STUDI ANALISIS TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF JENDER
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: FATHUL QORIB NIM: 052111151
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
ii
iii
MOTTO
(
:
)
Artinya: "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya ∗ lagi Maha Mengetahui." (Q.S. An-Nuur': 32).
∗
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 549. .
iv
PERSEMBAHAN Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini. o Kakak dan Adikku yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi. o Teman-Temanku jurusan AS Fak Syariah yang selalu bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku
Semarang, 31 Mei 2010
FATHUL QORIB NIM: 052111151
vi
ABSTRAK Suatu perkawinan yang tercatat akan menentukan status antara suami isteri yang sah sedangkan perkawinan yang tidak tercatat menghilangkan hak suami dan istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana pencatatan perkawinan perspektif jender? Apa akibat hukum pencatatan perkawinan perspektif jender? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (Undang-Undang tentang Pokok Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan cara: a.Mengumpulkan kitab-kitab fiqih; b. memilih kitab-kitab fiqih tertentu; c.membaca kitab fiqih yang telah dipilih; d. mencatat isi kitab; e.menterjemahkan isi catatan; f. menyarikan isi catatan; g. mengklasifikasikan sari tulisan; h. klasifikasi yang lebih spesifik, sedangkan metode analisisnya adalah dengan cara menganalisis dan menggambarkan pencatatan perkawinan dalam perspektif jender. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menentukan "sah"-nya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan soal "sah"-nya perkawinan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat 1, bahwa "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 dan 6. Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Perkawinan tidak tercatat menurut perspektif gender memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah. Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Di samping penjelasan di atas sebenarnya dari perspektif gender, pernikahan tidak tercatat juga berdampak negatif bagi suami manakala semisal istrinya meninggal sedangkan istrinya seorang pekerja yang mempunyai gaji tinggi, maka suaminya tidak mendapatkan harta dari istri yang meninggal tadi .
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “STUDI ANALISIS TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF JENDER” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Anthin Lathifah, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v HALAMAN DEKLARASI ........................................................................ vi ABSTRAK ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................. ix BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................. 1
B. Perumusan Masalah
.................................................. 5
C. Tujuan Penelitian
.................................................. 5
D. Telaah Pustaka
.................................................. 5
E. Metode Penelitian
.................................................. 11
F. Sistematika Penulisan
.................................................. 13
BAB II : TINJAUAN
UMUM
TENTANG
PENCATATAN
PERKAWINAN A. Pengertian Pencatatan Perkawinan ....................................... 15 B. Syarat dan Rukun Nikah dalam Pencatatan .......................... 16 C. Pencatatan Perkawinan Menurut UU No.22/1946 dan UU No.1/1974 dan KHI
.................................................. 20
1. Pencatatan Perkawinan Menurut UU No. 22 Tahun 1946 . 20 2. Pencatatan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 23 3. Pencatatan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam 27 D. Akibat Hukum dari Tidak Adanya Pencatatan Perkawinan... 28
ix
BAB III : PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT JENDER A. Pengertian Jender
................................... 33
B. Kedudukan Kaum Wanita dalam Islam ................................ 36 C. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Jender ................... 52 BAB IV : ANALISIS
PENCATATAN
PERKAWINAN
DALAM
PERSPEKTIF JENDER A. Analisis Pencatatan Perkawinan Perspektif Jender ............... 56 B. Analisis terhadap Akibat Pencatatan Perkawinan Perspektif Jender BAB V :
................................... 60
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................. 66
B. Saran-saran
.................................................. 67
C. Penutup
.................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan disyari'atkannya pernikahan antara lain: Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur):
(
:
)
Artinya: "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui." (Q.S.An-Nuur': 32). 1
:
":
." 2
.
Artinya: "Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamu telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia (rajin) berpuasa,
1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 549. 2 Imam Syaukani, Nail al Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz 4, 1973, hlm. 171.
karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-Jama'ah). Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun setelahnya. Berdasarkan kitabkitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama3 dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan selalu ada, sebagai bagian dari pengawasan, perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.4 Dalam konteksnya dengan pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. 5
3
Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 (tiga belas) kitab fikih yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: (1) al-Bajuri, (2) Fathal-Mu'in, (3) Syarqawi 'ala al-Tahrir, , (4) al-Mahalli, (5) Fath al-Wahab, (6) Tuhfat, (7) Tagrib al-Musytaq (8) Qawanin al-Syar'iyyat Utsman Ibn Yahya, (9) Qawanin. al-Syar'iyyat Shadaqat Di'an, (10) Syamsuri fi al-Fara'idh, (11) Bugyat alMustarsyidin, (12) al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah, dan (13) Mugni al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 33. 4 Ibid., hlm. 69. 5 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002, hlm. 110.
2
Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975.6 Menurut Jaih Mubarok, pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang kurang dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, 6 7
Mukhlisin Muzarie, op.cit., hlm. 110. Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 87.
3
dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).8 Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.9 Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.10 Permasalahannya yaitu jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan secara materiil yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hakhaknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di
8
Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002, hlm. 224. 9 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 216. 10 Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006, hlm. 83.
4
satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak Masalah lainnya adalah bagaimana pencatatan perkawinan dalam perspektif jender. Atas dasar inilah mendorong peneliti memilih tema ini dengan judul: Studi Analisis tentang Pencatatan Perkawinaan dalam Perspektif Jender
A. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya,
maka yang menjadi
perumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pencatatan perkawinan perspektif hukum di Indonesia? 2. Bagaimana pencatatan perkawinan perspektif jender? B.
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pencatatan perkawinan perspektif hukum di Indonesia 2. Untuk mengetahui pencatatan perkawinan perspektif jender.
C.
Telaah Pustaka Sepanjang pengetahuan peneliti, ditemukan beberapa penelitian yang judulnya ada hubungan dengan penelitian ini. Penelitian yang dimaksud di antaranya: Skripsi yang disusun Ahmad Muzaikhan (NIM 2101134 IAIN Walisongo) berjudul: Isbat Nikah dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
5
(Study Analisis Pasal 7 KHI tentang Isbat Nikah). Dalam skripsi ini dipaparkan bahwa isbat nikah atau penetapan nikah dilakukan berkaitan dengan unsur keperdataan yaitu adanya bukti otentik tentang perkawinan yang telah dilakukan. Hal ini karena pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya akta nikah ini para pihak yang terlibat dalam pernikahan akan terlindungi oleh hukum karena telah melakukan tindakan hukum dan mendapat pengakuan hukum. Akta Nikah ini akan bermanfaat dan menjaga kemaslahatan keluarga dan untuk menghindari kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinan yang telah terjadi. Perkawinan yang diakui oleh Undang-undang hanyalah perkawinan yang dicatatkan. Sebagaimana ketentuan pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ayat 1 yang berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan ayat 2 berbunyi: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta dalam KHI pasal 4, 5, 6, 7 secara garis besar memuat aturan bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, setiap perkawinan harus dicatat, perkawinan baru sah apabila dilangsungkan dihadapan PPN, perkawinan di luar PPN adalah "perkawinan liar" sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN. Skripsi yang disusun Moh. Basyar (NIM: 032111184 IAIN Walisongo) dengan judul: Tinjauan Hukum islam tentang Status Anak dari
6
Pernikahan Sirri (Studi Kasus di Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus). Intisari dari skripsi ini bahwa perkawinan sirri termasuk salah satu perbuatan hukum yang kurang dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan di bawah tangan termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan sirri. Dengan kata lain, perkawinan sirri adalah sah; tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI tersebut. Apabila seorang anak dilahirkan secara tidak sah dalam pengertian hukum positif (perkawinan secara sirri), maka ia bisa disebut sebagai anak luar kawin (anak alam), sebagai akibatnya: pertama, tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya dalam pernikahan sirri. Kedua, tidak ada saling mewaris melainkan hanya dapat mewaris dari pihak ibu dan kerabatnya. Skripsi yang disusun Imro’ah (NIM 1198123 IAIN Walisongo) berjudul: Pemikiran Ratna Megawangi tentang Kesetaraan Jender. Dalam skripsi ini dipaparkan bahwa menurut Ratna Megawangi kesetaraan jender tidak bisa dilakukan sama rata 50/50, karena kenyataan membuktikan bahwa banyak perempuan yang tidak rela diperlakukan sama dengan laki-laki. Untuk itu lebih tepat kalau penerapan kesetaraan jender itu dikontekskan dengan
7
masyarakat setempat. Kesetaraan kontekstual ini menurut Ratna dapat mencapai keadilan jender. Hal ini disebutkan karena dalam memberikan sebuah keadilan tidak harus memberikan sama rata, karena masing-masing individu mempunyai spesifikasi masing-masing. Ratna sangat menghargai adanya perbedaan, di mana laki-laki dan perempuan mempunyai potensi kodrat yang berbeda. Dan menurutnya dari perbedaan itu dapat dibentuk jalinan relasi yang harmonis. Untuk itu Ratna setuju adanya pembagian tugas (struktur fungsional) dalam sebuah institusi keluarga. Dan pembagian tugas ini sebenarnya sudah dijelaskan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 34, di mana laki-laki adalah pemimpin karena mereka punya kelebihan disitu dan diwajibkan untuknya memberi nafkah untuk keluarga. Menurut Mustaghfiri Asror, suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahwa dunia dan seisinya diciptakan Allah dalam keadaan berjodohjodoh. Realita semacam ini sudah ada sejak dunia seisinya itu diciptakan Allah dan akan tetap berlaku sampai waktu yang tidak terbatas. Karena sangat lamanya, sehingga manusia menilai bahwa itu adalah suatu hal yang lumrah, biasa, tidak perlu dimasalahkan. Karena itulah sementara orang menamakan bahwa segala sesuatu yang berjodoh-jodoh itu merupakan "hukum alam" atau kehendak alam. Bagi kita orang muslim menamakan hal itu adalah sunnatullah, artinya sesuatu yang sudah menjadi ketentuan Allah.
