SEMINAR NASIONAL UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM PADA ABAD 21 (Mengkritisi Perkawinan Sirri, Kontrak, Perkawinan di Bawah Umum dan Poligami)
UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF JENDER
OLEH: Tri Lisiani Prihatinah,S.H.,M.A.,Ph.D. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman)
23 Mei 2009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM 1 DALAM PERSPEKTIF JENDER 2 Tri Lisiani Prihatinah PENDAHULUAN Pada tahun 1984, Indonesia mengesahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dengan mengeluarkan UU No 7 tahun 1984. Sebagai tindak lanjut dari maraknya usaha untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan tersebut secara formal istilah jender baru hadir lewat Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional pada 19 Desember 2000. Dalam Inpres tersebut PUG didefiniskan sebagai,”suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan jender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional”. Inpres ini menginstruksikan lembaga pemerintah departemen, non departemen,, termasuk lemabaga tertinggi/ tinggi negara, panglima TNI, kepolisian, Kejaksaan Agung hingga Bupati/walikota mengintegrasikan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif jender. Dalam rangka diaplikasikannya perspektif jender seperti yang diamanatkan dalam PUG inilah yang salah satunya menyoroti hubungan pernikahan termasuk didalamnya adalah persoalan poligami, nikah sirri, kawin kontrak dan perkawinan di bawah umur. Keempat bentuk hubungan pernikahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia tersebut banyak mendapat kritik dari para pegiat jender karena dianggap tidak sesuai lagi dengan spirit Al Quran serta dianggap merendahkan martabat perempuan. Poligami misalnya dulu dipergunakan oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat, tetapi pada praktek sekarang cenderung menimbulkan dampak kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, emosional, ekonomi maupun seksual. Pelaksanaan poligami yang lebih cenderung mengarah kepada hal yang negatif inilah yang mendorong para pegiat jender untuk mengkritisi kembali ajaran Islam tentang poligami dengan menggunakan metode kontekstualisasi ayat. Artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji sepintas keempat hubungan pernikahan tersebut dari perspektif jender. Untuk itu akan diuraikan konsep pembaharuan hukum, analisis dan perspektif jender, aliran feminis,serta analisis kritis terhadap bentuk-bentuk perkawinan baik poligami, kawin nikah sirri, kawin kontrak maupun perkawinan di bawah umur. Meskipun makalah ini difokuskan pada perspektif jender, tetapi pemaparan dari segi yuridisnya merupakan keharusan karena dari sanalah titik pemharuan akan dilakukan. Di akhir makalah ini, penulis merekomendasikan beberapa hal yang 1
Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Upaya Pembaharuan Hukum Perkawinan Abad 21 (Mengkritisi Perkawinan Sirri, Kontrak, Di Bawah Umur dan Poligami)” yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Purwokerto, pada tanggal 23 Mei 2009. 2 Staf pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Email:
[email protected]
2
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaharuan Hukum Perkawinan Islam khususnya mengenai empat hubungan tersebut. PEMBAHARUAN HUKUM Pembaharuan hukum nasional dimaksudkan untuk melakukan pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan yang baru, dan juga dilakukan pula usaha penyempurnakan peraturan perundangan-undangan yang telah ada sehingga sesuai dengan kebutuhan baru di bidang-bidang yang bersangkutan. Dalam rangka mengubah suatu aturan perundang-undangan tidak perlu dibongkar secara keseluruhan, tetapi cukup bagian-bagian yang tidak cocok lagi dengan keadaan sekarang.