UNIVERSITAS INDONESIA ÉCRITURE FÉMININE DALAM KUMPULAN ESAI SI PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI MAKALAH NON-SEMINAR

UNIVERSITAS INDONESIA

ÉCRITURE FÉMININE DALAM KUMPULAN ESAI SI PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI

MAKALAH NON-SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora

ESTER CAHAYA 1006701296

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA PRANCIS DEPOK SEPTEMBER 2014

Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014

1 Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014



Écriture Féminine dalam Kumpulan Esai Si Parasit Lajang karya Ayu Utami Ester Cahaya, Suma Riella Rusdiarti Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak Artikel ini membahas écriture féminine yang diperlihatkan dalam kumpulan esai Si Parasit Lajang karya Ayu Utami. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik deskriptif. Penelitian difokuskan pada isu perempuan yang diungkapkan di dalam kumpulan esai tersebut. Kumpulan esai ini memperlihatkan bahwa terdapat banyak permasalahan di tengah masyarakat yang membuat perempuan berada di dalam posisi inferior. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa esai-esai Ayu Utami mengenai perempuan termasuk ke dalam kriteria écriture féminine yang dikemukakan oleh Cixous. Kata kunci: écriture féminine, perempuan, inferioritas, Cixous

Écriture Féminine Concept in the Collection of Essays Si Parasit Lajang by Ayu Utami Abstract This article discusses about écriture féminine found in the collection of essays Si Parasit Lajang by Ayu Utami. This research is one of the qualitative research using the descriptive technique. The research focuses on women’s issues mentioned in Si Parasit Lajang. This collection of essays reveals that there are many issues among the society that puts women in an inferior position. The result of this research shows that the essays written by Ayu Utami about women are considered as écriture féminine mentioned by Cixous. Keywords: écriture féminine, women, inferiority, Cixous

Pendahuluan Kesenjangan posisi antara laki-laki dan perempuan sudah ada sejak lama di tengah masyarakat. Terutama, di dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki, ketika segala hal dinilai dari sudut pandang laki-laki. Tatanan tersebut menjadikan perempuan berada di posisi yang lemah. Mereka dibatasi untuk bergerak dan berada di bawah bayang-bayang dominasi laki-laki. Salah satu pengaruh dari dominasi tersebut dapat dilihat pada ketidakleluasaan perempuan untuk bergerak dan berperan di ruang publik. Soenarjati Djajanegara dalam Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (2000) menyebutkan bahwa perempuan selalu ditempatkan dalam ruang domestik, sedangkan laki-laki bergerak di dalam ruang publik. Hal


ini menyebabkan figur perempuan cenderung lekat pada urusan keluarga dan pekerjaan rumah tangga. Ketimpangan tersebut memunculkan keinginan dalam diri perempuan untuk berkembang dan mengekspresikan dirinya lebih bebas. Tidak hanya kepada diri sendiri, namun juga menunjukkan keberadaan dirinya sebagai perempuan ke tengah masyarakat. Ikhaputri Widiantini dalam Permainan Makna dalam Penulisan Mitos Perempuan Indonesia (2013) menjelaskan bahwa perempuan membutuhkan akses ke ruang publik untuk dapat menunjukkan eksistensinya. Namun, Widiantini (2013) menyatakan bahwa agar dapat terlibat penuh dalam ruang publik, seorang individu diharuskan untuk mengerti bahasa yang berlaku dalam ruang publik tersebut. Dalam budaya patriarki, bahasa sangat sarat dengan nilai-nilai patriarkal yang cenderung memihak laki-laki, sehingga dapat disebut sebagai bahasa laki-laki atau bahasa maskulin. Maka, perempuan yang tidak menguasai bahasa laki-laki akan kesulitan untuk memasuki ruang publik.Widiantini (2013) menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan kaum perempuan tidak mengerti kesepakatan di dalam bahasa patriarkal. Mereka menjadi terpinggirkan dan suara mereka tidak diperhitungkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sulit bagi perempuan untuk menceritakan diri dan pengalaman mereka melalui bahasa tersebut. Allan G. Johnsonn dalam Women’s Lives: Multicultural Perspectives (2006) mengatakan bahwa diamnya perempuan akibat tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara menyebabkan dominasi laki-laki semakin menguat atas mereka. Melihat fenomena tersebut, timbul upaya untuk memperjuangkan kedudukan perempuan di tengah masyarakat, yang berada di bawah payung feminisme. Michèle Friang dalam Femmes Fin de Siècle (1998) menyatakan bahwa bahwa inti gerakan feminisme ialah untuk memperjuangkan kesetaraan antara pria dan wanita. Gerakan feminisme bertujuan agar perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkarya dan mengekspresikan diri. Dalam Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis (2004), Rosemarie Tong menjelaskan bahwa awalnya yang menjadi fokus gerakan ini ialah didapatkannya keseteraan hak di ruang publik. Kemudian, pembahasan mengenai feminisme semakin berkembang dari waktu ke waktu dan marak dibicarakan di berbagai kalangan, di berbagai negara, sehingga bermunculan berbagai macam aliran pemikiran feminisme. Salah satunya ialah pemikiran feminisme postmodern. Feminisme postmodern berbeda dengan aliran feminisme yang biasa kita kenal. Pada umumnya, kaum feminis menjadikan konsep persamaan sebagai tujuan dari pergerakan mereka. Persamaan yang dimaksud ialah dicapainya kesetaraan antara kaum laki-laki dan 5 Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014

