J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
POLA UNJUK RASA DI DAERAH PERKOTAAN: Studi tentang Unjuk Rasa Buruh, Sopir, Mahasiswa dan Warga Kampung di Surabaya Gitadi Tegas Supramudyo
ABSTRACT
This research is conducted to describe the demonstration patterns of university students, laborers/workers, drivers and villagers in urban areas. The research location is the city of Surabaya. The data are collected from newspapers published in Surabaya, as well as institutions where demonstrations are most likely carried out. This research shows that the issues the demonstrators protest against are those fit into their interests and characters. Demonstrators would choose places where they do their regular activities, relevant institutions, or the parliament buildings. The demonstration style chosen is public oration, displaying posters protesting against the issues. The demonstrators are organizations or associations that are capable to motivate big masses. The demonstrators are those of experienced ones, thus they do not mind to conduct physical sacrifice. In the future, the demonstrators more likely will voice their expectancy of clean government, realization of political and economical changes in more democratic form. Regulatory on demonstrations immediately is needed to prevent against anarchy without restricting spaces to demonstrate, and silencing the aspiration of the people. Key words: demonstration patterns, university students, laborers/workers, drivers, villagers
*
10
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Sumberdana: DIP Unair 1999/2000 ISSN 1411-6383
Pola Unjuk Rasa
Gitadi Tegas Supramudyo
PENDAHULUAN Unjuk rasa atau demokrasi dipandang sebagai bentuk tingkah laku agresif, khususnya tingkah laku agresif massa yang timbul sebagai akibat adanya frustasi di masyarakat yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian negatif antara harapan yang wajar dengan kenyataan yang didapatkan (Relative Deprivation). Selain itu, unjuk rasa dipandang sebagai tindakan kolektif, dimana didalamnya terdapat beberapa kelompok manusia yang sangat potensial dan mudah diajak untuk melakukan unjuk rasa, diantaranya : orang miskin (terutama orang miskin baru), orang yang sedang mengalami frustasi, orang yang tidak puas, orang yang tersingkir, kelompok usia muda, juga kelompok marginal di tengah masyarakat (Hoffer, 1993:26). Aksi unjuk rasa merupakan bentuk luapan protes akibat dari masalah sosial, ekonomi dan politik yang tengah berlangsung, dan tempat yang dianggap paling kondusif terhadap lahirnya masalah-masalah tersebut adalah daerah perkotaan. Kesenjangan sosial, ekonomi dan politik jauh lebih menonjol di daerah perkotaan daripada pedesaan, karena kota sebagai pusat dari segala aktifitas, mulai ekonomi, perdagangan, industri, keuangan, jasa, politik dan pemerintahan, pendidikan, rekreasi, sampai pada pusat informasi serta budaya. Penghuni kota tentu mempunyai mobilitas yang tinggi, penuh dinamika dan pada akhirnya lebih responsif terhadap segala permasalahan yang timbul serta dirasakan mengganggu. Seperti unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh/karyawan, sopir dan warga kampung. Unjuk rasa mahasiswa ditengarai muncul karena terdapat ‘kegusaran’. Kegusaran mahasiswa karena melihat realitas yang begitu ambigu, misalnya; ketidakadilan sosial, ketidakpuasan terhadap kebijakan yang diambil penguasa dan pemerintah, politik yang telah menjadi kurang bahkan tidak demokratis dan lain-lain merupakan sejumlah akar persoalan yang kerap diperjuangankan. Unjuk rasa yang dilakukan buruh/karyawan lebih disebabkan karena tidak terdapatnya keseimbangan antara harapan dan kenyataan yang terkombinasi dalam suatu kondisi, dimana keadaan tersebut bisa diformulasikan sebagai bentuk kepuasan kerja rendah. Sopir tak akan segan-segan melakukan