PERSPEKTIF GENDER DALAM TRILOGI NOVEL SI PARASIT LAJANG, CERITA CINTA ENRICO, DAN PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI
Sri Utami Mahasiswa Magiter Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Isu perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual dan krusial, khususnya mengenai konsep gender. Perempuan menjadi masalah yang krusial karena stereotip yang dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan jenis kelamin tertentu yakni laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai bentuk tatanan sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarki. Pengaruh gender tertanam kuat di dalam berbagai institusi, tindakan, keyakinan, dan keinginan seseorang, sehingga seringkali dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sering dianggap benar. Dasar pemikiran dalam penelitian berperspektif gender adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran wanita seperti tercermin dalam karya sastra dan pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam suatu karya dengan fokus melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis. Prosedur pengumpulan data dengan metode interaktif berupa content analysis (analisis isi) terhadap dokumen. Keterkaitan tokoh perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami terdapat tokoh perempuan yang mempunyai komitmen menjadi ‘parasit lajang’ yang memutuskan untuk tidak menikah dan melanggar komitmen dengan menikah secara agama. Kata Kunci: gender, trilogi novel, dekonstruksi ideologi PENDAHULUAN Ayu Utami merupakan novelis perempuan yang hendak mendobrak adanya perjuangan perempuan. Ayu Utami produktif mengangkat tema feminisme dalam karya-karyanya, termasuk gender. Fokus gender terdapat pada perlawanan terhadap hegemoni yang merendahkan kaum perempuan dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi dalam trilogi novel karya Ayu Utami yang berjudul Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang menggunakan pendekatan kritik sastra feminisme
dengan alat perspektif gender. Tentunya, melalui pendidikan yang menjadi faktor penting untuk kemajuan gender. Gender diperjelas oleh Nugroho (2011:8), sebagai suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Dasar pemikiran dalam berperspektif gender adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran wanita seperti tercermin dalam karya sastra dan pandangan pengarang
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 221
terhadap tokoh wanita dalam suatu karya. Adapun masalah penelitian dalam mencakup keterkaitan tokoh perempuan, pendidikan kritis (kesadaran kritis gender), dan penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. Penelitian ini mencakup dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perspektif gender dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami.Penelitian ini secara khusus bertujuan mendeskripsikan keterkaitan tokoh perempuan, mendeskripsikan pendidikan kritis (kesadaran kritis gender), dan mendeskripsikan penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat: (a) memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kritik sastra dan pengkajian sastra; dan (b) memberi masukan kepada guru bahasa dan sastra Indonesia serta sastrawan tentang perspektif gender dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat; (a) digunakan untuk pengajaran apresiasi sastra, utamanya analisis karya sastra yang menggunakan pendekatan-pendekatan feminisme; (b) bermanfaat bagi guru, siswa/mahasiswa, dan penikmat karya sastra untuk memahami dan menemukan perspektif gender dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami; (c) bermanfaat untuk mengefektikan proses pembelajaran
apresiasi novel, khususnya novel-novel yang beraliran feminisme; (d) memperluas wawasan siswa/mahasiswa mengenai gender, agar dapat menjadi agen perubahan dengan melakukan penelitian lanjutan dengan tema gender, untuk mencapai tujuan kesetaraan gender; dan (e) bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan keilmuan dalam bidang apresiasi noveldan dapat memberi dorongan dan suntikan semangat untuk melakukan penelitian-penelitian sejenis secara intensif dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis. Prosedur pengumpulan data dengan metode interaktif berupa content analysis (analisis isi) terhadap dokumen dan arsip Bungin (2005: 85). Adapun langkahlangkah dalam teknik content analysis sebagai berikut. (1) Membaca berulangulang secara keseluruhan maupun sebagian trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. (2) Mengumpulkan dan mempelajari beberapa teori yang relevan dengan tema penelitian. Alat ukur atau indikator penelitian perspektif gender ini yaitu melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi yang mencakup tiga hal pokok, yaitu keterkaitan tokoh perempuan, pendidikan kritis (kesadaran kritis gender), dan penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami. (3) Mencacat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting yang sesuai dengan