Keadaan
makhluk yang serba berjodoh-jodoh itu tidak hanya terjadi secara kebetulan, tetapi hal itu memang sudah menjadi iradah Allah, sudah menjadi kehendak
8
Allah. Kalau itu sudah menjadi iradah Allah, sudah barang tentu pasti mengandung maksud dan tujuan yang tinggi nilainya.11 Buku Argumen Kesetaraan jender Perspektif Al-Qur'an, yang ditulis Nasaruddin Umar., yang di dalamnya berisi kritikan terhadap konsep jender yang selama ini dipahami para pemikir Barat dan umat Islam sendiri. la merasa prihatin, karena banyak sekali konsep masalah jender, tetapi teori dari Islam belum ada apalagi yang dikaitkan dengan al-Qur'an. Pengarang buku ini ingin menciptakan kesadaran jender yang lebih makro dan lebih holistik sekaligus. Buku Analisis Jender dan Transformasi Sosial karya Mansour Faqih, di dalam buku tersebut lebih banyak memaparkan pengertian yang sifatnya sebatas pengantar untuk memahami masalah-masalah emansipasi wanita dengan masalah ketidakadilan dan perubahan sosial dalam konteks yang lebih luas. Jo Priastana (ed) Buddhadharma dan Kesetaraan Jender, buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang sengaja dipilih dan disunting menjadi guna dapat melihat dan menemukan tidak hanya menyangkut soal paradigma feminisme dalam Budhadharma namun juga terdapat gerakan feminisme atau gerakan kesetaraan perempuan yang telah ada di dalam sejarah perkembangan agama Budha, baik semasa Budha maupun yang berkembang hingga dewasa ini dengan segala liku-liku dan tantangannya.
11
Mustaghfiri Asror, Emansipasi Wanita dalam Syari'at Islam, Semarang: Toha Putra, 1983, hlm. 11.
9
Dalam buku The Teaching of Buddha diungkapkan, ada empat jenis wanita. Dari jenis yang pertama yaitu mereka yang marah karena penyebabnya kecil, kedua, wanita yang marah tanpa sebab mempunyai pikiran yang sering berubah, ketiga, wanita yang berpikiran luas, tidak gampang marah dan kontrol pikirannya cukup baik untuk menghindarkan tamak, tetapi tidak bisa luput dari irihati dan tidak simpati terhadap kebutuhan orang lain. Keempat, wanita yang luas pikirannya, tahan nafsu kemaruk atau rakus dan dapat berpikir tenang.12 Ungkapan dari buku tersebut memberi gambaran yang buruk terhadap wanita. Buddha memberi gambaran buruk terhadap wanita digambarkan pula oleh Ahmad Syalaby dalam bukunya yang berjudul: Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar di India. Dalam buku ini Ahmad Syalaby menuturkan bahwa Buddha dikecam karena keengganannya menerima perempuan dalam agamanya, kemudian menerimanya dengan ragu-ragu dan takut, juga kata-kata Buddha
yang
menggambarkan
wanita
sebagai
makhluk
yang
membahayakan.13 Dalam kaitannya dengan keadilan, Agus Nuryanto dalam bukunya Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Jender, mengungkapkan al-Qur'an menggunakan istilah 'adl dan qist untuk menjelaskan masalah keadilan. Arti kata 'adl dalam bahasa Arab tidak hanya berkonotasi keadilan, tapi juga membawa serta pengertian akan persamaan (sawiyyat). Istilah 'adl mempunyai
12
Bukyo Dendo Kyokai, The Teaching of Buddha, Printed by Kosaido Co., Ltd, Tokyo Japan, 1978, hlm. 440 13 Ahmad Syalaby, Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar di India, alih bahasa: Abu Ahmadi, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm. 179
10
pengertian persamaan (equalizing) dan kesederajatan (levelling). Seringkali istilah ini dipakai sebagai lawan zulm (penindasan) dan jaur (perbuatan yang salah). Sedangkan istilah qist membawa pengertian, "distribusi yang adil, tempat yang sama, ruang yang sama, seperti juga keadilan, fairness dan persamaan. Kata taqassa, sebagai derivasi dari kata qist, berarti distribusi yang adil. Kata qistas, juga berasal dari akar kata qist, berarti timbangan yang seimbang. Jadi, kedua kata 'adl dan qist yang digunakan oleh al-Qur'an untuk menunjukkan masalah keadilan juga mempunyai pengertian distribusi yang adil, termasuk distribusi sumber-sumber ekonomi, dan menegaskan bahwa akumulasi kapital itu dibolehkan sepanjang untuk kepentingan sosial, dan bukan untuk kepentingan golongan.14 Dari beberapa kepustakaan di atas dapat ditegaskan bahwa penelitian terdahulu belum menjawab dan membahas persoalan pencatatan perkawinan dalam perspektif jender. Penelitian terdahulu masih bersifat umum, oleh sebab itu penelitian ini hendak berupaya membahas nikah yang tercatat dan tidak tercatat dalam perspektif jender. D.
Metode Penelitian Penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Dalam versi lain dirumuskan, metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan instrumen adalah
14
Agus Nuryanto, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 44 dan 61.
11
alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,15 metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:16 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. 17 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, peraturan perundang-undangan, majalah, dan lain-lain. Sumber Data Data Primer, yaitu keseluruhan bahan hukum dalam bentuk UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 (Undang-Undang tentang Pokok Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam
Data Sekunder, yaitu bahan hukum lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah; Imam Taqi al-Din, Kifâyah Al Akhyâr; Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid; Mahmud Syaltut, Muqaranah al-Mazahib fi al-Fiqh, Terj. Abdullah al-Kaaf, “Fiqih Tujuh Mazhab”; Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh alâ al-Mazâhib al-Arba ah. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial; Lili Zakiyah Munir et. al, (editor), Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif 15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 16 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24. 17 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21 - 22.
12
Islam; Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif AlQur'an, Jakarta: Paramadina, 1999 Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan keseluruhan bahan hukum yang bersifat normatif dengan teknik dokumentasi. Dalam penulisan skripsi ini, maka dokumentasi yang dimaksud yaitu UndangUndang Nomor
1 tahun 1974 (Undang-Undang tentang Pokok
Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam Teknik Analisis Data Data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analisis. Metode ini diterapkan dengan cara menganalisis dan menggambarkan pencatatan perkawinan dalam perspektif jender. E.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dalam bab pertama ini diketengahkan keseluruhan isi skripsi secara global namun dalam satu kesatuan yang utuh dan jelas.
13
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pencatatan perkawinan yang meliputi pengertian perkawinan tidak tercatat, syarat dan rukun nikah, pencatatan nikah menurut UU No.22/1946 dan UU No.1/1974 dan pencatatan nikah menurut Kompilasi Hukum Islam. Bab ketiga berisi tinjauan tentang jender yang meliputi pengertian jender, kedudukan kaum wanita dalam Islam, hak dan kewajiban pria dan wanita dalam rumah tangga, kepemimpinan pria dan wanita dalam rumah tangga Bab keempat berisi analisis pencatatan perkawinan dalam perspektif jender yang meliputi analisis pencatatan perkawinan perspektif jender, analisa akibat hukum perkawinan tidak tercatat ditinjau dari perspektif jender. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.
14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Pencatatan Perkawinan Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tidak tercatat dan yang tercatat. Perkawinan yang tercatat ada yang menyebut "kawin resmi" dan "kawin kantor". Demikian pula, ada yang menyebut perkawinan tidak tercatat dengan sebutan "kawin di bawah tangan", "kawin sirri", "kawin syar'i", "kawin liar", "kawin modin", dan kerap pula disebut "kawin kiyai".18 Menurut Jaih Mubarok, pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, dan didaftarkan pada pejabat pencatat nikah. Sebaliknya perkawinan tercatat adalah perkawinan yang dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 19 Pengertian yang sama dikemukakan Idris Ramulyo, yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-
18
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002, hlm. 110. 19 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 87.
15
orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.20 Menurut Mukhlisin Muzarie, yang dimaksud perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Tentang Perkawinan) tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 9 Tahun 1975 (Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).21 Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang kurang dikehendaki oleh undang-undang. B. Syarat dan Rukun Nikah dalam Pencatatan Menurut Mahmud Yunus, perbedaan antara syarat dan rukun perkawinan ialah, bahwa rukun perkawinan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti laki-laki, perempuan, wali, aqad nikah dan sebagainya. Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan, kalau tidak ada misalnya laki-laki atau perempuan, maka demikian itu dinamai rukun perkawinan. Adapun syarat ialah sesuatu yang mesti ada dalam perkawinan, tetapi tiada termasuk salah satu bahagian dari pada hakikat perkawinan itu, misalnya syarat wali itu laki-laki, balig, berakal dan sebagainya. Salah satu dari pada rukun perkawinan ialah shighah= aqad 20
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IIC, 1985, hlm. 226. 21 Mukhlisin Muzarie, op.cit., hlm. 110.
16
nikah =: ijab dan kabul. Maka perkawinan tidak sah, kalau tiada dilakukan dengan ijab dan kabul dan hal ini telah sepakat ulama.22 Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Jadi bisa jadi sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebutnya sebagai syarat. Sebagai contoh Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun 23
adalah al-ijab dan al-qabul di mana tidak akan ada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari alIjab dan al-Qabul, sedangkan selain ijab qabul termasuk ke dalam syarat.24 Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut
Syafi'iyyah melihat syarat
perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat. Menurut Malikiyyah, rukun 25
nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami-istri dan sighat.
