---------------------------------------Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
SEKOLAH DI ATAS BUKIT Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi di Kalimantan Timur
The Nature Conservancy
SEKOLAH DI ATAS BUKIT Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi di Kalimantan Timur © 2015 The Nature Conservancy
Penerbit The Nature Conservancy Kontributor Ade Soekadis, Ahmad Yanuar, Delon Marthinus, Fakhrizal Nashr, Intan Sarah Dewi Ritonga, Lex Hovani, Musnanda, Rizal Bukhari, Wahjudi Wardojo, Alie Syopyan, Edy Soediyono, Taufik Hidayat, Tomy Satriya Yulianto, Umbar Sujoko, Achmad Faisal Kairupan, Achmad Sahri, Agustina Tandi Bunna, Ali Sasmirul, Anisa Budiayu, Bambang Wahyudi, Frisnar Paysal, Hasni Ahmad, I Made Sudarsa, Jasari, Purnomo, Saipul Rahman, Siswandi, Stanley Mathew Rajagukguk, Sudiyanto, Abdul Rahman, Joko Susatmoko, Gilang Ramadhan, Ivan Amin, Junedi, Ismail & Ali Penyunting Andi F. Yahya, Andi Fauziah Yahya & Koen Setyawan Pemeriksa Aksara Arane Udan Riris & Yuli Yono Perancang Sampul, Ilustrasi dan Layout Fakhruriza F.A & Asri Yuliana The Nature Consservancy Sekolah di Atas Bukit – Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi di Kalimantan Timur Jakarta: The Nature Conservancy, 2015 xvii + 259 halaman; 13 cm x 19 cm Cetakan pertama, Jakarta, Februari 2015
Kontributor Ade Soekadis | Ahmad Yanuar | Delon Marthinus | Fakhrizal Nashr Intan Sarah Dewi Ritonga | Lex Hovani | Musnanda Rizal Bukhari | Wahjudi Wardojo Alie Syopyan | Edy Soediyono | Taufik Hidayat Tomy Satriya Yulianto | Umbar Sujoko Achmad Faisal Kairupan | Achmad Sahri | Agustina Tandi Bunna Ali Sasmirul | Anisa Budiayu | Bambang Wahyudi | Frisnar Paysal | Hasni Ahmad I Made Sudarsa | Jasari | Purnomo | Saipul Rahman | Siswandi Stanley Mathew Rajagukguk | Sudiyanto Abdul Rahman | Joko Susatmoko Gilang Ramadhan | Ivan Amin | Junedi | Ismail | Ali
Editor Andi F. Yahya | Andi Fauziah Yahya Koen Setyawan
Isi
Prakata
x
Kata Pengantar
xv
Ini Rumahku
01
Sang Penghubung
10
Konservasi: Mari Belajar ke Hutan!
18
Lom Plai
24
Melacak Orangutan Segah
30
Sekolah di Atas Bukit
44
Finding Pongo
54
Di Penggalan Surga, Rerindang Hutan Menyapa Laut
65
Pesan yang Terbawa Angin
73
Perayaan Kampung Long Duhung
81
Demo di Tengah Laut
91
Forester juga Manusia
100
Negosiasi Karbon
109
Menyelamatkan Alam dari Balik Meja
119
Membawa REDD ke Pelosok Berau
127
Romantisme Konservasi
135
Karang
142
Menjejaki Wahid dalam Kehidupan Dayak Gaai
148
Loyalitas Seorang Sopir
156
Bumi Tanpa Hutan, Bumi Tanpa Kehidupan
162
Implementasi RIL-C, Mungkinkah?
170
Satu Jiwa, Lima Reinkarnasi
178
Lingkungan Mengubah Pandangan Hidup
188
REDD+ dan PKHB, Upaya Menyelamatkan Hutan Alam yang Tersisa
197
Butterfly Effect
205
Perdagangan Karbon. Siapkah Kita?
213
Indonesia, Negara Adidaya yang [Tak] Berdaya
221
Berburu Orang Pendek
228
Kearifan Seorang Teroris Ikan
236
Menyelamatkan Laut dengan Jala
243
Pengumpul Ikan Ramah Lingkungan: Melestarikan Laut dari Darat
251
Sekolah di Atas Bukit
Prakata
S ejak bergabung dengan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 2009, saya mengembangkan kebiasaan baru. Kebiasaan untuk memilih tempat duduk di dekat jendela pesawat
dan menikmati pemandangan
menjelang pesawat lepas landas atau mendarat di bandara. Saya menikmati pemandangan rapatnya selimut pepohonan yang menutupi Kabupaten Berau, kelokan sungai-sungai, dan indahnya bentangan pegunungan kapur Sangkulirang-Mangkalihat di perbatasan Berau dan Kutai Timur. Terselip di antara rapatnya hutan hujan tropis tersebut deretan-deretan pohon sawit yang berbaris panjang, tanah yang terkoyak, dan genangan kolam dalam di sekitar pertambangan batu bara. Di saat-saat tersebut, selalu terlintas pertanyaan di hati saya: Sampai kapan hutan hujan tropis di Kalimantan Timur akan bertahan? Apakah pohon-pohon raksasa di hutan primer yang tersisa di hulu Sungai Segah dan kawasan wungun di hulu Sungai Kelay akan terus tegak berdiri? Apakah orangutan di Hutan Lindung Sungai Lesan masih akan mendapatkan makanannya di sana 10 tahun dari sekarang? Sampai kapan para tetua di Long Duhung dapat “berlari” ke dalam hutan untuk menemukan kembali keseimbangan panca indranya yang goyah dirajam kebisingan kota yang dikunjunginya? Apakah anak-anak di Kampung Merabu kelak dapat mengajarkan anak-anak mereka cara mengambil madu di hutan sekitarnya? Apakah the tragedy of the commons yang diprediksikan oleh Garreth Hardin empat dasawarsa silam akan terjadi di abad ke-21 ini?
Faktanya, bentang alam hutan hujan tropis di banyak tempat di Indonesia dan juga di berbagai pelosok dunia mengalami kehancuran. Lembah hijau
x
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
di Kerinci, tempat saya melakukan penelitian doktoral saya hampir satu dasawarsa yang lalu, sudah didominasi oleh perkebunan. Di luar Taman Nasional Kerinci-Seblat yang harus dilindungi mati-matian, hanya ada beberapa areal hutan yang dilindungi oleh masyarakat adat. Kawasan hutan ini seperti pulau-pulau kecil di lautan perkebunan, pemukiman, dan sawah. Bayangan hutan hujan tropis Amazon yang ada di kepala saya, yang dibentuk oleh komik Tintin yang saya baca saat kecil dahulu, berubah ketika saya berkunjung ke Brazil tiga tahun yang lalu. Betapa dahsyat kekuatan peternakan sapi, perkebunan kedelai, pembalakan kayu, dan pembangunan dam dalam mengubah bentang alam. Di Peru, saya terpana melihat kontrasnya pemandangan di luar Kota Lima: satu sisi jalan terbentang rawa hijau yang dilindungi ramai dikunjungi oleh berbagai jenis burung dan satwa lainnya, di seberangnya terhampar ratusan hektar pemukiman liar warga miskin di bukit-bukit tandus berpasir. Di tengah begitu banyak kekuatan yang menggilas hutan dan mengeksploitasi sumber alam, apakah masih ada harapan? Apakah upaya pelestarian yang kita lakukan tidak akan sia-sia?
TNC mengusung slogan “Melindungi Alam, Melestarikan Kehidupan”. Slogan singkat yang mengandung pesan yang sederhana: alam harus dilindungi agar manusia dan mahluk hidup lainnya dapat terus hidup. Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk merealisasikan moto ini. Upaya melestarikan hutan lebat, kelokan sungai, dan ekosistem penting di negara kita yang tercinta ini seperti sebuah perjalanan panjang berliku yang ujungnya belum terlihat. Sebuah nirwana di benak primitif kita.
xi
Sekolah di Atas Bukit
Upaya konservasi bukan sebuah kegiatan rutin semata, mengisi waktu luang, atau proses main-main, dan remeh-temeh. Dalam Sekolah di Atas Bukit ini rekan-rekan dan mitra TNC menceritakan bahwa upaya pelestarian alam merupakan upaya untuk menghimpun kekuatan, daya, dan energi banyak pihak, menyuarakan kegelisahan, menyerap pendekatan dan pengetahuan, menerima pandangan berbeda tanpa lupa arah dan tujuan semula. Upaya untuk melihat, mendengar, memahami, menghela, dan membujuk. Upaya tiada henti untuk merancang, memoles, menciptakan, dan merayakan sebuah mimpi besar: hidup bersama secara lestari dengan alam.
Upaya melestarikan alam bagi penggiat konservasi adalah sebuah pencarian. Sebuah petualangan. Sekolah di Atas Bukit mencoba merangkum fragmenfragmen tersebut dari sisi rekan-rekan dan mitra TNC sebagai penggiat konservasi, baik yang sadar maupun tak sadar tercebur dalam dunia itu, dalam menjalani petualangan mereka. Seperti murid di Lesan yang belajar di sekolah di atas bukit di tengah-tengah hutan rimba, rekan-rekan dan mitra TNC juga belajar selama petualangan mereka. Petualangan yang membuka ribuan kesempatan untuk belajar menghormati kekuatan alam (Karang, Melacak Orangutan Segah), memahami budaya, kebutuhan dan persepsi warga masyarakat yang dijumpai di berbagai pelosok Kalimantan (Lom Plai, Perayaan Kampung Long Duhung, Menjejaki Wahid dalam Kehidupan Dayak Gaai), menghadapi ketakutan di tengah-tengah ketidaktahuan dan keganasan alam (Forester juga Manusia), mengatasi kekecewaan dan keputusasaan (Finding Pongo), belajar dari sesama petualang (Sang Penghubung), belajar
xii
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
untuk menertawakan diri sendiri (Pesan yang Terbawa Angin), mengatasi riakriak kehidupan (Loyalitas Seorang Supir, Satu Jiwa, Lima Reinkarnasi), remahremah kesulitan dan keraguan (Implementasi RIL-C, Mungkinkah?), adangan, tantangan, hasutan, dan rayuan iming-iming seperti kilatan cahaya yang tak mungkin ditolak oleh sang serangga malam (Kearifan Seorang Teroris Ikan, Menyelamatkan Laut dengan Jala).
Upaya menyeimbangkan pembangunan dan perlindungan alam memerlukan penjelajah. Penjelajah lintas “batas” dan lintas “budaya”. Tidak seperti One Dimensional Man-nya Herbert Marcuse, penggiat konservasi adalah penjelajah yang memahami kompleksitas dan kemajemukan dimensi pengelolaan dan pelestarian alam. Rekan-rekan dan mitra TNC menuturkan bagaimana upaya-upaya pelestarian harus dilakukan di berbagai tingkat: di tengah hutan rimba dan samudra (Demo di Tengah Laut, Bumi Tanpa Hutan, Bumi Tanpa Kehidupan, Membawa REDD ke Pelosok Berau), di belakang meja (Menyelamatkan Alam dari Balik Meja), sampai tingkat internasional (Negosiasi Karbon). Penjelajah yang memahami peranan yang harus dimainkan dan tanggung jawab yang diemban.
Saya berterima kasih kepada Mas Tri Nugroho yang melihat kekayaan pengalaman rekan-rekan TNC dan meletakkan fondasi bagi pembuatan kumpulan cerita ini. Saya juga menghargai kerja keras dan kesabaran Mas Fakhrizal Nashr dalam mengawal proses pembuatan dan finalisasi buku ini. Kumpulan cerita ini juga merupakan hasil karya Mas Andi F. Yahya dan
xiii
Sekolah di Atas Bukit
Mbak Andi Fauziah Yahya serta Mas Koen Setyawan yang dengan sabar mendengar, menyunting, dan menuliskan penuturan rekan-rekan dan mitra TNC. Terima kasih banyak atas kesabaran dan kreativitasnya.
Penerbangan di awal bulan Januari 2015 ini agak berbeda. Saya meninggalkan pemandangan indah di luar sana. Selama penerbangan satu setengah jam ini saya melahap habis draft akhir Sekolah di Atas Bukit. Saya terhanyut dengan cerita-cerita yang saya baca. Keraguan dan kekhawatiran terhadap nasib hutan rimba dan samudra luas terpinggirkan. Perjalanan untuk ‘melindungi alam, melestarikan hidup’ memang masih panjang dan masih berliku. Ujungnya masih tidak bisa diduga. Tetapi saya punya temanteman seperjuangan yang keren. Mereka akan membuat perjalanan panjang ini lebih asyik, lebih ringan, dan lebih kaya cerita.
Jakarta, Januari 2015
Herlina Hartanto, PhD. Direktur Program Terestrial The Nature Conservancy
xiv
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
KATA PENGANTAR Everybody needs beauty as well as bread, places to play in and pray in, where nature may heal and give strength to body and soul alike. — John Muir
S ambil terus melangkah di jalan setapak, saya sesekali menengadah. Setiap mendongak, saya merasa mengkerut menjadi liliput. Di kiri-kanan berbaris tegap pohon-pohon raksasa seperti sequoia, pinus, dan oak. Jalan kecil ini mengantar saya ke mulut Sungai Yosemite yang jernih berkecipakkecipak. Saya berhenti sebentar melap kacamata saya yang buram tersiram gelombang embun yang membumbung dari kaki air terjun yang bergemuruh di depan saya: Yosemite Fall yang terkenal itu. Yang saya cari ada di depan mata, sebuah batu bertulis sebagai penanda tempat John Muir pernah membangun pondok kayu. Muir tinggal di mulut sungai agar siang dan malamnya dininabobokan oleh suara air terjun dengan gemericik air.
Sejak menginjakkan kakinya di tanah dan air Yosemite tahun 1868, John Muir jatuh hati pada bentang alam Lembah Yosemite di wilayah yang kelak diperjuangkannya menjadi taman nasional pertama di Amerika Serikat. Perjalanan rekreasi itu segera berubah menjadi penjelajahan spiritual yang mengubah pandangan hidupnya. Pada abad ke-18, sebagian besar orang percaya bahwa alam bisa dieksploitasi tanpa henti atas nama kemajuan dan kemakmuran. Tapi Muir dengan lantang menentangnya. Ia percaya alam bisa rusak kalau terus diperas dan dijarah. Inilah salah satu titik mula konservasi modern.
xv
Sekolah di Atas Bukit
P erjalanan saya ke Yosemite tahun lalu ini mengingatkan saya ke tugas pertama saya sebagai Direktur Komunikasi TNC tahun 2007. Saat itu saya melawat ke wilayah kerja TNC di Hutan Lindung Wehea. Selain ditemani oleh staf lokal TNC, rombongan kami dipandu oleh Hat Daq, tetua adat Dayak Wehea dan dua anak muda suku ini. Sambil memanggul lanjung dari anyaman rotan, mereka mengayunkan golok untuk membuka belukar yang menghalangi jalan menuju jantung hutan lindung mereka yang masih tersisa. Sesekali mereka berhenti dan berdiskusi dengan staf TNC tentang kondisi beberapa pohon ulin raksasa yang kami lewati. Pada warga Dayak Wehea dan teman-teman TNC ini saya melihat cinta yang dalam pada hutan dan pelestariannya.
Selama perjalanan keluar masuk hutan, naik mobil 4-wheels drive (4WD) dan naik ketinting di arus sungai yang deras ini, saya melihat sendiri bagaimana perjuangan teman-teman TNC yang tak kenal lelah memperjuangkan konservasi. Dalam hati saya kagum dengan ketabahan mereka menjalankan misi senyap menjaga alam untuk generasi mendatang. Kalau Muir mabuk kepayang pada Yosemite, maka teman-teman TNC ini jatuh hati pada bentang alam Kalimantan.
Menurut saya, mereka adalah “Muir-Muir” muda yang lahir dan tumbuh di alam Indonesia yang kaya raya ini. Saya membayangkan, kalaulah satu atau dua orang saja dari mereka benar-benar menjelma sekuat sosok Muir di Yosemite maka kita bisa optimis tanah dan air Indonesia bisa terjaga sampai anak cucu cicit jauh di masa depan kelak.
xvi
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Bagi Muir, teman-teman TNC, dan masyarakat adat yang bijak, konservasi adalah laku hidup untuk menjaga agar alam tidak hilang dimakan keserakahan manusia. Alam ini bukan untuk ditandaskan hari ini tapi untuk diwariskan ke generasi mendatang, seperti kebijakan lokal kaum Dayak Gaai di Sungai Segah dan hilir Sungai Kelay, Berau, Kalimantan. Tidak berlebihan kalau konservasi bagi mereka adalah daya hidup.
Tulisan-tulisan di Sekolah di Atas Bukit ini adalah hikayat daya hidup itu, yang dirayakan oleh mereka yang percaya bahwa konservasi adalah tugas dan kewajiban setiap umat manusia yang masih bernapas hari ini. Ada kisah Pak Ali yang memilih kembali menangkap ikan dengan cara tradisional daripada memakai bom ikan yang lebih menguntungkan, ada cerita Abdul Rahman dan konservasi, ada pula pengalaman yang mengubah pandangan hidup Intan Sarah, dan kisah petualangan menapaki jantung hutan dan laut Kalimantan.
Semua hikayat ini adalah kisah cinta. Kepada bentang alam, tanah air Indonesia, dan generasi mendatang. Salam lestari.
