ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika ‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
Memahami Sistem Pengetahuan Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan1 Leny Veronika2 Program Pascasarjana Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Abstrak Jayawijaya mengalami ancaman bencana baik yang sifatnya secara alamiah maupun buatan akibat campur tangan manusia (antropogenik). Suku Dani yang tinggal di Jayawijaya dikenal hidup dalam pengaruh budaya dan alam yang sangat kuat yang memungkinkan tumbuhnya pengetahuan lokal dalam mengelola risiko bencana. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sistem pengetahuan budaya suku Dani yang berkaitan dengan bencana dan praktiknya. Penelitian ini dikembangkan melalui studi pustaka dan wawancara dengan para pemangku kepentingan. Suku Dani telah mengenal konsep kesatuan hubungan antara manusia-dan-manusia dan manusia-danalam. Mereka mendefinisikan konsep ini sebagai hubungan transendensi. Hubungan yang harmonis antara manusia dan alam diyakini akan memengaruhi penghidupan dan mata pencaharian, dan sebaliknya akan menimbulkan berbagai bentuk bencana. Dalam rangka mengamankan kehidupan bersama, suku Dani merumuskan norma-norma yang diwujudkan dalam berbagai praktek seperti: perlindungan lingkungan yang meliputi aturan dan sanksi; pembentukan pusat strategi perang dan struktur yang didalamya terdiri dari kepala suku perang dan kepala kesuburan yang mengendalikan perang dan menjaga perdamaian; serta upacara ritual. Hidup harmonis dengan alam memungkinkan suku Dani untuk menafsirkan tanda-tanda alam sebagai peringatan dini bencana. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pemerintah daerah, lembaga adat, lembaga keagamaan, dan para pemangku kepentingan dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat. Kata kunci: pengurangan risiko bencana, sistem sosial dan budaya, pengetahuan lokal Abstract Jayawijaya suffers from hazards stemming from natural and human-made-disaster (anthropogenic). Dani tribe resided in Jayawijaya is known to dwell on profound influence of culture and nature allowing genuine local knowledge in managing disaster risks to breed. This study aims to understand the cultural knowledge systems of Dani tribe relating to disaster and its practices. This study is developed from desk studies and interviews with stakeholders. Dani tribe has known the concept of human-and-human and human-and-nature unison. They define this concept as transcendence relationship. Harmonious relationship between human and nature is believed would influence livelihood and in contrast would engender various forms of disaster. As part of securing their well-being, Dani tribe formulates norms which is manifested in various practices such as: environmental protection which includes rules and sanctions; the establishment of war command post and tribal structure consisted of commander of war and the head of fertility who govern war threads and initiate peace; as well as ritual performances. Living in harmony with nature allows Dani tribe to interpret these signs of nature as an early warning of disaster. Hopefully, the results of this study would be beneficial to local governments, customary institutions, faith-based institutions, and stakeholders in an effort to build community resilience. Keywords: disaster risk reduction, social and cultural systems, local knowledge, Dani, Jayawijaya, community resilience 1 Tulisan ini diinspirasi dari pelaksanaan kajian risiko bencana Papua yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan internasional pada tahun 2007. Penulis tergabung dalam organisasi ini dan menjadi tim inti dalam kajian ini 2 Aktif dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana dan pengembangan kepemudaan. Pernah bekerja bersama Oxfam di Aceh, Jakarta dan Papua. Saat ini bekerja bersama Canadian Red Cross untuk pengurangan risiko bencana di wilayah Sumatera. E-mail:
[email protected]
134
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menandatangani komitmen global upaya pengurangan risiko bencana (Hyogo Framework for Action/HFA) di Kobe, Jepang tahun 2005 terus memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang positif di beberapa aspek mendasar. Diantaranya, pembangunan kelembagaan di semua tingkatan, penyusunan peraturan sampai di tingkat daerah berikut penatalaksanaannya, penyebarluasan informasi dan pengalokasian sumber daya lain yang mendukung infrastruktur kebencanaan secara umum, walau kesemua hal ini dalam pelaksanaannya masih terus membutuhkan perbaikan. Kerangka aksi Hyogo mendaraskan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam lima tema sentral atau prioritas aksi yakni (1) menjadikan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas, (2) meningkatkan informasi risiko dan peringatan dini, (3) menyelenggarakan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketangguhan, (4) mengurangi risiko di sektor-sektor kunci, (5) menguatkan kesiapsiagaan untuk respons. Dari kelima prioritas aksi ini, tema yang menjadi salah satu jangkar bagi pondasi ketangguhan terhadap bencana suatu wilayah adalah tema ketiga yakni pendidikan. Melalui pendidikan, risiko bencana secara substansi dapat dikurangi apabila semua elemen masyarakat memahami informasi yang kemudian dikembangkan menjadi budaya pencegahan dan ketangguhan bencana. Peran nyata pentingnya pendidikan kebencanaan dapat dilihat salah satunya dari pengalaman gempa dan Tsunami Aceh atau Nias. Pengetahuan lokal Nias yang disebut smonge terbukti bekerja efektif dalam menyelamatkan nyawa masyarakat setempat tahun 2005. Sama halnya dengan Suku Nias di Sumatera, Suku Dani di Jayawijaya, Papua dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sistem sosial budaya yang kuat, yang berangkat dari konsepsi pengetahuan dan tradisi yang genuine. Sayangnya, sampai saat ini, penggalian terhadap
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
pengetahuan lokal di Papua umumnya dan Jayawijaya khususnya yang berkaitan dengan kebencanaan masih sangat terbatas. Pengetahuan kebencanaan yang dahulunya secara turun temurun dimiliki oleh Suku Dani, saat ini tidak sepenuhnya dipahami oleh generasi muda. Selain itu, keterbatasan ini diperluas pula dengan keterbatasan para pemangku kepentingan di Jayawijaya dalam mengangkat nilai-nilai penting dari pengetahuan lokal yang dimiliki oleh suku Dani yang sudah ada untuk menjadikannya roh dalam mengintervensi pembangunan. Sekilas Suku Dani dan Risiko Bencana Jayawijaya Wa mena ya ng mer upa k a n ibu kot a Jayawijaya terletak di Lembah Baliem dan dialiri Sungai Baliem ser ta diapit Peg unungan Jayawijaya di sekitar nya. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2012, jumlah penduduk Jayawijaya sebanyak 223.443 dengan komposisi laki-laki 114.566 orang dan perempuan 108.877 orang. Berbagai referensi yang berbeda mengemukakan sejarah dan keberadaan suku asli yang mendiami Jayawijaya. Namun, satu fakta popular yang diketahui masyarakat global mengenai Suku Dani adalah bahwa Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil yang telah menggunakan alat/perkakas sejak dahulu. Suku Dani pada saat ditemukan, diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Salah satu referensi menyatakan lembah Baliem ditemukan secara kebetulan pada tanggal 23 Juni 1938 oleh seorang peneliti asal Amerika, Richard Archbold, saat melakukan penerbangan di atas lembah dengan pesawat terbang airnya PBY Catalina 2 bernama Guba II pada saat menjalankan ekspedisi penelitian vegetasi untuk tumbuh-tumbuhan di atas