Jelaslah para
ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi 22
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12, 1990, hlm. 15. 23 Abdurrrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dar alFikr, 1972, hlm. 12. 24 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 104, hlm. 124. 25 Abdurrrahman Al-Jaziri, op.cit., hlm. 12-13.
17
juga berbeda dalam detailnya. Malikiyyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan Imam Syafi'i menjadikan dua orang saksi sebagai rukun. Di dalam UUP No. 1/1974 dan KHI kebingungan dalam memosisikan apa yang disebut rukun dengan apa yang disebut syarat juga jelas kelihatan. Ahmad Rofiq lebih memilih judul syarat-syarat perkawinan pada Bab V di dalam bukunya, walaupun dengan mengutip Kholil Rahman, akhirnya pembahasannya ditujukan kepada syarat-syarat yang mengikuti rukun26
rukunnya.
Achmad Kuzari memilih subjudul unsur-unsur akad nikah 27
ketimbang rukun atau syarat. Idris Ramulyo juga menggunakan judul rukun dan syarat yang sah menurut hukum Islam, walaupun ketika bicara tentang 28
UUP ia menggunakan kata syarat. Terlepas dari istilah yang digunakan pengkaji hukum Islam di atas, penulis memilih untuk menggunakan istilah rukun dan syarat perkawinan yang tampaknya diterima sebagian besar ulama walaupun dengan penempatan yang berbeda-beda. Menurut Jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masingmasing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian 29
syarat-syarat dari rukun tersebut. 1). Calon suami, syarat-syaratnya: 26
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 71. 27 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 34. 28 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 2002, hlm. 49-50. 29 Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 71.
18
1. Beragama Islam. 2. Laki-laki. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat memberikan persetujuan. 5. Tidak terdapat halangan perkavvinan. 2). Calon Istri, syarat-syaratnya: 1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nashrani. 2. Perempuan., 3. Jelas orangnya. 4. Dapat dimintai persetujuannya. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3). Wali nikah, syarat-syaratnya. 1. Laki-laki. 2. Dewasa. 3. Mempunyai hak perwalian. 4. Tidak terdapat halangan perwaliannya. 4). Saksi Nikah. 1. Minimal dua orang laki-laki. 2. Hadir dalam ijab qabul. 3. Dapat mengerti maksud akad. 4. Islam. 5. Dewasa. 5). Ijab Qabul, syarat-syaratnya. 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. 2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai. 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan. 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. 6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah. 7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi masih ikhtilaf dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini.
19
C. Pencatatan Perkawinan Menurut UU No.22/1946 dan UU No.1/1974 dan KHI Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.30 1. Pencatatan Perkawinan Menurut UU No. 22 Tahun 1946 Pencatatan nikah itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan di mana perlu, terutama sebagai suatu alat-bukti tertulis yang otentik. Dengan adanya
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 121-122.
20
surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.31 Sejalan dengan keterangan tersebut, pemberlakuan sebuah peraturan perundang-undangan mengalami proses (tadrij). Secara historis, pemerintah RI atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional memberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.32 Pada tahun 1954, diberlakukan UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah Luar Jawa dan Madura.33 Di samping memberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1946, dalam UU Nomor 32 Tahun 1954 terdapat perubahan istilah teknis dalam lembaga peradilan, yaitu perkataan "biskal-gripir hakim kepolisian" diubah menjadi "Panitera Pengadilan Negeri."34 Kata kunci dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan adalah pengawasan perkawinan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa nikah diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama. Di samping itu, talak dan rujuk yang dilakukan berdasarkan syari'at Islam
31
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 17. Pernyataan pemberlakuan UU ini dinyatakan secara eksplisit, yaitu "Undang-undang ini disebut Undang-undangan Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan berlaku untuk Jawa dan Madura pada hari yang akan ditetapkan oleh Menteri Agama." Dalam ayat berikutnya ditetapkan bahwa "berlakunya Undang-undang ini di daerah luar Jawa dan Madura ditetapkan dengan Undang-undang lain. Lihat UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 6 ayat (l) dan (2). Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hlm. 373. 33 Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 70. 34 UU Nomor 32 Tahun 1954, Pasal 1A 32
21
diberitahukan kepada PPN.35 Dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 tidak ada pernyataan yang eksplisit yang menyatakan bahwa nikah yang dilakukan tanpa dicatat oleh PPN tidak sah. Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan yang mengatur bahwa "seseorang yang menikah diwajibkan membayar biaya pencatatan yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri Agama." Biaya pencatatan perkawinan dimasukkan ke dalam kas negara menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.36 Klausul yang menyatakan bahwa pihak yang melakukan nikah diharuskan mengeluarkan biaya pencatatan, dapat ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan ijtihad kebahasaan isyarat al-nashsh atau dilalat al-mafhum, yang menunjukkan bahwa para pembuat undangundang memiliki semangat untuk menjadikan pencatatan sebagai syarat sah nikah, talak, dan rujuk. Penafsiran ini sejalan dengan Pasal 3 UU Nomor 22 tahun 1946.37 Dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa "pihak yang melakukan akad nikah tidak di bawah pengawasan PPN atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah."38 Di samping itu, ditetapkan pula
35
U U Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 1, ayat (1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bagi pihak yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah, talak, dan rujuk dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut asalkan membawa surat keterangan dari kepala desa atau kelurahannya yang menyatakan bahwa ia tidak mampu. UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 1 ayat (4). 37 Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 71. 38 Denda sebesar lima puluh rupiah bila dibandingkan dengan klausul yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1946, sebanding dengan kurungan satu setengah bulan; karena denda seratus rupiah berbanding dengan kurungan selama tiga bulan. Dalam RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan terdapat klausul yang menetapkan bahwa nikah yang tidak dalam pengawasan PPN dihukum denda sebesar tiga juta rupiah atau kurungan 36
22
bahwa
"pihak
yang
melakukan
perceraian
dan
rujuk
tidak
memberitahukan kepada PPN (setelah berlangsung selama satu minggu) dihukum denda sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah. 39 Di samping pihak yang melakukan akad nikah yang tidak di bawah pengawasan PPN, yang mendapat sanksi juga adalah pihak-pihak yang menikahkan (wali, tokoh masyarakat, atau pemimpin agama (kyai, ustadz, mu'alim, dan lebai) dengan alasan bahwa agama (fikih) tidak mewajibkan perkawinan dicatat oleh pemerintah. Istilah yang populer di masyarakat adalah perkawinan tidak tercatat/di bawah tangan. Tokoh masyarakat atau kyai yang menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa pengawasan PPN, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebesar seratus rupiah. 40 Seseorang yang menikah tanpa diawasi (dicatat) oleh PPN, dan tokoh masyarakat yang bertindak sebagai PPN padahal tidak berhak, dianggap telah melakukan pelanggaran hukum.41 Pencatatan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Undang-Undang Tentang Perkawinan) ditetapkan bahwa: "perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Dalam ayat berikutnya ditetapkan bahwa "tiap-tiap perkawinan dicatat
selama tiga bulan. Oleh karena itu, lima puluh rupiah dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 sebanding dengan satu setengah juta rupiah dalam RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan. 39 UU Nomor 22 Tahun 1946. Pasal 3 ayat (1) dan (3). 40 UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 3 ayat (2). 41 UUNomor 22 Tahun l946, Pasal 4
23
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."42 Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan: pertama, perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan pihak-pihak yang melakukan perkawinan adalah sah;43 dan kedua, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.44 Dalam memahami UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2, ayat (1) dan (2) tersebut, ahli hukum dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, ahli hukum yang berpegang
pada
cara
penafsiran
legisme
(kebahasaan).
Mereka
berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan dua belah pihak yang melakukan perkawinan adalah sah; pencatatan perkawinan bukanlah syarat sah perkawinan, tetapi hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan.45 Kedua, ahli hukum yang berpegang pada cara penafsiran sistematis (penafsiran undang-undang dengan asumsi bahwa antara pasal yang satu dengan pasal yang lain saling menjelaskan dan merupakan satu kesatuan). Mereka berpendapat bahwa pencatatan perkawinan adalah syarat syah sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat (perkawinan di bawah tangan) dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Di samping dua pendekatan penafsiran tersebut, terdapat cara lain
42
UU Nomor l Tahun 1974, Pasal2, ayat (l) dan (2). UU Nomor l Tahun l974, Pasal 2, ayat (l) 44 UU Nomor l Tahun l974, Pasal 2, ayat (2). 45 Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, Bandung: Mizan, 1997, cet.ke-l, hlm. 91-96 43
24
dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan, yaitu tafsir historis. Salah satu cara memahaminya dari segi sejarah, perlu diungkap mengenai peraturan perkawinan sebelum diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974.46 Dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 ditetapkan bahwa nikah adalah sah apabila dilakukan menurut agama Islam yang diawasi oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.47 Ketentuan tersebut disertai dengan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Ketentuan tersebut adalah: "Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,00 (lima puluh rupiah)."48 Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pencatatan perkawinan dijadikan sebagai syarat perkawinan. Perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN dianggap sebagai pelanggaran; dan sanksi pelanggaran tersebut adalah denda lima puluh rupiah. Bukan hanya laki-laki yang melakukan pernikahan di bawah tangan yang dinilai telah melakukan pelanggaran sehingga diancam dengan sanksi denda, pihak yang bukan PPN yang menjalankan fungsi-fungsi PPN (seperti lebai dan kyai di desa) disanksi dengan kurungan 3 (tiga) bulan (maksimal) atau denda seratus rupiah 46
Hukum Perdata mengenal lima macam metode penafsiran: (1) penafsiran gramatikal (kebahasaan); (2) penafsiran sistematis;. (3) penafsiran historis; (4) penafsiran teleologis (sosiologis); dan (5) penafsiran autentik. Lihat Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum, hlm. 11-13; dan E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1959, cet. ke-5, hlm. 228-240. 47 UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal l, ayat (l). 48 UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 3, ayat (1).
