UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
TESIS
TESALONIKA BR BARUS 1106032251
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
TESALONIKA BR BARUS 1106032251
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2013
i
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M sebagai pembimbing dari penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran kepada penulis sehingga tesis penulis dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Terimakasih banyak Pak atas bantuannya. 2. Para dosen penguji sidang tesis yang terdiri dari Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H dan Dr. Tri Hayati, S.H.,M.H. Terimakasih untuk bimbingan dan waktunya untuk menguji tesis penulis. 3. Para dosen pengajar di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas semua ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama masa perkuliahannya di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Terimakasih juga untuk semua staf biro pendidikan, yang telah sangat banyak membantu penulis, khususnya Alm. Pak Udin. 4. Bapak Ir. Madjedi Hasan MPE, M.H., Joi Terkelin ST, dan Firmanta Sembiring ST yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan banyak masukan dalam penulisan ini. 5. Kedua orang tua penulis, Paulus Barus B.A dan Dra. Layas Ginting, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang, telah memberikan semangat dan doa yang tulus kepada penulis untuk mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Kelulusan ini saya persembahkan terutama untuk kebahagiaan keduanya. Terimakasih telah menjadi orang tua yang luar biasa bagi penulis.
i
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
6. Adik-adik penulis, Ervin Efrata Barus dan Sarah Rika Jayatri Barus, yang telah senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis. Selamat berjuang. 7. Kepada semua anggota keluarga penulis, Dr. Ir. Benar Darius Ginting MM dan Dra. Rahel Barus Apt., MM, yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan senantiasa mendoakan penulis guna melaksanakan studinya dengan baik. Kepada saudara sepupu penulis, Drg Meltharyna Ginting, Nico Surantha Ginting S.T., M.T., Shona Meilyna Ginting S.T., Lorenz Rullyna Ginting yang telah senantiasa memberikan semangat kepada penulis. 8. Teman-teman penulis semasa kuliah Maulidya Siregar, Pirhot Nababan, Ammar Gill, Mutiara Suseno dan seluruh teman-teman kelas ekonomi reguler angkatan 2011. Terimakasih telah bersama-sama melewati hari-hari perkuliahan yang menyenangkan dan tidak terlupakan. 9. Sahabat-sahabat penulis semasa kuliah di S1, Tifanny Hakim, Anggia Kandhi, Irina Anindita, Puri Yap. Terimakasih telah menjadi teman-teman yang selalu mendukung penulis.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 21 Januari 2013
Penulis
ii
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Tesalonika br Barus : Hukum (Pascasarjana Reguler) :PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
Penulisan dilatarbelakangi fakta bahwa perbankan kurang mendukung industri minyak dan gas bumi, padahal industri minyak dan gas bumi penting bagi ketahanan energi. Oleh sebab itu penulis melakukan pembahasan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi, mengingat risiko yang cukup besar yang terkandung dalam industri tersebut. Pembahasan dilakukan dengan menjelaskan prinsip kehati-hatian dan karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi. Penulis menggunakan tipologi penelitian normatif dengan metode penelitian kepustakaan dan wawancara. Pada bagian akhir, penulis menyimpulkan bahwa perbankan sebaiknya berfokus kepada kegiatan usaha hilir atau tahapan eksploitasi Kata Kunci: Bank, Minyak dan Gas Bumi, Prinsip Kehati-hatian, Risiko
i
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name Faculty Title
: Tesalonika br Barus : Law : IMPLEMENTATION OF PRUDENTIAL BANKING PRINCIPLE IN PROVIDING LOAN TOWARDS OIL AND GAS INDUSTRY
This thesis is written based on the fact that banking is less supportive to oil and gas industry, whereas oil and gas industry is important for energy resilience. Therefore, the author will discuss the implementation of prudential banking principle in providing loan towards oil and gas industry, with regard to the considerable risk of oil and gas industry while the bank is required to apply prudential banking principle. The discussion is conducted by explaining the prudential banking principle and the risk character in oil and gas industry. The author uses normative research typology with bibiliographical and interview research method. At the end of the thesis, the author concludes that bank that bank should be focus on downstream activities or exploitation phase. Keywords: Bank, Oil and Gas, Prudential banking principle, Risk
ii
Unversitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………………iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………………. vi ABSTRAK ………………………………………………………………………vii DAFTAR ISI ……………………...………………………………………..…….ix BAB I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
BAB 2
Latar Belakang……………………………………………….……1 Pokok Permasalahan………………………………………….…...7 Tujuan Penelitian…………………………………………….…....8 Teori………………………………………………………….……8 Konsep……………………………………………………………10 Metode Penelitian……………………………………………..….12 Sistematika Penulisan………………………………………...…..15 PRINSIP KREDIT
KEHATI-HATIAN
DALAM
PEMBERIAN
2.1
Prinsip Kehati-hatian………………………………………….….16 2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Prinsip Kehati-hatian……….....16 Pada bank 2.1.2 Definisi Prinsip Kehati-hatian…………………………....20 2.1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian………..21 2.1.4 Pengawasan Atas Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian…....22 2.1.5 Ruang Lingkup Prinsip Kehati-hatian………………...….25
2.2
Prinsip Pemberian Kredit…………………………………..…….32 2.2.1 Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit………..……..32 2.2.2 Dasar-dasar Pemberian Kredit…………………..……….35 Manajemen Risiko Dalam Pemberian Kredit oleh Bank……...…42 2.3.1 Manajemen Risiko Pada Bank………………………..….42 2.3.2 Risiko Kredit Sebagai Salah Satu Bentuk Risiko Pada…..45 Bank
2.3
BAB 3
KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA 3.1
Keterbatasan Modal Sebagai Salah Satu Problematika Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi……………………………………..….....42 i
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
3.2
3.3 3.4
BAB 4
Karakter Risiko yang Terdapat Dalam Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi……….……………………………………………..….56 3.2.1 Tahapan Eksplorasi………….………………………..….56 3.2.2 Tahapan Eksploitasi…………………………………..….45 Karakter Risiko yang Terdapat Dalam Industri Hilir Minyak dan Gas Bumi……………………………………………………..…..63 Ketentuan dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Indonesia…………………………………………………………67 PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
4.1
Analisis Profil Risiko yang Terdapat dalam Industri Minyak dan Gas Bumi dalam Kaitannya dengan Prinsip Kehati-hatian dan Prinsip Pemberian Kredit……………………………………..….77 4.1.1 Kegiatan Usaha Hulu………………………………….....78 4.1.2 Kegiatan Usaha Hilir……………………………..………82
4.2
Analisis Ketentuan yang terdapat dalam Industri minyak dan gas bumi dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian kredit ………………………………………………....84 Metode pembiayaan industri minyak dan gas bumi yang dapat ditempuh……………………………………………………….....94
4.3 . BAB 5
PENUTUP 5.1 5.2
Simpulan………………………………………………………..102 Saran…………………………………………………………….103
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..104
Unversitas Indonesia
ii
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Terminologi Bank berasal dari kata banca dan bence yang berarti tempat
duduk. Dikarenakan pada zaman pertengahan kegiatan pinjam-meminjam dilakukan dengan duduk-duduk di halaman.1 Bank kemudian diartikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2 Jika dilihat pada awal pembentukannya, bank digunakan untuk memberikan jasa menabung; sebagai financial intermediary yakni menyimpan dana dari nasabah penyimpan dan menyalurkannya kembali kepada nasabah peminjam, yakni pelaku usaha, konsumen dan pemerintah.3 Dalam perkembangan selanjutnya bank menyediakan sejumlah jasa dan produk finansial sehingga tidak hanya bertumpu pada kegiatan pinjam meminjam saja.4 Bank yang semula hanya terdapat di Romawi dan Roma kemudian mulai berkembang di negara-negara Eropa lainnya.5 Hal ini selanjutnya menjadikan bank sebagai lembaga keuangan yang tertua dan terbesar.6 Bank sebagai salah satu bagian dari lembaga keuangan memiliki peran dan fungsi paling vital dalam sistem perekonomian suatu negara.7 Dapat dikatakan
1
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-undang Tahun 1998. (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15. 2
Trikaloka H Putri, Kamus Perbankan. (Jogjakarta: Mitra Pelajar, 2009).
3
Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services 8th Edition. (McGrow Hill Companies, Internasional Edition, 2010). hlm. 2. 4
Weaver and Kevin Shanahan. Banking and Lending Practice. Australian Institute of Bankers 3rd edition, (Serendip Publication, 1994). hlm. 5 5
Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, op cit., hlm. 4
6
George J. Benston and George G. Kauf’man, The Appropriate Role of Bank Regulation. The Economic Journal, Volume. 106, No. 436 (May, 1996), hlm. 688-698,
7
Weaver and Kevin Shanhan.op cit.,hlm. 3 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
2
demikian, mengingat fungsi dan tujuan yang diemban dalam rangka pembentukan bank itu sendiri. Sejak pertama kalinya bank didirikan di Amerika Serikat telah terdapat keyakinan bahwa bank akan menjadi suatu alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.8 Di Indonesia sendiri, bank sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, selanjutnya disebut dengan “UU No. 7 Tahun 1992” dan/atau “UU No. 10 Tahun 1998”, merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pasal 4 menyatakan bahwa “fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Selanjutnya dalam pasal 4 dikatakan bahwa “perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Secara garis besar dapat dilihat bahwa fungsi bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dengan tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Lebih lanjut ketentuan umum UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa perbankan adalah salah satu sarana yang memiliki peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari trilogi pembangunan.9 Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa bank melalui kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, harus mampu mendukung pembangunan nasional. Peranan dan fungsi bank yang begitu krusial inilah yang menyebabkan eksistensi bank sangat berpengaruh terhadap sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara.10 Tidak hanya itu, melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa lainnya bank juga berperan
8
Nicholas A Lash, Banking Laws and Regulation An Economic Perspective. (New Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs). hlm. 2 9
Penjelasan umum atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Lembaran Negara No. 31 Tahun 1992; Tambahan Lembaran Negara No. 3472. 10
Andrew Campbell, Insolvent Banks and the Financial Institution Safety Net-lessons from the Northern Rock Crisis. As published in the Singapore Academy of Law Journal (2008) SAcLJ 316-342. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
3
dalam rangka melancarkan perekonomian.11 Peran ini dilaksanakan dengan melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan sistem pembayarann bagi semua sektor perekonomian yang ada. Salah satu fakta yang mengemuka akhir-akhir ini adalah terkait dengan keengganan bank-bank nasional untuk membiayai kegiatan usaha pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia atau industri minyak dan gas bumi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh wakil kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia “BP MIGAS”. Dikatakan bahwa produksi minyak nasional sulit digenjot karena perbankan kurang mendukung kegiatan industri perminyakan nasional karena tidak bersedia untuk memberikan suntikan kredit.12 Minyak dan Gas Bumi sendiri merupakan salah satu bentuk sumber daya alam yang habis pakai dan tidak dapat diperbaharui (depleted and non-renewable assets).13 Dapat dikatakan demikian karena untuk terbentuknya minyak dan/atau gas bumi membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni berjuta-juta tahun. Terlebih lagi kondisi alam juga sangat mempengaruhi terbentuknya minyak dan/atau gas bumi tersebut. Seperti komposisi dan susunan batuan, bentuk patahan dan masih banyak faktor lainnya. Di sisi lain, minyak dan gas bumi mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi penerimaan negara. Bahkan dapat dikatakan telah menjadi salah satu sektor pendapatan negara yang paling besar disamping sektor pajak.14 Selain itu, sektor minyak dan gas bumi telah dan masih menjadi lokomotif perkembangan bisnis yang amat signifikan di Indonesia.15
11
Hemansyah., Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet, 5 2009), hlm. 7. 12
Koran Tempo, Industri Migas Kurang Dukungan Perbankan, Tanggal 25 November
2011. 13
“Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia” Disampaikan pada Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni 2007,http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf. Diakses, 4 Desember 2011. 14
“Penerimaan Negara Sektor Hulu Migas Capai US$ 19,7 Miliar”. http://finance.detik.com/read/2009/12/30/144615/1268581/4/penerimaan-negara-sektor-hulumigas-capai-us--197-miliar. Diakses 4 Desember 2011.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
4
Dilihat dari segi yuridis pengelolaannya, minyak dan gas bumi pada prinsipnya merupakan salah satu sumber daya alam yang berada di bawah penguasaan negara. Hal ini sesuai dengan amanat yang terkandung dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selanjutnya ayat (3) menyatakan bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Disamping adanya amanat sebagaimana yang tertuang dalam Undangundang Dasar 1945 tersebut, Negara Republik Indonesia juga menganut prinsip demokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam negara berdemokrasi dituntut adanya peran masyarakat dalam penyelenggaraan negara16. Pemerintahan dalam hal ini harus dijalankan sesuai dengan dan berdasar kepada kehendak/kepentingan seluruh rakyat.17 Dalam pelaksanaannya, melalui prinsip demokrasi ini rakyat menyerahkan sebagaian kedaulatannya kepada negara atau yang dikenal dengan teori du contract social.18 Teori du contract social atau penyerahan kedaulatan oleh rakyat kepada negara dan tujuan dari konsep demokrasi itu sendiri, yakni kepentingan seluruh rakyat, selanjutnya merupakan suatu konsekuensi logis adanya hak menguasai oleh negara atas kekayaan alam yang terkadung di dalamnya. Negara dalam hal ini, memiliki peranan sekaligus tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam tersebut.
15
“Peluang Memperbesar Keuntungan Negara dalam UU Minyak dan gas bumi”. , Diakses, 20 April 2012. 16
Suri Ratnapala, Australian Constitutional Law Foundations and Theory. (Oxford University Press, 2007). hlm. 23 17
Arend Lijphart, “Democracies”, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Contries, Yale University Press, New Haven and London. (Dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Politik Hukum 1. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hlm. 25 18
Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum UI, Ilmu Negara, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007). Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
5
Hal tersebut pada akhirnya melahirkan, prinsip pengelolaan sumber daya migas sebagai suatu komoditi strategis, yang harus dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.19 Pengelolaan sumber daya migas di dalam negeri harus diusahakan agar mampu mandiri, mendinamisasi unsur “Asta Gatra”, berpegang
pada
kerangka
“Wasantara”
dan
mengacu
pada
“Trilogi
Pembangunan”. Unsur-unsur Asta Gatra itu sendiri adalah sumber daya manusia; sumber daya alam; letak geografis; ideologi; politik; ekonomi; sosial budaya; pertahanan dan keamanan nasional.20 Disamping sejumlah alasan penting diatas, ketahanan energi sebagai salah satu permasalahan penting yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia saat ini belumlah bisa dikatakan normal. Sebagaimana disampaikan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), kemandirian pasokan energi dari dalam negeri saja belum cukup sebagai faktor ketahanan energi.21 Tidak dapat dipungkiri jika energi Indonesia saat ini masih bergantung pada minyak dan gas bumi. Meskipun telah ditemukan energi alternatif lainnya seperti coal bed methane, gas hydrat, geothermal, dan shale gas energy, ternyata belum dapat diandalkan.22 Bahkan beberapa unconventional energy tersebut masihlah dalam tahap pengembangan dan belum siap untuk diproduksikan.23 Sehingga impor minyak dan gas bumi menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan24 padahal Indonesia merupakan negara dengan cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar jika dibandingkan dengan
19
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”. Ceramah Direktur Utama Pertamina Pada Civitas Akademika Fakultas Ekonomi UI. Jakarta, 1995. 20
Ibid.,
21
Dewan Energi Nasional, “Kegiatan Dialog Nasional Ketahanan , Diakses 20 Oktober 2012.
Energi”,
22
Yusuf S Djajadiharsja, Pengembangan Riset Gas Hidrat dan Rencana ke Depan. Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012. 23
Darwin Tangkalalo, CBM Project: Challenges and Oppurtunities in Indonesia. Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012. 24
Badan Pusat Statistik, “Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2012”. Berita Resmi Badan Pusat Statistik No. 16/03/Th. XV, 1 Maret 2012. < http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01mar12.pdf>. Diakses, 30 Oktober 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
6
negara-negara lain. Salah satu solusi yang ingin dicapai oleh pemerintah adalah terkait dengan pentingnya usaha untuk melakukan intensifikasi ekplorasi cadangan minyak baru dan peningkatan produksi minyak nasional.25 Berdasar pada uraian diatas, dapat dilihat beberapa hal penting. Pertama terdapat hak menguasai dari negara atas sumber daya minyak dan gas bumi sehingga sudah sepantasnya menjadi perhatian pemerintah dan segenap bangsa Indonesia. Kedua secara ekonomi pada dasarnya peranan dan sumbangsih industri minyak dan gas bumi cukup besar dalam rangka menunjang pembangunan nasional itu sendiri. Ketiga, industri minyak dan gas bumi memegang peranan penting dalam rangka menunjang terwujudnya ketahanan energi. Dengan demikian, secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa industri minyak dan gas bumi sudah seharusnya menjadi salah satu perhatian dan target pendanaan dari perbankan di Indonesia. Terlebih lagi dalam faktanya industri minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis baik bagi politik dan ekonomi negara serta untuk kemakmuran rakyat.26 Polemik inilah yang pada akhirnya memunculkan sejumlah pertanyaan, mengapa perbankan di Indonesia kurang mendukung industri minyak dan gas bumi nasional?27 Dilihat dari kalangan pemangku kepentingan sebenarnya telah banyak memberikan komentar atas polemik ini. Dapat dilihat Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menyatakan bahwa dukungan industri perbankan lokal kepada sektor migas saat ini sangat minim karena bank sulit mengerti risiko kredit yang cukup rendah di sektor tersebut.28 Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengajak bank
25
“Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Solusi Non-BBM untuk Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional melalui Revitalisasi Program Energi Laut Nasional” Diakses, 20 Oktober 2012. 26
Pri Agung Rakhmanto, “Menyoal Insentif Sistim Bagi Hasil dan Politik Migas Indonesia”. Divisi Penelitian LP3S. Disampaikan pada tanggal, 20 September 2007. 27
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, . Diakses, 22 April 2012. 28
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, “BI Minta Perbankan Lebih 'Mesra' dengan Perusahaan Migas”. < http://www.lppi.or.id>. Diakses, 20 April 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
7
nasional agar turut serta membiayai proyek minyak dan gas bumi sebagai salah satu upaya peningkatan kapasitas nasional di sektor migas, selain penguasaan teknologi, kompetensi sumber daya manusia dan kemampuan mengelola ketiga komponen tersebut.29 Berangkat dari adanya problematika inilah penulis melakukan suatu kajian dengan mengemukakan bagaimana karakter risiko dalam setiap rangkaian kegiatan yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi tersebut dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pemberian kredit oleh bank khususnya prinsip kehati-hatian. Hal ini mengingat karakter risiko yang terdapat di industri minyak dan gas bumi bersifat khusus dan berbeda dengan karakter risiko yang terdapat di industri lainnya. Perbedaan karakteristik ini dapat dilihat dalam hal struktur permodalan yang cukup besar, teknologi yang canggih, risiko kegiatan yang cukup tinggi dan penuh dengan ketidakpastian.30 Kajian akan dilakukan dengan menggambarkan bagaimana karakter risiko yang terkandung dalam rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi baik itu yang bersumber dari ketentuan umum yang diamanatkan oleh undang-undang maupun nature dari bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dihasilkan suatu pandangan mengenai bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pemberian kredit oleh bank kepada industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Dengan harapan bank nantinya dapat turut serta dalam menyalurkan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
1.2
Pokok Permasalahan Berdasar pada uraian diatas, adapun pokok permasalahan yang diteliti oleh
penulis adalah sebagai berikut: 1. Seperti apa karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi?
29
“Perbankan Nasional Diajak Biaya Proyek Migas” < http://www.antaranews.com/print/1178502456/perbankan-nasional-diajak-biaya-proyek-migas>. Diakses, 25 April 2012. 30
A Madjedi Hasan., Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. (Training on The Law of Oil and Gas Term 2010. Faculty of Law University of Indonesia, hlm. 2. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
8
2. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasar pada latar belakang dan pokok permasalahan diatas maka
penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian tentang bagaimana karakter risiko serta rangkaian kegiatan yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi. Selanjutnya dengan adanya gambaran tentang karakter risiko dalam rangkaian kegiatan tersebut dapat dilihat bagaimana kaitannya dengan penerapan prinsip pemberian kredit, khususnya prinsip kehati-hatian oleh bank. Hal ini mengingat dalam faktanya rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi memiliki karakter risiko yang cukup berbeda. Dengan harapan bank mendapatkan suatu gambaran seperti apa karakter risiko kegiatan usaha yang akan dibiayainya. Dengan demikian perbankan di Indonesia nantinya dapat turut berpartisipasi dalam memberikan kredit kepada industri minyak dan gas bumi. Hal ini sesuai dengan perannya dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan dalam tujuan perbankan di Indonesia.
1.4
Teori Dalam kaitannya dengan pokok permasalahan yang ditulis maka penulis
menggunakan teori positivisme hukum/legal positivism. Positivisme hukum pertama kali dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) yang selanjutnya dikembangkan oleh muridnya John Austin (1790-1859). Bentham menyatakan bahwa yang dapat disebut sebagai hukum hanyalah apabila merupakan suatu perintah; perintah tersebut berasal dari penguasa; dan perintah tersebut mengandung sanksi untuk memotivasi agar tidak terjadi pelanggaran atasnya.31 Berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa hukum bukanlah apa yang disarankan untuk dilakukan akan tetapi adalah sesuatu yang bersifat memaksa.32 Oleh sebab itulah terdapat pemisahan yang tegas antara hukum dengan moral
31
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence. (Blacstone Press Limited 3rd edition, 1999). hlm.14. 32
Ibid., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
9
yakni antara das sollen dengan das sein.33 Prof H.L.A Hart telah menguraikan lima pengertian dari legal positivism, yakni:34 a. hukum adalah perintah dari manusia; b. tidak terdadapat hubungan yang mutlak antara hukum dengan moral; c. pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, memiliki arti penting dan harus dibedakan dari penyelidikan; d. sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup tanpa meperhatikan tujuan-tujuan sosial politik dan ukuran moral e. pertimbangan-pertimbangan moral harus dipertahankan sebagai kenyataan yang harus dibuktikan dengan agumentasi rasional.
Austin selanjutnya menguraikan siapa-siapa saja yang dapat disebut dengan penguasa, yakni penguasa politik, pemerintah termasuk di dalamnya kewenangan yang timbul karena adanya subordinasi.35 Pada perkembangan selanjutnya legal positivism mendapat pengakuan dan berpengaruh banyak dalam pemikiran hukum modern.36 Dalam kaitannya dengan pokok bahasan pada karya tulis ini dapat dilihat bahwa Undang-undang di bidang perbankan dan sejumlah Peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia memerintahkan adanya suatu prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit dan prinsip kehatihatian yang wajib ditempuh oleh bank-bank di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pengaturan khusus tersebut dalam hal ini adalah dalam rangka memberikan pendanaan/kredit kepada pelaku usaha di Indonesia. Demikian juga halnya apabila kita melihat dari sisi industri minyak dan gas bumi. Dapat dilihat, terdapat karakter risiko yang khusus dalam industri minyak dan gas bumi. Salah satu yang penting adalah ketentuan-ketentuan yang lahir dari adanya pengaturan
33
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 113. 34
W Friedman, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited 4th Edition, 1960), hlm.
209. 35
John Austin, A Positivist Conception of Law, Law in Philosophical Perspective, editor Joel Feinberg and Hyman Gross. (Belmont California, Wadsworth Publishing Company, 1997). 36
W Friedman, op cit., hlm. 207. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
10
yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan pemerintah di bidang minyak dan gas bumi. Dimana peraturan-peraturan tersebut bersifat memaksa dan mengikat bagi pelaku usaha di Industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
1.5
Konsep Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mendefinisikan hal-hal di
dalam penelitian ini, maka berikut akan ditetapkan definisi terhadap hal-hal tersebut yang diambil dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan: 1.
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.37
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.38 3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.39 4. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.40
37
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara No. 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara No. 3790. pasal 1 angka (1) 38
Ibid., pasal 1 angka (2)
39
Ibid., pasal 1 angka (11)
40
Ibid., pasal 1 angka (23) Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
11
5. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.41 6. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.42 10. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dan proses penambangan minyak dan gas bumi.43 11. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan ekploitasi.44 12. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.45 13. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dan Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran
dan
penyelesaian
sumur,
pembangunan
sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.46
41
Ibid., pasal 1 angka (18)
42
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara No. 136 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara No. 4152. pasal 1 angka (1). 43
Ibid., pasal 1 angka (2)
44
Ibid., pasal 1 angka (7)
45
Ibid., pasal 1 angka (8)
46
Ibid., pasal 1 angka (9) Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
12
14. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.47 15. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.48 16. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik dan wajib mematuhi mematuhi peraturan perundang-perundang yang berlaku di Republik Indonesia.49 17. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.50
1.6
Metode Penelitian Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
deskriptif. Yakni dengan menggunakan metode penelitian doktrinal atau metode penelitian yang normatif. Adapun sumber penelitian yang digunakan adalah berupa bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan beserta peraturan pemerintah di bidang perbankan dan minyak dan gas bumi, Peraturan Bank Indonesia terkait dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian kredit. Selanjutnya bahan hukum skunder yang digunakan terdiri dari buku-buku teks, kamus hukum dan jurnal hukum. 47
Ibid., pasal 1 angka (10)
48
Ibid., pasal 1 angka (17)
49
Ibid., pasal 1 angka (18)
50
Ibid., pasal 1 angka (19)
Pengolahan dan analisis data akan
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
13
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Yakni dengan mengumpulkan bahan-bahan terkait dengan pokok bahasan kemudian akan melakukan analisis atasnya. Melihat bagaimana korelasi diantara ketentuan-ketentuan yang ada dengan tujuan menghasilkan suatu pemecahan masalah tentang bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi. Dengam demikian bank-bank di Indonesia dapat ikut serta dalam rangka memberikan pendanaan/kredit kepada industri minyak dan gas bumi.
