ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013
Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)
Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013
Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana
Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana
Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi
Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis
Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013
Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum
1
Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola) Hendra
15
Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami
29
Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara
41
Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja
59
‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto
75
Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi
91
Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.
Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasyarakatan “X”1 A. Josias Simon Runturambi Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia2
Abstrak Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai masyarakat di balik tembok Lapas. Pertanyaan utama adalah budaya penjara bagaimana yang melandasi kehidupan sosial di Lapas. Telaahan dalam penelitian ini dilandasi pemikiran antropologis Lapas adalah semi autonomous social field (SASF). Penelitian lapangan dilakukan selama tiga tahun, melibatkan 14 informan kunci narapidana dan 12 petugas Lapas X. Hasil telusuran lapangan menunjukkan keterbatasan dan deprivasi di Lapas muncul sebagai tafsir aktor bukan lembaga. Analisis penelitian memperlihatkan arena sosial di Lapas bersifat sementara dan mudah berubah. Berbagai kesepakatan diciptakan, dibentuk dan dipertahankan aktor sesuai konteks, dan menjadi acuan berperilaku di Lapas. Realitas ini menunjukkan berlakunya budaya penjara dinamis di Lapas X. Kata Kunci: Budaya Penjara, Lapas, Semi Autonomus Social Fields, Aktor, Konteks Abstract This paper is an ethnographic study to understand the prison’s culture in the correctional institutions “X”. The writer has examined carefully the way of living day by day directly and raised a variety of mutual agreements among the residents behind the prison walls. The results in the investigation field shows the limit and deprivation that appears as an interpretation actor, not the institution, that occur according certain contexts. The prison’s culture not only discuss informal agreement but how the agreements can be maintained by the actors in everyday’s life utilization in fulfilling the needs and self-interests Keyword: Prison’s Culture, Correctional Institution, Semi Autonomous Social Fields, Actor, Context
1 Tulisan ini merupakan bagian dari Hasil Penelitian Disertasi Penulis berjudul Budaya Penjara: Studi Di Lembaga Pemasyarakatan X, Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia, Desember 2011. 2 Staf Pengajar Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. E-mail: “
[email protected]”
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
91
Tulisan ini merupakan hasil penelitian etnografi yang berfokus pada budaya penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) X. Tujuan etnografi ini secara khusus untuk menambah pengertian tentang keberadaan masyarakat di balik tembok penjara dari pengalaman narapidana yang hidup serta petugas yang bekerja dalam Lapas. Diharapkan studi ini dapat menunjukkan bagaimana budaya penjara terbangun dan melandasi bekerjanya Lapas X pada kenyataan. Hasil penelitian penulis menunjukkan budaya penjara dipahami tidak lagi berbasis pada institusi atau lembaga sebagaimana dipergunakan penelitian-penelitian tentang penjara selama ini, tetapi berbasis pada peran aktor dan konteks. Perubahan cara pandang terhadap budaya penjara ini dilandasi temuan lapangan dan analisis kehidupan sosial di Lapas X. Sebelum mendeskripsikan budaya penjara yang ditemukan di Lapas X, penulis terlebih dahulu mengangkat gambaran budaya penjara sebagaimana dimaksud literatur dan penelitian-penelitian terdahulu. Konsepsi Budaya Penjara Pengertian budaya penjara awalnya diperoleh bersumber dari literatur dan penelitian yang telah ada. Berbagai literatur dan penelitian terdahulu secara garis besar membicarakan budaya penjara berangkat dari pertanyaan utama: adakah budaya dalam penjara dan adakah tiap penjara mempunyai budaya berbeda. Erving Goffman dalam buku Asylum (1961) mengatakan mereka yang masuk ke dalam penjara baik itu petugas maupun terhukum, memasuki institusi penjara dengan ”presenting culture derived from his home world” (Goffman, 1961:13). Goffman mengemukakan bahwa adaptasi institusional pada institusi total penjara sebagai disculturation, secara tegas Goffman menjelaskan tidak terjadi akulturasi budaya dalam penjara, meski petugas dan terhukum menghadirkan budaya masingmasing dari luar penjara. Ulasan Goffman ini tidak disetujui para ahli sosial, mereka memandang dalam penjara justru berlangsung akulturasi budaya. Budaya dalam penjara muncul
92