25
(maksimal);49
dan
laki-laki
yang
mentalak
isterinya
tanpa
memberitahukan kepada PPN atau wakilnya didenda sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah.50 Dengan demikian, dari segi sejarah, semangat para penyusun peraturan mengenai pencatatan perkawinan berkecenderungan bahwa perkawinan yang tidak dicatat adalah pelanggaran; dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dilihat dari segi penjelasan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penafsiran yang cenderung sesuai dengan kehendak negara adalah penafsiran yang kedua, yaitu penafsiran struktural. Penjelasan
mengenai
sahnya
perkawinan
dan
pencatatan
perkawinan tidak dipisahkan seperti terdapat dalam batang tubuh UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya; dan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.51 Kecenderungan menjadikan pencatatan sebagai salah satu syarat perkawinan dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 ditetapkan bahwa: pertama, pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;52 kedua, setiap yang akan melangsungkan
49 50
UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 3. avat (2). UU Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 3, ayat (3). 51 Penjelasan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penjelasan Umum, 4 (b). 52 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 2 ayat (1). Lihat pula Peraturan Menteri Agama Nomor
26
perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Pernikahan di tempat perkawinan akan dilangsungkan sekurangkurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan; pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan atau pun tertulis, oleh yang bersangkutan, orang tua, atau wakilnya;53 dan ketiga, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. 54 Penyimpangan terhadap ketentuan tersebut dikelompokkan sebagai pidana pelanggaran yang dihukum denda setinggi-tingginya tujuh ribu lima ratus rupiah55 Artinya, perkawinan yang dilakukan tanpa pengawasan PPN termasuk pidana pelanggaran. Dengan demikian, ketentuan ini semakin menguatkan penafsiran struktural yang menghendaki pencatatan perkawinan dijadikan sebagai syarat perkawinan. Pencatatan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam KHI ditetapkan bahwa: pertama, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;56 kedua, setiap perkawinan harus dicatat oleh PPN;57 ketiga, setiap perkawinan harus dilangsungkan
2 Tahun 1990 tentang Kevvaj iban Pegavvai Pencatat Nikah 53 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 3 ayat (1) dan (2); dan Pasal 4. Pemberitahuan kehendak untuk menikah boleh''kurang dari sepuluh hari dari hari yang telah ditentukan, karena alasan penting yang diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah., Lihat PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 3 ayat (3). 54 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 10 ayat (3). 55 PP Nomor 9 Tahun l975, Pasal 45 ayat (l) a dan (2). 56 KHI Pasal 4 57 KHI, Pasal 5, ayat (l) dan (2).
27
di hadapan dan di bawah pengawasan PPN;58 dan keempat, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum.59 Dibandingkan dengan ketentuan mengenai pencatatan perkawinan yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan yang ada dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 memiliki semangat yang lebih hebat; karena dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI tidak terdapat ketentuan yang eksplisit yang menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN sebagai pelanggaran yang harus diberi sanksi denda atau kurungan; sedangkan dalam UU Nomor 22 tahun 1946 ditetapkan bahwa perkawinan yang dilakukan tidak di bawah pengawasan PPN adalah pelanggaran yang harus dikenai sanksi denda atau kurungan. D. Akibat Hukum dari Tidak Adanya Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetapi harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. meskipun demikian, pencatatan
perkawinan
bukan
syarat
sah,
melainkan
hanya
syarat
administratif. Seperti yang dinyatakan Wasit Aulawi, secara tegas undang-
58 59
KHI, Pasal 6, ayat (l). KHI, Pasal 6, ayat (2).
28
undang ini (UUP No 1/1974) hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara bukan materi hukum.60 Pada sisi lain, setidaknya beberapa alasan yang dikemukakan orangorang yang memandang pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya sebuah perkawinan, pertama, selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal peraturan perundang-undangan pelaksanaan UUP (PP No. 9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan Bab III (pasal 13 s/d21) dan Bab IV (pasal 22/28), masing-masing tentang pencegahan dan pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No. 9/1975. Jika perkawinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata "dan" pada pasal 2 ayat 1 UUP berarti kumulatif. UUP bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU No. 22 tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Semula UU ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1954, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang No. 22 tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
60
Wasit Aulawi," Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia", dalam, Amrullah Ahmad (ed) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 57.
29
Dengan ungkapan lain, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1946 berlaku di seluruh Indonesia. Dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan: (i) perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (ii) bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran. Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya, bahwa dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dengan demikian menyangkut status pencatatan perkawinan, masih terdapat kerancuan bahkan ketidak-jelasan antara UUP dengan penjelasannya dan aturan pelaksanaannya. Agaknya masalah pencatatan perkawinan ini tidak hanya diperdebatkan apakah sebagai syarat sah atau syarat administratif. Tetapi bagaimana dibangun cara pandang baru dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan (mengiklankan perkawinan). Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak. Menurut Ahmad Rofiq sebagai berikut: Menempatkan pencatatan perkawinan hanya sebagai syarat administratif sangat tidak menguntungkan upaya sosialisasi UUP di Indonesia. Padahal jika dilacak landasan metodologisnya, cukup jelas. Secara teknis, para ulama ushul menyebutnya dengan maslahat almursalah (public interest).61 61
Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 109.
30
Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka akibat hukumnya berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-anak akan dapat dihindari. Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah dapat dilakukan dengan penerapan ijtihad insya'i (ijtihad bentuk baru) dengan menggunakan kaidah "menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan". Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum rakyatnya maka pemerintah dapat menetapkan aturan yang mendukung terciptanya ketertiban dan kepastian hukum sesuai dengan kaidah, suatu tindakan/peraturan pemerintah, berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya. Sebenarnya pencatatan perkawinan disadari pengkaji hukum Islam memiliki kedudukan yang sangat penting terlebih lagi untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Masalahnya pencatatan perkawinan itu harus ditempatkan di mana. Apakah di rukun atau syarat administratif. Kalau ditempatkan sebagai rukun baru perkawinan, bisa di duga keberatan akan muncul terutama dikalangan ulama tradisional yang memandang rukun sebagai sesuatu yang sangat sentral dan pasti. Jadi harus didukung oleh dalil yang kuat baik dari al-Qur'an dan hadis. Untuk menghindari perdebatan yang sulit dicarikan titik temunya, pencatatan perkawinan harus diintegralkan dengan keberadaan saksi. Jadi tidak menambah rukun baru. Saksi nikah bisa dipahami dalam dua bentuk, saksi hidup dan saksi akta yang pada gilirannya menjadi bukti otentik sebuah perkawinan. Bisa juga
31
pencatatan perkawinan ditempatkan syarat administratif namun dengan status yang lebih tegas. Artinya, akta perkawinan itu walaupun tetap ditempatkan sebagai syarat administratif tapi di dalam perspektif kenegaraan memiliki kedudukan yang sangat penting dan berpengaruh pada sisi lain kehidupannya terutama dalam konteks kehidupan bernegara. Sebagai contoh, orang yang telah menikah harus menunjukkan aktanya jika memiliki suatu urusan apakah masalah KTP, Kartu keluarga, SIM, mendaftarkan anak sekolah dan urusanurusan lainnya. Singkatnya, akta perkawinan adalah syarat wajib yang ditetapkan oleh negara.
32
BAB III PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT JENDER
A. Pengertian Jender Salah satu isu dan informasi yang digulirkan oleh globalisasi adalah apa yang dikenal dengan gerakan feminisme atau gerakan jender yang cukup menyentakkan dan mungkin juga mengganggu nilai-nilai tradisi dan agama yang mapan dan sudah menjadi bagian keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Tak pelak hal ini memaksa umat Islam untuk memikir ulang dan memeriksa kembali teks-teks keagamaan yang menjadi pegangan hidup dalam bertindak, bersikap dan berkarya. Sebab dari teks-teks inilah umat Islam terbiasa mendasarkan segala sesuatunya.62 Tentu saja seringkali jawaban-jawaban yang dikonstruksi dari pure text (teks murni) dengan tanpa menggunakan perangkat keilmuan sosial modern yang berkembang sudah tidak mamadai lagi. Di sini dituntut pembacaan kritis dengan pendekatan multi-disipliner. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana al-Quran memandang problematika jender. Sebab, bila tidak didasarkan pada pengetahuan yang cukup, maka yang akan terjadi adalah kecurigaan dan salah paham yang berakibat pada saling bermusuhan dan mengklaim sebagai yang paling benar.63
62
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, elSAQ Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 102. 63 Ibid
33
Jender adalah usaha sebagai perbedaan yang tampak (kelihatan) antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; jender adalah sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan.64 Jender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. 65 Pengertian lain menganggap jender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.66 Untuk meluruskan salah paham dalam memperlakukan kaum perempuan yang sering memakai legitimasi teks-teks keagamaan dan menjustifikasi sebagai kodrat, maka yang perlu diberi pengetahuan yang mamadai adalah apa yang dimaksud kodrat dan apa bedanya dengan jender. Jender adalah perbedaan sosial antara kaki-laki dan perempuan yang di titik beratkan pada prilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan
64
Yudhie R.Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an, Jakarta: Gugus Press, 2002, hlm.
