WARTA LPPM
LE MBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN
Terbit Dua Bulan Sekali
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
BERITA UTAMA
Kiri. , Lomba photo dan Pameran antar fakultas di lingkungan Unpad merupakan bagian dari Pekan Ilmiah Unpad 2009 yang dilaksanakan 16 – 19
November di Graha Sanusi Hardjadinata . Kanan Tina Talisa Presenter TVONE memandu jalannya Talkshow Unpad dalam era sains dan Teknologi yang merupakan rangkaian terakhir dari acara pekan ilmiah unpad 19 November 2009 di Graha Sanusi Hardjadinata (sumber photo : DAIN LPPM Unpad)
Unjuk Gigi di PIU 2009
“kunci kesuksesan sebuah penelitian bukan ditentukan dari kualitas produknya saja, melainkan juga kemampuan masyarakat mengaplikasikannya di lapangan. Untuk bisa sampai ke masyarakat, perlu adanya publikasi yang baik. Nurjaman menilai, selama ini Unpad belum memiliki jaringan publikasi yang baik, sehingga produkproduk penelitiannya pun jarang terdengar”
Dalam usianya yang memasuki tahun ke‐52, Unpad unjuk kemampuan dalam dunia penelitian, salah satu pilar tridharma perguruan tinggi (PT). Yang dipamerkan tentu saja hasil‐hasil penelitian yang diandalkan. Unpad unjuk gigi dalam sebuah forum besar bernama Pekan Ilmiah Unpad (PIU), yang berlangsung pada Senin‐Kamis, 16‐19 November 2009, di kampus lama Unpad, Jl. Dipati Ukur Bandung. Dalam acara itu Unpad mengundang dan melibatkan beberapa PT di Jawa Barat (Jabar) dan mitra‐mitra Unpad. Tidak tanggung‐tanggung, dalam PIU itu dipresentasikan 60 makalah hasil penelitian para dosen dari semua fakultas di lingkungan Unpad. Ketua Panitia PIU 2009, Dr. Chay Asdak dalam acara pembukaan mengatakan, dalam forum ilmiah itu pada dosen Unpad diberi kesempatan untuk mempublikasikan hasil‐hasil penelitian terbaru. Tujuan dan manfaat yang bisa diraih di PIU, antara lain, pertama, memperkenalkan karya‐ karya ilmiah (hasil penelitian) antarfakultas, supaya tidak ada lagi kesenjangan informasi hasil penelitian antar fakultas. Kedua, PIU merupakan ajang promosi inovasi kepada mitra‐mitra Unpad. Ketiga, PIU juga sebagai bentuk sumbangsih Unpad kepada masyarakat Jabar khususnya. Keempat, PIU dipergunakan pula sebagai cara untuk mengapresiasi para peneliti Unpad, agar mereka lebih meningkatkan kinerja dalam dunia penelitian. Di depan para peserta PIU, Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, mengungkapkan obsesinya, yakni menjadikan PIU kegiatan ilmiah tahunan. Kata Rektor, penelitian adalah penanda performa akademik suatu PT. Unpad bisa menduduki peringkat tinggi di tingkat nasional dalam hal kinerja akademik. Ada dua indikator utama yang menentukan posisi (peringkat) sebuah PT secara nasional dan internasional, yaitu banyaknya produk (karya imiah atau inovasi) dosen yang dipatenkan atau mendapatkan sertifikat Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), dan banyaknya karya tulis ilmiah dosen yang dimuat di jurnal‐jurnal nasional dan internasional.
Penelitian bukan semata‐mata untuk kepentingan universitas, katanya, melainkan juga untuk pembuktian eksistensi sang dosen. Rektor mengimbau para dosen untuk meneliti objek‐objek penting yang sesuai dengan bidang ilmu masing‐masing. Tujuannya, agar publik mengakui kepakaran para dosen Unpad di bidang ilmunya. Penelitian merupakan pengayaan kegiatan perkuliahan. Penelitian tidaklah sama dengan laporan, tetapi ada produk yang dihasilkan di dalam penelitian itu.
Seminar Andalan Pada hari pertama PIU disajikan hasil Penelitian Andalan Unpad, dan IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency). Dalam PIU kedua ini diadakan pula Seminar Antar fakultas, Seminar Nasional, Pameran Hasil Penelitian, Inovasi dan Teknologi, Pengabdian kepada Masyarakat, Kompetisi Poster Ilmiah, Pameran Foto Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Juli‐Agustus 2009, dan Bincang‐ bincang (talk show). Seminar Andalan ditampilkan dalam dua sesi. Pada sesi pertama Amiruddin A. Dajaan, dosen Fakultas Hukum Unpad, mempresentasikan makalahnya tentang Degradasi Sungai Citarum akibat pendangkalan dan penggundulan hutan. Amiruddin mendorong dibuatya undang‐undang (UU) tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Isi UU tersebut, katanya, harus diusulkan oleh semua sektor terkait, karena tiap daerah memiliki kepentingan yang berbeda, sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya masing‐masing. Makalah kedua berjudul, “Perkembangan dan Kedudukan Angklung dalam Masyarakat Sunda”, hasil penelitian dan penelusuran sejarah yang dilakukan Awaludin Nugraha beserta timnya dari Fakultas Sastra Unpad. Bersambung ke Halaman 2
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 2
Unjuk Gigi di PIU…..
(Sambungan dari halaman 1)
Kemudian disajikan pula makalah yang berjudul, “Peningkatan Pangan melalui Pemanfataan Biji Sorgum sebagai Beras Tepung”. Efri Mardawati, dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad yang mewakili timnya memaparkan potensi sorgum sebagai bahan pangan alternatif. Sorgum merupakan serealia terpenting kelima di dunia dan memiliki gizi baik karena relatif tahan lama, toleran terhadap kekeringan, dan membutuhkan masukan pertanian yang kecil. Penelitian ini merupakan salah satu buah program IMHERE. Pada sesi kedua, Rista D. Sutikno dari Fakultas Kedokteran (FK) Unpad mengungkapkan kepada peserta seminar tentang contrast agent dalam kaitannya dengan membantu proses Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hasil penelitian ini sudah mendapatkan sertifikat HKI, dan produknya, Gd‐DTPA, sudah terdaftar pula sebagai merek dagang. Ini merupakan salah satu penelitian dalam rangka IMHERE. Penelitian, Inovasi, dan Teknologi Pameran Hasil Penelitian dan Inovasi Teknologi yang digelar dalam PIU mendapat perhatian besar dari banyak pengunjung. Dalam pameran itu hampir semua fakultas memamerkan hasil penelitian, produk, dan inovasi teknologi mereka. Tak sedikit pengunjung bertanya, bahkan berpartisipasi dengan mencoba produk beberapa fakultas. Fakultas Ilmu Keperawatan, contohnya, mengadakan senam untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Senam yang dipandu empat mahasiswi itu diikuti oleh beberapa mahasiswa dan ibu‐ibu (pengunjung dan penjaga stand). Fakultas Geologi juga terlihat sukses menarik minat pengunjung karena memamerkan perhiasan yang unik untuk dipakai dan dipajang di ruangan. Pengunjung juga terlihat memadati ketiga stand FK yang melayani pemeriksaan dan konsultasi kesehatan. “Yang paling menarik adalah pemeriksaan kesehatan. Jadi ketahuan kita sakit apa. Dari tadi banyak orang yang datang ke stand pemeriksaan kesehatan gratis, periksa mata, dan lain‐lain,” ujar salah seorang pengunjung, Tendi. “Semuanya menarik. Tiap materi yang dipamerkan di sini punya kelebihan masing‐masing. Disiplinnya ‘kan berbeda‐beda, jadi saya manfaatkan untuk menambah pengetahuan. Yah, kalau ada yang menarik, ya, saya belilah,” ujar Wilar, dosen Fakultas Farmasi yang sangat tekun memperhatikan materi pameran di tiap stand, termasuk pameran foto.
Kekhasan dan Publikasi Sebagai penutup rangkaian kegiatan PIU, digelar Talk Show (Bincang‐bincang) tentang “Unpad pada Era Sains dan Teknologi” di Grha Sanusi Hardjadinata. Ganjar Kurnia, Brigjen Monang Siburian, dan Nurjaman tampil sebagai pembicara. Menurut Monang dan Nurjaman, keinginan besar menjadi universitas kelas dunia menuntut Unpad untuk menghasilkan produk dan lulusan yang berkualitas tinggi. Unpad juga harus sanggup menghasilkan produk penelitian yang aplikatif dan bermanfaat langsung bagi masyarakat. Namun, selama ini hasil penelitian Unpad jarang tersiar ke masyarakat nasional. Hal ini diakui Rektor Unpad. “Memang, sebagian besar hasil penelitian di Unpad bukan produk, tapi laporan belaka, yang akhirnya menumpuk saja di gudang.” Sebenarnya ada beberapa produk penelitian dosen yang baik, namun publikasinya yang masih sangat kurang. “Warga akademik Unpad saja masih banyak yang belum tahu soal produk penelitian keluaran Unpad,” ungkap Ganjar berterus terang. Pernyataan Ganjar disambut Nurjaman. Menurutnya, kunci kesuksesan sebuah penelitian bukan ditentukan dari kualitas produknya saja, melainkan juga kemampuan masyarakat
mengaplikasikannya di lapangan. Untuk bisa sampai ke masyarakat, perlu adanya publikasi yang baik. Nurjaman menilai, selama ini Unpad belum memiliki jaringan publikasi yang baik, sehingga produk‐produk penelitiannya pun jarang terdengar. Menurutnya, Unpad memerlukan pemasar yang lebih baik. “Pemasar ini dibutuhkan untuk memperkenalkan produk‐ produk Unpad kepada masyarakat,” ungkap lulusan FISIP Unpad itu. Unpad berbeda dengan ITB. Menurutnya, ITB sudah memiliki jaringan publikasi yang baik. Kini Unpad membutuhkan Public Relations Marketing yang handal untuk mengemas dan mempublikasikan produk Unpad agar diketahui masyarakat nasional dan internasional. “PR yang dibutuhkan Unpad ini harus tangguh. Apalagi untuk menjadi world class university, PR ini juga harus bisa berbicara di forum‐forum internasional,” tegas Wakil Pemimpin Redaksi TV One Jakarta itu. Dia menyarankan, sebaiknya Unpad menjalin kemitraan dengan media massa dalam membangun jaringan publikasi. Ganjar langsung menanggapinya. Unpad selama ini sebenarnya sudah menjalin kerja sama dengan media massa, namun intensitasnya masih kurang sekali, katanya. Brigjen Monang Siburian, yang berbicara dari perspektif militer pun menyarankan, Unpad sebaiknya menjalin kemitraan dalam bidang pertahanan, karena termasuk bidang yang potensial untuk dikembangkan Unpad. Dia menilai Unpad selama ini belum mempunyai ciri khas yang kuat dari produk penelitiannya. “Untuk bisa menjadi world class university, Unpad harus mempunyai ciri khas dalam produk penelitiannya. Unpad bisa mengembangkan bioenergi atau singkong, misalnya. Kekhasan inilah yang menjadi kekuatan Unpad dalam menunjukkan kiprahnya di mata masyarakat,” tegas Monang dalam Bincang‐ bincang yang dipandu oleh Tina Talisa, lulusan FKG Unpad, yang kini menjadi pembawa acara dan wartawan TV One. “Memang, kekhasan harus dimiliki tiap fakultas dalam produk penelitiannya sebagai modal untuk menjadi world class university.” Ganjar menanggapi pernyataan Monang. Pakar sosial‐ekonomi pertanian itu menambahkan, sebenarnya Unpad sudah menentukan langkah baik. Hal tersebut terdapat dalam Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang dibuat tiap fakultas. Selain itu, pihaknya sudah mengarahkan berbagai penelitian untuk berorientasi pada HKI, Paten, dan publikasi ilmiah. Salah satunya lewat PIU 2009. Meskipun tak jadi disiarkan langsung oleh TV One, acara berdurasi dua jam ini mendapat perhatian besar para mahasiswa dan dosen Unpad. “Saya sengaja datang ke sini, di sela‐sela kuliah, ya, memang pengen ngikutin talk show ini. Sekalian pengen lihat pameran ilmiahnya juga,” ungkap Ira (20), mahasiswa Fakultas Hukum Unpad. Sang moderator yang cantik dan cerdas, Tina Talisa, menyarankan agar Unpad juga menjalin kerjasama dengan para alumni. Usulannya langsung didukung rekannya, Nurjaman. Selain membangun kemitraan dengan media massa, Unpad juga harus membangun jaringan yang kuat dengan alumni. Nurjaman menyarankan, akan lebih baik jika Unpad memberikan penghargaan atau gelar khusus bagi alumni yang berprestasi besar, baik berprestasi di bidangnya atau pun bukan di bidangnya. Apakah materi PIU 2009, termasuk sumbang saran para alumni yang tampil dalam acara Bincang‐bincang itu, akan segera ditindaklanjuti secara konkret dan terprogram oleh para warga akademik Unpad, terutama para pemimpin dan dosen Unpad? Ya, kita tunggu dan lihat sajalah! Semoga tidak NATO alias Omdo. *** Purwaningtyas, Arie Christy S. Meliala, R. Lasmi Teja Raspati, dan Nunik Maharani Hartoyo