karena keterbatasan-keterbatasan dan deprivasi dalam penjara (pain of imprisonment). Konsepsi budaya penjara timbul sebagai upaya terhukum menghadapi berbagai keterbatasan dan deprivasi selama berada dalam penjara. Menurut sejumlah literatur, budaya penjara menggambarkan munculnya kesepakatankesepakatan (informal) dalam masyarakat penjara sebagai akibat keterbatasan dan deprivasi selama di penjara. Pengertian secara literatur ini dikemukakan Donald Clemer (1940) melalui konsep prison commnunity (inmates subculture), Gresham M Sykes (1958) dengan konsep society of captives, Irwin & Cressey (1964) dengan prison subculture, Ellis Finskelstein (1993) dalam rules of relationship (prison rules). Dari sejumlah konsepsi ini, diperoleh kejelasan bahwa masyarakat penjara terdiri dari sejumlah terhukum yang membentuk budaya penjara karena lilitan keterbatasan dan deprivasi. Lawrence M. Friedman (1977) menambahkan timbulnya kesepakatankesepakatan, yang dikenal budaya penjara, tak lepas dari budaya hukum dalam suatu sistim peradilan. Penjara hanya salah satu subsistem peradilan. Penjara sangat tergantung kondisi yang ditampilkan dalam proses peradilan. Friedman mengaitkan budaya hukum dan budaya penjara sebagai acuan yang dipergunakan ahli sosial menelaah kehidupan sosial penjara. Dalam perkembangannya, konsepsi budaya penjara tidak hanya dipergunakan mengulas kesepakatan-kesepakatan dalam kehidupan penjara, tapi bagaimana kesepakatan-kesepakatan itu dipertahankan, dilanggengkan atau diwariskan diantara para anggota masyarakat penjara. Masyarakat penjara tidak hanya mencakup terhukum (inmates) semata tapi melibatkan petugas (officer) dalam mempertahankan kesepakatan-kesepakatan bersama agar terus eksist. Pelanggengan kesepakatan tidak bisa dilakukan sepihak, tapi harus melibatkan pihak lain. Kiran Bedi (2003) mendefinisikan keadaan ini sebagai subbudaya penjara berupa pelanggengan perilaku dimana semua pihak terlibat, ikut serta membentuk kehidupan sosial di dalam penjara. Pemahaman ini mendorong cara pandang
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
menelaah budaya penjara tidak lagi memakai kacamata institusi atau lembaga, tapi mengacu pada individu atau aktor yang berperan melanggengkan berbagai kesepakatan tersebut. Keberadaan aktor dalam pembentukan budaya dalam kehidupan penjara didukung pemikiran ahli sosial seperti Foucault (1977), Rhodes (2001) dan Kip Coggins (1996). Foucault (1977) mengulas penjara dengan mengemukakan panoptikon sebagai bentuk penaklukan nonkorporal dalam penjara, yang tidak memerlukan pemaksaan fisik menginternalisasi kuasa penaklukan ke dalam diri terhukum. Panoptikon mampu mengintervensi individu terhukum tiap saat tanpa merasa diintervensi. Foucault tidak secara spesifik membicarakan aktor, tapi menggunakan istilah sistim carceral yang tersebar menyentuh terpidana sebagai penghukuman, menyebar melalui carceral network. Senada dengan Foucault, keberadaan aktor di penjara diangkat Rhodes (2001) berfokus pada perhatian politis bahwa hampir setengah isi penjara di Amerika Serikat dihuni kulit berwarna. Bagi Rhodes (2001) penjara bukan lagi lembaga koreksi, tapi tempat penghukuman individu-individu pelanggar kebijakan kriminal mayoritas berasal dari kelompok sosial tertentu. Rhodes menekankan terhukum sebagai individu mewakili identitas kelompok sosial tertentu. Uraian Foucault dan Rhodes menjembatani pentingnya melihat aktor sebagai pembentuk budaya dalam kehidupan sosial penjara. Kip Coggins (1996) melanjutkan penjara mempunyai budaya nyata (true culture) dimana terhukum dan petugas familiar dengan nilai dan norma penjara, pengetahuan serta tingkah laku yang diharapkan, internalisasi nilai-nilai, beliefs dan sikap. Kip Coggins (1996) secara spesifik membicarakan budaya penjara sangat bergantung pada posisi narapidana dan petugas sebagai individu (aktor) yang membentuk dan menjadi bagian dari budaya dalam penjara itu sendiri. Kip Coggins (1996) mengingatkan tidak akurat menyamakan budaya yang terbentuk diantara narapidana dan petugas dalam institusi penjara, dengan masyarakat di luar penjara, karena kondisi masyarakat terhukum dan petu-
gas dalam institusi penjara berbeda landasan fundamentalnya. Kip Coggins (1996) mengutip Marcus dan Fischer (1986) mencatat landasan dasar antropologi saat ini sudah berbeda, tidak lagi fokus pada studi masyarakat primitif dan terisolasi, tapi berubah, antropolog mengaplikasikan penelitian pada masyarakat non-tradisional seperti masyarakat di balik tembok penjara (Kip Coggin 1996: 2). Lebih jauh Kip Coggins (1996) memperkuat pemahaman pelanggengan kesepakatan di penjara disebabkan masyarakat di balik tembok penjara adalah masyarakat yang dibentuk, bukan terbentuk secara alami, nonvoluntary, dan familiar dengan norma-norma penjara itu sendiri. Semua partisipan dalam penjara adalah pendatang baru (newcomers) yang memasuki setting baru dengan membawa elemen budaya masyarakat mereka sendiri. Inti utama masyarakat penjara adalah perilaku para terhukum (narapidana). Geoffrey Hunt dan kawan kawan (1993), menjelaskan tidak penting melihat perdebatan culture (budaya) apakah sebagai produk dari lingkungan penjara ataukah perluasan dari subbudaya eksternal, tetapi dinamika kompleks kehidupan penjara terjadi karena timbulnya kelompok gang, peningkatan populasi (overkapasitas) maupun kebijakan baru penjara memanfaatkan narapidana. Persoalan penjara bertambah seiring meningkatnya fragmentasi narapidana, ketidakaturan, bahkan mereka yang berulang kali masuk penjara akan berhadapan dengan budaya penjara yang berubah (arbitrary) dan peristiwa-peristiwa bersifat sementara (ad hoc events). Begitu pula pengambilan keputusan dalam penjara tidak semata-mata diambil dari perilaku narapidana, tapi bersama dengan keputusan resmi dan tak-resmi petugas. Hubungan erat aktivititas di luar penjara dan aktivitas dalam penjara merupakan faktor penting dan akurat melihat budaya dan pengaturan penjara saat ini (Geoffrey Hunt, Stephanie Riegel, Tomas Morales, Dan Waldorf, 1993:407). Mengikuti Coggins dan Hunt, penulis memandang kesepakatan-kesepakatan bersama yang dilanggengkan merupakan inti utama
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
93
