23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009,
Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, jalan dan emplasmen, kebun campuran, pemukiman, rumput, sawah, dan tegalan. Kecamatan Klapanunggal memiliki 10 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, kebun campuran, pemukiman, sawah, tegalan, galian C, lahan terbuka dan semak. Secara spasial sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang pada Gambar 5 dan Kecamatan Klapanunggal pada Gambar 6. Luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Badan air Hutan Industri Jalan dan Emplasmen Kebun Campuran Pemukiman Rumput Sawah Tegalan Galian C Lahan Terbuka Semak Total
Luas (ha) Babakan Klapanunggal Madang 91.32 86.26 3143.23 3141.57 76.18 379.12 136.94 681.61 1025.91 1567.61 1259.19 196.32 459.05 1669.85 2877.79 257.98 547.74 253.83 947.99 9230.05 9569.43
Proporsi (%) Babakan Klapanunggal Madang 0.99 0.90 34.05 32.83 0.83 3.96 1.48 7.38 10.72 16.98 13.16 2.13 4.97 17.45 31.18 2.70 5.72 2.65 9.91 100.00 100.00
Sumber : Hasil Interpretasi Citra Alos Anvir 2009
Dari Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang didominasi oleh hutan dan tegalan dengan proporsi masing-masing 34.05% dan 31.18% dari total luas Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan Klapanunggal didominasi oleh hutan dan sawah, dengan proporsi masing-masing 32.83% dan 17.45% dari total luas Kecamatan Klapanungal. Tingginya penggunaan lahan hutan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal
24
dikarenakan terdapat peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang cukup luas, sehingga penggunaan lahan hutan di dalam kawasan tersebut tetap terjaga dari konversi ke penggunaan lain karena dilindungi oleh hukum, walaupun masih terdapat beberapa penyimpangan.
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang
Penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang lebih dominan tegalan dari pada padi sawah, hal tersebut di karenakan sedikitnya aliran sungai yang melintasi Kecamatan Babakan Madang, dimana air sungai merupakan salah satu sumber utama irigasi padi sawah. Sedangkan di Kecamatan Klapanunggal cukup banyak dialiri air sungai sehingga penggunaan lahan untuk padi sawah lebih dominan. Penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Babakan Madang sebesar 1567.61 ha dan Klapanunggal 1259.19 ha. Luasnya peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan menyebabkan banyaknya pemukiman di kedua kecamatan tersebut. Total peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan di Kecamatan Babakan Madang sebesar 2972.74 ha atau
25
48.09%, dan di Kecamatan Klapanunggal 1644,32 ha atau 17.18% dimana masih cukup luas peruntukan kawasan pemukiman tersebut yang belum menjadi pemukiman. Penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Babakan Madang sebesar 681.61 ha dan Klapanunggal 1025.91 ha. Tingginya penggunaan lahan kebun campuran di karenakan tingginya penggunaan lahan pemukiman, sawah dan tegalan. Dimana kebun campuran cenderung berada di sekitar pemukiman, sawah, dan tegalan. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Babakan yaitu jalan dan emplasmen, dan rumput. Penggunaan lahan jalan dan emplasmen berupa jalan tol dan sirkuit sentul, rumput berupa lapangan golf. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Klapanunggal yaitu Galian C berupa batuan kapur yang di tambang oleh PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan penduduk sekitar.
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal
26
5.2.
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan
Klapanunggal
berdasarkan
matrik
logik
disajikan
pada
Lampiran
3.
Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 9. Dari Gambar 7 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang terjadi di kawasan budidaya dan lindung. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya terjadi di kawasan, perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan industri. Penyimpangan terbesar terjadi di kawasan perkebunan sebesar 100%, dimana 69.57% untuk tegalan dan 30.43% untuk kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk tegalan 21.51%. Penyimpangan di kedua kawasan tersebut sebagian besar terdapat di Desa Karang Tengah. Dimana 1927 dari 3381 rumah tangga berprofesi sebagai petani, dengan komoditas pertanian yang diusahakan adalah ubi kayu (BPS, 2009), sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering terbesar untuk sawah 18.16%. Penyimpangan tersebut terjadi di sekitar daerah aliran sungai di Desa Karang Tengah, dimana lahan masih bisa ditanami padi sawah.
