JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
PEKERJA WANITA DI PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN JENDER Sinta Uli Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Law should assist human bring to develop based on their characteristic by taking up dignities, faith, fair, equality, freedom, and setting up the communite for sale. Unfortunately, the work deal between the employers with the manager/businessman which state the the work conditions, rights, and obligation of the workers/employers are not fair. The employers are agree with the requirements because of their need. In fact, it show that the women employers are distinguished in the matter of the company regulations. The woman employers do not get welfare incentives for their husband and children. The workers regulation No. 13 is good. However, the implementation is not running as its purpose. Kata Kunci: Pekerja, Wanita, Perusahaan, Hukum
Membicarakan buruh perempuan/pekerja wanita dapat dikatakan membicarakan hak azasi manusia. Kehadiran UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan nuansa baru dalam hukum perburuhan ketenagakerjaan. Sesuai dengan perkembangan zaman memberikan kesetaraan antara pekerja pria dan wanita, khususnya untuk bekerja pada malam hari. Bagi buruh / pekerja wanita berdasarkan undang-undang ini tidak lagi dilarang untuk bekerja pada malam hari. Pengusaha diberikan rambu-rambu yang harus ditaati mengenai hal ini. Memberi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis, pembatasan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pencabutan izin. Perubahan lain, menjadikan hukum perburuhan menjadi ganda yakni sifat privat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang perburuhan/ ketenagakerjaan. Pemerintah ikut mengatur dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum). Dalam undang-undang ini merumuskan arti tenaga kerja. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatana yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Hal lain dalam undang-undang ketenagakerjaan tentang hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan atau keperluan yang berjasmaniah dan rohaniah, baik didalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. Perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan sistem sentralistis kepada sistem otonomi, memberi arti penting. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada pengusaha daripada kepentingan rakyat. Produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah. Perubahan paradigma tersebut memberi arah positif pada kehidupan, selayaknya diikuti wanita dan berada diantara fenomena kesetaraan jender sesuai dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem Hukum Nasional. Persoalan hukum, politik, sosial dan budaya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat memberi fenomena yang terjadi didalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan ini (Indonesia). Perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum dan Pembangunan Hukum Perburuhan Indonesia. KESETARAAN DAN PERANAN PEKERJA UUD 1945 pada Bab X tentang Warga Negara, pasal 27 ayat (1) menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum sejak tahun 1945. Prinsip Kesetaran laki-laki dan wanita di depan hukum telah diakui. Berarti tidak membedakan jenis kelamin dimuka hukum. Pada tulisan ini dipakai istilah wanita yang maksudnya juga perempuan. Kesetaraan laki-laki dan wanita, baik dimuka hukum maupun pemerintah dijamin UUD 1945. 87
Sinta Uli: Pekerja Wanita dan Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan Jender
Ketentuan pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam rangka menuju kepastian hukum, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita melalui UU No. 7/Tahun 1984. Undang-undang ini menentang diskriminasi, lalu apakah hal ini dijalankan dengan baik. Bagaimana setelah semua orang menyadari kesetaraan laki-laki dan wanita ini. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur secara khusus mengenai pekerja perempuan yang meliputi: (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a. Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Kemudian untuk waktu kerja ditegaskan bahwa: Pasal 77 (1). Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2). Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh jam) 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3). Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4). Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 78 (1). Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2). Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah dan lembur. (3). Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4). Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 79 (1). Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2). Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. b. Istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam I (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. c. Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua) belas hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing I (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunan dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (3). Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (4). Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. (5). Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Pasal 81 (1). Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kedua bersama. PEKERJA DAN PELAKSANAAN PERATURAN Ketenagakerjaan tidak saja mengatur hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja saja, tetapi mengatur juga sebelum adanya hubungan kerja dan para pekerja mandiri (swapekerja). Hukum Ketenagakerjaan mengatur pula orang di luar hubungan kerja, pihak ketiga, yaitu mereka yang tidak berada dalam suatu hubungan kerja, tetapi dapat menjadi pihak yang terlibat dalam suatu hubungan industrial. Selain itu, ada pula beberapa ketentuan dalam Hukum Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan hubungan industrial, mengikat pemerintah dan aparaturnya, karena peran mereka sebagai salah satu pelaku proses produksi. Hukum Ketenagakerjaan tidak terlepas pula dari peranan Organisasi Ketenagakerjaan Indonesia (International Labour Organization─ILO), yang didirikan antara lain dengan tujuan membangun kerjasama internasional guna mendorong terciptanya peraturan ketenagakerjaan yang adil dan berasaskan hak-hak asasi manusia. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 mengatur secara khusus mengenai pekerja wanita. Aspek perlindungan Hukum Ketenagakerjaan mengatur perlindungan sejak sebelum dalam hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah hubungan kerja berakhir. Perlindungan sebelum bekerja misalnya, jaminan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama dan tanpa diskriminasi, untuk memperoleh pekerjaan, pelanggaran 88
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
terhadap hal itu dapat dikenai sanksi. Perlindungan setelah hubungan kerja misalnya adanya kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon agar pekerja terjamin nafkahnya dalam suatu waktu tertentu sebelum mendapat pekerjaan baru. Bentuk perlindungan yang sosiologis dan psikologis yang diberikan kepada pekerja, antara lain berupa perlindungan yang pelaksanaan tugas sosialnya sebagai warga masyarakat, misalnya menjalankan tugas negara, dalam hal ada anggota keluarga yang serumah yang meninggal dunia. Undang-undang juga melindungi aspek psikologis dari pekerja yang berupa pemberian tunjangan kecelakaan kerja bagi pekerja yang karena akibat dari pekerjaannya mengalami cacat mental tetap. Kewajiban pengusaha dalam hubungan kerja untuk memanusiakan manusia yaitu pekerjanya, dengan menghormati harkat dan martabat mereka. Antara pekerja dan pengusaha terdapat kepentingan yang selaras yaitu kemajuan perusahaan. Hanya dengan kemajuan perusahaan kesejahteraan dapat ditingkatkan. Inilah yang merupakan ciri dari hubungan indsutrial di Indonesia dibanding dengan hubungan industrial di negara lain. UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera adil, makmur, baik materiil maupun spiritual. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam, dimungkinkan perjanjian kerja dilakukan secara lisan. Bagi pembuatan perjanjian kerja yang dipersyaratkan harus dibuat secara tertulis seperti antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, kerja antardaerah, kerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut, pembuatan secara tertulisnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 50 dan 51 UUKK). Pembuatan perjanjian kerja dibuat atas dasar: a) Kesepakatan kedua belah pihak, b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan berkenaan atau berkaitan dengan kemampuan dan kecakapan para pihak yang membuatnya, perjanjian itu dapat dibatalkan. Kemampuan atau kecakapan pembuat perjanjian kerja adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Dalam memberikan perlindungan kepada pekerja yang baik dan pengusaha yang baik, peraturan perundangundangan ketenagakerjaan, berfungsi untuk mengarahkan, mengatur dan menertibkan kehidupan para pelaku proses produksi dan masyarakat pada umumnya di dalam suatu hubungan industrial. Melalui peraturan perundang-ungadangan ketenagakerjaan, sebagai sarana hubungan industrial, senantiasa diarahkan kehidupan para pelaku hubungan industrial agar sesuai dengan falsafah bangsa dan tujuan negara, seperti yang dicita-citakan, yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam newujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab bersama antara pekerja, pengusaha dan pemerintah. Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, pemerintah berkewajiban melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan mempunyai fungsi untuk mempercepat dan melaksanakan pembudayaan sikap mental dan sikap sosial para pelaku hubungan industrial yang sesuai dengan dasar falsafah bangsa. Dalam pelaksanaannya semua rancangan peraturan perundang-undangan yang akan ditertibkan, disusun dan dibahas bersama secara tripartit, agar dapat menampung semua aspirasi, dan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak. Sampai saat ini tercatat undang-undang dibidang ketenagakerjaan yang berlaku antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Repulik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi Nomor 98 Organisasi Perburuhan International Mengenai Berlakunya Dasar-Dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama. 3. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1970 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan International Nomor 100 Mengenai Pengupahan Bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerja yang sama Nilainya. 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Keselamatan Kerja. 5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. 6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concering The Abolition Of Forced labor. 7. UndangUndang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admision To Employment. 8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning Discrimination In Respect Of Employment and Occupation. 9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action For The Elimination Of The Worst Forms Of Child Labor. 10. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning The Labour Inspecion In Industry and Commmerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan. 13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 14. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. (Syamsuddin, 2004) PELUANG DAN KENYATAAN PADA PERUSAHAAN
89
Sinta Uli: Pekerja Wanita dan Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan Jender
Komitmen bangsa Indonesia untuk menghapus segala bentuk diskriminasi selaras dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB pada tahun 1948, serta Deklarasi Philadelpia tahun 1944, untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara sama kedudukannya didepan hukum. Oleh karena itu segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, ras, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal asul keturunan tidak dapat dibenarkan. Salah satu bentuk pencegahannya adalah menjamin persamaan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan. Jaminan persamaan tersebut sesuai dengan nilai Pancasila dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam bentuk yang lebih operasional telah diterbitkan pula ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan menegaskan bahwa istilah diskriminasi meliputi setiap perbedaan, pengecualian atau penguatan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan, atau asal asul sosial yang berakibat meniadakan dan mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Lebih lanjut konvensi menegaskan pula bahwa istilah pekerjaan dan jabatan meliputi juga kesempatan mengikuti pelatihan, memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu dan syarat-syarat serta kondisi kerja. Setiap orang berhak atas jaminan sosial, serta berhak atas realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak dapat dicabut, demi martabatnya dan perkembangan kepribadiannya secara bebas. Setiap orang berhak untuk memilih pekerjaan secara bebas, memilih kondisi kerja yang ada dan menguntungkan serta perlindungan dari pengangguran, setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, berhak untuk istirahat dan menikmati waktu senggang, termasuk pembatasan jam kerja wajar serta liburan berkala dengan berupah. Perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan jabatan dapat terjadi dan benar-benar terjadi sejak penerimaan. Berupa pengumuman penerimaan kerja atau lowongan pekerjaan, seperti mencari tenaga kerja wanita yang belum menikah, berparas menarik, dan bersedia tidak menikah dalam satu waktu tertentu, tidak saja merupakan bentuk diskriminasi tetapi merupakan pula eskploitasi terhadap wanita (Syamsuddin, 2004). Hak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya telah dijamin, sejak diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 100 dengan Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957. Dalam konvensi ini disebutkan bahwa istilah pengupahan meliputi upah/gaji pokok atau upah minimum dan atau pendapatan tambahan yang harus dibayar secara langsung atau tidak maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha kepada pekerja di dalam perjanjian kerja. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, upah yang dimaksud adalah tidak hanya upah pokok saja namun juga termasuk tunjangan-tunjangan untuk kesejahteraan lainnya yang diberikan pengusaha kepada pekerja wanita. Namun didalam praktek lapangan tidak demikian. Jika pekerja wanita yang sebenarnya harus mendapatkan tunjangan-tunjangan kesejahteraan dalam kenyataan itu ditiadakan, seperti pekerja wanita tidak mendapatkan tunjangan suami dan anak. Tidak ditanggung oleh perusahaan tunjangan kesejahteraan bagi suami dan anaknya. Dalam perspektif gender terdapat pemberian upah yang rendah bagi pekerja wanita, pekerja wanita secara umum diposisikan sebagai pekerja yang bersedia diberi upah rendah, karena bukan penghasilan utama dan mereka hanya merupakan pencari nafkah kedua. Selain itu adanya anggapan bahwa pekerja wanita mudah diatur dan rendah daya resistensinya. Jika diperhatikan kondisi dilapangan saat ini, banyak ditemukan adanya pembatasan persyaratan jabatan yang mengarah pada diskriminasi jenis kelamin. Persyaratan dalam lowongan pekerjaan misalnya, masih banyak sekali yang mempersyaratkan jenis kelamin tertentu, walaupun jika dikaji lebih lanjut, karakter pekerjaan atau jabatan tersebut tidak khas untuk mempersyaratkan jenis kelamin tertentu. Artinya bahwa pekerjaan atau jabatan