memahami realitas budaya penjara di Lapas. Para aktor membuat kesepakatan sebagai aturan informal bergerak kompetitif dengan aturan formal. Pelaksanaan aturan secara kompetitif menjelaskan keadaan semi autonomous social field (SASF), sebagaimana Moore (1973, 1983) menegaskan kondisi sosial ini dipelajari antropolog sebagai kenyataan yang menghasilkan aturan-aturan (rules), kebiasaan (custom) dan simbol simbol secara internal, meski rentan terhadap aturan-aturan dan kekuatan lain yang berasal dari luar (larger world). Lapas sebagai arena sosial semi-otonom, tidak sepenuhnya semi otonom, tapi bergantung pada pembentukan oleh aktor dan konteks kehidupan sosial di Lapas. Lima landasan fundamental budaya penjara dikemukakan Coggins (1996: 3) yaitu: Pertama, masyarakat di balik tembok penjara adalah masyarakat yang dibentuk, bukan terbentuk secara alami. Kedua, merupakan masyarakat non-voluntary. Ketiga, semua yang masuk institusi penjara mengalami akulturasi. Keempat, semua partisipan dalam penjara adalah pendatang baru (newcomers) yang membawa elemen-elemen budaya masyarakat mereka sendiri. Kelima, inti utama masyarakat penjara adalah para terhukum (inmates). Uraian Foucault, Rhodes dan Coggins menginspirasi penulis untuk menelusuri perkembangan konsepsi budaya penjara, dari cara pandang berbasis institusi bergeser ke arah aktor. Penulis sendiri menemukan konsepsi budaya jarang mendapat perhatian ditelaah bersama perkembangan penjara, padahal perkembangan konsepsi budaya dan penjara telah begitu kompleks dan beragam. Konsepsi budaya (penjara) terdahulu mengacu pengertian definitif kebudayaan sebagai suatu konsep terintegrasi (integrated), keseluruhan (as a whole), sistemik dan fungsional, sedangkan perkembangan baru pemahaman budaya (penjara) merujuk Geertz (Kip Coggins, 1996) memahami kekuatankekuatan yang membentuk budaya penjara (prison culture) dengan menelusuri respon para terhukum, keterbatasan serta ketidaknyamanan lingkungan penjara dimana mereka ditempatkan
94
(Coggins, 1996: 3). Kebudayaan sebagaimana uraian Geertz adalah dialektika model of dan model for. Model of mengakomodasikan penjara sebagai struktur ideal (cara pandang institusi) dan model for mengacu pada kenyataan (cara pandang aktor) yang berlangsung dalam penjara. Perkembangan konsepsi budaya (penjara) ini membawa konsekuensi memahami kehidupan sosial Lapas dalam sisi panggung depan kehidupan normatif di Lapas, dan sisi panggung belakang realitas kehidupan sehari-hari dalam Lapas. Semakin intens dan sering seorang peneliti di lapangan terlibat langsung dalam rutinitas kehidupan Lapas, maka panggung belakang menjadi arena penelitian dan pengamatan yang sarat dengan relasi-relasi sosial unik di penjara. Panggung belakang mendasari cara pandang berbeda dari aturan ideal Lapas, tetapi bukan berarti ditiadakan begitu saja. Relasi-relasi sosial unik dipergunakan dan dimanfaatkan mencapai tujuan tertentu dalam rangka survival. Lingkungan Lapas yang sempit dan terbatas membuat aktor narapidana dan petugas menciptakan dan memelihara kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk survive, selain menghabiskan waktu luang sesuai masa hukuman yang ditetapkan. Mengacu telaahan ini penulis membangun pemahaman budaya (penjara) melalui proses penelusuran panggung depan dan panggung belakang, dengan mengikuti, mengalami dan merasakan langsung kehidupan rutin dalam Lapas, sebagaimana ciri khas penelitian antropologi yaitu memahami budaya sebagai suatu kenyataan yang dirasakan dan dialami seorang peneliti di lapangan. Pemikiran utama tulisan ini adalah budaya penjara dibentuk, dibangun atas dasar kesepakatan-kesepakatan bersama, dijaga dan dipelihara para aktor sesuai konteks pemenuhan kebutuhan dan kepentingan, demi keberlanjutan (survive) dan keseimbangan kehidupan di dalam Lapas. Kesepakatan ini melibatkan narapidana dan petugas, bekerja sama dalam unit-unit kerja maupun ruang tertentu, tetapi tidak semua narapidana atau petugas ikut serta dan terlibat. Hal ini melandasi pemikiran Lapas sebagai semi
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
autonomous social field (SASF). Kehidupan sosial di Lapas yang serba terbatas dan dibatasi, memungkinkan pula terjadi perlawanan (resistensi), sebagaimana dikemukakan Scott (1985: 29), resistensi sebagai bagian perjuangan sehari-hari. Bagi narapidana bisa berlangsung seperti berpura-pura taat, mengelabui (modus), mencuri kecil-kecilan, purapura bodoh, membuat keributan, sampai menyelundupkan barang terlarang, melarikan diri, bahkan melawan petugas. Hal ini sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada dalam struktur tidak menguntungkan, terwujud dalam bentuk represi sehari-hari atau dikenal dengan perlawanan sehari-hari. Resistensi narapidana ini disebabkan antara lain penderitaan–penderitaan yang dialami, Gresham M Sykes menguraikan penderitaan-penderitaan (pains of imprisonment) tersebut terdiri dari 1. Broken Relationship with family and double lose of liberty (hilangnya kebebasan dan retaknya hubungan dengan keluarga). 2. Lost control of these goods and service (kehilangan kontrol atas barang-barang dan jasa). 3. Deprivation of heterosexual relationship (kehilangan kebutuhan hubungan heteroseksual). 4. Their lose of autonomy (kehilangan otonomi diri sendiri) 5. Deprivation of a sense of security (hilangnya rasa aman) (Larry J. Siegel, 1983 : 542). Kesepakatan bersama dalam rangka pemenuhan kebutuhan maupun resistensi sehari-hari, memperlihatkan Lapas sebagai arena semi otonom (SASF) yang batas-batasnya bukan ditentukan oleh aturan organisasi, tetapi oleh ciri prosesual, aktor dan konteks, dalam melanggengkan aturan-aturan lokal, ketaatan serta sanksi yang melekat pada aturan informal. Jalinan kesepakatan yang dibentuk para aktor melibatkan petugas dan narapidana tertentu yang mempunyai kapasitas menghasilkan aturanaturan, kebiasaan dan simbol-simbol tersendiri. Strategi Penelitian Ke Lapas X Lapas sebagai institusi memiliki batasanbatasan normatif. Akses masuk dan mengamati