% Penyimpangan
100 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
27.41
24.33
23.38
0.57 Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan Kawasan Kawasan Perkebunan Pertanian Peruntukan Lahan Kering Industri
Gambar 7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang
27
Tabel 9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang RTRW
Penyimpangan
No
1
2
Kawasan
Luas (ha)
Kawasan Hutan Lindung
1826.91
Kawasan Hutan Produksi
1583.27
3
Kawasan Perkebunan
4
Kawasan Pertanian Lahan Kering
611.45
Kawasan Peruntukan Industri
180.08
5
5.85
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
%
Sawah
10.23
0.56
Tegalan
0.11
0.01
Pemukiman
13.07
0.83
Sawah
80.33
5.07
Tegalan
340.54
21.51
Tegalan
4.07
69.57
Kebun Campuran
1.78
30.43
Pemukiman
37.71
6.17
Sawah
111.01
18.16
Pemukiman
42.10
23.38
Total
Total (ha) 10.34
433.94
5.85
148.72 42.10 639.17
Kawasan peruntukan industri menyimpang sebesar 23.38% dari alokasi RTRW dengan jenis penyimpangan menjadi pemukiman. Penyimpangan terjadi di Desa Sentul, dimana 1263 dari 2469 rumah tangga bekerja di sektor industri. Adanya industri menarik para penduduk di luar desa tersebut untuk bekerja di sana. Sehingga menyebabkan tumbuhnya pemukiman–pemukiman baru sebagai tempat tinggal penduduk pendatang. Dimana pemukiman tersebut sebagian menyimpang dari peruntukan kawasaan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung sebesar 0.57%, untuk sawah 0.56% dan tegalan 0.01%. Penyimpangan tersebut terdapat di Desa Karang Tengah dan Bojong Koneng, dimana 1927 dari 3381 rumah tangga di Desa Karang Tengah dan 1406 dari 2618 rumah tangga di Desa Bojong Koneng bekerja sebagai petani (BPS, 2009). Sehingga terdapat beberapa petani yang menggunakan kawasan hutan lindung untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 4. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 8.
28
Gambar 8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang
Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal hanya terjadi di kawasan budidaya yaitu pada kawasan pertanian lahan kering, industri, hutan produksi, pertanian lahan basah, dan pemukiman pedesaan. Jenis dan luas penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disajikan pada pada Tabel 10 dan Gambar 9. Dari Tabel 10 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyimpangan terbesar terjadi di kawasan pertanian lahan kering. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering digunakan untuk pemukiman 34.18%, selain itu industri 3.09% dan sawah 3.7%. Penyimpangan tersebut sebagian besar terletak di Desa Ligar Mukti. Tingginya penyimpangan kawasan pertanian lahan kering menjadi pemukiman di kawasan tersebut karena jauhnya jarak desa dari pusat kota. Listiawan (2010) mengungkapkan bahwa, jarak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.
% Penyimpangan
29
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40.97
24.88 12.23 5.19
Kawasan Hutan Produksi
3.64
Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Pertanian Pertanian Peruntukan Pemukiman Lahan Basah Lahan Kering Industri Pedesaan
Gambar 9. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal Tabel 10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal RTRW No
Luas (ha)
Kawasan
1
Kawasan Hutan Produksi
3756.80
2
Kawasan Pertanian Lahan Basah
1017.63
3
Kawasan Pertanian Lahan Kering
796.19
Penggunaan Lahan Galian C Kebun Campuran Lahan Terbuka
4.17
0.11
Pemukiman Sawah Tegalan
33.50 50.65 89.10
0.89 1.35 2.37
Pemukiman
52.78
5.19
Industri
24.64
3.09
272.17
34.18
29.48
3.70
311.03 36.71
24.88 3.64
Pemukiman Sawah
4 5
Kawasan Peruntukan Industri Kawasan Pemukiman Pedesaan Total
1250.16 1009.76
Penyimpangan Luas % (ha) 116.93 3.11 165.29 4.40
Pemukiman Industri
Total (ha)
459.64
52.78 326.29 311.03 36.71 1186.44
Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan basah dan peruntukan
industri
berupa
pemukiman
sebesar
5.19%
dan
24.88%.