perempuan. Simone de Beauvoir adalah salah satu feminis yang memperjuangkan hal tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe (1949), Beauvoir mengungkapkan bahwa selama ini perempuan cenderung menjadi objek dari kekuasaan laki-laki, sedangkan laki-laki berperan sebagai subjek. Perempuan tidak terlahir sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan. Hal ini disebabkan budaya masyarakat yang membentuk pemahaman tersebut. Judith Butler dalam Sex and Gender in Simone de Beauvoir’s Second Sex (1986) menyatakan bahwa untuk terlepas dari hal tersebut, maka perempuan harus memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki di berbagai aspek, mulai dari pendidikan hingga kesempatan berkegiatan di ruang publik. Dengan begitu, perempuan pun akan bisa berada sejajar dengan kaum laki-laki. Berbeda dengan konsep persamaan tersebut, feminisme postmodern hadir untuk membalikkan pemikiran tersebut. Tong (2004) menyatakan bahwa para feminis postmodern menekankan konsep pluralitas dan perbedaan. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan hal yang perlu untuk dirangkul. Dengan begitu, perempuan pun bebas menjadi dirinya sendiri, seperti yang dituliskan oleh Tong (2004) berikut ini: ‘Postmodern feminists invite each woman who reﬂects on their writings to become the kind of feminist she wants to be. There is, in their estimation, no single formula for being a “good feminist.” Agreeing with the view that there is no one way to be a good feminist—or, for that matter, a woman…’ (2004: 270) ‘Feminis postmodern mengajak setiap perempuan yang bercermin melalui karya tulisan mereka untuk menjadi tipe feminis sesuai dengan yang diinginkan. Di dalam pemikiran mereka, tidak ada satu formula khusus untuk menjadi seorang “feminis yang baik.” Sejalan dengan hal tersebut, terdapat banyak cara untuk menjadi seorang feminis yang baik— atau dalam hal ini, seorang perempuan…’ (2004: 270) Pergeseran konsep tersebut turut digaungkan oleh salah satu pemikir aliran feminisme postmodern, yaitu Hélène Cixous. Sebagai seorang feminis, ia mendorong perempuan untuk berani keluar dari belenggu dominasi laki-laki. Hal itu ia nyatakan lewat konsepnya yang dikenal dengan istilah écriture feminine atau penulisan feminin. Tong (2004) menyatakan bahwa Cixous mendorong perempuan untuk menulis tentang apa saja yang mereka inginkan mengenai diri mereka yang selama ini tidak pernah diceritakan sebelumnya ke tengah ruang


publik (the unthinkable, the unthought). Dengan begitu, suara perempuan akan bisa menarik perhatian dan didengar oleh masyarakat. Kini, pengaruh dari konsep penulisan feminin Cixous dapat dilihat pada banyaknya jumlah penulis perempuan yang berani menuangkan pendapat mereka melalui berbagai bentuk tulisan. Di Indonesia, fenomena ini sudah muncul sejak lama. Nurhadi dalam Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia (2007) mengatakan bahwa sebenarnya penulis perempuan sudah bermunculan sejak angkatan Balai Pustaka. Namun, karya-karya mereka tenggelam di antara karya penulis lakilaki yang jauh lebih dominan saat itu. Barulah pada periode 1950-an, pengarang perempuan mulai mendapat perhatian dengan kehadiran beberapa penulis yang terbilang cukup produktif dalam menghasilkan karya, seperti Marga T. dan N.H Dini. Sejak saat itu, penulis perempuan semakin banyak yang bermunculan. Lebih lanjut, Nurhadi (2007) mengemukakan bahwa memasuki tahun 2000, terjadi fenomena kebangkitan penulis perempuan. Nama-nama seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Nova Riyanti Yusuf, dan Helvy Tiana Rosa masuk ke dalam kategori ini. Di antara deretan nama tersebut, hanya satu nama yang oleh Korrie Layun Rampan dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000) disebut sebagai pelopor novelis perempuan di masa kini, yaitu Ayu Utami. Ayu Utami lahir di Bogor pada 21 November 1968. Setelah menamatkan studi Sastra Rusia dari Universitas Indonesia pada tahun 1994, ia melanjutkan pekerjaannya sebagai jurnalis. Ia pernah menjadi wartawan di berbagai surat kabar pada masa Orde Baru. Selain itu, Ayu Utami juga aktif dalam Aliansi Jurnalis Independen dan Komunitas Utan Kayu. Namanya mencuat di dunia sastra setelah novel pertamanya, Saman (1998) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan dianggap memberikan warna baru dalam dunia sastra Indonesia.1 Hingga kini, Ayu Utami telah menerbitkan banyak esai dan novel. Kebanyakan tema yang diangkat berbicara seputar permasalahan agama dan seksualitas. Tak jarang, ia pun disebut sebagai feminis akibat tulisannya yang dianggap berani mengangkat isu-isu kritis mengenai perempuan, yang hingga kini sering dianggap tabu untuk diperbincangkan. Widyasari Listyowulan dalam Narrating Ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami’s novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu (2010) mengemukakan bahwa umumnya karya Ayu Utami merupakan ungkapan pandangannya mengenai masyarakat Indonesia,

1

Profil Ayu Utami dalam situs Penerbit KPG http://www.penerbitkpg.com/penulis/detil/20/Ayu-Utami diakses pada 17 Mei 2014 pukul 20:45.