tersebut tidak mempunyai karakter yang khas sebagai syarat diperbolehkannya dilakukan pengecualian atau pengalamanan mengenai pekerjaan tertentu yang didasari persyaratan khas dari pekerjaan itu, sehingga tidak dianggap sebagai diskriminasi, misalnya adalah pekerjaan sebagai artis di mana pemeran utama pria tentunya harus seorang laki-laki. Demikian pula mengenai peluang jabatan strategis yang terdapat di pasar kerja cenderung diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Jabatan bagi pekerja wanita biasanya tersegmentasi pada jenis-jenis jabatan yang berkaitan dengan keadministrasian, keuangan dan hubungan masyarakat. Sedangkan jabatan yang berkarakter teknis dan operasional selalu diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Pekerja wanita selalu diposisikan pada jenis-jenis jabatan yang tidak memberikan keputusan final. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai perlakuan diskriminasi bagi pekerja wanita. Dikaitkan dengan pekerjaan, kodrat reproduksi yang melekat pada wanita, ternyata kurang dipahami secara benar oleh banyak pengusaha. Memang ada bidang-bidang pekerjaan tertentu baik secara teknis maupun kesehatan, ada pekerjaan yang mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi wanita. untuk itu perlu dilakukan proteksi terhadap pekerja wanita yang melakukan pekerjaan dibidang-bidang tertentu. Namun banyak pekerjaan pada umumnya tidak berkaitan dengan kodrat wanita. oleh karena itu pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi, yang kemudian diadopsi pada tahun 1974 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Konvensi. Indonesia meratifikasi Konvensi PBB dimaksud, dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Membangun civil society dan demokratisasi di era reformasi sekarang, memperlihatkan posisi pekerja lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasinya. Keadaan ini mempunyai arti membangun ruang publik di mana semua warga negara laki-laki dan wanita dapat mengembangkan kepribadian, potensi dan memberi peluang bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam hal ini wanita merupakan bagian mutlak dari warga bangsa. Jumlahnya lebih dari setengah penduduk Indonesia. Jadi wanita merupakan kelompok strategis dan partisipasinya merupakan komponen kunci membangun demokrasi. Apakah perundang- undangan kita responsif jender dan berprespektif jender. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat sesuatu yang riil dimasyarakat. Apa yang terdapat dimasyarakat harus dapat dikontrol sehingga para pengusaha menjadikan usahanya dengan tidak mengabaikan peraturan. Harapan dan kenyataan digantungkan pada 90
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
pemerintah sekarang. Pemberdayaan wanita, perwujudan keadilan jender dan penghapusan diskriminasi diberbagai bidang dilakukan pemerintah melalui bidang hukum. Hukum harus ditegakkan agar kepastian hukum dapat dicapai. Program pembangunan hukum telah memasukan kesetaraan jender sesuai dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem hukum Nasional. Program itu menjadi komitmen negara untuk dilaksanakan dan tertuang dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional ( Sahala, 2002 ). Menciptakan Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu, mendorong pemerintah untuk mewujudkan keberadaan wanita dalam eksekutif dan yudikatif. Hukum harus sebagai “a tool of social engineering”. Hukum harus pula dilihat dari berbagai segi dari prospektif dan perspektif kepentingan stakeholder. Jika fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal, maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk merubah sikap (atitude) dan perilaku (behavior). Hukum tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang berlangsung ketika hukum dibuat. Berbagai kepentingan tertentu dimenangkan sehingga akan terlindungi dalam rumusan hukum. Ketentuan hukum yang dirumuskan merupakan kompromi dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh golongan-golongan yang bertarung untuk terintegrasi kedalam aturan-aturan yang hendak disusun .Thomas Aquinas menyatakan bahwa ada dasar moral bagi hukum positif, yaitu harus selaras dengan hukum kodrat. Hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya yaitu menjunjung keluhuran martabat manusia, adil, menjamin kesamaan dan kebebasan serta memajukan kepentingan umum. Proses hukum hakekatnya merupakan proses harmonisasi antar kepentingan. Outputnya adalah keadilan atau hukum yang adil yang kemudian diberlakukan pada masyarakat. Hasil dari penerapan hukum itu kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya. Apabila masyarakat tidak memperoleh pelayanan serta keadilan sebagaimana yang diharapkan, maka mereka mengupayakan sistem di luar sistem yang berlaku yang tentu saja dapat menimbulkan akses yang sama sekali tidak diharapkan. Muncul fenomena main hakim sendiri, dan lain-lain. Telah jelas di dalam hukum tidak ada perbedaan laki-laki dan wanita (setara). Karena itu perlu wanita diberdayakan dan ini merupakan pemberdayaan masyarakat. Baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke dalam kinerja pemerintah maupun peningkatan kesadaran masyarakat. Pasal 28 A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal 28 H: 