ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh)
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
Vol. 34 No. 2 Juli-Desember 2013
Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika ‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
Kekuasaan yang Bekerja Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring1 Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri
Abstrak Tulisan ini menganalisis model perlawanan antara masyarakat dan perusahaan dengan menginspirasi pada perspektif hubungan kekuasaan. Analisis bersumber pada penelitian tentang penguasaan hutan antara masyarakat dan perusahaan di desa Praha, Jambi. Penelitian menginspirasi pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Masyarakat dan perusahaan merupakan para pihak yang memiliki kepentingan atas sumberdaya hutan. Kompleksitas kepentingan para pihak tersebut terlihat melalui pola hubungan sosial bernuansa konflik, kolaborasi, dan perlawanan. Dinamika hubungan sosial tersebut merupakan realitas hubungan kekuasaan. Perlawanan merupakan strategi hubungan kekuasaan dengan karakteristik yang khas yaitu masing-masing pihak berkonsentrasi pada strategi mewujudkan tujuan masing-masing dan tidak secara langsung bertujuan menggagalkan strategi pihak lain. Kata kunci: Kekuasaan, perlawanan, strategi kekuasaan, penguasaan hutan, masyarakat lokal, perusahaan swasta. Abstract This article analyze model of resistance between the local community and private company with inspired to perspective of power relation. Analysis based on the research about forest tenure by the local community and private company in Praha Village, Jambi. The research inspired qualitative approach with methods of indepth interview and participatory observation. The local community and private company constitute stakeholders that have interest on the forest resources. Complexity of the stakeholders’s interest were expressed through models of the social relation that were conflict, collaboration, and resistance. Dynamics of the social relation are reality of the power relation. Resistance are strategy of power relation with special features that each other stakeholders focus on the strategy to realize the each other goals and indirectly to fail the strategy of others. Key words: Power, resistance, strategy of power, forest tenure, local community, private company.
1
164
Prudensius Maring, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri, Jakarta E-mail:
[email protected]
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
Pendahuluan Sumberdaya hutan menarik minat dan kepentingan para pihak seperti masyarakat, pemerintah, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para pihak berkepentingan secara ekonomi, ekologis, dan sosial. Keterlibatan para pihak dalam penguasaan hutan dilandasi argumentasi berbeda-beda, seperti kedekatan geografis, mandat sosial-politik, aspek histori, klaim otoritas, dan kewenangan. Kedalaman argumentasi itu mendorong pemangku kepentingan untuk menjalankan strategi, metode, dan taktik untuk menguasai sumberdaya hutan. Strategi, metode, dan taktik menguasai hutan yang dijalankan satu pihak selalu bersentuhan dengan kepentingan pihak lainnya dan kerap terekspresi dalam pola hubungan bersifat konflik dan perlawanan. Analisis konflik sosial lebih banyak dilakukan dibandingkan analisis tema perlawanan dalam penguasaan sumberdaya hutan2. Secara konseptual, sebelum tahun 1980-an, analisis perlawanan (resistance) terkonsentrasi pada perlawanan bersifat konfrontatif dan terbuka. Cara demikian memberi gambaran yang kurang tepat mengenai dasar perjuangan ekonomi-politik yang diprakarsai petani. Karenanya diperlukan analisis perlawanan yang memperlihatkan nuansa kultural. Kerangka teoritis perlawanan yang bernuansa kultural bermula dari pemikiran Scott (1993) yang memberi tonggak baru dalam analisis perlawanan kaum tani sebagai hal yang terintegrasi dalam sistem sosial ekonomi mereka, atau sebagai subkultur yang melekat dalam kehidupan kaum lemah. Perlawanan (resistance) dimaknai sebagai tindakan masyarakat dengan maksud 2 Dalam konteks perlawanan berbasis penguasaan hutan, Peluso (dalam Maring 2010: 26) menyatakan bahwa perlawanan kaum tani selalu dalam konteks melawan kontrol negara atas hutan, yaitu kontrol atas lahan, spesies, tenaga kerja, dan ideologis. Karenanya, corak perlawanan rakyat dalam konteks penguasaan hutan terlihat dalam pola sebaliknya, yaitu: (1) Menolak dan melawan penguasaan lahan hutan dengan cara merebut kembali untuk digarap. (2) Menolak penguasaan atas species/tanaman dengan cara merusak atau merebut spesies/tanaman. (3) Menolak penguasaan tenaga kerja dengan cara mogok dan migrasi. (4) Menolak penguasaan ideologis dengan cara memelihara budaya perlawanan mereka (Peluso 2006: 364).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
