i
ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
Seniman / Artists Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, Yaya Sung
Kurator / Curator Angga Wijaya
iv Proyek Seni Perupa Perempuan - Dewan Kesenian Jakarta A Women Artists Project of the Jakarta Arts Council
Wani Ditata Project Konstruksi Perempuan dalam Birokrasi Negara Women Construction through State Bureaucracy Seniman / Artists Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, Yaya Sung Kurator / Curator Angga Wijaya
Penanggung Jawab / Steering Commite Komite Seni Rupa - Dewan Kesenian Jakarta Visual Arts Commitee of Jakarta Arts Council Penulis / Writer Angga Wijaya, Hafiz Rancajale, Irawan Karseno, Julia Suryakusuma, Manneke Budiman, Maulida Raviola Penyunting / Editor Deasy Elsara Pentranskripsi / Transcriber Ope’ee Wardany Penerjemah | Translator Gesyada Anita Namora Siregar, Mirza Jaka Suryana, Ninus D. Andarnuswari Penyelaras Bahasa / Proofreader Helly Minarti Desain Grafis / Graphic Designer Riosadja Ilustrasi Sampul / Cover Ilustration Diambil dari Kartu Menuju Sehat, terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 Taken from Card Towards Health, published by the Ministry of Health of the Republic of Indonesia in 2007 Foto / Photo Eva Tobing, Joel Thaher, M. Hasrul Indrabakti Percetakan | Printing Rinam Antartika (Isi di luar tanggung jawab percetakan)
Komite Seni Rupa - Dewan Kesenian Jakarta Visual Arts Commitee of Jakarta Arts Council Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No.73 Jakarta 10330 T: +62 21 31937639 • E:
[email protected] • W: dkj.or.id
v
Dewan Kesenian Jakarta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ ada lah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
The Jakarta Arts Council The Jakarta Arts Council (Dewan Kesenian Jakarta – DKJ) is one of several organizations founded by Indonesian artists and had been officially stated by The Governor of Jakarta, Ali Sadikin, on June 17, 1968. The responsibility and the function of the The Jakarta Arts Council are to build partnership with the Governor of Jakarta, formulating policies for supporting the activities and development of the arts in the capital region.
vi Daftar Isi / Table of Contents
ix
xi
PENGANTAR Proyek Seni Berbasis Riset
INTRODUCTION Art Project Based on Research
xiii
xv
PENGANTAR Proyek Seni Perempuan
INTRODUCTION Women’s Art Project
2
18
ESAI KURATORIAL Orde Baru, Kesenian, dan Konstruksi Perempuan
CURATORIAL ESSAY The New Order, Art and Woman as Construct
AUDIENSI
TALKS
34
68
vii
104
132
MAKALAH DISKUSI Ibuisme Negara: Pengambilalihan dan Distorsi Keperempuanan Orde Baru di Indonesia
DISCUSSION PAPER State Ibuism: Acquisition and Distortion of Womanhood during New Order Era in Indonesia
174
180
MAKALAH DISKUSI Keberanian dan Kepengaturan: Membaca Kembali Dharma Wanita dan Warisannya pada Perempuan Kini
DISCUSSION PAPER Courage and Submission: Rereading The Dharma Wanita and Its Legacy on Today’s Woman
MAKALAH DISKUSI Nasib adalah Kesunyian Wanita dan Pemuda
DISCUSSION PAPER Solitude is the Fate for Women and Youth
200
216 236 216 236
208
KARYA / ART WORKS
FOTO / PHOTOS
KERABAT KERJA / THE COMMITTEE
UCAPAN TERIMA KASIH / ACKNOWLEDGEMENTS
viii
ix Pengantar Dewan Kesenian Jakarta
Proyek Seni Berbasis Riset
A
da banyak tanggapan yang muncul selepas proyek seni Wani Ditata Project dilaksanakan. Kritik, pujian, serta ulasan dalam beberapa
media hadir untuk memberi pandangannya terhadap program ini. Hal ini terutama sekali karena Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan proyek seni dengan konsep riset yang kuat sebagai landasan utama dan juga menyoroti perkembangan perupa muda perempuan di Jakarta. Secara lebih spesifik, kurator muda Angga Wijaya memilih Dharma Wa nita sebagai topik untuk diolah menjadi bahan ber karya dari delapan seniman. Hasil riset selama em pat bulan, terhitung sejak Juni tersebut kemudian dipresentasikan kepada publik di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Buku yang akan Anda baca ini merupakan penggenapan dari seluruh rangkaian kerja proyek seni perupa perempuan Dewan Kesenian Jakarta: Wani Ditata Project. Buku ini merangkum pembacaan yang terjadi selama proses riset berlangsung serta memberikan wacana segar dengan mengundang para ahli di bidangnya untuk turut menuliskan pemikiran mereka.
x Proyek seni ini merupakan salah satu cara untuk membebaskan jeratan paradigma atas perempuan yang selama ini dibentuk oleh lingkungannya: agama, budaya, serta masyarakat. Proyek seni ini menjadi semacam upaya menggali dan melakukan pembacaan kembali atas sekelumit narasi sejarah yang memiliki pengaruh penting atas perkembangan kehidupan perempuan saat ini. Contoh sederhana mengenai pembacaan posisi perempuan sebenarnya dapat kita temukan dalam hikayat Ramayana. Di sana, pandangan Dasamuka dan Rama menjadi penentu kadar kesucian Sinta, hingga harus dibuktikan dengan membakar diri. Persoalan ini masih bisa kita temukan dalam masyarakat kita dalam memandang posisi perempuan. Untuk itulah, pandangan stereotipikal semacam itu harus terus dilawan, dengan cara-cara yang menarik, unik, dan juga mendidik. Dengan kehadiran proyek seni semacam ini, saya pikir akan menjadi salah satu cara yang potensial untuk menjangkau masyarakat luas serta menyebarluaskan pengetahuan di dalamnya. Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini dapat memperkaya pemikiran kita semua mengenai peran dan posisi perempuan di era kontemporer. Selamat membaca!
Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
xi Introduction Jakarta Arts Council
Art Project Based on Research
W
e got quite responses after we did the Wani Ditata Project. Criticism, rave reviews and analysis in several media emerged
to comment on this program. This is especially due to the fact that the Jakarta Arts Council (DKJ) did an art project which deploys a strong research-based concept and at the same time also focuses on the development of young female artists in Jakarta. More specifically, the young curator Angga Wijaya opted for Dharma Wanita as subject matter that became the shared theme for the eight selected artists to work on. The result of this four-month research - which had been conducted since last June - was then presented in an exhibition to the public at the Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. The book that you’re going to read is the final lid to close this series of Wani Ditata Project, an art project designed for young female artists. This book sums up the reading that took place during the research process as well as gives it a fresh discourse by inviting some experts to also contribute their thoughts around and about the project.
xii This art project is one way to untangle the complicated paradigm over women as shaped by their surroundings: religion, culture and society. It is an attempt to explore and re-read this slice of historical narrative which significantly influences today’s women development. A simple example of reading the position of women in the society can be traced back as far as the Ramayana story. In this tale, the opinions of Dasamuka and Rama – the main male opposite characters – define the purity of Sinta – the female protagonist – which she is forced to prove by jumping into the fire. We can still find this problematic perspective in our contemporary society today. Hence, such stereotypical perspective needs to be challenged by employing interesting, unique as well as educational approaches. I think conducting such art project like Wani Ditata shows one potential way to reach out to a larger audience whilst at the same time disseminate the knowledge. I hope that the writings in this book will enrich our understanding about the role and position of women in contemporary time. Happy reading! Irawan Karseno Chairman Jakarta Arts Council 2013-2015
xiii Pengantar Komite Seni Rupa - Dewan Kesenian Jakarta
Proyek Seni Perempuan
D
alam beberapa tahun terakhir, istilah proyek seni sering muncul dalam berbagai diskusi dan tulisan seni rupa di Indonesia.
Seni sebagai sebuah proyek—di mana di dalamnya terdapat berbagai kemungkinan pengembangan ide, baik secara kolaborasi dan individu—memang tidak terlalu dekat dengan sejarah seni rupa kita. Namun, jika merujuk pada sejarah, yang telah dilakukan oleh para founding father seni rupa modern kita
sebenarnya ada yang sudah mengarah pada bentuk proyek seni seperti yang kita terjemahkan saat ini. Lihat saja proyek poster revolusi pasca-kemerdekaan Indonesia yang digagas oleh S. Sudjojono dan Affandi bersama Seniman Indonesia Muda (SIM). Ia tidak hanya meletakkan seni sebagai kegiatan mendedah estetika rupa, namun menjadi alat perjuangan yang berkolaborasi dengan para penulis pada masa itu, seperti Chairil Anwar. Seni rupa sebagai sebuah proyek seni memang tidak berkembang di Indonesia karena kecenderungan subjektivitas seniman dan orientasi untuk memproduksi kebendaan berupa ‘karya’ sebagai hasil akhir. Sebuah proyek seni
xiv menuntut keterbukaan dalam mengembangkan ide sebagai proses kerja. Keterbukaan itu bisa jadi berkolaborasi dengan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan kesenian. Mulai tahun 2015, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (SR-DKJ) menginisiasi proyek seni seniman perempuan: Wani Ditata
Project. Proyek seni ini adalah sebuah respons Komite SR-DKJ ter ha dap perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, bahwa kegiatan seni yang mengarah pada riset dan fokus pada isu tertentu menjadi sangat relevan saat ini. Relevansi proyek seni ini adalah bagaimana pengembangan kegiatan kesenian dengan durasi tertentu dan mendalami satu subjek wacana akan sangat berdampak pada perkembangan seni rupa kontemporer—di mana dalam proses kerja sebuah proyek seni terdapat produksi ilmu pengetahuan yang akan didistribusikan di akhir proyek.
Wani Ditata Project dengan sengaja mengundang delapan seni man perempuan dari Jakarta dan kurator muda Angga Wijaya sebagai fasilitator dalam mengembangkan proyek seni ini. Tujuan mengundang seniman perempuan adalah untuk membaca perkembangan seni rupa kontemporer di Jakarta, di mana seniman perempuan juga menjadi pemain utama saat ini. Sejak berdiri, Komite SR-DKJ belum pernah secara khusus meletakkan isu perempuan ini dalam programprogramnya. Untuk itulah Komite SR-DKJ merasa perlu secara khusus mengembangkan proyek seniman perempuan, sekaligus untuk merangkum wacana sosial-politik kebudayaan yang dibaca melalui seniman-seniman perempuan. Semoga saja proyek seni ini dapat berkembang dan berkontribusi bagi perkembangan seni rupa kontemporer kita. Salam, Hafiz Rancajale Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
xv Introduction Visual Arts Committee of the Jakarta Arts Council
I
Women’s Art Project
n the last few years, the phrase ‘art project’ has been appearing in various art discussions and writings in Indonesia. Art as a project—referring to various
possibilities of art development, both in collaboration and individually—has not been familiar in our art history. However, with the gift of hindsight, what the founding fathers of our modern art did actually led to the art project the way we interpret it nowadays. One simply can look at the project of Indonesian post-independence revolution poster, initiated by S. Sudjojono and Affandi together with Seniman Muda Indonesia, SIM (Indonesian Young Artists). S. Sudjojono laid down the foundation of art not just as an activity to investigate the aesthetic, but also as a means of struggle in collaboration with writers of the era, such as Chairil Anwar. Art as an art project hasn’t seen much development in Indonesia due to artists’ inclination of subjectivity and orientation to produce materiality, meaning work of art or object-based, as the end result. An art project in its process requires openness to develop what constitutes as 'art'. This openness takes collaborative form of carrying out an activity that seems to have nothing to do with art.
xvi In 2015, the Visual Arts Committee of the Jakarta Arts Council started a women artists’ project called Wani Ditata Project. This project is the Visual Arts Committee’s response to the Indonesian contemporary art development, taking into account the fact that art activities based on research and focusing on certain issues are becoming increasingly relevant today. The relevance of such project shows how art activity developed within a certain period of time and delving into a subject of discourse will have a significant impact on the contemporary art development—in the process production of knowledge also takes place that will be distributed by the end of the project. Wani Ditata Project deliberately invites eight women artists of Jakarta and a young curator, Angga Wijaya, to facilitate this project’s development. The objective of inviting these women artists is to read the Jakarta contemporary art development in which they become the main players nowadays. Since its conception, the Visual Arts Committee of JAC has never particularly raised women issues in its programs. Thus the committee felt the need to specifically establish a women artists’ project while at the same time collecting the cultural, social and political discourses read through these artists. Hopefully this project will thrive and contribute to our contemporary art development. Sincerely yours, Hafiz Rancajale Chairman of Visual Arts Committee Jakarta Arts Council 2013-2015
1
2
Esai Kuratorial
Orde Baru, Kesenian, dan
Konstruksi Perempuan oleh
Angga Wijaya
3
Sebuah Pengantar: Melihat Situasi Kesenian Zaman Orde Baru
P
di
ada tahun 1977, pameran yang bertajuk “Pergelaran Seni Kepribadian Apa” yang diselenggarakan
di
Gedung
Seni
Sono
ditutup oleh polisi karena karya-karya yang dipamerkan merespons situasi politik dengan mengkritisi kepemimpinan Soeharto. Salah satunya ialah lukisan yang dibuat oleh Hari Budiono yang menggambarkan figur realis Soeharto memakai kaos oblong yang robek. Karya tersebut tidak boleh dipamerkan karena dianggap menghina presiden.1 Pemerintahan Orde Baru berusaha men
de politisasi kesenian, misalnya melalui upaya penanaman orientasi estetika apolitis. Seniman tidak diperbolehkan mengangkat kembali tematema kerakyatan seperti yang diusung Persagi dan Lekra. Jika tetap dilakukan akan berisiko mendapat intimidasi dan dipenjarakan, sebab melukis rakyat bisa diartikan sebagai aktivitas kesenian yang
1) Ardhie, Bonyong Munny. “Dari Sebuah Huru Hara ‘Seni Kepribadian Apa’”, diakses dari http://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/dari-sebuahhuru-hara-seni-kepribadian-apa, pada tanggal 14 Desember 2015, pukul 19:00 WIB.
4 memiliki korelasi politik dengan paham sosialis atau komunis. Tematema realisme sosial bermetamorfosis menjadi human interest yang eksotis atau larut dalam penjelajahan absurditas filosofis, seperti karyakarya seni dekoratif.2 Pada tahun 1988, Moelyono juga pernah mengalami tekanan atas kerja keseniannya melalui manifesto “seni rupa penyadaran”. Moelyono coba memposisikan seni rupa secara metodologi sebagai media riset partisipatoris dengan alur pemahaman setiap orang bisa menguasai, mendayagunakan seni rupa sebagai media analisis, dialog, dan berpikir kritis untuk mencari solusi atas problem sosial di komunitasnya. Saat Moelyono tiba di Brumbun untuk memenuhi undangan Walhi berpameran di Jakarta. Ia diperiksa oleh Babinsa, Polsek, dan petugas kecamatan yang menanyakan nama lengkap, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, partai politik orang tua, waktu tahun 1965 umur berapa, masih ingat peristiwa 65 atau tidak, mengapa sebagai sarjana masuk ke dusun miskin dan apa tujuannya. Kegiatan ini dianggap mirip yang dilakukan oleh PKI dengan masuk ke desa-desa miskin di sepanjang pantai selatan. Ia juga ditanya tentang tujuan gambar anak dipamerkan di Jakarta, siapa saja panitia dari Jakarta yang ikut dalam rombongan ke Brumbun, dan apakah kegiatan di Brumbun sudah punya izin dari Muspida atau belum. Saat itu Babinsa memerintahkan agar kegiatan dihentikan sekarang juga, jika tidak, semua rombongan diangkut truk yang sudah disiapkan dan akan dibawa ke Koramil.3 Menjelang tahun 90-an, semakin banyak muncul peristiwa kesenian yang diupayakan untuk memberontak terhadap hegemoni kekuasan. Ada dua hal yang dapat diartikan sebagai “memberontak”, yakni memberontak terhadap kekuasan pemerintah dan memberontak terhadap pakem seni itu sendiri. Seperti Semsar Siahaan dengan manifesto “seni pembebasan”. Baginya, penciptaan kesenian tidak hanya berhenti pada penciptaan karya saja, tetapi bagaimana ia 2) Harsono, FX. “Desember Hitam, GSRB dan Kontemporer”, diakses dari http://gerakgeraksenirupa. wordpress.com/2013/05/19/desember-hitam-gsrb-dan-kontemporer/ pada tanggal 14 Desember 2015, pukul 20:00 WIB 3) Moelyono. “Seni Rupa Penyadaran” diakses dari https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/ seni-rupa-penyadaran/, pada tanggal 14 Desember 2015, pukul 21:00 WIB.
5 mensosialisasikan karya-karyanya sehingga mampu membangkitkan semangat perjuangan untuk membebaskan rakyat dari penindasan (Siahaan, Katalog Pameran, 5-14 Januari 1988). Penciptaan kesenian pembebasan bertujuan untuk mengangkat masalah rakyat ke permukaan. Dengan terangkatnya masalah rakyat, maka ia berharap akan adanya perubahan. Suatu perubahan yang terjadi karena munculnya kesadaran baru dari rakyat maupun kelompok elite penguasa, pengamat seni, dan khalayak (Harsono, 2002: 74).4 Aktivisme Semsar sangat kuat dalam menentang pemerintahan Orde Baru pada masa itu. Semsar pernah melakukan aksi yang tergolong nekat, yaitu memanjat kubah Planetarium untuk memasang spanduk manifesto politik berkeseniannya tanpa seizin pihak terkait. Ia juga melukis mural anti-Soeharto dan anti-militerisme di tembok luar Teater Arena TIM.5 Sama halnya yang dilakukan oleh Taring Padi dengan manifesto “seni kerakyatan”, sebuah pemikiran mengenai keadilan sosial dalam karya seni yang selalu lekat dengan dimensi sosial-politik Indonesia. Taring Padi menentang secara keras paham “seni untuk seni” yang dipertahankan dalam lembaga-lembaga kebudayaan, baik milik privat maupun negara. Bagi mereka, aforisme “seni untuk seni” sama artinya dengan belenggu terhadap kesenian. Pada tahun 1998 sebelum kerusuhan Mei, Taring Padi bersama mahasiswa melakukan demonstrasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menentang rezim Soeharto.6 Soeharto memang tidak dikenal sebagai pecinta seni, hanya menggagas proyek pembangunan monumen dan patung untuk menegaskan klaim Orde Baru dan kepahlawanan militer. Gagasannya juga sederhana: di sebanyak mungkin tempat harus ada monumen yang menjelaskan “sejarah perjuangan bangsa” dan menegaskan kesesuaiannya dengan Orde Baru. Itu saja. Mereka tak terlalu peduli 4) Sukarno, Ferri Agustian. “Semsar Siahaan dan Seni Pembebasan”, diakses dari http://gerakgeraksenirupa. wordpress.com/2013/05/19/semsar-siahaan-dan-seni-pembebasan pada tanggal 14 Desember 2015, pukul 20:00 WIB 5) Diakses dari http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/semsar-siahaan-1 pada tanggal 15 Desember 2015, pukul 01:00 WIB 6) Diakses dari http://archive.ivaa-online.org/pelaku-seni/taring-padi pada tanggal 15 Desember 2015, pukul 02:00 WIB
6 siapa penciptanya, apalagi soal gaya atau terobosan estetika. Selama masih dalam kerangka yang aman dan tertib, silakan jalan.7
Pasca Orde Baru: Relasi Kesenian dengan Konteks Sosial dan Proyek Seni Sebagai Metode
S
aat ini, sudah 17 tahun pemerintahan demokrasi berlangsung, sebuah periode pemerintahan yang mendampingi saya tumbuh sebagai generasi muda dengan keleluasan berekspresi. Saya
tidak begitu mengalami masa represif Orde Baru. Saat rezim Orde Baru runtuh, saya baru berusia 9 tahun. Saya ingat saat masih anakanak, saya kehujanan pulang sekolah dan mencopot bendera salah satu partai politik untuk digunakan sebagai penutup kepala. Sampai di rumah, ayah memarahi saya karena tindakan itu. Saat itu tentu saja saya tidak begitu paham mengapa ia marah. Sebagai generasi dengan kondisi keterbukaan informasi saat ini, penelusuran terhadap sejarah semakin terbuka dan leluasa. Narasi sejarah mulai bermunculan tidak hanya dari arus utama yang dikisahkan dari pusat (pemerintah), tapi juga dari narasi-narasi alternatif yang terkuak, sehingga saya bisa mendapatkan pandangan lain mengenai apa yang terjadi di zaman Orde Baru. Akhirnya saya memahami mengapa ayah saya marah saat itu: simbol politik begitu sensitif di kekuasan otoriter. Keleluasan penelusuran terhadap sejarah tersebut juga terjadi dalam praktik seni rupa kontemporer. Proyek seni berbasis penelitian arsip menjadi relevan untuk dilakukan dalam menelusuri konteks sejarah sebagai pendorong produksi dan pendistribusian pengetahuan. Menurut Hafiz dalam sesi diskusi bertajuk Media Versus Media: Arsip dan Sejarah Sebagai Senjata8, “Arsip dan sejarah bagi kelompok pe nguasa bisa dimanfaatkan demi membentuk sejarah berdasarkan 7) Farid, Hilmar. “Seni Asal Jadi Orde Baru”, diakses dari http://hilmarfarid.com/wp/seni-asal-jadi-ordebaru/ pada tanggal 3 Desember 2015, pukul 15:00 WIB. 8) Diskusi bertajuk “Media Versus Media: Arsip dan Sejarah Sebagai Senjata” bagian dari rangkaian ORDE BARU OK. Video – Indonesia Media Arts Festival 2015, diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 2015, pukul 13:00-15:00 WIB di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
7 kepentingan. Di sisi lain, bagi seniman, arsip dan sejarah bisa menjadi senjata untuk membuat karya yang membangun kesadaran publik. Maka seniman berperan mengurai dan memunculkan alternatif sejarah lewat gagasan dan media yang digunakan.” Proyek seni berbasis penelitian arsip dilakukan melalui cara pembacaan dan pemanfaatan arsip, dokumentasi, dan pustaka. Praktik interdisipliner ini berguna untuk memaknai cara pandang tentang sejarah melalui pendekatan seni yang dirancang dalam kerja kreatif dengan memanfaatkan unsur-unsur rupa, kombinasi, dan pengintegrasian beberapa elemen seni. Namun proyek seni tidak hanya sekadar persoalan bentuk estetika dan keindahan (form). Menurut Agung Kurniawan dalam sesi diskusi bertajuk Proyek Seni Rupa Berbasis Observasi9, “Seni di Indonesia selalu dikaitkan semata-mata dengan objek yang melupakan ide-ide intelektual di belakangnya, sehingga kita belum mengangkat isu itu pada publik.” Lanjutnya, seni bisa menjadi alat (art is tool) yang dapat menggagas isu-isu sensitif sekalipun. “Seni bisa menjadi pelumas yang dapat melumaskan, mengenakan, menyamankan, atau bahkan menyamarkan isu-isu sensitif tersebut untuk diterima publik.” Lalu kapan praktik kesenian dianggap sebagai proyek seni? Seperti yang sudah dituliskan oleh Hafiz di pengantar buku ini, bahwa secara historis proyek seni dapat kita lihat dari apa yang telah dilakukan oleh founding fathers seni rupa modern kita yaitu S. Sudjojono, Affandi, bersama Seniman Indonesia Muda (SIM) berkolaborasi membuat proyek poster revolusi Indonesia dengan para penulis saat itu, seperti Chairil Anwar. Atau seperti yang dijelaskan oleh Agung Kurniawan dalam sesi diskusi yang sama, saat seniman-seniman Lekra menetap di daerah miskin di tepi pantai di sekitar Samas untuk membuat karya sketsa berdasarkan kemisikinan di daerah tersebut pada tahun 60-an. Atau jika kita mau merujuk pada tradisi kebudayaan di Indonesia yang sudah berlangsung cukup lama, peristiwa kultural seperti upacara panen raya, kematian, maupun pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. 9) Diskusi bertajuk “Proyek Seni Rupa Berbasis Observasi” diselenggarakan pada tanggal 13 November 2014, pukul 16:00 WIB di Indonesia Visual Art Archive, Yogyakarta.
8 Pada dekade 2000-an istilah proyek seni (art project) digunakan oleh ruangrupa dan Rumah Seni Cemeti dalam menamakan program mereka, lalu pada dekade 2010-an, istilah ini tak asing digunakan dalam praktik seni rupa kontemporer dalam bingkai kerja seni berbasis penelitian dan partisipatoris. Dengan ini biasanya proyek seni menekankan proses dan aksi yang berlangsung dinamis dan organik dalam sebuah rancangan, metode, rentang waktu, dan konteks tertentu.
Orde Baru dan Kini: Konstruksi Perempuan dalam Birokrasi Negara
U
ntuk pertama kalinya Dewan Kesenian Jakarta membentuk program spesifik untuk seniman perempuan. Program ini bertujuan untuk memetakan dan mendukung perkembangan
seniman perempuan Indonesia. Karena saat ini, seniman perempuan juga menjadi salah satu faktor utama dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Dharma Wanita dipilih dalam proyek seni ini sebagai upaya untuk membaca ulang sejarah wanita dalam birokrasi politik yang dibuat oleh negara pada zaman Orde Baru dan relasinya pada konteks perempuan saat ini. Bagaimana perempuan dikonstruksikan oleh kepentingan politis? Bagaimana representasi citraan perempuan yang hadir di Orde baru? Lalu apakah pemerintahan saat ini masih punya agenda tertentu terhadap perempuan, atau hanya meneruskan tradisi tanpa agenda tertentu? Apakah ada perubahan perspektif ideologi perempuan di era demokrasi saat ini? Bagaimana dengan perkembangan citraan perempuan dalam konteks kekinian? Proyek seni ini bekerja melalui dua metode penelitian, yakni melalui arsip-arsip tentang Dharma Wanita di masa Orde Baru dan observasi langsung terhadap organisasi Dharma Wanita Persatuan saat ini. Dua metode penelitian tersebut dipilih untuk mengetahui bagaimana peralihan yang terjadi tehadap perempuan dalam organisasi biokrasi negara ini. Melalui arsip berupa buletin, surat pemberitahuan, dan teks pidato mengenai Dharma Wanita di Orde Baru, proyek ini dapat
9 melihat bagaimana perempuan dikonstruksikan dalam bentuk media yang diproduksi dan disebarluaskan kepada publik. Melalui observasi, proyek ini dapat melihat secara langsung bagaimana situasi dan posisi organisasi perempuan tersebut dalam konteks hari ini. Peristiwa ‘65 telah menghancurkan salah satu gerakan perem puan terbesar saat itu yaitu Gerwani, sebab organisasi ini memiliki potensi kekuatan politik. Anggapan ini menyatakan bahwa perempuan merupakan ibu (baca: induk) dari generasi penerusnya. Perempuan dapat melahirkan himpunan kekuatan pada setiap generasinya secara turun menurun dan terus menerus. Dengan itu, Orde Baru butuh mengendalikan kekuatan politik perempuan. Hal yang utama yaitu melalui konsep kata “wanita”. Selama rezim Orde Baru, kata “perempuan” digantikan oleh “wanita” yang terbentuk dari dua kosakata Jawa: “wani” yang berarti berani, dan “tata” yang berarti teratur. Jika disatukan, “wanita” memiliki arti “bersedia untuk diatur”. Pada 5 Agustus 1974, Dharma Wanita resmi didirikan. Dharma Wanita merupakan organisasi yang anggotanya meliputi semua istri Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang otomatis menjadi kendaraan politik di bawah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Orde Baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Sebelumnya, istri pegawai negeri tersebut berorganisasi dalam masing-masing departemen, kemudian digabung menjadi satu dalam Dharma Wanita. Tujuannya untuk “memudahkan pembinaan dan koordinasi semua kegiatan wanita untuk mencapai tujuan Nasional”. Menurut Julia Suryakusuma, “Terdapat kontradiksi inheren mengenai kewajiban perempuan mengikuti organisasi ini. Walaupun negara menegaskan pentingnya kodrat wanita sebagai istri atau ibu, keg iatan Dharma Wanita menjauhkan para perempuan dari rumah dan keluarga. Ini menyiratkan kesetiaan terhadap negara lebih penting daripada keluarga.”10 Dalam artikel buletin Dharma Wanita yang terbit pada Juni 1976, terdapat sebuah artikel yang disunting oleh S.T. Saniah Lanisa, Staf Sekretariat Dharma Wanita Dati I, Sulawesi Tenggara, berjudul “Bagaimana Isteri/Wanita Yang Ideal”. Artikel tersebut berisi tanggapan 10) Suryakusuma, Julia. 2011. “Ibuisme Negara”, hal. 23. Jakarta: Komunitas Bambu.
10 dari para laki-laki atau suami, salah satunya dari John Naro, S.H.,
„
sebagai berikut: Saya memang egois, dan egoistis demi keluarga tentu baik.
Saya menghargai dan mendukung penuh isteri2/wanita2 yang mempunyai karier sehingga mereka dapat menduduki kepemimpinan. Tapi harus ada batasnya, sebab kalau wanita hanya melulu mengejar karier saja, maka hari tuanya akan hidup di rumah jompo (perawatan orang2 tua yang tidak punya anak dan keluarga). Oleh karena itu tanggung jawab wanita sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dilalaikan termasuk perhatian kepada sang suami. Maka isteri saya biarpun ia seorang SH yang pernah jadi Rektor, tapi sekarang ia hanya merupakan House Wife. Dan kami punya falsafah yang berbunyi: KITA HIDUP UNTUK ANAK. Sebab anak2 ini nantinya yang akan menggantikan kedudukan kita. Tapi apabila memang isteri punya waktu yang banyak, memang ada baiknya waktu tersebut digunakan sebagai sumbangan dalam kegiatan sosial/ berorganisai atau misalnya bekerja membantu suami. Tapi harus betul-betul bersifat membantu, jangan bersifat komando.”
Pernyataan John Naro, S.H. memperlihatkan adanya batasanbatasan terhadap perempuan. Dharma Wanita masih belum lepas dari kekuasaan dan kekuatan laki-laki yang menciptakan hierarki wanita di bawah laki-laki, bahkan di bawah kontrol negara. Bentuk kontrol negara secara kultural dapat kita lihat melalui konsep “wanita” yang dikonstruksi secara hegemoni dengan pencitraan yang santun, kemayu, tunduk, dan setia. Setelah Orde Baru runtuh, Dharma Wanita didesak untuk bubar. Namun desakan tersebut ditolak dengan alasan bahwa kekuatan istri-istri pegawai negeri sipil tidak bisa dibubarkan. Dengan segala kekuatan di seluruh provinsi, organisasi ini ingin membuktikan dan memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan mempersatukan bangsa, oleh karena itu
11 Dharma Wanita berganti nama menjadi Dharma Wanita Persatuan dengan mengusung semangat perubahan reformasi di berbagai aspek dan berkeinginan untuk menjadi organisasi mandiri dan demokratis. Anggota organisasi ini tidak lagi terikat dengan partai politik tertentu dan anggota organisasi dapat berperan aktif serta memiliki hak politik dalam bernegara. Salah satu bentuk demokrasi Dharma Wanita Persatuan yaitu terbukanya akses terhadap organisasi ini. Pada tanggal 31 Agustus 2015, proyek ini melakukan audiensi bersama ketua dan pengurus Dharma Wanita Persatuan. Hal pertama yang diungkapkan mengenai organisasi yang baru adalah perbedaan Dharma Wanita dan Dharma Wanita Persatuan; paradigma baru organisasi yang selalu disosialisasikan untuk mengubah persepsi masyarakat. Dharma Wanita adalah mitra kerja pemerintah, walau tidak secara formal. Mayoritas program Dharma Wanita berasal dari kementerian pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Wien Ritola Tasmaya, Ketua Dharma Wanita Persatuan periode 2014-2015, saat sesi audiensi, “Dalam melaksakan program ke bawah, lembaga pemerintah dibantu karena jumlah pegawai mereka terbatas. Mereka tidak punya grassroot ke bawah, tapi Dharma Wanita punya potensi. Kita punya 65 kantor, cabang kementerian, dan unsur pelaksana yang seluruhnya masuk ke 34 provinsi.” Namun, justru kendala dalam menyukseskan program kerja yang berskala nasional tersebut ialah Sumber Daya Manusia itu sendiri, seperti yang tercantum dalam dokumen RENSTRA Dharma Wanita Persatuan 2015-2016 bahwa persoalan utama mereka saat ini yaitu keterbatasan Sumber Daya Manusia. Selain itu, bagaimanakah praktik organisasi ini di lapangan seiring maraknya kemunculan organisasiorganisasi alternatif atau inisiatif warga yang bekerja dengan cepat dan langsung pada sasaran, tanpa sistem birokrasi yang struktural? Sebagai organisasi yang mengalami pembaruan dan reposisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokrasi, tentunya Dharma Wanita Persatuan mempunyai cita-cita tinggi. Hal ini juga diungkapkan oleh Wien Ritola Tasmaya dalam audiensi:
12
„
Kita tetap mempertahankan posisi Dharma Wanita Persatuan
yang duduk paling depan dalam memerangi kebodohan di antara perempuan-perempuan Indonesia. Prioritas kegiatan Dharma Wanita Persatuan saat ini adalah pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan pengurus, anak-anak, dan masyarakat, sehingga kami memiliki tujuan untuk menjadikan istri aparatus sipil negara berwawasan global dan membantu perempuan untuk menjadi pelaku-pelaku. Di situ terlihat bahwa visi ini sangat berani dan optimis, mengubah paradigma lama dan mindset anggota-anggota DWP. Mereka mampu (beranjak) dari peran domestik menjadi peran publik dengan meningkatkan dirinya. Jadi tahun 2015 ini, kita akan menjadikan DWP sebagai “center of excellent”. Di mana kita bisa
mengeluarkan “produk” perempuan-perempuan yang excellent dengan pelatihan peningkatan kualitas yang bagus dalam skala besarnya.”
Cita-cita tersebut mengisyaratkan adanya keinginan organisasi tersebut untuk mewujudkan masa depan yang jauh lebih baik. Dengan itu, apakah masyarakat dapat menggantungkan harapannya untuk perubahan situasi sosial yang lebih baik? Atau kah masyarakat sedang dihadapkan pada situasi politik populisme dengan memakai “lip service” yang seakan-akan berpihak pada kepentingan masyarakat, namun tidak mendorong perubahan nyata dan substantif bagi masyarakat? Proyek seni perupa perempuan ini berkerjasama dengan delapan seniman, yaitu Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, dan Yaya Sung. Mereka terdiri dari dua periode kelahiran, yaitu periode 1970-an dan 1980-an. Seniman yang lahir di tahun 1970-an turut merasakan rezim Orde Baru hingga usia dewasa. Sementara yang lahir di tahun 1980-an, pada periode yang sama baru beranjak remaja dan hanya sempat merasakan rezim tersebut di akhir masa kejayaannya. Generasi yang lebih sedikit mengalami masa pemerintahan Orde Baru mempunyai semangat yang lebih dalam menelusuri sejarah.
13 Dalam diskusi saya bersama Yaya Sung, ia tertarik dengan isu yang paling memantik rasa keingintahuannya, sesuatu yang menyalakan api di hatinya. Seperti pernyataannya mengenai “bagaimana kita bisa berbicara tentang kesetaraan gender ketika ada jurang informasi yang sangat dalam antara era Orde Baru dan Reformasi?” Sedangkan generasi yang lebih lama merasakan pemerintahan Orde Baru, lebih tertarik melihat relasi yang terjadi pada hari ini. Seperti Otty Widasari yang mempunyai pandangan bahwa jika di Orde Baru konflik tercipta secara vertikal dengan pemerintah, namun saat ini konflik terjadi dalam wilayah horizontal. “Gestur gue sebagai perempuan tidak terkekang saat itu, di mana tidak ada pandangan religius yang mengawasi dengan kritis seperti saat ini. Konflik vertikal dengan pemerintah tidak langsung dirasakan, karena kekuasaan itu dilakukan secara struktural dan pastinya kultural. Dia menyentuh langsung ke elemen struktur tersebut. Namun dalam keseharian, itu tidak terasa, karena gue lahir setelah hampir satu dekade Orde Baru berkuasa. Sudah berada di pecepatan mesinnya.” Selain diskusi dan penelitian yang kami kerjakan bersama-sama, delapan seniman secara mandiri melakukan fokus penelitian. Julia Sarisetiati melakukan observasi dengan mengikuti beberapa kegiatan, seperti acara pertemuan tiga bulan sekali Dharma Wanita Persatuan. Kemudian, Julia tertarik dengan Lisa Nuryanti yang berprofesi sebagai instruktur perempuan yang mengkhususkan diri di bidang Pengembangan Kepribadian dan Profesi. Lisa pernah memberikan program pelatihan bagi Dharma Wanita Persatuan. Topik pelatihan yang sering dibawakan olehnya adalah “Menjadi Wanita dengan Pribadi Unggul”. Melalui pelatihan ini, para anggota organisasi diharapkan menjelma menjadi wanita berkepribadian prima dan beretika baik. Kemudian Julia memutuskan untuk mencoba sebuah sesi bersama Lisa Nuryanti, untuk merasakan dan memperlihatkan bagaimana konstruksi wanita berkepribadiaan unggul yang dimaksud. Kartika Jahja berfokus pada satu narasumber penelitiannya, yaitu salah satu mantan anggota Dharma Wanita pada era 80-an. Penelitian Tika menceritakan perjalanan seorang perempuan yang lahir sebagai (Nona) Titiek Soenarti dan transformasinya menjadi Nyonya Agoes
14 Bachtiar. Titiek lahir di Ngawi 1944. Setelah lulus dengan gelar dokter, Titiek berpraktik sebagai dokter umum di berbagai pelosok Indonesia selama 10 tahun. Kemudian ia menikah dengan Agoes Bachtiar, seorang pegawai negeri, lalu otomatis menjadi anggota Dharma Wanita. Beberapa seniornya menyarankan Titiek untuk lebih mendukung karier suaminya dengan lebih aktif di organisasi Dharma Wanita dan berhenti dulu menjadi dokter. “Saya dokter, suami saya staf biasa. Itu kurang pantas dilihatnya. Saya disarankan senior-senior saya di Dharma Wanita, jangan melindas suami begitu. Mundur dulu dari kedokteran sampai karier suami maju. Kita hebat, sudah keliling dunia, tapi suami mandeg, enggak naik pangkat. Kita jadi terkesan berdosa sekali.” Kemudian Titiek beralih profesi menjadi ahli bordir. Penelitian ini menjelaskan perspektif langsung anggota organi sasi Dharma Wanita yang memperlihatkan secara jelas bahwa adanya batasan-batasan yang dirasakan oleh anggota sebagai istri. Bagaimana sulitnya perempuan untuk merealisasikan dirinya sebagai individu yang utuh. Lain hal nya dengan Yaya Sung, ia bertemu dan berdiskusi de ngan perempuan dari berbagai latar belakang. Selain anggota Dharma Wanita, Yaya juga mewawancarai aktivis HAM, pekerja di bidang politik, sampai ibu rumah tangga, untuk memahami tentang posisi dan permasalahan perempuan saat ini dari berbagai perspektif. Mereka bercerita tentang kehidupan sehari-hari, opini mengenai organisasi perempuan, peran, serta masalah-masalah yang dihadapi. Saat sesi bersama Ibu Dharma Wanita, Yaya melihat adanya sisi positif organisasi ini, meskipun cakupannya kecil, yakni bahwa Dharma Wanita Persatuan tetap menjadi ruang perempuan untuk berekspresi, belajar, menolong sesama, bertemu dengan kawan seperjuangan, membantu, dan mengasah kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan. Karena pada hakikatnya, perempuan juga manusia, bagian dari masyarakat. Otty Widasari dan Marishka Soekarna melakukan penelitian dengan memanfaatkan arsip. Otty berpendapat bahwa Orde Baru memiliki strategi bermedia yang jitu, yakni dengan mengontrol kuasa media (massa) sebagai penyampai pesan kepada masyarakat.
15 Seharusnya arsip bisa menjadi sumber pengetahuan universal yang layak diakses oleh siapa pun, untuk membangun kesadaran dalam konteks masa kini. Otty coba mengeksplorasi arsip Sambutan Presiden Soeharto pada peresmian pembukaan Konferensi Asia Pasifik Tingkat Menteri ke-2 Tentang Wanita dalam Pembangunan, melalui arsip tersebut Otty melihat peranan wanita menjadi sebuah konsep yang diatur dalam hukum bernegara. Berbeda dengan Otty, Marishka meneliti buletin Dharma Wanita halaman 49-50 yang terbit pada Juni 1976, dengan judul artikel “Bagaimana Isteri/Wanita Yang Ideal”. Setelah membaca arsip tersebut, perasaan Marishka berkecamuk. Sebagai perempuan dan ibu, ia melihat ekspektasi terhadap perempuan sangat tinggi dan membangun sebuah anggapan bahwa idealnya perempuan itu harus menjadi mahluk yang super atau sempurna, yang dinilai dari kontribusinya terhadap keluarga. Gagasan Marishka mengkaji artikel dari buletin tersebut untuk membandingkan pandangan atas wujud “ideal” perempuan dulu dan sekarang dan apakah peran gender masih menjadi mitosmitos yang menghantui perempuan saat ini. Tita Salina, Keke Tumbuan, dan Aprilia Apsari membicarakan Dharma Wanita melalui gaya hidup dalam organisasi tersebut. Tita Salina mengumpulkan wewangian (parfum) dari para mantan anggota Dharma Wanita periode 80-an di daerah rumah tempat tinggalnya. Tita coba melihat kekuasan dari hal yang berhubungan dengan pancaindra (indra penciuman) melalui medium wewangian. Seperti cendana yang merupakan wangi khas dengan Orde Baru. Wanginya yang menyengat mengalahkan wangi dari parfum lainnya, mendominasi dan terus membayangi sebagai pengingat dan penguat. Selain menawarkan nostalgia, secara spesifik, aroma tersebut merupakan yang tertinggal dalam sejarah Indonesia. Karena prinsipnya, wewangian dipakai untuk menutupi aroma yang kurang sedap. Sedangkan Aprilia Apsari melalui model rambut yang ikonik berupa sasak tinggi atau sunggar. Sanggul merupakan identitas khas anggota Dharma Wanita, seperti yang digunakan oleh Tien Soharto dan Mien Soegandhi. Pada dasarnya, sunggar adalah model tata rias rambut tradisional Jawa yang kerap digunakan oleh pengantin
16 wanita Solo dan Yogyakarta. Namun identitas itu berganti di era Dharma Wanita Persatuan saat ini yang lebih banyak memakai busana muslimah dengan berjilbab. Pemakai sunggar sudah jauh berkurang karena banyak perempuan ingin tata rambut yang sederhana, praktis, dan tidak bersasak. Sari mencoba memperlihatkan sejarah dan situasi sosial sebuah negara melalui tatanan rambut. Keke Tumbuan memperlihatkan sisi lain organisasi ini melalui kegemaran dan kesenangan mereka. Keke menanyakan lagu-lagu favorit para anggota Dharma Wanita Persatuan disela waktu mereka bertugas di kantornya. Metode yang dilakukan Keke berhasil mencairkan suasana kaku. Terlihat dari antusiasme mereka saat menyebutkan lagu favorit mereka masing-masing. Lirik lagu, alunan nada, dan selera musik menampilkan identitas personal mereka dan tentunya juga dalam cakupan identitas yang lebih luas sebagai organisasi, birokrat negara, bahkan perempuan. Keadaan organisasi perempuan di Indonesia adalah cerminan perkembangan politik, yang tentunya berpengaruh pada situasi dan perubahan sosial dalam masyarakat. Selama 32 tahun, Orde Baru telah menekan daya kritis dan aspirasi masyarakat melalui represi yang hadir, baik dalam konteks kesenian maupun perempuan. Melalui kesenian, masyarakat dapat memberikan penawaran tersendiri pada persoalan hari ini. Seni dapat menjadi pemantik dalam membangun kesadaran masyarakat, mengutip Hafiz “seni dapat memainkan peran dalam meletakkan kebenaran”. Fokus penelitian mengenai organisasi Dharma Wanita menjadi pintu masuk untuk melihat kembali gambaran konstruksi wanita di ranah sosial politik dari zaman ke zaman. Bagaimana sejarah membentuk kita sampai saat ini. Upaya refleksi atas sejarah memungkinkan kita merumuskan dan menemukan gagasangagasan baru pada situasi hari ini dan masa depan.
17
Angga Wijaya Angga Wijaya menamatkan kuliah di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Berbagai lokakarya kuratorial pernah ia ikuti, seperti yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Japan Foundation, dan ruangrupa sebelum akhirnya fokus menjadi kurator yang mengkhususkan diri pada proyek-proyek seni dengan pendekatan sosial, budaya, dan pendidikan. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mengikuti program Run and Learn: New Curatorial Constellation, di Japan Foundation Tokyo.
18
Curatorial Essay
The New Order, Art and Woman as Construct by
Angga Wijaya
19
An Introduction: Examining in the New Order Era
the
Art Landscape
I
n 1977 an exhibition entitled Art Exhibition of What Personality (Pergelaran Seni Kepribadian Apa) held in Seni Sono Building was shut down by the
police because the works to be exhibited commented on the political situation by criticizing Soeharto’s leadership. One of the works was a painting by Hari Budiono, depicting a realistic figure of Soeharto wearing a ripped off shirt. The work was banned because it is considered insulting the president.1 The New Order government tried to depoliticize
the art, for example through various attempts of incorporating apolitical aesthetics orientation. Artists weren’t allowed to raise subjects of the people the way Persagi or Lekra used to do. If they were to do it anyway, they would face the risk of imprisonment and intimidation, since painting real people could be interpreted as an artistic activity which politically alluding to socialist or communist ideas. Social realistic themes then went into metamorphoses, materializing in works depicting exotic human interest 1) Ardhie, Bonyong Munny. “Dari Sebuah Huru Hara ‘Seni Kepribadian Apa’”, accessed from http://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/darisebuah-huru-hara-seni-kepribadian-apa, on 14 December 2015, at 7 pm WIB.