khususnya dalam hal agama, dominasi, dan seksualitas. Tema-tema tersebut juga dapat dilihat pada karyanya yang berjudul Si Parasit Lajang (2003). Kumpulan esai Si Parasit Lajang diterbitkan pada pertama kali pada tahun 2003. Pada tahun 2013, kumpulan esai ini diterbitkan kembali oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Buku ini merupakan buku pertama dari rangkaian trilogi, bersama dengan Cerita Cinta Enrico dan Pengakuan Eks Parasit Lajang. Dituliskan dengan gaya bahasa yang cenderung santai, esai-esai tersebut mencoba menelanjangi berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, mulai dari isu politik, agama, hingga seksualitas perempuan. Berkaitan dengan tema yang terakhir mengenai perempuan, Ayu Utami dalam suatu wawancara dengan harian The Jakarta Post memberikan alasan mengapa permasalahan perempuan selalu menjadi isu yang dibahas di dalam karya-karyanya. Ia berpendapat bahwa hingga saat ini seks lebih sering menjadi masalah bagi perempuan—bukan laki-laki.2 Oleh karena itu, penting bagi perempuan untuk menulis mengenai perempuan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Katrin Bandel dalam Sastra Perempuan (2006) pun menyebutkan karya Ayu Utami sebagai wujud kebebasan perempuan, termasuk kebebasan perempuan untuk membicarakan seksualitas perempuan di ruang publik. Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa konsep écriture feminine atau penulisan feminin Cixous sesuai dengan isu serta semangat penulisan yang diusung oleh Ayu Utami dalam karyanya yang berjudul Si Parasit Lajang. Adapun pembacaan dan analisis akan difokuskan pada tema permasalahan perempuan yang ada di dalam buku. Oleh karena itu, penulis akan menganalisis kumpulan esai Si Parasit Lajang dilihat dari perspektif pemikiran Hélène Cixous.

Biografi Singkat Hélène Cixous Hélène Cixous lahir di Oran, Aljazair pada 5 Juni tahun 1937. Beliau merupakan seorang pengajar, kritikus, sastrawan, feminis kenamaan Prancis. Pada tahun 1959, Cixous mulai menjalani studi Inggris. Kemudian pada tahun 1962, ia menjadi pengajar di Université de Bordeaux, sambil menyelesaikan disertasinya mengenai James Joyce. Dalam The Norton Anthology of Theory and Criticism (2010) oleh Vincent B. Leitch dkk., dituliskan bahwa selama proses pengerjaan disertasi Cixous sering berdiskusi dengan Derrida dan Lacan. Sejak berpindah ke Paris, Cixous mulai membina karirnya. Pada Mei 1998, Cixous mendapatkan 2

Diani, Hera. Some straight talking with author Ayu. The Jakarta Post, Minggu 11/11/2001. http://www.thejakartapost.com/news/2001/11/11/some-straight-talking-with-author-ayu.html diakses pada 25 Juni 2014


tanggung jawab untuk mengepalai komite perencanaan cabang Université de Paris (Paris VIII), yang kelak menjadi tempat berkumpulnya para pemikir dan penulis Prancis. Leitch dkk. (2010) pun menuliskan bahwa di sana, Cixous mendirikan program Études Féminines sebagai pusat penelitian untuk kajian wanita di Prancis. Sebagai seorang pengajar dan pemikir, Cixous terbilang aktif dalam menuliskan pemikirannya ke dalam tulisan. Leitch dkk. (2010) menyatakan bahwa Cixous memenangkan Medici Prize untuk novel pertamanya yang berjudul Dedans (1969), yang mengangkat isu gender dan patriarki.Selain itu, terdapat tulisan Cixous lainnya yang mencoba menuliskan permasalahan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam trilogi Le Troisième Corps (1970), Les Commencements (1970), dan Neutre (1972). Kegiatannya dalam bidang kajian perempuan mempengaruhi karya-karya Cixous. Secara khusus, Cixous menyatakan adanya hubungan yang penting antara perempuan dengan menulis. Seperti yang ditulis oleh Verena Andermatt Conley dalam Hélène Cixous: Writing the Feminine (1991), Cixous menyatakan bahwa perempuan haruslah berani menuliskan tentang dirinya sendiri untuk dapat menyuarakan permasalahan yang mereka alami. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah écriture feminine atau penulisan feminin, yang menekankan pada pentingnya ‘bahasa perempuan’ sebagai cara perempuan untuk menyatakan diri. Pemikiran Hélène Cixous Pembahasan mengenai Hélène Cixous tidak dapat dilepaskan dari pemikirannya mengenai konsep penulisan feminin. Kita telah mengetahui sebelumnya bahwa perempuan berada pada posisi subordinat di dalam budaya patriarki. Diamnya perempuan mengakibatkan dominasi tersebut semakin mengakar kuat, termasuk hingga ke aspek bahasa. Mary S. Mander dalam Bourdieu, the Sociology of Culture and Cultural Studies: A Critique (1987) mengutip pendapat Bourdieu yang menyatakan bahwa praktik bahasa dalam keseharian kita menyembunyikan adanya tingkatan kekuasaan di dalam struktur sosial yang timpang. Oleh Bourdieu, kekuasaan yang tersembunyi di dalam praktik berbahasa ini disebut sebagai ”kekerasan simbolik”. Sejalan dengan pendapat tersebut, Cixous beranggapan bahwa perempuan terbelenggu dan mengalami kekerasan simbolik tersebut di dalam bahasa patriarkal. Cixous, seperti yang dinyatakan oleh Susan E. Dunn dalam The place that writes: Locating Hélène Cixous in Feminist Theory (1998), menyebut bahasa ini sebagai bahasa yang bersifat phallogosentris. Istilah tersebut merupakan penggabungan konsep phallosentris milik Jacques Lacan dan logosentris milik Jacques Derrida, yang juga filsuf ternama dari Prancis. Elizabeth Grosz 9 Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014