kehidupan sosial di balik tembok Lapas X sangat terbatas. Lapas X tidak saja dibatasi batas-batas fisik tapi mempunyai batas-batas sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji berlaku agar para terhukum tidak saling berinteraksi secara bebas seperti umumnya masyarakat di luar penjara. Pembatasan fisik atas ruang gerak ini dilaksanakan sesuai aturan penghukuman (perundangan) yang dibuat para ahli hukum di luar penjara (legislator dan yudikator). Para terhukum (narapidana) merupakan bagian masyarakat penjara yang mempunyai kontrol kecil terhadap determinasi batas-batas fisik dalam institusi Lapas, berbeda dengan petugas mempunyai kontrol lebih besar terhadap pelaksanaan batas-batas fisik ini. Jika batas-batas fisik dapat diamati maka batas-batas sosial pun begitu. Dalam praktek, batas-batas sosial dan kewenangan mengaturnya diciptakan dan dimiliki bersama oleh aktor petugas dan narapidana. Batas-batas fisik dan sosial menimbulkan kesepakatan-kesepakatan diantara petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan kembali pelaksanaan batas batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Kehidupan sosial dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) berulang kali menjadi sorotan tayangan media visual maupun media cetak. Opini negatif bermunculan tentang keberadaan Lapas. Cara pandang melihat Lapas selama ini selalu didasarkan pada aturan formal sebagaimana tertuang dalam peraturan perundangan (Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Masuknya beragam terhukum (narapidana) dari beragam jenis kejahatan terkini, memberi cara pandang baru dan bentuk relasi baru antara petugas dan narapidana. Relasi hubungan ini mendasari interaksi saling membutuhkan sekaligus pemenuhan kepentingan timbal-balik. Untuk menelusuri budaya penjara di Lapas, penulis lakukan dengan pengamatan dari blok narapidana dan berperan sebagai petugas pemasyarakatan. Penelitian di Lapas X secara efektif dilakukan penulis selama kurang lebih 3 tahun, berlangsung mulai September 2007 sampai Agustus 2010. Setiap tahap pene-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
95
litian ini melibatkan sejumlah informan kunci, baik dari narapidana maupun petugas. Jumlah informan kunci narapidana sebanyak 14 orang (3 pemuka, 5 tamping, 6 narapidana biasa) dan petugas 12 orang (5 petugas keamanan, 5 petugas pembinaan, 2 wali blok). Dukungan dan informed consent para informan kunci menjadi pertimbangan utama memastikan lancarnya penelitian ke Lapas X, dan melalui rapport yang baik membuat mereka bersedia terbuka dan bersikap normal selama menjadi informan penelitian. Meneliti di Lapas X dilakukan karena Lapas ini termasuk salah satu Lapas problematik, overkapasitas meningkat tiga kali lipat dari kapasitas seharusnya, jumlah narapidana (tahanan) melebihi daya tampung, jumlah tahanan dan narapidana hampir berimbang, kasus narapidana (tahanan) narkoba meningkat hampir 65%, kasus narapidana meninggal cukup besar, serta kondisi kesehatan Lapas kurang baik, mudah terjadi penularan penyakit. Keuntungan meneliti di Lapas X adalah penulis bisa mengamati kehidupan sosial dari semua sisi dan sudut ruang fisik Lapas. Selain itu penulis bisa memperoleh banyak kawan dan teman narapidana untuk berbagi cerita tentang dunia kriminal maupun pengalaman unik dengan para petugas menghadapi terhukum (narapidana). Tak terlupakan saat awal meneliti Lapas penulis sempat kaget melihat kumpulan narapidana bergerombol dengan muka menyeramkan, badan bertato, melotot ke arah penulis. Rasa takut menghantui penulis seperti pra-anggapan bahwa Lapas itu seram, kotor, bau, dan sumber penyakit, tapi setelah menjalani dan mengalami peran sebagai peneliti, pra-anggapan itu berubah. Lapas ternyata bersih karena selalu dibersihkan mulai dari kamar, blok, dan ruang kantor oleh korve, tamping maupun petugas. Selama penelitian, penulis ikut pula menghadapi keadaan-keadaan kritis bersama petugas pengamanan maupun tamping, seperti saat ada pelarian, pemukulan, keributan, maupun mati lampu, kekurangan air, sampai narapidana sakit. Persoalan etnografis seorang peneliti Lapas (penjara) sebagaimana diungkap
96
Carol Martin (2000), melibatkan keberuntungan dan kesabaran hati, terutama saat menghadapi persoalan keamanan penjara. Kontrak penelitian penjara jarang diberikan pada orang baru, bahkan sulit mendapat pekerjaan sebagai peneliti penjara tanpa ada pengalaman dan akses. Realitas Budaya Penjara di Lapas Temuan di lapangan menunjukkan budaya dalam penjara di Lapas X berlangsung dinamis. Realitas yang dialami penulis dalam rutinitas keseharian di Lapas X mendorong penulis meninggalkan cara pandang institusional dalam menjelaskan kehidupan Lapas. Pendekatan teoritik lama yang terlalu mendikotomikan sumbersumber perubahan budaya penjara dianggap telah gagal mengungkap kompleksitas situasi di Lapas. Orientasi pemahaman budaya penjara bergeser dari landasan budaya statik (struktural/ sistemik) kearah aktor dan konteks (dinamis). Begitu pula dalam praktik, budaya penjara menjadi acuan berperilaku sesuai konteks kebutuhan dan kepentingan, bukan lagi mengacu aturanaturan yang ditetapkan atau disosialisasikan oleh institusi. Penelitian di Lapas X memperlihatkan kedinamisan keberlangsungan budaya di penjara, cara hidup di penjara ditandai dengan ciri unik yaitu realistis bergantung kesepakatan bersama, kesepakatan mudah berubah tergantung aktor, berubah disesuaikan kamar, blok dan perkantoran (office), mengutamakan kerjasama timbal balik, durasi (ketahanan) bergantung masa hukuman, cair mengikuti konteks kebutuhan dan kepentingan. Penulis menyaksikan dan merasakan sendiri kedinamisan aktivitas sosial dan rutin berlangsung interaktif baik di unit-unit kerja, maupun di kamar atau blok narapidana. Kesepakatan-kesepakatan berjalan begitu intens dalam ruang semi otonom yang dibentuk para aktor, ditandai gerakan-gerakan, isyarat, bahasa atau ucapan, seperti delapan-enam (86), cincai, cadong, modus, gaulan, je-em (GM), er (R), ngemel , kijang baru, KM, korve, buser, ngembet, brengos, sangkutan, wali, anak-kamar dan seterusnya (lihat Daftar Istilah).