melunakan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya, sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada masyarakat oleh pihak lain (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan masyarakat (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) kepada pihak lain (Scott 1993:302). Konstruksi teori perlawanan Scott mengangkat kaum tani sebagai pelaku sejarah atas riwayat kehidupan mereka. Kerangka pikir Scott tertuang dalam konsepsi perlawanan sebagai ‘senjata kaum lemah” (dalam Maring 2010a: 24-26). Meski demikian, konstruksi analisis model perlawanan yang berpusat pada masyarakat dengan sub-kultur yang melingkupinya tidak lepas dari kritik. Analisis demikian dinilai lebih memberi kesan romantisme perjuangan kaum lemah, tanpa melihatnya sebagai sebuah strategi kekuasaan (Abu-Lughod 1989). Kekuasaan dan perlawanan dilihat sebagai fenomena yang terpisah dan lepas. Perlawanan sekadar dilihat sebagai kemampuan dan kreativitas masyarakat dalam menolak dominasi dari luar; analisis tersebut memosisikan perlawanan secara pasif dan bukan subyek. Dengan cara pandang demikian, hilang kesempatan menghubungkan bentuk-bentuk perlawanan yang mana merupakan sesuatu yang dik reasikan masyarakat sebagai wujud ek s pr e si kek u a s a a n me r ek a . Padahal, dalam dinamika perlawanan, berbagai strategi dan hubungan kekuasaan bisa bekerja dan dijalankan masyarakat (Abu-Lughod 1989: 41-42; Maring 2010a: 26-27). Berangkat dari latar belakang di atas, formulasi masalah penelitian yang dibahas dalam tulisan ini adalah menjelaskan perlawanan antara masyarakat dan perusahaan sebagai fenomena hubungan kekuasaan. Dengan menempatkan perlawanan sebagai realitas hubungan kekuasaan maka analisis tidak berlangsung linear dari masyarakat kepada perusahaan. Perlawanan bisa dijalankan pihak manapun (kuat atau lemah) dan bisa datang dari berbagai arah. Fokus analisis adalah pada bagaimana
165
para pihak saling melancarkan strategi secara dinamis untuk mewujudkan tujuannya. Perlawanan yang dijalankan selalu tertuju pada upaya-upaya untuk mewujudkan kepentingan atau tujuan masing-masing pihak. Para pihak yang terlibat dalam perlawanan berusaha menerapkan taktik dan strategi agar tujuan mereka bisa terwujud. Taktik dan strategi yang dijalankan tidak secara langsung bertujuan merebut atau menggagalkan tujuan pihak lain (Maring 2010a). Kerangka pikir demikian sejalan dengan perspektif kekuasaan Foucault yang memaknai kekuasaan sebagai strategi dinamis yang bisa datang dari berbagai arah oleh pihak manapun dengan tujuan mendorong atau memengaruhi pihak lain secara persuasif agar pihak lain tunduk atau patuh pada tujuannnya (Foucault 1980: 198-199). Sumber Data dan Metode Sumber data untuk tulisan ini berasal dari riset aksi kasus konflik penguasaan hutan antara masyarakat dan perusahaan yang dijalankan melalui proyek Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia.3 Pada tahap awal, penulis berperan sebagai peneliti aspek sosial-budaya yang dilanjutkan dengan fasilitasi resolusi konflik antara masyarakat dan perusahaan. Penelitian dilaksakan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan selama tahun 2009-2012. Tulisan ini memberi fokus pada kasus Desa Praha4, Jambi. Penelitian di Desa Praha mengidentifikasi sejumlah tema penting, seperti kolaborasi, konflik, dan perlawanan antara masyarakat dan perusahaan. Ada dua alasan yang mendasari analisis tema perlawanan dalam tulisan ini. Pertama, tema perlawanan relatif kurang dibahas melalui perspektif kekuasaan. Kedua, realitas empirik memperlihatkan bahwa perlawanan tidak hanya dijalankan masyarakat, tetapi juga dijalankan perusahaan untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan menguasai masyarakat 3 Proyek ini dibiayai International Tropical Timber Organization (ITTO) melalui Kementerian Kehutanan RI selama tahun 2009-2012. 4 “Praha” adalah nama desa yang disamarkan.
166
dan sumberdaya alam. Penelitian ini menginspirasi kepada pendekatan kualitatif. Teknik penggalian data adalah wawancara mendalam (indepth-interview) dan pengamatan terlibat (participatory observation). Kedua metode tersebut diperkuat melalui perekaman dan foto. Teknik wawancara mendalam digunakan untuk penggalian makna dari berbagai peristiwa dan fenomena yang dialami masyarakat. Pengamatan terlibat digunakan untuk melihat langsung areal kerja perusahaan dan kebun masyarakat. Pertanyaan disasar dari satu aspek ke aspek lain dan melihat hubungan antara satu aspek dengan aspek lain. Untuk memahami makna atas peristiwa atau kejadian yang dialami masyarakat maka dilakukan triangulasi untuk mengonfirmasi informasi dari informan berbeda. Selain itu, data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam dikonfirmasi melalui teknik pengamatan terlibat. Informan sebagai sumber penggalian data adalah tokoh masyarakat, anggota masyarakat, aparatur pemerintah desa, aparatur perusahaan, dan aparat pemerintah pada instansi kehutanan. Data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan pengamatan terlibat dikonstruksi menjadi catatan lapangan (field notes). Proses demikian merupakan bagian dari tahap analisis. Setiap data yang dikumpulkan dari hari ke hari dilihat hubungan dan keterkaitan satu sama lain. Melalui proses ini peneliti memastikan tingkat kebutuhan dan kecukupan data. Data atau informasi yang belum tergali dan data yang belum mendalam dilakukan klarifikasi kepada informan. Sifat penelitian sebagai riset aksi memberi peluang kepada peneliti untuk memastikan kedalaman dan validitas data pada tahap fasilitasi penyelesaian konf lik menuju kolaborasi pembangunan hutan tanaman antara perusahaan dan masyarakat. Analisis pascapenelitian lapangan dilakukan melalui proses memilah-milah data dan menyusunnya dalam kerangka yang argumentatif sesuai tema dan topik analisis.