1.7
Sistematika Penulisan Dengan harapan dapat melakukan penulisan dan menyajikan karya tulis ini
dengan baik serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan maka penulis menyusun karya tulis ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan dasar titik tolak dari permasalahan yang terdapat dalam karya tulis ini. Hal ini dituangkan dengan menjelaskan latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, teori dan konsep yang digunakan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
PRINSIP
KEHATI-HATIAN
DALAM
PEMBERIAN
KREDIT Pada bab ini terlebih dahulu akan diuraikan tentang prinsip penting yang melatarbelakangi lahirnya prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit yakni prinsip kehati-hatian/prudential banking principle. Akan diuraikan terkait dengan pengertian, arti penting lahirnya
prinsip
kehati-hatian
dan
landasan
hukum
yang
mengaturnya. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan secara lebih khusus,
yakni terkait
dengan prinsip-prinsip dasar dalam
pemberian kredit oleh bank sebagai implementasi dari prinsip kehati-hatian. Terakhir akan dibahas tentang risiko dari pemberian Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
14
kredit atau risiko kredit, dimana merupakan salah satu risiko yang paling berbahaya bagi bank. Sehingga dapat dilihat nantinya bagaimana prinsip-prinsip dasar dalam pemberian kredit khususnya terkait dengan risiko kredit.
BAB III
KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA Pada bab ini terlebih dahulu akan dibahas tentang bagaimana rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi itu sendiri. Dimana industri minyak dan gas bumi dapat dibagi menjadi kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Selanjutnya akan digambarkan profil risiko yang terdapat dalam masing-masing tahapan pada industri minyak dan gas bumi. Dilakukan dengan memunculkan sejumlah fakta yang berkaitan dengan nature dari bisnis itu sendiri maupun yang berasal dari ketentuan perundangundangan di bidang minyak dan gas bumi. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan pandangan yang lebih luas kepada pembaca tentang bagaimana karakter risiko dan
ketentuan-
ketentuan umum yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
BAB IV
PENERAPAN
PRINSIP
KEHATI-HATIAN
DALAM
PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI Pada bab ini, akan dilakukan suatu kajian dan digambarkan tentang bagaimana karakter risiko yang terkandung dalam rangkaian kegiatan industri minyak dan gas bumi dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam kaitannya dengan prinsip dasar dalam pemberian kredit,
khususnya
prinsip
kehati-hatian.
Pembahasan
akan
dilakukan dengan melakukan analisis atas sejumlah risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi dengan menggunakan ketentuan tentang prinsip kehati-hatian Dengan adanya analisis ini, Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
15
akan diperoleh buah pemikiran bagaimana prinsip kehati-hatian tersebut diterapkan dalam rangka pemberian kredit pada industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir ini akan dikemukakan hasil apa yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan. Disertai dengan sejumlah saran yang sekiranya bermanfaat bagi para pemangku kepentingan.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
16
BAB 2 PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
2.1
Prinsip Kehati-hatian
2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Prinsip Kehati-hatian Pada Bank Prinsip kehati-hatian lahir karena beberapa alasan penting, yakni adanya risiko dalam kegiatan operasional bank, serta financial globalization yang berdampak pada peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian. Alasan ini dapat dinilai sebagai faktor utama dalam prinsip kehatihatian bank, meskipun ada beberapa faktor lain yang turut memengaruhi prinsip ini. Seperti uraian dalam bab sebelumnya, bank berperan sebagai lembaga intermediasi, yang berfungsi untuk menyalurkan kredit. Fungsi ini dibagi menjadi tiga kegiatan utama, yakni menghimpun dana dari masyarakat; menanamkan dana ke berbagai aset produktif dalam bentuk kredit; memberikan jasa layanan lalu lintas pembayaran dan jasa layanan perbankan lainnya.51 Fungsi bank sebagai penyalur kredit merupakan fungsi strategis yang dimiliki oleh bank, meskipun tidak jarang fungsi ini menjadi faktor penyebab runtuhnya operasional sebuah bank.52 Sehingga, fungsi bank sebagai penyalur kredit dinilai sebagai fungsi paling kritis53 karena kegiatan menyalurkan kredit yang dilakukan oleh bank dapat mendukung ataupun justru menghambat laju perekonomian sebuah negara. Dapat dikatakan terdapat hubungan yang procyclical antara fungsi bank sebagai lembaga intermediasi dengan kegiatan perekonomian di suatu negara.54
51
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2004), hlm. 2 52
Zulkarnain Sitompul, Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi. Hukum Bisnis, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Hukum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. . Diakses, 2 Desember 2011. 53
Permadi Gandapradja, op cit., hlm. 3
54
Bank for International Settlement, Working Papers No 125 The institutional memory hypothesis and the procyclicality of bank lending behavior. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
17
Hal ini terbukti seiring dengan terjadinya permasalahan kredit yang cukup serius pada tahun 1990-an di Amerika Serikat dan terjadinya krisis keuangan di Rusia serta Asia, telah melemahkan sistem perekonomian dan mengakibatkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan di negara tersebut.55 Oleh karenanya, fungsi bank dalam penyaluran kredit dibayangi oleh sejumlah risiko. Pasca dilakukannya perundingan Uruguay oleh The General Agreement on Trade in Services “GATS” tidak hanya fakta mengenai faktor risiko yang terkandung dalam pemberian kredit saja namun akibat dari adanya financial globalization juga perlu diantisipasi oleh negara-negara berkembang atau yang mengalami krisis keuangan pada khususnya.56 Sebagaimana diketahui GATS merupakan suatu organisasi yang didirikan dalam rangka melancarkan perdagangan internasional, khususnya di bidang jasa. GATS berperan untuk membuat aturan perdagangan internasional yang baik, memberikan perlakuan yang sama terhadap negara-negara anggota, mendorong lajunya kegiatan ekonomi dan melakukan promosi atas perkembangan perdagangan jasa melalui liberalisasi.57 Financial globalization, selanjutnya merupakan suatu kondisi dimana terdapat integrasi atau kerjasama antara sistem keuangan di suatu negara dengan sistem keuangan yang berlaku pada tingkat internasional. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan adanya financial globalization terdapat kerjasama antara lembaga-lembaga keuangan di suatu negara dengan lembaga keuangan dari negara lainnya.58 Melihat kepada sejarah terbentuknya financial globalization dapat digambarkan dengan tahapan sebagai berikut:59
55
Ibid.,
56
Phong T.H. Ngo, International Prudential Regulation, Regulatory Risk and Cost of Bank Capital. International Journal of Banking and Finance, Volume 5, issue 1, Article 2, pg. 1-2. 57
World Trade Organization, The General Agreement on Trade in Services (GATS): Objectives, coverage and disciplines, Diakses, 1 Oktober 2012. 58
United Nation Institute for Training and Research, Financial Globalization, , Diakses 23 September 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
18
a. Pada pertengahan tahun 1990, GATS melakukan perundingan yang untuk pertama kalinya menyatakan bahwa jasa akan masuk dalam lingkup perjanjian perdagangan internasional. b. Beberapa negara menyatakan komitmennya untuk turut serta dalam financial services liberalization. Dimana negara-negara berkembang mendapat perhatian khusus dari International Monetary Fund dan World Bank. c. Program World Trade Organization selajutnya adalah ‘Service 2000’ adanya komitmen yang lebih serius tentang liberalisasi pada lembagalembaga keuangan.
Tidak
dapat
dipungkiri
jika
dalam
implementasinya,
Financial
globalization memiliki dampak positif bagi kinerja lembaga keuangan di suatu negara. Dengan adanya financial globalization lembaga keuangan, khususnya perbankan dituntut untuk melahirkan suatu inovasi dan melakukan efisiensi dalam menjalankan kegiatan usahanya.60 Financial globalization menguntungkan bagi konsumen karena lembaga keuangan dintuntut untuk semakin meningkatkan pelayanannya dalam rangka persaingan dengan para kompetitornya. Meskipun demikian, tidak dapat dihindarkan jika dengan adanya financial globalization menuntut lahirnya suatu pengaturan yang lebih kompleks tentang kegiatan usaha atau kegiatan operasional perbankan dan diperlukannya manajemen risiko yang lebih baik pada sektor usaha tersebut.61
59
Sydney J. Key, Trade Liberalization and Prudential regulation: The International Framework for Financial Services. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Volume, 75, No. 1 (Jan., 1999), pp.61-75, 60
Brendon Young, Leadership and high-reliability organizations: why banks fail. Volume 6 Number 4, Winter 20/11/12. hlm. 80. 61
Andreas A Jobst, it’s all in the data-consistent operational risk measurements and regulation, Journal of Financial Regulation and Compliance, Volume 12 Number 4 Tahun 2007. hlm. 423. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
19
Terlebih lagi, sebagai dampak adanya persaingan yang semakin ketat antara para penyedia jasa keuangan, khususnya perbankan telah membuat bank semakin berani untuk mengambil risiko dalam menjalankan kegiatan usahanya.62 Sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal penulisan ini terdapat beberapa faktor lainnya yang memengaruhi perlunya pengaturan tentang prinsip kehati-hatian. Beberapa faktor lainnya tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:63 a. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada kepentingan nasabah suatu bank; b. Sebagai wujud dari adanya intervensi pemerintah terhadap kegiatan perbankan; c. Dalam rangka menghindari moral hazard, mengingat dengan adanya government safety net akan membuat bank lebih berani lagi dalam mengambil risiko; d. Dalam rangka menghindari
pelaku usaha
memanfaatkan adanya
government safety net sebagai dasar untuk meminta bank memberikan pendanaan bagi kegiatan usaha yang berisiko tinggi; e. Untuk menghindari runtuhnya kegiatan operasional bank-bank besar mengingat peran bank-bank tersebut yang cukup rentan dalam sistem perekonomian di suatu negara.
Terlepas dari adanya sejumlah kebutuhan sebagaimana telah disebutkan diatas, bagi beberapa negara pentingnya pengaturan akan prinsip kehati-hatian salah satunya adalah karena adanya tuntutan dari pihak luar. Tidak dapat dipungkiri jika dampak financial globalization telah membuat sejumlah negara harus berhubungan dengan negara-negara lainnya. Yang mana hal ini selanjutnya memaksa negara tersebut untuk bersedia mengikuti ketentuan yang berlaku secara
62
Andrew Crockett, Banking Supervision and Financial Stability. The William Taylor Memorial Lecture by Andrew Crockett, General Manager of the Bank for International Settlements, in Sydney, 22 October 1998. 63
Frederic S Mishkin, Prudential Supervision, Why Is It Important and What are the Issue?. (The University of Chicago Press, Chicago and London). hlm. 5. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
20
Internasional, baik itu karena terikat dalam suatu konvensi maupun karena adanya kebutuhan akan liberalisasi perbankan. Sebagai salah satu contoh adanya permintaan bagi bank sentral dan pemegang otoritas lainnya bagi negara-negara di Asia untuk menyusun suatu pedoman yang lebih baik terkait dengan prinsip kehati-hatian bagi bank, khususnya terkait dengan permasalahan kredit.64
2.1.2 Definisi Prinsip Kehati-hatian Kamus perbankan, memberikan definisi atas prudential banking atau prinsip kehati-hatian sebagai bentuk pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank untuk meminimalkan risiko usaha operasional bank dengan berpedoman kepada ketentuan bank sentral dan ketentuan intern bank.65 Prinsip kehati-hatian secara sederhana dapat diartikan sebagai pengaturan tentang izin pendirian atau pembukaan bank baru dan cakupan kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh bank.66 Prinsip kehati-hatian berpedoman pada dua ketentuan penting yakni, ketentuan umum yang dikeluarkan oleh bank sentral dan adanya kewajiban bagi masing-masing bank untuk membuat regulasi sendiri. Dibuatnya pengaturan atas prinsip kehati-hatian memiliki tujuan sebagai berikut:67 a. Menetapkan kebijakan bahwa hanya bank yang mampu secara finansial yang diizinkan untuk beroperasi; b. Mengendalikan pemilik dan manajemen bank, agar tidak mengambil risiko berlebihan; c. Menetapkan ketentuan dan pedoman bagi pelaksanaan akuntansi yang memadai,
penilaian
aset
yang
realistis,
dan
pelaporan
yang
menggambarkan kondisi keuangan yang sebenarnya dengan persyaratan disclosure, sehingga memenuhi disiplin pasar;
64
Philip Turner, The Banking System in Emerging Market Economies: How Much Progress has been Made?. Bank for Internasional Settlements, BIS Papers No 28, pg. 1. 65
Trikaloka H Putri, op cit., hlm. 274.
66
Suseno dan Piter Abdullah, Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Seri Kebanksentralan, No. 7. 67
Permadi Gandapradja, op cit., hlm. 28 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
21
d. Menetapkan dasar dan kewenangan pihak pengawasan bank dalam melakukan tindakan korektif dan dalam membatasi aktivitas bank yang lemah atau tidak sehat.
Sebagai konsekuensi dari adanya prinsip kehati-hatian ini bank diminta untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dengan tetap konsisten dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.68 Berdasar pada uraian sebelumnya, secara garis besar dapat dilihat bahwa dasar penting dari adanya pengaturan tentang prinsip kehati-hatian pada bank adalah dalam rangka pengendalian risiko bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan mengingat fungsi dan peranan bank dalam sistem perekonomian.
2.1.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Landasan
pokok
lahirnya
prinsip
kehati-hatian
dalam
peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah sesuai dengan asas dari perbankan itu sendiri. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992 mengatur bahwa “perbankan di Indonesia menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Prinsip kehati-hatian selanjutnya diatur lebih lanjut melalui pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang perbankan, peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang mengatur lebih khusus, yakni Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan tentang prinsip kehati-hatian di negara-negara berkembang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku atau diterapkan secara internasional yang populer disebut dengan “International best practice”.69 Undang-undang perbankan sendiri mengatur prinsip kehati-hatian sebagai berikut: 1. Bank harus memiliki keyakinan bahwa nasabah akan melakukan pembayaran sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu bank umum juga diminta untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana ditetapkan oleh
68
Hermansyah, op cit., hlm. 135.
69
Martin Brownbridge, et all, Prudential Regulation. Finance and Development Briefing Papers, September 2002. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
22
bank Indonesia.70 Pedoman perkreditan inilah yang nantinya akan dijadikan dasar untuk melakukan analisis atas kemampuan nasabah. 2. Adanya larangan bagi bank untuk melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang tentang perbankan.71 3. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Indonesia menetapkan beberapa ketentuan penting yang harus dipenuhi oleh bank, diantaranya adalah terkait dengan batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga dalam rangka memberikan pendanaan bagi peminjam ataupun sekelompok peminjam.72 4. Bank wajib untuk memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam hal ini bank juga diwajibkan untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah. Untuk kepentingan nasabah bank wajib untuk menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian atas transaksi yang dilakukan nasabah.73
2.1.4 Pengawasan atas Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Pasca diberlakukannya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan dan pengawasan atas bank dan lembaga keuangan lainnya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukan undangundang ini merupakan amanat dari pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undangundang. Dengan demikian, tugas pengaturan dan pengawasan atas bank yang semula berada pada Bank Indonesia akan beralih kepada lembaga baru tersebut. Otoritas Jasa Keuangan selajutnya disebut dengan “OJK” sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 1 merupakan lembaga yang independen dan bebas 70
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 8 ayat (1) dan (2).
71
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992, op cit., pasal 10.
72
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Jo UU No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4) dan (4A). 73
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4). Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
23
dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut. Pasal 7 selanjutnya memberikan ruang lingkup wewenang OJK dalam rangka menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan pada sektor perbankan, sebagai berikut:74 a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) Sistem informasi debitur; 4) Pengujian kredit (credit testing); dan 5) Standar akuntansi bank; c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) Manajemen risiko; 2) Tata kelola bank; 3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan 5) Pemeriksaan bank
Jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku pada negara-negara lain dapat dilihat sebagai berikut. Singapura sebagai contoh, dimana otoritas pengawas bank di Singapura atau the Monetary Authority of Singapore (MAS), yang terdiri
74
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara No. 111 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara No. 5253. Pasal 7. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
24
dari bank sentral dan otoritas keuangan Singapura bertanggung jawab atas penerapan prinsip kehati-hatian secara keseluruhan yang melibatkan juga pengawasan atas ketataan bagi masing-masing bank.75 Demikian juga halnya dengan sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa, Europian Central Banks yang berperan selaku bank sentral diperkuat wewenangnya dalam rangka melakukan pengawasan atas pelaksanaan prinsip kehati-hatian bagi bank.76 Terlepas dari adanya fakta tersebut, sejak tahun 1990an, beberapa negara terlihat meningkatkan peranan bank sentralnya dalam rangka melakukan pengawasan atas pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Hal ini dipicu oleh terjadinya krisis keuangan di sejumlah negara yang membuat beberapa diantaranya mengembalikan fungsi pengawasan bank kepada bank sentral.77
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan dan pengaturan atas prinsip kehati-hatian bergantung kepada kebijakan masing-masing negara. Namun satu hal penting adalah pengaturan dan pengawasan atas prinsip kehati-hatian merupakan sesuatu yang perlu ada untuk menjaga kestabilan jalannya operasional perbankan bahkan lebih luas lagi bagi jalannya perekonomian di suatu negara. Seiring dengan sejumlah perkembangan yang terus-menerus terjadi dalam dunia perbankan seperti lahirnya inovasi-inovasi baru ternyata memaksa pemerintah untuk melakukan peninjauan dan perubahan atas ketentuan tentang prinsip kehati-hatian. Hal ini karena terjadinya ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan praktek yang terjadi pada lapangan dapat memberi celah kepada bank untuk melakukan pelanggaran.78 Dalam hal demikian, sangat diperlukan adanya peranan dari lembaga pengawas untuk tetap
75
Andrew Campbell, op cit., pg. 31
76
Willem F Duisenberg, The role of the Eurosystem in prudential supervision. Speech by Dr Willem F Duisenberg, President of the European Central Bank, Amsterdam, 24 April 2002. Banking for International Settlement Review 27/2002. 77
Kiyohiko G Nishimura, Macro-prudential policy from an Asian perspective, Shanghai, 18 October 2010, Bank for International Settlement Review 136/2010. 78
Brendon Young, op cit., hlm. 84. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
25
melakukan kontrol atas kegiatan operasional bank serta menetapkan kapan bank dapat dikatakan telah melanggar prinsip kehati-hatian.79
2.1.5
Ruang Lingkup Prinsip Kehati-hatian / Prudential Standards Bagi Bank Sebagai bentuk impelementasi dari adanya ketentuan tentang prinsip
kehati-hatian, bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya mengacu kepada suatu ketetapan atau rambu-rambu yang disebut dengan prudential standarts, antara lain: 1. Batas Maksimum dalam Pemberian Kredit Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) merupakan salah satu bentuk pembatasan dan larangan dalam pemberian kredit oleh bank. Pada prinsipnya pengaturan ini adalah dalam rangka meminimalisir risiko yang mungkin terjadi dalam rangka pemberian kredit. Dengan adanya ketentuan tentang BMPK maka diharapkan dapat terjadi penyebaran risiko. Ketentuan BMPK sendiri diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU tentang Perbankan. Ketentuan lebih lanjut tentang BMPK, telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia. Peraturan tersebut memberi definisi atas BMPK sebagai presentasi maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.80 Dikatakan pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara presentase BMPK yang diperkenankan dengan presentase penyediaan dana terhadap modal bank.81 Pasal 2 dari Peraturan tersebut mengatur bahwa bank wajib menerapkan
prinsip
kehati-hatian
dan
manajemen
risiko
dalam
memberikan penyediaan dana, khususnya penyediaan dana kepada pihak terkait, penyediaan dana besar dan atau penyediaan dana kepada pihak lain
79
Andrew Crockett, Banking Supervision and Financial Stability, op cit.,
80
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. LN No. 13 Tahun 2005 DPNP; TLN No. 4472 DPNP Pasal 1 angka 2. 81
Ibid., pasal 1 angka 6. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
26
yang memiliki kepentingan terhadap bank. Bank dalam hal ini diwajibkan untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur tertulis tentang penyediaan dana kepada pihak-pihak sebagaimana disebutkan diatas. BMPK terhadap pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank. Sedangkan BMPK terhadap pihak tidak terkait untuk satu peminjam paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari modal bank. Untuk satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal bank.82 Untuk mengatasi adanya ketentuan BMPK, ketika bank akan memberikan kredit dalam jumlah yang besar maka bank akan bekerja sama dengan bank lainnya. Sistem kerja sama ini dikenal dengan istilah kredit sindikasi. Secara sederhana kredit sindikasi diartikan sebagai pemberian kredit oleh dua atau lebih kreditur (bank), dengan syarat dan ketentuan yang sama, memakai perjanjian yang sama dan dikelola oleh agen yang sama. Stanley Hurn mengistilahkan kredit sindikasi sebagai: “A syndication loan is a loan made by two or more lending institution, on similar terms and conditions, using common documentation and administrated by a common agent.”83 Kredit sindikasi juga diperlukan dalam rangka risk sharing dengan bank lain.84 Sehingga bank tidak menanggung sendiri risiko yang mungkin timbul sebagai akibat pemberian kredit. Dari sisi kreditor kredit sindikasi dianggap sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah pendanaan dalam jumlah yang besar. Jika dibandingkan dengan menerbitkan surat hutang,
82
Ibid., pasal 4 dan pasal 11 ayat (1) dan (2).
83
Stanley Hurn, Syndicated Loans (New York etc.: Woodhead-Faulkner, 1990), sebagaimana dikutip dari buku Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi: Proses Pembentukan dan Aspek Hukum. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997). Hlm.2. 84
Budhiono Budoyo, Aspek Bisnis Dalam Pembentukan Kredit Sindikasi dan Tanggung Jawab Masing-masing Pihak di Dalamnya. Proceedings, Rangkaian Lokakary Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, (Jakarta: 20-21 Agustus 2001). Hlm. 11. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
27
kredit sindikasi dianggap murah dengan proses yang juga lebih mudah.85 Disamping adanya manfaat bagi kreditor dan debitur kredit sindikasi juga dapat berkontribusi bagi terciptanya stabilitas perekonomian di suatu negara. Karena kredit sindikasi mampu menyebarkan risiko yang mungkin timbul dalam pemberian kredit dan adanya mekanisme sharing penyediaan sejumlah dana oleh masing-masing bank peserta.86 Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam kredit sindikasi adalah:87 1. Terdapat lebih dari satu kreditur 2. Kredit yang diminta dalam jumlah besar 3. Dalam jangka waktu lama 4. Karena terdiri dari beberapa bank, maka suku bunga mengacu kepada suku bunga LIBOR88 atau SIBOR tertentu atau reference bank. 5. Terdapat dalam satu dokumentasi yang sama 6. Adanya pembagian jaminan
Disamping prinsip dasar sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat beberapa karakteristik penting dalam pinjaman sindikasi, yakni: 89 1. Kreditor bertanggung jawab secara individual, kelalaian atau cidera janji suatu kreditor tidak mempengaruhi kewajiban kreditor lainnya. 2. Semua hak dan komunikasi kreditor dengan debitur dilakukan melalui facility agent.
85
Christophe J Godlewski and Laurent Weill, Syndicated Loans in Emerging Markets. Emerging Market Review 9 (2008) 206-219. 86
Ibid.,
87
Daniel Ginting, Prinsip-prinsip Dasar Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian Lokakary Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001. Hlm. 67. 88
LIBOR (London Interbank Offered Rate); SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate)
89
Arief Surowidjojo, Aspek Hukum yang Harus Diperhatikan dalam Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian Lokakaria Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001. Hlm 53. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
28
3. Cidera janji debitur kepada suatu kreditor merupakan cidera janji kepada semua kreditor (cross default). 4. Hak jaminan dipegang dan dilaksanakan oleh security agent. 5. Keputusan para kreditur sindikasi, termasuk menyatakan debitur lalai atau cidera janji, didasarkan kepada mayoritas dari sisa jumlah terutang, dan dilaksanakan oleh facility agent.
Berbeda dengan mekanisme pemberian kredit pada umumnya, maka dalam kredit sindikasi terdapat beberapa peranan penting, yakni:90 1. Arranger Arranger dalam hal ini berperan untuk mengatur segala sesuatunya, sejak mulai kredit diproses, menawarkan keikutsertaan kepada bank-bank lain, memonitor sampai dengan penandatanganan kredit sindikasi dan memonitor setelah kredit sindikasi dintandatangani. 2. Lead Manager Pada umumnya lead manager merangkap sebagai arranger, mengingat hanya terdapat sedikit perbedaan peranan antara arranger dengan lead manager. 3. Facility Agent Merupakan bank yang bertindak sebagai agen fasilitas kredit. 4. Security Agent Merupakan agen yang berperan memegang jaminan.