WARTA LPPM Halaman 3
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
BERITA UTAMA
Agenda Menguatkan Ekonomi Kerakyatan
Ira (30) melangkah mantap ke depan corong pengeras suara. Setelah memperkenalkan diri, ia langsung menyampaikan unek‐uneknya membuka usaha kecil‐ kecilan di kota Bandung. Saat ini susah mempunyai usaha kecil karena tidak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Padahal dia harus bersaing dengan pengusaha kecil lain dan pedagang eceran. Akibatnya, usaha Ira tak bertahan lama. Ia pun sampai pada pertanyaan besar, ke mana lagi harus mengadukan keluhan pengusaha UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) atas masalah tersebut? Pertanyaan itu ia lontarkan ketika menghadiri seminar nasional bertajuk “Agenda Menggerakkan Sektor Riil”, di kampus lama Unpad Bandung, baru‐baru ini. Seminar itu bagian dari Pekan Ilmiah Unpad (PIU) 2009, yang diselenggarakan dalam rangka perayaan hari jadi ke‐ 52 Unpad. Panitia seminar ini semula akan menghadirkan Wakil Presiden, Boediono dan dua menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II sebagai pembicara. Namun ketiga tokoh itu berhalangan hadir. Mereka digantikan oleh Leonard Tampubolon dari Direktorat Keuangan Negara, Bappenas, dan Agus Cahyana dari Departemen Perindustrian, sedangkan dari Fakultas Ekonomi Unpad tampil Prof. Dr. Ina Primiana. Kepada Warta LPPM Ira mengisahkan nasib warung kelontong yang dikelola bersama ayahnya sejak 2007. Kini warungnya gulung tikar. Pada awal berdiri sebenarnya usaha Ira sudah menarik banyak konsumen. Saat itu ia diuntungkan karena tidak ada usaha serupa di daerahnya yakni di Pasir Wangi, Ujung Berung, Bandung. Tak heran, ia bisa meraup margin hingga Rp 500 per item. Namun dalam hitungan bulan usaha serupa mulai bermunculan. Kondisi ini menyebabkan Ira harus bersaing, dan terpaksa terus menurunkan margin per item‐nya, bahkan hingga Rp 100 per item. Kemudian dalam waktu setahun, di dekat tempatnya berusaha sudah berdiri minimarket modern. Pada akhirnya ia sekadar mengoperasikan usahanya tanpa ambil untung lagi. Kisah Ira ini hanya salah satu contoh kecil dari permasalahan keterbatasan modal dalam sektor riil di Indonesia. Di lingkup yang lebih luas, masalah aturan ketenagakerjaan yang belum kondusif, biaya operasional tinggi, dan biaya produksi manufaktur yang tinggi masih membayangi. Belum lagi masalah birokrasi dan kepastian hukum yang tidak kondusif serta ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia yang terbatas. Demikianlah salah satu hal besar yang mengemuka dalam sesi pertama seminar ini. “Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut dan memulihkan perekonomian nasional, dibentuk beberapa arah kebijakan pembangunan ekonomi,” kata Leonard. Salah satu kebijakan tersebut adalah meningkatkan pemerataan pembangunan dan kesempatan berusaha yang dapat mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat,
terutama bagi penduduk yang kurang mampu. Kaitannya dengan menggerakkan sektor riil terutama di bidang UMKM, pemerintah akan meningkatkan pemberdayaannya termasuk memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Program ini sendiri akan dijalankan selama setahun. Bentuk konkrit dari program tersebut salah satunya adalah merekomendasikan agar RUU LKM segera diselesaikan. Sementara itu, revitalisasi
Seminar Nasional Agenda Menggerakkan Sektor Riil, 19 November 2009, Kirikanan: Leonard Tampubolon, Kodrat Wibowo, Agus Tjahayana, dan Ina Primiana (Sumber Foto: Tedi Yusup)
Kredit Usaha Rakyat akan menjadi program 100 hari pemerintah bersangkutan. Begitu pula usaha mengembangkan kapasitas UKM. Namun, Leonard tidak menyebutkan lebih lanjut seperti apa bentuk konkrit dari program‐program tersebut. Pemerintah bukannya tak memperhatikan nasib pengusaha UMKM. Beberapa agenda menggerakan sektor riil terutama di bidang pemberdayaan UMKM sudah dibuat. Namun, pada kenyataannya program ini belum menyentuh pengusaha sekelas Ira. Ia masih menyesalkan tidak adanya perhatian dari pemerintah kepada pengusaha UMKM. Dalam mengajukan kredit modal pun dirinya merasa dipersulit. Ia harus mengurus Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) dan berbagai keperluan administrasi lainnya. Akhirnya kredit modal urung diajukan. Bantuan dari pemerintah tak jadi diterima. “Saya menyimpan harapan kepada Unpad khususnya kepada para pendidik yang biasanya mempunyai banyak link. Mereka diharapkan mampu membuat dan merealisasikan terobosan untuk membantu. Misalnya, mengoordinasikan perkumpulan UMKM untuk membuat pelatihan gratis,” kata Ira. Selama ini tidak pernah ada pelatihan bagi warga masyarakat agar dapat menjadi pengusaha UMKM. Diharapkannya pula Unpad dapat membantu mencari barang‐barang jualan dengan harga rendah. Para pedagang sering sulit mencari barang jualan yang murah.
Bersambung ke Halaman 4
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 4
Agenda Menguatkan….
(Sambungan dari Halaman 3)
(LPPM) Unpad itu juga menghadirkan ragam acara baru yakni Lomba Foto Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diikuti oleh banyak dosen dan mahasiswa. Yang tak kalah ramai adalah acara talk show (bincang‐bincang) dengan topik, “Unpad di Era Sains dan Teknologi”, dipandu presenter TV One, Tina Talisa. Semula acara ini hendak disiarkan live di TV One, namun urung dilaksanakan karena adanya salah koordinasi antara panitia PIU dengan pihak Rektorat Unpad. Menurut Chay, acara yang disiapkan selama dua bulan ini bisa dibilang meningkat dari segi ragam acaranya. Namun, antusiasme masyarakat terhadap PIU masih kurang meskipun telah dipublikasikan melalui radio dan media lain. “Ini bagian dari kelemahan kita. Kita belum bisa mengemas dan memasarkan acara sehingga menarik banyak orang, terutama warga akademik dari luar Unpad. Kita masih lemah dalam kaitannya menarik pengunjung. Masih belum seperti yang kita harapkan,” ujar Chay jujur. Kehadiran mahasiswa dan dosen Unpad sendiri dirasa masih kurang sekali. Hanya segelintir dosen dan mahasiswa hadir di PIU. Itu pun adalah mereka yang berkampus di Bandung. Oleh sebab itu, untuk menarik minat mahasiswa, tahun depan acara akan dirancang “ramah mahasiswa”. “Ke depannya acara juga akan dirancang untuk bisa melibatkan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa—red.), sehingga BEM bisa mengisinya dengan atraksi. Selain itu, kita juga akan melibatkan SMA yang ada di Bandung, sehingga siswa bisa menikmati apa saja yang dilakukan dan dihasilkan universitas,” kata Chay. PIU 2010 masih tetap dipusatkan di kampus Bandung. Hal ini dilakukan untuk mendekatkan diri dengan konsumen yang berasal dari luar Unpad, terutama dari luar kota Bandung. “Mungkin akan lebih banyak orang datang kalau diadakan di Jatinangor, tapi akan didominasi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas yang ada di sana. Karena lokasinya relatif terpencil, sehingga diperkirakan tidak akan menarik banyak warga masyarakat yang ada di luar Jatinangor,” tambah Chay. Tentu tidak tertutup kemungkinan PIU mendatang diselenggarakan di kampus Unpad Jatinangor, apalagi bila Rektor, para Pembantu Rektor, dan semua jajarannya telah hijrah ke sana. Nanti PIU pasti dibanjiri dosen dan mahasiswa, tentu tanpa mobilisasi. *** Vanya Chairunisa (
[email protected])
Seminar tahunan Seminar yang bertujuan membahas isu‐isu nasional serupa di atas direncanakan menjadi agenda tahunan dalam rangkaian acara PIU. Seperti halnya PIU pertama (2008), PIU 2009 yang berlangsung selama empat hari itu masih berorientasi kepada dosen, peneliti, dan warga masyarakat di luar kampus. Sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, tahun ini mulai dihadirkan layanan konsultasi gratis bertajuk “Unpad untuk Masyarakat”. Konsultasi itu meliputi bidang kesehatan, hukum, psikologi, ekonomi, dan pertanian. Chay Asdak, Ketua Panitia PIU 2009 mengatakan, kelima bidang ini dipilih berdasarkan asumsi banyaknya warga masyarakat yang memerlukan informasi atau treatment gratis di bidang‐bidang tadi. Ternyata stand yang paling banyak pengunjungnya adalah stand kesehatan, yang didukung oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Keperawatan, serta stand psikologi (Fak. Psikologi). “Ada yang menanyakan layanan dari Fakultas Kedokteran Gigi, tapi untuk tahun ini FKG belum bisa bergabung,” ungkap Chay. Ia mengharapkan FKG akan ikut bergabung pada PIU 2010. Selain layanan kesehatan gigi, Panitia PIU mendatang juga menghadirkan layanan konsultasi pengobatan herbal yang didukung Fakultas Farmasi. Selain berbentuk konsultasi, dalam PIU 2009 warga masyarakat juga bisa mengetahui hasil penelitian beserta inovasi teknologi yang dikembangkan di Unpad melalui bazaar. Berbagai produk penelitian dosen‐dosen dari belasan fakultas disajikan, mulai dari buku, panduan‐ panduan, hingga mesin yang diproduksi sendiri, sedangkan produk inovasi teknologi merupakan hasil mitra kerja Unpad. Hasil penelitian fakultas tak hanya bisa diketahui dari bazaar, tapi juga dipublikasikan melalui seminar bertajuk “Seminar Hasil Penelitian Fakultas”. Sebanyak 16 fakultas yang ada di Unpad mengajukan maksimal sepuluh hasil penelitian yang sangat baik kepada panitia PIU. Dalam PIU 2009 seminar diadakan pada 16‐17 November dengan total 160 penelitian. Jumlah yang besar ini hanya memungkinkan presentasi dilakukan secara paralel dan singkat. “Seminar ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peneliti untuk saling tahu apa hasil penelitian fakultas lain dan sebagai proceeding hasil penelitian fakultas,” kata Chay. PIU yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Stand Konsultasi Fakultas Kedokteran dan Fakultas Keperawatan banyak mendapat apresiasi dari pengunjungi untuk
konsultasi kesehatan gratis, merupakan bagian dari pengabdian unpad kepada masyarakat, Graha Sanusi Hardjadinata, 16 – 19 November 2009
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 5
BERITA UTAMA