135
ketinggian lebih dari 4000 meter di sisi utara Pegunungan Nassau (kini Pegunungan Jayawijaya) di pegunungan tengah di antara Baliem vallei vanuit de lucht. Kontak antara Suku Dani dengan dunia luar belum terjadi sampai setelah tahun 1938, setelah beberapa ekspedisi sporadis yang dilakukan di beberapa puncak daerah di Pulau Nieuw-Guinea Selatan (1909-1910) dan Nieuw-Guinea bagian Tengah (1921-1922) dibawah pimpinan Overste J. Kremer. Pada tanggal 4 Desember 1921, setelah melakukan perjalanan yang sangat berat sepanjang 90 kilometer melalui pegunungan tinggi, akhirnya puncak Wilhelmina berhasil ditaklukkan oleh Overste Kremer, Dr. Hubrecht, Kapten van Arkel, Letnan Drost, seorang pandu dari Ambon bernama Mairuku. Tulisan Paul Wirz, seorang ahli antropologi budaya yang menjadi salah satu peserta ekspedisi pimpinan Kremer, tentang kehidupan penduduk Papua di lembah pegunungan tinggi merupakan studi pertama tentang budaya kawasan pegunungan tengah Papua. Suku Dani memiliki hubungan persaudaraan dengan suku-suku yang tinggal di daerah pegunungan di sebelah barat lembah yang bernama Suku Dani bagian barat atau Suku Lani dan Suku Yali, yang mendiami daerah berpenghuni tipis di lereng-lereng pegunungan tinggi Jayawijaya bagian tenggara. Berbagai sumber di masyarakat Baliem menyebutkan bahwa istilah “Ndani” merupakan suatu ejekan yang pernah dilontarkan oleh klan di sebelah barat Baliem kepada klan di sebelah timur (Suku Parim). (Astrid Susanto peny1994). Orang Parim biasa menyebut diri mereka dengan istilah “nit apuni Baliem make” yang arti harfiahnya adalah kami orang Baliem. Kata itu juga mengandung makna “manusia sejati dan
asli”. Mereka adalah satu kesatuan etnik yang membedakan diri dari kesatuan etnik lainnya berdasarkan kesadaran identitas, perbedaan kebudayaan, dan kesadaran biologisnya. Manusia Baliem hidup dalam suatu kesatuan sistem yang saling terkait dan terintegrasi. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah sistem religi, sosial lingkungan dan budaya serta politik. Jayawijaya merupakan salah satu daerah di Pegunungan Papua yang memiliki berbagai ancaman bencana, baik alam maupun sosial. Mulai dari ancaman gempa bumi, tanah longsor, kekeringan, banjir, konflik suku/sosial, wabah penyakit dan hama ternak. Badan Pengawasan Daerah Lingkungan Hidup Provinsi Papua mengidentifikasi Jayawijaya ke dalam kategori bahaya geologi dan iklim, seperti dalam tabel 1. Secara geografis, Papua adalah daerah yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa bumi karena provinsi ini terletak pada pertemuan dua lempeng kerak bumi yaitu lempeng pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Samudera Indonesia-AustraliaPapua yang bergerak relatif ke arah utara. Pada pertemuan kedua lempeng ini terjadi subduksi atau penyusupan satu sama lain yakni lempeng pasifik menyusup di bawah lempeng Samudera Indonesia-Australia-Papua. Akibat pertemuan lempeng tersebut banyak terjadi lipatan pegunungan dan patahan/sesar di daerah Papua, antara lain: Patahan Sorong yang memanjang dari kepala burung sebelah utara melalui utara Yapen hingga selatan Sentani Jayapura, Patahan Wandamen (Ransiki), Patahan Kurima, Sesar sungkup Wey land, lajur pegunungan Mamberamo dan lajur pegunungan tengah (Jayawijaya). Sesar Jayawijaya (Dow 1988) merupakan sesar geser yang memanjang dari arah timur ke barat. Sesar ini terdapat di sepanjang jalur Pegunungan Tengah Papua, termasuk
Tabel 1. Kategori Bahaya Geologi dan Iklim Jayawijaya
136
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
dalam Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Tolikara, Yakuhimo, Pegunungan Bintang dan Mimika. Dua peta yang dihasilkan oleh BNPB ini adalah peta indeks risiko bencana gerakan tanah (peta 1) dan banjir (peta 2) di Papua yang memperlihatkan Jayawijaya sebagai daerah yang memiliki kategori risiko tinggi terhadap potensi gerakan tanah (longsor) dan risiko menengah untuk banjir. Khususnya untuk tanah longsor, faktor-faktor dominan yang menyebabkan longsor di Papua adalah kondisi alam, yaitu kemiringan lereng yang curam, material penyusun, aktivitas tektonik serta curah hujan yang tinggi. Daerah yang mempunyai potensi longsor tersebut umumnya mempunyai lereng yang terjal dan intensitas hujan tinggi, batuan kedap air dan terkontrol oleh sesar, dan dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang dapat menggemburkan tanah dan membebani lereng3. Dilihat dari skala wilayah, intensitas kejadian, dan luasan dampak banjir yang terjadi setiap tahunnya di sepanjang DAS Baliem, masyarakat memandang banjir adalah ancaman yang berisiko tinggi, selain HIV/ AIDS, yang merupakan ancaman lambat dan berisiko sama tinggi. Selain itu, praktik kebersihan masyarakat yang belum diiringi dengan infrastruktur kesehatan membuat Jayawijaya mengalami beberapa kali kejadian wabah penyakit yang berhubungan dengan air dan sanitasi. Praktik penebangan liar di sepanjang sungai Baliem dan hutan di Jayawijaya yang menjadi sasaran bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat menambah tinggi risiko lingkungan dan banjir. Sejarah gerakan operasi-operasi militer yang dilakukan di Jayawijaya dan konflik sosial di masyarakat. Begitu pula unsur budaya yang kental yang memengaruhi peran dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya 3 Peta potensi tanah longsor yang dilakukan dengan pendekatan spasial, peta data sekunder dan peta kompilasi ancaman longsor oleh PSBA (Pusat Studi Bencana) UGM, yang melibatkan indikator topografi, litologi, tanah, iklim dan penggunaan lahan mengategorikan Jayawijaya menjadi salah satu daerah yang memiliki potensi longsor tinggi selain empat daerah pegunungan tengah lainnya seperti Puncak Jaya, Yahukimo, Tolikara dan Paniai serta Nabire, Jayapura, Waropen dan Manokwari yang berada di pesisir utara.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