2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank / Capital Adequacy Ratio (CAR) Kewajiban Penyediaan modal minimum diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Salah satu latar belakang lahirnya peraturan ini adalah menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Aset Tertimbang Menurut
90
Herlina Suyati Bachtiar, Aspek Legal Kredit Sindikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Hlm. 17. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
29
Risiko (ATMR) yang digunakan dalam perhitungan modal minimum yakni: risiko kredit, risiko operasional dan risiko pasar.91 Khusus untuk risiko pasar hanya diberikan kewajiban kepada bank yang memenuhi kriteria tertentu.92 Berbeda dengan ketentuan yang berlaku sebelumnya, dalam peratutan yang baru ini kewajiban penyediaan modal minimum oleh bank disesuaikan dengan profil risiko masing-masing bank. Dengan ketentuan sebagai berikut:93 a) 8% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 1 b) 9% sampai dengan kurang dari 10% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 2 c) 10% sampai dengan kurang dari 11% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 3. d) 11% sampai dengn 14% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat atau peringkat 5.
Dalam Basel sendiri dirumuskan jika kewajiban penyediaan modal minimum bagi masing-masing bank adalah 8%, namun otoritas nasional masing-masing negara diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah modal minimum yang lebih tinggi.94Berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh the Basel Committee, maka modal dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni modal utama (tier 1) dan modal pelengkap (tier 2). Dimana ketentuan ini selanjutnya dalam peraturan perundangundangan Indonesia ditambah satu bagian lagi yakni, modal pelengkap tambahan
(tier
memperhitungkan
3).
Dimana
faktor-faktor
ketentuan yang
ini
diterapkan
setelah
menjadi
pengurang
modal.
91
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, pasal 26. 92
Ibid., pasal 27 ayat (2).
93
Ibid, pasal 2 ayat (3).
94
Basel Committee in Banking Supervision, Basel III: International Framework for Liquidity Risk Measurement, Standards and Monitoring. Bank for International Settlements, December 2010. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
30
Diantaranya adalah good will, aset tidak berwujud lainnya, penyertaan bank, kekurangan modal, eksposur sekuritisasi.95 Ketentuan tentang kewajiban penyediaan modal minimum oleh bank memegang peranan yang cukup penting. Hal ini terjadi karena semakin besar jumlah modal minimum yang dipersyaratkan akan membuat bank semakin berhati-hati dalam mengambil risiko.96 Mengingat, tingginya tingkat kompetisi antara bank dapat mendorong bank untuk berani mengambil risiko yang lebih tinggi. Namun demikian, dengan adanya ketentuan kewajiban penyediaan modal mimimum oleh bank dapat menjadi salah satu sarana bagi regulator untuk menghindarkan bank dari kehancuran.97
3. Kualitas Aktiva Produktif Peraturan Bank Indonesia menyatakan bahwa bank wajib menjaga kualitas aktiva agar tetap sehat sesuai dengan prinsip kehati-hatian.98 Pada prinsipnya peraturan ini merupakan suatu pedoman bagi bank-bank umum untuk melakukan penilaian dan penetapan kualitas aktiva produktif. Disamping adanya penilaian yang dibuat oleh Bank Indonesia selaku regulator. Adapun kualitas aktiva yang dilakukan penilaian atasnya adalah aktiva produktif dan aktiva non produktif.99 Aktiva produktif diantaranya penyediaan dana bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan-tagihan, penyertaan, transaksi rekening 95
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012, op cit., pasal 14 jo
pasal 21. 96
Wilko Bolt and Alexander F Tieman, Banking Competition, Risk and Regulation. The Scandinavian Journal of Economics, Volume. 106, No. 4 (Dec 2004), pp. 783-804, 97
Ibid.,
98
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/2/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/2/PBI/2009 tentang Perubahan Ketigas Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Pasal 4. 99
Ibid., pasal 3. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
31
administratif dan bentuk lainnya. Sedangkan aktiva non produktif diantaranya agunan yang diambil alih, properti terbengkalai, rekening antar kantor dan suspense account. Dalam pelaksanaannya bank diwajibkan untuk melakukan penyesuaian atas kualitas aktiva secara berkala. Penyediaan dana oleh bank umum wajib dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, direksi diwajibkan untuk memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas aktiva senantiasa baik.100 Penilaian atas kualitas aktiva dilakukan terhadap satu debitur maupun terhadap suatu proyek yang dibiayai. Terkait dengan penilaian atas kualitas aktiva produktif, bank harus memiliki ketentuan internal yang dibuat oleh masing-masing bank.
4. Giro Wajib Minimum Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia, Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK (Dana Pihak Ketiga Bank).101 Bank diwajibkan untuk memenuhi GWM dalam bentuk rupiah yang terdiri dari GWM Primer, GWM Sekunder dan GWM LDR.102 Besaran atas masing-masing GWM telah ditetapkan dalam pasal 3 dan 4 dari peraturan tersebut yang perhitungannya dilakukan secara harian. Setiap bank diwajibkan untuk memelihara rekening giro rupiah pada bank Indonesia.103 Dengan adanya ketentuan ini maka setiap bank wajib
100
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, op cit., Pasal 2 ayat (1)
dan (2). 101
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/10/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing. LN No. 115 Tahun 2010, TLN No. 5158. 102
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010, op cit., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
32
memiliki rekening pada Bank Indonesia. Demi terlaksananya ketentuan GWM, maka bagi bank yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi berupa denda, yakni adanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang
dengan
prosentase
dan
perhitungan
tertentu
dan
sanksi
administratif.104
2.2
Prinsip Pemberian Kredit
2.2.1
Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa latin yakni credere yang artinya adalah
kepercayaan.105 Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha bank terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur setuju untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah yang bertindak sebagai debitur karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang telah ditentukan.106 Undang-undang perbankan selanjutnya, merumuskan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan berdasarkan perjanjian antara bank dengan debitur dengan jangka waktu dan bunga.107 Berdasarkan pengertian dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa unsurunsur dari suatu perjanjian kredit adalah tersebut dibawah ini:108 a. Kepercayaan Kepercayaan merupakan adanya suatu keyakinan dari pihak bank bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali.
b. Kesepakatan
103
Ibid., pasal 3 dan 4.
104
Ibid., pasal 18 dan 19.
105
Edy Putra, Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis. (Yogyakarta: Liberty, 1989).
hlm. 1. 106
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kerdit (Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009). Hlm. 152 107
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit., Pasal 1 angka 11.
108
Kasmir, Manajemen Perbankan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 75. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
33
Dalam pemberian kredit harus terdapat kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah yang dalam hal ini dituangkan ke dalam suatu perjanjian. Pada prinsipnya, terdapat suatu pengecualian terhadap ketentuan ini, yakni dalam hal terjadinya overdraft. Meskipun overdraft akan mengakibatkan lahirnya hubungan hukum serta hak dan kewajiban yang sama dengan perjanjian kredit, namun overdraft tidak dapat disamakan dengan perjanjian kredit biasa. Overdraft merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah diperbolehkan untuk menarik sejumlah uang yang melebihi dana yang tersedia pada rekeningnya.109 Sama halnya dengan perjanjian kredit dalam overdraft juga terdapat kewajiban bagi kreditur untuk membayar sejumlah bunga dan adanya suatu batasan atas jumlah uang yang dapat ditarik.110 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa salah satu karakter penting dalam overdraft adalah pemberian kredit yang lahirnya tanpa melalui perjanjian sebelumnya layaknya perjanjian kredit biasa.
c. Jangka Waktu Pemberian kredit juga harus disertai dengan suatu jangka waktu tertentu yang menyatakan kapan masa pengembalian kredit. Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu dibedakan menjadi:111 1) Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi satu tahun; 2) Kredit jangka menengah, merupakan kredit yang memiliki jangka waktu antara satu sampai tiga tahun; 3) Kredit jangka panjang, merupakan kredit yang memiliki jangka waktu di atas tiga tahun.
109
DirectGov “Overdrafts and loans the difference” Diakses, 1 Oktober 2012. 110
Bank of China – Indonesia, “Overdraft”, , Diakses 1 Oktober 2012. 111
Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 7 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
34
d. Risiko Faktor risiko dalam pemberian kredit dapat dibedakan menjadi dua hal, yakni risiko kerugian dikarenakan nasabah tidak mau membayar kreditnya padahal nasabah tersebut dinyatakan mampu untuk itu; risiko kerugian yang terjadi di luar kehendak nasabah. Semakin panjang jangka waktu kredit maka akan semakin besar risiko kredit tersebut tidak tertagih demikian juga sebaliknya jika jangka waktunya lebih singkat maka kemungkinan timbulnya risiko juga lebih sedikit.
e. Balas Jasa Balas jasa merupakan suatu bentuk keuntungan yang diterima oleh bank akibat adanya pemberian kredit kepada nasabah. Dalam prinsip konvensional hal ini dikenal dengan istilah bunga, sedangkan dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah hal ini dikenal keuntungan yang diperoleh bank karena adanya bagi hasil. Disamping unsur penting tersebut, terdapat beberapa unsur lainnya, yakni:112 f. Adanya para pihak, yaitu pihak “kreditur” sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa. g. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur. h. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. i. Adanya penyerahan kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak debitur kepada kreditur.
2.2.2
Dasar-dasar Pemberian Kredit Sebagai konsekuensi dari adanya kewajiban untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian oleh bank maka masing-masing bank diberi amanat oleh undang112
Munir Fuadi, op cit, hlm. 15 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
35
undang untuk menyusun pedoman perkreditannya. Selain itu bank juga diwajibkan untuk memiliki keyakinan atas kesanggupan calon debitur dalam melunasi utangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.113 Ketentuan inilah yang selanjutnya dikenal dengan dasar-dasar pemberian kredit yang juga berfungsi sebagai pedoman untuk melakukan analisis atas kredit. Dalam analisis kredit pada pokoknya terdapat dua ketentuan yang fundamental yakni, nature bisnis dari calon debitur dan analisis atas cash flow.114 Pedoman pemberian kredit menggunakan suatu teori klasik dalam pemberian kredit yang juga dikenal dengan dasar-dasar pemberian kredit yakni formula 5C. Selanjutnya formula 5C terdiri dari: a. Character Merupakan unsur terpenting dalam penilaian kredit. Penilaian ini sangat berhubungan dengan integritas calon debitur atau mencerminkan willingness to pay. Penilaian ini secara umum bertujuan untuk melihat itikad baik dari calon debitur baik dalam keadaan mampu ataupun tidak mampu untuk membayar.
Dalam prakteknya, jika yang mengajukan
permohonan kredit adalah suatu perusahaan atau korporasi maka penilaian atas karakter ini juga dilakukan kepada direktur atau pengurusnya.115 Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pasal 92 ayat (1) mengatakan bahwa, direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.116 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa yang bertanggungjawab atas perseroan adalah direksi. Sehingga diperlukan adanya keyakinan dari bank terkait dengan karakter direksi perseroan tersebut. Demikian juga halnya dengan
113
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998, op cit, pasal 8 ayat (1) dan (2).
114
Bambang Setyogroho, Analisis Risiko Kredit dengan Metoda Credit Risk Scoring (Studi Kasus pada Debitur Bank X). (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 1991), hal. 21. 115
Ibid., hlm. 222.
116
Indonesia, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara No. 106 Tahun 2007 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4756 Tahun 2007. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
36
bentuk-bentuk perusahaan lain, yang jalannya kegiatan operasional perusahaan dilakukan oleh pengurus. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana kemampuan pengurus perusahaan tersebut dalam menjalankan usahanya.
Disamping
dilakukannya
penilaian
terhadap
pengurus
perusahaan yang bersangkutan, dalam penilaian karakter ini bank juga melakukan penilaian terhadap pihak yang lainnya, atau pihak ketiga.117 Pihak ketiga merupakan pihak yang bekerja sama dengan nasabah dalam rangka menjalankan proyek yang dimaksud. Penting diketahui bahwa dalam proses pemberian kredit, character memegang peranan yang paling penting karena dianggap sebagai implementasi dari adanya hubungan kepercayaan yang mendasar antara kreditor dengan debitur.
b. Capacity (Capability) Capacity terkait dengan kemampuan calon nasabah debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospek masa depannya. Dalam penilaian ini juga diperhatikan kemampuan atau keahlian dari calon debitur dalam mengelola kegiatan usahanya. Harus dilihat apakah nasabah memiliki pengetahuan serta pengalaman yang cukup di bidang usaha tersebut.118 Dalam hal calon nasabah adalah perusahaan maka pimpinan perusahaan tersebut wajib menjadi salah satu perhatian bank, selain adanya kemampuan untuk memimpin perusahaan, perlu juga untuk dilihat apakah pemimpin tersebut menguasai bidang usaha serta memiliki kesungguhan mengelola usaha dengan baik dan mampu memberikan keuntungan.119
117
Gatot Supramono, op cit., hlm. 49.
118
Ibid.,
119
Ibid., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
37
Pengukuran atas capacity calon debitur dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yakni:120 1. Pendekatan historis, untuk menilai post performance dari calon kreditur yang bersangkutan apakah usahanya banyak mengalami kegagalan atau selalu menunjukkan perkembangan yang semakin maju dari waktu ke waktu. 2. Pendekatan finansial, yaitu dengan menilai posisi neraca dan laporan perhitungan rugi/laba untuk beberapa periode terakhir, yaitu untuk mengetahui seberapa besarnya solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas usahanya serta tingkat risiko usahanya. 3. Pendekatan yuridis, menilai apakah calon debitur tersebut secara yuridis memiliki kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank 4. Pendekatan manajerial, untuk menilai sejauh sampai sejauh mana kemampuan dan keterampilan calon debitur dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaannya. 5. Pendekatan teknis, untuk menilai sampa sejauh mana kemampuan calon debitur dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan kerja, administrasi
dan
keuangan,
industrial
relation,
termasuk
kemampuan dalam merebut market share.
c. Capital Bank dalam hal ini melakukan penelitian atas modal yang dimiliki oleh calon debitur. Apabila calon debitur adalah perusahaan, maka penilaian juga dapat dilakukan atas financial record dari perusahaan yang bersangkutan.121 Perlu diperhatikan rasio modal dengan kewajiban yang harus dipenuhi atau disebut juga dengan the equity to debt ratio. 120
Teguh Pudjo Muljono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. (Yogyakarta: BPFE, 2001), hlm. 14 121
Weaver and Kevin M Shanahan, op cit., hlm. 224. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
38
Pentingnya penilaian atas the equity to debt ratio adalah untuk melihat kemungkinan bangkrutnya atau tidak sanggupnya calon debitur untuk melakukan pembayaran.122 Hal ini mengingat, rasio keuangan ini akan menggambarkan bagaimana likuiditas dan solvabilitas dari perusahaan calon nasabah yang bersangkutan. Semakin tinggi the equity to debt ratio maka kemungkinan bangkrutnya calon debitur semakin rendah sebaliknya ketika semakin sedikit jumlah modal yang dimiliki maka semakin sulit bagi perusahaan untuk dapat bertahan. Disamping itu penilaian atas rasio keuangan ini juga bertujuan untuk melihat trend perkembangan kinerja bisnis dan keuangan calon debitur pada masa lalu, sehingga dapat menjadi bahan masukan penting bagi bank untuk memperkirakan prospek kondisi keuangan mereka selama masa perjanjian kredit.123 Selaain itu penilaian terhadap capital dilakukan karena pada umumnya bank tidak bersedia membiayai suatu kegiatan usaha tanpa adanya sumber-sumber pembiayaan lain yang mungkin didapatkan oleh calon debitur.124 Oleh sebab itu bank harus melihat sampai sejauh mana kemampuan calon debitur dapat menyediakan modal sendiri.
d. Condition of Economy Condition of economy merupakan situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk kurun waktu tertentu yang kemungkinan akan dapat memengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.125 Secara umum, salah satu faktor penting yang harus dilakukan analisis atasnya oleh bank, sebelum memberikan kredit adalah kondisi perekonomian secara mikro maupun makro. Analisis 122
Retto Gallati, Risk Management and Capital Adequacy. (McGraw-Hill; 1st edition , 2003)., hlm. 155. 123
Siswanto Sutojo, Strategi Manajemen Kredit Bank Umum, Konsep Teknik dan Kasus. (Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2000) hlm. 63. 124
Kasmir, op cit., hlm. 92.
125
Teguh Pudjo Muljono, op cit, hlm. 17. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
39
terutama dilakukan terhadap kondisi perekonomian yang berhubungan langsung dengan proyek yang dijalankan oleh debitur.126 Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan-kebijakan penting yang terdapat di dalam negara tersebut dalam kaitannya dengan proyek yang akan dibiayai.127 Selanjutnya penilaian secara khusus, dilakukan dalam kaitannya dengan kondisi sektor usaha calon debitur. Hal ini penting dalam rangka memperkecil risiko yang mungkin terjadi sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang sedang terjadi. Penilaian atas kondisi ekonomi dapat dilakukan dengan melihat pasar dari kegiatan usaha tersebut, serta prospeknya kedepan.
e. Collateral Collateral atau agunan berfungsi sebagai sarana pengaman atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya atau lalainya nasabah debitur. Pada prinsipnya agunan ini bukanlah suatu hal yang menjadi keharusan jika memang unsur C lainnya telah terpenuhi oleh calon debitur.128 Pengaturan ini tampak berbeda dengan ketentuan pasal 24 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1967 Tentang Perbankan, dimana pasal tersebut menyatakan bahwa “bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. Ketentuan yang ada sekarang tampak lebih sesuai dengan sifat perjanjian pemberian jaminan itu sendiri, dimana perjanjian pemberian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accessoir atau hanya sebagai tambahan dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian pemberian kredit. Dengan demikian, dimulai dan berakhirnya perjanjian pemberian jaminan tersebut bergantung kepada perjanjian pokoknya.129
126
Munir Fuady, op cit., hlm.24.
127
Retto Gallati, op cit., hlm. 155.
128
Yunus Husein, Aspek Hukum Perkreditan Bank. Disampaikan pada kuliah Hukum Perbankan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011. 129
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. (Bandung: Alumni, 1978)., hlm.32. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
40
Agunan berperan sebagai jaring pengaman. Dengan adanya agunan bank dapat menghilangkan atau meminimalisir kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan yang salah ketika menyetujui pemberian kredit. Mengingat, kemungkinan adanya informasi yang asimetris antara bank dengan calon debitur.130 Jika ternyata bank salah dalam pengambilan keputusan, agunan dapat berperan sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan oleh bank untuk meyakinkannya kalau debitur akan melakukan pembayaran atas sejumlah pinjaman. Hal yang sama berlaku terhadap upaya untuk meminimalisir moral hazard dari pihak debitur. Namun, pada prinsipnya unsur penting dalam pemberian kredit bukan agunan akan tetapi adanya kepercayaan antara bank dengan calon debitur. Meskipun, tidak dapat dipungkiri jika agunan akan menjadi sangat penting ketika debitur lalai dalam memenuhi sejumlah kewajibannya. Agunan akan sangat penting terlebih lagi ketika proyek yang dibiayai oleh bank memiliki risiko yang cukup tinggi.131 Jaminan/agunan, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Jaminan Perorangan Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.132 Lebih lanjut
pasal
1820
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
“KUHPerdata” mengatur bahwa: “Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ke tiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”. Jaminan Perorangan dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni: a) Pribadi/Individual
130
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, Collateral, Type of Lender and Relationship Banking as Determinants of Credit Risk. Jounal of Banking and Finance 28, (2004) 131
Ibid.,
132
R Subekti, op cit, hlm. 15. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
41
Jaminan perorangan atau disebut juga dengan borgtocht adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). b) Badan Hukum/Korporasi Berbeda halnya dengan jaminan individual, dalam jaminan korporasi yang memberikan jaminan adalah suatu badan usaha atau atas nama suatu korporasi. Dengan latar belakang dan tujuan yang sama dengan perjanjian penanggungan pada umumnya.
2) Jaminan Kebendaan a) Gadai Hak yang diperoleh kreditur dari suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, sebagai jaminan atas utangnya, dan memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan atas barang tersebut. (pasal 1150 KUHPerdata)133 b) Fidusia Sama halnya dengan gadai, fidusia juga berfungsi sebagai jaminan, hanya saja dapat diberikan atas benda bergerak maupun tidak bergerak dan benda yang dijadikan objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur akan tetapi tetap berada pada debitur. (pasal 1 angka 1 Undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)134 c) Hak Tanggungan Hak tanggungan merupakan bentuk jaminan yang objek bersifat limitatif, yakni hanyalah tanah maupun benda-benda yang
133
KUHPerdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007). Pasal 1150. 134
Indonesia, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 1999; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
42
berkaitan dengan tanah. (pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah)135
Terlepas dari adanya bentuk jaminan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya terdapat bentuk jaminan lain, yakni jaminan umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata, secara tegas menyatakan bahwa “segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Namun dalam praktek dunia perbankan, jaminan umum kurang dapat diterima karena tidak ada kepastian dari pihak bank untuk memperoleh kembali pelunasan hutangnya dan tidak terdapat hak preferen dalam jaminan umum.136
2.3
Manajemen Risiko dalam Pemberian Kredit oleh Bank
2.3.1
Manajemen Risiko pada Bank Risiko secara sederhana diartikan sebagai kemungkinan terjadinya
kehilangan, kerugian, atau kerusakan.137 Subekti, lebih lanjut memberikan pengertian risiko sebagai suatu kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.138 Unsur penting dalam risiko adalah tanggung jawab yang timbul bukanlah karena kesalahan pihak yang harus memberikan ganti rugi serta disebabkan karena adanya ketidakpastian.
135
Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632. 136
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Jaminan. (Jakarta: Indo-Hill-Co, 2005), hlm. 19. 137
Robert M. Crowe and Ronald C. Hom, The Meaning of Risk. The Journal of Risk and Insurance, volume 34, No. 3 (Sep., 1967), pg 459-474. . Diakses, 2 Desember 2011. 138
Subekti, Hukum Perjanjian. (Jakarta: PT Intermasa, 2004), hlm. 59. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
43
Dilihat dari sejarahnya maka, manajemen risiko lahir dari ide perusahaan asuransi. Manajemen risiko mulai dikenal sejak tahun 1950an. Dengan dasar pemikiran manajemen ilmiah, yang melakukan penekanan terhadap pentingnya analisis atas biaya dan keuntungan, nilai yang diharapkan dan adanya pendekatakan ilmiah dalam pengambilan keputusan atas suatu ketidakpastian.139 Terdapat beberapa terminologi terkait dengan manajemen risiko, diantaranya diungkapkan oleh Retto Gallati. Mendefinisikan manajemen risiko dalam dua pendekatan, yakni: “In a broad sense, the process of protecting one’s person or organization intact in terms of asssets and Income. In the narrow sense, it is a managerial function of business, using a scientific approach to dealing with risk. As such, it is based on a distinct philosophy and follows a well-defined sequence of steps.” Pada prinsipnya pelaksanaan dari manajemen risiko adalah dilakukannya suatu analisis dengan menggunakan metode yang ada untuk menilai tingkat risiko suatu kegiatan.140 Dengan kata lain, manajemen risiko berperan dalam rangka mengelola risiko yang dihadapi oleh individu atau suatu institusi.141 Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, manajemen risiko bank secara khusus diatur melalui Peraturan Bank Indonesia. Manajemen risiko diartikan sebagai metode atau prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.142 Melalui ketentuan pasal 2 dari peraturan tersebut, bank diwajibkan untuk
139
Retto Gallati, op cit., hlm. 12
140
Kurt J Engemann and Holmes E Miller, Operations Risk Management at a Major Bank. Volume 22, No. 6, Decision and Risk Analysis (Nov – Dec., 1992), pg. 140-149. . Diakses, 2 Desember 2011. 141
Retto Gallati, op cit, hlm. 11.
142
Peraturan Bank Indonesia, Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Manajemen Risiko Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pasal 1 angka 5. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
44
menerapkan manajemen risiko secara efektif, baik untuk bank secara individual maupun bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak. Cakupan dari manajemen risiko yakni:143 a. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; b. Kecukupan kebijakan,prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko, c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Terkait dengan bentuk-bentuk risiko yang dapat terjadi pada bank, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. Risiko Reputasi; g. Risiko Stratejik; dan h. Risiko Kepatuhan.
Dalam prakteknya risiko kredit dan risiko operasional memegang peranan penting dalam menyebabkan lumpuhnya kegiatan usaha bank.144 Tidak hanya itu dengan semakin banyaknya kegagalan yang terjadi dalam dunia perbankan dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap pemeriksaan dan pengawasan bank.
145
Oleh sebab itu manajemen risiko pada
bank menjadi sesuatu yang dianggap penting. Dasar pertimbangan lainnya adalah sebagai berikut:146
143
Ibid., pasal 2
144
Andreas A Jobst et all, op cit., hlm. 424.
145
Ibid., hlm. 3 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
45
1. Struktur hukum perbankan yang dianggap masih menghambat kompetisi 2. Terjadinya sejumlah resesi pada bank-bank nasional telah berdampak pada kegagalan perbankan secara umum 3. Adanya anggapan bahwa semakin meningkatnya risiko dan lemahnya pengawasan dari otoritas yang berwenang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam jumlah yang lebih besar.