unjuk rasa yang dapat menjurus pada konflik bila terdapat kondisi yang mengganggu mereka untuk mendapatkan penumpang atau untuk mempertahankan jumlah perolehan penumpang. Contoh konkritnya, mereka lebih menyoroti pada upaya penanganan angkutan umum oleh pemerintah yang dianggap kurang serius, sehingga merugikan mereka misalnya persoalan pemberian ijin trayek baru. Warga kampung, terutama yang termasuk kelompok marginal kota, dengan permasalahan seputar memerangi suasana ketidakadilan/ketimpangan pendistribusian alokasi sumber-sumber. Demikian ditekankan kembali, menurut Jay Forester, perkembangan kota manapun di dunia ini pada titik tertentu pasti akan mencapai klimaksnya, lambat laun kota akan semakin merosot, rusak dan
ISSN 1411-6383
11
J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
kacau. Kota yang semakin metropolis pada batas tertentu justru akan mengalami stagnasi dimana berbagai permasalahan yang timbul akan mengalami stagnasi dimana berbagai permasalahan yang timbul sudah berada di luar jangkauan dan kontrol pemerintah (Herlianto, 1996:103). Gejala-gejala yang akhir-akhir ini banyak terjadi, seperti pengangguran, kriminalitas dan berbagai bentuk disorganisasi kota lainnya. Bukti masih banyaknya kasus unjuk rasa tertuang secara jelas pada tabel 1. Tabel 1. Unjuk Rasa Mahasiswa, Buruh/Karyawan, Sopir dan warga No. 1 2 3 4
Jenis Mahasiswa Buruh/ Karyawan Sopir Warga Kampung Jumlah
Tahun
Jumlah
1995
1996
1997
1998
1999
19 22
13 13
16 15
170 18
96 61
314 129
8 10
6 12
5 4
3 35
4 30
26 91
59
44
40
226
191
560
Kampung di Surabaya (1995 s/d September 1999) Sumber: Surat kabar Surabaya Post, Jawa Post, Surya, SI dan Memorandum
Untuk itu, tidak keliru bila tulisan mengenai fenomena unjuk rasa ini mengambil tempat di daerah perkotaan, dengan mencoba mendeskripsikan pola penyampaian aspirasi para pengunjuk rasa, yaitu: tuntutan/isu yang diperjuangkan, sasaran tempat unjuk rasa, cara-cara yang ditempuh, jumlah massa yang dikerahkan dan kerugian harta benda serta korban fisik yang ditimbulkan. Dari pola yang diperoleh akhirnya dicoba mendeskripsikan tujuan jangka panjang perkembangan unjuk rasa pada masa yang akan datang. Hasil tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan analisis penting tentang pola unjuk rasa mahasiswa, buruh/karyawan, sopir dan warga kampung di daerah perkotaan, khususnya yang terjadi sebelum masa reformasi dan sesudahnya, disamping juga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pembuatan policy/kebijakan. METODE PENELITIAN Kota sebagai pusat aktifitas tidak hanya merupakan sumber masalah, namun mengingat fungsinya, kota yang dianggap sebagai tempat yang tepat untuk meluapkan segala tuntutan diharapkan juga sebagai tempat menyelesaikan masalah. Sehingga tak diragukan lagi, dalam segi frekuensi aksi unjuk rasa lebih banyak terjadi di perkotaan, dan kota yang dianggap tepat guna maksud 12
ISSN 1411-6383
Pola Unjuk Rasa
Gitadi Tegas Supramudyo
diatas adalah Surabaya. Surabaya sebagai kota metropolis dikenal sebagai kota yang mempunyai dinamika interaksi masyarakatnya yang tinggi, yang secara otomatis memiliki kecenderungan besar memunculkan unjuk rasa. Data tentang unjuk rasa sebagian besar diperoleh dari surat-surat kabar yang terbit di Surabaya, karena berita-berita lokal sebagian besar ter-ekspose, disamping itu data-data juga diperoleh dari lembaga-lembaga yang banyak terkait langsung dengan aksi unjuk rasa, yaitu; LBH, SPSI dan Organda Surabaya. Data yang ada, akan dianalisa secara kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Isu yang dominan disuarakan pelaku unjuk rasa sejak tahun 1995 hingga September 1999 adalah sesuai dengan karakteristik yang melingkupi kelompok itu sendiri dipadukan dengan kondisi yang berkembang saat itu dirasa perlu dirubah, mahasiswa menitikberatkan pada upaya perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik negara dengan menuntut reformasi total berjumlah 93 kasus (29,62%). Isu perbaikan kondisi kehidupan melalui perjuangan menuntut kenaikan upah oleh buruh/karyawan 23 kasus (17,83%), isu mempertahankan jumlah penumpang dengan mempermasahkan pemberian ijin trayek baru sebanyak 11 kasus (42,31%) oleh para sopir dan isu mempertahankan hak milik tanah yang diinjak-injak oleh warga kampung berjumlah 57 kasus (62,64%). Dari segi tempat sasaran, Kantor DPRD merupakan alternatif kedua yang dijadikan tempat sasaran unjuk rasa oleh para mahasiswa (15,92%) dan buruh/ karyawan (14,73%), serta merupakan tempat tujuan utama bagi warga kampung (30,77%), sementara sopir menggangap bahwa kantor DPRD merupakan tujuan yang perlu diperhitungkan namun bukan tempat bagi penyampaian aspirasi yang utama (11,54%). Selain DPRD, sasaran utama yang dijadikan tempat berunjuk rasa adalah area/wilayah dimana ia berada, karena memang area tersebut dipandang sebagai tempat yang banyak mendapat perhatian berbagai kalangan (misalnya kampus), atau tempat asal mula timbulnya konflik sekaligus tempat dimana pihak pengambil keputusan juga berada disana (misalnya pabrik/kantor). Ada pula tempat-tempat sasaran penting lain, dalam hal ini disesuaikan dengan permasalahan/isu yang diperjuangkan, dengan pemikiran bahwa tempat tersebut memang benar sesuai dan pas bagi penyampaian aspirasi bahkan penyelesaian masalah. Benang merah yang dapat ditarik adalah, jika pengunjuk rasa banyak serta sering terorientasi pada satu tempat dan di tempat itu sekaligus juga terdapat individu yang berkompetabel terhadap persoalan yang timbul/memecahkan masalah, maka aksi unjuk rasa lebih banyak dilakukan di tempat itu. Misalnya; lokasi kampus oleh mahasiswa 144 kasus (45,86%) dan pabrik oleh buruh 75 kasus (58,14%). Jika aktifitas/kegiatan pelaku unjuk rasa lebih banyak dilakukan di wilayah/area tertentu, dimana sebagian besar aktifitas mereka bersangkutpaut/bergantung dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak yang
ISSN 1411-6383
13
J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
berwenang mengenai itu (pemerintah), maka pelaku aksi akan menjadikan tempat pihak-pihak yang berwenang menelurkan kebijakan/keputusan sebagai tempat sasaran utama. Fenomena ini tampak jelas pada unjuk rasa sopir, yakni mengambil tempat di kantor Pemda dan DLLAJR masing-masing 6 kasus (23,08%), sedangkan warga kampung lebih mempercayakan semua persoalannya dibawa ke tempat wakil rakyat sebesar 28 kasus (30,77%) yang memang sinkron terhadap masalah-masalah publik. Cara-cara unjuk rasa atau yang dapat dikatakan sebagai penggunaan variasi ketika menyampaikan pendapat, cenderung dilatarbelakangi oleh upaya mencari jalan yang paling efektif agar aspirasi mereka dapat tersalurkan dengan baik, disamping pilihan untuk menghindari kejemuan dan berusaha lebih kreatif, juga pilihan tentang bentuk penyampaian yang lebih disukai/ dikehendaki. Dipandang dari frekuensi, cara yang banyak digunakan oleh seluruh pelaku aksi unjuk rasa (mahasiswa, buruh/karyawan, sopir dan warga kampung) adalah melakukan orasi dan menggelar sepanduk dengan mendatangi tempat-tempat tertentu. Mahasiswa sebesar 133 kasus (43,36%), beruh/karyawan 50 kasus (38,76%), sopir 15 kasus (57,70%) dan warga kampung 75 kasus (82,42%). Sedangkan tempat yang paling sering didatangi ialah kantor wakil rakyat/DPRD (oleh mahasiswa (48 kasus), buruh/karyawan (19 kasus) dan warga kampung (28 kasus). Berberda dengan ketiga pelaku aksi tersebut, sopir lebih memilih cara orasi dan menggelar sepanduk dengan mendatangi kantor pemda (6 kasus) dan departemen pemerintah lain (6 kasus) dari pada ke kantor wakil rakyat. Lepas dari hal di atas, diketahui terdapat tiga asosiasi yang menonjol di daerah perkotaan, yaitu asosiasi