Contrast Agent Asli Bandung Jika Anda bertanya, apa kontribusi Seminar Penelitian Andalan (dalam forum PIU 2009), Rista Unpad dalam bidang kedokteran mempresentasikan makalahnya yang berjudul, yang berguna bagi masyarakat “Penyangatan Citra Resonansi Magentik Tumor Otak luas di Indonesia, maka Glioma Tikus”. Dia memaparkan proses konstruksi Gd jawabannya, terciptanya Magnetic DTPA bereaksi dengan dendrimer dan Antibodi AntiEGFR Resonance Imaging (MRI) Contrast dalam tempo sepuluh menit saja. Agent. Ini asli lho buatan warga “Tentang pencitr aan dari MRI, pencitraan yang digunakan dari MRI, lebih sensitif daripada CT Scan. Gd akademik Unpad. Inovasinya ini DTPA ada keterbatasannya karena tidak bisa masuk ke dapat membantu meringankan dalam resi, tetapi masuk pada perfusi, kontak dengan biaya pengobatan, karena kita tidak harus mengimpornya darah, kemudian perfusi. Di situlah kita mendapatkan citra lagi. Penelitian dan pengembangan senyawa contrast agent tersebut,” ungkap Rista. yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun itu Keunggulan contrast agent tersebut, sensitif menilai dilakukan oleh Rista D. Soetikno, dr., SpR, dari bagian jaringan lunak dengan parameter dapat membedakan Radiologi Fakultas Kedokteran (FK) Unpad/ Rumahsakit lemak, cairan, pembuluh darah, dan jaringan padat. Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dan timnya. Namun ada kekurangannya, pada saat diperiksa, pasien MRI merupakan alat diagnostik yang dapat tidak diperbolehkan menggunakan benda yang terbuat menghasilkan rekaman gambar potongan penampang dari logam, karena logam membuat waktu pemeriksaan tubuh atau organ manusia dengan menggunakan medan menjadi lebih lama. Artinya, biaya yang dikeluarkan pasien magnet. MRI ini memunyai keunggulan dalam pencitraan, lebih mahal. yaitu pada kontras jaringan. Ia dapat memberikan Menurut Rista, pencitraan GdDTPA masih belum informasi yang unik dan pencitraan berbagai lapangan. optimal. Oleh karena itu, tim peneliti berpikir untuk MRI juga dapat menampilkan detil objek secara jelas atau membuat suatu senyawa baru dengan meletakkan multiplanar. antibodi dari dendrimer. Kemudian disadari, dunia “MRI selama ini dikenal sebagai cara untuk kedokteran membutuhkan suatu senyawa pengontras mendiagnosis penyakit melalui pencitraan molekuler,” baru. kata Abdul Mutalib, Ph. D, dosen Sebelumnya Abdul Mutalib Jurusan Kimia, FMIPA Unpad pernah mengatakan kepada Warta (sekaligus CoPromotor penelitian LPPM, tim peneliti Unpad sedang Rista), kepada Warta LPPM di mengembangkan produk baru yang Sekretariat I‐MHERE, awal lebih spesifik (molekul antibodi). Oktober lalu. Penelitian Rista ini dipromotori oleh Rista mengembangkan Prof. Dr. Johan S. Masjhur. Senyawa contrast agent yang ada dengan kimia tersebut memiliki kemampuan meniru yang telah ada, kemudian dikembangkannya sendiri. Dari kiri ke kanan 1. Gd DTPADendrimer 2. Gd DTPA untuk menuju ke area‐area di dalam Selama tiga tahun ini Unpad (sumber: dokumentasi pribadi) tubuh yang terkontaminasi penyakit. Nama produk ini masih dirahasiakan karena masih dalam sudah memproduksi contrast agent yang telah beredar proses mendapatkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI). luas di dalam negeri. Merek senyawa contrast agent yang “Senyawa ini nantinya lebih pintar. Dia bisa langsung dikembangkan itu adalah GdDTPA dan GdDTPA HAS dan menuju ke bagian tubuh yang terserang penyakit. Jika di telah digunakan di banyak rumahsakit di Indonesia. otak terdapat penyakit, maka cairan akan langsung Contrast agent dimaksudkan untuk membantu menuju otak. Sejauh ini, kami sudah melalui uji preclinic mendiagnosis penyakit tanpa harus mengambil bagian terhadap binatang mencit di RS Pondok Indah. Sekarang tubuh. Cairan atau liquid contrast agent disuntikkan ke dalam tubuh yang akan dibawa oleh darah ke seluruh tinggal uji kliniknya saja,” jelas Abdul Mutalib, yang juga tubuh. Senyawa kimia dalam cairan tersebut akan menyala berprofesi sebagai Director of National Nuclear Energy terang di dalam tubuh pada organ yang mengalami Agency. gangguan, misalkan adanya sel kanker di dalam tubuh. Segenap warga akademik Unpad boleh berbangga “Makanya dinamakan contrast karena karena Unpad telah menjadi pencipta produk contrast menciptakan cahaya dan terang,” lanjut Abdul Mutalib. agent pertama di Indonesia. Selain itu, penelitian ini telah Selama ini Indonesia selalu mengimpor bahan untuk mampu menggandeng kerja sama dengan salah satu MRI, tentu dengan harga sangat mahal. Dengan perusahaan di bidang kesehatan. Nama produk baru yang kemampuan memproduksi sendiri, Indonesia niscaya bisa dikembangkan Rista tersebut dan sistem kerjanya secara menghemat devisa negara. Pelayanan kepada pasien spesifik masih dirahasiakan. Kita tunggu saja hasilnya diharapkan akan meningkat pula. Para peneliti setelah inovasi ilmuwan Unpad itu dipatenkan di berkeinginan untuk menekan biaya pembuatan bahan MRI Departemen Hukum dan HAM. Siapa menyusul? *** dengan menggunakan bahan‐bahan lokal dalam Purwaningtyas (
[email protected]) contrast agent, dengan kualitas lebih bagus pula. Dalam
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 6
DISERTASI PILIHAN
Dr. Agustinus Widanarto:
Bawasda dan DPRD Kurang Efektif
“Ibarat jeruk makan jeruklah,” ujar Wid tersenyum kepada Warta LPPM. Pemerintah pusat berencana membentuk lembaga khusus independen yang dibentuk di luar badan pemerintah kota. Menurut Wid, idealnya pihak yang dilibatkan dalam lembaga khusus tersebut berasal dari BPKP, BPK, dan Bawasda. Sebaiknya lebih banyak dilibatkan orang luar, agar terjamin objektivitasnya. “Pengaruh pengawasan internal bergantung kepada sejauh mana pengawas internal mampu menjaga fungsi pengawasannya agar tetap independen,” ungkap ilmuwan senior kelahiran 22 Mei 1955 ini. Wid juga menawarkan beberapa konsep pengawasan. Salah satunya, adanya sistem manajemen kinerja yang mewadahi sinergitas antara teknik pengawasan internal dan eskternal. Keselarasan pelaksanaan teknik pengawasan internal dan eksternal dapat dilakukan melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan antara Bawasda dengan DPRD maupun masyarakat. Sistem pengawasan lain yang sebaiknya digunakan oleh pemerintah kota Bandung adalah
Pelayanan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung kepada masyarakat belum optimal. Kenyataan tersebut ditandai oleh akuntabilitas yang rendah, kualitas pelayanan yang masih kurang, dan rendahnya produktivitas kerja. Hal ini menunjukkan pengawasan internal oleh Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung dan pengawasan eksternal (DPRD dan masyarakat) belum efektif. Kinerja pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan kinerja pemerintah memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama Agustinus Widanarto didampingi istri sistem pengawasan internal, eksternal, melekat, ini menjadi salah satu faktor penting yang saat wisuda di Grha Sanusi dan fungsional. Keempat sistem tersebut mendorong munculnya krisis kepercayaan Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur, sebenarnya sudah ditetapkan sejak lama dan masyarakat kepada pemerintah, termasuk di Bandung, Selasa (24/11). sudah ada aturannya, namun kelemahannya antaranya Pemkot Bandung. justru terletak pada penerapannya. Agustinus Widanarto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan “Sebaiknya DPRD Kota Bandung melakukan pengawasan Ilmu Pemerintah (FISIP) Unpad, melakukan penelitian dalam langsung secara rutin minimal tiga bulan sekali, dan tidak rangka tugas akhir program S3‐nya. Disertasinya berjudul bergantung kepada adanya laporan atau temuan saja,” ujar Wid. “Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal Kendala terbesar yang ia alami selama penelitian justru Terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung”. Menurut Wid, datang dari dirinya sendiri. Maklum, Wid aktif sebagai dosen sapaan akrabnya, pengaruh keduanya lebih didominasi oleh tidak hanya di Unpad, tapi juga di beberapa universitas swasta kontribusi pengaruh langsung daripada pengaruh tidak langsung terkemuka di kota Bandung, bahkan di luar kota Bandung. Ia sebagai akibat rendahnya keeratan hubungan antara harus pandai membagi waktu antara merampungkan pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang dilakukan. disertasinya, dengan mobilitasnya yang tinggi. Belum lagi ia pun Hasil ini menunjukan belum optimalnya kinerja Pemkot sempat drop pascakepergian ibunya. Kendala lain datang dari Bandung. Ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan internal objek penelitiannya ketika proses pengumpulan data. Wid oleh Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan mengaku sangat sulit menemui para petinggi Pemkot Bandung. masyarakat. Apalagi saat menentukan waktu janjian untuk wawancara. Hasil penelitiannya membuktikan, pengawasan internal Untung saja Wid tak pernah kehabisan cara untuk menghadapi lebih efektif dibandingkan pengawasan eksternal dalam objek penelitiannya. Hampir 90% dari ratusan sumber dan pencapaian kinerja yang diharapkan. Ini berarti, pengawasan litaratur yang ia gunakan merupakan milik pribadi. Setelah enam internal oleh Bawasda lebih besar pengaruhnya terhadap kinerja bulan bersusah payah menyelesaikan disertasinya, Wid pun Pemkot Bandung dibandingkan pengawasan eskternal oleh berhasil meyakinkan sembilan penguji dalam sidang terbuka DPRD dan masyarakat. Pengawasan eksternal relatif kurang yang dihadiri oleh mertua, istri, dan anak‐anaknya. efektif karena tidak efektifnya pembentukan panitia khusus yang Prof. Dr. Sadu Wasistiono yang turut membimbing Wid dilakukan DPRD, kurangnya pemanfaatan berbagai bentuk dalam penulisan disertasinya berpendapat, lemahnya informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan, dan masih pengawasan internal di Pemkot sebenarnya merupakan gejala lambannya proses tindak lanjut terhadap suatu temuan. umum dalam semua instansi pemerintah di Indonesia. Hal itu “Selama ini biasanya DPRD baru akan melaksanakan disebabkan oleh sistem politik yang korup, sehingga berimbas pengawasan jika ada keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepada sistem pemerintahannya. Begitu pula dengan sistem Pemkot Bandung yang biasanya disampaikan melalui media pengawasan oleh DPRD. massa,” ungkap Wid yang meraih gelar doktor ilmu “Sistem politiknya yang harus terlebih dahulu pemerintahan (yudisiumnya sangat memuaskan) di FISIP Unpad dibenahi,” tegasnya kepada Warta LPPM lewat pesan elektronik. pada 14 September lalu. Sadu menilai disertasi Wid cukup baik. Ada hal‐hal Badan Pengawas Independen aktual yang dikemukakan Wid, tetapi solusinya perlu dipertajam Wid mengungkapkan, Bawasda Kota Bandung selama ini pada hal‐hal yang sangat pokok. *** kurang independen. Semuanya kembali lagi pada masalah R. Lasmi Teja Raspati (
[email protected]) objektivitas pengawasan. Terdapat benturan kepentingan antara Bawasda dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Jadi pengawasannya pun tidak objektif.