2.3.2
Risiko kredit sebagai salah satu bentuk risiko bank Pentingnya manajemen risiko dalam pemberian kredit mulai menjadi
perhatian ketika banyak negara-negara di dunia khususnya negara-negara yang sedang berkembang, mengalami permasalahan kredit dalam sistem perbankannya. Hampir sebagain besar bank-bank di Eropa bahkan sampai ke Asia harus berhadapan dengan krisis.147 Dapat dilihat manajemen risiko kredit pada bank lahir pasca terjadinya sejumlah kegagalan dalam dunia perbankan pada tahun 1990an. Akibat terjadinya sejumlah kegagalan ini, pengamat manajemen risiko kredit mulai menciptakan suatu teknik baru untuk mengatasi permasalahan yang ada.148 Hal inilah yang pada akhirnya mendorong, bank sentral dari negara-negara tersebut menyusun suatu pedoman dalam memanejemen pemberian kredit. Risiko kredit menurut Bank for International Settlement (BIS), dalam laporannya pada tahun 2006 adalah sebagai berikut:149 “Credit risk / exposure: the risk that a counterparty will not settle an obligation for full value, either when due or at any time thereafter. In exchange for value systems, the risk is generally defined to include replacement risk and principal risk.”
146
Morton Glantz, Managing Bank Risk, an Introduction to Broad-Base Credit Engineering. (United States of America: Academic Press, An Elsevier Imprint, 2002). hlm. 2. 147
John B Caouette, et all, Managing Credit Risk, The Great Challenge for Global Financial Markets 2nd edition. (USA, Wiley, John Wiley & Sons, Inc), hlm. 10 148
John B Caouette et all, hlm. 13.
149
Bank for International Settlement (BIS), Basel Committee on Banking Supervision, Settlement Risk in Foreign Exchange Transaction: Report Prepared by the Committee on Payment and Settlement System of The Central Banks of the Group of Ten Contries, Basel, Switzerland: Bank for International Settlement, March 1996. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
46
Risiko kredit menurut ketentuan perundang-udndangan di Indonesia merupakan risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.150 Lebih lanjut penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf a mengatur bahwa, termasuk dalam kelompok risiko kredit adalah risiko konsentrasi kredit. Adapun yang dimaksud dengan risiko konsentrasi kredit adalah risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha bank. Oleh sebab itulah bank dalam prakteknya melakukan suatu analisis sebelum menyalurkan kredit kepada debitur, yang dikenal dengan credit analysis. Credit analysis itu sendiri memiliki tujuan sebagai berikut: “To determine as dispassionally as possible whether or not as applicant is willing and financially able to accept credit in specific amounts according to specific terms and conditions”.151 Pada kenyataannya analisis kredit bukanlah suatu hal yang menjadi tolok ukur diberikan atau tidaknya kredit oleh bank karena analisis kredit lebih berfungsi sebagai bahan rujukan atau referensi bagi pengambil keputusan untuk memberikan kredit.152 Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, pentingnya manajemen risiko dalam pemberian kredit berperan dalam rangka melakukan analisis yang dapat membantu pihak bank untuk menilai kemampuan calon debitur untuk melakukan pembayaran kembali.153 Analisis dalam hal ini tidak hanya dilakukan terhadap calon debitur akan tetapi juga terhadap counterparty dari calon debitur.
150
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009, op cit., pasal 1 angka
6. 151
Alexander Bathory, The Analysis of Credit, Foundation and Development Credit Assesment. (Londong: McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, 1987). Pg.4 152
Ibid., pg. 5.
153
Morton Glantz, op cit., hlm.7. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
47
Dengan kata lain adanya analisis atas risiko kredit ini bank melakukan check and balance untuk meyakinkan pihak bank kalau kredit yang dibuat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disamping itu menjadikan bank dapat memberikan penilaian yang objektif atas kualitas aset dari calon debitur tanpa terpengaruh oleh adanya hubungan baik antara bank dengan calon debitur.154 Fungsi ini penting dalam kaitannya dengan adanya hubungan baik antara bank dengan calon debitur. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jika ternyata bank akan cenderung lebih berani mengambil risiko tinggi apabila bank telah memiliki hubungan yang baik sebelumnya dengan calon debitur. Hal ini mengingat dalam kenyataanya, manajemen atas risiko kredit diperlukan ketika pihak bank belum memiliki hubungan yang cukup baik dengan calon debitur.155 Tidak hanya itu, dalam prakteknya bank juga sering sekali lalai dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur ataupun counterparty dari calon debitur, ketika mereka dirasa memiliki reputasi yang cukup baik.156 Padahal dalam faktanya, hal ini adalah sesuatu yang harus dihindari oleh pihak bank dalam rangka pemberian kredit. Beberapa aspek penting yang biasanya digunakan dalam penilaian oleh bank antara lain adalah:157 1) Para pengurus dari perusahaan yang bersangkutan 2) Nama dan alamat dari advisor perusahaan yang bersangkutan 3) Jumlah pekerja yang diperkerjakan oleh perusahaan 4) Manajemen strategi yang ditempuh oleh perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas perusahaannya dan meningkatkan keuntungan 5) Kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan sejumlah perubahan yang ada
154
Ibid.,
155
Lampros Kalyvas&Loannis Akkizidis and Loanna Zourka&Vivianne Bouchereau, Integrating Market, Credit and Operational Risk, A Complete Guide for Banker and Risk Professionals. Riks Books, Division in Incisive Financial Publishing Ltd. 156
Principles for the Management of Credit Risk. Consultative paper issued by the Basel Committee on Banking Supervision, Basel, September 2000. 157
Morton Glantz, op cit., hlm. 16 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
48
6) Gambaran atas langkah-langkah yang diambil dalam menyelesaikan suatu permasalahan dan bagaimana cara pengambilan keputusan. Untuk melihat apakah pengambilan keputusan telah dilakukan pada tingkatan yang sesuai 7) Dasar-dasar manajemen yang dijalankan oleh perusahaan 8) Informasi mengenai lingkungan kerja 9) Apakah pihak manajerial telah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai guna menghindari permasalahan yang telah terjadi berulang kali 10) Reputasi kerja dari pihak manajerial, pemilik dan advisor saat ini 11) Jumlah aset dan informasi lainnya, manajemen keuangan dan budgeting, human resources management dan lain-lain. 12) Apakah tujuan dan strategi bisnis yang dibuat telah dijalankan dengan baik.
Penilaian risiko atas kredit merupakan salah satu bentuk implementasi dari prinsip kehati-hatian itu sendiri. Bank Indonesia/OJK selanjutnya berperan selaku pengawas. Dengan sistem pengawasan risk based supervision. Pengawasan dilakukan dengan berorientasi ke depan yang difokuskan kepada risiko-risiko yang melekat pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko.158 Salah satu aktivitas fungsional itu adalah fungsi bank dalam rangka menyalurkan kredit kepada nasabah. Fungsi bank dalam menyalurkan kredit, dinilai memiliki peranan penting bagi kehidupan bank umum karena kredit merupakan bagian terbesar sumber penghasilan bank umum.159 Secara umum terdapat dua faktor penyebab terjadinya risiko kredit, yakni:160 a. Faktor Eksternal Bank 1) Ketiadaan kemauan membayar (willingness to pay); akibat masalah karakter debitur/counterparty dan dapat disebabkan oleh kelemahan
158
Sistem Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia, . Diakses, 25 Desember 2011. 159
Siswanto Sutojo, op cit.,, hlm. 3.
160
BankirNews.com, Penilaian Profil Risiko Kredit (Credit Risk), < http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1260:penilaian-profilrisiko-kredit-bank&catid=127:risk-profile&Itemid=189>, diakses 3 Oktober 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
49
bank dalam melakukan identifikasi kelayakan debitur/counterparty dan atau itikad baik bank dalam kegiatan penyaluran dana, dan 2) Ketiadaan kemampuan membayar (ability to pay), disebabkan menurunnya kondisi usaha debitur/counterparty baik akibat kesalahan pengelolaan (mismanagement) dan atau pengaruh faktor ekonomi makro atau sektor industri tertentu. b. Faktor Internal Bank 1) Konsentrasi risiko kredit dalam portofolio asset 2) Kelemahan sistem pengendalian dan proses manajemen risiko kredit 3) Itikad tidak baik pengurus bank, seperti kesengajaan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam proses penilaian kelayakan kredit dan penyediaan dana lainnya; adanya kerjasama/kolusi dengan debitur counterparty.
Selanjutnya komponen utama dari risiko kredit dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni: a. Probality of default Adanya kemungkinan debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian. b. Recovery rate Bagian tertentu yang dapat diterima oleh bank apabila debitur default c. Credit exposure Hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default. Risiko perkreditan dapat dibedakan menjadi:161 1. Risiko sifat usaha Melalui sifat usaha ini akan diketahui tinggi rendahnya tingkat risiko usaha dengan berbagai kriteria, antara lain: a. Turn over usaha makin tinggi maka semakin tinggi risikonya b. Tingkat spesifikasi/kekhususan usaha, semakin khusus bidang usaha semakin tinggi risikonya 161
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 80 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
50
c. Investasi pada aktiva lancar modal/kerja, semakin besar investasi pada modal kerja maka risiko akan semakin tinggi dibandingkan dengan usaha investasi pada barang-barang modal d. Usaha dengan padat modal pada negara berkembang akan memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan usaha yang banyak mengerahkan tenaga. Sebaliknya pada negara maju usaha padat karya akan memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha yang padat modal e. Karena memang sifat dari pekerjaannya sendiri yang memiliki risiko tinggi, misalnya pengeboran minyak. 2. Risiko geografis Faktor geografis erat hubungannya dengan bencana alam yang sering terjadi pada suatu lokasi tertentu. Selain karena bencan alam risiko ini dapat juga timbul karena faktor lingkungan, contohnya pendirian industri pada daerah padat permukiman, yang biasanya akan diprotes warga. 3. Risiko politik Hal ini berkaitan dengan kebijakan politik di suatu negara yang memengaruhi tingkat keberhasilan suatu kegiatan usaha. 4. Risiko uncertainty/ketidakpastian Faktor ketidakpastian akan menimbulkan spekulasi, selanjutnya semakin tinggi spekulasi maka akan semakin tinggi juga risikonya. Terkait dengan risiko jenis ini biasanya cukup sulit untuk dihitung dan tidak dapat diketahui pasti kapan risiko tersebut akan datang. Dalam prakteknya pemahaman akan ketidakpastian ini nantinya akan berdampak pada penetapan suku bunga kredit, semakin tinggi risiko suatu kegiatan usaha maka sudah sepantasnya suku bunga yang dibebankan kepada nasabah juga semakin tinggi. 5. Risiko inflasi Risiko jenis ini dikatakan bersifat abstrak karena risiko ini datangnya bukanlah karena debitur tidak melakukan pembayaran atas hutangnya. Akan tetapi risiko bank mengalami penurunan terhadap daya beli dari rupiah yang dipinjamkan kepada nasabahnya. Dengan demikian pada masa Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
51
inflasi biasanya ada suatu kebijakan yang harus ditempuh agar bank dapat tetap mempertahankan real capitalnya sesuai dengan purchasing power pada saat pemberian kredit kepada nasabah. 6. Risiko persaingan Risiko persaingan dapat berupa persaingan terhadap sesama bank sendiri yang membiayai proyek yang sama atau persaingan antara perusahaanperusahaan sejenis yang menjadi objek perkreditan.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
52
BAB 3 KARAKTER RISIKO PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA
3.1
Keterbatasan Modal Sebagai Salah Satu Problematika Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Minyak dan gas bumi berasal dari proses sisa kehidupan purba yang
terpendam bersama air laut dan kemudian masuk ke dalam suatu batuan pasir, lempung atau gambing.162 Dilihat dari proses pembentukannya, dikenal tiga teori yang
mendasari
terbentuknya
minyak
dan
gas
bumi,
yakni,
teori
biogenetic/organic, abiogenetic/inorganic, duplex origin.163 Secara umum untuk terbentuknya minyak dan gas bumi harus terpenuhi syarat-syarat tertentu yang dikenal dengan petroleum system elements.164 Melihat sejarahnya, minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia pada abad pertengahan. Minyak bumi pertama kali ditemukan oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker di lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di daerah Pangkalan Berandan pada tahun 1883.165 Penemuan minyak dan gas bumi untuk pertama kalinya ini, sekaligus merupakan konsesi pertama yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda166 yang kemudian menjadi modal bagi pendirian salah satu perusahaan minyak yang dikenal dengan nama Royal Dutch Shell.
162
Sutadi Utomo, “Understanding the PSC,” (LDI Training Bandung 31 Juli- 1 Augustus, 2008), hlm. 1. 163
Stanvac Indonesia. “Industri Minjak Bumi, Suatu Pengantar”. Jakarta: PT Stanvac Indonesia,1970.,hlm. 1 164
Zanial Achmad, “General Petroleum Geology,” (Oil and Gas Course, Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010), hlm. 3 165
“Sejarah Perkembangan Industri Minyak dan gas bumi di Indonesia,” http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82:sejarahperkembangan-industri-minyak dan gas bumi-indonesia&catid=38:artikel&Itemid=66. Diakses 30 November 2011. 166
Mochtar Kusumaatmadja, “Perminyakan di Indonesia dan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Kontrak),” (Pendidikan Lanjutan Hukum Perminyakan dan Gas Bumi Fakultas Hukum UI, 1994), hlm. 1. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
53
Mengingat peran sektor perminyakan dan gas bumi yang cukup besar dan proses pembentukannya yang tidak sederhana, maka adalah suatu hal yang lumrah jika permasalahan yang terdapat di dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi menjadi salah satu perhatian utama pemerintah Indonesia. Terlebih lagi dalam faktanya industri minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis bagi politik dan ekonomi negara serta kemakmuran rakyat.167 Hal ini terbukti, sejak masa penjajahan oleh Belanda dan pendudukan oleh Jepang, ladang minyak dan gas bumi telah dan menjadi sasaran utama serangan dan pendudukan musuh.168 Dalam rangka pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia, pemerintah telah menerapkan tiga bentuk mekanisme kerja sama atau kontrak. Ketiga bentuk kerjasama tersebut merupakan bentuk kerjasama yang digunakan oleh negaranegara penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya. Bentuk-bentuk kontrak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: a. Sistem Konsesi Pada awal keberlakuannya di Indonesia, konsesi di pegang oleh para sultan yang didalam wilayah kekuasaannya ditemukan sumber daya migas.169 Konsesi pertama diberikan oleh Sultan Langkat kepada pengusaha tambang berkewarganegaraan Belanda.170 Konsesi merupakan perjanjian antara suatu negara pemilik atau pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi dengan kontraktor, dimana kontraktor akan mendapatkan hak untuk melakukan eksplorasi dan jika berhasil,
167
Pri Agung Rakhmanto, ibid.,
168
R Djokopranoto et all., Merajut Karya Mengukir Sejarah, Memoar Alumni Pendidikan Ahli Minyak Tentang Peran dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Pertamina: Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Ahli Minyak, (Jakarta, April 2009).,hlm. 41 169
T.N Machmud, “The Indonesian Production Sharing Contract”, (Disertasi Doktor Kluwer Law International, The Hague, 2000). 170
Lemigas, Bunga Rampai Seratus Tahun Perminyakan di Indonesia (Jakarta: Lemigas 1985) mengutip Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
54
melakukan produksi serta memasarkan minyak dan gas bumi dengan tanpa melibatkan negara pemberi konsesi dalam manajemen operasi.171
b. Kontrak Karya Latar belakang pembentukan kontrak karya adalah karena konsesi yang berlaku sebelumnya sudah dianggap tidak efektif lagi dan tidak mampu mengakomodir kepentingan negara Indonesia. Maka lahirlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disahkan menjadi undang-undang (“UU No. 44 Prp Tahun 1960”). Sebagai akibatnya berakhirlah seluruh konsesi yang telah ada sebelumnya.172 Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melakukan operasi perminyakan masih diperlukan bantuan perusahaan minyak asing melalui kerja sama modal asing dan nasional.173 Hal ini sebagaimana diakomodir dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) UU No. 44 Prp Tahun 1960, yang menyatakan pemerintah Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak swasta nasional maupun asing, apabila belum dapat mengusahakan sendiri.
c. Kontrak Bagi Hasil Kontrak Bagi Hasil “KBH” merupakan modifikasi dari bentuk Kontrak Karya. Di dalam KBH dinyatakan bahwa wewenang manajemen di tangan perusahaan negara, sedangkan peranan kontraktor migas hanya merupakan badan yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan operasi perminyakan. Dengan demikian hak milik atas minyak mentah sampai pada titik penyerahan tetap berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia.
171
Rudi M Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi. (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
55. 172
Pencabutan Konsesi tersebut didasarkan pada Pasal 22 paragraf 1, UU No. 44 Prp Tahun 1960. 173
Sutadji Pujo Utomo, “Aspek Fiskal Undang-undang dan Peraturan Migas dan Perpajakan di Indonesia, “Warta Pertamina No. 22/XXIV, hal. 20, Tahun 1990. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
55
Kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilakukan berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.174 Mekanisme pembagian produksi yang terdapat dalam KBH adalah sebagai berikut: a) First Tranche Petroleum First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh pemerintah dan/atau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).175 b) Cost recovery Merupakan suatu mekanisme dimana kontraktor, jika ada produksi, mendapatkan cicilan penggantian (recovery) berupa sejumlah minyak atau bagian dari hasil penjualan gas senilai pengeluaran yang telah dilakukan sehingga produksi itu ada. c) Equity to be Split Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara pemerintah dan kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada), dan pengembalian biaya operasi.176
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi diselenggarakan dengan mekanisme kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pihak swasta, baik asing maupun nasional. Dalam kaitannya dengan landasan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat dikuasai 174
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 123 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4435. pasal 1 angka 4. 175
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, “PP No. 79 Tahun 2010”. Lembaran Negara Nomor 139 Tahun 2010; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5173. Pasal 1 angka 6. 176
Ibid., pasal 1 angka 8. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
56
oleh negara. Akibatnya, pemerintah sendiri yang seharusnya memegang kendali atas pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pemerintah telah menerapkan tiga bentuk kerjasama dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi. Salah satu hal penting yang melatarbelakangi lahirnya konsep kerjasama ini adalah adanya keterbatasan modal. Hal ini mengingat, pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi memerlukan modal dalam jumlah yang cukup besar. Peranan swasta menjadi sangat diharapkan meskipun keterbatasan modal lagi-lagi menjadi penghambat utama bagi swasta nasional untuk ikut berperan dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia.177 Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan mengapa perusahaan minyak asinglah yang mendominasi industri perminyakan di Indonesia.178
3.2
Karakter Risiko yang Terdapat dalam Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi Kegiatan usaha hulu dalam industri minyak dan gas bumi dapat dibagi menjadi dua tahapan, yakni:
3.2.1
Tahapan Eksplorasi Eksplorasi merupakan suatu kegiatan dilakukan dalam rangka menemukan cadangan minyak dan gas bumi. Lebih lanjut UU No. 22 Tahun 2001 merumuskan eksplorasi sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.179
177
Badan Pemeriksa Keuangan “Cost Recovery dalam kontrak Production Sharing Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”. < http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf>. Diakses, 11 Oktober 2012. 178
Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI, “Analisis Industri MInyak dan Gas Bumi di Indonesia: Masukan bagi Pengelola BUMN”. , Diakses 11 Oktober 2012.
179
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit., pasal 1 angka 8. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
57
Secara garis besar tahapan yang terdapat dalam eksplorasi minyak dan gas bumi dapat digambarkan sebagai berikut:180 a.
Pemetaan Geologi Pemetaan geologi dilakukan untuk melihat kondisi permukaan bumi. Pada tahapan ini perkiraan akan ditemukan atau tidak cadangan masihlah bersifat dangkal. Geolog akan mempelajari sebuah wilayah untuk mengetahui kemungkinannya mengandung rongga dan celah dibawah bumi yang mungkin menjadi tempat mengendapnya minyak dan gas bumi.181 Dalam pemetaan geologi dilakukan pencarian atas jenis batuan (batuan cadangan, batuan induk, batuan dasar). Geolog juga mempelajari penyebaran dan susunan batuan, umur batuan, struktur batuan dan terakhir adalah rembesan minyak/gas bumi (oil/gas seepages).
b.
Remote Sensing/ Satellite Imagery Merupakan proses pengambilan foto tentang permukaan bumi.
c.
Penyelidikan Geofisika Pada tahap ini dilakukan penyelidikan yang lebih mendalam. Dengan tujuan mencari gambaran yang lebih mendetail di bawah permukaan bumi. Penyelidikan geofisika dapat dilakukan dalam tiga tahapan, yakni
penyelidikan magnetis,
penyelidikan
gaya berat
dan
penyelidikan seismik. d. Pemboran Eksplorasi Tahapan ini dilakukan dengan tujuan melakukan perekaman susunan jenis batuan, pengambilan contoh batuan/fluida, tekanan formasi dan adanya indikasi minyak dan gas bumi serta pengujian formasi.182 Pemboran eskplorasi baru dapat dilakukan apabila telah ada integrasi data dari semua kegiatan geologi dan penyelidikan geofisika yang
180
Zanial Achmad, “The Quest of Energy”. Disampaikan pada Oil and Gas Course, Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010. 181
Kartiyoso Sayogyo, Migas dan Usaha Migas (kumpulan pokok-pokok pikiran). (Humas Pertamina, Yayasan Patra Cendikia, 1999). hlm. 60. 182
Ibid., hlm. 60 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
58
ada. Tahapan ini dapat dikatakan merupakan puncak kegiatan eksplorasi. Lokasi pemboran ditentukan berdasarkan peta-peta yang dibuat dari hasil interpretasi seismik. e.
Pemboran Deliniasi Apabila pemboran eksplorasi berhasil maka akan dilakukan ke tahap pemboran deliniasi. Tahapan ini biasanya dilakukan setelah seismik 3D, dengan mengebor dua hingga empat sumur. Adapun tujuan dilakukannya
pemboran
deliniasi
adalah
untuk
mengetahui:
penyebaran batuan cadangan prospektif; batas antara air, minyak dan gas; besarnya volume cadangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahapan pemboran deliniasi merupakan tahapan terpenting dalam penentuan sukses tidaknya suatu kegiatan eksplorasi.
Dalam faktanya, tahapan eksplorasi merupakan tahapan yang penuh dengan ketidakpastian karena suatu sumur biasanya akan dibor hanya berdasar kepada informasi yang diperoleh dari sumur-sumur di sekitarnya.183 Sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya cadangan minyak harus dilakukan pengeboran atas sebuah sumur. Dalam praktiknya, pemboran sumur seringkali dihadapkan dengan tidak ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi yang layak untuk produksi. Kemungkinan tidak berhasilnya pemboran adalah 0,8, sedangkan kemungkinan berhasil dan yang memberikan net present value hanyal 0,2.184 Dengan demikian, kegiatan penemuan cadangan minyak dan gas bumi digambarkan dengan kemungkinan berhasil 20% dan kemungkinan gagal mencapai 80%. Dengan ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi pada tahap pemboran deliniasi tidak serta merta membuat lapangan tersebut layak diusahakan. Perhitungan yang matang harus dilakukan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan
berbagai
aspek
penting
lainnya.
Keputusan
untuk
183
F Poletto and F Miranda, Seismic While Drilling Fundamentals of Drill-Bit Seismic for Explorations. (Handbook of Geophysical Exploration, Seismic Exploration, vol 35. Elsevier, 2004). hlm. 2. 184
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan analisis kebijakan. (Development Studies Foundation, 2009), hlm. 35 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
59
melanjutkan pengeboran atau tidak dilakukan dengan perhitungan atas cadangan produksi (proven reserves).185 Harus dipastikan apakah proven reserves dapat dipertahankan selama jangka waktu tertentu. Proven reserves itu sendiri menurut society of petroleum engineers adalah perkiraan jumlah bahan tambang yang dapat diproduksikan dari akumulasi yang diketahui pada waktu tertentu pada kondisi ekonomi pada saat tertentu dan kekomersialannya telah diperlihatkan oleh tes-tes produksi atau formasi. Dimana perhitungan atas cadangan diperkirakan berdasarkan informasi geologi, rekayasa, dan ekonomi pada waktu perkiraan. 186 Sesuai dengan rangkaian kegiatan tersebut dapat dilihat bahwa usaha penemuan cadangan minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan tanpa adanya kegiatan pemboran.187 Perkiraan semata tidak dapat memberikan kepastian adanya cadangan minyak dan gas bumi. Untuk melakukan pemboran dibutuhkan biaya yang sangat tinggi, mencapai US$ 5 Juta atau sekitar 50 miliar.188 Dengan demikian, tahap produksi hanya akan dilakukan apabila hasil pemboran deliniasi menyatakan terdapat cadangan minyak dan gas bumi dan perhitungan atas penemuan cadangan tersebut dinyatakan komersial. Hal inilah yang pada akhirnya membuat kegiatan eksplorasi dikatakan memiliki risiko dan biaya yang tinggi karena di satu sisi biaya yang dibutuhkan sangat tinggi dan di sisi lain penemuan cadangan penuh dengan ketidakpastian.189
3.2.2
Tahapan Eksploitasi
185
Ibid., hlm. 5
186
Ibid.,
187
Robert J. Beck, Oil Industry Outlook 13th edition. (Tulsa, Oklahoma: PennWell Books, 1996)., hlm. 153. 188
Kontan, Lapindo Bor Sumur Lagi http://industri.kontan.co.id/news/lapindo-bor-sumur-lagi-di-sidoarjo>. 2012.
di Sidoarjo. < Diakses 27 November
189
S. B Suslick and D. J Schiozer, “Risk Analysis to Petroleum Exploration and Production: an Overview”. Journal of Petroleum Scince and Engineering 44 (2004). Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
60
Risiko pada tahap eksploitasi timbul ketika pengeboran minyak dan gas bumi membutuhkan suatu mekanisme baru dikarenakan sumber daya yang terkandung di dalam reservoar menurun. Jenis recovery pada tahap eksploitasi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni:190 1)
Premier Recovery Dalam tahapan ini, produksi minyak dan gas bumi masih banyak dan tidak membutuhkan dilakukannya upaya tertentu. Hal ini dikarenakan proses alamiah yang sangat mendukung seperti adanya tekanan dari dalam tanah. Tekanan dari dalam tanah menyebabkan minyak dan gas bumi mudah untuk dikeluarkan tanpa penggunaan alat atau bahan lainnya.