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
Hasil dan Pembahasan Bagian ini membahas temuan penelitian yang diorganisasi dalam 3 sub-bagian yaitu latar masyarakat dan ekologi, strategi perlawanan masyarakat versus perusahaan, dan implikasi teoritis berdasarkan hasil penelitian ini. Pembahasan latar masyarakat dan ekologi bermaksud memberi konteks dan ruang lingkup secara keseluruhan. Pembahasan tentang strategi perlawanan masyarakat dan perusahaan bermaksud memberi penekanan bahwa strategi perlawanan tidak selalu berasal dari masyarakat, tetapi juga datang dari perusahaan. Masyarakat dan perusahaan saling melancarkan strategi untuk mewujudkan tujuan mereka masing-masing. Pembahasan tentang implikasi teoritis diselaraskan dengan formulasi tujuan analisis ini yaitu melihat implikasi kajian-kajian fenomena perlawanan yang menginspirasi pada perspektif kekuasaan. Latar Masyarakat dan Ekologi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Praha, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Penduduk Desa Praha pada tahun 2008 berjumlah 2.667 jiwa dan tahun 2010 berjumlah 2.963 jiwa. Desa ini berkembang menjadi pemukiman sejak awal kemerdekaan, namun hingga tahun 1980-an Praha masih merupakan wilayah yang sulit diakses. Wilayah Desa Praha dan sekitarnya sudah menjadi areal penguasahaan kayu sebelum tahun 1980-an, namun belum tersentuh lalu lintas utama kegiatan ekonomi. Hingga pertengahan tahun 1990-an, pusat aktivitas ekonomi di wilayah Tanjung Jabung masih terpusat di sepanjang jalan utama dari kota Jambi menuju Kuala Tungkal. Perkembangan ekonomi di Praha dan pola hubungan produksi mulai terjadi sejak masuknya jaringan jalan untuk mendukung aktivitas perusahaan kayu, pertambangan, dan perkebunan. Perubahan lebih terasa saat terjadi pemekaran Kabupaten Tanjung Jabung menjadi Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Terbukanya jalan lintas dari kota Jambi menuju Sabah sekitar
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
tahun 1996/1997 mempercepat aktivitas ekonomi. Wilayah di sepanjang jalan utama dari Jambi menuju Sabah mengalami perkembangan cepat. Pusat pemukiman penduduk bergerak merapat ke pinggir jaringan jalan utama. Praha adalah salah satu desa yang terletak di pinggir jalan utama Jambi-Sabah, berbatasan dengan areal kerja pengusahaan kayu, dan berdekatan dengan areal kerja pertambangan (Maring 2009; Utama 2009). Komposisi penduduk Desa Praha tergolong heterogen. Praha dihuni warga dari berbagai suku, seperti Bugis, Jawa, Banjar, Melayu, Kerinci, dan Riau. Dalam jumlah kecil, terdapat penduduk yang berasal dari wilayah Nusa Tenggara, seperti Suku Flores dan Lembata. Masyarakat yang berlatar suku Melayu teridentifikasi sebagai penduduk asli, meski sebagian dari mereka datang dari wilayah Kerinci dan sekitarnya. Secara kuantitatif, komposisi suku Bugis adalah terbanyak dan disusul Suku Jawa, Banjar, Melayu, Kerinci, dan Riau. Meski demikian, dalam dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari tidak tampak dominasi akibat komposisi demografis dan etnisitas. Diskusi dan klaim berbasis status penduduk asli tidak jadi hal penting di wilayah itu karena umumnya ikatan dan kohesi sosial antarwarga dipengaruhi pola hubungan produksi. Terlihat, misalnya, upaya untuk membangun kelembagaan adat di tingkat desa yang berciri adat Melayu pernah dilakukan, namun secara fungsional tidak berjalan karena basis utama Suku Melayu justru berkembang di luar Desa Praha. Waktu kedatangan pendudukDesa Praha yang berasal dari luar sangat bervariasi. Diperkirakan kedatangan penduduk dari luar Praha sudah berlangsung sejak masa awal kemerdekaan. Beberapa penduduk yang berasal dari Bugis dan Banjar sudah memasuki generasi ketiga, yaitu pendatang pertama yang sudah mempunyai anak dan cucu di Praha. Gelombang kedatangan terbesar terjadi sekitar awal tahun 1980-an ketika masuknya perusahaan swasta kehutanan di wilayah Praha. Alasan kedatangan bervariasi. Penduduk Suku Melayu
167
yang masuk ke Praha terutama karena alasan ekspansi penguasaan sumberdaya alam dan hubungan perkawinan. Penduduk suku lain yang datang dari luar umumnya karena alasan menjadi tenaga kerja pada perusahaan perkebunan dan kehutanan. Namun, Praha bukanlah daerah tujuan pertama kedatangan. Sebelum masuk ke Praha, umumnya para pendatang telah berpidah-pindah tempat. Integrasi sosial antar suku berjalan dinamis, warga pendatang diterima sebagai tokoh masyarakat dan pamong desa (Maring 2009; Utama 2009). Sejak dua tahun terakhir ini Kepala Desa Praha dijabat oleh warga dari suku Bugis. Heterogenitas penduduk Desa Praha ini sejalan dengan gambaran komposisi penduduk desa-desa di Jambi secara umum terdiri atas suku Melayu (37,87%), Jawa (27,64%), Kerinci (10,56%), Minangkabau (5,40%), Banjar (3,40%), Sunda (2,62%), Bugis (2,59%), dan lainnya (9,80%). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konstraksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Praha tidak bersumber dari sentimen kesukuan. Konstraksi sosial yang terjadi di tingkat desa terutama dipicu oleh intervensi program dan proyek pembangunan yang tidak partisipatif, tidak meratanya distribusi sumberdaya proyek, dan pemaksaan pembentukan kelembagaan masyarakat oleh pemerintah dan perusahaan. Kondisi demikian memicu kecurigaan antarwarga, melahirkan ketidakpuasan, menimbulkan ketegangan antarmasyarakat. Ada usaha membangun kelembagaan adat untuk mengayomi heterogenitas masyarakat, namun inisiasi tersebut masih merupakan kesadaran yang didorong oleh pihak luar (kesadaran titipan). Belum terbangun kesadaran kolektif masyarakat untuk membangun kelembagaan adat secara bersama juga berhubungan dengan lemahnya kepemimpinan. Luas wilayah desa Praha adalah 9.199,14 Ha. Luas lahan yang dikuasai penduduk desa rata-rata sekitar 1- 4 Ha dengan rata-rata tiap keluarga seluas 2,2 Ha. Hampir semua lahan yang dikuasai masyarakat berada dalam areal hutan negara yang diberikan hak
168