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
Berlakunya kesepakatan-kesepakatan ini membuat terhukum (narapidana) menjalankan kesetiaan untuk mendapatkan kepercayaan, perlindungan, demi terpenuhinya kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, ada larangan menggunakan telepon genggam, praktiknya narapidana diam-diam menggunakan handphone. Hal ini mengambarkan bahwa mereka (narapidana) setia memberikan uang perlindungan kepada petugas tertentu demi kebebasan menelepon (handphone). Contoh lain, narapidana pembantu seharusnya membantu petugas mengawasi narapidana lain, tapi secara terselubung narapidana pembantu malah lebih setia pada sesama narapidana dibanding petugas, dengan membiarkan saja perilaku melanggar dilakukan narapidana lain karena solidaritas bergaul sesama narapidana. Kesepakatan bersama marak terkait pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemakaian handphone, interaksi dengan pihak keluarga, kebutuhan perut, membeli atau menjual rokok, roti, serta pemenuhan kebutuhan sekunder lain. Kesepakatan bersama mempergunakan bahasa tersendiri (lokal) yang hanya dimengerti penghuni di balik tembok Lapas. Bahasa pergaulan ini dipelajari terhukum atau narapidana (baru) untuk berinteraksi dan beradaptasi baik dalam kamar maupun blok, selain untuk mempererat hubungan dengan petugas dan tamping. Bahasa lokal dalam Lapas dipergunakan juga demi menjaga kerahasiaan aktivitas dalam Lapas dari amatan orang luar. Tiap narapidana mempunyai kebutuhan primer, sekunder dan tertier berbeda. Pemenuhan kebutuhan individu menjadi beragam, terwujud dalam kegiatan mengisi waktu luang, membuat kerajinan tangan, ikut pesantren, masuk anggota band, memakai handphone, memegang uang, mencari pemasukan, memenuhi kebutuhan
seksual, sampai memasukkan barang terlarang dan seterusnya. Kesepakatan bersama tampak dalam pemenuhan makan sebagai kebutuhan primer. Pemenuhan makan dimulai dari nasi cadong, makanan kantin, sampai pesanan rumah makan di luar Lapas. Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan, dengan cara membeli makanan dari luar Lapas oleh tamping luar atau petugas, bisa juga memesan melalui katering yang dibuat keluarga penghuni Lapas, asalkan mampu membeli dan membayar saja. Untuk memperoleh masakan langsung dari dapur, kesepakatan dibuat dengan tamping dapur, tamping kebersihan, tamping keamanan, dimana makanan bisa didapat dan dipesan dari dapur berupa lauk pauk dan sayuran olahan (selain cadong). Pesanan ini sering diperjual-belikan tanpa ketahuan karena terkait kebutuhan-perut narapidana. Makanan olahan dapur antara lain berupa sayur bening, tempe orek, tempe goreng, semur daging, oseng daging, nasi uduk atau nasi goreng. Makanan jenis ini tentu lebih menggugah selera dibanding nasi cadong. Bagi narapidana kurang mampu sering mensiasati makanan cadong dengan jenis makanan lain. Makanan cadong dicampur lauk mie rebus atau goreng, dan campuran lauk ini menjadi makanan lumayan nikmat bagi mereka, meski terkadang harus berebut dahulu mendapatkan “tembakan” (alat memasak air) sebagai alat memasak untuk mie dan air dalam kamar. Berbeda dengan narapidana mampu (elit), narapidana tak mampu seringkali hanya bisa melihat sejumlah makanan nikmat yang tersedia di ruang para elit, tapi tak boleh mencicipi makanan tersebut, kecuali menunggu belas kasihan elit untuk berbagi dengan mereka (Gambar 1). Gambar ini dibuat oleh salah satu narapidana sebagai media ekspresi menggambarkan suasana dalam Lapas, karena sebagian besar informan narapidana tidak boleh dan tidak bersedia ditampilkan fotonya.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
97
Gambar 1. Narapidana tak mampu hanya bisa melihat sejumlah makanan nikmat dalam kamar, tapi tak bisa mencicipinya
Gambar 1 menampilkan keadaan yang mirip dengan kondisi di kamar saat narapidana tak mampu hanya bisa menunggu narapidana elit selesai menikmati makanan yang dibeli dari luar Lapas. Dalam gambar 1 tampak seorang narapidana mengomel, ”Makan bagian cadong lagi deh”, padahal dihadapannya tersedia menu elit seperti sayur sop, ayam nuget, susu, semangka, ikan mas, dan kelengkapan makanan elit lain. Kesepakatan-kesepakatan bersama ini tidak berlaku sesaat, tapi berlangsung sesuai konteks kebutuhan makan, komunikasi, berdagang, hutang-piutang, kebutuhan seksual maupun kebutuhan hiburan lain (Diagram 1). Kesepakatan bersama melandasi timbulnya para penjual (pedagang) beserta barang dagangan di pelataran Lapas, menyebabkan banyaknya kasus bon atau hutang dalam Lapas. Keadaan ini menjadi peritiwa luar biasa dalam Lapas, setiap kali makan atau merokok dapat di bon atau hutang duhulu, tetapi tidak semua narapidana diperbolehkan ngebon oleh penjual, hanya dikhususkan bagi kepala kamar (KM), elit atau narapidana sering dibesuk saja. Narapidana tak mampu boleh mengutang untuk satu hari saja yaitu mengambil utangan saat pagi atau siang, dan sorenya sudah harus dibayar kembali. Seorang petugas Lapas menceritakan keadaan ini sebagai berikut:
98
“…Masalah yang sering dihadapi napi adalah soal utang piutang atau pinjam meminjam, jika sudah ramai persoalannya sampai ke wali, apalagi kalau omongan KM udah gak didengar, karena dianggap sama-sama napi juga, KM lapor ke petugas blok. Lalu kita tanya kebenaran utangnya, sanggup membayarnya gimana? Nyicil? Misalnya utang 100 ribu, gimana, bisa nggak waktu kunjungan dibayar nyicil? Kalo bisa ya udah. Utang piutang ini sering sebut sangkutan dan biasanya terjadi dalam kamar tapi bisa juga antar kamar. Utangan atau pinjaman terkait dengan kebutuhan seperti rokok, kopi, cemilan, roti, kue-kue. Rokok yang dikenal disini rokok kretek sejati harganya 5000 per bungkus. Kalo kopi, biasanya plastikan, bisa kopi sendiri, gula sendiri, atau 1 mug kopi beramai-ramai, 1 hari bisa 4-5 kali untuk beberapa orang dalam satu kamar. Bisa juga ngopi di dalam kamar malam hari karena ada pembagian air panas”.