Ahmad Fuadi Novelis. Pernah bekerja di The Nature Conservancy.
xvii
Ini Rumahku Agustina Tandi Bunna
Sekolah di Atas Bukit
Hari masih muda. Matahari yang sedari tadi bersembunyi di balik mendung, kini tak ragu mengusir udara sejuk yang menyelimuti Kota Tanjung Redeb yang baru saja diguyur hujan. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Tetapi kantor The Nature Conservancy (TNC)— tempat saya bekerja—masih lengang. Pagi ini, baru hadir Pak Joko dan dua orang teman dari kelompok pencinta alam yang akan mengikuti saya berkunjung ke Site Hutan Lindung Sungai Lesan. Saya meraih segelas kopi tubruk yang mengepulkan uap panas sebelum memarkir badan di satu-satunya bangku depan kantor, sembari menunggu Pak Joko mengatur logistik dan perbekalan di dalam mobil. Perjalanan ini bukanlah kunjungan pertama saya ke hutan lindung ini. Tetapi di hati selalu tebersit rasa bahagia dan rindu akan suasana hutan. Tak tahan rasanya untuk segera tiba di sana menikmati kedamaian dan kesejukannya. Bayangan itu tiba-tiba dibuyarkan oleh suara Pak Joko.“Mbak, mobilnya sudah siap,” ucap lelaki paruh baya itu. “Ayo berangkat, Pak,” kata saya sambil menandaskan kopi yang masih tersisa lalu mengikuti Pak Joko ke mobil. Dua teman saya tadi ternyata telah menunggu di dalam mobil. Sebuah lagu pop dari salah satu grup band terkenal Indonesia lantang mengalun sesaat setelah Pak Joko menghidupkan mobil. Pak Joko yang gemar dengan musik selalu menyiapkan berbagai jenis lagu, dari 2
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
lagu dangdut sampai lagu pop dan lagu-lagu berbahasa Inggris sebagai teman perjalanan. Tak bisa saya bayangkan betapa bosannya perjalanan yang jauh ini tanpa iringan alunan musik. Maklumlah untuk mencapai Hutan Lindung Sungai Lesan dibutuhkan waktu tiga jam dengan mobil jenis 4WD, dilanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kelay dan Sungai Lesan selama 1,5 jam dengan perahu kecil atau di daerah sini lebih dikenal dengan sebutan ketinting. Pemandangan indah nan hijau menghiasi sepanjang perjalanan menuju Kampung Muara Lesan, Kecamatan Kelay. Sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi hutan yang sesekali diselingi dengan ladang. Benar-benar menyegarkan mata. Di sela-sela kesibukannya mengemudi, Pak Joko bercerita dengan penuh semangat tentang kehidupan dan keinginannya untuk maju. Khususnya terkait dengan kemampuan bahasa Inggris-nya dan perannya secara tidak langsung sebagai “duta lingkungan” melalui profesinya sebagai sopir. Menurutnya, dia bisa jadi duta lingkungan karena siapa pun yang diantarnya akan selalu diajak berdiskusi mengenai lingkungan dan konservasi. “Hati-hati, Pak!” ucap saya memperingatkan saat melihat jalanan yang tadinya beraspal kini mulai berubah menjadi jalan tanah yang berbatu dan berlubang dalam dan dipenuhi dengan genangan air hujan. Jalanan ke site ini memang penuh tantangan. Bermalam di perjalanan bukan hal yang luar biasa malah terbilang lumrah. Terlebih bila jalanan sempit berlubang dan berlumpur ini dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan besar seperti truk engkel pengangkut sawit atau truk pengangkut barang lainnya. Satu hal yang pasti terjadi adalah “macet”. 3
Sekolah di Atas Bukit
Sekitar 30 menit menjelang akhir perjalanan darat, tepat ketika kendaraan keluar dari jalan poros trans Kalimantan dan masuk ke jalan logging yang berupa jalan tanah yang dipadatkan, mata mulai dimanjakan oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Topografi yang curam yang kadang-kadang mendaki dan menurun memungkinkan kami melihat dengan jelas strata dan kanopi pohon-pohon pada areal hutan produksi yang tidak lagi aktif ini. Pohon-pohon tinggi tersebut mungkin tidak ditebang karena sulit mengangkutnya. Kaca mobil saya buka dengan lebar agar bisa menikmati kicauan burung dan angin yang berembus. Kadang-kadang kencang. Kadang-kadang sepoi-sepoi. Tak lama kami pun tiba di bibir Sungai Kelay. Sebuah ketinting sudah siap di dermaga yang lengang, siap membawa kami menyusuri sungai. “Saat aktivitas perusahaan kayu sedang aktif, dermaga ini ramai oleh berbagai aktivitas pengangkutan kayu bulat menyeberangi sungai menggunakan kawat, menumpuknya bahkan kadang langsung memuat kayu bulat ke logging truck yang akan mengangkutnya ke luar kawasan,” jelas Pak Uci, seorang warga Kampung Muara Lesan yang akan mengantar kami ke Hutan Lindung Sungai Lesan. Sungai Kelay yang lebarnya kurang lebih 20-30 meter itu mengalir melalui sebuah kampung Dayak yang disebut Lesan Dayak. “Kampung ini sebagian besar dihuni oleh masyarakat lokal dari Dayak Gaai, Dayak Lebo’, Dayak Punan, dan sebagian kecil warga pendatang,” ujar saya menerangkan kepada teman seperjalanan. “Sebagian besar warga bekerja di ladang, kebun, atau mengumpulkan berbagai hasil hutan seperti madu dan juga berburu. Sedangkan warga pendatang biasanya 4
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sebagai guru dan perawat, atau bekerja di perkebunan sawit,” lanjut saya. Ketinting membawa kami melewati Kampung Lesan Dayak dan berbelok menuju Sungai Lesan. Batu-batu besar bertebaran di sepanjang sungai. Hamparan bebatuan kecil yang biasa disebut kersik memenuhi pinggiran sungai yang pada saat surut terlihat beraneka warna. Saya mulai tegang saat ketinting melewati beberapa titik jeram yang airnya sangat deras dan panjang. Di saat musim hujan, tak sedikit ketinting menemui nasib nahas di jeram ini. Terlebih bila pengemudinya kurang mahir. Untunglah, kali ini jeram ini terlewati dengan aman dan lancar. Pohon yang menjuntai di bibir sungai dan sebagian lagi berdiri kokoh seakan menjadi gerbang selamat datang yang menyambut kami di Stasiun Riset Lejak Hutan Lindung Sungai Lesan. Penuh suka cita, saya dan teman-teman melompat dari kentinting dan menapakkan kaki di hamparan kersik saat ketinting menepi. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Uci, kami meniti tangga kayu menuju Stasiun Riset Lejak yang letaknya cukup tinggi. Cukup melelahkan. Terlebih dengan beban logistik di pundak. “Ke lantai duanya nanti saja. Kita istirahat dulu,” ucap saya saat tiba di halaman stasiun riset. Tas ransel saya letakkan di lantai dan kemudian saya duduk di bangku kayu. It’s worth it! ucap saya dalam hati saat menikmati pemandangan sekeliling hutan. Perjalanan yang melelahkan ini sangat sepadan dengan suguhan keindahan dan kenyamanan yang terpampang di depan mata, kicauan burung dan embusan angin semilir. Rasa penat seketika lenyap tak tersisa. Lega rasanya. 5
Sekolah di Atas Bukit
Suara
berbagai jenis burung dan satwa lainnya membangunkan
saya dan teman-teman pagi itu. Ketika matahari mulai meninggi, bergegas kami mandi dan sarapan lalu bersiap melakukan trekking. Sepatu lapangan, kaus kaki, parang, dan tas berisi bekal makanan dan minuman kami persiapkan. Hari ini kami akan mengamati berbagai pohon besar seperti meranti, ulin, dan lainnya yang terdapat di hutan. Selepas jalur trekking pertama dari stasiun riset, kami mulai menyusuri Hutan Lindung Sungai Lesan yang curam dengan kemiringan kira-kira mencapai 40 derajat. Saya mulai terengah-engah, berusaha menarik napas pendek-pendek karena dada terasa sangat sesak. “Ayo berhenti dulu,” kata saya sambil mengusap keringat yang menganak sungai di wajah. “Medannya mendaki betul ini, Mbak,” sahut teman saya. “Iya, makanya jalur ini disebut puncak ‘serangan jantung’. Tetapi setelah tiga puluh menit ke depan, jalurnya mulai datar,” jawab saya. Meski jalurnya mendaki, jalur ini telah dibuat dari bahan semen sehingga membuat perjalanan lebih nyaman. Beberapa pohon di sepanjang jalur trekking juga telah dilabeli nama umum dan nama latin yang memudahkan untuk mengenali jenisnya. Setelah berjalan hampir 1,5 jam, kami menemukan pohon-pohon meranti dengan diameter lebih dari 100 sentimeter. Kami pun melepas lelah sesaat di pos pengamatan. Perjalanan kembali dilanjutkan hingga kami melihat sekumpulan pohon ulin besar. “Wow!” ucap saya takjub. Dalam radius 200 meter, terdapat sekitar 15 batang besar pohon ulin yang umumnya dikenal dengan nama 6
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
kayu besi. Belum lepas kekaguman saya, saya kembali dibuat tercengang saat melihat menara pengamatan setinggi 40-an meter. Menara pengamatan yang dibangun berdampingan dengan pohon meranti merah sebagai penyangganya ini memudahkan pengunjung mengamati kanopi pohon. “Bagaimana kalau kita naik?” ajak saya sambil melirik kedua teman saya yang langsung disambut dengan anggukan kepala. Dengan mengerahkan semua keberanian dan tekad, kami memanjat menara pengamatan. Tidak sia-sia. Kami akhirnya bisa menyaksikan indahnya hamparan Hutan Lindung Sungai Lesan. Susunan pohon dalam hutan ini tak puas-puasnya kami dipandangi. Begitu asyiknya kami melihat indahnya kanopi hutan hingga kami dikejutkan oleh embusan angin kencang yang mengguncang menara pengamatan. Serentak kami menahan napas dan berpegangan kuat. “Aaahhhh…!”
“Wow…segarnya!”
dan “Brrrr…dingin!” demikian jeritan kecil
saya dan kedua teman sesaat setelah menceburkan diri ke sungai di depan stasiun riset. Berbalut kaus dan celana pendek kami berendam, berenang, dan bermain air dengan riang. Saya bersandar di batu besar, sesekali berenang dan menyelam sambil menikmati air sungai yang terasa sejuk di kulit. Hari mulai sore saat kami beranjak dari sungai dan bersiap-siap melakukan penelusuran ke arah hilir Sungai Lesan. Sore ini kami akan 7
Sekolah di Atas Bukit
melakukan pengamatan berbagai hewan yang umumnya akan banyak terlihat di sekitar pepohonan menjelang gelap. “Mbak…bukankah itu bekantan?” tanya salah seorang teman saya seraya menunjuk ke arah sebuah pohon. “Iya,” jawab saya singkat sambil memperhatikan sekumpulan bekantan yang tengah asyik bersantai di pohon tinggi itu. Tampaknya penelusuran sore ini membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Tak lama berjalan, saya menemukan monyet-monyet yang bergelantungan dan berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya sambil mengeluarkan suara khasnya yang riuh. Mereka tampak malu-malu dan waspada dengan kehadiran kami. Sesekali langkah saya menghentikan langkah untuk menengadahkan wajah dan melihat gerombolan burung yang berlomba menuju tempat peristirahatannya. Tanpa sengaja, saya mengarahkan pandangan ke satu titik dan mendapati sepasang mata menatap saya dalam-dalam. Pemilik mata itu seakan-akan menyapa ramah. “Hai,” demikian dia menyapa. “Hai,” balas saya dalam hati. “Senangnya, akhirnya kita bisa bertemu setelah lima tahun mencarimu.” “Saya belum pernah melihatmu. Apa kita saling kenal?” “Tidak.” “Lalu mengapa kamu mencari saya?” “Saya hanya ingin bertemu. Memastikan kalau kamu masih di sini.” “Kalau tidak di sini, saya mau ke mana lagi? Tempat ini adalah rumahku,” jawabnya singkat lalu membalikkan badan pertanda pembicaraan telah usai. Dia mulai memasuki peraduannya, bersiap-siap menanti datangnya kantuk. 8
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Percakapan yang absurd. Jauh di luar logika. Tapi khayalan percakapan itu terus mengikuti perjalanan saya hingga tiba di stasiun riset. Dan, kata-katanya terngiang kembali saat saya bergelung menghangatkan diri di dalam kantung tidur. “Mau ke mana lagi? Tempat ini adalah rumahku.” Ya… mau ke mana lagi, ucap saya dalam hati. Di sinilah rumah para orangutan itu, di Hutan Lindung Sungai Lesan. Tetapi mungkinkah rumah mereka lestari? Sampai kapan rumah mereka tetap terjaga tanpa terusik oleh tangan-tangan jahil? Oh… andai saja kecintaan saya pada Hutan Lindung Sungai Lesan ini juga dimiliki oleh setiap orang.
9
Sang Penghubung Joko Susatmoko
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Tanjung Redeb, 2014.
Di Bandara Kalimarau, Tanjung Redeb, Berau-lah kali pertama saya bertemu dengan lelaki paruh baya bernama Joko. Saat itu, dia meninggalkan posisinya di pojok area penjemputan, dan bergegas menyambut kedatangan saya. Senyum ramah tak ketinggalan menghiasi wajahnya. “Mas Andi, ya? Saya Joko dari TNC. Tadi diminta menjemput Mas. Pesawatnya delay ya?” sapanya riang. Dengan sigap, dia memandu saya menuju mobil yang akan mengantarkan saya ke penginapan. Tak tampak hal yang luar biasa dari dirinya. Dengan perawakannya yang sedang, dia terlihat sama dengan lelaki paruh baya pada umumnya. Buat saya, saat itu, dia tidak lebih dari seorang sopir yang ditugaskan oleh The Nature Conservancy (TNC) untuk menjemput saya. Kesan pertama itu berubah 180 derajat ketika bertemu dengannya keesokan harinya di Kafe Kampus Singkuang. Bukan karena Pak Joko masuk dalam daftar penugasan orang-orang yang harus diwawancara, tetapi kisah pengalamannya selama di bekerja di TNC yang sarat nilainilai kehidupanlah yang membuat saya terkesan. “Nama saya Joko Susatmoko. Saya berasal dari Surabaya dan merantau ke Kalimantan Timur sejak dua puluh satu tahun lalu,” ujarnya memulai ceritanya sambil mulai mengetuk-ngetukkan jari pada bungkus rokok di meja. Seolah-olah meminta izin untuk mengisap rokok selama wawancara berlangsung. Dan benar saja. Tak berapa lama kemudian, dia bertanya apakah saya keberatan bila dia merokok. Dengan anggukan kepala, saya menyilakan. 11
Sekolah di Atas Bukit
“Awalnya saya tidak tahu TNC itu lembaga apa. Saya hanya mendengar informasi dari radio jika TNC membutuhkan sopir profesional. Waktu itu, kontrak kerja saya di perusahaan yang lama hampir habis. Jadi saya langsung tertarik,” lanjutnya di antara kepulan asap rokoknya. “Sudah bekerja lama di TNC? Pasti banyak cerita menarik ya, Pak?” tanya saya. “Banyak, Mas… Tetapi yang paling berkesan saat saya harus ke Merabu. Sekitar empat jam perjalanan dari sini.” Cerita perjalanan ke Merabu pun menjadi awal kisah perjalanan Pak Joko. Menurut Pak Joko, perjalanan ke Merabu bukan hal yang baru. Pemandangan
indah
gunung
karst
yang
berwarna
keperakan
menjadi sangat biasa baginya. Kebetulan, hari itu, Pak Joko bertugas mengantarkan seorang rekan dari TNC melalui rute yang sama dengan perjalanan yang selama ini ditempuhnya. Namun hari itu berbeda. Cuaca tidak seperti biasanya. Sinar matahari sangat terik menggigit kulit. Pukul 09.00 pagi Pak Joko memacu mobil menuju Merabu dengan trengginas. Tugas tetaplah tugas, pikirnya. Hari sudah beranjak sore. Jam menunjukkan pukul 06.00 saat Pak Joko seorang diri meninggalkan Merabu kembali ke Tanjung Redeb. Matahari mulai tergelincir ke kaki langit. Sinarnya yang perlahan meredup menyinari gunung karst. Tanpa sadar, Pak Joko menghentikan mobil di pinggir jalan. Dia terpaku menatap gunung karst yang biasanya putih kekuningan berubah menjadi merah. Merah sekali warnanya. Lama dia tertegun di sana. Kedua matanya basah oleh air mata.
12
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Mas, saat itu… tanpa sadar saya menangis. Terharu bercampur kagum. Saya sangat ingat, dengan tersedu-sedu saya berucap “Ya Allah, engkau tunjukkan keagungan-Mu di mataku ya Allah….”
Tanjung Redeb, 2008. Hujan yang turun sejak semalam menyisakan kubangan-kubangan lumpur di sepanjang jalan. Hari itu Pak Joko ditugaskan untuk mengantar beberapa tamu TNC ke Kampung Long Laay. Memakan waktu dua hari dua malam untuk mencapai kampung ini. Perjalanan yang cukup jauh dengan medan yang berat mengharuskan Pak Joko untuk mempersiapkan kendaraan dan perbekalan dengan cermat. Sebelum memulai perjalanan, dia mengecek sekali lagi perlengkapan mobil yang telah dia kemas ke dalam bagasi. Sudah ada bekal makanan di dalamnya, ada sling dan juga tali tambang untuk menarik mobil jika mogok di tengah jalan. Pak Joko juga dibekali telepon satelit agar dapat dihubungi setiap waktu. Alat komunikasi itu juga digunakan untuk menghubungi kantor TNC bilamana membutuhkan pertolongan. Rombongan menumpang tiga mobil. “Semoga perjalanan lancar-lancar saja ya, Pak. Cuaca juga tampaknya mendukung, cerah kelihatannya,” ucap salah seorang tamu kepada Pak Joko. “Iya, Mas… semoga!” jawab Pak Joko mengiakan. “Tetapi biasanya cuaca di hutan susah diprediksi. Walaupun musim panas, selalu saja ada hujan. Hujannya tidak lebat. Hanya rintik-rintik saja,” lanjutnya dengan mata tetap berkonsentrasi pada jalanan.
13
Sekolah di Atas Bukit
Jalanan itu sudah tidak lagi beraspal. Berbatu-batu dengan lubanglubang genangan air hujan. Mobil bergoyang hebat, ke kiri dan ke kanan setiap kali ban mobil melewati lubang. Rasanya bagaikan berada di atas kapal yang tengah dihantam badai. Namun, dengan tenang Pak Joko mengendalikan mobil. Raut wajahnya tidak menyiratkan keletihan sedikit pun. “Apa tidak sebaiknya kita berhenti, Mas? Sudah hampir pukul lima sore sekarang. Lebih baik kita mencari lokasi untuk bermalam sebelum gelap,” usul Pak Joko kepada rekan kerjanya di TNC. “Di depan saja, Pak Joko. Kita cari lokasi yang… Aaahhhhhh!” Rekannya tak sempat menyelesaikan ucapannya karena tiba-tiba mobil terperosok ke dalam lubang. “Maaf, Mas, ban mobil terperosok. Saya kira tadi lubangnya tidak sedalam ini,” ucap Pak Joko sambil menghidupkan mobil, berusaha keluar dari kubangan. Brruum…brrumm…brrummm… terdengar raungan mesin mobil. Beberapa kali Pak Joko menginjak pedal gas. Tetapi tetap saja mobil tak bergerak. Bahkan mobil malah mulai miring ke arah jurang. “Mas-mas lebih baik keluar dari mobil. Tetapi tolong keluarnya perlahan-lahan agar mobil tidak semakin miring,” usul Pak Joko khawatir. Dia memperhatikan sopir mobil yang berada di depannya yang dengan sigap mengikatkan tali pada mobilnya.
