Pemaknaan Ayu Utami Mengenai Kecantikan: Konstruksi dalam Esai Novel Si Parasit Lajang dan Pengakuan Eks Parasit Lajang Mariska Prijanka Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected], Himpunan Mahasiswa Sosiologi UI Abstrak Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pemaknaan Ayu Utami mengenai kecantikan dalam karyanya. Sumber data yang digunakan yaitu empat essai dalam novel Si Parasit Lajang yakni Klinik THT (Telinga, Hidung dan Tetek); Barbie, Barbie Barbie; dan Keputihan sedangkan dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang yaitu Nilai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe analisis semiotika. Konsep yang digunakan adalah konstruksi kecantikan dan feminis radikal liberal. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara denotatif, konstruksi kecantikan dalam novel tidak berbeda dengan yang direpresentasikan dalam media massa yakni disimbolisasikan dengan Barbie, tubuh tinggi, putih, langsing. Makna konotasi menunjukkan bahwa perempuan novelis mengkonstruksikan kecantikan sejalan dengan nilai dominan, walaupun masih menawarkan nilai kecantikan alternatif (non-fisik). Mitos menunjukan makna bahwa berbagai macam bentuk reparasi tubuh dianggap berdosa dan konsumtif karena masyarakat masih memperayai kecantikan sebagai kodrat. Kecantikan fisik diungkapkan novelis sebagai cara utama dalam menilai kecantikan dibandingkan penilaian kecantikan non-fisik. Konstruksi mengenai kecantikan dalam novel sejalan dengan pemaknaan Ayu Utami tentang kecantikan. Ayu Utami menilai bahwa perempuan memiliki hak untuk dapat membentuk kecantikan sesuai dengan keinginannya melalui reparasi tubuh. Kata kunci: kecantikan, konstruksi kecantikan, denotatif dan konotatif, mitos sosial. Ayu Utami’s Meaning of Beauty: Beauty Construction in Essays from Si Parasit Lajang and Pengakuan Eks Parasit Lajang Abstract This study aimed to find out the meaning of beauty according to Ayu Utami’s work. The data are four essays from Si Parasit Lajang: Klinik THT (Telinga, Hidung dan Tetek); Barbie, Barbie Barbie; and Keputihan, and one from Pengakuan Eks Parasit Lajang that is titled Nilai. This study is using a qualitative approach with semiotic analysis (denotative, connotative and myth). This study uses key concepts like beauty construction and radical liberal feminist. The results show that the denotative meanings of beauty in the text are similar to the mass media that are symbolized by Barbie, skin whitening products, models, body repairs, plastic surgery, and beauty contest like Miss Universe. The connotative meanings show that physical beauty is the key to judge beauty. The myth indicates that being beautiful through some efforts like plastic surgery is considered sinful because people still praise the concept of natural beauty, which is God’s gift. Novelist considered that beauty is judged by physical appearance and it should not be mixed up with inner beauty. Novelist’s construction of beauty in the novel are the same as her personal perspectives. Keywords: beauty, beauty construction, denotative and connotative, social myth.
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Dalam Bibliografi Sastra Indonesia, Eneste (2001) telah mencatat bahwa sampai tahun 2000 telah terbit 14.660 judul novel. Eneste juga menyebutkan bahwa karya-karya tersebut ditulis oleh 5.506 pengarang Indonesia. Dari jumlah ribuan pengarang tersebut, Rampan (1997) mencatat hingga tahun 1996 hanya ada 45 orang novelis perempuan. Data tersebut menunjukkan sedikitnya jumlah perempuan yang berkiprah dalam dunia sastra Indonesia. Namun, sejak tahun 2000-an jumlah novelis perempuan kian bertambah. Pada tahun 2000-an perkembangan novel semakin variatif dan menghasilkan kelompokkelompok penulis seperti teenlit dan sastra wangi. Teenlit dan sastra wangi merupakan novel yang seringkali mengedepankan sosok-sosok perempuan sebagai tokoh utamanya. Namun, keduanya cukup berbeda. Teenlit lebih mengedepankan pasar untuk remaja dan bersifat mainstream sedangkan sastra wangi lebih mengedepankan pasar dewasa dan substream. Meski diperuntukan bagi pasar remaja, penulis teenlit belum tentu remaja. Sedangkan, kelompok penulis sastra wangi adalah para perempuan urban muda yang mulai menerbitkan tulisannya sejak usia awal 30-an. Dalam hal substansi, keduanya pun berbeda. Novel teenlit banyak membahas tentang percintaan sementara sastra wangi banyak mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan perempuan seperti kultur patriarki dan seksualitas, serta isu-isu lain seperti politik dan agama. Karya sastra pertama yang dianggap sebagai sastra wangi adalah novel Saman (1998) dan Larung (2001) yang merupakan sebuah sekuel karya Ayu Utami. Saman ditulis untuk mengikuti lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan mendapatkan penghargaan sebagai juara pertama. Novel ini mengusung semangat feminisme dan mendekonstruksi ideologi patriarki. Dari perpektif feminis yang didasarkan pada kerangka analisis gender, munculnya sejumlah perempuan novelis dalam panggung sastra Indonesia tersebut tampaknya bukan suatu kebetulan. Hal ini memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosio-kultural Indonesia, yang merupakan hasil perjuangan para feminis dan emansipasi perempuan sebagaimana diungkapkan Suryaman, et., al., (2011: 26) bahwa: Para feminis dan pejuang emansipasi perempuan ingin mendudukan eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender.Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, munculnya sejumlah perempuan dalam kancah penulisan sastra Indonesia tahun 2000, dilatarbelakangi oleh para pendahulunya, bahkan sejak tahun 1930-an. Bedanya, kalau pada tahun-tahun sebelumnya jumlah perempuan yang terjun dikancah penulisan sastra dapat dihitung dengan jari tangan, pada periode2000-an sampai saat ini jumlah mereka dapat dikatakan begitu menggembirakan. Sampaisampai seorang kritikus, Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa masa depan novel Indonesia berada di tangan perempuan. Sejak kemunculannya sebagai novel terbaik Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, disusul dengan kemunculan perempuan novelis lainnya, sastra wangi mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat yakni pembaca, kritikus, bahkan sesama penulis). Tanggapan tersebut banyak berupa pujian tetapi ada pula yang mencaci-maki. Damono (2003) menyebutkan bahwa “Pujian-pujian tersebut merupakan tanda bahwa perempuan novelis sastra wangi lebih mendapatkan tempat daripada para seniornya.” Di samping tanggapan yang dilontarkan Damono, tanggapan negatif dilontarkan oleh Sitok Srengenge sebagaimana disebutkan Suryaman, et., al., (2011) mengenai beberapa pernyataan sumber berikut ini: Sitok mencontohkan Ayu Utami dengan karyanya Saman. Faruk menganggap munculnya para penulis perempuan berhubungan dengan perkembangan masyakarat industri. Setelah industri berkembang semakin maju, kebanyakan kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas tidak berminat menekuni sastra. Industrialisasi membuat kaum lelaki menjadi sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang disbanding sektor sastra. Sastra karya-karya Ayu Utami, Djenar, dan teman-temannya sebagai karyayang anti-intelektualisme, karena karya-karya tersebut
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
menjadikan imaji seks begitu liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan daripada mengarang seputar daerah selangkangan. Melalui penjabaran di atas, terlihat bagaimana teenlit dan sastra wangi berada dalam dua dunia yang cukup berbeda. Teenlit adalah sebuah karya yang diperuntukkan bagi remaja, bersifat ringan dan mengibur sehingga tidak banyak menuai kontroversi sementara sastra wangi menuai begitu banyak pro dan kontra karena substansinya yang seringkali bersifat kritis dan ditujukan bagi pembaca dewasa. Oleh karena itu, menarik untuk dilihat bagaimana ide-ide yang ada dalam novel teenlit dan sastra wangi mengenai suatu tema yang sama, seperti misalnya kecantikan. Tema kecantikan dalam novel yang diangkat dalam kasrya sastra wangi sebagaimana yang peneliti lakukan sekarang ini merupakan sarana untuk memaknai kecantikan yang dikonstruksikan di dalamnya. Tubuh perempuan merupakan “tubuh sosial” yang tidak dapat terlepas dari konstruksi budaya yang ada. Sebagimana pandangan feminisme mengenai tubuh perempuan sebagai objek yang dikaitkan pada pandangan sosial serta identitas jender di dalamnya sebagaimana diungkapkan Carson (dalam Gamble: 147) bahwa, “Feminisme sangat memperhatikan bagaimana tubuh-tubuh perempuan dikontrol dalam sistem patriarkal yang mengatur akses-akses perempuan pada hal-hal seperti kontrasepsi dan aborsi, sementara pada saat yang sama bentuk-bentuk tubuh mereka yang diidealkan diobjektivikasi dengan bermacam cara untuk konsumsi laki-laki dan hiburan seksual.” Foucault (1980) (dalam Shiling, 1996) memandang tubuh sebagai objek pengaturan dari wacana. Dari berbagai pandangan tersebut, terlihat bagaimana tubuh merupakan suatu hal yang tidak lepas dari konstruksi. Kecantikan fisik dianggap sebagai cara paling mudah dalam menilai perempuan yang ideal. Tubuh sebagai wacana, tubuh sebagai identitas, tubuh sebagai alat dalam menerima dan menyampaikan pesan-pesan kultural telah menjadikan perempuan sebagai objek dari serangkaian makna pada konstruksi kecantikan. Berbagai penelitian mengenai konstruksi kecantikan sudah banyak dilakukan, khususnya konstruksi kecantikan dalam media massa. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2004), Massaile (2003), Siregar (2007) yang mengemukakan bahwa media selalu menampilkan gambaran cantik yang sama secara berulang-ulang, sehingga menjadi seperti sebuah standard bagi perempuan. Namun, sejauh ini penelitian yang melihat konstruksi kecantikan dari medium berupa novel masih sangat sedikit. Padahal, novel adalah salah satu produk yang juga berkesempatan mengkonstruksikan kecantikan sebagaimana pandangan novelisnya. Salah satu pernelitian yang melihat konstruksi kecantikan dari medium berupa novel adalah penelitian Setijowati (2008) mengenai konstruksi kecantikan dalam novel teenlit. Penelitiannya menunjukkan bahwa empat novel teenlit berjudul “My Friends, My Dreams; Ramalan Fudus Ororpus, Kana di Negeri Kiwi; dan Summer Triangle” menunjukan kecantikan yang dicitrakan dalam media massa seperti dalam iklan di mana perempuan cantik biasa berkulit putih, tinggi, langsing, dan lainnya. Melihat hasil penelitian tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti tentang konstruksi kecantikan dalam sastra wangi yang begitu kontras dari segi pasar dan substansinya dibandingkan dengan novel teenlit. Novel berkesempatan untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam mengkonstruksikan nilai kecantikan sekaligus juga menjadi sarana dalam memberikan bentuk perbandingan penilaian kecantikan yang dikontruksikan media massa selama ini. Novel sangat bernuansa subjektif karena apa yang dituliskan penulis merupakan buah pikir, pengalaman hingga harapan-harapannya yang tertuang dalam bentuk teks. Untuk itu penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai pemaknaan perempuan novelis, yakni Ayu Utami selaku perintis sastra wangi mengenai kecantikan dalam karyanya; Bagaimana kecantikan dikonstruksikan dalam karyanya dan apakah konstruksi kecantikan tersebut merupakan refleksi pemaknaan perempuan novelis.