Penyimpangan tersebut terjadi di Desa Klapanunggal dan Kembang Kuning. Tingginya jumlah penduduk (11859 jiwa di Desa Klapanunggal dan 13122 jiwa di Desa Kembang Kuning) (BPS, 2008) menyebabkan terjadinya penyimpangan di kedua kawasan tersebut. Selain itu, penduduk di kedua desa tersebut sebagian
30
besar bekerja di sektor industri (BPS, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Restina (2009) kepadatan penduduk dan jenis pekerjaan mempengaruhi terjadinya penyimpangan alokasi ruang. Adanya industri menarik para penduduk untuk bekerja di sana yang menyebabkan tumbuhnya pemukiman–pemukiman di sekitar kawasan industri. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pemukiman perdesaan berupa industri sebesar 36.71 ha atau 3.64%. Penyumbang terbesar penyimpangan tersebut terdapat pada pabrik Holcim, dimana 19.10 ha atau 21.96% dari luas pabrik Holcim tidak sesuai dengan alokasi ruang yang seharusnya digunakan untuk pemukiman perdesaan. PT. Holcim Indonesia Tbk merupakan industri semen ketiga terbesar di Indonesia dengan kapasitas terpasang sebesar 7.9 juta ton. Dengan produksi yang tercapai pada tahun 2005 sebesar 6.5 juta ton (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk kebun campuran sebesar 165.29 ha atau 4.40%. Selain itu untuk galian C sebesar 116.93 ha atau 3.11%. Banyaknya kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran karena dekatnya kawasan hutan produksi dengan pemukiman penduduk, sawah, dan tegalan, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan sebagian kawasan hutan produksi menjadi kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-C sebesar 116.93 ha atau 3.11%, penyimpangan terjadi Desa Leuwikaret dan Desa Klapanunggal. Di Desa Leuwikaret penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi untuk galian-C disebabkan oleh tambang PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang merupakan industri semen terbesar kedua setelah Semen Gresik Grup dengan total kapasitas sebesar 16.5 juta ton atau 37% dari seluruh kapasitas terpasang industri semen di Indonesia (www.winpluscapital.com, 10 Desember 2011). Sedangkan di Desa Klapanunggal penyimpangan kawasan hutan produksi menjadi galian-C terjadi karena terdapat beberapa tambang liar yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Tambang liar di desa tersebut disebabkan oleh kurangnya pengawasan aparat berwajib. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 5. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 10.
31
Gambar 10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal
5.3.
Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan Hasil pengamatan variabel penciri tingkat kekritisan lahan di lapang tersaji
pada Lampiran 6 – 11. Hasil analisis diskriminan dari data tersebut disajikan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 memperlihatkan bahwa terdapat empat variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% membedakan tingkat kekritisan lahan yaitu batuan permukaan, kedalaman efektif, singkapan batuan dan erosi. Sedangkan varibel yang lain lereng, drainase, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi tidak terpilih. Hal ini mengindikasikan kemampuan variabel yang rendah dalam
mendiskriminasi
antar
kelas
kekritisan,
kemungkinan
adanya
multikolinearitas antar variabel. Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa nilai Wilks’ variabel batuan permukaan, kedalaman efektif, erosi, dan singkapan batuan cenderung mendekati 0. Nilai Wilks’ lambda mendekati 0 menunjukkan variabel tersebut mampu membedakan tingkat kekritisan lahan cukup sempurna. Keempat variabel tersebut memiliki nilai 1-Toler cenderung mendekati 1, nilai tersebut menunjukkan redudansi cukup tinggi (Panuju dan Rustiadi, 2010).
32
Tabel 11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Fisik Lahan Wilks' p-level Variabel Batuan Permukaan 0.423 0.002 Kedalaman Efektif 0.376 0.028 Singkapan Batuan 0.370 0.039 Tingkat Erosi 0.369 0.042 5.4.