okupasi, teritorial dan profesi. Jumlah asosiasi okupasi di perkotaan nampaknya juga tak begitu banyak. Kecuali kehadiran serikat buruh, jarang ditemui adanya paguyupan seperti pedagang kaki lima, bahkan oleh sopir. Sebenarnya, ditinjau dari ciri dasar asosiasi itu sendiri, adalah secara jelas memperjuangkan jenis kepentingan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tindakan kolektif lebih mudah terbentuk. Jika tindakan kolektif lebih mudah terbentuk, maka yang terjadi, mereka lebih mungkin dapat berkumpul secara bersama-sama dalam jumlah besar ketika memperjuangkan kepentingan. Konsekuensinya, jumlah massa yang besar itu, tak jarang dapat digunakan sebagai daya penekan, misalnya dengan jalan mogok kerja atau aksi tutup mulut. Dijelaskan kembali, mahasiswa dan buruh/karyawan yang relatif memiliki organisasi atau asosiasi yang mapan, cenderung bisa mengumpulkan massa dalam jumlah yang besar. Mahasiswa pernah mengerahkan massa hingga puluhan ribu dan buruh/karyawan pernah mengerahkan massa hingga berjumlah ribuan. Sopir yang belum memiliki asosiasi yang mapan dan warga kampung yang tak suka memanfaatkan asosiasi teritorialnya saat berunjuk rasa, cenderung tidak bisa mengumpulkan massa yang relatif besar, jumlah massa yang dikerahkan paling banyak berkisar ratusan orang. Berikut tabel 2 yang menggambarkan distribusi pengerahan massa pengunjuk rasa. 14
ISSN 1411-6383
Pola Unjuk Rasa
Gitadi Tegas Supramudyo
Tabel 2. Jumlah Pelaku Unjuk Rasa di Surabaya (1995 s/d September 1999)
No
Oleh
Satuan
Belasan
Puluhan
Ratusan
Ribuan
Puluha Ribu
T.T.
Jumlah Pelaku Unjuk Rasa dalam
1 2 3 4
Mahasiswa Buruh/karyawan Sopir Warga Kampung
10 0 0 6
4 2 0 6
86 21 13 18
127 60 10 52
48 20 0 0
5 0 0 0
34 15 3 9
314 118 26 91
Jumlah
16
12
138
249
68
5
61
549
Jumlah
Sumber: Surat Kabar Surabaya Post, Jawa Pos, Surya, SI & Memo.
Beralih pada kerugian harta dan korban fisik yang ditimbulkan, mahasiswa merupakan sosok pejuang muda, dari kalangan intektual dengan idealisme tinggi dan emosi yang sulit dibendung, maka mereka lebih suka membangun front dengan aparat keamanan. Boleh jadi, karena mahasiswa dalam hal frekuensi lebih sering melakukan aksi dari pada buruh/karyawan, sopir dan warga kampung, maka kemungkinan munculnya dampak korban relatif lebih besar pula. Data tentang jumlah unjuk rasa yang mengakibatkan kerugian harta benda menyebutkan; mahasiswa sebanyak 1 kasus, buruh/karyawan 3 kasus, sopir 2 kasus dan warga kampung 2 kasus. Sedangkan korban fisik yang ditimbulkan di pihak mahasiswa sebanyak 16 kasus, buruh/karyawan 1 kasus, sopir dan warga kampung 0 kasus. Tetapi satu hal yang perlu mendapat perhatian penting bahwa timbulnya kerugian, baik harta benda maupun korban fisik adalah dampak yang selalu menyertai dalam aksi memperjuangkan tuntutan. Tentang keterlibatan mahasiswa dengan aksi unjuk rasa buruh/karyawan dan warga kampung, hal ini bisa pula dipahami. Mahasiswa yang pada dasarnya potensial untuk melakukan suatu gerakan, cenderung untuk melakukannya sebagai respon terhadap ketidakobyektifan keadaan. Keterlibatan mahasiswa yang dilakukan bersama buruh/karyawan (memperjuangkan nasib buruh/karyawan) dan warga kampung (untuk kasus tanah) menunjukkan posisi mahasiswa sangat efektif guna melakukan rekruitmen massa, karena dilatarbelakangi oleh : keadaan struktural, desakan struktural dan berhasilnya pengembangan kepercayaan umum. Dimanapun, hakekat gerakan politik mahasiswa adalah untuk menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik. Gerakan Mahasiswa tumbuh karena dorongan untuk merubah kondisi kehidupan yang ada digantikan oleh situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan. Altbach (1981), mengatakan bahwa mahasiswa di negara manapun merupakan bagian dari kelas menengah dan mereka cenderung bertindak sebagai ‘hati nurani’ rakyat.
