VII. ANALISIS WISATA ALAM BERKELANJUTAN TWA GUNUNG MEJA 7.1. Kendala dalam Pengelolaan TWA Gunung Meja sebagai Objek Wisata Alam Ada beberapa permasalah yang terjadi terkait dengan pengelolaan terhadap TWA Gunung Meja sehingga kawasan tersebut belum berkembang sebagai objek wisata di Kota Manokwari yang menarik untuk dikunjungi, antara lain adanya interaksi masyarakat di dalam kawasan yang mengancam keberadaan TWA Gunung Meja, adanya kegiatan pembuangan sampah dalam kawasan oleh masyarakat kota bahkan oleh aparat dari Dinas Kebersihan, tidak tesedianya fasilitas umum dan penunjang dalam kawasan serta kurang adanya pemeliharaan terhadap situs bersejarah, jalan dalam kawasan serta Pusat Informasi. 7.1.1. Interaksi Masyarakat dalam kawasan Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi di dalam dan di sekitar TWA Gunung Meja yang mengancam keberadaan kawasan ini, antara lain perladangan/kebun masyarakat, pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, pengambilan tanah (top soil) dan pengambilan batu-batu karang. 1. Perladangan atau Kebun Masyarakat Perladangan atau kebun masyarakat yang terdapat di sekitar dan di dalam kawasan terdiri dari ladang/kebun yang letaknya jauh dari pemukiman dan kebun pekarangan. Ladang/kebun yang letaknya jauh dari pemukiman pada umumnya diusahakan oleh peladang urban yang tinggal di luar kawasan dan daerah penyangga, yaitu masyarakat Anggori, dan Susweni. Lahan yang digunakan adalah tanah yang dipakai dengan sistem sewa kepada pemilik hak ulayat dan merupakan hak guna yang diberikan karena hubungan kekeluargaan. Pola perladangan ini adalah dengan sistem ladang
berpindah.
Sedangkan
perladangan
lainnya
adalah
kebun
pekarangan, yaitu lahan pekarangan rumah masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan yang ditanami dengan jenis tanaman semusim dan jenis tanaman buah-buahan, terutama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan (berbatasan langsung dengan batas kawasan).
Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan, sebagai berikut : •
Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat pancang dan tiang.
•
Menebang pohon-pohon besar yang ada di dalam hutan, kemudian lahan tersebut dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi kering. Ranting pohon dan semak belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat.
•
Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak belukar yang ada sudah kering dan kemudian hasil pembakaran abu dibiarkan agar terdekomposisi dengan tanah yang ada.
•
Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.
•
Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru sekitar pinggiran pal batas kawasan atau masuk ke dalam kawasan TWA Gunung Meja. Kebun pekarangan pada umumnya dilakukan oleh masyarakat yang
tinggal di pinggiran dan dalam kawasan, terutama pada wilayah pemukiman masyarakat sekitar Kampung Ayambori, Brawijaya, Kampung Ambon Atas, Manggoapi dan Fanindi. Lahan pekarangan setelah ditanami, maka penanaman berikutnya akan terus meluas masuk ke dalam kawasan. Berdasarkan hasil laporan Potret Gunung Meja (2004), ada 33 KK yang teridentifikasi membuka kebun/pekarangan di dalam kawasan TWA Gunung meja dengan jenis tanaman pertanian yaitu sayur-sayuran dan ubiubian, 10 KK yang menanam jenis tanaman holtikultura seperti kakao, kopi, kelapa dan cengkeh sedangkan untuk buah-buahan adalah langsat, durian, rambutan, mangga, alpokat, nangka dan pisang teridentifikasi sebanyak 30 KK. Adapun jumlah produksi untuk hasil pertanian adalah sebanyak 0,813 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam untuk hasil pertanian yaitu Rp. 5.000,- /kg atau Rp. 5.000.000,-/ton. Untuk hasil kebun masyarakat adalah sebanyak 0,46 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam untuk seluruh hasil kebun yaitu Rp. 8.000,-/kg 116
atau Rp. 8.000.000,-/ton. Untuk hasil buahan dalam kebun masyarakat, jumlah produksinya adalah sebanyak 0,55 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam yaitu Rp. 5.000,-/kg atau Rp. 5.000.000,-/ton. 2. Pengambilan Kayu untuk Kayu bakar, Kayu Bangunan dan non bangunan Kawasan TWA Gunung Meja selain dimanfaatkan sebagai lahan perladangan atau kebun, kawasan ini juga merupakan sumber bahan baku kau terutama untuk kayu bakar rumah tangga dan dijual serta untuk keperluan pagar kebun. Kayu yang biasanya diambil oleh masyarakat adalah kayu-kayu besar yang sudah kering, terutama jenis pohon jati, Eucalyptus dan matoa. Cara pengambilan kayu adalah sebagai berikut : •
Pembakaran pangkal pohon-pohon besar yang ada dalam kawasan hutan, petak tanaman atau di sepanjang ruas jalan yang ada di dalam dan sekitar kawasan.