Ketepatan
Klasifikasi
Tingkat
Karakteristik 1-Toler. 0.671 0.688 0.466 0.620
Kekritisan
Lahan
DRLKT
ketepatan
klasifikasi
DRLKT
Menggunakan Kriteria Modifikasi Hasil
analisis
diskriminan
untuk
menggunakan Kriteria Modifikasi disajikan dalam matriks klasifikasi pada Tabel 12. Dari Tabel 12 menunjukkan bahwa ketepatan klasifikasi DRLKT dengan menggunakan kriteria modifikasi sebesar 66.67%, sisanya 33.33% merupakan kesalahan klasifikasi. Tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah dikarenakan kriteria yang digunakan untuk menguji tingkat ketepatan klasifikasi berbeda dari kriteria DRLKT. Ketepatan klasifikasi pada kelas sangat kritis sebesar 71.43%, dimana 2 dari 7 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas agak kritis dan potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas kritis 53.85%, dimana 6 dari 13 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis 2 sampel , potensial kritis 3 sampel, dan tidak kritis 1 sampel. Satu sampel tidak kritis tersebut terdapat di Kecamatan Babakan Madang dengan penggunaan lahan sawah, tingginya tutupan vegetasi, lereng yang tidak curam karena sudah di teras, batuan dan singkapan batuan yang rendah, serta tidak terjadi erosi menyebabkan sampel tersebut cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis dari pada kedalam kelas kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas agak kritis 66.67%, dimana 4 sampel dari 18 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas potensial kritis sebesar 81.25%, dimana 2 sampel dari 16 sampel yang di ujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Ketepatan klasifikasi pada kelas tidak kritis 50%, dimana 3 sampel dari 6 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Persentase ketepatan klasifikasi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kelas kritis dan tidak kritis
33
merupakan dua kelas yang ketepatan klasifikasinya relatif lebih rendah, jika di bandingkan dengan kelas kekritisan lainnya.
Tabel 12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. Tingkat Kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Total
Persentase Ketepatan 71.43 53.85 66.67 81.25 50.00 66.67
Sangat Kritis 5 2 1 0 0 8
Kritis 0 7 1 1 0 9
Agak Kritis 1 0 12 2 0 15
Potensial Kritis 1 3 4 13 3 24
Tidak Kritis 0 1 0 0 3 4
Peluang posterior yang menunjukkan ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan secara detil disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 memperlihatkan bahwa variabel fisik lahan dari pengamatan lapang terdapat 20 kasus misklasifikasi dari 60 unit pengamatan yang di analisis. Unit pengamatan yang mengalami misklasifikasi yaitu nomor 1, 2, 4, 7, 11, 15, 20, 22, 23, 25, 27, 29, 33, 34, 35, 37, 38, 40, 50, dan 51. Pada unit pengamatan nomer 25, 29, dan 21, cenderung masuk ke dalam kelas sangat kritis. Unit pengamatan nomor 2 dan 11, cenderung masuk ke dalam kelas kritis. Unit pengamatan nomor 15, 22, dan 37, cenderung masuk kedalam kelas agak kritis. Unit pengamatan nomor 1, 2, 20, 23, 27, 33, 34, 35, 38, 40 dan 50, cenderung masuk kedalam kelas potensial kritis. Sedangkan unit pengamatan nomer 4 cenderung masuk kedalam kelas tidak kritis. Sebaran secara spasial ketepatan klasifikasi setiap unit pengamatan terdapat pada Gambar 11 dan 12. Data karakteristik fisik lingkungan tersaji pada Lampiran 12.