14
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Dengan hati-hati ketiga penumpang keluar dari mobil dan berjalan menjauh. Pak Joko pun segera memberi kode kepada sopir di depan untuk mulai menarik mobilnya. Brruum…brrumm…brrummm… “Laailahaillallah… Laailahaillallah… Laailahaillallah...!” seru Pak Joko saat menyadari mobilnya yang tengah ditarik, posisinya semakin miring. Mobil itu terus bergerak mendekati bibir jurang. Jalan yang berlumpur dan licin membuat ban mobil hanya berputar di tempat. Penuh rasa khawatir, Pak Joko membayangkan hal terburuk bila dia dan mobilnya jatuh ke jurang. Jika terjadi, mobil yang tengah menariknya pun pasti akan ikut terjatuh ke dalam jurang. Dia menutup mata sambil terus bersyahadat. Saat mendekati bibir jurang, tiba-tiba mobil itu terhenti karena tertahan batu. Jarak mobil dengan jurang tinggal setengah meter lagi. Menahan napas, Pak Joko memberi kode agar mobil ditarik lagi. Akhirnya, mobil pun berhasil terangkat dan berhasil keluar dari kubangan.
Tanjung Redeb, 2014. Secangkir kopi hitam hampir tandas tanpa terasa. Kisah yang dituturkan pria yang telah sepuluh tahun bekerja di TNC ini tidak terasa membosankan. Nyaris dua jam saya asyik mendengarkan cerita Pak Joko. Pak Joko juga bercerita tentang pengalaman baru yang didapatkannya selama bekerja di TNC. 15
Sekolah di Atas Bukit
“Pertama kali menjemput bule saya takut, Mas Andi. Saya tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi kami tidak bisa berkomunikasi. Di dalam mobil kami hanya diam, hahaha…” ucapnya. “Sekarang sudah bisa bahasa Inggris, Pak?” “Bisa. Saya belajar otodidak di rumah. Kemudian saya praktikkan dengan teman-teman kantor. Teman-teman di kantor yang membantu mengoreksi bila pengucapan saya salah. Sekarang, jika disuruh menjemput bule, saya senang sekali karena bisa mempraktikkan bahasa Inggris. I can practice English every day. Terkadang volunter yang saya antar-jemput memberi saya buku beserta CD-nya sebelum pulang ke negaranya. Dia bilang, ‘Pak Joko, here... it’s a book for you’.” Demikian cerita Pak Joko bangga sambil memamerkan bahasa Inggris-nya. “Bapak kan sudah keluar dari TNC. Bagaimana hubungan dengan TNC sekarang, Pak?” “Saya sudah tidak di TNC sejak Januari kemarin. Tetapi saya tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan teman-teman TNC. Saya sangat berterima kasih kepada TNC karena di TNC lah saya bisa membangun perilaku yang baik dan mendapatkan banyak pelajaran berharga,” ujarnya. “Menurut Pak Joko apakah program TNC cocok untuk masyarakat Berau?” “Sangat bermanfaat, Mas. Terutama bagi orang-orang kampung yang tidak mengerti perkembangan ekonomi.” Dia kemudian menceritakan pengalamannya di Kampung Sidobangen. Masyarakat kampung tersebut sama sekali tidak tahu tentang karet. Setelah TNC masuk dan memberikan pelatihan tentang karet bahkan
16
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
mengadakan studi banding ke Bontang, mereka mulai paham. Bahkan kini mereka memiliki dua hingga tiga hektar kebun karet. “Mereka kini bisa menikmati hasil kebunnya. Bisa membiayai sekolah dan kuliah anaknya. Sedangkan saya masih begini-begini saja… Belum punya kebun karet!” tutur Pak Joko tergelak. Waktu tak terasa berlalu dengan cepat bersama cerita pengalaman Pak Joko. Dia bangga karena telah menjadi bagian dari suatu proses perubahan pada masyarakat Berau. Bangga karena telah berperan dalam mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat Berau. Dia memang hanya seorang sopir. Tetapi dialah yang menghubungkan kampung-kampung terpencil di Berau dengan kantor TNC di Tanjung Redeb. Dialah yang mengantar para volunter dan penggiat konservasi ke Merabu, Long Laay, dan ke pelosok-pelosok Berau lainnya dengan penuh dedikasi. Dialah Pak Joko… sang penghubung.
17
Konservasi: Mari Belajar ke Hutan Ivan Amin
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Konservasi. Buat saya, konsep ini sudah tidak lagi asing. Kabupaten Berau, Kalimantan Timur—di mana saya menetap saat ini—dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Baik di laut maupun di darat. Di laut, Berau memiliki ribuan spesies terumbu karang, ikan karang, dan keanekaragaman hayati lainnya. Sementara itu, kekayaan yang tersimpan di darat berupa hasil tambang dan mineral, serta hutan yang luasnya menutupi hampir sebagian besar daratan Berau. Di sini, setiap hari aktivitas saya bersinggungan dengan pengelolaan hasil sumber daya alam, terutama hasil hutan kayu maupun non-kayu. Sudah menjadi hal yang lumrah jika aktivitas perusahaan tambang dan kayu berdampak buruk pada alam. Saya menyaksikan banyak gesekan dan konflik yang muncul antara masyarakat dan perusahaan. Konflik ini terjadi, khususnya pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, tempat perusahaan kayu (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) beroperasi. Hal inilah yang mendorong saya dan teman-teman membentuk Perkumpulan Lingkar Konservasi pada tahun 2013. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan ekologi ini, bekerja sama dengan The Nature Conservancy (TNC) berusaha memfasilitasi dan mempertemukan kepentingan masyarakat dan perusahaan kayu. Kepedulian saya terhadap alam khususnya hutan muncul sejak lima tahun lalu, tepatnya saat saya sering mengikuti kegiatan-kegiatan TNC. Beberapa pelatihan TNC yang sering saya ikuti adalah pelatihan pembuatan jalur di Hutan Lindung Wehea, dan survei orangutan 19
Sekolah di Atas Bukit
dan tumbuhan di kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan. Banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang saya dapatkan selama terlibat dalam kegiatan-kegiatan TNC. Berbicara tentang kegiatan konservasi, saya jadi teringat saat terlibat sebagai panitia kegiatan kemah pelajar antarsekolah yang diadakan tahun 2009 lalu. Kegiatan yang diselenggarakan oleh TNC ini merupakan pengalaman yang paling berkesan dan tidak mudah saya lupakan. Kemah pelajar ini diikuti oleh 25 pelajar SD dan SMP serta guru-guru pendamping dari tujuh kampung yang terdapat di sekitar kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan dan melibatkan pihak pemerintah daerah khususnya dari Dinas Pendidikan, Dinas Kehutanan, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH). Ketiga instansi pemerintah tersebut memberikan pelajaran dan wawasan baru tentang hutan dan lingkungan kepada peserta. Tema yang diangkat identik dengan alam terbuka. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah acara tersebut diselenggarakan di kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan, yang hutannya masih bagus dan alami. Peserta kemah pelajar diajak mengenal fungsi hutan, pentingnya menjaga hutan, dan cara menjaganya. Peserta diajak mengenali dan melihat potensi hutan, seperti hasil hutan dan sungai-sungai besar yang airnya masih jernih. Sangat berbeda dengan sungai di perkotaan yang dikotori sampah. Kegiatan yang paling menyenangkan adalah dorongan untuk menumbuhkan kecintaan pelajar pada hutan yang dikemas dalam bentuk permainan yang seru (fun games).
20
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Para pelajar sangat antusias dan aktif mengikuti setiap permainan yang khusus disiapkan oleh rekan-rekan TNC dan saya. Selama tiga hari perkemahan, setiap pagi dan sore, seluruh peserta diajak berolahraga yang kemudian dilanjutkan dengan permainan yang isinya sarat dengan pengetahuan tentang hutan. Pada hari pertama, peserta dilatih cara mendirikan tenda dan mendapatkan pengetahuan mengenai hutan dari BLH. Kegiatan yang diselenggarakan pada hari kedua dan ketiga merupakan yang paling seru. Pada hari kedua, peserta diajak menjelajah hutan selama setengah hari untuk melihat dan meneliti potensi-potensi hutan. Para peserta diberi tugas mengambil contoh dari potensi hutan yang dianggap menarik dan bermanfaat. Potensi hutan itu berupa daun, akar, dan lainnya. Contoh tersebut kemudian ditempelkan di selembar karton, dan dipresentasikan kepada peserta lainnya. Setiap peserta menyebutkan nama dari temuannya, berikut fungsi dan kegunaannya. Saat berada di hutan, para peserta juga diajak bermain di sungai yang jernih tetapi penuh dengan pacet. Binatang pengisap darah ini sering menggigit kaki dan betis peserta dan panitia. Tidak ada kaki yang luput dari gigitan pacet. Kaki dan betis yang tadinya putih berubah menjadi kemerahan. Butuh waktu seminggu untuk sembuh dari luka gigitan pacet. Kegiatan lain yang digelar panitia adalah mengajak peserta untuk mendeskripsikan pohon. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan tiga orang. Setiap kelompok dibekali dua bangku kayu kecil seukuran talenan atau alas pemotong 21
Sekolah di Atas Bukit
sayuran. Permainan ini mengharuskan tiga orang dalam kelompok itu untuk menaiki bangku tersebut. Bangku kedua digunakan untuk bergerak maju hingga mencapai garis akhir. Agar berhasil mencapai garis akhir, ketiga orang itu harus kompak bergerak secara bersamaan. Belum sampai ke garis akhir, banyak peserta yang jatuh karena tidak kuat mempertahankan keseimbangan. Permainan ini menyimbolkan pohon harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah tumbang. Di hari kedua, setiap kelompok peserta menampilkan tarian, nyanyian, dan pembacaan puisi. Semua peserta terlihat penuh percaya diri memperlihatkan kemampuan mereka. Pada hari ketiga, diadakan permainan yang sangat seru yang berhubungan hutan dan orangutan. Satu orang peserta berperan sebagai penebang pohon yang berdiri di tengah lingkaran dan dikelilingi peserta lain yang berperan sebagai pohon. Peserta yang berperan sebagai pohon wajib menggendong seorang peserta yang berperan sebagai orangutan. Pohon dan orangutan ini berjalan mengelilingi penebang kayu, yang menebang satu per satu pohon. Orangutan berpindah pada pohon yang belum ditebang. Begitulah permainan itu berlangsung hingga hanya tersisa satu pohon saja. Pada satu pohon yang tersisa inilah orangutan bergelantungan hingga akhirnya pohonnya tumbang karena tidak kuat menahan beban orangutan. Usaha keras satu peserta yang bertugas sebagai pohon untuk bertahan berdiri dengan menanggung berat peserta yang berperan sebagai orangutan sungguh mengundang tawa lepas. Permainan menggambarkan kondisi orangutan yang kehilangan tempat tinggal jika hutan terus ditebang hingga gundul.
22
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Kegiatan kemah pelajar ini berakhir dengan kegiatan cerdascermat dengan topik lingkungan hidup, hewan, tumbuhan, dan hutan. Para peserta begitu bersemangat untuk menjawab. Mereka saling teriak dengan suara riuh rendah. Ramai sekali. Saat itu saya bertugas menyiapkan pertanyaan dan salah seorang rekan dari TNC memperagakan hal yang ditanyakan kepada peserta. Tawa kembali bergema ketika rekan tersebut harus memperagakan binatang seperti cacing, ular, monyet, dan burung semirip mungkin sehingga peserta dapat menebaknya dengan tepat. Permainannya mirip dengan acara di televisi yang pesertanya selalu mengucapkan “bukan” dan “bisa jadi”. Asyiknya lagi tidak hanya peserta cerdas-cermat yang mendapatkan hadiah. Peserta lain yang paling antusias juga mendapatkan penghargaan. Pertanyaan yang diberikan tidak terbatas mengenai satwa, tetapi juga tentang kondisi hutan. Misalnya akan seperti apa hutan di masa depan? Seperti apakah hutan yang rusak? Kegiatan perkemahan pelajar antarsekolah ini tidak hanya berkesan dan berguna untuk saya, tetapi juga untuk para peserta. Meskipun para pelajar peserta acara perkemahan ini umumnya tinggal dan beraktivitas di sekitar dan di dalam hutan, tidak banyak dari mereka yang mengetahui jenis-jenis hasil hutan non-kayu yang dapat dimanfaatkan. Melalui kegiatan perkemahan ini, para pelajar mendapatkan tambahan pengetahuan baru yang bermanfaat tentang hutan.
23
Lom Plai Agustina Tandi Bunna
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Kekerabatan”, “Kebersamaan”, dan “Gotong Royong”. Tak bisa dimungkiri bila dalam kehidupan keseharian di kota-kota besar, ketiga nilai budaya Indonesia ini tampak kian tersisih, terpinggirkan, dan tergerus oleh tekanan globalisasi yang identik dengan sifat individualistis yang tinggi. Saat ini, banyak warga masyarakat yang bertetangga tapi tak saling menyapa, berkerabat, dan saling mengunjungi. Bila di kota-kota besar kekerabatan dan kebersamaan terkikis oleh generasi Cyber yang lebih suka menghabiskan waktu untuk dengan berselancar dan menjalin pertemanan di dunia maya, tidak demikian dengan masyarakat suku Dayak Wehea. Bagi komunitas suku Dayak yang tinggal di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur ini, kekerabatan, kebersamaan, dan gotong royong adalah bagian penting dalam kehidupan mereka. Itulah cara mereka hidup, berpikir, dan bertindak. Suku Dayak Wehea ini tersebar di enam desa, yaitu Desa Nehas Liah Bing, Desa Dea Beg, Desa Diak Lay, Desa Bea Nehas, Desa Long Wehea, dan Desa Jiak Luway. Pada bulan April setahun lalu, saya bersama seorang rekan kerja di The Nature Conservancy (TNC) berkesempatan menyaksikan bagaimana suku Dayak Wehea memupuk dan merekatkan kekerabatan dan kebersamaan mereka melalui berbagai upacara adat. Setelah menempuh perjalanan darat dari Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, kami akhirnya tiba di Desa Nehas Liah Bing yang dipenuhi kemeriahan karena perayaan Lom Plai.
25
Sekolah di Atas Bukit
“Lom” dan “Plai” berarti “Pesta” dan “Padi”. Jadi, Lom Plai merupakan perayaan sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen padi yang berlimpah setiap tahunnya. Perayaan ini juga menjadi simbol rasa terima kasih suku Dayak Wehea kepada Putri Long Diana Yung yang telah mengorbankan diri untuk menghentikan bencana kekeringan yang melanda kampung ribuan tahun lalu. Perayaan Lom Plai berupa rangkaian kegiatan adat setelah padi di ladang dipanen. Sore harinya, sehari sebelum perayaan Lom Plai diselenggarakan, para perempuan dari desa bagian hilir (ujung desa hilir) dengan berdandan lengkap pakaian adat suku Dayak Wehea berjalan menuju hulu untuk mengajak para lelaki di desa bagian hulu mendiskusikan persiapan perayaan Lom Plai keesokan harinya. Diskusi ini dilakukan di beranda rumah kepala adat desa hulu. Demikian sebaliknya dengan para perempuan dari desa bagian hulu. Kunjungan menyilang antardesa yang dimotori kaum perempuan ini dalam istilah bahasa suku Dayak Wehea disebut Endeq. Mereka mendiskusikan lokasi yang akan dipakai untuk mengambil rotan dan membangun pondok darurat untuk beristirahat bagi warga yang ikut mencari rotan dan berbagai buah-buah hutan untuk upacara Lom Plai. Pembukaan Lom Plai ditandai dengan pemukulan gong pada pagi hari. Berbaurnya warga hulu dan hilir sangat kental terasa dalam kegiatan Nag Pesyai yang merupakan rangkaian kegiatan perayaan ini. Pada kegiatan ini, para lelaki dari kedua desa menyambung rotan-rotan yang kemudian dibentangkan dan diberi penyangga setinggi kira-kira 26
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
satu hingga dua meter. Bentangan rotan itu lalu dihiasi berbagai buahbuahan hasil hutan dan ladang seperti buah pis, buah ara, pisang, buah song way, padi, labu, pinang, daun pisang, betoh Wehea (lemang khas Wehea) dan berbagai kain warna-warni. Kegiatan menghiasi rangkaian rotan ini disebut Naq Pesyai Duq Min bila dilakukan di desa hulu dan Naq Pesyai Wet Min bila dilakukan di desa hilir. Naq Pesyai yang telah dibuat dan dihias di desa hulu selanjutnya secara bersama-sama akan dihantar ke desa hilir dan sebaliknya. Saat para lelaki sibuk membuat Nag Pesyai, para perempuan secara bergiliran sibuk menyiapkan makanan. Berbagai makanan khas dan hasil kebun seperti betoh, labu, tebu, dan lain-lain kemudian dihantarkan ke rumah tetua yang ada di desa hilir pada siang hari oleh para perempuan dari desa hulu secara berombongan. Sebaliknya pada hari berikutnya, para perempuan dari desa hilir membawakan makanan kepada warga yang ada di desa hulu. Makanan yang dihantarkan ini dibagi-bagikan ke setiap rumah. Kegiatan menghantar makanan sangat meriah karena rombongan kaum hawa ini diiringi oleh bunyi-bunyian gong. Pada saat rombongan tiba di rumah tujuan, mereka akan menari di halaman rumah melengkapi rasa sukacita. Warga desa yang tidak ikut dalam rombongan tanpa sungkan juga menari bersama. Tak jarang terlihat orang-orang tua tanpa canggung menggandeng anak dan cucunya untuk bergabung menari. Ritual saling memasak dan antar makanan bagi suku Dayak Wehea yang merupakan rangkaian kegiatan Embob Jengea ini memiliki makna kearifan yang sangat dalam, yaitu saling berbagi di antara masyarakat suku Dayak Wehea. 27
Sekolah di Atas Bukit
Hujan yang turun hingga pukul 08.30 malam hari itu tidak menghalangi saya dan rekan mengikuti salah satu rangkaian perayaan Lom Plai yang disebut Tluei Pesyai. Tluei Pesyai atau upacara pemanggilan roh padi juga memperlihatkan betapa eratnya kekerabatan dan kebersamaan warga suku Dayak Wehea. Pemanggilan roh padi ini pada dasarnya merupakan tuturan doa yang disampaikan agar tahun depan panen padi akan jauh lebih berhasil. Malam itu, 13 orang perempuan tua dan paruh baya berkumpul di rumah Ibu Knyoq, salah seorang tetua di desa hilir. Mereka akan memanggil roh padi. Makanan ringan dan minuman hangat yang disediakan keluarga Ibu Knyoq pun telah terhidang. Ibu Knyoq, perempuan tua yang telah kehilangan penglihatannya itu memimpin upacara pemanggilan roh dengan melantunkan rangkaian doa-doa. Penerangan yang tak seberapa yang berasal dari satu botol lampu minyak, menambah khusyuk suasana. Tanpa memedulikan dinginnya udara malam, mereka larut dalam rangkaian doa-doa permohonan yang terlantun indah hingga dini hari. Upacara malam itu berakhir pukul 01.30 dini hari dan dilanjutkan keesokan harinya di rumah salah seorang tetua di desa hulu. Perayaan Lom Plai masih berlangsung saat saya dan rekan meninggalkan Desa Nehas Liah Bing. Perayaan Lom Plai memang kadang berlangsung hingga sebulan lamanya. Banyak rangkaian kegiatan yang tak sempat kami saksikan dan banyak pula kearifan budaya Dayak Wehea yang belum sempat dipelajari. Perjalanan kami kali ini terbukti meninggalkan makna 28
yang
mendalam.