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
Kerangka Konsep Konsep kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kecantikan, konstruksi kecantikan dan feminis radikal liberal. Konsep kecantikan dikemukakan oleh Munfarida (2007:241) sebagai berikut: Secara garis besar, konsep mengenai kecantikan dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe: Pertama, kecantikan hanya bersifat fisik saja atau sering disebut sebagai outer beauty. Kecantikan ini ditandai dengan paras yang ayu, tubuh langsing, kulit putih, tinggi semampai, dan hidung mancung. Kedua, kecantikan itu ada dalam diri bukan pada fisik, yang dikonsepsikan sebagai inner beauty. Kepribadian, intelektualitas, kecakapan emosional dan kualitas-kualitas non-fisik merupakan tanda dari tipe kecantikan ini. Ketiga, kecantikan itu merupakan total beauty. Tipe kecantikan ini menggabungkan outer beauty dan inner beauty. Nilai-nilai ideal mengenai kecantikan ideal terkait dengan femininitas perempuan. Menurut Humm (2002) femininitas hampir sesuai dengan makna perempuan ideal yang terbentuk dalam masyarakat. Kategorisasi perempuan ideal lebih menunjukan bahwa perempuan yang cantik merujuk pada kondisi fisik yang ideal, yaknirambut panjang, berkulit putih, bermata besar, berkaki jenjang dan payudara besar. Namun ada kualitas-kualitas lain seperti pintar, lemah lembut, dapat membantu suami mencari nafkah namun tidak melepas tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri yang juga dianggap sebagai bagian dari femininitas perempuan. Pada awalnya tetap saja bahwa penampilan fisik merupakan konstruksi makna kecantikan yang paling awal yang dipahami perempuan dan budaya pembentuknya sebagai cara paling mudah dalam menilai kecantikan. Berbicara mengenai kecantikan berarti tidak dapat terlepas dari tubuh perempuan. Shiling (1996) mengatakan bahwa tubuh tidak dapat dilihat sebagai fenomena biologis semata, melainkan tubuh dibentuk, dibatasi dan diformulasikan oleh masyarakat. Menurut Bordieu (dalam Shiling, 1996), tubuh adalah penerima nilai-nilai simbolik dan fenomena materi yang membentuk dan dibentuk oleh masyarakat. Foucault (1980) (dalam Shiling, 1996) memandang tubuh sebagai objek pengaturan dari wacana. Dari berbagai pandangan tersebut, terlihat bagaimana tubuh merupakan suatu hal yang tidak lepas dari konstruksi. Kecantikan fisik dianggap sebagai cara paling mudah dalam menilai perempuan yang ideal. Tubuh sebagai wacana, tubuh sebagai identitas, tubuh sebagai alat dalam menerima dan menyampaikan pesan-pesan kultural telah menjadikan perempuan sebagai objek dari serangkaian makna pada konstruksi kecantikan. Kecantikan yang terkait dengan kerja-kerja ideologi dan wacana yang kemudian dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana dalam memaknai pemaknaan kecantikan. Tanda-tanda bahasa dari ideologi dan wacana yang ada dalam teks sebagai sarana novelis dalam melihat dirinya, perempuan, masyarakat dan kebudayaan tentang konsep kecantikan merupakan bentuk ideologis novelis dalam mengkonstruksikan kecantikan. Begitupun masyrakat yang dapat mengadopsi dan mengkonstruksikan kecantikannya sebagaimana pandangan budayanya dalam menilai kecantikan. Pada pemahaman ini, kultur femininitas telah menjadi bagian dari konsep masyarakat dalam menilai kecantikan sebagai bagian dari hasil kebudayaan yang terkait dengan mitos setempat. Kultur femininitas ini pada akhirnya membentuk konstruksi kecantikan, di mana mitos-mitos mengenai kecantikan dalam budaya setempat menjadi ideologi masyarakat pada umumnya. Pemahaman di atas menunjukan bahwa kecantikan merupakan bentuk dari kerja ideologi. Dalam kultur femininitas, penilaian pada tubuh perempuan sebagai objek penialian kecantikan di dapat dari adanya kepercayaan-kepercayaan masyarkaat bahwa kecantikan merupakan bagian dari perempuan. Perempuan dapat membentuk kecantikan melalui berbagai upaya reparasi tubuh. Tubuh dan reparasi tubuh demi kecantikan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam membentuk satu kesatuan representasi kesempurnaan fisik perempuan. Keterpaduan antara tubuh dan reparasi kecantikan melalui
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
operasi plastik dan kosmetik yang dilekatkan kepada perempuan menghasilkan sebuah tanda baru yaitu kecantikan. Bentuk reparasi tubuh sebagai hal nyata dari keinginan perempuan atau dapat dikatakan sebagai tuntutan konstruksi telah menempatkan operasi plastik sebagai cara lain dalam mewujudkan kecantikan. Tubuh menjadi objek substatif mengenai adanya proses pemahaman masyarakat dalam memahami konsep konsep kecantikan yang lahir dari proses penilaian budaya. Germaine Greer mengatakan bahwa perempuan dicuci otak dengan citra fisik yang seharusnya mereka miliki (Synnott, 2007: 50). Oleh karena itu, tidak aneh apabila perempuan melakukan segala cara untuk menjadi cantik, termasuk reparasi tubuh. Pembentukan kecantikan melalui cara reparasi tubuh tersebut memberikan gambaran dari adanya upaya keseragaman perempuan dalam membangun tubuhnya sesuai dengan konstruksi kecantikan dan bukan atas dasar kepentingan individu semata. Pemahaman tersebut menunjukan adanya nilai-nilai dari pergerakan kaum kapitalis dalam membenarkan adanya cara mudah dalam membangun kecantikan yang dibutuhkan perempuan. Sejalan dengan pemahaman diatas, Adlin (2006: 217) menyatakan bahwa “Tubuh perempuan dibentuk oleh tanda-tanda atau nilai-nilai yang merupakan konstruksi dari bahasa ekonomi politik yang diciptakan oleh produsen-kapitalisme berupa kosmetik dan operasi plastik untuk menghasilkan citra kecantikan.” Pembentukan tubuh perempuan dalam kapasitasnya sebagai individu yang bebas atas diri, baik tubuh dan segala hal yang dimilikinya merupakan konsep dari feminisme radikal. Dalam pandangan feminisme radikal, perempuan menuntut atas kesejajarannya dengan laki-laki yang diapresiasikan melalui kebebasannya dalam menentukan hal-hal yang dianggap dapat mendepak cara pandang laki-laki dalam menilai perempuan. Pada prakteknya, feminisme radikal banyak mempertontonkan kebebasannya dalam hal eksploitasi tubuh sebagai suatu pilihan dari kebebasan perempuan dalam membentuk kecantikan sesuai yang diharapkannya. Salah satu pandangan feminisme radikal adalah feminism radikal liberal yang memperlihatkan bahwa perempuan baiknya menempatkan citra dirinya menurut apa yang diinginkannya dan bukan karena tuntutan lingkungannya.
Konstruksi Kecantikan Dalam Teks Novel dan Pemaknaan Ayu Utami Dalam bagian ini peneliti akan menganalisis konstruksi kecantikan dalam teks novel dan melihat apakah konstruksi kecantikan dalam teks merupakan refleksi pemaknaan dari Ayu Utami. Esai yang dianalisis dalam novel ini berasal dari novel Si Parasit Lajang dan Pengakuan Eks Parasit Lajang. Esaiesai dalam novel Si Parasit Lajang terdiri atas esai berjudul Klinik THT (Telinga, Hidung dan Tetek); Barbie, Barbie Barbie; dan Keputihan sedangkan dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang yaitu esai berjudul Nilai. Kecantikan dalam keempat esai tersebut akan dianalisa melalui empat bagian yaitu konstruksi dan pemaknaan Ayu Utami mengenai konsep kecantikan, konstruksi dan pemaknaan Ayu Utami mengenai penanda kecantikan, konstruksi dan pemaknaan Ayu Utami mengenai proses menjadi cantik, serta konstruksi dan pemaknaan Ayu Utami mengenai respon masyarakat tentang kecantikan.