34
Tabel 13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. No * 1 * 2 3 * 4 5 6 * 7 8 9 10 * 11 12 13 14 * 15 16 17 18 19 * 20 21 * 22 * 23 24 * 25 26 * 27 28 * 29 30 31 32 * 33 * 34 * 35 36 * 37 * 38 * 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 * 50 * 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Keterangan :
Simbol
Pengamatan
Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis
Potensial Kritis
Tidak Kritis
Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.SW2.1 HP.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.TG3.1 Agak Kritis 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 HP.SW2.2 Kritis 0.00 0.07 0.08 0.12 0.73 HP.TG3.2 Agak Kritis 0.01 0.33 0.43 0.23 0.00 HL.SW4.1 Potensial Kritis 0.00 0.15 0.20 0.59 0.05 PB.TG3 Agak Kritis 0.03 0.72 0.17 0.08 0.00 LK.SW2 Kritis 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 LK.SW4.1 Potensial Kritis 0.00 0.17 0.19 0.38 0.26 HP.TG2.1 Kritis 0.08 0.66 0.17 0.06 0.03 LK.SW4.2 Potensial Kritis 0.05 0.55 0.31 0.10 0.00 HP.H4.1 Potensial Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 HP.H2.1 Kritis 0.06 0.62 0.23 0.08 0.00 HL.H41 Potensial Kritis 0.00 0.05 0.38 0.57 0.00 PB.KC4 Potensial Kritis 0.00 0.09 0.46 0.45 0.00 LK.TG1 Sangat Kritis 0.85 0.13 0.02 0.00 0.00 LK.TG3 Agak Kritis 0.13 0.32 0.44 0.11 0.00 LK.TG21 Kritis 0.24 0.66 0.08 0.01 0.00 HP.H4.2 Potensial Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 HP.H2.2 Kritis 0.00 0.04 0.48 0.48 0.00 Pp.TG1 Sangat Kritis 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 Prw.RP1 Sangat Kritis 0.02 0.25 0.48 0.24 0.00 Pp.KC1 Sangat Kritis 0.01 0.20 0.25 0.52 0.02 Prw.TG2 Kritis 0.08 0.53 0.31 0.08 0.00 LK.TG2.2 Kritis 0.52 0.31 0.15 0.02 0.00 Pp.TG2 Kritis 0.00 0.56 0.18 0.25 0.01 Pp.KC3.1 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 Pp.KC3.2 Agak Kritis 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 Pp.TG3 Agak Kritis 0.66 0.22 0.11 0.01 0.00 HL.H4.2 Potensial Kritis 0.00 0.14 0.38 0.47 0.01 Pp.SW4 Potensial Kritis 0.01 0.09 0.27 0.51 0.12 PP.TG4 Potensial Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.TG5.1 Tidak Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.TG5.2 Tidak Kritis 0.01 0.09 0.27 0.59 0.05 PP.RP5 Tidak Kritis 0.00 0.10 0.21 0.61 0.07 HP.KC3 Agak Kritis 0.00 0.06 0.64 0.29 0.00 HP.SW4 Potensial Kritis 0.01 0.04 0.58 0.37 0.00 HP.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 LK.SW3 Agak Kritis 0.01 0.13 0.28 0.55 0.03 HP.H3 Agak Kritis 0.09 0.23 0.62 0.07 0.00 HP.H4 Potensial Kritis 0.00 0.10 0.34 0.56 0.01 LK.TG3 Agak Kritis 0.00 0.03 0.50 0.47 0.00 LB.SW4 Potensial Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 HP.H31 Agak Kritis 0.01 0.22 0.55 0.22 0.00 ZT.GC1 Sangat Kritis 0.99 0.01 0.01 0.00 0.00 IN.LT11 Sangat Kritis 0.90 0.05 0.04 0.00 0.00 IN.LT12 Sangat Kritis 0.71 0.06 0.23 0.01 0.00 IN.LT2 Kritis 0.05 0.67 0.16 0.08 0.04 Pp.SW2 Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 Kritis 0.65 0.30 0.05 0.00 0.00 IN.SE2 LK.H3 Agak Kritis 0.14 0.09 0.69 0.07 0.01 PD.KC3 Agak Kritis 0.00 0.25 0.41 0.34 0.00 Pp.SE3 Agak Kritis 0.10 0.02 0.80 0.07 0.01 LB.SW41 Potensial Kritis 0.00 0.07 0.27 0.65 0.01 PD.KC4 Potensial Kritis 0.00 0.15 0.07 0.60 0.19 LB.SW42 Potensial Kritis 0.00 0.09 0.07 0.60 0.23 IN.KC5 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 IN.SE51 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 IN.SE52 Tidak Kritis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.99 kasus bertanda *) terjadi salah klasifikasi; nilai cetak merah peluang di kelas DRLKT dan dicetak biru peluang terbesar hasil pemodelan.