ISSN 1411-6383
15
J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
Untuk tujuan jangka panjang dari perkembangan pelaku unjuk rasa di masa datang, secara umum diketahui, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu wahana yang dipilih untuk mengekspresikan aspirasi kepada publik, demonstrasi sebagai budaya demokrasi dunia dewasa ini, terbukti tak bisa dilarang dengan mekanisme yang bersifat konvensional, yakni hanya mengandalkan pada kekuatan militer yang represif, tetapi harus didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif, dimana semua pintu bagi masuknya semua aspirasi masyarakat terbuka lebar. Lebih ekstrim lagi, kita mungkin bisa melarang demonstrasi secara nasional dengan kekuatan militer dan kekuasaan yang kita miliki, tetapi kita tidak bisa melarang terhadap munculnya indikasi global power play – munculnya demonstrasi-opposite yang bisa muncul dimana saja di muka bumi —, seperti pada tragedi di Dresden beberapa tahun lalu yang sempat mendapat kecaman keras Presiden Soeharto (mantan). Globalisasi kini telah membangun tata nilai dunia baru, bahkan merupakan ancaman terhadap eksistensi national system secara menyeluruh. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana arah perkembangan unjuk rasa dimasa datang. Unjuk rasa adalah perjuangan pembaharuan yang lebih bersifat substansial. Sebuah bentuk reform-movement lebih mengarah kepada social changes. Tematema sentral yang diperjuangkan menjadi mudah ditebak yaitu yang bersifat umum/universal, seperti trilogi globalisme, yakni : tema tentang demokratisasi politik dan ekonomi, hak asasi dan lingkungan hidup. Demokratisasi sendiri bertujuan untuk mengikis karena disfungsi kekuasaan politik. Unjuk rasa di Indonesia sendiri sebenarnya merupakan bentuk antisipasi dinamis tampak pertama-tama di kalaangan masyarakat gross-cosmopolitan yang sebagian besar telah menikmati hasil-hasil pembangunan. Mahasiswa sebagai contoh, adalah kelompok yang paling banyak melakukan aksi unjuk rasa, hal ini wajar melihat mahasiswa itu sendiri yang dapat dikategorikan sebagai kelompok menengah ke atas. Keterbukaan informasi dan kemampuan intelektual masyarakat groos cosmopolitan telah membentuk interaksi sosial yang secara dinamis telah menggerakkan reformasi kultural di lingkungan itu, kemudian mereka membentuk baris kultural baru yang merupakan akar berbagai perilaku kosmopolit yang progresif dewasa ini. Dapat dipahami, bahwa sulit untuk membendung kecenderungan reformasi kultural yang menyimpan energi ini dengan menggunakan mekanisme kekuasaan yang konservatif, tidak akurat, sakit dan kekurangan dana. Contoh kasus tentang fenomena adalah seperti yang terjadi di pertengahan tahun 1997, dimana semua elemen masyarakat berjuang menuntut dilakukannya reformasi total. Perjuangan pelaku aksi memang akhirnya berhasil, tetapi seiring dengan itu jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi dari berbagai pihak tak bisa terhindarkan, perjuangan memang butuh pengorbanan, namun seberapa besar pengorbanan yang musti dibayar. Sesungguhnya saluran komunikasi untuk menyatakan aspirasi telah terbentuk dalam tata hukum kita. Kebebasan 16
ISSN 1411-6383
Pola Unjuk Rasa
Gitadi Tegas Supramudyo