WARTA LPPM Halaman 7
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
PENELITIAN PILIHAN
Modifikasi Pati dalam Saus Cabai Anda pasti tahu, saus cabai adalah saus yang terbuat dari bahan dasar cabai (Capsicum sp) dengan atau tanpa bahan lain dan biasanya digunakan sebagai bumbu. Bambang Nurhadi, dosen Jurusan Teknologi Industri Pangan (TIP), Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) Unpad baru‐baru ini selama tiga meneliti saus cabai yang mengental setelah beberapa lama. Ini mirip dengan cimol, bila sudah dingin pasti mengeras. “Saya meneliti ini karena saya suka makan bakso dan mie ayam. Biasanya kalau makan itu ‘kan pakai saus, ya. Ketika mengeluarkan saus dari botol terkadang sangat susah, ternyata saus itu meningkat kekentalannya dari semula,” kata Bambang, yang sejak November lalu menjadi Pembantu Dekan III FTIP. Ayah dua anak ini sengaja memilih saus cabai, karena sampai sekarang yang paling banyak dikonsumsi orang adalah saus cabai. Menurut dia, warga masyarakat menyukai rasa pedas. Pertimbangan waktu dan sumberdaya juga menjadi alasan Bambang memilih penelitian yang berjudul, The Rheological and Charateristic of Three Different Types of Chilli Sauce (Capsium Annum L) During 30 Days Storage. “Beberapa penelitian saya memang juga tentang pengolahan makanan, khususnya yang mengalami retrogradasi. Dari segi penelitian kita ingin tahu, apakah ini benar atau tidak benar. Setelah kita buktikan, ternyata benar,” katanya kepada Warta LPPM , Senin (14/12) siang, di ruang kerjanya, kampus FTIP, Jatinangor. Jenis saus bermacam‐macam. Ada saus asli yang diuapkan sampai kekentalan tertentu. Kekentalan dalam bahasa ilmu pangan disebut viscosity. Ada juga saus yang ditambahkan bahan pengisi seperti ubi, singkong atau bahan pati yang lain supaya lebih kental. Namun, kelemahan kalau ditambah bahan pati, sifat alami pati akan mengalami retrogradasi. “Pati ketika dimasak atau dipanaskan ‘kan jadi kental, ya, kemudian saat mengental, molekul amilosanya akan keluar dari pati dalam bentuk granula yang bulat‐bulat. Jadi banyak air yang terperangkap di sana sehingga menjadi kental. Kalau sudah dingin akan terjadi rekristalisasi,” jelas laki‐laki kelahiran Jakarta, 2 Juni 1976 ini. Efek retrogradasi ini membuat air yang sebelumnya sudah bercampur, kemudian terpisah lagi. Dengan demikian kekentalannya meningkat. Saus semakin lama semakin susah dikeluarkan. Kalau pertama setelah saus itu dibuat, masih mudah mengeluarkannya. Tapi kalau sudah lama menjadi susah. “Hipotesis saya, saus mengalami peristiwa retrogradasi sehingga susah dikeluarkan. Dalam ilmu pangan, pati yang kita tambahkan itu bisa kita modifikasi untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Modifikasi yang digunakan adalah menggunakan cross linking. Dengan cara ini pati diikat satu sama lain sehingga tidak akan terpisah lagi,” ungkap Bambang.
Bambang Nurhadi,peneliti sekaligus PD III Fakultas Teknologi Industri Pertanian saat diwawancarai Warta LPPM Senin (14/12) siang di ruang kerjanya di FTIP Unpad Jatinangor.
Melalui cross linking peristiwa retrogradasi tidak akan terjadi lagi. Ada cara lain lagi untuk mencegah retrogradasi yaitu dengan melakukan modifikasi esterifikasi. Dengan esterifikasi, saus cabai akan tahan kalau disimpan dalam suhu dingin. Kekentalannya akan sama. Tapi dia masih teliti satu saja yang cross linking itu. Esterifikasi menjadi usulan untuk penelitian berikutnya, yang ingin dibuktikannya sendiri. Ternyata dalam penelitian Bambang ini terlihat adanya perubahan kekentalan dalam saus cabai yang sedang diuji, sekalipun perubahannya tidak signifikan. Menurut Bambang, kalau penelitian ini dibuat lebih dari 30 hari, perubahannya mungkin terlihat lebih jelas. Saus yang kekentalannya tetap sama adalah saus yang bahan patinya dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukannya adalah dengan menambahkan tepung jagung (maizena). Pentingnya penelitian ini berkaitan dengan penampakan dalam industri. Dengan melakukan modifikasi, saus tidak perlu ditambah air karena tingkat kekentalan saus tetap terjaga sehingga tetap mudah untuk dikeluarkan meski kemasannya telah lama dibuka. Cara yang ditawarkan melalui penelitian ini adalah cross linking (ikatan silang). Di dalam sel tanaman singkong atau ubi ada pati yang memiliki granula‐granula. Dalam pati ada dua komponen utama yaitu amilosa dan amilofektin. Amilosa panjang rantainya lebih pendek. Amilofektin lebih panjang dan bercabang‐cabang. Jadi kalau dipanaskan, dan kemudian didiamkan lagi, air yang tadinya sudah bersatu di dalam akan keluar lagi dan terpisah. “Kalau pakai cross linking itu, ada rantai penahannya, jadi tidak bisa kembali. Ada ikatan yang membuat air itu tidak bisa bersatu lagi,” ungkap Bambang. Penelitian yang dilakukannya ini untuk masa percobaan selama 30 hari. Jika lebih lama lagi mungkin akan dapat dilihat lebih jelas perubahannya. Penelitian mandiri ini dilakukan Bambang karena dia menekuni bidang rheologi. Rheologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristika aliran atau perubahan suatu benda. Jadi, rheologi dijadikan sebagi parameter. Kalau dilihat langsung mungkin tidak terlihat mata bagaimana perubahannya. Tapi kalau dengan alat yang namanya viskometer, kita bisa lihat dan tahu kekentalannya sudah berubah. Kita menggunakan fluida berpangkat sebagai model untuk membandingkan kekentalannya. Kendala dalam penelitian ini, saat dia harus menyiapkan saus. Kekentalan saus cabai asli dengan yang ditambahkan pati itu berbeda dan sulit menyamakannya. Tapi tidak jadi masalah juga karena nilai yang ditambahkan sama, sehingga bisa dilihat apakah terjadi atau tak terjadi perubahan. Hasil penelitiannya ini sangat mungkin diaplikasikan di masyarakat. Kalau bisa, kita gunakan sumber pati yang inferior, yang belum dimanfaatkan. Masih banyak sekali sumber pati kita yang belum dimanfaatkan, antara lain singkong, hanjeli, gembili, sorgum, dan lain‐lain. Kita bisa memanfaatkan patinya, lalu dimodifikasi. Ada beberapa saus di pasar (masyarakat) yang telah dimodifikasi. Biasanya ada eda etiketnya, “modified starch”, artinya, sudah dimodifikasi. “Jadi ini memang sudah diaplikasikan di masyarakat. Jadi, sebaiknya ini kita budayakan dalam industri rumah tangga juga,” pungkasnya. *** Arie Christy Sembiring Meliala
[email protected]
WARTA LPPM Halaman 8
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA PENGABDIAN
KISAH PESERTA KKN (1):
Belajar dari “Dunia Lain” Pada saat melewati jalan yang berkelok‐kelok menuju Desa Bojong, Kecamatan Pameungpeuk, di benak saya terlintas, semoga kehidupan sementara di desa tak “seberliku” ini. Ya, saat itu saya beserta ribuan mahasiswa lainnya harus tinggal selama sekitar 37 hari di desa dalam rangka Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa‐Pengabdian pada Masyarakat oleh Dosen Universitas Padjadjaran (KKNM‐ PPMD Unpad), Juli‐Agustus 2009. Saya beserta 26 mahasiswa lainnya ditempatkan di Desa Bojong, Kecamatan Pameungpeuk. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan waktu sekitar enam jam perjalanan menggunakan bis. Ketika sampai di kantor kecamatan, kelompok saya beserta beberapa kelompok lain disambut oleh Camat dan para Kepala Desa. Di Pameungpeuk sendiri terdapat tujuh desa yang digunakan untuk kegiatan ini. Selepas penerimaan, mahasiswa diantar menggunakan angkutan umum sewaan ke desa masing‐masing. Begitu sampai di desa, kami disambut oleh perangkat desa setempat. Di sini Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kemudian membagi kami ke dalam dua kelompok, satu kelompok di Dusun Bojong dan sekelompok lainnya di Dusun Cikuya. Tujuan pembagian tempat tinggal seperti ini untuk memudahkan kami melakukan pemetaan sosial. Selain itu, agar terjadi pemerataan program. Program pun tidak terpusat di satu dusun saja. Akan tetapi ada informasi awal bahwa warga di sana sangat pemalu. Mereka tidak akan menghampiri mahasiswa terlebih dahulu, sebab mereka tampaknya merasa rendah diri ketika berhadapan dengan mahasiswa dan dosen. Akhirnya kami mengakalinya dengan berkunjung ke rumah mereka satu per satu seraya mengisi kuesioner pemetaan sosial yang dititipkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Berdasarkan pengumpulan informasi melalui warga dan perangkat desa inilah, kami memutuskan bahwa penyuluhan mengenai sanitasi lingkungan, pendidikan hidup bersih dan sehat (PHBS), pendidikan anak usia dini (PAUD), serta pendidikan kewirausahaan penting dilakukan di Desa Bojong. Tak lupa pula kami merencanakan memberikan penyuluhan manajemen bencana mengingat kondisi geografis desa ini yang rawan bencana terutama longsor. Demikianlah, minggu pertama dilalui dengan rutinitas ber‐silaturrahim sembari mencari tahu adat kebiasaan di sana, sehingga kami bisa menyesuaikan diri. Ada satu hal yang menarik. Warga desa ini mempunyai keyakinan bahwa jika pada malam hari tuan rumah sudah menutup tirai jendela, berarti ia tidak menginginkan tamu berkunjung ke rumahnya. Ketika tahu, kontan kelompok kami menahan tawa. Pasalnya, sesuai kebiasaan di kota, setiap habis Maghrib kami selalu menutup tirai jendela.
Pantas saja tidak pernah ada tamu yang berkunjung malam hari. Karena pada awalnya di rumah kami tidak ada televisi, malam hari pun sering dilalui dengan mengobrol. Oleh sebab itu, kami merasa sepi dan terkadang mengharapkan kedatangan tamu. Kebosanan pun tak jarang melanda. Hidup di tempat yang jauh dari akses hiburan menjadi tantangan tersendiri.