Betapa
tidak?
Kami
berkesempatan
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
menyaksikan bagaimana suku Dayak Wehea yang hanya terdiri atas 500 kepala keluarga ini berusaha mempertahankan dan memelihara budaya kekerabatan, kebersamaan, dan kegotongroyongan. Di tempat itu kami sungguh-sungguh merasakan indahnya kebersamaan antara desa hulu dan hilir yang menjadi nilai tertinggi dan karakteristik istimewa suku Dayak Wehea.
29
Melacak Orangutan Segah Ali Sasmirul & Jasari
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Ekspedisi ini bukan untuk mencari harta karun emas berpeti-peti. Bukan pula bertujuan menyelamatkan seorang putri cantik yang sedang disekap musuh seperti dalam cerita dongeng. Tim ekspedisi The Nature Conservancy (TNC) tak seberuntung dan seheroik itu. Ekspedisi ke hulu Sungai Segah dan hulu Sungai Pangyan ini adalah untuk melacak bukti keberadaan orangutan. Tiga hari perjalanan yang cukup berbahaya dari Tanjung Redeb hanya untuk mencari sarang primata ini. Bukan main! Februari 2006. Hari telah sore saat tim ekspedisi pertama yang beranggotakan Nardiono, Purnomo, Sulhanuddin, Juli, Jasari, Ali Sasmirul, dan beberapa orang warga Long Laay tiba di Long Oking dan disambut oleh kepala kampung. Di kampung Dayak Punan ini, tim akan menginap karena sangat berbahaya meneruskan perjalanan menyusuri sungai di waktu malam. Ini persinggahan kedua setelah sebelumnya melewatkan malam di Long Laay. “Ini tengkoraknya, Pak!” ucap kepala kampung sambil mengangsurkan sebuah tengkorak binatang ke Nardiono, ahli orangutan, yang merupakan ketua tim ekspedisi. “Iya, ini tengkorak orangutan,” ucap Nardiono tanpa ragu. “Kapan ini ditangkap, Pak?” “Musim buah September yang lalu, Pak,” jawab seorang warga yang bernama Bit Lih.
31
Sekolah di Atas Bukit
Musim buah di Kampung Long Oking memang selalu ramai. Warga kampung berduyun-duyun menuju ladang dan hutan untuk memanen buah rambutan dan buah lay. Musim buah juga berarti musim berburu karena wangi buah masak selalu menarik kehadiran banyak binatang buruan. Karena itulah warga kampung selalu membawa serta tombak, mandau, sumpitan, dan anjing pemburu. “Kami baru selesai panen saat anjing-anjing tiba-tiba menggonggong ramai dan berlari ke pohon keramu. Ribut sekali, Pak!” cerita pak Bit bersemangat. “Saya pikir mereka melihat babi hutan. Saya cepat-cepat mendekat. Ternyata di atas pohon ada seekor binatang yang sedang memakan buah Keramu masak. Saya lihat dia. Dia juga melihat saya. Bingung saya, Pak. Ini binatang apa? Mirip monyet tapi kok begitu besar dan tidak berekor. Dia diam, saya juga diam. Saya tidak tahu harus melakukan apa…” “Orangutan memang begitu, Pak Bit. Dia diam jika merasa terancam. Itu salah satu cara untuk menyelamatkan diri,” ucap Nardiono. “Iya, Pak. Saya kemudian memanggil Pak Lu Buk. Lama kami perhatikan dia. Tiba-tiba binatang itu berteriak-teriak histeris dan melempari kami dengan buah. Saya dan Pak Lu Buk lari pontangpanting menyelamatkan diri dan memberitahu warga lainnya. Warga memburunya sampai mati. Dagingnya kami makan. Kami tidak tahu kalau itu orangutan, Pak. Kami juga tidak tahu kalau binatang itu dilindungi…” ucap Pak Bit dan warga lainnya penuh penyesalan.
32
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Langit sangat cerah pagi itu. Perjalanan menelusuri Sungai Segah dengan perahu ketinting akhirnya bisa dilanjutkan setelah sehari sebelumnya terpaksa terhenti dan menginap di hilir Giram Apit akibat banjir bandang. Suara ketinting yang sedari tadi mengalun memecah kesunyian hutan Segah tiba-tiba terhenti. “Ada apa?” tanya Ali Sasmirul alias Mex. Tanpa bersuara motoris mengarahkan telunjuk ke depan. Beberapa ratus meter di depan sana pemandangan Giram Apit dengan jeram yang bertingkat-tingkat dan karang tebing setinggi 9 hingga 12 meter terpampang indah menyimpan bahaya. Untung saja motoris dengan cepat menghentikan perahu. Jika tidak tim itu sudah tinggal nama dilahap batu-batu besar. Tanpa menunggu lama, satu demi satu logistik diangkat melewati pinggiran sungai yang curam dan perahu diangkat ke atas giram. Selamat! Perjalanan menyusuri sungai kembali dilanjutkan. Sesekali terlihat bayangan ikan salap, nyaru, dan sapan berenang di sekitar perahu. Suara burung cucakrawa yang langka terdengar bersahutan. Keragaman satwa liar di hutan ini sangat tinggi. Mamalia seperti babi hutan, muncak, napu atau kancil, payau atau rusa, dan macan dahan, atau primata seperti kelawat, kera, lutung merah, beruk, lutung dahi putih, dan lutung kelabu bisa ditemukan di sini.
33
Sekolah di Atas Bukit
Pukul 05.00 sore, perahu sampai pada batas arung. Aliran sungai terlalu kecil untuk diarungi sehingga tim memutuskan untuk berhenti dan membuat pondok kerja. “Mau ke mana?” tanya Mex saat melihat seorang teman dari Long Laay beranjak dari rombongan yang tengah rehat setelah membangun pondok. “Menangkap ikan,” jawabnya singkat. Kemudian tanpa ragu dia menceburkan diri dan menyelam ke sungai. Tidak berapa lama kemudian dia muncul basah kuyup dengan beberapa ekor ikan sapan di tangan. “Kau bisa menangkap ikan dengan tangan kosong?” tanya Mex sambil menyiapkan api. “Bisa. Ikannya banyak, tinggal pilih.” “Wah... kita makan enak hari ini. Biarkan saya yang membuat sambal,” sahut Jasari mulai bergerak mencari batu dengan permukaan datar di pinggir sungai sebagai cobek untuk mengulek cabai rawit dan garam. Ikan sapan bakar dengan sambal khas Dayak, akhirnya ludes tak bersisa. Nikmat sekali. Di sela-sela makan malam, rapat pembagian kerja dilakukan. Tim dibagi menjadi dua kelompok dipimpin oleh Nardiono dan Mex. Keesokan paginya, dua kelompok mulai melakukan survei di ketinggian antara 700 – 850 meter di atas permukaan laut. Nardiono menuju ke barat sedang Mex menuju hulu sungai. Survei dilakukan dengan metode transek yang dibuat sepanjang 1.500 meter.
34
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Bagaimana hasilnya?” tanya Nardiono saat kedua tim kembali ke pondok. “Tidak ada tanda-tanda sarang orangutan. Padahal pohon pakan banyak ditemukan, Ki. Kami menemukan jambu-jambuan, pelwan, pasang, bangkirai, nyerekat, bahkan pohon sagu,” jawab Mex pada Ki, panggilan Nardiono. “Mungkin besok kita lebih beruntung,” ucap Nardiono sambil mengipasi wajahnya yang berpeluh.
“Mex! Mex! Coba lihat, ini sarang orangutan, bukan?” “Jas, tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Cukup lihat ada lengkungan atau susunan ranting yang berbeda apa tidak? Lihat lokasinya di pohon. Pada bagian batang besar atau susunan ranting lain,” tegur Mex pada Jasari yang terlihat setengah kegirangan itu. “Iya, Mex. Susunannya terletak di ranting dan ada lengkungannya,” ujarnya. “Wah, sip kalau begitu. Itu pasti sarang orangutan,” seru Mex dengan lega. Tidak sia-sia perjalanan survei ini, pikirnya. “Tetapi anehnya kok hanya satu sarangnya? Biasanya ada temannya. Ayo, kita cari,” kata Mex. Semua anggota kelompok kemudian mencari sarang dengan cara mengamati ranting dan cabang pohon-pohon. Tetapi hingga sore, tak ada lagi sarang yang mereka temukan. “Kita hanya menemukan satu sarang hari ini, Ki,” ucap Mex pada Nardiono. “Iya, Mex, kami juga menemukan dua buah sarang yang berumur di atas dua bulan. Salah satu sarang berlubang dan daun sarang sudah hitam. Jadi masuk sarang kategori D. Sedangkan sarang yang lainnya hanya 35
Sekolah di Atas Bukit
tinggal ranting. Jadi masuk kategori E,” ujar Nardiono. “Semoga besok bisa menemukan kategori B atau A,” ujar Mex penuh harap. Namun, selama enam hari menelusuri hulu Sungai Segah, jumlah sarang yang ditemukan tidak bertambah. Tak ada sarang kategori B, yaitu sarang yang daunnya masih hijau atau bercampur cokelat, atau kategori C yang bentuk sarangnya masih utuh walaupun semua daunnya sudah berwarna cokelat. Apalagi sarang orangutan kategori A yang daun sarangnya masih hijau dan segar. Tim ekspedisi pun memutuskan kembali ke Tanjung Redeb.
September 2006. Tim ekspedisi kedua bergerak menuju hulu Sungai Segah dipimpin Andi Herman dan beranggotakan Mex dan warga Kampung Long Oking, yaitu Jiu Bak, Misdi, Bang Liling, dan Toyo. Setelah tiga setengah hari, tim akhirnya tiba di titik terakhir tim ekspedisi pertama membuat transek. Pada hari pertama pelacakan, tim menemukan hamparan pohon sagu di atas gunung. Terlihat bekas-bekas orangutan memakan umbut sagu. Banyak pohon sagu mati pucuk. Enam sarang orangutan pun ditemukan di areal itu. Tanda keberadaan orangutan semakin jelas. “Kemungkinan besar ada orangutan di sini,” ucap Mex “Iya, tapi belum pasti apakah mereka menetap atau sekadar mencari makanan,” ujar Andi Herman. “Dalam hal ketersediaan pakan, tempat 36
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
ini memang potensial sebagai habitat orangutan tetapi ketinggian dan temperaturnya tidak mendukung. Tempat ini terlalu tinggi dan dingin. Idealnya orangutan tinggal di ketinggian kurang dari 750 meter,” lanjutnya sambil merapatkan jaket mengusir dingin yang menusuk tulang. “Tapi mungkinkah…?” tanya Mex ragu seraya berjalan menuju Pak Jiu Bak dan anggota tim lainnya yang tengah sibuk membuat pondok kerja. “Pak Jiu, sampeyan sudah pernah sampai ke tempat ini?” tanya Mex kepada Pak Jiu Bak di sela-sela istirahat. “Ya pasti sudahlah, Pak. Di tempat ini kami mencari sagu. Hutan sagu ini terhampar hingga jauh ke Pesuk sana,” ujar Pak Jiu Bak sambil menunjuk menggambarkan betapa luasnya hutan sagu ini. “Terus, sampeyan pernah bertemu orangutan di daerah ini?” “Kalau sekitar sini belum. Tetapi di dekat Pesuk sana, saya sering bertemu. Dulu waktu saya masih mencari gaharu. Jika ingin mencari orangutan, di sanalah tempatnya, Pak Mex.” “Hahahah….!” Mex terbahak mendengar jawaban Pak Jiu Bak. “Kita kan mau mencari orangutan di sini kok malah diajak ke tempat lain. Sontoloyo sampeyan ini, hahaha...” Mex dan Pak Jiu Bak tergelak. Lumayan sedikit menghangatkan tubuh mereka yang mulai kedinginan diterpa angin di ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Begitu pondok selesai, mereka baru menyadari kalau pondok berada di pematang bukit dan jauh dari air. “Eh, bagaimana cara kita membuat minuman dan menanak nasi ini, Pak?” tanya Mex yang dijawab oleh Pak Jiu Bak dengan menunjuk aliran sungai kecil di bawah kaki bukit. 37
Sekolah di Atas Bukit
“Bagaimana cara kita mengambil air itu?” “Dengan ini…,” jawab Pak Jiu Bak sambil membagikan kantong plastik berukuran sepuluh kilogram. Mex dan anggota tim lainnya menggeleng-geleng takjub dengan ide Pak Jiu Bak. Mereka kemudian bergegas menuruni bukit. Untuk memudahkan mengambil air, sebuah pancuran dibuat dengan menggunakan pelepah sagu. “Wah… pancuran ini bisa dipakai untuk mandi juga, nih. Ini baru ide cerdas namanya. Begini kan enak,” kata Mex sambil membuka baju dan mandi di bawah pancuran. “Brrrr… dingin sekali, seperti air es di Kutub Utara!” “Kayak sampeyan sudah pernah ke sana saja,” timpal Pak Jiu Bak tergelak.
Pukul 09.00 pagi, hutan masih gelap dan dingin saat tim berangkat melakukan survei dengan metode trek menuju titik yang sudah diplot di peta kerja. Hari itu sarang orangutan kategori C, D dan E ditemukan di daerah pematang yang ditumbuhi pohon sagu. Anehnya, sarang malah tidak ditemukan di tempat-tempat yang biasanya disukai oleh orangutan, seperti daerah lereng datar atau daerah dekat sepan yang berair sedikit asin di gunung, tempat binatang biasa mencari minuman. Tim hanya menemukan bekas kupasan kulit kayu dan sepahan umbutumbut sagu. Pohon buah kapul dan buah pasang yang terletak tidak jauh dari kupasan sagu, masih utuh tak tersentuh orangutan. Hari-hari berikutnya, kelompok Mex berangkat menuju kawasan lanjutan transek sebelumnya di Kecamatan Long Pesuk. Tanda-tanda 38
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
keberadaan orangutan semakin nyata. Tanah datar terhampar luas di ketinggian 500 – 600 meter di atas permukaan laut. Aliran sungai yang landai, tak lagi diapit tebing curam, mengalir ke daerah Long Pesuk. Setengah hari berjalan wajah lelah mulai terlihat, berjalan pun mulai terseok-seok dan bulir keringat sudah bercucuran sebesar biji jagung. “Pak Mex, lihat!” seru Pak Jiu Bak sekonyong-konyong menunjuk ke arah sumber mata air yang begitu jernih dan dingin hingga tampak berembun. Dengan kegirangan semuanya berlari menuju kolam untuk mencelupkan tangan. “Arrggghhh… panas… panas… panas…,” teriak mereka serempak. “Pak Jiu, ini bukan embun tapi uap air panas.. uhh.. uhh..,” sahut Mex sambil mengibas-ngibaskan tangannya mengusir panas. Tanpa sengaja Mex menginjak anak payau yang melompat dan berteriak sejadijadinya. Puluhan ekor payau yang sebelumnya sedang tiduran dan memamah biak di sekitaran kolam, segera terbangun dan lari tunggang langgang. Suasana berubah kacau. Mex dan ketiga rekannya pun ikut lari tunggang langgang. “Pak Jiu… Misdi… Mas Toyo…!” teriak Mex saat sadar mereka kini terpisah. “Ooii… Pak Mex…!” balas Mas Toyo dari kejauhan. Mereka teriak bersahut-sahutan, persis seperti orangutan jantan memanggil betinanya.