berpendapat jelas dilindungi undang-undang. Masalahnya adalah, kebebasan tersebut tidak berarti liberal tanpa batas, sehingga penyampaiannya tidak boleh inkonstitusional. Wadah-wadah penyambung aspirasi rakyat telah ada secara formal. DPR dalam konstitusi kita merupakan wadah wakil rakyat yang selalu memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Selain itu muncul pula wadah seperti lembaga bantuan hukum (LBH), SPSI dan lain-lain yang lebih berfungsi sebagai jembatan dalam proses penyaluran aspirasi itu sendiri. Lembaga-lembaga sebenarnya saling mengisi, dilihat dari peran lembaga, LBH menekankan pada komitmen penegakan hukum dan HAM, SPSI pada upaya pemberdayaan buruh, penegakan iklim demokrasi yang bisa berkembang dalam unit perusahaan serta organda yang prefentif dengan mengadakan kerjasama antar instansi terkait. Bertitik tolak dari uraian di atas, mengutip Gabriel A.Almond (1997), mengartikan bahwa aksi-aksi unjuk rasa yang berulang kali terjadi sebagai bentuk partisipasi politik. Karena merupakan partisipasi politik, unjuk rasa tidak tepat jika diberangus. Saat ini, aksi unjuk rasa bahkan lebih terbuka untuk dilakukan setelah Indonesia memasuki orde reformasi. Partisipasi politik dalam bentuk-bentuk aksi unjuk rasa justru memberikan kontribusi bagi kepentingan bangsa, seperti gerakan mahasiswa menentang orde lama (1966), protes dibubarkannya SDSB (1993) dan tuntutan mengenai reformasi total (1998). Jika dikaji lebih lanjut aksi unjuk rasa mengarah kepada terbentuknya clean government (sebuah pemerintahan yang bersih). Aksi unjuk rasa digunakan sebagai peringatan kepada pemerintah (misalnya birokrasi) agar mengurangi sebanyak mungkin tingkah laku yang menyimpang. Jika kasus-kasus penyimpangan, misalnya penyunatan dana ITD, JPS dan lain sebagainya tetap ada, maka pengaduan masyarakat secara masal kepada DPRD, Gubernur atau pihak berwenang lain akan terus ada. SIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas simpulan yang diperoleh sebagai berikut: Isu yang sering diangkat oleh pelaku unjuk rasa adalah sesuai dengan karakteristik/ciri yang melingkupi dan berangkat dari kepentingan dasar para pelaku unjuk rasa itu sendiri. Mahasiswa dan buruh/karyawan lebih sering melakukan unjuk rasa di tempat di mana mereka banyak melakukan aktifitasnya di tempat tersebut, mahasiswa di kampus dan buruh/karyawan di pabrik/kantor. Sopir lebih mengutamakan dinas atau instansi pemerintah yang menentukan bagi lancar atau tidaknya jalur/lahan gaarap pekerjaan mereka. Sementara warga kampung lebih mempercayakan persoalannya untuk dibawa ke kantor wakil rakyat.
ISSN 1411-6383
17
J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
Tabel 3. Tuntutan/Isu Unjuk Rasa Mahasiswa Di Surabaya
1996
1997
1998
Sept. 1999
Jumlah
1 2
Reformasi total Perbaikan situasi politik
0 1
0 0
0 1
91 21
2 2
93 25
3
Pelanggaran HAM
0
2
3
1
11
17
4
Mendesak dilaksanakannya Sidang Istimewa Kecam intervensi aparat terhadap mahasiswa Usut tuntas KKN Soeharto dan kroni Cabut per-UndangUndangan Tolak campur tangan negara luar terhadap Indonesia Turunkan harga sembako
0
0
0
13
0
13
5
1
0
1
5
12
0
0
1
0
10
11
0
0
1
0
9
10
0
0
0
3
6
9
0
0
0
8
0
8
10
Tuntut mundur Presiden Soeharto
0
0
0
8
0
8
12
Lain-lain (44 jenis tuntutan lain)
13
10
10
24
51
108
Jumlah
19
13
16
170
96
314
No.
1995
Tahun
5 6 7 8
9
ISU/TUNTUTAN
Sumber: Surat kabar Surabaya Post, Jawa Pos dan Surya
1997
1998
Sept. 1999
Masalah pemberian ijin trayek baru Kenaikan setoran/batas premi Protes perlakuan aparat
1996
1 2 3
ISU/TUNTUTAN
1995
No.