251. 65
Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 8. 66 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 4.
34
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan jender adalah sebuah kontruksi sosial (social contruction). Singkat kata, jender adalah interprestasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Sedangkan kodrat adalah segala sesuatu yang ada pada laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan manusia tidak dapat mengubah dan menolaknya.67 Dari pengertian itu tampak perbedaan antara keduanya, yakni jender ditentukan oleh masyarakat, berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangan yang mempengaruhi nilai dan norma-norma masyarakat dan memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Karena itu, kategori jender bisa di pertukarkan satu sama lainnya, antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kodrat ditetapkan oleh Allah dan bersifat tetap universal (tidak berubah karena waktu dan tempat). Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan kodrat sebagai berikut:
67
Manusia Laki-laki
Manusia Perempuan
1. Kuat
1. Lemah lembut
2. Rasional
2. Cantik
3. Jantan
3. Emosional
4. Perkasa
4. Keibuan
5. Ganteng
5. Cerewet
6. Tidak Cengeng
6. Suka Ngrumpi
7. dll
7. dll
Waryono Abdul Ghafur, op.cit., hlm. 102.
35
Jender juga berbeda dengan seks. Secara umum seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis yang meliputi komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatmi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Dengan singkat seks atau jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian jenis dua kelamin manusia yang di tentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Studi jender lebih menekankan aspek maskulinitas (rujuliah) dan feminitas (nisa'iyah) seseorang. Sedangkan studi seks lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (dzkuriah) dan perempuan (unutsah).68 Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut: Manusia laki-laki
Manusia Perempuan
1. memiliki penis
1. memiliki rahim
2. mempunyai kala menjing
2. memproduksi telur
3. memproduksi sperma
3. mempunyai alat menyusui
Alat-alat secara biologis melekat pada jenis perempuan dan laki-laki yang tidak bisa dipertukarkan dan sifatnya permanent. Hal ini yang lazim disebut dengan kodrat. B. Kedudukan Kaum Wanita dalam Islam Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, 68
Ibid., hlm. 104..
36
menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.69 Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut. (1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus di catat. (2). Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
69
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 121-122.
37
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan: (1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul tidak mempunyai kekuatan hukum. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hukum ini? Sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Islam tidak membedakan eksistensi antara laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, khalifah, dan perjanjian primordial dengan Allah. Di samping itu, Islam juga tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan kerja dan meraih prestasi yang setinggi-tingginya pada bidang-bidang yang dibenarkan Islam, melainkan semua manusia diberikan kesempatan dan hak yang sama sehingga antara laki-laki dan perempuan berkompetisi secara sehat, tanpa mengabaikan kodrat mereka masing-masing. 70 Sehubungan dengan itu, di Indonesia misalnya pada dekade terakhir ini terlihat gejala yang menunjukkan adanya "trend kebangunan" kaum wanita
70
Hamid Laonso dan Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif Solusi terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi, 2005, hlm.77.
38
yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk penyamaan hak, kewajiban, dan peranan dengan kaum pria dalam berbagai segi kehidupan. Karena itulah munculnya terminologi wanita karier, wanita profesi, wanita pekerja, bahkan berbagai kajian mengenai jender, sebagai bagian dari fenomena kebangkitan wanita dunia, dan lain sebagainya.71 Menarik untuk dicatat pernyataan M. Quraish Shihab: Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun, betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampakdampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.72 Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama normanorma agama dan susila tetap terpelihara. Dalam melaksanakan kehidupan di dunia ini, wanita dan pria saling membutuhkan. Tidak akan sempurna hidup wanita tanpa pria, dan tidak pula akan sempurna hidup pria tanpa wanita. Tidak akan tenang dan bahagia hidup wanita tanpa pria, dan tidak akan tenang dan bahagia hidup pria tanpa wanita, itulah sebabnya ada yang dinamakan pernikahan. 73
71
Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur'an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997, hlm. 143. 72 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 307. 73 A.Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, hlm. 159.
39
Pokok masalah setelah terjadinya suatu perkawinan adalah hubungan antara suami dengan istri, terutama yang menyangkut soal hak dan kewajiban. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 mengatur hal tersebut dengan merumuskan hubungan tersebut dalam pasal 30 sampai dengan Pasal 34.74 Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepadaNya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduannya. Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terpenuhi, maka dambaan suami istri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.75 Agama Islam telah memberikan hak-hak luas yang menjamin martabat kemanusiaan dan melindungi derajat kesopanan bagi wanita itu, tanpa adanya revolusi dan perjuangan emansipasi yang dilancarkan oleh kaum wanita sebagaimana halnya di Barat. Hak-hak wanita dalam ajaran Islam adalah perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.76 Dalam kondisi umat Islam (kaum wanita) seperti digambarkan di atas, kita memasuki dan menghadapi era modernisasi, yaitu era industrialisasi dan
74
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 2002, hlm. 88. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 181 76 Ibid., hlm. 266. 75
40
globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan yang besar-besar dan berat-berat. Dalam kaitan itu, dunia wanita Islam dihadapkan kepada beberapa masalah besar dunia modern di mana terkait masalah hak dan kewajibannya. Di antaranya yang terpenting ialah kehidupan rumah tangga dan tugas (kewajiban fungsional) wanita di dalam rumah tangga itu, di samping keharusan keterlibatannya untuk berada di luar rumah dan jauh dari suami dan anak-anaknya dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau ekonomi, bahkan sebagian juga dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Dari tantangan tersebut di atas, timbul masalah-masalah baru yang menyangkut hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak-hak politik bagi wanita. Dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan berat pada masa kini dan yang menjadi lebih berat lagi pada masa mendatang (abad ke-21), maka wanita Islam Indonesia perlu dan harus mampu memilih prioritas dari serentetan kewajiban. Yang jelas adalah bahwa kualitas wanita Islam Indonesia yang rata-rata masih berada di bawah garis standar wawasan keislaman, kondisi intelektual dan kondisi ekonomi sosial, perlu mendapatkan prioritas pertama.77 Pelaksanaan kewajiban-kewajiban wanita Islam yang mendukung pencapaian kualitas standar akan menjamin bagi wanita itu terpenuhinya hakhaknya (yang diberikan oleh Islam kepadanya) dengan baik. Dengan demikian wanita Islam Indonesia dapat berperan pada masa kini dan masa mendatang dalam peradaban modern untuk ikut mengisi pembangunan nasional di tanah
77
Ibid., hlm. 267.
41
airnya dalam rangka pengabdiannya kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Al-Qur'an merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Byzantium dan Sassanid. Kitab Suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan dan warisan. Masa Nabi SAW merupakan masa yang ideal bagi kehidupan perempuan. Mereka dapat berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki.78 Namun menurut Dale F. Eickelman dan James Piscatori bahwa disatu pihak perempuan menjadi demikian sentral bagi imajinasi politik dan moral yang lebih besar, dan esensial bagi penegakan tatanan sipil dan kebajikan, tetapi di lain pihak bersamaan dengan itu masih saja adanya klaim pria bahwa wanita tidak boleh mempunyai hak memilih dan dipilih misalnya dalam keanggotaan di parlemen.79 Atas dasar itu secara historis menurut Asghar Ali Engineer, perempuan masih juga tetap tersubordinasi (berada di bawah) oleh laki-laki. 80 Pendapat di atas mengisyaratkan masih adanya kaum pria yang belum rela memberi keadilan dan kepemimpinan pada kaum hawa. Padahal keadilan dan kepemimpinan itu sendiri tidak melihat pada segi jenis kelamin apakah
78
Agus Nuryanto, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 61 79 Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Muslim Politics, Terj. Rofik Suhud, "Ekspresi Politik Muslim", Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1998, hlm. 109 80
Asghar Ali Engineer, The Qur'an Women and Modern Society, Terj. Agus Nuryanto, "Pembebasan Perempuan", Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 1
42
pria atau wanita. Keadilan selalu mengacu pada kebenaran yang proporsional. Keadilan tidak melihat pada aspek jender, namun selalu melihat pada aspek persamaan dan sederajat atau kesetaraan. Bersamaan dengan itu setidaknya sampai saat ini, masalah perempuan masih ramai dibicarakan, meskipun jauh sebelumnya telah banyak dibahas hal yang sama, baik dalam seminar, diskusi, halaqah maupun dalam kajian buku. Maraknya pembahasan masalah perempuan yang dahulu terutama dipicu oleh pernyataan-pernyataan elite politik Indonesia yang dengan menggunakan bahasa dan atas nama agama berupaya menjegal lawan politiknya, yang kebetulan lawan politiknya tersebut menjagokan perempuan sebagai pemimpin negeri ini. Walaupun kemudian karena ada kepentingan duniawi lainnya, mereka yang dahulunya ramai-ramai mengumandangkan semboyan tersebut kemudian ramai-ramai pula untuk mengingkarinya. Di samping ada yang masih mempertahankan keyakinan tersebut tetapi kemudian dengan dalil atau alasan darurat, keyakinan yang telah disepakati tersebut dapat ditoleransi dan bahkan dapat dilanggar. Namun pada saat ini pembicaraan masalah perempuan lebih disebabkan oleh maraknya perlakuan yang tidak adil dan tidak semestinya dilakukan terhadap perempuan; mulai dari posisinya dalam rumah tangga, dalam pekerjaan, dalam kehidupan sosial, dan lainnya. Meskipun demikian topik yang sampai saat ini masih menarik ialah masalah kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga.81
81
Siti Musdah Mulia, Islam dan Kesetaraan Jender, Jakarta: Nur Insani, 2007, hlm.
47.