39
Sekolah di Atas Bukit
Setelah
seminggu melakukan survei, temuan-temuan sarang dan
bekas kupasan kulit kayu dan sepahan umbut sagu di sekitar hutan pohon sagu tidak cukup menjadi bukti keberadaan habitat orangutan di Hutan Segah. Di Long Oking, orangutan hanya datang untuk mencari makan sehingga sarang-sarangnya bersifat sementara. Tim ekspedisi pun memutuskan pulang. “Misdi, tak usahlah kamu bergaya. Awas, nanti ketintingmu terkena riakan air Sungai Segah. Bisa kapok kamu!” kata Mas Toyo bercanda melihat Misdi yang pagi itu menguji ketinting dengan mengemudikannya hilir mudik di pinggiran sungai. Entah terbawa euforia Misdi atau memang karena tak sabar hendak sampai rumah, kewaspadaan seluruh anggota menjadi berkurang. Dua ketinting yang membawa tim dan perbekalan saling beradu cepat dan menyalip. Tiba-tiba di depan mata terpampang pemandangan yang menakutkan. Pertemuan Sungai Segah dan Sungai Pangyan saat banjir benar-benar membuat bulu kuduk berdiri. Banjir setinggi 12 meter menderu kencang menyambut perahu mereka. Rrraang… Rrraang… “Awas! Awas! Belok! Belok!” Bunyi mesin ketinting mendesing keras. Derak dasar perahu menghantam riak sungai. Teriakan peringatan tidak digubris Misdi. 40
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Ketintingnya terus dipacu kencang menuju banjir tetapi terhenti seketika, tertahan oleh terjangan riak air banjir bandang sebelum berderak keras dan pecah menjadi dua. Perahu langsung tenggelam. Penumpang beserta barang bawaan tumpah ruah dan hanyut terbawa arus sungai yang sangat deras. Mex tak bisa berbuat banyak kecuali berusaha tetap tenang. Pertama dia menyelamatkan tas kecil yang selalu dibawanya. Isinya sangat penting, uang untuk membayar upah tenaga harian dan sewa ketinting. Setelah itu, dia menaiki tas pakaiannya yang bagian dalamnya telah dilapisinya dengan plastik hingga kedap udara dan dapat berfungsi sebagai pelampung besar. Tiba-tiba saja badan dan tas pelampung Mex terhempas ke atas melewati batu-batu besar yang tersembunyi di bawah air. Mex berusaha membalikkan badannya. Kakinya diarahkan ke depan dan kepala di belakang agar bisa melihat arah perjalanan dan agar kepalanya tidak terantuk batu. “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” teriak Mex setiap kali terhempas karena air melewati batu besar. Di depan sana Giram Apit dengan batu-batu besarnya menunggu. Mex berusaha menepi, dan berenang sekuat tenaga serta mencari pegangan ranting kayu di pinggir sungai. Diraihnya sebuah ranting. Patah. Diraihnya lagi ranting kayu kecundai yang terkenal sangat liat. Berhasil! Laju hanyut Mex terhenti. Diangkatnya tas yang berat ke daratan. Selamat! Begitu batinnya sebelum akhirnya dia jatuh pingsan. 41
Sekolah di Atas Bukit
“Pak Mex! Pak Mex! Di mana kau?” lamat-lamat terdengar suara Pak Jiu Bak. Mex yang mulai siuman membalas panggilan itu dengan suara lemah. Pak Jiu Bak, Mas Toyo, dan Misdi datang menghampiri. Bertiga mereka menangis karena mengira Mex sudah mati. “Eh, Pak Mex bagaimana caranya hingga sampai ke pinggir sini?” “Ada yang terluka tidak?” “Pak Mex masih bisa berjalan?” Tanpa menunggu jawaban Mex, mereka menggotongnya ke atas perahu dan membawanya kembali ke hulu tempat anggota tim lainnya menunggu. Malam itu, tim terpaksa bermalam di muara Sungai Pangyan dengan bekal seadanya. Hampir semua barang hanyut terbawa air. Pakaian mereka yang basah masih mereka kenakan. “Dingin sekali, Pak Mex!” ujar Pak Jiu Bak yang menggigil menahan dingin. Suara gemeletuk giginya terdengar jelas. “Iya, Pak Jiu… diinggiiinnn!” jawab Mex. “Bagaimana jika kita tidur sambil mengubur badan di dalam pasir yang tidak terkena banjir?” “Bisa dicoba itu,” jawab yang lainnya. Tanpa dikomando mereka serempak menggali lubang di tanah, lalu tanah tersebut ditimbunkan ke tubuh mereka hingga sebatas leher. Lumayan hangat. Sambil menunggu kantuk, Mex menatap langit Segah. Pengalamannya menantang maut kembali terbayang. Bagaimana jadinya jika aku hanyut hingga ke Giram Apit? Mungkin nyawaku sudah melayang, kenang Mex bergidik. 42
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Ada sedikit rasa kecewa karena tidak berhasil menemukan Orangutan Segah. Namun, pengalaman menyusuri hulu-hulu sungai berair jernih untuk membuktikan keberadaan spesies ini cukup mengobati rasa kecewa Mex. Sesaat sebelum kantuk membawa Mex ke alam mimpi, sebait doa sempat terucap, “Semoga kami selamat sampai di rumah.”
43
Sekolah di Atas Bukit Gilang Ramadhan
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Hari ini, matahari di Tanjung Redeb benar-benar tak berbelas kasihan. Sinarnya begitu terik membakar tiap jengkal kulitku yang tak tertutup jaket. Rasanya seperti ditusuk jarum-jarum halus nan panas. Bahkan keringat pun terasa seperti langsung kering saat keluar dari pori-pori kulit. Kulirik jam tangan yang melingkar di lengan yang kini tak sawo matang lagi. Pukul 02.20 siang. Ugh… sudah mulai sore tetapi alat peraga yang kubutuhkan belum juga lengkap. Padahal sudah beberapa hari ini aku berdua dengan rekan satu tim berkeliling kota dan memasuki semua toko untuk mendapatkan alat peraga yang cocok untuk pembelajaran perubahan iklim. Namaku Gilang Ramadhan. Sudah hampir dua bulan ini aku dan Lies Van Loocke, seorang volunter dari Belgia, terlibat dengan Program Penjangkauan dan Pendampingan The Nature Conservancy (TNC) dalam pengembangan modul pembelajaran muatan lokal kehutanan. Kami sibuk membuat materi modul pembelajaran muatan lokal bertema perubahan iklim untuk empat sekolah dasar (SD) di kawasan hutan lindung Sungai Lesan. Sebanyak lima bab materi pelajaran untuk program ini telah selesai kami buat. Keseluruhan bab ini nantinya kami harapkan bisa menambah pengetahuan murid tentang iklim, gas rumah kaca dan proses terjadinya gas rumah kaca, perubahan iklim dan dampaknya, dan keanekaragaman hayati Berau.
45
Sekolah di Atas Bukit
“Bagaimana, ada ide?” tanyaku kepada Lies yang terlihat kucel dan berpeluh. “Hhmm… bagaimana kalau kita mencari di warung loak? Siapa tahu mereka mempunyai barang bekas yang bisa kita pakai.” “Bisa, sekalian ke pemulung juga. Semakin banyak yang kita dapat, semakin bagus. Apalagi kita perlu banyak karena kan untuk empat sekolah. Ayolah… kita ke loakan dulu!” ucapku sambil menghidupkan motor. Hampir magrib saat kami menemukan seluruh alat peraga yang dibutuhkan. Tapi berbagai macam barang bekas yang kami kumpulkan harus disortir ulang dan dibersihkan. “Wah, pasti ribet membawanya nanti.” “Iya, tetapi harus bagaimana lagi,” jawabku sambil mulai memilah-milah. “Di empat kampung itu, masyarakatnya seperti apa?” “Saya tidak tahu juga. Tetapi TNC memberikan beberapa laporan kegiatan mereka di sana. Ada fotonya juga. Laporannya ada di tumpukan situ,” jawabku sambil menunjuk ke arah tumpukan laporan yang ada di meja. “Kita ke sana buta-buta, nih!” “Bukan buta-buta, tetapi setengah terpejam, hahaha...” timpalku penuh tawa. “Muara Lesan. Itu nama kampung pertama yang akan kita datangi, ya? Semuanya kampung Dayak, kan? Kita selama sebulan berada di empat kampung itu, bukan? Semoga masyarakatnya ramah-ramah.” “Iya, semoga!”
46
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Hari baru beranjak pagi ketika aku dan Lies berangkat dari Tanjung Redeb dengan menggunakan mobil yang membawa kami ke Sungai Kelay. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan ketinting menyeberangi sungai hingga ke Kampung Muara Lesan. Inilah kampung pertama yang harus kami datangi. Ketinting melaju beriringan menderu memotong arus sungai. Bukan satu atau dua ketinting, tetapi butuh tiga buah ketinting untuk membawa kami, alat peraga, dan tas-tas berisi barang pribadi kami. Muara Lesan. Akhirnya sampai juga, ucapku dalam hati. Aku menghela napas lega. Ketinting yang kami tumpangi merapat di sebuah dermaga kayu sederhana. Kami bergegas menurunkan semua barang dari ketinting. “Kamu pernah bertemu orang Dayak pedalaman?” tanya rekanku sambil memanggul tas penuh alat peraga. “Belum pernah,” jawabku singkat. Kuarahkan pandangan ke Kampung Muara Lesan. Sebuah jalan tampak diapit oleh deretan rumah-rumah di sisi kanan dan kirinya. “Ayolah, kita bereskan barang-barang ini dahulu kemudian segera menemui kepala kampung.” Tidak berapa lama kemudian kami pun bergegas menuju rumah kepala kampung. Betapa terkejutnya kami karena ternyata orang yang kami temui bukanlah orang Dayak, melainkan seorang Melayu muslim. Saya baru ingat kalau masyarakat asli Berau berasal dari tiga suku, yaitu suku 47
Sekolah di Atas Bukit
Dayak, suku Berau-Melayu, dan suku Bajo yang banyak bermukim di pesisir. Nah, Kampung Muara Lesan ini dihuni oleh masyarakat suku Berau-Melayu yang beragama Islam. Kampung Muara Lesan ternyata terbagi dua, yaitu kampung lama dengan penduduknya yang mulai berkurang dan kampung baru yang berada di dekat perkebunan sawit. Penduduk kampung baru lebih beruntung karena mendapat bantuan generator listrik dan air bersih dari perusahaan perkebunan sawit. Meskipun tanpa sinyal telepon genggam. Di kampung baru Muara Lesan inilah kami singgah.
Senin pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, tetapi kami sudah bersiap-siap. Pagi ini sangat penting. Kami harus mendatangi sekolah tempat modul pembelajaran yang telah kami kembangkan akan diajarkan untuk pertama kalinya. “Sekolahnya di mana, Dik?” tanyaku kepada seorang anak yang berjalan sambil menenteng buku. “Itu!” jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan di atas bukit. “Terima kasih, ya!” ucapku sambil tetap mengarahkan pandanganku ke atas bukit. “Hhmm… sekolah di atas bukit!” “Sekolah di atas bukit,” ulang rekanku. “Seperti judul sebuah cerita, hehehe…” “Yuk… kita ikuti mereka,” ajakku. Kami berjalan kaki mengikuti murid-murid sekolah, mendaki bukit untuk mencapai sekolah tersebut. 48
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Lumayan!” ucapku tersengal-sengal kehabisan napas. “Lumayan banyak keringat keluar.” Kurasakan baju di punggungku kini basah oleh keringat. Butuh sepuluh menit jalan kaki untuk mencapai sekolah tersebut. Di sekolah, kami bertemu dengan Ibu Hermin dan Pak Hikmat. Mereka menyambut kami dengan ramah. “Gurunya cukup banyak juga ya, Bu?” tanyaku saat memperhatikan papan yang melekat di dinding. Papan itu berisi daftar nama guru-guru di sekolah tersebut. “Hanya ada dua yang aktif, Mas. Hanya ada saya dan Pak Hikmat,” jawab Ibu Hermin. “Lho, bagaimana dengan nama-nama di papan tersebut?” “Semuanya guru dari luar dan tidak menetap di sini. Mereka jarang sekali datang mengajar dan biasanya hanya satu atau dua orang guru yang tahan menetap. Pak Hikmat juga tidak menetap di sini.” “Yah… beginilah keadaannya. Kami berdua kadang-kadang harus mengajar menggantikan guru-guru yang tidak datang. Sehari-hari saya mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Pendidikan Agama. Bu Hermin selain mengajar Bahasa Indonesia, juga mengajar Kesenian,” ucap Pak Hikmat. “Ooo….” ucapku manggut-manggut. “Berapa banyak muridnya, Bu?” “Ada sebelas anak, Mas. Kita ke kelas saja, biar sekalian saya perkenalkan kepada anak-anak.” Ibu Hermin dan Pak Hikmat kemudian mengajak kami ke sebuah kelas. Kami melewati ruangan yang tampak kosong tanpa murid. 49
Sekolah di Atas Bukit
“Hanya ada satu kelas, Bu?” “Iya. Sebenarnya ada dua kelas, tetapi kami satukan saja,” tutur Ibu Hermin sebelum masuk ke kelas. Di dalam kelas, beliau memperkenalkan kami kepada murid-murid yang telah duduk dengan rapi. Wajah mereka penuh rasa keingintahuan saat melihat kami membawa begitu banyak barang. Setelah melihat sekolah yang hanya bermurid sebelas orang ini, kami baru sadar alat peraga yang kami bawa terlalu banyak. Bisa jadi murid di sekolah-sekolah di tiga desa berikutnya juga sedikit. Hari ini kami mendapat kesempatan untuk mengajar setelah muridmurid mengikuti ulangan harian yang diberikan oleh Ibu Hermin. Kami menggunakan metode belajar dengan alokasi waktu praktikum yang lebih lama. Setelah murid-murid mendapat materi di kelas dalam bentuk lokakarya dan membaca, mereka kami ajak keluar untuk praktik. Kami sangat beruntung membawa banyak foto yang bisa dijadikan media belajar di dalam kelas karena tidak ada listrik untuk presentasi.
Tidak terasa sudah enam hari kami berada di Kampung Muara Lesan. Selama enam hari ini, kami menemukan kenyataan bahwa konservasi dan perubahan iklim bukan lagi merupakan topik yang asing bagi murid-murid kami. Kampung ini ternyata sering mendapat kunjungan dari TNC dalam sosialisasi perubahan iklim. Hal ini tentu saja memudahkan kami dalam mengajar.
50
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Bu, kalau Pak Hikmat tidak hadir mengajar, berarti hanya ibu sendiri yang mengajarkan seluruh mata pelajaran kepada murid-murid?” tanyaku kepada Ibu Hermin. Pagi ini, aku dan Lies mendapat giliran mengajar setelah Pak Hikmat selesai mengajarkan IPA. Sambil menunggu, kami berbincang-bincang dengan Ibu Hermin yang tengah menilai jawaban tugas murid-muridnya. “Iya. Pada ujian semester lalu, Pak Hikmat tiba-tiba jatuh sakit. Saya pusing karena beliau belum sempat menyiapkan soal-soal ujian,” jawab Ibu Hermin. “Menyiapkan soal ujian IPA sebenarnya tidak masalah. Tetapi soal ujian Agama membuat saya bingung.” “Kenapa, Bu?” “Saya kan beragama Nasrani. Jadi saya tidak tahu tentang pelajaran Agama Islam. Sementara anak-anak harus mengikuti ulangan harian Agama Islam agar mendapatkan nilai. Kasihan kalau mereka tidak mendapatkan nilai. Jadi, mau tidak mau ulangan harus tetap diberikan dan tidak mungkin menunggu hingga Pak Hikmat sembuh.” “Jadi bagaimana ibu membuat soalnya?” “Saya bertanya ke anak-anak, mereka selama ini belajar apa saja. Saya minta mereka menjelaskan semua yang pernah Pak Hikmat ajarkan. Saya catat jawaban dan penjelasan mereka. Malamnya, saya coba membuat soal berdasarkan jawaban mereka dan esoknya saya ujikan kepada mereka,” jawab Ibu Hermin. Sungguh miris melihat kondisi kegiatan belajar-mengajar di kampung ini. Sangat jauh berbeda dari kondisi kegiatan belajar-mengajar di ibukota kabupaten. Di kampung ini, guru harus berpikir cepat dan kreatif dalam menyelesaikan masalah karena keterbatasan sumber daya dan lokasinya 51
Sekolah di Atas Bukit
yang jauh dari kota. Mungkin keterbatasan inilah yang menjadi alasan mengapa banyak guru memilih tidak menetap di kampung ini. Seperti hari-hari sebelumnya, kami menyelesaikan pelajaran pada pukul 11.00 pagi. Setelah mengajar, aku menyusuri jalan kampung yang selalu sepi setiap harinya. Sebagian besar masyarakat Kampung Muara Lesan, terutama kaum prianya, bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Pada siang hari seperti ini tak ada seorang pun kaum pria yang terlihat. Langkahku terhenti di depan sebuah surau. Aku baru tahu kalau di kampung ini ada surau. Selama ini, tak pernah kudengar suara azan berkumandang dari surau ini. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjuk pukul 12.00 siang lewat. Aku memutuskan untuk duduk menunggu waktu salat Jumat pada sebuah bangku kecil di bawah pohon. Waktu salat Jumat hampir berakhir. Surau masih tetap sepi. Tak seorang pun yang datang untuk mengumandangkan azan atau salat. Lho, kok tidak ada yang azan, ya? Kulangkahkan kaki menyusuri jalan menuju sungai yang ramai dengan suara anak-anak. “Dik, kenapa suraunya tidak dipakai? Tidak pada salat Jumat? Tidak pada belajar mengaji?” tanyaku ke beberapa anak yang asyik bermain. “Suraunya tidak dipakai lagi, Kak. Guru mengajinya tidak ada.” Demikian jawaban mereka bersahutan. “Guru mengajinya ke mana?” “Minggu kemarin meninggal, Kak.” 52
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Ooo….” gumamku sambil menatap surau dengan miris. Pantas saja selama ini tidak pernah terdengar suara azan. Kembali mata kuarahkan pada anak-anak yang tengah bermain air. Senang rasanya melihat bagaimana mereka melewati hari. Setiap pukul 11.00 pagi atau pukul 12.00, mereka sudah pulang dari sekolah. Setelah makan siang, mereka akan langsung ke sungai atau ke hutan untuk bermain. Mereka kelihatan sangat riang bermain air di sungai. Sesekali berenang, menyelam, dan berkejar-kejaran. Kelihatan sangat gembira. Tak ada raut muram di wajah mereka, meskipun harus hidup dengan banyak keterbatasan. Mereka hidup jauh dari kota, tanpa listrik untuk penerangan, tanpa sinyal untuk berkomunikasi, dan tanpa guru mengaji. Tak ada gurat kesedihan walaupun mereka hanya punya dua guru dan belajar di sekolah sederhana. Sekolah di atas bukit.
53
Finding Pongo Edy Sudiono & Purnomo
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Semua berawal dari sebuah buku tua peninggalan Belanda. Buku langka ini menceritakan keberadaan orangutan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Buku ini berisi tentang habitat si Pongo yang dapat ditemukan di Sungai Kayan, tepatnya di anak Sungai Kayan. Kisah yang terdapat dalam buku langka ini menarik perhatian The Nature Conservancy (TNC) yang memiliki program pelestarian habitat orangutan. Satu tim kecil yang beranggotakan enam orang anggota TNC, ditambah dengan dua orang masyarakat lokal ditugaskan untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut. Perjalanan menuju Kabupaten Malinau, ditempuh dengan kendaraan darat ke arah timur melalui Kecamatan Muara Wahau. Setelah berjalan berjam-jam, menyusuri sela-sela kebun sawit, melewati jalan hutan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), menembus hutan liar, dan mengikuti jejak pencari gaharu, akhirnya tim terdampar di tepi Sungai Telan. Delapan orang anggota tim duduk di tepi sungai sembari mengatur napas yang terengah-engah, setelah beberapa menit sebelumnya mengeluarkan banyak tenaga, menuruni hutan. “Kamu muntah?” tanya Edy Sudiono. Edy yang biasa dipanggil Pakde bertanya kepada Purnomo yang sering menjelajah hutan. Namun, dalam perjalanan kali ini, si pejelajah hutan justru menjadi orang pertama yang mengeluarkan isi perut. “Medannya bukan main,” jawab Purnomo singkat.