dalam Jacques Lacan: A Feminist Introduction (1990) menggambarkan phallosentris sebagai konsep di mana laki-laki unggul dengan kepemilikan phallus, yang merupakan kunci kekuasaan di dalam dunia simbolik. Sedangkan, Jack M. Balkin dalam Deconstructive Practice and Legal Theory Part II (1998) menyatakan bahwa logosentris adalah konsep di mana terdapat hal yang berada lebih unggul atas hal lainnya di dalam struktur biner, yang dijelaskan oleh Derrida melalui penggambaran hubungan teks (writing) dan lisan (speech). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penggunaan bahasa, perempuan juga menempati posisi subordinat akibat ketiadaan phallus tersebut. Hanya kaum laki-laki yang dapat menulis dan mengeluarkan pemikirannya. Sebaliknya, perempuan menemukan keterbatasan dalam mendefinisikan diri. Apabila perempuan menulis, mereka cenderung melakukannya secara diam-diam layaknya masturbasi, seperti yang dinyatakan oleh Cixous dalam The Laugh of the Medusa (1976). Oleh karena itu, Cixous berusaha memotivasi perempuan untuk unjuk diri dengan memperkenalkan konsep écriture feminine. Menurutnya, perempuan perlu melakukan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman tersebut. Sama seperti Derrida yang membongkar pemahaman unggulnya lisan atas teks seperti ditulis oleh Balkin (1998), maka sudah saatnya bagi perempuan untuk memandang perbedaan yang mereka miliki sebagai sesuatu yang berharga dan bukan kutukan. Dengan menjadikan Medusa sebagai contoh acuan, Cixous mengatakan bahwa segala perbedaan yang selama ini dianggap menakutkan oleh laki-laki, justru harus ditunjukkan. Sebab, sebenarnya laki-laki justru takut dengan kekuatan perempuan, sehingga mereka pun dengan berbagai cara membuat perempuan meredam kekuatan diri mereka. Oleh karena itu, menulis merupakan jalan yang tepat untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan tersebut. Dengan tergeraknya perempuan untuk menulis, maka akan muncul gaya penulisan feminin yang berbeda dengan gaya penulisan maskulin yang sudah ada. Penulisan maskulin dianalogikan oleh Cixous sebagai penis; ia cenderung kaku dan membosankan akibat keterpusatan dan singularitasnya.3 Mengutip pernyataan Cixous, Conley (1991) menuliskan bahwa perempuan tidak perlu menghiraukan atau masuk ke dalam aturan bahasa simbolis yang diciptakan oleh laki-laki, yakni praktik pembacaan dan penulisan maskulin. Sebaliknya, dalam penulisan feminin perempuan akan lebih bebas dalam bereksplorasi, sebab perempuan 3

Dyah Mursintowati. 2008. ‘Representasi Perempuan Posfeminis dalam Tiga Buah Cerita karya Judith Hermann berjudul “Ruth (Freundinnen)”, “Kaltblau” dan “Nichts als gespester” yang termuat dalam Buku Kumpulan Cerita Nichts als Gespenster’. Hlm. 23


memiliki banyak daerah genital untuk ditelusuri. Hasilnya, akan muncul tulisan yang lebih bebas dan kreatif, terutama mengenai feminitas dan seksualitas perempuan. Solusi yang ditawarkan oleh Cixous memang berada dalam tataran pemahaman bahasa. Lewat tulisan, perempuan dapat menyerang budaya patriarki. Seperti yang dinyatakan oleh Widiantini (2013), pada dasarnya bahasa tidak memiliki jenis kelamin, melainkan masyarakat yang memberikan label padanya. Untuk itu, yang perlu dilakukan ialah membongkar pemaknaan terhadap bahasa dan penggunaannya. Dengan begitu, akan didapatkan pola bahasa yang lebih ramah terhadap perempuan untuk pemaknaan dirinya. Dalam The Laugh of the Medusa (1976) Cixous juga memperkenalkan istilah biseksualitas dalam bahasa perempuan. Penulisan feminin yang biseksual memberikan ketidakpastian kepada posisi subjek dan tidak ada klasifikasi seksual di dalamnya. Mengacu pada hal tersebut, A.R. Dewi Andayani dalam Pencapaian Identitas Perempuan dalam Suatu Sistem Politik Baru (2009) menyatakan bahwa biseksualitas ini bergerak beyond of gender, <<…perbedaan gender tidak lagi menjadi fokus, melainkan identitas apa yang mampu diartikulasikan dibalik dari gender itu sendiri.>> (hlm. 28) Apabila pada bahasa laki-laki stereotip gender amat kental terlihat baik dalam bahasa maupun gaya tulisannya, maka tidak demikian di dalam biseksualitas. Tidak ada batasan yang berlaku di dalam penulisan biseksual. Perempuan menjadi multisubjek; ia yang biasa dikonotasikan sebagai objek dengan karakter feminin, dapat memposisikan diri sebagai subjek, karena ia memiliki sisi maskulin dalam dirinya. Lebih lanjut, Andayani (2009) mengemukakan bahwa penulisan biseksual bukanlah penolakan terhadap perbedaan seksual, melainkan pengakuan terhadap pluralitas. Dengan begitu, tidak ada sisi yang terepresi sebab perempuan terbuka terhadap hal-hal baru. Pada akhirnya, Cixous menegaskan bahwa penulisan feminin merupakan upaya dekonstruksi yang terjadi pada dua tingkat. Dunn (1998) mengatakan bahwa tingkatan tersebut berkaitan dengan penggunaan istilah individual dan struktur. Tingkat pertama, perempuan sebagai individu harus mampu menulis tentang dirinya sendiri, yakni menyampaikan apa yang dirasakan oleh tubuhnya melalui bahasa. Perempuan harus mampu menemukan cara untuk memahami tubuhnya sendiri agar tidak dibatasi. Kemudian di tingkat kedua, saat perempuan berani untuk menuangkan seksualitasnya ke dalam tulisan, maka ia telah menciptakan bahasanya sendiri. Perempuan menjadi subjek yang aktif di dalam struktur bahasa. Oleh karena itu, Cixous berpendapat bahwa penulisan feminin merupakan cara yang tepat untuk mendobrak dominasi bahasa maskulin.