20 or dissolving into philosophical absurdity, like decorative artworks.2 In 1988, Moelyono experienced a pressure concerning his artwork which took form of a manifesto of “awakening art” (seni rupa penyadaran). He tried to position art methodologically as a participatory research medium with the understanding that every person could master and empower art as a medium for analysis, dialog, and critical thinking in solving social problems in a community. When Moelyono arrived in Brumbun on Walhi’s invitation to do an exhibition in Jakarta, he was interrogated by Babinsa (village supervisory non-commissioned officers), the police, and sub-regency officers. They asked his complete name, date and place of birth, job, parents’ names, parent’s jobs, parents’ political party, how old he was in 1965, whether he remembered the 1965 political incident, why as a scholar he went to a poor village and what was his purpose. His activity was likened to PKI’s (Indonesian Communist Party) activities in which the members once visiting poor villages along the southern coasts. They questioned the purpose of children’s pictures being exhibited in Jakarta, who the committee from Jakarta were, and whether the activity in Brumbun had a permit from Muspida (local government) or not. At that time, Babinsa gave the order to stop the activity, or else all the group members were to be brought with a truck, already prepared, to the local military post (Koramil).3 Toward the 1990s, art events organized as an act to rebel from the hegemony of power happened more often. To rebel meant two things. First, to rebel from the power of the state, and second, to rebel from the set criteria ruled in the arts. It was like what Semsar Siahaan, and his “liberation art” manifesto, did. To him, art creation didn’t end in the creation itself but it was also about how he socialized his works so that they could awaken the spirit to free the people from repression (Siahaan, Exhibition Catalog, 5-14 January 1988). The liberation art creation strived to raise the people’s problems to the surface. With such exposure, it was hoped that change would come; a change due to the emergence of new awareness of the people, power elite, art observers and the public 2) Harsono, FX. “Desember Hitam, GSRB dan Kontemporer”, accessed from http://gerakgeraksenirupa. wordpress.com/2013/05/19/desember-hitam-gsrb-dan-kontemporer/ on 14 December 2015, at 8 pm WIB. 3) Moelyono. “Seni Rupa Penyadaran”, accessed from https://gerakgeraksenirupa.wordpress. com/2013/05/19/seni-rupa-penyadaran/, on 14 December 2015, at 9 pm WIB.
21 (Harsono 2002: 74).4 Semsar’s activism was significant in resisting the New Order regime at the time. Once he did an extraordinary act, climbing up the Planetarium’s dome to mount his political art manifesto banner without permit. He also painted anti-Soeharto and anti-military murals on the walls outside the Arena Theatre of TIM (Jakarta Arts Center).5 Taring Padi collective in Yogyakarta had done the same thing, carrying the principle of “people’s art”, an idea about social justice through artworks that’s always within the Indonesian social-political dimension. Taring Padi radically opposed the idea of “l’art pour l’art” maintained in the institutions of culture, both private and state-owned. To Taring Padi, the aphorism “l’art pour l’art” means shackles for doing art. In 1998, before May riots, Taring Padi - together with students - staged a protest at Gadjah Mada University, Yogyakarta, against Soeharto.6 Soeharto indeed wasn’t known as an art lover; he only gave orders the building of monument and sculpture to strengthen New Order’s claims and military heroism. His ideas, too, were simple: in as many places as possible there should be monuments explaining “the nation’s struggle history” and affirming conformity to the New Order. Period. The New Order wasn’t concerned about creators, not to mention styles and aesthetic breakthroughs. As long as the creation was within safe and orderly parameter, it was cleared.7
After the New Order: Art in Relation to Social Context and Art Project as a Method
T
his year is the 17th year of democracy, a governmental system
that has been the background of my own journey as a member of a generation granted with the freedom of expression. I didn’t
4) Sukarno, Ferri Agustian. “Semsar Siahaan dan Seni Pembebasan”, accessed from http:// gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/semsar-siahaan-dan-seni-pembebasan on 14 December 2015, at 8 pm WIB. 5) Accessed from http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/semsar-siahaan-1 on 15 December 2015, at 1 am WIB. 6) Accessed from http://archive.ivaa-online.org/pelaku-seni/taring-padi on 15 December 2015, at 2 am WIB. 7) Farid, Hilmar. “Seni Asal Jadi Orde Baru”, accessed from http://hilmarfarid.com/wp/seni-asal-jadi-ordebaru/ on 3 December 2015, at 3 pm WIB.
22 experience the repressive period of the New Order. When it collapsed, I was only nine years old. I remember when I was a kid, going home after school in the rain, I took off a flag of a political party to use it as head cover. At home, my father berated me for that. At that time, of course I didn’t understand why he was angry. For us the generation who lives with such openness of information, investigation of history is becoming more open and free. Historical narratives have been emerging, not only in dominant outlets told by the center (government), but also in alternative voices so that I can gather other views about what happened during the New Order. Finally I understand why my father was angry back then: political symbol was very sensitive for authoritarian power. The freedom to investigate history permeates to contemporary art practices as well. Archival research based art projects become relevant in tracing the history as the drive to produce and distribute knowledge. According to Hafiz during a discussion session under the title “Media Versus Media: Arsip dan Sejarah Sebagai Senjata”,8 “Archives and history, to ruling groups, can be used to shape history based on their interests. On the other side, to artists, archives and history can be weapons to create works that build the public’s awareness. Artists have the role to break down and bring up alternative histories through ideas and mediums he/ she uses.” Archival research based art projects are done through the readings and uses of archives, documentation and literature. This interdisciplinary practice is useful in finding meanings of historical perspectives through art approach designed in creative works using elements of the visual, a combination or integration of art elements. However, art projects are no mere aesthetics and beauty (form). According to Agung Kurniawan in a discussion session titled “Proyek Seni Rupa Berbasis Observasi”,9 “Art in Indonesia is always related to objects without regard to the intellectual ideas behind them; we haven’t 8) Discussion with the title “Media Versus Media: Arsip dan Sejarah Sebagai Senjata” was a part of ORDE BARU OK. Video – Indonesia Media Arts Festival 2015, held on 17 June 2015, at 1-3 pm WIB in Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. 9) Discussion with the title “Proyek Seni Rupa Berbasis Observasi” held on 13 November 2014, at 4 pm WIB in Indonesia Visual Art Archive, Yogyakarta.
23 really raised issues to the public.” He continued that art can be a tool to raise even sensitive issues. “Art can be the lubricant that can smoothen, use, freshen up, or disguise those sensitive issues to be acceptable for the public.” So, when is art practice considered art project? As Hafiz noted in the introduction, earlier in this book, art projects historically can be seen from what our founding fathers of modern art, that is S. Sudjojono, Affandi, together with Seniman Muda Indonesia (SIM, Indonesian Young Artists), had done during the collaboration of Indonesian revolutionary posters project, with writers such as Chairil Anwar. Agung Kurniawan also told a story in the said discussion session about the time when Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, the communists’ art organization) artists stayed in poor regions along the coasts around Samas to create sketches based on poverty there in 1960s. In addition, we can also refer to old traditions in Indonesia surrounding cultural events such as harvest rites, death and marriage in societies in many places of Indonesia. In the 2000s, the term “art project” was used by ruangrupa and Rumah Seni Cemeti to describe their programs. Then in 2010s the term has been so common in the contemporary art practice within the framework of participatory and research-based art works. In this case, art projects usually emphasize a dynamic and organic process and actions within a certain design, method, timeline and context.
New Order Bureaucracy
and
Today: Woman
as
Construct
in the
State
F
or the first time ever the Jakarta Arts Council created a specific program for women artists. This program aims to map and support the development of Indonesian women artists. Today they are one
of the key players in the contemporary art development. Dharma Wanita is chosen in the art project as an attempt to re-read the history of women in the political bureaucracy of the state during the New Order era and its relation to the women context of today. How was woman constructed by political interests? How was woman image
24 represented in the New Order? And does the governmental regime today have certain agenda concerning women or does it perpetuate tradition without any agenda? Are there any changes of women ideological perspective in the democracy era of today? How about the development of women image in today’s context? This art project is carried out through two research methods which consists of investigating the Dharma Wanita archives during the New Order and through direct observation toward the organization of Dharma Wanita Persatuan. The two methods are chosen to understand the turns and tides within the state’s bureaucracy concerning women. Through archives such as bulletins, memos and speech texts about Dharma Wanita in the New Order, this project saw how women were constructed in media, how it was being produced and distributed to the public at large. Through observation, this project saw directly the situation and position of the said women’s organization in today’s context. The ’65 event destroyed one of the biggest women’s movements of the time, Gerwani, with its considerable political power. Women are assumed as mothers of the future generation. Women can give birth to groups of power in every generation continuously. Therefore the New Order needed to control the power of women politics. First things first, the key concept was ‘wanita’ (woman). Throughout the New Order era, the word ‘perempuan’ (woman, in a less charged way) was replaced by ‘wanita’ which consists of two Javanese words, ‘wani’, meaning ‘brave’, and ‘tata’, meaning ‘to order’. Combined together, ‘wanita’ means ‘willing to be ordered’. On the 5th of August 1974, Dharma Wanita was officially established. It was an organization whose members included all the government employees’ wives and automatically became a political vehicle under the ruling party of the New Order, Golkar (Golongan Karya). Previously, government employees’ wives rallied themselves in separate organizations of each department before joining the Dharma Wanita to “facilitate the advancement and coordination of all women’s activities to achieve the National Goals.” Julia Suryakusuma says that, “There’s an inherent contradiction about women’s obligation to join the organization. Despite the state’s
25 emphasis on the importance of women’s fate as wife or mother, Dharma Wanita’s activities removed women away from home and families. This indicates that loyalty toward the state is above loyalty toward family.”10 In a Dharma Wanita’s bulletin published in June 1976, there was an article edited by S.T. Saniah Lanisa, a Dharma Wanita of Regional Level, Southeast Sulawesi, secretariat staff, called “What Is an Ideal Wife/ Woman”. The article contains the responses of the men or husbands, one
„„
of which is of John Naro, B.L.’s: I am selfish, and being selfish for the family’s sake must be a good
thing. I fully appreciate and support women/wives who have career and achieve leadership. But there should be a limit since women who only work for their career will end up in nursing homes (homes for those who don’t have children and family) in their old age. That’s why women’s responsibility as housewife can’t be ignored, including taking care of the husband. My wife, regardless her academic title and former position as a rector, today is a housewife. We have this as philosophy: LIVING FOR THE CHILDREN. For these children will be the ones replacing us someday. However, if a wife does have much time at her disposal, it would be good indeed for her to have social activities/join an organization or, for example, work to support the husband. But it should be supportive in nature, not imperious.
John Naro’s statement above shows the limits to women. Dharma Wanita wasn’t free from the power and domination of male control that created women’s position under men’s in the state’s hierarchy of control. The state’s control in culture can be seen from the concept of ‘wanita’, a hegemonic construct presenting a loyal, submissive, girly and polite image. After the fall of the New Order, Dharma Wanita faced the call to disband. But it was rejected on the ground that the government employees’ wives’ power couldn’t be disbanded. With all its forces in all provinces, this organization wanted to prove itself and contribute to the 10) Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), p. 23.
26 government by participating in the development and uniting the nation. Thus Dharma Wanita changed its name to Dharma Wanita Persatuan to carry the spirit of 1998 reformation in various aspects and purported to be an independent and democratic organization. Its members are no longer affiliated with certain political party and can play active role, being entitled to political right as citizens. A democratic step of Dharma Wanita Persatuan is to open the access to the organization. On August, 31, 2015, this art project conducted a hearing with the committee and head of Dharma Wanita Persatuan. The first thing revealed about the new organization was the difference between Dharma Wanita and Dharma Wanita Persatuan; a new paradigm socialized to change the public’s perspective. Dharma Wanita is a government’s work partner, albeit informally. The majority of its programs come from governmental ministries. Wien Ritola Tasmaya, the head of Dharma Wanita Persatuan for 2014-2015 period, said during the hearing session, “Governmental institutions have a limited number of employees. When they carry out programs at grassroot level, we help them. Dharma Wanita has potentials. We have 65 offices, ministerial branches and operational units in all 34 provinces.” However, the barrier to advance the national scaled programs is human resources, as mentioned in the document of Dharma Wanita Persatuan 2015-2016 Strategic Plans (Renstra). The document says that the organization’s main problem is the lack of human resources. Not only that, how would be the organization’s practices in the field as alternative organizations and citizens’ initiatives keep emerging, working efficiently and effectively without bureaucratic system? Being an organization that has been experiencing revitalization and reposition under an authoritarian government to be a democratic one, Dharma Wanita Persatuan aims high. Wien Ritola Tasmaya in the
„„
hearing said that: We maintain Dharma Wanita Persatuan’s position as the
most advanced organization to fight against ignorance among Indonesian women. Dharma Wanita Persatuan’s priority at the moment is education; the enhancement of educational quality
27 for the committee, children, and the public. We attempt to equip government employees’ wives with a global insight and push them to become agents. It can be seen that this vision is very bold and optimistic, changing the old paradigm and mindset of DWP members. They will be able to step away from the domestic role toward public role by improving themselves. This year, in 2015, we will make DWP as a ‘center of excellence’ where we can ‘produce’ excellent women through excellent quality training in a broad scale.
The goal above implicates the organization’s wish to create a better future. Can the public hope for a better social situation then? Or is the public facing a populist situation, a lip service where the public’s interests seem to prevail but in fact nothing substantial and real happens at all? This project of women artists involved eight individuals: Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina and Yaya Sung. They represent two different periods of birth, the 1970s and 1980s. Those born in the 1970s experienced the New Order era up to their adulthood. Those born in the 1980s at the same time were entering adolescence, experiencing the regime only at its end of glory. The generation who experienced the New Order less is excited to trace the history. During my discussion with Yaya Sung, she was riveted by this curious issue, something that made her fired up. She asked, “How could we talk about gender equality when there’s a very deep gap of information between the New Order era and the Reformation?”. Meanwhile, the generation who experienced the New Order longer is more interested to see relations happening today. Otty Widasari, for example, views that during the New Order era conflicts used to grow vertically, i.e. against the government, but today conflicts grow horizontally. “I was free with my gestures as a woman, there was no religious view that supervised us critically such as today. The vertical conflicts against the government weren’t felt directly because the power operates in structures and, of course, culture. It touched directly the structural elements. But in daily life I didn’t experience it because I was
28 born almost a decade after the New Order ruled. I was already in its acceleration machine.” Apart from the discussion and research that we did together, the eight artists did their own researches independently as well. Julia Sarisetiati did some observation through her participation in several activities, such as the Dharma Wanita Persatuan once in a three months meeting. Julia was then fascinated by Lisa Nuryanti, an instructor specializing in Profession and Personality Development. Lisa has been giving training to the organization. The topic she often speaks of is “To Become A Woman of Excellent Personality”. Through the training, participants should become a woman with excellent personality and ethic. Subsequently Julia tried a session with Lisa Nuryanti to experience and show the construct of the described excellent woman. Kartika Jahja focused on an informant, a former member of Dharma Wanita during 1980s. Tika’s research tells about the journey of a woman who was born as Ms. Titiek Soenarti to become Mrs. Agoes Bachtiar. Titiek was born in Ngawi in 1944. After graduating as a physician, Titiek went on to practice as a general physician in many remote places of Indonesia for ten years. Next, she married Agoes Bachtiar, a government employee, and automatically became a Dharma Wanita member. Some of her seniors gave her the advice to support her husband’s career by working more actively in Dharma Wanita. “I was a physician while my husband was a regular employee. It seemed inappropriate. I was suggested by my seniors in Dharma Wanita not to beat my husband. I had to step down from my career until my husband’s career advances. We were great, we traveled the world, but the husband was stuck, didn’t get promoted. It looked as if we committed a sin.” Titiek then switched to become an embroidery expert. The research above explained the genuine perspective of Dharma Wanita members that clearly shows the limits to what wives could do. It tells how difficult it was to actualize oneself. It’s a different case with Yaya Sung who met and discussed with women from various backgrounds. Yaya interviewed not only Dharma Wanita members but also human rights activist, a professional in politics and housewife, to find out the position and problems of women today
29 from many perspectives. They shared their daily lives, opinions on women organization, roles and problems they face. In a session with a Dharma Wanita member, Yaya saw the positive side of the organization, albeit in small scale, which is the fact that Dharma Wanita is still a women’s space to express themselves, learn, help each other, create fellowship and hone their skills in facing challenges among the society. In the end, women are a part of the society too. Otty Widasari and Marishka Soekarna did their researches using archives. Otty thinks that the New Order had an apt media strategy which controlled the mass media as the messenger to the public. Archives should be able to become a universal source of knowledge that’s accessible to anyone in order to build awareness of today. Otty tried to explore the archives of the President Soeharto’s speech on the inauguration of the 2nd Asia Pacific Conference at ministerial level on Women in Development. From the archives, Otty learned to see women’s roles as a concept ruled out in the state laws. Unlike Otty, Marishka examined a Dharma Wanita bulletin article of June 1976, page 49-50, under the title “What Is an Ideal Wife/Woman”. After reading the article, Marishka was disconcerted. As a woman and mother, she sees a very high expectation imposed on women’s shoulders, creating an assumption that an ideal woman is a super or perfect creature judged from her contribution to the family. Marishka’s idea was to study the bulletin article and compare the view on “ideal” women then and now, and see whether gender roles are still the myths haunting women today. Tita Salina, Keke Tumbuan and Aprilia Apsari talked about Dharma Wanita through the lifestyle within the organization. Tita Salina collected perfumes of Dharma Wanita former members of 1980s around her house. She tried to see power from things in relation to senses (olfactory sense) through fragrance. It’s like sandalwood (cendana), a characteristic to the New Order. It whiffs strongly, disguising other smells, domineering and looming as reminder and enforcer. Apart from offering nostalgia, the fragrance is specifically something left from Indonesian history. In principle it was used to disguise the bad smells. Aprilia Apsari examined the iconic hairdo, the high bouffant bun. Bun hair used to represent a characteristic identity of a Dharma Wanita
30 member, such as Tien Soeharto’s or Mien Soegandhi’s. Meanwhile, basically bouffant (sunggar) is a traditional Javanese hairdo often used by Solo and Yogyakarta brides. This mark of identity has changed, though, in the era of Dharma Wanita Persatuan which features a Muslim symbol for woman, i.e. head veil or hijab. The users of bouffant have far reduced since many women want to have a simple and practical hairstyle. Aprilia Apsari, also known as Sari, wanted to show a national history and social situation through the hairstyle. Keke Tumbuan showed another side of the organization through the members’ hobby and enjoyment. Keke asked Dharma Wanita Persatuan members’ favorite songs during breaks in office. Keke’s method served as an icebreaker and enthusiasm emerged as they mentioned their favorite tracks. The songs’ lyrics, melody and flavor display their personalities as individuals as well as a member of organization, bureaucracy and woman. The situation of women’s organization in Indonesia is a reflection of the political situation that affects the societal changes and circumstances. For 32 years the New Order suppressed the people’s aspirations and creative forces whether in artistic context or in women context. Through art, people can offer their own views on today’s problems. Art can ignite society’s awareness. In Hafiz words, “Art can play a role to lay down some truth.” The research focus on Dharma Wanita became an entry to look at the construct of women in social-political spheres from one period to the next; how history shapes us until today. This reflection over history allows us to formulate and find new ideas for the situations of today and tomorrow.
31
Angga Wijaya Angga Wijaya graduated from the Pedagogy of Visual Art of Jakarta State University (UNJ). He has participated in various curatorial workshops, such as those organized by the Jakarta Arts Council, Japan Foundation and ruangrupa. Today he focuses on curatorial work of projects that are specifically using social, cultural and educational approaches. In 2014 he was selected to join Run and Learn: New Curatorial Constellation, a program of Japan Foundation in Tokyo.
32
33
Audiensi Judul Audiensi bersama Ketua dan Anggota Dharma Wanita Persatuan
Tanggal 31 Agustus 2015
Tempat Kantor Dharma Wanita Persatuan Pusat
Durasi 2 (dua) jam 23 (dua puluh tiga) menit 57 (lima puluh tujuh) detik
P1 : Monggo ibu-ibu P2
: Ibu Umi sana
P1
: Ibu Umi mangga di dieu...
P3
: Bu Tuti katanya aya?
P2 : Aya P3
: Sudah datang?
P2
: Ada
P1
: Apakah orang tuanya ada yang PNS? atau suami, ada yang istrinya, ada yang ibunya? (peserta tertawa bersama)
P1
: Neneknya...
P3
: heh?
P2
: Neneknya PNS, kali ya...
P4
: Tapi masih Dharma Wanita lah, ya. (tidak jelas karena
P5
: hehehe..
P1
: ada yang sudah tau belum perbedaan antara Dharma
sambil tertawa)
Wanita dengan Dharma Wanita Persatuan? Ajeng
: Saya sempat ngobrol dengan Bu Wiwik
Peserta
: Ooo...
Ajeng
: Saya sudah diberi fotokopian buku Dharma Wanita Persatuan
Ibu Jullie
: Yang mana? Yang sejarah?
Ajeng : He eh.. jadi yang perpindahan antara Dharma Wanita ke Dharma Wanita Persatuan Ibu Jullie
: Gitu... Ok...
Ajeng
: Kurang lebih siih sudah diinfokan.. (peserta
berbicara
bersama-sama
sambil
tertawa,
sehingga tidak jelas) Ibu Jullie
: Bu Ida
P3 : Eh, bu Idanya kemana, ya? (peserta berbicara satu sama lain, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan) P4
: Belum sampai.
P1
: Belum sampai?
36
P4 : Lagi di jalan... (jeda) Ibu Jullie
: Sambil menunggu, silahkan loh itu
P4
: Iya, ibu...
P5
: Oke
Ibu Jullie
: He eh.. kuenya silahkan dimakan
P6
: Terimakasih...
(jeda) Ibu Jullie
: Ini yang di samping sini, namanya ibu Umi Rusman, salah satu ketua. Sebelumnya, bapaknya beliau adalah Wanmen Kementrian Pertanian
P5 : Oo... P2
: Tetapi sebelumnya ya, aktif. Pernah menjadi ketua DPP DPS. Eh, penasihat di DPP DPS. Aktif beliau di DPS.
P5 : Hemm... Ibu Jullie
: Tetapi kemudian beliau menjadi Wanmen di Kementrian Pertanian, jadi berganti switch ke Menteri Pertanian. Nah, sekarang ditarik lagi (tidak jelas karena berbicara bersamaan) (peserta tertawa bersama) (suara gaduh)
Ibu Jullie
: Wah ini, suhu sejak Dharma Wanita
P1 : Panjengan masuk peralihan ya P2
: Peralihan
Ajeng
: Pernah menjadi Sekjen ya bu ya
Ibu Jullie
: He eh
P1
: Di zaman peralihan, jadi kalau ingin tahu sejarahnya dengan beliau ini (peserta tertawa)
Ibu Jullie
: Dicatut semua
P1 : Oh, ada lagi yang pakarnya
37
P6 : Oh, ada lagi pakarnya... P2
: Ya
P1 : Opung P2
: Sudah dua puluh
P6 : Opung P2
: Dua puluh lima tahun
Ajeng : Heh? P5
: Dua puluh lima tahun
Ibu Jullie
: Dua puluh lima tahun, ya. Ada satu lagi, (tidak jelas)
P3
: Dari awal Dharma Wanita
P4
: Dari zamannya Ibu Tien ya.. (ada dua orang peserta yang bicara bersama, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan)
P1
: Ya
P2
: Undang-undang dan lain-lain, aturan segala macem tuh..
P3
: Ya
P5 : Hemm Ibu Jullie
: Mbak..mbak..mbak... Ambilin kartu nama ku dong...
P1 : Mana tadi? Ha ini, ibu yang ini, seragam Dharma Wanita Persatuan P2
: Ya ya ya
P3
: Yang Ibunya dahulu di Dharma Wanita, pasti tahu
P2
: Cokelat
seragamnya tidak begini. Rada-rada...apa ya? P4 : Pink..pink.. P3 : He eh P4 : Pink kecokelatan (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P1
: Iya bluwek... (peserta
berbicara
bersama-sama
sambil
tertawa,
sehingga tidak jelas) P3 : Nah, sekarang seragamnya seperti ini. Bu Titin di sini dong. Eh sebelahnya (tidak jelas) ini. Sebelahnya bu Umi kali, bu Titin. P2
: Bu Titin
38
P5
: Ini berubah sejak waktu sembilan delapan ya, seragamnya ya? (ada suara kursi diseret)
P1
: Ini sembilan... disahkan Munas sembilan berapa ya?
P2
: Sembilan sembilan
P6
: Sembilan sembilan ya
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P1 : He eh.. pengesahan Munas (ada suara gaduh) (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P3
: Warnanya cantik, kan?
P1
: Kalau yang dahulu bluwek ya?
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P5 : Hehehe P2
: Warnanya cantik
P3 : Bisa bagus itu P1
: Kalau yang dulu punya kebaya, kita nggak punya.. belum punya kebaya zaman sekarang (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
Bu Jullie
: Oke, beliau adalah Ibu Tuti, ee... sekarang menjabat Sekjen Dharma Wanita periode 2014 sampai dengan 2018 (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
P1
: Yang di ujung, yang cantik itu, ibu Titin Manggarani, salah satu ketua juga, yang Koordinir bidang... (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) (peserta tertawa bersama)
P3
: Nggak lah.. jangan-jangan tuaan gua lagi (peserta tertawa)
P4 : Paling tua dari (tidak jelas) P5 : Oh, hahaha... P2
: Rambutnya doang yang putih
P3
: (tidak jelas) Sudah putih semua (peserta tertawa)
P2 : Kan keluar juga rambut kita kayak apa, ya..
39
(Peserta tertawa) P1
: Belum 52 ya...
P3 : Heh? P2 : Resek! P5 : Hehehe.. (Peserta tertawa) P1 : Supaya adik-adik muda ini tahu, walau pun kita nggak digaji, tapi kita.. (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P2 : He eh (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P1 : Emang gajinya berapa? Dapat untung berapa? Anak zaman sekarang pasti begitu.. (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P1
: Ibu Jullie. Sampai ke daerah kayak gitu juga ya bu..
Ibu Jullie
: Ya...
P1
: Partisipasi saja ya (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
Ibu Jullie
: Ya, he eh.. Kalau dahulu? Kalau dahulu digaji?
P2 : Sama... P1
: Aku nggak ya, aku rasa nggak ya
P2 : Nggak ya? P3
: Tidak ada gaji-gaji
Ibu Jullie
: Kita ini organisasi
P2
: Organisasi Kemasyarakatan
P5
: Tapi terus jalani program-programnya itu dananya dapat
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
dari mana? P1
: Nanti dijelaskan oleh Ketua Umum ya... Jadi ini kan kita menunggu Ketua Umum. Kita... aku boleh tahu tidak, kalian umurnya berapaan sih? (ada peserta yang tertawa)
P6
: Aku 25
P3 : Paling di bawah-di bawah ku (ada peserta yang tertawa)
40
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P1
: Di bawah 30?
P1
: Di bawah 30, bisa 25.. bisa 27... bisa 21...
P2
: Itu 21
Ibu Jullie
: Ada yang 20? 20 persis?
Pria
: 26
Ibu Jullie
: 26, oke..
P5
: Aku 30
Ibu Jullie
: Oh, 30? Oke
P7
: 29
Ibu Jullie
: Oke
P8
: 33
Ibu Jullie
: Oh, 33? itu lebih dari 30, 33...
P8
: Karena saya yang paling bungsu
Ibu Jullie
: Nah...
(peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas)
(ada peserta yang tertawa)
P3 : sama...sama... aku yang paling tua (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) Ibu Jullie
: Oke
Pria
: Generasi penerus
Ibu Jullie
: Generasi penerus, oke
P9 : Asyik (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) P2
: anak ku yang paling tua, eh muda umurnya 25
P6
: Oh, iya?
P2
: Yang nomer satu 33, yang nomer dua, 25 (peserta berbicara bersama-sama, sehingga tidak jelas) (peserta berbicara satu sama lain, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan) (ada peserta yang membicarakan anaknya) (peserta berbicara satu sama lain, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan) (ada peserta yang membicarakan anaknya) (ada peserta yang batuk)
41
(peserta diskusi ngobrol sendiri-sendiri, tentang topik yang berbeda-beda) Ibu Wien
: Jadi ini apa sih? Mau bikin proyek seniman? siapa yang dapat menjelaskan? (peserta diskusi ngobrol sendiri-sendiri, tentang topik yang berbeda-beda) (ada peserta yang baru datang dan mengucap salam, Assalamualaikum)
Ibu Wien
: Ini yang namanya Ibu ida. Ada yang pernah tahu? Ada yang pernah kenal?
Ibu Ida
: Ini anak-anaknya?
Ibu Wien
: Iya
Ibu Ida
: Ini dari Dewan Kesenian... (peserta serempak menjawab, Jakarta)
Ibu Wien
: Siapa ketuanya sekarang?
P4 : Mbak Ajeng yang ngimel tuh Bu.. Ibu Wien
: Ooo... Hai, cyin... Dahulu Dewan Kesenian Jakarta itu, pernah ibu Ratna, ya?
P5
: Ratna siapa?
P9
: Ratna Sarumpaet
Ibu Wien
: Ratna Sarumpaet, nah terus Dewan Kesenian Jakarta, Pak Ramadhan (tidak jelas karena ada yang batuk) itu Om saya
Ajeng : Oo... Ibu Jullie
: Nah, yang di ujung sana ternyata designer (ada peserta yang batuk) (ada peserta yang tertawa) (peserta berbicara satu sama lain, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan)
Ajeng
: Aku mulai?
Ibu Wien
: Ya mulai (peserta berbicara bersama-sama)
Ibu Wien
: Maksud dan tujuannya ya sayang, ya...oke.
Ajeng
: Jadi sebelumnya terimakasih banyak. Terimakasih kepada semua ibu yang telah hadir hari ini, ibu-ibu
42
pengurus, juga ibu-ibu DWP yang sudah mengatur semua pertemuan ini P1 : He eh Ajeng
: Jadi, kami dari Dewan Kesenian Jakarta, saya Ajeng sebagai Project Officer kegiatan ini, lalu ada Angga Wijaya yang bertindak sebagai kurator, juga ada Ikesh yang mengurus program seni rupa di DKJ. Jadi tahun ini DKJ membuat satu program kesenian yang berbasis project dengan pendekatan penelitian. Jadi kami mengundang 9 seniman perempuan untuk terlibat dalam proyek seni ini, ee.. yang setiap projectnya nanti memiliki issue atau tema khusus
P2
: 9 orang ya?
Ajeng
: Iya, 9 orang dari berbagai latar belakang
P4
: Perempuan?
Ajeng
: Iya, perempuan, semua perempuan. Jadi kebetulan yang hadir di sini hanya 3 orang. Untuk senimannya ada di samping saya, ada Yaya, lalu ada Kleting, juga ada Sari Julia
P5 : He eh Ajeng
: Nanti bisa ngobrol lebih detail dengan mereka, yang lain kebetulan berhalangan hadir..
P6 : Hemm Ajeng
: Lalu, mengenai detailnya project ini, nanti bisa dijelaskan oleh... Angga Wijaya, panggilannya Ampyang (peserta tertawa)
Ajeng
: Secara keseluruhan kami ingin... karena tema besar adalah Orde Baru, lalu kami ingin lebih fokus kepada salah satu produk Orde Baru, yaitu kami kerucutin lagi ke Dharma Wanita. Jadi kita meriset tentang Dharma Wanita. Jadi kami ingin mengharapkan dari pihak Dharma Wanita dari perkenalan ini
P3 : Masukannya... Ajeng
: Kami semua bisa melakukan riset atau bisa tau apapun, dari mulai sejarah, kegiatan, program.. jadi project
43
ini, sudah berlangsung selama sebulan, dua bulan. Acaranya ini nanti akan dipamerkan, tanggal 3 Oktober sampai dengan 19 Oktober, di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. (ada peserta yang berbicara) Ajeng
: Jadi nanti sembilan seniman ini akan riset..
P3 : Dharma Wanita? Ajeng
: Ya, ee...
P4
: Dengan topik Dharma Wanita ya, pembahasannya ya
Ajeng : He eh.. P2
: Oke...
Ibu Wien
: Ya... ya... dengan.. dengan kreatifitas masing-masing dari 9 seniman ini yah.. Oke, boleh tanya, kenapa Dharma Wanita?
Angga
: Jadi perkenalkan, saya Angga Wijaya, terimakasih ibuibu atas kehadirannya. Sebenarnya tema khususnya yaitu produk kebudayaan dari Dharma Wanita. Jadi kita relasikan antara kesenian dengan produk kebudayaan dari ibu-ibu Dharma Wanita. Nah, kenapa Dharma Wanita? Menurut kami jadi satu hal yang penting untuk melihat konteks wanita hari ini
P6
: Iya...
Angga
: Jadi bukan sekedar tentang Orde Baru
P8 : He eh Angga
: Tapi kami ingin melihat perjalanan panjang organisasi ini
P1
: Ya
Angga
: Dharma Wanita itu sampai... sampai sekarang. Dharma
Ibu Wien
: Ya
Wanita ada.. ada perubahan kan... Angga : Kayak..kayak Ibu Wien
: Orde baru ya? He eh
Angga : Terus Reformasi, segala macem. Kami ingin melihat peralihan itu Ibu Wien
: He eh
44
Angga
: Kami juga ingin membaca ulang sejarah dan bagaimana kita bisa sampai saat ini, dapat hadir sampai sekarang. Seperti wanita-wanita ini
Ibu Wien
: He eh... he eh...
Angga
: Pertemuan ini sebenarnya ingin audiensi dan ngobrol santai gitu, untuk mengetahui Dharma Wanita...
Ibu Wien
: Perjalanan ya?
Angga
: perjalanannya gitu
Ibu Wien
: Ya, perjalanan panjang, ya...
Angga : He eh... misalnya dulunya Ibu Wien
: He eh
Angga
: Dalam pemerintahan, seperti apa?
Ibu Wien
: He eh
Angga
: Lalu, kebudayaannya apa saja?
Ibu Wien
: He eh
Angga
: Kegiatan-kegiatan kebudayaannya itu apa saja
Ibu Wien
: He eh..he eh
Angga : Kan ada hymne, ada logo, ada busana Ibu Wien
: He eh, yak
Angga : Itu kan, bentuk kesenian Ibu Wien
: Yak..yak
Angga
: Bagi kami, itu menjadi fokus riset untuk project ini, dan seniman-seniman yang ada di sini akan merespon itu, kemudian akan dipresentasikan sebagai karya seni
Ibu Wien
: Oke, bagus, menarik yah.. Jadi perjalanan sejarah Dharma Wanita akan disuguhkan dengan kreatifitas yang berlainan, ya? Jadi, setiap seniman punya konsep masing-masing
Angga
: Ya
Ibu Wien
: Oke... apa yang dibutuhkan dari kita? (tidak jelas karena ada suara mic yang digeser) perjalanan sejarah Dharma Wanita dimulai dari sampai dengan.. dengan (tidak jelas karena ada orang yang batuk) survivelnya (tidak jelas karena ada orang yang batuk) sampai kita aktif sampai sekarang dan diakui. Oke, kita bisa saling
45
menambahkan, ya, (ada peserta yang berbicara dengan orang lain) Ibu Wien
: Tapi kami juga punya buku sejarah
Angga : Hem P1
: Yang baru kita record..
Ibu Wien
: Ada... ada produk. Nanti kita akan berikan. Itu hanya data otentik bahwa memang kita ini punya bukti sejarah yang dapat dibaca oleh generasi muda. Saya... saya yakin kalian anak-anak muda yang memiliki semangat, kreatifitas tinggi. Saya sangat salut, ya kita ya..
P1 : He eh Ibu Wien
: Apresiasinya tinggi ya, biar gimana juga. Tapi saya masih penasaran... Dewan Kesenian Jakarta itu kok masih muda-muda banget gitu, ya? Dahulu waktu pertama saya kenal DKJ itu, sudah pada senior...
Angga
: Iya ya ya
Ibu Wien
: Bener, kan? (peserta ada yang nyeletuk, tapi gak jelas apa yang dikatakan)
Ibu Wien
: Jadi berarti sekarang reformasi total ya?
Ibu Wien
: Jadi kalian kader-kader muda yang dimunculkan?
Ibu Wien
: Itu bagus, banget gitu loh. Tepuk tangan untuk generasi
(beberapa peserta berbicara bersamaan) (ada peserta yang tertawa) muda... (peserta bertepuk tangan dan tertawa bersama) Ibu Wien
: Eh, ada om saya, Rahar.. Ramadhan Kartadimaja, dahulu ada Ratna Sarumpaet, itu bekas IKJ. Lalu ada temanteman dari Dinas Kebudayaan Jakarta. Sekarang ketua Taman Ismail Marzukinya masih Pak Bambang?
Angga
: Masih
Ibu Wien
: Oh, bilang Pak Bambang, saya ketemu Bu Win. Jali kalau ada apa-apa, ada kesulitan, bilang bu Win.. (ada peserta yang tertawa)
Ibu Wien
: Nah, jadi ide dasarnya bagaimana menyampaikan
46
sejarah Dharma Wanita dengan bermacam-macam kreatifitas itu. Tujuan sasaran apa yang ingin dicapai oleh kalian? Respon dari masyarakat, atau memang kalian mengapresiasi keberadaan organisasi wanita ini? ya. Kalau tadi dibilang, siapa namanya? Ajeng
: Ajeng
Ibu Wien
: Ajeng. Ajeng menyatakan bahwa ini Orde Baru, kami mengakui bahwa Dharma Wanita itu proses, Dharma Wanita itu di bawah bentuk dan dilahirkan oleh gagasan Orde Baru. pada saat itu adalah pak Amir Machmud
Angga : Hemm Ibu Wien
: Sebagai Menteri Dalam Negeri, yang menyatakan bahwa saatnya istri-istri pegawai Republik Indonesia pada saat itu, bulan Mei tahun 73, gagasan itu dilemparkan dengan ide-ide dasar dari tokoh-tokoh perempuan Dharma Wanita. Nah, waktu berjalan, untuk anak-anak ketahui, bahwa seluruh kementrian itu sudah ada organisasi perempuan istri PNS, istri pegawai negeri Republik Indonesia, tetapi berbeda-beda nama, sehingga Pak Amir Machmud, memberikan satu tugas khusus, kepada Sekjen Korpri pada saat itu, untuk menindaklanjuti lobi dengan seluruh ketua organisasi perempuan yang ada di kementrian, ada di provinsi, untuk sepakat melebur meunifikasi organisasi perempuan itu menjadi Dharma Wanita. Dan di situlah munculnya kekuatan yang menurut saya, pasti kami dari Dharma Wanita menilai bahwa itu sangat positif. Bagaimana tonggak sejarah, bahwa istri-istri pegawai negeri itu tidak hanya duduk lihat pembangunan dilaksanakan oleh para suaminya, tetapi kami juga harus ikut berpartisipasi dalam kekuatan dan kemampuan masing-masing. Itu, positifnya itu, sehingga lahirlah satu organisasi yang disepakati oleh Indonesia menjadi Dharma Wanita. Ada beberapa nama ya waktu itu ya, pilihannya Dharma. Nanti ditambahin oleh tim sejarah
47
(ada peserta yang tertawa) Ibu Wien
: Nah, sehingga kalau... kalau boleh buku ini bisa diambil
Angga
: Iya
Ibu Wien
: Sehingga waktu berjalan
nanti
(ada beberapa peserta yang berbicara sendiri dengan temannya) Ibu Wien
: Waktu berjalan, kekuatan politik Orde Baru sangat luar biasa. Ya berapa? Tiga puluh taun ya?
Angga : Hemm Ibu Wien
: Kita dipimpin oleh bapak Presiden Soeharto, selama itulah kita hidup. Dan selama itulah Dharma Wanita itu dianggap organisasi perempuan istri pegawai satusatunya dan terbesar di seluruh Indonesia. Sehingga bolehlah secara kemanusiaan dijelousi, dicemburui, apa di.. di... (ada peserta yang berbicara, namun pelan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan)
Ibu Wien
: Orang sirik sama kita semua, sehingga kasus-kasus dan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh oknumoknum dianggap general bahwa itu Dharma Wanita yang melakukan, segala macem lah. Padahal di balik itu, itu, karena.. karena kecemburuan..
P1
: Ya
Ibu Wien
: Nah, terus, tapi kita tetap berjuang untuk bagaimana kita membangun pemerintah dalam hal programprogam kemasyarakatan. Pada saat Orde Baru itu, dari sejak lahir, sampai sekarang Dharma Wanita adalah mitra kerja pemerintah, walaupun tidak secara formal tertulis, dengan... dengan... dengan... surat keputusan Presiden atau apapun, tapi kita adalah mitra kerja pemerintah yang mayoritas program-program Dharma Wanita itu adalah program-program pemerintah dari kementrian-kementrian, lembaga yang dibantu oleh kita dalam melaksanakannya ke bawah. Adik-adik tau
48
bahwa pegawai pemerintah itu terbatas. Mereka tidak punya grassroot ke bawah, tapi potensi Dharma Wanita dari pusat, kita punya enam puluh lima kantor, cabang kementrian, unsur pelaksana, itu enam puluh lima, masuk ke tiga puluh empat provinsi. Di provinsi itu, ada juga SKPD, dinas-dinas, ya. Seperti kementrian di sini, sekitar enam puluhan, ya. Terus masuk ke lima ratus empat puluh kabupaten kota dengan dinasnya semua. Itu Dharma wanita. Masuk ke kecamatan, ribuan. Masuk ke kelurahan. Jadi kita punya di ujung tombak, paling depan. Depan dari kebijakan, dari birokrat itu Dharma Wanita yang gerak. Nah, potensi itulah yang diambil oleh pemerintah untuk menjadi mitra strategisnya dalam melaksanakan
program-programnya
atau
menjadi
corong pemerintah, untuk menyampaikan, dalam artian yang.. yang.. yang bagus, yang positif. Kita juga sangat selektif, tidak semua program, kita.. kita menjadi partner. Tetapi untuk program-program belajar sembilan taun, ya. (ada peserta yang bicara, namun pelan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan) Ibu Wien
: Program-program anak murid BSM. Apa itu BSM?
P1
: Bantuan..
Ibu Wien
: Bantuan murid miskin, siswa miskin
Ibu Wien
: Terus juga untuk pendidikan menengah universal,
(ada peserta yang batuk) bahwa masyarakat Indonesia harus menyekolahkan anak-anaknya sampai dua belas tahun, karena sangat kurang untuk SDM, untuk menjadi tenaga kerja. Kayak gitu itu kita turun, kita turun ke bawah, kita melatih, kita begitu sampai turun ke bawah, nanti gerakan perempuan lain-lain yang kerja, gitu ya. Artinya ada satu kebijakan, ada satu oportunity yang kita ambil, karena kita istri-istri pejabat yang menentukan itu, dan kita memerlukan program itu, mengaktualisasi diri kita
49
kepada masyarakat untuk mengakui kita, gitu lho. Jadi ada simbiosis mutualistis, dalam bentuk yang sangat simpatik dan sebagai tindak lanjut pembuktian dari citacitakan oleh beliau-beliau yang sudah meninggal, bahwa Dharma Wanita, istri-istri pegawai negeri sipil itu harus memberikan kontribusi penuh kepada pembangunan bangsa, nah itu. Berjalan sampai sembilan... Reformasi sembilan tujuh sembilan delapan, ya.. (ada peserta yang berbicara, namun pelam, sehingga tidak jelas) Ibu Wien
: Sembilan sembilan kita harus melaksanakan Munas. Karena desakan dari let see, organisasi perempuan, organisasi masyarakat lain yang ingin membubarkan kita. Dengan segala kekuatan, potensi yang ada, seluruh provinsi, pimpinan kementerian segala macam, kita kumpul, bahwa kekuatan dari istri pegawai negeri sipil itu tidak dapat dibubarkan. Kita punya keinginan untuk membuktikan, memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk partisipasi pembangunan, tetapi jika secara sporadis, itu tidak dapat diakui. Tapi jika kita bersatu, solid, itu baru kelihatan, kayak gitu. Nah, sehingga pembubaran itu kita tolak. Ini pelaku sejarahnya dua, beliau di (tidak jelas karena belepotan) nanti ini, ditambahin ya mbak..
P1 : He eh Ibu Wien
: Eee, kita tolak, sehingga adalah bargaining antara pemerintah pada saat itu, tapi beliau bicara bukan as a goverment. Beliau personal bicaranya, bahwa maunya ya sudah, kita gabung sama siapa kek, gitu. Kita bertahan, akhirnya setelah bargaining itu keluarlah satu solusi, bahwa kita berubah, menjadi Dharma Wanita Persatuan dengan paradigma baru. kita independen, non partisan, mandiri, tidak berafiliasi pada... adik-adik tahu, kan, Dharma Wanita kan menjadi satu kendaraan
Angga
: Ya
50
P4
: Golkar
Ibu Wien
: Orde Baru kan, pohon beringin. Nah sejak sembilan sembilan kita berubah, bahwa kita tudak berafiliasi pada satu partai pun, kita netral, independen, non partisan (ada peserta yang batuk)
Ibu Wien
: Tetapi hak politik perempuan tetap kita hargai, bahwa kita anggota Dharma Wanita boleh menjadi anggota dewan, partai politik manapun, itu boleh
P6
: Hemm
Ibu Wien
: Hak politik perempuan tidak boleh kita batasi, tetapi dengan satu kondisi tidak boleh menjadi pengurus Dharma Wanita. Karena Dharma Wanita Persatuan takut ada konflik of interest. Tetapi pada saat dia menjadi, karena otomatis dia istri PNS tetap menjadi anggota Dharma Wanita. Nah seperti itu, ya. Pada saat itu terpilih yang menjadi ketua umumnya adalah ibu Nila Muluk, yang sekarang Menteri Kesehatan. Betapa susahnya beliau berjuang dengan teman-teman seluruh pengurus, harus membuktikan kepada masyarakat, bahwa ee..ee.. apa yah, anggapan.. (ada peserta yang berbicara pelan)
Ibu Wien
: Lebih-lebih yang skeptis, kepada kita ya, itu tidak betul. Dan itu kita harus merecovery seluruh, seluruh pendapat orang, mereposisi menjadi yang bagus, yang ini, itu tidak gampang Ajeng, tetapi dengan segala macam, termasuk lambangnya, semua, itu berubah... (ada peserta yang berbicara kasak kusuk dengan peserta lain)
Ibu Wien :Diubah semua, ya seragamnya juga, hanya untuk, kita tidak berubah dari Dharma Wanita yang inti. Kita tetap Dharma Wanita Persatuan, jadi kalau lahir Dharma Wanita dari tahun 74. Tetapi ada perubahan baju, ada perubahan prinsip, ada manusia juga begitu, kan. Nah, pada saat berubah paradigma, baju, prinsip, segala macam, maka diresmikanlah pada tahun 99,
51
kita sebagai Dharma Wanita Persatuan. Tapi tidak, bukan mengganti sejarah. Nah, sembilan sembilan sampai sekarang, kita tetap mempertahankan bahwa Dharma Wanita Persatuan duduk paling depan dalam memerangi kebodohan kepada perempuan-perempuan Indonesia. Jadi prioritas kegiatan Dharma Wanita itu adalah pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan pengurus, dan anak-anak masyarakat, sehingga tujuan kita, bagaimana mereka itu harus menjadi pintar sebagai pelaku-pelaku pembangunan. Kita tidak boleh membiarkan salah satu anggota istri PNS itu menjadi bodoh, sehingga akan melahirkan generasi-generasi yang bodoh juga, itu targetnya. Nah, itu tiga tahun, dari.. dari mulai penataan eh, tiga lima belas taun, ya. Periode pertama tuh, bagaimana menarik simpatik orang untuk percaya kembali bahwa reborn Dharma Wanita itu harus diakui oleh mereka, itu yang susah. P1
: Konsolidasi
Ibu Wien
: Konsolidasi organisasi seluruhnya, karena dianggap bahwa kita issue-issue dibubarkan tuh. Akhirnya alhamdulillah tiga, lima belas tahun kita
P1
: Jalan
Ibu Wien
: Kita.. kita jalan dan.. dan.. dan.. dan mereposisi kita dengan pelan-pelan, salah satu pembuktiannya adalah dari 5 tahun yang lalu kita sudah mulai menjadi mitra strategis pemerintah yang kuat. Pemerintah dan... dan swasta ya. Mereka mempercayakan kepada kita untuk bermitra dalam melaksanakan program-program, ya. Jangan salah, bahwa mereka tidak memberikan sepeser uangpun kepada kita, tapi mereka memberikan program, kita punya sasaran, sehingga kita melaksanakan itu dengan berbagai keuangan mereka semua. Karena aturan keuangan negara sudah sangat berbeda.. (ada suara ponsel berbunyi)
52
Ibu Wien
: Nah, itu ya. Ee.. itu setiap tahun kita mengadakan rapat koordinasi dengan...