Aparat desa dalam acara pembukaan acara “geger desa” di desa Memasuki minggu ketiga, kami mulai merasakan bojongsari (sumber photo : purwaningtyas permatasari) kedekatan dengan warga sekitar. Mereka pun tidak segan lagi mengajak berjalan‐jalan. Kesempatan ini pun kami gunakan untuk menikmati keindahan alam termegah Pameungpeuk yakni Pantai Santolo. Pasir putih yang kami jejaki di sana seakan mampu mengisap segala kepenatan mengurus program di desa. Menginjak minggu keempat, karena bertepatan dengan jadwal program dosen, kami sibuk menyiapkan presentasi yang berkaitan dengan itu. Dikarenakan program ini merupakan program besar, tentu koordinasi antarkelompok di dua dusun kami harus lebih meningkat. Akan tetapi, kami terkendala oleh jauhnya jarak tempat tinggal kami. Belum lagi jalan yang harus ditempuh, baik dari Dusun Bojong ke Dusun Cikuya maupun sebaliknya, berbukit‐bukit dan berbatu. Ini membuat kami kelelahan kalau harus sering bolak‐balik. Namun, saya pribadi menyadari inilah lika‐liku hidup di desa. Apa boleh buat. Kendala ini, meski berat, dapat kami lalui. DPL kami pun sangat membantu dalam persiapan program. Ia menyediakan alat peraga, materi, dan sejumlah dana yang dibutuhkan. Persiapan kami terbilang cukup matang. Ketika akhirnya selesai, kami bisa bernafas lega, karena program sudah berjalan sesuai dengan rencana. Kader‐ kader Posyandu setempat antusias menghadiri program di balai desa ini. Minggu kelima, ketika nafas kami sudah ngosngosan sekaligus sudah ingin pulang, kami disibukkan oleh persiapan perayaan ulang tahun ke‐64 RI. Di sini saya mulai melihat bahwa sebagian warga masyarakat,
Bersambung ke halaman 9
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 9
melaksanakan program di Sekolah Dasar. Teman‐teman sekelompoknya pun mempengaruhi tingkatan religius (Sambungan dari halaman 8) perempuan berambut panjang ini. “Setiap habis sholat Maghrib kami mengaji bersama terutama di Dusun Bojong, ternyata mengharapkan dan membahas minimal satu ayat Al‐Qur’an,” ungkapnya. limpahan materi dari mahasiswa. Lain Fiameta, lain pula Dharmanto. Mahasiswa FPIK Meski terkesan berat hati, namun akhirnya mereka yang mengikuti kegiatan KKNM di Kabupaten Cianjur ini bisa menerima itu. Acara menyambut UT ke‐64 RI pun mengaku menikmati suasana desa yang masih alami dan dilaksanakan dengan sederhana saja. Perlombaan tidak ada pencemaran lingkungan seperti di kota. Ia pun berhadiah hanya untuk anak‐anak. Kami pun tak bisa terkesan dengan keramahan penduduk desa yang memberi lebih dari buku dan alat tulis. Untung acara menerima mahasiswa KKNM dengan tangan terbuka. berlangsung meriah. Mereka, terutama aparat desa setempat, tidak keberatan Menjelang hari kepulangan, kami dirundung rasa ketika ditanyai ini‐itu. Mereka juga berbaik hati, mau senang sekaligus sedih. Senang karena program sudah meminjamkan kendaraan bermotor kepada mahasiswa. tuntas dan akan kembali ke rumah. Sedih karena kami Selain mendapat pengalaman dan pembelajaran harus meninggalkan warga sekitar yang sudah dekat di dalam kehidupan bermasyarakat (bersifat eksternal), hati. Sedih karena berarti pembelajaran kami dari dunia KKNM juga memberikan pengalaman dan pembelajaran yang sama sekali berbeda dengan dalam kehidupan berkelompok kehidupan kami harus terhenti sampai (bersifat internal). Wira, mahasiswa di sini. Pembelajaran mengenai Fikom, yang mengikuti KKNM di “Selain mendapat pengalaman kehidupan memang pasti akan Kabupaten Sukabumi, mengatakan, berlangsung terus, tapi mungkin akan dan pembelajaran dalam pada intinya kegiatan ini menjadi kita temui dari dunia lain lagi, dunia di kehidupan bermasyarakat momen pembelajaran tentang kiat luar Desa Bojong. (bersifat eksternal), KKNM juga berinteraksi dengan orang‐orang baru yang berbeda latar belakang. Tak cuma di Bojong memberikan pengalaman dan Menyatukan visi dan misi dalam Berdasarkan catatan, sebanyak sebulan tidaklah mudah. Yang paling pembelajaran dalam kehidupan 3.200 mahasiswa peserta KKNM pada dibutuhkan ternyata adalah saling Juli‐Agustus 2009 tersebar di sekitar berkelompok (bersifat internal)” pengertian, karena perbedaan latar 130 desa di Jawa Barat bagian Selatan. belakang tadi bisa memicu konflik. Desa‐desa ini berada di beberapa Wira, mahasiswa Fikom “Dari segi komunikasi kabupaten antara lain Kabupaten kelompok, kita dituntut bagaimana Sumedang, Kabupaten Bandung, agar dapat mengatasi konflik itu, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, supaya tidak memengaruhi interaksi Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis, sosial sehari‐hari, dan tidak memengaruhi kinerja dan Kabupaten Tasikmalaya. kelompok,” jelasnya. Dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu, tentu pengalaman berharga tak cuma didapat di Desa Bojong. KKNM Membawa Berkah Fiameta, mahasiswi Fikom yang mengikuti kegiatan KKNM Hidup selama 37 hari di tempat tertentu, disadari di Kabupaten Tasikmalaya, mengaku menjadi lebih atau tidak disadari, telah menciptakan ikatan batin religius sepulang kegiatan. Ini tidak terlepas dari tersendiri. Ikatan itu terjalin baik dengan tempat maupun lingkungan Desa Cibeber, tempatnya tinggal sementara, orang‐orang yang berada di sana. Begitulah yang saya yang berada di daerah pesantren. Selama masa KKNM rasakan dengan Desa Bojong dan penduduknya. Fiameta harus sering mengenakan jilbab terutama ketika Ikatan ini rupanya berlangsung terus, sehingga ketika mendengar Desa Bojong dan sekitarnya terkena gempa Jawa Barat awal September lalu, dengan serta merta kami berdoa dan mengumpulkan bantuan. Meskipun belum sempat menyumbang tenaga untuk membangun kembali desa, tapi setidaknya doa kami senantiasa membangun kekuatan bagi mereka untuk menghadapi musibah. Mudah‐mudahan doa dan bantuan materi yang tak seberapa ini membawa berkah. Demikianlah, perjalanan hidup selama KKNM ini memang berliku, tapi juga amat berharga. Amat manis untuk dikenang, teramat indah untuk dilupakan. Bukan mustahil suatu hari saya mengunjungi sanak saudara di daerah eks KKNM ini. Mengadaptasi salah satu lagu Koes Interaksi mahasiswa dan warga sekitar pada suatu acara, kegiatan Plus, “Ke Pameungpeuk aku ‘kan kembali…” *** KKNM integratif ini menjadi momen pembelajaran tentang kita Vanya Chairunisa (
[email protected])
Belajar dari dunia lain….
berinteraksi dengan orangorang baru yang berbeda latar belakang (sumber photo : purwaningtyas permata sari
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 10
KISAH PESERTA KKN (2) :
Desa Mengajariku Hidup Sederhana dan Peduli
Tinggal selama 37 hari di desa? Apakah betah dan sanggup? Bagaimana dengan makan, tempat tinggal, dan tidur? Beberapa pertanyaan muncul saat peserta Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) Unpad Juli‐Agustus Dari kiri ke kanan. 1. Efi Fadillah dari Fikom dalam salah satu kegiatan bersama 2009 mulai rapat pertama membicarakan tentang desa masyarakat di Jampang Kulon Kabupaten Sukabumi. 2. Kegiatan mahasiswa yang akan ditempati. Namun ada juga yang melaksanakan KKNM integratif di salah satu SD dengan mengajarkan cara hidup mempertanyakan tentang pengalaman baru apa yang bersih (sumber photo: Yessy yulianti dan LPPM Unpad) nanti akan didapat? Pelajaran apa yang didapat dengan berpartisipasi sesuai dengan bidang studi yang dimiliki peserta bergaul dekat bersama teman baru di kelompok KKNM dan KKNM. “Program saya adalah tentang wirausaha gula kelapa, masyarakat desa? karena Cibitung memiliki kelapa yang berpotensi untuk Pada 14 Juli 2009 perjalanan menuju tempat‐tempat dikembangkan. Saya berharap program kita bisa berintegrasi KKN di Kabupaten Sukabumi pun dilakukan. Salah satunya nantinya,” katanya. adalah Desa Cibodas, Kecamatan Cibitung. Selama sembilan jam Setelah beberapa waktu lamanya, peserta KKNM pun mulai perjalanan menuju Desa Cibodas pun, akhirnya berakhir. Peserta pula merencanakan program‐program yang tepat untuk desa KKNM tiba pukul 16.30, dan langsung disambut oleh aparat di tersebut. Penduduk desa ini juga cukup terbuka untuk belajar kecamatan. saat peserta KKNM menawarkan lokakarya tentang wirausaha. Camat Cibitung dalam sambutannya mengungkapkan Masalah modal yang sering terjadi diberi solusi dengan kebanggaannya atas kehadiran mahasiswa dari Unpad. “Ini meminjam uang ke bank. Peserta KKNM mendatangkan langsung adalah untuk pertama kalinya desa kami kedatangan mahasiswa pihak bank yang siap membantu masyarakat yang kesulitan dari kota, apalagi Unpad yang jauh‐jauh dari Bandung. Semoga modal. Program peminjaman ini sebenarnya juga merupakan kalian semua betah, dan bisa belajar dari kami, dan kami juga program bantuan pemerintah untuk rakyat kecil. Namun tidak bisa belajar dari kalian,” katanya. semua warga masyarakat mengetahuinya. Peserta KKNM juga Menurut kepala desa Cibodas, Wahyudin, dulunya Desa memberi penyuluhan tentang kreativitas membuat makanan, Cibodas termasuk desa yang paling rawan santet, bunuh‐ mengemasnya, dan memasarkannya. membunuh pun sering terjadi dan tidak ada tindakan hukum “Kalau tidak melalui mahasiswa Unpad, kami tidak akan yang menyelesaikannya. Namun sekarang desa ini sudah cukup tahu ada program peminjaman di bank yang tidak sulit dan dapat aman. dirpercaya,” kata Arman, Ketua Gabungan Kelompok Tani “Asal bisa menjaga sikap dan berperilaku santun, kita tidak (Gapoktan) Desa Cibodas. akan diganggu,” katanya. Peserta KKNM Desa Cibodas juga belajar banyak hal dari Sekitar seminggu lamanya, peserta KKNM mencoba untuk anak‐anak sekolah yang sempat diajar oleh peserta KKNM. Anak‐ melakukan adaptasi. Peserta KKNM mulai mempelajari budaya anak ini harus berjalan jauh supaya sampai di sekolah namun dan nilai‐nilai yang dianut di desa yang ditinggali. Agama yang mereka tetap bersemangat. Anak‐anak di desa ini senang sekali dianut di desa ini 100% Islam, oleh karena itu, sehari‐hari kedatangan mahasiswa KKNM. Bahkan peserta KKNM Desa masyarakat menggunakan busana muslim. Hal ini mengajarkan Cibodas mendapat beberapa surat perpisahan dari mereka. peserta KKNM untuk selalu berpakaian yang sopan dan pantas Isak tangis yang sangat mengharukan terjadi saat peserta sehingga tidak menjadi pusat perhatian. KKNM Desa Cibodas harus kembali ke Bandung dan Jatinangor. Selain itu beberapa mahasiswa juga ada yang menangis Banyak anak‐anak yang sering berdatangan ke rumah tempat sembunyi‐sembunyi karena sedih jauh dari keadaan nyaman peserta KKNM tinggal untuk sekedar berfoto, bercerita, dan yang dinikmati selama ini. Di desa peserta KKNM mau‐tidak mau memberi salam perpisahan. harus harus belajar hidup apa adanya, tidur di tempat yang Perpisahan yang sangat mengharukan juga terjadi dengan seadanya, mandi di kali, jalan kaki berkilo‐kilo meter, naik truk, keluarga kepala desa Cibodas. naik mobil bak terbuka, ke pasar, masak sendiri, dan banyak “Keluarga ini sudah seperti keluarga kami. Bu Dian (istri pengalaman menarik lainnya. Wahyudin yang saat itu mengandung 8 bulan) sudah seperti Setelah mencoba menyesuaikan diri dengan sesama peserta bunda bagi kami,” ungkap Avedriani Nuranti, mahasiswa KKNM dan warga masyarakat desa, peserta KKNM pun mulai angkatan 2006, Fikom. melakukan tugas utama di desa yaitu mendata penduduk desa, “Anak‐anakku, teruslah belajar dari masyarakat kecil! Jika kemudian membuat profil dan pemetaan desa yang ditinggali. kalian berhasil nanti, jangan lupa rakyat kecil! Jangan lupakan Mengunjungi rumah‐rumah penduduk merupakan hal yang baru kami! Sesekali datanglah kembali, rumah kami selalu terbuka bagi peserta KKNM, apalagi bagi mahasiswa yang tidak bisa untuk kalian kapan pun,” kata Wahyudin dengan mata berkaca‐ berbahasa Sunda. kaca saat menyampaikan salam perpisahan. Banyak peserta KKNM bingung akan hal apa yang harus Masa KKNM pun berakhir, dan peserta kembali ke dikerjakan berikutnya, karena program yang disampaikan dosen kehidupan yang biasa dijalani. Namun pengalaman dan pelajaran pembimbing lapangan (DPL) kurang jelas. KKNM kali ini berharga selama di desa menjadi bekal dan penyemangat untuk berintegrasi dengan program dosen, namun mahasiswa kurang terus berjuang dan mengabdi bagi masyarakat.*** diberitahu dengan jelas oleh DPL tentang program yang Arie Christie Sembiring M. dikerjakannya. Fitry Filianty, DPL Desa Cibodas mengharapkan kreativitas mahasiswa yang dia bimbing untuk memberi masukan dan