Si Parasit Lajang: Cerminan Konsep Penulisan Feminin Cixous Nama Ayu Utami bukanlah nama baru dalam dunia sastra Indonesia. Semenjak buku pertamanya, Saman (1998), diterbitkan, para pecinta sastra Indonesia mulai membicarakan Ayu Utami. Karya-karyanya terbilang istimewa; banyak orang beranggapan bahwa keistimewaan tersebut terletak pada kepiawaiannya membahas isu yang sering dinilai terlalu vulgar untuk dibicarakan secara terbuka, menjadi sebuah bahan tulisan yang terkesan ringan namun sarat makna. Tak jarang, sebagai pembaca pun kita dapat melihat posisi Ayu Utami sebagai penulis dalam memandang permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama mengenai permasalahan perempuan. Seperti yang dijabarkan oleh Cixous, perempuan harus menuliskan apa yang ia alami dan rasakan sebagai suatu bentuk dekonstruksi dari budaya patriarkal yang selama ini memberikan definisi terhadap perempuan. Sebagai seorang penulis, Ayu Utami mencoba memberikan suaranya-sebagai perempuan di dunia phallus ini. Meski bukan penggerak awal penulisan feminin secara umum, namun di dunia sastra Indonesia namanya patut diperhitungkan. Karya-karyanya dianggap memberikan warna baru pada dunia sastra Indonesia, yang banyak didominasi oleh penulis laki-laki. Kemunculannya turut membangkitkan semangat dari penulis perempuan di Indonesia untuk turut berkarya dan menyuarakan pendapat mereka. Semangat yang sama yang diusungnya dalam kumpulan esai Si Parasit Lajang. Kumpulan esai Si Parasit Lajang dibagi ke dalam tiga bagian utama; kedai, rumah, dan perjalanan. Ketiganya dipilih sebagai tempat di mana Ayu paling banyak menghabiskan waktunya. Yang pertama ialah kedai yang berlokasi di kantornya, kemudia rumah tempat ia tinggal, serta terakhir ialah perjalanan, berisikan catatan Ayu Utami saat ia sedang melakukan dinas ataupun hanya sekedar jalan-jalan. Tulisan yang terdapat di dalam buku ini memang merupakan rekaman kejadian ataupun percakapan yang terjadi di ketiga lokasi tersebut. Yang menarik, terdapat isu serupa yang dapat kita temukan pada ketiga bagan tersebut: isu perempuan. Adapun tema perempuan dalam kumpulan esai ini disajikan ke dalam beberapa subtema, antara lain tentang pernikahan serta seksualitas dan inferioritas perempuan di tengah masyarakat metropolis.


Pernikahan dan Inferioritas Perempuan Dalam subtema pernikahan, Utami mencoba mengungkapkan ketidaksetujuannya akan institusi pernikahan, khususnya di Indonesia. Dalam tulisan 10+1 Alasan untuk Tidak Kawin, ia memberikan sebelas alasan kenapa tidak menikah merupakan sikap politiknya sebagai individu. Baginya pernikahan sebagai sebuah konstruksi sosial masih memiliki kekurangan di berbagai sisi, terutama dalam hal perlindungan terhadap wanita. Pada halaman xiv, terdapat bagian yang menunjukkan kegelisahan Utami akan institusi pernikahan. Menurutnya, pernikahan umumnya memberatkan pihak perempuan dan masih melanggengkan dominasi laki-laki atas kaum perempuan. Hal ini terlihat dari banyaknya negara yang masih belum memiliki dasar hukum yang kuat mengenai pernikahan, terutama dalam hal kekerasan domestik terhadap perempuan. Selain itu, Utami juga memandang institusi pernikahan belumlah adil terhadap perempuan. Salah satu contoh yang ia berikan ialah beban yang ditanggung oleh wanita karir yang juga berkeluarga. Ia dituntut untuk berperan ganda dan serba bisa di dua ruang sekaligus; ruang domestik dan ruang publik. Pada akhirnya, banyak perempuan yang mengalah dan terpaksa menjalankan apa yang diwajibkan kepada mereka jika berkeluarga: merawat anak, mengurus rumah, dan lain sebagainya. Pemikirannya tersebut juga terlihat dalam esainya yang berjudul Si Parasit Lajang, “Perkawinan tidak sedia membebaskan dia. Ada satu titik saat ia harus memilih antara menjadi ibu dan menjadi mandiri” (hlm. 27). Di dalam kehidupan nyata pun Utami memilih untuk melawan konstruksi sosial tersebut. Ia mengungkapkan bahwa sebagai perempuan, ia memiliki hak untuk menentukan sikap terhadap hal-hal yang dianggap membatasi dirinya, termasuk pernikahan. Hal ini nampak dalam kutipan berikut, ”Sungguh mati saya tidak mau mengikatkan diri dengan lelaki dalam hukum yang begitu saja menjadikan dia pemimpin saya hanya gara-gara dia laki-laki.” Dengan tegas ia menyatakan bahwa ia tidak bermaksud menghasut pembacaterutama perempuan- untuk mengikuti pilihannya. Bagi Utami, yang terpenting adalah perempuan mengerti betul apa yang mereka putuskan, entah itu dengan cara menikah atau seperti dirinya, tidak menikah sama sekali. Sejalan dengan pemikiran Cixous, ia mengajak para pembacanya untuk bersikap kritis dan berani bersuara. Apabila pernikahan dianggap dapat merenggut kebebasan perempuan, maka perempuan pun bebas menentukan untuk tidak menjatuhkan diri ke dalam perangkap 13 Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014