2)
Secondary Recovery Ketika produksi minyak dan gas bumi mulai berkurang sehingga dibutuhkan biaya lain dalam rangka penggunaan alat-alat atau teknologi lainnya sebagai alat bantu. Sebagai contoh dipompakannya air dalam jumlah besar sehingga minyak akan berada diatasnya.191
3)
Tertier Recovery Biaya yang dibtuhkan semakin meningkat tajam dikerenakan minyak dan gas bumi mengalami migrasi ataupun kejadian-kejadian lainnya yang mempersulit pengeboran. Pada saat yang sama juga jumlah produksi sudah semakin berkurang.
Berdasar pada uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa pada prinsipnya kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi tidak dapat ditentukan dengan pasti. Minyak dan gas bumi akan terus mengalami penurunan dan sebaliknya biaya yang dibutuhkan untuk eksploitasi pasti akan terus meningkat. Namun, jika dibandingkan dengan kemungkinan risiko yang terdapat dalam tahapan eksplorasi dapat dikatakan bahwa dalam tahapan eksploitasi sudah ada kepastian akan ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi. Tidak hanya itu penemuan
190
Didi Setiarto, op cit.,
191
Vladimir Alvarado and Eduardo Manrique, “Enhanced Oil Recovery Field Planning and Development Strategies”. Elsevier, Gulf Professional Publishing, 2010. Hlm. 9 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
61
cadangan ini juga sudah diikuti dengan terpenuhinya penilaian atas tingkat komersialitas suatu temuan. Hal ini mengingat tahapan eksploitasi hanya akan dilanjutkan jika cadangan dinyatakan bernilai komersial untuk diproduksikan.
Disamping risiko-risiko khusus sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terdapat pula risiko yang bersifat umum yakni terkait dengan kebijakan pemerintah. Risiko atas kebijakan pemerintah dinilai cukup berat dan kerap dihadapi pelaku usaha/investor di Indonesia. Namun, Indonesia sebagai negara berdaulat berhak untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, karena sumber daya migas dianggap sebagai komoditi strategis, yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.192 Ketentuan inilah yang selanjutnya menjadikan pemerintah untuk terus melakukan perubahan atas mekanisme kerja sama pengelolaan minyak dan gas bumi. Tidak hanya itu, dengan adanya hak menguasasi oleh negara atas sumber daya alamnya,193 pemerintah kerap melakukan sejumlah perubahan atas ketentuan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Baik itu dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan baru maupun dengan melakukan amandemen atasnya. Dimana pada prinsipnya sejumlah perubahan ini telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum yang pada akhirnya berdampak juga pada aspek ekonomis dari industri tersebut. Adapun beberapa ketentuan yang baru-baru ini dikeluarkan ataupun diamandemen oleh pemerintah dan dianggap menganggu iklim investasi adalah: a) Peraturan Pemerintah Tentang Cost Recovery Peraturan pemerintah tentang cost recovery dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.194 Dengan perhatian penting kepada pasal 38 huruf
192
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”. op cit., 193
Jimly Assiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve , 1994), hlm. 12. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
62
(b) yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan kontraktor kerja sama wajib menyesuaikan kontraknya dengan Peraturan Pemerintah ini. Sehingga pasal ini dianggap telah melanggar asas “pacta sunt servanda” atau “sanctity of contracts”.195 b) Ketentuan DMO (Domestic Market Obligation) Dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 dikatakan bahwa “badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% dari bagiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO). Pasca dilakukannya uji materi atas ketentuan ini, melalui putusan Mahkamah Konstitusi dengan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003,196 kata-kata paling banyak dalam pasal tersebut dihapuskan sehingga domestic market obligation menjadi 25%. c) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Pasca dikeluarkannya peraturan menteri ini maka terdapat penambahan pasal baru tentang field/ POD Basis Cost Recovery dan tidak boleh di-recover-nya biaya community development selama masa produksi. d) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Untuk menanggapi dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.197 Permasalahan penting dalam hal ini adalah berubahnya lembaga yang menjadi para pihak dalam kontrak. Dimana BP
194
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. op cit., 195
Alan Fredrik Panggabean, “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery”, Majalah Eksplo Barometer Bisnis Enegrgi dan Pertambangan, No. 44 Tahun III Oktober 2010. 196
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 22/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tanggal 04 Januari 2005. 197
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 226 Tahun 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
63
Migas yang sebelumnya menjadi para pihak terpaksa dibubarkan dengan fungsi dan tugas yang dialihkan kepada kementerian terkait-Kementerian ESDM.
3.3
Karakter Risiko yang Terdapat dalam Industri Hilir Minyak dan Gas Bumi Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat (2) UU No. 22
Tahun 2001, maka kegiatan usaha hilir mencakup: 1) Pengolahan Kegiatan usaha pengolahan meliputi, kegiatan memurnikan, memperoleh bagaian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.198 2) Pengangkutan Kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial.199 3) Penyimpanan Merupakan
kegiatan
usaha
yang
meliputi
kegiatan
penerimaan,
pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial.200 4) Niaga
198
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara No. 124 Tahun 2004; Tambahan Lembaran Negara No. 4436. Pasal 12 huruf a 199
Ibid, pasal 12 huruf b
200
Ibid., pasal 12 huruf c Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
64
Kegiatan usaha niaga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar bas dan/atau hasil olahan, termasuk gas bumi melalui pipa.201
Pasca diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 telah terdapat pemisahan yang tegas antara kegiatan usaha hulu dengan kegiatan usaha hilir. Dalam undangundang sebelumnya, UU No. 44 Prp Tahun 1960 tidak terdapat pemisahan antara kedua kegiatan usaha ini. Kerakter pengusahaan minyak dan gas bumi pada industri hilir berbeda dengan industri hulu. Karena dalam industri hilir pengusahaan dilakukan melalui mekanisme pemberian izin usaha oleh pemerintah, yang dalam hal ini adalah menteri. Sehingga mekanisme kontrak kerja sama tidak ditemukan lagi dalam kegiatan usaha hilir ini. Izin usaha yang diberikan pemerintah disesuaikan dengan peruntukannya. Selain adanya perbedaan terkait dengan mekanisme kerjasama, berbeda dengan kegiatan usaha hulu yang diawasi oleh badan pelaksana (Kementerian ESDM) maka dalam kegiatan usaha hilir pengawasan dilaksanakan oleh badan pengatur. Hal-hal penting yang masuk dalam ruang lingkup kewenangan badan pengatur adalah: 1) Ketersediaan bahan bakar minyak 2) Cadangan bahan bakar minyak nasional 3) Pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak 4) Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa 5) Harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil 6) Pengusahaan transmisi dan distribusi gas bumi.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hilir pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan.202 Terdapat beberapa ketentuan penting dalam kegiatan usaha hilir adalah: 1) Kewajiban bagi badan usaha untuk menjamin ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak di seluruh wilayah Indonesia.
201
Ibid., pasal 12 huruf d
202
Indonesia, PP No. 36 Tahun 2004, op cit., pasal 3. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
65
2) Badan usaha diwajibkan untuk menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak di daerah yang mekanisme pasarnya belum berjalan atau daerah terpencil. 3) Meminta badan usaha untuk menetapkan alokasi cadangan bahan bakar minyak dalam rangka memenuhi cadangan bahan bakar minyak nasional. 4) Dalam kondisi tertentu, pemerintah dapat mewajibkan badan usaha menetapkan pemanfaatan bersama termasuk mekanisme penentuan tarif, dalam rangka menunjang optimasi penyediaan dan pendistribusian bahan bakar ke daerah terpencil. 5) Menghitung dan menetapkan iuran badan usaha.
Untuk
menjamin
terlaksananya
ketentuan
tersebut,
badan
usaha
diwajibkan untuk menyampaikan laporan kepada menteri dan badan pengatur. Laporan dimaksud berisi tentang rencana tahunan, realisasi pelaksanaan bulanan, dan penghentian operasi guna perawatan fasilitas dan sarana pengolahan dalam rangka menjaga ketersediaan bahan bakar minyak.203 Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir tidaklah sebesar yang terdapat dalam kegiatan usaha hulu. Dapat dilihat dalam kegiatan usaha hulu risiko terbesar terdapat pada tidak adanya kepastian akan penemuan cadangan minyak dan gas bumi. Namun demikian, kegiatan usaha hilir juga tidak luput dari sejumlah risiko yang dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Sering terjadinya kebocoran pipa dalam rangka transportasi gas bumi Mengingat karakter gas bumi yang tidak dapat disimpan layaknya minyak bumi, maka transportasi gas bumi menjadi suatu permasalahan yang cukup sering menjadi perhatian. Karena sistem transportasi untuk gas bumi membutuhkan sarana dan prasarana yang cukup sulit.204 Dapat dikatakan karena sifatnya gas, transportasi gas bumi membutuhkan biaya dan
203
Ibid., pasal 22
204
Didi Setiarto, “Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia Dalam Perspektif Produsen,” (Training on The Law of Energy and Mineral Resources, Faculty of Law University of Indonesia. Term 2010), hlm. 32. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
66
persyaratan teknis yang lebih sulit daripada minyak mentah.205 Salah satu masalah yang sering dialami oleh badan usaha adalah terjadinya kebocoran pipa. Permasalahan ini kerap melanda badan usaha yang bergerak di kegiatan usaha hilir. Beberapa diantaranya sebagaimana dialami oleh Conoco Philips206, Chevron Indonesia, Pertamina207 dan beberapa perusahaan lainnya.
2) Pemblokiran jalur transportasi pengiriman minyak dan gas bumi Disamping permasalahan kebocoran pipa sebagaimana telah diuraikan diatas, masalah penting lainnya yang sering kali harus dihadapi oleh perusahaan adalah terkait dengan pemblokiran jalur transportasi. Pada dasarnya pemblokiran jalur transportasi ini tidak hanya berpengaruh bagi kelancaran kegiatan usaha hilir namun juga kegiatan usaha hulu. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri jika kegiatan pengangkutan sebagai salah satu bagian dari kegiatan usaha hilir seringkali menjadi penghambat utama peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Aksi pemblokiran ini khususnya dihadapi oleh perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi yang berada di daerah.208 Padahal tidak dapat dipungkiri jika minyak dan gas bumi yang dihasilkan dari daerah tersebut justru menjadi penyumbang terbesar bagi peningkatan ekonomi setempat.209
205
Hanan Nugroho, “Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan dan Gagasan”. Jurnal Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004. Hlm. 5 206
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, “Kebocoran Pipa TGI di luar kontrol BP Migas”, Diakses 24 Oktober 2012. 207
Antara Riau, “Chevron Bebankan Biaya Kebocoran Gas Pada Negara”, < http://www.antarariau.com/berita/12122/chevron-bebankan-biaya-kebocoran-gas-padanegara.html> Diakses 24 Oktober 2012. 208
Tambang News.com, “Pertamina Optimal Penyaluran BBM Paksa Pemblokiran dan Perusakan Fasilitas Terminal BBM Teluk Kabung”. Jumat, 9 November 2012. < http://www.tambangnews.com/berita/daerah/2867-pertamina-optimal-penyaluran-bbm-paskapemblokiran-dan-perusakan-fasilitas-terminal-bbm-teluk-kabung.html>. Diakses, 11 November 2012. 209
Tempo.com, ”Gubernur Awang Tolak Aski Blokade Jalur Batubara”, Selasa, 29 Mei 2012. < http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/058406893/Gubernur-Awang-Tolak-AksiBlokade-Jalur-Batu-Bara>, Diakses 11 November 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
67
3) Risiko karena adanya ketidakstabilan harga Pada prinsipnya, risiko karena adanya ketidakstabilan harga tidak hanya dihadapi oleh industri hilir. Namun industri hulu juga seringkali dihadapkan dengan adanya risiko fluktuasi harga minyak dan gas bumi. Berbeda dengan industri lainnya, dimana harga komoditi sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran, dalam industri minyak dan gas bumi kondisi politik di suatu negara juga sangat berpengaruh terhadap kestabilan harga. Hal ini mengingat minyak dan gas bumi merupakan suatu komoditi yang sangat vital peranannya bagi pembangunan ekonomi suatu negara.210 Khususnya bagi negara-negara penghasil minyak dan gas bumi. Oleh sebab itu terjadinya ketegangan politik di negara-negara penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya, tidak jarang akan memengaruhi harga minyak dunia.211 Dengan adanya fluktuasi harga minyak maka berpotensi untuk memengaruhi laba yang akan didapatkan oleh perseroan.
3.4
Ketentuan dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
maka kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi harus tunduk pada ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Kepemilikan atas sumber daya minyak dan gas bumi Ketentuan di dalam KBH berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam sistem konsesi dan ontrak karya. Karena KBH mensyaratkan bahwa negara merupakan pemegang hak milik atas sumber daya migas, baik itu ketika sumber daya migas tersebut masih berada di bawah perut bumi maupun ketika migas tersebut di produksi. Sehingga hak milik atas
210
Dean Fantazzini et al, “Global Oil Risks in the Early 21st Century”. Energy Policy 39 (2011), <www.elsevier.com/locate/enpol>. Diakses, 12 Oktober 2012. 211
Indonesia Finance Today, “Penurunan Pasokan Dorong Penguatan Harga MInyak”, 15 August 2012 Diakses, 14 Oktober 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
68
migas baru akan beralih kepada kontraktor ketika migas tersebut telah sampai pada titik penyerahan.212 Pasal 6 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap berada di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan.213 Dengan adanya ketentuan ini maka titel kepemilikan atas minyak bumi pada dasarnya tidak pernah berada di tangan kontraktor mengingat pada titik penyerahan atau point of delivery ini telah dilakukan niaga yang menandakan telah beralihnya rezim hulu ke rezim hilir. Dengan beralihnya rezim hulu ke rezim hilir maka telah beralih juga badan usaha yang berhak atas titel kepemilikan tersebut. Dikarenakan adanya larangan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir dijalankan oleh satu badan usaha.214 Titel kepemilikan ini secara tidak langsung nantinya akan berpengaruh terhadap ketentuan tidak dimungkinkannya badan usaha yang bersangkutan untuk mencatatkan minyak dan gas bumi yang menjadi bagiannya dalam pembukuannya sebagai aset. Demikian juga halnya apabila perusahaan berniat untuk menjadikannya sebagai jaminan kepada pihak lain.
b. Pengendalian Manajemen operasi minyak dan gas bumi berada pada Badan Pelaksana (Pemerintah c.q Kementerian ESDM) Manajemen, menurut business law dictionary adalah “The organization and coordination of the activities of an enterprise in accordance with certain policies and in achievement of defined objectives”.215
212
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1). Pembagian hasil minyak dan gas bumi pada kontrak bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor dilakukan pada titik penyerahan. 213
Titik penyerahan merupakan flense terluar dari pipa muat setelah pengukur penjualan akhir pada terminal pengiriman, atau titik lain yang disetujui para pihak. 214
Ketentuan pasal 10 ayat (1) dan (2), Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
69
Dalam kaitannya dengan ketentuan yang berlaku dalam kontrak kerja sama, Pasal 5.3 Production Sharing Contract, memberikan defenisi bahwa, “BP Migas shall have the right to review the reasonableness of the work program, budget, costs and expenses and the appropriateness of any technical metodhs, system, standards proposed by contractor”.216
Pasca dilakukannya uji materi atas UU No. 22 Tahun 2001, melalui putusannya Mahkamah Konstitusi menetapkan fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q kementerian terkait.217 Hal ini selanjutnya dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.218 Pasal 1 secara tegas menyatakan bahwa tugas, fungsi dan organisasi BP Migas dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, yang dalam hal ini adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM). Dengan demikian, dalam tulisan ini BP Migas selanjutnya akan disebut dengan menteri. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 dalam ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf (b), mengamanatkan bahwa pengendalian manajemen operasi atas pengelolaan minyak dan gas bumi berada pada badan pelaksana yang dalam hal ini adalah menteri. Pengendalian atas manajemen operasi tercermin dalam beberapa hal diantaranya melalui peranan menteri untuk 215
“Business Dictionary”, Diakses, 12 Oktober 2012. 216
Daft Kontrak Kerjasama Pasal 5.3 Production Sharing Contract between Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) and XXX (contractor). 217
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012. Dibacakan pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa frasa Badan Pelaksana yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. 218
Indonesia, Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. op cit., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
70
melakukan pengendalian serta pengawasan terhadap realisasi rencana kerja sebagaimana telah disetujui dan adanya kewajiban bagi kontraktor untuk terlebih dahulu memintakan persetujuan kepada menteri atas, program pengembangan dan program kerja (plant of development POD dan work program and budget atau WP&B). POD atau rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja wajib mendapatkan persetujuan menteri setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah provinsi yang bersangkutan.219 Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 dan Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 maka BP Migas tidak memiliki fungsi dan tugas lagi dalam hal ini. Sehingga, rencana pengembangan lapangan cukup memintakan persetujuan menteri dengan berkonsultasi kepada pemerintah daerah provinsi. Melalui POD pemerintah akan menilai apakah rencana pengembangan lapangan yang diajukan oleh kontraktor memang bernilai komersil dan layak untuk memasuki tahapan eksploitasi. Sehingga persetujuan atas POD ini pada dasarnya merupakan titik penting dari berhasil tidaknya penemuan suatu cadangan. Sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya, jika POD dinyatakan tidak bernilai komersil maka kontrak akan secara otomatis berakhir dan kontraktor tidak dapat mendapatkan penggantian atas segala biaya yang telah dikeluarkannya. Work program and budgeting, merupakan sarana bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menganalisis serta menyiapkan pengesahan prosedur rencana kerja dan anggaran.220 WP&B merupakan suatu laporan yang harus diberikan oleh kontraktor secara berkala kepada pemerintah. Kontraktor harus menyerahkan laporan tersebut, paling lambat 3 (tiga)
219
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit. ps. 21 ayat (1) jo Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012. 220
WP&B merupakan amanat atas ketentuan pasal 44 ayat (3) Undang-undang No. 22 Tahun 2001 jo pasal 11 huruf C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Nomor 81 Tahun 2002; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4216. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
71
bulan sebelum dimulainya awal tahun, yakni pada bulan September setiap tahunnya. Dengan demikian setiap rencana kerja yang dibuat oleh kontraktor wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari menteri. Demikian juga halnya dengan realisasi atas rencana kerja tersebut berada di bawah pengawasan
menteri.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut,
sebagai
konsekuensinya dapat dilihat bahwa menteri adalah pihak yang paling berwenang dalam kegiatan operasi minyak dan gas bumi. Termasuk layak tidaknya cadangan tersebut untuk diusahakan atau dieksploitasi.
c. Modal sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor Keterbatasan modal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan salah satu kendala utama pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia. Yang selanjutnya menjadi latar belakang lahirnya sistem kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pihak swasta. Dalam melakukan kerjasama bentuk KBH pemerintah mewajibkan kontraktor untuk menanggung seluruh modal.221 Kontraktor dalam hal ini harus mengeluarkan seluruh biaya yang sekiranya diperlukan dalam rangka penemuan minyak dan gas bumi, termasuk biaya pembelian data survei yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi “Dirjen Migas”.
Ketentuan
ini
pada
akhirnya
menyebabkan
kontraktor
membutuhkan jumlah dana yang cukup besar untuk dapat ikut serta dalam industri minyak dan gas bumi. Modal awal yang dibutuhkan tidaklah sedikit, untuk pengeboran satu sumur saja dapat mencapai US$ 3 juta222 belum termasuk biaya lainnya seperti signature bonus.223
221
Ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf (c) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit., 222
Berita Investasi Kontan, “Medco Menyiapkan US$12 Juta di Blok Yaman”. < http://investasi.kontan.co.id/news/medco-menyiapkan-us-12-juta-di-blok-yaman/2012/09/23>. Diakses, 12 Oktober 2012. 223
Signature Bonus, merupakan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh kontraktor pada saat pertama kalinya dilakukan penandatangan atas kontrak minyak dan gas bumi. Sesuai dengan ketentuan pasal 52 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2004, signature bonus termasuk dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
72
d. Risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor Risiko sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan suatu kondisi dimana terjadi kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.224 Perihal risiko tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 1237 KUHPerdata dapat dilihat bahwa pihak yang menanggung resiko merupakan pihak yang memegang hak milik atas benda tersebut. Oleh sebab itulah dalam beberapa kontrak, untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari, risiko tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Dalam kaitannya dengan kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi, dalam KBH pemerintah Indonesia sejak awal berlakunya kontrak telah menyatakan bahwa risiko sepenuhnya akan ditanggung oleh kontraktor. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001, menyatakan bahwa modal dan risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor atau badan usaha tetap yang bersangkutan.225 Dapat dilihat bahwa meskipun pemerintah juga adalah para pihak di dalam kontrak namun pemerintah samasekali tidak berkewajiban untuk ikut serta menanggung risiko dalam pelaksanaan kontrak kerja sama. Kontraktor sendirilah yang dalam hal ini harus menanggung risiko atas gagalnya operasi. Pelaksanaan dari ketentuan ini terlihat ketika berhasil tidaknya kontraktor menemukan cadangan minyak dan gas bumi. Jika kontraktor ternyata tidak berhasil maka seluruh dana yang telah dikeluarkan oleh kontraktor adalah menjadi tanggungan kontraktor sendiri. Tidak hanya itu, kontrak antara pemerintah dan kontraktor juga akan secara otomatis berakhir. Dapat dilihat tidak sedikit perusahaan minyak dan gas bumi, baik nasional maupun internasional yang terpaksa memikul kerugian sendiri akibat risiko gagalnya penemuan cadangan.226
224
Subekti, Hukum Perjanjian, op cit., hlm. 59.
225
Indonesia, Undang-undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, op cit., pasal 6 ayat (2) huruf c. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
73
e. Adanya kewajiban untuk melakukan ring fencing Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, apabila penemuan cadangan oleh kontraktor ternyata bernilai komersil, maka pemerintah akan melakukan pembayaran atas segala biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor
melalui
mekanisme
cost
recovery.
Pemerintah
perlu
memastikan bahwa biaya yang diberikan ganti rugi oleh pemerintah adalah biaya yang memang senyata-nyata telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam rangka pengusahaan minyak dan gas bumi. Selain itu, ketentuan ini juga penting untuk memudahkan dan mewajibkan perhitungan yang objektif atas cost recovery. Oleh sebab itulah terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa, kepada setiap badan usaha atau bentuk usaha tetap hanya diberikan satu wilayah kerja dan apabila badan usaha atau bentuk usaha tetap tersebut mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.227 Pentingnya pemisahan badan hukum ini dikenal dengan istilah ring fencing. Ketentuan pasal ini dan ketentuan pasal 10 ayat (1) dan (2) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mendorong lahirnya perusahaanperusahaan boneka atau yang dikenal dengan Special Purpose Vehicle “SPV”. SPV merupakan228 “An SPV, or a special purpose entity (SPE), is a legal entity created by a firm (known as the sponsor or originator) by transferring assets to the SPV, to carry out some specific purpose or circumscribed activity, or a series of such transactions.”
226
“Eksplorasi Gagal, Tiga Kontrak Migas US$1,2 Miliar Diputus” . Diakses 12 Oktober 2012. 227
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001, op cit., pasal 13 ayat (1) dan (2).
228
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, “Special Purpose Vehicles and Securitization”. The National Bureau of Economic Research, The Risk of Financial Institution. University of Chicago Press, January 2007. < http://www.nber.org/chapters/c9619>. Diakses 12 Oktober 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
74
Sebagai dampaknya SPV tidak memiliki tujuan lebih dari yang telah ditetapkan sebagai dasar pendiriannya atau dengan kata lain SPV tidak menjalankan kegiatan di luar tujuan pembentukannya; SPV tidak dapat membuat keputusan yang bersifat substantif karena semua kegiatan SPV telah direncakan sejak awal pembentukannya dan SPV tidak memiliki lokasi fisik serta tidak memiliki tenaga kerja layaknya badan usaha lain.229 Dengan demikian dapat dilihat bahwa pendirian SPV hanyalah dalam rangka memenuhi suatu ketentuan administrasi saja.230 Populer dikenal sebagai perusahaan diatas kertas. Dengan demikian badan usaha tersebut tidak menjalankan kegiatan usaha sebagaimana mestinya. Sebagai konsekuensinya, badan usaha yang bersangkutan tidak memiliki pengurus tetap, tidak mampunyai aset atas nama badan hukum itu sendiri.
f. Jangka Waktu Kontrak Kerja Sama Undang-undang menetapkan bahwa jangka waktu kontrak kerja sama ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan kemungkinan dapat dilakukan perpanjangan selama 20 (dua puluh) tahun.231 Enam tahun pertama dilakukan untuk masa eksplorasi dan dimungkinkan untuk diperpanjang untuk jangka waktu paling lama empat tahun.232 Dimulainya tahapan eksplorasi terhitung sejak tanggal efektifnya kontrak atau disebut dengan effective date. Apabila dalam sepuluh tahun pertama kontraktor tidak dapat menemukan cadangan minyak dan gas bumi, maka kontrak akan berakhir secara otomatis. Sehingga jangka waktu kontrak kerja sama hanya dapat dilanjutkan apabila terdapat temuan cadangan.233 Dalam hal jangka waktu kontrak sudah hampir habis namun cadangan baru
229
Ibid.,
230
Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada kuliah Hukum Pembiayaan Perusahaan, Pasasarjana Fakultas Hukum UI, November, 2011. 231
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2001, op cit., pasal 14 ayat (1) dan (2)
232
Ibid., pasal 15 ayat (1) dan (2).