WARTA LPPM Halaman 11
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
KISAH PESERTA KKN (3):
Sangat Senang Bisa Mengenal Dirimu “Di sini kalau mau jadi wiraswastawan, susah sekali. Tiap Rombongan mahasiwa Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa kali ada mahasiswa KKN yang mengajari untuk membuat produk (KKNM) Unpad 2009 yang menuju Sukabumi sepertinya tertentu, kebanyakan warga membuatnya. Itu yang bikin terbanyak. Mereka diberangkatkan pada gelombang kedua pada dagangan mereka nggak laku karena semuanya jualan. Siapa 15 Juli 2009. Bis pun berjajar mengelilingi Gedung PTBS Unpad, yang mau beli?” kata Pak Jani, Kepala Dusun Cijorong. Jatinangor, sejak pukul 06.00. Pihak Unpad sudah cukup Hal itu dibenarkan oleh Rahmat, lelaki setengah baya yang kooperatif dalam mengatur pemberangakatan para mahasiswa, sudah 25 tahun menjabat sebagai Sekretaris Desa Bojongsari. sehingga semua mendapatkan tempat duduk di bis, dan tiba di Selama ini warga sudah bosan Sukabumi dengan selamat. dengan penyuluhan‐ Sebuah kecamatan di penyuluhan dan pelatihan‐ Kabupaten Sukabumi, yakni pelatihan. Pada akhirnya, Jampang Kulon adalah salah satu mereka akan menemui kecamatan yang “menampung” kegagalan. mahasiswa KKNM dalam jumlah “Mereka sih asal bisa banyak. Sedikitnya 300 makan sehari ‘aja udah cukup,” mahasiswa menempati wilayah tandasnya. Jampang Kulon yang disebar ke Perekonomian desa itu dalam 10 desa. Bis‐bis yang yang tidak kunjung mengalami mengangkut mahasiswa tersebut peningkatan disebabkan juga tiba di Jampang Kulon sekitar karena hadirnya tengkulak di pukul 16.00. Hampir semua desa mereka. Hasil‐hasil bumi datang serempak. Camat Bojongsari dari para produsen Jampang Kulon menyambut kedatangan mahasiswa dengan didistribusikan ke Sukabumi pidato singkatnya. dan kota‐kota lainnya melalui Pelepasan KKNM Integratif di jatinangor pada bulan oktober – desember lalu Sebanyak 28 peserta KKNM (sumber photo: www.unpad.ac.id) tengkulak. Unpad mendapat jatah tinggal di Minah, pembuat gula sana. Mereka tinggal di rumah merah, dalam sehari sewaan yang letaknya persis di depan Balai Desa. Perasaan takut berpenghaslian tidak sampai Rp. 10.000,00. Dia menyerahkan tidak diterima oleh masyarakat merasuki batin mereka. Namun semua gula merah yang diproduksinya kepada tengkulak. Justru prasangka itu tereduksi ketika Kepala Desa Bojongsari Budi tengkulaklah yang meraup untung dari pendistribusian itu. Pirmansyah menyambut mereka keesokan harinya. “Saya mah ‘nggak ‘ngerti cara menjualnya ke kota, “Selamat datang saya ucapkan kepada adik‐adik KKN. angkutan juga ‘nggak ada. Saya serahkan saja sama tengkulak,” Saya harap kalian tidak perlu takut atau sungkan tidak akan kata Minah. diterima di desa ini, sebab masyarakat di sini tidak pernah Anggha Nugraha, peserta KKNM Unpad dari Fakultas menuntut yang macam‐macam dari peserta KKN. Tak usah Ekonomi, berpendapat, tidak berkembangnya home production di membuat program yang muluk‐muluk, yang penting kalian bisa desa itu karena warga belum mendapatkan pengetahuan tentang berbaur dengan kami,” ujar Budi. cara mengelola uang pribadi dan uang hasil usaha. Pergerakan Wilayah Bojongsari cukup luas, 806,755 hektar. Tanah uang di desa itu tidak stabil dan tidak lancar. seluas itu sebagian besar dipergunakan untuk bercocok tanam. “Selain tidak tahu tentang manajemen keuangan usaha, Hasilnya berupa kelapa, pisang, beras, dan singkong. Namun mereka juga tidak tahu cara mempromosikan dagangan mereka sayang, ketika musim kemarau tiba, tidak ada yang dihasilkan dengan benar,” kata Anggha. kebun‐kebun warga karena mereka tidak memiliki saluran Selain permasalahan ekonomi, permasalahan yang irigasi. menonjol lainnya di desa itu adalah tidak kompaknya perangkat “Jadi, kalau musim kemarau ‘gini, ya, nggak bisa dapat uang pemerintahan desa dengan masyarakat. Pada tahun 2008 warga dari tanaman‐tanaman. Paling juga saya jualan gorengan,” kata masyarakat desa itu pernah berdemonstrasi, menuntut Kepala Saipul, salah satu petani di sana. Desa mundur dari jabatannya. Umumnya warga desa itu dari kalangan bawah. Tak jarang Menurut Asep, Ketua Barudak Leuwinanggung Community, mereka berada dalam kondisi sangat miskin. Banyak kepala masyarakat desa itu menganggap perangkat desa tidak keluarga yang hanya menghasilkan Rp. 10.000,00 per minggu. transparan dalam hal keuangan dan berkegiatan. Tak jarang Mereka makan sehari‐hari hanya dengan mengandalkan hasil informasi dari Balai Desa tidak sampai ke warga yang berada di tani dan sayur‐sayuran dari kebun mereka. Terkadang beras dusun terjauh, yakni Nyalindung. Misalkan saja, informasi yang sudah dipanen tidak dijual ke pasar, tetapi ditimbun untuk tentang kedatangan beras miskin (raskin) terlambat sampai ke memenuhi kebutuhan pangan mereka selama setengah tahun. Nyalindung. Akibatnya warga dari Nyalindung sering kehabisan Perekonomian di desa ini tampaknya tidak berprospek. jatah membeli raskin. Warga yang berkecukupan secara ekonomi berasal dari kalangan “Seringnya, ya, antara pemerintah desa dengan warga teh, pegawai negeri sipil, termasuk para guru. Itu pun hanya sekitar nggak punya kegiatan bersama. Contohnya ‘aja, kalau tujuh 20% dari total penduduk di Bojongsari. Sulit sekali ditemukan belasan, pemuda mah bikin acara sendiri, pemerintah desa bikin wiraswastawan yang menjalankan usaha tertentu, hanya ada acara sendiri juga,” kata Asep. satu rental komputer yang dimiliki seorang guru, perajin bedog, dan perajin gula merah. Penghasilan mereka pun tidak banyak. Bersambung ke halaman 12 Barang‐barang hasil produksi rumah tangga pun tidak diproduksi.
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 12
Sangat Senang Bisa Mengenal Dirimu.. (Sambungan dari halaman 11)
Bazar SMP pada acara geger desa (sumber photo: purwaningtyas)
Melihat kerenggangan hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat, Koordinator Mahasiswa Desa Bojongsari, Rizal Budiman bersama teman yang lain berusaha membuat program yang bisa merekatkan hubungan kedua belah pihak. Salah satu program unggulan dari mahasiswa KKNM 2009 di desa itu adalah mengadakan open house balai desa yang diberi nama “Geger Desa”. Geger Desa ini, selain sebagai ajang open house balai desa, juga merupakan penggabungan beberapa program sektor‐sektor ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Dalam acara tersebut ada pentas seni yang menampilkan tarian dan nyanyian anak‐anak SD, penyuluhan dalam keempat aspek tersebut, pengadaan pasar kaget, bazaar kreativitas anak‐anak SMP, dan penampilan pencak silat dari jajaran pemerintah desa. “Alhamdullilah, acara yang baru pertama kali diselenggarakan di Bojongsari ini mendapat apresiasi yang bagus dari warga dan terhitung sukses. Tujuan utama kami adalah untuk memperdekat hubungan pemerintah desa dengan warga. Kami juga berharap acara Geger Desa ini bisa berulang pada tahun‐tahun berikutnya,” ungkap Rizal, mahasiswa Fikom. Semakin lama mahasiswa KKNM ini merasa semakin dekat dengan warga. Tak jarang dalam satu minggu mereka mendapat undangan untuk ngaliwet bersama warga, entah di rumah warga atau di sawah sekali pun. Mahasiswa pun tak sungkan untuk sekedar bertandang ke rumah warga demi mempererat tali silaturahmi. Tisya Rahayu, peserta KKNM yang fasih berbahasa Sunda ini mengakui, warga Bojongsari menerima mereka dengan tangan terbuka. Dia dan beberapa teman yang fasih berbahasa Sunda “memimpin” misi mendekatkan diri dengan warga. Berbagai cara pun ditempuh, antara lain mengajak warga membuat rujak, bercengkerama di Balai Desa, mengikuti acara pengajian, sampai membantu urusan rumah tangga. “Kita hidup di sini ‘kan istilahnya numpang, jadi kita harus baik terhadap mereka agar diterima. Syukur bahwa kita ternyata bisa diterima di desa ini,” kata Tisya. Hal yang menjadi rutinitas mahasiswa KKNM tiap sore adalah bermain bersama anak‐anak SD dan SMP di balai desa. Dhea Karlina , mahasiswa Fikom, yang sangat suka pada anak kecil menggagas hal ini. Segala permainan pun dipersiapkan,
mulai dari dakon, lompat tali, kucing‐kucingan, tebak‐tebakan, dan hingga ular tangga. Semua mahasiswa senang mendengar canda tawa anak‐anak kecil dengan bermain bersama mereka. Menjelang malam, anak‐anak kembali ke perpustakaan yang terletak di balai desa untuk sekedar mendapat bimbingan kakak‐ kakak mahasiswa dalam membuat PR. “Aku dan teman‐teman mahasiswa senang bisa bermain dan belajar bareng anak kecil. Hal itu mungkin nggak akan pernah kita rasakan di realitas kita di Bandung nanti. Mumpung masih di sini, kami ingin berbagi keceriaan dengan mereka,” ungkap Dhea dengan mata berbinar. Usaha mahasiswa KKNM itu pun diapresiasi warga dengan baik. “Sejak ada mahasiswa KKNM Unpad kali ini, balai desa jadi ramai. Anak‐anak jadi rajin belajar sambil bermain. Mereka seolah‐olah menularkan hal‐hal positif pada anak‐anak,” kata Bu Elis, salah satu aparatur desa yang mengurusi Posyandu. Kaum laki‐laki peserta KKNM rupanya memiliki cara khusus dalam melakukan pendekatan dengan warga, yakni bermain sepak bola setiap sore di lapangan Bojongsari. Ajakan itu datang setelah mereka tinggal di sana selama seminggu. Karena seringnya nongkrong di pangkalan ojek, beberapa mahasiswa laki‐laki menjadi akrab dengan pemuda desa, dan pada akhirnya diajak bermain bola. “Kita senang sekali bisa bermain bola dengan warga, baik pemuda maupun bapak‐bapak. Nggak apa‐apalah meski harus setiap hari capek,” kata Giano, peserta KKNM. Hal senada diungkapkan pula oleh Asep. Ia mengakui mahasiswa KKNM Unpad kali ini lebih bisa bergaul dengan warga desa itu. “Ya, mahasiswa KKN tahun lalu mah nggak ada apa‐ apanya dibandingkan sekarang. Mereka bisa memosisikan diri sebagai warga. Para pemuda di sini pun tak canggung untuk bercanda dengan mahasiswa soalnya mereka asyik‐asyik.” Mendekati akhir KKNM di Bojongsari, mereka pun membuat sebuah acara perpisahan, yaitu acara nonton bareng film Laskar Pelangi. Acara ini dipenuhi oleh warga, dan tentu saja mayoritas anak‐anak yang selama ini menjalani kebersamaan dengan kakak‐kakak mahasiswa. Acara yang diselenggarakan di balai desa malam itu (15‐8‐ 2009) dipenuhi haru dan tangis perpisahan. Penayangan slide show yang berisi foto‐foto kebersamaan mahasiswa dan warga pun menambah suasana menjadi sedih. Kepala Desa dan beberapa aparatur desa menangis diam‐diam di sudut balai desa sebelum para mahasiswa menyalami mereka dan warga lainnya. “Suatu saat aku ingin bisa menjadi seperti kakak‐kakak mahasiswa, bisa kuliah, dan mencapai cita‐citaku. Aku menempelkan kertas bertuliskan cita‐citaku di langit‐langit kamarku, sesuai dengan ajaran Kak Dhea. Suatu saat aku pasti bisa menjadi seperti mereka,” kata Andre, siswa SMPN 4 Jampang Kulon, yang begitu terkesan dengan kedatangan mahasiswa KKNM Unpad. Seny Perwitasari, peserta dari FISIP, juga sama terkesannya dengan Andre dalam menjalani KKNM saat itu. “KKN itu bikin kita tahu dari yang kita nggak tahu, dari yang nggak punya jadi punya, seperti keluarga baru yang merupakan teman‐teman KKN kita sendiri. Kita bisa belajar untuk memahami sifat orang. Ini merupakan pengalaman berharga dan hanya didapat sekali seumur hidup.” Alunan lagu Sahabat Kecil milik Ipang dinyanyikan oleh mahasiswa KKN seiring dengan turunnya malam yang semakin larut pada malam terakhir mereka di sana. “Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu. Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya. Janganlah berakhir…” *** Purwaningtyas Permata Sari