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 222
permasalahan. Data diklasifikasi ke dalam korpus data. Teknik analisis data dengan analisis model mengalir (flow model of analysis). Cara kerja teknik Flow Model of Analysis adalah sebagai berikut. (1) Mencari kemudian menentukan novel yang dipilih menjadi objek penelitian. (2) Melakukan kajian pustaka terhadap buku, jurnal, internet yang ada hubungannya dengan trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami, teori intertekstual dan pendekatan feminis dengan alat analisis perspektif gender. (3) Memberi penjelasan tentang trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajangkarya Ayu Utami, teori intertekstual, dan analisis perspektif gender. (4) Menganalisis novel yang dipilih untuk mencari keterkaitan tokoh perempuan, pendidikan kritis (kesadaran kritis gender), dan penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajangkarya Ayu Utami. (5) Analisis tersebut dikaitkan dan dinyatakan dengan mengambil kutipan-kutipan yang ada dalam novel untuk mencerminkan kaitan dan nilai-nilainya. (6) Menyusun secara teratur hasil data yang telah dianalisis ke dalam laporan penelitian. dan (7) Menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan Tokoh Perempuan dalam Trilogi Novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami Dalam Novel Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami, tokoh A sejatinya adalah gadis keturunan Jawa yang tinggal di Jakarta bersama keluarganya. Tokoh A menjadi sentral cerita karena
bercerita dan mengetahui semua hal. Tokoh A kuliah di Universitas Indonesia jurusan Sastra Rusia dan bekerja di Komunitas Utan Kayu. Tokoh A dipandang sebagai perempuan feminis yang tidak ingin dinomorduakan atau didominasi oleh lelaki dan tidak mudah menghafal wajah lelaki yang tidak istimewa. A berkuliah sambil mengembangkan kemampuannya sebagai wartawan di satu dwimingguan hukum-politik (di bawah pengelolaan gerombolan Tempo) dan gemar memberi kritik terhadap kondisi sekitarnya. Hal ini karena A sebagai ‘parasit lajang’ dan perempuan yang menolak idealisasi pernikahan. Novel Cerita Cinta Enrico Karya Ayu Utami menceritakan kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga reformasi. Tokoh A sebagai tokoh figuran. A datang bertepatan ketika tokoh Enrico merindukan perempuan yang menjelma seorang ibu. Tokoh A seorang yang menyukai seni. Dia dapat melukis baik dengan cat minyak maupun akrilik. Tokoh A memiliki ketertarikan pada dunia seni, A tidak sedikitpun melakukan gerakan yang dapat menghancurkan harga diri pasangannya, dan tidak menyukai peran menjadi ‘ibu’ (memikirkan segala hal tentang pasangannya) dalam suatu hubungan. Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami, tokoh A memiliki ayah yang kaku dan lupa cara begaul dengan anak-anaknya. Pada usia duapuluhan, A memutuskan untuk menutup masa perawannya dengan tidur dengan kekasihnya. A mengeksplorasi diri dalam bidang model di pemilihan Wajah Femina yang diselenggarakan oleh majalah perempuan. Dunia model digeluti A sebentar saja. Hal itu dipicu beberapa alasan. Selanjutnya, A menjadi seorang wartawan yang mendekatkannya pada dunia pemikiran. A berselingkuh dengan Dan ketika berpacaran dengan Nik. A telah
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 223