•
Pohon tersebut dibiarkan sampai kering untuk jangka waktu tertentu, jika penyinaran baik (panas matahari terus-menerus) pohon ini akan kering antara 2-3 minggu.
•
Penebangan dilakukan menggunakan kapak atau chain-saw, kemudian kayu dibelah menjadi beberapa bagian kecil dan atau juga dipotongpotong pendek dalam bentuk log yang ditumpuk di pinggir jalan.
•
Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda empat pada malam hari atau saat menjelang malam di bawa ke rumah masyarakat atau langsung kepada pembeli. Selain itu, pengambilan pohon yang berdiameter 10 cm untuk pembuatan pagar kebun, penyokong tanaman sayur-sayuran di kebun, kayu bakar dan pembuatan kerangka bangunan pondok atau gubuk. Berdasarkan hasil laporan dari Potret TWA Gunung Meja 2004, pada
umumnya pengambilan kayu digunakan untuk kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan. Untuk kayu bakar, jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 223 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 30.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 27 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu bakar. Untuk kayu bangunan,
117
jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 13 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 500.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 23 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu bangunan. Sedangkan untuk kayu non bangunan, jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 33 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 200.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 11 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu non bangunan. 3. Pengambilan Top Soil dan Batu Karang Pengambilan top soil dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk digunakan
sebagai
media
tanaman
hias
dan
tanaman
pekarangan.Pengambilan tanah top soil dilakukan pada wilayah barat kawasan (Pal Batas TWA Nomor 13-25) dekat Perumahan Dosen dan Asrama Mahasiswa UNIPA dan juga sepanjang jalan Anggori-Aipiri. Tanah yang diambil menggunakan karung-karung plastik dengan berat tanah sekali pengambilan adalah 5-6 karung atau lebih kurang 150-200 Kg. Sedangkan pengambilan batu karang dalam kawasan dilakukan di sepanjang jalan yang membelah kawasan dari arah barat (asrama Mahasiswa UNIPA) sampai kea rah timur (dekat Tugu Jepang) dengan jumlah satu tumpukan kurang lebih 3 M³. Batu-batu tersebut ditumpuk sepanjang sisi kiri-kanan jalan dan kemudian akan diangkut oleh pengumpul batu liar menggunakan kendaraan roda empat ke rumah atau dijual. Pengambilan top soil di TWA Gunung Meja diperkirakan mencapai kurang lebih 120 karung/tahun dengan harga pasar Rp. 50.000,-/karung yang dimanfaatkan oleh 15 KK, sementara pengambilan batu karang kurang lebih
sebanyak
100
tumpukan
dengan
harga
pasar
adalah
Rp. 100.000,-/tumpukan yang dimanfaatkan oleh 5 KK . Berdasarkan perhitungan manfaat ekonomi dari interaksi atau pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja berupa hasil kebun, hasil hutan seperti kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan serta pemanfaatan top soil dan batu karang, maka total manfaatnya secara lengkap disajikan pada tabel berikut.
118
Tabel 27. Manfaat Ekonomi dari Pemanfaatan Hasil Alam di TWA Gunung Meja Hasil Interaksi 1. Perladangan/Kebun Masyarakat • Pertanian : Tanaman Sayuran dan Ubi-ubian. • Tanaman Holtikultura : Kakao, Kopi, Kelapa dan Cengkeh. • Buah-buahan : Langsat, Durian, Rambutan, mangga, Alpokat, Nangka dan Pisang 2. Pengambilan Kayu • Kayu Bakar • Kayu Bangunan • Kayu Non Bangunan 3. Top Soil dan Batu Karang • Top Soil • Batu Karang
Produksi/ KK/Tahun
Harga/ satuan
Jumlah KK Pemanfaat
Total Penerimaan
0,813 ton
Rp. 5.000.000,-
33
Rp. 30.195.000,-
0,46 ton
Rp. 8.000.000,-
10
Rp. 36.800.000,-
0,55 ton
Rp. 5.000.000,-
30
Rp. 82.500.000,-
223 m3 13 m3 33 m3
Rp. 30.000,Rp. 500.000,Rp. 200.000,-
27 23 11
Rp. 180.630.000,Rp. 149.500.000,Rp. 72.600.000,-
120 karung 100 Tumpukan
Rp. 50.000,Rp. 100.000,-
15 5
Rp. 90.000.000,Rp. 50.000.000,-
Total
Rp. 692.225.000,-
Sumber : Potret TWA Gunung Meja (2004)
Berdasarkan tabel 26 terlihat bahwa total pemanfaatan hasil alam TWA Gunung Meja dari hasil kebun/ladang oleh masyarakat berupa pertanian, tanaman holtikultura dan
buah-buahan, pengambilan kayu berupa kayu bakar, kayu
bangunan dan non bangunan, serta pengambilan top soil dan batu karang sebesar Rp. 692.225.000,- per tahun. Pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja tersebut merupakan suatu pelanggaran mengingat Gunung Meja merupakan kawasan lindung, sehingga kegiatan
pemanfaatan
dalam
kawasan
dianggap
suatu
kegiatan
ilegal.