35
35
Gambar 11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang
36
36
Gambar 12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal
37
5.5.
Keterkaitan Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan Keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan
tersaji pada Tabel 14. Dari Tabel 14 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi antara penyimpangan pemanfaatan ruang dengan tingkat kekritisan lahan signifikan pada tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka penyimpangan pemanfaatan ruang berkorelasi lemah terhadap lahan sangat kritis, berkorelasi sedang terhadap lahan kritis dan tidak kritis, berkorelasi kuat terhadap lahan potensial kritis, dan berkorelasi sangat kuat terhadap lahan agak kritis. Koefisien korelasi paling besar terdapat pada lahan agak kritis (0.950), nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin luas penyimpangan pemanfaatan ruang maka tingkat kekritisan lahan agak kritis cenderung semakin luas jika dibandingkan dengan tingkat kekritisan lahan yang lain. Tabel 14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan
Penyimpangan
Koefisien Korelasi Signifikansi
Sangat Kritis
Tingkat Kekritisan Lahan Agak Potensial Kritis Kritis Kritis
Tidak Kritis
0.342
0.438
0.950
0.665
0.503
0.130
0.047
0.000
0.001
0.020
Penyimpangan alokasi ruang dan perubahan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 terlihat bahwa penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang pada kawasan hutan lindung, pertanian lahan kering dan kawasan industri di Kecamatan Babakan Madang tidak menimbulkan peningkatan kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung untuk tegalan, tidak dilakukan pengamatan lapang karena luasannya relatif kecil yaitu 0.11 ha atau 0.01% dan susah di jangkau. Penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan hutan produksi,
menjadi
pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 meningkatkan kekritisan lahan, hal tersebut terlihat dari tingkat kekritisan lahan pada hutan produksi potensial kritis, berubah menjadi agak kritis. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 1 tidak meningkatkan
38
kekritisan lahan. Penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi menjadi pemukiman dan tegalan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kekritisan lahan karena tutupan vegetasi pada penggunaan lahan tersebut lebih sedikit dari pada kawasan hutan produksi yang penggunaan lahannya tetap sebagai hutan. Berkurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengaruh hujan dan lereng semakin nyata terhadap timbulnya erosi. Erosi menyebabkan kedalaman efektif tanah semakin dangkal dan meningkatnya persentase singkapan batuan dan batuan permukaan di tanah. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 1.
Tabel 15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang No
Alokasi Ruang
1
Kawasan Hutan Lindung
2
Kawasan Hutan Produksi
3
Kawasan Perkebunan
4
Kawasan Pertanian Lahan Kering
5
Kawasan Peruntukan Industri
Penggunaan Lahan Hutan Lindung Sawah Hutan Produksi Pemukiman Sawah Tegalan Kebun Campuran Tegalan Tegalan Pemukiman Sawah Industri Pemukiman
Tingkat Kekritisan Lokasi 1 Lokasi 2 Potensial Kritis Potensial Kritis Kritis Potensial Kritis Kritis Agak Kritis Kritis Potensial Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Kritis Kritis Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis -
Penyimpangan pemanfaatan ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Klapanunggal disajikan dalam Tabel 16. Dari Tabel 16 terlihat bahwa hanya pada kawasan hutan produksi menjadi galian C yang mengalami peningkatan kekritisan lahan, yaitu dari agak kritis menjadi sangat kritis. Peningkatan kekritisan untuk galian-C tersebut di karenakan tutupan vegetasi dan solum tanah sebagian besar telah hilang akibat kegiatan pertambangan. Foto penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dan tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Babakan Madang tersaji pada Lampiran 2.