memiliki keinginan tidak menikah dan memiliki anak. Perihal tidak adanya aturan katolik yang menyatakan bahwa suami adalah pemimpin istri dan kepala keluarga dijadikan dasar perkawinan. Rik dan A tetap menganggap perkawinan tidak penting untuk diri sendiri. Novel Si Parasit Lajang menampilkan tokoh utama A (inisial dari Ayu). Tokoh A mempunyai kadar keutamaan yang lebih besar. Novel Cerita Cinta Enrico menceritakan kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga reformasi. Novel ini menampilkan tokoh figuran yaitu tokoh A. Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang menampilkan tokoh A (inisial dari Ayu) sebagai tokoh utama. Tokoh A mempunyai kadar keutamaan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena tokoh A adalah pusat cerita, artinya yang mengetahui semua hal. Dengan demikian, terlihat jelas tokoh dan penokohan. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2007: 65). Hubungan trilogi tersebut terkait dengan tuturan dialogis, digali dalam dan melalui tokoh-tokoh dan peristiwa dalm konteks universum tertentu, disajikan melalui kearifan subjek kreator, yang kemudian juga merupakan bagian internal universum tersebut. Tokoh-tokoh yang ditampilkan terdiri atas tipe-tipe manusia bebas dengan ciri karakterisasinya masing-masing, dan bertindak sesuai dengan perilakunya masing-masing. Tipe tokoh-tokoh dan peristiwa seperti ini tunduk pada personalitasnya masing-masing bukan pada subjek kreator. Personalitas tokohtokoh , intensi-intensi peristiwa, citra bahasa, dan asumsi-asumsi fiksional lainnya, berada dalam posisi yang sejajar dengan subjek kreator, bukan dalam konstruksi yang
tersubordinasikan. Personalitas tokohtokoh juga tidak mesti identik dengan personalitas subjek. Dalam karya seni yang problematis, tokoh-tokoh cerita justru berfungsi sebagai relasi oposisi ideologis terhadap subjek, bahkan juga sebagai pemberontak yang radikal (Ratna, 2010:179). Teks dengan demikian tidak ditentukan oleh pengarang, tetapi sebaliknya, pengaranglah yang dikondisikan oleh teks. Tokoh perempuan A mempunyai komitmen menjadi parasit lajang yang memutuskan untuk tidak menikah dan melanggar komitmen dengan menikah secara agama. Kesadaran tentang perkawinan muncul ketika berhubungan dengan tokoh laki-laki yang sependapat dengan komitmennya tentang pernikahan. Selanjutnya, keduanya melakukan Sakramen Perkawinan karena pernikahan itu perlu dan tidak dipaksanakan. Pendidikan Kritis (Kesadaran Kritis Gender) dalam Trilogi Novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit LajangKarya Ayu Utami Seks dan Eksplorasi Seksualitas Pendidikan kritis sabagai upaya menumbuhkan kesadaran kritis gender dapat dilakukan melalui penyadaran seks dan eksplorasinya. Pada bagian ini, perempuan yang telah menghilangkan selaput dara sebelum pernikahan akan dicampakkan atau bahkan diceraikan. A menganggap tidak adil jika perempuan yang tidak perawan dihinakan atau tidak ada harganya. Agama tidak pernah menjadikan keperawaan sebagai syarat perkawinan pertama, namun adat yang menuntut keperawaan. Agama hanya melarang persetubuhan di luar pernikahan. A masih belum merasa ada selaput dara pada tubuhnya sehingga A terlepas dari darah, rasa sakit, dan segala trauma. Hal ini dipicu oleh perempuan yang tidak menguasai tubuhnya sendiri dan dimungkinkan tidak akan pernah
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 224
mengalami klimaks karena bukan lelaki yang memberikan kenikmatan pada perempuan, tapi perempuan yang harus mengambilnya sendiri. Kesadaran kritis perempuan dapat diperoleh atas penguasaan tubuh dan dirinya yang diperoleh melalui pengetahuan. Seks dipelajari A melalui cerita-cerita eksplorasi seksual temantemannya. Perempuan di era A cenderung tidak berbagi pengalaman atau eksplorasi seksualitas sejak dini. Dengan demikian, perempuan hendaknya mendukung kampanye kondom karena menguntungkan perempuan sebagai pencegah penyakit menular. Sadar Gender dan Kodrat Ranah sadar gender dan kodrat dapat ditemukan pada dokter sebagai kaum formalis mengidealkan ‘nona’ dan ‘nyonya’ dengan tidak sadar gender. Di Kedai Utan Kayu mencoba menghargai manusia lepas dari sekat-sekat identitas. A percaya bahwa lelaki tidak akan memperkosa jika mereka melihat perempuan sebagai subjek. Adapun kodrat merupakan potensi yang terberi pada perempuan (seperti rahim), sehingga kemanusiaan seseorang tidak dapat dikurangi hanya karena ada organ yang tidak berfungsi. Agama yang memandang baik kesadaran gender menurut A adalah agama Protestan. Pada hakikatnya pembangunan kesetaraan gender yang paling pokok adalah di dalam sektor pendidikan. Pendidikan yang dimaksud mengarah pada pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis (critical education), (Nugroho, 2011:151). Tujuan dari pendidikan kritis ini adalah untuk membangkitkan kesadaran kritis gender (gender critical consciousness). Kesadaran kritis gender (gender critical consciousness) yaitu kesadaran akan ideologi hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan gender. Perempuan dalam memperjuangkan gender dapat dengan