Pemanfaatan hasil alam oleh masyarakat masih terus berlangsung di dalam kawasan karena tekanan ekonomi, karena tidak ada alternatif kegiatan ekonomi lainnya dimana kegiatan wisata di TWA Gunung Meja saat ini belum mampu
119
menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, masalah kearifan lokal masyarakat yang menganggap Gunung Meja sebagai “Ayamfos” atau “Dapur hidup” sehingga tingkat ketergantungan mereka terhadap hasil alam yang masih tinggi, meskipun pada tahun 2004 pemerintah sudah membayar kompensasi kepada masyarakat terhadap hak ulayat mereka di Gunung Meja. Persoalan lain adalah tidak adanya blok atau zonasi khusus untuk pemanfaatan tradisional yang seharusnya diperhatikan pemerintah dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan konservasi. Berdasarkan pedoman pengembangan wisata alam di kawasan Taman Wisata Alam (Wahyuningsih, 2001) seharusnya dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan Taman Wisata Alam untuk kegiatan wisata alam, selain zona pemanfaatan untuk kegiatan wisata dan zona perlindungan, juga harus ada zona pemanfaatan tradisional yaitu kawasan yang bisa digunakan oleh masyarakat lokal yang sudah bermukim sebelum kawasan tersebut dijadikan kawasan konservasi. 7.1.2. Pembuangan Sampah dalam Kawasan Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja saat ini menjadi tempat pembuangan sampah liar. Ada beberapa kantong-kantong plastik besar berisi sampah menumpuk di beberapa titik jalan aspal di kawasan TWA Gunung Meja dari daerah Sarinah hingga ke Kampung Ayambori di Distrik Manokwari Barat. Tumpukan sampah juga terdapat di kawasan hutan TWA Gunung Meja, yaitu di sepajang jalan setapak dari pintu masuk Sarinah menuju daerah Amban. Pembuangan sampah yang biasanya dilakukan pada malam hari bukan hanya dilakukan oleh warga Kota Manokwari tetapi juga oleh petugas kebersihan di Manokwari. Hal ini diketahui karena beberapa waktu lalu warga Kampung Ayambori menemukan truk sampah milik Dinas Pekerjaan Umum Manokwari akan membuang sampah ke hutan Gunung Meja. Menurut Polisi Kehutanan sekaligus Kepala Resort Manokwari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari Papua Barat, perilaku membuang sampah di TWA Gunung Meja sudah berlangsung lama. Namun sejauh ini upaya pencegahan hanya terbatas imbauan, belum ada tindakan tegas sehingga pembuangan sampah ke dalam kawasan sampai saat ini masih tetap
120
dilakukan. Hal ini tentunya akan mengurangi daya tarik dan estetika TWA Gunung Meja sebagai objek wisata alam. 7.1.3. Keterbatasan Fasilitas Umum dan Penunjang dalam Kawasan Fasilitas umum dan penunjang dalam kawasan wisata merupakan salah satu faktor pendukung dalam berkembangnya suatu objek wisata. Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya jumlah pengunjung ke TWA Gunung Meja dibandingkan dengan objek wisata lain seperti Pasir Putih dan Pantai Bakaro adalah tidak tersedianya fasilitas umum dalam kawasan. Berdasarkan hasil survei terhadap wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut, fasilitas umum yang tidak tersedia dalam kawasan namun sangat dibutuhkan oleh wisatawan adalah fasilitas MCK, tempat parkir, tempat pembuangan sampah, tempat istirahat, pusat informasi dan tempat penjualan makanan. Selain tidak tersedianya fasilitas umum dan penunjang untuk kegiatan ekowisata di kawasan TWA Gunung Meja, ada beberapa fasilitas yang sudah tersedia namun tidak dijaga dan dipelihara keberadaannya. Tugu Jepang sebagai objek wisata dan situs bersejarah yang merupakan salah satu daya tarik kegiatan wisata di kawasan ini, saat ini dalam keadaan memprihatinkan karena tidak dirawan dengan alasan kekurangan anggaran oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan anggaran untuk pemeliharaan dan pengembangan wisata di Manokwari sebagian besar dialokasikan untuk objek wisata Pasir Putih. Selain itu, jalan setapak dalam kawasan, yaitu jalan yang menghubungi pintu masuk dari daerah Sarinah menuju situs bersejarah Tugu Jepang dalam keadaan sangat parah. Hal ini menyebabkan beberapa masyarakat yang berniat mengunjungi Tugu Jepang melalui daerah Sarinah harus melalui daerah Amban yang jaraknya jauh dari situs bersejarah, bahkan ada beberapa yang akhirnya mengurungkan niat untuk mengunjungi situs bersejarah Tugu Jepang. Tidak adanya petugas yang berjaga dan memberikan informasi bagi pengunjung di pintu masuk, merupakan salah satu kendala bagi wisatawan terutama bagi wisatawan asing atau wisatawan dari luar Manokwari serta wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi kawasan tersebut untuk melakukan perjalanan wisata dalam kawasan. Bahkan pusat informasi yang terletak disamping pintu masuk kawasan saat ini dalam keadaan rusak karena
121