(Abdul Manan, 2005, 14) Agar sesuai dengan keadaan sekarang itulah Philipe Nonet dan Philip Selnick menyebutnya dengan hukum yang responsif dimana hukum yang diperbaharui diartikan sebagai: Hukum yang lebih daripada sekedar prosedur hukum, tetapi juga hukum yang berkompeten dan hukum yang adil; Hukum harus mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif; Institusi hukum mestinya berubah menjadi instrumen yg lebih dinamis bagi penataan & perubahan sosial. ANALISIS DAN PERSPEKTIF JENDER Sebelum melakukan kajian dari perspektif jender terhadap pembaharuan Hukum Perkawinan Islam, maka terlebih dahulu harus diperjelas pengertian analisis jender dan perspektif jender tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan karena masalah perkawinan bisa dipandang dari berbagai perspektif, yang luarannya memungkinkan terjadinya perbedaan yang mencolok. Konsep jender pengertiannya adalah konstruksi sosial sejarah kehidupan manusia. Sehingga antara negara satu dan lain terkadang sama, tetapi juga bisa berbeda tergantung dari faktor sosial, ekonomi, budaya, hukum dll. Sementara analisis jender pada prinsipnya membandingkan -laki dan perempuan dalam semua bidang. Sehingga tanpa adanya perbandingan keduanya tersebut, maka tidak terjadi analisis jender.(Ilyas, 1997). Pengertian perspektif jender adalah melihat sesuatu hal dari sudut pandang lakilaki atau dari sudut pandang perempuan. Tetapi karena yang sering menjadi korban diskriminasi jender adalah perempuan, seringkali perspektif jender dikonotasikan hanya dari sudut pandang perempuan saja. Sehingga untuk perspektif jender ini, tidak selalu membandingkan dengan perspektif laki-laki, meskipun seringkali sudut pandang keduanya dapat diperbandingkan. ALIRAN FEMINIS Untuk menentukan bagaimana perspektif jender terhadap rancangan dilakukannya pembaharuan hukum perkawinan Islam, maka harus dipahami dulu apa itu feminis atau pegiat jender. Pada dasarnya setiap laki-laki atau perempuan dapat menjadi feminis atau pegiat jender sepanjang dia memenuhi dua kriteria yaitu: 1. sadar akan terjadinya ketidakadilan jender yang menimpa perempuan dan 2. ada usaha untuk mengatasi ketidakadilan jender tersebut.
3
Dengan demikian seseorang disebut feminis tidak menjadi monopoli perempuan saja. Adapun yang menjadi bentuk dari ketidakadilan jender tersebut adalah pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja yang berlebih, pemarjinalan dan adanya sub-ordinasi. Hanya saja meskipun feminis sama dalam hal adanya ketidakadilan atau ketertindasan jender terhadap perempuan tersebut, mereka mempunyai pendapat yang berbeda terhadap akar penyebab ketidakadilan itu. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam aliran feminisme. Dalam makalah ini hanya akan dibahas tiga aliran besar feminisme (radikal, liberal dan feminis muslim) terhadap Pembaharuan Hukum Perkawinan Islam. Menurut penulis ketiga aliran feminis tersebut cukup untuk merepresentasikan perspektif feminis yang ingin dipakai sebagai pisau analisis. Untuk itu harus dilihat dulu aliran feminis atau pegiat jender mana yang akan dilihat perspektifnya. Deskripsi berikut akan menerangkan tiga aliran besar feminis yaitu feminis radikal, liberal dan feminis muslim/muslimah. 1. radikal feminism : Memfokuskan alasan penindasan perempuan semata-mata karena sistem patriarki dimana terjadi eksploitasi oleh laki2 terhadap perempuan dimana terdapat dominasi power satu pihak terhadap pihak lainnya.Hanya dengan ......pemutarbalikan teori patriaki saja maka penindasan perempuan dapat diatasi. 2. liberal feminism : Aliran ini timbul ada abad 19 dimana feminis tersebut percaya bahwa masalah ketertinggalan atau ketidakadilan terhadap perempuan terjadi karena perempuan tidak bebas tapi terkekang saja dalam rumah. Untuk itu perempuan perlu dibebaskan dari rumah untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Sehingga untuk mengatasi masalah hanya perlu peningkatan kualitas perempuan untuk dapat aktif dalam kehidupan publik, tanpa perlu koreksi mendalam terhadap teori2 yg dipercaya memberikan dampak penindasan perempuan dalam bentuk lain. 3. Feminist religius. Aliran yang menerima