43
Dari sini muncullah pro dan kontra mengenai masalah tersebut. Sebagian tokoh dan ulama dengan menafsirkan dalil naqli (al-Qur'an dan Hadis) menurut versi mereka, berkesimpulan bahwa perempuan tidak boleh dan tidak sah menjadi pemimpin. Mereka merujuk pada firman Allah SWT. dalam surat al-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
(
:
)
Artinya: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka dari itu perempuan yang baik ialah yang patuh, yang menjaga apa yang tidak kelihatan sebagaimana Allah menjaganya. Adapun perempuan yang kamu khawatirkan akan lari, berilah mereka nasehat dan tinggalkannlah mereka sendirian di tempat tidur dan hukumlah mereka. Apabila mereka taat kepadamu, janganlah kamu mencari-cari jalan yang
44
memberatkan mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Luhur dan Maha Agung". (QS. al-Nisa/4: 34).82
Selain ayat tersebut mereka juga beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
83
(
)
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Usman bin al-Haisyam dari Auf dari al-Hasan dari Abu Bakrah berkata: sesungguhnya Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kata-kata yang saya dengar dari Rasulullah SAW pada masa perang Jamal setelah saya hampir menyusul para penunggang onta itu lalu saya berperang 82
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm.
123 83
Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, Juz. III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 89
45
bersama mereka. Ia berkata, ketika hal itu sampai kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Parsi telah mengangkat putra Kisra sebagai pemimpin mereka, beliau bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada orang perempuan (dipimpin oleh seorang perempuan) (HR. Bukhari).
Kedua dalil ini, (dan dalil-dalil lainnya) dijadikan argumen yang mengikat bagi mereka bahwa perempuan itu tidak layak dan bahkan tidak sah untuk menjadi pemimpin. Namun untuk akhir-akhir ini yang justru menjadi argumentasi andalan utama adalah hadis, sebab untuk alasan ayat al-Qur'an tersebut
memang
tampak
kelemahannya, dikarenakan ayat
tersebut,
konteksnya memang hanya berbicara masalah kehidupan suami istri dalam rumah tangga dan sama sekali tidak berbicara mengenai masalah yang berhubungan dengan publik, terutama kepemimpinan perempuan. Sementara itu tokoh dan ulama lain berpendapat bahwa mengenai kepemimpinan perempuan bahkan dalam level yang paling tinggi pun tidak ada masalah, karena memang untuk hal itu tidak ada larangan, baik dalam alQur'an maupun hadis Nabi Muhammad SAW ayat yang digunakan sebagai argumentasi pihak pertama memang sangat jelas berbicara masalah keluarga antara suami istri dan tidak berbicara masalah yang lebih luas. Sedangkan mengenai hadis riwayat al-Bukhari tersebut memang berbicara mengenai kepemimpinan perempuan, namun kalau ditilik dari konteks sosio-kultural
46
melalui asbab al-wurud, ternyata tidak dapat dipahami sedemikian dangkal dan harfiah.84 "Hadis tersebut sesungguhnya hanya merupakan komentar Nabi Muhammad SAW yang pada saat itu mendengar Putri Kisra diangkat menjadi pemimpin Persi menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Komentar tersebut boleh jadi hanya merupakan do'a Nabi SAW agar negeri Persi yang dipimpin Kisra dan memusuhi Islam serta umat Islam tersebut tidak sukses dan bahkan hancur sebagaimana dahulu Kisra merobek dan menghancurkan surat Nabi SAW dan memang do'a Nabi Muhammad SAW tersebut kemudian dikabulkan oleh Allah SWT, yakni Persi benar-benar hancur pada masa Khalifah 'Umar Bin al-Khaththab RA. Tetapi boleh jadi komentar tersebut hanya merupakan komentar Nabi Muhammad SAW dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa yang pandangannya terbatas pada kenyataan pada saat itu yang memang tidak memungkinkan perempuan dapat memimpin sebuah negara — walaupun Nabi Muhammad SAW tahu bahwa jauh sebelum itu pernah ada perempuan yang sukses memimpin negara, yakni ratu Bilqis pada zaman Nabi Sulaiman AS. Jadi komentar tersebut hanya berupa pernyataan yang ditujukan kepada bangsa lain yang beragama lain pula. Karena itu komentar Nabi sebagaimana tersebut dalam hadis itu tidak merupakan hal yang mengikat kepada umat Islam".85 Sejalan dengan keterangan tersebut, M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul: "Perempuan dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah 84 85
Muhibbin, Pandangan Islam Terhadap Perempuan, Semarang: Rasail, 2007, hlm. 4 Ibid., hlm. 4.
47
Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru". menyatakan: Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan sebagai pemimpin dalam rumah tangga apalagi menduduki jabatan kepala negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan kepala negara, menteri, atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.86
Dalam kaitannya dengan hak-hak perempuan, M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul: "Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menegaskan: Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan sebagai pemimpin inklusif dalam berbagai bidang, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum
86
M.Quraish Shihab, Perempuan dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 350
48
lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.87
Pernyataan M. Quraish Shihab tersebut dilatar belakangi oleh adanya pendapat yang menganggap bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki dan perempuan tidak memiliki hak-hak politik. Terhadap pendapat ini Quraish Shihab membuat bantahan sebagaimana telah dijelaskan. Setelah melihat uraian tentang posisi pria dan wanita dalam suatu perkawinan, maka jelaslah bahwa pencatatan perkawinan sangat penting dalam melindungi kedudukan hukum wanita dan anak-anak. Pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting terlebih lagi untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Wanita, yang disebut juga perempuan, puteri, istri, ibu, adalah sejenis makhluk dari bangsa manusia yang halus kulitnya, lemah sendi tulangnya dan agak berlainan bentuk serta susunan tubuhnya dengan bentuk dan susunan tubuh laki-laki.88 Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiranpemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istanaistana. Di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak
87
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan Khasanah Ilmu-Ilmu Islam, 2002, hlm. 314 88 Moenawar Chalil, Nilai Wanita, Solo: Ramadhani, 1984, hlm. 11.
49
waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra, seni, patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani. Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang lakilaki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah). 89 Fakta sejarah menjelaskan bahwa perempuan adalah kelompok yang sangat diuntungkan oleh kehadiran Muhammad Rasulullah SAW. Nabi mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Nabi memperkenalkan hak waris bagi perempuan di saat perempuan diperlakukan hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Nabi menetapkan mahar 89
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003, hlm.
296.
50
sebagai hak penuh kaum perempuan dalam perkawinan ketika masyarakat memandang mahar itu sebagai hak para wali. Nabi melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami selama 28 tahun. Bahkan, sebagai ayah, Nabi melarang anak perempuannya Fatimah dipoligami. Nabi memberi kesempatan kepada perempuan menjadi imam shalat
dikala
masyarakat hanya
memposisikan laki-laki sebagai pemuka agama. Nabi mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah di tengah masyarakat yang memandang ibu hanyalah mesin produksi. Nabi menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat hanya memandangnya sebagai obyek seksual belaka.90 Fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Nabi melakukan perubahan yang sangat radikal dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum perempuan. Dari posisi perempuan sebagai obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan saudara mereka yang laki-laki. Keduanya sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi). Tidak ada yang membedakan di antara manusia kecuali prestasi takwanya, dan soal takwa hanya Allah semata yang berhak menilai. Tugas manusia hanyalah berlomba-lomba berbuat baik.91
90
Siti Musdah Mulia, Islam dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: Kibar Press, 2006,
91
Ibid., hlm. v – vi.
hlm. v.
51
Islam tidak membedakan eksistensi antara laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, khalifah, dan perjanjian primordial dengan Allah. Di samping itu, Islam juga tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan kerja dan meraih prestasi yang setinggi-tingginya pada bidang-bidang yang dibenarkan Islam, melainkan semua manusia diberikan kesempatan dan hak yang sama sehingga antara laki-laki dan perempuan berkompetisi secara sehat, tanpa mengabaikan kodrat mereka masing-masing. 92 Sehubungan dengan itu, di Indonesia misalnya pada dekade terakhir ini terlihat gejala yang menunjukkan adanya "trend kebangunan" kaum wanita yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk penyamaan hak, kewajiban, dan peranan dengan kaum pria dalam berbagai segi kehidupan. Karena itulah munculnya terminologi wanita karier, wanita profesi, wanita pekerja, bahkan berbagai kajian mengenai jender, sebagai bagian dari fenomena kebangkitan wanita dunia, dan lain sebagainya.93 Menarik untuk dicatat pernyataan M. Quraish Shihab: Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun, betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampakdampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.94 92
Hamid Laonso dan Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif Solusi terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi, 2005, hlm.77. 93 Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur'an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997, hlm. 143. 94 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 307.