Pemenuhan kebutuhan sekunder lain di Lapas adalah kebutuhan hiburan, dimana salah satu hiburan yaitu olah raga volley atau futsal. Tak jarang arena hiburan menjadi ajang taruhan atau judi sebagai bagian kesepakatan informal. Seorang narapidana mengatakan: “…Biasanya saya taruhan bermain futsal antar teman pada siang hari, kalo saya bisa
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
mulai dari 10 ribu sampai 100 ribu per sekali pertandingan. Ini yang membingungkan saya, banyak orang bilang di penjara itu susah tapi buat taruhan judi banyak sekali peminatnya, tidak hanya pertandingan di lapangan saja tapi juga di televisi. Masih banyak napi kaya dalam Lapas. Kasarnya, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Kesenjangan terlihat sekali dalam Lapas...”.
Peristiwa-peristiwa keseharian di Lapas sesuai konteks pemenuhan kebutuhan dan kepentingan tidak bersifat mutlak, tapi mudah berubah mengikuti proses. Pemahaman budaya di penjara berlangsung dinamis semakin memperkokoh argumentasi adanya pengaruh kultur masyarakat di luar Lapas terhadap pembentukan kebiasaan masyarakat terhukum di dalam Lapas. Tak heran bila dikatakan Lapas adalah miniatur kecil masyarakat. Kiran Bedi (2003) menambahkan persoalan kehidupan sosial di Lapas tak hanya bicara subkultur penjara, tapi bagaimana subkultur itu dilanggengkan dalam Lapas, Kiran Bedi menguraikan pelanggengan subkultur penjara tampak dari berbagai tampilan tersembunyi di penjara
yang hanya diketahui “orang dalam” seperti pemerasan, korupsi, pemukulan atau pembiaranpembiaran. Ada saat–saat dimana petugas mempunyai kehidupan tak menentu, tak memiliki perlindungan dari “gembong-gembong“ narapidana, sehingga beberapa petugas mencari jalan aman bekerja sama, memberi fasilitas pada gembonggembong tersebut. Uang, ancaman, kekuasaan, kerjasama dan fasilitas, berjalan sendiri-sendiri menyelesaikan dan membereskan persoalan di Lapas, diwarnai ketegangan, kesengitan dan kengerian. Keadaan ini merupakan pelanggengan sub-kultur penjara dimana semua terlibat, tidak ada orang dibenci dan tidak ada pula yang dihormati (Kiran Bedi, 2003). Pemahaman atas realitas budaya penjara dinamis dalam Lapas X, bisa diperoleh karena penulis telah dianggap orang dalam bukan lagi orang luar. Penulis menggarisbawahi realitas budaya penjara berlangsung dinamis pada konteks-konteks kebutuhan dan kepentingan sebagai dinamisasi kehidupan sosial di Lapas sebagaimana uraian diagram 1 berikut:
Diagram 1 Budaya Penjara Di Lapas Bogor Budaya Penjara Dinamis (Pelanggengan Kesepakatan-Kesepakatan Informal)
Jaringan Aktor Berdasar
Unit-Unit Kerja
Kebutuhan Kamar & Pribadi
Jaringan Tamping Dalam
Jaringan Pengurus Kamar
Jaringan Tamping Luar
Jaringan Anak Kamar
Konteks-Konteks Berdasar
Kebutuhan
Kepentingan
Makan Komunikasi Penghasilan Seksual Hiburan
Penerimaan Masuk Lapas Interaksi Kepemilikan Pelanggaran Tugas Opsnal
Implikasi Budaya Penjara Dinamis Strategi Survive Petugas dan Narapidana Keseimbangan Lapas Menghadapi Perubahan Internal & Eksternal
Diagram 1 Budaya Penjara di Lapas Bogor
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
99
Kedinamisan cara hidup di Lapas X sesuai konteks kebutuhan dan kepentingan merupakan cerminan budaya penjara yang berlaku di Lapas X. Jalinan para aktor di Lapas X terbentuk atas dasar unit kerja dan kebutuhan tertentu. Berdasarkan unit-unit kerja, terbentuk jaringan tamping dalam seperti unit kerja senam, dapur, binatu, keamanan, besukan, kegiatan kerja dan kesenian. Sedangkan jaringan tamping luar mencakup unit parkir, kebun, sampah, kebersihan dan showroom (Diagram 1). Jalinan atas dasar kebutuhan kamar dan pribadi, membentuk jaringan pengurus kamar (KM, buser, korve) dan jaringan anak kamar (penghuni kamar) (Diagram 1). Jalinan-jalinan ini memelihara dan melanggengkan kesepakatankesepakatan bersama (aturan informal) bahkan dianggap efektif dalam konteks tertentu menjadi kekuatan bagi penolakan atas aturan formal tertentu. Kontradiksi-Kontradiksi Penelitian di Lapas X Hasil penelitian ini lebih jauh mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi etnografik selama meneliti di Lapas X, seperti sulitnya membedakan hubungan erat informant (informan) dan informer (pengadu), menonjolnya suasana rekayasa dibanding suasana sebenarnya. Seorang petugas Lapas menguraikan kontradiksi-kontradiksi dalam Lapas sebagai berikut: “…Masalah-masalah yang timbul dalam blok (Lapas) bervariasi, biasanya waktu mau mandi, nonton TV, si A mau chanel ini, si B maunya yang lain, waktu jemur pakaian. Ya itu, kalo tak bisa pake mulut, harus diambil tindakan. Disini, banyak yang modus (berbohong), makanya jadi petugas harus bisa tegas, udah tahu mana gerak-gerik ama gaya bicara modus, apalagi ada yang berpura-pura (modus) gila, sakit…”.
Menghadapi kondisi ini penulis tidak melakukan romantisasi terhadap narapidana sebagai upaya mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini. Dalam mengakomodasi persoalan yang dihadapi
100
petugas dan narapidana, penulis berperilaku sebagai non-prison staff saat berhadapan dengan narapidana, dan berperilaku sebagai prison staff saat berhadapan dengan petugas. Tapi sebagai peneliti, tetap sulit memelihara posisi netral ketika berhadapan dengan situasi-situasi kontradiktif ini. Posisi penulis bagaimanapun adalah peneliti, bukan petugas atau narapidana, sehingga tidak terikat dengan hasil kesepakatan bersama yang dibuat sebagaimana diharapkan relasi-relasi hubungan diantara para aktor. Aspek keamanan, kepercayaan dan kesabaran menjadi pengalaman penting seorang peneliti menghadapi berbagai keadaan “serba lain” dalam Lapas. Lapas: Arena Semi Otonom & Unik Ruang-ruang dalam Lapas X merupakan arena semi otonom, mempunyai aturan-aturan sendiri, pengaturan-pengaturan rutin, meliputi hubungan antar sesama narapidana maupun dengan petugas. Seorang narapidana yang menjadi kepala kamar (KM) menguraikan: “…Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa jadi kepercayaan KM. Seperti soal HP, KM sudah beri tahu petugas, jadi kalo ada apa-apa bisa cepat diketahui KM. Ini merupakan kebijakan lapangan tetapi bukan melegalkan pengaturan. Penggunaan HP terutama pas malam hari marak karena wartel sudah dimatikan (tidak berlangsung 24 jam), fungsinya untuk komunikasi dengan keluarga untuk tahu ada berita apa. Kalo tugas dan tanggung jawab KM memang dari apa-apa yang diketahui sampai yang tidak tahu, dari urusan kecil sampai besar, dari masalah apa saja dalam kamar, karena itu tugas KM yang dibantu wakil dan korve dalam kamar…”.