pembaharuan dan kemajuan perempuan asal tidak meninggalkan prinsip-prinsip agama yang mereka anut. Agama disini bisa Islam, Kristen, Katholik, dll, dan khusus untuk feminis yang beragma Islam disebut dengan feminis muslim/ muslimah, bahkan dalam rumor keseharian ada yang menyebutnya dengan feminis putih. POLIGAMI Pengaturan: Beberapa pasal yang berkaitan dengan poligami diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: Pasal 3 yang menyatakan: Ayat (1) : "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami". Ayat (2): "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang". Pasal 4 menyatakan: Ayat (1): "Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka wajib ia mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya". Ayat (2): "Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
4
disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan: "Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a.adanya persetujuan dari isteri/isteri; b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c.adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka Pasal 9 menyatakan, "Seorang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 undangundang ini". Pasal 15 yang menyatakan, "Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mencegah perkawinan yang baru”. Pasal 24 yang menyatakan, "Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru”. Meskipun poligami diperbolehkan dengan beberapa batasan seperti diatur diatas, tetap saja dalam praktek terjadi poligami illegal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu: - desakan istri kedua yang telah hamil - istri pertama tidak memberi ijin - suami memalsu biodata dengan mengaku masih bujangan - kebutuhan biologis tidak terpenuhi. (Prihatinah, 2009, 5). Poligami ilegal ini sering dalam masyarakat dikonotasikan dengan istilah nikah sirri, hal ini akan diuraikan tersendiri dalam makalah ini. Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak: Kenyataan keseharian menunjukkan pada adanya perempuan yang mau dipoligami, bahkan mungkin banyak juga, tetapi hal ini tidak bisa sekaligus menunjukkan bahwa mereka menyukai jalan hidup yang demikian. Kebanyak dari mereka lebih memilih untuk diam sambil memendam luka akibat dipoligami. Oleh karena itu, kesediaan beberapa perempuan untuk mau dipoligami tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk menggeneralisasikan bahwa setiap perempuan pada dasarnya mau dipoligami. Konsep kepatuhan dan pelayanan yang telah terinternalisasi pada diri perempuan sejak masa kanak-kanak adalah salah satu faktor kenapa mereka mau dipoligami. Realitas kehidupan perempuan yang dipoligami cenderung lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Temuan yang dilakukan Rifka Annisa, tahun 2003 menunjukkan terjadi 210 kasus kekerasan (fisik, ekonomi, seksual maupun emosi) terhadap isteri.kebanyakan korban berstatus dimadu resmi maupun tidak resmi serta pasangannya memiliki WIL. (Litbang Rifka Annisa WCC, 2003:5-8). Upaya penyelesaian kasus-kasus semacam tersebut diatas sangat diperlukan. Melalui perkembangan wacana feminisme dan analisis gender, maka dimulailah upaya untuk melahirkan cara pandang baru terhadap tata hubungan laki-laki dan perempuan. Analisis gender khususnya feminis liberal menekankan bahwa pada hakikatnya manusia
5
adalah sama, laki-laki maupun perempuan, yang membedakan diantara keduanya adalah jenis kelamin. Konstruksi sosial masyarakatlah yang telah membentuk polapola perilaku yang dianggap baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perbedaan ini juga yang kemudian memunculkan banyak ketidakadilan, munculnya marginalisasi, stereotype, subordinasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Menurut feminis radikal, ketidakadilan tersebut disebabkan adanya relasi kuasa laki-laki yang lebih dominan daripada perempuan. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan dari penelitian sehati oleh LPKGM-UGM bekerja sama dengan Rifka Annisa Women Crisis Center yang dilakukan di Purworejo Jawa Tengah menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara relasi kuasa yang tidak seimbang dengan adanya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga (Aura, No.07 Minggu ke-2, Maret 2001). Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga selalu dikaitkan dengan dua hal. Pertama, kekerasan itu selalu terjadi karena ada dua pihak yang berada dalam hubungan relasional yang tidak seimbang sehingga kelompok yang kuat melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang lemah. Demikian halnya dengan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan ini terjadi karena hubungan suami isteri tidak seimbang, dalam hal ini biasanya kedudukan dan status suami lebih tinggi daripada isterinya. Kedua, tindakan kekerasan selalu dilandasi oleh adanya anggapan dan asumsi tentang korban, pelaku mendapat legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Keyakinan tentang korban ini misalnya, isteri harus patuh, pasrah, taat dan seterusnya. Bersamaan dengan itu sang pelaku (suami) memiliki keyakinan bahwa korban pantas dikerasi karena tidak patuh, tidak sabar, atau tidak memenuhi kemauan Persepsi sosial tentang kekerasan terhadap perempuan dipahami secara berbeda. Kecenderungan yang ada selama ini menunjukkan bahwa yang dianggap sebagai kekerasan hanyalah sesuatu yang selalu identik dengan hal-hal yang bersifat fiskal saja, sedangkan kekerasan non fisik dipersepsikan bukan sebagai tindakan kekerasan, karena tidak mempunyai kerugian fisik yang dialami perempuan, terutama untuk dijadikan bukti disisi lain kekerasan terhadap perempuan sering dipahami oleh masyarakat sebagai suatu resiko bagi perempuan dan terjadi akibat ketidak hati-hatiannya. Kekerasan dianggap sesuatu yang given (pasti ada) dalam kehidupan publik, karenanya perempuan harus mengantisipasinya. Menurut feminis radikal, struktur kekuasaan masyarakat yang patriakhis telah menyebabkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat selalu bersifat politis, dimana kelompok manusia dikendalikan oleh kelompok yang lain. Adapun lembaga dari struktur kekuasaan dimana laki-laki sangat memegang peranan tersebut adalah keluarga. Oleh karena itu, sampai saat sekarang ini sulit sekali menemukan batasan yang tepat bahwa poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun, beberapa gejala kekerasan terhadap perempuan akibat poligami seperti contoh diatas tampaknya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bahwa hak-hak keadilan yang seharusnya didapat oleh perempuan dalam suatu relasi perkawinan ternyata tidak diperoleh. Sementara feminis muslim lebih banyak mengkritisi kembali ayat-ayat yang berkaitan dengan poligami. Mereka mempertanyakan kembali inti persoalan poligami. Keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi malah seringkali terabaikan dalam praktik poligami sekarang. Karena itu para feminis berpandangan bahwa pembolehan poligami bukan dimaksud sebagai pemberian lisensi baru bagi berlakunya poligami, melainkan
6
lebih diarahkan upaya pentahapan secara gradual untuk menuju monogami. Meskipun ada toleransi bagi terjadinya poligami, tetapi hal ini lebih dipandang sebagai force majeure yaitu keadaan memaksa yang memerlukan penanganan khusus untuk kasuskasus tertentu yang tidak dapat digeneralisasikan kebolehannya dan tetap dengan persetujuan isteri secara jujur, serta kemampuan untuk menegakkan prinsip keadilan kepada para isteri. Tetapi ketika situasi dan kondisi memungkinkan bagi berlakunya monogami, maka upaya kearah monogami dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam level nasional, Komnas Perempuan dalam keterangan tertulisnya bertanggal 17 Juli 2007 menyatakan bahwa seorang perempuan yang memasuki sebuah perkawinan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan terbebas dari diskriminasi dan kekerasan, serta hak-haknya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ternyata