dan politik harian masyarakat, perempuan dan laki-laki. Ketimpangan atau perbedaaan akses, kontrol, partisipasi serta manfaat yang diterima oleh perempuan dan laki-laki terhadap sumber daya yang ada telah melanggengkan ketidakadilan jender dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.. Di tabel 2 ditampilkan kejadian bencana Jayawijaya dalam rentang tahun 1919–2012. Kejadian bencana lainnya diyakini banyak belum terdokumentasi. Metode Penelitian Analisa risiko bencana Jayawijaya yang dilakukan pada Desember 2007 melalui program PRIME, Oxfam Papua merupakan cikal bakal penulisan ini. Analisa risiko bencana (disaster risk analysis) yang melibatkan multi-disiplin studi yakni risiko bencana (disaster risk), mata pencaharian dan penghidupan (livelihood), kesehatan masyarakat (public health) dan pengetahuan lokal (local wisdom) dilakukan di tiga kabupaten yakni Asolokobal, Asologaima dan Yalengga. Setelah itu, program pengurangan risiko bencana di Jayawijaya dikembangkan dari 2008 - 2011 di tiga kabupaten di Jayawijaya di Musatfak, yakni: Asologaima dan Asolokobal. Studi Oxfam ini dilakukan dengan metode sampel acak bertujuan dengan memfokuskan pada jenis multi-ancaman berdasarkan topografi wilayah (DAS; banjir, gempa dan wabah penyakit dan pegunungan; kekeringan dan kebakaran hutan) dan dengan pertimbangan lain seperti aksesibilitas (jarak) dan kapasitas (jumlah SDM, penerjemah bahasa dan waktu). Wawancara, diskusi kelompok dan kajian metode partisipatif ditujukan bagi responden dengan tingkatan yang berbeda mulai dari kabupaten ke kecamatan dan kampung. Penentuan kecamatan dan kampung disarikan dari berbagai data sekunder dan primer yang kemudian ditinjau bersama melalui lokakarya dengan dinas-dinas terkait kebencanaan (SKPD) dan lembaga keagamaan serta organisasi masyarakat sipil di kabupaten. Pemilihan responden dari berbagai tingkatan ekonomi dan
137
kelompok dihasilkan dari indikator partisipatif yang dibuat oleh masyarakat di kampung. Hasil temuan umum kajian risiko bencana ini dipaparkan di Provinsi Papua pada Februari 2008 dengan melibatkan unsur pemerintah provinsi, media, LSM dan lembaga sosial lain terkait kebencanaan. Tulisan ini selanjutnya bukan merupakan hasil penelitian lanjutan mandiri antropologi atau hasil dari pengintegrasian pengetahuan
budaya kedalam program yang dimaksudkan diatas. Namun, merupakan hasil temuan dari kajian pengetahuan lokal pada saat kajian risiko bencana, yang kemudian oleh penulis - yang memiliki ketertarikan di bidang antropologi, dikembangkan pada kurun waktu program 2008-2010. Kemudian baru dalam tahun belakangan dikembangkan secara lebih serius. Tulisan ini menjadi salah satu hasil refleksi mengenai keterbatasan para pegiat kebenca-
Peta 1
Peta 2
Gambar 1. Peta Kejadian Bencana Jawayijaya Tabel 2 Kejadian Bencana Jayawijaya Tahun 1919-2012
138
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
naan dalam mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam pengurangan risiko bencana. Disadari bahwa pegiat kebencanaan baik di dalam komuniti nasional dan internasional selalu berupaya berkomitmen mengidentifikasi karakteristik lokal termasuk didalamnya sistem pengetahuan lokal kebencanaan, namun secara praktis diakui tidaklah mudah mengintegrasikannya ke dalam bentuk-bentuk yang lebih strategis dan berjangka panjang agar pengetahuan lokal dapat menjadi pondasi dan kerangka yang kuat dalam melakukan intervensi pembangunan. Data sekunder yang memperkaya tulisan ini disarikan dari kumpulan laporanlaporan organisasi nasional dan internasional yang pernah melakukan penelitian dan bekerja di Papua, literatur yang berhubungan dengan studi fokus pembangunan Papua baik yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, gereja, lembaga penelitian, dan dokumen kebijakan, artikel penelitian nasional dan internasional terkait kebencanaan dan pengetahuan lokal Kerangka Pengetahuan Lokal untuk Pengurangan Risiko Bencana Dalam terminologi United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) mengenai pengurangan risiko bencana (2009), bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana atau risiko bencana (R) merupakan hasil dari kombinasi: pengaruh bahaya/ancaman (hazardH), kondisi kerentanan (vulnerability- V) dan kapasitas (capacity - C). Dirumuskan sebagai;
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
UNISDR mendefinisikan komponen-komponen bencana ini sebagai berikut; - Risiko bencana adalah potensi kerugian bencana, dalam kehidupan, status kesehatan, mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi ke komuniti tertentu atau masyarakat selama beberapa periode waktu tertentu di masa depan. - Bahaya/ancaman adalah fenomena yang berbahaya, substansi, aktivitas manusia atau kondisi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau perubahan lingkungan. - Kapasitas sebagai kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber daya yang tersedia dalam sebuah komuniti, masyarakat atau organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang disepakati. - Kerentanan adalah karakteristik dan kondisi dari sebuah masyarakat, sistem atau aset yang membuatnya rentan terhadap efek merusak dari bahaya. Untuk mengetahui tingkat risiko dari sebuah bencana di satu wilayah tertentu, perlu ada penilaian terhadap karakteristik ancaman, kapasitas dan kerentanan. Kapasitas dan kerentanan merupakan komponen dua sisi mata uang yang saling memengaruhi. Aset penghidupan yang terdiri dari sumber daya alam, manusia, fisik/infrastruktur, finansial dan sosial budaya merupakan salah satu alat yang digunakan untuk memahami kapasitas dan kerentanan di masyarakat. Sistem pengetahuan lokal yang masuk dalam komponen sosial budaya menjadi kapasitas masyarakat apabila pengetahuan tersebut dikenali, dipahami, digunakan dan dikembangkan dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana di masyarakat. Pada tahun 1970-an studi pengetahuan lokal telah mulai melihat pentingnya mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam praktik pembangunan dan program konservasi. Konsep ini selanjutnya meningkat dengan turut menyoroti pentingnya pengintegrasian pengetahuan
139
lokal yang dihubungkan dengan ancaman lingkungan dan bencana. Dekens (2007) memformulasikan keterhubungan (lingkages) dan hubungan (relationships) antara pengetahuan lokal dan praktik pengurangan risiko bencana serta pengaruhnya. Dekens mengategorikan bahwa sistem pengetahuan lokal yang mendukung kesiapsiagaan masyarakat, dilingkupi oleh unsur pembentuk (composed of ) yang terdiri dari elemen tipe pengetahuan, praktik, kepercayaan, nilai-nilai dan pandangan dunia, unsur pengaruh (influenced by) dengan kerangka struktur dan proses, dalam ranah (context) ancaman alam, guncangan lain, dan tren dan faktor global, dengan berbasiskan pada (based on) upaya-upaya konservasi, antisipasi, adaptasi dan komunikasi, dan yang muara upayanya akan berdampak pada (effect on) ketahanan masyarakat (community resilience) dan penghidupan (livelihood). Kerangka tujuan sistem pengetahuan lokal untuk pengurangan risiko bencana yang disusun oleh Dekens telah mengonfirmasi dua hal yang menjadi inti dari upaya pengurangan risiko bencana yaitu menyelamatkan jiwa dan aset termasuk didalamnya aset penghidupan (livelihood security) sebagai aset primer kehidupan masyarakat serta mengurangi dampak dari risiko bencana dengan berbagai bentuk upaya mitigasi ancaman kebencanaan dan faktor-faktor guncangan lain dengan menitikberatkan pada pengetahuan, praktik dan sikap masyarakat (knowledge, practice and attitude). Siklus Manajemen Bencana Siklus manajemen bencana terbagi menjadi tiga (3) fase yaitu sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana. Sebelum bencana kegiatan-kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan perlu dilakukan terintegrasi ke dalam program pembangunan (pada situasi normal). Tanggap darurat diselenggarakan pada saat bencana untuk menyelamatkan jiwa dan menyediakan layanan kebutuhan dasar bagi para korban. Rehabilitasi dan rekon-
140
struksi yang diselenggarakan paska bencana selain merupakan fase pembangunan kembali fasilitas-fasilitas layanan sosial dasar masyarakat untuk menunjang kehidupan masyarakat agar dapat memulai kembali dan melanjutkan kehidupan yang lebih sejahtera dan aman, juga pembangunan mental masyarakat yang sempat terganggu atau terguncang. Perspektif pengurangan risiko bencana perlu diinkorporasi ke semua fase kebencanaan sebagai bentuk upaya mengurangi risiko bencana di masa mendatang dan secara luas berkontribusi dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana. Untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana, diperlukan peran dan kolaborasi dari komponen masyarakat, pemerintah dan sektor swasta. Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Dani A. Perspektif Kebencanaan asyarakat Dani Dalam kategori Dekens, kepercayaan, nilainilai dan pandangan dunia merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem pengetahuan lokal. Elemen ini melibatkan unsur-unsur kepercayaan sosial budaya, agama, penghormatan, kerendahan hati dan saling berbagi. Unsur-unsur ini begitu kental memengaruhi cara pandang masyarakat Dani di Jayawijaya dalam memandang kebencanaan. Secara sederhana Suku Dani memahami bencana sebagai sebuah gangguan atau ketidaktenteraman yang dialami oleh satu unit sosial tertentu seperti keluarga, suku atau masyarakat. Dahulu, setiap gangguan ini diyakini melibatkan kepercayaan mereka terhadap unsur magis atau supranatural. Suatu gangguan atau kejadian yang menyebabkan kematian, kesakitan, wabah atau bencana diduga dapat disebabkan oleh mereka yang hidup atau sudah meninggal (arwah). Hubungan yang tidak harmonis antara manusia dan nenek moyang dapat menyebabkan kematian atau sakit (Savitri 1990: 25). Orang yang hidup bisa dikategorikan sebagai keluarga dekat, tetangga, atau mereka yang dianggap musuh, sedangkan arwah yang sudah meninggal berkaitan dengan
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
Tabel 3. Sistem Pengetahuan Lokal
Local knowledge system Composed of KNOWLEDGE TYPES Technical knowledge Ecological knowledge Historical knowledge Others PRACTICES Individual, household and community levels Technical and non-technical Short and long term Others
Influenced by
STRUCTURES Levels of government Private sectors
PROCESSES Culture Institutions Policy Laws Others
BELIEFS, VALUES, WORLD VIEWS Sociocultural, religious-belief systems Respect, reciprocity, sharing, humility Others
In context of
Resulting in
CONSERVATION Nature and history of natural hazards Evolution of people's social and physical vulnerabilities to natural hazards
NATURAL HAZARDS AND OTHER SHOCKS Floods Earthquakes Landslides Others
GLOBAL FACTORS AND TRENDS Wars, conflicts Climate change Institutional, economic, and cultural globalization Migrations Population Others
Based on
DISASTER PREPAREDNESS AT LOCAL LEVEL
Source : Dekens (2007)
letak dan posisi penempatan arwah. Laporan MSF mengemukakan persepsi masyarakat pegunungan Tengah yang mengaitkan antara kejadian bencana seperti longsor atau retakan tanah dengan retaknya tulang manusia atau adanya kematian orang. Bagi Suku Dani, arwah laki-laki dewasa (ap warek) menjadi simbol politik dalam komunitas. Dasarnya, ap warek dipahami sebagai arwah laki-laki dewasa yang terbunuh saat perang namun secara luas ini dimaknai sebagai simbol supremasi politik dan religius. Benda-benda atau simbol milik orang yang terbunuh pada saat perang seperti tombak, panah, helai rambut, dan lainnya akan direbut oleh lawan perang dan apabila jatuh ke
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
ANTICIPATION Forecasting and warning systems Time thresholds Escape routes and safe places for humans and cattle Roles, skills and key actors
ADAPTATION Human assets Socio-cultural assets Financial assets Natural assests Physical assets
With efects on
LIVELIHOOD SECURITY AND SUSTAINABILITY Income level and stability Food security Environment Others COMMUNITY RESILIENCE BUILDING Sharing Learning Networking Diversifying Re-organizing Self-organizing Others
COMMUNICATION Stories, songs, poems, proverbs Taboos, ceremonies Local art Local terminology Others
tangan lawan, ini menjadi simbol kemenangan pihak aliansi lawan perang. Simbol dari ap warek harus dipegang dan ditempatkan sesuai dengan ketetapan leluhur4. Penempatan ap warek yang tidak mengikuti aturan atau kesesuaian leluhur akan mendatangkan malapetaka di berbagai aspek seperti sosial, politik dan ekonomi. Berbagai petaka lainnya seperti kelaparan, ketandusan tanah, babi menjadi kurus dan hasil ternak yang tidak memuaskan juga dapat menimpa masyarakat. Sebaliknya, ap warek yang disimpan dengan baik diyakini dapat mendatang4 Tidak ditemukan informasi mengenai tata cara yang tepat atau benar dalam memegang atau meletakkan ap warek yang sesuai dengan ketetapan leluhur.
141
Gambar 2: Siklus Manajemen Bencana
kan manfaat dari sisi keamanan, kesehatan, sosial dan religi. Pandangan bahwa kesehatan masyarakat akan terjamin karena arwah para musuh tidak mendatangkan malapetaka berupa penyakit tertentu. Di sisi ekonomi, ap warek akan mendatangkan kemakmuran ekonomi kelompok, membuat kesuburan tanah, produksi hasil ternak babi yang baik5. Selain unsur magis yang melibatkan manusia dan roh leluhur dalam bentuk ap warek, daerah keramat atau daerah yang disakralkan turut menjadi salah satu obyek yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat dan kebencanaan. Banjir yang terjadi setiap tahunnya di Sungai Baliem telah merugikan masyarakat dari berbagai sisi terutama mata pencaharian masyarakat. Luapan tersebut merendam kebun ubi dan mengakibatkan gagal panen. Dalam diskusi yang dilakukan pada suatu kegiatan untuk mengurangi risiko banjir, salah satu partisipan menyebutkan kondisi luapan ini diperparah dengan adanya batu besar yang berada di dalam sungai di bagian hulu. Pernah 5 Kaitan antara ap warek dengan kebencanaan diulas pada bab III dalam buku Nilai-Nilai Hidup Masyarakat Hubula di lembah Baliem Papua, Agus Alua, (Aula 2006).