tidak dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan tidak adanya perhatian dari pemerintah untuk melakukan fungsinya sebagai pihak yang harus menjaga kawasan dan memberikan pelayanan terhadap para pengunjung. 7.2. Wisata Alam Berkelanjutan di TWA Gunung Meja Wisata alam berkelanjutan yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah kegiatan wisata yang dikembangkan bertujuan untuk menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan yang dilindungi, sesuai dengan kearifan lokal masyarakat serta berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. 7.2.1. Analisis Ekonomi Berdasarkan identifikasi pasar ekowisata, TWA Gunung Meja menawarkan keindahan, potensi hayati dan non hayati serta didukung oleh aksesibilitas dan akomodasi yang mudah. Selain itu kegiatan wisata alam yang menarik dilakukan dan dapat dikembangkan di kawasan ini adalah hiking, camping, caving, photo hunting, penelitian/pendidikan, pengamatan flora dan fauna serta kunjungan ke situs bersejarah. Analisis ekonomi yang dilakukan berupa analisis pasar, perhitungan nilai ekonomi wisata alam dan nilai pengembangan wisata alam, maka diperoleh nilai ekonomi wisata alam TWA Gunung Meja saat ini adalah sebesar Rp. 592.154.197,- per tahun dan nilai pengembangan wisata alam TWA Gunung Meja adalah Rp. 271.940.375,- yaitu besarnya nilai atau sejumlah uang yang bersedia dibayarkan oleh wisatawan dan masyarakat untuk membiayai pengembangan wisata alam ke depan. Sedangkan nilai bukan wisata yaitu dari pemanfaatan hasil alam dalam kawasan TWA Gunung Meja adalah sebesar Rp. 692.225.000,- per tahun. Terlihat bahwa nilai ekonomi non wisata masih lebih besar dari nilai ekonomi wisata di TWA Gunung Meja, meskipun pemanfaatan hasil alam tersebut bersifat ilegal karena TWA Gunung Meja merupakan kawasan konservasi yang dilindungi, namun karena desakan ekonomi dari masyarakat sekitar kawasan menyebabkan kegiatan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini menunjukkan
122
bahwa manfaat dari kegiatan wisata belum mampu menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan, sehingga masyarakat masih memilih untuk memanfaatkan hasil alam. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya upaya yang serius dari stakeholder untuk mengembangkan TWA Gunung Meja sebagai kawasan wisata alam berkelanjutan yang nantinya akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar dibanding dengan pemanfaatan hasil alam dalam kawasan lindung, sehingga dapat menekan interaksi atau pelanggaran dalam kawasan. Pengembangan wisata alam ke depan untuk kawasan ini pada akhirnya akan menjadi alternatif utama dalam membantu perekonomian masyarakat di sekitar kawasan, karena dengan adanya kegiatan wisata alam yang berkembang di kawasan ini akan meningkatkan penerimaan masyarakat melalui pengeluaran wisatawan yang pada akhirnya juga akan memberikan multiplier effect bagi pelaku usaha lainnya, termasuk memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah. Selain itu juga terlihat bahwa masyarakat sangat mendukung program tersebut dan bersedia menyumbangkan sejumlah uang bagi pengembangan wisata alam. 7.2.2. Analisis Sosial a. Kearifan Lokal Masyarakat Kawasan Gunung Meja berdasarkan filosofi budaya masyarakat Arfak, yaitu kelompok Suku Hatam dan Suku Sough yang bermukim di sekitar kawasan, memandang Hutan Gunung Meja sebagai AYAMFOS yang artinya Dapur Hidup. Ayamfos yang berarti Hutan Gunung Meja baik berupa tanah, air dan hutan yang terkandung dalam kawasan adalah sumber penghidupan masyarakat yang perlu dijaga, dilindungi dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat dalam kehidupannya. Hutan Gunung Meja “AYAMFOS” berfungsi sebagai tempat berkebun, sumber protein nabati dan hewani dalam pemenuhan kehidupan masyarakat sehari-hari, sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat, tempat melakukan usaha-usaha ekonomi pertanian dan juga situs budaya “tanah larangan/tempat pamali” bagi masyarakat. Masyarakat yang bermukim di wilayah pemukiman Ayambori dan Fanindi sudah sangat paham dan sadar akan pentingnya Hutan Gunung Meja sebagai sumber mata air bagi kehidupannya. Berdasarkan filosofi budaya pada sumber
123
mata air, terutama daerah hulu merupakan “tanah larangan/tempat pamali” yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Perkembangan jaman dan juga kebutuhan lahan pertanian mayarakat urban di sekitar wilayah perkotaan menyebabkan kawasan ini telah diarambah, sehingga filosofi budaya Hutan Gunung Meja tetlah terpolarisasi. Tanah larangan yang tidak boleh diggangu telah dimasuki oleh masyarakat luar, penebangan dan pemanfaatan lahan secara berlebihan dilakukan secara besar-besaran. Hutan Gunung Meja sebagai Ayamfos mulai tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Apabila upaya penyelamatan kawasan tidak dilakukan dengan baik, maka Hutan Gunung Meja tidak akan menjadi AYAMFOS. Hutan Gunung Meja tidak akan lagi memberikan penghidupan berupa sumber air dan hasil hutannya kepada masyarakat. Sejak dijadikannya Gunung Meja sebagai kawasan konservasi dan pemberian kompensasi hak ulayat kepada masyarakat pemilik ulayat dalam TWA Gunung Meja sebesar Rp. 4,6 milyar pada tahun anggara 2000/2001 dan 2001/2002, maka kegiatan seperti perladangan, perkebunan dalam kawasan dan pemanfaatan hasil hutan dilarang Gunung Meja, sehingga secara langsung Gunung Meja hanya menjadi sumber mata air bagi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat Kota Manokwari pada umumnya. Namun hingga kini masih ada masyarakat yang memandang kawasan ini sebagai milik ulayat mereka, sehingga mereka masih memanfaatkan sumberdaya secara tidak lestari serta membangun lahan perladangan atau kebun dalam kawasan ini. b.
Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Wisata Alam di TWA Gunung Meja Masyarakat sekitar TWA Gunung Meja memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang baik terhadap fungsi TWA Gunung Meja sebagai objek wisata wisata alam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 120 responden, 100% menyatakan bahwa mereka mengetahui fungsi TWA sebagai tempat wisata alam. Selain TWA Gunung Meja sebagai daerah wisata alam, masyarakat pun memiliki pemahaman terhadap manfaat lain dari TWA Gunung Meja yaitu sebagai sumber air, paru-paru kota, habitat flora dan fauna serta tempat penelitian.
124
Pengetahuan masyarakat terhadap fungsi TWA Gunung Meja selengkapnya disajikan pada gambar berikut. 120 100 80 60 40 20 0 Sumber Air
Tempat Paru-paru Habitat Tempat Wisata Kota Flora dan Penelitian Fauna
Gambar 17. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Fungsi TWA Gunung Meja Berdasarkan Gambar 17 di atas, terlihat bahwa seluruh responden mengetahui fungsi TWA Gunung Meja sebagai tempat wisata dan sumber air. Selanjutnya pengetahuan masyarakat terhadap fungsi TWA Gunung Meja berikutnya adalah sebagai paru-paru kota, diikuti dengan pengetahuan TWA Gunung Meja sebagai habitat flora dan fauna serta menjadi TWA Gunung Meja sebagai penelitian oleh Perguruan Tinggi dan Badan Penelitian Kehutanan. Masyarakat sangat mendukung program pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan, dimana seluruh responden (100%) setuju dengan program pengembangan wisata alam dan bersedia terlibat dalam kegiatan ini ditandai dengan kesediaan membayar (WTP) terhadap pengembangan wisata alam. Ada beberapa alasan sehingga masyarakat mendukung program pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja yang terlihat jelas pada tabel berikut. Tabel 28.
Persepsi Masyarakat Terhadap Program Pengembangan Wisata Alam di TWA Gunung Meja Alasan
Pemandangan yang Indah Situs Bersejarah Meningkatkan ekonomi masyarakat pada waktu yang akan datang Keanekaragaman Hayati Udara yang segar Sumber : Data diolah (2011)
Jumlah 105 100
% 87.50 83.33
87 63 40
72.50 52.50 33.33
125
Tabel 28 di atas menunjukkan bahwa alasan terbesar masyarakat yaitu sebesar 87,50 persen mendukung program kegiatan wisata alam karena dari TWA Gunung Meja pengunjung dapat menikmati panorama yang indah, 83,33 persen responden masyarakat setuju karena terdapat situs bersejarah dalam kawasan, 72,50 persen responden masyarakat setuju karena dengan adanya pengembangan wisata alam nantinya mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, 52,50 persen responden masyarakat menyatakan setuju karena terdapat keanekaragaman hayati dalam kawasan serta 33,33 persen responden masyarakat menyatakan setuju karena TWA Gunung Meja merupakan lokasi di tengah Kota Manokwari yang udaranya masih segar. Persepsi positif masyarakat serta peran aktif masyarakat merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja. Hal ini dibutuhkan melalui beberapa proses seperti : •
Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat;
•
Melibatkan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi;
•
Menggugah
prakarsa
dan
aspirasi
masyarakat
setempat
untuk
pengembangan ekowisata; •
Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat; dan
•
Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan. Saat ini keterlibatan langsung masyarakat dalam kegiatan wisata alam
memang masih sangat kecil, tapi keinginan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan wisata alam ke depan cukup besar. Hal ini terlihat dari kesediaan mereka untuk terlibat dalam pembiayaan pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja dan kesediaan mereka untuk terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan wisata alam seperti pembuatan dan penjualan alat kerajinan, memandu wisatawan, turut menjaga kebersihan dan keamanan.