adanya fakta kekerasan menunjukkan dalam perkawinan poligami tidak serta-merta menjadi sesuatu yang membahagiakan. Arti pentingnya UU Perkawinan adalah mereka akan dapat menggunakan Undang-Undang Perkawinan tersebut untuk bisa mencari harapan baru apabila dirinya dilanggar hak-haknya dan terbebas dari kesewenangan suami. Organisasi pegiat jender yang lain - ”Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3)” berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah membatasi poligami, oleh karena pada dasarnya asas dalam perkawinan itu sendiri adalah prinsip monogami sebagaimana tersebut dalam Pasal 3. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Lebih jauh jaringan ini berpendirian bahwa pemberian izin poligami itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu privilege tertentu (hak yang diistimewakan) bagi suatu kelompok atau pria yang sesungguhnya merupakan bentuk diskriminasi terhadap pihak lain dalam hal ini wanita, perempuan dan kontradiksi dengan definisi maupun asas perkawinan itu sendiri. Kesadaran akan privilege agar tidak digunakan sewenang-wenang maka Pemerintah Indonesia yang sudah meratifikasi kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 melakukan beberapa pembatasan seperti termuat dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UndangUndang Perkawinan). Hal ini dimaksudkan untuk membatasi praktik poligami liar yang selama ini terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Setelah UUP itupun pembatasan poligami dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenangwenangan oleh suami. Apalagi jika suami dengan sewenang-wenang mengancam tidak akan menafkahi keluarganya bila tidak ada izin isteri, jelas dalam hal tersebut banyak tejadi kekerasan dalam rumah tangga, yang menjadi korbannya adalah isteri dan anakanaknya. Hal ini dikarenakan biasanya terjadi karena ketergantungan istri kepada suami secara ekonomi. Dengan adanya UU ini memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Perlindungan ini tercermin pada kasus yang diputus Mahkamah Agung RI Nomor 209K/AG/1994 yang menguatkan putusan pengadilan sebelumnya dalam menjatuhkan putusan pidana penjara bagi suami dan istri baru yang menikah tanpa ijin Pengadilan Agama masing-masing 1 bulan penjara, sementara wali perempuan yang menikahkan dijatuhi pidana penjara selama 20 tahun. Argumen bahwa poligami tanpa ijin istri sebelumnya juga merugikan istri tersebut maupun anak-anak sejalan dengan Pasal 28J Ayat (2) Amandemen UUD 1945 yang
7
berbunyi, “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang diterapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Hanya sayang masih banyak terjadi poligami illegal dalam masyarakat, hal ini karena rendahnya saangsi denda yang dijatuhkan pada pelanggarnya yaitu denda Rp. 7.500,00 (ketentuan Pasal 45 PP 9 Tahun 1975 dan ancaman pidana ringan. Untuk itu sangsi hukuman pidana maupun denda bagi pelanggar poligami terhadap ketentuan dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 harus diperbesar sehingga menimbulkan efek penjeraan. Untuk itu bisa diadopsi ketentuan seperti tercantum dalam Pasal 1371 KUH Perdata menjadi,”Penggantian denda dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. Selebihnya terserah hakim Pengadilan Agama berapa jumlah yang akan diputus pada setiap kasus. KAWIN KONTRAK Pengaturan: Kawin kontrak tidak diatur dalam hukum positif. Kawin kontrak tersebut tidak dicatat dan juga diadakan hanya untuk waktu jangka tertentu saja. Sehingga meskipun kebanyakan menguntungkan dari segi materi, tetapi ini mempermudah perceraian kalau memang perkawinan dianggap pernah ada. Padahal perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Alloh, selain itu juga tidak bisa diterima baik dari sudut agama maupun hukum (positif). Kalau membiarkan terjadinya kawin kontrak, ini berarti lebih banyak akan terjadi perceraian. Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak: Tidak ada perlindungan bagi perempuan dan anak yang lahir dari perkawinan kontrak. Anak tersebut hanya punya hubungan hukum dengan ibunya dan tidak dapat menuntut hak apapun dari ayah biologis. Kawin kontrak yang tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia bahkan bertentangan dengan pasal dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berikut: Pasal 2 menyatakan: Ayat (1): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya. Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak adanya perlindungan hukum pasca kawin kontrak, apalagi kalau perempuan sampai hamil menyebabkan terjadinya multiple kekersan terhadap perempuan baik secara ekonomi, psikis bahkan kepada keturunannya. Untuk itu sebaiknya praktek kawi kontrak tidak dilakukan di Indonesia. PERNIKAHAN SIRRI Pernikahan sirri oleh Mohd Idris Ramulyo didefinisikan dengan, ”Perkawinan yang dilakukan di bawah tangan maksudnya adalah bahwa perkawinan itu tetap sah dilakukan dengan baik rukun-rukun maupun syarat-syarat telah ditentukan menurut hukum Islam, hanya pelaksanaannya tidak dilakukan melalui pendaftaran atau pencatatan
8
di KUA yang mewilayahi tempat tinggal mereka”. (Mohd. Idris Ramulyo, 2000, 7). Sahnya nikah sirri seperti yang diyakini Mohd. Idris Ramulyo ini berbeda dengan pendapat Jawahir Thantowi dimana J. Thantowi mengkategorikan nikah sirri menjadi tiga pandangan seperti diterangkan berikut. a. Nikah sirri tidak dilarang atau boleh saja dilakukan sepanjang sesuai dengan prinsip-prinsip berikut: - Nikah siri dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah timbulnya pelanggaran hubungan antara laki-laki dan perempuan. - Nikah siri dilakukan dengan mematuhi syarat-syarat dan rukun yang digariskan dalam hukum Islam. - Nikah siri dilakukan dengan mempertimbangkan alasan bahwa Islam mengajarkan agar mempermudah pernikahan, jangan menunda-nunda meski pun masih ada beban ekonomi. Selain didasarkan pada ketentuan hukum Islam, praktik nikah siri kadang lebih ditentukan karena urusan keluarga masing-masing pelaku. b. Nikah sirri dilarang karena mudharatnya lebih banyak dengan alasan sbb: - Nikah siri dilarang karena hukum yang dianut seharusnya adalah hukum positif mengingat hukum Islam telah terkandung di dalamnya. - Nikah siri menimbulkan dualisme dalam penerapan hukum, sehingga unifikasi dan kepastian hukum tentang pernikahan dapat hilang. - Nikah siri menimbulkan masalah, seperti proses perceraian yang menyulitkan kedua belah pihak akibat tidak dicatatnya pernikahan secara resmi. - Dalam nikah siri, suami tidak mempunyai tanggung jawab yang besar dan mengikat karena kecenderungan yang kerap terjadi bahwa ekonomi rumah tangga ditanggung sendiri-sendiri. - Nikah siri menjadi lahan empuk yang sering dipraktikkan oleh pejabat dan PNS. c. Membolehkan nikah sirri asal disesuaikan dengan ketentuan hukum positif yaitu mencatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang meski tanpa harus melaksanakan resepsi. Pandangan ketiga ini berusaha menjembatani kebutuhan antara pro dan kontra terhadap nikah siri. Pandangan ketiga ini selain bermuatan kepentingan agar umat Islam mematuhi dan memiliki kesadaran hukum yang tinggi (baik terhadap hukum agama maupun hukum positif) juga memiliki pesan agar perkawinan tersebut didukung oleh pihak-pihak keluarga yang terlibat. Perlindungan terhadap perempuan dan anak: Terhadap status nikah sirri Feminis liberal memandang nikah sirri sebagai hak individu sehingga terserah bagaimana individu tersebut bebas melakukan pilihannya tersebut termasuk mempunyai hubungan dengan siapapun tanpa dicatatkan. Sehingga dari sudut pandang hukum positif, perempuan tersebut masih mempunyai kebebasan sebagai orang yang belum menikah. Hasil penelitian di Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa faktor dilakukannya nikah sirri tersebut antara lain karena istri pertama tidak memberi ijin suami untuk kawin lagi dan suami tetap ingin mempunyai hubungan dengan wanita lain. (Prihatinah, 2009, 5).