52
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama normanorma agama dan susila tetap terpelihara. Berdasarkan uraian di atas, bahwa keberadaan perempuan dalam perspektif Islam memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Hal itu lebih tergantung pada amal perbuatannya masing-masing. Pria dan wanita diberikan potensi untuk meraih prestasi, untuk maju dan sekaligus memiliki prospek dalam hidup. C. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Jender Maraknya pernikahan tidak tercatat telah membangun berbagai opini masyarakat. Para ulama dan pakar hukum menyikapi dan merespon perkawinan tidak tercatat dengan beragam argumentasi sehingga jika ditarik suatu konklusi terdapat perbedaan antara yang pro dan kontra. Pihak yang kontra di antaranya tokoh MMI (Majlis Mujahidin Indonesia) Abu Bakar Ba'asyir menyatakan bahwa tidak ada ketentuan secara eksplisit dalam alQur'an maupun hadis yang mewajibkan nikah harus tercatat. Pernikahan tidak boleh dipersulit, perceraian silahkan dipersulit. Jangan dibalik, perceraian dipermudah, sedangkan perkawinan dipersulit. Jangan mengada-ada yang tidak ada ketentuannya dalam syari'at Islam. Esensi utamanya perkawinann itu adalah tidak keluar dari koridor rukun dan syarat pernikahan. Pencatatan perkawinan tidak masuk dalam kerangka syarat dan rukun pernikahan yang
53
dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Habib Muhammad Rizieq, dan Habib Idrus Jamalullail sebagai tokoh FPI (Front Pembela Islam) berargumentasi, jika pernikahan tidak tercatat dapat dijerat sanksi hukum, hal itu adalah tidak merefleksikan keadilan hukum. Pernikahan adalah masalah domein privat dan tidak masuk dalam ranah hukum publik. Sanksi terhadap pelaku perkawinan tidak tercatat membuktikan sebuah pemaksaan hukum dan perampasan hak asasi umat Islam. Jika perkawinan harus tercatat maka akan mendorong orang untuk berjinah dan menyuburkan praktek prostuitusi. Adapun pihak yang pro perkawinan harus tercatat, di antaranya, Jaih Mubarok, guru besar Universitas Sunan Gunnung Jati Bandung, menurutnya ditinjau dari esensi atau substansi tujuan pernikahan maka pernikahan itu harus tercatat. Pernikahan tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum dan menghilangkan hak-hak seorang istri dan anak dari pernikahan itu.95 Karena itu menurut M. Quraish Shihab, salah seorang pakar Tafsir di Indonesia menjelaskan, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.96 Sejalan dengan itu, menurut Dadang Hawari, seorang psikiater, bahwa dalam suatu negara hukum pernikahan apa pun jika tidak tercatat secara resmi, maka harus dinyatakan tidak sah, karena pernikahan
95
http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses tanggal 23 April 2010 96 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 216.
54
pada
yang tidak tercatat lebih banyak membawa madarat daripada manfaatnya.97 M. Sujari Dahlan mencoba mendukung pencatatan perkawinan dengan kemashlahatan sebagai alasannya, serta menggunakan tiga kaidah: pertama, kaidah mashlahat itu sendiri, yaitu perolehan manfaat dan antisipasi atau penolakan terhadap kerusakan (jalb al-manafi' wa daf' al-mafasid); kedua, kaidah sadd al-dzari'at (menghindarkan dan mengantisipasi kesulitan di masa yang akan datang, preventif); dan ketiga, pencatatan perkawinan sebagai salah satu bentuk interaksi antara fikih Islam dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari perubahan (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-makan).98 Sejumlah pakar fikih mempertanyakan mata rantai intelektual mengenai pencatatan perkawinan (nikah, cerai, dan rujuk); sebab salah satu sumber hukum perkawinan adalah kitab-kitab "kuning" yang telah dijadikan pedoman oleh hakim dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; akan tetapi, dalam kitab-kitab tersebut tidak terdapat pendapat ulama yang menetapkan (menganjurkan) agar perkawinan itu dicatat. Secara historis, Mesir pada tahun 1931 (jauh sebelum UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk disusun dan diberlakukan), telah membentuk UU Perkawinan. Salah satu ketentuan yang dikandungnya adalah bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang 97
Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006, hlm. 83. 98 http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses pada tanggal 23 April 2010
55
dibuktikan dengan akta perkawinan yang resmi. 99 Al-Sayyid Sabiq100 mengutip pasal tersebut sebagai berikut: "Pengakuan perkawinan atau pernyataan telah kawin tidak dapat diterima (apabila ada bantahan dari salah satu pihak atau pihak ketiga), kecuali apabila dibuktikan dengan akta perkawinan yang resmi. Dalam konteks Indonesia, kitab Fiqh al-Sunnah dipelajari dan dijadikan rujukan utama oleh para mahasiswa dalam mempelajari fikih munakahat dalam lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam. Salah satu buktinya adalah bahwa Agus Salim (alumni Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang lulus pada tahun 1972), telah menerjemahkan buku (dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia) yang ditulis oleh gurunya ketika kuliah. Dalam buku terjemahan tersebut, terdapat informasi mengenai anjuran pencatatan perkawinan yang dikutip dari kitab Fiqh al-Sunnah karya al-Sayyid Sabiq.101 Dengan demikian, patut diduga bahwa pencatatan perkawinan yang diamanatkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1946 dan UU Nomor 1 Tahun 1974, dapat diduga bahwa akar intelektualnya bersumber pada UU Perkawinan Mesir Tahun 1931 dengan salah satu medianya adalah kitab Fiqh al-Sunnah karya al-Sayyid Sabiq.
99
http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses pada tanggal 23 April 2010 100 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, hlm. 60 101 http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses pada tanggal 23 April 2010 .
56
BAB IV ANALISIS PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF JENDER
A. Analisis Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor Tahun 1974 menentukan
bahwa
tiap-tiap
perkawinan
dicatat
menurut
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan tidak menjelaskan tentang maksud diadakannya pencatatan itu, dalam Penjelasan Umum hanya dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.102 Dengan memperhatikan bunyi undang-undang dan penjelasan umum tersebut, maka menurut penulis bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan di mana perlu, terutama sebagai suatu alat-bukti tertulis yang otentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Penulis melihat Pasal 2 ayat 2 UU No.1/1974 (Undang-Undang
102
Tim Ahli Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006, hlm. 24.
57
Tentang Perkawinan) menunjukkan bahwa perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan "sah"-nya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.
Sedangkan
soal
"sah"-nya
perkawinan
Undang-undang
Perkawinan dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat 1, bahwa "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Untuk melaksanakan pencatatan, pasal 2 Peraturan Pelaksanaan (Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975) menyatakan bahwa bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagai dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang tidak beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan. Selanjutnya ditentukan dalam ayat 3 pasal 2 di atas, bahwa tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pelaksanaan, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai ketentuan yang berlaku. Tentang bagaimana kedudukan berbagai ketentuan dalam beberapa peraturan yang telah ada itu terhadap ketentuan-ketentuan pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pelaksanaan, dalam Penjelasan ayat 3 pasal 2 Peraturan Pelaksanaan (dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan khusus yang
58
menyangkut tatacara pencatatan yang diatur dalam berbagai peraturan merupakan "pelengkap" (tanda kutip dari penulis) bagi pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pelaksanaan (Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975), dan dalam Penjelasan ayat 1 dan 2 pasal 2 dinyatakan pula bahwa pencatatan dilakukan hanya oleh dua instansi: 1. Pegawai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk; 2. Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya; Dari ketentuan pasal 2 Peraturan Pelaksanaan di atas, tentang pencatatan perkawinan dalam hubungannya dengan peraturan "pelengkap" dan instansi yang melakukan pencatatan, dibedakan dua golongan berdasarkan agama yaitu : yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam. Adapun yang dimaksud dengan "pelengkap" itu adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam : 1. Undang-undang no. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (L.N. 1954 no. 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan dengan hal tersebut; 2. Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura, Minnehaha dan sebagainya (Stbld. 1933 no. 75 job. 1936 no. 607 dengan segala perubahannya); 3. Reglement Catatan Sipil untuk golongan Cina (Stbld. 1917 no. 130 job. 1919 no. 81 dengan segala perubahannya); 4. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropa dan yang disamakan (Stbld. 1849 no. 25);
59
5. Daftar Catatan Sipil untuk .Perkawinan Campuran (Stbld. 1904 no. 279). Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syara; administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut. (3). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus di catat. (4). Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 job. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan: (3). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (4). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat
60
Islam. Ketertiban di sini menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul tidak mempunyai kekuatan hukum. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hukum ini? Sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Penulis lebih setuju jika tidak memiliki kekuatan hukum diterjemahkan dengan tidak sah (la yasihhu). Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan aspek jender, karena perkawinan berhubungan dengan hak, kewajiban dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Ketiga aspek yaitu hak, kewajiban dan kedudukan suami istri dapat mencerminkan adanya aspek jender atau tidak. Jika perkawinan tidak tercatat, maka hal ini menunjukkan masih adanya perbedaan kedudukan suami dan kedudukan istri. Dikatakan demikian, karena perkawinan tidak tercatat hanya memposisikan perempuan sebagai pihak yang inferior dan suami sebagai laki-laki sebagai superior. B. Analisis terhadap Pencatatan Perkawinan Perspektif Jender Pencatatan perkawinan pada kantor pencatatan perkawinan, secara hukum tidak menjadi syarat bagi sahnya sebuah perkawinan. Untuk pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat, tidak disyaratkan bahwa perkawinan harus dilakukan dihadapannya. Perkawinan itu bisa saja dilakukan di luar kesaksiannya asal ada bukti yang autentik tentang telah dilangsungkannya perkawinan menurut UU No 1/1974, yang dapat menjadi dasar bagi kepentingan pencatatan perkawinan yang bersangkutan.
61
Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. Atas dasar argumen ini, mereka beranggapan bahwa pencatatan perkawinan bukan syarat sah, melainkan hanya syarat administratif. Seperti yang dinyatakan Wasit Aulawi, secara tegas undang-undang ini (UUP No 1/1974) hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara bukan materi hukum. 103 Pada sisi lain, setidaknya beberapa alasan yang dikemukakan orangorang yang memandang pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya sebuah perkawinan, pertama, selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal peraturan perundang-undangan pelaksanaan UUP (PP No. 9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan Bab III (pasal 13 s/d21) dan Bab IV (pasal 22/28), masing-masing tentang pencegahan dan pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No. 9/1975. Jika perkawinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata "dan" pada pasal 2 ayat 1 UUP berarti kumulatif. 103
Wasit Aulawi," Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia", dalam, Amrullah Ahmad (ed) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 57.
