nelayan Belawan Bahari adalah kesimpangsiuran dalam perkiraan keadaan alamiah yang terjadi di lautan, meliputi: kesimpangsiuran terhadap perkiraan peristiwa alamiah dari periode musim mlaut, yaitu kesimpangsiuran atas perkiraan terjadinya hujan, pergerakan angin, pergerakan ombak, dan keberadaan biota tangkapan. 1. ‘Nyalah’ Pada Musim Mlaut Kesimpangsiuran pada musim mlaut atau musim mlaut yang ‘nyalah’ dapat dilihat dari periodisasi peristiwa hujan yang disadari oleh nelayan Belawan Bahari tengah berlangsung dengan pola yang mengalami perubahan, atau terjadi dengan pola yang tidak menentu. a) ‘Nyalah’ Pada Musim Penghujan Intensitas curah hujan selama ini atau se-
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
belumnya diketahui berlimpah pada musim penghujan atau berlangsung dalam periode musim barat. Akan tetapi, curah hujan yang berlimpah kini tidak hanya terjadi dalam periode musim penghujan dengan pola musim barat, melainkan juga terjadi pada musim kemarau dengan pola musim timur yang intensitas curah hujannya seharusnya lebih rendah. Musim timur yang berlangsung dari bulan April hingga Oktober, seharusnya tidak memungkinkan terjadinya hujan dengan curah hujan yang tinggi. Apalagi pada bulan juni, juli, dan agustus, diketahui bahwa jumlah curah hujan pada ketiga bulan itu sangat minim atau rendah. Namun dalam tiga tahun terakhir, nelayan Belawan Bahari berdasarkan pengamatan mereka menemukan peristiwa alamiah hujan yang berbeda, yaitu pada bulan juli dan agustus yang merupakan bagian dari periode berlangsungnya musim timur, keadaan lingkungan di laut justru mengalami peristiwa hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Wak Kiduk: “eceknya kita bilang tanda-tanda bakal turun hujan, ternyata tak turun hujan. Besok kita lihat panas, kita bilang tak hujan, taunya turun hujan! Udah gitu musim timur kok bisa banyak hujan, kalo sebulan sekali bolehlah, tapi ini kok sebulan bisa sampek lima kali hujan, kan lain gelagatnya udah!”.
Pernyataan Wak Kiduk tersebut dapat diartikan sebagai berikut: misalnya ada tandatanda bahwa akan turun hujan, ternyata tidak terjadi. Keesokan harinya, apabila dilihat keadaan cuaca di laut sepertinya akan panas atau tidak hujan, ternyata yang terjadi adalah hujan. Selain itu, keadaan alamiah terkait berlangsungnya hujan atau panas telah sulit untuk diperkirakan kehadirannya. Musim timur yang seharusnya hujan jarang terjadi, ternyata malah sering terjadi. Pada musim timur, idealnya peristiwa hujan hanya terjadi sebanyak satu kali dalam satu bulannya, namun kini dalam sebulan dapat terjadi hujan sebanyak lima kali. Bagi nelayan Belawan Bahari, keadaan seperti ini dapat dikatakan merupakan suatu hal yang ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
mengherankan. Berdasarkan beberapa pandangan nelayan Belawan Bahari terhadap kesimpangsiuran periode berlangsungnya hujan tersebut, maka, dapat dikatakan bahwa wilayah Belawan Bahari dan wilayah perairan laut di sekitarnya kini lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan angin barat. Hal itu terjadi karena berkaitan dengan pergerakan dari angin timur yang hanya berlangsung dalam periode relatif lebih singkat. b) ‘Nyalah’ Pada Pergerakan Angin dan Terjadinya Ombak Selain perkiraan periode musim penghujan yang kini dianggap tengah mengalami kesimpangsiuran, pergerakan angin