Ajeng
: Mitra?
Ibu Wien : Mitra, bagaimana kita menyusun program-program yang beliau-beliau juga susun dengan kekuatan anggaran di kementrian kantornya, yang kita juga mampu melaksanakannya. Jadi kita tidak.. tidak cuman dreaming. Kita harus jelas bahwa ini mampu dilaksanakan, kita ambil. Sehingga kita melaksanakan MoU dengan 10, yang real, MoU itu kurang lebih itu 10 dengan kementrian dengan segala macem, ya. Swasta lebih. Tapi yang.. yang.. yang.. yang tidak pake MoU sangat banyak, tapi lebih deal kepada rapat koordinasi. Tahun ini 30 lebih, ya, mitra strategis pemerintah yang melaksanakan (tidak jelas karena pelan), gitu. Akhirnya, kalau kita menganalis semua, kita mengkaji mengapa mereka mempercayai kita, karena kita berusaha. Kita berusaha lebih profesional, lebih.. lebih.. lebih.. lebih.. lebih.. eee.. apa ya, firm, terhadap.. terhadap konsep bahwa kita independen, kita non partisan, kita tidak berafiliasi pada satu partai, jadi mereka menganggap bahwa memang.. memang kita adalah orang yang ingin membangun negara ini bersama-sama dengan pemerintah, gitu. Dan saya rasa itu, dapat dibuktikan walaupun dengan segala macam perjuangan. Nah, dari sisi kebudayaan, memang budaya kita ini, adalah satu organisasi yang sangat heterogen ke bawahnya. Jadi kita harus menciptakan keberagaman ini menjadi satu kekuatan yang bersatu, makanya disimbolkan di simbol, di.. di.. di logo, di lagu, di hymne, segala macam, tetep kita bersatu, bagaimana kita ee.. menyatukan seluruh potensi istri PNS itu, untuk dapat memberikan bantuan pembangunan kepada pemerintah. Jadi hanya satu (tidak jelas) kita adalah ada sisi terakhir di Munas, tahun dua ribu.. empat belas, kemarin, ya, yang menyatakan
53
bahwa, kami istri pegawai negeri sipil, sudah diubah menjadi istri aparatus sipil Ajeng
: (tidak jelas, karena pelan)
Ibu Wien
: negara. ASN kan sekarang (ada peserta yang berdehem)
Ibu Wien : Menjadikan
organisasi
aparatus
sipil
negara,
berwawasan global dan membantu perempuan untuk menjadi pelaku-pelaku (tidak jelas). Jadi di situ kelihatan, visi itu sangat berani dan sangat optimis, mengubah paradigma lama, mengubah ee.. apa ya, mengubah mindset dari anggota-anggota Dharma Wanita kalau mereka mampu dari peran domestik menjadi peran publik, dengan meningkatkan dirinya. Jadi dua ribu lima belas, kita akan menjadikan Dharma Wanita itu satu persatu menjadi center of excellent. Dimana kita dapat mengeluarkan, memproduksi perempuan-perempuan yang excellent dengan tahapan-tahapan, ee.. apa ya, pelatihan peningkatan kualitas yang bagus. Seperti itu, ya. Itu.. itu.. dalam.. dalam.. dalam.. dalam skala besarnya, mungkin nanti, ditambahkan oleh Bu Titin. Mangga, silakan, Bu Gra, Bu Yuli, dari sisi sejarahnya. Bu Yuli dari sisi organisasi, mungkin bu Titin dulu dari sisi sejarah. Silakan. Ada yang (tidak jelas) tambahkan. Ibu Titin
: (berdehem)
Terima
kasih,
Assalamualaikum
Warrahmatullah Wabarakatuh. Jadi pertama-tama, mungkin saya senang sekali dalam memberi apresiasi ini kepada anak-anak muda kita ya, yang seumuran dengan anak-anak saya P1
: (tertawa) Benar.
Ibu Titin
: Jadi memang semangat begini yang tetap harus kita jaga
Ibu Wien
: Ya
Ibu Titin
: Munculkan, ya, untuk membangun negeri kita. Jadi
Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Tadi sudah banyak disinggung oleh Ibu Wien, mungkin
jangan kalah dengan yang tua-tua
54
saya juga sedikit saja menambahkan bahwa sebelum terbentuknya Dharma Wanita, di Kementerian, eh di Departemen pada saat itu ya Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Itu sudah ada organisasi-organisasi
P3
: Istri
Ibu Titin
: Istri-istri
Ibu Wien
: Istri pegawai negeri
Ibu Titin
: Istri pegawai negeri, nah, karena sangking banyaknya sesuai dengan jumlah departemen yang ada, ini atas ide Bapak Amir Machmud, yaitu...
Ibu Wien
: Disatukan
Ibu Titin
: Ingin menyatukan semua, ya, organisasi-organisasi setiap departemen yang ada itu, yang ngurusin istri-istri pegawai negeri
Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Nah, di dalam satu wadah, yang akhirnya terbentuk ke dalam Dharma Wanita, ya. Dan mungkin itu tokoh-tokoh sejarahnya nanti dapat dibaca di buku yang dibagikan
Ibu Wien
: Di buku ada ya
Ibu Titin
: Juga sangat terima kasih, kepada para pendahulu yang sudah menyatukan kekuatan yang ada
Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Memang kita ini kalau disatukan, ini kekuatannya luar
Ibu Wien
: Kelurahan
Ibu Titin
: Kelurahan. Ya, ini potensi yang sangat besar, dimana
biasa, karena dari pusat sampai ke..
mungkin tujuan utama kita sebenarnya yaitu bagaimana istri-istri pegawai negeri sipil ini, dapat memberdayakan dirinya, memberdayakan... Ibu Wien
: Anggotanya
Ibu Titin
: Anggotanya, memberdayakan..
Ibu Wien
: Keluarga
Ibu Titin
: Masyarakat yang ada di kita. Sehingga mungkin nanti tidak ada lagi anak-anak yang tidak sekolah, tidak akan
55
ada lagi pengangguran, tidak akan ada lagi istri-istri pegawai negeri yang miskin Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Yang kekurangan
Ibu Wien
: Cita-citanya itu
Ibu Titin
: Cita-citanya begitu. Nah, kita di Dharma Wanita tentu ada
Ibu Wien
: Program-program
Ibu Titin
: Bidang-bidang
Ibu Wien
: He eh.. bidang-bidang
Ibu Titin
: Bukan bidang ya, kalau Dharma Wanita hanya ada tiga
(tidak jelas, karena Bu Wien ikut bicara)
bidang, yang lain hanya ee...ee... Ibu Wien
: Pendukung
Ibu Titin
: Sekretariat, Sekjen, sebagai unsur pendukung, nah, bidang-bidang ini yang bergerak. Jadi kebetulan saya dipercaya untuk mengkoordinir bidang ekonomi (beberapa peserta berbicara sendiri dengan suara yang pelan)
Ibu Titin
: Dan mungkin, saya cerita saja. Di bidang ekonomi, memang kita ingin memberdayakan, ya, seluruh anggota Dharma Wanita dan keluarganya dan masyarakat di sekitarnya. Bagaimana kita untuk bangkit, ya.
Ibu Wien
: (tidak jelas, karena pelan)
Ibu Titin
: Menjadi pelaku-pelaku ekonomi, ya. Di sini kita bermitra
Ibu Wien
: Perusahaan
Ibu Titin
: (tidak jelas karena ada bu Wien yang bicara) Kementrian
dengan beberapa kementrian,
Kelautan dan Perikanan, Kementrian Koperasi Ibu Wien
: Koperasi
Ibu Titin
: Kementrian UKM
Ibu Wien
: Perindustrian
Ibu Titin
: Eee..
Ibu Wien
: Perdagangan?
Ibu Titin
: Menko.. Menko..
Ibu Wien
: Menko Kesra ya dahulu
56
Ibu Titin
: Menko Kesra
Ibu Wien
: Oh.. PMK ya dahulu
Ibu Titin
: Perekonomian. Dahulu (tidak jelas) sekarang PMK. Nah, itu kita membuat program apa yang ada di mereka, nah kita ini ada tersedia ee..
Ibu Wien
: Sasarannya
Ibu Titin
: Sumber daya manusianya, sasarannya, nah mereka ingin memberi apa? Sebagai contoh misalnya di Kementrian Koperasi UKM di sana ada program pelatihan-pelatihan kewirausahaan, pelatihan-pelatihan perkoperasian
Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Nah ini yang kita ambil. Jadi nanti pesertanya dari ibu-ibu anggota Dharma Wanita. Baik yang sudah mempunyai usaha, maupun yang belum punya usaha. Nah, yang sudah punya usaha, kita tingkatkan pengetahuannya bagaimana dia memanage usahanya, dan bagaimana dia...
Ibu Wien
: (tidak jelas)
Ibu Titin
: Membuat strategi untuk (tidak jelas), bagaimana packing (tidak jelas karena ada yang berbicara) sehingga ada nilai tambahnya, gitu ya. Permodalannya, nah itu, tadi itu kita kerjasama semua, bagaimana mengakses modal dari lembaga-lembaga permodalan yang ada. Itu macammacam sekali, sudah keliatan hasilnya, ada beberapa ibu-ibu yang memang sudah mempunyai industri, atau mempunyai usaha, ya, seperti dia membuat abon lele, misalnya. Dari hasil pelatihan di Kementrian Perikanan dan Kelautan, kita minta program pelatihan untuk budidaya lele. Nah, ada yang sudah punya kolam lele. Di tanggal dua ini, saya diundang untuk panen (ada peserta yang berbicara dengan kawannya, di dekat mic, sehingga peserta yang sedang menjelaskan diskusi tidak jelas suaranya)
Ibu Titin
: Ya, jadi membuat abon dari hasil lele itu, packaging, ada ibu-ibu yang sudah mengemas hasil produk
57
keripik singkong, dengan cantik, ya. Nah, itu semua meningkatkan nilai jual mereka, kemudian juga mungkin dari ibu-ibu yang lain, sudah ada yang memproduksi tas kulit, ya, sampai terakhir kita Munas, eh, seminar tahun lalu, dua tahun lalu, masih ibu negara Ani... Angga
: Yudhoyono
Ibu Titin
: Yudhoyono, ini bertanya, ini sudah diekspor, belum? (peserta mengiyakan bersama-sama)
Ibu Titin
: Nah, ini belum sampai diekspor, tetapi sudah dikagumi oleh ibu negara, bahwa produk itu adalah produk yang bagus, yang tampilannya rapih, modelnya juga rapih. Dan sampai sekarang masih berjalan
Ibu Wien
: Ya,
Ibu Titin
: Kemudian juga ada ibu Parman
Ibu Wien
: Iya, tas.
Ibu Titin
: Ibu Suparman
Ibu Wien
: He eh..
Ibu Titin
: Itu binaan kita juga, ini setiap kali dia membuat tas
Ibu Wien
: Tasnya bagus-bagus
Ibu Titin
: Tasnya juga bagus-bagus. Ya, mungkin belum sampai
sesuai pesanan kita
dieksport, masih dikonsumsi dalam negeri, dan kita sendiri, pesan, ke sana, kalau ada kegiatan seminar, atau kegiatan-kegiatan yang lain, dan dia mampu untuk membuat dalam jumlah banyak. Sampai dua ribu, tiga ribu, dia mampu. Jadi itu merupakan satu kekuatan. Kemudian di samping itu, kita juga memberdayakan yang lain, misalnya yang penting ibu-ibu itu punya pengetahuan, kalopun ibu itu tidak bekerja (tidak jelas) dia dapat mentransfer ilmunya kepada anak-anak yang... Ibu Wien
: He eh
Ibu Titin
: Yang apa, yang..
Ibu Wien
: Sekolah, putus sekolah. He eh
Ibu Titin
: Seperti misalnya ternak lele, beternak cacing. Itu cacing sutra itu, cacing merah punya nilai jual ya
58
Angga : Hem Ibu Titin
: Dan itu cara pemeliharaannya juga sangat sederhana, tidak memerlukan lahan yang luas, dan punya nilai jual. Dan ini mungkin contoh-contoh kecil yang dilakukan di bidang ekonomi. Jadi..
Ibu Wien
: Ya
Ibu Titin
: Kita ingin melihat istri-istri pegawai negri ini menjadi pelaku-pelaku usaha, ya. Sehingga ketergantungan kepada suami, ketergantungan kepada orang lain itu tidak ada
P1 : Hemm Ibu titin
: Dan mungkin ujung-ujungnya bisa mengurangi korupsi
Angga : Hemm Ibu Wien
: hehehe
Ibu Titin
: Mungkin demikian
Ibu Wien
: Amit-amit
Ibu Titin
: Demikian terimakasih
Ibu Wien
: Ya...ya... ada yang ingin menambahkan? Bu... Bu Umi?
Ibu Umi
: (tidak jelas karena pelan)
Ibu Wien
: Bu..bu..bu Gra dahulu, silahkan, monggo. He eh dahulu,
Ibu Gra
: Terima kasih Bu Wien. Ee ini jadi saya setelah Ibu Titin
silahkan.. itu progres yang sekarang, saya kembali ya, sejak tadi. Ibu Wien, karena saya pernah di sana dulu Ibu Wien
: Pelaku sejarah, beliau
Ibu Gra
: Jadi flash back lagi
Ibu Gra
: Memang dahulu kita butuh tanaman. Karena di sini
Ibu Wien
: Seluruhnya
Ibu Gra
: Pakai ini saja apa nota, sampai apapun, gedung ini tidak
(beberapa peserta berbicara bersama) pengurusnya istri (tidak jelas), istri menteri, jadi
memperrmasalahkan, ya. Asli Dharma Wanita tidak pakai surat, nggak papa (beberapa peserta tertawa bersama) Ibu Wien
: Hehehe
59
Ibu Gra
: Reformasi bingung, lho ini gedung bagaimana statusnya? Ini salah satu kelemahan waktu itu
Ibu Wien
: Jadi lengah. Semua lengah
Ibu Gra
: Semuanya serba enak ya waktu itu, ya
Ibu Wien
: He eh
Ibu Gra
: Tetapi, kemudian pada saat itulah kecemburuan, tadi Bu
Ibu Wien
: He eh
Ibu Gra
: Anggap aja itu ibu-ibu semua itu anak raja, karena
wien bilang
mendompleng suami Ibu Wien
: He eh
Ibu Gra
: Jadi waktu itu, tidak kurang di koran, (tidak jelas) bilang, bubarkan. Itu hanya menggantung-gantungkan kepada suami saja. Banyak yang begitu, ya. Karena lain alasannya, aduh itu prosesnya tidak.. tidak begitu saja. Dharma Wanita reformasi, kadang-kadang begini, lha waktu itu pengurus di sini, bu Hartini Hartarto..
P4 : (tidak jelas) Ibu Gra
: Mengeluarkan surat ke seluruh provinsi, untuk menanyakan. Jadi ini demokrasi betul, waktu itu. tanyakan bagaimana ini ingin diubah? Kalau tidak diubah, dibubarkan. Diubah itu maksudnya anggaran dasar. Jadi seperti Ibu Wien itu tadi sudah sampaikan, apa saja yang dituntut. Jadi dari yang masuk, surat yang masuk dari provinsi, itu kebanyakan minta agar tetap...
P3
: Bertahan
Ibu Gra
: Bertahan. Nah, kalo bertahan, semestinya waktu itu Munas. Munas itu diadakan tahun delapan puluh. Dari tahun sembilan puluh delapan, mestinya tahun dua ribu tiga..
Ibu Wien
: Ya
Ibu Gra
: Ya, tetapi karena ini sangat luar biasa, karena sudah ada yang ingin menurunkan papan-papan, kementrian takut. Terus kita tidak boleh pakai seragam, keluar
Ibu Wien
: He eh
60
Ibu Gra
: Karena takut. Nah, jadi waktu itu, mencekam juga waktu itu.
P2
: (tidak jelas karena jauh dari mic) Golkar dibubarkan juga kan ya?
Ibu Gra
: Iya (peserta berbicara bersama, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan)
Ibu Gra
: Nah, kemudian ternyata masuk minta supaya tetap oleh karena itu Munas lah. Karena Munas biasa tahun dua ribu tiga, terpaksa Munas diadakan tahun sembilan puluh sembilan, nah dihadiri seluruh, yang memang pada waktu itu bukan hanya dari luar saja itu masalah muncul, tapi orang dalam sendiri. Orang dalam ya, termasuk kementrian-kementrian itu takut, ah dari pada menanggung resiko begitu, sudah bubarkan saja. Ada yang begitu. Ini yang kita berat. Justru yang dari dalam ini yang kita berat sendiri, ya. Makanya waktu di Munas, kebanyakan suara mengatakan harus ada pembaruan. Di situ ada anggaran dasar baru
Ibu Wien
: Ya
Ibu Gra
: Nama baru, dengan sepengetahuan bapak presiden kita waktu itu, Bapak Gus Dur, ya
P2
: Gus Dur
Ibu Gra
: Gus Dur, penasihatnya ibu Nuriyah, waktu itu hadir juga. Nah, kita melangkah, memang sulit untuk ibu Nila, karena dia baru, ya. Tapi, karena dukungan dari seluruh anggota, kita kan jejaringnya kan dari pusat, seperti (tidak jelas) sampai ke kecamatam, kelurahan, semua. Bayangkan saya bilang kalau kita bentuk partai, wah, itu jadi presiden. (Peserta tertawa bersama)
Ibu Gra
: Banyak anggotanya, seberapa istri pegawai negeri sipil, ya itu istrinya sebegitu, belum ditambah dengan nonanona atau ibu yang karyawan itu kan. Banyak sekali pegawai negri sipil. Jadi saya masih ingat itu, satu kali
61
apa? Itu tadi kepercayaan yang diberikan oleh mitra, saya ingat, ini sudah Dharma Wanita Persatuan. Waktu itu, Dikbud itu memberikan distribusi uang, kepada daerah-daerah untuk siswa, murid melalui kantor pos. (peserta merespon perkataan Bu Gra secara bersamasama) Ibu Gra
: Nah, tanpa sosialisasi. Setelah dievaluasi, nggak sampailah uangnya, tidak tahu kemana
Angga : Hemm Ibu Gra
: Nah, beberapa kali begitu ya. Lalu ini gimana? ya, kalau ibu-ibu Dharma Wanita bisa nggak? Ditawarkan. Oh, bisa. Kita mulai sosialisasi-sosialisasi, dengan uangnya, kita bawa ini primitif sekali. Ini uang dari.. dari Kementrian Kebudaya pakai karton... apa itu
P2
: Box
P4
: Kardus
Ibu Gra
: Kardus... kardus, ya
P2
: Ya.. ya.. ya
Ibu Gra
: Yang bawa ibu-ibu, Ibu Nila sempet marah, keterlaluan ini kementrian, masak ibu-ibu disuruh bawa uang segini, gitu. Ngeri juga waktu itu, saya bawa uang pakai lift gitu, minta dikawal sama pegawai sini satu, ya. Bawa ke sini, di sini kita sortir, bagi-bagi dengan jatah daerah, lalu ibuibu pergi ke sana. Itu tanda terima ditandatangani oleh murid sendiri. Mula-mula, orang tua yang terima, lalu kita evaluasi ke sana, monitor, tanya, kita berhadapan dengan murid. Ini saya laksanakan waktu di Sumatera Utara. Waktu itu tanya langsung berapa terimanya? Waktu itu mungkin enam puluh ribu, ya. Enam puluh ribu.. eee.. cu.. ee empat puluh ribu
P5 : Oo Ibu Gra
: Lho, enam puluh ribu. Kompit semuanya, Dikbud, nanti juga harus diperiksa. Kita nggak mau. Nah sejak itu, Dikbud itu percaya kepada ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan. Sampai sekarang, saya dengar nanti ingin
62
ditingkatkan untuk PAUD. Itu saja, dananya sudah ada, jadi memang kita tidak ambil sepeserpun, ya, uang dari situ itu haknya murid-murid. Jadi yang sudah pengalaman lalu-lalu itu, uang tidak sampai itu, ya bukan orang baru lagi, ya. Tapi sejak ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan yang memegang Ibu Wien
: Ya
Ibu Gra
: Aman, sehingga Dikbud juga rasa percayanya itu ada. Nah berita ini menyebar, banyak yang tadi Ibu Wien bilang, kalau sudah Dharma Wanita Persatuan yang pegang, ya. Dulu waktu BKKBN itu, kalo KB dipegang ibu-ibu, jalan ya. Sehingga kalau kita sekarang, mungkin Bu Wien nanti akan kerepotan karena mitranya sudah banyak, pacarnya udah banyak sekarang (peserta tertawa bersama)
Ibu Gra
: ya, itu ya, jadi itu saya tambahkan sedikit untuk..
Ibu Wien
: Iya
Ibu Gra
: Dharma Wanita Persatuan. Terimakasih ya
Ibu Wien
: Ya, itu adalah perjuangan kita bagaimana me.. me.. me (tidak jelas, karena suaranya jauh dari mic) karena selama ini, di pikiran mereka, Dharma Wanita itu lebih kepada (tidak jelas, karena suara jauh dari mic dan ada yang berdehem) lebih kepada hura-hura, segala macam, padahal kita itu orang (tidak jelas, karena suaranya jauh dari mic). Bu Yus, monggo silakan, Yus. Ada tambahan? (Ada suara mic yang digeser)
Ibu Yus
: Terima kasih, mungkin saya menambahkan apa yang dikatakan Bu Gra tadi, mengenai kerja sama dengan Dikbud. Itu banyak yang kita lakukan, ini tambahan sedikit, lebih mengetahui adanya sosialisasi wajib belajar yang dicanangkan pada waktu itu ya. Untuk wajib belajar sembilan tahun, karena masih banyak daerah di Indonesia yang anak-anak sekolah itu masih kurang dari APKnya, masih rendah
P1
: APK, Angka Prestasi
63
Ibu Yus
: Itu yang belajar itu masih di atas tujuh sampai dua belas tahun. SMP waktu itu, SD, SMP masih rendah. Kemudian kami diberi tugas untuk sosialisasi wajib belajar
tersebut.
Dengan
nama
Dharma
Wanita
Persatuan penggerak wajib belajar, nama programnya. Jadi kami waktu itu dilatih menjadi motivator. Dari seluruh unsur pelaksana diundang dua-dua orang, dilatih di sini, untuk diterjunkan ke daerah-daerah, ke provinsi-provinsi. Langsung bergerak dengan cepat, di sana juga koordinasi dengan Dinas Pendidikan, seperti Bu Wien katakan tadi, kita memang partner, dengan Dinas Pendidikan. Begitu ibu turun, ibu-ibu daerah juga turun dengan Dinasnya, saat mengumpulkan anak-anak seluruh wilayah itu mudah sekali. Jadi kami sosialisasi, ayo anak-anak, kita bersekolah, begitu ya. Jadi kemudian saya kebagian daerah Jawa Tengah, ibu.. P1
: (tidak jelas)
Ibu Yus
: Timur.. timur semuanya. Kemudian membuat satu lokasi binaan. Ingin tahu, apakah berhasil atau tidak, waktu itu. Jadi lokasinya kita tentukan, satu daerah, satu lokasi-satu lokasi, dari kemudian kita pantau. Anak-anak saya contohnya, waktu itu saya memantau satu daerah di Jawa Tengah, ada satu desa namanya Grobokan, setelah kita sosialisasi sekolahnya kewalahan menerima murid masuk MTS sampai tidak ada lagi tempat, ada sembilan puluh anak itu masuk satu sekolah MTS, mereka kewalahan tidak ada lagi tempat dimana, kami lapor ke Dinas Pendidikan pusat, kemudian mereka rekomendasikan kepada provinsi membuat ruang kelas baru, kemudian sekolah kita pantau sampai mereka lulus SMP, selama tiga tahun ibu juga membina, begitu juga, jadi anak-anak yang membludak sekolahnya tadi ditampung, dibantu untuk mendapat sekolah baru atau mendapatkan kelas baru. Tahun dua ribu berapa gitu ya? Anak-anak yang dapat lulus terbaik kita datangkan ke
64
Jakarta bertemu Ibu Ani Bambang Yudhoyono. Memang disitulah kita bangga sekali bahwa ibu-ibu seluruh Indonesia itu membantu mengsosialisasikan sampai ingin sekolah gitu. Merubah mind set masyarakat dari tidak ingin sekolah menjadi ingin sekolah. (ada peserta yang bicara dari kejauhan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan) P2
: Betul, ibu-ibu terharu sekali sampai seperti itu. Jadi ada salah satu di kelurahan Keramat Jati. Jadi waktu itu, kami dapat tugas untuk sosialisasi lokasi. Jadi waktu kami satu kelurahan itu ada...
Ibu Wien
: He eh
P2
: Ada anak-anak pemulung, atau anak-anak yang parkir, itu hanya mendengarkan saja. Langsung datangi kami. Bu, boleh nggak kami ikut sekolah, gitu.
Ibu Wien
: Hemm
P2
: Terharu. Usia delapan belas tahun, putus SMP eh SD
Ibu Wien
: Hemm
P2
: Kami bantu masuk PKBM. Akhirnya lulus eh lolos, itu mendapat apa, prestasi dia lulus SMP
Ibu Wien
: Ijazahnya ada
P2
: Ijazahnya ada, ditunjukin ke kita, mereka sekarang sudah lapor kepada kami, anak-anak daerah itu. Bu, terima kasih, ada Dharma Wanita kami dapat sekolah. Nah, itulah, jadi mungkin akan datang ini, akan bekerja sama kembali kegiatannya. Ada beberapa daerah yang masih rendah APKnya (ada peserta yang bicara dari kejauhan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan)
P2
: Ya ibu
P1
: Itu salah satu, pekerjaan kami begitu
P2
: Ya
P3
: Bekerja dengan sukarela (ada peserta yang bicara dari kejauhan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan)
65
Ibu Wien
: Nah, masih ada pertanyaan? (tidak jelas karena suaranya jauh dari mic)
P7
: Apa motivasi ibu-ibu? Ingin menjadi motivator dengan semangat yang luar biasa. Memberikan bantuan atau apa... (tidak jelas karena suaranya jauh dari mic)
Ibu Wien
: Nah, itu yang dipegang oleh kita. Mungkin zaman sekarang mulai.. mulai.. mulai ada perubahan, istri pegawai negeri yang profesional (tidak jelas karena suaranya jauh dari mic)
Ibu Wien
: Kalau dahulu saya kerja (tidak jelas karena suaranya jauh dari mic) akan lari, tidak..tidak tahu (tidak jelas karena suaranya jauh dari mic), tetapi sekarang tidak ada alasan untuk, tidak aktif di Dharma Wanita.
Ajeng
: Itu yang dari pengesahan Munas sembilan-sembilan, ya.
Ibu Wien
: Ya, baru ini, sembilan sembilan (ada peserta yang bicara, namun tidak jelas karena suaranya jauh dari mic) (dua peserta menjawab bersamaan, Ya betul)
Ibu Wien
: Jadi memang, secara organisasi yang profesional, kita tetap harus ada grip dari atas ke bawah. Ini konsep organisasi
P6
: Benar, negara
Ibu Wien
: Tapi faktanya, ada.. ee.. (tidak jelas karena belepotan) Dharma Wanita Persatuan itu mengacu pada RTJMN. (beberapa peserta berbicara bersamaan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakan)
Ibu Wien
: Kepada fungsi, presiden terpilih. Kenapa? Karena kita bermitra dengan pemerintah, ya. Nah, pada saat turun ke bawah, mereka munyusun program kerja, mereka bermitra atau mengacu kepada RTJMD masing-masing provinsi
P6 : Hemm Ibu Wien
: Nah, untuk implementasinya pasti tidak sama. Dari tiga puluh empat provinsi, atau dari enam puluh lima kementrian ini, kondisinya nggak sama. Jadi...
66
(Ada peserta yang batuk) (Ada peserta yang menyuruh makan) (ada peserta yang sedang presentasi, namun peserta yang lain sibuk berbicara satu sama lain) P9
: Orang tua aku swasta, tapi.. (tidak jelas, karena ada beberapa peserta yang bicara bersama) (ada peserta yang sedang presentasi, namun peserta yang lain sibuk berbicara satu sama lain)
P2
: Garis komando
P3
: Garis komando
P4
: Garis komando (ada peserta yang sedang presentasi, namun peserta yang lain sibuk berbicara satu sama lain)
P8
: Pertanyaanku sekarang adalah (tidak jelas) jika Dharma Wanita misalnya jadi partai politik, Bu Wien sudah jadi presiden
Ibu Wien
: Bukan.. bukan.. begini.. pertanyaannya adalah, kenapa tidak jadi partai politik? gitu ya..
P8
: Kenapa Bu Wien tidak menjadi calon presiden, gitu? Karena niatnya mulia banget ya
Ibu Wien
: Ya (peserta berbicara bersamaan, sehingga tidak jelas apa yang dibicarakan)
Ibu Wien
: Oh, gitu. Gini-gini, kita harus tetap dalam satu prinsip. Pada satu prinsip organisasi, bahwa kita independen, non partisan, satu, kita hanya kerja untuk pembangunan bangsa dan negara. Siapapun pemerintahnya, siapapun partai politik yang berkuasa. (peserta tepuk tangan bersama) (Peserta dari DKJ berdiskusi sendiri, namun tidak jelas suaranya karena jauh dari mic)
(TAMAT)
67
Catatan Transkrip ini telah disunting di beberapa bagian untuk penyesuaian bahasa, tanpa mengurangi konten dari transkip tersebut.
68
Talks Title Dharma Wanita Talks
Date August 31, 2015
Location Dharma Wanita Persatuan Central Office
Duration 2 (two) hours 23 (twenty three) minutes 57 (fifty seven) second
69
P1
: Shall we, ma’am..
P2
: Ibu Umi is over there
P1
: Ibu Umi, please..
P3
: Someone said Mrs. Tuti is here?
P2
: Yes
P3
: She‘s here already?
P2
: Yes
P1
: Does anyone have a parents who worked as civil servant? or husbands, their wives, their mothers? (participants were laughing together)
P1
: Grandma…
P3
: Huh?
P2
: I guess their grandma was civil servant
P4
: But still Dharma Wanita, right? (not clear because they
P5
: Hehehe
P1
: Does anybody know the difference between Dharma
were laughing)
Wanita and Dharma Wanita Persatuan (United)? Ajeng
: Well, I was talking with Bu Wiwik
Peserta
: Aah..
Ajeng
: Yeah, I was given the copies of Dharma Wanita Persatuan book.
Ibu Jullie
: Which one? The history?
Ajeng
: Yup.. The one about the transition of Dharma Wanita to
Ibu Jullie
: I see. Ok.
Ajeng
: So it’s already informed, more or less.
Dharma Wanita Persatuan.
(Participants were talking and laughing at the same time, the sound was not clear) Ibu Jullie
: Ibu Ida
P3
: Uh, Where is Bu Ida? (participants were talking to each other, so the conversation was not clear)
P4
: She hasn’t arrived yet.
P1
: Hasn’t arrived?
70
P4
: On her way. (pause)
Ibu Jullie
: Please, while waiting, suit yourself..
P4
: Yes, bu
P5
: Oke
Ibu Jullie
: Yes.. Please have the cakes..
P6
: Thank you. (pause)
Ibu Jullie
: Right over here, is Ibu Umi Rusman, one of the chairwomen. Previously, her father was the Deputy Minister of Agriculture.
P5
: Oo..
P2
: But basically, umm, but previously, well, he’s active. Once the chairman of DPP DPS. Uh, advisor in DPP DPS. He was active in DPS.
P5
: Hmm
Ibu Jullie
: But later he was appointed to be the Deputy Minister in Ministry of Agriculture, umm, so he switched to Ministry of Agriculture. (participants laughed altogether) (noises)
Ibu Jullie
: The previous one, right?
P1
: When you entered the transition, right?
P2
: Transition
Ajeng
: Once you were a general secretary, right, Bu?
Ibu Jullie
: Uh huh.
P1
: In this transition era. So if you want to know the history, well, you come to this person. (participants laughing)
Ibu Jullie
: All got pinched..
P1
: Ah, there’s another expert..
71
P6
: Ah, there’s another..
P2
: Yes
P1
: Grandma
P2
: It’s been twenty
P6
: Grandma
P2
: Twenty five years
Ajeng
: Huh?
P5
: Twenty five years
Ibu Jullie
: Twenty five years, yes. There’s another, (not clear)
P3
: From the beginning of Dharma Wanita.
P4
: From the era of Bu Tien, right (there were two participants talking at the same time, so the conversation was not clear)
P1
: Yes
P2
: The law and others, all that rules
P3
: Yes
P5
: Umm
Ibu Jullie
: Can you take my namecard, there’s a lot of (not clear)
P1
: Where was it? Ah this is, this ibu, uniform of Dharma Wanita Persatuan (United)
P2
: Yes.. yes.. yes..
P3
: The one whose mother once in di DPP, wait, Dharma Wanita, must not aware that the uniform was like this. It was kind of, what was it?
P2
: Brown
P4
: Pink..pink
P3
: Yup yup
P4
: Brown-ish pink,
P1
: Yes, bluwek (dirty/muddy)
(participants were talking at the same time, it’s not clear) (participants talking and laughing at the same time, it’s not clear) P3
: Well, now the uniform is like this. Bu Titin, please come here. Eh, the one next to her (not clear). The next one is probably Bu Umi, Bu Titin.
72
P2
: Bu Titin
P5
: It’s changed since 1998, right? The uniform? (there’s a
P1
: Which 1990s this one being legalized in national forum?
P2
: Ninety nine
P6
: Ninety nine, right?
sound of chair being pulled) (participants were talking at the same time, not clear)
(participants were talking at the same time, not clear) P1
: Yup, national forum legalization (there was noise) (participants were talking at the same time, not clear)
P3
: The color is beautiful, isn’t it?
P1
: Well, the old one was muddy, right?
P5
: Hehehe
P2
: The color is beautiful
P3
: That one can be good
P1
: Used to have kebaya, we don’t have one. We haven’t got
(participants were talking at the same time, not clear)
kebaya nowadays. (participants were talking at the same time, not clear) Ibu Jullie
: Okay, she is Ibu Tuti, umm, now General Secretary of Dharma Wanita period two thousands fourteen until 2008 (participants were talking at the same time, not clear)
P1
: The one in the corner, the beautiful one, Ibu Titin Manggarani, one of the chairwomen, who coordinates the division.. (participants were talking at the same time, not clear) (participants laughing together)
P3
: Well, no.. what if I were the oldest one.. (participants laughing)
P4
: The oldest from.. (not clear)
P5
: Oh, hahaha...
P2
: It’s only the hair that went white..
P3
: (not clear) it’s all become white.. (participants laughing)
73
P2
: Well, when we quit, how did our hair become.. (participants laughing)
P1
: It hasn’t been fifty two yet, right
P3
: Huh?
P2
: Naughty
P5
: Hehehe
P1
: So these young ladies know, that eventhough we’re not
(participants laughing) getting paid, but we.. (participants talking at the same time, so it’s not clear) P2
: Yup (participants talking at the same time, so it’s not clear)
P1
: How much you get paid, by the way? How many profit you get? These kids nowadays must be like that, (participants talking at the same time, so it’s not clear)
P1
: Ibu Yuli. You also even go to faraway places like that,
Ibu Jullie
: Yah.
P1
: Simply for participation
right?
(participants talking at the same time, so it’s not clear) Ibu Jullie
: Yah, hu uh.. What about the old days? Did you get paid?
P2
: The same
P1
: I didn’t, for sure, I think I didn’t.
P2
: Didn’t get paid, right?
P3
: There’s no such fee
Ibu Jullie
: We are organization
P2
: People’s organization
P5
: But the fund to keep continue to work on the programs,
(participants talking at the same time, so it’s not clear)
came from.. P1
: It will be explained later by General Chairwoman, right? So it is. So now we are waiting for the General Chairwoman. We, may I know, how old are all of you? (there was a participant laughing)
P6
: I am twenty five.
74
P3
: Supposedly, my juniors.. (there was a participant laughing) (participants talking at the same time, so it’s not clear)
P1
: Under thirty
P1
: Under thirty, it can be twenty eight, it can be twenty seven,
P2
: That one is twenty one.
Ibu Jullie
: Is there any twenty here? Exactly twenty?
(participants talking at the same time, so it’s not clear) it can be twenty one
(there’s a participant laughing) A Man
: Twenty six.
Ibu Jullie
: Twenty six, oke..
P5
: I am thirty.
Ibu Jullie
: Ah, thirty? Oke
P7
: Twenty nine.
Ibu Jullie
: Oke
P8
: Three three
Ibu Jullie
: Oh, three three? That one is more than thirty.
P8
: Because I’m the youngest.
Ibu Jullie
: There,
P3
: Same here, I’m the oldest. (participants talking at the same time, so it’s not clear)
Ibu Jullie
: Okay
A Man
: The future generation
Ibu Jullie
: Future generation, okay
P9
: Cool!
P2
: My oldest child, I mean, youngest, is twenty five.
P6
: Oh, really?
P2
: One is thirty three, the second one is twenty nine.
(participants talking at the same time, so it’s not clear)
(participants talking at the same time, so it’s not clear) (participants talking to each other, so it’s not clear what they were talking about) (there’s a participant talking about her children) (participants talking to each other, so it’s not clear what
75
they were talking about) (there’s a participant talking about her children) (there’s a participant coughing) (participants talking by themselves, about different topics) Ibu Wien
: So what this is all about? You want to make an artist project? Who’s actually responsible for explaining this matter? (participants talking by themselves, about different topics) (there’s a participant who just came and greeted “Assalamualaikum)
Ibu Wien
: This is Ibu Ida. Is there anyone know? Is there any her acquaintances?
Ibu Ida
: This is her children?
Ibu Wien
: Yes
Ibu Ida
: This is from Dewan Kesenian (Arts Council) of.. (participants answered in union, “Jakarta”)
Ibu Wien
: Who is the chairman now?
P4
: Mbak, Bu Ajang is the one who sent email, Bu Ajang..
Ibu Wien
: Aaah, hi, darling, Ibu Ratna once sat in Jakarta Arts Council, wasn’t she?
P5
: Ratna who?
P9
: Ratna Sarumpaet
Ibu Wien
: Ratna Sarumpaet, there, right after that in Jakarta Arts Council, is Pak Ramadhan (not clear because someone was coughing) he’s my uncle
Ajeng
: Aah..
Ibu Jullie
: Ah no. There, right on the corner turned out is a designer (there’s a participant coughning)
P1
: (not clear) with his mama..
P2
: Yup yup (there’s a participant coughning) (there’s a participant laughing) (participant talking to each other, so it’s not clear what they are talking about)
Ajeng
: Can I start?
76
Ibu Wien
: Yes, please start (participant talking at the same time)
Ibu Wien
: The intention and the purpose, right, darling? Yes, okay.
Ajeng
: So, before, thank you so much. All the women who have come to here today, women of the committee, also women of DWP who have organized everything for this meeting.
P1
: Yup yup
Ajeng
: So, we are from Jakarta Arts Council, I’m Ajeng as (not clear because there’s a microphone noise) in this event, and then there is Angga Wijaya who acted as the curator, and there’s also Ikesh. Uhh, Ikesh also happened to manage the visual arts programs in JAC. So, from this JAC, bu, Jakarta Arts Council, uhh, made one project based art program which is research, this year. So, we invited, uhh, nine female artists to do art projects, uhh, in which later in each project, will have a special issue or theme
P2
: Nine people, right?
Ajeng
: Nine people, from many different background
P4
: Female?
Ajeng
: Female, all female. So, apparently, there are only three people who are with us now. For the artists, they are next to me, there is Yaya, and then Kleting, and also Sari Julia..
P5
: I see
Ajeng
: Maybe later, we can talk in more detail with them, the
P6
: Hmm
Ajeng
: And then, about the detail of this project, could later be
other happened to be busy.
explained by Angga Wijaya, called Ampyang (participants laughing) AJENG
: Overall, we would like to… since our big theme is uhh New Order, before. And then, we would like to focus more on uhh one of the product this order, which is we narrowed down to Dharma Wanita. So we are researching about Dharma Wanita. We are expecting from the side of Dharma Wanita in this introduction to..
77
P3
: Give input..
Ajeng
: We can all do a research or umm know everything umm from the beginning of the history, activities, programs. So this project, have already happened for uhh a month or two. This event will be exhibited, from October 2nd to October 19th, that will be in Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. (there was a participant speaking)
Ajeng
: So later, these nine artists will do a research..
P3
: Dharma wanita
Ajeng
: Yes, umm
P4
: With the topic about Dharma Wanita, right? The issue
Ajeng
: Uh huh..
P2
: Okay...
Ibu Wien
: Yes.. yes.. with.. with their own creativity from each nine.. Oke, can I ask something, why Dharma Wanita?
Angga
: So, umm, let me introduce myself, I’m Angga Wijaya, thanks to all of these ladies for being here. So actually, the specific theme is the cultural product of Dharma Wanita. Right, so, why Dharma Wanita? For us, it became one of the important things in the context of woman nowadays.
P6
: Right
Angga
: So we’re not just talking about New Order
P8
: Uh huh..
Angga
: But we’re not only that actually
P1
: Yup
Angga
: But we want to see the long journey of the..
P1
: Yup
Angga
: Dharma Wanita itself, up until.. until now, right. There is a change right, in Dharma Wanita
Ibu Wien
: Yup
Angga
: Like..like..
Ibu Wien
: New Order, right? Uh huh..
Angga
: And then reformation, all those stuff. We would like to see those things there..
78
Ibu Wien
: Uh huh..
Angga
: We also want to reread the history and how we can finally
Ibu Wien
: Uh huh.. uh huh..
Angga
: This meeting is, we actually want to do hearings and
be here up until now. Just like these women..
casual talks, getting to know Dharma Wanita… Ibu Wien
: The journey, right?
Angga
: The journey, yes
Ibu Wien
: Yes, long journey, yes
Angga
: Uh huh..for example, long ago, there was..
Ibu Wien
: Uh huh..
Angga
: What was happening inside the government?
Ibu Wien
: Uh huh
Angga
: And then, what kind of culture in that time?
Ibu Wien
: Uh huh..
Angga
: Umm, what kind of cultural activites happened..
Ibu Wien
: Uh huh.. uh huh..
Angga
: Well, there is hymne, right? There is logo, there is fashion
Ibu Wien
: Uh huh, yes yes
Angga
: Well, those are, form of art..
Ibu Wien
: Yes..yes
Angga
: For us, it becomes the research in this project, and the artists who are present here will respond those things. then will be presented as a work of art
Ibu Wien
: It’s good, quite interesting, right? So the journey of Dharma Wanita, is, will be.. will be, how to say it.. will be presented in different creativity, right? So, each artist is having their own concept..
Angga
: Right
Ibu Wien
: Okay.. what is needed from us (not clear because there was a sound of moving microphone) the historical journey of Dharma Wanita start from this to.. to.. (not clear because there was someone coughing) the survival.. (not clear because there was someone coughing) until we can be active now and being acknowledged. Okay, uhh.. maybe
79
we can talk, adding some information to each other, right. Okay.. (there was a participant talking to someone else) Ibu Wien
: But we also have history book
Angga
: Umm
P1
: That we just record recently,
Ibu Wien
: There is.. there is a product, yes, we do, right? We’ll give you later. It’s just only based on authentic data that indeed we are.. umm.. have a historical proof that can be read by the younger generation. I.. I believe that you all, young generation, have a very very.. umm high, creative spirit. I really respect that, right, we all, right?
P1
: Uh huh..
Ibu Wien
: High appreciation, right? No matter what happened. Uhh.. but before we jump into this, I’m still curious.. All of these Jakarta Arts Council members seem so young, see? The first time I know the council.. the JAC, they were all seniors..
Angga
: Yes.. yes.. yes..
Ibu Wien
: Isn’t, it, right? (there was a participant who interrupted, but the words weren’t not clear)
Ibu Wien
: So they have a total reformation now, right? (some participants talking at the same time)
Ibu Wien
: So all of you, the young cadres, are being emerged.. (there was a participant laughing)
Ibu Wien
: And that’s good, very very nice, indeed. Applause for these young generation.. (the participants clapped their hand and laughed together)
Ibu Wien
: Uh, there is my uncle, Rahar.. Ramadhan Kartadimaja, there was Ratna Sarumpaet, an alumni of IKJ (Jakarta Institute of Arts). And then there were friends of counc.. from Jakarta Cultural Office. Now, is the chairman of Taman Ismail Marzuki still Pak Bambang?
Angga
: Still
80
Ibu Wien
: Ah, tell Pak Bambang, that you met Bu Wien. So, if there’s any problem, tell him it’s from Bu Wien. (there was a participant laughing)
Ibu Wien
: Alright then, so, uhh, basically is about how to deliver the history of Dharma Wanita with all of those, with many kinds of creativity. What is your aim, purpose, that you all want to achieve? Uhh, the public response, or indeed that.. uhh, by this mean.. that indeed you want to appreciate the existence of this woman organization, right? If someone said, what was her name again?
Ajeng
: Ajeng.
Ibu Wien
: Ajeng. Ajeng said that this is New Order, we are aware that Dharma Wanita is a process.. Dharma Wanita was formed under and in.. the idea of New Order. In that time, it was Pak Amir Mahmud
Angga
: Hmm
Ibu Wien
: As Minister of Home Affairs, who stated that it is the time, for the wives of Republic of Indonesia’s staffs in that time, it was May in 1973, that idea was offered with the basic ideas from the figures of Dharma Wanita Persatuan. And then, during that time, time goes on, and to let you kids know, that in all of ministries departments there was already women organization, wives of CS, the wives of Republic of Indonesia’s civil servants. But they all came with different names, so Pak Amir Mahmud was giving one specific task, to the general secretary of Korpri (Republic of Indonesia Civil Servant Corps) in that time, to respond the lobby with the entire chairperson of women organizations that existed in the ministry, and in the province, to agree for merging and unifying those women organizations to become Dharma Wanita, so there is that. And there’s where the power emerged that I think, for us from Dharma Wanita who surely considered that as a very very positive thing. How the pillar of history, that the wives of civil servant were not just sit there and watch the development
81
were executed by their husbands, but we also have to participate with our own power and ability. There, that’s the positive side, so there came one organization to be acknowledged by Indonesia, to be Dharma Wanita. There were several names, right? in that time, but we chose over Dharma. Of course the history team will add up something later (there was a participant laughing) Ibu Wien
: There, so, if it’s.. if it’s fine, you can get this book later..
Angga
: Yes
Ibu Wien
: So time goes on.. (there were several participants who were talking with their friends)
Ibu Wien
: Time goes on, uhh, the political power of New Order was
Angga
: Hmm
Ibu Wien
: We were by Bapak President Soeharto, and during that
really exceptional.. Yes, how long? Thirty years, right?
time we prospered. And for that long Dharma Wanita was, considered as one of the biggest wives’ of civil servant organizations in all over Indonesia. So, it makes sense when people get jealous.. get envy.. get.. get.. (there was a participant talking, but too low, so it’s not clearly heardly) Ibu Wien
: People were jealous with us, so some cases uhh some mistakes done by some people were assumed generally that it was done by Dharma Wanita, yeah, many kind of things. Where actually, it’s just because.. because of jealousy,
P1
: Yes
Ibu Wien
: There, and then, we kept continuing to struggle on how to develop the government in terms of public programs. During New Order era in that time, ever since the beginning up until now, Dharma Wanita is the government-partner, eventhough it’s not formally stated, with.. with.. with some sort of President’s letter or anything, but we are
82
the government partner that indeed, uhh, the majority of Dharma Wanita programs are the government program from the ministries, or organization which being helped by us during the implementation in the field. Do you know that, civil servants are limited. They don’t have grassroot down below, but the potential of Dharma Wanita is from the centre, we have sixty five offices, ministry branches, executive element, that makes sixty five, and spread to the thirty four provinces. In the province, there’s also SKPD, departments, right? Like the ministry in here, there are about sixty, okay. And then we go to five hundreds forty of city regencies, with all of their departments. That’s Dharma Wanita. We get into districts, like, thousands of them. So we have on the edge of the spears, the.. uhh.. front. The front of policy, from the bureaucracy it was Dharma Wanita who become the mover. Then, that kind of potential is what the government took to make it as its strategic partner to execute their programs or becomes the microphone of the government, to deliver, in a.. a.. a.. good, positive way. We’re also really selective, not all programs we.. we’d become the partner. But for the programs uhh like nine years of compulsory study, yes. (there was a participant talking, but too low, so it’s not clearly heardly) Ibu Wien
: Programs for children, uhh, students or BSM (SPS). What was BSM (SPS)?
P!
: Bantuan.. (Support)
Ibu Wien
: Bantuan siswa miskin, (Support for poor students)
Ibu Wien
: Universal intermediate education, that the people of
(there was a participant coughing) Indonesia should have their children studying for twelve years, because we have a shortage for human resources, for being a worker. Yeah, like that, we go down, we train, we’re like that until we go down to the field, so later the other women movement will do the work, something
83
like that. It means that, there is one policy, there is one opportunity that we grab, because we are the wives of the officials who are responsible for those, and we uhh.. need that programs, to actualize ourselves to the public for acknowledging us, like that. So there is a symbiosis mutualistic, uhh, in.. in a very sympathetic form and as a continuity of the proof from the dreams of those who are deceased, that Dharma Wanita, uhh, the wives of civil servants should give a full contribution to the nation development, there is that. It lasted until nine.. the reformation ninety seven ninety eight, yeah. (there was a participant talking, but too low, so it’s not clearly heardly) Ibu Wien
: Ninety nine we had to do a great national forum (musyawarah nasional luar biasa). Because the pressure from.. let’s see.. women organization, other public organizations, who wanted to disband us. With all of the power, the potential, all provinces, the head of ministers, and all that, we gathered, that the power from the wives of civil servants cannot be disbanded. We have this will to prove, to give contribution to the government to participate in the development, but if we do it sporadically, it cannot be acknowledged. But if we unite, solid, it will make it visible, like that. There, so, we refused that disbandment. There are two historical actors in this, he was.. (not clear because too messy) and later, you can add this up, Mbak..
P1
: Uh huh..
Ibu Wien
: Uhh, we refused, so it’s all.. uhh.. a bargaining between the government in that time, but he spoke not as a government. He spoke for himself, that for the best, well, we should join someone else, that’s all. We stayed, and finally, after that bargaining, there came one solution, that we changed, to be Dharma Wanita Persatuan with a new paradigm. We are independent, non-partisan, nonaffiliated to.. you kids know, right? Uhh, Dharma Wanita
84
was becoming one vehicle, right? Angga
: Yes
P4
: Golkar (dominant political party in New Order era)
Ibu Wien
: New Order was banyan tree (Golkar’s party’s logo), right? So then, after ninety nine we changed, that we’re not affiliated with any party, we are neutral, independent, non-partisan. (there was a participant coughing)
Ibu Wien
: But we respect the political rights of the women, that we, the member of Dharma Wanita, can be the member of parliament, any political party, that’s allowed.
P6
: Hmm
Ibu Wien
: The political rights of the women, well, we cannot forbid that, but in one condition, they should not be the committee of Dharma Wanita. Because Dharma Wanita Persatuan was afraid that there will be conflict of interest. But uhh, when she became, because automatically she was the wife of civil servant, she still the member of Dharma Wanita. Yeah, like that. So then, there is that, when that one decided, the chairperson was Ibu Nina Muluk, who now became the Minister of Healthcare. How hard it is, she struggled with all of the friends of committee, should prove to the public, that uhh.. uhh.. how to call it, the assumption.. (there was a participant who spoke slowly)
Ibu Wien
: Not to mention the skeptic one, to us, yes, that’s not right. And for that we have to recover all, all of uhh.. people’s opinion, uhh, repositioning ourselves to become the good one, this one, it’s not easy, Ajeng, but all those things, including the logo, all of that, soon it will change. (there was a participant who spoke hastily with other participant)
Ibu Wien
: Everything got changed, yes, uhh.. that one.. uhh also the uniform, only for, we didn’t change from the core of Dharma Wanita. We’re still Dharma Wanita Persatuan, of
85
course it emerged from Dharma Wanita ‘74, when we were born. But there is a change of clothes, change of ideology, just like a human, right? So, then, during the change of paradigm, the clothes, principal, all of those things, therefore it was legalized in ‘99, we as Dharma Wanita Persatuan. But no, it wasn’t changing the history. Okay, so, ‘99 until now, we’re still keeping that Dharma Wanita Persatuan sit on the upfront for fighting the stupidity to Indonesian women, there. So the priority of Dharma Wanita activity is uhh education. The improvement of the committee’s quality of education, and the children of the people, so our mission is, how to make them smart as the agent of development. We should not let one of the wives of civil servants member become stupid, which later would give birth to a stupid generation too, that’s the target. See, so, that was three years, from.. from the structuring, uh, three, fifteen years long, yeah? That was the first period, isn’t it, the structuring of how to attract the people’s sympathy to gain their trust that the reborn of Dharma Wanita should be acknowledged by them, that’s the hardest part. P1
: Consolidation
Ibu Wien
: Whole consolidation of the organization, because we were assumed that we uhh that disbandment issue, there. But in the end, thank God, three, fifteen years we..
P1
: Keep going..
Ibu Wien
: We.. we.. keep going, and.. and.. and.. and.. we, uhh, repositioning ourselves slowly, one of the proofs is that from five years ago we started to become that strategic partner of the government that is.. that is strong. It can be government and.. and.. private, yes. They trust us to be the partner in executing the programs, right. Don’t get us wrong, they never gave us any penny, but they gave us program, we have aim, so we execute that with many kind of their financial. Because the policy of national financial
86
has became so different. (there was a phone ringing) Ibu Wien
: Okay, so there is that. Uhh. Every year, we do a coordination meeting with..
Ajeng
: Partners?
Ibu Wien
: Partners, on how we organize the programs that they also organized with the strength of budget in their ministry office, in which we also able to execute that. So we’re not.. not only dreaming. We have to be clear that it is possible to do, and then we take it. So we do the MoU with all ten, real. That MoU more of less about ten with the ministry and all those stuffs, yeah. Private have more. But the one.. the one.. the one.. the one who doesn’t use MoU are so many, but more to dealing in the coordinating meeting. This year is more than thirty, yeah, the government strategic partner who do that (not clear because it’s too slow) there is that. In the end, uhh, if we analyze all of them, we study on why they trust us, it’s because we are trying more. We are trying to be more professional, more.. more.. more.. more.. more.. uhh, how to say it, firm, toward.. toward.. the concept that we are independent, we are non-partisan, we are not affiliated to any party, so they assumed that indeed.. indeed we are the people who want to build this nation together with the government, like that. And I think, that, can be proved eventhough with all of kinds of uhh struggle. Okay, so, from the cultural side, indeed that our culture is, one organization that’s very heterogen down below. So we have to create this one uhh diversity to become one united power, that’s why it’s symbolized in the symbol, in.. in… in.. the logo, in the song, in the hymne, all of those things, that we’re still one, how we uhh.. unify all the potential of civil servant’s wives, to be able support to the development for the government. So there is just one (not clear) we are in the last side in national forum, that, we, the wives of uhh civil servant, have already changed
87
into the wives of civil apparatus. Ajeng
: (not clear because too slow)
Ibu Wien
: Nation. It’s ASN now, right? (there was a participant coughing)
BU WIEN
: Uhh, to make the wives of civil apparatus, uhh, to make the organization of nation civil apparatus, to have a global knowledge and help women to become the agent of (not clear) So right there, is visible, that the vision is very brave and very optimistic, to change old paradigm, to change uhh, how to say it, changing the mindset of Dharma Wanita members that they are able from the domestic figure to become the public figure, by improving themselves. So 2015, we will make that Dharma Wanita, one by one, become the center of excellent, where we can distribute, produce, excellent women through some sort of stage, uhh, how to say it, like training for good quality improvement. Something like that, yeah. That.. that.. in.. in.. in.. in a big scale, maybe later, can be added by Mrs. Titin. Please, Ibu Gra, Ibu Yuli, from the historical side. Bu Yuli from the organizational side, and maybe first, Bu Titin from the historical side. Please.. If there’s (not clear) please add.
Ibu Titin
: (clearing out throat) Thank you, Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh (Greetings in Arabic). So first of all, maybe I’d be really happy in giving this appreciation for our young kids, right, who are in the same age of my children.
P1
: (laughed) True.
Ibu Titin
: So, indeed, this kind of spirit uhh, that we should keep on..
Ibu Wien
: Yup
Ibu Titin
: Foster, yes, to build our country. So, don’t get behind by the seniors..
Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Titin
: Before, there are many things that have been mentioned by Bu Wien, maybe I’m also uhh just adding a little bit that
88
before the Dharma Wanita was formed, in the Ministry, uh, in the Department, in that time, yes. Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Titin
: There had been many organizations
P3
: Wife
Ibu Titin
: Wives
Ibu Wien
: Wife of civil servant
Ibu Titin
: Wife of civil servant, okay, so, since there are so many of them according the number of the existing departments, this came from the idea of Bapak Amir Machmud, which is..
Ibu Wien
: To be united..
Ibu Titin
: Wanted to unite all, yes, organizations in each existing departments, the one who managed the wives of civil servants.
Ibu
: Uh huh
Ibu Titin
: Okay, so, in one vessel, which later formed to be Dharma Wanita, right. And maybe you can read the historical figures later in the book that will be given
Ibu Wien
: There is in the book, right
Ibu Titin
: Also, thank you so much, to the predecessors who had united the existing power.
Ibu Wien
: Uh huh.
Ibu Titin
: Indeed, if all of us were gathered, the power will be so big,
Ibu Wien
: Districts
Ibu Titin
: Districts. Yes, the potential is so big, whereas maybe uhh
because from the center until..
our main purpose is actually, Bu, yes, how these wives of civil servants, can empower themselves, empowering uh.. Ibu Wien
: The members
Ibu Titin
: The members, empowering
Ibu Wien
: The family
Ibu Titin
: The people surround us. So later, maybe there will be no longer uhh children who don’t go to school, there will be no unemployment, there will be no longer wives of civil
89
servant who live in poverty. Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Titin
: Who have shortage.
Ibu Wien
: That’s the dream.
Ibu Titin
: That’s the dream. So, we in Dharma Wanita here of course (not clear because Bu Wien was also talking)
Ibu Wien
: Programs
Ibu Titin
: Divisions
Ibu Wien
: Uh huh, divisions
Ibu Titin
: Not really a division, right, in Dharma Wanita there’s only
Ibu Wien
: Support.
Ibu Titin
; Secretary, general secretary, as supporting agent. So,
three divisions, the other is just, uh.. uh..
these divisons are the one who move. So I happened to be trusted to coordinate the economy division, (some participants talking with themselves with low voices) Ibu Titin
: And probably, I’ll just tell the story. In the economy division, indeed we want to empower, yes, all members of Dharma Wanita and their family and the people around them. How we can rise, yes.
Ibu Wien
: (not clear because too low)
Ibu Titin
: To become the actor of economy, right. In here we are
Ibu Wien
: Company
Ibu Titin
: (not clear because there was Bu Wien talking) Ministry of
partner with some ministries,
Marine Affairs and Fisheries, Ministry of Cooperative Ibu Wien
: Cooperation
Ibu Titin
: Ministry of SME (Small and Medium Enterprises)
Ibu Wien
: Industry.
Ibu Titin
: Uhh
Ibu Wien
: Trade?
Ibu Titin
: Ministry of Co.. Ministry of Co..
Ibu Wien
: It was Coordinating Minister of Welfare before, right?
Ibu Titin
: Coordinating Minister of Welfare
Ibu Wien
: Ah, it was Minister of Economy
90
Ibu Titin
: Economy Affairs. Before (not clear) now is Coordinating Minister of Human Development and Culture. So, there we make, from their existing programs, and in us there are available..
Ibu Wien
: The aim
Ibu Titin
: The human resources, the aim. So, what do they offer? For instance, in the Ministry of Cooperation and SME, there are programs uhh training of entrepreneur, cooperation training
Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Titin
: So, this is what we take. So later, the participants are the women, the members of Dharma Wanita. Right from the one who already have business, up to they who haven’t. So, the one who already have business, we will improve their knowledge, how she will manage her business and how she..
Ibu Wien
: (not clear)
Ibu Titin
: The one who already have business, we will improve their knowledge, how she will manage her business, how she makes strategy to (not clear), how packaging (not clear because someone was talking) so there’s an added value, like that. The fund, there is that, so we all cooperate, how to access the fund from existing funding bodies. There are many kinds of it, and the result is visible, some women who already have industry, or have a business, yes, such as she makes catfish floss, for example. From the training result, from.. so from the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, we would ask for a training for catfish cultivation. So, some already have a catfish tank. On next 2nd of this month, I am invited for the harvest (some participants talking with her friend near the microphone, so the participant who was currently speaking cannot be heard)
Ibu Titin
: Yes, so making floss from the catfish harvest, packaging, there are women who already packed their products
91
uhh their cassava chips, beautifully, yes. So, all of those improve the selling point, and later maybe uhh from other women, already started to produce leather bag, right, until the last national forum, wait, last year seminar, two years ago, where the first lady was still Ibu Ani Angga
: Yudhoyono
Ibu Titin
: Yudhoyono, was asking, has it been exported yet? (participants said yes union)
Ibu Titin
: So, this one hasn’t been exported yet, but already being admired by the first lady, that the product is an excellent product, neat looking, neat model also. And it’s still keep going until now.
Ibu Wien
: Yes
Ibu Titin
: And then there’s also Ibu Parman
Ibu Wien
: Yes, bag.
Ibu Titin
: Ibu Suparman
Ibu Wien
: Uh huh,
Ibu Titin
: It was also our trainee, this one, everytime she made a bag
Ibu Wien
: Her bags are all good.
Ibu Titin
: Her bag is also very good. Yeah, maybe it’s still not being
based on our order
exported yet, still uh.. being consumed locally, and ourselves, we order there, if there’s any seminar or any events, and she is able to create in large quantity. Up to two thousands, three thousands, she can do that. So it is one of the powers. And other than that, we also have another empowerment, for example, the most important thing is that these women have knowledge; even though she’s not working (not clear) she can transfer her knowledge to the children who.. Ibu Wien
: Uh huh..
Ibu Titin
: Who.. how to say it..
Ibu Wien
: School.. dropped out of school.. Uh huh.
Ibu Titin
: For example having catfish stock, worm stock. That silk worm, red worm, it has selling point, right
92
Angga
: Hmm
Ibu Titin
: And how to take care of it, it’s has, uhh, very simple, it doesn’t need a vast field, and have selling point. And this is maybe one of the small examples that being done in ecomony division. So..
Ibu Wien
: Yes
Ibu Titin
: We want to see these wives of civil servants become the agent of business, right. So the dependence to the husband, dependence to other people is not existed.
P1
: Hmm
Ibu Titin
: And maybe, in the end, it can minimize corruption
Angga
: Hmm
Ibu Wien
: Hehehe
Ibu Titin
: Maybe it’s like that
Ibu Wien
: May God forbid that..
Ibu Titin
: That’s all, thank you..
Ibu Wien
: Yes.. yes.. is there anyone want to add something? Bu.. Bu Umi?
Ibu Umi
: (not clear because too low)
Ibu Wien
: Bu..bu..bu Gra first, please, come forward, uh huh..first,
Ibu Gra
: Thank you, Bu Wien. Uuh, so this is uhh.. I’m right after
there you go.. Bu Titin, about the progress nowadays, I want to go back, okay, since before. Ibu Wien, because I once there before.. Ibu Wien
: The agent of history, she was..
Ibu Gra
: It’s a flash back all over again
Ibu Gra
: Indeed, long time ago we need support. Because in here
(some participants talked at the same time) the committee were the wives (not clear), wives of the minister, so.. Ibu Wien
: All of them
Ibu Gra
: “Just used this, or notes”, for simply anything, “This building doesn’t have any problem, right?”. Surely is, Dharma Wanita do not need any paper, it’s all fine. (some participants laughed together)
93
Ibu Wien
: Hehehe
Ibu Gra
: Reformation, we’re all confused. Wait, how is this building
Ibu Wien
: Became weak. Everyone is weak.
Ibu Gra
: Everything was convenient, right? In that time, yeah.
Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Gra
: But, uhh.. after that, in that time there came that jealousy,
status now? It was one of the weaknesses in that time.
like Bu Wien mentioned. Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Gra
: Just think of those women as king’s daughter, because
Ibu Wien
: Uh huh
BU GRA
: So in that time, moreless in the newspaper, (not clear) said,
riding their husbands.
disband it!. It’s just simply depending on their husband. Many of them were like that, right. Because for another reason, well well, that process wasn’t.. wasn’t come just like that. Reformation of Dharma Wanita, sometimes was like this.. Well, that time, the committee in here, Ibu Hartini Hartato. P4
: (not clear)
Ibu Gra
: Sending letters to every province, asking. So this was true democracy, that time. Asking, how this is wanted to be changed? If it’s not change, (it will be) disbanded. Changing means the status. So, just like what Bu Wien had explained, anything in demands. So from the accepeted letters, from the province, most of them asked to still..
P3
: Hang on.
Ibu Gra
: Hang on. So, if hanging on, it was supposed to be national forum at that time. National forum were suppose to be held in eighty. From ‘98, it was supposed to be 2003.
Ibu Wien
: Yup.
Ibu Gra
: Yes, but because it was really extraordinary, because someone already wanted to bring down the signs, the ministry was afraid. And then we were not allowed to wear uniform outside.
94
Ibu Wien
: Uh huh
Ibu Gra
: Because of fear. So, it was that time, quite terrifying that
P2
: (not clear because far from the microphone) Golkar was
Ibu Gra
: Yes
Ibu Gra
: Right, and then turned out it was accepted, asking to
time. also being disbanded, right? (participants talked at the same time, so it’s not clear) keep going on, so therefore we had the great national forum. Because the usual national forum was supposed to be in 2003, we were forced to have the great national forum in ‘99. There, so, it was attended by all of them, well indeed in that time, not just some external problems that emerged but also from the internal itself. The internal, yeah, including those scared ministries, “Uh, rather than having that big risk, why don’t we just disband it”. There were some like that. This is where we felt tough. This internal problem turned out to be the toughest instead, right? Uhh, most of the voices said that there should be renewal. From there, there was new statute. Ibu Wien
: Yes
Ibu Gra
: New name, under the eye of our new president in that time,
P2
: Gus Dur
Ibu Gra
: Gus Dur, the advisor was Ibu Nuriyah at that time, was
Bapak Gus Dur, right?
also present. So, we step forward, it was indeed quite difficult for Ibu Nila, because she was new, right? But, because the support from the whole members, well, we were connected from the centre, right? Like (not clear) until regencies, districts, all of it. Imagined that I said if we formed a party, wow, it will be president. (Participants laughed together) Ibu Gra
: Many of the members, some were the wives of civil servants, yeah, that’s counted, not including those girls or women staffs, right? There are so many civil servants. So
95
I still clearly remember that, one time, what was it? That one, the trust given by the partners, I remember, this time was already the Dharma Wanita Persatuan. That time, Education Office, was distributing money, to the various places, for students, through post office. (participants responded to Bu Gra’s words at the same time) Ibu Gra
: So, without campaigning, after evaluation, the money didn’t get there, don’t know where.
Angga
: Hmm
Ibu Gra
: Yeah, it was happening several times, right? And then (they were like) “How is it? If its women of Dharma Wanita, can they do that?” they offered. Oh, they can. We started to do campaigning, with the money, the way we carry it was so primitive. “This is money from.. from.. Ministry of Culture”, with carton.. what was that?
P2
: Box
P4
: Cardboard
Ibu Gra
: Cardboard.. cardboard, yes..
P2
: Yes.. yes.. yes..
Ibu Gra
: The women were carrying it. Ibu Nila once angry, “the Ministry had gone too far, why would these women had to carry those sum of moneys” she said that. It was quite scary, that time, I was carrying it with elevator, like that, asked to be guarded by some staff, yeah. Carrying it to here, here we sorted it out, distributed it with each place’s quota, and then the women went there. The receipt was signed by the student itself. Firstly, the parents would accept it, and then we evaluated to there, monitoring, asking, we were coming face to face with the students. This was I did when I was in uhh, North Sumatera. That time we got asked directly, how much did you get? That time was probably sixty thousand, right? Sixty thousands, uhh.. only.. uhh forty thousands.
P5
: Aah..
Ibu Gra
: Wait, sixty thousands. All completed, Education Office,
96
(they) would later have to get checked. We didn’t want. There, so after that, Education Office trusted the women of Dharma Wanita Persatuan. Up until now, I heard that it will be increased for kindergarden. That’s all, the fund is there, so indeed we didn’t take any penny from it, yeah, the money is there, it belongs to the right of the students. So, those who already experienced in that time, the money didn’t get there, well, it’s no longer the new people, right? But eversince the women of Dharma Wanita Persatuan who handle that.. Ibu Wien
: Yes
Ibu Gra
: It’s safe, so the Education Office also have their trust then. Yeah, so this news was spread, so, there comes many, like Bu Wien said, if the women of Dharma Wanita who handle it, yeah (it’s safe). That time during BKKBN (Birth Control program), if the women took care of birth control program, it will run smoothly. In the end, it’s quite the same, so now, maybe Bu Wien will be difficult later because the partners have become a lot, the boyfriends will become a lot too now (participants laughed together)
Ibu Gra
: Yes, that one yes, so there, I added something a little bit for
Ibu Wien
: Yes
Ibu Gra
: Dharma Wanita Persatuan. Thanks.
Ibu Wien
: Yes, so that’s our struggle on how to.. to.. to.. (not clear,
uhh..
because the sound was far from the microphone) because all of this time, uhh, in their head, Dharma Wanita is more like (not clear, because the sound was far from the microphone and someone coughed) more into go on the spree, all of those stuffs, where instead, we are people of.. (not clear, because the sound was far from the microphone) Bu Yus, please, Yulis. Do you have anything to say? (There was a sound of moving microphone) Ibu Yus
: Thank you, if it’s possible, I would like to add what have
97
been said by Bu Gra earlier, about our partnership with Education Office. There were many things that we’ve been done, uhh, in, this is just a little bit, more like knowing there were campaign of compulsory education which was launched in that time, right. For nine years of compulsory education, because there were still many place in Indonesia where the students’ GPA were still low.. P1
: GPA, Grade Point Average
Ibu Yus
: Those who still studying were still.. the age for schooling were still above seven until twelve. Junior High School in that time, Elementary School, Junior High School, were still low. And then we were given a task to campaigning uhh that compulsory education. With the name Dharma Wanita Persatuan, the mover of compulsory education, the title of the program. So we, at that time, were trained to be a motivator. From the whole executive elements, were invited two people for each, trained here, to be later pitched to the districts, to provinces. (We) moved directly, quickly, and there also got coordinated with the Education Office, like Bu Wien said earlier, we are partner, aren’t we? With the Education Office. When these women pitched in with the Office, it was perfect to gather the children from all over the place, so easy. So we were campaigning, come on, kids, we go to school, okay?. So then I got the region of Middle Java, Bu..
P1
: (not clear)
Ibu Yus
: East.. east.. all of them. And then we, how to say it, made one location under guidance. (We) wanted to know, is it working or not, at that time. So we decided the location, one area there, one location each, from there, we monitored. My children, for instance, at that time I was monitoring one in Middle Java, Grobokan, there was one village called Grobokan, there, after we were campaigning, the school was overwhelmed to accept the students, even they went to Madrasah Tsanawiyah, until there was no longer school
98
available, there were ninety students, they all got in one Madrasah Tsanawiyah school, they got overwhelmed, there was no longer place, we reported it to Education Office Central, and then they recommended to the province to make new classroom. They went to the school until we monitored them until they graduated the Junior High School in that time, for all of those three years those women also guiding, so there is that. So the school who got outnumbered by the students were accommodated, got support to get new school or getting new classroom. We’ve flown the kids who got best graduation score to Jakarta, to meet Ibu Ani Bambang Yudhoyono. That’s where we feel really proud that those women from all over Indonesia helped to campaign until they wanted to go to school, like that. Changing people’s mindset from not wanting to go to school until.. they want to go to school. (there was a participant speaking from afar, so it’s not clearly heard) P2
: Right, us women were so proud it could be that way. So there was one in the district in Kramat Jati, maybe will be told... So that ime, we were assigned to campaigning in the location. So there was one, when we were in that one district..
Ibu Wien
: Uh huh..
P2
: There were child scavengers, or parking boys, they were just only listening. (They) came directly to us, Bu, can we go to school? Like that
Ibu Wien
: Hmm
P2
: We were moved. Eighteen years old, dropped out of junior high.. wait, elementary school.
Ibu Wien
: Hmm
P2
: We helped to enter the PKBM (Central for Public Study Activities). Finally (he) passed the test, wait, graduated, he got what, achievement for graduated the Junior High School.
99
Ibu Wien
: There is the certificate
P2
: There is the certificate, they showed it to us, now they already reported to us, those local children.. “Bu, thank you, because of Dharma Wanita we can go to school.” So, there is that, so maybe, something will come later, will do a partnership again with the events. There are still some areas where the GPA are still low.. (there was a participant speaking from afar, so it’s not clearly heard)
P2
: Yes, Bu
P1
: That’s just one, our job was like that..
P2
: Yup
P3
: With wholeheartedly (there was a participant speaking from afar, so it’s not clearly heard)
Ibu Wien
: There, so there’s more question, then.. (not clear because
P7
: What’s your motivation? Do you want to be motivator with
the voice was far from the microphone) such amazing passion. And instead, they want uhh.. what uh.. to give help or what.. (not clear because the voice was far from the microphone) P2
: Yes
Ibu Wien
: Like that, yeah. So, that was being handled by us. Maybe today, in.. now it’s start.. start.. change seems to start, uhh.. wives of civil servant who are professional (not clear because the voice was far from the microphone)
Ibu Wien
: Well, before I was working (not clear because the voice was far from the microphone) will run, no.. no.. don’t know.. (not clear because the voice was far from the microphone) but now it became a reason for, not being active in Dharma Wanita
Ajeng
: That’s from the national forum inauguration ‘99, yeah?
Ibu Wien
: Yes, just now, ‘99 (there was a participant speaking, but it’s not clear because the voice was far from the microphone)
100
(two participants anserwed in union, Yes, true) Ibu Wien
: So indeed, as a professional organization, we must have a
P6
: True, the nation..
Ibu Wien
: But the fact is, there is.. uhh (not clear because too hurry)
grip from top down. This is the concept of organization.
Dharma Wanita Persatuan was made according to RTJMN. (some participants talking at the same time, so it’s not clear what was being talked about) Ibu Wien
: To the function, of the elected president. Why? Because we have this partnership with the government, right? So, when pitching in, they organized programs, they are in partnership or referencing to RTJMD in each province.
P6
: Hmm
Ibu Wien
: There, for the implementation cannot be the same. From 34 province, or from these 65 ministries, the condition is not the same, So.. (there was a participant coughing) (there was a participant telling to eat) (there was a participant doing presentation, but other participants were busy talking to each other)
P9
: My parents are private, but.. (not clear, because there were several participants talking at the same time) (there was a participant doing presentation, but other participants were busy talking to each other)
P2
: Line of command
P3
: Line of command
P4
: Line of command (there was a participant doing presentation, but other participants were busy talking to each other)
P8
: My question now is previously (not clear) if we, for example, became a political party, Bu Wien must have become the president now.
Ibu Wien
: No.. no.. It’s like this, the question is, why it didn’t become a political party, like that, right?
P8
: Why not Bu Wien becomes presidential candidate, like
101 that. Because the intention is so noble, right? Ibu Wien
: Right (participants talking at the same, so it’s not clearly heard)
Ibu Wien
: To one organization priniciple, that we are independent, non partisan, one, we only work for our nation and people development. No matter who runs the government, no matter which political party ruling.. (the participants applausing) (Participants from JAC talking with themselves, but it’s not clearly heard because it’s far from the microphone)
(THE END)
Notes This transcript has been partly edited accordingly, purely for proofreading purposes without changing the overall meaning.
102
103
Makalah Diskusi / Paper Discussion
104
M akalah Diskusi
Ibuisme Negara Pengambilalihan dan Distorsi Keperempuanan Orde Baru di Indonesia oleh Julia
Suryakusuma
105
I
ndonesia menganut paham negara integralisorganik—masyarakat
yang
dipandang
sebagai totalitas organik—di mana individu
dan
kelompok
merupakan
bagian
dari
satu
kesatuan. Atau, sebagaimana diungkapkan Georg Hegel, “Negara adalah penjelmaan kepentingan umum masyarakat, berdiri di atas kepentingan partikuler dan… dapat mengatasi pembagian antara masyarakat sipil dan negara (Hegel, dalam Rahardjo, 1984). Di dalam negara demikian, ideologi diciptakan untuk menyatukan negara dan masyarakat melalui wahana perantara yang berfungsi menyebarkan ideologi tersebut. Banyak sekali wahana yang telah diciptakan, dengan pendekatan korporatis,1 yang bersumber dari pusat hingga ke hampir 70.000 desa di seluruh Indonesia. Salah satu contoh ideologi demikian saya sebut “ibuisme negara”, yaitu ideologi yang mengilhami retorika dan program-program pemerintah untuk perempuan. Penyalur dan penyebar utama ideologi
1) Korporatisme di zaman Orde Baru adalah sistem peleburan berbagai organisasi masyarakat agar mudah dikontrol negara. Contoh: KNPI untuk pemuda, PWI untuk wartawan, PGI untuk guru, HKTI untuk tani, SPSI untuk pekerja, KOWANI untuk perempuan.
106 ini adalah Dharma Wanita (perkumpulan istri pegawai negeri sipil, PNS), dan di tingkat desa, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tujuan tulisan ini adalah untuk menelusuri dan menjelaskan implikasi politis ideologi ini. Bagaimana ia dikonstruksikan, per wujudan organisastorisnya, dan akhirnya, dampak sosial, ekonomi dan budayanya bagi perempuan di desa dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Politik Kekuasaan dan “Penciptaan” Keperempuanan
P
olitik di Indonesia, seperti halnya di berbagai tempat lain, adalah politik kekuasaan. Kekuasaan negara terkonsentrasi di pusat dan memancar ke semua lapisan masyarakat.
Negara, yang di Indonesia pada zaman Orde Baru (1966-98) identik dengan pemerintah, karena dominasi lembaga eksekutif, tidak dapat mengadministrasikan kekuasaannya secara langsung. Oleh karena itu selain hierarki birokratis dan organisatoris yang berfungsi menjadi perantara kekuasaan dan program pembangunan, negara juga menciptakan ideologi untuk tujuan ini. Ideologi gender negara, atau juga disebut “konstruksi sosial keperempuanan” di Indonesia, bersumber dari kepentingan ne gara. Dalam rangka mengkonstruksikan kerangka teoretis untuk menganalisis ibuisme negara, saya akan merujuk pada konsep “pengiburumahtanggaan” (housewifization) dari Maria Mies, konsep “ibuisme” dari Madelon Djajadiningrat, dan pendekatan “kata kunci” (keywords) untuk menganalisis negara yang dikembangkan Michael van Langenberg. Secara garis besar, semua konsep ini mewakili ruang lingkup ekonomi, politik dan budaya yang memengaruhi konstruksi sosial keperempuanan di Indonesia. Istilah “pengiburumahtanggaan” mengaitkan hubungan produksi (relations of production) dengan ideologi gender dan kerja produktif. Mies mendefinisikannya sebagai “proses yang merujuk perempuan secara sosial sebagai ibu rumah tangga yang penghidupannya tergantung penghasilan suami. Terlepas dari kenyataan apakah me
107 reka secara de facto ibu rumah tangga atau bukan. Definisi sosial ibu rumah tangga ialah pasangan pendamping definisi sosial lakilaki sebagai pencari nafkah utama, terlepas dari sumbangan nyata mereka kepada nafkah keluarga” (Mies 1982). Dalam proses ini, perempuan dikotakkan menjadi ibu rumah tangga yang “tergantung” dan “tidak produktif”, yang menyelesaikan kerja domestik “gratis”. Akibatnya ia menjadi terasing dan terpencil seperti atom tunggal, tidak terorganisasi, terampas dari kekuatan politik dan ekonomi, serta ditempatkan dalam posisi yang subordinat terhadap laki-laki. Mies mengaitkan pengiburumahtanggaan dengan perkembangan kapitalisme. Kebangkitan keluarga batih dengan ibu rumah tangga sebagai jantungnya adalah pemenuhan kebutuhan industrialisasi yang didorong intervensi negara dan gereja. Pengiburumahtanggaan adalah strategi reproduksi (pengembangbiakan) tenaga kerja. Juga penciptaan agen konsumsi ibu rumah tangga yang telah “didomestikasi” atau “dijinakkan” ini. Mies menunjukkan, kerja rumah tangga mutlak bagi proses akumulasi modal, dan bahwa pengiburumahtanggaan adalah “eksternalisasi”2 biaya yang seharusnya dibayar pihak kapitalis (Mies 1986). Kerja yang dilakukan perempuan di dalam rumah tangga dianggap “gratis”, padahal kenyataannya kerja yang mereka lakukan vital bagi berlangsungnya proses kapitalisme. Laki-laki hanya “bebas” untuk menjual tenaga mereka karena ketidakbebasan ibu rumah tangga, yaitu istri-istri mereka. Dengan demikian proletariatisasi kaum lelaki berdasarkan pengiburumahtanggaan perempuan. Jika analisis Mies bersifat ekonomis, di dalam sebuah artikel berjudul “Ibuisme dan Priyayisasi: Jalan Menuju Kekuasaan?”, Madelon Djajadiningrat memformulasikan model kultural-historis yang mempertimbangkan konteks khusus perempuan Indonesia. Ia mengindentifikasikan ideologi ibuisme yang dikembangkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang merupakan kombinasi petit bourgeois (borjuis kecil) dan nilai priyayi tradisional. Ia mendefinisikannya sebagai ideologi yang membenarkan setiap tindakan, asal dilakukan oleh ibu yang mengurusi keluarga, kelompok, 2) Kerja domestik yang dilakukan ibu rumah tangga tidak diberi upah, “gratis”, jadi berada di luar (eksternal) proses akumulasi kapitalisme.
108 kelas, perusahaannya atau negaranya, tanpa mengharapkan imbalan kekuasaan atau prestise (Djajadiningrat 1986). Untuk ibuisme masa kini, lebih tepat menyebutnya sebagai ideologi yang bukan hanya membenarkan, tapi mendefinisikan perempuan di dalam kapasitas itu. Perempuan tidak diakui karena diri mereka sendiri, tapi selalu berkaitan dengan seseorang atau sesuatu. Djajadiningrat mengaitkan ibuisme dengan proses “priyayisasi”, yaitu proses transformasi dan penggunaan nilai-nilai tradisional untuk menopang pembangunan, modernisasi dan pengontrolan kekuasaan di negara Orde Baru. Pendekatannya fungsionalistis3 terhadap proses modernisasi, tanpa mempertanyakan siapa dan apa yang diuntungkan olehnya. Priyayisasi semakin berarti dalam konteks yang disebut “masa peralihan pemerintah (interregnum) yang rapuh antara tradisi dan modernisasi”, ketika monopoli kekuasaan dan pengaturan dimiliki negara Orde Baru (Robison, menyitir Moertopo 1972, di dalam van Langenberg 1986). Bila Djajadiningrat menggunakan konsep-konsep seperti “sta tus sosial”, “status kelas” dan “kekuasaan”, pada dasarnya ia meng gunakan nilai kultural. Ia menyebut ibuisme sebagai ideologi, namun ia dapat juga menamakannya nilai budaya yang memiliki nilai historis karena merupakan produk peleburan sistem tata nilai (borjuis kecil) Barat dengan nilai Jawa. Dalam analisis kata kunci negara, Michael van Langenberg menganalisis hubungan negara Orde Baru dengan produksi ideologi. Ia mengidentifikasikan lima aset negara di bawah judul “kekuasaan”, “legitimasi”, “akumulasi”, “budaya” dan “perbedaan pendapat” (dissent). Sejarah Indonesia pascakemerdekaan ditandai dengan sentra lisasi kekuasaan negara yang perlahan tapi pasti, dengan pusat yang mudah dikenali. Ada dua lembaga yang mendominasi pusat, yaitu militer dan kepresidenan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah lembaga kunci yang menjadi dasar pelaksanaan 3) Fungsionalisme adalah pendekatan dalam ilmu sosiologi atau antropologi yang menginterpretasikan masyarakat sebagai struktur dengan bagian-bagian yang saling terkait. Paham ini melihat unsur-unsur masyarakat – norma, tradisi, kebiasaan dan lembaga - dari bagaimana fungsi mereka terhadap bekerjanya masyarakat secara keseluruhan.
109 kekuatan negara dan stabilitas. “Kepresidenan”, inti jaringan oligarki kepemimpinan negara yang mengaitkan semua lembaga kontrol dan manajemen negara. Sosok presiden yang “kebapakan” menjadi inti lembaga ini, terkait dengan kata kunci “bapak”, yang bertindak sebagai ayah dan pelindung. Secara umum, ini berarti pemimpin dan pelindung kolektivitas keluarga. Paham “bapak” mendasar bagi keseluruhan struktur stratifikasi sosial di Indonesia. “Priyayi” adalah kata kunci lainnya, yaitu elite (Jawa) yang secara turun-temurun membawa silsilah keturunan keningratan dari struktur kekuasaan. Mereka mewakili kontinuitas birokratis dan kultural antara negara kolonial dan pascakolonial (Robison, menyitir Moertopo 1972, di dalam van Langenberg 1986). Ada enam kata kunci yang bersilangan dengan kekuasaan – saya menggunakan empat di antaranya. “Ketertiban”, sebagai ciri dominan Orde Baru, menekankan dimensi peraturan dan keteraturan (law and order) kekuasaan negara. “Pembinaan”, juga mempunyai implikasi indoktrinasi, konstruksi dan manajemen, serta menekankan mobilisasi masyarakat oleh negara. “Stabilitas”, prasyarat vital bagi pembangunan ekonomi yang didukung dengan gigih oleh kekuasaan negara. Sedangkan paham “dwifungsi”, melegitimasi keterlibatan militer dalam urusan nonmiliter dan negara (Robison, menyitir Moertopo 1972, di dalam Langenberg 1986; baca juga Jenkins 1984; Crouch 1978; MacDougal 1982). Kemudian terdapat empat kata kunci yang berpotongan dengan “legitimasi” dan “akumulasi” – saya menggunakan tiga. “Pembangunan”, prinsip pertama penekanan Orde Baru pada pembangunan ekonomi. “Modernisasi”, istilah yang berfungsi se bagai tiang penyokong bagi negara pembangunan paternalistis. Ia menghadirkan visi masa depan utopis yang makmur dan mengartikulasikan dasar ideal sebuah kelas menengah urban baru, teknokrasi serta “suprakultur metropolitan” yang berlokasi di dalam struktur birokratis negara. “Pemerataan”, merupakan pengakuan atas kebijakan pencipta kesenjangan antara kaya dan miskin, yang berfungsi sebagai legitimisasi perusahaan negara kapitalistis (Robison, menyitir Moertopo 1972, di dalam van Langenberg 1986;
110 baca juga Jenkins 1984; Crouch 1978; MacDougal 1982). Di dalam ruang lingkup legitimasi terdapat kata kunci “Pancasila”, lima prinsip filsafat nasional yang melegitimasi semua aspek kekuasaan negara.
Ibuisme Negara: Penjinakan Perempuan Indonesia
B
ila pengiburumahtanggaan mempunyai implikasi utama ekonomis dan ibuisme lebih pada implikasi kultural, maka paham “penjinakan” (domestication) memiliki cakupan lebih
luas. Penjinakan mempunyai implikasi pematahan semangat, segregasi, dan depolitisasi perempuan. Perempuan dijinakkan di dalam proses akumulasi (modal dan keuntungan), sementara negara bekerjasama dengan perusahaan kapitalis untuk melakukan penjinakan pekerja perempuan demi menunjang industri ringan domestik. Perempuan diasingkan dari proses pembangunan, baik dalam kebijakan maupun praktik yang tercermin dalam program khusus perempuan, bahkan kementerian khusus perempuan. Perempuan juga didepolitisasikan, sebagaimana halnya seluruh masyarakat, melalui paham “massa mengambang”. Di bawah naungan konsep ini, rakyat harus bebas dari ikatan politik akar padi, dan harus sepenuhnya tanggap serta tunduk kepada kepentingan pembangunan nasional negara. Proses keseluruhan penjinakan ini seluruhnya sejalan dengan tujuan “ketertiban”, “pembinaan”, dan “stabilitas” negara. Negara menyebarluaskan ideologi ibuisme negara dengan menyediakan struktur-strukturnya, memimpin proses akumulasi modalnya, dan mendefinisikan ideologi gender yang dirancang untuk memenuhi kebutuhannya. Ideologi gender ini, yang merupakan gabungan unsurunsur terburuk dari pengiburumahtanggaan dan ibuisme, menuju ke arah penjinakan. Paham yang lebih sesuai untuk konteks Indonesia. Konsep ini tidak etnosentris dan kaku, dan juga lebih inklusif karena mencakup bukan hanya bidang ekonomi, melainkan juga bidangbidang politik, ideologis, dan budaya. Sepanjang sejarah, acapkali menurut kebutuhan, negara secara bergantian menggunakan paham perempuan sebagai istri, ibu, atau
111 keduanya. Dalam Orde Baru, pemerintah menemukan cara paling mudah untuk membatasi perempuan, yaitu dalam kategori utama sebagai istri. Hal ini telah menciptakan budaya “ikut suami”, yang dilambangkan oleh asosiasi istri pegawai negeri sipil (PNS). Meski menjadi ibu juga penting, namun urutannya nomor dua dibanding kategori utama ”istri”. Dengan demikian, hierarki gender dipaksakan di atas hierarki kekuasaan birokratis negara. Negara mengontrol pegawai negeri sipil laki-laki, yang selanjutnya mengontrol istri-istri mereka, yang balas mengontrol suami-suami mereka serta istri-istri junior, dan juga anak-anak mereka. Dengan cara ini, pengontrolan dan pengembangbiakan masyarakat tertentu—yaitu masyarakat Pancasila—yang mendukung kepentingan negara, dapat dipastikan. Negara melegitimasikan tindakannya dengan berbagai cara dan pemerintah Orde Baru sering melakukannya melalui ideologi. Pada permukaan, terdapat pemujaan sifat-sifat keibuan, peran “tradisional” ibu dan perempuan sebagai “tiang negara”. Dalam konteks upaya pembangunan negara, semua orang diharapkan turut serta. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai seperangkat pesan kontradiktif yang didengungkan kepada perempuan—untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, tapi pada saat yang sama tidak melupakan “kodrat’”mereka sebagai istri dan ibu—merupakan pemanfaatan cerdik dari berbagai model keperempuanan. Negara memperoleh konstruksi sosial keperempuanan dari aspek-aspek paling negatif ideologi gender borjuis dan priyayi. Ideologi ini tercermin dalam penyebarluasan norma keluarga batih, pemisahan perempuan ke dalam program khusus perempuan, juga pada citra sosok perempuan di media massa yang semakin menuju gambaran kelas menengah. Ini terlihat di dalam organisasi wajib para istri yang secara organisatoris merupakan cermin hierarki suami mereka di kantor. Semua mencerminkan gagasan. Perempuan didefinisikan dalam kapasitas mereka untuk mengabdi pada suami, keluarga, dan negara. Perempuan bayaran–untuk
elite
“dipercayakan”–tanpa
menjalankan
program
bagi
kompensasi
atau
perempuan
dari
kelas bawah urban dan perdesaan. Dengan demikian, berlapislapis hierarki ditumpuk, menciptakan rantai komando yang amat
112 efektif. Perempuan di daerah perkotaan dan pedesaan miskin harus menanggung beban nilai-nilai, struktur dan kebijakan, serta program dan keterbatasan ekonomi atas nama “meningkatkan peran wanita dalam pembangunan”. Ini sebutan lain mobilisasi masyarakat untuk kepentingan pembangunan negara. Sejalan dengan sifat terpusat dari negara Orde Baru, petunjuk program untuk perempuan pun semua bersumber dari pemerintah pusat. Hierarkinya dimulai dari Presiden RI sampai ke ibu kepala desa (kades). Ibuisme negara acap bersifat feodal, dalam strukturnya yang hierarkis, proses-prosesnya yang tidak demokratis, serta orientasinya pada status. Yang paling utama, kecenderungan feodal ini tampak dalam pemberian kehormatan kepada perempuan pada posisi organisatoris yang bersumber dari statusnya sebagai istri seseorang, bukan karena kemampuannya sendiri. Selain itu, ibuisme negara berorientasi pada kota dan cenderung menyebarkan kegiatan dan nilai yang tidak ada kaitannnya dengan kenyataan hidup perempuan desa. Sebagaimana
halnya
dalam
ibuisme,
perempuan
harus
melayani laki-laki mereka, keluarga, komunitas, dan negara. Sebagaimana halnya di dalam pengiburumahtanggaan, tenaga mereka harus diberikan secara cuma-cuma, atau dengan imbalan yang tidak layak, dan juga harus bebas dari harapan mendapatkan prestise atau kekuasaan sungguhan. Walaupun perempuan elite memiliki “kekuasaan” atas perempuan kelas bawah, sebagaimana yang dikatakan Djajadiningrat, “kekuasaan” ini bersifat “pinjaman”. Mereka sekadar dipakai sebagai sarana untuk menyalurkan kekuasaan negara, atau kekuasaan “bapak” yang paternalistis kepada rakyatnya. Negara memang sering menyebut diri sebagai “keluarga”, yang diekspresikan dalam penyebaran “asas kekeluargaan” yang anggotanya diharapkan
menyumbang
pada
kesejahteraan
negara-sebagai-
keluarga “tanpa pamrih”. Kolektivitas dianggap ideal, sementara individualisme dianggap tidak sesuai dengan “kepribadian nasional” Indonesia dan “adat ketimuran”. Segaris dengan paham negara sebagai keluarga, kita juga bisa menamakan ideologi utama Orde Baru sebagai “bapak-ibuisme”: “bapak” sebagai sumber primer kekuasaan dan “ibu” sebagai perantara kekuasaan tersebut. “Bapakisme” memimpin
113 kekuasaan formal, sementara “ibuisme” sebagai rekan pendamping perempuan dan bentuk feminin dari bapakisme, memimpin kekuasaan informal. Meskipun ibuisme maupun priyayisasi menyediakan sarana untuk mencapai “kekuasaan”, keduanya merupakan kekuasaan semu yang telah dirampas dari otonomi yang sesungguhnya.
Ibuisme Negara Wanita
di dalam
Peraturan Pemerintah
dan
Dharma
S
ecara tradisional, gerakan dan organisasi perempuan di Indonesia didirikan perempuan kelas menengah dan atas. Tambahan lagi, mulai periode Demokrasi Terpimpin Orde Lama
(1959–1966), organisasi perempuan dan asosiasi istri dimanfaatkan untuk kegiatan pemerintah. Namun di era Orde Baru lah kecenderungan ini benar-benar berkembang dan menemukan puncaknya. Berseminya organisasi istri setengah resmi menjadi ciri utama periode itu. Ibuisme negara terejawantahkan di dalam Panca Dharma Kongres Wanita Indonesia: 1.
Wanita sebagai pendamping setia suami
2.
Wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa
3.
Wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak
4. Wanita sebagai pengatur rumah tangga 5.
Wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna
Berbagai upaya “peran perempuan” di dalam pembangunan selalu menjadi bagian dari Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Laporan Repelita IV, yang mencakup periode 1984–1989, menyatakan perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Namun, sejalan dengan ideologi ibuisme negara, pemerintah juga menyatakan, modernisasi membutuhkan peran tertentu bagi perempuan sebagai “inti keluarga, penyalur norma dan nilai-nilai sosial” (Dokumen Repelita IV 1983).
114 Pejabat pemerintah menunjuk pada perlunya perempuan “berpartisipasi” dalam berbagai sektor pembangunan. Dokumen Repelita mengakui ada, bahkan perlunya, “peran ganda”. “Untuk meningkatkan peran wanita dalam konteks pembangunan dunia berarti harus meningkatkan kesadaran mereka mengenai peran sebagai isteri dan ibu dalam kerangka kekeluargaan, dan sebagai partisipan aktif upaya pembangunan” (Dokumen Repelita IV 1983). Namun, sesuai dengan peran negara sebagai “keluarga”, pemerintah tidak lupa menyelipkan peringatan. Meskipun perempuan memiliki hak-hak, kewajiban dan kesempatan sama dengan laki-laki, “ini tidak mengurangi kewajiban mereka berperan sebagai pencipta keluarga sehat sejahtera”. Bagaimanapun perempuan tidak boleh meninggalkan “kodrat” mereka. Jadi, meski pada tingkat legal dan formal, “persamaan hak” perempuan diakui, kebijakan pemerintah menyangkut perempuan penuh dengan subordinasi tersembunyi yang terkandung dalam ideologi ibuisme negara. Dharma Wanita, yang merupakan contoh ibuisme negara, hanya salah satu dari 55 organisasi anggota Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Sebuah wahana korporatis yang diakui secara resmi sebagai organisasi payung kelompok perempuan. Namun, Dharma Wanita, dan juga Dharma Pertiwi (organisasi istri militer) mendominasi lapangan karena ikatan mereka yang tak tercela kepada pemerintah. Dharma Wanita secara resmi didirikan pada 5 Agustus 1974. Bila pada awalnya Dharma Wanita merupakan federasi organisasi anggota, setelah 1979 masing-masing dilebur menjadi organisasi tunggal. Ini berarti pembubaran identitas individual organisasi pembentuknya, diganti dengan “garis vertikal otoritas”. Setelah pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 1971, organisasi-organisasi istri yang terpisah ini dilebur menjadi satu organisasi, yaitu Dharma Wanita, sebagai rekan pasangan Korpri. Sebagaimana dinyatakan pemerintah sendiri, langkah ini dimaksudkan “mempermudah pemberian petunjuk dan pengkoordinasian semua kegiatan dalam ruang lingkup komitmen perempuan kepada upaya nasional”. Sifat sukarela Dharma Wanita terus-menerus ditekankan justru pada saat keanggotaannya diwajibkan bagi semua istri pegawai negeri.
115 Sejak itu, Dharma Wanita “disesuaikan” dengan cara kerja birokrasi negara dan memiliki tujuan: mempromosikan kegiatan istri pegawai negeri Republik Indonesia untuk mengembangkan kesadaran dan rasa tanggungjawab terhadap negara; mengembangkan rasa solidaritas dan kebersamaan demi meningkatkan rasa kebersamaan komunitas, kekeluargaan, kesatuan dan kebersamaan di kalangan istri-istri pegawai negeri Republik Indonesia; mengintegrasikan kegiatan istri pegawai negeri agar segaris dan selaras dengan kewajiban pegawai negeri Republik Indonesia sebagai aparat negara; serta meningkatkan peran perempuan Indonesia di dalam semua sektor negara dan kehidupan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, Dharma Wanita berusaha membina dan mengembangkan istri pegawai negeri Republik Indonesia dalam menumbuhkan rasa kesatuan, kebersamaan dan rasa tanggung jawab bersama; meningkatkan partisipasi mereka dalam menyukseskan pembangunan nasional, sesuai kodrat dan peran mereka sebagai istri dan ibu rumah tangga; melaksanakan kegiatan pendidikan bagi istri pegawai negeri Republik Indonesia untuk meningkatkan kesadaran mereka serta rasa tanggung jawab segaris dengan kebijakan pemerintah. Dharma Wanita tersentralisasi dan mempunyai struktur hierarki yang dimulai dari Presiden Republik Indonesia hingga ke tingkat istri-istri pegawai negeri di kabupaten. Dengan demikian istri menteri secara otomatis menjadi ketua Dharma Wanita pada departemen itu. Demikian pula, istri-istri gubernur, bupati dan camat, secara otomatis menjadi ketua Dharma Wanita pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Demikianlah kepemimpinan bersifat “fungsional”, yaitu diberikan secara otomatis sesuai dengan posisi suami, terlepas dari latar belakang pendidikan istri atau kecenderungan organisatoris dan politisnya. Keanggotaan Dharma Wanita wajib. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya (AD/ART), keanggotaan Dharma Wanita terdiri dari istri pegawai negeri sipil (PNS), istri pegawai lembaga pemerintah, dan lain sebagainya. PNS perempuan juga diizinkan menjadi anggota Dharma Wanita, jika mereka menghendaki.
116 Namun, ada hal-hal lain di balik keanggotaan dan struktur organisatoris Dharma Wanita, yaitu berbagai implikasi ideologis, politis, sosial, dan strategis. Secara ideologis, ia berusaha membentuk perempuan dalam “cetakan” ibuisme negara, “norma ideal modern” keluarga batih, dan budaya ikut suami. Pada tataran lebih luas, ia berusaha menanamkan Pancasila ke dalam semua lapisan masyarakat.
Secara
kultural,
Dharma
Wanita
memperantarai
“priyayiasi”, feodalisme Jawa dan juga “asas kekeluargaan”. Secara politis ia menjadi saluran kekuasaan negara, serta gagasan dwifungsi, keamanan, kontrol dan pembinaan melalui struktur hierarkis Dharma Wanita. Secara sosial, Dharma Wanita memperantarai paham penjinakan perempuan melalui mobilisasi dan “kesukarelaan” (yang diwajibkan). Secara ekonomi, konsep perempuan sebagai ibu rumah tangga mendukung tujuan modernisasi pembangunan kapitalistis yang dipimpin negara.
PKK: Ibuisme Negara pada Tingkat Desa
B
ila ruang lingkup kegiatan Dharma Wanita berada dari tingkat pusat hingga kecamatan, maka pada tingkat desa, wahana yang ditunjuk pemerintah untuk meyalurkan program bagi
perempuan adalah PKK. Namun, ada hubungan simbiotik antara PKK dan Dharma Wanita, karena PKK menerima semua petunjuk mereka melalui hierarki Dharma Wanita mulai dari tingkat kecamatan. Dengan cara inilah ibuisme negara disalurkan dari Dharma Wanita ke PKK. Peran PKK sangat berarti karena merupakan wahana perantara utama antara negara dan perempuan desa. Peran mediasi PKK bersumber dari peran mediasi tradisional perempuan di dalam keluarga, selain peran informal mereka di dalam komunitas. Bila diingat, terdapat kantor PKK di setiap desa di Indonesia yang berjumlah hampir 70.000, dan dua pertiga dana pemerintah untuk perempuan dialokasikan untuk PKK, maka implikasinya amatlah besar.
117
Sejarah PKK PKK didirikan pada seminar ilmu kesejahteraan rumah tangga di Bogor, Jawa Barat, pada 1957. Seminar ini diadakan Seksi Pendidikan dan Lembaga Gizi Masyarakat dari Kementerian Kesehatan. Antara 1960– 1962, sebuah panitia antardepartemen yang melibatkan Kementerian Pendidikan
dan
Kebudayaan
(P&K),
Kementerian
Pertanian,
Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan beberapa tokoh perempuan menyusun daftar mata pelajaran yang dianggap sesuai untuk masyarakat berkembang. Dengan cara inilah 10 program PKK pada awalnya ditemukan. Pada pertengahan 1960-an, Gubernur Jawa Tengah meng instruksikan pelaksanaan program PKK sebagai bagian pembangunan daerah. Dharma Pertiwi, organisasi istri militer, diberi tugas menyebarkan prinsip-prinsip PKK. Pusat Latihan PKK (PLPKK) didirikan di semua kecamatan di Jawa Tengah, dan dari 1970–1971, semua upaya ini diberi dukungan dana dari anggaran daerah. Pada akhir 1971, pada sebuah pertemuan gubernur seluruh Indonesia, Menteri Dalam Negeri mengusulkan agar PKK dilaksanakan di seluruh Indonesia. Pada 1973, dikeluarkan instruksi agar PKK dijadikan program pokok Lembaga Sosial Desa (LSD). Pada 1980, LSD diubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), yang bernaung di bawah gubernur provinsi—dengan kata lain, Kementerian Dalam Negeri—bukan lagi Kementerian Sosial. Juga setelah 1980, PKK mulai menerima sebagian dana yang dialokasikan ke desa-desa melalui Instruksi Presiden (Inpres) berjumlah Rp. 100.000/tahun. Pada 1982, terjadi perubahan struktur LKMD ketika PKK menjadi seksi ke-10 dalam LKMD. Jabatan kepala PKK bersifat “fungsional”, dipegang istri lurah, yang juga secara fungsional menjabat Ketua II LKMD. Isi PKK pun mengalami perubahan. Sebelum 1982 digunakan sebutan “aspek”, dengan “hubungan antar keluarga” sebagai aspek pertama. Setelah 1982, “aspek” berubah menjadi “program” dengan “Penghayatan, Pengamalan dan Pengamalan Pancasila (P4)” sebagai program pertama. Perubahan ini sangat signifikan. Dengan menjadikan
118 P4 sebagai program pertama, secara telak negara membubuhkan capnya pada PKK. Yang juga signifikan adalah perubahan nama PKK dari “Program Kesejahteraan Keluarga” menjadi “Pembinaan Kesejahteraan Keluarga”, yang menyiratkan lebih banyak pembinaan serta kontrol, dan jelas menunjukkan peran yang diembankan kepada PKK dalam benak negara. Puncak pengakuan PKK adalah disertakannya PKK dalam garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1983. Kemudian, sebagai salah satu seksi LKMD, paling tidak dalam teori, PKK dilaksanakan di semua desa di Indonesia.
Kebijakan dan Struktur Organisasi PKK Dalam sebuah pidato pertemuan parlemen pada 1981, Presiden
„
Soeharto menyatakan:
“Pemerintah akan mendukung PKK yang diharapkan menjadi
anak panah bagi pembangunan masyarakat dari bawah, yang akan dimotori wanita. Saya minta agar berbagai kegiatan yang diprogramkan di tingkat nasional untuk kaum wanita, dapat disalurkan melalui PKK. Namun jangan dilupakan, bahwa program itu akhirnya ditujukan dan harus dilakukan oleh kaum wanita sendiri di desa-desa, atau di kampung-kampung, atau di daerah perkotaan. Jika terlalu banyak organisasi, maka kaum wanita pedesaan itu akan bingung, dan ini tidak sesuai dengan pikiran dan keinginan mereka yang masih sederhana.”
Pidato ini menyimpulkan pembenaran resmi pemerintah untuk pemisahan program bagi perempuan dari pembangunan arus utama, dan hak untuk menyalurkan program perempuan hanya melalui PKK. Pemerintah mengklaim, PKK adalah gerakan sosial nasional di daerah pedesaan maupun di perkotaan, dengan tujuan mengembangkan aspek-aspek “mental-spiritual” dan “fisik-material” kehidupan. Pejabat pemerintah secara terbuka menyatakan, peran dan tujuan PKK adalah membantu pemerintah dalam upaya pembangunannya. Di balik pembangunan pemerintah adalah visi masa depan masyarakat
119 makmur yang utopis. PKK ditunjuk sebagai salah satu wahana visi ini, sebagai sarana membawa keluarga Indonesia dari “keterbelakangan” menuju negara baru yang terdiri dari “keluarga (Pancasila) yang makmur”. 4 Meski pemerintah mengklaim PKK adalah “gerakan”, dalam artian tidak memiliki keanggotaan terdaftar, namun sebenarnya tidak demikian. PKK mempunyai struktur organisasi yang terbentang dari Presiden Republik Indonesia hingga ke desa. Meski PKK bekerjasama dengan Kementerian Urusan Peranan Wanita, ia bernaung di bawah perlindungan Kementerian Dalam Negeri dan dikepalai istri menteri. PKK menerima arahan program dan administrasi dari pemerintah, serta kekuatan penuh aparat negara di belakangnya. PKK juga menerima subsidi tahunan, yang merupakan bantuan dana Inpres bagi LKMD. Sejak 1990, bantuan ini diperbesar dari Rp. 250.000 menjadi Rp. 350.000 per tahun. Meski PKK dikaitkan dengan perempuan, sebenarnya diarahkan kepada keluarga. Keluarga mendukung masyarakat dan negara dengan tiga cara: pertama sebagai unit ekonomi, tempat melakukan kegiatan reproduksi, pembentukan tenaga kerja, dan juga sebagai arena konsumsi; kedua, sebagai unit biososial tempat hubungan ibu-bapakanak diberi konstruksi sosial; ketiga, keluarga menyediakan tempat pembentukan unit ideologis— sistem nilai, kepercayaan, tradisi sosial, budaya dan konservatisme—yang ditanamkan sejak kanak-kanak. Dengan demikian negara tidak keliru, jika senantiasa menekankan pentingnya keluarga dan memusatkan kegiatan PKK pada perempuan sebagai mediator dengan keluarga. PKK adalah seksi ke-10 LKMD yang konon merupakan organisasi akar-padi dan rekan kerja kantor kades (kepala desa), yang bertindak sebagai badan untuk memobilisasi penduduk desa berkaitan dengan program pemerintah. Untuk mendapat gambaran mengenai fungsi dan “rasa” LKMD, berikut ini adalah penjelasan resminya. LKMD berfungsi bertindak sebagai forum partisipasi sosial 4) Pertemuan Presiden pada Rapat Kerja Nasional P2W-KSS (Peningkatan Peran Wanita – Keluarga Sehat Sejahtera), 2 Maret 1981
120 dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; menanamkan pengetahuan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila; sebagai sarana komunikasi antara Pemerintah dan masyarakat serta antar warga ma syarakat sendiri; meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ma syarakat; meningkatkan peran wanita dalam mewujudkan Keluarga Sejahtera. LKMD berkaitan dengan kantor kades karena kades adalah Ketua Umum LKMD dan dengan demikian, kemungkinan besar ia seorang pegawai negeri. Ketua I LKMD bukan pegawai negeri; ia mendapat posisinya melalui pemilihan, tapi pada saat yang sama, harus mendapat persetujuan kepala desa. Dewan LKMD dan anggotanya, yang terdiri dari tokoh masyarakat, juga dipilih. LKMD memiliki 10 seksi yang menggambarkan prioritas pembangunan pemerintah: 1) keamanan, pertahanan dan ketertiban; 2) pendidikan dan P4; 3) informasi; 4) ekonomi; 5) pembangunan infrastruktur dan perlindungan lingkungan hidup; 6) agama; 7) kesehatan; 8) kependudukan dan keluarga berencana (KB); 9) remaja, pendidikan jasmani dan kesenian; kesejahteraan, dan 10) PKK. Perkembangan terpenting sehubungan posisi PKK di dalam LKMD adalah “fungsionalisasi” pada 1982. Ketika itu posisi istri kades secara otomastis menjadi Ketua II LKMD. Walau pada permukaan seolah-olah memberikan pengakuan lebih kepada perempuan, justru ini berarti PKK diawasi bukan hanya oleh satu, melainkan dua lembaga yang didominasi laki-laki, yaitu kantor kades dan LKMD. Struktur organisasi PKK sejajar dengan Dharma Wanita dan berada di bawah perlindungan Kementerian Dalam Negeri serta dikepalai istri Menteri Dalam Negeri. PKK mempunyai badan eksekutif dan Tim Penggerak PKK yang pada tingkat pusat terdiri dari dua pelindung: istri-istri Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu ada tiga penasihat, posisi yang dijabat oleh Ketua Presidium Dharma Wanita, Ketua Dharma Pertiwi dan Ketua Kowani. Tim PKK tingkat pusat juga mempunyai pembina laki-laki, yang dijabat Menteri Dalam Negeri; seorang ketua, yang dipegang istri Menteri Dalam Negeri; Sekretaris; Bendahara; kepala empat Pokja (Kelompok Kerja); dan anggota. Pada tingkat bawah terdapat struktur yang sejajar dengan
121 pembina pada tingkat provinsi, kebupaten/kota, kecamatan dan desa, masing-masing adalah kepala pada tingkat administrasi tersebut. Sejajar dengan ini, ketua pada berbagai tingkat Tim Penggerak PKK tersebut bertugas melakukan inspeksi, kontrol, koreksi, dan memberikan usulan untuk perbaikan. Sekretariat Tim Penggerak PKK terdiri dari Bidang Umum (administrasi dan rumah tangga); organisasi, humas dan dokumentasi; laporan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi. Pada tingkat desa, tugas sekretaris disesuaikan menurut kemampuan dan kebutuhan warga desa. Kaitan antara pemerintah pusat dan desa diatur Kementerian Dalam Negeri. Namun alokasi pendanaan pemerintah harus dilakukan melalui administrasi desa. Ini jelas menimbulkan masalah. Tak heran pegawai kades merasa terbebani. Dengan staf kecil yang kurang terdidik, administrasi desa seringkali disalahkan akibat program yang tidak diimplementasikan dengan baik. Dalam konteks ini, wajar jika PKK desa kesulitan menjalankan program tertentu. Keberhasilannya sangat tergantung pada motivasi dan kemampuan staf yang terlibat, terutama istri kades dan suaminya, serta pembinaan dan supervisi yang terus-menerus dari atas. Menyangkut mekanisme kerja, Ketua Tim Penggerak PKK pada semua tingkat bertanggungjawab kepada pembina laki-laki (dengan kata lain, suami-suami mereka) di tingkat itu. Tim PKK pada tingkat mana pun tidak dapat bekerjasama dengan badan pemerintah lain, organisasi sosial, baik lokal, nasional ataupun internasional, tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pembina PKK pada tingkat tersebut. Di tingkat desa, PKK dijalankan oleh kader sukarela. Hal ini sering menimbulkan masalah, karena tanpa insentif, sulit sekali merekrut dan mempertahankan tim reguler untuk menjalankan program PKK yang sangat rumit. Secara administratif, pada 1984, bersamaan dengan standarisasi struktur PKK di seluruh Indonesia, prosedur administratif PKK “direhab” untuk memenuhi keinginan pemerintah pusat. Pembinaan dilakukan terus-menerus. Hal ini menuntut adanya kantor PKK pada semua tingkat administrasi, satu set data PKK yang dipajang pada
122 papan khusus PKK, 10 hingga 25 buku administrasi dan laporan per kuartal dari setiap tingkat administrasi ke tingkat di atasnya. Pada tingkat desa, PKK adalah organisasi sukarelawan, kecuali posisi “fungsional” Ketua PKK yang secara otomatis dipegang istri kades. Namun, ketua dan anggota Tim Penggerak PKK pada semua tingkat, dari tingkat kecamatan ke atas, akan dilepaskan dari jabatannya bila suami dimutasi, dipecat, pensiun, atau meninggal. Penyebabnya adalah keanggotaan Dharma Wanita yang lagi-lagi menunjukkan ketumpangtindihan antara kedua organisasi tersebut. Secara operasional, PKK juga tergantung pada laki-laki. Dalam wawancara pribadi pada 1984, Ibu Supardjo Rustam (istri Menteri Dalam Negeri), pada saat itu Ketua PKK Pusat, menyatakan dirinya melakukan inspeksi desa PKK menggunakan fasilitas—tranportasi, komunikasi, administrasi, dan lain lain—yang disediakan Kementerian Dalam Negeri. Ibu Supardjo sangat berterimakasih untuk fasilitas ini, katanya, karena kalau tidak, ia juga tidak tahu bagaimana dirinya akan menjalankan tugas-tugasnya. Tanpa sadar, Ibu Supardjo Rustam membuat pengakuan diam-diam bagaimana ia dan PKK tergantung dari “kebaikan” suaminya dan birokrasi laki-laki. Jika kita melihat struktur organisasi serta fungsi PKK, secara potensial terdapat masalah. Pelaksana pokok PKK pada tingkat desa adalah istri kepala desa: ibu kades di daerah perdesaan, dan ibu lurah di daerah perkotaan. Meski ibu lurah bukan anggota Dharma Wanita dan kades di perdesaan tidak selalu pegawai negeri, dalam praktiknya, ia bekerja di bawah instruksi Dharma Wanita pada tingkat kecamatan. Secara administratif, ibu kades dan ibu lurah sebagai Ketua PKK seharusnya mendapat instruksi dari kepemimpinan PKK yang pada akhirnya adalah istri Menteri Dalam Negeri. Di pihak lain, semua program untuk perempuan seharusnya dikoordinasikan oleh Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW), yang berada di bawah program Peningkatan Peran Wanita, Keluarga Sehat Sejahtera (P2W-KSS). P2WKSS, program terpadu bagi perempuan yang mencakup kesehatan, sanitasi, gizi, pendidikan nonformal, kebersihan lingkungan, keluarga berencana, dan tata laksana rumah tangga. Kementerian UPW juga tidak memiliki anggaran terpisah untuk melaksanakan programnya.
123 P2W-KSS dilaksanakan oleh PKK desa, yang tidak memiliki kaitan dengan Kementerian. Secara organisatoris, PKK menanggung beban berat di atas yang semakin terasa akibat peningkatan, pembakuan, dan sentralisasi kegiatannya. Kecenderungan ini diperparah dengan kenyataan dalam mekanisme negara untuk “peningkatan peran wanita”, terdapat kebingungan atas lembaga yang dimaksudkan bertindak sebagai mediator kepada PKK pada tingkat desa. Dengan demikian, bukan saja kebijakan dan program yang disalurkan itu bersifat dari atas ke bawah (top-down), kebingungan pun disalurkannya ke bawah.
Program PKK Bagi khalayak umum, bila kita menyebut PKK maka yang terbayang: masak-memasak, menjahit, menyulam, dan merangkai bunga. Tata laksana rumah tangga memang disertakan, tapi isi program PKK mempunyai jangkauan luas dan rumit, mencakup ideologi negara dan program pembangunan pemerintah: 1) P4; 2) gotong-royong; 3) pangan; 4) sandang; 5) perumahan dan tata laksana rumahtangga; 6) pendidikan dan keterampilan; 7) kesehatan; 8) pengembangan kehidupan berkoperasi; 9) kelestarian lingkungan hidup, dan 10) perencanaan sehat. Program-program ini dirancang agar sesuai dengan p em ba ngunan dan tujuan ideologis negara. “Dasar-dasar Pengorganisasian dan Implementasi Kebijakan PKK” menyatakan, program ini tidak disusun berdasarkan prioritas, tapi harus dilihat sebagai kesatuan yang utuh. Pejabat PKK mengklaim, implementasi PKK tercapai dengan mengintegrasikan upaya pemerintah dengan upaya masyarakat. Implementasi PKK didukung berbagai kantor/lembaga pemerintah baik di tingkat desa maupun di atasnya, sedang pelaksanaannya langsung dilakukan oleh warga desa dengan pembinaan PKK dan kantor pemerintah di tingkat kecamatan. Tingkat kegiatan PKK sering dikaitkan dengan faktor kesukuan. Di Jawa, perempuan mempunyai peran yang giat dan terbuka di dalam masyarakat dan kehidupan ekonomi, maka PKK-nya pun
124 paling aktif. Sedangkan di Jawa Barat, tingkat keaktifannya kurang. Di bawah kepemimpinan Ibu Supardjo Rustam (1982–1986), prestasi PKK menonjol. Satu kesimpulan, kegiatan dan perkembangan PKK— sebagaimana halnya kebanyakan program di Indonesia—tergantung siapa yang memimpin pada saat itu. Kementerian Dalam Negeri mempunyai posisi yang kuat di dalam kabinet Indonesia. Bila istri dari menteri yang kuat ini mengorganisasi sebuah “gerakan”, maka gerakan tersebut akan menjadi sangat kuat, di dalam konteks sosial-politik ketika itu.
PKK di Desa Buniwangi Nilai-nilai yang secara implisit terdapat dalam PKK—sebagai badan perantara utama antara negara dan perempuan desa—menugaskan peran ibu rumah tangga dan ibu kepada perempuan yang belum tentu sesuai dengan realitas kehidupan mereka di desa. Ini gambaran yang bisa ditarik dari penelitian berbasis desa yang dilakukan di Sukabumi, Jawa Barat. Perempuan yang berpartisipasi dalam PKK berasal dari kelas menengah, putri-putri tuan tanah, dan kelas profesional (guru, militer, pegawai negeri), yang mempunyai waktu dan kecenderungan ideologis untuk turut serta dalam kegiatan PKK. Bagi perempuan lain di desa—berarti mayoritas—kegiatan PKK tidak sesuai kebutuhan yang mereka rasakan. Kebanyakan dari mereka adalah buruh tani (yang tidak memiliki tanah), dan bukan hanya perempuan yang terlibat dalam kegiatan kerja mencari upah, tetapi juga anak-anak. Perempuan memiliki beban tambahan kerja domestik, sehingga sisa waktunya amat sedikit untuk terlibat dalam kegiatan macam PKK. Di pihak lain, untuk perempuan yang memang terlibat PKK, partisipasi mereka memang berdampak meningkatkan keterampilan sosialnya
(misalnya
keterampilan
administratif,
kemampuan
mengungkapkan pendapat mengenai berbagai isu, berorganisasi, dan lain-lain). Meskipun PKK menawarkan kemungkinan ini, tradisi tetap menjadi hambatan. Di lapangan penelitian di Jawa Barat, dalam rapat-rapat yang dihadiri laki-laki, merekalah yang mendominasi bila menyangkut pengambilan keputusan. Jika pertemuan atau
125 kegiatan bersifat teknis atau praktis, baru perempuan lebih berperan. Dengan demikian, tidak ada keputusan yang diambil perempuan. Bagaimanapun, kebijakan yang menyangkut pembangunan desa memang diputuskan di tingkat atas, sementara kegiatan desa hanya menyangkut implementasi. Sebagai cermin tingkat pembangunan di Indonesia, warga Buniwangi terjebak di dalam transisi—mungkin lebih tepat disebut limbo5 antara tradisi dan modernitas. Ini tercermin di dalam hubungan produksi dan pertukaran, dengan adanya hubungan produksi yang termoneter dan tidak termoneter. Juga dalam kegiatan sosial yang terbagi dalam kegiatan tradisional-religius dan modern-sekuler. PKK masuk ke dalam kategori kedua. Secara konseptual, banyak aspek kehidupan Buniwangi yang terbagi ke dalam kategori “maskulin” dan “feminin” yang merupakan kontinuum (rangkaian yang berkelanjutan) ketimbang dua kategori yang terpisah. Laki-laki mendominasi ruang lingkup maskulin. Misalnya, sektor formal-publik dan sektor moneter-tunai. Sementara perempuan dominan di dalam sektor informal-privat dan nonmoneter. Kedua kategori ini membentuk totalitas kehidupan di desa. Namun masuknya “modernisasi” dan pembangunan bergaya kapitalis memungkinkan sisi maskulin untuk mendominasi. Hal ini berdampak merugikan perempuan maupun kaum miskin. Perempuan
dipaksa
masuk
ke
dalam
perkawinan
dan
domestikasi pada usia yang amat muda. Untuk menikah dan bercerai memang amat mudah sehingga memberikan kebebasan seksual lebih besar bagi perempuan, terutama di kalangan kelas bawah. Meski perempuan tidak dapat melakukan poligami, mereka dapat terlibat dalam apa yang saya sebut, “monogami berseri”. Di kalangan miskin, ketika berhadapan dengan laki-laki, perempuan memiliki otonomi lebih besar. Di kalangan kelas menengah dan elite, perempuan lebih baik keadaan ekonominya, tapi kedudukannya lebih subordinat dibandingkan dengan laki-laki. Penerimaan poligami oleh perempuan adalah karena status rendah janda-cerai, janda mati, dan “perawan 5) “Limbo” adalah sebutan untuk wilayah imajiner antara neraka dan surga, tapi bisa diartikan wilayah di mana orang diabaikan, ditelantarkan atau dilupakan.
126 tua”. Poligami, pisau bermata dua: dianggap lembaga yang menekan, tapi juga strategi bertahan hidup secara sosial, terutama berhadapan dengan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Bagi semua kelompok sosial-ekonomi di desa, pembagian kerja secara seksual berdasarkan adat dan agama. Namun, penerapan pembagian kerja ini bervariasi tergantung kelompok sosial. Di kalangan elite tradisional, pembagian ini lebih kaku. Laki-laki terlibat dalam kegiatan “produktif” formal-publik, sedangkan perempuan dalam kegiatan “nonproduktif” yang informal dan privat. Bila kita kaitkan dengan “kerja produksi status” dari Hanna Papanek, perempuan kalangan elite adalah mereka yang paling mampu terlibat dalam kegiatan semacam ini. Perempuan kelas ini menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk kegiatan domestik dan beberapa kegiatan sosial. Di kalangan miskin, yang merupakan mayoritas penduduk Buniwangi, pembagian kerja secara seksual bersifat fleksibel. Mesti terdapat nilai yang dianggap ideal, pembagian kerja ini mengalah kepada kebutuhan, perempuan dan laki-laki juga sangat sering bertukar peran. Ideologi “perempuan baik” yang umum pun bersifat praktis, yaitu: perempuan sebagai pencari nafkah keluarga, bukan perempuan sebagai “istri dan ibu yang baik”. Perempuan dianggap bertanggungjawab bukan hanya pada kesejahteraan psikologis dan emosional anggota keluarga, tapi juga kesejahteraan materi mereka. Perempuan kelas bawah seringkali merupakan pencari nafkah yang paling penting, bukan karena jumlah, tapi kontinuitasnya (Budhisantoso 1977; Grijns 1987). Perempuan kelompok ini memiliki sedikit sekali waktu untuk terlibat dalam “kerja produksi status” dan lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan mencari nafkah dan rumah tangga, serta sedikit sekali waktu untuk kegiatan sosial. Kalaupun mereka punya sedikit waktu luang, biasanya mereka memilih kegiatan religius-tradisional seperti misalnya pengajian Qur’an ketimbang kegiatan modern-sekuler seperti PKK. Di kalangan kelas menengah Buniwangi, terdapat pembagian kerja serupa seperti di kalangan elite. Namun, pembagian kerja secara seksual ini jauh lebih fleksibel dan menyertakan lebih banyak konsep
127 ideal “modern” peran gender. Dengan perkataan lain, kelas menengah merujuk kepada nilai-nilai tradisional-religius, tapi digabungkan dengan model Barat keluarga borjuis. Perempuan dari kelas ini juga melakukan “kerja produksi status”, dan kegiatan mereka lebih terbagi rata antara pekerjaan sosial, mencari nafkah serta kerja domestik, dengan penekanan paling besar pada yang terakhir. Merekalah perempuan yang paling mempunyai kesempatan dan secara ideologis condong berpartisipasi dalam PKK. Kekuatan PKK di Buniwangi bukanlah sebagai program, dan sudah pasti bukan sebagai gerakan, tetapi dalam ideologi ibuisme negara. Ideologi ini bukan hanya ditopang oleh paham keperempuan tradisional dan Islam yang memposisikan perempuan terutama sebagai istri, tapi juga aspirasi kaum miskin. Model keluarga borjuis kelas menengah dilihat sebagai model ideal yang patut ditiru kalangan miskin. Bukan karena dianggap secara hakiki “lebih unggul”, tapi karena diidentifikasikan dengan status ekonomi dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Selain itu, di dalam masyarakat panutan, kalangan miskin selalu meniru nilai dan perilaku kelas serta kelompok sosial di atas mereka. Meski terdapat kecocokan antara ibuisme negara dan apa yang dianggap “ideal” oleh warga desa, keduanya amat bertentangan dengan kenyataan keras kehidupan di desa, di mana perempuan tidak sekadar “ikut suami” dan harus selalu berfungsi paling tidak sebagai pencari nafkah sampingan. Seringkali perempuan, terutama perempuan miskin, menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Di hadapan kemudahan bercerai, kecenderungan ditinggal suami, dan kenyataan bahwa perempuan adalah kepala rumahtangga, ideologi yang disebarkan PKK tidak mendukung upaya perempuan untuk mendapatkan otonomi pribadi dan sosial serta kemandirian ekonomi. Dengan kesempatan kerja yang semakin menurun, upah kecil dan modus produksi yang semakin kapitalistis, kondisi hidup semakin sulit bagi kaum miskin. Dalam kondisi ini, PKK nampaknya tidak sesuai dengan realitas hidup serta kebutuhan yang dirasakan masyarakat Buniwangi. Berbeda dengan pengajian Qur’an, partisipasi pada pertemuan PKK lebih rendah dan kegiatan PKK harus didorong para pemimpin desa. Di Buniwangi, PKK dijalankan sebagai kewajiban
128 program pemerintah yang diturunkan dari atas. Para kepala desa membutakan diri kepada realitas “kelompok sasaran” demi menjalankan kewajiban mereka sebagai pelaksana “pembangunan nasional”.
Ibuisme Negara, Pembangunan Perdesaan dan Emansipasi
P
erempuan pedesaan merupakan mayoritas (pada akhir 1980-an jumlahnya sebanyak 80 persen) perempuan di Indonesia. Dalam banyak kasus, merekalah yang paling banyak menderita akibat
manipulasi dan misinterpretasi kegiatan tradisional-religius dari ideologi, kebijakan, dan program negara. Model keiburumahtanggaan ibuisme negara yang disebarkan melalui Dharma Wanita dan PKK gagal menyentuh berbagai aspek kehidupan desa. Ibuisme negara tidak mengakui rumah tangga yang dikepalai perempuan meski jumlahnya besar, atau tingkat perceraian, disersi, migrasi, serta banyaknya jumlah suami pengangguran. Ibuisme negara juga tidak mengakui otonomi perempuan sebagai janda (cerai atau mati) dan perempuan lajang, tapi melihat perempuan sebagai tanggungan suami. Padahal ketergantungan itu bersifat dua arah. Ibuisme negara tidak cukup mengakui perempuan membutuhkan pekerjaan, setara atau bahkan melebihi laki-laki, karena dalam kasus perceraian, hampir selalu perempuan yang memikul tanggung jawab menghidupi anak-anak. Ibuisme negara seolah-olah tidak mengakui, terdapat model keperempuanan dan keluarga alternatif, bukan hanya model keluarga batih. Atau ada perbedaan pengaturan dalam pembagian kerja secara seksual seperti yang dicontohkan keluarga kelas bawah. Demi kebutuhan serta strategi bertahan hidup, pembagian kerja secara seksual di kalangan rakyat miskin lebih egaliter. Perempuan selalu menjadi penjaga ekonomi “mencari nafkah” (subsistence). Dengan adanya modernisasi, perempuan acapkali harus menggantikan laki-laki yang bermigrasi mencari alternatif pekerjaan lebih baik. Akses tanah dan modal juga menentukan jenis pekerjaan dan produktivitas perempuan. Dengan beberapa perkecualian,
129 posisi perempuan sering hanya sebagai buruh yang tersubordinasi, terkonsentrasi pada pekerjaan berupah rendah. Perempuan pada umumnya —perempuan pedesaan khususnya— yang termiskin dari yang miskin. Di Indonesia, tidak jarang upah perempuan 60 persen atau 70 persen lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dari keluarga miskin mempunyai jam kerja panjang, namun mendapatkan imbalan rendah. Jika pada umumnya perempuan kalah dalam persaingan pembangunan dengan laki-laki, perempuan miskin juga kalah di hadapan perempuan yang lebih kaya. Hal ini mempunyai implikasi signifikan di dalam hubungan pertukaran sosial (relations of exchange). Ketimpangan di dalam hubungan ini bersifat kumulatif dan dengan cara inilah kesenjangan antarkelas dan gender dipertahankan, dan dalam beberapa kasus, diperlebar. Meski mendapat berbagai pembatasan secara ideologis, sosial dan kultural, perempuan sama sekali tidak bisa disebut sebagai pencari nafkah sampingan. Justru mereka dituntut bertanggungjawab untuk kesejahteraan psikologis dan material anggota keluarga mereka. Perempuan secara de facto adalah pencari nafkah terpenting, bukan dalam jumlah tapi dalam kontinuitas yang dapat diandalkan, betapapun kecilnya penghasilan mereka. Hal ini juga menjadi alasan mengapa perempuan sering menerima pekerjaan yang upahnya buruk, tapi stabil. Jika PKK bertujuan membantu perempuan desa dan keluarga mereka, PKK harus memikirkan secara konkret kondisi hidup para perempuan yang konon hendak mereka bantu. Secara ekonomi, ibuisme negara memberi dampak melihat perempuan sebagai “pencari nafkah sekunder”, yang membenarkan mereka mendapat upah lebih rendah. Dalam program pembangunan pemerintah, akibat asumsi institusional bahwa laki-lakilah kepala keluarga, perempuan tidak mempunyai hak mengakses berbagai program seperti program kredit dan program pencarian nafkah yang amat mereka butuhkan. Secara politis, sosial, dan psikologis, ibuisme negara mempunyai efek tidak mengakui otonomi perempuan sebagai perempuan: perempuan sebagai subjek, bukan sekadar objek. Paham perempuan
130 seperti yang termaktub di dalam konstruksi sosial keperempuanan di Indonesia, mempunyai dampak nyata dan luas dalam semua bidang kehidupan. Hal ini tidak hanya menghambat perempuan, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat benar-benar berkembang dan beremansipasi.
*Tulisan ini merupakan ringkasan tesis MA dengan judul “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia” (Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru di Indonesia), Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, 1988. Diterbitkan dalam edisi dwibahasa dengan judul yang sama oleh Komunitas Bambu pada September 2011.
131
Julia Suryakusuma Julia Suryakusuma lahir di New Delhi, India, pada 19 Juli 1954. Julia adalah seorang aktivis, penulis, dan akademisi Indonesia dengan minat multidisipliner mulai dari sastra, film, seni rupa, teater, berbagai masalah sosial, budaya, agama, gender, politik, pemerintahan, dan lingkungan hidup. Tesis masternya, “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia”, adalah karya akademikus Indonesia pertama yang membuat analisa gender mengenai negara, khususnya, saat rezim Orde Baru.
132
Paper Discussion
State Ibuism Acquisition and Distortion of Womanhood during New Order Era in Indonesia by Julia
Suryakusuma
133
I
ndonesia adopts the principle of organic-integralistic state – a society viewed as an organic totality—where individuals and groups are part of a
single entity. Or, as stated by Georg Hegel, “The state is the incarnation of the general interest of society, stands above the interest of a particular group and ... can overcome the division between civil society and the state” (Hegel, in Rahardjo, 1984). In such countries, ideology is created to unite the state and society through an intermediary vehicle that serves to spread that ideology. Many of such vehicles have been created, with corporatist approach,1 sourcing from the center down to nearly 70,000 villages throughout Indonesia. One example of such ideology is called, in my term, as “state ibuism”, i.e., the ideology that inspired the government rhetoric and its programs for women. The main distributors and disseminators of this ideology are the Dharma Wanita (association of the wives of civil servants, the so-called PNS), and at the village level, the Family Welfare Development (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga or abbreviated PKK).
1) Corporatism in the New Order era is the system fusion of society organizations to be easily controlled by the state. Example: KNPI for youth, PWI for journalists, PGI for teachers, HKTI for farmers, SPSI for workers, KOWANI for women.
134 The purpose of this paper is to trace and elaborate the political implications of this particular ideology. How it has been constructed, its organizational manifestation, and eventually, its social, economic and cultural impact on women in the village and the Indonesian people in general.
Power Politics and the “Creation” of Womanhood
P
olitics in Indonesia, as in many other places, is the politics of power. State power is concentrated centrally and resonated to all levels of society. The state, which in Indonesia during the New
Order era (1966-98) was identical to the government due to its dominant executive board, could not administer its power directly. Thus, in addition to bureaucratic and organizational hierarchy functioning function as intermediary power and program development, the state also created ideology for this purpose. The state’s gender ideology, also called “the social construction of womanhood” in Indonesia, was derived from the interest of the state. In order to construct a theoretical framework for analyzing the state ibuism, I will refer to the concept of “housewifization” by Maria Mies, the concept of “ibuism” by Madelon Djajadiningrat, and “keywords” approach to analyze the state, developed by Michael van Langenberg. In general, all these concepts represent the scope of economic, political and cultural realms, which influence the social construction of womanhood in Indonesia. The term “housewifization” associates the relations of production with gender ideology and productive work. Mies defines it as “a process that refers to women socially as housewives whose livelihood depends on the husband’s income. Regardless the fact of whether or not they are housewife de facto. Social definition of housewife is the social definition of a man’s companion as the breadwinner, regardless of their real contribution to the family income” (Mies, 1982). In this process, women are compartmentalized into a housewife who are deemed “dependent” and “unproductive”, who do domestic work “for free’. As a result, they
135 became alienated and isolated as a single atom, disorganized, deprived of political and economic power, and placed in a subordinate position to men. Mies associates housewifization with the development of capitalism. The revival of nuclear family with housewife at its core is meant to meet the needs of industrialization, which is encouraged by the intervention of state and the church. Housewifization is the reproduction strategy (breeding) of labor. Ditto is the creation of the housewife consumer agency which has been “domesticated” or “tamed”. Mies shows that domestic work is essential to the process of capital accumulation, and that housewifization is the cost of “externalization”2 of which should be paid by the capitalist (Mies, 1986). The work done by women in the household is considered “free”, when in fact they are doing vital work for the process of capitalism. Men are “free” to sell their labor due to lack of freedom of the housewives, namely their wives. Thus, the proletarization of men is based on the housewifization of women. If Mies’ analysis is economistic, in an article entitled “Ibuisme dan Priyayisasi: Jalan Menuju Kekuasaan?” (Ibuism and Gentrification: The Path to Power?), Madelon Djajadiningrat formulates the culturalhistorical model that takes into account the specific context of Indonesian women. He identifies ibuism ideology that developed in the late 19th century and early 20th century as a combination of petty bourgeoisie and the traditional gentry values. He defines it as an ideology that justifies every act, if committed by mothers who take care of family, group, class, company or country, without expecting power or prestige as reward (Djajadiningrat, 1986). As for today’s ibuism, it is more appropriate to call it an ideology that not only justifies, but also defines women within that capacity. Women are not recognized simply because of themselves, but always in relation to someone or something. Djajadiningrat associates ibuism with the process of “gentrification”, i.e., the process of transformation and the use of traditional values to support the economic development, modernization and controlling
2) The domestic work carried out by housewife is not being rewarded, or “free”, so being external from the accumulation process of capitalism.
136 power in the New Order state. His approach is functionalistic3 towards the modernization process, without questioning who and what is benefited from it. Gentrification is more meaningful in the context of the so-called “fragile governmental transition (interregnum) between tradition and modernization”, when the monopoly of power and regulation is owned by the state of the New Order (Robison, citing Murtopo 1972, in van Langenberg 1986). When Djajadiningrat uses concepts such as “social status”, “class status” and “power”, he basically bases it on cultural values. He calls ibuism an ideology, but he might also call it cultural values that have historical value because it is a product of conflating the system of values (petty bourgeoisie) of the West and Java. In state keyword analysis, Michael van Langenberg analyzes the relationship between the New Order state with the production of ideology. He identifies five state assets under the heading of “power”, “legitimacy”, “accumulation”, “culture” and “dissent”. Indonesia’s post-independence history has been marked by the centralization of state power that slowly but surely, with a center that is easily recognizable. There are two institutions that dominate the center, namely the military and the presidency. Indonesian Armed Forces (ABRI) is a key institution that became the basis of the implementation of state power and stability. “Presidency” is the core of oligarchy leadership network that links all state’s controlling and management agencies. The “fatherly” figure of the president has become the core of this institution, associated with the keyword “father”, who acts as father and protector. In general, this means that he is perceived as the leader and protector of the family. The concept of “father” is fundamental to the overall structure of social stratification in Indonesia. “Gentry” is another keyword, namely elites (Java) who have hereditary lineage of nobility of the power structure. They represent a bureaucratic and cultural continuity between the colonial and postcolonial state (Robison, citing Moertopo, 1972, in van Langenberg 1986).
3) Functionalism is an approach in sociology or anthropology which interprets society as a structure whose parts are interrelated. This concept looks at the elements of society - the norms, traditions, customs and institutions - from how they function on the workings of society as a whole.
137 There are six keywords that intersect with power –I use four of them. First, “Order”, as the dominant feature of the New Order, emphasizing the dimensions of regulation and order (law and order) of state power. “Economic development”, also has implications of indoctrination, construction and management, as well as emphasizing the mobilization of society by the state. “Stability”, a vital prerequisite for economic development which is supported by the persistent power of the state. While the “Dual function” (dwi-fungsi) concept, legitimizes military involvement in non-military and state affairs (Robison, citing Moertopo, 1972, in Langenberg 1986; see also Jenkins, 1984; Crouch 1978; MacDougal 1982). Then there are four keywords that intersect with “legitimacy” and “accumulation” –I use three. “Development”, the first principle of the New Order that emphasizes the economic development. “Modernization”, a term that serves as supporting pillar for the state’s paternalistic development. It presents a utopian vision of a prosperous future and articulates the basic ideal of a new urban middle class, technocracy and a “metropolitan super-culture” located in the bureaucratic structure of the state. “Equity”, is a recognition of a policy that creates gap between the rich and the poor, which serves as a legitimization of the capitalistic enterprise of the state (Robison, citing Moertopo, 1972, in van Langenberg 1986; see also Jenkins, 1984; Crouch 1978; MacDougal 1982). Within the scope of legitimacy is the keywords “Pancasila”, the five principles of national philosophy that legitimizes all aspects of the state power.
State Ibuism: Domestication of Indonesian Women
I
f housewifization has major implications for the economy and ibuism has more implications on cultural, then the concept of domestication has a broader scope. Domestication has implications for breaking
one’s spirit, segregation, and the depoliticization of women. Women are domesticated in the process of accumulation (of capital and profit), while the state cooperates with capitalist firms to tame female workers in order to support domestic light-weight industry. Women are excluded
138 from the development process, both in policy and practice as reflected in a special program for women, even in the existence of the ministry of women’s affairs. Women are also depoliticized, as well as the entire community, through the concept of “floating mass”. Under the auspices of this concept, people should be free from grassroots political ties, and should be fully responsive and submissive to the interest of national development. The overall process of domestication is entirely in line with the goal of the state’s “order”, “development” and “stability”. The state disseminates ibuism ideology by providing its structures, leading the process of its capital accumulation, and defining the gender ideology designed to meet its needs. This gender ideology, which is the combination of the worst elements of housewifization and ibuism, works toward domestication. This concept is deemed more appropriate to the Indonesian context. This concept is not ethnocentric and rigid, and also more inclusive because it includes not only the economic, but also areas of political, ideological, and cultural. Throughout history, often according to the needs, the state alternates to conceptualize women as wives, mothers, or both. During New Order, the government found the easiest way to restrict women, namely in the major categories as wives. This has created a culture of “following the husband”, which is symbolized by the association of wives of the civil servants (PNS). Although being a mother is important, but it comes second as to being “wives”. Thus, gender hierarchy is imposed upon the layer of another hierarchy, i.e. of bureaucratic state power. The state controls the civil servant men, which in turn controlling their wives, which in turn controlling their husbands as well as their junior wives, also their children. In this way, the control and the breeding of a particular society –namely the Pancasila society— which supports the interests of the state, can be ascertained. The state legitimizes its actions in various ways and the New Order government often does so through ideology. On the surface, there is a cult of maternal traits, the role of “traditional” mom and women as the “pillar of the state”. In the context of the state’s development endeavour, everyone is expected to participate. Thus, what appears to be a contradictory set
139 of messages imparted to women – e.g. to participate in the development process, but at the same time not to forget their ‘nature’ as wives and mothers –is an ingenious use of various models of womanhood. The state obtains social construction of womanhood from the most negative aspects of the ideology of the gender bourgeoisie and of the gentry. This ideology is reflected in the dissemination of the nuclear family norms, the segregation of women into the women’s program, as well as the image of female figures in the mass media which tends to go towards the middle class ideal. This is seen in the compulsory organization for the wives to join which organizationally is a reflection of their husbands in the office’s hierarchy. All reflect the ideas. Women are defined in their capacity to serve the husband, family, and country. Elite women are “entrusted” –without compensation or wages— to run a program for women from urban and rural lower classes. Thus, a multi-layered hierarchy is stacked one on top of another, creating a chain of very effective command. Women in poor urban and rural areas have to bear the burden of the values, structures and policies, as well as programs and economic constraints in the name of “improving the role of women in (economic) development”. This is another term for community mobilization for the sake of development of the country. In line with the centralized nature of the New Order state, the program’s guide for women is all sourced from the central government. The hierarchy starts from the President of the Republic of Indonesia down to the wives of the village head (Kades). State ibuism is often feudal in nature, in the forms of its hierarchical structure, its undemocratic processes, and its orientation toward the status. The main principle, this feudal tendency appears in the way that women are awarded in the organizational position based on her status as the wife of someone, not because of her own merits. Moreover, the state ibuism orientates toward the city and tends to spread activities and values that have no relation with the reality of rural women life. As in ibuism, women should serve their men, families, communities and countries. As in the housewifization, their energy should be given for free, or in improper exchange, and also must be free from the hope of getting a real prestige or power. Although the elite women have
140 “domination” over the lower class women, as said by Djajadiningrat, this “power” is merely a “loan”. They are simply used as a mean to channel the power of the state, or the power of the paternalistic “father” toward its people. The state is often referred to itself as “family”, expressed in the spread of “principle of kinship” whose members are expected to contribute to the prosperity of the nation-as-family with “no strings attached”. Collectivity is considered ideal, while individualism is considered incompatible with “national identity” in Indonesia and “Eastern tradition”. In line with the concept of the state as family, we can also call the main ideology of the New Order as the “bapak-ibuism”: “father” as primary source of power and “mother” as the power broker. “Bapakisme” leads the formal power, while “ibuism” as counterpart of women and the feminine form of paternalism, leads the informal power. Although ibuism or gentrification provides a means to achieve “power”, both of which are apparent power that are confiscated from actual autonomy.
State Ibuism in State Regulation and the Dharma Wanita
T
raditionally, women’s movement and organization in Indonesia were established by middle and upper class women. Moreover, from the Old Order Guided Democracy period (1959-1966),
women’s organizations and wife associations were used for government activities. But in the New Order era this tendency really evolved and found its peak. The blossomming of officials’ wife organizations became the main characteristic of that period. State ibuism was manifested in Panca Dharma (Five Services) of the Congress of Indonesian Women: 1. Women as faithful companion of the husbands 2. Women as bearers of the country’s future generation 3. Women as educators and mentors for their children 4. Women as housekeepers 5. Women as contributing members of society
141 Various efforts of the “role of women” in economic development have always been part of the Repelita (Five Year Development Plan). The report of Repelita IV, covering the period 1984-1989, says that women have the rights, obligations, and equal opportunities as men. However, in line with the ideology of the state ibuism, the government also states that modernization requires certain roles for women as “the core of family, the distributors of norms and social values” (Dokumen Repelita IV 1983). Government officials pinpoint to the need for women to “participate” in various development sectors. The Repelita Document admits the existence, even the necessity, for this “double role”. “To enhance the role of women in the context of the development of the world means to increase their awareness of the role as wives and mothers within the framework of the family, and as an active participant in development efforts” (Dokumen Repelita IV 1983). However, according to the state’s role as a “family”, the government does not forget to insert a warning. Although women have the rights, obligations and opportunities equal to men, “this does not reduce their obligation to act as the creator of a healthy and prosperous family”. It means, women are not allowed to abandon their “nature”. So, although at legal and formal level, “equality” of women is recognized, government policies regarding to women were full of hidden subordination contained in the ideology of state ibuism. Dharma Wanita, an example of state ibuism, is only one of the 55 organization members of Kowani (Indonesian Women Congress). A corporatist vehicle which is officially recognized as an umbrella organization for women’s groups. However, Dharma Wanita, and also Dharma Pertiwi (organization of military wives) dominate the field because of their unimpeachable ties to the government. Dharma Wanita was officially founded on August 5, 1974. Initially, Dharma Wanita was a federation of member organizations, yet after 1979 they respectively merged into a single organization. This suggests a dissolution of the individual identity of its constituent organizations replaced by a “vertical line of authority”. After the formation of Indonesian Civil Servants Corps (Korpri) in 1971, the separate wives organizations were merged into one organization, the Dharma Wanita, as a co-partner of Korpri, an organization linked to the ruling party, Golkar
142 whose members include civil servants. As stated by the government itself, the move was intended to “facilitate the provision of guidance and coordination of all activities within the scope of the commitment of women to the national endeavor”. The voluntary nature of Dharma Wanita was repeatedly emphasized whilst in reality, the membership was compulsory for all the wives of the civil servants. Since then, Dharma Wanita has been “tailored” to fit the works of the state bureaucracy and had objectives: to promote the activities of the civil servants’ wives of the Republic of Indonesia in order to develop awareness and sense of responsibility towards the country; to develop a sense of solidarity and unity in order to increase the sense of community, kinship, unity and solidarity among the wives of civil servants of the Republic of Indonesia; to integrate the activities of the wives of civil servants in order to be in line with and in accordance to the obligations of civil servants of the Republic of Indonesia as a state apparatus; and to enhance the role of Indonesian women in all sectors of state and social life. To achieve these objectives, Dharma Wanita strived to build and develop the wives of civil servants of the Republic of Indonesia in order to foster a sense of unity, togetherness and a sense of shared responsibility; increased their participation for the success of the national development, according to their nature and role as wife and housewife; conducted educational activities for the wives of civil servants of the Republic of Indonesia to increase their awareness and sense of responsibility in line with government policy. Dharma Wanita was completely centralized and had a hierarchical structure starting from the President of the Republic of Indonesia down to the level of the wives of civil servants in the region. Thus, the wife of the minister automatically became the head of the Dharma Wanita at the department. Similarly, the wives of governors, regents and district heads, automatically became chairwoman of the Dharma Wanita at the provincial, region and district levels. Such leadership was “functional”, automatically granted in accordance to the position of the husband, regardless the wife’s educational background or the organizational and political tendencies.
143 Dharma Wanita membership was compulsory. According to its Statutes and Bylaws (AD/ART), Dharma Wanita membership consisted of wives of civil servants (PNS), the wife of employees of government agencies, and others. The woman civil servants were also allowed to become members of Dharma Wanita, if they so wished. However, there were other things behind the membership and organizational structure of Dharma Wanita, namely the implications of ideological, political, social, and strategic. Ideologically, it attempted to cast women in the “mold” of state ibuism, “the ideal norm of modern” nuclear family, and the culture of following the husband. At a broader level, it attempted to instill Pancasila into all levels of society. Culturally, Dharma Wanita mediated the “gentrification”, Javanese feudalism and also “kinship principle”. Politically, it became the channel of state power, as well as the idea of dual function, security, control and guidance through a hierarchical structure of Dharma Wanita. Socially, Dharma Wanita mediates the concept of women domestication through mobilization and “volunteerism” (which is compulsory). Economically, the concept of women as housewives supports the objectives of capitalistic development modernization led by the state.
PKK: State Ibuism at the Village Level
I
f the scope of Dharma Wanita activities is from the center to the subdistrict level, then at the village level, government-appointed vehicle for channeling the program for women is the PKK. However, there is
a symbiotic relationship between the PKK and Dharma Wanita, because the PKK receives all of their instruction through the hierarchy of Dharma Wanita starting from the district level. In this way the state ibuism is channeled from Dharma Wanita to the PKK. PKK role is very significant because it is the main intermediary between the state and village women. PKK mediation role sourced from traditional mediating role of women in the family, in addition to their informal role in the community. As far as we can remember, there is a PKK office in every village in Indonesia, which numbered nearly 70,000,
144 and two thirds of government funds for women is allocated to the PKK, the implication is great.
History of the PKK PKK was established in household welfare science seminar in Bogor, West Java, in 1957. This seminar was held by the Section of Education and Community Nutrition Body of the Ministry of Health. Between 1960-1962, an interdepartmental committee involving the Ministry of Education and Culture (P & K), the Ministry of Agriculture, Ministry of Labor, Ministry of Religious Affairs, Ministry of Internal Affairs, and several prominent women drew up list of subjects considered appropriate for a developing society. This way, 10 PKK programs were invented. In the mid-1960s, Central Java Governor instructed the implementation of the PKK program as part of regional development. Dharma Pertiwi, the organization of military wives, was given the task to spreading the principles of the PKK. PKK Training Centre (PLPKK) was established in all districts in Central Java, and from 1970 to 1971, all these efforts were funded from local budget. At the end of 1971, at a meeting of governors throughout Indonesia, Minister of Internal Affairs suggested to implement the PKK throughout Indonesia. In 1973, they issued an instruction for the PKK to be a principal program of the Village Social Institution (Lembaga Sosial Desa/LSD). In 1980, LSD was converted into the Village Community Resilience Institution (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/LKMD), which was under the auspices of the provincial governor –in other words, under the Ministry of Internal Affairs—no longer the Ministry of Social Affairs. Also after 1980, the PKK began to receive some funds allocated to the villages through President Instruction (Inpres) amounted to Rp. 100,000/year. In 1982, the structure changed when the PKK became the 10th section in LKMD. The head of the PKK was “functional” in nature, held by the headman’s wife, who also functionally served as Second Chairperson at the LKMD. PKK contents underwent a change. Prior to 1982 it used the term “aspect”, with “inter-family relations” as the first aspect. After 1982,
145 the “aspect” nomenclature changed to “program” with “Appreciation, Practice and Implementation of Pancasila (P4)” as the first program. This change was very significant. By making the P4 as the first program, the state boldly and bluntly put its stamp on the PKK. What is also significant was the change of the PKK name from “Family Welfare Program” to “Family Welfare Development”, which implies more supervision and control, and clearly shows the role entrusted to the PKK in the minds of the state. The recognition of the PKK peaked in the inclusion of the PKK to the State Policy Guidelines (GBHN) in 1983. Then, as one section at the LKMD, at least in theory, PKK was carried out in all villages in Indonesia.
Policy and Organizational Structure of the PKK
I „„
n an address to the parliament in 1981, President Soeharto stated: The government will support the PKK, which is expected to be the
arrows for society development from below, which will be led by women. I ask that the programmed activities at the national level for women, can be channeled through the PKK. But do not forget, that the program was finally addressed and should be done by the women themselves in the villages, or in the kampongs, or in urban areas. If too many organizations, the rural women will be confused, and this does not fit with the thoughts and wishes of those who are still modest.
This speech concluded the government’s official justification to separate program for women from mainstream development, and the rights to distribute the woman program only through the PKK. The government claimed the PKK as a national social movement in rural and urban areas, with the goal of developing aspects of “mental-spiritual” and “physical-material” of life. Government officials publicly stated, the role and purpose of the PKK was to assist the government in its development efforts. Behind the government’s development was the vision of a utopian prosperous future of the society. PKK was designated as one of the vehicles for this vision, as a means to bring Indonesian
146 family from “backwardness” toward a new state composed of “the prosperous (Pancasila) family”.4 Although the government claimed that the PKK as a “movement”, in the sense of not having registered membership, but they were not. The PKK had an organizational structure that stretches from the President of the Republic of Indonesia to the village. Although the PKK was in cooperation with the Ministry of Women’s Affairs, it was ruled under the protection of the Ministry of Internal Affairs and headed by the wife of the minister. PKK received direction and administration of government programs, as well as the full force of the state apparatus behind it. The PKK also received an annual subsidy, which was an Inpres assistance fund for LKMD. Since 1990, this assistance increased from Rp. 250,000 to Rp. 350,000 per year. Although the PKK was associated with women, it actually geared toward families. Family supported community and the state in three ways: first as an economic unit, a locus of reproductive activities, the formation of labor, as well as an arena for consumption; second, as a biosocial unit where the relationship of mother-father-child was given a social construction; third, the family provided a locus of ideological unit formation –value systems, beliefs, social traditions, culture and conservatism—instilled since childhood. Thus, the state could not be wrong, if it always stressed on the importance of family and focused PKK activities on women as mediators with the family. PKK was the 10th section of the LKMD that was said to be the grassroot organizations and offices coworkers of the village heads, which acted as the body to mobilize the villagers in regard to government programs. To get an idea about the function and the “feel” of LKMD, the following is the official explanation. LKMD functions to act as a forum for social participation in development planning and implementation; imparting knowledge, Appreciation and Practice of Pancasila; as a means of communication between the Government and society and between citizens themselves; improving the knowledge and skills of the community; enhance the role 4) President at the meeting of the National Working Meeting P2W-KSS (Increased Role for Women - Healthy Family Welfare), March 2, 1981.
147 of women in realizing Family Welfare. LKMD related to village head office because the village head was the Chairman of LKMD and thus, most likely he was also a civil servant. Chairman I of LKMD was not a civil servant; he got his position through election, but at the same time, must be approved by the village head. LKMD Council and its members, which consisted of public figures, also were elected. LKMD had 10 sections that describe the government’s development priorities: 1) security, defense and order; 2) education and P4; 3) information; 4) economy; 5) development of infrastructure and environmental protection; 6) religion; 7) health; 8) population and family planning (KB); 9) youth, physical and arts education; welfare, and 10) PKK. The most important developments in respect of the PKK positions in LKMD was “functionalization” in 1982. At the time, the position of village head’s wife automatically became Chairperson II of LKMD. Although on the surface it seemed to give more recognition to women, this actually meant that the PKK was controlled not just by one, but two institutions dominated by men, i.e. the village head’s office and LKMD. PKK’s organizational structure was equal to Dharma Wanita and was under the protection of the Ministry of Internal Affairs and headed by the wife of the Minister of Internal Affairs. PKK had executive body and the PKK Steering Team in the center consisted of two protectors: the wives of the President and Vice President of Indonesia. In addition there were three advisors, a position held by the Head of the Presidium of the Dharma Wanita, Head of Dharma Pertiwi and Head of Kowani. The PKK had also steering team of men, held by the Minister of Internal Affairs; a chairperson, held by the wife of the Minister of Internal Affairs; Secretary; Treasurer; head of the fourth working group (Pokja); and members. On the lower level there was a structure parallel to the steering team at the provincial, district/municipal, township and village, each is head at those administration levels. In line with this, the head at various levels of the PKK Steering Committee was assigned to conduct inspection, control, correction, and make suggestions for improvement. Secretariat of the PKK Steering Team consisted of General Affairs (administration and households); organization, public relations and
148 documentation; report, monitoring, and evaluation. At the village level, secretarial tasks were adapted to the abilities and needs of rural people. The relation between the central government and the village was regulated by the Ministry of Internal Affairs. However, the allocation of government funding must have been done through village administration. This obviously raised a problem. No wonder the village head’s employees felt overburdened. With a small staff who were less educated, village administration was often blamed as a result of a program that was not implemented properly. In this context, it was natural if the PKK village is having difficulty to run a particular program. Success depended on the motivation and ability of the staff involved, especially the village head’s wife and her husband, as well as development and continuous supervision from above. Regarding the mechanism of action, Team Leader of the PKK at all levels were accountable to their men’s advisors (in other words, their husbands) at that level. The PKK team at any level could not work with other government bodies, social organizations, whether local, national or international, without the knowledge and consent of the Advisors of the PKK on that level. At the village level, the PKK was run by voluntary cadres. This often posed a problem, because without incentives, it is difficult to recruit and maintain a regular team to run the very complicated PKK program. Administratively, in 1984, along with standardizing structure of PKK across Indonesia, the administrative procedure of PKK was “rehabilitated” to meet the wishes of the central government. Coaching was done continuously. This required the existence of PKK offices at all levels of administration, a set of PKK data displayed on the PKK special board, 10 to 25 administration books and per quarter reports of each administrative level to the level above it. At the village level, the PKK was an organization of volunteers, except for the “functional” position, the Heads of PKK were automatically held by the wife of village heads. However, the heads and members of the PKK Steering Team at all levels, from the district level upwards, would be removed from office if the husband was transferred, fired, retired, or died. The cause was the Dharma Wanita membership which again shows
149 the overlap between the two organizations. Operationally, the PKK was also dependent on men. In a personal interview in 1984, Mrs. Supardjo Rustam (the wife of the Minister of Internal Affairs), at that time Head of the Central PKK, declared herself inspecting the village PKK using facilities –transportation, communication, administration, and others—provided by the Ministry of Internal Affairs. Mrs. Supardjo was very grateful for this facility, she said, because if not, she would not know how would she carry out her duties. Unknowingly, Mrs. Supardjo Rustam made a tacit admission of how she and the PKK dependent on the “kindness” of her husband and the men’s bureaucracy. If we look at the organizational structure and functions of the PKK now, potentially there is a problem. The main executor of the PKK at the village level is the wife of the head of the village: the Mrs. village heads in rural areas, and the Mrs. village heads in urban areas. Although the Mrs. are not members of Dharma Wanita and the village heads in rural areas are not always civil servants, in practice, they work under the instruction of Dharma Wanita at the district level. Administratively, the Mrs. village heads as Head of the PKK should receive instruction from the PKK leader, which eventually is the wife of the Minister of Internal Affairs. On the other hand, all the programs for women should be coordinated by the Ministry of Women’s Affairs (UPW), which is under the program of Increasing the Role of Women, Healthy Family Welfare (P2W-KSS). The P2WK-SS, an integrated program for women which include health, sanitation, nutrition, non-formal education, environmental hygiene, family planning, and governance households. The Ministry of Women’s Affairs also does not have a separate budget for implementing their programs. P2W-KSS carried out by the village PKK, which has no connection with the Ministry. Organizationally, the PKK is carrying heavy burden on its shoulder, which is increasingly felt as a result of improvement, standardization, and centralization of its activities. This tendency is exacerbated by the fact that the state mechanism needs to “increase the role of women”, there is a confusion over which agency is intended to act as a mediator to the PKK at the village level. Thus, not only policies and programs
150 that are distributed having a top-down feature, but also the confusion is distributed at the lower level.
The PKK Program For the general public, when we mention PKK, what came to mind are: cooking, sewing, embroidering and flower arranging. Management of households are included, but the content of the PKK program has a broad and complex range, encompassing state ideology and government development program: 1) P4; 2) mutual assistance; 3) food; 4) clothing; 5) housing and household management; 6) education and skills; 7) health; 8) development of cooperative life; 9) environmental sustainability, and 10) healthy life planning. These programs are designed to match the state’s development and ideological purposes. “Fundamentals of Organizing and Policy Implementation of the PKK” claims that this program does not reflect priority, but should be seen as a unified whole. The officials of PKK claim, the PKK implementation is achieved by integrating the efforts of the government and community. The implementation of PKK is supported by various offices/government institutions, both in the village and at the higher level, while it is carried out directly by villagers with the advisors of PKK and government offices at the district level. The level of PKK activity is often associated with primordial factor. In Java, the women have a viable and open role in society and economic life, so the PKK in this area is the most active. While in West Java, the level of activeness is less. Under the leadership of Mrs. Supardjo Rustam (1982-1986), the achievement of PKK was so prominent. One conclusion, activities and the development of PKK –as with most programs in Indonesia—depend on who is in charge at the time. The Ministry of Internal Affairs has a strong position in the Indonesian cabinet. When the wife of a powerful minister organized a “movement”, then the movement will be very strong, in the sociopolitical context of the time.
151
PKK
in
Buniwangi Village
The implicit values in PKK –as the main intermediary between the state agencies and village women—assign the role of housewife and mother to women who do not necessarily correspond with the reality of their life in the vil l age. This picture can be drawn from village-based study conducted in Su k abumi, West Java. Women who participate in PKK come from the middle class, the daughters of the landlords, and the professional class (teachers, military, civil servants), who have the time and ideological tendency to participate in the activities of the PKK. For other women in villages –the majority of them—PKK activities do not fit the needs they feel. Most of them are peasants (landless), and not just women who are involved in the search for wage labor, but also children. Women have the additional burden of domestic work, so they have very little time to engage in the kinds of activities such as of PKK. On the other hand, fo r women who are involved in the PKK, their participation proves to have an impact on their social skills (e.g., administrative skills, ability to express their opinions on various issues, organization, etc.). A lthough PKK offers these possibilities, tradition remains an obstacle. I n the field research in West Java, in meetings attended by men, it i s they who dominate when it comes to decisionmakings. If the meeti n gs or activities are technical or practical, the women have more roles . Thus, there is no decision taken by women. However, policy concerning rural development is decided at the top level, while the village activity is only related to implementation. As a reflection of de v elopment level in Indonesia, Buniwangi residents are trapped in the transition –perhaps more appropriate to call it in limbo5 between tradition and modernity. This is reflected in the relations of production and exchange, with the relations of monetary and non-monetary product i on. Also, in the social activities which divided into the traditional-religious and secular-modern activities. PKK is in the second category.
5) “Limbo” is a term for imaginary territory between hell and paradise, but it could also defined as area where people are ignored, neglected or forgotten.
152 Conceptually, many aspects of Buniwangi’s life, which divided into categories of “masculine” and “feminine”, are a continuum (continuous sequence) rather than two separate categories. Men dominate the scope of the masculine. For example, formal-public and monetary-cash sectors whereas women are more dominant in the informal-private and non-monetary sectors. Both of these categories form the totality of life in the village. But the inclusion of “modernization” and capitalist-style development allows the masculine side to dominate. This adversely affects the women and the poor. Women are forced into marriage and domestication at a very young age. To marry and divorce is indeed very easy thus giving a greater sexual freedom for women, especially among the lower classes. Although women cannot conduct polygamy, they can engage in what I call, a “serial monogamy”. Among the poor, when dealing with men, women have greater autonomy. Among the middle classes and elites, women have better economic circumstances, but they have more subordinate position compared with men. Acceptance of polygamy by women is due to the low status of divorced-widow, being widow because of the partner’s died, and “spinster”. Polygamy, a double-edged knife: considered as a pressing institution, but also a socially survival strategy, especially in dealing with the immediate economic needs. For all socio-economic groups in the village, sexual division of labor is based on tradition and religion. However, the application of this division of labor varies depending on the social group. Among the traditional elites, the division is more rigid. Men are involved in the “productive” formal-public sectors, while women in the “nonproductive” informal and private sectors. When we associate this with the “the work of status production” from Hanna Papanek, the elite women are those who are most able to engage in this sort of activity. The women of this class spend most of their time on domestic activities and some social activities. Among the poor, who constitute the majority of the Buniwangi population, sexual division of labor is flexible. There should be considered the ideal value, the division of labor is giving in to the needs, women and men are also very often exchange roles. The common “good women”
153 ideology is merely a practical matter, namely: women as breadwinner, not women as “good wife and mother”. Women are considered responsible not only of the psychological and emotional well-being of family members, but also of their material welfare. Lower class women are often the most important breadwinner, not because of the number, but the continuity (Budhisantoso 1977; Grijns 1987). These groups of women have little time to engage in the “work of status production” and spend more time in income generating activities and households, as well as very little time for social activities. Even if they have little time to spare, they usually choose religious-traditional activities such as reciting the Qur’an instead of modern-secular activities such as of PKK. Among the Buniwangi middle class, there is a division of labor that similar to the elite. However, the sexual division of labor is much more flexible and include more ideal concept of “modern” gender role. In other words, the middle class refers to the values of traditionalreligious, but coupled with the Western model of the bourgeois family. Women of this class also do a “work of status production”, and their activities more evenly split between social work, earning a living as well as doing domestic chores, with the greatest emphasis on the latter. They are the women who have the opportunity and ideologically inclined to participate in the PKK. The power of PKK activities in Buniwangi is not as a program, and it certainly is not as a movement, but in the ideology of the state ibuism. This ideology is not only supported by the concept of traditional and Islamic womanhood that positions women primarily as wives, but also the aspirations of the poor. Middle-class bourgeois family model is seen as an ideal model enviable among the poor. Not because it is intrinsically “superior”, but because it is identified with higher economic status and prosperity. In addition, in a community of role model, the poor always emulates the values and behavior of classes and social groups above them. Although there i s a match between the state ibuism and what is considered “ideal” by villagers, both are very opposed to the harsh reality of life in the village, where women are not just “following the husband” and must always serve at least as a sideline subsistence. Oftentimes, women, especially the poor ones, become the heads of the family and
154 primary earner. In the face of easy to divorce, the tendency of being left by the husband, and the fact that women are the head of the family, ideology propagated by the PKK does not support the efforts of women to gain personal and social autonomy and economic independence.
With the declining employment opportunity, small wages and
the increasingly capitalistic mode of production, the living condition of the poor is increasingly difficult. In this condition, the PKK does not seem fit with the reality of life as well as the perceived needs of the Buniwangi community. In contrast to the recitation of the Qur’an, the participation at the meeting of PKK is lower and the PKK activities have to be encouraged by the village leaders. In Buniwangi, PKK carries as a liability of the government program that has been “dropped” from the top. The village heads blind themselves to the reality of the “target groups” in order to run their duties as executor of “national development”.
State Ibuism, Rural Development and Emancipation
R
ural women constitute the majority (in the late 1980s, the number was around 80 percent) of women in Indonesia. In many cases, they are the most affected by the manipulation and
misinterpretation of traditional-religious activities of the state ideology, policies and programs. The housewifization model of state ibuism spread through Dharma Wanita and PKK failed to touch various aspects of village life. State ibuism does not admit of households headed by women despite the large amount, or the rate of divorce, desertion, migration, and the large number of unemployed husbands. State ibuism also does not recognize the autonomy of women as widow, divorcee and single women, but women as the husband’s burden. In fact, dependence is two-way. The state ibuism is not enough to admit that women in need of works, equal or even surpass men, in most cases of divorce, women are the ones to bear the responsibility of supporting the children. As if, state ibuism does not recognize, that there is an alternative model of womanhood and family, not just the nuclear family model. Or there is a difference in the arrangement in sexual division of labor as exemplified by lower-class
155 families. For the sake of necessity as well as a survival strategy, sexual division of labor among the poor is more egalitarian. Women have always been the economy guardians for “subsistence”. With the modernization, women often have to replace the men who migrate to find better employment alternatives. Access to land and capital also determines the type of work and productivity of women. With a few exceptions, the position of women is often only a subordinate worker, concentrated in low wage jobs. Women in general –rural women in particular—are the poorest of the poor. In Indonesia, it is not uncommon that women’s wages are 60 or 70 percent less than men for the same work. Women from poor families have long working hour, yet earn low salary. If women generally lose in the competition for development with men, poor women also lose in the presence of the richer women. This has significant implication in the social relations of exchange. Imbalances in these relationships are cumulative and in this way the gap between class and gender are maintained, and in some cases, widened. Despite various ideological, social and cultural restrictions, women absolutely cannot be called as sideline subsistence. Instead they are required to bear responsibility for the psychological and material wellbeing of their family members. De facto, women are the most important subsistence or earner, not in the number but in the reliable continuity, however small their income. It is also the reason why women often receive poor-paying work, but stable. If the PKK aims to help rural women and their families, the PKK has to think concretely about the living conditions of women whom they supposedly want to help. Economically, the state Ibuism gives the effect of viewing women as “secondary subsistence”, that justifies the lower wages they received. In the government’s development program, due to the institutional assumption that the men are heads of the family, women do not have the right to access a variety of programs such as credit programs and livelihood programs that they need most. Politically, socially, and psychologically, the state Ibuism has the effect of not recognizing the autonomy of women as women: women as subject, not just object. The concept of women as enshrined in the social construction of womanhood in Indonesia, has a real and wide impact on
156
all areas of life. This not only hinders women, but also all the people of Indonesia in order to really thrive and be emancipated.
This paper is a summary of MA thesis with the title “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia” (Ibuism Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru di Indonesia), Institute of Social Studies (ISS), The Hague, 1988. Published in bilingual edition of the same title by Komunitas Bambu in September 2011.
157
Julia Suryakusuma Julia Suryakusuma was born in New Delhi, India, on July 19, 1954. Julia is an activist, writer, and Indonesia academic with multidisciplinary interests ranging from literature, film, art, theater, social issues, culture, religion, gender, politics, government and the environment. Her MA thesis, “State Ibuism: the Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia”, is the first work to discuss gender analysis of the state, in particular, during the New Order regime.
158
M akalah Diskusi
Keberanian dan
Kepenga turan: Membaca Kembali Dharma Wanita dan Warisannya pada Perempuan Kini oleh
Manneke Budiman
159
Pengantar
K
olom politik harian Kompas pada Sabtu 3 Oktober 2015 memuat tulisan kolumnis James Luhulima dengan judul yang amat pendek
dan lugas: “Perempuan”. Dalam rubriknya itu, Luhulima menulis bahwa banyak perempuan karier yang ditemuinya mengaku bersyukur bahwa suamisuami mereka “bersedia mengalah” untuk sementara waktu ketika istri mereka sedang menempuh studi di luar negeri atau menapak tangga karier. Luhulima menutup paragraf yang memuat kisah itu dengan sebuah pertanyaan hipotetik: bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada mereka–para istri–apabila suami tidak mau mengalah? Saya berpendapat cuplikan dari rubrik James Luhulima di Kompas itu sangat relevan dengan tema Proyek Seniman Perempuan 2015 ini, yakni “Wani Ditata”, yang secara amat kebetulan, menyoroti sebuah isu yang sejatinya sudah tinggal kenangan sebagai bagian dari riwayat Orde Baru, yaitu Dharma Wanita. Saya yakin ini bukan sebuah proyek nostalgia karena tidak banyak hal positif yang perlu dikenang dari masa-masa ketika kedudukan
160 perempuan secara sistematik disubordinasikan di bawah negara. Kini, 17 tahun sesudah Orde Baru berakhir, tampaknya ada kebutuhan untuk memperbincangkan kembali Dharma Wanita sebagai semacam warisan yang masih meninggalkan jejak dan dampaknya, khususnya di wilayah kesenian dan kesusastraan. Dharma Wanita boleh jadi dipahami sebagai momok yang masih menghantui gerak maju perempuan masa kini, sebagaimana semasa Orde Baru, Gerwani ditampilkan sebagai hantu komunis dari periode sebelumnya. Mempertemukan “kesediaan mengalah” kaum laki-laki dalam tulisan Luhulima dengan “wani ditata” sebagai stereotipe perempuan yang hantunya hendak dieksorsiskan dalam proyek seniman perempuan ini menyajikan kontras yang cukup terang benderang. Istilah “wani ditata” yang berasal dari bahasa Jawa dan digunakan untuk menandai posisi subordinat perempuan telah telanjur dipahami secara negatif. Tak jarang istilah ini dikontraskan dengan “perempuan”, sebutan yang dipandang lebih mulia dan bermartabat. “Wani ditata”, dengan kata lain, kini berkonotasi dengan kepasifan, kepasrahan, dan ketiadaan pilihan. Bandingkan ini dengan “kesediaan mengalah” kaum lelaki. Lelaki diasumsikan mau mengikuti kehendak istrinya serta mendukung karier istrinya itu karena pilihan yang mereka buat sendiri. Mereka bisa saja memilih untuk menolak atau tidak mendukung, dan keputusan pada akhirnya tetap sepenuhnya berada di tangan mereka. Namun, karena mereka berbesar hati, maka mereka bersedia mengalah pada istri. Sebaliknya, “wani ditata” yang walaupun mengandung makna keberanian di dalamnya, istilah itu tetap saja dipakai untuk merujuk pada bentuk-bentuk kekalahan yang lain, yang sama sekali tidak berkorespondensi dengan keberanian. Dalam istilah itu tersembunyi makna bahwa wanita tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan dirinya untuk diatur oleh orang lain. Itu bukanlah suatu bentuk kesediaan, melainkan kewajiban. Bila laki-laki bisa memilih untuk berkata “tidak”, wanita tidak memiliki privilese semacam itu. Maka, kita pun boleh bertanya, mengapa digunakan kata “wani” di situ jika maknanya sama sekali tidak berhubungan dengan sifat berani? Tulisan saya mencoba mengembalikan makna berani itu ke dalam istilah “wanita”, meskipun makna tersebut harus bersandingan dengan
161 makna lainnya, yaitu ditata atau diatur. Saya menyoroti dua tulisan Julia Suryakusuma yang terbit beberapa tahun lalu tentang Dharma Wanita, “State Ibuism: Appropriating and Distorting Womanhood in New Order Indonesia” (2004a), yang merupakan ringkasan tesis masternya, serta “Sex, the Bureaucratic Position: The State Regulation of Sexuality” (2004b) pada satu sisi, dan riset yang ditempuh oleh Sukanti Suryochondro yang diterbitkan dengan judul “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?” (2000), untuk melihat bagaimana ketiga tulisan ini mengupas Dharma Wanita karena memang kedua orang ini secara cukup mendalam dan panjang lebar berbicara tentang organisasi perempuan era Suharto itu.1 Diharapkan dari jukstaposisi antara ketiga artikel ini bisa terungkap dinamika dan kompleksitas subjektivisme perempuan dalam ruang struktural yang disediakan oleh negara sehingga ada pengertian baru tentang apa yang terjadi pada para perempuan yang tak memiliki pilihan kecuali bergabung dengan Dharma Wanita. Dari situ, tulisan ini masuk ke tahapan berikutnya, yaitu menggunakan pemahaman baru tersebut untuk menggali lebih jauh dampak konstruksi perempuan yang dihasilkan oleh Dharma Wanita pada alam pikiran perempuan Indonesia kini sebagaimana terungkap melalui beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang perempuan, khususnya yang mulai berkiprah sesudah Orde Baru berakhir. Asumsi dasar saya adalah bahwa perempuan Orde Baru tidak terlepas dari skema interaksi antara subjek dan struktur, yang senantiasa terjadi dalam rezim apapun, dan dengan demikian, kita juga perlu merefleksikan apa yang diberikan negara kepada perempuan lewat sistem kepengaturan seperti Dharma Wanita dan apa yang hilang sesudah Orde Baru tidak lagi berkuasa. Tulisan Suzanne Brenner (2007), misalnya, mengungkapkan bahwa pada masa Suharto, poligami yang selalu menjadi isu bagi perempuan selama kurun waktu yang panjang dan yang perdebatannya sudah dimulai sejak era Kartini pada akhir abad ke-19 menjadi sangat sulit untuk dilakukan, khususnya di 1) Dua tulisan Julia Suryakusuma ini terbit dalam kumpulan esainya, Sex, Power and Nation: An anthology of writings, 1979-2003 (Jakarta: Metafor, 2004). Tulisan pertama sebelumnya telah pernah diterbitkan dalam sebuah periodikal pada 1991, sedangkan yang kedua diterbitkan belakangan, yaitu pada 1996, di sebuah buku suntingan Laurie J. Sears. Sementara itu, riset Binny Buchori dan Ifa Soenarto diterbitkan dalam sebuah buku yang disunting oleh Mayling Oey-Gardiner dan Carla Bianpoen pada 2000, yaitu Indonesian Women: The Journey Continues. Jadi, dari segi kronologi penerbitan, kedua tulisan Suryakusuma mendahului tulisan Buchori dan Soenarto.
162 kalangan pegawai negeri, tanpa izin dari istri pertama. Akan tetapi, dengan berakhirnya kekuasaan Suharto, fenomena poligami segera merebak dengan cepat. Brennen berkesimpulan bahwa demokratisasi tidak selalu membawa keuntungan bagi perempuan. Adakah kaitan antara efektivitas larangan berpoligami untuk pegawai negeri ini dengan Dharma Wanita sebagai organisasi para istri pegawai negeri? Saya berpendapat bahwa walaupun secara umum Dharma Wanita dipandang sebagai simbol pengendalian perempuan oleh negara, yang secara efektif membuat perempuan tunduk pada kepengaturan negara, perempuan yang menjadi anggotanya bukannya sepenuhnya tereifikasi oleh organisasi itu, serta sepenuhnya menjadi objek kekuasaan negara. Masih ada ruang bagi perempuan dalam Dharma Wanita untuk mempertahankan diri sebagai subjek yang mampu bertindak dengan kebebasan relatif di bawah pengawasan negara. Itu sebabnya, dampak Dharma Wanita pada aktivisme seni perempuan pasca-Orde Baru juga tidak dapat secara sederhana disimpulkan sebagai negatif. Namun demikian, ini tidak bermaksud untuk menyiratkan bahwa organisasi itu bebas dari tudingan telah memberlakukan mekanisme represif atau mengekang ruang gerak para anggotanya dalam beraktivitas.
Struktur dan kendali
S
uryakusuma berargumen bahwa organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK adalah aparatus ideologi negara, dan sifat kekuasaan negara Orde Baru yang sentripetal membutuhkan
untuk menyebarluaskan kebijakannya. Di bidang gender, domestikasi perempuan dilakukan melalui konsep yang oleh Suryakusuma disebut dengan “Ibuisme”: perempuan sebagai istri yang mendampingi dan bergantung kepada suami di ranah rumah tangga (2004a:162-163). Ini bukan persoalan ekonomi dan kultural semata tetapi lekat terkait dengan upaya negara untuk mengendalikan warganya, khususnya kaum perempuan, melalui hierarki berjenjang yang dimulai dengan Presiden pada puncak sebagai simbol paternal dan di bawahnya diikuti oleh para pegawai negeri atau abdi negara. Pada gilirannya, para
163 pegawai negeri inilah yang menjadi sarana kendali para perempuan yang menjadi istri mereka. Berada pada lapis hierarki terbawah, secara logika memudahkan negara untuk mengoperasikan konsep perempuan sebagai “pilar” penyangga bangsa. Konstruksi ini membuat perempuan dituntut memainkan peran penting dalam pembangunan tetapi juga mengikat mereka dengan ”kodratnya” sebagai insan domestik. Hierarki sistematik seperti ini memungkinkan negara untuk mampu menjangkau keluarga-keluarga sampai ke dalam rumah mereka, sehingga terciptalah struktur kekuasaan yang totaliter. Bahkan, menurut Suryakusuma, negara sendiri mendefinisikan diri sebagai sebuah “keluarga” besar (2004a:169). Struktur Dharma Wanita dibuat menyerupai struktur negara. Para ketuanya pada berbagai level berbeda adalah para istri pejabat teras pimpinan setiap level. Keanggotaannya bersifat wajib karena terkait langsung dengan kedudukan para suami mereka di struktur pemerintahan. Maka, secara sosial, politik, ekonomi, maupun kultural, perempuan menjadi salah satu fungsi dari negara (2004:172). Dalam kajian Suryakusuma, perempuan secara sistematik dan terstruktur sepenuhnya terkooptasi oleh kekuasaan dan berfungsi menjadi sarana penyebaran serta pengukuhaan ideologi negara. Dalam esainya yang lain, Suryakusuma menyoroti peranan pegawai negeri yang tidak hanya menjadi “rantai penghubung antara negara dan masyarakat” namun juga sebagai “instrumen politik” kekuasaan untuk menjamin kesetiaan kepada pimpinan tertinggi negara dan implementasi kebijakannya di semua sektor (2004b:193). Orde Baru sadar bahwa keluarga adalah unit utama tempat penanaman ideologi negara harus dimulai. Oleh sebab itu, cukup banyak aturan untuk mengontrol keluarga yang diproduksi selama era itu, antara lain, kebijakan keluarga berencana dan berbagai retorika moral negara yang terpusat pada keluarga. Dharma Wanita pun menjadi bagian dari mekanisme kontrol tersebut karena dalam organisasi ini moralitas, kesetiaan, dan ketergantungan saling berkaitan. Di mata Suryakusuma, Dharma Wanita tidak hanya dibangun menurut struktur negara tetapi bahkan menurut struktur komando dalam kemiliteran. Kepatuhan dan konformitas, dengan demikian, menjadi nilai-nilai utama dalam operasional organisasi ini (2004b:196).
164 Isu lain yang dipersoalkan oleh Suryakusuma dalam esai ini adalah peraturan pemerintah yang mengatur secara ketat perihal perceraian dan poligami. Suryakusuma mencurigai lahirnya peraturan ini sebagai hasil dari desakan Dharma Wanita kepada pemerintah untuk membatasi peluang suami yang hendak menceraikan istrinya dan menikah kembali atau memiliki lebih dari satu istri. Seorang pegawai negeri sipil harus memperoleh izin dari atasan serta istrinya untuk mengajukan permohonan menikah kembali, dan proses yang harus ditempuh untuk ini bisa berbelit-belit serta memakan waktu lama. Bagi Suryakusuma, keberadaan peraturan pemerintah ini menandai masuknya negara dalam pengaturan seks dan perkawinan yang semestinya menjadi bagian dari ranah keluarga (2004b:202-203). Persoalannya kemudian adalah bahwa perempuan mengalami dilema ketika harus melaporkan perbuatan suaminya ke atasannya karena itu bisa mengakibatkan demosi dan sanksi bagi suaminya. Dampak dari hukuman itu paling dirasakan oleh istri serta anak-anaknya, belum lagi selalu ada risiko perempuanlah yang disalahkan karena gagal membahagiakan suaminya. Walaupun sebagian perempuan anggota Dharma Wanita berpendapat bahwa peraturan itu masih ada manfaatnya bagi perempuan, Suryakusuma pada akhirnya berkesimpulan bahwa perempuan tetap saja dibuat menjadi aseksual, tak berdaya dan tergantung pada suami mereka (2004b:215). Dharma Wanita pada dasarnya tetap merupakan intervensi birokrasi dalam membangun hubungan antara seks dan kekuasaan, yang sasaran akhirnya adalah untuk mengukuhkan cengkeraman negara atas warganya. Alih-alih menjamin standar moral yang tinggi di kalangan para pegawai negeri dan pasangan mereka, peraturan-peraturan buatan pemerintah terkait dengan perkawinan, perceraian, dan poligami justru menjadi kedok yang menutupi terjadinya krisis moral dan kemunafikan di kalangan abdi negara. Sedikit banyak, ini menjadi cerminan krisis moral Orde Baru yang hendak ditutup-tutupi dengan berbagai diskursus dan kebijakan seks dan moral yang digembor-gemborkan negara.
165
Ruang subjektif
S
uryakusuma juga mengupas aspek subjektif yang digali dari wawancara dengan beberapa narasumber dari dalam organisasi Dharma Wanita sendiri, namun sebagian besar persoalan
berkisar pada masalah seksual dan perselingkuhan perempuan anggota organisasi tersebut, yang sebagiannya disebabkan oleh status mereka sebagai istri pegawai negeri atau sebagai pegawai negeri perempuan. Perempuan yang kehidupan perkawinannya tidak bahagia terpaksa menjalani penderitaannya dan tetap aktif di organisasi demi anak-anaknya atau demi keamanan kariernya (2004b:205-207). Salah satu narasumber bahkan berhasil memulai bisnisnya sendiri dan tidak lagi tergantung pada dukungan ekonomi dari suaminya. Narasumber lain mengungkapkan harapannya bahwa generasi muda perempuan mampu bersikap lebih asertif dalam kehidupan perkawinan mereka. Namun, Suryakusuma tidak menganggap kemampuan perempuan untuk membuka ruang-ruang bagi subjektivitas mereka sendiri ini sebagai suatu wujud “pembebasan” karena strategi-strategi yang mereka pakai justru berpotensi menimbulkan stigma negatif atas diri mereka sendiri (2004b:207). Pertanyaannya adalah, mungkinkah suatu pembebasan ‘absolut’ dibayangkan dalam kondisi Orde Baru? Seberapa jauh suatu upaya pembebasan dapat disebut sebagai pembebasan? Buchori dan Soenarto (2000) melakukan riset etnografis serupa atas Dhamra Wanita namun dengan titik berat pada pengalaman subjektif perempuan anggotanya dalam menyikapi dan menyiasati struktur
yang
oleh
Suryakusuma
dinilai
tidak
memberikan
kemungkinan positif apapun bagi perempuan itu. Menjadi anggota Dharma Wanita bukan suatu hal yang menyenangkan bagi semua istri pegawai negeri sipil, apalagi struktur hierarkisnya yang tidak dilandasi oleh kompetensi dan kepatutan, melainkan oleh tingkatan jabatan suami. Seorang perempuan yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan ataupun visi berorganisasi yang jelas dengan mudah dan secara kebetulan bisa menjadi pimpinan organisasi Dharma Wanita pada suatu unit instansi pemerintahan hanya karena suaminya mengepalai unit tersebut. Sangat mungkin, ia tidak menikmati peran
166 yang harus dimainkannya karena ia menyadari keterbatasannya. Lebih lanjut, seorang perempuan terampil yang memiliki banyak kesibukan dan segudang pengalaman memimpin organisasi bisa saja mendapati dirinya berada di bawah kendali perempuan lain yang sama sekali tidak cakap hanya karena suaminya kebetulan bukan pemimpin instansi negara tempatnya bekerja. Hal ini bisa membuatnya tidak termotivasi untuk mengikuti kegiatan organisasi dengan sepenuh hati. Dengan kata lain, Dharma Wanita sama sekali bukan suatu bentuk organisasi ideal yang ingin diikuti baik oleh perempuan yang kebetulan berada pada posisi memimpin organisasi maupun oleh mereka yang harus dipimpin. Buchori dan Soenarto kembali menegaskan bahwa memang Dharma Wanita merupakan bagian dari upaya negara Orde Baru untuk mewujudkan penyeragaman ideologis atas warganya, dan pegawai negeri sipil beserta keluarga mereka adalah sasaran strategis dari upaya tersebut karena mereka jauh lebih mudah untuk dikontrol dan digiring secara sistematik untuk mendukung program-program pembangunan pemerintah. Ini mengukuhkan kesimpulan Suryakusuma di atas bahwa Dharma Wanita secara esensial merupakan aparatus ideologis negara yang menempatkan perempuan sebagai objek negara untuk digunakan sebagai agen pendukung agenda-agenda politisnya. Namun demikian, perlu diingat bahwa perempuan telah dijadikan sebagai aparatus ideologis negara tidak hanya pada masa Orde Baru, dan hal ini sama sekali bukan karakteristik khas Orde Baru. Rusiyati (1990) memperlihatkan bahwa perempuan Indonesia tidak pernah dapat sepenuhnya memfokuskan pergerakan atau perjuangannya pada emansipasi dan kesetaraan perempuan karena mereka juga senantiasa harus turut memikul beban sejarah. Pada zaman pergerakan dan kemerdekaan, perempuan Indonesia harus
bersedia
mengenyampingkan
kepentingan
perjuangan
emansipasinya demi bersama-sama dengan segenap komponen rakyat untuk meraih kemerdekaan bagi seluruh bangsa. Pada masa pendudukan Jepang, perempuan aktif berpartisipasi dalam latihanlatihan kemiliteran untuk mendukung kampanye militer Jepang dan lalu untuk mencegah kembalinya kekuasaan kolonial Belanda ke
167 Indonesia. Setelah kemerdekaan dan Indonesia memasuki era 1950-an dan 1960-an, perempuan Indonesia kembali digalang oleh pemerintah, dalam hal ini Presiden Soekarno, untuk mendukung berbagai agenda politiknya, mulai dari perjuangan melawan kekuatan-kekuatan neoimperialis dan neokolonialis global hingga operasi pembebasan Irian Barat dari Belanda. Pada 1964, Kowani sebagai payung organisasi perempuan se-Indonesia bahkan menganugerahi Soekarno gelar “Pembimbing Agung Gerakan Wanita Revolsuioner Indonesia”2. Pada saat situasi politik memanas akibat dampak Perang Dingin di Indonesia, yang menyebabkan munculnya kubu-kubu ideologis yang saling berhadap-hadapan, kembali perempuan masuk dalam kancah pertarungan ideologis. Organisasi perempuan yang barangkali paling efektif dan solid pada saat itu adalah Gerwani, yang gencar digunakan oleh PKI untuk turut melancarkan kampanye ideologisnya di kalangan perempuan. Walaupun secara resmi Gerwani adalah bagian dari Kowani, sedari semula sudah tampak adanya ketegangan antara organisasi ini dengan induknya. Sesudah terjadinya Gerakan 30 September, Gerwani dikeluarkan dari keanggotaannya di Kowani dan pembersihan terhadap elemen-elemen Gerwani terus berlanjut sampai 1966. Dengan beralihnya kekuasaan negara ke tangan Presiden Soeharto dan era Orde Baru resmi dimulai, Kowani pun terkooptasi sepenuhnya ke dalam rezim. Dalam resolusinya pada 1966, dinyatakan bahwa tugas utama perempuan Indonesia adalah sebagai istri, ibu rumah tangga, dan ibu bangsa.3 Sejak itu, perempuan Indonesia ke hi langan warna revolusionernya dan bertransformasi menjadi agen pendukung kebijakan dan program pembangunan pemerintah. Dharma Wanita, serta organisasi perempuan lain era Orde Baru yakni PKK, sesungguhnya hanya kelanjutan belaka dari riwayat panjang subordinasi perempuan oleh negara serta upaya yang tak pernah berakhir untuk menempatkan perempuan di bawah kendali dan pengawasan negara. Dalam kasus Dharma Wanita, para perempuan yang pada mulanya merasa enggan atau terpaksa bergabung itu, di dalam 2) Lihat Kowani, Sejarah Setengah Abad (1978). 3) Ibid, hal. 30.
168 prosesnya, mulai bisa melihat peluang yang dibukakan justru dengan menjadi anggota organisasi itu. Sebagaimana diperlihatkan oleh hasil riset Buchori dan Soenarto, para perempuan anggota Dharma Wanita secara bertahap terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi, mulai menjadi pengurus hingga aktif turut serta dalam program-program penyuluhan kesehatan, pemberantasan buta huruf, pengentasan kemiskinan, hingga peningkatan keterampilan berorganisasi dan kualitas kepemimpinan. Mereka juga dibekali dengan keterampilanketerampilan praktis, seperti masak-memasak dan membuat kuekue, yang kelak berguna sebagai bekal untuk mendapatkan nafkah tambahan untuk keluarga, terutama di kala suami-suami mereka sudah memasuki masa pensiun. Dalam suasana represif rezim Orde Baru atas perempuan, belum tentu mereka bisa mendapatkan peluang dan berbagai keterampilan seperti ini apabila mereka tidak aktif terlibat dalam Dharma Wanita. Secara tidak terantisipasi, mereka bahkan memiliki kekuatan tawar lebih besar di hadapan suami-suami mereka sebab kini mereka turut mengawasi kinerja dan perilaku suami. Mereka dapat melaporkan atau menyampaikan keluhan terkait perilaku suami yang melanggar peraturan profesi pegawai negeri sipil, seperti berselingkuh atau mengambil istri muda tanpa izin istri pertama. Dengan demikian, di dalam ruang subjektif yang tidak lapang ataupun leluasa yang dibukakan secara terbatas oleh keanggotaan mereka dalam Dharma Wanita, banyak perempuan yang mengalami penguatan dan memperoleh kesadaran baru akan kemampuan diri mereka sendiri. Mereka tidak berubah menjadi perempuan radikal atau revolusioner, dan visi besar mereka adalah tetap menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, sesuai garis ideologis Orde Baru, akan tetapi tidak dapat dibantah bahwa mereka juga bukan sekadar menjadi ‘boneka’ pasif ideologi negara. Melalui keterlibatan dalam Dharma Wanita, tidak sedikit perempuan anggota organisasi ini yang lalu mampu membangun kepercayaan diri, mampu mengambil inisiatif, dan mampu memimpin orang lain. Kesadaran baru yang mereka peroleh membuat mereka tidak bisa terus membutakan diri terhadap berbagai ketimpangan sosial yang mereka saksikan saat melakukan aktivitas sosial organisasi. Mereka pun mampu menjadi tulang punggung
169 ekonomi keluarga, sehingga kesejahteraan keluarga meningkat, dan ini berdampak pada kualitas hidup anak-anak mereka. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada kontrol negara yang dapat sepenuhnya bekerja secara efektif untuk mengekang perempuan. Secara struktural, organisasi sendiri baru bisa berjalan dengan optimal apabila ia tidak seratus persen menjadi mesin pengekang, tetapi juga menyediakan peluang untuk meningkatkan kapasitas para anggotanya. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para perempuan anggota Dharma Wanita untuk membangun subjektivitas diri mereka, yang berpran penting dalam membantu melawan upaya untuk mereduksi diri mereka menjadi sekadar objek ideologi atau negara belaka. Dalam hal ini, negara tidak memiliki banyak pilihan selain membiarkan proses kreatif itu terjadi sembari tetap melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas perempuan dan mempertahankan depolitisasi terhadap mereka. Setidaknya, negara terbukti tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengantisipasi responsi perempuan anggota Dharma Wanita dalam memanfaatkan celah yang terkandung dalam struktur organisasi untuk penguatan diri mereka sendiri. Dalam kajian Dharma Wanita ini, terlihat bagaimana dualitas terbentuk dalam interaksi antara struktur dan agensi manusia yang menjadi subjeknya. Konsep yang ditelurkan oleh Anthony Giddens ini dilandasi oleh asumsi bahwa struktur dan subjek bukanlah dua entitas yang saling berhadap-hadapan dan senantiasa membentuk relasi dominasi – subordinasi. Melalui teori strukturasinya, Giddens memperlihatkan bahwa struktur adalah sesuatu yang telah tertanam di dalam kesadaran manusia yang menjadi subjeknya. Di dalam tindakannya, manusia mendayagunakan berbagai modal yang terkandung di dalam struktur untuk mendukung pengukuhan dirinya sebagai subjek—dan dengan demikian, mencegah terjadinya reduksi atas diri menjadi objek semata dari struktur—meski pada saat yang sama, tindakannya juga mereproduksi dan megukuhkan struktur. Aktivitas para anggota Dharma Wanita dilakukan dalam rangka mewujudkan program kerja organisasi sekaligus mendukung program pembangunan pemerintah, tetapi juga memberikan kesempatan kepada para anggota untuk membangun subjektivitas diri agar mampu berinteraksi dengan
170 organisasi tidak sebagai objek organisasi melainkan sebagai subjek yang memiliki kehendak.
Warisan ideologi Orde Baru pada perempuan kini
D
harma Wanita tidak mengalami pemberangusan saat era Orde Baru berakhir pada 1998, sebagaimana nasib yang dialami Gerwani pada masa-masa transisi dari kekuasaan
Soekarno ke Soeharto. Namun, periode kritis 1997 – 1998 barangkali juga telah mengubah wajah perempuan Indonesia. Unjuk rasa para ibu yang prihatin dengan kelangkaan susu akibat krisis ekonomi di Bundaran Hotel Indonesia, diikuti oleh penangkapan terhadap tiga orang aktivis Suara Ibu Peduli (SIP) pada 23 Februari 1998. Momen ini menjadi titik dimulainya kembali radikalisasi perempuan Indonesia, walaupun skalanya tidak sebesar apa yang terjadi pada periode 1950an dan 1960-an. Penangkapan itu menjadi penggerak bagi bersatunya kelompok-kelompok perempuan untuk menggalang kekuatan melawan otoritarianisme Orde Baru, tetapi ini suatu perlawanan yang secara cerdik memanfaatkan doktrin perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang dikukuhkan oleh Orde Baru sendiri. Gerakan mereka untuk mengumpulkan dana untuk membeli susu dan sembako bagi anak-anak serta keluarga miskin secara tidak langsung merupakan tamparan bagi kemampuan negara dalam menyediakan kebutuhan pokok warganya. Dalam hal, ini kredibilitas negara sebagai pelindung rakyat dipertanyakan.4 Aktivis Lily Zakiyah Munir dari Pusat Studi Pesantren dan
Demokrasi, sebagaimana dikutip oleh Melani Budianta, menyatakan bahwa berakhirnya Orde Baru tidak serta merta menyebabkan berakhirnya ideologi gender Orde Baru yang diformalkan melalui organisasi-organisasi perempuan bentukan negara. Di mata Zakiyah, 4) Untuk paparan lebih lanjut tentang peranan kaum perempuan selama periode kritis hingga berakhirnya rezim Orde Baru, lihat tulisan Melani Budianta berjudul “The Blessed Tragedy” (2003). Budianta menyebutkan bahwa kelompok-kelompok perempuan non-Dharma Wanita, seperti Suara Ibu Peduli, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dan Tim Relawan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, memainkan peranan penting dalam menumbuhkan kesadaran sosial dan politis perempuan, tepat pada saat dibutuhkan, yakni ketika negara dalam keadaan kacau (2003:148).
171 idealisasi perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga, serta ibu bangsa itulah yang justru dijadikan sarana untuk memarginalkan perempuan (Budianta, 2006:918). Lebih lanjut, Budianta menyatakan bahwa proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia sesudah Orde Baru malah meminggirkan partisipasi perempuan, meskipun suara perempuan mencapai lebih dari 50 persen. Apa yang disampaikan Budianta ini sejalan dengan temuan Edriana Noerdin dalam kajiannya atas partisipasi perempuan dalam revitalisasi hukum dan institusi adat di berbagai daerah di Indonesia yang nyata-nyata sangat rendah (2002). Perempuan kembali terancam menjadi pemain sekunder dalam peristiwa-peristiwa dan perubahan-perubahan penting yang terjadi di negeri ini. Dalam pengamatan Budianta, sesudah Orde Baru berakhir dan era Reformasi dimulai, perempuan Indonesia justru terjebak dalam konflik internalnya sendiri. Berbagai kelompok perempuan dengan latar belakang ideologi serta agenda politik berbeda-beda tidak mampu menyatukan persepsi ataupun visi pergerakan perempuan ke depan. Keberagaman aktivisme dan gerakan gagal untuk dijadikan kekuatan yang sinergis untuk menaikkan posisi tawar perempuan dalam proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia (2006:921). Apakah kesulitan untuk menggalang gerakan bersama di kalangan kelompok-kelompok perempuan ini adalah suatu bentuk warisan ideologi gender Orde Baru pada masa kini? Kajian yang lebih mendalam dan komprehensif diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini secara afirmatif. Namun, kita bisa mencoba menggali lebih jauh apa yang terjadi di kalangan perempuan, khususnya yang terlibat dalam aktivitas sastra pasca-1998, untuk menemukan beberapa cara pandang perempuan pengarang Indonesia mengenai apa yang kini sedang terjadi dan bagaimana prospek perkembangan perempuan ke depan dalam kaitannya dengan bayang-bayang Orde Baru yang tampaknya masih cukup lekat berada di sekitar kita. Dalam sebuah tulisan tentang estetika sastra Indonesia masa kini, saya menyebutkan bahwa estetika yang terkandung dalam karya-karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang pasca-1998 kental diwarnai oleh kegamangan. Ini tidak berarti bahwa karya-karya mereka tidak berbobot
172 cukup tinggi. Sebaliknya, karya-karya generasi perempuan pengarang pasca-1998 memperlihatkan kompleksitas dan kepekaan tinggi terkait dengan berbagai peristiwa serta isu sosial yang digarap para pengarang dalam karya-karya tersebut. Namun, para pengarang ini tidak terjebak dalam euforia kejatuhan Orde Baru, sebagaimana dialami pada ranah politik (Budiman, 2013:297-300). Pengalaman mengajari mereka untuk tidak terlalu cepat puas diri atau terhanyut dalam perubahan karena sejarah bangsa ini selalu menunjukkan bahwa perempuan kerap dinomorduakan dalam berbagai proses sosial dan politik. Mereka juga selalu menghadapi ancaman kooptasi oleh kekuatan-kekuatan yang berasosiasi tidak hanya dengan negara tetapi juga non-negara, seperti adat, tradisi, agama, dan lain-lain. Para perempuan pengarang berupaya untuk memutus rantai warisan ideologi Orde Baru, tetapi mereka juga sangat menyadari bahwa ini bukanlah pekerjaan mudah. Sebagai generasi yang lahir dan besar pada masa kekuasaan Orde Baru, suka atau tidak suka mereka dibesarkan oleh pengaruh ideologi Orde Baru, sehingga berbagai gagasan yang mereka hasilkan pada ranah kreatif sebagiannya dapat diasumsikan telah terkontaminasi oleh pengaruh ideologi itu (2013:291). Namun, ini tidak berarti bahwa karyakarya perempuan pengarang pasca-1998 tidak memiliki sumbangan signifikan bagi perubahan, setidaknya terkait dengan harkat mereka sendiri sebagai perempuan. Apabila peran dan sumbangan perempuan dalam kancah perubahan politik di Indonesia sesudah berakhirnya Orde Baru masih menjadi perdebatan, Barbara Hatley, seorang pengamat sastra dan seni di Indonesia, menyatakan dengan yakin bahwa jelas-jelas ada perkembangan baru yang terjadi pada ranah produksi sastra oleh perempuan pengarang (2002:130). Keyakinan Hatley ini bisa jadi tidak keliru, mengingat berbagai persoalan dengan partisipasi politik perempuan dalam proses demokratisasi yang diungkap oleh Budianta dan Noerdin di atas. Munculnya sejumlah karya perempuan pengarang yang dengan radikal melakukan penjelajahan atas tubuh dan seksualitas perempuan sebagai tema-temanya, di dalam konteks pascaOrde Baru, mesti dibaca sebagai upaya untuk memutus warisan Orde Baru berupa ideologi gender yang mengultuskan peran perempuan
173 sebagai istri dan ibu, serta mengharamkan asosiasi perempuan dengan tubuh ataupun seksualitasnya. Ini adalah suara serta strategi perempuan untuk mengatakan “Cukup!” kepada warisan tersebut, sehingga pemilihan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai situs perlawanan hendaknya dimaknai sebagai suatu perlawanan simbolik lebih daripada suatu euforia kebebasan, apalagi ekspresi keliaran. Nyatanya, kecenderungan ini tidak berlangsung lama karena segera bermunculan lebih banyak karya perempuan yang memperlihatkan keprihatinan serius terhadap berbagai persoalan sosial bangsa, se perti pertikaian antaragama, ketidakadilan sosial, marginalisasi perempuan, kritik atas adat dan tradisi, serta kelestarian lingkungan.5 Secara umum, karya-karya perempuan ini memperbincangkan dengan cukup serius persoalan-persoalan yang selama masa Orde Baru nyaris tidak menjadi ranah pembicaraan karya-karya sastra perempuan. Karya-karya Fira Basuki (trilogi “Pintu-Jendela-Atap”), Dewi Lestari (seri “Supernova”), dan Abidah El Khalieqy (“Geni Jora”), misalnya, mempersoalkan batas-batas nasionalitas dan negara serta upaya untuk menjelajahi dunia di luar Indonesia yang disakralkan oleh Orde Baru selama berpuluh tahun. Para tokohnya dengan berani bertualang ke negeri-negeri jauh, mengalami jatuh dan bangun di tempat-tempat asing tersebut, dan merasa betah menjadi bagian dari warga dunia. Meskipun pada akhirnya mereka kembali ke Indonesia dan menemukan rumahnya yang sejati di sini, pengalaman melanglangbuana telah mengubah cakrawala pandang dan kehidupan mereka selamalamanya. Kita menjumpai kegamangan dan langkah setengah hati untuk betul-betul masuk ke dalam globalitas, dan seolah-olah para tokoh itu dipanggil pulang oleh negara yang hendak mendomestikasi mereka kembali. Kepulangan mereka untuk kembali menetap di Indonesia bisa dengan mudah ditafsirkan sebagai ketidakberdayaan mereka menolak “interpelasi” (panggilan) ideologi warisan Orde Baru karena mereka seakan mencari perlindungan dan kenyamanan dalam nasionalitas lagi.
5) Lebih jauh tentang permasalahan ini, lihat Budiman (2013), yang membahas panjang lebar karya-karya sejumlah pengarang pasca-1998 serta estetika yang sedang terbentuk.
174 Persoalan serupa juga dapat ditemukan dalam karya-karya Linda Christanty dan Oka Rusmini. Tokoh dalam cerpen Linda Christanty (“Lelaki Beraroma Kebun”) sepertinya tidak mampu melawan tarikan Jakarta sebagai pusat negara yang hendak memerangkapnya kembali dari keinginan untuk pulaang ke kampung halaman yang jauh dari ibukota. Sementara itu, karya Oka Rusmini (“Tarian Bumi”), memperlihatkan penyerahan tokoh utama pada kehendak adat dan agama dalam tradisi yang memenjarakannya, meskipun karya itu juga menyuarakan kritik tajam atas tradisi yang tidak memihak pada perempuan. Namun, ada yang berbeda dalam kedua karya pengarang ini. Tokoh dalam cerpen Linda juga berhasil menyatukan memori akan kampung halaman yang hilang dengan Jakarta yang dominan, sedangkan tokoh dalam novel Oka tidak menyerah dengan kepala tertunduk melainkan dengan berani menerima fakta bahwa ia harus menjalani “takdirnya” sebagai perempuan tradisi sambil tetap bersikap menantang kuasa para dewa yang memberinya takdir sedemikian itu. Ada tarikan kuat ideologi gender Orde Baru yang membuat langkah maju para perempuan ini tidaklah semeyakinkan yang kita harapkan, tetapi juga ada upaya perlawanan yang tidak kecil terhadap tarikantarikan itu. Pada karya perempuan-perempuan pengarang dari generasi lebih muda lagi, seperti Okky Madasari, Erni Aladjai, dan Anindita F. Thayf, kita bahkan bisa menemukan keterlibatan yang intens dalam isu-isu sosial berat, seperti pertikaian agama, pembatasan kebebasan beragama, dan perlakuan tidak adil terhadap daerah-daerah terluar di Indonesia oleh pusat. Okky Madasari memperlihatkan keberpihakan yang tidak ambigu kepada kelompok Ahmadiyah yang tertindas di Pulau Lombok, Erni Aladjai bercerita tentang upaya lintasagama untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan di tengah kecamuk konflik antaragama di Maluku, sementara Anidita F. Thayf menunjukkan komitmen kreatifnya bagi rakyat Papua yang tanahnya menjadi ajang pertarungan kuasa berbagai kepentingan. Seorang perempuan pengarang yang bergelut dengan dunia puisi, Zubaidah Djohar, secara lantang dan konsisten menyerukan perlunya mengakhiri kepalsuan perdamaian di Aceh yang mengorbankan perempuan dalam prosesnya.
175 Ini semua mustahil ditemukan selama era Orde Baru. Karya-karya perempuan pada masa itu sebagian besar berbicara tentang isu-isu domestik, seperti keluarga, perkawinan, asmara, dan pengorbanan, sebagaimana dapat dibaca dalam karya-karya Mira W., Marga T, Nh. Dini, Ike Supomo, Marianne Katoppo, Titi Said, dan La Rose. Kalaupun ada peristiwa sosial yang dimunculkan, kemunculan itu hanyalah berfungsi sebagai latar belakang yang tidak menjadi isu utama atau penentu jalannya cerita.
Penutup
T
ulisan ini dibuka dengan kutipan dari James Luhulima yang menyoroti kesediaan kaum lelaki untuk mengalah kepada perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga.
Tulisan ini disusun dalam rangka pelaksanaan proyek “Wani Ditata” yang melibatkan pameran karya seni sejumlah perempuan muda seniman kontemporer di Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saya berharap tulisan ini dapat memulai suatu proyek untuk memaknai kembali esensi yang berada di balik istilah “wani ditata”, yang selalu diasosiasikan dengan perempuan (wanita). Melalui tulisan ini, saya hendak mengajak sebanyak mungkin orang untuk berpikir dan menyadari bahwa kemauan atau kesediaan untuk “ditata” (diatur dan dikontrol) tidak hanya melibatkan kepasrahan atau kerelaan pasif. Dibutuhkan keberanian yang tidak kecil untuk membiarkan diri dibatasi dan dikekang oleh orang lain, dan dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, tidak sedikit darah dan air mata tertumpah ketika perempuan mencoba melawan kuasa pengekangan itu. Istilah “wani ditata” mesti dikembalikan ke makna harfiahnya, yakni sebagai sebentuk keberanian, bukan penyerahan. Membiarkan diri diatur oleh negara selama lebih dari tiga dasawarsa jelas menuntut keberanian dan nyali yang panjang tanpa disertai kecengengan. Para perempuan yang terlibat dalam Dharma Wanita selama masa Orde Baru, perempuan dari berbagai kelompok yang terlibat dalam gerakan sosial yang kemudian turut mempercepat berakhirnya
176 era kekuasaan Orde Baru, dan perempuan pengarang yang berjuang mengubah kondisi-kondisi kehidupan perempuan lewat proses kreatif mereka, wajib dihargai dengan cara yang lebih pantas untuk keberanian mereka membuka celah-celah peluang bagi perubahan dalam situasi yang tidak selalu kondusif ataupun berpihak pada perempuan. Apa yang tumbuh dari sekian puluh tahun subordinasi oleh kekuasaan negara Orde Baru adalah kesabaran yang berkombinasi dengan kecerdikan. Inilah modal kekuatan utama mereka pada masa kini. Warisan Orde Baru bisa berupa memori negatif yang membuat perempuan tidak selalu yakin dengan langkah mereka menyambut masa depan, tetapi juga bisa berupa kekuatan dan kecerdikan sebagai hasil dari proses negosiasi tanpa henti dengan kekuasaan selama kurun waktu bertahun-tahun. Yang jelas, perempuan tidak pernah kehilangan keberaniannya, dan sejarah bangsa ini dari masa ke masa telah membuktikannya. Istilah “wani ditata” (wanita) mungkin sudah saatnya untuk digunakan kembali dengan pemaknaan ulang yang merujuk pada keberanian dan penolakan untuk merasa gentar pada upaya-upaya untuk membatasi ruang gerak wanita dalam ruang-ruang publik tanpa konsen dari mereka sendiri sebagai subjek.
177
Rujukan 1.
Brenner, Suzanne (2007). “Democracy, Polygamy, and Women in Post-Reformasi Indonesia.” Tony Day (ed), Identifying with Freedom: Indonesia after Suharto. New York & Oxford: Berghan Books, 28-38.
2.
Buchori, Binny dan Ifa Soenarto (2000). “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?” Mayling Oey-Gardiner dan Carla Bianpoen (ed), Indonesian Women: The Journey Continues. Canberra: Australian National University, 139-155.
3.
Budianta, Melani (2003). “The Blessed Tragedy: the making of women’s activism during the Reformasi years.” Ariel Heryanto dan Vedi R. Hadiz (ed), Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. London & New York: Routledge Curzon, 145-176.
4. Budianta, Melani (2006). “Decentralizing Engagements: Women and the Democratization Process in Indonesia.” Signs, Vol. 31 No. 4, 915-923. 5.
Budiman, Manneke (2011). “Meramu Estetika Kebimbangan: Telaah atas Visi Beberapa Pengarang Perempuan Indonesia Pasca-1998.” De Kemalawati dkk (ed), Risalah dari Ternate: Bunga Rampai Telaah Sastra Indonesia Mutakhir. Ternate: Ummu Press, 31-51.
6. Budiman, Manneke (2013). Reimagining the Archipelago: The nation in post-Suharto Indonesian women’s fiction. Saarbrücken: Lambert Academic Publishing. 7.
Hatley, Barbara (2002). “Literature, Mythology and Regime Change: Some Observations on Recent Indonesian Women’s Writings.” Kathryin Robinson dan Sharon Bessell (ed), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 130-143.
8. Kongres Wanita Indonesia (1978). Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 9.
Noerdin, Edriana (2002). “Customary Institutions, Syariah Law and the Marginalization of Indonesian Women.” Kathryin Robinson dan Sharon Bessell (ed), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 187-197.
178 10. Rusiyati (1990). “Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah,” makalah tidak diterbitkan yang dibacakan dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Amsterdam. 11. Suryakusuma, Julia (2004a). “State Ibuism: Appropriating and Distorting Womanhood in New Order Indonesia.” Sex, Power and Nation: An anthology of writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor, 161188. 12. Suryakusuma, Julia (2004b). “Sex, the Bureaucratic Position: The State Regulation of Sexuality.” Sex, Power and Nation: An anthology of writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor, 189-216. 13. Suryochondro, Sukanti (2000). “The Development of Women’s Movements in Indonesia.” Mayling Oey-Gardiner dan Carla Bianpoen (ed), Indonesian Women: The Journey Continues. Canberra: Australian National University, 224-243.
179
Manneke Budiman Manneke Budiman lahir di Bangil, Jawa Timur, pada 17 November 1965. Manneke adalah pengajar sekaligus kritikus sastra kontemporer. Ia meraih gelar Sarjana Sastra dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia. Selanjutnya, Manneke mengambil master di bidang Comparative Literature di University of WisconsinMadison, Amerika Serikat, dan merampungkan studi doktoral di bidang Asian Studies di University of British Columbia, Kanada.
180
Paper Discussion
Courage and
Submission: Rereading The Dharma Wanita and Its Legacy on Today’s Woman by
Manneke Budiman
181
Introduction
K
ompas daily political column on Saturday, October 3, 2015 posted an article from columnist James Luhulima with a very short
and succinct title: “Perempuan”. In the column, Luhulima writes that many career women whom he met admitted to be grateful that their husbands “willing to give up” their time so their wives could study abroad or climb the career ladder. Luhulima closes the paragraph with a hypothetical question: could we imagine what would happen to them –the wives—if only the husbands won’t do otherwise? I am of the opinion that this premise taken from James Luhulima’s column in Kompas is highly relevant to the theme of the Women Artists Project 2015, namely “Wani Ditata”, which is coincidentally, highlights an issue that is actually already a distant memory, e.g.part of the history of the New Order, the Dharma Wanita. I’m sure this is not a nostalgic project because there aren’t many positive things to be remembered from the days when the position of women was systematically subordinated under the state. Now, 17 years after the end of the New Order,
182 it seems there is a need to discuss Dharma Wanita once more as a sort of legacy that still leaves a trail and its impact, particularly in the area of arts and literature. Dharma Wanita may be understood as a hantung ghost overshadowing the today’s women movement, as much as Gerwani was once perceived by the New Order, e.g. as the ghost of communism from the previous period. Reconciling men’s (the act of) ‘willingness to give up’ in Luhulima’s writing with ‘wani ditata’ as a stereotype for women whose ghosts wanted to be exorcisized through this women artists project presents a quite bright contrast. The term ‘wani ditata’ which is derived from the Javanese language and is used to mark the subordinate position of women has been perceived negatively. Quite often the term is contrasted with ‘perempuan’, the term perceived as more noble and dignified. ‘Wani ditata’, in other word, connotes passivity, resignation, and a lack of choice. Compare this with the men’s ‘willingness to give up’. The men are assumed as willing to follow the desire of his wife and support her career for the choices they made. Thus, the men may choose to reject or do not support, and the decision remains entirely in their hands. This implies the men do it as a favour for their women. On the other hand, the term ‘wani ditata’, although it implies a sense of brevity therein, is still used to suggest a form of submission, which does not correspond with the first meaning. In this usage, it suggests a hidden meaning that women (wanita) would have no other choices but to submit herself to be governed by others. It is not a form of willingness, but an obligation. Men can choose to say “no”, wanita do not have such privilege. So, we too may ask, why use the word “wani” (Javanese for ‘being brave’) if the meaning is completely unrelated to the quality of courage? My writing attempts to restore the meaning ‘wanita’, although that meaning must be put side by side with the other meanings, which is ‘to be ordered’ (ditata) or regulated (diatur). I highlight the two writings by Julia Suryakusuma published several years ago on Dharma Wanita, entitled “State Ibuism: Appropriating and Distorting Womanhood in New Order Indonesia” (2004a), which is a summary of her master’s thesis, as well as “Sex, the Bureaucratic Position: The State Regulation of Sexuality” (2004b) on the one hand; and the research pursued by
183 Sukanti Suryochondro published under the title “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?” (2000), to see how the three articles analysing the Dharma Wanita for indeed these two persons are the ones who discussed this particular woman organization during Suharto era rather deeply and lengthy.1 I hope that the juxtaposition of these three articles can reveal the dynamics and complexity of women subjectivism in a structural space as constructed by the state in order for a new understanding to emerge of what happened to women who had no choice but to join the Dharma Wanita. From this point, this article moves to the next stage, e.g. using this new understanding to further explore the impact of the construction of women produced by Dharma Wanita perceived by Indonesian women today as revealed through some literary works by women authors, especially those who began to work after the New Order ended. The basic assumption I have is was that the New Order women cannot be separated from the scheme of interaction between the subject and structure, something that always occurs in any regimes, as such, we also need to reflect on what was imposed by the state to women through a regulatory system like Dharma Wanita and what was lost after the New Order is no longer in power. Suzanne Brenner writing (2007), for example, reveals that in the Suharto era, polygamy which had always been an issue for women for such a long time, which debate has been started since the era of Kartini in the late 19th century, became very difficult to practice, particularly among civil servants, without the consent of the first wife. However, by the end of the Suharto era, the phenomenon of polygamy soon spread quickly. Brennen concluds that democratization does not always benefit women. Is there a causal link between the effectiveness of the ban on polygamy for civil servants with Dharma Wanita as the organization of the wives of civil servants? I argue that although in general the Dharma Wanita was seen as a symbol of women control by the state, which effectively subjected 1) These two articles by Julia Suryakusuma were published in a collection of essays, Sex, Power and Nation: An Anthology of Writings, 1979-2003 (Jakarta: Metaphor, 2004). The first article has previously been published in a periodical in 1991, while the second was published later, that is in 1996, in a book edited by Laurie J. Sears. Meanwhile, the research from Binny Buchori and Ifa Soenarto was published in a book edited by Mayling Oey-Gardiner and Carla Bianpoen in 2000, titled Indonesian Women: The Journey Continues. So, in terms of the publication chronology, the two articles of Suryakusuma predated the writing of Buchori and Soenarto.
184 women to the state regulation, it doesn’t mean that its members were not fully reified by the organization, or completely became the object of state power. There was still room for women in the Dharma Wanita to defend themselves as subjects, able to act with relative freedom under state supervision. That is why the Dharma Wanita’s impact on women’s art activism in the post-New Order cannot be simply summed up as negative. However, this does not mean to imply that the organization is free from accusation of imposing a repressive mechanism or curbing the space for its members to move.
Structure and Control
S
uryakusuma argues that women’s organizations like Dharma Wanita and PKK were ideological state apparatus, and the centripetal nature of power in the New Order state required them
to promulgate its policies. In the field of gender, women’s domestication was carried, as Suryakusuma puts it, by “Ibuism”: woman as a wife accompanying her husband and relies on him to run the household (2004a: 162-163). This is not purely economic and cultural issues, but closely linked to the state’s effort to control its citizens, especially women, through a tiered hierarchy that starts with the president at the top as a paternal symbol and at the bottom the civil - or public - servants. In turn, the civil/public servant was the primary means to control the women who became their wives. Positioned in the lowest hierarchy, logically, it was easier for the state to operate the concept of women as ‘pillars’ supporting the nation. This construction required women to play an important role in development and also tied them with her ‘nature’ as domesticated human beings. This systematic hierarchy allowed the state to be able to reach the families to their homes, creating a totalitarian power structure. In fact, according to Suryakusuma, the state defined itself as a big ‘family’ (2004a: 169). The structure of Dharma Wanita was made as such to resemble the structure of the state. The heads at various different levels were the wives of the upper echelons of each level. Membership was compulsory because
185 it is directly related to the position of their husbands in the government structure. So, socially, politically, economically, and culturally, women became one of the functions of the state (2004: 172). In Suryakusuma’s study, systematically and structurally, women were completely co-opted by the rulers and served as a means of disseminating and establishing the state ideology. In another essay, Suryakusuma highlights the role of civil servants who did not only serve as “the connecting link between the state and society” but also as the ruler’s “political instrument” to ensure loyalty to the supreme leader of the country as well as to the implementation of policies in all sectors (2004b: 193). The New Order was aware that planting the state ideology should be initiated through family as the primary unit. Therefore, there were quite a lot of rules to control family produced during that era, among others, the family planning policy and the rhetoric of the country’s moral centering on the family. Dharma Wanita was also part of this control mechanism because in this organization, morality, loyalty, and dependence were interlocking. In the eyes of Suryakusuma, Dharma Wanita was established not only according to the structure of the state, but moreover, according to the command structure in the military. Compliance and conformity, thus, became the main values in the operation of these organizations (2004b: 196). Another issue disputed by Suryakusuma in her essay is the government regulations that strictly regulated the matters of divorce and polygamy. Suryakusuma suspects that the emergence of this regulation was urged by Dharma Wanita to limit the chances of a husband divorcing his wife and remarring or having more than one wife. A civil servant must have obtained permission from his boss and his wife to apply for a another marriage; the process could be cumbersome and time consuming. For Suryakusuma, the existence of this government regulation marks the state’s entry into regulating the sexual and marriage lives which should be a family domain (2004b: 202-203). The problem was that it was dilemmatic for the women if they should report their husbands’ action to his superiors because it could backlash to demotion and sanction for their husbands. The consequence was most keenly felt by the wife and
186 the children, not to mention there was always a risk for the woman to be blamed for failing to make the husband happy. Although some Dharma Wanita members found that regulations had a benefit for women, Suryakusuma finally concluds that women were still made asexual, helpless and dependent on their husbands (2004b: 215). Dharma Wanita basically remained a bureaucratic intervention in establishing the relationship between sex and power; the goal ultimately was to strengthen the grip of the state over its citizens. Instead of guaranteeing high moral standards among civil servants and their spouses, regulations made by the government relating to marriage, divorce, and polygamy would be a mask that covers up the moral crisis and hypocrisy among public servants. In a way, it became a reflection of the moral crisis of the New Order to be covered up with various discourses and policies of sex and moral heralded by the state.
Subjective Space
S
uryakusuma also reviews the subjective aspect extracted from interviews with multiple sources from within the organization of Dharma Wanita, but most of the problems revolved around the
sexual problems and infidelity of its members, which is partly due to their status as the civil servant’s wife or being a woman public servant. The women who lives an unhappy marriage were forced to undergo suffering and remained active in the organization for the sake of the children or for the safety of her career (2004b: 205-207). One source even managed to start her own’s business and was no longer dependent on economic support from her husband. Other source expressed the hope that the younger generation of women would be able to be more assertive in their marital life. However, Suryakusuma does not consider women’s ability to open up spaces for their own subjectivity as a form of ‘liberation’ because of the strategies they use are potential to cause negative stigma upon themselves (2004b: 207). The question is, is it possible to envisage an ‘absolute’ in the condition of the New Order? How far the liberation efforts can be truly a liberation?
187 Buchori and Sunarto (2000) conduct a similar ethnographic research on Dharma Wanita, but with emphasis on the subjective experience of its members in addressing women and dealing with the structure by which Suryakusuma judges as not giving any positive possibilities for women. Becoming a member of Dharma Wanita was not a pleasant thing for all the wives of civil servants, even more a hierarchical structure that is not based on competence and merit, but measured against the level of the husband’s position. A woman who did not have the leadership quality or a clear organizational vision could easily and incidentally become a leader of the Dharma Wanita organization in one unit of government agency just because her husband’s position. Very likely, she will not enjoy a role to play because she is aware of her limitations. Furthermore, a skilled woman with loads of experience to lead the organization could find herself under the control of another woman much less incompetent just because her husband was not the leader of the state agency where he works. This could dismotivate her, In another word, Dharma Wanita was not an ideal form of organization to be followed either by a woman who happens to be in a position to lead the organization as well as by those who should be led. Buchori and Soenarto reiterate that indeed Dharma Wanita was part of the New Order state to impose ideological uniformity on its citizens; and civil servants and their families were the strategic objectives of these efforts because they were much easier to control and lead systematically in order to support the government development programs. This confirms Suryakusuma’s conclusion that Dharma Wanita was essentially an ideological state apparatus that put women as objects to be used as supporting agents for its political agendas. However, bear in mind that women have been used as ideological state apparatus not only during the New Order, and this is absolutely not a typical characteristic of the New Order. Rusiyati (1990) shows that the Indonesian women can never be fully focused on the movement or the struggle for emancipation and equality of women because they also bear the burden of history. At the time of anti-colonial movement (pergerakan) and indepen dence, Indonesian women must have willed to put aside the interests of emancipation for the sake of national struggle, together with the rest of the
188 people working towards the independence for the whole nation. During the Japanese occupation, women had actively participated in military exercises to support the Japanese military and then to prevent the return of Dutch colonial rule in Indonesia. After independence, in the 1950s and 1960s, Indonesian women were once again raised by the government, in this case by President Soekarno, to support a variety of political agenda, ranging from the struggle against the global neo-imperialist and neo-colonialist forces until operation of West Irian Liberation from the Netherlands. In 1964, even Kowani as an umbrella organization of women in Indonesia awarded Soekarno the title of “Supreme Counsellor of Revolutionary Indonesian Women’s Movement.”2 At the time the political situation heated up due to the impact of the Cold War in Indonesia, which led to the emergence of strict ideological camps, once again marking the women entering the arena of ideological struggle. Perhps, the most effective and solid women’s organization at the time was Gerwani, which was heavily used by PKI (Indonesia’s Communist Party) to waging ideological campaign among women. Although Gerwani was officially part of Kowani, the tension between this organization and its parent was already apparent from the beginning. After the September 30th, 1965 incident, Gerwani was expelled from Kowani membership, and the cleansing of all Gerwani elements continued until 1966. With the shift of state power into the hands of President Suharto, the New Order era officially began thus Kowani was fully co-opted into the regime. In a resolution in 1966, it was stated that the main task of Indonesian women were as wife, housewife, and mother of the nation.3 Since then, Indonesian women lost its revolutionary nuance and were transforming to be an agent of policy support and government development programs. In fact, Dharma Wanita, as well as the other women’s organizations in the New Order era namely the PKK, were a mere continuation of the long history of the subordination of women by the state and a never-ending state’s effort to put women under its control and supervision. In the case of Dharma Wanita, the women who were initially reluctant or forced to join, in the process, began to see the opportunities by becoming a member of 2) See Kowani, Sejarah Setengah Abad (1978). 3) Ibid., p. 30.
189 the organization. As shown by Buchori and Soenarto, the Dharma Wanita members were gradually involved in various organizations, began to become organizer and actively participated in counseling programs for health, eradication of illiteracy, alleviation of poverty, and improved organizational skills and leadership quality. They were also equipped with practical skills, such as cooking and baking cakes, that would be useful to gain additional income for the family, especially at a time when their husbands entering retirement. In the repressive atmosphere of the New Order regime over women, they could not get such opportunities and variety of skills were they not actively involved in the Dharma Wanita. Unanticipatedly, they even had greater bargaining power in the presence of their husbands because they were now monitoring the performance and behavior of their husbands. They could report or file a complaint related to the behavior of the husband who violated professional rules of civil servants, such as cheating or taking young wives without the first wife’s consent. Thus, in the narrow and rather cramped subjective space that was open limitedly by their membership in the Dharma Wanita, a lot of women had strengthened and gained new awareness of their own capacity. They did not turn into a radical or revolutionary women, and their great vision was still to become a wife and a housewife in accordance to the ideological lines of the New Order, but it could not be denied that they were also not just a passive ‘doll’ of the state ideology. Through involvement in the Dharma Wanita, many members of this organization were then able to build confidence, able to take initiative, and able to lead others. A newly gained awareness opened their eyes to a variety of social inequality they saw while doing social activities of the organization. They were able to become the economic backbone of the family, so the family welfare increased, and this affected the quality of life of their children. This proves that no state control works fully, effectively to curb women. Structurally, the organization itself can only run optimally if it is not run as a controlling engine, but also provides opportunities to improve the capacity of its members. It is this niche which then was utilized by the members of Dharma Wanita to build their subjectivity, which in turn played an important role in fighting off any attempts to
190 reduce them into a mere object of ideology or state. In this case, the state did not have much choice but to let the creative process take place while still conducting strict monitoring of women activities and maintaining their depoliticization. At least, it is proved that the state did not have sufficient capacity to anticipate the response of the members of Dharma Wanita in exploiting such niches contained in the organizational structure to strengthen their self. In this study of Dharma Wanita, it is seen how the duality is formed in the interaction between structure and human agency as its subject. The concept hatched by Anthony Giddens is based on the assumption that the structure and subject are not two entities facing each other and constantly establishing relationships of domination-subordination. Through his structure theory of structure, Giddens shows that the structure is something embedded in human consciousness as the subject. In actions, human beings leverage every asset embodied in the structure to support their legitimation of themselves as subjects –and thus, prevent the reduction imposed on themselves as mere objects of the structure— although at the same time, their actions also reproduce and establish the structure. The activities of the members of Dharma Wanita had been done in order to realize the organization’s working program and support the government’s development program, but it also provided the opportunity for members to build self subjectivity that enables them interact with the organization not only as objects but as subject that has the will.
The Ideological Legacy of the New Order on Today’s Women
D
harma Wanita did not experience any suppression as the New Order era ended in 1998, unlike the fate of Gerwani in transitional time from Sukarno to Suharto. However, the critical period of
1997-1998 might also have changed the face of Indonesian women. The demonstration by a group of concerned mothers to highlight the scarcity of milk due to economic crisis at Hotel Indonesia, was soon followed by the arrest of three activists from Suara Ibu Peduli (SIP - Voice of Concerned Mothers) who initiated the protest, on February 23, 1998. This moment
191 became the point of reemergence of the radicalization of Indonesian women, although the scale was not so massive as in the years of 1950s and 1960s. The arrest was the driving force for the women’s groups to join forces against the authoritarian New Order, but this was a fight that cleverly utilizes the doctrine of women as wives and housewives once confirmed by the New Order itself. Their movement to raise funds to buy milk and groceries for the children and poor families, indirectly, was a blow to the state’s inability to provide basic needs of its citizens. In that case, the state’s credibility as the protector of the people was questioned.4 Activist Lily Zakiyah Munir of Pesantren and Democracy Studies Center, as quoted by Melani Budianta, stated that the end of the New Order did not necessarily lead to the end of the gender ideology of the New Order once formalized through state-formed women’s organizations. In the eyes of Zakiyah, idealization of women as wives and homemakers, and mothers of the nation, is actually used as a means to marginalize women (Budianta, 2006: 918). Furthermore, Budianta states that the process of democratization that occurred in Indonesia after New Order is in fact marginalizing women’s participation, even though women’s vote has reached more than 50 percent. What Budianta saysis in line with the findings of Edriana Noerdin in her study on women’s participation in the revitalization of customary laws and institutions in various regions in Indonesia, which obviously is very low (2002). Women once again are on the verge of becoming a secondary player in important events and changes that are taking place in this country. In Budianta’s observation, after the end of the New Order and the Reform era began, Indonesian women actually get stuck in their own internal conflicts. Various groups of women of all backgrounds and ideologies of different political agendas are not able to unify the perception or vision of the future women’s movement. Diversity of activism and movement failed to serve as a synergistic force to raise the 4) For further explanation on the role of women during the critical period until the end of the New Order regime, see Melani Budianta article entitled “The Blessed Tragedy” (2003). Budianta mentions that nonDharma Wanita groups of women, such as Suara Ibu Peduli, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (Indonesian Women’s Coalition for Justice and Democracy), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (the National Commission on Anti-Violence against Women), and Tim Relawan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan (the Volunteer Team Division of Violence against Women), play an important role in raising women’s social and political awareness, just when needed, i.e., when the state was in disarray (2003: 148).
192 bargaining position of women in the democratization process occurring in Indonesia (2006: 921). Is the difficulty to mobilize collective action among women’s groups an inherited form of gender ideology of the New Order? More in-depth and comprehensive study is needed to answer this question affirmatively. However, we can try to further explore what happens among women, particularly those involved in literary activities in the post-1998, to find some ways of looking at Indonesian women authors about what is currently happening and what is the prospect of the development of women in the future up against the shadows of New Order in the background? In an article about the aesthetics of contemporary Indonesian literature, I mention that the aesthetic embodied in literary works produced by the post-1998 authors is thickly covered with uncertainty. This does not mean that their works are not of high quality. On the contrary, the works of this post-1998 generation of women writers show the complexity and high sensitivity associated with various events and social issues unearthed by the authors in their works. However, these authors do not get caught up in the euphoria of the fall of the New Order, as experienced in the political sphere (Budiman, 2013: 297300). The experience taught them not to be too easily satisfied themselves or lost in the change for this nation’s history has always shown that women often come second in various social and political processes. They also continually face the threat of co-optation by the forces associated not only with the state but also non-state, such as custom, tradition, religion, and others. The women authors sought to break the chain of the legacy of New Order ideology, but they were also very aware that this is not an easy job. As the generation who were born and raised during the New Order regime, like it or not, they were raised by the influence of the New Order ideology, so that the ideas they produce in the creative realm were assumed to have been contaminated by the influence of this ideology (2013: 291). However, this does not mean that the works of post1998 women writers do not have a significant contribution to the changes, at least related to their own dignity as a woman. If the role and contribution of women in the arena of political change in Indonesia after the end of the New Order is still being debated, Barbara Hatley, an observer of literature and art in Indonesia, stated
193 confidently that obviously there are new developments that take place in terms of literature by women authors (2002: 130). Hatley’s conviction may be right, given the problems with the political participation of women in the democratization process as revealed by Budianta and Noerdin earlier. The emergence of a number of works by women authors who are radically exploring the body and female sexuality as the themes, in the context of the post-New Order, should be read as an attempt to break the legacy of the New Order in form of gender ideology that cultivate the women’s roles as wives and mothers, as well as the one which once forbad the association of women with body or sexuality. This is the women’s voice and strategy to say “Enough!” to such legacy, so that the choice on woman’s body and sexuality as a site of resistance should be interpreted as a symbolic resistance more than an euphoria of freedom, let alone an expression of wildness. In fact, this trend did not last long because soon emerge more women works showing serious concern toward the nation’s various social issues, such as inter-religious conflict, social injustice, marginalization of women, the critique of customs and traditions, as well as environmental sustainability.5 In general, the works of these women quite seriously discuss issues barely existing in women’s literary works during the New Order. The works of Fira Basuki (“Pintu-Jendela-Atap [Door-Window-Roof] trilogy), Dewi Lestari (“Supernova” series), and Abidah El Khalieqy (“Geni Jora”) for example, question the boundaries of nationality and country as well as show efforts to explore the world outside Indonesia once glorified by the New Order for decades. The characters boldly venture into distant lands, experiencing ups and downs in that foreign places, and yet feel comfortable as part of global citizen. Although in the end they return to Indonesia and find a true home here, the experience of wandering around the world has changed their horizon and lives forever. And yet, we encounter here their uncertainty and half-hearted step to actually enter into the globalism, as if the characters were called home by the country that wanted to once again domesticate them. Their return to resettle in Indonesia can easily be interpreted as their powerlessness to 5) More about this issue, see Budiman (2013), which discusses at length the works of a number of authors in the post-1998 and the aesthetics that were being formed.
194 reject ‘interpellation’ of the ideological legacy of the New Order because they seeme to seek refuge and comfort in nationality. Similar issues can also be found in the works of Linda Christanty and Oka Rusmini. Linda Christanty’s character in the short story (Lelaki Beraroma Kebun/A Man Who Smells like a Garden) seems unable to resist the pull of Jakarta as the center of the country that want to trap him back from a desire to go back to the hometown far from the capital. Meanwhile, Oka Rusmini’s work (Tarian Bumi/The Earth’s Dance), shows the major character’s submission to the will of the religious customs and traditions that imprison her, even though the work also voices sharp criticism over traditions that are not in favor of women. However, there are differences in the works of these two authors. The character in Linda’s story manages to unite the memory of a lost hometown with the dominant Jakarta, while the character in Oka’s novel does not give up with her head bowed but dares to accept the fact that she has to undergo her ‘destiny’ as a traditional woman while challenging the power of the gods who gave her such a fate. There is a strong pull from the New Order’s gender ideology that made these women’s step forward were not as convincing as we expect, but there is also a sizeable resistance efforts against such pull. In the works of women writers of younger generation, such as Okky Madasari, Erni Aladjai, and Anindita F. Thayf, we can even fiund intense involvement in ‘heavy’ social issues, such as religious conflicts, restrictions on religious freedom, and the center’s unfair treatment to the outermost regions in Indonesia. Okky Madasari shows unambiguous alignment to the Ahmadiyah group that is experiencing oppression in Lombok island; Erni Aladjai tells the story of an effort to achieve peace and harmony in the midst of inter-religious conflict in Maluku, while Anidita F. Thayf demonstrates her creative commitment to the people of Papua whose land become the arena of power struggle by various interests. A woman author who deals with the world of poetry, Zubaidah Djohar, loudly and consistently calls for an end to the falsity of peace in Aceh at the expense of women in the process. These efforts are highly unlikely to be found during the New Order era. The works by women authors in those days were mostly talking about domestic issues, such as family, marriage, love, and sacrifice, as can be read in the works of Mira W, Marga T, Nh.
195 Dini, Ike Supomo, Marianne Katoppo, Titi Said and La Rose. And if there is a social incident to hightlight, it merely served as a background but not the major issue or determinant factor for the storyline.
Closing
T
his article opens with a quote from James Luhulima highlighting the willingness of men to give a way to up so their women to become the family’s breadwinner. This article is arranged within
the framework of the “Wani Ditata” project, which involves an exhibition of artworks from a number of contemporary young women artists in Indonesia, organized by the Jakarta Arts Council. I hope this article can initiate a project to reinterpret the gist behind the term “wani ditata”, which is always associated with the female (woman). Through this article, I want to invite as many people to think and realize that the willingness or intention to ‘ditata’ (regulated and controlled) does not only involve the passive resignation or submission. It takes no little courage to let the self be constrained and controlled by others, and in the history of women’s movement in Indonesia, a lot of blood and tears were shed when woman tried to resist the power of such control. The term ‘wani ditata’ should be returned to its literal meaning, namely, as a form of courage, not submission. To have let the self be regulated by the state for more than three decades clearly requires bold courage and guts. The women involved in the Dharma Wanita during the New Order era, women of the various groups involved in social movements which then helped hasten the end of the New Order era, and the women authors who now struggle to change the conditions of life of women through their creative process, shall be rewarded in a more appropriate way for their courage in cracking up opportunities for change in a situation that is constantly unconducive or not in favor of women. What grew from decades of subordination imposed by the New Order state is patience combined with ingenuity. This is their main strength today. The legacy of the New Order could be a negative memory that makes women not always convinced of the steps they embrace the future, but it can also
196 be a strength and ingenuity as a result of the endless negotiation process with the power over a period of many years. What is clear, women never lost their nerves, and this nation’s history has proved it from time to time. May be it is time to re-use the term “wani ditata” (wanita/woman) with reinterpretation referring to the courage and refusal to feel deterred with efforts that limit the movement of women in public spaces without their consent as the subject.
197
References 1.
Brenner, Suzanne (2007). “Democracy, Polygamy, and Women in Post-Reformasi Indonesia.” Tony Day (ed), Identifying with Freedom: Indonesia after Suharto. New York & Oxford: Berghan Books, 28-38.
2.
Buchori, Binny dan Ifa Soenarto (2000). “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?” Mayling Oey-Gardiner dan Carla Bianpoen (ed), Indonesian Women: The Journey Continues. Canberra: Australian National University, 139-155.
3.
Budianta, Melani (2003). “The Blessed Tragedy: the making of women’s activism during the Reformasi years.” Ariel Heryanto dan Vedi R. Hadiz (ed), Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. London & New York: Routledge Curzon, 145-176.
4. Budianta, Melani (2006). “Decentralizing Engagements: Women and the Democratization Process in Indonesia.” Signs, Vol. 31 No. 4, 915923. 5.
Budiman, Manneke (2011). “Meramu Estetika Kebimbangan: Telaah atas Visi Beberapa Pengarang Perempuan Indonesia Pasca-1998.” De Kemalawati dkk (ed), Risalah dari Ternate: Bunga Rampai Telaah Sastra Indonesia Mutakhir. Ternate: Ummu Press, 31-51.
6. Budiman, Manneke (2013). Reimagining the Archipelago: The nation in post-Suharto Indonesian women’s fiction. Saarbrücken: Lambert Academic Publishing. 7.
Hatley, Barbara (2002). “Literature, Mythology and Regime Change: Some Observations on Recent Indonesian Women’s Writings.” Kathryin Robinson dan Sharon Bessell (ed), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 130-143.
8. Kongres Wanita Indonesia (1978). Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 9.
Noerdin, Edriana (2002). “Customary Institutions, Syariah Law and the Marginalization of Indonesian Women.” Kathryin Robinson dan Sharon Bessell (ed), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 187-197.
198 10. Rusiyati (1990). “Sepintas Gerakan Wanita Indonesia dalam Perkembangan Sejarah,” makalah tidak diterbitkan yang dibacakan dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Amsterdam. 11. Suryakusuma, Julia (2004a). “State Ibuism: Appropriating and Distorting Womanhood in New Order Indonesia.” Sex, Power and Nation: An anthology of writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor, 161188. 12. Suryakusuma, Julia (2004b). “Sex, the Bureaucratic Position: The State Regulation of Sexuality.” Sex, Power and Nation: An anthology of writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor, 189-216. 13. Suryochondro, Sukanti (2000). “The Development of Women’s Movements in Indonesia.” Mayling Oey-Gardiner dan Carla Bianpoen (ed), Indonesian Women: The Journey Continues. Canberra: Australian National University, 224-243.
199
Manneke Budiman Manneke Budiman was born in Bangil, East Java, on November 17, 1965. Manneke is a lecturer and critic of contemporary literature. Manneke earned a degree in English Literature from the Faculty of Letters, University of Indonesia. Subsequently, he took a Master in Comparative Literature at the University of Wisconsin-Madison, USA, and completed doctoral studies in the field of Asian Studies at the University of British Columbia, Canada.
200
M akalah Diskusi
Nasib adalah
Kesunyian Wanita dan Pemuda oleh
Maulida R aviola
201
B
eberapa
waktu
yang
lalu,
saya
dan
beberapa teman bertemu dengan tim dari sebuah platform daring yang dibuat untuk
mempermudah dan mempercepat proses pengaduan masyarakat
terhadap
kinerja
dan
pelayanan
lembaga-lembaga negara. Saat itu kami sedang seriusseriusnya mendengarkan presentasi mereka tentang profil demografis pengguna platform tersebut ketika sebuah infografis yang menjelaskan karakteristik jenis kelamin muncul di layar presentasi. Anggota tim yang sedang melakukan presentasi, yang adalah seorang lelaki, meminta maaf kepada saya dan teman-teman karena istilah yang digunakan adalah “Wanita” dan “Laki-Laki”. “Maaf karena di situ masih menggunakan kata ‘Wanita’, bukan ‘Perempuan’”, ujarnya dengan nada apologetik. Saya terkesan dengan kepekaan si presenter untuk sejenak berhenti dari presentasinya dan meminta maaf atas suatu hal yang belum banyak disadari, atau lebih sering diabaikan tersebut. Hingga saat ini, masih sering saya temukan penggunaan kata ‘wanita’ dan hal tersebut bukan merupakan masalah besar bagi kebanyakan orang, kecuali mungkin bagi
202 para aktivis gender, akademisi ilmu sosial politik, atau ahli bahasa. Padahal, pilihan untuk menggunakan ‘wanita’ atau ‘perempuan’ menunjukkan pemahaman tentang sejarah atau konstruksi sosial atas perempuan di Indonesia, dan dalam beberapa segi, merupakan penanda atas adanya keberpihakan terhadap gagasan tentang kesetaraan. Ada sebuah kata yang juga berbagi beban moral dan politis warisan Orde Baru yang sama dengan ‘wanita’. Kata ini juga merupakan penunjuk untuk sebuah kelompok demografis, yaitu ‘pemuda’. Dalam beberapa pengertian, kata ‘wanita’ dan ‘pemuda’ barangkali memiliki lebih banyak persamaan dari yang kita duga sebelumnya. Keduanya adalah kelompok yang senantiasa dikooptasi oleh kepentingan politik di Indonesia. Secara historis, keduanya kerap ditunggangi untuk memenangkan kekuasaan, kemudian tidak jarang dilemahkan, didepolitisasi bahkan dikambinghitamkan. Keduanya berhadapan dengan musuh-musuh yang sulit dikalahkan, yaitu patriarki dan gerontokrasi (tidak jarang keduanya berkoalisi) yang berakar kuat dalam struktur politik dan nilai-nilai kultural di Indonesia. Keduanya tersubordinasi sebagai ‘ibu/istri’ dan ‘anak’ yang harus patuh kepada sang bapak atau patron di dalam konstruksi sosial Orde Baru tentang masyarakat Indonesia sebagai sebuah ‘keluarga besar’. Namun terutama, yang akan disoroti lebih mendalam di dalam tulisan ini adalah bagaimana keduanya berkembang di dalam masyarakat Indonesia pasca-Orde Baru sebagai istilah yang menunjukkan resistensi terhadap beban moral dan politis dari periode politik sebelumnya. Pasca-Orde Baru, ‘wanita’ dan ‘pemuda’ sama-sama memiliki padanan kata yang dianggap bersifat lebih emansipatoris, yaitu ‘perempuan”’dan ‘anak muda’. Kata perempuan yang memiliki akar kata empu (dalam beberapa ulasan diartikan sebagai ‘ahli’, ‘mampu’, atau ‘pemilik’) dianggap lebih berdaya (empowered) ketimbang wanita (atau wani ditata—berani ditata1), yang kerap terasosiasikan dengan organisasi ciptaan rezim Orde Baru, Dharma Wanita—organisasi beranggotakan 1) Dalam presentasi untuk diskusi publik dan tulisan untuk buku pascakegiatan “Wani Ditata Project”, Manneke Budiman membahas juga mengenai elemen subjektivitas perempuan sebagai agensi yang ‘berani’ dan ‘sadar’ untuk mengikuti konstruksi sosial Orde Baru atas ‘wanita’ yang submisif dan berbakti, bahkan mampu memanfaatkan berbagai peluang untuk memajukan dirinya sendiri dalam keikutsertaannya sebagai anggota Dharma Wanita, yang diambil dari hasil penelitian etnografi Binny Buchori dan Ifa Soenarto, “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?”, dalam buku berjudul Indonesian Women: The Journey Continues (2000).
203 istri-istri pejabat dan pegawai negeri yang mekonstruksi wanita dengan peran-peran domestik dan meletakkan perempuan sebagai ‘pelengkap’ dan ‘pendukung’ kesuksesan suami-suami mereka di ruang publik. Setelah jatuhnya Soeharto, resistensi terhadap segala hal yang menjadi sisa-sisa rezim Orde Baru pun bermunculan, tidak terkecuali dari kelompok aktivis perempuan dan feminis yang menolak menggunakan kata ‘wanita’ karena implikasi ‘ditata’ atau ‘diatur’ yang terkandung di dalamnya. Bahkan pada tahun 1999, segera setelah Soeharto jatuh dan kabinet berganti, Kementerian Negara Peranan Wanita berganti nama menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
Perbandingan hasil pencarian populer di Google untuk kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’
204 ‘Anak muda’ juga adalah sebuah kata yang merupakan perlawanan terhadap konstruksi sosial terhadap kelompok ‘pemuda’ dari rezim sebelumnya. Jika depolitisasi terhadap gerakan perempuan terjadi lewat organisasi Dharma Wanita, maka
Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) adalah Dharma Wanita bagi kelompok pemuda. Didirikan pada tahun 1973, KNPI adalah cara Orde Baru untuk menyatukan ideologi dan perbedaan cara pandang antarorganisasi pemuda yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Syarif Thayeb sendiri menyatakan bahwa “KNPI akan menjadi wadah satu-satunya bagi pemuda Indonesia.”, karena ada pernyataan Jenderal Panggabean dalam Rapim ABRI agar “generasi muda seyogyanya tidak berjuang melalui kotak-kotak ideologis,” (Tempo, 2 November 1974). Kesamaan antara ‘wanita’ dan ‘pemuda’ tidak hanya berhenti di situ, tetapi juga berlanjut kepada kesamaan mekanisme kerja organisasi yang berdasarkan pada logika ‘kontrol oleh pusat’ dan struktur organisasi yang sangat birokratis. Pada periode kekuasaan Orde Baru ini, Dharma Wanita dan KNPI sama-sama menjadi perpanjangan tangan rezim Orde Baru untuk mengontrol ‘wanita’ dan ‘pemuda’ hingga ke tingkat daerah. Meski akhirnya organisasi kepemudaan selain KNPI tidak dilarang atau dihilangkan eksistensinya, pada masa tersebut banyak kegiatan dari organisasi pemuda yang harus dilaksanakan melalui atau dengan rekomendasi dari KNPI. Dalam tulisannya yang berjudul “Meronta dan Berontak: Pemuda dalam Sastra Indonesia” (Jurnal Prisma edisi Gerakan Pemuda 19262011: Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris, Vol. 2/2011), sejarawan Hilmar Farid menyebutkan bahwa “Tidak semua orang berusia muda mengidentifikasi diri sebagai pemuda atau senang disebut pemuda karena atribut moral dan politik yang melekat pada istilah ini. Mereka mungkin lebih nyaman dengan sebutan netral seperti anak muda, karena istilah ini bebas dari campur tangan otoritas di luar mereka”. Karena itu, meski perbedaan makna antara ‘pemuda’ dan ‘anak muda’ tidak inheren di dalam kata ‘muda’ itu sendiri—berbeda dengan ‘wanita’ versus ‘perempuan’—saat ini ‘anak muda’ juga dianggap lebih
205 berdaya dan otonom ketimbang ‘pemuda’ yang lekat dengan konotasi yang bersifat moralis2 dan politis.
Hasil pencarian gambar Google untuk kata kunci “pemuda”
Hasil pencarian gambar Google untuk kata kunci “anak muda”
2) Pasal 3 Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009, yang terbit di bawah masa kepemimpinan Adhyaksa Dault sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, menerangkan bahwa pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
206 Apakah perempuan dan anak muda sama-sama lebih berdaya setelah meninggalkan ‘wanita’ dan ‘pemuda’ di masa lalu? Kita tentu sadar, bahwa meski perlawanan harus dimulai juga pada tataran berbahasa, negara bukan satu-satunya kekuatan yang kerap mengkooptasi kelompok atau identitas perempuan dan anak muda— ia bekerja bersama pasar dan kekuatan modal untuk tujuan-tujuan ‘mulia’ seperti pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Patriarki dan gerontokrasi tidak serta merta ikut runtuh bersama Orde Baru, karena hingga saat ini perempuan dan anak muda masih kerap dibayangkan sebagai entitas di luar kekuasaan yang perlu dirangkul, dibina, atau paling bagus dilibatkan semata-mata sebagai token oleh struktur kekuasaan yang juga masih dikuasai oleh (mayoritas) laki-laki dan orang tua. Setelah Orde Baru, perempuan dan anak muda sama-sama menghadapi kekuatan yang lebih tersebar di dalam medan perlawanan yang lebih luas, bahkan tak jarang terkuras energinya untuk ‘bersaing’ dengan kelompok yang berbagi identitas yang sama dengan mereka.
207
Maulida R aviola Maulida Raviola lahir di Denpasar, Bali, pada 14 Maret 1989. Ia adalah koordinator organisasi anak muda Pamflet. Ia sempat terlibat dalam beberapa kegiatan anak muda seperti menjadi kontributor untuk majalah Change (Yayasan Jurnal Perempuan, 2009-2011), mengorganisir kegiatan Youth Goes to Village (Oxfam dan Hivos, 2012), serta memfasilitasi lokakarya penulisan kritik seni rupa dan kurator muda (Dewan Kesenian Jakarta & ruangrupa, 2014).
208
Paper Discussion
Solitude is the Fate for Women and Youth by
Maulida R aviola
209
A
while ago, I and some friends met the team of an online platform designed to facilitate and accelerate the process of public complaints
on the performance and service of the state institutions. At that time, we were seriously listening
to their presentation on the demographic profile of the platform’s users when an infographic that explainingthe characteristics of the sexes appears on the screen. The presenter, a man, apologized to me and my friends for using the term “Wanita” (women) and “Laki-laki” (men). “I am sorry for still using the word ‘aanita’, instead of ‘perempuan’, he said, apologetically. I was impressed with his sensitivity to halt momentarily and apologize for something that is not widely recognized, or often ignored. Until now, I still find the use for the word ‘wanita’ and it is not a big problem for most people, except maybe for gender activists, academics of social and political sciences, or linguists. In fact, the option to use the term ‘wanita’ or ‘perempuan’ demonstrates an understanding of the history or the social construction of woman in Indonesia, and in some ways, signifies the idea of equality.
210 There is a word which also shares the moral burden and political legacy of the New Order as in the case of the term ‘wanita’. This word is also a signifier to a demographic group, namely ‘pemuda’ (youth). In some sense, the word ‘wanita’ and ‘pemuda’ might have more in common than we thought previously. Both are groups that always co-opted by political interests in Indonesia. Historically, both are often ridden to win power, then often attenuated, depoliticize and even scapegoated. Both are dealing with enemies that are difficult to beat, namely patriarchy and gerontocracy (both of them often collaborate) that is firmly rooted in the structure of political and cultural values in Indonesia. Both are subordinated as ‘mother/wife’ and ‘child’ who shoul d submit to the father or patron in the social construction of the N ew Order which viewed Indonesian society as ‘big family’. But main l y, which will be highlighted more deeper in this article, is how the terms evolved in the post-New Order Indonesia society that indicate resistance to moral and political burden of the previous political period. In the post-New Order, the terms ‘wanita’ and ‘pemuda’ have an equivalent synonim that is considered more emancipatory, namely ‘perempuan’ and ‘anak muda’ respectively. The word perempuan has its root from the word empu (in some reviews interpreted as ‘expert’, ‘capable’, or ‘owner’) and is considered more empowered than wanita (or wani ditata— a Java-Indo phrase which pejoratively means ‘willing to be ordered’1), andoften associated with the organization created by the New Order regime, Dharma Wanita—an organization for wives of officials and civil servants that framed women within domestic roles and defined women as ‘complementary’ and ‘supporting’ the success of their husbands in public spaces. After the fall of Soeharto, the resistance to all things that remnants of the New Order regime was emerging, with no exception from women’s groups and feminist activists who refused to use the word ‘wanita’ for the implication of being “ordered” or “regulated” suggested in the term. Even in 1999, soon after Soeharto fell 1) In a presentation for public discussion and writing in “Wani Ditata Project” post-event book, Manneke Budiman also discussed the elements of perempuan subjectivity as ‘bold’ and ‘conscious’ agency to follow the social construction of the New Order on the submissive and dutiful ‘wanita’, and even able to take advantage of all possible opportunities to advance herself in her participation as member of Dharma Wanita, drawn from the results of ethnographic research from Binny Buchori and Ifa Soenarto, “Dharma Wanita: An Asset or a Curse?”, in the book titled, Indonesian Women: the Journey Continues (2000).
211 and the cabinet switch, Kementerian Peranan Wanita (the Ministry of Women’s Affairs) changed the name into Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Ministry for Women’s Empowerment).
Comparative result of popular search on Google for the word ‘wanita’ and ‘perempuan’
‘Anak muda’ (young people) also became an antipole to the social construction of the groups of ‘pemuda’ (youth) from the previous regime. If the depoliticization of the women’s movement was conducted through the Dharma Wanita organization, the National Committee of Indonesian Youth (Komite Nasional Pemuda Indonesia/KNPI) is equal to the Dharma Wanita for youth groups. Established in 1973, KNPI was part of the New
212 Order strategy to unify the ideology and perspective differences between the youth organizations, dictated by the fear that differences could lead to conflict in the community. Minister of Education and Culture, Sharif Thayeb himself stated that, “KNPI will become the only platform for the youth of Indonesia.” General Panggabean in chief meeting of the Armed Forces of the Republic of Indonesia stated that, “the younger generation should not struggle within ideological boxes” (Tempo, November 2, 1974). The similarity between the terms ‘wanita’ and ‘pemuda’ does not just stop there, but continues to work in common mechanism of organization that is based on the logic of ‘control by the center’ and within organizational structure that is very bureaucratic. In the period of the New Order, both Dharma Wanita and KNPI were an extension of the New Order regime to control ‘wanita’ and ‘pemuda’ thoroughly to the grass root. Although eventually other youth organizations were not banned or eliminated from existence, at that time a lot of activities of youth organizations should be held through or with the recommendation from KNPI. In his article titled “Meronta dan Berontak: Pemuda dalam Sastra Indonesia” (Jurnal Prisma edition Gerakan Pemuda 1926-2011: Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris/.........Youth Movement 19262011: Stalled Unity, Asymmetric Entity, Vol. 2, 2011), historian Hilmar Farid says that “Not all young people identify themselves as youth or happy being called as youth for moral and political attributes attached to this term. They may be more comfortable with a neutral term such as young people, because the term is free from interference outside their authority”. Therefore, despite the difference in meaning between ‘pemuda’ and ‘anak muda’ is not inherent in the word ‘muda’ alone –in contrast with ‘wanita’ versus ‘perempuan’ —today ‘anak muda’ is also considered to be more empowering and autonomous than ‘pemuda’, the word that attached to the connotation of moralistic2 and political quality.
2) Article 3 of the Youth Act No. 40, 2009, published under the leadership of Adhyaksa Dault as Minister of Youth and Sports, explains that the youth activities aimed at the realization of youth of faith and fear of God Almighty, noble, healthy, intelligent, creative, innovative, independent, democratic, responsible, competitive, and has leadership, entrepreneurial, pioneering, and nationalism spirit based on Pancasila and the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 within the framework of the Unitary Republic of Indonesia.
213
Google image search results for the keyword ‘pemuda’
Google image search results for the keyword ‘anak muda’
Is the word perempuan and anak muda more empowered after leaving ‘wanita’ and ‘pemuda’ in the past? We are certainly aware that, despite the resistance, language is also important; the state is not the only force that often co-opt the perempuan and anak muda groups or identity –it works with the market and the capital power for ‘noble’ purposes such as economic growth and development. Patriarchy and gerontocracy did not necessarily come to collapse together with the New Order, because until now perempuan and anak muda are still often
214 envisioned as entity outside of power, which need to be embraced, cultivated, or at least good to be involved solely as a token by the power structure of which s still dominated by the (majority of) men and elderly. After the New Order, both perempuan and anak muda are facing more proliferate force in the wider battlefield, and very often experience energy drained to “compete” with groups that share the same identity with them.
215
Maulida R aviola Maulida Raviola was born in Denpasar, Bali, on March 14, 1989. She is the coordinator of youth organizations Pamflet. She was involved in several activities for youth such as a contributor to the magazine Change (Women’s Journal Foundation, 2009-2011), organizing activity Youth Goes to Village (Oxfam and Hivos, 2012), and facilitating writing art criticism and young curators workshop (Jakarta Arts Council & ruangrupa, 2014).
216
217
Karya / Art Works
218
219
Aprilia Apsari
Diumbul No / Push It Upward (2015) Video, 3’
Tampilan yang identik dari Dharma Wanita yaitu sanggul sasak tinggi. Sanggul atau sunggar adalah tata rias rambut khas Jawa. Model rambut ini dipopulerkan oleh istri-istri pejabat negara masa Orde Baru. Beberapa di antaranya Tien Soeharto dan Mien Soegandhi. Tren ini perlahan pudar sejak tahun 2000-an karena para perempuan menginginkan model rambut yang lebih sederhana dan praktis. Karya ini merefleksikan sejarah sebuah negara melalui produk kebudayaannya, yaitu tatanan rambut. A hairstyle that used to characterize Dharma Wanita was high bouffant bun. Bun is a Javanese characteristic hairstyle, while bouffant bun was popularized by state officials’ wives during the New Order’s regime, of which among others were the then first lady Tien Soeharto and Mien Soegandhi. This trend gradually waned in the 2000s since women wanted simpler and practical hairstyles. This artwork reflects on a country’s history using one of its cultural products, hairstyle.
Sehari-harinya Sari berprofesi sebagai ilustrator, pelukis mural, dan seniman cetak saring. Ia juga merupakan vokalis grup White Shoes & The Couples Company yang kerap berpentas di dalam dan luar negeri. Saat ini Sari juga aktif merekam video dan meliput kegiatan manusia kota Jakarta untuk proyek Jakarta Above and Beyond yang dipresentasikan secara online. Sari works as illustrator, mural painter and screen-printing artist. Off desk, she is also the vocalist of White Shoes & the Couples Company, a band which often rock the stages in Indonesia and abroad. Nowadays Sari is busy doing videorecording and reportage on Jakarta’s human activities for Jakarta Above and Beyond project presented online.
220
221
Julia Sarisetiati
Defining Excellence (2015) Single Screen HD Video Installation
Kehadiran motivator di negara ini dapat diartikan sebagai kehadiran sejumlah besar orang (konsumen) yang perlu dimotivasi. Motivator mencoba untuk meningkatkan sikap positif konsumen yang mungkin membawa beberapa keuntungan, baik secara pribadi atau profesional. Mencoba untuk memahami fenomena ini, Julia Sarisetiati melakukan observasi partisipatif dengan menjadi "konsumen" dan membiarkan dirinya "dilatih" oleh instruktur perempuan yang mengkhususkan diri dalam pengembangan kepribadian dan profesi. The proliferation of motivator profession in the country can be interpreted as the presence of large number of people (consumers) who need to be motivated. Motivators try to raise consumers’ positive attitude that may bring in some advantage, whether personally or professionally. Trying to grasp this phenomenon, Julia Sarisetiati conducts a participatory observation by being a “consumer” and letting herself being “coached” by a female instructor that specializes in personality and profession development.
Menjadi manajer ruangrupa untuk periode 2008 - 2011, Sari juga berprofesi sebagai fotografer, kurator, direktur seni, dan seniman yang kerap terlibat dalam berbagai proyek seni. Saat ini, ia merupakan salah satu direktur kreatif RURU Corps (www.rurucorps.com), sebuah biro komunikasi visual yang didirikan oleh tiga organisasi seni di Jakarta, yakni ruangrupa, Forum Lenteng, dan Serrum. Acted as the manager of ruangrupa from 2008 up to 2011, she is also a photographer, curator, art director, and an artist who has managed a variety of art projects. Currently, she is one of the creative directors of RURU Corps (www.rurucorps.com) a visual communication agency founded by three arts organizations in Jakarta, i.e. ruangrupa, Forum Lenteng and Serrum.
222
223
Kartika Jahja
Titik Titik Titiek / Titiek’s Dots (2015) Embroidery on fabric, Installation
Karya ini mengambil tema identitas, persoalan yang dialami nyaris semua perempuan. Dalam skala kecil, Dharma Wanita sebagai sebuah organisasi perempuan di era Orde Baru, menggambarkannya dengan sempurna. Sehebat apapun seorang perempuan, ia akan tetap dikenal sebagai istri seseorang. Perempuan sulit merealisasikan dirinya sebagai individu yang utuh karena dituntut untuk mengambil peran pendukung. Karya ini menceritakan perjalanan seorang perempuan yang lahir sebagai Nona Titiek Soenarti yang betransformasi menjadi Nyonya Agoes Bachtiar. The subject of this artwork is identity, an issue almost all women deal with. In a small scale, Dharma Wanita as women’s organization in the New Order era illustrates it perfectly. No matter great a woman is, she will always be known as someone’s wife. Women face difficulties in actualizing themselves as individuals because they are demanded to take up a supporting role. This artwork tells about a woman’s journey, born as Miss Titiek Soenarti and transformed to become Mrs. Agoes Bachtiar.
Kartika Jahja adalah seorang vokalis dan penulis lagu di grup musik Tika & The Dissidents. Selain musisi, Tika juga dikenal sebagai penulis dan aktivis yang fokus pada isu gender dan kekerasan berbasis gender. Saat ini sedang membangun inisiatif Bersama Project; sebuah inisiatif yang mempromosikan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui seni, musik dan budaya pop. Tika is the vocalist and song writer for Tika & the Dissidents. Apart from being a musician, she is also known as a writer and an activist who concerns about gender issues and gender based violence. Today she is developing Bersama Project, an initiative that promotes gender equality and eradication of violence toward women through art, music, and pop culture.
224
225
Keke Tumbuan
Poco-poco dan Bernyanyi Bersama Selain Menyenangkan Juga Bisa Mencegah Alzheimer / Poco-poco and Singing Together Is Not Only Fun But Also Prevents Alzheimer (2015) Video Installation
Sebagai organisasi yang berdiri bukan atas kesamaan minat dan keinginan para anggotanya, maka sulit untuk mencari sisi menarik Dharma Wanita jika menilik dari visi dan misi organisasi ini. Yang menarik disimak justru aktivitas rekreasi mereka yang ternyata tak jauh-jauh dari musik. It is difficult to find an interesting side of Dharma Wanita by looking at its vision and mission, being an organization that was established not on the ground of the members’ common interest and desire. What is more interesting actually is their recreational activity that revolves around music.
Keke bekerja sebagai fotografer, kolumnis, penulis lepas, serta beberapa aktivitas lain yang berhubungan dengan senirupa. Selain bekerja sendiri, ia juga mengerjakan berbagai proyek kesenian dan mengurus acara musik bersama Indra Ameng di bawah bendera The Secret Agents yang setiap bulan rutin menggelar acara musik SUPERBAD! Keke juga masih aktif menulis kolom untuk FREE! Magazine, tempat ia pernah bekerja sebagai Pemimpin Redaksi selama 5 tahun. Keke works as a photographer, columnist, and freelance writer while also committed in arts-related activities. Apart from her solo activities, she also manages sundry art projects and music shows together with Indra Ameng under the banner of The Secret Agents who organizes the monthly SUPERBAD!. Today, Keke also writes column for FREE! Magazine where she was an Editor in Chief for five years.
226
227
Marishka Soekarna
Perempuan yang Harus / Women Who Must (2015) Installation
Sejak lahir, perempuan disematkan peran-peran ideal dan menjadi harapan orangtua dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hidup seorang perempuan dimulai dari anak, perempuan dewasa, istri, hingga ibu. Beranjak dewasa, peran-peran tersebut terus berkembang. Caracara menjadi perempuan/istri/ibu ideal ramai dirumuskan, yang kesemuanya seolah menyerukan bahwa menjadi perempuan haram hukumnya memiliki cela. Since they were born, women are attached with ideals and hopes by parents and other people around them. A woman’s life stretches ahead from being a child, an adult, a wife, and then a mother. Advancing toward adulthood, roles keep evolving. Ways to become an ideal woman/ wife/mother are formulated boisterously, and all of it seems to claim that to become woman, it is forbidden to have a flaw.
Medium, teknik, dan elemen yang sering muncul dalam karya Marishka adalah perempuan, drawing, cat akrilik, kolase, linocut, vinyl, mural, dan pakaian dalam. Dalam berkarya, Marishka sering berangkat dan bermain di wilayah personal, menyukai hal yang sederhana namun menyimpan atau menyimpangi makna. Selain terlibat dalam beberapa pameran seni rupa, Marishka juga bekerja sebagai illustrator lepas dan merintis produk tas kulit bernama UGLY bersama kedua temannya. The medium, technics and elements of Marishka’s works often involve women, drawing, acrylic paint, collage, linocut, vinyl, mural and underwear. In her creative processes, she often departs from and plays within personal spheres. She is very fond of simple things that hide or twist certain meanings. In addition to her involvement in art exhibitions, she also works as freelance illustrator and is currently setting up a business that produces leather bags called UGLY with two of her friends.
228
229
Otty Widasari
Wanita Dalam Pembangunan / Women in Development (2015) Installation
Media massa dapat menjadi alat yang efektif dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Ia juga bisa menjadi senjata yang digunakan untuk mengawasi dan mengkritik rezim yang berkuasa. Namun bagaimana jika justru rezim tersebut memiliki kontrol atas berita yang tersiar? Apakah pesan yang sampai di masyarakat memiliki nilai kebenaran? Di mana pula peranan wanita dalam media massa sebagai sebuah konsep yang juga diatur dalam hukum bernegara? Mass media can become an effective tool to deliver a message to the people. It can also be a weapon used to monitor and criticize the ruling regime. But what if the regime has control over the news broadcast? Does the news received by the people have some value of truth? And what is the women’s role in mass media as a concept that’s stipulated by law?
Selain dikenal sebagai seniman, Otty Widasari juga seorang filmmaker, penulis, kurator, aktivis media, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Kini sehari-hari ia bekerja sebagai Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas, akumassa, dan kurator film di ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival yang digagas oleh Forum Lenteng. Otty baru-baru ini menggelar pameran tunggalnya yang bertajuk ONES WHO LOOKED AT THE PRESENCE di Ark Galerie, Yogyakarta pada September 2015 ini. Being an artist and a co-founder of Forum Lenteng, Otty Widasari works as a filmmaker, writer, curator, and media activist. Her daily occupation nowadays is acting as the Director of Community Based Media Education in akumassa and a film curator of ARKIPEL –Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, initiated by Forum Lenteng. Otty recently held her solo exhibition called ONES WHO LOOKED AT THE PRESENCE in Ark Galerie, Yogyakarta, September 2015.
230
231
Tita Salina
Smells Like Tien’s Spirit (2015) Found Object Installation
Kekuasaan selalu dilihat dari sisi politik, arus kekuatan, dan lainlain. Karya ini mencoba melihat kekuasaan dari sisi lain, yakni indra penciuman melalui medium wewangian. Wewangian secara mengejutkan dapat merekam memori dan bahkan membangkitkan emosi layaknya mesin waktu. Seniman membayangkan masa-masa kekuasaan di periode 1970 hingga 1980-an dengan mencium aroma dan menyebarkannya di ruang pamer. Selain menawarkan nostalgia, secara spesifik, aroma tersebut merupakan yang tertinggal dalam sejarah Indonesia. Karena pada prinsipnya, wewangian dipakai untuk menutupi aroma yang kurang sedap. Power is always seen from its political side, streams of power, etc. This work tries to see power from another angle, the oil factories, through scents. Surprisingly scent can capture a memory and even evokes emotion like a time-machine. The artist imagines the ruling period of 1970s to 1980s by smelling aromas and spread them throughout the exhibition hall. Apart from offering nostalgia, those aromas constitute the things left behind in the history of Indonesia because, in principle, those scents were used to cover up rank smells.
Tita Salina mendirikan studio desain Ahmett Salina pada tahun 2000. Sejak 2010, bersama Irwan Ahmett, sebagai seniman duo mereka kerap membuat proyek seni inisiatif yang fokus kepada isu perkotaan terutama ruang kota. Namun dua tahun terakhir ini, ia lebih fokus pada persoalan yang lebih kompleks yang terkait dengan ketidakadilan, pergolakan politik, lingkungan dan energi, dan kelompok rentan yang menurutnya kerap menghasilkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Tita Salina founded the design studio Ahmett Salina in 2000. Since 2010, forming a duo together with Irwan Ahmett, she has often initiated art projects that raise issues of urban space. But since the last couple of years she has been focusing on more complex subject-matters such as injustice, political upheavals, energy and environment, and fragile groups that she considers representing humanity values.
232
233
Yaya Sung
Seratan Cerita / A Sketch of Story (2015) Photography and Video Installation
Di manakah posisi gerakan perempuan dalam sejarah? Bagaimana tubuh wanita digunakan sebagai alat politik rezim? Benarkah politik tetap menjadi arena yang maskulin? Apakah perempuan masih terjajah dalam berbagai bidang? Yaya Sung mengumpulkan perempuanperempuan dengan berbagai profesi, seperti anggota Dharma Wanita Persatuan, aktivis HAM, ibu rumah tangga, maupun praktisi politik, untuk berbagi pandangan soal gerakan perempuan dan masalah yang dihadapi kaum perempuan hingga saat ini. Where is women’s movement in history? How is a woman’s body used by a regime’s political tool? Is it true that the politics is a masculine arena? Are women still colonized in various aspects? Yaya Sung assembles women of assorted professions, such as Dharma Wanita Persatuan member, human rights activist, housewife and politician, to share views on women’s movement and problems that women face until today.
Yaya Sung umumnya berkarya menggunakan medium fotografi, video, dan instalasi. Tiga tahun belakangan ini, ia fokus berkarya pada tema-tema seputar pentingnya meningkatkan pemahaman, menemukan kembali sejarah lewat memori dan narasi, dan menampilkan isu-isu sosial — terutama yang termarjinal, yang terlupakan, dan yang tersembunyi. Yaya Sung frequently works using photography, video or installation mediums. In the last three years, she has been focusing on certain themes that articulate how to increase understandings, to re-discover history through memory and narration, and to present social issues—especially related with the marginal, the forgotten and the hidden.
234
Selasa, 19 Mei 2015 Pertemuan Seniman di Ruang Pleno Dewan Kesenian Jakarta Tuesday, May 19, 2015 Artists meeting in the Plenary Room of the Jakarta Arts Council
Juni – Juli Penelitian arsip di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Republik Indonesia June to July Research in National Library and the National Archives of the Republic of Indonesia
1.
2.
Rabu, 12 Agustus 2015 Pertemuan seniman di ruangrupa Wednesday, August 12, 2015 Artists meeting in ruangrupa
3.
Senin, 31 Agustus 2015 Audiensi bersama Ketua dan Anggota Dharma Wanita Persatuan di Kantor Dharma Wanita Persatuan Pusat Monday, August 31, 2015 Talks with the Chairman and Members of Dharma Wanita Persatuan at Dharma Wanita Persatuan Office Center
4.
235
8.
Selasa, 6 Oktober 2015 Diskusi: Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial Pembicara: Julia Suryakusuma dan Manneke Budiman Moderator: Maulida Raviola Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki Tuesday, October 6, 2015 Discussion: Image of Dharma Wanita in Social Construction Speaker: Julia Suryakusuma and Manneke Budiman Moderator: Maulida Raviola Gallery Cipta II, Taman Ismail Marzuki
3 -19 Oktober 2015 Pameran, Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki
7.
October 3 to 19, 2015 The exhibition, Gallery Cipta II, Taman Ismail Marzuk
6.
5.
Kamis, 1 Oktober 2015 Media Sharing di Ruang Pleno Dewan Kesenian Jakarta Thursday, October 1, 2015 Media Sharing at the Plenary Room of the Jakarta Arts Counci
Agustus – September Penelitian mandiri dan proses berkarya seniman August to September Research and Creative process of artists
236 Pertemuan Seniman / Artist Gathering
237 Observasi / Observation
238 Audiensi / Talks
239 Pertemuan Media / Media Sharing
240 Pembukaan / Opening
241 Pameran / Exhibition
242 Diskusi / Discussion
243 Kerabat Kerja / The Committees
Penanggung Jawab / Steering Committee Dewan Kesenian Jakarta / Jakarta Arts Council Ketua Umum Pengurus Harian / Chairman: Irawan Karseno Sekretaris Umum / General Secretary: Alex Sihar Ketua Bidang Umum / Head of General Affairs: Madin Tyasawan Ketua Bidang Program / Head of Program: Helly Minarti Komite Seni Rupa / Visual Arts Committee of Jakarta Arts Council Ketua / Chairman: Hafiz Rancajale Sekretaris / Secretary: Sarnadi Adam Anggota / Member: Inda C. Noerhadi, Irawan Karseno Kurator / Curator Angga Wijaya Seniman / Artist Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, Yaya Sung Pelaksana Program / Program Officer Andike Widyaningrum Pelaksana Proyek / Project Officer Ajeng Nurul Aini Keuangan / Finance Tri Suci Manajer Humas / Public Relation Manager Dita Kurnia Rahardjo Relasi Media / Media Relation Puri Dewayani Desainer Grafis / Graphic Designer Riosadja Fotografer / Photographer Eva Tobing, M. Hasrul Indrabakti Videografer / Videographer Joel Thaher Produksi / Production Serrum, M. Luthfi Nurseptian Pembawa Acara / Master of Ceremony Natasha Abigail Tim Jaga Pamer / Exhibition Guide Agustian, Guntur, Iqbal Kebersihan / Cleaning Julian, Syaiful, Djaelani, Dedi
244 Ucapan Terima K asih / Acknowledgments
Unit Pelaksana Teknis Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki Hafiz Maha, Julia Suryakusuma, Kleting Titis Wigati, Kurnia Yunita Rahayu, Leonhard Bartolomeus, Manneke Budiman, Maria Josephina Bengan, Maulida Raviola, Sita Magfira, Ugeng T. Moetidjo Dharma Wanita Persatuan Pusat Wien R Tasmaya, Toety Setyadewi, Susana Binsasi Sarumaha, Wiwik Ford Foundation Heidi Arbuckle, Adyani Widowati, Silvera Umeza, Fenty Agtiffantono Yayasan Jakarta Biennale Ade Darmawan, Mg. Pringgotono, Vicky Rosalina, Anita Bonit Serrum Winanda Suciyadi, Rahmat, Sodik, Ahmad, Opang, Sobirin, Oshan Look & Eat Rizky Irama Nusantara David Tarigan Disrobot Radio Angga Cipta Whiteboard Journal Ken Jenie, Hilmi Jurnal Perempuan Dewi Candaningrum, Andi Pratiwi IndoArtNow Hafidh Ahmad Irfanda Antaranews.com lara Monica Provoke Joko Suryono Nusantara Jakarta Venue Egon Ilman Saputra, Imelda Khania Sindonews Kinanti Ayu Liputan6.com Medina Adistya Rajawali TV Andri Sere Seputar Event Yudika Nababan Tempo Moyang Sarasvati Rizaldy, Angelina