pengusahaan pada perusahaan (Utama 2009). Perusahaan leluasa membangun relasi sosial dengan masyarakat berbekal ijin pengusahaan hutan dan kekuatan modal yang dimilikinya. Dengan praktik mendatangkan tenaga kerja murah dari luar daerah, perusahaan merusak relasi sosial yang sudah terbangun antarmasyarakat. Aktivitas perusahaan pemegang ijin pengusahaan hutan sejak 1980-an membuat relasi masyarakat dan perusahaan diwarnai pola hubungan produksi dan resistensi. Pola hubungan produksi menciptakan nilai baru, struktur baru, dan relasi sosial yang mengacu pada kalkulasi kepentingan ekonomi. Relasi sosial, ketokohan, dan panutan sosial dalam kehidupan masyarakat lebih dipengaruhi oleh skala penguasaan sumberdaya, luas lahan yang dikuasai, keberanian seseorang menghadapi aparat perusahaan, dan luasnya pengalaman kerja di perusahaan. Perusahaan pemegang ijin muncul sebagai struktur ekonomi yang kuat di mata masyarakat (Maring, 2013; Maring, 2014) Karakteristik sumberdaya hutan meleka erat pada kepentingan banyak pihak dengan ragam argumentasi. Masyarakat (Desa Praha) dan perusahaan swasta (PT Swakarya)5 adalah stakeholders utama yang memiliki klaim atas sumberdaya hutan pada areal konsesi seluas 293.812 Ha.6 Basis argumentasi penguasaan masyarakat atas sumberdaya hutan adalah kedekatan geografis dan kepentingan ekonomi rumah tangga. Sekitar 55% penduduk Desa Praha bekerja sebagai petani. Kedekatan geografis melahirkan rasa memiliki dan kesadaran mengamankan sumberdaya hutan dari intervensi pihak luar. Basis argumentasi penguasaan perusahaan atas sumberdaya hutan adalah legalitas-formal dan kepentingan ekonomi skala besar (profit oriented). Sejak memperoleh ijin Menteri Kehutanan tahun 2004, perusahaan mengatur strategi merea lisasikan tujuannya. Aktivitas perusahaan 5 PT Swakarya adalah nama perusahaan swasta yang disamarkan. 6 Selanjutnya disebut “masyarakat” dan “perusahaan”. Selain kedua aktor tersebut, teridentifikasi beberapa aktor dan lembaga lain, yaitu aparat instansi kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
adalah memastikan berlangsungnya kegiatan penanaman dan penebangan kayu yang dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi. Jadwal penanaman, penebangan, dan sistem rotasi berdasarkan daur hidup tanaman diterapkan secara ketat. Kondisi demikian, selain melahirkan pola hubungan produksi, juga memperkuat lahirnya pola hubungan perlawanan (resistensi) antara masyarakat dengan perusahaan. Perlawanan Masyarakat Versus Perusahaan Klaim kepentingan masyarakat dan perusahaan melahirkan strategi dan taktik penguasaan sumberdaya hutan berciri perlawanan. Berikut ini dikemukakan kasus yang merefleksikan fenomena perlawanan antara masyarakat dan perusahaan dalam konteks penguasaan hutan. Strategi perlawanan masyarakat terlihat dalam proses kolektif dalam menguasai lahan konsesi perusahaan. Masyarakat membuka lahan hutan pada areal kerja perusahaan dan menanam tanaman bernilai ekonomi. Masyarakat membentuk kelompok dan membangun strategi komunikasi dengan perusahaan, pemerintah tingkat desa dan kecamatan. Semula kelompok berjalan secara anonim hingga terbentuk struktur kelompok formal. Tahun 2004, ada dua orang warga (Ss dan Bs) mulai membuka lahan di areal konsesi perusahaan. Ss dan Bs biasa menebang kayu di hutan sehingga mereka mengetahui areal konsesi yang potensial untuk dijadikan kebun. Areal tersebut adalah lahan bekas tebangan kayu oleh perusahaan yang tidak ditanami tanaman akasia. Setelah mengetahui ada lahan yang tidak dikelola perusahaan, para inisiator mengumpulkan warga yang membutuhkan lahan. Untuk tahap awal berkumpul 12 orang. Secara informal, niat warga untuk membuka lahan tersebut dilaporkan kepada kepala desa dan camat. Kepala desa dan camat memberi restu kepada warga dengan menyatakan: ”Jika ada kebutuhan silahkan garap lahan di kawasan hutan, asal tidak memperjual-belikan lahan tersebut. Jika masyarakat mau bekerja maka kami didukung, dari pada jadi maling”. Dukungan informal tersebut
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
menguatkan tekad warga untuk membuka lahan bekas tebangan kayu di areal perusahaan”.
Sebelum membuka lahan, warga membuat kesepakatan bahwa meskipun mereka mulai bersama-sama namun jika suatu saat dipersoalkan perusahaan (misal: dicegah, dihentikan, ditangkap) maka tiap orang harus menghadapi resiko masing-masing. Kesepakatan ini dimaksudkan agar warga yang bermasalah, tidak menghambat agenda kolektif yang dijalankan anggota lainnya. Untuk menghindari kesan kerja berkelompok dan membuka lahan dalam jumlah luas maka aktivitas membuka lahan dilakukan bertahap. Ada warga yang mulai membuka lahan sejak tahun 2004 dan sebagian mulai tahun berikutnya. Setelah 3 tahun menanam di areal perusahaan, warga menginisiasi pembentukan kelompok. Akhir tahun 2007 diadakan pemilihan pengurus kelompok. Dua orang perintis pembukaan lahan terpilih menjadi ketua dan sekretaris kelompok. Jumlah anggota kelompok menjadi 45 orang. Dalam bentuk sederhana, warga membuat berita acara pembentukan kelompok dan menyusun aturan kelompok. Kepengurusan kelompok dilaporkan ke pemerintah desa dan penyuluh pertanian tingkat kecamatan. Tahun 2008, jumlah anggota menjadi 60 orang dengan luas lahan yang digarap sekitar 109 Ha. Selain inisiasi Ss dan Bs, pada waktu bersamaan ada dua kelompok lain di Desa Praha juga merintis pembukaan lahan pada areal perusahaan. Kelompok yang satu diinisiasi Um dkk berjumlah 10 orang dengan luas sekitar 25 Ha. Kelompok lain diinisiasi Zn dkk berjumlah 11 orang dengan luas sekitar 25,5 Ha. Semua lahan yang dibuka warga berada di dalam areal konsesi perusahaan. Dalam pandangan masyarakat, lahan yang dibuka tersebut merupakan lahan yang tidak dikelola atau diterlantarkan perusahaan. Menurut masyarakat, pembiaran lahan oleh perusahaan tersebut bertujuan memisahkan pemukiman masyarakat dengan areal kelola perusahaan yang sudah ditanami akasia. Pada sisi lain,
169
perusahaan menganggap lahantersebut termasuk dalam areal konservasi yang tidak boleh ditanam akasia oleh perusahaan. Aktivitas warga dalam membuka lahan dilaporkan kepada aparat perusahaan. Aparat perusahaan menyatakan: ”Pembukaan lahan di areal konsesi perusahaan tidak boleh dilakukan. Suatu waktu lahan tersebut akan digarap oleh perusahaan.”