142
diupayakan pengerukan atau pemindahan batu dari dinas pemerintah setempat namun tidak berhasil karena pada saat ekskavasi dimulai, garpu alat berat tersebut bengkok dan tidak dapat digunakan. Menurut masyarakat setempat, batu dan daerah sekitar tempat itu adalah daerah keramat. Leslie E. Sponsel dalam terbitan artikelnya sacred places and biodiversity conservation mengungkapkan bahwa situs khusus atau daerah yang memiliki kekhasan luar biasa, biasanya dalam arti religius atau spiritual, disebut tempat-tempat suci. Berbagai fenomena “alam” tidak terbatas hanya pada tempat yang dianggap suci oleh satu budaya atau agama, yang lainnya termasuk gunung tertentu, gunung berapi, bukit, gua-gua, batu, tanah, air terjun, mata air, sungai, sungai, danau, kolam, rawa, pohon, kebun, hutan, tanaman, hewan, angin, awan, hujan, pelangi, dan sebagainya. B. Tradisi Nilai-Nilai Luhur Masyarakat Sebagai Kapasitas Kolektif Selain masih melibatkan unsur magis dalam melihat sebuah kejadian yang merugikan, seba-
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
liknya, di sisi lain masyarakat Jayawijaya memiliki nilai-nilai luhur yang mendalam dalam memandang sebuah kejadian. Kejadian negatif yang merugikan keluarga atau masyarakat dipandang sebagai pertanda atau pengaminan bahwa ada perlakuan, kejadian atau peristiwa yang buruk atau tidak menyenangkan di masa lalu yang dilakukan oleh salah satu anggota dari keluarga atau masyarakat kampung. Dalam unit terkecil gambaran ini dapat dilihat dari pengalaman kehidupan relasi keluarga. Anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat dilihat sebagai buah dari ketidakpatuhan atau perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh suami pada saat istri mengandung6. Dalam konteks ini, kemungkinan suami melakukan perselingkuhan atau berzina dengan perempuan lain atau melakukan bentuk kesalahankesalahan lain. Begitu pula dengan gagal panen yang menimpa keluarga dimaknai sebagai kesalahan yang dilakukan oleh individu, pasangan, atau keluarga. Kesalahan atau perbuatan individu yang tidak menyenangkan dapat menyebabkan kerugian pada pasangan, keluarga lain atau komuniti dalam unit sosial yang lebih besar. Kejadian seperti ini yang berhubungan dengan kasus gagal panen pernah ditulis dalam sebuah buku dalam studi evaluasi proyek LIPI. Pada saat penanaman kebun ubi (hipere) dimulai, ada ritual hite (pawililo) yang digelar oleh komuniti setempat. Pembukaan kebun besar dilakukan secara komunal dan pengelompokkan dibuat berdasarkan klan dan suku. Sebelum upacara pembukaan lahan dimulai, mereka yang akan melakukan penanaman diberi kesempatan untuk mengingat-ingat kesalahan yang dilakukannya dalam waktu tertentu. Hal ini dilakukan agar proses penanaman dapat berjalan baik, membuahkan hasil, kebun subur dan tidak ada wabah hama atau hal lainnya yang mengganggu proses penanaman. Pada satu cerita, kasus gagal panen pernah terjadi pada salah 6 Hal ini diperkuat dalam laporan MSF dalam Dr Khurt Hanevik, MD, Juli 2000 bahwa komuniti Suku Ngalik di Jayawijaya mengintepretasikan sebuah kesakitan dengan sesuatu yang diakibatkan oleh ketidakpedulian akan kewajiban personal atau konflik antar personal.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
satu orang petani di Jayawijaya. Ia mencari tahu penyebab kegagagalan panen dan akhirnya menyadari bahwa pernah ada masalah yang terjadi dengan dirinya dan salah satu orang di kampungnya dan sampai saat pembukaan lahan kebun tersebut, Ia belum menyesali dan belum meminta maaf kepada orang tersebut. Dalam kasus gagal panen ini memperlihatkan bahwa refleksi terhadap diri sendiri, untuk terlebih dulu melakukan koreksi kedalam, dan bukan menunjuk orang lain, menjadi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat Jayawijaya. Kejadian-kejadian baik atau buruk yang dilakukan di masa lampau memengaruhi kejadian-kejadian di masa kini dan mendatang. Dari informasi yang dihimpun, pengalaman kejadian gagal panen di Jayawijaya dapat dihubungkan dengan beberapa isu seperti politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Keterkaitan antara gagal panen dengan situasi politik dan ekonomi terjadi biasanya ketika masa tanam atau panen ubi berdekatan dengan masa pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal). Masyarakat asli Jayawijaya atau pegunungan tengah secara umum dijadikan komoditas politik, dimobilisasi untuk mengikuti kegiatan kampanye partai-partai yang dilakukan pada kurun waktu tertentu yang bertepatan dengan rentang masa tanam atau panen mereka. Sehingga pada waktu masa tanam atau panen usai dan kegiatan kampanye juga selesai, masyarakat menemukan tidak ada ubi yang dapat dikonsumsi7. Selain itu, gagal panen di Jayawijaya lainnya yang disebabkan oleh gabungan kontur alam dan buatan manusia (anthropogenic disaster) adalah kombinasi kompleks antara tingginya curah hujan di pegunungan tengah (berkisar antara 2,000-3,000mm/tahun, dan beberapa tempat di pegunungan tengah 7 Kasus yang sama terjadi di Yahukimo, pegunungan tengah Papua, diberitakan oleh Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi 20, Desember 2005 dengan judul artikel Yahukimo yang malang. Para kepala distrik sampai anggota DPRD Yahukimo ramai-ramai ke Jayapura dan bertahan di Jayapura selama dalam waktu yang cukup lama untuk mendukung calon yang mereka usung. Artinya selama itu, perhatian pemerintah terhadap rakyat tidak ada. Sementara itu, rakyat yang seharusnya berkebun ternyata ditarik ke sana kemari untuk kepentingan pilkadal. Akibatnya masyarakat mengalami musibah kelaparan karena proses pilkada sendiri dimulai sejak bulan Februari hingga Oktober 2005.
143
melebihi 4,000mm/tahun), praktik penebangan kayu-kayu di sepanjang aliran Sungai Baliem dengan tuntutan ekonomi masyarakat, kurang memadainya infrastruktur seperti saluran-saluran air, dan sinergisitas kebijakan pemerintah daerah dan provinsi terkait pengelolaan banjir di Jayawijaya. Setiap tahunnya masyarakat Jayawijaya yang berada di sepanjang aliran sungai Baliem mengalami dampak banjir yang sangat merugikan kehidupan mereka. Aktivitas ekonomi, pendidikan dan sosial masyarakat terganggu. Luapan Sungai Baliem setiap tahunnya (banjir tahunan terjadi 1-2 kali setiap tahun) menggenangi lahan kebun ubi masyarakat. Menurut mereka yang diwawancarai, hujan yang biasanya datang di malam hari sekitar beberapa jam (1-2 jam) di hulu akan mengundang luapan banjir di hilir dalam waktu yang tidak lama. Saat-saat musim hujan setiap tahunnya yang terjadi mulai bulan November-Maret adalah masa yang bertepatan dengan masa panen ubi masyarakat. Banjir yang berdampak pada gagal panen ubi ini sangat merugikan karena ubi adalah sumber pangan harian mereka (pola subsisten). Hubungan antara nilai-nilai luhur dalam melakukan koreksi kedalam diri pada konteks banjir dapat diartikan bahwa banjir bisa terjadi karena kelalaian dalam praktik dan perilaku yang merugikan alam dan manusia (mental eksploitatif), pengabaian terhadap kondisi yang terjadi, kurangnya komitmen dan upaya untuk menanggulangi permasalahan banjir. Untuk gagal panen dapat terjadi karena abai terhadap masa tanam, abai terhadap kepentingan keluarga dan mementingkan kebutuhan sekunder. Koreksi ke dalam ini sejatinya dimaksudkan sebagai koreksi terhadap diri sendiri (Suku Dani), namun dalam konteks yang lebih luas, ini menjadi relevan ditujukan bagi siapa saja yang memiliki kepentingan terhadap proses pembangunan Suku Dani atau masyarakat luas baik di Jayawijaya, Papua dan Indonesia dalam bingkai kebangsaan. Dalam pandangan masyarakat asli Jay-
144
awijaya setiap manusia adalah sama, setara8. Persamaaan terhadap hak asasi manusia dan persatuan yang utuh antar sesama manusia ini salah satunya dilambangkan dengan kerangka rumah tradisional adat masyarakat Jayawijaya yang berbentuk bulat, yang disebut honai. Kesatuan akan persaudaraan ini lainnya dapat terlihat dari sifat gotong-royong antar sesama komuniti. Jika terjadi bencana, keluarga atau kampung akan memberikan bantuan kepada keluarga atau kampung lainnya. Masyarakat Dani sebagai kelompok suku mayoritas di wilayah ini mempunyai daya tahan hidup dan adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Hubungan masyarakat Dani dengan alam sangatlah erat. Tanah, alam dan seisinya dipersepsikan seperti seorang ibu (mama). Kedekatan ini diperlihatkan cara masyarakat Dani beradaptasi dan mengolah kebun di daerah yang berawa dan dikelilingi dinding-dinding karang terjal. Untuk beradaptasi dengan topografi dan ciri alam seperti ini, generasi pendahulu masyarakat Dani menciptakan sistem teknologi bercocok tanam yang adaptif dan sampai saat ini masih terus dipraktikkan. Pada saat terjadi gangguan (shock) atau bencana, masyarakat Dani sangat terbantu dengan sistem sosial pendukung yang mereka miliki. Keluarga yang kebunnya terkena banjir akan diajak berkebun atau dipinjamkan sejumlah bidang tanah oleh kerabat-kerabat mereka dalam satu klan di wilayah lain yang tidak terdampak agar mereka tetap bisa berkebun dan memenuhi kebutuhan pangan. Kerja sama ini biasanya terjadi dalam suatu wilayah konfederasi-konfederasi perang (yang terbagi-bagi ke dalam marga atau klan) jaman dulu yang masih dipertahankan untuk membina hubungan-hubungan sosial saat ini. C. Struktur dan Praktik Konservasi yang Mengurangi Risiko Bencana Dalam masyarakat Jayawijaya, kelompokkelompok adat digolongkan berdasarkan fungsi ritual dan kepentingan adat. Kelompok-ke8 Suku Dani sangat menjunjung nilai-nilai keseimbangan, kesamarataan. Nilai-nilai egaliter ini diyakini merupakan akar budaya Suku Dani