1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, 2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, 3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Pasal 28 I: 1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, 2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang berdiskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang berdiskriminatif itu, 3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita yang disingkat “ Konvensi Wanita” dikenal dengan sebutan lain sebagai Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Cedaw), yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984 tanggal 24 juli 1984, yang penting untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memuat: Pasal 2: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pasal 45: Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), memuat tentang hak-hak dan persamaan hak. Tersurat pada Pasal 1: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada pengecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik kelahiran ataupun kedudukan lain…” Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan dan program yang responsif jender. Maksudnya, kebijakan dan program itu memperhatikan secara konsisten dan sistematis perbedaan wanita dan laki-laki dalam masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan sturuktural dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender. Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender yang merupakan padanan istilah gender mainstreaming yaitu suatu strategi yang digunakan untuk mencapai Keadilan dan Kesetaraan Jender (KKJ) melalui kebijakan publik. Perlu diamati Inpres ini karena berbagai data menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi dan representasi wanita dalam pembangunan. Masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami wanita ditanggapi serius oleh pemerintah, dijabarkan dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan UU 91
Sinta Uli: Pekerja Wanita dan Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan Jender
No.35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2001 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Raperta) 2001. Diantara program tersebut adalah program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum. Pemahaman aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) dalam menyelesaikan masalah ketidakadilan jender dan kekerasan terhadap wanita adalah meningkatkan wawasan jender aparat penegak hukum serta meningkatkan persentase pelayanan hukum dan bantuan hukum kepada wanita. KESIMPULAN Hukum harus sebagai a tool of social engineering. Peranannya dapat dilaksanakan secara optimal, maka harus dapat sebagai sarana merubah sikap (attitude) dan perilaku (behaviour). Pada era reformasi sekarang, hak azasi manusia harus ditegakkan. Tenaga kerja wanita diberi haknya dengan tidak melakukan diskriminasi dalam berbagai hal, yang sudah diatur dalam berbagai undang-undang. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sangat responsif, memberi nuansa baru dalam Hukum Perburuhan (Ketenagakerjaan). Kewajiban pengusaha dalam hubungan kerja untuk memanusiakan manusia yaitu pekerjanya dengan menghormati harkat dan martabat mereka. Kepentingan yang selaras antara pekerja dan pengusaha dijalin kuat untuk kemajuan perusahaan. Hubungan kerja ini terjadi karena perjanjian kerja antara keduanya. Perjanjian kerja ini dibuat atas dasar kesepakatan. Disinilah letak permasalahannya karena kesepakatan tersebut dibuat dengan beberapa syarat yang mau tidak mau disetujui. Ada syarat yang mengandung diskriminasi dalam hal upah dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan bagi tenaga kerja wanita. Hal ini perlu untuk ditinjau ulang dan perusahaan perlu mentaati aturan. DAFTAR PUSTAKA Asikin Zainal, Wahab Agustian, Husni Lalu, Asyadie Zaeni. 2004. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Convention Watch Pusat Kajian dan Gender, Universitas Indonesia. 2004. Hak Asasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Yayasan Obor Jakarta. Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender. Universitas Indonesia. 2004. Kisah Perjalanan Panjang Konvensi Wanita di Indonesia. Yayasan Obor Jakarta. Ihromi Tapi Omas dkk. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni. Bandung. Irianto, Sulystiowati. 2003. Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum. Yayasan Obor Jakarta. Notosusanto, Smita. Purwandari, E. Kristi. 1997. Wanita dan Pemberdayaan. Program Studi Kajian Wanita. Obor. Jakarta. Sahala Sumijati, 2002. Pengarusutamaan Gender Sebagai Suatu Strategi Bagi Tercapainya Program Pembangunan Hukum. Stri, Jurnal Studi Wanita. Jakarta. Sumiarni, Endang. 2004 Jender dan Feminisme. Wonderful Publishing Company. Yogyakarta Syamsuddin, Syaufii Mohd. 2004. Norma Perlindungan Hukum Dalam Hubungan Industrial. Sarana Bhakti Persada. Wahab Zulaini. 2001. Dana Pensiun dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Peraturan-Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Republik Indonesia, Undang-Undang No.7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Republik Indonesia, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Republik Indonesia, Ketetapan - Ketetapan MPR No. VI Tahun 2002.
92