39
Tabel 16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan di Kecamatan Klapanunggal No
Alokasi Ruang
1
Hutan Produksi
2
Kawasan Pertanian Lahan Basah
3
Kawasan Pertanian Lahan Kering
4
Kawasan Peruntukan Industri
5
Kawasan Pemukiman Perdesaan
Penggunaan Lahan Hutan Galian C Kebun Campuran Sawah Tegalan Pemukiman Sawah Pemukiman Tegalan Pemukiman Sawah Industri Industri Pemukiman Pemukiman Industri
Tingkat Kekritisan Agak Kritis Sangat Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis Agak Kritis
Korelasi antara variabel fisik lahan dengan tingkat kekritisan lahan disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa koefisien korelasi antara tingkat kekritisan dengan tutupan vegetasi, kedalam efektif, dan drainase tanah bertanda negatif. Tanda negatif menunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang rendah, kedalaman efektif yang dangkal, dan buruknya drainase tanah maka tingkat kekritisan lahan akan semakin tinggi, begitu sebaliknya. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang dengan tingkat kekritisan lahan, dan drainase berkorelasi sangat lemah. Drainase memiliki tingkat kepercayaan kurang dari 95% yang menunjukkan bahwa, drainase kurang signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Sedangkan tutupan vegetasi dan kedalaman efektif tingkat kepercayaan lebih dari 95% yang menunjukkan bahwa, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif signifikan berkorelasi dengan tingkat kekritisan lahan. Tutupan vegetasi sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran permukaan sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Kedalaman efektif merupakan
40
salah satu sifat lahan yang berperan terhadap kekritisan lahan. Semakin dangkal kedalaman efektif suatu lahan maka memiliki kemungkinan yang besar terhadap terjadinya lahan kritis. Sebaliknya kedalaman efektif tanah yang dalam, memiliki kemungkinan yang kecil terhadap munculnya lahan kritis
Tabel 17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan Variabel TutupanVegetasi Lereng Kedalaman Efektif Batuan Permukaan Singkapan Batuan Drainase Tindakan Konservasi Erosi
Koefisien Korelasi -0.526 0.472 -0.410 0.647 0.122 -0.013 0.107 0.368
Signifikansi 0.000 0.000 0.001 0.000 0.354 0.921 0.417 0.004
Koefisien korelasi antara tingkat kekritisan lahan dengan lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, curah hujan, tindakan konservasi, dan erosi bertanda positif. Tanda positif tersebut menunjukkan bahwa batuan permukaan, singkapan batuan, dan curah hujan yang semakin tinggi, lereng yg semakin curam, terdapat erosi, serta tidak terdapat tindakan konservasi maka tingkat kekritisan lahan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Namun, singkapan batuan dan tindakan konservasi memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah yaitu kurang dari 95%, sedangkan lereng, batuan permukaan, curah hujan dan erosi memiliki tingkat kepercayaan lebih dari 95%. Dilihat dari nilai koefisien korelasi maka batuan permukaan berkorelasi kuat dengan tingkat kekritisan lahan, tutupan vegetasi dan kedalaman efektif berkorelasi sedang, erosi dan curah hujan berkorelasi lemah. Tingkat erosi dapat menjadi indikator kekritisan lahan, dimana semakin tinggi tingkat erosi maka mengakibatkan lahan semakin kritis. Hasil penelitian Idjudin (2003), tanah inceptisol pada kemiringan lahan 14% di Citayam Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi, menjadi kritis dan mengalami penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun karena terjadi erosi atau kehilangan tanah setebal 2.5cm/tahun.
41
Kecuraman lereng juga merupakan salah satu penentu terjadinya lahan kritis, karena semakin curam lereng maka aliran permukaan semakin meningkat, dengan meningkatnya aliran permukaan maka sedimen yang tererosi bersama aliran permukaan juga semakin meningkat. Terlebih jika tidak ada tindakan konservasi yang di terapkan, maka hal tersebut akan semakin mempercepat terjadinya kekritisan lahan. Batuan di permukaan dan singkapan batuan akan mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan lahan. Semakin banyak batuan menyebabkan semakin berkurangnya areal-areal yang bisa ditanami. Selain itu, semakin banyak batuan maka semakin menyulitkan dalam pengolahan
tanahnya, sehingga
semakin banyak persentase dan singkapan batuan menunjukkan kondisi lahan semakin kritis.
.