pernikahan. Dengan begitu, mereka tidak akan dibatasi untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Perempuan harus berusaha untuk tidak terjebak ke dalam aturan simbolis yang diciptakan oleh masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki. Seksualitas Selain pernikahan, seksualitas juga banyak diangkat di dalam kumpulan esai ini. Cixous menyatakan bahwa perempuan dapat melakukan dekonstruksi terhadap budaya patriarki dengan menceritakan seksualitas. Dengan memahami tubuh dan ketubuhannya, perempuan akan menjadi bebas, tanpa perlu mengkhawatirkan penilaian dari kaum laki-laki. Sayangnya, hingga saat ini masih ditemukan anggapan yang mengatakan bahwa perempuan dan seksualitasnya bukanlah hal yang baik untuk diumbar. Hal inilah yang oleh Ayu Utami dicoba untuk dikritisi melalui esai Sophia Latjuba. Dalam esai tersebut, Utami menceritakan pengalamannya berkunjung ke salah satu biara yang ada di Thailand. Di dalam biara, terdapat lukisan seorang perempuan; ia memakai rok mini dan baju tipis, serta memperlihatkan bagian tubuhnya. Seorang biksu menjelaskan bahwa perempuan dalam lukisan tersebut merepresentasikan godaan jahat bagi manusia, yakni materi dan kenikmatan duniawi. Selain itu, ditemukan pula bangsal berisikan tiga jerangkong4: perempuan dewasa, lelaki dewasa, dan anak-anak. Tujuannya adalah untuk mengingatkan bahwa manusia akan berakhir seperti tulang-belulang tersebut. Namun, kisah dan simbol jerangkong hanya dibangun dari jerangkong wanita, yang konon merupakan kerangka seorang ratu kecantikan. “Dan demikianlah cerita itu berakhir: secantik-cantiknya wanita, seranum apapun tubuhnya, ia akan jadi jerangkong juga. Sementara itu, tak ada latar belakang tentang si pria dan si anak.” (hlm. 62)

Keberatan yang disampaikan oleh Ayu Utami tersebut memang sejalan dengan pemikiran Cixous. Menurutnya, budaya patriarki membuat perempuan terpaksa percaya bahwa tubuhnya ’berbahaya’, harus ditutup rapat-rapat. Lantas, perempuan membiarkan lakilaki yang melakukan definisi terhadap perempuan. Utami memandang hal tersebut sebagai sebuah kekeliruan. Menurutnya, perempuan justru harus menceritakan seksualitasnya. Sebab, hanya perempuan yang paham akan apa yang terjadi pada tubuhnya. Apabila dilihat dari sudut

4

jerangkong berarti tulang kerangka (manusia dan binatang), seperti termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. Keempat (2008) terbitan Balai Pustaka.


pandang Cixous mengenai tokoh Medusa, maka perempuan, dengan seksualitasnya, justru lebih memiliki modal untuk menjadi kuat dan membuat laki-laki menakutinya. Pemikiran yang senada juga muncul dalam esai Gofur dan Ming Dao. Pada tulisan tersebut, Utami menceritakan kisahnya saat bertukar cerita mengenai masturbasi bersama kedua temannya, yaitu Gofur dan Ming Dao. Utami menceritakan bahwa seumur hidupnya, ia jarang menemukan teman perempuan yang mau diajak bertukar cerita mengenai pengalaman seksual. Padahal menurutnya tidak ada yang salah dengan perempuan dan seksualitasnya. Dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung lebih terbuka dengan teman-temannya mengenai pengalaman seksual, perempuan justru cenderung amat merahasiakan hal tersebut. “Saya berpikir, jika anak-anak perempuan lebih terbuka mengenai eksplorasi seksual mereka sejak dini, mungkin tak terlalu banyak ketakutan yang mereka alami. Mungkin mereka akan lebih menguasai tubuhnya sendiri.” (hlm. 15)