Tidak ada tindakan menghentikan kegiatan warga. Aparat perusahaan menyerahkan urusan ini kepada pemerintah desa dan kecamatan. Masyarakat menganggap sikap lunak yang diperlihatkan aparat perusahaan tersebut merupakan hal yang tidak biasa. Ternyata, sikap lunak itu berhubungan dengan kategori lahan yang tidak masuk dalam kalkulasi untuk ditamani pihak perusahaan. Perusahaan tidak menggarap dan membiarkan lahan tersebut dengan tujuan untuk menciptakan jarak pemisah antara pemukiman warga dengan areal tanaman perusahaan. Namun, masyarakat tidak peduli dengan strategi perusahaan. Masyarakat terus memastikan klaim atas lahan dengan menanam sawit, pinang, nanas, dan membangun pondok kerja di areal kebun tersebut. Masyarakat tidak berhenti setelah membentuk kelompok dan menanami lahan. Tahun 2009, hadir proyek kolaborasi pembangunan hutan tanaman industri antara masyarakat dengan perusahaan melalui fasilitasi Kementerian Kehutanan RI. Merespons kehadiran proyek kolaborasi tersebut, tiga kelompok yang telah dibentuk oleh warga bergabung menjadi Kelompok Harapan Mulya Lestari (HML). Kelompok HML membentuk struktur kepengurusan baru meliputi: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan tiga koordinator blok kerja. Adanya struktur koordinator blok kerja dimaksudkan sebagai akomodasi terhadap eksistensi tiga kelompok yang sudah ada sebelumnya. Kehadiran proyek kolaborasi hutan tanaman disambut antusias oleh masyarakat desa Praha. Masyarakat melihat proyek ter-
170
sebut sebagai proses melegalkan penguasaan lahan yang sudah dilakukan sejak tahun 2004. Melalui fasilitasi pihak ketiga, masyarakat dan perusahaan membangun kesepakatan secara legal-formal untuk menjamin pencapaian tujuan kedua pihak. Kesepakatan penting yang dilegalisasi kedua pihak meliputi: (1) Membangun kerjasama antara masyarakat dan perusahaan yang mengarah pada kemitraan untuk memelihara fungsi kawasan hutan negara. (2) Memelihara kawasan hutan negara agar fungsi lindung (ekologis), ekonomi (produksi), dan fungsi sosial tetap terjaga. (3) Membangun kehidupan bersama secara harmonis antara masyarakat dan perusahaan. (4) Membangun percontohan pendekatan resolusi konflik sosial. Proses melahirkan kesepakatan kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan memperlihatkan berlakunya strategi dan taktik berciri perlawanan. Kebiasaan menarik ulur agenda pembahasan dan gonta-ganti (change repeatedly) delegasi dalam proses negosiasi kesepakatan, merupakan taktik yang dijalankan kedua belah pihak dalam proses membangun kesepakatan kolaborasi. Pola-pola perlawanan yang dijalankan masyarakat sejalan dengan konstruksi sosial-ekonomi yang melingkupinya. Inisiasi penguasaan hutan oleh masyarakat berlanjut kepada proses-proses integrasi melalui skema berciri legal-formal. Fenomena serupa juga terjadi di tempat lain. Kajian Maring (2010) tentang penguasaan hutan di Flores memperlihatkan klaim penguasaan sumberdaya hutan melalui pola perlawanan diintegrasikan dengan proses legal-formal. Pola perlawanan masyarakat yang memperoleh legalitas formal menambah kenyamanan dan keberlanjutan bagi masyarakat dalam mewujudkan tujuan menguasai sumberdaya alam. Pola perlawanan tidak hanya berlangsung dalam penguasaan lahan. Saat melakukan protes kepada perusahaan karena lalulintas kendaraan perusahaan yang merusak jalan dan menyebabkan debu menyelimuti rumah warga, masyarakat melakukan aksi pemblokiran jalan. Cara demikian berakhir ketika perusahaan
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
melakukan perbaikan jalan dan secara rutin menyirami jalan yang dilewati kendaraan pe rusahaan. Aksi-aksi penebangan kayu di areal konsesi pun dilakukan warga melalui cara diam-diam dan tersembunyi. Saat membuka lahan di areal konsesi perusahaan, masyarakat memilih lahan yang tidak dikelola perusahaan. Lahan yang sedang digarap perusahaan dihindari masyarakat karena mereka menyadari akan ditentang perusahaan. Pilihan metode dan cara melakukan aksi tersebut memperlihatkan berlakunya strategi perlawanan. Selama masa reformasi, konflik terbuka antara masyarakat desa Praha dengan perusahaan jarang terjadi. Kecuali pada tahun 2006 terjadi demonstrasi masyarakat untuk menuntut pembebasan seorang warga Praha yang ditangkap polisi karena menebang pohon di areal konsesi perusahaan. Padahal, di luar Desa Praha sering terjadi aksi konfrontatif dan terbuka oleh masyarakat untuk menduduki dan menguasai areal konsesi perusahaan melalui dukungan pihak lain dari luar desa. Perlawanan perusahaan. Selain strategi perlawanan masyarakat, perusahaan pun menjalankan strategi berciri perlawanan dalam merespon tuntutan masyarakat. PT Swakarya adalah perusahaan pemegang ijin pengusahaan hutan negara yang berbatasan langsung dengan Desa Praha. Pola hubungan antara masyarakat dengan perusahaan bersifat khas. Pada tahap awal, PT Swakarya merekrut masyarakat menjadi petugas keamanan (security). Sekitar 10 orang warga yang berpengaruh di desa direkrut menjadi tenaga security. Mereka direkrut karena dinilai mengetahui potensi konflik di masyarakat yang bisa mengganggu aktivitas perusahaan. Persyaratan lain adalah tenaga security harus siap menindak warga yang mengganggu aktivitas perusahaan.Strategi perusahaan ini berjalan mulus karena masyarakat lebih menyukai posisi kerja sebagai tenaga security dibanding tenaga kerja harian. Untuk mendukung operasional kebun, perusahaan mendatangkan tenaga dari luar Desa karena upah lebih murah. Padahal, dari sisi
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