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
lompok tersebut adalah kelompok Kaneke, kelompok Awarek, dan kelompok Wakumo. Dua kelompok pertama adalah kelompok pengendali atau kelompok yang berfungsi memelihara kesejahteraan masyarakat. Untuk melakukan persiapan dan strategi perang, masyarakat adat di Jayawijaya memiliki rumah pusat strategi perang yang disebut wim aila. Wim aila ini digunakan sebagai pusat pengendali ancaman, penjaga ketentraman masyarakat yang dalam fungsinya sebagai sarana untuk menekan amarah para arwah musuh (ap warek) melalui ritual tertentu. Dalam ritual ini masyarakat meminta perlindungan dari berbagai bencana. Pusat strategi perang (wim aila) yang ada di dalam struktur adat biasanya akan mengadakan upacara kesuburan apabila melihat hasil panen yang tidak melimpah. Dalam struktur pemerintahan adat lokal di Jayawijaya, setiap kampung memiliki kepala suku yang membawahi beberapa pendamping seperti panglima perang (kepala suku perang) dan orang yang ditunjuk untuk pengendali kesuburan tanah. Pentingnya kedudukan panglima perang dalam struktur kehidupan masyarakat Dani menunjukkan tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai gangguan atas ketenteraman yang mereka bina dalam lingkungannya. Ini sebagian merefleksikan tempat tinggal masyarakat berada di daerah hutan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap berbagai gangguan. Gangguan bisa datang dari binatang buas, bencana alam, atau kelompok manusia lain. Perang (wim abiyokoi) dipandang sebagai salah satu wujud tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat Hutan Baliem terhadap pelanggaran norma-norma adat suatu suku oleh kelompok lain. Fu ngsi-f u ngsi keh a r mon isa n a nt ara masyarakat dengan alam menciptakan penghayatan bahwa alam menjadi ibu (mama) kehidupan. Penghayatan dan penghormatan yang tinggi terhadap alam mendorong masyarakat membuat usaha kolektif terbaik lewat norma dan aturan-aturan di dalam masyarakat; mana yang boleh atau tidak boleh, mana yang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
baik dan tidak baik dalam hal kaitannya dengan pelestarian alam. Pada masa lampau, masyarakat Dani di Jayawijaya telah menerapkan pola hidup yang berkeseimbangan dengan alam. Praktik-praktik konservasi alamiah menjadi bagian tak terpisahkan dari pemanfaatan alam. Beberapa aturan adat dibuat untuk membatasi perilaku masyarakat misalnya larangan untuk menebang pohon di sembarang tempat atau mencemari dan merusak lingkungan di tempat keramat (wesa) hingga radius sekitar 300 meter. Jika penebangan tidak dapat dielakkan karena tuntutan ekonomi, mereka diharuskan untuk menanam sejumlah pohon pengganti. Untuk menjaga kelestarian pohon-pohon tertentu di kawasan hutan, larangan ini biasanya disertai dengan memberi tanda silo, tanda silang atau siluk, membuat alang-alang sedemikian rupa di tempat tertentu dan ini diketahui oleh masyarakat. Penandaan ini merupakan kesepakatan bersama diantara masyarakat, dengan pemimpin adat sebagai inisiator atau pemberi larangan. Pelanggaran terhadap hal ini diyakini akan menyebabkan si pelanggar sakit bahkan meninggal. Praktik konservasi lainnya yang terdapat dalam Suku Dani adalah pembuatan parit-parit di sekeliling bedeng-bedeng agar terhindar dari pengrusakan babi. Parit-parit yang dibangun sangat berguna untuk mengeluarkan air bekas tanah dari akar-akar petatas (Ipomea batatas/ipere). Fungsi parit parit memberikan kesuburan bagi bedeng-bedeng petatas (ipere) dan menyalurkan air pada saat musim kemarau, lebih lanjut sistem pengairan ini sangat berguna bagi kesuburan tanah dan juga mencegah terjadinya banjir. Praktik konservasi lain yang berkaitan dengan risiko longsor adalah penggunaan tongkat kayu sederhana sebagai alat pengolah lahan untuk menanam ubi jalar. Penggunaan alat sederhana ini diyakini dapat mencegah erosi dan longsor di lereng dan sekitar bukit. Orang Dani mengenal sistem bera (mengistirahatkan lahan sampai 10 tahun) setelah dua kali siklus penanaman secara berturut-turut untuk mempertahankan kesuburan lahan di lereng
145
bukit. Orang Dani merencanakan pembukaaan lahan untuk bertanam ubi sesuai dengan kecukupan pangan mereka dengan ternak babi peliharaannya. D. Pembacaan Tanda-Tanda Alam sebagai Peringatan Dini Meramal adalah salah satu upaya yang digunakan untuk melihat sebuah potensi kejadian. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, meramal didefinisikan sebagai menduga, menelaah; dari peristiwa penting. Atau melihat, menduga hal yang belum terjadi. Meramal atau prediksi dapat dilakukan secara alamiah atau ilmiah. Secara alamiah masyarakat Papua umumnya dan Jayawijaya khususnya memiliki kemampuan dalam membaca tanda-tanda alam. Kemampuan atau pengetahuan lokal masyarakat Jayawijaya dalam mengetahui fenomena dan tanda-tanda alam dalam memprediksi gangguan atau kejadian bencana ini diyakini karena kelekatan masyarakat Papua dengan alam secara umum dan Jayawijaya secara khusus. Ini diperkuat oleh Oxford English Dictionary (Trumble 2007) yang mendefinisikan pengetahuan sebagai ‘informasi dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan atau pengalaman atau kesadaran atau keakraban yang diperoleh oleh pengalaman dari fakta atau situasi. Tandatanda alam diyakini pula sebagai penghubung atau sinyal akan adanya ancaman yang berasal dari alam. Menurut pendapat Aart van Zoest 1978 dan Lavers, t.t, adanya tanda ditentukan oleh 3 (tiga) elemen, yaitu: (1) tanda yang dapat dilihat atau tanda itu sendiri, (2) sesuatu yang ditunjukkan atau diwakili oleh tanda, (3) tanda lain dalam pikiran penerima tanda. Di antara tanda dan yang diwakilinya ada sesuatu hubungan yang menunjukkan representatif yang akan mengarahkan pikiran kepada suatu interpretasi. Dalam kategori Deken, prediksi dan sistem peringatan dini ( forecasting and warning system) merupakan upaya antisipasi. Upaya ini dilakukan bersamaan dengan membangun rute evakuasi dan tempat aman, melakukan
146
pembagian peran, pengetahuan dan keahlian serta, mengamankan aset dan ternak. Dalam praktik kebencanaan, sebuah sistem peringatan dini merupakan serangkaian kapasitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi peringatan yang tepat waktu dan penting yang memungkinkan individu berisiko, masyarakat dan organisasi untuk mempersiapkan dan bertindak secara tepat waktu dan memadai untuk mengurangi kerusakan atau kerugian (diadaptasi dari UNISDR 2009 dan lain-lain). Dini atau awal adalah waktu yang memadai – yang menandakan sebelum datangnya bahaya atau ancaman – untuk mengurangi kerusakan atau kerugian potensial, atau mencegah bencana. Peringatan adalah pesan pengumuman suatu bahaya yang dilakukan dengan menggunakan tanda-tanda, kata-kata, suara atau gambar. Dengan cara memerhatikan posisi matahari saat terbit, suku Dani di Jayawijaya memiliki pengetahuan tentang prediksi waktu dan lokasi terjadinya musim kering atau musim hujan. Dapat dilihat dari gambar 3, apabila posisi matahari berada di puncak gunung (utara) maka musim kering akan tiba dalam waktu dekat dan apabila posisinya semakin condong ke arah tenggara maka menandakan musim panas akan berlangsung lama. Sebaliknya jika posisinya condong ke arah barat maka musim hujan akan tiba dalam waktu dekat9. Prediksi kekeringan lain akan terjadi apabila di lereng Gunung Trikora nampak kabut berwarna abuabu. Selain matahari, untuk melihat datangnya musim hujan atau kering, penanda lain yang digunakan adalah arah datang embun dari lembah. Ada pula Angin Kurima yakni angin kencang berhawa dingin yang bertiup dari sebuah kecamatan bernama Kurima. Angin dingin yang bertiup sangat kencang dan muncul di sore hingga malam hari ini tidak saja dapat membekukan, tetapi juga menerbangkan debu, membengkokkan dan mematahkan dahan dan ranting pohon. Sayangnya tidak ada durasi 9 Dalam sebuah wawancara dengan seorang ibu di kecamatan Asologaima pada kajian risiko bencana, Desember 2007.