126
7.2.3. Analisis Lingkungan Pembangunan suatu kawasan termasuk pengembangan wiswata alam harus memperhatikan daya dukung lingkungan, dimana pengembangan kegiatan wisata alam tidak boleh melampaui ambang batas daya dukung lingkungan. Karena itu, dalam pengembangan TWA Gunung Meja sebagai kawasan wisata alam dengan kegiatannya perlu dilakukan analisis lingkungan yakni berapa banyak jumlah maksimum wisatawan yang dapat menggunakan tempat atau destinasi tersebut tanpa mengubah keadaan fisik atau menurunkan mutu lingkungan sekitarnya, karena aktivitas wisata. Kegiatan wisata alam yang sesuai dan dapat dikembangkan di TWA Gunung Meja adalah kegiatan wisata alam, wisata ilmiah dan wisata pendidikan. Adapun penggunaan lahan sesuai dengan zonasi untuk kegiatan wisata tersebut secara lengkap disajikan pada tabel berikut. Tabel 29. Kegiatan Wisata yang Dikembangkan di TWA Gunung Meja Jenis Wisata
Bentuk Kegiatan
Lokasi
Wisata Alam
Hiking Camping* Caving Photo Hunting
Keliling Kawasan Camping Ground Goa Seluruh Kawasan
Wisata Ilmiah
Penelitian Studi Banding Studi Tour
Seluruh Kawasan
Pengamatan dan Pengenalan Flora Seluruh Kawasan dan Fauna Kunjungan ke Situs Bersejarah Tugu Jepang Sumber : RPJP TWA Gunung Meja 2008-2028 Keterangan : * masih dalam rencana pengembangan Wisata Pendidikan
Dalam kaitannya dengan kegiatan wisata, maka daya dukung lingkungan harus dikaitkan dengan jumlah maksimum wisatawan yang dapat menggunakan tempat atau destinasi tersebut tanpa mengubah keadaan fisik atau menurunkan mutu lingkungan sekitarnya, karena aktivitas wisata. Berdasarkan Libosada (1998), daya dukung lingkungan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝐂𝐚𝐫𝐫𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐂𝐚𝐩𝐚𝐜𝐢𝐭𝐲 (𝐂𝐂) =
area yang digunakan wisatawan rata − rata kebutuhan area per individu 127
Daya tampung wisatawan per hari = CC X koefisien rotasi Dimana koefisien rotasinya dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝐊𝐨𝐞𝐟𝐢𝐬𝐢𝐞𝐧𝐑𝐨𝐭𝐚𝐬𝐢 =
Jumlah jam area terbuka untuk wisatawan rata − rata waktu satu kunjungan
Adapun rata-rata kebutuhan area per individu disesuaikan dengan
peruntukkan tiap kawasan sesuai aktivitas wisata di dalam kawasan. Lebih jelas rata-rata kebutuhan area per individu, luas area yang digunakan, jumlah jam kunjungan serta rata-rata waktu satu kunjungan berdasarkan bentuk kegiatan wisata disajikan pada tabel berikut. Tabel 30. Rata-Rata Kebutuhan Area Per Individu, Luas Area Yang Digunakan, Jumlah Jam Kunjungan Serta Rata-Rata Waktu Satu Kunjungan Kegiatan Wisata
Rata-rata Kebutuhan Area/Individu (m²/org)
Luas Area (m²)
Jumlah Jam Kunjungan
Rata-rata waktu satu Kunjungan
Hiking Camping Caving Photo Hunting
50 500 30 20
7.000 100.000 500 1.107.740
12 24 24 6
6 24 4 2
Penelitian, Studi Banding atau Studi Tour
500
1.107.740
12
4
5.000
1.086.740
12
4
900
12
2
Pengamatan dan Pengenalan Flora dan Fauna Kunjungan ke Situs Bersejarah
20
Sumber : Data diolah (2011)
Rata-rata kebutuhan area per individu serta jumlah kunjungan yang digunakan pada tabel di atas adalah rata-rata kebutuhan area per individu serta jumlah kunjungan yang ideal atau merupakan standar untuk masing-masing kegiatan wisata berdasarkan Libosada, 1998. Sedangkan luas area yang digunakan diperoleh dari pembagian zonasi berdasarkan RPJP TWA Gunung Meja 20092028, sementara untuk rata-rata waktu satu kali kunjungan diperoleh dari hasil survei terhadap wisatawan. Berdasarkan rata-rata kebutuhan area per individu, luas area yang digunakan, jumlah jam kunjungan serta rata-rata waktu satu kunjungan berdasarkan bentuk kegiatan wisata di TWA Gunung Meja seperti pada Tabel 32,
128
maka dapat dihitung Daya dukung lingkungan (Carrying Capacity), koefisien rotasinya serta daya tampung wisatawan per hari. Hasil perhitungan tersebut secara rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel 31. Daya Dukung Lingkungan, Koefisein Rotasi dan Daya Tampung Wisatawan, Jumlah Pengunjung dan Rasio Kegiatan Wisata
DDL (orang)
Hiking Camping Caving Photo Hunting Penelitian, Studi Banding atau Studi Tour Pengamatan dan Pengenalan Flora dan Fauna Kunjungan ke Situs Bersejarah Total
Sumber : Data diolah (2011)
Koefisein Rotasi
Daya Tampung Wisatawan/ Hari
Jumlah Pengunjung Maksimal
Rasio
140 333 17 55.387
2 1 6 3
280 100 102 166.161
80 8 6
4:1 13:1 27.964:1
2.215
3
6.646
60
111:1
652 270
8 10
82:1 27:1
174.211
172
3 6 217 45 58.092