yang dapat diidentifikasi kehadirannya melalui periode musim barat atau musim timur, disadari juga oleh nelayan Belawan Bahari tengah mengalami ciri kesimpangsiuran yang serupa. Angin timur yang semestinya bertiup selama berlangsungnya periode musim timur, yaitu dari bulan April hingga September atau awal Oktober, kini hanya berlangsung secara optimal selama sekitar tiga bulan, atau dari bulan April hingga Juni. Dengan pernyataan yang lain, dikatakan bahwa musim timur berlangsung dalam waktu yang lebih singkat dari musim barat, dan sebaliknya, musim barat kini cenderung berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Arah pergerakan angin yang mengalami kesimpangsiuran turut berimplikasi pada peristiwa alamiah ikutan lainnya, salah satunya adalah terhadap peristiwa ombak di lautan. Kehadiran atau pergerakan ombak dikatakan turut mengalami kesimpangsiuran karena ukuran besarnya yang tidak lagi presisi atau sulit untuk diperkirakan. Salah satu contoh dari kesimpangsiuran peristiwa alamiah ombak yang dialami oleh nelayan Belawan Bahari itu berkaitan dengan kehadiran ombak tiga sekawan6. 6 Ombak tiga sekawan merupakan salah satu jenis ombak yang sangat ditakuti dan berbahaya bagi keselamatan karena ombak ini dapat bergulung sebanyak tiga kali secara berurutan. Ombak tiga sekawan dapat terjadi karena matinya angin barat laut tidak diikuti dengan menghilangnya ombak atau menurunkan intensitas gulungan ombak di laut,
159
Dalam pokok hari mlaut yang idealnya dipahami oleh nelayan Belawan Bahari, mereka mengetahui bahwa kehadiran ombak tiga sekawan biasanya diakibatkan oleh angin barat laut yang bertiup kencang dan berlangsung pada periode musim barat. Namun kini, meskipun periode musim yang tengah berlangsung adalah musim timur, mereka tetap dapat menemukan kehadiran ombak tiga sekawan tersebut. Peristiwa alamiah dari kehadiran ombak yang tidak sesuai dengan musimnya tentu saja telah membingungkan mereka, dan membuat mereka semakin harus lebih berhatihati dalam menghadapi pokok hari nyalah dengan berbagai kesimpangsiuran status keadaan lingkungannya. 2. ‘Nyalah’ pada Lokasi Mlabuh Berbagai kesimpangsiuran atas peristiwa alamiah yang telah dikemukakan sebelumnya kemudian berimplikasi terhadap situs mlabuh atau lokasi penangkapan ikan. Lokasi keberadaan ikan di wilayah perairan laut menjadi sulit untuk diperkirakan.
Musim kemarau atau musim timur yang biasanya tidak memiliki intensitas curah hujan dalam jumlah berlimpah, kini dapat juga mengalami turunnya hujan dengan jumlah curah hujan yang cukup tinggi. Situasi alamiah seperti itu dapat mengakibatkan kesimpangsiuran pada keadaan perairan laut yang kemudian berakibat terhadap keberadaan biota tangkapan. Suhu hangat pada paras laut yang diakibatkan oleh bertiupnya angin timur, dan suhu dingin dari air hujan yang larut di bawah permukaan air laut dikatakan mengakibatkan biota tangkapan (terutama jenis ikan) cenderung bermigrasi. Lokasi keberadaan ikan yang semakin sulit diprediksi kemudian berakibat pada penentuan lokasi mlabuh yang turut mengalami kesimpangsiuran. Peningkatan suhu panas pada air laut di atas kelaziman juga dapat menyebabkan mobilitas biota tangkapan (terutama ikan) menuju perairan laut pinggir sulit terjadi, atau oleh nelayan Belawan Bahari, situasi seperti itu dikatakan juga dengan istilah ‘ikan malas ke tepian’.