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
waktu yang tepat yang disampaikan dalam informasi ini mengenai cepat dan/atau lamanya masa penanda ini hingga sampai pada batas kejadian10. Beberapa tanda-tanda ini dimaknai sebagai persiapan yang perlu dilakukan oleh masyarakat kampung. Tanda-tanda ini sebagian besar masih dipahami oleh orang-orang tua dan menurut mereka, setiap keluarga akan melakukan persiapan yang diperlukan oleh keluarga karena masing-masing keluarga memahami apa yang harus dilakukan ketika tanda-tanda tersebut muncul. Pengetahuan lokal mengenai peringatan dini ini dahulu dijadikan sebagai panduan bagi keluarga dan masyarakat dalam melakukan kesiapsiagaan bencana. Walaupun
Cara penyampaian informasi perihal peringatan dini yang teridentifikasi adalah penyampaian lisan, mulut ke mulut, yang dilakukan biasanya ketika masyarakat bertemu di suatu tempat seperti jalan, kebun atau bagi perempuan-perempuan (atau dalam bahasa lokal yang lebih sering disebut mama-mama) yang banyak melakukan pengolahan dan pemeliharaan tanamann di kebun biasanya akan saling menginformasikan dan memperingatkan satu sama lain perihal tanda-tanda yang dilihat tersebut. Cara penyampaian informasi lainnya yang ditemukan dalam Suku Dani yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup dan tata laksana budaya Suku Dani disampaikan oleh orang-orang tua laki-laki kepada anak laki-laki
Gambar 3. Posisi Matahari saat Terbit untuk Prediksi Waktu dan Lokasi Musim Kering dan Hujan
demikian pada saat wawancara berlangsung, beberapa anggota tokoh masyarakat memberitahukan bahwa tanda-tanda alam ini tidak diperhatikan lagi dengan baik dan kalender musim yang dulu menjadi panduan dirasa tidak relevan lagi karena perubahan kondisi dan situasi alam yang salah satu dampaknya dapat dilihat dari kejadian banjir tahunan yang semakin mengganggu kebun-kebun ubi mereka. 10 Informasi mengenai tanda-tanda alam lainnya diyakini masih banyak, namun belum sempat tergali karena keterbatasan waktu.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
mereka dalam honai adat (rumah adat laki-laki) pada malam hari. Penyampaian pesan-pesan penting yang diturunkan oleh orang tua lakilaki kepada anak laki-laki berhubungan dengan konsep kepercayaan (keagamaan) yang terpenting dalam suku Dani yang disebut Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain kekuatan menjaga kebun, kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala, kekuatan
147
menyuburkan tanah. Dari sini terlihat bahwa suku Dani memiliki konsep kepercayaan keagamaan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesejahteraan sukunya; ada konsepsi magis atau supernatural yang diyakini oleh Suku Dani untuk menjaga keberlangsungan hidup Suku mereka, yang kemudian diwujudkan dalam struktur-struktur sosial dan praktik harian mereka. Pengetahuan lokal mengenai peringatan dini dahulu dijadikan sebagai panduan bagi keluarga dan masyarakat dalam melakukan kesiapsiagaan bencana. Walaupun demikian pada saat penulisan ini berlangsung, beberapa anggota tokoh masyarakat memberitahukan bahwa tanda-tanda alam ini tidak diperhatikan lagi dengan baik dan kalender musim yang dulu menjadi panduan dirasa tidak relevan lagi karena perubahan kondisi dan situasi alam yang salah satu dampaknya dapat dilihat dari kejadian banjir tahunan yang semakin mengganggu kebun-kebun ubi mereka. Di daerah pesisir lainnya di Papua, seperti Nabire dan Manokwari, hewan-hewan laut yakni ikan-ikan hiu atau ikan lainnya yang biasa hidup di dalam kedalaman tertentu, ular-ular atau jenis hewan lainnya yang muncul atau terdampar menjadi salah satu penanda yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai pesan atau peringatan dini akan terjadinya bencana. Bunyi triton (kerang besar) yang terdengar dari laut juga menjadi penanda lainnya. Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke Dalam Pembangunan Kearifan lokal masyarakat Dani ditemukan kaya dalam berbagai sistem unsur sosial budaya masyarakatnya. Mulai dari yang berbentuk konsepsi, kepercayaan, nilai-nilai, struktur sampai ke tingkatan praktik dalam mengurangi risiko bencana. Pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam mendukung upaya penguatan informasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman (tema ketiga dalam kerangka aksi pengurangan risiko bencana global - Hyogo
148
Framework for Action). Dinamika proses pembangunan yang terjadi di Papua umumnya dan Jayawijaya khususnya, dengan arus modernisasi yang masif dan pemekaran pembangunan yang cenderung eksploitatif, secara sadar dan tidak sadar telah menggerus nilai-nilai luhur dan praktik lokal tersebut diatas. Umumnya masyarakat di wilayah pedalaman Papua menyadari adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan mereka terutama setelah dimulainya era pembangunan di Papua tahun 1970-an. Namun, karena tantangan dan permasalahan pembangunan yang multi-dimensional dan kompleks, perubahan-perubahan ini tidaklah mudah untuk dipahami oleh masyarakat karena di lain sisi perubahan ini menuntut tingkat kesiapan adaptasi yang tinggi. Untuk itu upaya penggalian kearifan lokal Papua dalam konteks kebencanaan masih perlu terus digali, dikembangkan dan diintegrasikan dalam program pembangunan untuk membangun ketahanan masyarakat (community resilience). Pemaduan pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dalam hal-hal tertentu perlu diupayakan dengan mempertimbangkan kesiapan, kebutuhan, dan tingkat relevansinya bagi masyarakat untuk secara sinergis dapat mengurangi kerentanan masyarakat. Pengetahuan lokal dapat diintegrasikan dengan sistematis ke dalam program pembangunan hanya jika para pihak mengakui manfaat dari nilainilai ini dan secara konsisten membawanya ke dalam setiap langkah-langkah perencanaan pembangunan. Dalam upaya untuk membawa pengetahuan lokal secara sistematis ke tingkat pengintegrasian pembangunan, UNISDR dalam pertemuan internasional di Kyoto, Juli 2008 menghasilkan empat langkah strategis dalam catatan kebijakan pengetahuan lokal (policy note). Keempat langkah tersebut yakni (1) Penelitian, dokumentasi dan tampilan, (2) Pendidikan, (3) Advokasi, (4) Kerangka kelembagaan. Dengan ringkasan pemikiran Sebagai Berikut: (1) Penelitian, dokumentasi dan publikasi -
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