Tabel 33 di atas menjelaskan bahwa jumlah maksimum wisatawan yang dapat menggunakan TWA Gunung Meja dalam sekali kunjungan tanpa mengubah keadaan fisik atau menurunkan mutu lingkungan sekitarnyaadalah 58.092 orang per kunjungan untuk masing-masing kegiatan wisata seperti Hiking sebanyak 140 orang, Camping sebanyak 333 orang, Caving sebanyak 17 orang, Photo Hunting sebanyak 55.387 orang, penelitian/studi banding sebanyak 2.215 orang, pengamatan flora fauna sebanyak 217 orang serta kunjungan ke situs bersejarah sebanyak 45 orang. Koefiesien rotasi yaitu jumlah rotasi yang bisa dilakukan oleh wisatawan untuk satu kali kunjungan (hari) berdasarkan jumlah jam yang dibuka bagi kegiatan wisata per rata-rata waktu kunjungan untuk setiap kegiatan wisata berbeda. Koefisien rotasi untuk kegiatan hiking sebanyak 2 kali, Camping sebanyak 1 kali, Caving sebanyak 6 kali, Photo Hunting sebanyak 3 kali, penelitian/studi banding sebanyak 3 kali orang, pengamatan flora fauna sebanyak 3 kali serta kunjungan ke situs bersejarah sebanyak 6 kali. Adapun daya tampung wisatawan atau jumlah pengunjung yang bisa diakomodasi oleh lingkungan di TWA Gunung Meja tanpa merubah bentang alam 129
adalah 174.211 orang per hari. Daya tampung wisatawan ini diperoleh dari hasil kali antara daya dukung lingkungan dengan koefisien rotasi. Daya tampung wisatawan untuk kegiatan Hiking sebanyak 280 orang, Camping sebanyak 100 orang, Caving sebanyak 102 orang, Photo Hunting sebanyak 166.161 orang, penelitian/studi banding sebanyak 6.646 orang, pengamatan flora fauna sebanyak 652 orang serta kunjungan ke situs bersejarah sebanyak 270 orang. Sampai saat ini kunjungan maksimal ke TWA Gunung Meja untuk masingmasing kegiatan masih under capacity atau jauh di bawah daya tampung wisatawan yaitu sebanyak 172 orang, yang artinya untuk jumlah kunjungan untuk setiap kegiatan wisata belum mengancam keberadaan lingkungan di TWA Gunung Meja. Hal ini terlihat pada rasio antara daya tampung wisatawan per hari dengan jumlah kunjungan maksimal per hari untuk masing-masing kegiatan wisata, di mana rasio terbesar adalah pada kegiatan wisata Photo Hunting yaitu sebesar 27.964:1, diikuti dengan kegiatan penelitian/studi banding sebesar 111:1, selanjutnya kegiatan pengamatan flora dan fauna sebesar 82:1, dikuti kegiatan kunjunga ke Situs Bersejarah sebesar 27:1, kemudian kegiatan Caving yaitu 27:1, dan rasio terkecil adalah kegiatan Hiking yaitu 4:1. Total jumlah wisatawan maksimal yang masih mampu diakomodasi oleh daya dukung lingkungan adalah sebesar 174.211 wisatawan per hari, sedangkan luas area yang bisa digunakan untuk kegiatan ekowisata di TWA Gunung Meja adalah 1.107.740 m2 atau 27.693,5 acre. Jumlah maksimal pengunjung wisatawan TWA Gunung Meja dalam sehari adalah 172 wisatawan. Dengan demikian kemampuan daya dukung TWA Gunung Meja untuk kegiatan wisata alam saat ini adalah 6.440 pengunjung/m2atau 161 pengunjung/acre dalam 1 hari kunjungan. Jika dibandingkan dengan klasifikasi Douglas (1978) terhadap daya dukung lingkungan atau jumlah pengunjung untuk area yang dikelola secara ekstensif bagi wisata alam yaitu 750 orang/acre dalam 1 hari kunjungan, maka kunjungan ke TWA Gunung Meja saat ini yaitu 161 pengunjung/acre juga masih berada di bawah daya dukung lingkungan. Untuk pengembangan wisata alam pada waktu yang akan datang, perlu kebijakan pembatasan jumlah wisatawan untuk masing-masing kegiatan wisata
130
berdasarkan perhitungan pada Tabel 30 di atas. Jumlah wisatawan tidak boleh melebihi daya tampung wisatawan karena akan menurunkan kualitas lingkungan. 7.2.4. Keterkaitan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dalam Wisata Alam Berkelanjutan Wisata
alam
berkelanjutan
adalah
kegiatan
wisata
alam
yang
memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan untuk kepentingan saat ini dan untuk kepentingan yang akan datang. Keterkaitan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja disajikan pada tabel berikut. Tabel 32. Keterkaitan antara Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dalam Pengembangan Wisata Alam Berkelanjutan di TWA Gunung Meja Aspek Ekonomi
Wisatawan (Demand) Masyarakat dan Alam (Supply) • Pasar Wisata Alam • Pasar Wisata Alam Menikmati panorama alam, Estetika, Potensi Hayati : kunjungan situs bersejarah, keragaman dan keendemikan hiking, caving, pengamatan flora flora dan fauna, potensi non fauna dan pendidikan/penelitian. hayati : Goa alam dan situs Kecuali Caving, semua kegiatan bersejarah, Penunjang : wisata elastis negatif terhadap aksesibilitas dan akomodasi perubahan biaya perjalanan, kecuali kegiatan wisata caving yang memiliki elastisitas positif. • Nilai Ekonomi Wisata Alam • Nilai Ekonomi Wisata Alam : Travel Cost Method (TCM) : Rp. Manfaat Ekonomi : Total 397.268.197,-/tahun. manfaat langsung, manfaat tidak langsung Rp. 204.960.000,-/tahun. • Nilai Pengembangan Wisata • Nilai Pengembangan Wisata Alam Alam Contingent Valuation Method Contingent Valuation Method (CVM) : Rp. 3.733.800,-. (CVM) : Rp. 268.206.575,-. • Manfaat Ekonomi non wisata Pemanfaatan hasil alam sebesaar Rp. 692.225.000,/tahun.