kedekatan geografis mestinya warga desa Praha memiliki peluang lebih besar untuk dilibatkan sebagai tenaga kerja perusahaan. Strategi membayar upah di bawah standar upah lokal mengurungkan niat warga Praha menjadi tenaga kerja, dan sekaligus menjustifikasi mobilisasi tenaga kerja dari luar desa. Tenaga kerja dari luar desa sulit menolak upah murah. Mereka tidak leluasa pergi-pulang dan sulit mengambil keputusan pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan karena jarak terdekat dari tempat tinggal mereka dengan areal kerja perusahaan adalah 22 Km. Semua aktivitas persiapan lahan hingga penanaman di areal konsesi PT Swakarya dilakukan tenaga kerja dari luar desa. Terlihat di sini, strategi perekrutan tenaga kerja harian tidak lepas dari taktik pengamankan aktivitas perusahaan (Utama 2009). Sebagai pemegang ijin, upaya perusahaan mencapai tujuannya selalu bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Namun, pola pendekatan perusahaan terhadap masyarakat lebih bersifat formalitas dan administratif. Skema community development sebagai bentuk tanggung jawab sosial merupakan mekanisme yang diandalkan perusahaan dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Formalitas bantuan yang diberikan perusahaan melalui pemerintah desa dan kecamatan tidak efektif dan tidak sampai ke warga yang seharusnya mendapatkannya. Mekanisme ini, di satu sisi membuat perusahaan merasa bangga karena telah membantu masyarakat, namun lahir kecemburuan sosial dan kecurigaan di tingkat masyarakat. Terlihat bahwa bantuan melalui skema community development yang tidak dikelola secara baik meninggalkan kesan sekadar taktik meredam tuntutan masyarakat dan mengamankan aktivitas perusahaan. Dalam proses membangun kolaborasi dengan masyarakat, aparat perusahaan yang terlibat dalam proses negosiasi biasa menerapkan strategi dan taktik menunda agenda pertemuan, menghindari pertemuan, dan gonta-ganti (change repeatedly) mengirim utusan dalam
171
proses negosiasi dengan masyarakat. Strategi dan taktik yang diterapkan perusahaan tersebut memperlihatkan karakter perlawanan. Implikasi teoritis: Kekuasaan yang Bekerja melalui Perlawanan Pendekatan kualitatif dengan perspektif perlawanan dan hubungan kekuasaan telah memengaruhi penulis memahami dan menginterpretasi realitas hubungan sosial antara masyarakat dan perusahaan dalam penguasaan sumberdaya hutan. Pola hubungan yang dijalankan masyarakat dan perusahaan merefleksikan model perlawanan. Melalui strategi dan taktik perlawanan, masyarakat telah menguasai sumberdaya hutan yang secara legal-formal merupakan hak perusahaan. Masyarakat Desa Praha menghadang aktivitas perusahaan dengan cara menghalangi truk pengangkut kayu, menebang pohon secara sembunyi-sembunyi, mengolah lahan di areal konsesi, dan menanami lahan dengan tanaman kelapa sawit, pinang, dan nanas. Pada sisi lain, perusahaan meredam klaim dan gangguan masyarakat melalui cara melibatkan mereka sebagai security, memberi bantuan sosial melalui skema community development, menarik ulur agenda dengan masyarakat, gonta-ganti delegasi dalam proses negosiasi dengan masyarakat, dan membangun pemisah areal konsesi dengan pemukiman masyarakat. Pemaknaan dan interpretasi terhadap realitas hubungan sosial tersebut tidak hendak berhenti pada pemahaman atas fenomena perlawanan. Apalagi berhenti pada kepuasan menarasikan romantisme hubungan antara kaum lemah terhadap kaum penguasa. Seperti kritik Abu-Lughod (1989: 41-42), berhenti pada kepuasan menarasikan perlawanan masyarakat membuat kita kehilangan kesempatan untuk menghubungkan bentuk-bentuk perlawanan dengan dinamika hubungan kekuasaan yang berciri dinamis. Padahal, melalui perlawanan tersebut berbagai strategi dan hubungan kekuasaan diperagakan atau diperlihatkan
172
masyarakat dan perusahaan. Abu-Lughod membuktikan melalui kajiannnya tentang perlawanan sehari-hari yang dijalankan kaum perempuan untuk menghindari kontrol dan pengaturan yang dilakukan keluarga dan lingkungan sosial. Kaum perempuan melakukan penghindaran dan aksi tersembunyi, menjalin kerjasama antarperempuan, dan melantunkan puisi-puisi bernada sindiran. Bentuk perlawanan demikian adalah manifestasi dari strategi dan hubungan kekuasaan (Abu-Lughod 1989; lihat Maring,2010a).7 Hal serupa dijalankan masyarakat Desa Praha dalam menghadapi perusahaan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa polapola perlawanan yang dijalankan masyarakat dan perusahaan merupakan strategi dan taktik yang direncanakan, dipelajari, dan memiliki rasionalitas dalam menghadapi pengaruh pihak lain. Dalam kerangka ini, penulis memaknai fenomena perlawanan yang terjadi sebagai sebuah fenomena hubungan kekuasaan yang dijalankan pihak tertentu melalui strategi dan taktik tertentu untuk memengaruhi pihak lain agar tunduk dan patuh pada pihak tertentu. Dalam konteks hubungan antara kekuasaan dan perlawanan, Foucault menyatakan bahwa mekanisme kerja kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari perlawanan. Di mana kekuasaan bekerja pasti ada perlawanan. Perlawanan tidak pernah berada di luar hubungan kekuasaan, ia ada karena adanya kekuasaan” (Foucault 1980: 141-142; Abu-Lughod, 1989; Haryatmoko 2003: 228-229; lihat juga pandangan Foucault dan Abu-Lughod dalam Maring 2010a).8 Pemaknaan fenomena perlawanan sebagai sebuah fenomena hubungan kekuasaan membawa konsekuensi untuk memahami perlawanan sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan selalu dihubungkan dengan pihak lain. Konsekuensi ini sejalan dengan pemaknaan kekuasaan sebagai sebuah kompleks strategi 7 Analisis Abu-Lughod dipengaruhi kerangka pikir Foucault (1980). 8 Menurut Haryatmoko, memahami kekuasaan bisa dilakukan dengan cara mengungkap bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuasaan (Haryatmoko, 2003: 228-229).