Apabila dikaitkan dengan konsep penulisan feminin, melalui tulisan tersebut Utami ingin menjelaskan bahwa perempuan, termasuk dirinya, merasakan adanya gejolak seksualitas dalam dirinya. Maka, sebaiknya perempuan, termasuk dirinya sendiri, berkeinginan untuk memahami apa yang dirasakan tersebut. Cixous mengatakan bahwa perempuan itu istimewa, ia memiliki banyak daerah genital untuk ditelusuri. Berbeda halnya dengan kaum laki-laki, yang hanya memiliki penis sebagai satu-satunya organ yang menerima rangsangan. Oleh karena itu, sudah seharusnya perempuan merayakan ’keunikan’ tersebut dengan mengabadikannya melalui tulisan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ayu Utami mencoba menjelaskannya melalui esai Kelas Seks di Sekolah. Di dalam esai tersebut ia menuliskan perempuan merupakan pihak yang tepat untuk membicarakan kenikmatan seksual, sebab perempuan telah diberikan karunia untuk merasakan kenikmatan tersebut. Ia menyebut klitoris dan G-spot, dua organ seks perempuan, sebagai ’bukan alat kelamin, melainkan alat kenikmatan belaka.’ (hlm. 124). Melalui ungkapan tersebut, Utami ingin menunjukkan bahwa perempuan pun bebas bereksplorasi dengan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan hanya sarana prokreasi, seperti yang selama ini sering digaungkan oleh masayarakat patriarki. Lebih lanjut, dalam esai Rocco Siffredi Utami dengan terbuka menceritakan kegemarannya menonton film porno. Secara blak-blakan, ia menggambarkan Rocco Siffredi, aktor film porno favoritnya, lengkap dengan warna kulit, tinggi badan, sampai ukuran penis.


Menurutnya, aktor film porno pun harus bertubuh bagus, sebagaimana seperti selama ini perempuan dituntut. Sebab, kebanyakan film porno selalu menjadikan perempuan sebagai objek untuk ditonton. Oleh karena itu, perempuan pun juga bisa menjadikan laki-laki sebagai objek untuk kenikmatan perempuan. Tidak hanya laki-laki yang bisa menilai perempuan dari segi fisik; mereka juga akan dinilai sebagai objek oleh perempuan. Terlebih, apabila pemikiran mengenai film porno tadi dibalik, sebenarnya laki-lakilah yang menjadi objek dari perempuan. Perempuan berakting begitu baiknya di dalam film porno, sehingga laki-laki merasa ’terhipnotis’ untuk terus menontonnya. Ayu mengatakan bahwa, ”Lelaki tak bisa pura-pura orgasme atau berdiri... Perempuan bisa pasang gaya klimaks berkali-kali,” (hlm. 169). Maka, seharusnya perempuan pun bisa menjadikan hal tersebut sebagai senjata untuk memanipulasi keadaan dan berbalik memegang kendali dengan menjadi subjek. Setelah melihat semua penjabaran tersebut, dapat dikatakan bahwa Ayu Utami sebagai seorang perempuan melihat adanya ketimpangan dalam budaya patriarki yang selama ini mengekang perempuan. Budaya patriarki menciptakan suatu kondisi yang menjadikan perempuan terpaksa bergantung pada laki-laki, sehingga mereka menjadi terikat dan sulit bergerak. Padahal, perempuan dengan ketiadaan penisnya memiliki banyak hal untuk ditunjukkan. Perempuan seharusnya tidak perlu takut untuk menyatakan dirinya di tengah masayarakat. Kebebasan dan kreativitas Ayu Utami sebagai seorang penulis feminin juga terlihat dari caranya untuk mencoba menyadarkan para pembaca karyanya bahwa perempuan juga berhak untuk bersenang-senang. Perempuan, siapapun itu, bisa melakukan apa saja yang ia mau: menjadi lajang, menonton film porno, ataupun menceritakan pengalaman seksualnya. Perempuan bebas menjadi dirinya sendiri dan tidak perlu untuk merisaukan pendapat laki-laki di sekitarnya. Sebagai sebuah wacana dekonstruktif, Ayu Utami dan tulisannya telah melewati dua tingkatan yang dijabarkan oleh Cixous, yakni tingkat individual dan tingkat struktur. Pada tingkat pertama, Utami sebagai perempuan dan individu telah mampu menulis tentang dirinya sendiri, tentang apa yang dirasakan oleh tubuhnya, dan menyampaikannya melalui tulisantulisannya tersebut. Selain itu, dapat dikatakan bahwa Utami telah menemukan seksualitas