62
UUP bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU No. 22 tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Semula UU ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1954, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang No. 22 tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan ungkapan lain, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1946 berlaku di seluruh Indonesia. Dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan: ( i) Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (ii) bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran. Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya, bahwa dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban.
Dengan demikian menyangkut status pencatatan perkawinan, masih terdapat kerancuan bahkan ketidak-jelasan antara UUP dengan penjelasannya dan aturan pelaksanaannya. Agaknya masalah pencatatan perkawinan ini tidak hanya diperdebatkan apakah sebagai syarat sah atau syarat administratif. Tetapi bagaimana dibangun cara pandang baru dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan (mengiklankan perkawinan). Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak.
63
Saksi nikah bisa dipahami dalam dua bentuk, saksi hidup dan saksi akta yang pada gilirannya menjadi bukti otentik sebuah perkawinan. Bisa juga pencatatan perkawinan ditempatkan syarat administratif namun dengan status yang lebih tegas. Artinya, akta perkawinan itu walaupun tetap ditempatkan sebagai syarat administratif tapi di dalam perspektif kenegaraan memiliki kedudukan yang sangat penting dan berpengaruh pada sisi lain kehidupannya terutama dalam konteks kehidupan bernegara. Sebagai contoh, orang yang telah menikah harus menunjukkan aktanya jika memiliki suatu urusan apakah masalah KTP, Kartu keluarga, SIM, mendaftarkan anak sekolah dan urusanurusan lainnya. Singkatnya, akta perkawinan adalah syarat wajib yang ditetapkan oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah. Perkawinan tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka suami tidak terikat secara hukum untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang harus memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, serta kewajiban kewajiban lainnya, Seperti melindungi istri, memberikan segala keperluan hidup berumah tangga, menanggung biaya pemeliharaan kesehatan bagi istri dan anak, biaya pendidikan bagi anak-anaknya, serta menyediakan tempat tinggal yang layak
64
(Kompilasi Hukum Islam pasal 80, 81). Tidak adanya keterikatan pada hukum ini, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suami begitu mudah mengabaikan kewajibannya terhadap istri dan anak-anak. Perkawinan yang tidak tercatat berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-anak. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika ia meninggal dunia; istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Di dalam akta kelahirannya akan dicantumkan "anak luar nikah". Konsekuensinya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (ps. 42 dan 43 UUP). Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Tambahan lagi bahwa ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya. Selain berdampak hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial yang buruk bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat karena dianggap sebagai istri simpanan atau melakukan kumpul kebo (tinggal serumah tanpa menikah). Dengan demikian kerugian perkawinan tidak tercatat sebagai berikut:
65
Pertama, tidak memiliki akta nikah. Jika bepergian kemudian menginap di hotel misalnya tidak menutup kemungkinan terkena razia. Karena dianggap bukan sebagai suami istri. Polisi hanya percaya manakala pasangan pria wanita tersebut dapat memperlihatkan akta nikah. Tentu saja jika ini terjadi sangat memalukan. Kedua, ketika anak lahir akan sulit mendapat akta kelahiran juga akan menjadi masalah ketika membuat Kartu Tanda Penduduk. Ketiga, apabila salah satu pasangan suami istri itu meninggal dunia, dalam hal ini misalnya pihak suami, maka anak tidak memiliki hubungan hukum dengan bapakknya melainkan hanya pada ibunya. Anak tidak memperoleh warisan dari bapaknya. Keempat, apabila terjadi cerai hidup, maka iastri kehilangan hak untuk menuntut harta bersama atau waris. Kelima, kapan waktu saja suami dapat menikah lagi pada wanita lain tanpa dapat dituntut oleh istri yang pernikahannya tidak tercatat. Di samping penjelasan di atas sebenarnya dari perspektif gender, pernikahan tidak tercatat juga berdampak negatif bagi suami manakala semisal istrinya meninggal sedangkan istrinya seorang pekerja yang mempunyai gaji tinggi, maka suaminya tidak mendapatkan harta dari istri yang meninggal tadi.
66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Hukum di Indonesia, misalnya dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Tentang Perkawinan), Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) dan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa meskipun perkawinan itu tidak ditentukan secara tegas dalam undang-undang tentang apakah harus tercatat ataukah boleh tidak tercatat. Namun jika diperhatikan secara cermat maka pada prinsipnya undang-undang tersebut menghendaki perkawinan yang tercatat. Perkawinan tidak tercatat tidak memiliki landasan yang kuat dalam hukum di Indonesia. Sebaliknya perkawinan yang tercatat selain memiliki landasan hukum juga adanya perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 2. Pencatatan perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan aspek jender, karena perkawinan berhubungan dengan hak, kewajiban dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Ketiga aspek yaitu hak, kewajiban dan kedudukan suami istri dapat mencerminkan adanya aspek jender atau tidak. Jika perkawinan tidak tercatat, maka hal ini menunjukkan masih adanya perbedaan kedudukan suami dan kedudukan istri. Dikatakan demikian, karena perkawinan tidak tercatat
67
hanya memposisikan perempuan sebagai pihak yang inferior dan suami sebagai laki-laki sebagai superior. B. Saran-Saran Apabila nanti pembentuk undang-undang hendak merevisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan, maka hendaknya ada pasal yang memberi pernyataan secara tegas tentang keharusan pencatatan perkawinan atau dengan kata lain perkawinan harus tercatat. Pada ayat berikutnya hendaknya dicantumkan sanksi hukum yang jelas dan tegas terhadap perkawinan yang tidak tercatat, sehingga adanya kepastian hukum dan terhindarnya bermacam-macam penafsiran. C. Penutup Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah SWT yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat disadari bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak retak dan tiada usaha besar akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Akbar, Ali, Merawat Cinta Kasih, Jakarta: Pustaka Antara, 1978. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002. Arusi, Abdul Aziz, Menuju Islam Yang Benar, Terj. Agil Husain alMunawwar dan Badri Hasan, Semarang,: Toha Putra, 1994. Asror, Mustaghfiri, Emansipasi Wanita dalam Syari'at Islam, Semarang: Toha Putra, 1983. Baidan, Nashruddin, Tafsir bi al-Ra'yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003. Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M. Bukhâry, Abu Abdillâh, Sahîh al-Bukharî, Juz. III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1410 H/1990 M. Chalil, Moenawar, Nilai Wanita, Solo: Ramadhani, 1984. Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Waqaf, 1995. Eickelman, Dale F., dan James Piscatori, Muslim Politics, Terj. Rofik Suhud, "Ekspresi Politik Muslim", Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1998. Engineer, Asghar Ali, Pembebasan Perempuan, Terj. Agus Nuryanto, Yogyakarta: LKiS, 2003. -------, The Qur'an Women and Modern Society, Terj. Agus Nuryanto, "Pembebasan Perempuan", Yogyakarta: LKiS, 2003.
69
Fakih, Mansour, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ghafur, Waryono Abdul, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, elSAQ Press, Yogyakarta, 2005. Hakim, Rahmat, Hukum Nikah Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Harahap, Syahrin, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur'an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997. Haryono, Yudhie R., Bahasa Politik Al-Qur'an, Jakarta: Gugus Press, 2002. Hawari, Dadang, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006. Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Zaadul Ma'ad, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004. Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972. Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995. Kyokai, Bukyo Dendo, The Teaching of Buddha, Printed by Kosaido Co., Ltd, Tokyo Japan, 1978. Laonso, Hamid dan Muhammad Jamil, Hukum Islam Alternatif Solusi terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta: Restu Ilahi, 2005. Mahalli, A.Mudjab, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001. Mardjono, Hartono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, Bandung: Mizan, 1997, cet.ke-l. Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Muhibbin, Pandangan Islam Terhadap Perempuan, Semarang: Rasail, 2007. Mulia, Siti Musdah, Islam dan Kesetaraan Jender, Jakarta: Nur Insani, 2007. --------, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
70
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997. Muzarie, Mukhlisin, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004. Nuryanto, Agus, Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Jender, Yogyakarta: UII Press, 2001. Ramayulis, et al, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 2002. --------, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IIC, 1985. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. --------, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001. Rusyd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, juz 2, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth. Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1997. Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Shihab, M.Quraish, Perempuan dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2006. --------, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan Khasanah Ilmu-Ilmu Islam, 2002.
71
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum. Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994. Syalaby, Ahmad, Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar di India, alih bahasa: Abu Ahmadi, Jakarta: Bumi Aksara, 1998. Syarbashi, Ahmad, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi, "Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera Basritama, 1997. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006. Syaukani, Imam, Nail al Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz 4, 1973. Tim Ahli Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006. Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1959, cet. ke-5. Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Ahlaqulkarimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV. Diponegoro, 1996. Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: DEPAG RI, 1979. Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12, 1990. ---------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Penterjemah/Pentafsir Al-Qur an, 1973.
72
Yayasan
Penyelenggara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Fathul Qorib
Tempat/Tanggal Lahir
: Demak, 25 Agustus 1985
Alamat Asal
: Ruwit Wedung Demak
Pendidikan
: - MI Matholibul Huda Demak lulus th 1998 - MTs Roudhatut Mualimin Demak lulus th 2001 - SMU Futuhiyyah Demak lulus th 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Fathul Qorib
73
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: Fathul Qorib
NIM
: 052111151
Alamat
: Ruwit Wedung Demak
Nama orang tua
: Bapak Muhammad Arif dan Ibu Jariyati
Alamat
: Ruwit Wedung Demak
Pekerjaan
: Pengusaha
74