SASF di Lapas mencakup ruang dan kamar narapidana, blok maupun ruang perkantoran. Masing-masing ruang ini menerapkan sanksi bagi mereka yang tidak mengikuti aturan main yang telah disepakati. SASF di Lapas mempu nyai k apa sit a s membu at at u r a n (rule-making) dan cara-cara membujuk serta memaksa pemenuhan secara simultan (Moore
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
1973: 720, Moore 1983: 55). Sanksi informal sangat efektif karena dihubungkan dengan peran dan kemampuan aktor memenuhi kebutuhan yang disepakati. Bila aktor tak mampu atau tak taat lagi dalam memenuhi kebutuhan yang disepakati, maka ia akan dikeluarkan, dan dicari aktor lain yang lebih mampu. Meskipun sanksi formal dan informal sangat bertentangan, seringkali dilaksanakan secara serentak dalam ruangruang semi otonom di Lapas. Gabungan sanksi formal dan informal dimanfaatkan bersama, diterapkan spesifik dalam kamar, blok maupun perkantoran, terutama untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang muncul. Perselisihan merupakan peristiwa tak terhindarkan dalam kamar (blok) yang dihuni sekian banyak narapidana. Perselisihan bisa terjadi saat tidur, berdesak-desakan, menendang badan orang lain atau menyikut lengan orang lain. Perselisihan merupakan salah satu rutinitas yang mewarnai kehidupan sosial narapidana, baik dilakukan sengaja maupun tidak. Tak jarang perselisihan berlanjut menjadi pemukulan dan pengeroyokan bahkan sampai kerusuhan antar blok di Lapas. SASF di Lapas X mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan ruang semi otonom pada umumnya. Kedinamisan aktor dan konteks membuat kapasitas pembuatan dan pelaksanaan aturan mudah berubah (arbitrary) dalam arena Lapas. Aturan yang diciptakan bukan saja aturan semi-otonom tapi bersifat sementara (ad hocs events) memadukan aturan formal dan otonom secara bersamaan dan serentak. Bila aktor tak mampu atau tak taat aturan dalam memenuhi kebutuhan yang disepakati (konteks), maka ia akan dikeluarkan, dan dicari aktor lain yang lebih mampu. Pengambilan keputusan dalam ruang-ruang Lapas tidak semata-mata diambil dari sikap narapidana tapi dilakukan bersamaan dengan keputusan resmi dan tak-resmi petugas. Kehidupan sosial dalam arena sosial di Lapas berlangsung tidak seragam, rentan berubah (dinamik). Meski ruang steril Lapas tampak sangat formal (ketat), tapi pemenuhan kebutuhan di blok berlangsung semi-otonom, bahkan rutinitas keperluan di kamar bisa ber-
langsung sangat otonom sesuai kesepakatan para penghuni kamar. Implikasi Budaya Penjara di Lapas X Hasil penelitian ini mengungkapkan Lapas X sebagai SASF dengan ciri unik dimana aktor petugas dan narapidana tidak terlalu mementingkan identitas atau latar belakang berbeda, bahasa berbeda atau fisik berbeda, tapi lebih menekankan pada kemampuan aktor memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Arena-arena sosial dalam Lapas menggerakkan dan menjadikan lembaga penghukuman (Lapas) menjadi tempat mengadu (curhat), bekerjasama dan berkompetisi atas pemenuhan kebutuhan dan kepentingan baik petugas atau napi tertentu. Selain itu, menjadi tempat pertukaran informasi masa hukuman, kebutuhan pribadi maupun pemasukan pribadi. Arena-arena sosial ini bermanfaat dan dimanfaatkan melanggengkan kesepakatankesepakatan bersama secara fungsional maupun disfungsional. Kesepakatan-kesepakatan yang diciptakan, dibentuk dan dipertahankan aktor sesuai konteks tertentu menjadi acuan berperilaku dalam kehidupan sosial di Lapas. Realitas ini mengambarkan berlakunya budaya penjara di Lapas X. Implikasi budaya penjara di Lapas X secara internal mendorong strategi survive para aktor mengatasi berbagai persoalan selama menjalani kehidupan di Lapas, mendorong dan menjaga keseimbangan pengelolaan lembaga menghadapi perubahan eksternal yang sulit dihindari seperti overkapasitas, peningkatan jumlah narapidana (tahanan) serta pencapaian target program pembinaan tertentu seperti pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB) maupun cuti bersyarat (CB). Keberlangsungan budaya penjara yang dinamis membuat Lapas mampu menghadapi berbagai masalah klasik seperti anggaran kecil, SDM minim, sarana terbatas dan aturan formal kaku. Lapas sebagai arena semi-otonom dengan keunikan tersendiri mengembangkan kemampuan dan kapasitas mandiri untuk mengatasi berbagai perubahan internal dan eksternal yang dihadapi.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
101
Daftar Istilah Bahasa/Istilah Narapidana (napi) Tahanan Cadong Modus “R” (residivis) KM (kepala kamar) Buser Brengos Tembakan Botol Ngembet Cepu
Korve Tamping Lapak Ompreng “86” (uang damai) Gaul Sangkutan Rentenir Napi jelas (elit) Napi tak Jelas Kijang baru Ngemel Wali Anak kamar
102
Arti/Maksud Terhukum yang telah memperoleh vonis pidana penjara dan melaksanakan hukuman tersebut di Lapas Terhukum yang sedang menunggu putusan vonis hukuman pengadilan Makanan pokok dan seadanya yang diberikan pihak LP Segala macam bentuk kebohongan, berbohong, melakukan trik bohong atau omong kosong Sebutan atau panggilan bagi mapi yang sudah lebih dari satu kali masuk penjara Jabatan tertinggi di dalam kamar atau yang bertanggung-jawab didalam kamar Tangan kanan KM Tangan kanan Buser yang bertugas menjadi algojo (tukang pukul) Alat memasak air memakai tenaga listrik (seperti hitter) Handphone Mengadukan orang lain selain kita sendiri agar terlibat dalam satu kasus bersama Mata-mata suruhan petugas yang digunakan sebagai alat pemancing pada kasus-kasus tertentu (terutama narkoba) Napi yang bertugas menjaga kebersihan (pesuruh) Napi yang dipekerjakan (pendamping atau perpanjangan tangan petugas) Tempat untuk tidur yang dibeli dalam kamar melalui KM Rantang nasi catering yang disediakan LP dibagikan untuk semua napi & tahanan dengan menu seadanya Suatu imbalan untuk pekerjaan atau imbalan agar yang ingin dilakukan dapat terlaksana Sesuatu barang yang diberikan atau dibagikan pada sesama napi agar dapat berteman Utang-piutang Peminjam uang Napi mampu dalam hal keuangan Napi tak mampu dalam hal keuangan Napi baru Pumgutan Petugas yang ditempatkan menjaga blok narapidana Penghuni kamar