Tabel 2 Skema Kognitif: Pola Anomali Pada Pokok Hari Nyalah Pokok Hari Pokok Hari Nyalah
Hujan
Angin dan Ombak
- Intensitas curah hujan berlimpah dan peristiwa hujan berlangsung pada musim barat
- Intensitas curah hujan berlimpah dan peristiwa hujan juga berlangsung pada musim timur
- Pada musim timur, peristiwa hujan biasanya hanya terjadi sekali dalam setiap bulannya
- Pada musim timur, peristiwa hujan dapat terjadi sebanyak empat hingga lima kali dalam satu bulan
- Jenis angin timur biasanya bertiup apda musim timur (6 bulan)
- Jenis angin timur yang bertiup pada musim timuer berlangsung dalam periode yang lebih singkat (3 bulan) - Jenis Ombak Tiga Sekawan kini juga sering terjadi pada musim timur
- Jenis Ombak Tiga Sekawan biasa terjadi pada musim barat
Lokasi Mlabuh
-Lokasi mlabuh sulit ditentukan karena - Lokasi Mlabuh mudah dietntukan karena lokasi keberadaan biota tang- terjadi peningkatan suhu air laut yang mengakibatkan sebaran lokasi kekapan cenderung dapat diprediksi
beradaan biota tangkapan semakin tidak presisi
justru menyisakan satu kekuatan besar terhadap dorongan gulungan ombak yang kemudian memunculkan ombak tiga sekawan tersebut.
160
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
Peningkatan suhu panas pada air laut juga dikatakan sebagai anomali suhu perairan laut karena peristiwa itu berlangsung pada musim barat, atau terjadi di musim yang seharusnya cenderung membuat suhu pada paparan paras laut menjadi lebih dingin. Musim barat beserta kesimpangsiuran keadaan lingkungan seperti itu oleh nelayan Belawan Bahari disebut juga dengan musim barat kering, dan musim ini bisa berlangsung selama satu bulan hingga dua bulan. Meskipun suhu tidak berpengaruh langsung terhadap keberadaan biota tangkapan, namun keadaan air laut yang mendapatkan suhu panas berlebih dikatakan dapat mengganggu keberadaan sumber makanan bagi ikan dan biota laut lainnya. Keadaan alamiah di laut seperti itu kemudian mengakibatkan nelayan Belawan Bahari mengalami kesimpangsiuran terhadap situs atau lokasi mlabuh mereka. Penutup Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa suatu sistem pengetahuan dan ide sebagai entitas kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, merupakan pedoman (way of life) dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Goodenough 1971; Spradley 1972; via Amsikan 2000: 40–41). Sahlins (1977) juga berpandangan serupa dengan menyatakan bahwa ‘manusia tidak pernah menghadapi lingkungannya secara langsung; mereka selalu mendekati alam melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna, dan nilai (dalam Keesing 1992: 169; Ahimsa-Putra 1997). Dengan demikian, jika ditinjau secara khusus melalui perspektif etnoekologi, ‘pokok hari mlaut’ dapat dikatakan sebagai suatu sistem budaya dalam kehidupan nelayan Belawan Bahari yang terbentuk melalui ungkapan simbolik atas realitas keberlingkungan (laut), dan kemudian menjadi pedoman bagi aktivitas melaut mereka. Pokok hari mlaut sebagai bentuk ungkapan simbolik merupakan wujud dari suatu kebudayaan yang bukanlah representasi
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
atas realitas yang berlangsung sebagaimana adanya, sebelum terwujudnya ungkapan simbolik tersebut. Selain itu, pokok hari mlaut dipandang sebagai suatu sistem budaya karena mengandung dua aspek yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai sistem pengetahuan (kognitif), dan sistem nilai (evaluatif). Pokok hari mlaut dikatakan sebagai sistem kognitif karena merupakan artikulasi dan representasi atas ‘model tentang’ (model of ) yang merepresentasikan suatu realitas dari keadaan lingkungan (laut) yang telah ada, sedangkan sebagai sistem evaluatif, pokok hari mlaut merupakan suatu rangkaian idealitas yang bersifat normatif mengenai tindakan atau upaya seperti apa yang semestinya dilakukan. Pokok hari mlaut sebagai sistem evaluatif dapat ditemukan pada terminologi pokok hari nyalah sebagai model acuan suatu upaya (ideal) guna memahami dan menghadapi realitas keberlingkungan di masa lalu, kini, dan proyeksi di masa depan, terkait dengan kepentingan aktivitas melaut mereka. Crate dan Nuttal (2009:12) turut menegaskan dengan menyatakan bahwa: “…, climate change is ultimately about culture, for in its wake, more and more of the intimate humanenvironmental relations, integral to the world’s cultural diversity, lose place”. Begitu juga halnya dengan sistem pengetahuan lingkungan (pokok hari) sebagai salah satu komponen budaya melaut pada masyarakat nelayan Belawan Bahari, telah memperlihatkan bagaimana gejala perubahan pada lingkungan lautan yang ditengarai oleh perubahan iklim global, diejawantahkan oleh nelayan Belawan Bahari sesuai kultur (melaut) mereka yang ditandai dengan kemunculan istilah (lokal) baru, yaitu ‘pokok hari nyalah’. Gagasan bersama tentang perihal yang diyakini, diinginkan, dimungkinkan, dan dapat diterima itu menentukan interpretasi tentang informasi yang diperoleh serta langkahlangkah yang akan ditempuh dalam beradaptasi pada perubahan iklim. Maka dari itu, sudah semestinya kajian perubahan iklim
161
dalam keterkaitannya dengan dimensi kehidupan (ekonomi) masyarakat dan lingkungan, menerapkan pendekatan sosial-kultural dalam mengungkap rangkaian permasalahan tersebut. Penggunaan pendekatan yang bersifat
sosial-kultural, tentunya akan lebih mampu mengungkap persepsi dan tindakan masyarakat dalam menghadapi masalah perubahan iklim, dengan realitas aspirasi adaptasi (lokal) yang lebih konkret dan bersolusi.
Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, H.S. 1997 “Sungai Ciliwung dan Pemanfaatannya: Suatu Kajian Etnoekologis”. Prisma, (1): 51-72. Alland, A. Jr. 1975 “Adaptation”. Annual Review of Anthropology (Vol. 4), pp. 59-73. http://www.jstor.org/ stable/2949349. diakses: 23 Desember 2010. Amsikan, Y.G. 2000 Kearifan Ekologi Masyarakat Biboki (Suatu Kajian Etnoekologi). Tesis Antropologi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Attfield, R. 2010 Etika Lingkungan Global. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Awang, S.A., dkk. 2000 Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Yogyakarta: SINERGI Press. Crate, S.A. dan M. Nuttal. 2009. “Introduction: Anthropology and Climate Change”, dalam S.A. Crate dan M. Nuttal (peny.), Anthropology and Climate Change: from Encounters to Action. California: Left Coast Press, Inc. Pp. 9-36. Cruikshank, J. 2005 Do Glaciers Listen?: Local Knowledge, Colonial Encounters, and Social Imagination. Vancouver: UBC Press. Keesing, R.M. 1992 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007 Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Lampe, M. 2006 Pemanfaatan Sumber Daya Taka oleh Nelayan Pulau Sembilan: Studi tentang Variasi Perilaku Nelayan dan Konsekuensi Lingkungan dalam Konteks Internal dan Eksternal. Disertasi Antropologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Numberi, F. 2009 Perubahan Iklim: Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Citrakreasi Indonesia. Poerwanto, H. 2008 Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
162
Nasution, ‘Pokok Hari Nyalah’: Catatan Budaya...
Strauss, S. dan B. Orlove (peny.). 2003 Weather, Climate, Culture. Oxford & New York: Berg. Suharsono. 2009 “Terumbu Karang dan Perubahan Iklim”. Makalah disampaikan dalam Workshop Ocean and Climate Change, Hotel Salak The Heritage, Bogor. Susandi, A. 2008 “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut di Wilayah Banjarmasin”. Jurnal Ekonomi Lingkungan (Vol.12), No.2. Susanta, G. dan Sutjahjo, H. 2007 Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global? Jakarta: Penebar Plus. Sutton, M.Q. & Anderson, E.N. 2004 Introduction to Cultural Ecology. USA: AltaMira Press. Wahyuningsih, dkk. 1997 Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Tengah: Kasus Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto Kulon, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dir.Jend. Kebudayaan (Dir. Sejarah dan Nilai Tradisional). Wilenius, M. 1996 “From Science to Politics: The Menace of Global Environmental Change”. Acta Sociologica, Vol. 39, No. 1, Sociology and the Environment. Sage Publications. http://www.jstor.org/ stable/4194803. Diakses: 23/08/2010. Winarto, Y.T. 2010 “Climate and Culture: Changes, Lessons, and Challenges”. Scientific Paper Presentation, disampaikan pada Award Ceremony for the First Academy Professor in Social Sciences and Humanities at Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
163
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika
‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution
Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin