Ungkap Pembantaian 1965, Pers Kampus Di Intimidasi http://www.bergelora.com/nasional/penegakan-hukum/2486-ungkap-pembantaian-1965-pers-kampus-di-intimidasi.html
Sabtu, 24 Oktober 2015
Majalah Mahasiswa, Lentera No 3/2015 yang diterbitkan lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah (Ist)
JAKARTA- Sejumlah aktivis melaporkan ke Komisi Nasional Hak Asazi Manusia (Komnasham), pelarangan peredaran Majalah Lentera, yang diterbitkan lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah. Pelarangan itu dinilai melanggar hak asasi manusia untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka juga melaporkan intimidasi dan interogasi pada hari Minggu, 18 Oktober 2015, yang dilakukan aparat pada Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi Astuti di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V. “Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
1
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” demikian surat yang disampaikan ke Komnasham di Jakarta, Kamis (22/10) lalu. Dibawah ini surat lengkap yang disampaikan ke Komnasham : Jakarta, 22 Oktober 2015 Kepada Yth. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Di Jakarta Dengan hormat, Bersama dengan surat ini, kami perwakilan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan individu bersama-sama menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah”, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga. Kami menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan informasi. Kami juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul “Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga. Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan reportase empat titik
2
pembantaian—Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan. Edisi “Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000. Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta. Publikasi Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia. Pendapat umum itu tentu saja diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik, sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia. Akan tetapi sepekan setelah penerbitan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”, persisnya 16 Oktober 2015, pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dipanggil menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga. Polisi secara sepihak juga menarik peredaran Majalan Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”. Pada Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi LPM Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi Astuti diinterogasi di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V. Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kami menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera melanggar hak konstitusional para awak
3
redaksi LPM Lentera dan masyarakat umum untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi yang ada dalam karya jurnalistik para jurnalis LPM Lentera. Kami juga menilai para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar jaminan Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Melalui pengaduan ini, kami meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempuh segala upaya di dalam kewenangannnya untuk memastikan hal-hal berikut ini:
1.
Penghentian upaya penarikan peredaran Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
2.
Pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik, demi mengembangkan pendapat umum terkait karya-karya jurnalistik dalam Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
3.
Penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
4.
Para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
5.
Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun.
6.
Kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.
Demikian pengaduan ini kami sampaikan. Terima kasih. Hormat kami,
4
1.
Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu
2.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono
3.
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin
4.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar
5.
Social Blogger, Damar Juniarto
6.
Perupa, Dolorosa Sinaga
7.
Peneliti IPT 65, Ayu Wahyuningroem
8.
Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P Wiratraman
9.
Kepala Pusham Unimed, Majda El Muhtaj
10.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin
11.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim
12.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad
13.
Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI Makassar), M Sirul Haq
14.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan
15.
Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesia Development, Mugiyanto
16.
Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib
17.
Direktur Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
18.
Program Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar
19.
Pegiat HAM dan Demokrasi, Zico Mulia
20.
Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari
21.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar
22.
Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto
23.
Manajer Program Yayasan TIFA, R Kristiawan
24.
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra
5
Saat ini memang ada gerakan yang berusaha menutupi setiap upaya pengungkapan kebenaran atas sejarah peristiwa G-30S dan pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang mengawali rezim Orde Baru (Nurhadi)
6