melakukan kegiatan-kegiatan yang akan membantu perempuan dalam memahami pengalamannya. Pengalaman tersebut dapat diperoleh perempuan melalui pengalaman pribadi, sesuatu yang ditemui, atau cerita pengalaman orang lain. Seorang perempuan dalam memahami pengalaman keperempuannya tidak akan didapatkan di sekolah. Perempuan sebagai murid tidak akan menemukan guru mengajari murid untuk menikmati seks seperti pelajaran mengapresiasi musik dan lukisan. Sedikitnya, lewat pelajaran sejenis biologi dan kesehatan, murid diberi pengalaman tentang sesuatu yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, perempuan sebagai pribadi yang dapat memahami keperempuannya. Tokoh A merupakan perempuan yang ingin memiliki kedudukan setara dengan laki-laki, bahkan ingin berposisi di atas laki-laki. Tokoh A berdebat dengan teman perempuannya dari Thailand. Teman perempuan tokoh A tidak setuju dengan pendapat tokoh A yang ingin membuat laki-laki sebagai objek seksual. Paparan tentang tokoh A di atas mencerminkan bahwa perempuan tidak ingin ditempatkan sebagai the second sex. Tokoh perempuan tersebut ingin menempatkan laki-laki sebagai the second sex. Sehubungan dengan seks dan eksplorasinya, perempuan yang lebih terbuka mengenai eksplorasi seksual sejak dini akan tidak terlalu banyak ketakutan yang dialami. Perempuan tersebut akan lebih menguasai tubuhnya sendiri dan lebih mudah menikmati seks saat dewasa, dan juga akan lebih sedikit perempuan yang mengalami vaginismus dan yang pura-pura orgasme. Dengan demikian, seks akan jauh lebih sehat dan tidak menyakitkan bagi perempuan. Perempuan yang dapat menjelaskan bahwa fungsi organ kelamin terlepas dari kenikmatan. Perempuan memiliki G-spot untuk menikmati kenikmatan seks. Fungsi
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 225
organ kelamin inilah yang disebut sebagai seks (jenis kelamin) yang secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu, sedangkan gender sebagai pendefinisian yang bersifat sosial budaya. Perempuan sering diidentikkan sebagai makhluk lemah, sehingga perempuan sering dijadikan sasaran pelecehan. Seperti halnya tokoh A yang memang sudah terbiasa tidur sekamar dengan teman lelaki dengan tanpa melakukan hubungan seks. Pada suatu waktu, tokoh A menginap sekamar dengan Susumu (teman dari Jepang). Tokoh A mengangap Susumu sebagai manusia. Jika seseorang telah dipandang sebagai manusia, seseorang tersebut akan memperlakukan lawannya juga sebagai manusia. Artinya, tanpa melukai ataupun melecehkan. Namun, dipertengahan malam, Susumu ingin menyetubuhi tokoh A dengan paksa (tanpa persetujuan tokoh perempuan). Peristiwa tersebut didukung oleh Nugroho (2011: 159) bahwa perempuan harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan merupakan kategori pelecehan seksual (Nugroho, 2011:16). Hal serupa ditegaskan Sugihastuti dan Saptiawan (2010:204) bahwa bentukbentuk pelecehan seksual dapat berupa siulan nakal, kerdipan mata, gurauan dan olok-olok uang menjurus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memebrikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memeprlihatkan gambar-gambar porno, memeprlihatkan organ seks, mencolek, serta meraba atau mencubit. Pelecehan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan gender karena
telah beranggapan bahwa kekuatan perempuan masih di bawah laki-laki. Kaitannya dengan gender, perempuan juga menjadi sasaran bias gender. Seperti perihal penyebutan ‘nona’ dan ‘nyonya’ merupakan peristiwa yang bias gender. Hal itu sehubungan dengan belum melakukan seks dan pernah melakukan seks. Definisi seks bagi tokoh perempuan adalah melakukan segala seuatu yang mengakibatkan rangsangan pada organ seks. Cuma perkara teknik. Jadi, secara hakiki antara seks, cinta, dan perkawinan tidak ada korelasi. Yang ada hanya persinggungan yang indah, yang kemudian diidealisasi dalam bentuk perkawinan, kemudian diagung-agungkan. Dalam novel Si Parasit Lajang dan Pengakuan Eks Parasit Lajang menyebutkan tempat kedai Utan Kayu. Suatu kedai yang berada di Komunitas Utan Kayu. Di kedai ini wacana seksualitas relatif lebih sadar jender dibanding di luar sana. Obrolan seks di kalangan pejabat, politisi, pebisnis, militer cenderung memperlakukan perempuan sebagai objek seks. Di kedai Utan Kayu, perempuan juga sebagai makhluk yang punya pilihan-pilihan seksual seperti laki-laki. Di kedai tersebut, tokoh-tokoh yang terlibat mencoba menghargai manusia lepas dari sekat-sekat identitas. Begitu pula dengan kejantanan diusahakan tidak dianggap sifat yang lebih unggul dibanding sifatsifat lain. Di kedai tersebut orang mencoba tidak hirarkis. Dengan demikian, wacana seksualitas relatif lebih sadar jender perempuan juga sebagai makhluk yang punya pilihanpilihan seksual seperti laki-laki. Tokoh-tokoh di kedai Utan Kayu yang mencoba untuk menghargai manusia lepas dari sekat-sekat identitas tersebut merupakan wujud penyetaraan gender. Perempuan dan laki-laki dianggap sama tanpa membedakan fungsi dan peran melalui jenis kelamin. Begitu halnya dengan fungsi reproduksi
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 226
yang diungkapkan Nugroho (2011, 38), Fungsi reproduksi yang melambangkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan diperluas dalam sistem patriarki sebagai ciri pemisahan publik dan domestik. Akibatnya, gender sering terkonotasikan dengan ungkapan perempuan lebih cocok di rumah. Konstruksi dikotomi gender seperti ini, secara langsung atau tidak langsung, menumbuhkan hubungan asimetri antara laki-laki dan perempuan.: laki-laki dianggap superior dan perempuan dianggap inferior. Bahkan istilah kodra, hakikat, dan martbat seringkali diungkapkan seakan-akan hanya milik perempuan. Kodrat menurut tokoh A adalah potensi yang terberi pada manusia. Misalnya, sudah kodratnya perempuan mempunyai rahim dan dapat mengandung. Artinya, perempuan mempunyai pilihan untuk mengandung atau tidak. Tapi, itu pun tidak selesai. Jika ada perempuan yang rahimnya bermasalah sehingga tidak bisa mengandung: atau pria yang tanpa potensi membuahi, apakah perempuan menyalahi kodrat? Tidak adil betul jika perempuan tersebut dianggap menyalanhi kodrat. Perempuan mempunyai kodrat atau potensi mengandung itu adalah rahim. Kebetulan rahim itu adanya pada tubuh perempuan. Hal ini berarti setiap perempuan harus mempunyai rahim yang dapat mengandung. Bukan berarti setiap manusia harus punya alat reproduksi yang berfungsi. Tanpa alatalat yang berfungsi setiap orang tetaplah manusia. Ada yang bentuknya perempuan. Ada yang bentuknya lelaki, kemanusiaan seseorang tidak bisa dikurangi hanya karena ada organ yang tidak berfungsi. Sebenarnya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya terletak pada kemampuan hamil dan melahirkan. Namun, karena hal ini secara langsung atau tidak langsung mematasai gerak
alami perempuan, maka tradisi ini kemudian direkayasa menjadi pembenaran kodrat perempuan yang sekaligus membatasi gerak perempuan dalam berperan. Hal inilah yang memunculkan istilah Entitas fisik, yaitu hal lain yang sering dimuncuklan dan dilebih-lebihkan untuk memproduksi konsp gender, (Sugihastuti dan Saptiawan, 2010:11). Dari pembahasan perspektif gender fokus pada melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi dapat disimpulkan bahwa pendidikan kritis (kesadaran kritis gender), berupa: tokoh perempuan sebagai pribadi yang dapat memahami keperempuannya, tokoh perempuan ingin menempatkan laki-laki sebagai the second sex, perempuan yang lebih terbuka mengenai eksplorasi seksual sejak dini akan tidak terlalu banyak ketakutan yang dialami, perempuan harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan, wacana seksualitas relatif lebih sadar jender karena perempuan juga sebagai makhluk yang punya pilihan-pilihan seksual seperti laki-laki, dan kodrat perempuan membatasi gerak perempuan dalam berperan. Penolakan Ideologi dan Norma yang Dipaksakan kepada Perempuan dalam Trilogi Novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami Ketidakadilan Nilai Ketidakadilan nilai merupakan bentuk sistem nilai yang tidak adil di masyarakat. Masyarakat melekatkan nilai pada banyak kenyataan alamiah dengan cara-cara sedemikian rupa yang menguntungkan lelaki berkuasa. Seperti halnya ketidakadilan agama, membuat A memutuskan untuk tidak beragama lagi. Perempuan masih hidup dengan ditakuttakuti pelekatan nilai negatif perempuan tapi A sedang menyusun sistem nilainya
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 227
sendiri. A lebih berani berpikir kritis sehingga tampak lebih bebas. Kekuasaan telah menganggap gadis yang tidak perawan sebagai barang rusak. Pelekatan nilai dalam ‘Istana Patriarki’ inilah yang membuat perempuan terhalangi tubuhnya sendiri. Betapa mengerikan bahwa manusia masih membuat kompetensi untuk merayakan ketidakadilan. Pada suatu titik perawan tua adalah korban dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. A hanya trauma melihat kebengisan kaumnya sendiri yang disebabkan oleh sistem yang tidak adil yang bermula dari mekanisme perkawinan. Perempuan tidak Menikah Penolakan perempuan terhadap ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan menyebabkan perempuan memutuskan untuk tidak menikah. A memutuskan untuk tidak menikah dan kemudian menyebut dirinya sebagai ‘parasit lajang’, bukan perawan tua. Perawan tua dilekatkan untuk perempuan yang usianya sudah matang tapi belum menikah dan perempuan itu masih perawan. Bibinya tidak menikah dan menjadi perawan tua dengan sifat menyimpan iri-dengki kepada perempuan tidak sedarah yang menikah dengan anggota keluarga mereka yang lelaki. Masyarakat telah mencemooh dan nilai-nilai merendahkan perawan tua karena tidak ada yang mengurangi martabat perempuan karena menjadi perawan tua. Undang-undang perkawinan di Indonesia masih kurang sadar jender. A ingin perempuan bebas dari tekanan perkawinan dan bebas dari ketergantungan terhadap lelaki. Oleh karena itu, A bercita-cita untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak untuk menunjukkan bahwa manusia boleh serta dapat damai dan bahagia tanpa menikah dan tanpa anak. Tokoh Perempuan yang Menentang Sistem Patriarki
Perempuan yang menentang budaya patriarki karena lelaki memiliki kekuasaan dalam ranah seks. A berusaha menentang sistem patriarki dengan cara menyenangkan diri dan tidak pernah menuntut lelaki untuk memuaskan perempuan. Nik sebagai lelaki yang akan memimpin perempuan, sehingga dalam sistem perkawinan, lelaki diletakkan di tempat lebih tinggi. Dengan demikian, perbedaan lelaki dan perempuan berpusat pada aspek kultural (ekonomi, sosial, politik) atau aspek gender. Kesetaraan Peran dalam Pernikahan Kesetaraan peran dalam pernikahan menemukan bahwa terdapat hubungan yang setara antara Rik dan A pada aspek biologis (hubungan kelamin), aspek biologis-psikologis (bentuk hubungan: persetubuhan dan percintaan), dan aspek kultural (hubungan yang tidak mengikat satu sama lain). Penolakan Sistem Pernikahan dan Berkeluarga Di Indonesia seakan-akan budaya mewajibkan masyarakatnya untuk menikah dan masyarakat hendaknya mengurangi pandangan budaya bahwa menikah itu wajib sehingga yang dibutuhkan adalah kesadaran, bukan paksaan. Seseorang yang tidak menikah dipandang minus oleh masyarakat Pernikahan ingin melindungi seksualitas. Seseorang berkeluarga telah merubah diri menjadi budak “tanggungjawab”. Perempuan dimasukkan ke dalam sistem perkawinan dan menjadi bergantung pada lelaki sehingga perempuan terjebak dalam ketergantungan terhadap laki-laki. Terdapat juga perempuan yang terlalu mengagung-agungkan pernikahan, . Satu-satunya cara agar A dapat diterima komuni tanpa memberi dilema pada orang lain adalah dengan Sakramen Perkawinan. A ingin menikah di gereja tanpa menikah secara negara. A tidak ingin menikah dalam hukum
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 228
perkawinan Indonesia, yang masih menempatkan suami sebagai kepala keluarga. A memandang prosedur pernikahan Katolik lebih ketat daripada pernikahan negara. Naluri hegemoni telah merasuk ke alam bawah sadar masyarakat. Kritik terhadap kecenderungan arogansi kekuasaan dan arogansi intelektual sesungguhnya berakar dari beroperasinya sistem pengaruh kekuasaan dalam bentuk lain, karena dalam sistem pengaruh kekuasaan yang bersifat ideologis, kekuasaan mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Hal itulah yang ingin dilawan oleh tokoh perempuan dalam novel ini, yaitu melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi Perlawanan tokoh A terhadap sistem nilai yang berkembang di masyarakat merupakan bentuk usaha penyeimbangan sistem nilai karena tokoh A menganggap sistem nilai belum adil. Sugihastuti dan Saptiawan (2010:13) menyatakan bahwa apa yang selam ini terjadi pada perempuan dan laki-laki adalah semata-mata didasarkan pada kepercayaan masyarakat mengenai dikotomi jenis kelamin, penafsiran dari yang tersirat, dan keprcayaan tanpa dasar terhadapnya demi memenuhi keinginan untuk melakukan pembenaran atas bermacam perlakuan yang dikenakan pada laki-lakidan perempuan. Oleh karena itu, masyarakat perlu nilainilai (seperti agama) yang telah menganggap tidak adil saat menghargai manusia dari tampilan dan materi. Selain tampilan dan materi seseorang, sistem nilai juga berada pada sistem perkawinan. Semua orang religius setuju bahwa perkawinan itu sakral. Jika seseorang melihat perkawinan sebagai lembaga yang sakral, justru seharusnya tidak membiarkan sembarang orang