Konstruksi Dalam Teks dan Pemaknaan Ayu Utami Mengenai Konsep Kecantikan Konstruksi mengenai konsep kecantikan menunjukan bahwa makna denotasi Ayu Utami dibangun atas konsep-konsep kecantikan yang diperlihatkan melalui objek atau ciri-ciri yang diidentikan dengan kecantikan seperti yang dikonsepkan media massa melalui hidung mancung, payudara berisi, Nadya Hutagalung, Barbie, kulit putih dan kaki panjang. Konstruksi Ayu Utami (2013: 44) mengenai kecantikan dapat dilihat pada pada kalimat, “Pasti saya jadi sensual dengan hidung bangir, susu mbludag, serta daun kuping yang peka sehingga cepat bergairah hanya dengan bisikan.” Berbagai objek yang dirujuk Ayu Utami yakni hidung bangir, susu mbludag, serta daun kuping yang peka menunjukan adanya makna konotasi. Makna konotasi tersebut didapat dari adanya makna denotasi berupa organ tubuh manusia yakni hidung, payudara, dan telinga. Makna konotasi ini menunjukan adanya upaya lebih untuk mempertegas fungsi-fungsi lain di luar dari fungsi utama hidung, payudara dan telinga. Makna konotasi tersebut memperlihatkan bahwa anggota
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
tubuh perempuan adalah komoditas kecantikan dan dapat menunjukkan seksualitas perempuan untuk menarik perhatian orang lain dan menunjang rasa percaya diri. Mitos yang terbentuk dari adanya interaksi makna denotasi dan konotasi tersebut menunjukan bahwa pemahaman mengenai kecantikan diidentikan dengan kecantikan fisik. Kepentingan memperbaiki penampilan dianggap lebih penting karena fisik merupakan bentuk nyata dari penilaian objek kecantikan. Mitos ini terbentuk dari adanya pemahaman masyarakat yang dominan dalam menilai kecantikan dari segi fisik. Keyakinan masyarakat bahwa cantik itu dilihat dari bentuk tubuhnya yang bagus dengan payudara mengkal, padat berisi, hidung yang mancung seperti orang Barat, merupakan keyakinan yang berujung pada adanya ideologi. Ideologi ini merupakan sarana mitos akan kecantikan fisik berkembang sehingga mayarakat lainnya pun menganggap bahwa kecantikan dari segi fisik sebagai suatu ketentuan yang dipercaya masyarakat merepresentasikan kecantikan perempuan. Makna konotasi ditunjukan Ayu Utami dengan melakukan penjabaran mengenai ciri-ciri kencantikan seperti rambut tebal, leher jenjang, kaki panjang, torso langsing, payudara mengkal, kulit putih, hingga pandai berbicara dan pintar. Mitos yang terbangun ditunjukan Ayu Utami dengan memaknai bahwa kecantikan dikonstruksi oleh media massa dan di adopsi masyrakat dengan mengedepankan kecantikan fisik dan kecantikan non fisik sebagai pelengkapnya. Kecantikan bagi perempuan adalah aset, komoditasnya untuk mencari kesenangan, pengakuan. Penampilan fisik dianggap lebih mewakili konsep kecantikan, karena kecantikan lebih diidentikkan dengan bentuk fisik dan perempuan berhak menkonsepkan kecantikannya sendiri. Sebagimana pandangan feminisme radikal yang memberikan wacana mengenai adanya kebebasan perempuan untuk merekonstruksi kecantikan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya. Dalam pandangan feminisme liberal, keinginan perempuan untuk mengubah bentuk tubuhnya tersebut dianggap sesuatu hal yang wajar karena perempuan dianggap memiliki hal untuk mengksplorasi tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Meskipun keinginannya tersebut didapat dari adanya tuntutan kecantikan menurut mitos masyarkat, tetapi perempuan juga merasakan dampaknya, merasakan keinginannya terpenuhi dalam mendapatkan pengakuan atas kecantikan. Bahasan mengenai tubuh merupakan bagian yang terkait dengan bentuk perjuangan para feminis radikal, dimana tubuh menjadi bagian yang menjadi media propaganda privat dan kepentingan sosial politik sekalipun. Tubuh perempuan yang di anggap feminisme radikal sebagai bagian dari konsep utama atas penindasan perempuan, dapat dimanfaatkan sedemikian rupa oleh perempuan dan bukan hanya dinilai sebagai objek seksual semata meskipun perempuan dapat memanfaatkan untuk tujuan tersebut sebagaimana dijelaskan Tong (2009: 49) bahwa: They insisted that men’s control of both women sexual and reproductive lives and women’s self identity, self respect, and self-esteem is the most fundamental of all the oppressions human beings visit on each other. Para feminis menegaskan bahwa kontrol laki-laki atas seksual perempuan dan kehidupan reproduksinya beserta identitas, kehormatan dan rasa percaya dirinya merupakan hal yang paling mendasari dari segala bentuk penindasan perempuan sebagai sesama manusia. Feminisme radikal bahkan menkonsepsikan kontrol laki-laki sebagai sumber dari penindasan terhadap perempuan secara lebih spesifik dialamatkan pada tubuh perempuan dan berbagai fungsinya. Feminisme radikal memanfaatkan tubuh perempuan sebagai media perlawanan atas penindasan laki-laki pada objek tubuh yang sama, dinilai sebagai sarana perempuan untuk menunjukan haknya untuk membentuk tubuh sesuai dengan keinginannya. Termasuk dalam membangun kecantikan tubuh yang diinginkan sebagaimana pandangan mitos. Pada satu objek kecantikan tubuh perempuan teribjektivasi sebagai sarana penindasan, dalam pandangan radikal justru pemanfaatan tubuh menjadi kekuatan perempuan dalam mewakili kemampuannya untuk memanfaatkan komditasnya untuk menghentikan dikte laki-laki. Penilaian kecantikan yang diperlihatkan Ayu Utami melalui hidung bangir, susu mbludag, serta daun kuping yang peka menunjukan adanya nilai estetika dalam memaknai kecantikan. Kecantikan dikonstruksikan Ayu Utami sebagai suatu bentuk keindahan visual, dimana bentuknya akan menunjang estetika serta berfungsi untuk meningkatkan penampilan
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
perempuan. Konstruksi kecantikan dalam teks ini sejalan dengan pemaknaan Ayu Utami mengenai kecantikan yang dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut: “Saya sih kalo mau lebih luas melihatnya kecantikan itu adalah bagian dari kebutuhan atau dorongan estetik manusia. Jadi manusia itu menurut saya punya dorongan estetik. Dia selalu mencari yang ideal, yang indah dalam bentuk apapun. Nah dalam bentuk musik kah, pokoknya semua yang dia ketahui dia pengen mencapai titik idealnya yang indah. Dalam hal ini, kecantikan juga begitu. Aplikasi atau turunan dari dorongan manusia untuk mencari sesuatu yang indah dalam segala hal. Salah satunya ya kecantikan fisik atau dalam fashion. Jadi itu sama semua.” (Wawancara, 5 Juli 2013). Kutipan di atas menunjukan bahwa kecantikan dimaknai Ayu Utami sebagai bagian dari kebutuhan, dorongan manusia. Secara lebih umum Ayu Utami merujuk dorongan estetika dari kecantikan diperuntukan bagi manusia, artinya bukan hanya perempuan yang mengkonstruksikan kecantikan tetapi juga laki-laki. Laki-laki bisa saja mengkonstruksikan nilai-nilai mengenai kecantikan bagi perempuan. Baik perempuan maupun laki-laki sama-sama mencari sebuah bentuk yang indah dan ideal. Bagi perempuan, bentuk keindahan itu disebut sebagai kecantikan. Bagi Ayu Utami sendiri kecantikan dapat dimaknai sedemikian rupa dengan mengadopsi nilai-nilai kecantikan yang telah ada. Kecantikan menjadi penilaian dari keindahan yang dapat diaplikasikan melalui bentuk fisik yang dianggap sempurna seperti perempuan yang berhidung mancung, berpayudara padat berisi. Pandangan Ayu Utami atas penilaian kecantikan fisik tersebut sejalan dengan mitos kecantikan perempuan yang dibuat untuk memberikan penilaian lebih pada suatu bentuk keindahan yang dikaitkan dengan penanaman nilai-nilai estetika di dalamnya. Diluar dari kepentingan komoditas tubuh perempuan sebagai sarana eksploitasi bagi laki-laki, dalam pandangan Ayu Utami perempuan bukan hanya mengikuti tuntutan masyarakat tetapi juga menyeimbangkannya dengan pilihannya sendiri. Kecantikan yang dikonstruksikan Ayu Utami kemudian mengarah pada figure Nadya Hutagalung. Ayu Utami (2013: 46) mempertanyakan konsep penilaian kecantikan sebagaimana ia ungkapkan dalam paragraf berikut, “Saya: Kalaupun ada kodrat, ia tidak selalu adil, kan? Kenapa Nadya Hutagalung seksi, tinggi, dan lincah bicara, dan saya tidak?” Denotasi dalam hal ini ditunjukan Ayu Utami melalui Nadya Hutagalung. Makna denotasi dari sosok Nadya Hutagalung yaitu selebriti, artis, model, public figure yang dikenal masyarakat karena dianggap cantik. Konotasi dari sosok Nadya Hutagalung berupa bentuk tubuh yang tinggi, seksi dan juga kemampuan bicara yang lincah. Bentuk tubuh yang dinilai Ayu Utami sempurna dari Nadya Hutagalung ditunjang kemampuannya dalam berbicara merupakan konstruksi kecantikan sebagaimana yang diyakini masyarakat. Mitos yang dipercaya masyarakat atas sosok Nadya Hutagalung menunjukan bahwa kecantikan bahkan dikategorikan dengan melakukan penilaian pada keadaan fisik dan non fisik. Sosok Nadya Hutagalung dianggap cantik karena representasi dirinya yang memiliki bentuk tubuh tinggi, langsing, seksi dan pandai berbicara tersebut, menunjukan bahwa idelogi masyarakat kemudian menkonsepkan kecantikan bukan hanya dari segi fisik tetapi dari perilaku dan kepandainnya. Kategori lincah bicara yang dimasukan dalam penilaian cantik pada sosok Nadya Hutagalung disebutkan Ayu Utami pada bagian terakhir setelah kecantikan fisiknya, hal ini menunjukan bahwa Ayu Utami memaknai kecantikan yang dikonsepkan masyarakat tetap mengutamakan penilaian cantik secara fisik. Kategori kecantikan kemudian dimaknai bukan hanya fisik tetapi juga non fisik yang menambah beban pada perempuan untuk bukan hanya cantik dari penampilan tapi juga perilaku. Kepercayaan masyarakat atas nilai cantik ini semakin membuat perempuan untuk lebih melakukan standarisasi berdasarkan pada nilai-nilai kecantikan berdasarkan yang dikonstruksikan media massa. Kodrat dinilai sebagai ketentuan Tuhan dan ternyata kodrat itu membuat perempuan terlahir cantik dan tidak cantik. Ada yang cantik seperti Nadya Hutagalung dan ada yang tidak memenuhi kriteria cantik seperti itu. Oleh karena itu, Ayu Utami mengkonstruksikan kecantikan dalam pandangan kodrat sebagai sesuatu yang tidak adil. Ketidakadilan kodrat ditunjukan dari adanya penilaian manusia yang mengelompokan perempuan dengan kategori cantik maupun jelek. Dalam pandangan para feminis, kecantikan berdasarkan hal-hal yang ditentukan oleh media massa hanya menguntungkan laki-laki. Kecantikan hanya dominasi yang dipercaya dibentuk dan diperuntukan bagi laki-laki yang menempatkan
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
perempuan hanya sebagai korban dari konsep kecantikan. Pandangan kodrat sebagai batasan untuk menunjukan bahwa setiap perempuan cantik karena Tuhan memberikan kesempurnaan bagi ciptaan-Nya ternyata tidak cukup kuat untuk merubah konsep kecantikan masyarakat sekarang ini. Konsep kodrat dalam pandangan feminisme radikal juga menempatkan kodrat sebagai bagian dari perempuan hanya saja perbedaannya berada dalam memaknai kodrat lahiriah tersebut sebagai sesuatu yang memang diberikan bukan untuk dinilai. Kecantikan kemudian dikontrusikan Ayu Utami pada bentuk objek lain yang mewakili penilaian kecantikan berdasarkan bentuk fisiknya. Konsep kecantikan yang dikonstruksikan oleh Ayu Utami dapat dilihat melalui esai berjudul Barbie, Barbie, Barbie. Ukuran fisik masih menjadi acuan dalam konsep kecantikan yang diungkapkan Ayu Utami. Standar fisik Barbie dipercaya masih menjadi kriteria nyata dari konsep kecantikan, sebagaimana disampaikan Ayu Utami (2013: 48) pada paragraf berikut ini: “Barbie memiliki segala ciri fisik yang terlalu ideal untuk ukuran umum. Rambut tebal, leher jenjang, kaki panjang, torso langsing, dan payudara mengkal. Berapa persen wanita di seluruh dunia yang bisa menyetarakan diri dengan ukuran kecantikan ini? Kalaupun dia pernah menyamai keindahan Barbie pada usia remaja, wanita itu toh menua sementara Barbie tak punya usia.” Denotasi yang ditunjukan pada kutipan di atas merujuk pada sosok Barbie. Makna denotasi dari Barbie merujuk pada sosok boneka bernama Barbie. Makna konotasi dari Barbie merujuk pada kecantikan yang dikonstruksikan Ayu Utami ditunjukan dengan ciri rambut tebal, leher jenjang, kaki panjang, torso langsing, dan payudara mengkal. Mitos kecantikan yang ditunjukan dari sosok Barbie dipercaya masyarakat telah mewakili kecantikan dengan bentuk tubuh dan ciri-ciri fisiknya yang dianggap mewakili kecantikan perempuan. Kepercayaan mengenai ciri-ciri fisik Barbie sebagai simbol kecantikan tersebut menjadi ideologi yang mendorong perempuan untuk terlihat seperti Barbie. Mitos kecantikan ini juga yang mendorong perempuan untuk terlihat seperti Barbie dan menkategorikan kecantikan berdasarkan fisik Barbie. Barbie dianggap sebagai objek nyata dari penilaian cantik dengan standar internasional, juga mayoritas diakui oleh budaya lainnya juga. Konsep kulit putih kemudian menjadi bentuk lain dari konstruksi kecantikan yang dirujuk Ayu Utami dalam esai berjudul Keputihan. Ayu Utami (2013: 52) memberikan pernyataan jelas mengenai idealisasi kecantikan kulit putih bagi perempuan Indonesia sebagai berikut, “Putih per definisi adalah cantik. Langsung saya teringat Srimulat. Batasan mereka tentang wanita cantik adalah wanita yang begitu putih sehingga jika minum kopi, hitam kopi itu akan terlihat mengaliri lehernya.” Konstruksi kecantikan pada perempuan Indonesia dituangkan Ayu Utami kedalam metafora dengan membawa ungkapan warna kulit putih sebagai makna denotatifnya. Secara denotatif keputihan juga merujuk pada penyakit yang hanya mungkin terjadi pada kaum perempuan saja, mengingat keputihan terjadi pada daerah vital perempuan. Secara konotatif, keputihan yang dimaksudkan Ayu Utami menunjukan konsep yang melihat warna kulit sebagai salah satu mitos kecantikan. Kulit putih dalam kontruksi kecantikan Ayu Utami memperlihatkan adanya nilai kecantikan, setidaknya banyak perempuan Indonesia yang mencoba mengubah kulitnya untuk terlihat lebih putih. Dalam bahasa Srimulat yang penuh metafora dan parodi, kecantikan yang dikonstruksikan adalah memiliki kulit putih dan bahkan sangat putih. Judul esai Keputihan dianggap tepat untuk mewakili konstruksi kecantikan Ayu Utami, karena putih yang ditunjukannya dalam teks di atas lebih memperlihatkan keinginan untuk lebih dari putih hingga terlalu putih. Ayu Utami menunjukan bahwa mitos masyarkat akan kecantikan perempuan Indonesia ditunjukan melalui putih dan lembut sebagai memang berlaku sebenarnya, semakin putih semakin dianggap cantik. Pada akhirnya, mitos kecantikan dan warna kulit ini pun juga diangkat oleh produsen ke dalam produk dagangnya, dengan harapan akan menarik minat konsumen. Kulit putih dianggap cantik. Konsep kecantikan inilah yang banyak diadopsi oleh perempuan Asia dan negara tropis lainnya, termasuk Indonesia. Lain halnya dengan konsep kecantikan yang dapat dimaknai di wilayah Barat yang justru mengkontruksikan kecantikan kulit gelap. Pandangan feminisme dalam konteks warna kulit sebagai
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
penilaian kecantikan merupakan bentuk kapitalisme para produsen pemutih kulit. Meskipun dianggap sebagai bentuk kapitalisme, pandangan feminisme radikal juga menunjukan bahwa kapitalisme dan patriarki memang telah ada dari sejak dulu tetapi berjalan masing-masing.
Konstruksi Dalam Teks dan Pemaknaan Ayu Utami Mengenai Penanda Kecantikan Penanda merupakan entitas material yang bersifat kebendaan atau merujuk pada objek tertentu. Dalam pandangan Barthes mengenai semiotika, penanda belum dimaknai pada suatu konsep makna karena hanya sebagai langkah awal memaknai nilai emosional yang disebut sebagai petanda. Sederhanya, penanda adalah objek bersifat material dan kebendaan, sedangkan petanda adalah makna emosional yang diperlihatkan dari objek bersangkutan. Konstruksi Ayu Utami mengenai penanda kecantikan ditunjukan melalui kerberadaan makna denotasi yang dibangun atas penanda-penanda yang dianggap memiliki nilai kecantikan seperti indah, tinggi, Barbie, hingga miss universe dan peragawati. Penanda pertama diungkapkan Ayu Utami (2013: 46) dalam kalimat “Ia: Iya, ya... kenapa orang menganggap yang satu indah dan yang lain buruk? Kenapa yang tinggi-langsing dianggap bagus dan yang gemuk-pendek dianggap kurang? Bisakah kita tidak memberi nilai pada apapun?” Denotasi ditunjukan melalui penanda objek biner seperti indah dan buruk. tinggi-langsing dianggap bagus, gemuk-pendek dianggap kurang. Konotasi dari objek biner tersebut menunjukan bahwa petanda kecantikan ditandai melalui adanya pembagian bentuk fisik. Mitos dalam penanda yang diperlihatkan Ayu Utami menunjukan makna yang jelas mengenai standard kecantikan dari segi fisik yang diperlihatkan masyarkat dalam menilai kecantikan. Tinggi-langsing telah menjadi kecantikan dominan dalam masyarakat yang kemudian dipertanyakan Ayu Utami. Perempuan yang tidak cantik karena tubuhnya tidak tinggi-langsing atau perempuan yang jelek karena tubuhnya gemuk-pendek bukanlah suatu kodrat, melainkan mitos. Mitosmitos kecantikan ini ada dalam ketentuan masyarakat, dimana mitos merupakan realisasi dari kepercayaan, ideologi masyarakat akan konsep kecantikan. Ayu Utami memaknai mitos tersebut sebagai nilai kodrat yang disalahartikan. Nilai-nilai yang menyatakan bahwa tubuh tinggi dan langsing itu bagus, berkembang menjadi mitos ketika diyakini oleh masyarakat dominan. Ayu Utami menilai kriteria tubuh tertentu tidak akan dianggap jelek atau bagus ketika tidak ada kepercayaan masyarakat akan mitos tersebut. Bila masyarakat terbebas dari nilai-nilai kecantikan, implikasinya adalah tidak ada perempuan yang dinilai cantik atau jelek karena tidak ada nilai yang diberlakukan padanya. Ayu Utami memperlihatkan bahwa mitos-mitos mengenai kecantikan perlu dilawan jika selalu dikaitkan dengan ketentuan yang mengatasnamakan Tuhan. Ayu Utami menunjukan bahwa perempuan tidak harus mengikuti nilai kecantikan dominan sehingga perempuan dan manusia lainnya seharusnya bebas untuk melakukan operasi plastik tanpa perlu diberi label “menentang kodrat”. Ayu Utami berupaya melawan kodrat kecantikan melalui pemberian nilai alternatif dengan tidak perlu memenuhi kriteria cantik dominan seperti menerapkan penilaian kecantikan pada perilaku. Cara lainnya dalam melakukan penilaian kodrat yang terberi sejak lahir perlu dipandang sebagai nilai yang ditentukan manusia, karena Tuhan sendiri tidak menetapkan kodrat perempuan cantik atau jelek karena penilaian tersebut justru berasal dari manusia sesama makhluk Tuhan. Sejalan dengan pandangan feminisme radikal, konsep kecantikan sebenarnya dapat dibentuk dan diaplikasikan perempuan melalui cara-cara yang tidak dianggap melawan kodrat melainkan membangun kecantikan melalui upaya membangun nilai kodrat berdasarkan pandangan masyarakat. Untuk itu feminisme radikal memandang bahwa perempuan dapat menempatkan tubuhnya sebagai objek dalam menunjukan kecantikan dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhannya. Ayu Utami menunjukan bahwa setiap individu mempunyai kuasa atas tubuhnya dan dapat mengkonstruksikan nilai kecantikannya sendiri. Perempuan yang melakukan operasi plastik tidak selalu merupakan korban dari hegemoni patriarki. Reparasi diri menunjukkan perilaku aktif perempuan untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Nilai kecantikan yang ditunjukan Ayu Utami juga memperlihatkan penanda pada sosok Barbie dalam esai berjudul Barbie, Barbie, Barbie. Ayu Utami (2013: 48) menunjukan penanda kecantikan pada paragraf berikut ini:
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