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
dinamis yang datang dari berbagai arah dan dari pihak manapun untuk memengaruhi pihak lain.9 Dengan demikian, fenomena perlawanan yang dijalankan oleh masyarakat desa Praha berhubungan dengan pihak-pihak lain yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Dalam konteks kasus penguasaan hutan yang dibahas di sini, pihak lain itu diidentifikasi sebagai pengusaha, aparat perusahaan, dan pemerintah pusat dan daerah. Pilihan taktik dan strategi perlawanan yang dijalankan masyarakat tentu berhubungan dengan taktik dan strategi yang dijalankan pihak perusahaan dalam upaya menguasai sumberdaya hutan. Melalui perspektif kekuasaan, fenomena perlawanan yang dijalankan perusahaan tentu berhubungan dengan pihak lain, terutama masyarakat Desa Praha yang bersentuhan kepentingan dengan perusahaan. Pola-pola penghindaran yang dilakukan perusahaan, yaitu tidak melibatkan warga Praha menjadi tenaga kerja perusahaan, membangun jarak dengan pemukiman warga melalui zona penyanggah, dan pola pemberian bantuan sosial sebagai peredam konstraksi sosial, tentu berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Dalam proyek kolaborasi pembangunan hutan tanaman, perusahaan menerapkan strategi menarik ulur agenda dan terus-menerus mengganti delegasi dalam proses negosiasi dengan masyarakat. Pilihan strategi dan metode yang disesuaikan dengan dinamika sosial dalam masyarakat. Terlihat di sini bahwa strategi dan taktik yang dijalankan perusahaan diarahkan untuk melindungi dan mewujudkan tujuan perusahaan, yaitu meraih keuntungan ekonomi skala besar. Dalam perspektif kekuasaan, terlihat bahwa strategi dan taktik yang dijalankan masyarakat dan perusahaan tidak berlangsung dalam ruang kosong. Strategi dan taktik perlawanan selalu dilaksanakan dalam ruang sosial yang dinamis-kompleks dan selalu dalam konteks relasi dengan pihak lain. Hal ini sejalan dengan pandangan Foucault bahwa kekuasaan 9 Lihat pandangan Foucault (1980) tentang hubungan kekuasaan.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
itu selalu berlangsung dalam konteks relasi dengan pihak lain (lihat dalam Maring 2010a: 16). Hal ini membawa implikasi bahwa kajian perlawanan tidak cukup hanya berhenti pada deskripsi atau narasi atas pola perlawanan yang dijalankan suatu pihak, tetapi harus dilihat dalam konteks hubungan dengan taktik dan strategi yang dijalankan pihak lain. Dalam konteks kajian ini, terlihat bahwa analisis atas pola perlawanan yang dijalankan masyarakat Desa Praha menjadi bermakna dan memiliki kejelasan rasionalitas ketika dikaitkan dengan tujuan perusahaan demi keuntungan ekonomi. Sebaliknya, narasi pola perlawanan perusahaan menjadi jelas konteksnya ketika dihubungkan dengan upaya masyarakat Desa Praha dalam mewujudkan tujuan menguasai sumberdaya hutan demi pemenuhan kebutuhan sosialekonomi masyarakat. Implikasi praktis dari dinamika pola perlawanan yang selalu berada dalam relasi ini memberi manfaat dalam proses fasilitasi untuk membangun power-sharing antar pihak dalam konteks penguasaan sumberdaya hutan. Konsekuensi lain dengan menempatkan perlawanan sebagai strategi kekuasaan adalah memperhatikan orientasi strategi dan taknik pada pencapaian tujuan (kekuasaan). Analisis ini memperlihatkan kekhasan strategi perlawanan yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan (kekuasaan) masing-masing pihak. Pola perlawanan memperlihatkan masingmasing pihak berkonsentrasi memelihara dan mewujudkan tujuannya. Yang dipentingkan dan diutamakan dalam strategi perlawanan adalah bagaimana masing-masing pihak bisa mewujudkan tujuannya. Pihak yang satu tidak secara langsung menghalangi pihak lain sejauh tujuannya tidak terganggu. Hal ini yang membedakan model perlawanan dengan model konflik yang diarahkan untuk merebut atau menggagalkan tujuan pihak lain. Penelitian ini memperlihatkan bahwa masyarakat Desa Praha berkonsentrasi mewujudkan tujuan untuk menjadikan sumberdaya hutan sebagai basis livelihood mereka. Pada sisi lain, perusahaan
173
berkonsentrasi mewujudkan tujuan menjadikan sumberdaya hutan sebagai basis pencapaian keuntungan ekonomi skala besar. Penutup Pendekatan kualitatif dengan perspektif hubungan kekuasaan mengonstruksi interpretasi terhadap strategi perlawanan antara masyarakat dan perusahaan sebagai sebuah pentas hubungan kekuasaan. Melalui strategi dan taktik perlawanan, masyarakat telah menguasai sumberdaya hutan yang secara legal-formal merupakan hak perusahaan. Sebaliknya, melalui strategi dan taktik perlawanan, perusahaan telah berhasil meredam aksi masyarakat dan mewujudkan tujuan meraih keuntungan secara ekonomi. Strategi yang dijalankan masyarakat dan perusahaan merupakan strategi kekuasaan yang dimaknai sebagai ikhtiar untuk saling memengaruhi dan mewujudkan tujuan masingmasing. Penelitian ini menegaskan konsekuensi analisis yang menempatkan perlawanan sebagai strategi hubungan kekuasaan, yaitu: (a) perlawanan harus dimaknai sebagai fenomena yang kompleks dan bukan sebuah