233
Didi Setiarto, Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia dalam Perspektif Produsen op cit., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
75
ditemukan
pemerintah
dapat
mengeluarkan
kebijakan
dengan
mengeluarkan suatu surat pernyataan atau disebut dengan acknowledgment letter. Acknowledgment letter bertujuan untuk menghentikan argo waktu masa eksplorasi yang hanya sepuluh tahun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.234
g. Kepemilikan atas Aset Sebagai dampak dari adanya ketentuan cost recovery, sejak saat dimulainya cost recovery atau sejak saat memasuki tahap eksploitasi maka seluruh aset yang dipunyai oleh badan usaha milik kontraktor secara otomatis harus beralih kepemilikannya dan dicatatkan menjadi aset negara.235 Hal ini karena pemerintah akan melakukan penggantian biaya atas segala pengeluaran kontraktor, termasuk peralatan yang dibeli oleh kontraktor. Ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tegas menyatakan bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik atau kekayaan negara.236 Pemerintah sebagai pihak yang melakukan pembinaan atasnya dan badan pelaksana sebagai pihak yang mengelola. Dengan demikian, secara hukum badan usaha yang bersangkutan tidak memiliki aset lagi atas badan hukum itu sendiri. h. Kemungkinan dilakukannya unitisasi Pada tahapan eksplorasi apabila ditemukan lapangan yang melampaui suatu wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan akan tetapi lapangan atau wilayah tersebut dianggap tidak mampu untuk memproduksi sendiri maka wilayah tersebut diberikan limited commerciality.237 Hal ini
234
Ibid.,
235
M Hakim Nasution, Production Sharing Contract (PSC). Disampaikan pada One Week Training on The Law of Oil and Gas, Business Law Society, Faculty of Law University of Indonesia, June 2010. 236
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004, op cit., pasal 78.
237
Didi Setiarto, Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia dalam Perspektif Produsen. op cit., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
76
sebagaimana diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005 selanjutnya disebut dengan “PP No. 35 Tahun 2004”. Pasal 41 ayat (1) menyatakan “Kontraktor wajib melakukan unitisasi apabila terbukti adanya pelamparan reservoar yang memasuki wilayah kerja kontraktor lainnya”. Selanjutnya pasal 42 menyatakan bahwa menteri menentukan operator pelaksana unitisasi berdasarkan kesepakatan diantara kontraktor yang melakukan unitisasi dan pertimbangan badan pelaksana. Dengan demikian, adalah dimungkinkan apabila operator atau pihak yang bertanggungjawab atas suatu wilayah atau lapangan beralih kepada pihak lain.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
77
BAB 4 PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI
Berdasar pada bab sebelumnya dapat dilihat secara garis besar seperti apa karakter risiko yang terkandung dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi di Indonesia. Risiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi risiko yang memang berasal dari nature industri minyak dan gas bumi itu sendiri maupun risiko yang datangnya luar. Risiko yang datangnya dari luar terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, khususnya untuk kegiatan usaha hulu. Baik Sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya bahwa masalah keterbatasan modal telah menjadi salah satu masalah penting dalam rangka pengusahaan minyak dan gas bumi. Tidak hanya Indonesia sendiri namun hampir sebagian besar negara-negara berkembang di belahan dunia ini menghadapi permasalahan yang sama. Di sisi lain, minyak dan gas bumi masih menjadi tumpuan ketahanan energi di Indonesia, disamping sumbangsihnya yang cukup besar bagi perekonomian di Indonesia. Sehingga bank dirasa perlu untuk memberikan pendanaan bagi majunya industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang dirasa paling mampu mendukung dan memang mengemban amanat untuk menyalurkan dana kepada masyarakat238 ternyata terikat dengan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya. Khususnya dalam rangka pemberian kredit. Oleh sebab itulah berikut di bawah dilakukan analisis bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam rangka pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi di Indonesia.
4.1
Analisis Profil Risiko yang Terdapat dalam Industri Minyak dan Gas Bumi dalam Kaitannya dengan Prinsip Kehati-hatian dan Prinsip Pemberian Kredit
4.1.1
Kegiatan Usaha Hulu Kegiatan usaha hulu dapat dibedakan menjadi tahapan eksplorasi dan
eksploitasi. Pertama adalah tahapan eksplorasi. Tahapan eksplorasi pada 238
Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, op cit., Pasal 3 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
78
prinsipnya merupakan tahapan yang paling kritis dalam proses penemuan minyak dan gas bumi. Dikatakan demikian karena dalam tahap ini kemungkinan risiko yang harus dihadapi oleh kontraktor sangatlah besar. Mengingat biaya yang dibutuhkan sangat tinggi sementara tidak terdapat kepastian sama sekali akan ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi.239 Dapat dilihat kemungkinan tidak berhasilnya pemboran adalah 0,8% sedangkan kemungkinan berhasil yang memberikan net present value hanyalah 0,2%.240 Berdasarkan data yang diperoleh dari BP Migas dikatakan bahwa kerugian investasi minyak dan gas bumi dalam dua tahun terakhir mencapai 1,24 miliar dollar Amerika Serikat. Pada tahun 2010, kegagalan temuan cadangan minyak dan gas bumi komersil terjadi di 30 sumur dengan kerugian 776 juta dollar AS, sedangkan tahun 2011, jumlah sumur kering (dry hole) 12 unit dengan investasi yang hilang 461 juta dollar AS. Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit oleh bank, bank dalam memberikan kredit diwajibkan untuk melakukan analisis kredit terlebih dahulu. Salah satu aspek yang penting untuk dilakukan analisis atasnya adalah terkait dengan risiko yang terkandung dalam pemberian kredit tersebut. Risiko dalam pemberian kredit salah satunya dinilai dari risiko yang melekat pada proyek yang dibiayai. Perhitungan atas risiko ini penting karena bank perlu memperhitungkan kemungkinan kerugian yang dapat timbul dari pemberian kredit kepada nasabah.241 Industri minyak dan gas bumi dikategorikan sebagai kegiatan usaha yang memiliki risiko tinggi karena sifat dari pekerjaan itu sendiri.242 Yakni terkait dengan sifat usaha dan risiko akan tidak adanya kepastian. Terkait dengan risiko tidak adanya kepastian, dapat menimbulkan spekulasi, yang pada akhirnya menyebabkan semakin tinggi pula risikonya. Terkait dengan risiko jenis ini biasanya cukup sulit untuk dihitung dan tidak dapat diketahui pasti kapan risiko
239
S. B Suslick and D. J Schiozer, op cit.,
240
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan analisis kebijakan. op cit., hlm. 35 241
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia.
242
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 80 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
79
tersebut akan datang243 sehingga dikenal dengan unexpected loss. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, data survei yang telah ada tidak mampu untuk membuktikan ada tidaknya cadangan minyak dan gas bumi. Pemboran adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui ada tidaknya dan seberapa besarnya cadangan yang ada. Jikalaupun ternyata ada cadangan yang ditemukan belum tentu cadangan tersebut dapat diusahakan. Kontraktor harus melakukan perhitungan terlebih dahulu bagaimana tingkat keekonomian dari cadangan tersebut, apakah layak untuk diproduksi ataukah tidak. Tidak hanya itu, sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia,
penghitungan ini tidak hanya merupakan keputusan kontraktor semata. Namun, pemerintah c.q Menteri ESDM juga harus memberikan persetujuannya. Dengan adanya, pertimbangan tersebut pada akhirnya membuat bank cukup sulit untuk memberikan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi, khususnya pada kegiatan usaha hulu yang dalam hal ini adalah eksplorasi. Kesulitan terbesar yang dialami bank adalah ketidakmampuan bank untuk memperhitungkan seberapa besar tingkat risiko dari industri tersebut, yang dikenal dengan istilah mitigasi risiko.244 Padahal bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dituntut untuk tunduk pada prinsip kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan manajemen risiko dalam pemberian kredit. Dengan adanya faktor risiko ini bank tentunya sulit untuk mengelola risiko yang mungkin timbul dari kegiatan pendanaan yang dilakukannya. Pada akhirnya menyebabkan bank tidak berani untuk memberikan pendanaan bagi kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi. Selanjutnya adalah tahapan eksploitasi. Pada prinsipnya risiko yang terdapat dalam tahapan eksploitasi sudah lebih kecil daripada risiko yang terdapat dalam tahapan eksplorasi. Dikatakan demikian, karena suatu kegiatan untuk dapat dikatakan telah memasuki tahapan eksploitasi, telah terbukti bahwa terdapat cadangan yang layak diproduksi secara komersial. Dengan demikian, tingkat ketidakpastian dalam tahapan ini sudah tidak sebesar dalam tahapan eksplorasi.
243
Ibid.,
244
Wawancara dengan Bapak Madjedi Hasan, Independent Master Consultant – Pranata Energi Nusantara Consulting; Konsultan Bank Mandiri, Bank Niaga. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
80
Namun, tidak dapat dipungkiri jika faktor risiko masih melekat pada tahapan ini. Sebagaimana telah diuraikan, permasalahan terbesar yang terdapat dalam tahapan eksploitasi adalah menurunnya jumlah cadangan yang terkandung dalam reservoar. Menurunnya jumlah cadangan ini menyebabkan harus dilakukannya upaya recovery dengan biaya yang cukup besar. Upaya recovery tersebut terdiri dari premier recovery, secondary recovery dan tertier recovery. Dengan adanya risiko ini dapat saja terjadi, jika biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan eksploitasi ternyata lebih besar dari keuntungan yang mungkin didapatkan. Sehingga menyebabkan kerugian bagi kegiatan usaha kontraktor. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan perhitungan cash-flow dari perusahaan kontraktor. Harus dipertimbangkan bagaimana perbandingan antara laba/keuntungan yang mungkin didapatkan oleh kontraktor jika dibandingkan dengan jumlah kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam tahun tersebut. Mengingat evaluasi atas kredit dilakukan setiap tahun.245 Dengan adanya kemungkinan kontraktor mengalami kerugian maka kemungkinan risiko yang harus ditanggung oleh bank juga semakin besar. Meskipun pada prinsipnya pada tahapan eksploitasi ini sudah memungkinkan untuk dilakukannya perhitungan atas risiko yang mungkin timbul jika dibandingkan dengan tahapan eksplorasi. Terlepas dari adanya kemungkinan risiko sebagaimana telah diuraikan diatas. Salah satu ketentuan penting yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sejak saat memasuki tahap eksploitasi yakni sejak saat POD yang untuk pertama kalinya disetujui oleh pemerintah maka telah terdapat mekanisme cost recovery. Cost recovery sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan mekanisme penggantian biaya yang diberikan oleh pemerintah. Kontraktor berhak untuk mendapatkan kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.246 Dengan demikian, disamping telah terdapat kepastian untuk melakukan produksi secara komersial dalam tahapan ini juga telah terdapat mekanisme penggantian biaya. Sehingga pada prinsipnya risiko yang terdapat dalam tahapan eksploitasi sudah
245
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia.
246
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004, pasal 56 ayat (2). Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
81
jauh lebih kecil dibandingkan dengan risiko yang terdapat dalam tahapan eksplorasi. Disamping risiko alamiah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, risiko penting lainnya adalah risiko yang terkait dengan kebijakan pemerintah. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya beberapa kebijakan pemerintah yang ditetapkan baru-baru ini diantaranya adalah terkait dengan: Peraturan Pemerintah tentang cost recovery; ketentuan DMO (Domestic Market Obligation); Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada kontraktor kontrak kerja sama; putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 jo Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Tidak dapat dipungkiri jika keberlakuan peraturan tersebut telah menimbulkan sejumlah ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Dimana pada akhirnya hal ini masuk ke dalam risiko yang harus ditanggung oleh pengusaha minyak dan gas bumi. Tidak hanya berhenti sampai disitu sejumlah perubahan ini dipercaya telah turut serta memberikan sumbangsih bagi menurunya pertumbuhan ekonomi dari sektor minyak dan gas bumi.247 Dalam kaitannya dengan pemberian kredit oleh bank maka salah satu unsur yang terdapat dalam pemberian kredit adalah penilaian atas condition of economy dari calon debitur. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bank melakukan penilaian atas situasi politik, sosial, yang memengaruhi perekonomian pada suatu waktu tertentu dan dapat memengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.248 Khususnya terkait dengan kebijakan penting dalam suatu negara dalam kaitannya dengan projek yang akan dibiayai oleh bank.249 Dengan berlakunya sejumlah kebijakan pemerintah tersebut ternyata benar adanya telah memengaruhi kelancaran usaha dari sejumlah perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
247
Bank Indonesia, Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global, Laporan Perekonomian Tahun 2011. hlm. 52 248
Teguh Pudjo Muljono, op cit., hlm. 17.
249
Retto Galati, op cit., hlm. 155. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
82
Indonesian Petroleum Association (IPA) bahwa terjadinya sejumlah perubahan dalam kebijakan pemerintah benar-benar diluar perkirakan sebelumnya 250, yang mana pada akhirnya hal ini memaksa sejumlah perusahaan untuk menunda investasinya di Indonesia.251 Berdasar pada fakta diatas dapat dilihat bahwa sejumlah kebijakan pemerintah ternyata telah memengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan minyak dan gas bumi, dimana hal ini berpotensi untuk memperbesar risiko yang harus ditanggung oleh bank ketika memberikan kredit. Hal ini membuat bank dalam melakukan analisis kredit akan melihat bahwa industri minyak dan gas bumi memiliki karakter risiko yang cukup tinggi yang tidak hanya berasal dari sifat alamiah industri tersebut. Dengan demikian hal ini tentunya akan memengaruhi kebijakan bank dalam memberikan kredit kepada industri minyak dan gas bumi khususnya dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian yang diemban oleh bank.
4.1.2
Kegiatan Usaha Hilir Jika dibandingkan dengan karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan
usaha hulu, karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir dapat dikatakan cukup rendah. Hal ini karena risiko terbesar dalam industri minyak dan gas bumi, yakni ditemukan tidaknya cadangan
yang potensial untuk
dikembangkan telah dilewati dalam. Kegiatan usaha hilir yang terdiri dari kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, hanya sesekali saja harus berhadapan risiko yang mana pada umumnya merupakan faktor yang bersifat non-teknis. Meskipun kegiatan usaha hilir harus berhadapan dengan risiko, kerugian yang harus ditanggung oleh kontraktor tidaklah sebesar kemungkinan kerugian dalam kegiatan usaha hilir. Tidak hanya berkaitan dengan karakter risiko yang sudah semakin rendah dalam industri hilir kegiatan usaha tidak dilaksanakan dengan sistem kontrak atau 250
Okezone.com, “Investor Siap "Tagih" Komitmen Menteri ESDM”. http://economy.okezone.com/read/2012/11/20/19/720583/investor-siap-tagih-komitmenmenteri-esdm>. Diakses 20 November 2012. 251
<
The Indonesian Mining Magazine, Tambang. “IPA Ajukan Judicial Review Untuk PP Cost Recovery”. . Diakses 20 November 2012 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
83
kerjasama dengan pemerintah. Pengusaha minyak dan gas bumi cukup membentuk badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah.252 Meskipun perusahaan minyak dan gas bumi masih terikat dengan sejumlah kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan, kontrol pemerintah atas jalannya kegiatan usaha sudah tidak sebesar dalam industri hulu. Mengingat pemerintah bukanlah para pihak di dalam kontrak, akan tetapi hanya sebagai regulator yang memberikan izin usaha kepada perusahaan minyak dan gas bumi. Demikian juga halnya jika dilihat dari sisi permodalan. Berbeda dengan industri hulu yang membutuhkan modal cukup besar untuk industri hilir modal yang dibutuhkan tidak begitu besar karena biaya terbesar adalah untuk melakukan pemboran. Berdasar pada beberapa alasan tersebut yakni, karakter risiko, kontrol pemerintah dan jumlah permodalan yang terdapat dalam industri hilir, dapat dilihat bahwa industri hilir layak dimasuki oleh bank. Meskipun masih terdapat risiko namun bank sudah lebih mungkin untuk memperkirakan seberapa besar risiko tersebut. Karena jumlah dana yang harus dikucurkan oleh bank juga tidak terlalu besar, maka risiko kegagalan kredit yang harus ditanggung oleh bank juga tidak sebesar dalam industri hilir. Dalam kaitannya dengan badan usaha yang menjalankan industri hulu dan hilir pada waktu yang bersamaan, bank tidak perlu khawatir akan kemungkinan tersebarnya risiko. Mengingat dengan adanya ketentuan pasal 10 UU No. 22/2001 maka terdapat pemisahan antara badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Dengan demikian, secara hukum badan usaha tersebut merupakan entitas yang terpisah dan tidak terdapat sharing risiko. Dengan kata lain risiko yang mungkin ditanggung oleh badan usaha dalam industri hilir terpisah samasekali dengan badan usaha yang menjalankan industri hulu.
4.2
Analisis Ketentuan yang terdapat dalam Industri minyak dan gas bumi dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian kredit a. Kepemilikan atas sumber daya minyak dan gas bumi
252
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001, op cit., pasal 23 ayat (1). Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
84
Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam undang-undang minyak dan gas bumi dan sebagaimana juga telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa sumber daya minyak dan gas bumi berada pada negara sampai kepada titik penyerahan. Dengan adanya ketentuan ini maka secara tidak langsung kontraktor pada prinsipnya tidak memiliki titel kepemilikan atau hak milik atas minyak dan gas bumi yang menjadi bagiannya. 253 Hal ini terjadi karena titik penyerahan adalah saat dimana minyak dan gas bumi tersebut telah siap diserahkan kepada pihak lain untuk dijual. Dengan demikian telah terdapat perubahan rezim dari rezim hulu memasuki rezim hilir, yakni kegiatan niaga. Sebagai konsekuensinya adalah tidak dimungkinkan bagi kontraktor jika mencatatkan minyak dan gas bumi yang menjadi bagiannya tersebut ke dalam pembukuan kontraktor sebagai aset. Padahal pembukuan dari calon nasabah adalah salah satu bahan pertimbangan penting bagi bank dalam melakukan credit assessment.254 Tidak hanya berhadapan dengan masalah pencatatan aset, ketentuan ini juga cukup penting dalam kaitannya dengan peran agunan/collateral dalam pemberian kredit. Sebagaimana diketahui bahwa peranan agunan akan semakin penting jika proyek yang dibiayai oleh bank memiliki risiko yang cukup tinggi.255 Dapat dilihat bahwa kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi memiliki risiko yang cukup tinggi sehingga peran agunan menjadi sangat penting. Namun, ketentuan ini membuat kontraktor tidak memiliki kewenangan untuk menjadikan minyak dan gas bumi yang menjadi bagiannya sebagai agunan. Apabila hal ini dimungkinkan tentunya
jumlah minyak dan gas bumi yang dapat
dijadikan agunan akan sangat besar. Mengingat pada tahap awal produksi,
253
Pada umumnya pembagian hasil produksi antara pemerintah dengan kontraktor adalah 85% dan 15%, dimana bagian pemerintah 85% dan bagian kontraktor 15%. Bagian untuk kontraktor ini akan diperhitungkan dengan memisahkan perhitungan atas Fisrt Tranche Petroleum (FTP) sebanyak 10% terlebih dahulu. Prosentase production sharing ini tidak berlaku mutlak sehingga dimungkinkan adanya negosiasi dengan kementerian ESDM, khususnya untuk wilayah yang miskin sarana dan prasarana. 254
Derrick Ware, Basic Principles of Banking Supervision. Centre for Central Banking Studies Bank of England, Handbooks in Central Banking, No. 7.pg. 18 255
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, op cit., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
85
jumlah cost recovery yang harus diganti oleh pemerintah cukup tinggi. Bahkan dalam beberapa kasus bagian yang tersisa bagi pemerintah hanyalah first tranche petroleum.
b. Pengendalian manajemen operasi minyak dan gas bumi berada pada Badan Pelaksana (Pemerintah c.q Kementerian ESDM) Dengan adanya ketentuan ini maka kontraktor bukanlah pemegang kendali utama atas jalannya manajemen operasi minyak dan gas bumi. Kontraktor yang adalah calon debitor bukan pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha tersebut sepenuhnya berada di bawah pengendalian dan pengawasan dari menteri. Sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan ini maka penempatan maupun distribusi modal juga masuk dalam ranah kewenangan menteri. Demikian juga halnya dengan rencana kerja dan anggaran. Serta yang paling penting adalah rencana pengembangan lapangan. Meskipun dalam prakteknya keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan rencana kerja yang telah dibuat oleh kontraktor sebelumnya. Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit oleh bank, maka ketentuan ini akan behadapan dengan prinsip capacity atau kapabilitas dari calon nasabah. Sebagai salah satu dasar analisis yang digunakan oleh bank dalam rangka pemberian kredit. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka pihak yang dilakukan analisis atasnya adalah kontraktor selaku calon debitor. Mengingat kompeten tidaknya nasabah adalah salah satu aspek penilaian bagi bank.256 Dengan adanya ketentuan ini pihak yang dianggap kompeten oleh bank untuk menjalankan bisnisnya yakni kontraktor ternyata bukanlah pihak yang memegang otoritas penuh. Suatu hal yang dimungkinkan jika terjadi sejumlah perubahan atas jalannya suatu proyek yang di luar kemampuan calon debitor itu sendiri.
256
Zulkarnain Sitompul, Kredit Macet: Apakah Suatu Perbuatan Melawan Hukum (Pidana). Disampaikan pada workshop Kriminalisasi Kredit Bank Sebagai Suatu Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: 23-25 Nopember 2009. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
86
Tidak hanya itu permasalahan penting lainnya adalah adanya kewenangan
menteri
untuk
memberikan
persetujuan
berdasarkan
pertimbangan dari pemerintah daerah provinsi yang bersangkutan, dalam rangka pengembangan lapangan.257 Sehingga dapat dilihat keputusan untuk melanjutkan proyek sangatlah bergantung kepada pihak di luar calon debitur itu sendiri. Padahal rencana kerja, dasar-dasar manajemen dan kebijakan yang diambil perusahaan adalah salah satu aspek penilaian bank dalam rangka melakukan analisis atas risiko kredit.258 Kemungkinan ini pada akhirnya dapat menambah potensi risiko atas kredit yang bersangkutan. Karena proyek yang dibiayai oleh bank dan yang telah dilakukan analisis atasnya dapat saja berjalan di luar perkiraan semula. Disebabkan oleh adanya intervensi kebijakan dari menteri selaku pemegang otoritas manajemen operasi.
c. Modal sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan bahwa modal seluruhnya ditanggung oleh kontraktor. Dengan adanya ketentuan ini maka jumlah dana yang dibutuhkan oleh kontraktor tentunya akan sangat besar. Karena pemerintah sebagai counter party tidak ikut serta dalam menanggung modal proyek yang bersangkutan. Sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya, pemerintah selaku counter party hanya akan ikut serta apabila temuan telah bernilai komersil. Yakni melalui mekanisme cost recovery. Sebagai akibatnya kewajiban ini akan berpengaruh pada dua hal. Pertama bank terikat dengan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sebagai implementasi dari prinsip kehati-hatian, bank dalam memberikan kredit tidak boleh melebihi jumlah tertentu sesuai dengan besaran modal bank.
257
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, op cit. ps. 21 ayat (1) 258
Morton Glantz, op cit., hlm. 16 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
87
Sehingga tidak jarang bank harus berhadapan dengan ketentuan BMPK ketika memberikan pendanaan dalam jumlah yang cukup besar. Selain itu jumlah dana juga menjadi salah satu bahan pertimbangan penting bagi bank dalam rangka pemberian kredit.259 Hal ini dalam kaitannya dengan kemungkinan risiko yang harus ditanggung oleh bank. Dapat dilihat bahwa semakin besar jumlah dana yang dipercayakan oleh bank kepada calon debitur maka tentunya semakin besar juga tingkat risiko yang harus diemban oleh bank. Hal ini mengingat kepada prinsip kepercayaan yang
bank harus terapkan selaku pengelola dana
masyarakat.260 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa disamping adanya kemungkinan terbentur dengan ketentuan BMPK, dari sisi jumlah pendanaan atau jumlah dana yang harus dikucurkan oleh bank, risiko dalam rangka pembiayaan industri minyak dan gas bumi cukup tinggi.
d. Risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001, pasal 2 PP No. 79 Tahun 2010 maupun format baku Kontrak Bagi Hasil (KBH) secara tegas menyatakan bahwa risiko atas pelaksanaan kegiatan operasi minyak dan gas bumi seluruhnya ditanggung oleh kontraktor sendiri. Dengan adanya ketentuan ini maka meskipun terjadi atau timbul risiko di kemudian hari pemerintah yang juga adalah para pihak didalam kontrak tidak dapat diikutsertakan dan tidak bertanggungjawab sama sekali atas kerugian yang timbul. Dapat dilihat, ketika kontraktor ternyata gagal dalam tahap eksplorasi
atau
tidak
menemukan
cadangan
yang
layak
untuk
dikembangkan maka kontrak akan berakhir secara otomatis. Segala biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor adalah menjadi tanggungan kontraktor sendiri.