55
Sekolah di Atas Bukit
“Kalau kamu yang berpengalaman saja muntah, apalagi saya yang jarang menjelajah hutan,” ucap Edy sambil mengingat kembali bagaimana kakinya gemetar saat menuruni hutan. “Kabel itu untuk apa, ya?” tanya Edy tiba-tiba. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah kabel yang membentang melintasi sungai. “Itu mungkin untuk mengangkut tas. Tas kita kan banyak, jadi diangkut pakai kereta kayu itu ke seberang. Sedangkan kita lewat bawah,” jawab Purnomo. “Hei… kenapa kalian naik ke situ?” teriak Edy saat melihat salah seorang anggota timnya menaiki kereta kayu yang tergantung pada kabel, sementara di sisi lain, dua orang lainnya memegangi kereta agar tidak bergoyang. “Ke seberang! Aaahhh…” jawab anggota tim sesaat sebelum meluncur ke seberang sungai. Tak berapa lama, kereta pun tiba ke seberang. Dengan lincahnya si penumpang melompat turun sebelum kereta menghantam ban yang dipasang pada batu besar untuk menahan benturan kereta. “Ayo…! Nanti saya bantu memegangi kereta supaya kalian tidak perlu melompat,” teriak anggota tim yang telah sampai di seberang dengan senyum kemenangan. Satu per satu anggota tim mulai menaiki kereta dan menyeberang. “Bagaimana, Pakde?” tanya Purnomo. Dia melihat Edy sedang bimbang. Sesekali matanya melirik ke arah mobil yang terparkir di atas bukit. “Sampeyan mau ikut ke seberang atau kembali? Tetapi jika kembali artinya kita harus mendaki ke atas lagi, lho!” lanjut Purnomo. “Ah, ayolah, coba aja! Saya naik dulu, ya,” ucap Edy sambil melangkah mendekati kereta gantung. Kereta pun dengan sukses membawa Edy ke 56
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
seberang. Tak lama Purnomo pun menyusul, meskipun harus kembali lagi karena Edy lupa memegangi keretanya. Setelah semua anggota tim berhasil menyeberang. Mereka naik ke sempadan sungai dan mulai mengangkut tas-tas logistik. Semakin jauh berjalan, tas yang berisi logistik untuk 20 hari terasa semakin berat di pundak. Semakin jauh kaki melangkah, semakin banyak makanan kaleng yang mereka buang untuk mengurangi beban. Akhirnya, sampailah tim ke pondok-pondok para pencari gaharu. Di pondok inilah mereka menumpang untuk melewati malam, sembari mendiskusikan rencana perjalanan selanjutnya.
Perjalanan menuju Kabupaten Malinau masih jauh. Tim berharap bisa melanjutkan perjalanan menggunakan mobil Hiland yang ada di kamp pencari gaharu. Tiga mobil Hiland itu memang biasa melayani pencari gaharu dan mengangkut bahan makanan untuk Desa Long Pipa dan Long Suli yang berada di balik Gunung Bagong. Dua mobil telah disewa, dan tak ada kejelasan kapan tim dapat melanjutkan perjalanan. Anggota tim pun menghabiskan waktu dengan memasak dan memancing. Dua hari berlalu, mobil yang ditunggu pun akhirnya datang. Matahari baru saja terbit saat satu per satu tas mulai diatur di dalam mobil. Anggota tim telah siap melanjutkan perjalanan.
57
Sekolah di Atas Bukit
“Kenapa, Pakde?” tanya Purnomo. Dia melihat Edy tersenyum memperhatikan mobil yang mereka sewa Rp3 juta per mobil. “Namanya saja Hiland. Tapi kaca pintunya dari plywood dan tempat duduknya dari kayu!” jawab Edy. Jawaban itu disambut gelak tawa dari anggota tim yang mulai duduk di dalam mobil. Bukan hanya penampakan mobil yang luar biasa. Setelah berjalan beberapa kilometer, tim baru sadar bahwa kendaraan yang mereka sewa itu hanya memiliki dua gigi persneling. Sang sopir hanya perlu bolak-balik memindahkan dari gigi satu ke gigi dua. Begitu seterusnya. Setelah berjalan hampir 12 kilometer, mobil terpaksa berhenti gara-gara jembatan yang akan dilalui putus. Semua yang duduk di dalam mobil berhamburan keluar dan meraih kapak dan mandau yang dibawa untuk menebang pohon untuk dijadikan jembatan. Tak perlu waktu lama, jembatan yang hanya selebar satu mobil Hiland selesai disambung, dan siap untuk dilalui. Sebelum masuk ke mobil, Edy mengarahkan pandangannya ke sungai yang mengalir deras tepat di bawah jembatan. Hatinya kecut melihat sungai yang sangat dalam dan dipenuhi batu-batu besar. Dalam bayangannya, sungai yang mengerikan itu siap melahapnya jika ban mobil selip atau jembatan yang dilalui tak cukup kuat menahan beban mobil. Bayangan mengerikan itu membuatnya urung ikut masuk ke mobil. Lebih baik berjalan kaki, pikirnya. Tetapi dia malu mengakui ketakutannya kepada rekan-rekannya. Alasan apa yang bisa dipakainya? Tiba-tiba dia menemukan ide. Dia berjalan mendekati Purnomo dan berbisik, “Pur, saya mau memotret. Kalau kamu mau ikut saya ayo, 58
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
tetapi kalau kamu mau ikut mobil silakan.” “Saya ikut sampeyan saja,” potong Purnomo cepat. “Pak, saya jalan duluan ya, biar bisa memotret mobil saat lewat jembatan,” teriak Edy kepada sopir Hiland. Bergegas dia mengambil kamera lalu bersama Purnomo berjalan menuju jembatan. Di seberang sungai dia mengambil posisi untuk memotret ketiga mobil yang berhasil lolos ke ujung jembatan. Perjalanan mereka hari ini sangat luar biasa. Jalan yang mereka lalui merupakan bekas jalan logging yang telah bertahun-tahun tak terpakai. Ada saat mereka harus berhenti untuk membuat jalan baru di tengah hutan karena jalan utama terputus. Mereka juga harus melewati sungai besar yang jika banjir datang, seluruh badan mobil akan tenggelam. Untuk kesekian kalinya, sepanjang perjalanan, Edy berganti profesi menjadi tukang foto. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 siang, saat mereka hampir mencapai puncak Gunung Bagong. Jalanan yang berselang-seling antara tanjakan dan turunan sangat berbahaya bagi mobil yang hanya memiliki dua gigi persneling. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti di ketinggian 2.010 meter di atas permukaan laut. Mereka mendirikan tenda dan mencoba melakukan survei di lokasi tersebut. Hanya saja, udara dingin yang menusuk tulang dan angin yang sangat kencang mengharuskan mereka untuk turun ke ketinggian 1.800 meter.
59
Sekolah di Atas Bukit
Hari ini Edy mendapat giliran menjaga tenda. Rekan-rekannya telah menghilang ke dalam hutan untuk memulai survei, selepas sarapan pagi tadi. Tugas Edy tidak hanya menjaga tenda, tetapi juga menyiapkan makanan. Tak butuh waktu lama untuk memasak makanan. Hari masih terlalu panjang. Tinggal sendirian menjaga tenda tanpa kegiatan lain, membuat Edy dihinggapi rasa bosan. Untuk mengurangi rasa bosan, dia melihat kondisi di sekitar tenda, sembari mencari sumber air. Setelah berkeliling, akhirnya dia menemukan tetesan air yang kemudian ditampungnya dalam sebuah bejana. Air itu dimasak sebagai persediaan air minum. Bolak-balik dia mengangkut bejana yang sudah penuh air, ke lokasi tenda, tempatnya memasak. Air yang telah masak dan mulai dingin dia masukkan ke botol kemasan, dan disimpannya di dalam tenda. Edy masih sibuk merebus air saat rekan-rekannya kembali dari hutan. “Apa yang kalian dapatkan?” tanyanya. “Kami tidak dapat apa-apa,” jawab Purnomo. “Tidak ada jejak binatang sama sekali?” “Tadi hanya ada lebah dan kami disengatnya. Ada air minum?” “Ada di tenda… air yang di sini belum dimasak.” “Pakde, ini sudah dimasak ya?” “Sudah… yang di tenda sudah dimasak semua,” jawab Edy tanpa memeriksa air di dalam tenda. “Masa, sih?” “Iya!” “Masa, sih?” 60
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Sudahlah diminum aja,” sahut Edy sambil tetap sibuk mengipasi api agar tidak padam. “Mungkin karena dimasak di tempat yang dingin, binatangnya tidak mati, ya?” “Bisa jadi.” “Berarti kalau air berisi kecebong jika dimasak kecebong tidak mati, ya?” “Ya matilah!” “Lah, ini kecebongnya kok masih hidup!?” sahut Purnomo. Jawaban Purnomo itu disambut gelak tawa anggota tim yang lain yang tengah melepas lelah. Dua hari berada di lokasi, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orangutan yang mereka cari. Malam itu, tim memutuskan untuk menuruni gunung, dan mendatangi Desa Long Pipa dan Long Suli pada keesokan harinya. Pagi, keesokan harinya, udara sangat dingin menggigit pori-pori kulit. Kabut masih tebal, menghalangi pandangan. Namun, alam yang kurang bersahabat tidak menghentikan niat tim untuk menuruni gunung. Tak berapa lama mereka berjalan, salah seorang anggota tim yang berjalan paling depan tiba-tiba berseru penuh takjub. “Ada apa?” tanya Edy dan anggota tim lainnya. “Itu!” jawab anggota tim tersebut sambil menunjuk ke satu arah. “Wah… cantik sekali!” seru mereka penuh takjub. Di hadapan mereka terlihat hamparan lahan yang luas dipenuhi dengan
61
Sekolah di Atas Bukit
Anggrek tanah berbagai warna. Anggrek-anggrek itu tumbuh subur di ketinggian dengan udara gunung yang dingin berkabut. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan di antara tajuk-tajuk pohon. Bunga kantung semar pemakan serangga tumbuh di sepanjang jalan. Cokelat, hijau, kuning… beraneka warna. Sangat indah. Mereka
terus
berjalan
melewati
kamp-kamp
pencari
gaharu.
Perjalanan menuju desa kemudian dilanjutkan melalui sungai dengan menggunakan ketinting. Di atas ketinting, Edy merebahkan badan sembari menikmati bunga-bunga anggrek yang bergelantungan di dahan pohon yang menjulur di atas sungai. Air sungai yang sangat jernih membuat ikan-ikan yang berenang di sekitar ketinting dapat dilihat dengan jelas. Indahnya! Tidak berapa lama, mereka pun tiba di desa tujuan. Rombongan anak yang membawa tombak menuju sungai menyambut kedatangan mereka. Setelah menurunkan semua barang dari ketinting, tim langsung menuju ke salah satu rumah masyarakat. Di rumah itu, mereka dipersilakan mandi dan disuguhi makan. “Wah… ikannya besar-besar, ya. Dari mana asalnya?” tanya Edy saat melihat suguhan ikan di meja. “Tadi anak-anak ke sungai menangkap ikan dengan tombak, Pak,” ucap si empunya rumah. “Anak-anak yang tadi itu? Wah, cepat sekali menangkap ikannya,” ucap
62
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Edy. “Saat alam masih bagus, semua kebutuhan kita bisa dipenuhi dari alam dengan mudah dan cepat, ya,” lanjutnya. Di Desa Long Pipa dan Long Suli, tim TNC berdiskusi dengan masyarakat. Mereka berusaha mendapatkan informasi keberadaan habitat orangutan dengan menggunakan metode sosial. Dari masyarakat, tim mendapatkan informasi bahwa masyarakat tidak pernah bertemu orangutan. Informasi ini diperkuat dengan tidak ditemukannya tandatanda habitat orangutan saat mereka melakukan survei di daerah itu.
Tidak ditemukan habitat orangutan. Itulah kesimpulan akhir yang diambil oleh tim. Kesimpulan itu membuat tim memutuskan untuk pulang, dan meninggalkan Desa Long Pipa dan Long Suli dengan ketinting. Di pinggir sungai, tim mendirikan tenda dan menunggu mobil Hiland yang akan menjemput mereka keesokan harinya. Tetapi sampai keesokan harinya, mobil yang ditunggu tidak juga muncul. Akhirnya tim memanfaatkan waktu dengan masuk hutan untuk melakukan survei lanjutan. Dua hari sudah berlalu tetapi mobil yang akan menjemput mereka tidak kunjung datang. Persediaan logistik sudah menipis sementara mereka tidak memiliki alat untuk menangkap ikan. “Bagaimana ini? Tanpa logistik, kita tidak mungkin bisa bertahan di sini,” tanya Edy. 63
Sekolah di Atas Bukit
“Tetapi kita juga tidak mungkin kuat berjalan jauh dengan kondisi seperti ini,” sahut Purnomo. “Apa saja yang masih kita miliki?” “Hanya ada sedikit beras, bumbu pecel, santan instan, dan minyak makan,” jawab salah seorang anggota tim setelah memeriksa persediaan logistik mereka. “Kita makan apa?” “Pakis!” sahut anggota tim lainnya. Memang di sepanjang pinggiran sungai, tumbuh pakis yang gemukgemuk yang pasti nikmat dimasak sayur oseng-oseng. Jadilah pakis ini sebagai lauk dan sayur mereka. Sedapnya bukan main! Hari itu mereka makan dengan sangat lahap. Rasanya nikmat sekali memakan oseng-oseng atau pecel pakis. Tetapi setelah tiga hari berlalu, rasa bosan mulai muncul. Akhirnya menu pun digilir bergantian meskipun bahannya tetap pakis. Pagi hari menunya oseng-oseng pakis. Siang hari berganti menu pecel pakis. Sedangkan malam harinya sayur pakis santan. Pakis berjasa membuat semua anggota tim bertahan berhari-hari menunggu mobil jemputan. Perjalanan kali ini sangat melelahkan, berbahaya, tetapi juga mengesankan. Meskipun, tak menemukan fakta seperti yang disebutsebut dalam buku tua, tim pulang dengan membawa sekotak kenangan. Kenangan tentang cerita perjalanan mencari Pongo, penghuni Sungai Kayan.
64
Di Penggalan Surga, Rerindang Hutan Menyapa Laut Ahmad Sahri, Anisa Budiayu & Frisnar Paysal
Sekolah di Atas Bukit
Tak banyak yang tahu jika surga dapat ditemukan di bumi ini. Jaraknya pun tak jauh. Bukan di Eropa, bukan di Australia, atau di negara tetangga Thailand. Tapi di negara kita sendiri. Surga ini berada di Kecamatan Biduk-biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tak kalah dengan pemandangan bawah laut Kepulauan Derawan yang sudah terkenal hingga ke mancanegara, Teluk Sulaiman dan Labuan Cermin serta beberapa spot lainnya di Biduk-Biduk memiliki keindahan alam yang sangat memesona. “Penggalan Surga”. Demikian Achmad Sahri, Koordinator Konservasi untuk Program Kelautan Berau di The Nature Conservancy (TNC), mengekspresikan kekagumannya pada keindahan alam Sigending di Teluk Sulaiman. Berada di pesisir selatan Berau, Biduk-Biduk dapat dicapai melalui jalan darat selama enam jam dari Tanjung Redeb, dilanjutkan dengan kapal klotok bila ingin mencapai Sigending di Teluk Sulaiman. Saat tiba di Teluk Sulaiman, mata langsung terfokus pada dermaga kayunya yang menjorok ke laut dengan kapal-kapal yang merapat di kanan-kirinya. Pantainya terlihat berwarna hijau dan berubah membiru saat mendekati laut. Pasir putih terhampar bagaikan bubuk merica menyelimuti sepanjang bibir pantai yang menambah eksotisme Teluk Sulaiman. Burung-burung camar tampak terbang bermain-main di atas permukaan laut. Barisan pohon kelapa menjulang memagari garis pantai, terayunayun mengikuti embusan angin. Menyongsong senja, para nelayan bergegas membawa jala untuk menjaring ikan. Duduk di bibir pantai 66
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
menyaksikan kesibukan nelayan kemudian menunggu matahari sedikit demi sedikit tenggelam di ufuk Teluk Sulaiman membuat waktu seolah-olah melambat. Alam di Sigending tak kalah indahnya. Sejauh mata memandang, bukan hanya pantainya yang biru dan amat jernih namun juga biota-biota laut dan terumbu karangnya bisa terlihat. Gunung kapur dan hutannya yang lebat sangat memanjakan mata. Hutan dengan vegetasi yang bervariasi dan penuh warna-warni, bakaunya yang hampir tak terjamah, tua, besar dan sangat rapat. Hutan ini menjadi habitat berbagai spesies hewan. Ratusan jenis burung dan bahkan bekantan sesekali bisa terlihat bergelantungan di dahan-dahan pohon. Sungguh sangat indah dan asri. Jarang ditemukan ekosistem yang komplet dalam satu wilayah. Tetapi di Sigending, sebuah rangkaian ekosistem yang lengkap bisa ditemukan. Dari ketinggian terdapat ekosistem hutan dataran rendah, yang dipenuhi dengan pohon-pohon meranti dan vegetasi campuran lainnya yang tumbuh menjulang di atas bebatuan kapur. Lalu menurun dengan curam menuju daratan yang lebih rendah tempat ekosistem hutan bakau terbentuk. Turun lebih rendah lagi ke ekosistem lamun, dan semakin menurun hingga ke bawah permukaan laut untuk mencapai ekosistem terumbu karang. Sungguh sebuah rangkaian ekosistem yang lengkap tak terputus yang bernilai konservasi tinggi. From ridge to reef. Dari bukit hingga ke terumbu karang. Konsep konservasi yang banyak dikembangkan di negara-negara kepulauan Pasifik ini akan sangat tepat bila diterapkan di Sigending untuk 67
Sekolah di Atas Bukit
melindungi kelestariannya sebelum perusahaan-perusahaan semen datang mengeruk habis gunung-gunung kapurnya. Sebelum Sigending rusak tak bersisa.
Bila sepenggal surga berada di Sigending, maka serpihannya terlempar ke Labuan Cermin. Kawasan Danau Labuan Cermin ini dapat dicapai dalam waktu 15 – 20 menit dengan menggunakan kapal dari dermaga di Kampung Biduk-Biduk. Begitu tiba di danau ini, mata akan disuguhi pemandangan alam yang sangat indah, sejuk, dan asri. Sesuai dengan namanya, air danau ini berkilau bagai cermin raksasa yang tertimpa sinar matahari. Bayangan wajah bahkan terlihat sangat jelas saat bercermin di atas permukaan air. Airnya yang sangat jernih dengan gradasi warna biru, hijau, dan putih membuat dasarnya bisa terlihat dari atas kapal. Aneka jenis ikan dan biota danau lainnya terlihat kasatmata. Bila beruntung, penyu, hewan kebanggaan Berau, dapat ditemui berenang bebas mencari makan di sekitar hutan bakau yang tumbuh di sisi kiri dan kanan danau. Danau Labuan Cermin sesungguhnya sebuah teluk kecil yang terhubung dengan laut. Di teluk kecil ini terjadi pertemuan antara air asin dari laut dengan air tawar dari sumber mata air. Biasanya, bila air laut bertemu dengan air tawar seperti yang umumnya terjadi di muara akan bercampur menjadi air payau. Tapi tidak dengan air di Labuan Cermin. Air laut dan air tawar bertemu tetapi tidak menyatu sehingga
68
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
airnya memiliki dua rasa, tawar dan asin. Inilah yang menjadikan danau ini sangat unik dan terkenal dengan nama Danau Dua Rasa. Keberadaan hutan yang sangat lebat di Kampung Biduk-Biduk dan sekitar Labuan Cermin menghasilkan mata air yang cukup banyak dengan volume air yang sangat melimpah. Volume air tawar yang besar inilah yang menyebabkannya air tawar terpisah dengan air asin dari laut. Air tawar memiliki massa jenis yang lebih ringan sehingga berada di permukaan danau sedangkan air asin berada di lapisan bawah karena massa jenisnya yang lebih berat. Berada di Labuan Cermin tidak akan lengkap tanpa diving, snorkeling, berenang, atau sekadar bermain air yang jernih dan segar sambil menikmati biota air yang beraneka ragam. Menyelam di Labuan Cermin menjadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Dua lapisan air yang berbeda memberikan sensasi menyelam yang tak akan kita rasakan bila menyelam di spot-spot penyelaman lainnya. “Masyarakat di Biduk-Biduk tidak boleh menganggap keberadaan Labuan Cermin sebagai sesuatu yang biasa. Mereka punya sesuatu yang berharga. They should not take it for granted. Tetapi harus dijaga!” Begitu pernyataan Anisa Budiayu, Koordinator Ahli Penjangkauan dan Pendampingan untuk Program Kelautan TNC Berau. Imbauan ini sangat penting mengingat Kawasan Labuan Cermin memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Di kawasan yang luasnya mencapai 51 hektar dengan pulau-pulau kecil dan kawasan hutan 69
Sekolah di Atas Bukit
bakaunya ini, terdapat kurang lebih 165 jenis tumbuhan yang beberapa di antaranya merupakan tumbuhan endemik Kalimantan. Berbagai jenis mamalia dan burung yang dilindungi oleh negara serta satwasatwa lain yang masuk dalam daftar merah IUCN (Internatioanal Union for Conservation of Nature) dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) juga menjadikan Labuan Cermin sebagai habitatnya. Selain itu, kawasan ini merupakan sumber mata air penting bagi masyarakat di Kampung Biduk-Biduk, Kampung Giring-Giring, dan Kampung Pantai Harapan. Kawasan Labuan Cermin dengan keunikan air danaunya yang dua rasa ini hanya bisa terjaga bila masyarakat Biduk-Biduk mempertahankan kawasan hutannya. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit atau untuk kegiatan yang lain tanpa mempertimbangkan jarak penyangga yang cukup untuk mengamankan sumber air Labuan Cermin harus dihindari. Usaha ini akan sangat sulit bila hanya dilakukan oleh TNC. Berkat kerja keras dari masyarakat khususnya Lembaga Kesejahteraan Masyarakat
Labuan
Cermin
(LEKMALAMIN),
pemerintah
Kabupaten Berau, dan TNC, kawasan Labuan Cermin seluas 2.000 hektar akhirnya ditetapkan sebagai kawasan lindung dan wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Bupati Berau Nomor 290 Tahun 2013. Surat Keputusan inilah yang menjadi landasan hukum dalam menjaga dan melindungi kawasan hutan di sekitar Labuan Cermin yang secara otomatis melindungi keberadaan Danau Labuan Cermin agar tak hilang dan tinggal cerita saja.
70
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Sigending dan Labuan Cermin hanyalah dua surga di antara sekian banyak surga lainnya di sepanjang pesisir dan perairan Berau yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Upaya konservasi kawasan pesisir dan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi ini dilakukan oleh TNC dengan berusaha memasukkannya dalam zona perlindungan dan ekowisata pada zonasi Taman Pesisir Kepulauan Derawan (TPKD). Jauh sebelum terbentuknya Kawasan Konservasi Wakatobi dan Raja Ampat, Kabupaten Berau menjadi penggagas konservasi laut pertama di Indonesia dengan memulai pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah Berau (KKLD Berau). Kawasan seluas 1,2 juta hektar ini juga telah dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bupati Berau Nomor 31 Tahun 2005. Namun terbitnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendorong pengkajian ulang KKLD Berau ini. Menurut undang-undang tersebut, ruang laut Berau tidak bisa diblok secara keseluruhan untuk kawasan konservasi tetapi harus dibagi-bagi untuk penggunaan lainnya seperti kawasan pemanfaatan, arus laut, dan kawasan strategis nasional tertentu. Pemanfaatan ruang laut ini tentunya harus tetap mempertimbangkan kawasan bernilai konservasi tinggi, terlebih perairan Berau merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) dan jalur lintas spesies penting seperti penyu dan manta.
71
Sekolah di Atas Bukit
Pengkajian ulang KKLD Berau ini menghasilkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang mencakup Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Kawasan Konservasi Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). RZWP3K ini kemudian menjadi dasar pembagian ruang laut Berau dan perlindungan sumber daya alam pesisir dan laut Berau. Sejak tiga tahun terakhir, Program Kelautan TNC berjuang keras mendetailkan kawasan konservasi yang ada dalam RZWP3K dengan mengusulkan Taman Pesisir Kepulauan Derawan (TPKD) sebagai KKP3K di kawasan Kepulauan Derawan. Frisnar Paysal, salah seorang staf di Program Kelautan TNC Berau mengungkapkan bahwa fokus kerja Program Kelautan TNC Berau saat ini adalah mengumpulkan data-data dari lapangan untuk melengkapi syarat-syarat penetapan TPKD di Kementerian. Dengan dukungan pemerintah Kabupaten Berau khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan NGO-NGO lokal seperti JALA maupun LEKMALAMIN, TNC sangat optimis TPKD dapat terwujud. TPKD sangat penting dalam upaya mengelola, melindungi, dan menjaga kelestarian sumber daya alam pesisir dan laut di kawasan Kepulauan Derawan. Dengan TPKD, diharapkan potensi kawasan Kepulauan Derawan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan TPKD, generasi-generasi selanjutnya masih bisa menyaksikan bagaimana hutan menyapa laut di Sigending atau merasakan indahnya surga-surga di pesisir Berau tanpa perlu menunggu ajal menjemput terlebih dahulu. 72
Pesan yang Terbawa Angin Sudiyanto & Purnomo
Sekolah di Atas Bukit
Sang surya perlahan tergelincir ke barat. Sinarnya yang mulai redup membias di sela-sela pepohonan di kawasan hutan lindung Wehea. Suara binatang malam mulai terdengar riuh, bersahutan bagai grup akapela yang tengah mengalunkan nada-nada harmonis. Tiba-tiba saja kemerduan nyanyian alam dirusak oleh jeritan yang berasal dari sebuah tenda di pinggir sungai. “Suuugggiii…!!! Oh my god… this is very hot!” teriak Ann dari dalam tenda. Diraihnya sebotol air minum dan diteguknya dengan tergesa, berharap dapat menghilangkan rasa pedas yang membakar indra pengecapnya. Sesekali Ann tampak menjulurkan lidah, mengusir rasa pedas. Wajahnya memerah. Pori-pori wajahnya mengeluarkan butiran keringat yang sepertinya telah menganak sungai. “Oh… c’mon, Ann. It’s not hot at all,” sahut Chris yang terlihat sangat menikmati makanannya. “Phiufhh… fuhh… fuhh….” Seperti tak menghiraukan Chris, Ann terus mengibas-ngibaskan tangan ke arah mulutnya. “This is so delicious, actually.” Chris mengucap sembari terus asyik menyendok makanannya. “It seems Sugi has a talent in cooking. It’s better to ask him to cook every day.” “No… this is hot… very hot. I think my tongue is burnt. Try it yourself!” Jawab Ann yang berusaha menghabiskan makanannya. “Why should I? I have mine and it’s not hot. I don’t think it will be different with 74
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
yours,” sahut Chris yang telah menandaskan makanannya. “Better you finish it, otherwise Sugi will cross with you,” tambah Chris. “I will… I will… okay!”
Mendampingi tamu, terutama peneliti-peneliti asing bukanlah hal mudah bagi Sudiyanto—staf The Nature Conservancy (TNC)—yang lebih sering dipanggil dengan Sugi. Kendala komunikasi menjadi masalah utama. Kemampuan Bahasa Inggris yang minim membuat Sugi harus berusaha keras memahami apa yang diinginkan para peneliti ini. Dan kemarin… dia diberitahu bahwa pagi ini dia dan Purnomo harus mendampingi dua orang peneliti dari Amerika Serikat ke kawasan Hutan Lindung Wehea. Dipandanginya kedua peneliti yang sedang berbincang dengan Anisa—staf TNC yang lain—sambil berharap semoga mereka fasih berbahasa Indonesia. Sugi beranjak mendekati Purnomo yang sedang sibuk mempersiapkan logistik yang lumayan banyak. Sebulan penuh mereka akan tinggal di lokasi, menemani para peneliti asal negeri Paman Sam itu. “Pur, sampeyan sudah berkenalan dengan mereka?” tanya Sugi. “Belum. Kenapa?” jawab Purnomo balik bertanya. “Kirain sudah. Mereka bisa bahasa Indonesia nggak, ya?” “Kata Hasni, nggak. Mereka baru pertama kali ke Indonesia. Mereka akan survei jejak binatang.” 75
Sekolah di Atas Bukit
“Waduh… kita pakai bahasa isyarat lagi,” sahut Sugi. Digaruk-garuknya kepalanya yang pastinya sama sekali tak gatal. Dia pun mulai membantu Purnomo untuk mempersiapkan bekal yang harus dibawa. “Nanti di Wehea kita juga harus survei keanekaragaman hayati lho, Gi,” ucap Purnomo. “Iya, kemarin sudah diberitahu. Tapi…” Ucapan Sugi terpotong saat melihat Anisa mendekat diikuti tamunya. “Ann… Chris… this is Sugi and Pur. Both of them will accompany you to the site. They will also stay there for biodiversity survey,” tutur Anisa. Perkenalan Anisa itu langsung diikuti oleh Ann dan Chris dengan sapaan “Hello” sembari mengangsurkan tangan untuk berjabatan tangan. Keduanya mengucapkan beberapa kalimat Bahasa Inggris yang keseluruhan maknanya tak bisa dipahami oleh Sugi. Sugi melirik ke arah Purnomo untuk mengetahui apakah dia mengerti apa yang Ann dan Chris ucapkan. Namun, dari senyum kecut yang menghias raut wajah Purnomo, Sugi langsung tahu jika Pur pun senasib dengannya. Sugi sudah langsung membayangkan keruwetan berkomunikasi dengan Ann dan Chris selama perjalanan ke Wehea. Dibayangkannya Ann dan Chris yang akan terus-menerus berkomunikasi dengan bahasa Inggris, sementara dia hanya mampu menjawab dengan bahasa Inggris yang berlepotan. Perjalanan menuju Wehea memang belum dimulai. Ironisnya, Sugi sudah merasakan betapa lama perjalanan ke sana. Dalam hati Sugi berdoa, Semoga tidak ada miskomunikasi dengan mereka. 76
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Pada hari kedua Sugi dan Purnomo menemani Ann dan Chris di Wehea, mereka sudah memiliki jadwal rutin yang akan dilakukan setiap hari. Setiap pukul 09.00 pagi, Ann dan Chris berangkat melakukan survei jejak, dan kembali lagi pukul 05.00 sore. Sedangkan Sugi dan Purnomo selalu memulai survei keanekaragaman hayati setiap pukul 03.00 sore, dan kembali ke tenda pukul 02.00 atau 03.00 dini hari. Hari ini pun tak berbeda, Ann dan Chris sudah berada di hutan melakukan survei sejak beberapa jam yang lalu. Sugi yang masih memiliki waktu luang hingga sore hari mendapatkan tugas memasak untuk makan malam. Beberapa pakis telah dia persiapkan sebagai bahan sayur oseng-oseng. Sejak kemarin dia sudah tergiur melihat pakis-pakis yang tumbuh subur di pinggiran sungai. Pasti sangat sedap bila dioseng-oseng. Akan maknyus jika diberi cabai... wuihh. Begitulah pikir Sugi kemarin. “Sampeyan mau masak apa?” tanya Purnomo yang baru kembali dari sungai. “Oseng-oseng pakis,” jawab Sugi yang asyik menghaluskan cabai. “Orang bule nggak bisa makan pedas lho, Gi!” ucap Purnomo memperingatkan saat melihat Sugi menggunakan begitu banyak cabai. “Iya, Pur… ini saya mau bikin dua, satu pakai cabai… satunya tidak pakai cabai,” sahut Sugi tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan yang minyaknya mulai panas. satu demi satu bahan-bahan untuk masakan oseng-osengnya dia masukkan ke dalam wajan.
77
Sekolah di Atas Bukit
Tak memerlukan waktu lama, Sugi telah menyiapkan oseng-oseng pakis dalam dua wadah. Sambil menunggu masakan tersebut dingin, Sugi mengambil kertas dan pulpen untuk menulis pesan buat Ann dan Chris. “Pur, pesannya apa yah yang bagus?” tanya Sugi. “Hmmm… tulis saja begini, ‘Silakan makan. Sayur ini tidak ada cabainya’. Untuk yang lainnya tulislah, ‘Sayur ini jangan dimakan karena pedas. Ada cabainya’.” “Iya, maksud saya… bahasa Inggrisnya bagaimana?” “Tulis yang kamu tahu sajalah, Gi. Campur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Ann kan punya kamus. Nanti dia cari sendiri artinya.” “Oke!” jawab Sugi singkat lalu mulai menulis. Kedua wadah sayur tersebut dia tutup lalu meletakkan pesan yang telah dia tulis di atasnya. “Beres… satu buat Ann dan Chris, satu buat kita. Pulang dari survei nanti malam kita tidak perlu repot-repot. Mereka bisa langsung makan.” “Ayolah kita siap-siap, sudah hampir jam tiga ini,” sahut Purnomo. “Iya, sebentar.”
Jam tangan Sugi sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari saat dia dan Purnomo kembali ke tenda. Perut mereka berdua sedari tadi telah protes karena belum diisi makanan sejak sore. Sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya Sugi membayangkan oseng-oseng pakis yang dimasaknya. Lapar saat udara dingin begini, pasti nikmat sekali makan yang pedas-pedas. 78
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Di satu sisi tenda, Sugi melihat Ann dan Chris sudah pulas di dalam kantung tidurnya. Perlahan Sugi dan Purnomo meletakkan tas bawaan di pojok tenda, berusaha tak mengeluarkan suara agar kedua peneliti tersebut tidak terbangun. “Pur, oseng-oseng pakisnya habis!” ucap Sugi lirih sambil menunjuk wadah bekas sayuran yang kini kosong. “Dua-duanya?” “Iya.” “Wah… nggak makan malam kita, nih,” sahut Purnomo. “Sugi…” ucap Ann yang terbangun mendengar suara kami. “Why the veggies’ so hot?” “What?” tanya Sugi berusaha memahami apa yang Ann katakan. Ann meraih kamus kecilnya lalu berusaha mencari kata yang ingin dia ucapkan dalam bahasa Indonesia. “Men-gga-pa itu sa-hyur pe-dhas?” tanya Ann terbata-bata. “You… read this?” tanya Sugi sambil memungut pesan yang siang tadi dia tulis. “I put this on…” lanjut Sugi dengan isyarat tangan memperagakan bagaimana dia meletakkan pesan di atas penutup wadah sayur. “This… not hot for you and Chris. This… hot for me and Pur.” “Oh… no, it’s felt down. I didn’t see it! I thought… one for each of us, so we ate them all. I am really sorry! Now you don’t have anything for dinner, do you?” “It’s okay, Ann… no problem!” ucap Sugi. Esoknya, kalimat ‘no problem’ Sugi kepada Ann tidak berlaku sama sekali. Seharian dia dan Chris tak melakukan survei. Ann mendapat sakit perut gara-gara sayur pedas yang dia makan. Dia hanya berbaring dan sesekali 79
Sekolah di Atas Bukit
bolak-balik ke belakang. “This is because Sugi made the veggies’ so hot,” ujarnya. “Wah, itu bukan salah saya. Saya sudah tulis pesan yang mana Anda boleh makan dan yang mana jangan Anda makan. Saya tidak tahu kalau pesan itu akan jatuh.” Sugi mengelak dengan bahasa Inggris yang berlepotan. “Okay, it’s not my fault or yours. Let’s blame the wind for it!”