Tahun
6 1 0
2 1 2
3 0 1
0 0 0
0 1 0
Jumlah
Tabel 4. Tuntutan/Isu Unjuk Rasa Buruh/Karyawan Di Surabaya
11 3 3
4
Perubahan jalur
0
0
1
1
0
2
5 6
Tuntut kejelasan uang simpanan wajib Protes perlakuan pengurus perusahaan
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
1 1
7 8
Pemotongan jalur Reformasi kepengurusan SPSI Perusahaan
0 0
0 0
0 0
1 1
0 0
1 1
9 10 11
Protes harga BBM tanpa perubahan argo Protes rusaknya rute jalan Tingginya retribusi
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1 1 1
1 1 1
8
6
5
3
4
26
Jumlah
18
ISSN 1411-6383
Pola Unjuk Rasa
Gitadi Tegas Supramudyo
Tabel 4. Tuntutan/Isu Unjuk Rasa Warga Kampung di Surabaya
7
Protes penganiayaan pembantu rumah
tangga Tujuan jangka panjang dari perkembangan unjuk turunnya rasa lebih menampakkan 8 Tutntut lurah pada upaya-upaya terwujudnya clean government melalui tindakan kontrol 9 Protes mutasi lurah sepihak pelaku unjuk rasa pada lingkungan sekitar. Unjuk rasa sebagai salah satu 10 Tuntut pembuataan saluran air kepada bentuk partisipasi politik mengarah pada development terwujudnya perubahan sosial, ekonomi dan politik yang lebih demokratis. 11 Lain-lain (11 jenis tuntutan lain) Mengingat aksi unjuk rasa yang mustahil dihilangkan atau diberangus, maka J u m lkebijakan ah hendaknya unjuk rasa ditata/dikelola dengan menelurkan guna maksud pengaturan unjuk rasa tersebut, dengan catatan, pengaturan unjuk rasa lebih berorientasi pada bagaimana meminimalkan tindakan pelaku unjuk rasa yang mengarah pada anarkisme. Pengaturan tidak disalahartikan dengan
ISSN 1411-6383
19
Sept. 1999
Karena mahasiswa dalam hal frekuensi lebih sering melakukan unjuk rasa, 5 Tuntut penurunan harga sembako maka secara otomatis kemungkinan sekaligus dampak kerugian terbesar ada 6 Tuntut keterbukaan pembangunan desa pada kelompok mahasiswa.
1998
Menuntut ditutupnya tempat judi
1997
4
1996
Mahasiswa dan buruh/karyawan yang 1notabene telah memiliki organisasi/ Kasus tanah asosiasi yang telah mapan, lebih mampu2 mengerahkan massa dalam Protes ketidaklancaran air bersihjumlah besar untuk menekan tuntutan. 3 Protes tindakan aparat
Tahun 1995
No.
Mahasiswa, buruh/karyawan, sopir dan warga kampung ditinjau dari segi frekuensi lebih memilih cara melakukan orasi dan menggelar sepanduk dengan ISU/TUNTUTAN mendatangi tempat-tempat strategis.
Jumlah
Sumber: Surat kabar Surabaya Post, Jawa Pos, SI dan Memorandum
10
7
1
23
16
57
0
3
1
0
0
4
0
0
1
1
2
4
0
0
0
1
2
3
0
0
0
2
0
2
0
0
0
2
0
2
0
0
0
1
1
2
0
0
0
1
1
2
0
0
0
2
0
2
0
0
0
0
2
2
0
2
1
2
6
11
10
12
4
35
30
91
J. Penelit. Din. Sos., Vol. 1 No. 2 Agustus 2000: 10-20
membatasi ruang gerak bagi penyampaian aspirasi, namun dari pengaturan tersebut kesemrawutan yang bakal ditimbulkan dapat terantisipasi. DAFTAR PUSTAKA Altbach, Philip G. (1988). Politik dan Mahasiswa, Perspektif dan Kecenderungan Masa Kini. Yayasan API Gramedia. Jakarta. Evers, Hans-Dieter. (1982). Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. LP3ES. Jakarta. Hagopian, Mark N. (1978). Regimes, Movement and Ideologis : A Comparative Introduction to Political Science. Longman. New York. Hauser, Philip M. (1985). Penduduk dan Masa Depan Perkotaan., Studi Kasus di Beberapa Daerah Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Herlianto. (1986). Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Alumni. Bandung. Hoffer, Eric. Terj. Masri Maris. 1992. Gerakan Massa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Mc. Auslan, Patrick. (1986). Tanah Perkotaan dan Rakyat Jelata. Gramedia. Jakarta. Nas, P.J.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga, Pengantar Sosiologi Kota. Bhataraa Karya Aksara. Jakarta. Smelser, Neil J. (1971). Theory of Collective Behaviour. The Free Press. New York.
20
ISSN 1411-6383