259
Alexander Bathory, op cit., pg. 320.
260
Zulkarnain Sitompul, Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian. http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/peran-dan-fungsi-bank_artikel.pdf. Diakses, 27 Desember 2011, pukul 18.00 WIB. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
88
Dalam kaitannya dengan manajemen risiko dalam pemberian kredit, dapat dilihat bahwa dalam rangka pemberian kredit, counter party dari calon debitor merupakan salah satu aspek penilaian penting bagi bank.261 Namun dalam hal ini, meskipun counter party calon debitor adalah pemerintah, yang dianggap sebagai pihak yang lebih dapat dipercaya (dibanding pihak swasta),262ternyata tidak dapat diikutsertakan dalam penilaian. Bank harus menyadari bahwa untuk masalah risiko pemerintah tidak terlibat sama sekali. Dengan adanya ketentuan ini, tentunya akan memperluas risiko yang harus ditanggung oleh calon debitor dalam menjalankan kegiatan usahanya. Padahal apabila pemerintah ikut serta dalam menanggung risiko layaknya kontrak pada umumnya, dapat menjadi nilai tambah tersendiri bagi bank ketika mengambil keputusan pemberian kredit.263 Pada akhirnya, dengan semakin luasnya risiko yang harus ditanggung oleh calon debitor maka penilaian atas risiko kredit tersebut juga semakin meningkat. Yang secara tidak langsung berdampak pada tingginya tingkat risiko yang juga harus diemban oleh bank.
e. Adanya kewajiban untuk melakukan ring fencing Sebagai akibat dari adanya ketentuan ini,264 maka sebahagian besar badan usaha yang didirikan oleh kontraktor berbentuk special purpose vehicle (SPV) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).265 SPV itu sendiri merupakan badan usaha yang didirikan dalam rangka memenuhi tujuan tertentu serta
261
Bank for International Settlements, Core Principles for Effective Banking Supervision, basel committee on Banking Supervision, October 2006.pg. 9. 262
Philip Turner, op cit, hlm. 3.
263
Wawancara dengan Joi Terkelin Sembiring, Risk Management Bank Central Asia
264
UU No. 22 Tahun 2001, pasal 10 ayat (1) dan (2), op cit.,
265
Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah negara kesatuan republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia (pasal 1 angka 18 UU No. 22 Tahun 2001). Dapat dilihat bentuk usaha tetap merupakan pengecualian dari ketentuan UU Penanaman Modal /UU No. 25 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa penanaman modal asing di Indonesia haruslah berbentuk Perseroan Terbatas. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
89
untuk
ketentuan
administrasi
semata.266
Sebagai
konsekuensinya
perusahaan tersebut pada umumnya tidak mempuyai aset atas nama sendiri dimana kontrol dari holding company sangat besar. Dari segi hukum SPV terpisah dengan holding company-nya yang berdampak pada adanya pemisahan
tanggungjawab
perusahaan
tersebut.
Meskipun
secara
akuntansi dimungkinkan dilakukannya consolidation of financial report.267 Secara sederhana perusahaan tersebut dapat disimpulkan hanya sebagai perusahaan boneka yang dibuat dalam rangka memenuhi tujuan tertentu saja dan tidak melaksanakan kegiatan usaha secara nyata. Dalam kaitannya dengan prinsip pemberian kredit maupun manajemen risiko yang dijalankan oleh bank, maka ketentuan ini akan berdampak pada beberapa aspek penilaian. Yakni, penilaian atas modal, aset, laporan keuangan, agunan dan ketika harus dilakukan restrukturisasi kredit. Terkait dengan modal, perusahaan yang berbentuk SPV maupun BUT pada umumnya tidak memiliki modal sendiri dalam jumlah yang cukup besar. Dimana hal ini akan berpengaruh kepada keputusan bank untuk memberikan kredit atau tidak. Mengingat struktur permodalan yang cukup baik dapat meyakinkan bank akan kemampuan calon debitur untuk memenuhi perikatannya. Ketentuan selanjutnya adalah terkait dengan dilakukannya restrukturisasi oleh bank dalam hal terjadi kegagalan pembayaran. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh oleh bank adalah dengan penyertaan modal sementara pada perusahaan yang bersangkutan.268 Langkah restrukturisasi ini akan terhambat ketika bank ternyata harus menjadi salah satu peserta dalam perusahaan boneka yang tidak mampu menghasilkan
266
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, op cit.,
267
Ainun Na’im, Special Purpose Vehicle Institutions: Their Business Natures and Accounting Implications. Gadjah Mada International Journal of Business, 2006, VIII(1). http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4547. Diakses 10 Oktober 2012. 268
Bentuk-bentuk restrukturisasi kredit diatur dalam pasal 1 angka 25 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 11/2/PBI/2009. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
90
ataupun memberikan keuntungan bagi bank. Mengingat SPV tidak menjalankan mestinya.
269
kegiatan
operasional
suatu
perusahaan
sebagaimana
Demikian juga halnya ketika bank melakukan penilaian atas
kelayakan laporan keuangan calon debitor. Consolidation of financial report dalam hal ini sangat memungkinkan untuk membuat bank terkecoh. Padahal dalam faktanya tanggung jawab terpisah antara SPV ataupun BUT dengan perusahaan induknya. Demikian juga halnya jika bank akan melakukan penyitaan maka kemungkinan besar tidak akan ada aset yang dapat disita. Mengingat aset yang dimiliki oleh SPV berasal dari servicing arrangement.270
f. Jangka Waktu Kontrak Kerja Sama Jangka waktu kontrak kerja sama ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan kemungkinan dapat dilakukan perpanjangan atasnya selama 20 (dua puluh) tahun.271 Masa eksplorasi sendiri dimana merupakan fase paling kritis dari jalannya suatu kontrak, dilaksanakan selama enam tahun pertama dengan kemungkinan dapat diperpanjang selama empat tahun.272 Dengan adanya ketentuan ini maka apabila minyak dan gas bumi tidak ditemukan pada masa eksplorasi yakni selama sepuluh tahun maka kontrak kerja sama terpaksa diakhiri. Dalam hal kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank dikarenakan tidak ditemukannya cadangan
yang memadai
maka
kemungkinan untuk dilakukannya restrukturisasi kredit sudah sangat kecil. Mengingat salah satu syarat penting dilakukannya restrukturisasi kredit adalah debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.273 Dengan adanya ketentuan
269
Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, op cit.,
270
Ibid.,
271
Indonesia, UU No. 21 Tahun 2001, op cit., pasal 14 ayat (1) dan (2).
272
Ibid., pasal 15 ayat (1) dan (2).
273
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, pasal 51. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
91
pengakhiran kontrak secara otomatis tentunya kegiatan usaha tersebut dinilai tidak memiliki prospek yang baik lagi. Proyek yang dibiayai tersebut bahkan tidak mungkin untuk dilanjutkan lagi. Sebagai dampaknya, hal ini akan memperluas risiko yang harus diperhitungkan oleh bank dalam hal terjadi kegagalan pembayaran oleh debitor ataupun ketika restrukturisasi harus ditempuh sebagai salah satu alternatif.
g. Kepemilikan atas aset Sejak saat dimulainya cost recovery maka seluruh aset kontraktor dicatatkan dan beralih kepemilikannya kepada negara.274 Dengan adanya ketentuan ini maka sejak persetujuan atas POD yang pertama275 tidak ada aset yang dapat dijadikan sebagai agunan oleh kontraktor kepada bank. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, agunan memegang peranan penting dalam rangka penentuan kebijakan pemberian kredit. Semakin besar jumlah agunan yang dapat diberikan oleh calon kreditur maka semakin rendah risiko yang harus diemban oleh bank dalam rangka pemberian kredit tersebut.276 Demikian juga halnya ketika kontraktor ternyata wanprestasi maka konsep jaminan umum sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata tetap tidak dapat dijadikan senjata oleh bank. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan, segala kebendaan si berutang, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.277 Dengan tidak adanya kebendaan milik debitur maka tidak dimungkinkan bagi bank untuk mejadikan sita jaminan aset debitur tersebut. Melihat kepada tingkat risiko yang begitu besar dan jumlah modal yang sangat banyak sudah tentulah keberadaan agunan menjadi penting. Meskipun agunan dalam hal ini
274
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004, op cit., pasal 78.
275
Persetujuan atas Plant of Development (POD) untuk pertama kalinya menandakan bahwa temuan bernilai komersil dan dapat memasuki tahapan produksi atau ekpsloitasi. Sejak saat itu jugalah penggantian biaya cost recovery atas segala biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor akan dibayar oleh pemerintah. 276
Gabreil Jimenez and Jesus Saurina, op cit.,
277
KUHPerdata [Burgerlijk Wetboek], op cit., pasal 1131. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
92
bukanlah suatu syarat mutlak dalam pemberian kredit khususnya pemberian kredit kepada korporasi.
h. Kemungkinan dilakukannya unitisasi Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 41 PP No. 35 Tahun 2004, dalam hal terjadi pelamparan reservoar yang memasuki wilayah kerja kontraktor lain maka wajib dilakukan unitisasi. Menteri selanjutnya akan menentukan pihak yang menjadi operator pelaksana.278 Dengan adanya ketentuan ini maka operator atas suatu kontrak kerja dapat saja berubah. Kemungkinan untisasi ini selanjutnya akan berdampak pada analisis atau penilaian yang telah dilakukan oleh bank. Dimana kontraktor yang telah melalui tahap penilaian ternyata tidak lagi menjadi operator atas proyek yang dibiayai. Unitisasi dapat mengakibatkan kedudukan kontraktor tersebut
dapat
saja
hanya
sebagai
sharing
partner.
Sebagai
konsekuensinya tidak lagi memegang peranan yang seberpengaruh dan sepenting dulu, khususnya dalam hal pengambilan kebijakan. Masalah unitisasi bukanlah hal yang sepele. Dapat dilihat salah satu faktor penyebab tidak tercapainya target dalam APBN tahun 2012 adalah karena adanya pergantian operator dalam pengusahaan minyak dan gas bumi sebagai dampak dari adanya unitisasi.279 Hal ini berkaitan dengan prinsip pemberian kredit yakni character dan capacity dari calon debitur, serta penilaian atas risiko kredit yang dilakukan oleh bank. Dalam penilaian character bank melihat pihak yang bertanggung jawab atau pengurus dari jalannya proyek yang dibiayai. Demikian juga halnya terkait dengan capacity, bank melihat bagaimana kemampuan debitur dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya. Dengan adanya ketentuan ini maka bank dalam hal ini harus siap dengan kemungkinan jika pihak yang telah diberikan penilaian tersebut ternyata tidak lagi menjadi operator di wilayah kerjanya dan beralih kepada pihak
278
Indonesia, PP No. 35 Tahun 2004, pasal 42.
279
Kompas, Minyak dan Gas Bumi, 36 KKKS Tidak Capai Target Produksi. Kompas, Sabtu 4 Februari 2012. Nomor 212 Tahun ke-47, hlm. 18. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
93
lain yang bank tidak ketahui bagaimana karakter dan kapabilitasnya. Demikian juga halnya dengan analisis risiko kredit, dimana manajemen yang ditempuh oleh perusahaan calon debitur merupakan salah satu bahan pertimbangan penting bagi bank.280
Akan tetapi dengan adanya
kemungkinan unitisasi maka kontrol atas jalannya kegiatan usaha bisa saja beralih ke pihak lain yang berdampak pada pengambilan keputusan dan manajemen yang diterapkan atas suatu proyek juga dapat berubah. Dengan demikian, unsur penting dalam pemberian kredit yakni penilaian atas karakter, kapabilitas dan analisis atas risiko kredit tampak ternodai dalam hal ini. Sebagai contoh beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang harus di unitisasi adalah Pertamina EP dengan JOBPPEJ (Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java) untuk pengelolaan lapangan Sukowati. Serta Pertamina dan Conoco Phillips untuk pengelolaan lapangan di Jambi.281
Berdasar pada uraian sebelumnya, dapat dilihat bagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi yang sangat memengaruhi analisis atas pemberian kredit yang dilakukan oleh bank. Sejumlah ketentuan tersebut ternyata berpotensi untuk memperbesar risiko yang harus ditanggung oleh bank dalam rangka pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi. Dengan demikian bank sebaiknya berfokus kepada tahapan eksploitasi dan kegiatan usaha hilir.
4.3
Metode pembiayaan industri minyak dan gas bumi yang dapat ditempuh Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perbankan ternyata cukup sulit
untuk memberikan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi, khususnya kepada industri hulu. Oleh sebab itu berikut akan diuraikan bagaimana metode pembiayaan yang ditempuh oleh industri minyak dan gas bumi di negara-negara
280
Morton Glantz, op cit., hlm. 16
281
Wawancara dengan Firmanta S, Subsurface Reservoir Engineer PetroChina Internastional . Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
94
yang merupakan penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya, yang dapat digambarkan sebagai berikut:282
1. Pasar Modal Pembiayaan melalui pasar modal dapat ditempuh dengan melakukan penawaran umum atau lazim dikenal dengan Intial Public Offering (IPO). Penawaran umum diatur dalam pasal 1 angka 15 Undangundang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal “UU Pasar Modal”. Penawaran umum diawali dengan emisi efek, yakni menerbitkan suatu jenis efek tertentu untuk yang pertama kalinya dan melakukan pendistribusian
melalui
penawaran
umum
dengan
tujuan
untuk
menghimpun modal. Penawaran umum dilakukan melalui pasar perdana yang berlangsung dalam waktu beberapa hari. Setelah pasar perdana berakhir emiten dapat memperjualbelikan efeknya melalui pasar sekunder.283 Pasar modal dipilih ketika perusahaan ingin mendapatkan pembiayaan jangka panjang. Pasar modal dianggap sebagai metode pembiayaan yang sudah umum ditempuh oleh banyak perusahaan yang membutuhkan suntikan dana. Disamping bermanfaat bagi perusahaan yang membutuhkan pembiayaan, pasar modal juga dipercaya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan mengikutsertakan elemen masyarakat. Pembiayaan melalui pasar modal dapat dilakukan dengan menerbitkan saham maupun obligasi. Saham sendiri merupakan instrumen penyertaan modal seseorang atau lembaga dalam suatu perusahaan.284 Sedangkan obligasi merupakan instrumen hutang sehingga dikenal juga dengan surat hutang. Aspek hukum penawaran umum dapat digambarkan sebagai berikut, yang terdiri dari keuntungan dan kelemahannya:285
282
Michael E Humphries, “The Competitive Environment for Oil and Gas Financing”. Journal of Energy Policy, Volume 23 No. 11, 1995. 283
M Irsan Nasarudin et all, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group., hlm. 213. 284
Ibid., hlm. 188.
285
Ibid., hlm. 216. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
95
a. Keuntungan perusahaan melakukan penawaran umum 1) Sebagai sarana tambahan modal yang dianggap lebih berpotensi daripada harus melalui kredit pembiayaan (debt financing). 2) Peningkatan
likuiditas
perusahaan
terhadap
kepentingan
pemegang saham utama dan pemegang saham minoritas. 3) Meningkatkan prestise dan publisitas perusahaan.
b. Kelemahan perusahaan melakukan penawaran umum 1) Adanya
tambahan
biaya
untuk
mendaftarkan efek pada
penawaran umum. 2) Hilangnya kontrol terhadap persoalan manajemen, karena terjadi dilusi kepemilikan saham. 3) Keharusan
untuk
mengumumkan
besarnya
pendapatan
perusahaan dan pembagian deviden.
Secara sederhana tahapan dalam penawaran umum dapat digambarkan sebagai berikut: a. Tahap Pra- Emisi 1) Perusahaan melakukan kajian mendalam (due diligence) terhadap keadaan keuangan, aset, utang dan piutang serta rencana penghimpunan dana. 2) Perusahaan menyusun rencana penawaran umum yang harus mendapat persetujuan RUPS. 3) Perusahaan menentukan penjamin emisi, profesi penunjang, dan lembaga penunjang untuk penawaran umum. 4) Melakukan public expose 5) Menyatakan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam. b. Tahap Emisi 1) Penawaran oleh sindikasi penjamin emisi dan agen penjual di pasar primer 2) Penyerahan efek kepada penjual di pasar primer 3) Perdagangan efek di pasar sekunder Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
96
c. Tahap Setelah Emisi 1) Laporan berkala (continuous disclosure) 2) Laporan kejadian penting dan relevan (timely disclosure). Jika terjadi perubahan penggunaan dana maka emiten harus menyampaikan hal itu kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Perubahan penggunaan dana selanjutnya harus mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya salah satu ketentuan penting yang terdapat dalam penawaran umum adalah dilepaskannya saham kepada publik sehingga pemilik perusahaan tidak dapat menentukan pihak mana saja yang akan menjadi pemilik dari saham yang dilepaskan tersebut.286 Sebagai konsekuensi dari pelepasan saham kepada publik ini maka hilangnya kontrol atas manajemen perusahaan menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan.287 Hal ini mengingat karakteristik saham yang memberikan hak suara kepada pemiliknya.288 Dalam prakteknya sejumlah ketentuan ini dikhawatirkan dapat menghambat jalannya pengambilan keputusan dalam manajemen perusahaan. Karena untuk menyelenggarakan RUPS bagi perusahaan publik harus sesuai dengan prosedur dan jangka waktu yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Tidak hanya itu ketentuan penting lainnya adalah besarnya peranan para pemegang saham dalam pengambilan keputusan harus berhadapan dengan peranan pemerintah yang dalam hal ini berperan selaku pemegang kendali atas jalannya manajemen operasi. Alternatif lain yang dimungkinkan adalah melalui penerbitan obligasi/surat hutang. Sebagaimana karakteristik dari obligasi maka tidak 286
Teresa Nelson, The Persistence of Founder Influence: Management, Ownership, and Performance Effects at Initial Public Offering. Strategic Management Journal, Vol. 24, No. 8 (Aus., 2003), pg. 707-724 Diakses, 5 Desember 2012. 287
Ibid.,
288
Todung Mulya Lubis, Pasar Modal. Disampaikan pada perkuliahan Hukum Pembiayaan Perusahaan. Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2011. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
97
terdapat hak suara dari pemiliknya atas jalannya manajemen perusahaan. Namun, kelemahan dari obligasi adalah perusahaan harus melakukan pembayaran bunga dan pinjaman pokok pada setiap kali tanggal jatuh tempo.289 Dilihat dari tidak adanya kepastian dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, maka hal ini dikhawatirkan dapat memberatkan keuangan perusahaan. Adalah hal yang memungkinkan apabila perusahaan tidak mampu melakukan pembayaran ketika tanggal jatuh tempo tiba. Tidak hanya itu dalam kaitannya dengan status pemegang obligasi sebagai kreditur preferen maka ketika perusahaan tidak mampu melakukan pembayaran mereka harus didahulukan termasuk hak atas aset perusahaan. Permasalahan terjadi ketika perusahaan tersebut tidak memiliki aset yang dapat disita, hal ini mengingat dalam industri hulu terdapat ketentuan bahwa seluruh aset kontraktor secara yuridis akan menjadi milik pemerintah Indonesia. Selain permasalahan tersebut diatas permasalahan lainnya adalah terkait dengan kondisi emiten/perusahaan setelah melakukan penawaran umum. Dikarenakan jika terjadi perubahan penggunaan dana, maka emiten harus menyampaikan hal itu kepada Bapepam. Perubahan penggunaan dana selanjutnya harus mendapat persetujuan dari RUPS. Hal ini akan berhadapan dengan ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 22 Tahun 2001. Dimana dengan adanya ketentuan ini kontraktor wajib memintakan persetujuan terlebih dahulu kepada menteri atas program pengembangan dan program kerja (plant of development POD dan work program and budget atau WP&B). Dengan demikian adalah dimungkinkan apabila terdapat perubahan dalam WP&B sebagaimana telah dibuat oleh kontraktor. Jika menteri memandang perlu maka dimungkinkan untuk melakukan perubahan yang salah satunya adalah terkait dengan perubahan
289
Mengingat, di dalam saham pembayaran hanya akan dilaukan apabila perusahaan ternyata memperoleh keuntungan. Hal ini menginga peran pemegang saham bukanlah sebagai kreditor akan tetapi ikut serta sebagai pemilik dari perusahaan yang bersangkutan. Sehingga jika terjadi kerugian pemegang saham juga ikut serta menanggung, dengan ketentuan tidak lebih besar dari nilai saham yang dimilikinya. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
98
penggunaan dana. Sehingga adanya ketentuan yang mempersyaratkan persetujuan RUPS akan sulit untuk terlaksana.
2. Project finance Melihat dari sejarahnya project finance pertama kali digunakan oleh kerajaan inggris ketika melakukan pembiayaan atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan silver Devon.290 Project finance disebut juga dengan non-recourse financing atau limited recource financing.291 Dikatakan demikian karena pembiayaan dengan motode ini tidak mensyaratkan adanya jaminan layaknya metode pembiayaan melalui bank. Proyek itu sendiri adalah jaminan dalam model pembiayaan ini. Peter K Nevitt, memberikan defenisi atas project financing sebagai berikut:292 “A financing of a particular economi unit in which a lender is satisfied to look initially to the cash flows and earnings of that economic unit as the source of funds from which a loan will be repaid and to the assets of the economic unit as collateral for a loan”. Sebagai akibat dari proyek itu sendiri menjadi jaminan maka penilaian atas pembiayaan dilakukan terhadap proyek yang bersangkutan. Sumber pendanaan dalam hal ini harus mampu menilai tingkat keekonomian suatu proyek dan memastikan kalau proyek tersebut mampu menjadi sumber pendapatan kedepannya. Disamping berkaitan dengan jaminan alasan lain mengapa project financing disebut sebagai nonrecourse financing adalah karena konsep jamiman umum sebagaimana berlaku dalam hubungan kreditor-debitor tidak berlaku dalam hal ini.
290
Bruce Comer, Project Finance Teaching Note. The Wharton School, 1996.
291
Thomas J. Chemmanur and Kose John, Optimal Incorporation, Structure of Debt Contratcs, and Limited-Recourse Project Financing. Journal of Financial Intermediation 5, 372408 (1996), Article No. 0021. 292
Peter K Nevitt, Project Financing. Euromoney, 4th ed., Sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada perkuliahan Hukum Pembiayaan Perusahaan. Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2012. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
99
Dikatakan demikian karena walaupun debitur gagal dalam melakukan pembayaran maka harta ataupun aset debitur tidak dapat disita oleh kreditur. Mengingat project financing merupakan bentuk pembiayaan dalam skala besar maka pihak financer biasanya melakukan kontrol yang cukup besar atas disbursement account, a proceeds account, a debt service reserve account, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penempatan shadow director.293 Dalam kaitannya dengan industri minyak dan gas bumi, kreditur melakukan analisis atas proven reserve dan perhitungan atas tingkat produksi dari lapangan yang dibiayai. Dalam prakteknya, debitur meminta adanya sertifikasi dari lembaga yang berkompeten untuk menghitung proven reserve. Penilaian atas proven reserve ini penting mengingat pembayaran akan dilakukan setelah proven reserve bernilai komersial.
3. Commercial paper Berbeda dengan metode pembiayaan melalui pasar modal maka penerbitan commercial paper atau surat berharga ditempuh apabila pembiayaan yang dibutuhkan adalah untuk jangka pendek.294 Surat berharga diterbitkan untuk jangka waktu 30 sampai dengan 270 hari. Dalam perkembangannya di Indonesia surat berharga berkembang cukup pesat sejak tahun 1996295 dan mengalami penurunan yang cukup siknifikan pada tahun 2007 dan 2008 sebagai akibat dari krisis keuangan.296 Pada umumnya metode pembiayaan ini ditempuh oleh perusahaan-perusahaan minyak di luar Amerika dalam rangka melengkapi
293
Todung Mulya Lubis, Project Financing., op cit.,
294
Sebagaimana disebutkan oleh Federal Reserve dalam New York Times, Commercial Paper. , Sunday, 25 November 2012. 295
PECC Finance Forum Conference, Financial Centers in East Asia: An Indonesian Perspective (outline). . Diakses 26 November 2012. 296
Ibid., Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
100
pendanaan jangka pendek lainnya. Dapat dilihat metode ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki cash flow yang cukup siknifikan. Jika dibandingkan dengan metode pembiayaan lainnya maka penerbitan surat berharga dipandang sebagai metode pembiayaan yang paling murah dan mudah. Commercial paper atau surat berharga dianggap kurang sesuai karena dana yang dapat dikumpulkan dengan penerbitan surat berharga tidaklah terlalu besar. Selain itu surat berharga diterbitkan untuk jangka pendek. Sedangkan proyek minyak dan gas bumi khususnya industri hilir merupakan proyek jangka panjang dengan jumlah biaya yang sangat besar. Dimana keberhasilannya pada umumnya ditentukan setelah sepuluh tahun masa eksplorasi terlewati.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa metode pembiayaan yang dianggap paling sesuai adalah melalui mekanisme project financing, yaitu mekanisme yang menjaminkan proyek itu sendiri. Pembayaran melalui mekanisme ini hanya akan dilakukan apabila proyek ternyata berhasil. 297 Meski eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas bumi tidak berhasil dan mengakibatkan perusahaan tidak bisa membayar, aset perusahaan tidak dapat dijadikan jaminan. Hal inilah yang menyebabkan mekanisme project finance kerap ditempuh oleh perusahaan yang menjalankan proyek dengan risiko tinggi. Ketentuan ini selanjutnya mengakibatkan project finance dikenal dengan istilah “project finance is all about risk identification and mitigation”.298 Di Indonesia sendiri dalam prakteknya mekanisme project financing banyak digunakan untuk proyek-proyek pengembangan sumber daya alam khususnya proyek-proyek yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar. Diantaranya adalah pertambangan, minyak dan gas bumi, power plan serta pembangunan infrastruktur.
297
Ian Giddy, Project Financing. Stem School of Business, New York University.
298
Bill Banks, Major Project Finance Issues Facing Indonesia. Oceania and Asia Pasific Infrastructure Advisory and Project Finance Leader. Ernst and Young, 30 Maret 2011. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
102
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan 1. Karakter risiko yang terdapat dalam industri minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi dua yakni: a. Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hulu, yang selanjutnya dapat dibagi menjadi risiko pada tahapan eksplorasi dan risiko pada tahapan eksploitasi. Pada tahapan eksplorasi, risiko terbesar adalah tidak adanya kepastian cadangan minyak dan gas bumi. Dalam tahap ini, harus dilakukan pemboran pada sumur dengan biaya yang besar dan tingkat keberhasilan yang sangat kecil. Tidak hanya itu, cadangan minyak dan gas bumi yang ditemukan harus dikaji kelayakannya untuk diproduksi secara komersial. Karakter risiko yang terdapat pada tahap eksploitasi pada prinsipnya sudah lebih kecil, karena sudah ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi. Namun, jumlah cadangan minyak dan gas bumi tidak dapat ditentukan dengan pasti. Jumlah cadangan minyak dan gas bumi cenderung terus menurun dan di saat yang sama jumlah biaya yang diperlukan terus meningkat. Disamping karakter risiko yang berasal dari nature kegiatan usaha itu sendiri. Terdapat sejumlah ketentuan umum dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip pemberian kredit oleh bank. Atau setidaknya mempersulit posisi kontraktor selaku debitur dan bank selaku pemberi kredit ketika melakukan analisis atas kelayakan kredit. Sehingga pada akhirnya memengaruhi kemungkinan risiko yang harus diambil oleh bank.
b. Karakter risiko yang terdapat dalam kegiatan usaha hilir, yang dapat dibagi menjadi kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Jika dibandingkan, risiko pada kegiatan usaha hilir tidak sebesar kegiatan usaha hulu. Risiko yang terjadi lebih cenderung pada faktor Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
103
teknis seperti kebocoran pipa, pemblokiran jalan transportasi dan ketidakstabilan harga.
2. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip pemberian kredit oleh bank, pemberian kredit kepada industri minyak dan gas bumi sebaiknya berfokus kepada kegiatan usaha hilir, mengingat kecilnya karakter risiko dalam kegiatan usaha hilir. Disamping itu, badan usaha pada kegiatan usaha hilir tidak terikat dengan peraturan perundang-undangan tentang minyak dan gas bumi. Mengingat sejumlah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undnagan tersebut berpotensi memengaruhi tingkat risiko yang harus ditanggung oleh bank. Apabila bank akan memberikan kredit kepada kegiatan usaha hulu, maka tahapan yang dimungkinkan adalah tahapan eksploitasi, karena telah ada kepastian cadangan minyak dan gas bumi yang dapat diproduksi secara komersial dan berlakunya mekanisme cost recovery.
5.2 Saran 1. Perbankan nasional sebaiknya ikut serta dalam memberikan pendanaan kepada industri minyak dan gas bumi, karena peranan minyak dan gas bumi yang penting bagi ketahanan energi nasional. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, bank sebaiknya memfokuskan diri pada pendanaan di kegiatan usaha hilir. Kalaupun bank ingin memberikan pendanaan kepada kegiatan usaha hulu, tahapan yang dipilih sebaiknya adalah tahapan eksploitasi. Mengingat jumlah dana yang dibutuhkan cukup tinggi, bank dapat menempuh mekanisme kredit sindikasi untuk melakukan sharing risiko antara para pesertanya. 2. Terkait dengan pembiayaan pada kegiatan usaha hulu, khususnya tahapan eksplorasi, pendanaan dapat dilakuan dengan mekanisme project financing, seperti yang diterapkan oleh negara-negara penghasil minyak dan gas bumi pada umumnya. Terlebih lagi, mekanisme ini sedang dikembangkan di Indonesia dalam rangka pembiayaan kepada proyek dengan jumlah dana yang cukup besar dan risiko yang tinggi.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
104
Daftar Pustaka
Buku Alvarado, Vladimir and Eduardo Manrique, “Enhanced Oil Recovery Field Planning and Development Strategies”.
Elsevier, Gulf Professional
Publishing, 2010.
Assiddiqie, Jimly Gagasan
Kedaulatan Rakyat
Dalam Konstitusi
dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve , 1994.
Austin, John. A Positivist Conception of Law, Law in Philosophical Perspective, editor Joel Feinberg and Hyman Gross. Belmont California, Wadsworth Publishing Company, 1997.
Bank Indonesia, Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global, Laporan Perekonomian Tahun 2011.
Bathory, Alexander. The Analysis of Credit, Foundation and Development Credit Assesment. Londong: McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, 1987. Beck, Robert J. Oil Industry Outlook 13th edition. Tulsa, Oklahoma: PennWell Books, 1996.
Caouette, John B et all. Managing Credit Risk, The Great Challenge for Global Financial Markets 2nd edition. USA, Wiley, John Wiley & Sons, Inc.
Bruce Comer, Project Finance Teaching Note. The Wharton School, 1996
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
105
Djokopranoto, R et all., Merajut Karya Mengukir Sejarah, Memoar Alumni Pendidikan Ahli Minyak Tentang Peran dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Pertamina: Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Ahli Minyak, Jakarta, April 2009.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-undang Tahun 1998. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1999. Friedman, W. Legal Theory, London: Stevens & Sons Limited 4th Edition, 1960.
Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: PT Gramedia Utama, 2004.
Ginting, Daniel. Prinsip-prinsip Dasar Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian Lokakary Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001
Glantz, Morton. Managing Bank Risk, an Introduction to Broad-Base Credit Engineering. United States of America: Academic Press, An Elsevier Imprint, 2002.
Hasan, A Madjedi. Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. (Training on The Law of Oil and Gas Term 2010. Faculty of Law University of Indonesia.
______________, Penerapan Asas Janji itu Mengikat dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Fikahati Aneska, 2005.
______________, Kontrak Migas Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum. Jakarta: Fikahati Aneska, 2009.
Hatta, Mohammad. Penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Jakarta: Mutiara, 1997. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
106
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet 4. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Husni Hasbullah, Frieda. Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Jaminan. Jakarta: Indo-Hill-Co, 2005.
Kasmir, Manajemen Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Kalyvas,
Lampros
&Loannis
Akkizidis
and
Loanna
Zourka&Vivianne
Bouchereau, Integrating Market, Credit and Operational Risk, A Complete Guide for Banker and Risk Professionals. Riks Books, Division in Incisive Financial Publishing Ltd. Kusumaatmadja, Mochtar. “Perminyakan di Indonesia dan Kontrak Bagi Hasil (Production
Sharing
Kontrak)”.
Pendidikan
Lanjutan
Hukum
Perminyakan dan Gas Bumi Fakultas Hukum UI, 1994.
Lash, Nicholas A. Banking Laws and Regulation An Economic Perspective. New Jersey: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs.
McCoubrey, Hilaire and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, Blacstone Press Limited 3rd edition, 1999.
Mishkin, Frederic S. Prudential Supervision, Why Is It Important and What are the Issue?. The University of Chicago Press, Chicago and London.
Muljono, Pudjo Teguh. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. Yogyakarta: BPFE, 2001.
Nasarudin, M Irsan. et all, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
107
Partowidagdo, Widjajono. Migas dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan analisis kebijakan. Development Studies Foundation, 2009.
Poletto, F and F Miranda, Seismic While Drilling Fundamentals of Drill-Bit Seismic for Explorations. Handbook of Geophysical Exploration, Seismic Exploration, vol 35. Elsevier, 2004.
Putri, Trikaloka H. Kamus Perbankan. Jogjakarta: Mitra Pelajar, 2009.
Putra, Edy. Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty, 1989.
Ratnapala, Suri. Australian Constitutional Law Foundations and Theory, Oxford University Press, 2007
Rose, Peter S and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services 8th Edition. (McGrow Hill Companies, Internasional Edition, 2010).
Simamora, Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Djambatan, 2000.
Sayogyo, Kartiyoso. Migas dan Usaha Migas (kumpulan pokok-pokok pikiran). Humas Pertamina, Yayasan Patra Cendikia, 1999. Setiarto, Didi. “Kerangka Hukum Kegiatan Bisnis Gas Bumi dan LNG di Indonesia Dalam Perspektif Produsen”. Training on The Law of Energy and Mineral Resources, Faculty of Law University of Indonesia. Term 2010. Stanvac Indonesia. “Industri Minjak Bumi, Suatu Pengantar”. Jakarta: PT Stanvac Indonesia, 1970.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
108
Subekti, R. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1978.
_________, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2004.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kerdit (Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Surowidjojo, Arief. Aspek Hukum yang Harus Diperhatikan dalam Kredit Sindikasi. Proceedings, Rangkaian Lokakaria Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta: 20-21 Agustus 2001
Suseno dan Piter Abdullah, Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia. Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Seri Kebanksentralan, No. 7.
Sutojo, Siswanto. Strategi Manajemen Kredit Bank Umum, Konsep Teknik dan Kasus. Jakarta, Damar Mulia Pustaka, 2000. Utomo, Sutadi. “Understanding the PSC”. LDI Training Bandung 31 Juli- 1 Augustus, 2008.
Ware, Derrick. Basic Principles of Banking Supervision. Centre for Central Banking Studies Bank of England, Handbooks in Central Banking,
Weaver and Kevin Shanahan. Banking and Lending Practice. Australian Institute of Bankers 3rd edition, Serendip Publication, 1994
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007).
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
109
Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara No. 111 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara No. 5253.
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara No. 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara No. 3790.
Indonesia, Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara No. 136 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara No. 4152
________, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara No. 106 Tahun 2007 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4756 Tahun 2007.
_________, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 1999; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889.
_________, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632.
_________, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 123 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4435.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
110
________, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara No. 124 Tahun 2004; Tambahan Lembaran Negara No. 4436
_________, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Nomor 139 Tahun 2010; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5173.
_________, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 226 Tahun 2012
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/13/PBI/2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Lembaran Negara No. 70 Tahun 2006. Tambahan Lembaran Negara No. 4639.
_____________, Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Lembaran Negara No 135 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara No 4895.
_____________, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing. Lembaran Negara No 115 Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara No. 5158.
_____________, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 Tentang
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
111
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Lembaran Negara No. 103 DPNP Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara No 5029.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 22/PUUI/2003. Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, Terbit Hari Selasa tanggal 04 Januari 2005.
________________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012. Dibacakan pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa frasa Badan Pelaksana yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Makalah, Artikel dan Jurnal Ilmiah Achmad, Zanial. “General Petroleum Geology,” (Oil and Gas Course, Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010). _____________, “The Quest of Energy”. Disampaikan pada Oil and Gas Course, Hakim dan Rekan Law Firm Oktober-November 2010 Agung Pri Rakhmanto, “Menyoal Insentif Sistim Bagi Hasil dan Politik Migas Indonesia”. Divisi Penelitian LP3S. Disampaikan pada tanggal, 20 September 2007. Alan Frederik, “Prinsip-prinsi dasar Kontrak Kerja Sama”. Makalah pada Loka Karya Litigasi, Denpasar, 2004.
Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2012. Berita Resmi Badan Pusat Statistik No. 16/03/Th. XV, 1 Maret 2012. < http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01mar12.pdf>. Diakses, 30 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
112
Bank for International Settlement, Basel Committee in Banking Supervision, Basel III: International Framework for Liquidity Risk Measurement, Standards and Monitoring. Bank for International Settlements, December 2010.
__________, BIS Working Papers No 125 The institutional memory hypothesis and the procyclicality of bank lending behavior.
____________, Basel Committee on Banking Supervision, Settlement Risk in Foreign Exchange Transaction: Report Prepared by the Committee on Payment and Settlement System of The Central Banks of the Group of Ten Contries, Basel, Switzerland: Bank fir International Settlement, March 1996.
____________, Principles for the Management of Credit Risk. Consultative paper issued by the Basel Committee on Banking Supervision, Basel, September 2000.
______________, Core Principles for Effective Banking Supervision, basel committee on Banking Supervision, October 2006 Benston, George J. and George G. Kauf’man. The Appropriate Role of Bank Regulation. The Economic Journal, Volume. 106, No. 436 (May, 1996), hlm. 688-698.
Bill Banks, Major Project Finance Issues Facing Indonesia. Oceania and Asia Pasific Infrastructure Advisory and Project Finance Leader. Ernst and Young, 30 Maret 2011.
Bolt, Wilko and Alexander F Tieman, Banking Competition, Risk and Regulation. The Scandinavian Journal of Economics, Volume. 106, No. 4 (Dec 2004).
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
113
Brownbridge, Martin et all. Prudential Regulation. Finance and Development Briefing Papers, September 2002.
Campbell, Andrew. Insolvent Banks and the Financial Institution Safety Netlessons from the Northern Rock Crisis. As published in the Singapore Academy of Law Journal (2008) SAcLJ 316-342.
Chemmanur, Thomas J. and Kose John, Optimal Incorporation, Structure of Debt Contratcs, and Limited-Recourse Project Financing. Journal of Financial Intermediation 5, 372-408 (1996),
Crockett, Andrew. Banking Supervision and Financial Stability. The William Taylor Memorial Lecture by Andrew Crockett, General Manager of the Bank for International Settlements, in Sydney, 22 October 1998.
Crowe, Robert M and Ronald C. Hom, The Meaning of Risk. The Journal of Risk and Insurance, volume 34, No. 3 Sep., 1967.
Djajadiharsja, Yusuf S. Pengembangan Riset Gas Hidrat dan Rencana ke Depan. Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012
Duisenberg, Willem F. The role of the Eurosystem in prudential supervision. Speech by Dr Willem F Duisenberg, President of the European Central Bank, Amsterdam,24 April 2002. Banking for International Settlement Review 27/2002.
Engemann, Kurt J and Holmes E Miller, Operations Risk Management at a Major Bank. Volume 22, No. 6, Decision and Risk Analysis, Nov – Dec., 1992. Humphries, Michael E. “The Competitive Environment for Oil and Gas Financing”. Journal of Energy Policy, Volume 23 No. 11, 1995 Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
114
Husein, Yunus. Aspek Hukum Perkreditan Bank. Disampaikan pada kuliah Hukum Perbankan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011. Jobst, Andreas A. It’s all in the data-consistent operational risk measurements and regulation, Journal of Financial Regulation and Compliance, Volume 12 Number 4 Tahun 2007.
Jimenez, Gabreil and Jesus Saurina, Collateral, Type of Lender and Relationship Banking as Determinants of Credit Risk. Jounal of Banking and Finance 28, 2004.
Kompas, Minyak dan Gas Bumi, 36 KKKS Tidak Capai Target Produksi. Kompas, Sabtu 4 Februari 2012. Nomor 212 Tahun ke-47
Koran Tempo, Industri Migas Kurang Dukungan Perbankan, Tanggal 25 November 2011
Key, Sydney J. Trade Liberalization and Prudential regulation: The International Framework for Financial Services. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Volume, 75, No. 1 Jan., 1999.
Lemigas, Bunga Rampai Seratus Tahun Perminyakan di Indonesia (Jakarta: Lemigas 1985) mengutip Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia. Lijphart, Arend. “Democracies”, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Contries, Yale University Press, New Haven and London. (Dikumpulkan oleh Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
115
Lubis, Todung Mulya. Project Financing. Disampaikan pada kuliah Hukum Pembiayaan Perusahaan, Pasasarjana Fakultas Hukum UI, November, 2011.
_____________,
Pasar
Pembiayaan
Modal.
Perusahaan.
Disampaikan Pascasarja
pada
Fakultas
perkuliahan Hukum
Hukum
Universitas
Indonesia. Jakarta: 2011. Na’im, Ainun. Special Purpose Vehicle Institutions: Their Business Natures and Accounting Implications. Gadjah Mada International Journal of Business, 2006,
VIII(1).
http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4547.
Diakses 10 Oktober 2012.
Nasution, M Hakim. Production Sharing Contract (PSC). Disampaikan pada One Week Training on The Law of Oil and Gas, Business Law Society, Faculty of Law University of Indonesia, June 2010. Nevitt, Peter K. Project Financing. Euromoney, 4th ed., et 3. Sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis, Project Financing. Disampaikan pada perkuliahan Hukum Pembiayaan Perusahaan. Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: 2012.
Ngo, Phong T.H. International Prudential Regulation, Regulatory Risk and Cost of Bank Capital. International Journal of Banking and Finance, Volume 5, issue 1, Article 2. Nugroho, Hanan. “Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan dan Gagasan”. Jurnal Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
116
Nishimura, Kiyohiko G. Macro-prudential policy from an Asian perspective, Shanghai, 18 October 2010, Bank for International Settlement Review 136/2010. Panggabean, Alan Fredrik. “Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery”, Majalah Eksplo Barometer Bisnis Enegrgi dan Pertambangan, No. 44 Tahun III Oktober 2010.
Sitompul, Zulkarnain. Kredit Macet: Apakah Suatu Perbuatan Melawan Hukum (Pidana). Disampaikan pada workshop Kriminalisasi Kredit Bank Sebagai Suatu Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: 23-25 Nopember 2009. Suslick, S.B and D. J Schiozer, “Risk Analysis to Petroleum Exploration and Production: an Overview”. Journal of Petroleum Scince and Engineering 44 (2004).
Tangkalalo, Darwin. CBM Project: Challenges and Oppurtunities in Indonesia. Disampaikan pada seminar Granite Uncoventional Energy in Indonesia, Teknik Geologi Universitas Trisakti. 29 Oktober 2012.
Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum UI, Ilmu Negara, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007).
Turner, Philip. The Banking System in Emerging Market Economies: How Much Progress has been Made?. Bank for Internasional Settlements, BIS Papers No 28. Utomo, Sutadji Pujo. “Aspek Fiskal Undang-undang dan Peraturan Migas dan Perpajakan di Indonesia, “Warta Pertamina No. 22/XXIV, hal. 20, Tahun 1990.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
117
Young, Brendon. Leadership and high-reliability organizations: why banks fail. Volume 6 Number 4, Winter 20/11/12
Tesis dan Disertasi Bambang Setyogroho, Analisis Risiko Kredit dengan Metoda Credit Risk Scoring (Studi Kasus pada Debitur Bank X). (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 1991). Machmud, T.N.
“The Indonesian Production Sharing Contract”, (Disertasi
Doktor Kluwer Law International, The Hague, 2000.
Internet Antara Riau, “Chevron Bebankan Biaya Kebocoran Gas Pada Negara”, < http://www.antarariau.com/berita/12122/chevron-bebankan-biayakebocoran-gas-pada-negara.html> Diakses 24 Oktober 2012 Badan Pemeriksa Keuangan “Cost Recovery dalam kontrak Production Sharing Minyak
dan
Gas
Bumi
di
Indonesia”.
http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf>.
Diakses,
< 11
Oktober 2012. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, “Kebocoran Pipa TGI
di
luar
kontrol
BP
Migas”,
Diakses 24 Oktober 2012 Bank of China – Indonesia, “Overdraft”, , diakses 1 Oktober 2012.
BankirNews.com,
Penilaian
Profil
Risiko
Kredit
(Credit
Risk),
<
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
118
1260:penilaian-profil-risiko-kredit-bank&catid=127:riskprofile&Itemid=189>, diakses 3 Oktober 2012. Berita Investasi Kontan, “Medco Menyiapkan US$12 Juta di Blok Yaman”. < http://investasi.kontan.co.id/news/medco-menyiapkan-us-12-juta-di-blokyaman/2012/09/23>. Diakses, 12 Oktober 2012 “Business
Dictionary”,
Diakses, 12 Oktober 2012 “Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia” Disampaikan pada Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti,
Senin,
11
Juni
2007,http://www.bpk.go.id/doc/publikasi/PDF/ppan/17.pdf.
diunduh
4
Desember 2011.
Dewan Energi Nasional, Kegiatan Dialog Nasional Ketahanan Energi, ,
Diakses
20
Oktober 2012. DirectGov
“Overdrafts
and
loans
-
the
difference”
Diakses, 1 Oktober 2012. Dean Fantazzini et al, “Global Oil Risks in the Early 21st Century”. Energy Policy 39 (2011), <www.elsevier.com/locate/enpol>. Diakses, 12 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
119
“Eksplorasi
Gagal,
Tiga
Kontrak
Migas
US$1,2
Miliar
Diputus”
. Diakses 12 Oktober 2012. Gary B. Gorton and Nicholas S. Souleles, “Special Purpose Vehicles and Securitization”. The National Bureau of Economic Research, The Risk of Financial Institution. University of Chicago Press, January 2007. < http://www.nber.org/chapters/c9619>. Diakses 12 Oktober 2012. Indonesia Finance Today, “Penurunan Pasokan Dorong Penguatan Harga MInyak”,
15
August
2012
Diakses, 14 Oktober 2012.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Solusi Non-BBM untuk Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional melalui Revitalisasi Program Energi
Laut
Nasional
listrik/5628-solusi-non-bbm-untuk-meningkatkan-ketahanan-energinasional-melalui-revitalisasi-program-energi-laut-nasional.html> Diakses, 20 Oktober 2012.
Kementerian
Energi
dan
Sumber
Daya
Mineral
Republik
Indonesia,
. Diakses, 22 April 2012.
Kontan,
Lapindo
Bor
Sumur
Lagi
di
Sidoarjo.
<
http://industri.kontan.co.id/news/lapindo-bor-sumur-lagi-di-sidoarjo>. Diakses 27 November 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
120
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, “BI Minta Perbankan Lebih 'Mesra' dengan Perusahaan Migas”. < http://www.lppi.or.id>. Diakses, 20 April 2012. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI, “Analisis Industri MInyak dan Gas Bumi
di
Indonesia:
Masukan
bagi
Pengelola
BUMN”.
, Diakses 11 Oktober 2012.
Nelson, Teresa. The Persistence of Founder Influence: Management, Ownership, and Performance Effects at Initial Public Offering. Strategic Management Journal,
Vol.
24,
No.
8
(Aus.,
2003),
pg.
707-724
Diakses, 5 Desember 2012. Okezone.com,
“Investor
Siap
"Tagih"
Komitmen
Menteri
ESDM”.
<
http://economy.okezone.com/read/2012/11/20/19/720583/investor-siaptagih-komitmen-menteri-esdm>. Diakses 20 November 2012.
PECC Finance Forum Conference, Financial Centers in East Asia: An Indonesian Perspective
(outline).
financial-centers-in-east-asia-an-indonesian-perspective-outline>. Diakses 26 November 2012 “Peluang Memperbesar Keuntungan Negara dalam UU Minyak dan gas bumi”. , Diakses, 20 April 2012 “Penerimaan
Negara
Sektor
Hulu
Migas
Capai
US$
19,7
Miliar”.
http://finance.detik.com/read/2009/12/30/144615/1268581/4/penerimaannegara-sektor-hulu-migas-capai-us--197-miliar.
diunduh
4
Desember
2011. Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
121
“Peranan Minyak dan Gas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”. Ceramah Direktur Utama Pertamina Pada Civitas Akademika Fakultas Ekonomi UI. Jakarta, 1995. “Perbankan
Nasional
Diajak
Biaya
Proyek
Migas”
<
http://www.antaranews.com/print/1178502456/perbankan-nasional-diajakbiaya-proyek-migas>. Diakses, 25 April 2012. “Sejarah Perkembangan Industri Minyak dan gas bumi di Indonesia,” http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view= article&id=82:sejarah-perkembangan-industri-minyak
dan
gas
bumi-
indonesia&catid=38:artikel&Itemid=66. Diakses 30 November 2011
Sistem
Pengawasan
Bank
oleh
Bank
Indonesia,
.
Diakses,
25
Desember 2011
Sitompul, Zulkarnain. Investasi Asing di Indonesia Memetik Manfaat Liberalisasi. Hukum Bisnis, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Hukum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. . Diakses, 2 Desember 2011.
________________, Peran dan Fungsi Bank dalam Sistem Perekonomian. http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/peran-dan-fungsibank_artikel.pdf. Diakses, 27 Desember 2011 Tambang News.com, “Pertamina Optimal Penyaluran BBM Paksa Pemblokiran dan Perusakan Fasilitas Terminal BBM Teluk Kabung”.
Jumat, 9
November 2012. < http://www.tambangnews.com/berita/daerah/2867Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013
122
pertamina-optimal-penyaluran-bbm-paska-pemblokiran-dan-perusakanfasilitas-terminal-bbm-teluk-kabung.html>. Diakses, 11 November 2012. Tempo.com, ”Gubernur Awang Tolak Aski Blokade Jalur Batubara”, Selasa, 29 Mei
2012.
<
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/29/058406893/GubernurAwang-Tolak-Aksi-Blokade-Jalur-Batu-Bara>, Diakses 11 November 2012. The Indonesian Mining Magazine, Tambang. “IPA Ajukan Judicial Review Untuk PP
Cost
Recovery”.
. Diakses 20 November 2012.
United Nation Institute for Training and Research, Financial Globalization, ,
diakses
23
September 2012.
World Trade Organization, The General Agreement on Trade in Services (GATS): Objectives,
coverage
and
disciplines,
. Diakses 1 Oktober 2012.
Universitas Indonesia
Penerapan prinsip..., Tesalonika BR Barus, FH UI, 2013