Sosial
• Konsumsi/belanja terhadap • Dukungan masyarakat terhadap pengembangan wisata alam. produk dari masyarakat setempat • Kearifan lokal masyarakat : Gunung Meja sebagai Ayamfos (Dapur Hidup). Lingkungan • Kegiatan wisata alam saat ini • Interaksi masyarakat dalam yang masih under capacity. kawasan dan pembuangan sampah dalam kawasan.
131
TWA Gunung Meja menawarkan estetika yang indah, potensi hayati dan non hayati serta didukung dengan kemudahan aksesibilitas dan ketersediaan akomodasi sehingga menarik untuk dikunjungi. Adapun kegiatan wisata yang dilakukan oleh wisatawan di TWA Gunung Meja adalah Menikmati panorama alam/photo hunting, kunjungan situs bersejarah, hiking, caving, pengamatan flora fauna dan pendidikan/penelitian. Nilai ekonomi wisata alam TWA Gunung Meja diestimasi melalui pendekatan Travel Cost Method (TCM) untuk mengetahui surplus konsumen dari biaya perjalanan wisatawan ke TWA Gunung Meja dari sisi permintaan dan manfaat ekonomi bagi masyarakat dari kegiatan wisata sebagai nilai ekonomi dari sisi penawaran. Nilai pengembangan wisata alam diestimasi dengan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) untuk mengetahui total kesediaan membayar wisatawan dan masyarakat terhadap pengembangan wisata alam sebagai jasa lingkungan dari TWA Gunung Meja. Manfaat ekonomi bukan wisata dari kegiatan pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja masih lebih besar dari manfaat dari kegiatan wisata meskipun pemanfaatan hasil alam di kawasan ini merupakan pelanggaran. Hal ini mengindikasikan bahwa manfaat ekonomi dari kegiatan wisata alam di TWA Gunung Meja belum dapat menjadi alternatif ekonomi yang menguntungkan masyarakat, sehingga kemungkinan perambahan hasil alam akan terus berlangsung. Masyarakat sekitar TWA Gunung Meja sangat mendukung pengembangan wisata alam di kawasan ini karena pengetahuan yang baik terhadap fungsi TWA Gunung Meja. Namun, hal penting yang juga harus diperhatikan stakeholder dalam pengembangan wisata alam di kawasan ini melalui Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) TWA Gunung Meja hingga tahun 2028 adalah kearifan lokal masyarakat yang menganggap Gunung Meja sebagai Ayamfos atau dapur hidup, yang menggantungkan kehidupan ekonomi mereka terhadap alam dalam kawasan. Stakeholder harus melibatkan masyarakat lokal dalam pengembangan wisata alam sebagai penerima manfaat langsung dari kegiatan wisata, sehingga meminimalisir perambahan hasil alam di kawasan TWA Gunung Meja. Kegiatan wisata alam saat ini di TWA Gunung Meja masih under capacity yakni jumlah kunjungan untuk setiap kegiatan di kawasan ini belum melebihi
132
daya dukung lingkungan. Namun, interaksi masyarakat dalam kawasan yang mengancam keberadaan dan estetikan TWA Gunung Meja masih berlangsung yaitu perladangan atau kebun masyarakat, pengambilan kayu bakar, kayu bangunan dan kayu non bangunan, pengambilan top soil dan batu karang serta pembuangan sampah ke dalam kawasan. Karena itu, dalam pengembangan wisata alam yang berkelanjutan, perlu adanya pembatasan jumlah kunjungan yang tidak boleh over capacity dan menindak dengan tegas kegiatan dalam kawasan yang berkontribusi terhadap keberadaan lingkungan.
133