upaya untuk mengakui dan meningkatkan pengetahuan lokal dari praktik anekdot yang tidak terdokumentasi ke unit valid pengetahuan yang dapat diaplikasikan. Langkah-langkah yang berkontribusi terhadap upaya ini adalah: (a) memahami dan membangun nilai pengetahuan lokal ke dalam konteks saat ini, dan membangun pondasi integrasinya dengan pengetahuan lain dan sistem operasional, (b) mendokumentasikan secara sistematis pengetahuan lokal mengenai pengurangan risiko bencana dalam masyarakat tradisional, (c) menguji nilai pengetahuan lokal dan mengidentifikasi praktik yang tepat untuk replikasi dan meninjaunya dalam konteks ilmu kekinian. (2) Pendidikan – pendidikan adalah hal mendasar dan alat penting untuk menghidupkan kembali dan mengaplikasikan pengetahuan lokal. Pendidikan dapat menjadi jembatan antara pengetahuan lokal dan teknologi modern dan menghubungkannya ke dalam konteks dan pengetahuan lokal. Promosi pengetahuan lokal sebagai elemen pendidikan formal dan menciptakan konten pendidikan informal adalah beberapa langkah yang sudah dilakukan oleh beberapa negara. (3) Advokasi – garda depan yang paling penting dalam mengaktivasi aplikasi pengetahuan lokal adalah pemerintah. Pengetahuan manajemen bencana, pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim dan pendekatan pembangunan keberlanjutan akan menjadi jalan bagi upaya pengakuan dan dan aplikasi pengetahuan lokal ini. Advokasi melibatkan berbagai level dan diseminasi. (4) Kerangka kelembagaan – upaya untuk
mempromosikan pengetahuan lokal dan integrasinya dalam mengarusutamakan pengurangan risiko bencana merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Kelembagaan yang tepat perlu dibangun untuk menyediakan dukungan dan melanjutkan upaya-upaya kerja mempromosikan penelitian, pendidikan dan alat advokasi yang disebutkan diatas. Secara umum, upaya pengurangan risiko bencana yang memadukan pengetahuan lokal dilakukan dengan langkah-langkah sbb: (1) melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk membangun tujuan bersama dan kepercayaan, (2) mengidentifikasi ancaman beserta karakternya dan risiko bencana, (3) menganalisa kapasitas dan kerentanan di berbagai bidang (sumber daya alam, sumber daya manusia, finansial, sosial budaya, dan politik), kemudian, (4) mengidentifikasi strategi alamiah dan ilmiah di masa lalu dan sekarang, dan (5) melakukan prioritas perencanaan pengurangan risiko bencana dengan mengintegrasikan strategi keduanya. Kerja pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerentanan, meningkatkan kapasitas dan memperluas jaringan dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk membangun ketangguhan masyarakat adalah kerja bersama multi-pihak. Untuk lebih sistematis dan berkelanjutan, pemangku kepentingan utama di Papua yang disebut dengan tiga tungku (lembaga adat, gereja dan pemerintah) dapat dijadikan kendaraan strategis atau pintu masuk bagi upaya-upaya merevitalisasi pengetahuan lokal kebencanaan masyarakat dipadu dengan inisiatif-inisiatif multi pihak yang ada.
Daftar Pustaka Purwoarminta, Ananta dan Siboro, Garendel 2008 “Identifikasi dan inventarisasi potensi longsor Provinsi Papua dan Papua Barat”,
Jurnal Kebencanaan Indonesia Vol.1 No.4, Mei
Agus, Alua 2006 Nilai-nilai hidup masyarakat Hubula lembah Balim Papua. Jayapura: Biro penelitian STFT Fajar Timur.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
149
Savitry, Dyah 1997 Peranan teknologi pertanian-sawah terhadap perubahan organisasi sosial. Studi Kasus Kurulu, Jayawijaya. Mercer, Jessica, dkk 2009 Framework for integrating indigenous and scientific knowledge for disaster risk reduction, Overseas Development Institute, Blackwell Publishing, USA. LIPI 1996 Pembangunan masyarakat pedesaan. Suatu telaah analitis masyarakat Wamena, Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Mansoben, J.R. 2003 “Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya”, Jurnal Antropologi Papua 2(4) MSF report 2000 Chants, Prayers and Drugs, a medical anthropological in the Ngalik people of Jayawijaya Oxfam 2008 Kajian risiko bencana Jayawijaya, Laporan tidak diterbitkan, Jayapura. UNISDR 2008 Policy note on indigenous knowledge for disaster risk reduction. 2009 UNISDR terminology on disaster risk reduction. Widjodo, Muridan S dan Herry Yogaswara 1994 Pengembangan masyarakat pedesaan Wamena. Jakarta: LIPI Sumber Internet Bapesdalh Papua 2012 Pengelolaan bencana lingkungan dalam Profil pengelolaan tutupan vegetasi Provinsi Papua, dalam www.bapesdalh.papua.go.id Dominggus, Mampioper 2010 Pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat adat, tabloid Jubi, 31 Juli 2010.
Hindarto, Probo 2007 Honei : Hutan transisi hunian Lembah Baliem, Suku Asmat-Dani. dalam http://www. astudioarchitect.com/2008/09/honei-transisi-hutan-hunian-lembah.html Rytha Tambunan ‘‘Perilaku konservasi pada masyarakat tradisional’, repository.usu.ac.id Simamora Saedi Patahan aktif di daerah Papua
150
Veronika, Memahami Sistem Pengetahuan Budaya...
Tambunan Rytha 2008 Perilaku konservasi pada masyarakat tradisional’, International Environmental Issues 2008 Sacred places and biodiversity conservation, http://www.eoearth.org/view/article/155815/ Redaksi 2010 Pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat adat. tabloid Jubi Asal-usul suku Dani , http://www.papuaerfgoed.org/id/Bersama_Suku_Dani_di_Lembah_Baliem#2.Suku Dani, penduduk asli Baliem Ilmu Semiotika 2012 Penghayatan profesi veteriner penyakit Hog Cholera pada ternak babi, fakultas kedokteran hewan. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Denpasar: Univeritas Udayana. http://www.scribd. com/doc/207366076/188521670-Penyakit-Hog-Cholera-Pada-Ternak-Babi Tabloid Suara Perempuan, Yahukimo yang malang, Desember 2005 Tektonik Papua Bapesdalh 2012 Pengelolaan bencana lingkungan dalam Profil pengelolaan tutupan vegetasi Provinsi www. bapesdalh.papua.go.id Sacred places and biodiversity conservation, 2008 dalam International Environmental Issues. http://www.eoearth.org/view/article/155815/
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
151
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: [email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika
‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution
Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin