BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Wacana Istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi
bahasa
Sanskerta,
termasuk
kata
kerja
golongan
III
parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membendakan’ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’ (Mulyana, 2005: 3). Language is a wide phenomenon and its usage is even wider. The term “discourse” refers to anything written or spoken under the normal usage of language (Ahmad, 2012: 205). Kridalaksana (2008: 204) mendefinisikan bahwa wacana atau 'discourse' sebagai satuan bahasa yang lengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Menurut
Fatimah
(1994:
5)
kohesi
merupakan
keserasian
hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide. Secara terminologis, wacana diartikan sebagai suatu rentetan kalimat berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk suatu kesatuan (Moeliono, 1988: 334). Selanjutnya menurut Jorgensen (2010: 1) wacana adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda, misalnya dalam domain “wacana medis” dan “wacana politik”. Pendekatan wacana menurut dua ahli ini adalah wacana dipandang muncul dari ujaran-ujaran sosial yang membentuk fungsi bahasa sebagai bentuk sosial.
8
9 Secara spesifik pengertian ataupun definisi dari wacana itu sendiri sangatlah beragam. Dengan mempertimbangkan beragam pendapat tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat/klusa yang paling lengkap serta memiliki hubungan kohesi dan koherensi sebagai syarat keutuhan dan kepaduan yang berbentuk lisan ataupun tulis dan digunakan dalam suatu proses berkomunikasi antara pembicara dengan penyimak ataupun antara penulis dengan pembaca. 2. Jenis-Jenis Wacana Sumarlam (2009: 15) mengklasifikasikan wacana menjadi berbagai jenis menurut dasar pengklasifikasiannya. Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaiaan, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya. a. Berdasarkan
bahasa
yang
dipakai
sebagai
sarana
untuk
mengungkapkannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Wacana bahasa nasional (Indonesia), 2) wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan sebagainya), 3) wacana bahasa internasional (Inggris), 4) wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya. Berdasarkan bahasa yang dipakai, wacana yang dianalisis dalam penelitian ini adalah wacana bahasa lokal atau daerah. Hal tersebut dikarenakan di dalam wacana ini menggunakan bahasa Jawa yang termuat pada kolom Seni lan Budaya rubrik Jagad Jawa koran SOLOPOS. b. Berdasarkan media yang digunakannya maka wacana dapat dibedakan atas: 1) Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis. 2) Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan.
10 Berdasarkan media yang digunakan, wacana ini termasuk ke dalam wacana tulis yang mana penyajiannya disampaikan melalui bahasa tulis di dalam media massa yaitu surat kabar. c. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya wacana dapat dibedakan menjadi: 1) Wacana monolog (monologue discourse) artinya wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Contoh jenis wacana ini ialah orasi ilmiah, penyampaian visi dan misi, khotbah, dan sebagainya. 2) Wacana dialog (dialogue discourse) yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Contoh jenis wacana ini ialah diskusi, seminar, musyawarah, dan kampanye. Objek kajian wacana dalam penelitian ini berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya termasuk ke dalam wacana monolog, karena di dalamnya tidak terdapat percakapan apapun melainkan disampaikan seorang diri tanpa melibatkan orang lain secara langsung. d. Berdasarkan bentuknya wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk: 1) Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Contoh wacana prosa ialah cerpen, novel, artikel, dan sebagainya. 2) Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi. Contoh wacana puisi ialah puisi, sajak, dan syair. 3) Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun tulisan. Contoh wacana drama terdapat dalam naskah drama atau naskah sandiwara. Wacana yang diteliti pada penelitian ini berdasarkan bentuknya, merupakan wacana prosa. Kolom Seni lan Budaya dalam koran SOLOPOS adalah sebuah wacana yang berbentuk prosa. Bukan disajikan dalam bentuk puisi (geguritan) ataupun dalam bentuk percakapan seperti dalam naskah drama.
11 Wacana dalam penelitian ini merupakan wacana nonsastra yang terdapat di dalam koran SOLOPOS. Wacana tersebut disajikan di dalam rubrik Jagad Jawa, sedangkan penyajian geguritan terdapat dalam rubrik Jagad Sastra. e. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu wacana narasi, wacana deskripsi, wacana eksposisi, wacana argumentasi, dan wacana persuasi. 1) Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. 2) Wacana
deskripsi
yaitu
wacana
yang
bertujuan
melukiskan,
menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya. 3) Wacana eksposisi atau wacana pembeberan yaitu wacana yang tidak mementingkan
waktu
dan
pelaku,
berorientasi
pada
pokok
pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis. 4) Wacana argumentasi adalah wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti, dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya. 5) Wacana persuasi ialah wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanaya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut. Menurut cara dan tujuan pemaparannya, wacana ini termasuk ke dalam wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, atau bisa juga masuk ke dalam jenis wacana persuasi. Hal ini dikarenakan wacana nonsastra yang terdapat dalam kolom Seni lan Budaya rubrik Jagad Jawa koran SOLOPOS bertujuan untuk mendeskripsikan informasi dengan ide dan gagasan yang bersifat untuk mengajak atau mempengaruhi pembaca agar melakukan sesuatu setelah membaca tulisan tersebut.
12 3. Analisis Wacana Analisis wacana menjelaskan bagaimana bahasa (teks) berfungsi mengungkapkan realita sosial budaya (Sumarlam, 2009: 12). Parera (1991: 112) mengemukakan bahwa pumpunan (fokus) analisis wacana adalah penentuan satuan-satuan dan unsur-unsur sebuah wacana. Ini berarti bahwa kegiatan wacana tidak hanya meliputi kegiatan analisis pada aspek gramatikal yang membangun suatu wacana tersebut, akan tetapi analisis tersebut juga dilakukan untuk menemukan aspek kerasionalan dan kontekstual dalam wacana yang dianalisis. Stubs (Badara, 2013: 18) menyatakan bahwa analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Alamiah di sini berarti terjadi tanpa disadari yaitu penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Penelitian ini menggunakan salah satu aspek dari pendekatan positivisme dalam analisis wacana yang diteliti. Titik perhatian pendekatan positivisme terutama didasarkan pada benar tidak bahasa itu secara gramatikal (Eriyanto, 2001: 4). Wacana yang baik menurut pandangan ini adalah wacana yang kohesi dan koherensi. Hal ini dikarenakan wacana yang baik adalah wacana memiliki hubungan antarbagian wacana yang disebut dengan kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi pada pertautan makna. Keduanya merupakan aspek penting dalam membangun sebuah wacana. 4. Kohesi Pengkajian kalimat merupakan salah satu kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan analisis wacana. Dalam sebuah wacana, kalimat-kalimat tersebut memiliki hubungan antarbagian sehingga terbentuklah sebuah wacana yang utuh. Di dalam kalimat terdapat hubungan antarbagian wacana yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence) (Sumarlam, 2009: 23).
13 Suatu teks memiliki tekstur yang diciptakan oleh adanya hubungan yang kohesif antar kalimat di dalam teks tersebut (Kaswanti, 1993: 37). Artinya bahwa hubungan kohesif antar kalimat dalam suatu teks menjadi unsur pembentuk wacana yang padu dan utuh. Halliday (1990: 4) menyatakan “The concept of cohesion is a semantic one; it refers to the relations of meaning that exist within the text”. Konsep dari sebuah kohesi adalah hubungan semantik yang mana mengacu pada hubungan makna di dalam teks. Artinya kohesi itu memungkinkan terjalinnya keteraturan hubungan semantik antara unsur-unsur dalam sebuah wacana. Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan penelitian kepada aspek kohesi supaya penelitian lebih mendetail dan memiliki penjelasan yang lebih terfokus meskipun aspek koherensi juga tidak kalah penting. Moeliono (Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Mulyana menambahkan bahwa konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Hal itu berarti, kalimat-kalimat yang memiliki keterikatan secara padu dan utuh dapat membangun sebuah wacana yang baik. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa dengan pemahaman kohesi yang baik, maka dapat pula seseorang itu menyusun suatu wacana yang baik. Salah satu unsur pembentuk teks yang terpenting adalah kohesi (cohesion) (Haryanti, 2012: 2). Gutwinsky (Tarigan, 2009: 93) menyatakan
bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Dalam pengertian tersebut, terdapat dua hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana yaitu aspek gramatikal dan leksikal. Kohesi memiliki beberapa unsur penting, yaitu keterikatan atau keterpautan hubungan makna antara satu unsur dengan unsur yang lain, baik dalam kata (antara morfem yang satu dengan yang lain), paragraf (klausa yang satu dengan klausa yang lain), maupun teks (antara paragraf satu dengan paragraf yang lain) (Wiana, 2011: 653)
14 Senada dengan hal tersebut, Halliday (1990: 8) mengatakan bahwa cohesion is a semantic relation between an element in the text and some other element that is crucial to the interpretation of it. Kohesi adalah hubungan semantik antara elemen dalam teks dan elemen yang lain yang penting sekali untuk menafsirkannya. Cohesion is expressed partly though the grammar and partly though the vocabulary. We can refer therefore to grammatical cohesion and lexical cohesion (Halliday, 1990: 5-6). Kohesi diungkapkan sebagian melalui tata bahasa dan sebagian melalui kosakata. Kita bisa mengacu hal tersebut pada kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Halliday dan Hasan membagi kohesi menjadi dua yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kohesi gramatikal berkenaan dengan struktur kalimat, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan segi makna. Kedua jenis kohesi ini terdapat dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur. Morgan (2000: 280) menjelaskan bahwa the creation of cohesion in discourse as a linguistic problem involves the language based devices of anaphora, connectives, and simultaneity markers amongst others. Penciptaan kohesi dalam wacana sebagai masalah linguistik melibatkan perangkat berbasis bahasa anafora, penghubung, dan penanda simultanitas dengan yang lain. a. Kohesi Gramatikal Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Halliday (1990: 6) membagi kohesi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Keduanya merupakan piranti wacana untuk mendukung kepaduan wacana. Piranti wacana yang biasa digunakan untuk mendukung kepaduan wacana dari segi aspek gramatikal meliputi pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction) (Sumarlam, 2006: 23).
15 1) Pengacuan (reference) Pengacuan (referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2006: 23). Senada dengan hal tersebut, Halliday memberikan penjelasan lebih lanjut dalam skema sebagai berikut: Reference
(Situational) exophora
(Textual) endophora
(to preceding text) anaphora
(to following text) cataphora
Gambar 2.1 Referensi (Halliday, 1990: 33) Berdasarkan gambar di atas, maka dapat diketahui bahwa referensi (reference) dibagi menjadi dua jenis yaitu eksofora dan endofora. Eksofora terjadi pada kontak situasi yang kata-kata itu bukan merujuk ada orang atau benda melainkan merujuk pada baris-baris kalimat dalam argumen yang mendahuluinya (situational). Referensi endofora berkebalikan dengan eksofora, pengacuan endofora terjadi di dalam teks itu sendiri (textual). Jika acuan ini terjadi mendahului teks (to preceding text), maka disebut anafora. Tetapi jika terjadi mengikuti teks (to following text), maka disebut katafora. Artinya bahwa apabila suatu satuan lingual yang diacu berada di sebelah kirinya, maka disebut dengan anafora. Apabila suatu satuan lingual yang diacu berada di sebelah kanan kata yang mengacu, maka disebut dengan katafora. Sumarlam (2004: 6) menyatakan bahwa pengacuan (referensi) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal wacana yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu pengacuan persona,
16 pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif. Pengacuan persona merujuk pada kata ganti orang, demonstratif pada tempat dan waktu, serta komparatif bersifat membandingkan antar satuan lingual satu dengan lainnya. a) Pengacuan Persona Pengacuan persona diwujudkan dalam bentuk pronomina persona yang meliputi persona pertama, kedua, dan ketiga dalam bentuk tunggal maupun jamak, baik yang berdiri sendiri, terikat lekat kiri, maupun terikat lekat kanan. Klasifikasi pronomina persona secara lebih lengkap dapat diperhatikan dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.2. Pengacuan Persona (Sumarlam, 2009: 24) Pengacuan Persona I Tunggal
II Jamak
Tunggal
- aku,
- kami
- kamu,
saya,
- kami
anda,
hamba, gua/gue,
semua - kita
ana/ane
anta/ane - terikat lekat
III Jamak - kamu
- mereka
semua
beliau
- mereka
- kalian
- terikat
- kalian
lekat
semua
kiri: ku-
semua
kiri: di- lekat
- lekat
lekat
Jamak
- ia, dia,
kiri: kau-
- terikat
Tunggal
kanan: -
kanan:
nya
-mu
- lekat kanan: -ku
Pronomina
persona
menurut
Sumarlam
terdiri
dari
pronomina persona orang pertama, pronomina orang kedua, serta pronomina orang ketiga. Selanjutnya masih dibagi lagi menjadi pronomina orang pertama tunggal, pronomina orang pertama
17 jamak, pronomina orang kedua tunggal, pronomina orang kedua jamak, serta pronomina orang ketiga tunggal dan pronomina orang ketiga jamak. Selain itu, ada pula pronomina orang pertama tunggal lekat kiri dan kanan, pronomina orang kedua tunggal lekat kiri dan kanan, serta pronomina orang ketiga tunggal lekat kiri dan kanan. Dalam bahasa Jawa, pronomina persona disebut dengan tembung sesulih purusa yang secara lengkap disajikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 2.3. Pengacuan Persona Pengacuan Persona I Tunggal
II Jamak
- kita, - aku, kawul kula, a ingsun, adalem, abdi dalem - terikat lekat kiri: dak- lekat kanan: -ku
Tunggal - kowe, sampeyan, jengandika, ndika, nandalem, slirane, awake, panjenengan , sira - terikat lekat kiri: ko-, kok-, mang- lekat kanan: -mu, -ira
III Jamak -
Tunggal - dheweke, dheke, dheknene, piyambake, piyambakipu n - lekat kanan: -e
Jamak -
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pronomina persona merupakan kata ganti orang yang mana terdiri dari kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga dalam bentuk tunggal ataupun jamak, lekat kanan maupun lekat kiri pada pronomina persona tunggal.
18 Halliday dan Hasan (1990:44) menjelaskan bahwa kategori persona memiliki bagian-bagian dengan rincian sebagai berikut: Speaker only: I Speaker Speaker plus: we Speech Roles Male: He Adressee (s): you Person
Human
Singular Spesific
Female: She Non-Human: it
Plural: They Speech Roles
Generalized Human: one
Gambar 2.2. Referensi (Halliday, 1990:44) Gambar bagan di atas menjelaskan bahwa pengacuan persona adalah segala bentuk persona berupa kata ganti orang baik yang berbentuk tunggal maupun jamak ditambah dengan kata ganti it. Bentuk persona yang berupa kata ganti meliputi pronomina persona satu yaitu I dan We, pronomina persona kedua yaitu you, pronomina persona ketiga yang dibedakan antara specific dan generalized human: one. Specific dikategorikan dibagi menjadi dua jenis yaitu jamak yang berupa they, dan tunggal yaitu untuk selain manusia: it. Terakhir adalah manusia berjenis kelamin laki-laki dengan he dan jenis kelamin wanita dengan she. Dari beberapa teori di atas menunjukkan bahwa referensi persona merupakan kata ganti orang yang diwujudkan dalam
19 beberapa jenis. Terkait dengan referensi atau pengacuan persona, perhatikan contoh berikut ini: (175) Dene Jokowi nawakake cara mimpin sing beda. Dheweke bisa luwih caket kalawan rakyat lan ora nengenake gengsi. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Kalau Jokowi menawarkan cara memimpin yang berbeda. Dia bisa lebih dekat dengan rakyat dan tidak mementingkan gengsi.’ Wacana di atas menunjukkan wacana yang kohesif. Pada data (175) kata dheweke merupakan pronomina persona III. Kata dheweke atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘dia’ merupakan penunjuk dari kata yang tertunjuk yaitu Jokowi yang berada di sebelah kiri kata tersebut. Dengan demikian, kata dheweke dalam data (175) menurut arah acuannya merupakan referensi/pengacuan yang bersifat anafora. Kata tertunjuk pada data ini terdapat di dalam teks sehingga berdasarkan tempat pengacuannya merupakan pengacuan/referensi endofora. b) Pengacuan Demonstratif Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Klasifikasi pronomina demonstratif tersebut dapat diilustrasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 2.4. Pengacuan Demonstratif (Sumarlam, 2009: 26) Demonstratif (Penunjukan) Waktu
Tempat
kini: kini, sekarang, saat ini lampau: kemarin, dulu, ...yang lalu y.a.d.: besok, ...depan, ...yang akan datang netral: pagi, siang, sore, pukul 12
dekat dengan penutur: sini, ini agak dekat dengan penutur: situ, itu jauh dengan penutur: sana menunjuk secara eksplisit: Solo, Yogya
20
Di dalam bahasa Jawa, pengacuan demonstratif disebut dengan tembung sesulih panuduh dengan rincian pada tabel di bawah ini: Tabel 2.5. Pengacuan Demonstratif Demonstratif (Penunjukan) Waktu kini: saiki lampau: wingi, wingenane, dekwingi, biyen, dekbiyen y.a.d.: sesuk, sesuke, sukmben, ...sesuk, ...ngarep netral: esuk, awan, sore, bengi, jam siji
Tempat dekat dengan penutur: kene, mriki. agak dekat dengan penutur: kono, mriku. jauh dengan penutur: kana, mrika menunjuk secara eksplisit: Solo, Yogya
Pengacuan demonstratif dibagi menjadi demonstratif waktu dan tempat yang mana demonstratif waktu terdapat pengacuan kini, lampau, yang akan datang, dan juga netral. Sementara itu, pengacuan demonstratif tempat menunjuk yang dekat dengan pentutur, agak dekat dengan penutur, jauh dengan penutur, serta menunjuk secara eksplisit. Perhatikan contoh berikut ini: (176) Joko Widodo lan Jusuf Kalla wus disumpah minangka presidhen sarta Wakil Presiden Indonesia 2014-2019, Senen (20/10) kepungkur. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019, Senin (20/10) yang lalu.’ Kata kepungkur pada data (176) merupakan pengacuan demonstratif waktu (temporal) yang termasuk ke dalam masa lampau. Data (176) menurut arah pengacuannya termasuk referensi anafora karena menerangkan Senen (20/10) yang berada di sebelah
21 kiri kata penunjuk. Kata tertunjuk pada data ini terdapat di dalam teks sehingga berdasarkan tempat pengacuannya merupakan pengacuan/referensi endofora. Sementara itu, Halliday dan Hasan (1976:57) pengacuan demonstratif diklasifikasikan menjadi dua yaitu neutral: the dan selective. Untuk lebih jelasnya dijabarkan pada bagan berikut ini: Neutral: the
near
Selective
Identy: same equal identical, identically far: not near
Near:
Far:
singular:
this
that
plural:
these
those
then
here
there
now
then
participant
circumstance
Gambar 2.3. Pengacuan
now time: Identy: same equal Demonstratif identical, identically
(Halliday, 1976:57)
Selektif dibagi menjadi dekat dengan pembicara (near); this, these (jika benda yang ditunjuk jamak), here, now. Dan jauh dari pembicara (far): that, those (benda yang ditunjuk jamak), there, then. Referensi demonstratif berkaitan dengan pengacuan yang menunjuk pada tempat, waktu, perbuatan, keadaan, hal, atau isi sebagai bagian dari sebuah wacana. c) Pengacuan Komparatif (Perbandingan) Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud,
22 sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam, 2009: 27). Pengacuan
komparatif
dikategorikan
menjadi
dua
yaitu
perbandingan secara umum (general) dan khusus (particular). Perbandingan secara umum terdiri dari perbandingan identitas
(identy),
persamaan
(similarity)
dan
perbedaan
(difference). Perbandingan khusus meliputi perbandingan jumlah (numerative) dan penjelas yang bersifat mendiskripsikan benda (ephitet). Untuk menyatakan persamaan unsur yang digunakan antara lain same, equal, identical, such, similar, dan likewis. Sedangkan unsur yang menyatakan perbedaan adalah different, other, else, dan otherwise. Terkait dengan hal tersebut, Halliday menjelaskan pada gambar berikut ini: Identy: same equal identical, identically general
Similarity: such similar, so similarity likewise Difference: other different else, differently otherwise
Comparison
particular
numerativ: more fewer less further additional; so - as - equally - + quantifier, eg: so many so many epithet: comparative adjectives and adverbs, eg: better; so - as - more - less equally - + comparative adjectives and adverbs, eg: equally good
Gambar 2.3. Pegacuan Komparatif (Halliday, 1990:76) Pengacuan komparatif merupakan pengacuan yang bersifat membandingkan. Perhatikan contoh berikut ini: (177) Jokowi duwe cara sing beda kalawan presidhen sadurunge. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Jokowi mempunyai cara yang berbeda dibandingkan dengan presiden sebelumnya.’
23 Pada data (177) terdapat unsur lingual beda yang mana membandingkan
antara
Jokowi
dan
presiden
sebelumnya.
Keduanya dibandingkan dari cara memerintah ketika menjadi presiden. Unsur lingual beda ini memiliki arti ‘berbeda’ dengan mengacu pada presidhen sadurunge yang berada di sebelah kanannya sehingga berdasarkan arah pengacuannya merupakan pengacuan/ referensi katafora. Kata tertunjuk pada data (177) terdapat di dalam teks sehingga berdasarkan tempat pengacuannya merupakan pengacuan/ referensi endofora. Sementara itu, menurut Mulyana (2005: 18-19), berdasarkan bentuknya referensi dapat dipilah menjadi tiga bagian, yaitu: a) Referensi dengan nama Referensi ini dipakai untuk memperkenalkan topik (subjek) yang baru, atau justru untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama, sehingga tidak perlu disebut lagi pada bagian-bagian sesudahnya. b) Referensi dengan kata ganti Referensi ini digunakan untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama. Di samping itu, referensi ini juga sering digunakan untuk meletakkan tingkat fokus yang lebih tinggi pada topik yang dimaksud.
Jika
topiknya
orang,
maka
pronominalisasi
dipresentasikan dengan pronomina persona (I, II, III). Apabila topiknya bukan orang atau tidak hidup, pronominalisasi dapat diwujudkan dengan kata ganti penunjuk (ini, itu, di sana, di situ, dan sebagainya). c) Referensi dengan pelesapan Referensi dengan pelesapan ialah penghilangan dengan bagian-bagian tertentu dalam suatu kalimat untuk menunjukkan masih adanya pengacuan bentuk dan makna di dalam kalimat lainnya. Salah satu fungsi pelesapan adalah untuk mendapatkan efek efisiensi bahasa.
24 Pada penelitian ini digunakan referensi yang diutarakan oleh Sumarlam serta Halliday sebagai bahan analisis wacana dalam wacana yang diteliti. Pengambilan data dalam penelitian ini berupa pengacuan persona, demonstratif, dan komparatif. Adapun teori Mulyana di atas digunakan sebagai pembanding teori terkait dengan referensi. 2) Penyulihan (substitution) Substitusi atau penyulihan adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2009: 28). Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
subtitusi dibedakan menjadi empat macam berdasarkan satuan lingualnya yaitu substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal. Tujuan dari subtitusi ini adalah untuk menemukan atau memperoleh unsur pembeda. a) Subtitusi Nominal Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga
berkategori
nomina,
misalnya
kata
derajat,
tingkat
diganti dengan pangkat, kata gelar diganti dengan titel (Sumarlam, 2009: 28). Perhatikan contoh berikut ini: (178) Mardika diwerdeni bisa nglakoni apa wae saksenenge, nuruti apa karepe dheweke lan pepanthane, kepara nganti nrajang aturan lan tatanan. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Merdeka diartikan bisa melakukan apa saja sesukanya, menuruti keinginannya sendiri dan kelompok, bahkan sampai melanggar aturan dan tatanan.’ Pada contoh di atas, kata aturan disubtitusi dengan kata tatanan yang keduanya memiliki arti yang sama yaitu peraturan. Subtitusi ini digunakan untuk mendapatkan unsur pembeda. Kata tatanan merupakan unsur pengganti dari kata aturan sebagai unsur yang terganti.
25 b) Subtitusi Verbal Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba (Sumarlam, 2009: 29). Misalnya kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut ini: (179) Andrik kang uga kondhang minangka sutresna budaya ing Solo iki ngandharake Jokowi duwe cakrik cara mimpin sing beda katandhingake presidhen-presidhen sadurunge. Andrik nyebut basa politike Jokowi kanthi ukara politik massa sing tanpa let. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Andrik yang juga terkenal sebagai pecinta budaya di Solo ini mengatakan bahwa Jokowi mempunyai bentuk cara memimpin yang berbeda dibandingkan dengan presidenpresiden sebelumnya. Andrik menyebutkan bahasa politiknya Jokowi dengan kata politik massa yang tanpa batas.’ Dalam data (179) terdapat subtitusi verbal dimana unsur lingual ngandharake disubtitusi dengan unsur lingual nyebut pada kalimat setelahnya. Kata ngandharake merupakan unsur yang terganti dengan kata nyebut sebagai unsur pengganti. Keduanya bisa saling menggantikan satu sama lain karena pada dasarnya memiliki makna kata yang sama. Apabila keduanya saling menggantikan, maka kalimatnya akan menjadi, “Andrik kang uga kondhang minangka sutresna budaya ing Solo iki nyebut Jokowi duwe cakrik cara mimpin sing beda katandhingake presidhen-presidhen sadurunge. Andrik ngandharake basa politike Jokowi kanthi ukara politik massa sing tanpa let.” c) Subtitusi Frasal Subtitusi frasal adalah penggantian nama satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lain yang berupa frasa (Sumarlam, 2009: 29). Subtitusi frasal yang
26 biasanya terdapat dalam suatu wacana misalnya tampak pada contoh berikut ini: (180) Atusan wong uga nekani Istana Merdeka, Jakarta, Senen sore kuwi, kanthi ancas bisa sapa aruh lan salaman karo presidhen anyar sing luwih kawentar kanthi asma Jokowi iku. Saking senenge, sanadyan ora bisa ketemu langsung, mung diwatesi pager ing plataran Istana Merdeka, wongwong kuwi katon seneng banget. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Ratusan orang juga mendatangi Istana Merdeka, Jakarta, Senin sore itu, dengan tujuan bisa bertutur sapa dan bersalaman dengan presiden baru yang lebih terkenal dengan nama Jokowi itu. Saking senangnya, walaupun tidak bisa bertemu langsung, hanya dibatasi pagar di halaman Istana Merdeka, orang-orang itu terlihat senang sekali.’ Pada contoh di atas, terdapat subtitusi frasa sapa aruh yang digantikan oleh kata ketemu. Kata ketemu menjadi unsur pengganti dari frasa sapa aruh, sehingga merupakan subtitusi frasal, yaitu penggantian frasa dengan kata. Keduanya memiliki makna kata yang sama. Keduanya bisa saling menggantikan satu sama lain tanpa menghilangkan makna dalam suatu konstruksi. d) Subtitusi Klausal Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa (Sumarlam, 2009: 30). Perhatikan contoh berikut: (181) Joko Widodo lan Jusuf Kalla wus disumpah minangka presidhen sarta Wakil Presiden Indonesia 2014-2019, Senen (20/10) kepungkur. Adicara kuwi dipahargya dening bebrayan agung Indonesia kanthi rasa seneng. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019, Senin (20/10) yang lalu. Acara itu disambut oleh warga Indonesia dengan rasa senang.’ Pada contoh di atas, terdapat subtitusi klausa Joko Widodo lan Jusuf Kalla wus disumpah minangka presidhen sarta Wakil
27 Presiden Indonesia 2014-2019 yang digantikan oleh kata adicara kuwi. Keduanya bisa saling menggantikan tanpa merubah makna kalimat. 3) Pelesapan (Elipsis) Elipsis atau pelesapan adalah kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya (Sumarlam, 2009: 30). Lebih lanjut lagi djelaskan bahwa elipsis atau pelesapan dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Elipsis atau pelesapan berfungsi untuk membentuk suatu kalimat yang efisien. Hal ini dilakukan dengan melesapkan atau tidak menampakkan suatu kata, frasa, klausa, atau kalimat dalam suatu wacana tanpa mengesampingkan makna dan maksud yang ingin disampaikan dalam kalimat tersebut. Perhatikan contoh berikut ini: (182) Kabeh warga bebrayan agung wiwit ing tataran kelas menengah nganti Ø wong-wong cilik digatekake kanthi temen-temen. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Semua warga dimulai dari tataran kelas menengah sampai Ø orang kecil diperhatikan dengan sungguh-sungguh.’ Adapun Halliday (1990: 146) membagi tiga elipsis yaitu nominal ellipsis, verbal ellipsis dan clausal ellipisis sebagai berikut: a) Pelesapan Nomina Pelesapan nomina adalah pelesapan konstituen inti (head) dari suatu frasa nomina. Inti dalam frasa nomina hilang, sehingga posisi yang ditempati inti diganti oleh konstituen penjelas (modifier) yang menjelaskannya. Dalam hal ini fungsi inti (head) dapat ditempati oleh deiksis, numeratif, dan ephitet. b) Pelesapan Verba Pelesapan verba adalah pelesapan satuan lingual verba yang telah disebutkan sebelumnya. Pelesapan verba merupakan suatu frasa verba yang susunannya tidak secara penuh diungkapkan
28 dalam wacana. Dalam elipsis ini terdapat unsur frasa verba yang dihilangkan. Ada dua jenis pelesapan verba yaitu pelesapan kata kerja leksikal dan pelesapan operator. Frasa verba yang mengalami pelesapan kata kerja leksikal disebut elipsis leksikal sedangkan frasa verba yang mengalami pelesapan operator disebut elipsis operator. c) Pelesapan Klausa Elipsis klausa adalah pelesapan klausa. Ada tiga jenis pelesapan klausa yaitu pelesapan seluruh kalimat, pelesapan subjek dan frasa verba, dan pelesapan frasa verba dan objek. 4) Perangkaian (Conjunction) Perangkaian
(konjungsi)
merupakan
salah
satu
aspek
gramatikal yang berfungsi menghubungkan antar unsur yang satu dengan unsur lainnya. Perangkaian menyatakan bermacam-macam makna, misalnya menyatakan pertentangan, urutan (sekuensial), sebab akibat, konsesif, dan sebagainya (Sumarlam, 2006: 53). Unsur
yang
dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2009: 32). Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna tersebut dapat berupa sebab akibat, pertentangan, kelebihan (eksesif), pengecualian (eksetif), konsesif,
tujuan,
penambahan
(aditif),
pilihan
(alternatif),
harapan (optatif), urutan (sekuensial), perlawanan, waktu (temporal), syarat, dan cara. Misalkan saja konjungsi tetapi yang menghubungkan unsur satu dengan unsur yang lain memiliki makna pertentangan. Konjungsi kemudian yang menghubungkan unsur satu dengan unsur yang lain memiliki makna urutan (sekuensial). Makna perangkaian
29 beserta konjungsi secara lebih detail dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut: Tabel 2.6. Konjungsi dari Segi Maknanya (Sumarlam, 2009: 33) Konjungsi Sebab akibat
sebab, karena, maka, makanya, sebab, karana, amarga, mula
Pertentangan
tetapi, namun, ananging
Kelebihan (eksesif)
Malah
Pengecualian (eksetif)
kecuali, kajaba
Konsesif
walaupun, meskipun, sanajan, ewondene
Tujuan
supaya, supados
Penambahan (aditif)
dan, juga, serta, lan, uga, sarta
Pilihan (alternatif)
atau, apa, utawa, apa
Harapan (optatif)
semoga, muga-muga
Urutan (sekuensial)
lalu, terus, kemudian, banjur, terus
Perlawanan
sebaliknya, sewalike
Waktu (Temporal)
setelah, sesudah, usai, selesai, sabanjure, sawise, sadurunge
Syarat
apabila, jika (demikian), menawa, yen
Cara
dengan (cara) begitu, sacara mengkono Terdapat 14 konjungsi berdasarkan maknanya. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut: (183) Demokrasi lan kamardikan ing Indonesia sajake diwerdeni beda dening sawetara wong lan pepanthan. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Demokrasi dan kemerdekaan di Indonesia kelihatannya diartikan berbeda oleh beberapa orang dan kelompok.’ Pada contoh di atas, kalimat tersebut menggunakan konjungsi lan untuk membentuk suatu kalimat yang kohesif. Konjungsi tersebut memiliki makna penambahan (aditif).
30 b. Kohesi Leksikal Suatu kepaduan wacana dibentuk bukan hanya dari aspek gramatikal saja, akan tetapi juga dari aspek leksikal. Keduanya adalah aspek penting dalam membentuk wacana yang padu. Halliday (1990: 274) menyatakan bahwa “This (lexical cohesion) is the cohesive effect achieved by the selection of vocabulary”. Artinya adalah kohesi leksikal dapat dibentuk dengan cara pemilihan kosa kata. Dalam kegiatan analisis wacana pada aspek leksikal, penguasaan kosa kata menjadi sesuatu yang sangat penting. Makna leksikal adalah makna leksem, makna butir leksikal (lexical item), atau makna yang secara inheren ada di dalam butir leksikal itu. Secara umum, masalah makna leksikal mencakup masalah (a) kesamaan makna, (b) kebalikan makna, (c) ketercakupan makna, dan (d) keberlainan makna (Chaer, 2007: 68). Kohesi leksikal ialah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis (Sumarlam, 2009: 34). Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponim (hubungan atas-bawah), dan ekuivalensi (kesepadanan). 1) Repetisi (Pengulangan) Keraf (2007: 127) menyatakan bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Sementara itu, Keraf (Sumarlam, 2009: 35) menjelaskan bahwa berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi
epizeuksis,
tautotes,
anafora,
epistrofa,
simploke,
mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. a) Repetisi Epizeuksis Repetisi epizeuksis adalah bentuk pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut
31 (Sumarlam, 2009: 35). Menurut Keraf (2007: 127) repetisi ini adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh repetisi epizeuksis adalah sebagai berikut: (184) Wong Jawa ngukuhi piwulang aja nganti nerak-nerak angger-angger, aja nganti nerak paugeran. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Orang Jawa memegang teguh ajaran jangan sampai melanggar asal-asalan, jangan sampai melanggar aturan.’ Pada data (184) di atas, unsur lingual aja nganti diulang dua kali dalam satu kalimat. Hal ini bertujuan untuk menekankan bahwa unsur lingual tersebut dianggap penting. Repetisi pada kata aja nganti tersebut bersifat langsung. b) Repetisi Tautotes Sumarlam (2009: 36) menyatakan bahwa repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Menurut Keraf (2007: 127) repetisi tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Contoh repetisi tauotes adalah sebagai berikut: Aku tresna sliramu, sliramu seneng marang aku, aku lan sliramu banjur bebojoan. ‘Aku cinta kamu, kamu cinta aku, aku dan kamu kemudian menikah.’ Data di atas, terdapat kata aku dan sliramu dalam satu konstruksi yang diulang secara berulang-ulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kalimat tersebut terdapat repetisi tautotes. c) Repetisi Anafora Menurut Sumarlam (2009: 36), repetisi anafora adalah bentuk pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap
32 baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. Menurut Keraf (2007: 127) repetisi anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contoh pengulangan/repetisi anafora adalah sebagai berikut: (185) Andrik kang uga kondhang minangka sutresna budaya ing Solo iki ngandharake Jokowi duwe cakrik cara mimpin sing beda katandhingake presidhen-presidhen sadurunge. Andrik nyebut basa politike Jokowi kanthi ukara politik massa sing tanpa let. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Andrik yang juga terkenal sebagai pecinta budaya di Solo ini mengatakan bahwa Jokowi mempunyai bentuk cara memimpin yang berbeda dibandingkan dengan presidenpresiden sebelumnya. Andrik menyebutkan bahasa politiknya Jokowi dengan kata politik massa yang tanpa batas.’ Data (185) merupakan data mengenai repetisi anafora. Repetisi anafora dalam data tersebut ditunjukkan dengan adanya kata Andrik sebagai kata pertama dalam sebuah kalimat diulang sebagai kata pertama dalam kalimat setelahnya. d) Repetisi Epistrofa Repetisi epistrofa adalah lawan dari repetisi anafora. Repetisi ini berupa pengulangan kata atau kelompok kata yang sama pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut (Sumarlam, 2009: 37). Menurut Keraf (2007: 128) repetisi epistofora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh repetisi epistrofa adalah sebagai berikut: (186)
Sing luwih kuwasa mesthi menang. Sing akeh cacahe rumangsa nyekel kuwasa lan kudu menang. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Yang lebih berkuasa pasti menang. Yang banyak jumlahnya merasa memegang kekuasaan dan harus menang.’
33 Data (186) menunjukkan adanya repetisi atau pengulangan kata pada akhir kalimat secara berurutan. Kata yang diulang adalah kata menang pada akhir kalimat pertama dan diulang pada akhir kalimat setelahnya. e) Repetisi Simploke Sumarlam (2009: 37) menjelaskan bahwa repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Menurut Keraf (2007: 128) repetisi simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh repetisi simploke adalah sebagai berikut: Wong ngomong aku mlarat, ya wis ben. Wong ngomong aku elek, ya wis ben. Wong ngomong aku aku bodho, ya wis ben. ‘Orang bilang aku miskin, tidak apa-apa. Orang bilang aku jelek, tidak apa-apa. Orang bilang aku bodoh, tidak apaapa.’ Repetisi simploke pada data di atas ditunjukkan dengan adanya pengulangan pada awal dan akhir kalimat secara berturutturut. Unsur lingual yang diulang adalah wong ngomong dan ya wis ben. f) Repetisi Mesodiplosis Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut (Sumarlam, 2009: 37). Menurut Keraf (2007: 128) repetisi mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Makna pada kata yang diulang ini dianggap sebagai sesuatu yang penting. Contoh repetisi mesodiplosis adalah sebagai berikut: (200) Nganti ora ana let antarane rakyat kalawan presidhene. Jokowi duwe cara sing beda kalawan presidhen sadurunge. (JJ 367/PNN/10/2014)
34 ‘Sampai tidak ada jarak antara rakyat dengan presidennya. Jokowi mempunyai cara yang berbeda dibandingkan dengan presiden sebelumnya.’ Data (200) menunjukkan adanya repetisi mesodiplosis. Pengulangan tersebut terdapat di tengah kalimat yaitu dengan mengulang kata kalawan pada kalimat setelahnya. g) Repetisi Epanalepsis Repetisi epanalepsis adalah pengulangan kata/frasa pada awal dan akhir dalam satu baris atau kalimat. Repetisi ini berupa pengulangan satuan lingual,
yang kata/frasa terakhir dari
baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama (Sumarlam, 2009: 38). Pengulangan ini dapat terjadi pada puisi maupun prosa. Kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu terjadi pengulangan
sehingga
menjadi
kata/frasa
pertama
dalam
baris/kalimat yang sama. Menurut Keraf (2007: 128) repetisi epanalepsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh repetisi epanalepsis adalah sebagai berikut: Mardika kuwi ora ateges bisa tumindak sakarepe dhewe, ananging bisa ngurmati hak lan kewajiban liyan kuwi sing diarani mardika. ‘Merdeka itu bukan maksudnya bisa melakukan sesuka hatinya, akan tetapi bisa menghormati hak dan kewajiban orang lain itu yang disebut merdeka.’ Pada data di atas terdapat repetisi epanalepsis yang mana pengulangan terjadi pada awal kalimat dan akhir kalimat. Kata mardika pada akhir kalimat merupakan pengulangan kata pertama pada awal kalimat. h) Repetisi Anadiplosis Sumarlam anadiplosis
(2009:
adalah
38)
menyatakan
pengulangan
kata/frasa
bahwa
repetisi
terakhir
dari
35 baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. Pengulangan ini berupa kata/frasa terakhir dalam kalimat pertama menjadi kata/frasa pada kalimat berikutnya dan seterusnya. Pengulangan seperti ini biasanya terdapat pada puisi maupun prosa. Menurut Keraf (2007: 128) repetisi anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh repetisi anadiplosis adalah sebagai berikut: (188) “Beda adoh antarane Jokowi lan Bung Karno. Bung Karno adhedasar politik marhaenisme, dene Jokowi nggunakake politik rakyat, sesambungan langsung kalawan bebrayan ing ndesa, among tani, lan rakyat cilik,” piterange Andrik. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘“Beda jauh antara Jokowi dan Bung Karno. Bung Karno berdasar politik marhaenisme, kalau Jokowi menggunakan politik rakyat, berhubungan langsung dengan warga di desa, para petani, dan rakyat kecil,” kata Andrik.’ Dalam data (188) repetisi anadiplosis terjadi pada unsur lingual Bung Karno. Unsur lingual Bung Karno sebagai unsur lingual terakhir dari kalimat sebelumnya digunakan sebagai unsur lingual pertama pada kalimat setelahnya. 2) Sinonimi (Padan Kata) Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama (Keraf, 2007: 34). Sinonimi dapat diartikan sebagai hubungan semantik yang manyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:297). Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yakni (1)
sinonimi
antara
morfem
(bebas)
dan
morfem
(terikat),
(2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa
36 dengan
frasa,
dan
(5)
klausa/kalimat
dengan
klausa/kalimat
(Sumarlam, 2009: 39). Kelima jenis sinonim berdasarkan wujud satuan lingualnya secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: a) Sinonimi antara morfem (bebas) dan morfem (terikat) (201) Dene Jokowi nawakake cara mimpin sing beda. Dheweke bisa luwih caket kalawan rakyat lan ora nengenake gengsi. M.T. Arifin ngandharake Jokowi pancen wus cukup suwe dikenal dening bebrayan agung bangsa iki. Nalika dadi Wali Kutha Solo lan Gubernur DKI Jakarta Jokowi kerep dadi warta ing media massa jalaran akeh programe sing mehak rakyat lan kasil kaleksanan. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Kalau Jokowi menawarkan cara memimpin yang berbeda. Dia bisa lebih dekat dengan rakyat dan tidak mementingkan gengsi. M.T. Arifin menjelaskan Jokowi memang sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat bangsa ini. Ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta Jokowi sering menjadi pemberitaan di media massa karena banyak programnya yang memihak rakyat dan berhasil terlaksana.’ Pada data di atas, morfem bebas berupa dheweke memiliki sinonim dengan morfem terikat -e yang melekat pada unsur lingual programe. Unsur lingual tersebut merupakan bentuk pronomina persona III tunggal yang mengacu pada Jokowi. b) Sinonimi kata dengan kata (189) Negara duwe pranatan sing kudu dijejegage. Kabeh warga negara kudu manut pranatan kuwi. Lamun wani nerak utawa nglanggar bakal nuwuhake kapitunan pribadhine dhewe lan tumrap pabrayan agung. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Negara punya tata cara yang harus didirikan. Semua warga negara harus hormat dengan tata cara tersebut. Jika berani menerjang atau melanggar akan menumbuhkan penderitaan pribadinya sendiri dan terhadap masyarakat.’ Pada data (189) di atas, unsur satuan lingual nerak mempunyai sinonimi dengan kata nglanggar. Kedua kata tersebut memiliki makna kata yang sama, sehingga termasuk ke dalam sinonimi kata dengan kata.
37 c) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya (190) Kawula karepe rakyat lan gusti karepe pemimpin, panguwasa, utawa pangarsa negara.(JJ 367/PNN/10/2014) ‘Kawula berarti rakyat dan gusti berarti pemimpin, penguasa, atau kepala negara.’ Data (190) di atas terdapat sinonimi antara kata pemimpin dengan pangarsa negara. Keduanya memiliki makna kata yang sama yaitu orang yang dianggap sebagai orang yang memiliki jabatan tinggi. d) Sinonimi frasa dengan frasa (191) Negara duwe pranatan sing kudu dijejegage. Kabeh warga negara kudu manut pranatan kuwi. Lamun wani nerak utawa nglanggar bakal nuwuhake kapitunan pribadhine dhewe lan tumrap pabrayan agung. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Negara punya tata cara yang harus didirikan. Semua warga negara harus hormat dengan tata cara tersebut. Jika berani menerjang atau melanggar akan menumbuhkan penderitaan pribadinya sendiri dan terhadap masyarakat.’ Data (191) di atas merupakan sinonimi frasa dengan frasa. Frasa yang bersinonim adalah frasa warga negara dengan pabrayan agung yang memiliki makna kata yang sama. e) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat (192) Mardika diwerdeni bisa nglakoni apa wae saksenenge, nuruti apa karepe dheweke lan pepanthane, kepara nganti nrajang aturan lan tatanan. (JJ 374/TU/12/2014) ‘Merdeka diartikan bisa melakukan apa saja sesukanya, menuruti keinginannya sendiri dan kelompok, bahkan sampai melanggar aturan dan tatanan.’ Data (192) di atas terdapat sinonimi klausa dengan klausa. Sinonimi tersebut terjadi antara klausa bisa nglakoni apa wae saksenenge dan klausa nuruti apa karepe dheweke. 3) Antonim (Lawan Kata) Antonimi adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan: benci – cinta, panas – dingin, timur
38 – barat, suami – istri, dan sebagainya (Keraf, 2007: 39). Chaer (1994: 299) berpendapat bahwa antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Pendapat keduanya adalah sama, yaitu pertentangan makna antara satuan lingual yang satu dengan yang lainnya. Antonimi dapat diartikan sebagai satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja (Sumarlam, 2009: 40). Oposisi atau lawan kata atau antonim merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam aspek leksikal. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak, kutub, hubungan, hirarkial, dan majemuk. a) Oposisi Mutlak Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Contohnya adalah sebagai berikut: (193) Menawa jiwa kewan kuwi diumbar bakal nggeret manungsa lumebu ing jurang urip sing ina, ing donya lan ing akerat. (JJ 372/PSR/12/2014) ‘Jika jiwa hewan itu diumbar maka akan menyeret manusia masuk ke dalam jurang hidup yang hina, di dunia dan akhirat.’ Data (193) di atas terdapat antonimi yang berupa oposisi mutlak. Antonimi tersebut terjadi antara unsur lingual donya dan akerat. Unsur lingual donya lan akerat adalah unsur lingual yang dipertentangkan secara mutlak. b) Oposisi Kutub Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna
39 pada kata-kata tersebut. Contoh oposisi kutub adalah sebagai berikut: (194) Negeri Gatholoco minangka irah-irahaning pameran dadi simbol, pralambang, negara sing kebak pradondi, negara sing antarane sing bener lan sing kleru dadi ora cetha. (JJ 372/PSR/12/2014) ‘Negara Gatholoco sebagai tema pameran menjadi simbol, lambang, negara yang penuh pradondi, negara yang antara benar dan salah menjadi tidak jelas.’ Data (194) unsur lingual bener beroposisi mutlak dengan unsur lingual kleru. Kata bener dan kleru memiliki gradasi yaitu dengan adanya realitas bener banget, bener, rada bener, dan juga kleru banget, kleru, serta rada kleru. c) Oposisi Hubungan Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Meskipun satuan lingual yang dibandingkan beroposisi, akan tetapi keduanya saling melengkapi. Contohnya adalah sebagai berikut: (195)
Rakyat bisa mbelani Presidhen Jokowi nalika dheweke dijegal utawa direridhu dening parlemen. Kanyatan politik bisa ngrembaka ing kahanan presidhen lan parlemen padha kuwate. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Rakyat bisa membela presiden Jokowi ketika dia dijegal atau dirusuhi oleh parlemen. Kenyataan politik bisa terjadi dalam keadaan presiden dan parlemen sama kuatnya.’ Pada data (195) unsur lingual rakyat merupakan oposisi
hubungan dengan unsur lingual presidhen. Keduanya adalah sesuatu yang dibandingkan akan tetapi saling melengkapi. Presiden tidak akan ada tanpa rakyat atau berarti pula presiden tidak akan ada tanpa adanya rakyat.
40 d) Oposisi Hirarkial Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Contohnya adalah oposisi pada katakata berikut ini: (196) Kabeh warga bebrayan agung wiwit ing tataran kelas menengah nganti wong-wong cilik digatekake kanthi temen-temen. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Semua warga dimulai dari tataran kelas menengah sampai orang kecil diperhatikan dengan sungguh-sungguh.’ Pada data (196) terdapat oposisi hirarkial yang menyatakan tingkatan. Tingkatan tersebut pada unsur lingual kelas menegah dan wong-wong cilik. Tingkatan tersebut didasarkan pada kemampuan ekonomi. e) Oposisi Majemuk Oposisi Majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Contohnya adalah sebagai berikut: Wong telu kuwi mau ora nganti tiba. Ana kang ngadheg, ndhodhok, lan lungguh. ‘Mereka bertiga tadi tidak sampai jatuh. Ada yang berdiri, jongkok, dan duduk.’ Pada data di atas, terdapat oposisi majemuk sejumlah tiga kata. Kata-kata tersebut adalah kata ngadheg, ndhodhok, dan lungguh. 4) Kolokasi (Sanding Kata) Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu (Sumarlam, 2009: 44). Kolokasi memiliki peran penting dalam membentuk wacana yang kohesif. Hal ini disampaikan oleh Wu (2010:
41 100) yang menyatakan bahwa collocation is an important tool to make parts of a text bind together. Misalkan saja dalam bidang kesehatan, kata-kata yang dipakai haruslah sesuai dengan bidang kesehatan seperti dokter, pasien, rumah sakit, dan obat. Sebagai contohnya adalah pada kalimat berikut: (197) Seniman telu kuwi mbabar gambar lan “ínstalasi” ing Balai Soedjatmoko, Solo, Slasa-Jemuwah (25-18/11) kapungkur. Lumantar gambar lan instalasi sing dipamerake sapa wae gampang ndudut piwulang sing kakandhut ing suluk Gatholoco. Pameran seni rupa kuwi kanthi irah-irahan Negeri Gatholoco. (JJ 372/PSR/12/2014) ‘Seniman tiga itu menunjukkan gambar dan “instalasi” di Balai Soedjatmoko, Solo, Selasa-Jum’at (25-18/11) yang lalu. Dengan gambar dan instalasi yang dipamerkan siapa saja mudah mengambil ajaran yang terkandung dalam suluk Gatholoco. Pameran seni rupa itu dengan tema Negara Gatholoco.’ Data (197) merupakan kolokasi dengan domain dunia kesenian. Unsur lingual yang menunjukkan hal tersebut adalah seniman, gambar, instalasi, suluk, dan pameran seni rupa. 5) Hiponim (Hubungan Atas-Bawah) Hiponimi yaitu satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut “hipernim” atau “superordinat” (Sumarlam, 2009: 45). Sementara itu, Keraf (2007: 38) menyatakan bahwa hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas-bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Contohnya adalah pada kalimat berikut: (198) Gatholoco kuwi dicritakake minangka manungsa sing duwe daya batin linuwih nanging kanthi wujud raga sing ala. Mambu bosok, cangkeme reged jalaran yen ngucap sageleme dhewe, untune mrongos, rambute kriting, lan sapiturute,” pratelane Habeb. (JJ 372/PSR/12/2014)
42 ‘Gatholoco itu diceritakan sebagai manusia yang mempunyai daya batin lebih akan tetapi dengan wujud raga yang buruk. Baunya busuk, mulutnya kotor karena kalau ngomong sesukanya sendiri, giginya tonggos, rambutnya keriting, dan lainnya,” kata Habeb.’ Contoh
kalimat
di
atas
adalah contoh
kalimat
yang
mengandung hiponimi. Kata raga sing ala merupakan hipernim dari mambu bosok, cangkeme reged, untune mrongos, dan rambute kriting. Sementara itu, mambu bosok, cangkeme reged, untune mrongos, dan rambute kriting bagian dari raga sing ala disebut dengan hiponim. Hubungan ketiganya disebut dengan kohiponim. 6) Ekuivalensi (Kesepadanan) Sumarlam (2009: 46) menyatakan bahwa ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Untuk menunjukkan hubungan kesepadanan salah satu cara yang digunakan yaitu dengan adanya penambahan atau afiksasi. Contoh: (199) Ewon wong padha tumeka ing adicara Konser Salam Tiga Jari ing Monumen Nasional (Monas) Jakarta kanggo mahargya tumekane presidhen lan wakil presihen anyar. Atusan wong uga nekani Istana Merdeka, Jakarta, Senen sore kuwi, kanthi ancas bisa sapa aruh lan salaman karo presidhen anyar sing luwih kawentar kanthi asma Jokowi iku. Saking senenge, sanadyan ora bisa ketemu langsung, mung diwatesi pager ing plataran Istana Merdeka, wong-wong kuwi katon seneng banget. (JJ 367/PNN/10/2014) ‘Ribuan orang datang di acara Konser Salam Tiga Jari di Monumen Nasional (Monas) Jakarta untuk menyambut datangnya presiden dan wakil presiden baru. Ratusan orang juga mendatangi Istana Merdeka, Jakarta, Senin sore itu, dengan tujuan bisa bertutur sapa dan bersalaman dengan presiden baru yang lebih terkenal dengan nama Jokowi itu. Saking senangnya, walaupun tidak bisa bertemu langsung, hanya dibatasi pagar di halaman Istana Merdeka, orang-orang itu terlihat senang sekali.’ Pada contoh di atas terdapat kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam satu paradigma. Kata tumeka, tumekane, dan nekani memiliki kata dasar yang sama yaitu
43 kata teka. Ketiga satuan lingual tersebut mengalami penambahan atau afiksasi. Kata tumeka mengalami imbuhan -um ditengah kata teka sehingga menjadi teka + -um- = tumeka. Satuan lingual tumekane mengalami imbuhan -um dan akhiran -e pada kata teka sehingga menjadi teka + -um- + -e = tumekane, kata nekani berasal dari kata n+ teka + -i menjadi kata nekani. 5. Kolom Seni lan Budaya Koran SOLOPOS Media massa seperti yang dikemukakan oleh Sobur (2004:31) merupakan alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Komunikasi antara media massa dan masyarakat akan berjalan sesuai tujuan pemberitaan jika kesamaan makna antara penulis dan pembaca berita terjadi.
Masyarakat
sebagai
penerima
berita
berkepentingan
untuk
memperoleh informasi dengan cara memahami makna dan maksud yang terkandung
dalam
bahasa
(kata-kata)
yang
digunakan
untuk
merepresentasikan informasi tersebut (Rahyono, 2005: 50). Media massa memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia dalam rangka memperoleh informasi. Menurut Astuti (2009: 229) media
massa
memiliki
peran
besar
dalam
mengembangkan
dan
menyebarluaskan wacana dan peristiwa internasional. Isu, wacana dan peristiwa yang berkembang atau terjadi di sebuah negara dengan cepat akan menyebar ke negaranegara lain berkat pemberitaan media massa. Struktur wacana tulis dalam media massa memiliki penyajian secara menarik dengan bahasa jurnalistik yang disusun sedemikian rupa. Koesworo (1994: 85) mengungkapkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang mengandung makna informatif, persuasif, dan secara konsensus merupakan
44 kata-kata yang bisa dimengerti secara umum, harus singkat tapi jelas dan tidak bertele-tele. Bahasa informatif yang digunakan dalam surat kabar memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca. Bahasa persuasif meyakinkan pembaca bahwa isi dari informasi yang disajikan adalah benar. Dengan pertimbangan tersebut, maka sangat masuk akal apabila bahasa dalam wacana tulis lebih terstruktur daripada wacana lisan. Salah satu bentuk media massa yang banyak digunakan adalah koran. Sebagian besar masyarakat berlangganan atau membeli surat kabar karena membutuhkan informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi. Selanjutnya fungsi mendidik, koreksi, menghibur, dan mediasi merupakan fungsi pelengkap yang dapat ditemukan dalam artikel atau opini, cerita, dan sebagainya (Wiana, 2011: 652). Koran atau surat kabar menjadi salah satu media penyampai informasi yang berkembang di Indonesia. Sebagai contohnya adalah koran SOLOPOS. Perlu diketahui bahwa koran SOLOPOS adalah surat kabar harian pagi yang terbit di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Harian ini terbit pertama kali pada September 1997. Penerbitnya adalah PT Aksara Solopos yang juga menguasai saham Percetakan PT Solo Grafika Utama, Radio Solopos FM, dan tabloid olah raga Arena. Sejak bulan Mei/Juni, tabloid olahraga Arena tidak diterbitkan lagi. Koran terbesar di eks-Karesidenan Surakarta ini didirikan oleh PT Jurnalindo Aksara Grafika (penerbit harian Bisnis Indonesia) yang kini menguasai 80% saham. Selebihnya dimiliki oleh karyawan PT Aksara Solopos. Di dalam koran SOLOPOS terdapat beberapa rubrik seperti rubrik ekonomi bisnis, gagasan, olah raga, Jagad Sastra, Jagad Jawa dll. Rubrik adalah kepala karangan (ruangan tetap) di surat kabar, majalah, dsb (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 849). Rubrik dalam surat kabar memiliki tema yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan adalah dengan mengambil objek dilihat dari segi kebahasaan serta disesuaikan dengan kompetensi dasar dalam pembelajaran. Bahasa yang menjadi fokus penelitian adalah bahasa Jawa, sehingga objek yang sesuai
45 yaitu pada rubrik Jagad Jawa dan Jagad Sastra. Kompetensi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca pemahaman wacana nonsastra tentang budaya Jawa. Dengan berbagai pertimbangan, maka dipilihlah kolom Seni lan Budaya pada rubrik Jagad Jawa koran SOLOPOS. Kolom Seni lan Budaya pada rubrik Jagad Sastra terdapat wacana nonsastra yang memiliki tema seni dan kebudayaan. Berbeda dengan hal tersebut, rubrik Jagad Sastra mengandung berbagai jenis tulisan sastra seperti cerkak dan geguritan sehingga rubrik Jagad Sastra tidak dipilih karena tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang diharapkan meskipun rubrik tersebut menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar. 6. Materi Ajar Bahasa Jawa Dalam
berkomunikasi
manusia
memerlukan
sarana
untuk
mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa (Sumarlam, 2009: 1). Bahasa akan terus berkembang sejalan dengan kedudukannya sebagai sarana komunikasi dalam masyarakat. Perkembangan bahasa sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulis mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi ilmu (Haryanti, 2012: 1). Perkembangan budaya yang berpengaruh menunjukkan suatu fungsi lain dari bahasa selain untuk sarana berkomunikasi juga sebagai sarana untuk mengungkapkan identitas suatu kebudayaan. Identitas kebudayaan yang terungkapkan melalui bahasa memberikan ciri khas kepada penutur. Orang yang dengan sangat lancar menggunakan bahasa Jawa akan dianggap sebagian besar masyarakat sebagai orang Jawa. Permasalahannya adalah ketika manusia memiliki kemampuan untuk menguasai beragam bahasa atau lebih dari satu bahasa yang disebut dengan kedwibahasaan. Macmara (Saddhono, 2012: 61) mengemukakan rumusan yang lebih maju, yaitu kedwibahasaan mengacu pada pemilikan kemampuan atas sekurang-kurangnya bahasa pertama atau bahasa Ibu dan bahasa kedua
46 meskipun kemampuannya atas bahasa kedua itu hanya sampai batas yang minimum. Penguasaan bahasa kedua yang sama baiknya dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa Ibu oleh seseorang merupakan hal yang sangat sulit untuk ditemukan. Perkembangan zaman memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan bahasa. Dunia yang terbuka akan kebudayaan manapun bisa menjadikan fungsi bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan identitas suatu kebudayaan menjadi hilang. Adanya kebudayaan yang lebih modern dapat menggusur kebudayaan lama sehingga perkembangan bahasa Ibu mengalami kemunduran. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak bahasa Ibu yang mulai ditinggalkan dengan digantikan bahasa lain yang dapat diterapkan secara global. Kedinamisan bahasa berkembang sejalan dengan ilmu pengetahuan serta teknologi ilmu. Ilmu pengetahuan dengan teknologi yang mutakhir memberikan temuan-temuan terkini, sehingga istilah baru yang memperluas cakupan bahasa. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam ranah pendidikan, kesehatan, dan lainnya merupakan inovasi sebagai bentuk aktualisasi pengetahuan terhadap kajian ilmu, tidak terkecuali pada ranah kebahasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Long (Slamet, 2014: 3) menghasilkan fakta bahwa bahwa anak-anak yang menerima pembelajaran bahasa di sekolah mengalami perkembangan pemerolehan bahasa lebih cepat. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk memaksimalkan kegiatan belajar mengajar di dalam pendidikan formal. Dalam suatu proses belajar mengajar, tentu diperlukan materi ajar sebagai penunjang pencapaian tujuan pembelajaran. Materi ajar tidak hanya terbatas pada guru sebagai sumber ilmu saja, akan tetapi juga bisa dikaitkan dengan sumber-sumber lain yang dapat mendukung misalkan saja berupa bacaan dalam buku teks, buku pegangan siswa, serta bahan bacaan lain yang memiliki kaitan dengan pembelajaran tersebut. Oleh karenanya, proses pembelajaran memerlukan bahan ajar yang dapat diambil dari berbagai sumber sehingga tingkat pengetahuan siswa menjadi lebih luas.
47 Prastowo (2013: 298) menyatakan bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Ini berarti suatu bahan ajar merupakan sarana yang digunakan guru untuk menunjang proses pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran harus disusun serta didesain secara sistematis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahan pembelajaran yang akan digunakan dapat berbentuk buku sumber utama atau buku penunjang lainnya Di samping itu, ada juga bahan bacaan penunjang seperti jurnal, hasil penelitian, majalah, koran, brosur, serta alat pembelajaran yang terkait dengan indikator dan kompetensi dasar yang ditetapkan (Prastowo, 2013: 296). Dalam hal ini, guru dituntut untuk lebih kreatif serta inovatif dalam memberikan bahan pelajaran atau materi ajar kepada siswa sesuai kebutuhan pembelajaran. Kesesuaian bahan ajar dengan materi yang diajarkan akan menjadikan pembelajaran dapat memenuhi kompetensi yang akan dicapai. Hal senada diungkapkan oleh Winkel. Menurut Winkel (1996: 297), pemilihan bahan atau materi pengajaran harus sesuai dengan beberapa kriteria sebagai berikut: a. Materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan intruksional yang harus dicapai. Ini berarti bahwa: 1) Materi pelajaran harus memungkinkan memperoleh jenis perilaku yang akan dituntut dari siswa, yaiku jenis perilaku di ranah kognitif, afektif, atau psikomotorik. Misalnya, sebuah videocassete tentang pertandingan sepakbola antar dua kesebelasan yang tersohor, sangat berguna untuk menunjang fase kognitif dalam proses belajar ketrampilan bersepak bola, tetapi kurang bermanfaat bagi fase latihan dalam mempraktikkan permainan sepak bola di lapangan. Misalnya pula, beberapa gambar figur geometris yang dibuat di papan tulis, sangat berguna untuk melihat perbedaan antara bentuk-bentuk figur itu, tetapi kurang bermanfaat untuk
48 memperoleh sikap positif terhadap bidang studi Matematika. Untuk tujuan terakhir, beberapa foto besar dari bangunan-bangunan terkenal yang menggunakan bentuk geometris tertentu, jauh lebih bagus. 2) Materi pelajaran harus memungkinkan untuk menguasai tujuan intruksional menurut aspek isi. Misalnya, sejumlah slides tentang relief (pahatan pada tembok atau dinding), berguna sekali untuk mengetahui peristiwa-peristiwa apa dalam kehidupan Budha yang tergambar di candi Borobudur, tetapi tidak bermanfaat untuk menangkap hubungan antara lokasi candi Borobudur dan letak gunung Merapi di Jawa Tengah. Untuk itu, gambaran tentang lokasi obyek-obyek wisata di Jawa Tengah lebih sesuai. b. Materi /bahan pelajaran harus sesuai dalam taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu. c. Materi /bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu mungkin. d. Materi /bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan. e. Materi /bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti.
Misalnya,
materi
pembelajaran
akan
lain
bila
guru
menggunakan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok. f. Materi /bahan pelajaran harus sesuai dengan media pelajaran yang tersedia. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi ajar adalah seperangkat alat yang digunakan oleh guru sebagai salah satu penunjang pembelajaran serta memiliki relevansi dengan kompetensi yang akan dicapai. Pemilihan materi ajar yang tepat akan
49 membuat proses pembelajaran dapat berlangsung dengan maksimal. Maka dari itu, tujuan dalam sebuah pembelajaran dapat dicapai dengan optimal. 7. Membaca Pemahaman Hogson (Tarigan, 2008: 7) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas dan makna katakata secara individual akan dapat diketahui. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pesan yang tersurat dan yang tersirat akan tertangkap atau dipahami dan proses membaca tersebut tidak terlaksana dengan baik. Susanti (2002: 88) menjabarkan bahwa membaca adalah mengenali huruf-huruf dan kumpulan huruf yang memiliki arti tertentu yang mengekspresikan ide secara tertulis atau tercetak. Mujiyanto (2000: 51-53), menjelaskan jenis membaca yang harus dikuasai dan dikembangkan oleh seseorang khususnya dalam bidang akademik, yaitu (1) membaca intensif, ialah suatu jenis membaca yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman ide-ide naskah dari ide pokok sampai ke ide-ide penjelas dan dari hal-hal yang global sampai hal-hal yang rinci. Jenis membaca inilah yang biasa disebut dengan membaca pemahaman, (2) membaca kritis, merupakan tataran membaca paling tinggi. Hal ini dikarenakan ide-ide bacaan yang telah dipahami secara baik dan detail, dikomentari dan dianalisis kesalahan dan kekurangannya, (3) membaca cepat, membaca jenis ini dilakukan untuk memperoleh informasi keseharian secara cepat, seperti berita dan laporan utama pada surat kabar atau majalah, (4) membaca apresiatif dan estetis, yakni membaca yang berhubungan dengan pembinaan sikap apresiatif atau penghargaan terhadap nilai-nilai keindahan dan kejiwaan, dan (5) membaca teknik, ialah jenis membaca yang mementingkan kebenaran pembacaan serta ketepatan intonasi dan jeda. Dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa
membaca
pemahaman
adalah
membaca
yang
50 mengutamakan pemahaman terhadap isi bacaan dengan tujuan untuk mengetahui isi wacana secara menyeluruh dan mendalam. Dalam penelitian ini, pemilihan wacana nonsastra kolom Seni lan Budaya pada rubrik Jagad Jawa Koran SOLOPOS menjadi pilihan yang sangat tepat karena menggunakan bahasa jurnalistik yang umumnya menarik dan mudah dipahami serta disediakan untuk berbagai kalangan, serta materi bacaan merupakan komponen penting ataupun sarana utama dalam kegiatan membaca khususnya membaca pemahaman. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tularsih (2007, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang berjudul Analisis Wacana Rubrik Opini Majalah Respon Edisi Januari-Desember 2005 (Kajian Keutuhan Wacana). Penelitian tersebut menjabarkan kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam rubrik opini majalah Respon edisi Januari-Desember 2005. Selain itu, pengkajian juga dilakukan dengan menganalisis dari aspek koherensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat aspek kohesi yang tidak sesuai seperti pronomina persona tunggal yang mengacu pada orang yang jumlahnya jamak. Selain itu, aspek koherensi pada wacana tersebut kurang koheren karena salah satu aspek koherensi belum terpenuhi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa wacana tersebut dapat digunakan sebagai materi ajar SMA yang berbasis Islam karena isi wacana cenderung berisikan mengenai agama Islam. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini yang dikaji hanyalah pada aspek kohesi wacananya saja. Hal ini dimaksudkan supaya penelitian lebih terfokus dan mendalam. Objek penelitian adalah wacana dalam rubrik Seni lan Budaya surat kabar SOLOPOS pada kolom Jagad Jawa. Bahan penelitian yang dikaji tersebut merupakan suatu bentuk pertimbangan yang sudah disesuaikan dengan kompetensi dasar yaitu membaca pemahaman wacana nonsastra tentang budaya Jawa. Selanjutnya penelitian ini juga mengkaji bagaimana relevansi objek penelitian apabila digunakan dalam
51 pembelajaran di Sekolah Menengah Atas secara umum. Artinya dapat diterapkan dalam pembelajaran di tingkat Sekolah Menengah Atas negeri maupun swasta dari basis apapun. Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Sigit Kurniawanto (2009, Fakultas Sastra dan Seni Rupa) yang berjudul Analisis Kohesi dalam wacana Rubrik “Pos Pembaca” surat kabar SOLOPOS. Penelitian ini menjabarkan kohesi gramatikal dan leksikal dalam wacana rubrik “Pos Pembaca” surat kabar SOLOPOS. Pada penelitian tersebut terdapat kelemahan yang paling menonjol adalah terbatasnya teori yang digunakan. Terlebih lagi, dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan mengenai rubrik sebagai objek penelitian yaitu rubrik “Pos Pembaca”. Kelebihan penelitian tersebut adalah dengan dijabarkannya ciri khusus wacana yang diteliti. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji kohesi gramarikal dan leksikal dalam wacana. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada penelitian ini teori yang digunakan diambil dari berbagai sumber sebagai bahan kajian serta menjabarkan judul penelitian dengan teori-teori secara menyeluruh. Selain itu, penelitian ini nantinya akan dikaitkan dengan materi ajar. Penelitian yang relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Marningsih (2009, Fakultas Sastra dan Seni Rupa) dengan judul Analisis Wacana Obrolan “Rujak Cingur” dan “Warung Tegal” dalam Majalah Panjebar Semangat (Suatu Tinjauan Kohesi). Kelebihan penelitian ini adalah dengan adanya karakteristik wacana yang diteliti. Akan tetapi dalam penelitian ini hanya ditemukan 2 bentuk subtitusi yaitu frasa dengan kata atau sebaliknya, serta konjungsi yang bermakna sebab-akibat, penambahan, harapan, dan konsesif. Persamaan dengan penelitian ini adalah kajian yang digunakan menggunakan kajian wacana dari aspek kohesi. Perbedaannya adalah penelitian ini dikaitkan dengan materi ajar, sedangkan penelitian tersebut menganalisis karakteristik wacana yang diteliti. Penelitian lain yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2004, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dengan judul
52 Analisis Penanda Kohesi dan Koherensi pada Rubrik Serambi Tabloid Cempaka Minggu Ini Edisi Mei-Juli 2003. Kelebihan penelitian ini adalah dengan pengkajian wacana secara menyeluruh yaitu dengan kajian kohesi dan koherensi. Kelemahan pada penelitian ini adalah peneliti memberikan saran kepada pengajar bahasa hendaknya menggerakkan siswanya untuk dapat memahami bentuk-bentuk penanda kohesi dan koherensi dalam wacana. Akan tetapi pada penelitian ini tidak dijelaskan bagaiaman relevansinya terhadap dunia pendidikan. Persamaan dengan penelitian ini adalah selain dari kajian aspek leksikal, objek yang diteliti adalah wacana dalam surat kabar. Perbedaaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu pada penelitian ini tidak mengkaji aspek koherensi wacana. Selain itu, pada penelitian ini juga membahas mengenai relevansi objek kajian yang berupa wacana nonsastra dengan kompetensi dasar dalam pembelajaran formal. Dari beberapa penelitian yang relevan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki persamaan pada bidang kajian yang digunakan yaitu analisis waacana. Selain itu, penelitian-penelitian sebelumnya mengkaji wacana dalam surat kabar sebagai objek penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa surat kabar merupakan objek yang sangat menarik untuk dikaji terutama dari aspek kebahasaannya. Terlebih lagi pada penelitian ini meneliti mengenai relevansi wacana dalam surat kabar yang diteliti dengan pembelajaran formal. Penelitian ini bisa dijadikan sebagai penyempurna penelitian sebelumnya, bahkan menjadi sebuah penelitian baru yang bisa digunakan sebagai dasar bagi penelitian lain dalam melakukan penelitian yang serupa.
53
B. Kerangka Berpikir Pembelajaran bahasa telah menjadi salah satu aspek yang diajarkan dalam dunia pendidikan. Pembelajaran tersebut berfungsi untuk melatih siswa supaya memiliki kemampuan dari ranah afektif, kognitif, dan juga psikomotorik. Salah satu pembelajaran bahasa di sekolah adalah pembelajaran bahasa Jawa. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah selain berfungsi untuk melestarikan budaya Jawa, juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan wawasan atau ilmu pengetahuan kepada siswa mengenai kebudayaan lokal yang berkembang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memaksimalkan pembelajaran bahasa Jawa di lingkup pendidikan formal. Salah satu pembelajaran bahasa Jawa yang diajarkan dalam sekolah yaitu pada kompetensi dasar membaca pemahaman wacana nonsastra tentang budaya Jawa. Selama ini pembelajaran bahasa hanya ditujukan untuk mencapai tingkat kognitif siswa. Pemilihan mater ajar yang monoton mengakibatkan ruang lingkup pembelajaran menjadi sempit. Padahal, masih banyak hal-hal yang bisa digunakan sebagai bahan materi ajar. Pemilihan bahan ajar hendaknya diklasifikasikan tingkat kesukarannya serta inovatif sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Pada kompetensi dasar membaca pemahaman bacaan nonsastra tentang budaya Jawa, materi ajar bisa didapatkan dari berbagai sumber bacaan nonsastra. Dalam kegiatan tersebut, siswa diharapkan untuk dapat memahami isi dari bacaan nonsastra yang dijadikan materi pembelajaran. Setelah membaca wacana nonsastra yang digunakan sebagai materi ajar, siswa harus bisa memahami isi wacana tersebut. Salah satu cara yang sangat efektif untuk memahami isi bacaan berupa wacana adalah dengan kajian wacana. Bacaan nonsastra adalah suatu wacana yang terpadu. Itu artinya bahwa terdapat hubungan yang kohesif pada bacaan nonsastra, sehingga analisis wacana dari aspek gramatikal dan leksikal merupakan kajian yang paling tepat digunakan. Kajian kohesi leksikal dan gramatikal ini dapat membantu mewujudkan hasil belajar mengajar untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
54 Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kohesi gramatikal dan leksikal wacana nonsastra kolom Seni lan Budaya pada rubrik Jagad Jawa Koran SOLOPOS serta relevansinya sebagai materi ajar bahasa Jawa Kelas X di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian kemudian akan digunakan sebagai alternatif materi pembelajaran bahasa pada jenjang SMA. Lebih jelasnya mengenai alur berpikir tersebut dapat dilihat dalam gambar kerangka berpikir di bawah ini: