ARTIKEL Judul
PEMBANTAIAN MASSAL PENGIKUT GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DI SETRA PEMASAHAN, DESA PAKRAMAN TIANYAR, KUBU KARANGASEM, BALI DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH DI SMA
Oleh I GEDE PUTRA 1014021043
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
PEMBANTAIAN MASSAL PENGIKUT GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DI SETRA PEMASAHAN, DESA PAKRAMAN TIANYAR, KUBU KARANGASEM, BALI DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH DI SMA Oleh : I Gede Putra, Dra. Desak Made Oka Purnawati, M.Hum., Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) latar belakang sejarah pembantaian massal di Setra Pemasahan yang terdapat di Desa Pakraman Tianyar, Kubu, Karangasem. (2) proses pembantaian terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai anggota dan simpatisan PKI, dan (3) Aspek-aspek dari peristiwa pembantaian di Setra Pemasahan sebagai sumber belajar sejar di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan langkah-langkah, yakni: (1) penentuan lokasi penelitian, (2) penentuan informan, (3) pengumpulan data (teknik observasi, wawancara, studi dokumen), (4) teknik penjaminan keaslian data (triangulasi data, triangulasi metode), (5) teknik analisis data (reduksi data, display data, kesimpulan dan verifikasi), dan (6) penulisan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan tidak dapat dilepaskan dengan gerakan penumpasan G30S diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu juga pembantaian yang terjadi selalu disertai dengan rasa sentimen pribadi. Proses pembantaian massal di Setra Pemasahan berlangsung selama satu hari. Korban pembantaiannya mencapai 150 orang dan mereka merupakan orang-orang yang berasal dari luar Desa Pakraman Tianyar. Aspek-aspek pembantaian massal di Setra Pemasahan yang bisa dikembangkan sebagai sumber belajar sejarah di SMA, yaitu; (1) aspek kognitif (2) aspek afektif dan (3) aspek psikomotor. Kata Kunci: Setra Pemasahan, kuburan massal, pembantaian massal, G30S ABSTRACT This study aimed to determine (1) the background of the massacre in the history of Setra Pemasahan contained in Pakraman Tianyar, Kubu, Karangasem. (2) the massacre of suspected PKI members and sympathizers, and (3) aspects of the massacre at Setra Pemasahan as a learning resource in school history. The method used in this study is a qualitative method steps, namely: (1) determining the location of the research, (2) determination of the informant, (3) data collection (observation, interviews, document studies), (4) the technique guarantees the authenticity of the data (data triangulation, triangulation method), (5) data analysis (data reduction, data display, conclusion and verification), and (6) that the results of the study. The results showed that the background of the massacre in the history of the events Setra Pemasahan can not be released by crushing the movement of the G-30 in various regions in Indonesia. In addition, the massacre is always accompanied by a sense of personal sentiment. The process of mass murder at Setra Pemasahan lasts for one day. Victims of massacre of 150 people and they are people who come from outside Pakraman Tianyar. Aspects of the massacre at Setra Pemasahan that could be developed as a source of learning history in high school, that is; (1) cognitive, (2) the affective aspect and (3) psychomotor aspect. Keywords: Setra Pemasahan, mass graves, mass murder, G-30
1
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mengalami perjalaan sejarah yang cukup panjang. Pada akhir tahun 1965 merupakan sisi gelap dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Munculnya sebuah peristiwa besar yang disebut-sebut sebagai gerakan percobaan kudeta yang menyebabkan terbunuhnya enam Jenderal dan satu Perwira Angkatan Darat. Rentetan peristiwa G30S yang telah menewaskan enam jenderal dan satu Perwira AD (Angkatan Darat) selain telah memicu dikeluarkannya Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang diajukan oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) melalui aksi demonstrasi besar-besaran untuk menyerukan “Tritura” (Tri Tuntutan Rakyat) yakni: (1) turunkan harga, (2) bubarkan PKI, dan (3) bubarkan kabinet, (Crouch, 1999: 186). Melihat situsi di Indonesia menjadi sangat kacau, sementara itu demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari oknumoknum PKI serta tuntutan penurunan harga semakin memuncak. Maka atas perintah Jenderal Soeharto diambil suatu tindakan untuk membubarkan dan melarang PKI serta oganisasi-organisasi underbow-nya di seluruh wilayah Indonesia. hal inilah yang juga telah memicu pelanggaran HAM terbesar berupa pembantaian massal yang terjadi hampir diseluruh daerah di Indonesia, seperti daerah-daerah yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali.
kepada keluarga mereka-mereka yang telah menjadi korban pembantaian antara tahun 1965-1966. Tekanan itu berupa pengecaman terhadap anak dan cucu serta keturunan dari orang-orang yang diduga simpatisan PKI yang dinyatakan “tidak bersih lingkungan” yang artinya mereka tidak bisa melamar dan bekerja sebagai pegawai negeri, militer, polisi, guru, dan jabatan lainya apabila teridentifikasi sebagai keturunan atau berasal dari keluarga yang pro terhadap PKI. Sampai saat ini stigma buruk terhadap orang-orang yang dituduh berideologi kiri masih dilestarikan, meskipun banyak dari mereka yang dituduh tidak tahu apa-apa tentang ideologi kiri. Peristiwa pembantaian massal yang merambat ke seluruh pelosok desa yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali selain dipicu oleh gerakan yang dikenal peristiwa G30S 1965 juga tidak terlepas dari persaingan politik tiga kekuatan besar yaitu Soekarno, PKI, dan TNI AD. Sementara itu, kondisi nasional juga sedang mengalami krisis ekonomi, sosial, dan sedang berlangsungnya perang dingin (Adam, 2009: 149). Berbagai kondisi itulah yang menyebabkan banyak orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban dalam peristiwa pembantaian massal tahun 19651966 di Indonesia. Menurut catatan para pengamat di Barat telah disepakati jumlah korban pembantaian massal pasca peristiwa G30S minimal 500.000 dan maksimal 1.000.000 jiwa. Jumlah korban terbanyak yang terbunuh dalam pembantaian itu terjadi di Jawa Timur dan Bali (Mortimer, Terjemahan_2011: 503). Sementara itu, Adam (2009: 169) menjelaskan bahwa pada bulan Oktober sampai Desember 1965 di Jawa, Sumatera, dan Bali seluruh korbanya diperkirakan mencapai 430.590 jiwa. Adam (2009) juga menjelaskan bahwa Bali juga menjadi salah satu dari beberapa daerah di Indonesia dengan pembantaian yang terganas terhadap orang-orang yang diduga sebagai simpatisan dan anggota PKI. Pembantaian
Pasca peristiwa pembantaian terhadap para simpatisan PKI yang diduga terlibat dalam peristiwa G30S, banyak hal yang dirasakan oleh para anggota PKI maupun orang-orang atau organisasiorganisasi yang berafiliasi dengan PKI. Adam (2009) menguraikan setelah peristiwa pembantaian massal di berbagai daerah, juga masih ada tekanan yang ditujukan 2
massal di Bali hampir terjadi di setiap kabupaten yang ada di Bali, akan tetapi jumlah korban untuk kasus pembantaian di Bali belum dapat diperkirakan secara pasti. Sebab, masih banyak daerah yang menjadi ladang pembantaian di Bali yang masih belum terungkap. Georby Robinson menjelaskan sebelum pembantaian massal di Bali yang begitu ganas, telah terjadi banyak peristiwa yang secara tidak langsung menyebabkan memuncaknya ketegangan antara dua partai besar di Bali, yakni PKI dan PNI yang saling mencari pengaruh di kalangan masyarakat Bali (dalam Suryawan, 2007: 35-36). Melihat kasus pembantaian di Bali Hermawan Sulistyo mengambil konsep “amuk” yang sering dikemukakan oleh penulis Barat sebagai salah satu kata kunci untuk menjelaskan pembantaian yang terjadi di Jawa Timur tahun 1965-1966. Menurutnya, untuk kasus yang terjadi di Bali sebagai daerah ketiga dalam kuantitas korban pembantaian pada tahun-tahun tersebut, apakah hal ini dapat dihubungkan dengan konsep kerasukan (kerauhan) / kemasukan yang memang dikenal dalam budaya lokal di Bali (dalam Adam 2007: 121). Suryawan (2010) menguraikan untuk menyaingi jumlah pendukung PKI yang sudah cukup besar di Bali, maka PNI juga meningkatkan pendukungnya dengan membuka cabang-cabang PNI di setiap kabupaten yang ada di Bali seperti di Kabupaten Buleleng, Badung, Negara, Gianyar, Karangasem, dan kabupatenkabupaten lainnya di Bali. Suryawan (2010) juga menguraikan bahwa pendukung dari kedua partai besar ini juga berusaha untuk saling serang seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jembrana dan Singaraja. Di Bali Timur, yakni di Kabupaten Karangasem persaingan dan ketegangan politik antara PKI dan PNI secara tidak langsung juga berimbas pada pilihan politik masyarakat setempat. Seperti masyarakat di Desa Pakraman Tianyar yang tidak
berani menggunakan pakaian berwarna merah agar bisa terhindar dari gerakan penumpasan PKI dan organisasi-organisasi bawahannya. Desa Pakraman Tianyar merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan sebagai daerah pembantaian massal di Karangasem. Kuburan massal yang digunakan dalam penumpasan orang-orang yang di PKI-kan yang ada di Desa Pakraman Tianyar sekarang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Setra Pemasahan. Lokasi Setra Pemasahan terletak di ujung timur Desa Pakraman Tianyar (tepatnya di Banjar Dinas Darma-winangun, Desa Dinas Tianyar). Setra Pemasahan diartikan sebagai kuburan yang digunakan untuk penguburan massa atau kuburan massa (orang-orang yang di PKI-kan). Adapun mereka yang menjadi korban pembantaian di tempat ini adalah orangorang yang berasal dari luar daerah Desa Pakraman Tianyar. Berdasarkan pemaparan di atas, maka di pandang penting untuk mengkaji lebih jauh tentang peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan, Tianyar. Di samping berbagai keunikan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis ingin mengkaji lebih mendalam mengenai peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan dan potensinya sebagai sumber belajar sejarah di SMA. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan dan penelitian tentang keberadaan kuburan-kuburan massal yang ada di Bali khususnya yang ada di Kabupaten Karangasem yaitu Desa Pakraman Tianyar. Tujuan penelitan ini yaitu Untuk mengetahui: (1) latar belakang sejarah pembantaian massal di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar, (2) proses pembataian orang-orag yang di PKI-kan, dan (3) Untuk mengetahui aspek-aspek dari peristiwa pembantaian di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar yang dapat dikembangkan sebagai sumber belajar sejarah di SMA. 3
METODE PENELITIAN Penelitian mengenai peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan dan potensinya sebagai sumber belajar sejarah di SMA menggunakan metode penelitain kualitatif. Adapun dalam meerapkan metode penelitian kualitatif, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) menentukan lokasi penelitian. Lokasi yang dituju yakni Desa pakraman Tianyar tepatnya di Banjar Adat Bila; (2) Menentukan informan. Informan yang dituju untuk memperoleh informsi yaitu Ida Nyoman Darma yaitu Kelian Desa Pakraman Tianyar, Jero Mangku Ketut Geriya selaku wakil Kelian Desa Pakraman Tianyar, I Gede Suadi S.H, merupakan Kepada Desa Dinas Tinyar, serta beberapa tokoh masyarakat lokal, seperti Jero Mangku Made Intaran (pemangku Pura Puseh), I Gede Bukit (informan kunci), Made Kiter, I Gede Sukra, I Gede Wida, I Made Keten, I Made Konyolan,S.Pd., Drs. Wayan Dana dan I Made Sumadiyasa. Aspek yang diwawancarai peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan dan potensinya sebagai sumber belajar sejarah di SMA; (3) Teknik pengumpulan data (wawancara, observasi dan studi dokumen); (4) Teknik penjamin keabsahan data (triangulasi data dan triangulasi metode); (5) Teknik analisis data dan (6) teknik penulisan induktif.
Setra Pemasahan yang terdapat di ujung timur Desa Pakraman Pakraman Tianyar. Lokasi pembantaian ini terletak di dekat pantai dan sekarang sudah ditutupi oleh pohon mangga dan kelapa. Kondisi lokasi pembantaian ini sudah tidak terawat lagi semenjak meletus gerakan penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966. Latar belakang pembataian massal orang-orang yang di PKI-kan tidak dapat dapat dilepaskan dari peristiwa G30S 1965 di Jakarta. Peristiwa G30S 1965 yang disebut-sebut sebagai bentuk kudeta dan telah menewaskan 6 (enam) jenderal dan 1 (satu) perwira Angkatan Darat juga menjadi faktor penyebab utama lahirnya gerakan penumpasan orang-orang yang tidak bersalah di berbagai daerah di Jawa dan menyebar sampai di Desa Pakraman Tianyar. Pembantaian yang dilakukan di Desa Pakraman Tianyar sama ganasnya dengan tragedi pembantaian di daerahdaerah lainnya di Bali. Ganasnya tragedi pembantaian yang terjadi di Desa Pakraman Tianyar juga tidak lepas dari pengaruh kelompokkelompok tertentu (musuh-musuh PKI) yang ada di Bali yang membangun sikap sentimen pribadi penduduk di Desa Pakraman Tianyar. Sentimen pribadi yang berkembang di tengah-tengah penduduk di Desa Pakraman Tianyar berhasil dibangun dengan memanfaatkan situasi penduduk yang sedang diselimuti oleh berbagai konflik intern, seperti konflik tanah dan pura yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadinya peristiwa G30S 1965. Namun perpecahan penduduk di Desa Pakraman Tianyar akibat konflik tanah yang masih berkembang sampai meletusnya peristiwa G30S 1965 inilah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun sikap sentiment penduduk setempat terhadap pendukung-pendukung PKI. Selain konflik intern di antara penduduk setempat akibat perebutan tanah dan pura, pada tahun 1963 meletusya Gunung Agung memuntahkan laharnya ke Desa Pakraman Tianyar. Muntahan lahar
HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Sejarah Pembantaian Massal di Setra Pemasahan di Desa Tianyar Pembantaian massal antara tahun 1965-1966 merupakan suatu bentuk kekerasan pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di berbagai daerah di Bali, khususnya di Desa Pakraman Tianyar, Kubu, Karangasem. Tempat pembantaian massal terhadap orang-orang yang di PKI-kan yang terdapat di Desa Pakrama Tianyar oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama 4
Gunung Agung pada saat itu menyebabkan sebagian besar penduduk di sebelah utara Gunung Agung itu harus menghadapi bencana kemiskinan dan kelaparan yang cukup lama. Banyak di antara mereka yang mengungsi ke daerah yang lebih aman. Banyak juga dari penduduk di Desa Pakraman Tianyar yang masih bertahan di desanya dan mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menukarkan barang-barang yang mereka miliki ke desadesa lainnya untuk memperoleh bahan makanan. Tragedi letusan Gunung Agung pada tahun 1963 yang sekaligus menyebabkan penduduk di Desa Pakraman Tianyar mengadapi kemiskinan dan kelaparan juga digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi penduduk cara pandang penduduk Desa Pakraman Tianyar terhadap pendukung-pendukung PKI. Tidak hanya di Desa Pakraman Tianyar, letusan Gunung Agung juga digunakan sebagai jembatan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat di berbagai daerah di Bali. Suryawan (2010) menguraikan meletusnya Gunung Agung sering dijadikan alasan untuk melakukan pembantaian massal terhadap pendukungpendukung PKI menjelang akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966 di Bali. Letusan Gunung Agung pada tahun 1963 dipandang sebagai akibat dari campur tangan Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainya dalam menetapkan waktu dan tatanan upacara di Bali.
dikirim ke Desa Pakraman Tianyar dari berbagai daerah di Kabupaten Karangasem, seperti Cicang, Papung, dan Bongaya, Jasri, Subagan, dan daerah lainnya. Meskipun ada beberapa penduduk Desa Pakraman yang menjadi korban gerakan penumpasan G30S, namun mereka tidak dieksekusi di ladang pembantaian ini. Ada dari mereka (penduduk Desa Pakraman Tianyar yang dicurigai atau dituduh anggota dan simpatisan PKI ) yang melarikan diri ke daerah pegunungan dan ada juga yang bunuh diri dengan menggantung dirinya. Pembantaian terhadap simpatisan PKI di Desa Pakraman Tianyar terjadi sekitar awal tahun 1966 berlangsung dan selama satu hari. Seminggu sebelum Desa Pakraman Tianyar mendapat kiriman Massa (orangorag merah) dari berbagai daerah, di Desa Pakraman Tianyar juga telah terjadi aksi penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh orang-orang “merah” di Dusun Karobelahan, wilayah perbekelan Tianyar Barat oleh rombongan yang datang dari Tejakula. Namun, aksi penangkapan yang dilakukan di Desa Pakraman Tianyar itu segera dihentikan ketika rombongan itu bergerak menuju wilayah perbekelan Tianyar dan Tianyar Tengah. Aksi penangkapan yang dilakukan rombongan yang datang dari wilayah sebelah barat Desa Pakraman Tianyar itu akhirnya dihentikan setelah ada kesepakan antara kedua belah pihak (massa dari Tejakula dengan penduduk Desa Pakraman Tianyar). Penduduk Desa Pakraman Tianyar meminta agar penumpasan terhadap orang-orang “merah” yang ada di Desa Pakraman Tianyar diserahkan kepada penduduk setempat. Sehari sebelum pembantaian itu dilakukan Para tameng yang ada di Desa Pakraman Tianyar telah diminta untuk menyiapkan tempat pembantaian. Pukul 20.00 WITA lubang-lubang kubur itu pun digali, mereka bekerja dengan alat seadanya dan dilengkapi dengan delapan buah “Trongking” untuk menerangi tempat
Proses Pembantaian Terhadap Simpatisan PKI di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar Setra Pemasahan merupakan sebuah nama kuburan yang pernah digunakan untuk penguburan massa antara tahun 1965-1966. Adapun massa yang dikubur ditempat ini adalah mereka yang dicurigai dan dituduh sebagai pendukung PKI. Korban pembantaian massal di tempat ini diperkirakan mencapai 150 orang. Mereka adalah simpatisan PKI yang 5
mereka menyiapkan lubang kubur yang dibutuhkan. Penggalian lubang kubur yang dilakukan sejak pukul 20.00 WITA diperkirakan baru selesai pada pukul 04.00 WITA. Tepat pukul 04.00 WITA suara truk pengangkut orang-orang yang di PKI-kan itumulai terdengar dari arah timur. Pembantaian massal di Setra Pemasahan ini dilakukan selama satu hari dan dibagi atas dua gelombang.Truk pengangkut para simpatisan dan anggota PKI pada gelombang pertama berjumlah 1 (satu) truk yang diiringi oleh truk yang mengangkut sejumlah tentara. Diperkira mereka yang ada di dalam truk pertama itu berjumlah sekitar lima puluh orang dari berbagai daerah di luar Desa Pakraman Tianyar. Menjelang pembantaian itu dilakukan, tempat pembantaian itu telah dikelilingi para tentara dengan persenjataan lengkap. Mereka berbaris melingkar dari sisi sebelah timur, utara, barat dan selatan. Sementara itu, relawan-relawan yang didatangkan dari Desa Pakraman Tianyar telah diberikan tugas masing-masing, beberapa dari mereka bertugas untuk melakukan eksekusi di depan liang kubur itu, dan sisanya bertugas untuk menyambut, mengikat dan menggiring manusia-manusia “merah” yang diturunkan dari truknya. Pembantaian pada gelombang pertama berakhir kira-kira pukul 08.00 WITA. Kemudian disusul dengan penumpasan gelombang kedua dengan mendatangkan dua rombongon dari arah yang sama. Aksi penumpasan pada gelombang kedua ini berlangsung dari pukul 08.00-16.00 WITA. Proses pembantaian pada gelombang kedua tidak jauh berbeda dengan gelombang pertama. Mereka diturunkan dari truk satu demi satu dan hidupnya berakhir di liang kubur yang telah dipersiapkan oleh para tameng di Setra Pemasahan Tianyar. Sebenarnya mereka yang menjadi korban pembantaian di Desa Pakraman Tianyar ketika mereka diangkut dari desanya, mereka dikatakan akan diajak bekerja dan juga mengungsi keluar daerah.
Karena alasan itulah yang menyebabkan mereka bersedia diangkut dengan truk. Mereka juga membawa segala keperluan dan peralatan hidup mereka, bahkan perhiasan yang mereka miliki. Adapun barang-barang yang mereka bawa seperti bakul (tempat makanan), perhiasan kalung, jam tangan, dan cincin. Namun, baraangbarang dan perhiasan yang mereka bawa itu akhirnya dirampas ketika mereka diturunkan dari truk di lokasi pembantaian. Jumlah 150 orang yang terbunuh di Setra Pemasahan Tianyar merupakan angka yang tidak sedikit untuk menambah jumlah korban pembantaian pasca Gerakan 30 September 1965 di Bali. Banyak di antara mereka yang menjadi korban keganasan massa tidak mengetahui apa kesalahan mereka dan mengapa mereka harus diburu dan dibunuh dengan cara yang keji. Selama masa pembantaian di Desa Pakraman Tianyar, satu pun penduduk di Desa Tianyar tidak ada yang berani menggunakan pakaian berwarna merah, sebab warna merah untuk kasus pembataian massal di Desa Tianyar adalah simbol bagi para pengikut-penikut PKI. Pembantaian pasca G30S telah menimbulkan trauma berkepanjangan pada masyarakat yang secara langsung menyaksikan dan mengalami peristiwa berdarah itu. Banyak Mereka yang ikut membantu dalam proses penumpasan orang-orang “merah” khususnya yang ada di Desa Pakraman Tianyar belum berani menceritakan kisah hidup mereka pada masa pembantaian massal antara tahun 1965-1966. Mereka lebih suka menutup diri dan berusaha untuk tidak mengingat peristiwa kelam itu. Bahkan ada salah satu “saye” yang lebih memilih untuk tinggal di sebuah rumah yang beratapkan dauh kelapa, berdinding anyaman bambu, dan berlantai tanah, meskipun anaknya telah membuatkannya sebuah tempat tinggal yang layak. Para pelaku penumpasan pada saat itu dihadapkan pada dua pilihan, antara hidup dan mati. Apa bila mereka ingin hidup 6
dan melindungi keluarganya, maka mereka harus membunuh orang-orang yang dituduh sebagai pendukung PKI meskipun itu adalah saudara mereka sendiri. Dan apabila mereka menolak maka mereka akan dianggap sebagai pendungkung PKI dan mereka bahkan keluarganya juga harus mengalami hal yang sama dengan simpatisan-simpatisan PKI lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terkadang terjadi pertumpahan darah dengan saudaranya sendiri. Sementara itu, lokasi pembantaian terhadap simpatisan dan orang-orang yang dituduh mendukung gerakan-gerakan PKI saat ini sudah tidak terpelihara lagi, bahkan lahannya sempat dijual kepada investor asing. Namun lokasi ini kemudian ditinggalkan begitu saja. dan sekarang ini bekas-bekas kuburan yang ada sudah ditutupi oleh rumput-rumput liar dan daundaun pohon yang kering.
pembelajaran sejarah yang lebih kreatif, efektif dan efisien. Maka dari itulah, perlu diketahui aspek-aspek yang terdapat di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar yang bisa dikembangkan menjadi sumber pembelajaran Sejarah di SMA. Aspek-aspek yang dimiliki pada sejarah kuburan massal Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar Sejarah di SMA yaitu sebagai berikut: Aspek Kognitif Aspek kognitif dari Setra Pemasahan yang bisa dikembangkan oleh guru sejarah untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran sejarah adalah sejarah peristiwa pembantaian massal terhadap orang-orang yang “di PKI-kan” sebagai sebuah gerakan penumpasan Gerakan 30 September 1965 dan juga bukti fisik dari peristiwa itu berupa kuburan massal yang disebut Setra Pemasahan. Bekas-bekas liang kubur yang digunakan untuk penguburan massal mayat simpatisan dan anggota PKI saat ini masih bisa kita temukan yaitu berupa gudukangundukan tanah yang dikelilingi tumpukantumpukan batu dipinggir-pinggirnya. Gundukan-gudukan itu sekarang tanahnya sudah tidak rata lagi. Selain itu, dalam mempelajari peristiwa G30S 1965 dan gerakan penumpasannya tentu saja seorang guru tidak cukup hanya dengan menyampaikan latar belakang peristiwa G30S 1965 dan gerakan penumpasannya pada tingkat nasional. Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan kurikulum 2013 maka seorang guru selain menyampaikan peristiwa yang bersifat nasional juga perlu menyampaikan peritiwa-peristiwa yang bersifat lokal, khususnya bagaimana penumpasan G30S yang juga pernah terjadi di sekitar peserta didik, selain itu juga guru penting untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah yang ada di sekitar siswa untuk menguatkan materi yang disampaikan oleh guru. Setra Pemasahan di Desa Pakraman Tianyar merupakan salah satu objek bersejarah
Aspek-Aspek yang Bisa Dikembangkan Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA Dari Peristiwa Pembataian Massal Kuburan Massal Di Setra Pemasahan Materi sejarah di era reformasi sudah banyak sumber sejarah yang dapat digunakan khususnya tentang Gerakan 30 September. Sementara itu, pada kurikulum 2013 ditekankan agar guru sejarah dan siswanya dapat menggali dan memanfaatkan lingkungan siswa sebagai sumber belajar, maka dari itu Setra Pemasahan sebagai salah satu tempat bersejarah dapat juga kembangkan sebagai sumber belajar sejarah. Setra Pemasahan di Desa Pakraman Tianyar merupakan salah satu tempat yang bisa dikunjungi. Memang tempat masih belum terungkap dalam bukubuku sejarah yang ada, akan tetapi keberadaan kuburan ini memiliki potensi yang relevan untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran sejarah. peristiwa bersejarah yang tersimpan di balik Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar tentunya dapat digunakan sebagai alternatif bagi guru sejarah untuk mengajarkan materi 7
yang bisa digunakan oleh guru dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi antara tahun 1965-1966. Sejarah peristiwa pembantaian di Setra Pemasahan selain dapat digunakan sebagai sumber belajar pada materi sejarah yang dimuat dalam kurikulum 2013 di SMA untuk mata pelajaran wajib kelas XII, keberadaannya juga dapat digunakan sebagai sumber belajar untuk mata pelajaran sejarah peminatan di tingkat SMA.
sebuah tugas penelitian dari guru mata pelajaran sejarah, maka secara langsung peserta didik dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari di kelas X (sepuluh) yaitu penerapan materi tentang langkahlangkah penelitian sejarah. Sehingga melalui penelitian yang dilakukan peserta didik juga akan memiliki keterampilan meneliti. Berdasarkan pemaparan ketiga aspek di atas, maka peristiwa pembantaian di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar akan memberikan pemahaman kepada peserta didik, mengandung nilainilai moral, dan juga dapat memberikan peserta didik sebuah keterampilan baik dalam hidup bermasyarakat maupun keterampilan dalam memecahkan masalah, serta keterampilan untuk melaksanakan penelitian.
Aspek Afektif Dalam belajar sejarah, bukan semata-mata mempelajari tentang peristiwa pada masa lampau, akan tetapi ada banyak nilai yang harus digali dari peristiwaperistiwa itu dan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan sikap bahkan dalam mengambil sebuah keputusan. Proses pembelajaran yang harus dilaksanakan bukan lagi hanya menyampaikan dan menyalurkan ilmu pengetahuan semata. Akan tetapi, guru harus dapat mengarahkan siswa / peserta didik agar dapat menemukan makna dari kegiatan belajarnya. Aspek afektif yang bisa diperoleh melalui Setra Pemasahan berupa pengembangan sikap dari peristiwa penumpasan G30S di Desa Pakraman Tianyar bahwa apa yang pernah terjadi di Setra Pemasahan Tianyar akan memberikan pemahaman kepada peserta didik agar selalu waspada dan tidak terlibat dalam kelompok-kelompok yang selalu melahirkan bibit-bibit konflik apalagi sampai mengganggu kelompok lain, karena itu akan menimbulkan peselisihan antarsesama.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai “Pembantaian Massal Pengikut Gerakan 30 September 1965 di Setra Pemasahan, Desa Pakraman Tianyar, Kubu, Karangasem Bali dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA”, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Setra Pemasahan ini merupakan satu-satunya tempat pembantaian massal bagi orang-orang yang dicurigai bahkan dituduh sebagai pendukung PKI yang ada di Desa Pakraman Tianyar. Latar belakang sejarah pembantaian massal di Setra Pemasahan tidak bisa dilepaskan dari peristiwa pembantaian massal terhadap para anggota dan simpatisan PKI yang terjadi antara tahun 1965-1966 di berbagi daerah di Jawa, Sumatera, dan Bali. Tragedi pembataian massal di Setra Pemasahan berlangsung selama satu hari yaitu sejak pukul 04.00 Wita sampai pada pukul 16.00 Wita dan dilakukan dengan dua gelombang. Pembataian di tempat ini telah merenggut nyawa sebanyak 150 orang. Korban pembantaian itu merupakan orang-
Aspek Psikomotor Selain memiliki aspek kognitif dan afektif, sebagai sumber belajar sejarah keberadaan Setra Pemasahan juga memiliki aspek psikomotor. Aspek psikomotor merupakan aspek-aspek yang behubungan dengan pengembangan keterampilan peserta didik. Dengan melaksanakan 8
orang yang dicurigai sebagai pendukung PKI yang berasal dari luar daerah Desa Pakraman Tianyar. Desa Pakraman Tianyar pada saat peristiwa pembantaian massal antara tahun 1965-1966 hanya mendapat kiriman yang jumlahnya diperkirakan mencapai 150 orang yang berasal dari beberapa daerah yang ada diKabupaten Karangasem. Peristiwa pembantaian massal G30S 1965 di Setra Pemasahan dapat digunakan sebagai sumber belajar sejarah untuk mencapai setiap kompetensi dasar yang dijabarkan pada mata pelajaran sejarah wajib dan mata pelajaran sejarah peminatan di SMA. Sebab peristiwa pembantaian massal di Setra Pemasahan selain memiliki ke tiga aspek di atas, juga memiliki muatan sejarah lokal yang dapat dikembangkan dalam mata pelajaran sejarah peminatan pada kurikulum 2013 di SMA. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, adapun saran yang disampaikan anatara lain: Kepada seluruh masyarakat Desa Pakraman Tianyar pada umumnya dan generasi muda khususnya agar dapat menjaga dan melestarikan peninggalanpeninggalan sejarah yang ada Desa Pakraman Tianyar termasuk Setra Pemasahan yang terdapat di wilayah Desa Dinas Tianyar. Kepada pemerintah daerah maupun pusat supaya lebih memperhatikan dan ikut bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan peninggalanpeninggalan sejarah yang terletak di daerah pedesaan, khususnya yang ada di Desa Pakraman Tianyar. Sehingga peninggalan-peninggalan sejarah yang ada selain memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi tidak hilang begitu saja. Sebab keberadaannya sangat penting bagi pembelajaran sejarah di sekolahsekolah. Kepada para paneliti, khususnya peneliti yang mengkaji tentang peristiwa pembantaian massal di Bali, hendaknya dapat melanjutkan penelitian mengenai
peristiwa pembantaian massal yang lebih mendalam di Desa Pakraman Tianyar, khususnya pada hal-hal yang belum mampu diungkap dalam penelitian ini. Kepada Guru Mata Pelajaran Sejarah hendaknya lebih menggali potensi yang ada di Desa Pakraman Tianyar yang dapat dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah, salah satunya Setra Pemasahan. Ucapan terima kasih ditunjukan pada: Dra Desak Made Oka Purnawati, M.Hum selaku pembimbing I dan sekaligus pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya kepada penulis, memberikan pengetahuannya, membimbing dan memotivasi penulis dalam penyusunan artikel ini sehingga berjalan lancar dan dapat terselesaikan dengan baik. Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum. selaku pembimbing II yang juga telah meluangkan waktunya kepada penulis, membimbing dan memotivasi penulis dalam penyusunan artikel ini sehingga berjalan lancar dan dapat terselesaikan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Comunism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965 (Penerjemah: Yudi Santoso, cet.I). Yogyakarta: pustaka Pelajar. Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak ________________. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah (Kontroversi Pelaku dan Peristiwa). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Suryawan, I Ngurah. 2007. Ladang Hitam di Pulau Dewata: Pembantaian 9
Massal di Bali 1965. Yogyakarta: Galang Press. _________________. 2010. Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara. Jakarta: Prenada Media Group.
10