9
Di negara maju ada praktek mirip dengan nikah sirri tapi tanpa dimensi agama, yaitu apa yang disebut dengan ”marriage de facto”, dimana dua orang hidup bersama melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan perkawinan bahkan sampai punya anak. Hanya saja meskipun tidak didaftarakan dan antara laki-laki dan perempuan tidak ada hak dan kewajian, hubungan ini tetap mempunyai akibat hukum terhadap anak-anak yang lahir sehingga anak-anak tersebut mempunyai hak-hak (baik nafkah maupun pewarisan) seperti anak sah baik dari ayah maupun ibunya. Hal ini bisa dimengerti karena memang hukum di negara maju lebih cenderung mengatur hubungan antar manusia saja termasuk anak yang lahir dari hubungan dua manusia. Dari uraian terdahulu status nikah sirri masih belum pasti keabsahannya menurut hukum agama tergantung dari kondisi yang menyertainya. Yang penting adalah bagaimana akibat hukum nikah sirri tersebut bagi pihak-pihak yang terkait khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Nikah sirri jika dipandang dari sudut hukum positif Indonesia maka tidak sah. Nikah sirri yang tidak dicatatkan maka tidak ada perlindungan hukum apapun baik pada perempuan maupun anak yang dilahirkan, bahkan meski mereka sudah hidup puluhan tahun. Sehingga kalau laki-laki tidak melaksanakan kewajibannya seperti memberi nafkah lahir maupun batin, maka perempuan tidak dapat melakukan upaya hukum apapun baik untuk menuntut hak-haknya maupun hak-hak anak-anaknya. Bahkan dari faktor sosial, bisa saja perempuan yang nikah sirri dikonotasikan negatif karena biasanya mereka menikah dengan suami yang relatif jauh lebih baik status sosial ekonominya. Usaha maksimal yang bisa dilakukan perempuan tersebut hanyalah mengajukan permohonan pada hakim Pengadilan Agama agar pihak laki-laki melakukan pengakuan atas anak yang dilahirkan dari istri sirrinya. Permohonan ini sebaiknya diajukan saat hubungan laki-laki dan perempuan tersebut masih baik, pengakuan ini mengakibatkan anak tersebut mempunyai hak-hak sebagaimana anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dari lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak dari perkawinan sirri, maka sebaiknya nikah sirri tidak diperbolehkan di Indonesia. PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Praktek perkawinan di bawah umur banyak sekali terjadi dalam masyarakat. Menariknya mayoritas yang menikah di bawah umur adalah perempuan atau tepatnya anak perempuan dimana mereka masih berumur 15, 12 atau ada yang 9 tahun. Meskipun ada laki-laki yang kawin dalam usia-usia tersebut, tetapi kebanyakan usia pihak laki-laki jauh di atas pihak perempuan. Kasus Syeh Puji (Pujioni Cahyo Widianto) 43 tahun menjadi menarik karena dia dituduh melanggar UU Perkawinan dengan manikahi (sirri) (anak) perempuan Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun. Meskipun akhirnya Komnas Perlindungan Anak menangguhkan keduanya untuk bisa berkumpul sampai Ulfa berusia 16 tahun nantinya, tetap saja proses hukum terhadap Syeh Puji jalan terus. Hanya saja tidak jelas efektifitas jalannya proses keterpisahan keduanya. Tidak diindahkannya patokan usia minimum bagi calon mempelai menyebabkan banyaknya praktek perkawinan usia dini yang di alami (anak) perempuan. Sementara aturan adat Jawa seorang anak perempuan dikatakan dapat dinikahkan kalau sudah mendapat ”datang bulan/ menstruasi”, sama seperti yang terjadi di Arab Saudi. (Eramuslim, 2009) dengan alasan mereka sudah siap secara biologis untuk memberikan keturunan. Kasus di Arab Saudi ini menarik karena hakim menolak membatalkan
10
perkawinan antara laki-laki usia 47 tahun dengan perempuan usia 8 tahun karena perempuan tersebut sudah menstruasi. Perempuan yang sudah menstruasi dianggap sudah matang untuk mengambil putusan sendiri untuk meneruskan perkawinan atau meminta diceraikan dari suaminya yang sudah sepatutnya sebagai kakeknya tersebut meskipun yang menggugat dilakukannya pembatakan perkawinan adalah ibu kandungnya sendiri. Sejak diputus pada Desember 2008, pemerintah Arab Saudi berniat untuk membatasi usia minimum untuk bisa melakukan pernikahan. Sayangnya dalam pernihakan ini tidak dipertimbangkan kesiapan psikis. Sementara bagi laki-laki atau anak laki-laki secara adat Jawa dikatakan dapat (siap) kawin kalau dia sudah ”cekel gawe”, hal ini sesuai dengan kewajiban utama seorang suami adalah kemampuan memberikan nafkah bagi anak dan istrinya. Sementara hukum positif kita UUPerkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya pasal 7 sudah menentukan batas minimum usia perkawinan yang diijinkan yaitu bila usia calon mempelai laki-laki sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita mencapai 16 tahun. Hal ini dimaksudkan agar calon mempelai telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan guna mewujudkan tujuan perkawinan. Perlindungan terhadap perempuan dan anak: Pembuat UU Perkawinan menetapkan usia minimum adalah 16 dan 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan harapan pada usia tersebut sudah ada kesiapan lahiriah dan batiniah untuk dapat terwujudnya tujuan perkawinan itu. Terdapat keberagaman terhadap keabsahan perkawinan anak dibawah umur di kalangan umat Islam, tetapi yang jelas menurut hukum positif perkawinan ini tetap tidak sah. Akibat hukumnya maka anak yang dilahirkannyapun hanya punya hubungan hukum dengan ibunya. Dilihat dari hukum positif perkawinan ini juga tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan UUPerkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya pasal 7, UU Perlindungan Anak serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya Pasal 288 ayat 1. Konsekuensi lain dari perkawinan dini ini yaitu hilangnya kesempatan anak tersebut untuk menempuh pendidikan karena sistem pendidikan di Indonesia tidak mentolerir anak-anak untuk menempuh pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Lanjutan kalau anak tersebut hamil/punya anak.Apalagi perlindungan hukum terhadap anak (perempuan) dalam usia inipun juga tidak ada khususnya terjadi pasca perceraian, sehingga anak perempuan tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya sebagai istri atau hak-hak dari anak-anak yang dilahirkannya. Dengan demikain hidup anak perempuan yang sudah nikah tersebut sangat bergantung pada kebaikan hati laki-laki sebagai suaminya. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji sepintas keempat hubungan pernikahan tersebut dari perspektif jender. Untuk itu telah diuraikan konsep pembaharuan hukum, analisis dan perspektif jender, aliran feminis, dan keempat bentuk hubungan pernikahan. Meskipun feminis berbeda dalam mencari penyebab terjadinya ketidakadilan jender, tetpi mereka berpendapat senada atas terjadinya ketidakadilan yang menyebabkan lemahnya perlindungan hukum pada perempuan dan anak-anak. Poligami yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan seperti tercantum dalam UU Perkawinan ternyata tidak
11
memberikan perlindungan yang cukup pada perempuan dan anak-anak. Meskipun poligami dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut ternyata bentuk perkawinan monogami lebih memberikan perlindungan pada istri dan anak-anak karena cenderung mengurangi terjadinya kekerasan kepada istri dan anak-anak. Sementara untuk perkawinan kontrak dan sirri sama sekali tidak memberikan perlindungan hukum (positif) pada perempuan. Indonesia sudah mengatur tentang usia minimum agar bisa menikah sudah, tetapi konsekuensi hukum bagi yang melanggar ketentuan belum memberikan efek jera, selain itu perlu disosialisasikan lagi agar tidak banyak pelanggaran terhadap ketentuan usia ini. Setelah diuraikan rancangan pembaharuan hukum Perkawinan Islam terhadap praktek poligami, nikah sirri, kawin kontrak dan pernikahan di bawah umur tersebut, maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan sebagai masukan terhadap rancangan untuk mengurangi terjadinya ketidakadilan jender. Rekomendasi tersebut adalah: 1. Diperberatnya sanksi pidana maupun denda terhadap pelanggar ketentuan poligami seperti tercantum dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dapat menimbulkan efek jera. 2. Dimasukkannya pelarangan nikah sirri dan kawin kontrak dalam UU Pembaharuan Hukum Perkawinan Islam. 3. Ditingkatnya sosialisasi usia minimum untuk dapat melakukan pernikahan. DAFTAR PUSTAKA Aura, 2001, ”Poligami”, majalah mingguan: 07-2, Maret. Eramuslim, 2009, “Saudi Bakal Larang Pernikahan Di Bawah Umur”, tersedia diwebsite: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/saudi-bakal-larang-pernikahandibawah-umur.htm. Ilyas, Yunahar. (1997) Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC), 2003:5-8 Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta. Prihatinah, Tri Lisiani, 2009, Poligami Ilegal di Kabupaten Banyumas, dalam Seminar Internasional Hasil-Hasil Penelitian, diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 3 Mei. Ramulyo, Mohd. Idris, 2000, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
12