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
Daftar Pustaka Allen, Harry A dan Clifford E Simonsen. 1989 Corrections In America: An Introduction. New York : Macmillan Publising Company. Barnes, Harry Elmer & Negley K Teeners. 1996 New Horizons In Criminology. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Ltd. Benda-Beckman, Franz, Keebet von Benda-Beckman, Anne Griffith (ed). 2005 Mobile People, Mobile Law. England: Ashgate Publishing Limited. Bedi, Kiran. 2003 It’s Always Possible. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Bonella, Kathryn. 2009 Hotel Kerobokan: The Shocking Inside Story of Bali’s Most Notorious Jail. Sydney: Pan McMillan Australia Pty Ltd. Clemer, Donald. 1965 The Prison Community. USA: Holt, Rinehart & Winston. Coyle, Andrew. 2005 Understanding Prisons. New York: Open University Press. Cochrane, Glynn. 1980 Policy studies and Anthropology dalam Current Anthropology Vol. 21 No. 4. Coggins, Kip. 1996 Life In A Soutwest Prison: A Study of The Culture of The Penitentiary of New Mexico. Disertasi. University of Michigan. Departemen Kehakiman & hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Pemasyarakatan. 2003 PROTAP: Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. Jakarta. Departemen Kehakiman dan HAM RI Direktorat Pemasyarakatan. 2000 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Jakarta. Dhami, K, Peter Ayton & Loewenstein. 2007 Adaptation to Imprisonment: Indigenous or Imported dalam Criminal Justice Vol. 34 No.8. Departemen Hukum dan HAM RI, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang). 2008 Laporan Penelitian tentang Sub-Kultur Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Indonesia. Jakarta. Dilulio, John J. 1987 Governing Prisons: A Comparative Study of Correctional Management. New York : The Free Press. Fetterman, David, M. 1989 Ethnography: Step By Step. California: Sage Publications.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
103
Finkelstein, Ellis. 1993 Prison Culture: An Inside View. England: Avebury Ashgate Publishing. Foucault, Michel. 1977 Discipline & Punish: The Birth of The Prison. London: Pinguin Books. Fox, Richard G. (ed). 1991 Recapturing Anthropology. USA: School of American Research Press. Hume, Lyme dan Jane Mulcock (ed). 2004 Anthropologist in The Field: Cases in Participant Observation. New York: Columbia University Press. Hunt, Geoffrey, Stephanie Riegel, Tomas Morales, Dan Waldorf. 1993 Changes in Prison Culture: Prison Gangs and The Case of The “Pepsi Generation”, dalam Social Problems, , Vol.40, No.3. Irianto, Sulistyowati (ed). 2009 Hukum Yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kleden, Ignas. 2007 Clifford Geertz, “Sistem Simbolik dan Sistim Budaya”, Makalah dalam diskusi Kompas, Jakarta, 30 Novermber 2007. Martin, Carol. 2000 Doing Research in a prison setting, dalam Doing Criminological research. Victor Jupp, et.al., USA: Sage Publications. Moore, Sally F. 1983 Law As Process, An Anthropological Approach. London : Routledge & Kegan Paul Ltd. Moore, Sally F. 1973 Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study, dalam Law & Society, Vol. 7, No.4 Pusat Penelitian & Pengembangan Departemen Hukum dan HAM, 2005 Laporan Hasil Penelitian Sub kultur Penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Indonesia. Jakarta. Ramelan, Rahardi. 2007 Lembaga Pemasyarakatan Bukan Penjara. Harian Kompas, 19 Mei 2007. Ramelan, Rahardi. 2008 Cipinang Desa Tertinggal. Jakarta: Penerbit Republika. Rhodes, Lorne A. 2001 Toward an Anthropology of Prisons dalam Annual review of Anthropology, Vol. 20. Rhodes, Lorna A. 2004 Total Confinement: Madness and Reason in The Maximum Security Prison. London: University of California Press.
104
Runturambi, Budaya Penjara: Arena Sosial...
Scott, James C. 1985 Weapons of The Weak : Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press. Simon, Josias A 2012 Budaya Penjara: Pemahaman dan Implementasi. Bandung: Putra Karya Darwati. Simon, Josias A & Thomas Sunaryo 2011 Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Bandung: CV Lubuk Agung Spradley, James F., & David W Mc Curdy. 1972 The Cultural Experience: Ethnography in Complex Society. USA : Science Research Associates. Sykes, Gresham. 1958 The Society of Captives: A Study of A Maximum Security Prison. Princeton: Princeton University Press. Wacquant, Loic. 2002 The Curious Eclipse of Prison Ethnography in The Age of Mass Incarceration dalam Ethnography vol. 3.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
105
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013
Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum
1
Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola) Hendra
15
Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami
29
Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara
41
Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja
59
‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto
75
Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi
91