pada dirinya. Ia membuka tentang apa yang dirasakan oleh dirinya, oleh tubuhnya, tanpa berusaha untuk merahasiakannya dari siapapun. Pada tingkat kedua, secara struktur, Cixous menjabarkan bahwa saat perempuan menulis atau berbicara tentang tubuhnya sendiri, maka ia telah menjadi subjek yang aktif dan posisi mereka sebagai subyek dalam bahasa akan berubah. Dalam hal ini, Ayu Utami telah menjadi subjek aktif karena telah berbicara tentang tubuhnya sendiri dan jugab meraih posisi dengan tulisannya tersebut. Sebagai seorang penulis feminin, ia telah mendapatkan tempat dan diakui. Karyanya dianggap mewakili suara banyak perempuan di luar sana, bahkan tak jarang memotivasi perempuan lainnya untuk ikut ‘bersuara’ dengan menulis. Penutup Gagasan Cixous mengenai écriture feminine atau penulisan feminin memang masih amat relevan hingga saat ini, terkait dengan banyaknya bermunculan penulis perempuan sekarang ini. Dalam pemikiran Cixous, perempuan diajak untuk berani menuliskan apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan. Sebagai seorang penulis, Ayu Utami memang sudah sewajarnya melakukan hal tersebut. Namun sosoknya menjadi istimewa berkat keberaniannya menuliskan hal-hal yang sensitif mengenai perempuan, mulai dari isu pernikahan hingga seksualitas. Kepiawaian Ayu Utami dalam menuliskan permasalahan perempuan memang patut diberikan apresiasi. Sebagai individu, ia telah berhasil memberikan pendapatnya mengenai apa yang terjadi pada dirinya, pada banyak perempuan di Indonesia. Membaca tulisannya membuat kita seakan-akan ’menelanjangi’ potret sosial yang sedang terjadi pada perempuan di tengah masyarakat perkotaan saat ini. Karyanya bukanlah sekedar tulisan dalam bidang sastra yang hanya cukup untuk dinikmati. Karyanya merupakan bahan renungan yang sarat dengan makna, yang membuat pembaca berpikir kritis mengenai fenomena yang tengah mereka hadapi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka karya-karya Ayu Utami membuatnya mampu dimasukkan sebagai salah satu penulis écriture feminine saat ini, seperti yang diungkapkan oleh Cixous. Ayu Utami telah menulis mengenai perempuan dari tubuh perempuan itu sendiri. Ia telah menemukan seksualitas perempuan dan juga berani mengutarakan apa yang ia inginkan. Hal ini membuatnya mendapatkan posisi dan pengakuan dalam dunia sastra Indonesia. Lebih lanjut lagi, keberadaan Ayu Utami sebagai seorang penulis écriture feminine 17 Ecriture Feminisme …, Ester Cahaya, FIB UI, 2014

berhasil meyakinkan banyak perempuan lainnya untuk mengikuti jejak Cixous dan dirinya: berani menulis dan bersuara.


Daftar Referensi Andayani, Ajeng Rachmatika Dewi. (2009). Pencapaian Identitas Perempuan dalam Suatu Sistem Politik Baru. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Depok. Conley, Verena Andermatt. (1991). Hélène Cixous: Writing the Feminine. Lincoln: University of Nebraska Press. Djajanegara, Soenardjati. (2000). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dyah Mursintowati. (2008). ‘Representasi Perempuan Posfeminis dalam Tiga Buah Cerita karya Judith Hermann berjudul “Ruth (Freundinnen)”, “Kaltblau” dan “Nichts als gespester” yang termuat dalam Buku Kumpulan Cerita Nichts als Gespenster’. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Friang, Michèle. (1998). Femmes Fin de Siècle. Paris: Les Éditions Autrement. Hanifah, Yuniarti Nur. (2005). “Bahasa” Penulis Perempuan Menurut Perspektif Hélène Cixous: Studi Kasus Cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini dan Cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Kirk, Gwyn dan Margo Okazawa Rey. (2006). Women’s Lives: Multicultural Perspectives Third Edition. Columbus: McGraw-Hill Higher Education. Leitch, Vincent B, dkk. (2010). The Norton Anthology of Theory and Criticism. New York: W.W. Norton & Company. Listyowulan, Widyasari. (2010). Narrating Ideas of Religion, Power, and Sexuality in Ayu Utami’s novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu. Tesis, Ohio University. Mander, Mary S.(1987). Bourdieu, the Sociology of Culture and Cultural Studies: A Critique. European Journal of Communication, 2, 427-453. Rampan, Korrie Layun. (2000). Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. Tong, Rosmarie Putnam. (2004). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.


Sumber Internet Balkin, Jack M. (1998). Deconstructive Practice and Legal Theory Part II. The Yale Journal. Diunduh pada 7 September 2014 pukul 21:24 WIB dari http://www.yale.edu/lawweb/jbalkin/articles/decprac2.html Butler, Judith. (1986). Sex and Gender in Simone de Beauvoir’s Second Sex. JSTOR: Journal Storage.Diunduh pada 1 September 2014 pukul 14:14 WIB dari http://www.jstor.org/stable/2930225 Cixous, Hélène. (1976). The Laugh of the Medusa. JSTOR: Journal Storage. Diunduh pada 14 April 2014 pukul 21:15 WIB dari http://www.jstor.org/stable/3173239. Diani, Hera. (2011). Some straight talking with author Ayu. The Jakarta Post. Diunduh pada 25 Juni 2014 pukul 20: 34 WIB dari http://www.thejakartapost.com/news/2001/11/11/some-straighttalking-with-author-ayu.html. Dunn, Susan E.(1998). The place that writes : Locating Hélène Cixous in feminist Theory. Stanford Prelecteur. Diunduh pada 29 April 2014 pukul 21:15 WIB dari http://prelectur.stanford.edu/lecturers/cixous/dunn.html. Nurhadi. (2007). Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia. Jurnal Diksi FBS UNY. Diunduh pada 24 Juni 2014 pukul 21: 58 WIB dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DARI%20KARTINI%20HINGGA%20AYU% 20UTAMI%20MEMPOSISIKAN.pdf. Widiantini, Ikhaputri. (2013). Permainan Makna dalam Penulisan Mitos Perempuan Indonesia. ICSSIS. Diunduh pada 30 April 2014 pukul 21:35 WIB dari http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-01-23.pdf.


UNIVERSITAS INDONESIA ÉCRITURE FÉMININE DALAM KUMPULAN ESAI SI PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI MAKALAH NON-SEMINAR

Recommend Documents