memasukinya apalagi mengharuskan orang-orang yang tidak pantas menjalankannya. Orang merindukan keadaan ideal surgawi yang memandang seksualitas itu sakral. Dengan perkawinan, orang mengembalikan ideal itu di tataran simbol. Dengan perkawinan orang mendapatkan legitimasi simbolik bahwa hubungan seks mereka suci. Dilihat dari sudut pandang ini, perkawinan adalah hak. Tidak boleh seseorang melarang orang untuk menikah. Pengesahan atau legitimasi simbolik itu ternyata tidak sert-merta sejalan dengan kenyataan. Perkawinan dianggap sah dan sakral, tetapi hubungan nyata suami-istri-anak yang terjadi bisa sungguh tidak baik. Penuh dengan manipulasi, pengkhianatan, bahkan pemerkosaan domestik.Jadi, manusia tidak dapat melarang orang untuk menikah tapi manusia juga harus mengetahui bahwa ada orang-orang yang tidak cocok untuk menikah. Pada akhirnya yang kita butuhkan adalah kesadaran bukan paksaan.Pernikahan adalah hak asasi manusia makatidak boleh menghalangi orang untuk menikah. Lembaga pernikahan itu sendiri adalah sebuah aturan yang sifatnya membatasi. Tidak mungkin tidak kontradiktoris dengan hak asasi. Orang yang menikah dengan demikian menghalangi dirinya dan dihalangi orang lain dari pernikahan yang lain. Selain itu, suatu sistem pernikahan pasti mengatur siapa boleh menikah dengan siapa. Seorang yang percaya pada sistem pernikahan, kehilangan haknya untuk menikah dengan sembarang orang tanpa syarat. Jadi, dalam sistem itu sendiri selalu ada kondisi larangan. Dari sudut pandang eksternal, orang dapat menyatakan bahwa pernikahan adalah hak asasi manusia dan tidak boleh dibatasi tapi dari sudut pandang internal perkawinan sendiri,
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 229
pernikahan itu harus dibatasi. Untuk menjaga sakralitas perkawinan, sebaiknya perkawinan memang tidak dipaksakan kepada semua orang. Masyarakat telah memandang bahwa tidak menikah adalah minus. Hal ini dampak dari gender. Masyarakat selalu bertanya pada tokoh A alasan masih lajang. Jika dijawab memang tidak kawin, masyarakat menyahut dengan nada kasihan, “Jangan begitu, ah. Bukan tidak tetapi belum.’ Undang-undang perkawinan di Indonesia dianggap tokoh A masih kurang sadar jender. Undang-undang yang menerapkan lelaki sebagai kepala keluraga/ akibatnya, istri jadi bayar pajak lebih besar dari suami karena penghasilannya dianggap pendapatan tambahan dan masih banyak lagi konsekuensinya. Jika peraturannya sudah berganti, tokoh A akan kawin. Tokoh A memutuskan untuk tidak menikah seperti telah dijelaskan dalam “10+1 alasan untuk Tak Kawin. Tokoh A merasa bahwa temanteman yang menikah sering pamit kepada tokoh A dengan cara sedemikian rupa seolah mereka minta maaf karena meninggalkan klub lajang. Sebetulnya mengharukan juga. Berarti selama ini teman-teman A merasa bersama-sama tokoh A. Barangkali teman-teman tokoh A merasa menemani tokoh A tapi Tokoh A tidak perlu ditemani. Tokoh A tidak mau mengikatkan diri dengan lelaki dalam hukum yang begitu saja menjadikan lelaki pemimpin tokoh A hanya gara-gara dia laki-laki. Tokoh A tidak pernah antiperkawinan atau anti-berkeluarga. Tokoh A hanya berpendapat perkawinan itu bagus buat orang lain tapi tokoh A memang benci pada perkawinan yang menjadi status atau ukuran kebahagiaan manusia. Manusia boleh kawin, tapi tidak harus. Anggapan tokoh A tentang berkeluarga merupakan perubahan lakilakiatau perempuan menjadi budak “tanggungjawab”. Berkeluarga
dilakukan demi tanggungjawab kepada anak-anak tapi kenapa seseorang juga harus membikin anak-anak jika anakanak itu juga akan terjerumus ke dalam rutinitas yang semakin mengerikan semakin banyak jumlah manusia dan anak-anak. Seseorang berkeinginan untuk menikah tapi dalam beberapa waktu, pernikahan itu gagal. Tokoh A bukan orang yang cocok untuk berkeluarga karenatokoh A mengira dirinya terlalu berantakan. Tokoh A berada dalam kontradiksi jiwa yaitu tokoh A tidak berada dalam kondisi mental dan pilihan hidup yang cocok. Berkeluarga tidak boleh mainmain. Sekali menikah, sebaiknya tidak cerai. Sekali mempunyai anak tidak dapat memasukkannya lagi ke dalam perut dan mengurainya kembali kepada sperma dan sel telur. Tokoh A merasa tidak mampu. Jika suatu tugas dipaksakan kepada yang tidak cakap, hasilnya adalah kekacauan seperti perceraian, perselingkuhan, saling sambit dalam keluarga, dan anak-anak yang broken home. Hal itu terjadi karena perkawinan diwajibkan sehingga lembaga yang seharusnya sakral itu justru jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tokoh A mempunyai tante di Belanda. Sebetulnya tante tersebut sosok perempuan yang menyenangkan tapi tersebutlah unsur paling awal yang membuat tokoh A tidak mau menikah. Tante tokoh A tersebut terlalu mengagung-agungkan perkawinan. Tante tokoh A itupun tidak menikah juga, dan memenuhi semua stereotipe “perawan tua” yang judes. Perempuan itulah yang membuat sejak remaja tokoh A berniat tidak akan peduli keperawanan dan kalau tokoh A tua dan tak kawin, tokoh A tidak peduli dengan perawan atau tidak. Dari pembahasan penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan ditarik kesimpulan bahwa hal tersebut memunculkan
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 230
kekuasaan mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Manusia tidak dapat melarang orang untuk menikah tapi manusia juga harus mengetahui bahwa ada orangorang yang tidak cocok untuk menikah karena menikah membutuhkan kesadaran bukan paksaan. Manusia perlu menjaga sakralitas perkawinan dengan tidak memaksakan perkawinan kepada semua orang. Tokoh A tidak ingin mengikatkan diri dengan lelaki dalam hukum yang begitu saja menjadikan lelaki pemimpin tokoh A hanya garagara dia laki-laki. dengan demikian, pernikahan adalah konstruksi sosial yang berkembang dari pengagungan nilai-nilai yang sudah mengakar di masyarakat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keterkaitan tokoh perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami terdapat tokoh perempuan yang mempunyai komitmen menjadi ‘parasit lajang’ yang memutuskan untuk tidak menikah dan melanggar komitmen dengan menikah secara agama. Kesadaran tentang perkawinan muncul ketika berhubungan dengan tokoh lakilaki yang sependapat dengan komitmennya tentang pernikahan. Keduanya melakukan Sakramen Perkawinan karena pernikahan itu perlu dan tidak dipaksanakan. Pendidikan kritis (kesadaran kritis gender) dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami berupa seks dan eksplorasi seksualitas serta sadar gender dan kodrat. Adapun penolakan ideologi dan norma yang dipaksakan kepada perempuan dalam trilogi novel Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico,
dan Pengakuan Eks Parasit LajangKarya Ayu Utami memunculkan ketidakadilan nilai, perempuan tidak menikah, tokoh perempuan yang menentang sistem patriarki, kesetaraan peran dalam pernikahan, dan penolakan sistem pernikahan dan berkeluarga Saran Saran yang diajukan berupa implikasi teoritis dan implikasi praktis. Implikasi teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti lebih lanjut tentang perspektif gender yang tidak hanya terfokus pada karyasastra tetapi digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Masyarakat dapat membedakan definisi antara seks (laki-laki dan perempuan) dengan gender. Para peneliti sastra dan peminat kajian perempuan hendaklah dapat mengembangkan penelitian sejenis ini dengan sampel sastra yang lebih banyak dan menganalisis lebih mendalam serta memadukan dalam realitas kehidupan, sehingga peran dan perlakuan tokoh perempuan yang ditemukan akan lebih valid dan akurat. Implikasi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengajaran apresiasi sastra (pembelajaran sastra), utamanya analisis karya sastra yang menggunakan pendekatan feminisme (perspektif gender). Adapun penerapan pada siswa dengan menghadirkan bagian novel yang sesuai dengan karakteristik siswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menilai aliran feminisme yang sesuai untuk masyarakat Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam bersikap,baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan dalam menghadapi gerakan feminisme.
DAFTAR RUJUKAN
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 231
Bungin, Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nugroho, Riant. 2011. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2010. Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utami, Ayu. 2013. Si Parasit Lajang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
NOSI Volume 3, Nomor 2, Agustus 2015__________________________________Halaman | 232