“Dari kecil sampai sekarang saya tidak pernah memiliki boneka Barbie. Bukan karena tidak terpesona, namun lantaran terlalu mahal. Saya cuma suka melihat-lihat gambar dan foto si cantik yang stelannya lebih dari satu lemari itu, menganggumi pakaian dan sepatunya. Dan apakah saya memadankan diri saya dengannya? Barangkali ya, setelah itu putus asa. Denotasi ditunjukan Ayu Utami melalui penanda sosok boneka Barbie yang dapat mewakili konsep kecantikan ideal. Konotasi dari Barbie menunjukan adanya petanda rambut tebal, leher jenjang, kaki panjang, torso langsing, payudara mengkal, dan berusia muda sehingga kecantikannya abadi. Mitos yang ada masih menunjukan bahwa cisi fisik Barbie masih menunjukan kecantikan dominan, kecantikan yang dikonsepkan media massa dan menjadi ideologi masyarakat untuk pepmercai kecantikan direalisasikan melalui sosok Barbie. Mitos ini mejadi sarana perempuan untuk mempercayai bahwa masyarakat menilai kecantikan sebagaimana ditunjukan Barbie sehingga perempuan memiliki standarisasi kecantikan untuk terlihat seperti Barbie. Denotasi lainnya ditunjukan pada keberadaan kata mahal bagi penanda harga boneka Barbie. Konotasi dari menjadi petanda bahwa kecantikan itu mahal dan hanya mendukung bagi kalangan ekonomi tertentu saja. Mitos masyarakat atas kecantikan ditunjukan dari adanya kepercayaan bahwa orang yang memiliki uang sangat mudah untuk terlihat cantik. Hal ini di dapat dari adanya cara-cara orang kaya untuk membeli berbagai produk kecantikan untuk mendukung cantik sebagaimana yang diinginkannya. Masyarakat mempercayai bahwa kondisi finansial yang baik akan dengan mudah untuk mewujudkan kecantikan sebagaimana masyarakat yang membeli Barbie dianggap mampu secara finansial. Kemampuan finansial mendukung kecantikan juga dianggap sebagai sarana perempuan dalam mewujudkan kecantikan melalui berbagai upaya reparasi tubuh. Hal ini dimaknai feminisme radikal sebagai suatu kewajaran dimana perempuan mereparasi tubuhnya lewat jalan apapun, meskipun upaya tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit tetapi hal tersebut dianggap sebagai resiko yang harus ditanggung perempuan. Dalam esai berjudul Nilai, Ayu Utami menunjukan penanda kecantikan lainnya yang diwakilkan pada objek nyata yang mewakili kriteria penilaian kecantikan. Ayu Utami (2013: 59) memberikan penilaian terhadap perempuan dengan merujuk pada penggambaran objek sebagaimana diperlihatkan pada paragraf berikut: “Aku tetap suka merenung. Dalam hatiku aku tidak setuju kontes ratu sejagad macam Miss Universe.Aku selalu merasa ada yang tidak adil setiap kali manusia diterapkan dalam skala nilai kesempurnaan. Itu menempatkan manusia dalam hierarki kesempurnaan.” Denotasi ditunjukan melalui Miss Universe sebagai penanda kontes pemilihan ratu sejagad. Miss Universe diperlihatkan Ayu Utami sebagai simbol yang mewakili kriteria kecantikan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Konotasi dari Miss Universe menunjukan petanda sosok cantik dengan postur badan tinggi, langsing, pintar, berperibadian menarik, dan serangkaian penggabungan kebaikan dalam segi fisik maupun non-fisik. Ayu Utami memandang bahwa mitos kecantikan sebagaimana yang diperlihatkan pada sosok Miss Universe hanya akan menghasilkan bentuk kelas yang semakin jauh dalam mengelompokan kecantikan bagi setiap orang.mitos kecantikan dimaknai Ayu Utami sebagai bagian dari kebutuhan atau dorongan estetik manusia. Menurutnya, manusia selalu mencari bentuk yang ideal dan estetik dan kecantikan adalah salah satu turunan dari pencarian bentuk yang ideal dan estetik itu. Masyaarkat menjadi semakin percaya bahwa kecantikan bukan hanya dinilai secara fisik tetapi juga non fisik. Ideologi masyarkat akan kecantikan fisik dan non fisik menghasilkan mitos tentang pentingnya kecantikan non fsik untuk menunjang kecantikan fisik. Dalam hal ini konsep total beauty telah dihadirkan dalam mitos kecantikan masyarakat. Namun, Ayu Utami tidak ingin mentotalisir kecantikan atau mencari bentuk ideal bagi kecantikan. Ayu Utami menolak konsep total beauty, yaitu tipe kecantikan yang menggabungkan outer beauty (kecantikan fisik) dan inner beauty (kecantikan non-fisik). Konstruksi dalam teks tersebut sesuai dengan pemaknaan Ayu Utami. Bagi Ayu Utami, kecantikan fisik dan perilaku itu seharusnya dipisahkan dan tidak boleh ditotalisir sebagaimana kutipan wawancara berikut: “Saya tidak mau mentotalisir manusia
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
karena itu akan menghasilkan orang yang super dan jelek banget. Jadi saya melihat kecantikan lebih berjarak. Em..jadi lebih fragmented. Jadi saya bisa menghargai oh orang ini cantik sebagai fotomodel tapi orang itu belum tentu cantik dalam kehidupan sehari-hari. (Wawancara, 5 Juli 2013). Ayu Utami menekankan pentingnya melihat kecantikan sesuai dengan konteks dan fungsi. Misalnya, seorang fotomodel cantiknya akan lebih menonjol dari segi fisik karena fungsinya adalah tampil cantik di majalah. Dalam kehidupan sehari-hari, fotomodel itu belum tentu cantik perilakunya dan perilakunya yang cantik itu tidak ada signifikansinya dalam menilai kecantikan fotomodel. Misalnya pada kehidupan nyata perilakunya tidak cantik, fotomodel itu akan tetap disebut cantik oleh Ayu Utami karena memang pada kenyataannya secara fisik fotomodel itu terlihat cantik. Ayu Utami membedakan konsep total beauty pada dua bagian, yakni cantik secara fisik berbeda dengan cantik secara non fisik. Kedua bagian tersebut tidak dapat disetarakan dan memenuhi kebutuhan kecantikan bagi masing-masing perempuan yang mencari nilai alternatif dari sebuah penilaian kecantikan sebagaimana Ayu Utami (2013: 61) memberikan penanda lain mengenai kecantikan pada objek lainnya pada paragraf berikut: “Suatu hari aku diajak ikut menjadi penggembira dalam acara fesyen. Betul-betul penggembira saja. Tinggiku tidak mencukupi sebagai peragawati, mereka yang membawakan pakaian di catwalk. Di ruang make-up kami berganbung juga, pada penggembira dan peragawati. Aku mendengarkan percakapan mereka.” Denotasi ditunjukan melalui peragawati sebagai penanda kecantikan. Peragawati diperlihatkan Ayu Utami mewakili kriteria kecantikan bagi perempuan kebanyakan. Peragawati menjadi konotasi dari adanyapetanda yang mewakili AU untuk menunjukan penilaian kecantikan berdasarkan pada penilaian yang biasanya menjadi kriteria utama peragawati seperti tinggi, kaki jenjang, bertubuh langsing dan proporsional, serta fashionable. Mitos yang ada di masyarkaat ditentukan melalui adanya kategorisasi yang ada dalam menilai peragawati. Peragawati dianggap sebagai profesi yang mementingkan kecantikan fisik dengan postur langsing, tinggi. Tidak semua orang dapat dengan mudah menjadi peragawati sehingga kepercayaan masyarakat akan konsep kecantikan seperti peragawati menunjukan ideologi mengenai cantik seperti peragawati.
Konstruksi Dalam Teks dan Pemaknaan Ayu Utami Mengenai Proses Menjadi Cantik Konstruksi novelis mengenai proses menjadi cantik menunjukanberbagai upaya reparasi tubuh sebagaimana denotasi yang ditunjukan Ayu Utami melalui operasi plastik, bersolek melalui penggunaan produk pemutih, penggunaan pakaian bermerek hingga mengikuti kontes kecantikan. Dalam esai berjudul THT (Telinga, Hidung, Tetek), Ayu Utami (2013: 44) menjelaskan proses untuk menjadi cantik seperti dalam kalimat berikut: “Kalau punya cukup uang saya mau pergi ke klinik THT, untuk menambah sensitif telinga, memancungkan hidung, dan memperbesar tetek.” Ayu Utami menunjukan dukungannya tentang gagasan mempercantik diri melalui reparasi tubuh melalui jalan operasi plastik, hal ini ditunjukan melalui denotasi klinik THT. Ayu Utami menjelaskan bahwa proses menjadi cantik dikontruksikan melalui upaya-upaya ingin memancungkan hidung, memperbesar payudara dan ‘menambah sensitif telinga’. Makna THT dalam tulisan AU dimaknai sebagai Klinik Telinga, Hidung, dan Tetek (payudara) sebagai bentuk anekdot. Klinik THT merupakan konotasi dari tempat medis untuk menjalankan reparasi tubuh atau operasi plastik, khususnya untuk organ telinga, hidung, dan payudara (tetek). Organ-organ tubuh perempuan tersebut menjadi mitos masyarakat yang menunjukan adanya nilai sensualitasnya sendiri yang menunjang kecantikan perempuan. Telinga tidak hanya dipandang sebagai organ tubuh yang berfungsi menangkap suara, tetapi juga sebagai organ tubuh yang memberikan gairah seksual bagi pemiliknya bila diberikan ‘bisikan’ yang bersifat erotis. Demikian pula dengan organ hidung yang tidak hanya dimaknai sebagai indra tubuh yang berfungsi mencium bau, serta payudara sebagai organ tubuh yang berfungsi menyusui, tetapi morfologi serta ukuran keduanya juga dimaknai sebagai penanda kecantikan dan seksualitas perempuan agar merasa semakin cantik. Konsep kecantikan dengan mengekploitasi fisik menjadi wacana para feminis untuk memperlihatkan adanya tekanan patriarki dalam kebudayaan. Perempuan dianggap sebagai objek seksual
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
yang dijadikan sebagai sarana pemuasan kebutuhan yang justru tidak diperuntukan bagi perempuan itu sendiri. Operasi plastik dianggap sebagai wacana yang mendukung perempuan untuk terlibat dalam konsep patriarki yang ditentang para feminisme. Menurut pandangan feminisme liberal, konsep kecantikan melalui reparasi tubuh hanya menunjukan adanya upaya perempuan untuk memenuhi harapan laki-laki, ingin dinilai seksi oleh laki-laki dan menarik perhatian laki-laki. Pada intinya feminisme liberal memperlihatkan bahwa wacana reparasi tubuh bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri melainkan tuntutan budaya patriarki. Lain halnya dengan feminisme radikal yang terlihat besebrangan dalam memaknai entitas tubuh perempuan dan reproduksinya sebagai komoditasnya dalam mengontrol kekang yang selama ini ditunjukan laki-laki pada berbagai bentuk lahir perempuan. Pandangan feminisme radikal khususnya radikal liberalb menilai bahwa reparasi tubuh merupakan sarana perempuan untuk menunjukan kuasanya atas dirinya dan lingkungannya. Perempuan dinilai dapat melakukan segala bentuk reparasi tubuh tetapi bukan untuk kepentingan laki-laki, melainkan untuk kepentingannya sendiri. Perempuan dapat mencari kesenangannya, mengontrol laki-laki sesuai dengan keinginannya, dan punya hal penuh atas tubuhnya termasuk melalui operasi plastik. Pandangan ini sejalan dengan pemaknaan Ayu Utami. Bagi Ayu Utami sah-sah saja bila ada orang yang ingin mengoperasi tubuhnya agar terlihat lebih cantik, atau dapat juga melawan mitos tersebut dengan membuat nilai alternatif sebagaimana ditegaskan dalam kutipan wawancara bahwa, “Kadang-kadang dulu jaman waktu saya kecil itu orang-orang sering bilang wah si itu cantik tapi dandan abis, bagusan si itu dong cantiknya alamiah. Tapi saya akhirnya berpikir cantik alamiah kan gak adil dong. Kalo yang dilahirkan gak cantik alamiah masa terus dia nggak punya kesempatan untuk tampil cantik? sebetulnya dia punya pilihan.” (Wawancara, 5 Juli 2013). Pada esai berjudul Barbie, Barbie, Barbie, Ayu Utami (2013: 49) menjelaskan salah satu proses menjadi cantik dengan mengikuti gaya Barbie seperti pada kalimat berikut: “Di Jakarta pun ada seorang nyonya kaya dengan anak yang selalu mendandani diri dan putrinya seperti pakaian Barbie. Saya juga mau sih, kalau mampu secara fisik dan materi, untuk punya baju-baju seperti milik Barbie.” Denotasi yang ada pada kutipan di atas kembali mengacu pada sosok Nyonya kaya dengan anak yang selalu mendandani diri dan putrinya seperti pakaian Barbie. Konotasi tersebut menunjukan makna bahwa yang menunjukan bahwa Barbie menjadi simbol kekayaan dan kecantikannya yang menunjukan harus adanya kemampuan secara fisik dan finansial dalam menunjang karakter cantik seperti Barbie. Mitos yang ditunjukan pada bagian ini memperlihatkan bahwa Barbie merupakan bagian dari konsep kecantikan yang harus ditunjang dari segi penampilan dan finansial. Ideologi Barbie sebagai sosok cantik dan memiliki banyak pakaian menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat akan sosok cantik harus ditunjang dengan penampilan dan juga kemampuan secara fisik. Mitos ini menunjukan adanya kepercayaan bahwa kemampuan finansial dapat menunjang kecantikan seseorang. Proses menjadi cantik ditunjukan Ayu Utami bisa dilakukan dengan mengikuti penampilan Barbie dengan menggunakan pakaian bermerek, seksi, up to date, dan beragam layaknya Barbie. Ayu Utami bahkan memiliki keinginan untuk mengikuti gaya Barbie jika memiliki kemampuan finansial yang baik guna mendukung konsep cantik selayaknya Barbie. Cantik seperti Barbie dapat dilakukan melalui bersolek hingga operasi plastik. Ayu Utami bahkan menjelaskan bukan hanya pakaian saja yang diikuti perempuan dari Barbie, bahkan bentuk fisiknya pun menjadi acuan kecantikan meski membutuhkan biaya yang sangat besar jika dilakukan melalui perasi plastik. Ayu Utami (2013: 50) menjelaskan berbagai upaya perempuan untuk menjadi cantik seperti Barbie dalam kalimat: “Ada yang mengeluarkan 50.000 dolar AS untuk bermetamorfosis lewat bedah plastik.” Makna denotasi pada kalimat di atas menunjukan makna melakukan perubahan melalui operasi plastik dengan menelan biaya hampir 500.000 juta rupiah. Denotasi dari kalimat di atas menunjukan bahwa Barbie merupakan ikon konsumerisme. Mitos yang ditunjukan pada bagian ini memperlihatkan bahwa perempuan menjadi konsumtif dengan menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk operasi plastik agar tubuhnya dapat sesuai dengan kecantikan seperti Barbie. Boneka Barbie merupakan boneka dengan harga yang mahal, di atas rata-rata boneka pada umumnya. Memiliki fisik seperi Barbie harus di
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
dukung dengan upaya untuk merampingkan tubuh, mengencangkan payudara, menjenjangkan kaki, membuat putih yang secara keseluruhan dilakukan melalui reparasi tubuh, baik dengan cara bersolek maupun operasi plastik. Mitos konsumerisme karena kecantikan Barbie dianggap sebagai bentuk kapitalisme yang oleh kalangan feminisme dianggap sebagai bentuk kemunduran perempuan. Barbie adalah simbol dari sebuah tubuh plastik; perempuan terus menerus mereparasi tubuhnya agar memiliki tubuh seperti Barbie dan selalu awet muda melalui operasi plastik. Dalam hal ini, Barbie berfungsi sebagai ikon konsumerisme; tubuh perempuan dapat dibentuk sesuai dengan keinginan selama memiliki uang untuk mengubahnya. Barbie merupakan persoalan ideologi kapitalisme, karena konstruksi kecantikan yang ditawarkan Barbie berubah-ubah seiring dengan perluasan kondisi pasarnya sebagaimana diungkapkan Rogers (1999:125) bahwa, “Tubuh plastik ini mengindikasikan bahwa tubuh perempuan adalah objek untuk dimanipulasi, dikontrol, dan didominasi oleh masyarakat konsumeris.” Di satu sisi, Ayu Utami menyadari bahwa perempuan menjadi korban konsumerisme melalui operasi plastik, namun ia tetap mendukung operasi plastik. Tubuh plastik mengindikasikan bahwa tubuh perempuan adalah objek untuk dimanipulasi, dikontrol, dan didominasi industri yang mengatasnamakan memenuhi kebutuhan kecantikan. Ayu Utami menyadari bahwa operasi plastik menuntut sikap konsumtif, tetapi Ayu Utami tetap mendukung dilakukannya operasi plastik dengan argumen bahwa operasi plastik membuat perempuan yang terlahir tidak cantik dan tidak puas akan kondisi tubuhnya dapat menjadi cantik. Proses menjadi cantik melalui bedah plastik menjadi cara yang dianggap Ayu Utami paling logis untuk merealisasikan konsep kecantikan. Itulah pentingnya bentuk alternatif kecantikan yang dikedepankan Ayu Utami untuk dapat memilih antara satu resiko dengan resiko lainnya yang dipilih secara cermat dan bertanggung jawab oleh perempuan. Proses menjadi cantik melalui reparasi tubuh pun tidak hanya melalui jalan operasi plastik, tetapi melalui serangkaian perawatan dengan menggunakan berbagai produk yang dijelaskan Ayu Utami banyak dilakukan perempuan Indonesia untuk memiliki kulit putih. Pada esai berjudul Keputihan, Ayu Utami (2013: 53) menjelaskan produk pemutih sebagai bagian dari proses menjadi cantik sebagaimana dalam kalimat berikut ini: “Ketika Vitamin A ditemukan sebagai bahan pengelupas kulit yang aman, dengan segera bahan ini dibikin krim⎯biasanya digabung dengan bahan penahan ultraviolet⎯dan ditawarkan sebagai krim pemutih. Hampir semua merek⎯Citra, Nivea, Vaseline, hingga RoC⎯mempunyai produk ini.” Denotasi dari kutipan di atas ditunjukan melalui Citra, Nivea, Vaseline, hingga RoC yang bermakna produk kecantikan khususnya pemutih kulit. Konotasi yang terbentuk menunjukan bahwa produk-produk pemutih sangat beragam dipasar Indonesia yang berarti besarnya animo perempuan Indonesia pada pemutih kulit. Mitos bahwa kulit putih sebagai kulit cantik bagi perempuan Indonesia tidak terlepas dari banyaknya media massa mengkonstruksikan kecantikan berdasarkan kulit putih. Perempuan Indonesia yang memiliki kulit coklat kemudian terlihat ingin berbeda dari kebanyakan perempuan lainnya dengan memiliki kutlit putih. Usaha perempuan dalam memutihkan kulit melalui produk-produk kecantikan memerlukan upaya secara finasial dengan membeli produk-produk pemutih. Upaya ini membentuk kepercayaan bahwa kecantikan kulit putih menunjukan kemampuan finansial atau setidaknya memelukan usaha lebih untuk menyisihkan biaya bagi perawatan kulit. Mitos kemudian menunjukan bahwa kulit putih di dapat oleh orang-orang yang memiliki uang. Kecantikan yang berusaha didapatkan oleh perempuan melalui serangkaian proses memerlukan adanya pengakuan akan kecantikannya. Ayu Utami (2013: 61) menjelaskan bahwa pengakuan kecantikan salah satunya dapat direalisasikan melalui pengalamannya dalam kontes kecantikan sebagai berikut: “Aku ikut kontes ini karena beberapa hal. Memang aku sedang menikmati penampilanku yang baru. Aku sedang senang menyadari bahwa aku perempuan dan aku lumayan menarik. Tapi aku juga sedang berusaha mengatasi kompleksku sendiri. Suatu peristiwa traumatis di masa remaja membuat aku minder dan takut difoto. Aku ingin membereskan itu.”
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
Denotasi dari kutipan di atas merujuk pada kata kontes yang berarti kontes kecantikan. Konotasi dari kontes kecantikan menunjukan makna pesertanya memiliki kecantikan di atas dari perempuan pada umumnya. Kontes kecantikan dapat menjadi sarana dalam mewujudkan tujuan perempuan menjadi cantik. Mitos dari kontes kecantikan tentu mengharuskan pesertanya memiliki kecantikan secara fisik,dan bahkan secara non fisik karena perilaku dipercaya masyarakat menunjang penilaian cantik. Ayu Utami menunjukan bahwa kontes kecantikan dapat mendorong seseorang melakukan berbagai proses untuk menjadi cantik. Ayu Utami mengatakan bahwa penilaian kecantikan dari suatu kontes dapat menjadi pengakuan dari orang lain atau setidaknya pengakuan bagidiri sendiri. Kontes kecantikan menjadi sarana Ayu Utami untuk lebih memahami bahwa kecantikan diperlombakan untuk itu ada kriteria tertentu yang diperuntukan bagi para peserta untuk dinilai kecantikannya.
Konstruksi Dalam Teks dan Pemaknaan Ayu Utami Pada Respon Masyarakat Mengenai Kecantikan Konstruksi novelis pada respon masyarakat mengenai kecantikan ditunjukan Ayu Utami melalui keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan segala bentuk reparasi tubuh terutama operasi plastik yang dalam makna denotasi ditujukan pada kelompok ibu dan bapak yang mewakili keluarga, para puritan, para naturalis, dan kaum feminis. Dalam esai berjudul Si Parasit Lajang, Ayu Utami (2013: 44) memprediksikan respon masyarakat dalam menanggapi keinginannya untuk mereparasi tubuh sebagaimana dalam paragraf berikut ini: “Tetapi, oh, tentu saja ibu saya, juga beberapa ibu dan bapak lain akan menyerang niat ini dari pelbagai penjuru. Ibu saya barangkali dengan sedih akan mencap saya tak cukup tahu berterimakasih dan kurang nrimo. Para puritan bakal mencerca saya sebagai melawan kodrat, dan para naturalis melihat saya menentang alam. Sementara itu, kaum feminis mungkin mengatai saya telah terbelenggu hegemoni patriarki, sebab untuk apa menyumpal payudara dengan silikon selain buat menyenangkan lelaki.” Ayu Utami menunjukan makna denotasi mengenai respon masyarakat melalui keberadaan objek-objek seperti ibu, bapak, para puritan, para naturalis, kaum feminis. Makna konotasi dari ditempatkan objekobjek tersebut menunjukan bahwa respon masyarakat atas wacana operasi plastik ditentang oleh berbagai pihak, bahkan dari struktur domestik seperti dalam keluarga sekalipun. Ayu Utami memperlihatkan bahwa orang tua merupakan pihak pertama yang akan menghalangi niat operasi plastik karena akan dianggap gagal mengurus anak yang tidak dapat mempertahankan kodratnya di hadapan Tuhan. Faktor dosa dalam hal ini diperlihatkan Ayu Utami karena bentuk kurang nrimo dan kurangnya rasa bersyukur pada kemurahan Tuhan yang telah memberikan kehidupan. Mitos menunjukan bahwa upaya melakukan operasi plastik dimaknai sebagai tindakan yang tidak berterima kasih kepada Tuhan, tidak bersyukur atas kondisi lahiriah yang diberikan. Penentangan terhadap operasi plastik juga muncul dari para puritan yang melihat operasi plastik sebagai sesuatu yang melawan kodrat. Sementara itu, para naturalis melihat operasi plastik sebagai sesuatu yang menentang alam dan para feminis melihat operasi plastik sebagai belenggu hegemoni patriarki karena memperbesar payudara dianggap hanya untuk menyenangkan lakilaki. Argumentasi Ayu Utami mengenai pandangan feminisme yang menanggapi buruk operasi plastik sebagai cara perempuan dalam menyetarakan gendernya melalui upaya pemberontakan tubuh dan beragam fungsinya bukan dialamatkan pada pandangan femisme radikal. Feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik sebagaimana pandangan Ayu Utami. “Feminisme radikal mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai pada ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Feminisme radikal menunjukan bentuk penindasan laki-laki atas segala bentuk yang dinakaman atas takdir perempuan. Perempuan merupakan kaum yang paling tertindas dari segala penindasan terhadap manusia dan sangat sulit dibongkar. Jaggar dan Rothenberg dalam (dalam Tong, 2009:49), menunjukan berbagai bentuk penindasan pada perempuan sebagai berikut:
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
That women were, historically, the first opressed group; 2) That women’s oppression is most widespread, existing in virtually every known society; 3. That women’s oppression is the hardest form of oppression to eradicate and cannot be removed by other social changes such as abolition of class society; 4. That women oppression causes the most suffering to its victims, qualitatively as well as quantitatively, although the suffering may often go unrecognized because of the sexist prejudices of both the oppressors and the victims; 5. That women’s oppression provides a conceptual model for understanding all other forms of oppression Poin utama feminisme mengenai penindasan yang dirasakan perempuan secara keseluruhan terjadi dan digambarkan sebagai proses kebudayaan. Perempuan telah menjadi objek penindasan dari mulai keberadaannya hingga sekarang, bahkan penindasan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang dapat ditolerir dan dianggap biasa. Untuk itu penindasan yang terjadi tersebut dianggap sebagai suatu yang wajar karena adanya pembiasaan dan penilaian mengenai perempuan dan entitas tubuhnya. Feminis radikal berfokus kepada jenis kelamin, gender, dan reproduksi di dalam gerakan mereka. Feminisme radikal berpendapat bahwa perempuan tidak akan mencapai posisi yang sama dengan pria apabila sistem dominasi pria dan reproduksi tidak diubah. Ayu Utami menunjukan besarnya protes bagi pelaku operasi plastik juga sama besarnya dengan niat perempuan untuk menjadi cantik, dua bagian mengenai pro dan kontra ini akan selalu ada selama masyarakat masih menyadari bahwa apa yang dikonsepkan tentang kecantikan lahir masih memberikan pembeda antara cantik dan jelek. Ayu Utami mendebat pemikiran para feminis yang menilai bahwa memperbesar payudara bukan hanya demi kesenangan laki-laki karena perempuan juga merasa senang karena terlihat lebih sensual dan memancing laki-laki untuk memuaskannya secara seksual. Banyaknya pertentangan dari beragam pihak, menunjukkan mitos bahwa perempuan harus pasif dengan menerima kondisi fisiknya apa adanya. Ayu Utami menunjukan upaya perlawanan wacana terhadap mitos bahwa perempuan harus menerima kodratnya sebagai objek pemuas keinginan seksual laki-laki dan bahwa operasi plastik menunjukan kepatuhan akan mitos tersebut. Operasi plastik dimaknai Ayu Utmai sebagai tindakan aktif perempuan untuk terbebas dari belenggu hegemoni patriarki karena reparasi tubuh menjadi peluang perempuan untuk mencari dan mendapat kepuasan seksual yang diinginkannya. Ayu Utami mengkritisi ideologi para feminis yang menanggapi buruk mengenai operasi plastik dan reparasi tubuh karena pada dasarnya bukan hanya perempuan yang mereparasi tubuhnya, karena lakilaki juga melakukannya dengan memperbesar penis dan menggunakan krim untuk mengawetkan ereksi. Ayu Utami mengkonstruksikan respon masyarakat mengenai upaya perempuan melakukan operasi plastik bukan karena dikuasai oleh ideologi patriarki, namun karena perempuan memiliki kesadaran tentang tubuhnya sendiri. Perempuan ingin merasa puas dan dipuaskan secara seksual oleh laki-laki. Harapan Ayu Utami yang mengkritisi ideologi feminisme mengenai bentuk reparasi tubuh dapat dipenuhi melalui pandangan feminisme radikal. Aliran radikal menolak setiap jenis kerja sama dengan segala bentuk kompromi yang mengedepankan pengekangan atas tubuh perempuan, dimana feminisme radikal mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan merdeka sebagaimana penjelasan Carson (dalam Gamble, 2010: 147) mengenai fungsi tubuh perempuan yang menjadikan penindasan oleh laki-laki, bahwa “Dalam meneorikan tubuh, tindakan memiliki kaitan secara khusus terhadap perempuan, karena secara konvensional gender melekatkannya dengan tubuh. Pandangan feminisme radikal lebih mengedepankan kesepakatan akan adanya hak penuh perempuan untuk mempergunakan tubuhnya sesuai dengan harapannya. Anggapan yang menilai bahwa proses reparasi tubuh perempuan hanya karena sifat patriartki dan hubungannya dengan kepentingan lakilaki, tidak dimaknai sejalan oleh feminisme radikal. Feminisme radikal liberal justru mendukung pandangan yang lebih terbuka bagi perempuan untuk mengekploitasi tubuh sebagaimana yang dibutuhkannya karena tubuh mereka juga akan memberikan kesenangan bagi dirinya juga, tidak lantas dikaitkan hanya untuk kesenangan orang lain khususnya laki-laki. Hal ini sejalan dengan Ayu Utami yang secara terbuka menunjukan upaya penentangan gagasan-gagasan masyarakat mengenai operasi plastik sebagai perilaku menyimpang atau bahkan dikategorikan sebagai dosa. Ayu Utami mengkonstruksikan
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
mitos mengenai operasi plastik melalui upaya mengkritisi dan menentang ideologi para puritan, naturalis dan feminis. Hal ini dilakukan karena pandangannya yang membedakan kodrat dengan nilai. Selain itu, kritik Ayu Utami yang paling nyata dilakukan dengan melakukan perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yang keduanya juga ingin mengubah ukuran organ tubuh tertentu untuk memenuhi keingingan seksual. Bukan hanya perempuan yang harus dikritisi mengenai operasi plastik, tetapi laki-laki juga.Reparasi tubuh melalui operasi plastik masih banyak dipertentangkan olehmasyarakat terkait perempuan, jarang diperuntukan bagi laki-laki. Para Puritan, Naturalis dan Feminis yang disebutkan Ayu Utami mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidaksetuju terhadap tindakan operasi plastik. Berbagai penolakan mengenai operasi plastik menunjukan bahwa operasi plastik merupakan tindakan yang bertentangan dengan kodrat dan ketentuan Tuhan. Ayu Utami (2013: 44) memberikan gambaran mengenai perkembangan respon kebudayaan pada upaya-upaya reparasi tubuh, seperti pada paragraf berikut: “Begitu banyak naskah dari hampir semua zaman dan kebudayaan yang mencerca wanita karena bersolek. Perempuan adalah makhluk terjelek di dunia sebab ia selalu membubuhkan topeng, pupur, dan gincu—saya lupa siapa yang mengatakan mirip begitu. Bergincu menjadi metaphor buruk untuk banyak hal. Para aktivis mahasiswa sering mengirimkan gincu dan beha untuk orangorang yang mereka anggap pengecut.” Ayu Utami menggunakan kata bersolek sebagai denotasi yang bermakna berdandan. Ayu Utami mengkonstruksikan respon masyakat akan kecantikan perempuan bersolek sebagai sesuatu yang patut dipertanyakan. Konotasi kata bersolek dalam teks ini ditandai dengan membubuhkan topeng, pupur, dan gincu. Topeng (bedak), pupur (masker), dan gincu (lipstik) merupakan beragam bentuk perempuan dalam proses mereparasi tubuh dipertanyakan atas dasar tujuan yang kembali dikaitkan sebagai cara dalam memuaskan kepentingan laki-laki. Perempuan dimaknai sebagi objek seksual yang bentuk tubuhnya dipercantik hanya untuk kepentingan laki-laki. Ayu Utami memperlihatkan adanya mitos masyarakat mengenai upaya bersolek perempuan sebagai suatu tindakan yang hina karena dianggap menutupi kekurangan, palsu. Ayu Utami memberikan pembelaan bahwa tujuan utama perempuan bersolek adalah karena ingin dianggap cantik, namun para intelektual ini justru melihat bersolek membuat perempuan menjadi jelek. Bersolek dianggap jelek karena cantik yang tercipta adalah cantik yang dibuat-buat, tidak alamiah, cantik yang palsu. Kecantikan yang terberi sejak lahir kembali menjadi alasan utama untuk tidak melakukan berbagai upaya yang melawan kodrat, bahkan upaya-upaya menjadi cantik oleh perempuan dianggap sebagai kemunduran. Mitos masyarakat akan bersolek menunjukan bahwa bersolek dimaknai sebagai tindakan yang melawan kodrat dan disisi lain bersolek juga menjadi petanda tunduknya perempuan pada mitos kecantikan dominan. Ayu Utami menunjukan adanya ketakutan kelompok intelektual seperti halnya feminis, aktivis akan adanya penilaian bahwa mengubah fisik tubuh menandakan terbelenggunya perempuan oleh hegemoni patriarki yang dilakukan guna memenuhi harapan laki-laki.
Kesimpulan Konstruksi Ayu Utami mengenai konsep kecantikan menunjukan bahwa makna denotasi dibangun atas konsep-konsep kecantikan yang diperlihatkan melalui objek atau ciri-ciri yang diidentikan dengan kecantikan seperti yang dikonsepkan media massa melalui hidung mancung, payudara berisi, Nadya Hutagalung, Barbie, kulit putih dan kaki panjang. Makna konotasi ditunjukan Ayu Utami dengan melakukan penjabaran mengenai ciri-ciri kencantikan seperti rambut tebal, leher jenjang, kaki panjang, torso langsing, payudara mengkal, kulit putih, hingga pandai berbicara dan pintar. Mitos yang terbangun ditunjukan Ayu Utami dengan memaknai bahwa kecantikan dikonstruksi oleh media massa dan di adopsi masyrakat dengan mengedepankan kecantikan fisik dan kecantikan non fisik sebagai pelengkapnya. Kecantikan bagi perempuan adalah aset, komoditasnya untuk mencari kesenangan, pengakuan. Penampilan fisik dianggap lebih mewakili konsep kecantikan, karena kecantikan lebih diidentikkan
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
dengan bentuk fisik dan perempuan berhak menkonsepkan kecantikannya sendiri. Sebagimana pandangan feminisme radikal yang memberikan wacana mengenai adanya kebebasan perempuan untuk merekonstruksi kecantikan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya. Konstruksi Ayu Utami mengenai penanda kecantikan ditunjukan melalui kerberadaan makna denotasi yang dibangun atas penanda-penanda yang dianggap memiliki nilai kecantikan seperti indah, tinggi, Barbie, produk pemutih kulit, eksotis, hingga profesi miss universe dan peragawati. Semua objek denotasi tersebut menunjukan petanda bahwa masing-masing objek memiliki makna kecantikannya sendiri. Makna konotasi ditunjukan Ayu Utami melalui melalui petanda-petanda yang mengidentifikasikan kecantikan seperti yang ditunjukan media massa seperti cantik, tinggi, putih langsing yang berarti bahwa kecantikan dominan masih menjadi pilihan utama dalam menilai kecantikan perempuan. Mitos yang disampaikan Ayu Utami menunjukan bahwa kategorisasi kecantikan tetap diberlakukan sebagai cara masyarakat dalam menilai adanya kecantikan fisik dan non fisik yang dianggap perlu dimiliki perempuan sebagai kesatuan utuh. Ayu Utami memaknai konsep penanda kecantikan setiap perempuan yang dengan menunjukan bahwa perempuan dapat membuat nilai alternatif kecantikannya sendiri. Cantik secara fisik atau non fisik hanya bagian dari alternatif yang dapat dibuat oleh perempuan. Berbagai penanda kecantikan juga menjadi petanda bahwa kecantikan merupakan bagian dari konsep perempuan, masyarakat, sosial budaya, bukan hanya dipandang parsial sebagai produk seksual semata sebagaimana pandangan feminisme liberal yang mengkategorikan bentuk reparasi tubuh sebagai bentuk warisan budaya patriarti yang justru diperjuangkan perempuan melalui upaya kecantikan. Konstruksi Ayu Utami mengenai proses menjadi cantik menunjukanberbagai upaya reparasi tubuh sebagaimana denotasi yang ditunjukan Ayu Utami melalui operasi plastik, bersolek melalui penggunaan produk pemutih, penggunaan pakaian bermerek hingga mengikuti kontes kecantikan. Makna konotasi yang di konstruksikan Ayu Utami menunjukan bahwa berbagai upaya menjadi cantik tersebut dilakukan guna menunjukan upaya perempuan dalam merealisasikan kecantikan menurut sebagaimana dikonsepkan masyarakat sekaligus menunjukan kemampuan finansial dan kelas sosialnya di masyarakat. Mitos yang ditunjukan Ayu Utami menunjukan bahwa perempuan identik dengan reparasi tubuh sehingga perempuan dianggap paling berdosa, dan konsumtif. Ayu Utami menunjukan persetujuannya mengenai reparasi tubuh perempuan melalui operasi plastik, bersolek, atau melalui dandanan fashion karena perempuan memiliki kuasa atas diri dan tubuhnya untuk kesenangan dirinya maupun orang lain. Perempuan mengubah dirinya bukan berarti atas tuntutan laki-laki atau menyenangkan laki-laki, karena perempuan juga ingin disenangkan laki-laki dan menyenangkan dirinya sendiri sebagaimana pandangan feminisme radikal yang menekankan konsep pemanfaatan tubuh perempuan sebagai bagian dari hak perempuan untuk mengeksplorasi dan bahkan mengekploitasi sesuka hatinya. Konstruksi Ayu Utami pada respon masyarakat mengenai kecantikan ditunjukan melalui keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan segala bentuk reparasi tubuh terutama operasi plastik yang dalam makna denotasi ditujukan pada kelompok ibu dan bapak yang mewakili keluarga, para puritan, para naturalis, dan kaum feminis. Makna konotasi ditunjukan Ayu Utami dengan mengedepankan pandangan-pandangandari kelompok yang tidak setuju dengan reparasi tubuh bahwa segala bentuk reparasi tubuh merupakan bentuk wacana patriarkal dan memperkuat hegemoni Barat karena dianggap masih terjajah secara sosial, menawarkan kecantikan yang tidak realistis, hingga menentang ketentuan Tuhan. Mitos ditunjukan Ayu Utami dengan memperlihatkan adanya pandangan masyrakat yang mempercayai bahwa kecantikan adalah kodrat sehingga Ayu Utami lebih mengedepankan upaya pembentukan kecantikan alternatif bagi perempuan yang merasa tidak cantik secara fisik untuk cantik secara non fisik. Ayu Utami menilai bahwa masyarakat seakan semakin memberikan sekat bagi si jelek melalui konsep total beauty. Perempuan dapat terbebas dari konsep kecantikan dominan jika meyakini bahwa kecantikan non fisik bukan alternatif tetapi yang paling utama dalam membangun kecantikan. Sebagaimana yang diinginkan para feminisme mengenai adanya upaya untuk menkonsepkan kecantikan diluar dari kecantikan fisik karena perempuan memiliki potensi lebih besar dibandingkan hanya mengeksploitasi fisik semata. Konstruksi kecantikan dalam teks ini merupakan refleksi dari pemaknaan Ayu Utami selaku novelis. Hal ini terlihat dari kesesuaian konstruksi kecantikan dalam teks dengan pemaknaan mengenai
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
kecantikan oleh Ayu Utami selaku novelis. Ayu Utami memaknai bahwa kecantikan dilihat dari penampilan fisik. Ayu Utami memaknai kecantikan bagi perempuan sebagai aset, komoditasnya untuk mencari kesenangan dan pengakuan. Tampilan fisik dianggap lebih mewakili konsep kecantikan, karena kecantikan lebih diidentikkan dengan bentuk fisik. Selanjutnya, Ayu Utami memaknai bahwa setiap perempuan yang dianggap tidak cantik tetap memiliki nilai cantik dengan membuat nilai alternatif kecantikannya sendiri. Apakah terlihat cantik secara fisik atau non fisik tergantung dari apa tujuan kecantikan yang diinginkannya. Selain itu kecantikan berhubungan dengan konsep kelas, kelas atas yang berkuasa selalu dianggap cantik. Selain itu, Ayu Utami juga memaknai bahwa perempuan memiliki pilihan untuk reparasi tubuh melalui operasi plastik, bersolek, atau melalui dandanan fashion karena perempuan memiliki kuasa atas diri dan tubuhnya untuk kesenangan dirinya maupun orang lain Ayu Utami memaknai bahwa memaknai bahwa masyarakat yang tidak setuju dengan operasi plastik atau reparasi tubuh lainnya, tidak memberikan pilihan bagi perempuan yang terlahir tidak cantik. Apalagi masyarakat semakin memberikan sekat bagi si jelek melakui konsep total beauty. Perempuan dapat terbebas dari konsep kecantikan dominan jika meyakini bahwa kecantikan non fisik bukan alternatif tetapi yang paling utama. Berdasarkan tanggapan dan cara pandang Ayu Utami mengenai kecantikan dalam teks dan pemaknaan, dapat disimpulkan bahwa Ayu Utami memiliki cara pandang feminis radikal liberal. Walaupun sebagian besar masyarakat menentang reparasi tubuh melalui jalan seperti operasi plastik, Ayu Utami tetap mendukung operasi plastik karena menurutnya itu adalah cara yang paling realistis untuk menjadi cantik sesuai dengan nilai kecantikan dominan dalam masyarakat. Ayu Utami setuju dengan berbagai bentuk reparasi tubuh seperti melalui operasi plastik dan ia memperlihatkan bahwa mitos kecantikan lebih dapat disesuaikan dengan kelas menengah ke atas karena dianggap memiliki modal yang cukup kuat untuk mereparasi tubuh yang berkaitan erat dengan konsumerisme dan kapitalisme. Walaupun mendukung berbagai bentuk reparasi tubuh, Ayu Utami tetap menawarkan kepada setiap perempuan untuk dapat membuat kecantikan alternatifnya masing-masing, seperti misalnya melalui kebaikan hati, cara bersikap, sopan santun, hingga intelektualitas. Pada intinya, Ayu Utami mengembalikan kepada setiap perempuan untuk memilih kecantikan seperti apa yang diinginkan, apakah sesuai dengan nilai dominan sehingga membutuhkan untuk reparasi tubuh atau membuat nilai kecantikan alternative. Bagi Ayu Utami, tubuh perempuan adalah milik pribadi perempuan dan masing-masing perempuan berhak melakukan apapun terhadap tubuhnya dan memilih nilai kecantikan seperti apa yang diinginkan dan dibutuhkan perempuan tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Ayu Utami memiliki cara pandang feminis radikal liberal dalam melihat kecantikan.
Daftar Pustaka Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Adlin, A. (2006). ResistensiGaya Hidup: Teori Dan Realitas. Yogyakarta: Jalasutra. Crisp, J; K. Ferres and G. Swanson. (2000). Deciphering culture. London: Routledge. Eneste, P. (2001b). Buku Pintar Sastra Indonesia: Biografi Pengarang dan Karyanya, Majalah Sastra, Penerbit Sastra, Penerjemahan, Lembaga Sastra, Daftar Hadiah dan Penghargaan. Jakarta: Kompas. Fallon, P., Katzman, M.A., &Wooley, S. C. (Eds.). (1994). Feminist perspectives on eating disorders. New York, NY: Guilford Press. Fiske, J. (2004). Introductions to Communication Studies. London: Routledge. Foucault, M. (1980). Power/Knowledge. Random House Incorporated. Gamble, S. (2010). Feminisme & Postfeminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hall, S. (1973). Encoding and Decoding in the Television Discourse. Birmingham: Centre for Contemporary Cultural Studies.
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014
Humm, M. (2002). Modernist Women and Visual Cultures: Virginia Woolf, Vanessa Bell, Photography and Cinema. Rutgers University Press. Iswarani, A. (2003). Wacana Seksualitas dalam Karya Sastra: Analisis Sosiologis Terhadap Larung. Depok. Margono. (2005). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Michener, H. A., DeLamater, J.D., and Myers, D.J. (2004). Social Psychology. (5thed). Belmon: Wadsworth/Thomson Learning. Moleong, L. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasution. (2003). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia. Rampan, K. (1997). Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rogers, M. F. (1999). Barbie Culture. Sage. Sobur, A. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (cetakan ketiga). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sunardi, ST. (2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Synnott, A. (2007). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri & Masyarakat (Edisi Revisi, terjemahan Pipit Maizer). Yogyakarta: PT Jalasutra. Tong, R. P. (2009). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis (Terj. Aquarini P. Prabasmoro). Yogyakarta: Jalasutra. _____________. (1998). Feminist thought, a more Comprehensive Introduction (2nded). Australia: Allen and Unwin. Wolf, N. (1997). Gegar gender: Yogyakarta: Pustaka Semesta Press. _____________. (1991). The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. William Morrow and Company. Sumber Lain: Budiman, M. (2005). Ketika Perempuan Menulis, dalam Jurnal Srinthil: Media Perempuan Multikultural. Jakarta: Desantara. Damono, S.D. (2003). Perempuan Sastrawan: Tren atau Proses Kebangkitan? Jakarta: Kompas. Dita, R. (2012). Pemberontakan Perempuan dalam Novel (Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri Karya Y.B Mangunwijaya). Depok. Melati, L. (2012). Representasi Citra Perempuan Dalam Video Klip (Analisis Semiotika Model Roland Barthes pada Video Klip Brown Eyed Girls Berjudul Sixth Sense). Jakarta: LSPR. Munfarida, E. (2007). Geneologi Kecantikan. Jurnal Ibda. Vol 5, No 2, Desember. Primaniasari, A. (2003). Ideologi dalam Karya Sastra Perempuan (Studi Analisis Wacana Pada Novel Supernova; Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh). Depok. Setijowati. (2008). Representasi Kecantikan Remaja dalam Novel Teenlit. Suryaman, M; Wiyatmi; Nurhadi BW; dan Liliani. (2011). Sejarah Sastra Indonesia Perspektif Gender. Yogyakarta. Wahyudi, I. (2005). Kiprah Perempuan Pengarang di Indonesia Pasca-Saman” dalam Jurnal Srinthil: Media Perempuan Multikultural. Jakarta: Desantara.
Pemaknaan Ayu..., Mariska Prijanka, FISIP UI, 2014