WARTA LPPM Halaman 13
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
SEPUTAR UNPAD DEKANDEKAN BARU :
Jalan Panjang Pemilihan Dekan Selasa, 5 Januari 2010, agaknya menjadi salah satu hari penting dalam hidup Dadang Suganda. Pada hari itu ia kembali dilantik menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Fasa Unpad). Ia memangku jabatan Dekan untuk periode 2010‐2014. Terpilihnya Dadang tersebut merupakan hasil rapat Senat Fasa Unpad pada September lalu. Ada hal yang tidak biasa dari hasil rapat tersebut. Salah satu anggota Senat yang ikut rapat waktu itu, Reiza Dienaputra, mengungkapkan, pada saat pemilihan baru akan dimulai, anggota senat langsung berketetapan untuk melakukan pemilihan secara aklamasi yakni kembali menunjuk Dadang. Padahal dalam pemilihan periode sebelumnya, pemilihan dilangsungkan melalui pemungutan suara (voting). “Bisa jadi karena mereka melihat secara kasat mata bahwa Pak Dadang dianggap bisa mengemban amanat dengan baik pada periode pertama. Maka diharapkan agar program yang sudah berjalan bisa dilanjutkan dan lebih dioptimalkan,” kata Pembantu Dekan I Fasa Unpad ini. Kemajuan yang telah dicapai Dadang di periode sebelumnya antara lain menyangkut hal akademik dan nonakademik. Dalam hal akademik, kata Reiza, telah dilakukan penataan‐penataan, sehingga sekarang proses belajar‐mengajar lebih tertib, terkendali, dan disiplin. Dalam hal meningkatkan minat dosen di bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, telah dimulai program pengucuran dana hibah penelitian dan percetakan buku. Berbagai seminar bagi dosen pun rutin diadakan tiap bulan di tiap jurusan/program studi. Pada tahun 2009 saja terhitung sebanyak 90 kegiatan seminar dan diskusi ilmiah diadakan oleh Fasa. Kemajuan dalam hal nonakademik diupayakan melalui kebijakan meningkatkan honorarium Kepala Program Studi dan tunjangan bagi para karyawan. Terlepas dari kemajuan tersebut, pengangkatan kembali Dadang sebagai Dekan Fasa Unpad rupanya tidak berlangsung instan. Meski sebagian besar anggota senat, terutama para guru besar, langsung menyarankan sistem aklamasi tadi, namun pada perkembangannya ada pula dosen yang mengajukan suara lain. Rapat kedua untuk membahas masalah serupa pun harus digelar. Ternyata hasilnya tetap sama, mengajukan Dadang sebagai Dekan periode selanjutnya. Karena masih ada keraguan sebagian dosen, Senat fakultas lantas mengambil kebijakan untuk
mempersilakan para pemimpin program studi mengadakan rapat di kalangan dosen. Hasilnya, semua program studi setuju dengan pencalonan Dadang. Senat fakultas akhirnya mengajukan surat pengangkatan Dadang kepada Rektor Unpad. Langkah yang dilakukan Fasa tersebut rupanya sesuai dengan SK Rektor terbaru tentang pemilihan Dekan. Pemilihan Dekan harus melalui kesepakatan forum program studi, baru kemudian diajukan ke Senat fakultas. Bagaimanapun Fasa telah memilih Dekan barunya. Hal serupa juga dilakukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Fakultas Pertanian (Faperta), dan Fakultas Peternakan (Fapet). Kelima Dekan periode baru (2010‐2014) ini adalah Asep Kartiwa (FISIP), Eky Soeria Soemantri (FKG), Benny Joy (Faperta), dan Iwan Setiawan (Fapet). Mereka dilantik pada 5 Januari 2010. Beberapa waktu lalu Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, juga melantik sejumlah Dekan baru secara terpisah. Juli lalu Mamat Lukman dilantik sebagai Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) periode 2009‐2013. Pelantikan tersebut merupakan kelanjutan dari pemilihan dekan yang dilakukan pada April dan Mei 2009 oleh semua unsur warga akademik FIK. “Kalau menurut SK Rektor, mekanisme pemilihan hanya dilakukan melalui Senat fakultas. Tapi waktu itu ditempuh tiga tahapan. Pertama, melibatkan unsur dosen, tenaga administrasi, dan perwakilan mahasiswa. Kedua, pemilihan diulang lagi, melibatkan dosen dan tenaga administrasi. Ketiga, baru melalui senat fakultas. Dekan diputuskan berdasarkan urutan suara terbanyak. Dari ketiga calon, Pak Mamat yang terpilih,” ungkap Ahmad Yamin, Pembantu Dekan II FIK kepada Warta LPPM baru‐ baru ini di ruang kerjanya.. Pada awal Oktober 2009 Ida Nurlinda dilantik menjadi Dekan Fakultas Hukum (FH) periode 2009‐2013 menggantikan Ahmad M. Ramli. Pelantikan Dekan baru kembali diadakan pada pertengahan bulan yang sama. Mimin Muhaemin dilantik sebagai Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian (FTIP) periode 2009‐2013 menggantikan Nurpilihan Bafdal. Pelantikan Dekan‐dekan baru pada Januari 2010 terasa berbeda karena dilaksanakan berbarengan dengan peresmian sport center (GOR) Unpad Jatinangor. Juga diselenggarakan pertandingan‐pertandingan olahraga dan acara hiburan di Gedung Biru, Jatinangor. *** Vanya Chairunisa (
[email protected])
WARTA LPPM Halaman 14
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA PENELITIAN
PENERIMAAN PROPOSAL PENELITIAN UNTUK TAHUN ANGGARAN 2010 1.
PENELITIAN PENELITI MUDA (LITMUD) tahun anggaran 2010 lokasi Penelitian Jabar Selatan yaitu : Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi; penerimaan proposal tanggal 30 Januari 2010 2. PENELITIAN ANDALAN UNPAD TAHUN ANGGARAN 2010 dan PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2010 tema penelitian yang diusung adalah “Pengembangan Pangan dan Energi yang berkelanjutan”. Tema utama tersebut dapat dikaji melalui berbagai bidang penelitian, antara lain : a. Hukum dan Kebijakan Publik; b. Pertahanan Keamanan; c. Dinamika Sosial, Seni dan Budaya; d. Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; e. Pangan dan Gizi Masyarakat; f. Kesehatan, Bioteknologi dan Obat‐obatan; g. Ekonomi dan Sumber Daya Manusia; h. Teknologi Informatika dan Komunikasi; i. Usaha kecil dan Menengah serta Kelembagaan Pedesaan. proposal diterimal paling lambat Tanggal 18 Januari 2010 3. PENELITIAN DP2M DIKTI tahun anggaran 2011: Fundamental, Penelitian Hibah Bersaing, Penelitian Hibah Pascasarjana, Penelitian, Penelitia Kompetensi (Hikom), Hibah Pekerti, dan Penelitian RAPID (Pedoman di website: www.dp2m.dikti.net). Proposal diterima paling lambat tanggal 26 Maret 2010
Keterangan lengkap dapat menghubungi: Sub Bagian Program LPPM Unpad Jalan Cisangkuy No. 62 Bandung Telp. (022) 7208013 Fax (022) 7279435
WARTA BUKU
Resensi Buku: Judul
Penulis Penerbit ISBN
: “HUKUM TAK PERNAH TIDUR: Pergulatan Antara Manusia dan Hukum dalam Jagat Raya yang Penuh Keteraturan” : Yesmil Anwar dan Adang : Penerbit AIPI BandungPuslit KPK LPPM Unpad, 2010 : 9789792474725
Buku yang ditulis Yesmil Anwar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran bersama‐sama dengan Adang, Asisten Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan ini, berupaya mengupas isu‐isu dan gejala hukum dari sisi filsafat, paradigma, teori, dan praktik hukum. Bahkan dari sisi paradigma dan teori, kedua penulis terkesan “memberontak” dan “menggugat” tradisi kajian hukum yang selama ini berjalan secara turun temurun yang cenderung bersandar kepada filsafat dan teori‐teori hukum yang normatif. Sebagai alternatif, kedua
penulis menawarkan kajian hukum dari paradigma dan teori yang lebih empiric positivistic, bahkan lebih lanjut ditawarkan paradigma postpositivistic dan postmodern di dalam memahami gejala hukum yang hadir secara mutakhir, termasuk di dalamnya teori kritis dan feminism di dalam memahami peristiwa‐peristiwa hukum tersebut. Apa yang ditawarkan kedua penulis, sebenarnya merupakan bentuk inovasi di dalam memperbarui ilmu, yang menurut Thomas Kuhn, suatu ilmu tidaklah statis namun bersifat dinamis, berkembang dari satu paradigma ke paradigma lainnya yang di dalam pergeseran padigma tersebut harus melalui tahap anomali, untuk kemudian mencapai kestabilan ilmu (normal science). Menurut kedua penulis, hukum tak pernah tidur, adalah hukum yang hidup dalam pemikiran, hukum yang selalu memperbarui jati dirinya dalam membentuk alur pemikiran yang menolak paham lama (Kelsenian, paradigma Hans Kelsen‐pen.). Setelah Hans Kelsen sukses dengan Teori Hukum Murni (the pure theory of Law, 1978), para pemikir hukum mulai mempertanyakan realitasnya. Sejak itulah, mulai dirintis paradigma baru yakni paradigm postpositivistis dan postmodern di dalam memahami peristiwa hukum dan gejalan hukum. Pertanyaannya, adakah teori hukum postmodern itu kini? (Peresensi: Dede Mariana)
WARTA LPPM Halaman 15
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
Bukubuku Baru: Judul Buku: Sosiologi Komunikasi Penulis: Prof. Dr. Hj. Nina W. Syam, M.S. Penerbit: Humaniora, Bandung Cetakan: Pertama, Juni 2009 Tebal: xvi + 269 halaman Judul Buku: Ilmu Komunikasi, Perspektif, Proses, dan Konteks Penulis: Dra. Lukiati Komala, M. Si. Penerbit: Widya Padjadjaran, Bandung Cetakan: Pertama, Oktober 2009 Tebal: xiv + 240 halaman
Judul Buku: Public Relations, Pendekatan Praktis Menjadi Komunikator, Orator, Presenter dan Juru Kampanye Handal Penulis: Drs. Elvinaro Ardianto, Msi. Penerbit: Widya Padjadjaran, Bandung Cetakan: Pertama, Februari 2009 Tebal: viii + 280 halaman **(S. Sahala Tua Saragih)
PROFIL
Prof. Dr. Dede Mariana:
Prinsip Pok Pek Prak Pada suatu pagi tahun 1988, Dede Mariana menerima sepucuk surat pemberitahuan, dia diterima sebagai asisten ahli madya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP Unpad). Pada hari yang sama pula Dede menerima surat pemberitahuan, dia diterima bekerja di Lembaga Administrasi Negara (LAN). Dia dihadapkan kepada dua pilihan, bekerja di institusi pemerintahan Orde Baru yang terlalu “serius” dan “ketat” atau menjadi dosen yang relatif punya kemerdekaan akademik. Kata hati akhirnya mengarahkan laki‐laki kelahiran 13 Maret 1963 ini untuk memilih menjadi dosen di almamaternya sendiri. “Orangtua saya guru SD. Kalau sekarang saya menjadi guru, mungkin ada faktor genetis juga,” katanya dengan nada bercanda. Sambil meniti karir, ia terus meningkatkan kompetensi diri. Berbagai pelatihan singkat senantiasa ia ikuti. Salah satunya, pelatihan Metodologi Penelitian Sosial di Pusat Antar Universitas‐Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, pada awal 1990‐ an. Pengabdian selama lebih dari 20 tahun itu pun akhirnya berbuah sukses. Jenjang karir di bidang akademik berhasil ia tempuh hingga tingkat atas. Pada 9 Desember 2009 dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan ini dilantik menjadi guru besar FISIP Unpad. Meski demikian, ia masih terus belajar dan mengembangkan diri. Ia pun mengupayakan pengembangan kompetensi kolega (dosen) di jurusannya dengan mendirikan jurnal PublicSphere. Jurnal ini hadir untuk mewadahi tulisan para dosen. “Membangun iklim akademik itu saya kira tidak hanya cukup didiskusikan, tapi juga harus dipraktikkan secara langsung, baik dalam bentuk pengelolaan aktivitas riset maupun pengelolaan jurnal,” jelasnya.
Selain mengelola media internal tersebut, ia juga mengelola jurnal Governance di Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan, LPPM Unpad. Lembaga yang turut ia rintis ini menjalankan riset‐riset pemerintahan, demokrasi, dan pelayanan publik. Semangat Dede untuk mengembangkan riset dan jurnal didasari prinsip researchteaching. Hasil riset dapat ditulis sebagai bahan mengajar. Ia sendiri giat melakukan penelitian dan menulis, baik itu di jurnal ilmiah, media massa, maupun menulis buku. Salah satu bukunya, yang ditulis bersama Caroline Paskarina, berjudul, Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Dunia politik pemerintahan memang telah lama menarik minat laki‐laki yang pernah melakoni tiga studi dalam waktu yang bersamaan (Akademi Ilmu Kehutanan ‐ kini Universitas Winaya Mukti, Akademi Komunikasi Massa, dan FISIP Unpad). Politik penting baginya karena menyangkut kehidupan publik, sehingga jika kita coba perbaiki, yang akan dapat menikmati itu orang banyak. Apalagi jika menyangkut isu kebijakan publik. Saat ini orang justru skeptis terhadap praktik politik karena dianggap mengabaikan etika. Hal ini memunculkan anggapan seolah‐olah politik itu sesuatu yang buruk dan merugikan orang lain. Padahal, mengutip pernyataan Aristoteles, politik itu tidak lain adalah bagaimana manusia mampu mengatur kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik hanya akan mungkin hadir jika memiliki aturan main yang disepakati (kebijakan publik). Oleh sebab itu, aturan main hendaknya dirancang sebaik mungkin. Jika dirasa masih kurang, harus diadakan perbaikan‐ perbaikan. Di Indonesia sendiri ada persoalan dengan sistem pengelolaan anggaran dan pembangunan yang berujung pada praktik korupsi. Selama ini sistem yang dijalankan menggunakan pendekatan proyek. Sepanjang pengelolaan pembangunan itu masih menggunakan pendekatan proyek, maka korupsi akan inheren menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Bersambung ke halaman 16
Vol. 1, Ed. 5, No. 5, OKTOBER –DESEMBER 2009
WARTA LPPM Halaman 16
Prinsip Pok Pek Prak… (Sambungan dari halaman 15) Simpulan ini ditariknya ketika menyusun disertasinya tentang budaya organisasi dan perilaku pejabat publik beberapa tahun lalu. Penelitian ini menyangkut sosiologi korupsi dengan korupsi di sektor negara. Dalam praktiknya, perilaku koruptif bukan budaya tapi kebiasaan. Sistem pengelolaan anggaran tadilah yang mendukung kebiasaan korupsi. “Bagaimana Anda harus mempertanggungjawabkan kegiatan terlebih dahulu padahal uang belum diterima? Anda tidak mungkin menalanginya. Jadi, sistem yang diciptakan menyuruh Anda berbohong,” katanya. Dengan begitu, pemberantasan korupsi sebaiknya bukan hanya dilakukan di hilir atau sebatas penindakan dan penegakan hukum, seperti yang selama ini terjadi. Pemberantasan korupsi juga dapat dimulai dari hulu yakni merancang sistem yang baik. Salah satunya, bila sesuatu sudah dikerjakan masyarakat secara rutin, ada baiknya anggaran negara itu diberikan saja kepada masyarakat tanpa harus banyak “aturan”. Sebagian besar dari kita mungkin bertanya‐tanya, mengapa tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi? Menurut laki‐laki yang gaya bicaranya kental dengan logat Sunda ini, dalam batasan tertentu korupsi juga merupakan cerminan kegagalan pendidikan. “Orang pintarnya makin banyak, tapi korupsinya juga tetap banyak. Artinya, yang terjadi itu bukan pendidikan, hanya transfer knowledge,” ujarnya. Hal ini harus diwaspadai oleh para pendidik, baik dari tingkat dasar maupun tingkat tinggi. Ia melihat masalah utama dalam pendidikan di Indonesia adalah jumlah peserta didik yang bersifat massal. Padahal untuk mendidik itu butuh hubungan personal atau paling banyak dengan lima orang. Dede menyarankan, agar tiap dosen dan institusi pendidikan menciptakan strategi khusus terutama strategi kelas. Setelah itu perlu pula pembagian kelompok belajar mahasiswa. Mahasiswa dituntut aktif dalam kerja kelompok. Kelompok ini sekaligus menjadi ajang latihan berkehidupan di masyarakat yakni agar jadi warga negara yang aktif, misalnya aktif bayar pajak serta tahu hak dan kewajiban. Tapi sebagaimana sering kita jumpai, masih ada mahasiswa yang pasif dan sekadar “numpang nama” dalam tugas. Padahal menumpang nama itu sendiri sebenarnya merupakan bibit‐bibit korupsi. Seharusnya mahasiswa bersangkutan merasa malu. Dunia politik pemerintahan selalu menimbulkan kesan serius bagi sebagian masyarakat. Namun belum tentu orang‐ orang yang berkecimpung di dalamnya berpembawaan selalu serius. Apa komentar rekannya, Caroline Paskarina, tentang Dede? “Dede merupakan sosok yang humoris dan cenderung tampil dan berbicarta apa adanya,” ujarnya singkat.
WARTA LPPM Alamat Redaksi : Jl. Cisangkuy No. 62 Bandung 40115 Telp/Fax. (022) 7279435/7208013 Email:
[email protected] URL : http://www.lppm.unpad.ac.id
Dede membiarkan hidupnya mengalir begitu saja. Namun ia tetap berpegangan teguh pada sebuah pedoman hidup. Dirinya berusaha untuk senantiasa mewujudkan gagasan, dan tidak cepat bosan. Dalam bahasa Sunda prinsip itu berbunyi “pok pek prak”. “Kita jangan omdo, omong doang. Kalau kita mengungkapkan suatu ide, didiskusikan, kemudian mulai melangkah mengerjakan, pok pek. Kemudian prak itu berarti harus dijalankan dengan sungguh‐ sungguh,” ungkapnya. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kita niscaya akan dimakan waktu. Padahal waktu tidak bisa diperbarui. Hidup berjalan terus dan boleh jadi berputar seperti roda. Kadang‐kadang kita di atas, di bawah, atau di samping. Apakah akan selamanya kita berada di atas? Tentu tidak. Mumpung sedang di atas, berikanlah yang terbaik. Di tengah kesibukannya, Dede masih sempat melakukan hobinya antara lain hiking, camping, dan berjalan kaki. Ia menikmati berjalan kaki pada Minggu pagi bersama isterinya yang juga dosen, di Universitas Sangga Buana Bandung. Kadang‐ kadang ia pergi sendiri menyusuri jalan‐jalan tertentu kota Bandung yang relatif sepi pada Minggu pagi. Dede terkesan sangat menikmati hidup, termasuk menikmati saat‐saat dirinya sedang berbicara sampai kadang‐ kadang lupa waktu. Paling tidak itu menurut pandangan Caroline. Tapi, boleh jadi itu disebabkan kecerdasan dan kekritisan Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan, LPPM Unpad ini. Ada satu pemikiran Dede terhadap Unpad yang sedang meniti langkah menuju world class university. Menurutnya, untuk menggapai tujuan tersebut, good university governance (tata kelola yang baik dalam pengelolaan universitas) merupakan syarat mutlak yang harus diterapkan. Selain itu, perlu dikembangkan pula budaya organisasi secara menyeluruh. Mengenai iklim akademik di Unpad, lulusan program S3 Ilmu‐ilmu Sosial Unpad ini mengatakan, saat ini masih relatif rendah dan tidak kondusif. Semua warga akademik Unpad seharusnya menghidupkan dan menjadikannya sebagai spirit bersama, meski tanggungjawab terbesarnya tetap ada pada otoritas kampus. Melihat sejumlah keberhasilan yang ia raih, mungkin kita bertanya, apa obsesinya yang belum dicapainya hingga kini? Dia sempat tertegun mendengar pertanyaan ini. Akhirnya Dede menjawab mantap, “Menulis novel sosial berdasarkan riset ilmiah.” Cepat atau lambat, obsesinya ‘kan terwujud. Semoga! *** Vanya Chairunisa (
[email protected]
PEMBINA: Rektor Unpad‐Ganjar Kurnia; NARASUMBER: Dekan di lingkungan Unpad; PENANGGUNG JAWAB: Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unpad‐Oekan S. Abdoellah; PEMIMPIN UMUM: Sekretaris Bidang Penelitian LPPM Unpad‐ Chay Asdak; Sekretaris Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM Unpad‐Sondi Kuswaryan; PEMIMPIN REDAKSI: S. Sahala Tua Saragih; DEWAN REDAKSI: Dede Mariana; Redaktur Pelaksana: Yesi Yulianti dan Nunik Maharani Hartoyo; Anggota Staf Redaksi: Arie Christy Sembiring Meliala; Purwaningtyas Permata Sari; Yuliasri Perdani; dan Vanya Chairunisa; KOORDINATOR SIRKULASI: Endang Supriatna; Suhendar; ANGGOTA SIRKULASI/TEKNIS: Usep Sahrudin; Mochamad Darryana; Cucu Cuminawati; Arief Irmansyah, dan Ade Chaidir; REDAKTUR ARTISTIK: Deni Rustiandi