faktor tunggal. Perlawanan selalu ada bersama dengan nuansa hubungan sosial lainnya seperti konflik sosial dan kolaborasi. (b) Perlawanan selalu berlangsung dalam konteks relasi dengan pihak lain. Implikasinya adalah analisis perlawanan tidak cukup hanya berhenti pada deskripsi strategi dan taktik perlawanan yang dijalankan suatu pihak, tetapi harus dilihat dalam konteks hubungan dengan strategi dan taktik yang dijalankan pihak lain. Perlawanan masyarakat memiliki kejelasan rasionalitas ketika dikaitkan dengan tujuan perusahaan. Sebaliknya, perlawanan perusahaan menjadi jelas konteksnya ketika dihubungkan dengan tujuan masyarakat. (c) Analisis perlawanan harus memberi konsentrasi pada orientasi pencapaian tujuan kekuasaan. Tujuan utama strategi dan taktik perlawanan adalah bagaimana masingmasing pihak bisa mewujudkan kepentingannya dan tidak secara langsung menggagalkan kepentingan pihak lain. (d) Implikasi praktis dari analisis ini adalah memberi manfaat dalam membangun keseimbangan power-sharing para pihak dalam konteks penguasaan sumberdaya hutan.
Daftar Pustaka Abu-Lughod, Lila 1989 The Romance of Resistance: Tracing Transformations of Power Through Bedouin Women, Princenton University: American Ethnologist. Awang, San Afri 2006 Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Jogyakarta: Debut Press. Chrysantini, Pinky 2010 “Di Balik Panggung Reforma Agraria: Perjuangan Tersembunyi Perempuan Tani”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 31 No. 3, hlm. 185-199. Dimyati, Ipit S. 2004 “Jeprut: Perlawanan terhadap Hegemoni Kekuasaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol.28 No. 75, hal. 79-100. Creswell, John W. 2010 Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
174
Maring, Kekuasaan yang Bekerja...
Foucault, Michel 1980 Power/Knowledge. New York: Pantheon Books. Haryatmoko 2003 Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit KOMPAS. Lubis, Zulkifli B. 2005 “Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 29 No. 3, hal. 239-254. Maring, Prudensius 2009 ”Participatory Rural Appraisal Untuk Pembangunan Hutan Tanaman Kolaboratif (Kasus Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan)”, Laporan Proyek Strategy For Developing Platation Forest: A Conflict Resolution Approach In Indonesia, Jakarta; ITTO PD 396/06 Rev.2(F). 2010b “Strategi Perlawanan Berkedok Kolaborasi: Sebuah Tinjauan Antropologi Kasus Pengusaan Hutan”, Buletin PARTNER, Kupang, ISSN:0852-6877. 2010a Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi Tentang Perebutan Sumberdaya Ekologi, Jakarta: Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia. 2013 “Transformasi Konflik Menuju Kolaborasi: Kasus Resolusi Konflik Penguasaa Hutan”. Buletin INSANI, ISSN: 0216-0552. No. 14/1/Juni 2013, hal. 51-60. 2014 “Konstruksi Tata Kelola Sumberdaya Ekologi Berbasis Nilai Sosiokultural Masyarakat Lokal dan Perusahaan Swasta”. Makalah Seminar nasional Universitas Trilogi, Jakarta, Tanggal 11-12 Maret 2014. Peluso, Nancy Lee 2006 Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa, Terjemhan, Jakarta: KONPHALINDO. Persoon, G. A., Diny M.E van Est, and Tessa Minter 2005 “Decentralisation on Natural Resource Management: Some Themes and Unresolved Issues”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 29 No. 3, hal. 225-238. Saifuddin, Achmad Fedyani 2005 Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media. Santoso, Hery 2004 Perlawanan di Persimpangan Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa,Yogyakarta: Yayasan Damar. Scott, James C. 1993 Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Utama, Suwignya 2009 Laporan Survei Sosial Ekonomi dalam Rangka Kolaborasi Pembangunan Hutan Tanaman Antara Perusahaan Bersama Masyarakat: Kasus Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan, Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2(F).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 2 2013
175
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komuniti, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274. Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.
copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected] Website: http://journal.ui.ac.id/jai
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 2 2013
The Ritual of Khanduri Bungong Kayèe 88 (An Ethnographic Study in West Labuhan Haji-South Aceh) Abdul Manan Upaya Pencegahan Perceraian 101 Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat Fachrina dan Rinaldi Eka Putra Ideological War in Inclusive Twitter: #IndonesiaTanpaJIL versus Jaringan Islam Liberal Sindhunata Hargyono
113
Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang) Zainal Arifin
124
Memahami Sistem Pengetahuan 134 Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan Leny Veronika
‘Pokok Hari Nyalah’: 152 Catatan Budaya (Lokal) dalam Membaca Perubahan Iklim (Global) Pangeran P.P.A. Nasution
Kekuasaan yang Bekerja 164 Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Perusahaan Prudensius Maring Karakteristik Anak Jalanan 176 dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Erwin