80
Perayaan Kampung Long Duhung Siswandi
Sekolah di Atas Bukit
Long
Duhung merupakan kampung kecil di hulu Sungai Kelay,
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kampung yang asri dan indah. Wilayah ini diapit oleh anak Sungai Kelay yang berarus deras tetapi jernih, dan gunung dengan hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat kampung. Kesan itulah yang dirasakan oleh Siswandi delapan bulan lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di sana. Dia langsung jatuh hati. Siswandi masih ingat saat pertama kali tiba di Kampung Long Duhung dengan diantar mobil milik kantor The Nature Conservancy (TNC). Perjalanan yang cukup melelahkan. Butuh waktu tiga jam untuk mencapai rumah Pak Mathias, staf lokal TNC di Long Duhung. Saat tiba, dia mendapati masyarakat tengah bergotong royong membuat dapur umum. Tanpa sungkan, dia pun turut membantu. Rasa lelah yang mendera saat melakukan perjalanan darat tadi segera hilang. Di situlah dia berkenalan dan berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat dan kepala kampung. Kampung Long Duhung dihuni oleh 35 kepala keluarga Dayak Punan (Mabnan), yang terkenal sebagai pemburu dan peramu obat-obatan. Termasuk ahli meramu racun untuk berburu. Bagi suku Dayak ini, alam adalah segalanya. Alam adalah tempat berburu, berladang, bermain, dan berekreasi. Kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari alam, terutama hutan, mengharuskan mereka untuk melestarikan alam. Hal inilah yang membuat Siswandi berada di Long Duhung, untuk mendampingi masyarakat mengelola hutan, menjaga alam, dan di saat yang sama membantu mereka meningkatkan perekonomiannya. 82
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Untuk mengurangi ketergantungan pada hutan dan alam, masyarakat Long
Duhung
mendapat
bantuan
dan
pendampingan
dalam
pengembangan ekonomi dan kegiatan lainnya. Mereka diajak menanam karet, buah-buahan, dan tanaman kehutanan lainnya di lahan-lahan kritis, dan menanam sayuran, serta beternak ayam untuk kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Long Duhung juga sepakat mengikuti Program Karbon Hutan Berau (PKHB) dengan cara menjaga hutan mereka yang tersisa, mempertahankan dan memperbaiki kondisi hutan dan sumber daya alam lainnya. Dengan bantuan TNC, mereka melakukan pemetaan kawasan dan membuat peta tata guna lahan agar sumber daya alam mereka dapat terkelola dengan baik. Patroli-patroli pengawasan lingkungan digalakkan. Perladangan berpindah ditinggalkan dan perladangan gilir balik kembali diterapkan. Kearifan lokal yang menggunakan tujuh ladang yang ditanami dengan sistem rotasi setiap tahunnya. Kesepakatan masyarakat Long Duhung terlibat dalam PKHB inilah yang dirayakan dalam Perayaan Kampung Long Duhung. Perayaan yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat Long Duhung. Perayaan yang membuat masyarakat, termasuk Siswandi, begitu sibuk mempersiapkan semuanya agar acara yang akan dihadiri oleh Bupati Berau dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) nantinya berlangsung dengan sukses.
83
Sekolah di Atas Bukit
Beberapa hari sebelumnya masyarakat Long Duhung gelisah. Mereka mulai kehilangan kesabaran. Perayaan kampung yang direncanakan akan dilakukan di akhir bulan September diundur tanpa ada kepastian. Perayaan kampung telah diundur sebanyak empat kali tanpa ada tandatanda perayaan akan dilaksanakan dalam waktu dekat. “Wah, bagaimana ini… kapan perayaannya?” tanya Pak Misak Lungui, Kepala Kampung Long Duhung. “Ada apa dengan TNC? Selalu berubah-ubah dari tanggal 12, tanggal 13, kemudian diubah menjadi tanggal 3 Desember. Sekarang batal lagi,” lanjut Pak Misak. “Pak, keputusan mengundurkan perayaan bukan keputusan TNC. Ini keputusan Pak Bupati. Mungkin beliau ada kegiatan yang mendadak,” jawab Siswandi. “Perayaan pasti akan dilaksanakan, Pak. Kita cari waktu yang tepat saja,” lanjutnya. “Iya, tetapi kita ini sudah telanjur mengambil sagu,” jawab salah seorang warga. Ini sudah kali kedua mereka ke kampung lama di Sungai Melay untuk mengambil beberapa pohon sagu. Sagu-sagu ini akan mereka olah menjadi tunjip, makanan tradisional khas mereka. “Begini, Pak… biar saya ketemu Pak Camat dulu. Nanti saya pastikan perayaannya jadi atau tidak.” “Kita buat saja perayaan tanggal 3 Desember nanti. Tidak apa-apa kalau Pak Bupati tidak bisa hadir,” putus Pak Misak. “Iya, nanti saya beritahukan juga ke Pak Camat tentang keputusan ini. 84
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Semoga Pak Bupati dan para pejabat SKPD lainnya bisa tetap hadir.” “Kalau begitu, kita sepakat tetap merayakan pada tanggal 3?” tanya Pak Misak kepada warganya. Pertanyaan itu dijawab dengan teriakan, “Sepakat”. “Jadi ada beberapa hal yang tetap harus kita lakukan walaupun tamu yang kita harapkan belum tentu datang,” lanjut Pak Misak. “Seperti yang telah kita sepakati di rapat sebelumnya, kita semua akan membersihkan kampung, menyiapkan makanan, berlatih menari dan menyanyi, dan menyiapkan cendera mata yang bisa dibawa pulang oleh para tamu.” Semua warga sepakat. Tak seorang pun yang mengeluh karena harus melakukan pekerjaan tambahan. Tak ada gurat kesedihan, hanya raut kegembiraan di wajah mereka saat meninggalkan balai pertemuan.
30 November 2013. Wajah Kampung Long Duhung terlihat sangat bersih dan rapi siang ini. Sejak pagi, setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh gembala, masyarakat bergotong royong membersihkan kampung. Rumputrumput di kiri-kanan jalan dan di depan rumah dipotong. Halaman rumah dibersihkan dari sampah-sampah. Tentu saja, Siswandi kembali ikut melibatkan diri. Di balai pertemuan, beberapa orang warga berlatih menyanyi. Ada juga yang tengah berlatih menari dengan sungguh-sungguh. Mereka berlenggak-lenggok dengan gemulai diiringi alunan petikan sampek. Bagi orang awam, tentunya sangat sulit untuk menghasilkan alunan 85
Sekolah di Atas Bukit
nada yang merdu dari alat musik tradisional Dayak yang tidak memiliki tangga nada itu. Tapi tidak begitu halnya dengan dua orang warga yang mendapat tugas untuk bermain sampek. Kesepuluh jari-jari mereka tampak lincah bermain di atas senar-senar. Dalam tiga hari lagi, perayaan kampung akan dilaksanakan. Semoga semuanya berjalan lancar, desah Siswandi sambil tetap sibuk membuat bedengan-bedengan di halaman samping rumah Pak Mathias. Bedengan-bedengan kecil itu akan dia tanami bayam, terung, tomat, dan beberapa jenis sayuran lainnya. Masih banyak hal yang harus dilakukan. Menghubungi perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk memastikan jembatan yang rusak bisa dilalui bila ternyata Pak Bupati akan menghadiri perayaan. Menghubungi Pak Camat untuk mengetahui keputusan dari Pak Bupati. Itu berarti sebelum sore dia harus ke gunung untuk mencari sinyal telepon. “Pak, apakah ada rencana pergi ke kota?” tanya salah satu pemetik sampek yang telah berdiri di hadapan Siswandi tanpa dia sadari. “Mungkin besok pagi, Pak. Kenapa?” “Tali senar sampek saya putus. Boleh titip beli tali rem sepeda?” “Oh, untuk senar. Iya, boleh…,” jawab Siswandi.
Tanggal Dua. Besok. Tiga kata itu terus Siswandi ucapkan di dalam hati. Besok perayaan akan dilaksanakan dan akan dihadiri Pak Bupati. Begitu kata Pak Camat tadi. Bukan tanggal 3. Hari sudah mulai malam dan hanya 86
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
tersisa beberapa jam lagi. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Bagaimana ini… ahhh... jembatan yang rusak juga belum selesai diperbaiki. Artinya besok rombongan tamu akan mengambil jalan memutar untuk mencapai Long Duhung. Besok. Semoga warga bisa menyiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan makanan, tarian dan nyanyian penyambutan. Menyiapkan penanaman karet perdana di kebun Pak Ruben. Begitu banyak yang harus dipersiapkan hanya dalam hitungan jam. Rasanya seperti mau gila. Diliriknya Pak Rahman yang mengemudikan mobil dengan penuh konsentrasi. Perjalanan ke Long Duhung kali ini terasa begitu lama. Ketika mereka akhirnya sampai di kampung, Siswandi langsung berlari ke balai pertemuan tanpa menunggu Pak Rahman mematikan mobil. Informasi yang dia dapatkan harus segera disampaikan. Warga masih ramai di balai pertemuan. Berdiskusi, berlatih menari dan menyanyi, dan membuat serutan-serutan kayu. “Wah… sudah datang ternyata,” seru salah seorang warga menyambut kedatangan Siswandi. “Iya, Pak. Ini… ada informasi dari Pak Camat. Katanya perayaannya dipercepat. Besok. Pak Bupati dan para pejabat SKPD lainnya juga ikut,” ucap Siswandi tersengal. “Kita bisa, kan, Pak, mempersiapkan semuanya?” “Bisa. Lubang untuk penanaman karet kan sudah kita buat beberapa hari sebelumnya. Tinggal membersihkan dan menghias balai pertemuan
87
Sekolah di Atas Bukit
dan berlatih menyanyi dan menari saja. Memasak bisa kita lakukan besok pagi-pagi sekali,” jawab Pak Misak. “Oh, iya, ibu-ibu PKK dari kecamatan juga akan membantu menyiapkan makanan, Pak.” “Wah, baguslah. Pak Siswandi terlihat sangat lelah, istirahat saja dulu. Besok kan harus koordinasi lagi dengan yang di kota, harus naik gunung lagi,” ujar Pak Misak menyarankan. “Iya, Pak, terima kasih.” Siswandi menjawab seraya beranjak dari duduknya dan berjalan menuju rumah Pak Mathias. Setelah beristirahat sejenak, Siswandi kembali ke balai pertemuan. Warga masih tekun berlatih menari dan menyanyi. Pada hari-hari sebelumnya, terkadang dia ikut belajar menari, mencoba mengikuti gerakan para penari. Malam ini dia hanya menikmati merdunya suara beberapa warga yang berlatih menyanyi sambil membantu warga yang membuat serutanserutan kayu yang akan dipasang di pinggir-pinggir jalan.
2 Desember 2013. Perayaan Kampung Long Duhung. Hari yang telah lama ditunggu oleh masyarakat Long Duhung. Pagipagi buta, semua warga kampung mulai bersiap-siap. Para perempuan kampung berkumpul di tanah kosong di samping dapur umum. Mereka mulai menyiapkan sagu yang kemarin telah dipangkur dan akan diolah menjadi tunjip, penganan lokal campuran sagu dan bumbu berisi sayatan-sayatan daging ayam yang dibungkus lalu dibakar. Beberapa ibu yang lain juga mulai membakar ayam dan ikan hasil tangkapan warga dari sungai. 88
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Para lelaki pun tak kalah sibuknya. Mereka menghiasi balai pertemuan. Foto-foto kegiatan mereka sehari-hari dipajang di sekelilling balai. Tak lupa mereka juga menghiasi Pau Gu Peklai atau rumah belajar. Papan nama rumah belajar yang semalam diukir kini telah terpasang. Beberapa kerajinan seperti gelang-gelang, tas rotan yang biasa mereka bawa ke kebun, buku, dan beberapa botol kelenyit lejin yang terbuat dari campuran madu dan durian juga telah terpajang. Jam telah menunjukkan pukul 10.00 pagi saat semua persiapan perayaan telah selesai dilakukan. Kelompok penyanyi dan penari yang akan menyambut para tamu juga telah berpakaian dan berdandan. Makanan pun telah dihias dan disajikan di meja, menunggu untuk dinikmati. Tak lama berselang rombongan Bupati dan SKPD tiba di balai pertemuan setelah sebelumnya melakukan penanaman karet perdana di kebun Pak Ruben, pertanda dimulainya perayaan kampung. Rombongan langsung disambut dengan nyanyian dan tarian yang mengiringi langkah rombongan memasuki balai pertemuan Tna’ Henung. Sangat meriah. Sesekali terlihat Bapak Bupati dengan penuh senyum menyisipkan uang ke topi-topi para penari. Perayaan ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Ir. H. Ariffin yang merupakan Penasihat Dewan Pengarah PKHB dan mantan Rektor Universitas Mulawarman. Beliau menyampaikan pesan tentang betapa pentingnya fungsi hutan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia. Beliau juga mengimbau masyarakat Long Duhung 89
Sekolah di Atas Bukit
untuk bersama-sama menjaga hutan dan ekosistemnya, tidak menebang pohon sembarangan, dan mulai membiasakan menanam sayur-sayuran. Perayaan kampung memasuki acara puncak saat Bupati Berau menandatangani prasasti kesepakatan masyarakat Kampung Long Duhung untuk berkomitmen menjaga sumber daya alam dan hutannya. Seluruh warga bersuka cita menyambut hasil kesepakatan tersebut. Mereka berbaur dengan rombongan Bapak Bupati dan SKPD sembari menikmati hasil masakan ibu-ibu kampung dan ibu-ibu PKK kecamatan. Raut gembira terlihat jelas di wajah seluruh warga. Betapa tidak, kerja keras mereka sejak berbulan-bulan akhirnya membuahkan hasil. Mereka kini menjadi bagian dari PKHB. Program penting yang bukan hanya akan membawa kemajuan bagi kampung mereka tapi juga membuat mereka memiliki andil dalam mitigasi perubahan iklim.
90
Demo di Tengah Laut I Made Sudarsa
Sekolah di Atas Bukit
Berdemo atau berunjuk rasa di jalan-jalan protokol, bukan lagi hal yang aneh. Justru hal seperti itu sudah menjadi tradisi. Sekelompok massa melakukan aksi jalan bersama yang menyebabkan kemacetan dan biasanya berakhir ricuh sudah sering kita baca beritanya di korankoran. Sering kali, pengguna jalan yang tidak bersalah bahkan menjadi korban lemparan batu, kayu, atau benda-benda lain yang dilemparkan para demonstran. Bagaimana dengan demo yang dilakukan bukan di jalan tapi di tengah laut? Para pendemo tidak melempar batu, tapi membawa senjata tajam, sembari berteriak-teriak mengancam. Absurd? Mungkin. Tapi coba bayangkan jika itu memang terjadi, dan anda sedang berada di atas speedboat sementara teman-teman anda masih menyelam di bawah laut. Rasa hati ingin menancap gas, melarikan diri dengan speedboat tapi risikonya, teman-teman yang sedang menyelam akan tertinggal. Sementara jika ikut menceburkan diri ke laut, takut para pendemo akan merusak speedboat. Jadi, apa yang akan anda lakukan? Tidak setiap hari seseorang mendapatkan pengalaman pahit dan absurd. Tidak setiap hari pula seseorang diancam tanpa alasan jelas dengan menggunakan senjata tajam. Tetapi kejadian pada hari yang sangat cerah di bulan September 2012 itu adalah pengalaman yang absurd dan paling sial dalam hidup I Made Sudarsa. Pada hari itu, semua berjalan seperti biasa. Pak Made –panggilan akrab I Made Sudarsa– beraktivitas seperti biasa. Dia berangkat dari 92
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
rumah menuju kantor The Nature Conservancy (TNC) dan dermaga tempat speedboat ditambatkan. Setiba di sana, dia mengecek speedboat, peralatan dan logistik yang akan diperlukan selama mengantar tamu untuk menyelam. Di kantor dia ditugaskan mengantar beberapa orang donatur dari Jakarta untuk menyelam di sekitar Pulau Sangalaki. Mesin speedboat tipe Suzuki 4-tak telah dia panasi. Tak terdengar suarasuara aneh, pertanda mesin dalam kondisi siap. Beberapa galon bahan bakar minyak (BBM) sudah dia persiapkan, peralatan pemadam api, jaket pelampung, pelampung cincin, telepon satelit, dan beberapa peralatan lainnya juga sudah dia atur dengan rapi. Begitu pula dengan peralatan selam. Semua sudah siap digunakan. Pak Made hanya tinggal menunggu tamu-tamu yang akan dia bawa. Mengantar tamu atau rekan-rekannya di TNC untuk survei dan pemantauan di laut sudah biasa Pak Made lakukan. Biasanya empat kali dalam sebulan dia akan mengelilingi wilayah perairan Berau atau menyusuri pesisirnya, mulai dari Tanjung Batu hingga Batu Putih. Terkadang dia harus mengelilingi pulau-pulau kecil di Berau termasuk wilayah Derawan, Sangalaki, Maratua, Kakaban, dan Balikukup yang sangat terkenal keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya. Tak pernah sekali pun Pak Made mengeluh karena harus mengarungi laut pada saat cuaca buruk dan menghadapi angin kencang, hujan, maupun gelombang yang tinggi. Menghadapi cuaca ekstrem atau mesin speedboat yang tiba-tiba tak berfungsi di tengah laut sudah pernah dia alami. Semuanya dia jalani dengan sepenuh hati. 93
Sekolah di Atas Bukit
Pak Made senang jika dapat mengantar tamunya ke laut dan kembali dengan selamat, sembari menikmati keindahan laut. Saat menjalankan tugasnya, dia dapat melihat lumba-lumba dan ikan pari manta. Bila beruntung, pada musim-musim tertentu dia bahkan bisa melihat paus di sekitar Pulau Maratua. Rasanya puas sekali!
Langit begitu cerah hari ini. Begitu biru tanpa ada awan sejumput pun. Biasanya cuaca di bulan September sangat buruk karena musim selatan membawa angin yang kencang. Tetapi hari ini angin dan ombak sangat bersahabat. Sepertinya cuaca hari ini merestui Pak Made dan tamu-tamunya melaut. Tak perlu waktu lama untuk mencapai Pulau Sangalaki. Hanya sekitar dua setengah jam dari Tanjung Batu. “Ada apa di sana, Pak?” tanya Handoko, salah seorang tamu yang dibawa oleh Pak Made, saat melihat keramaian di Pulau Sangalaki. “Saya juga kurang tahu itu,” jawab Pak Made tanpa melepas pandangannya ke arah pulau. “Demo mungkin, ya. Mereka ributribut begitu.” “Oh, sering ada demo di sini, Pak?” “Ah, tidak juga. Baru kali ini saja. Mungkin demo tentang pengelolaan penyu di pulau. Masyarakat di Derawan memang banyak yang tidak setuju dengan konservasi penyu yang dilakukan oleh pemerintah dan sebuah LSM nasional,” jelas Pak Made. “Oh, ya?” 94
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Iya, tapi untunglah kita tidak akan mendarat di pulau. Hanya di laut. Kita ke salah satu titik penyelaman.” “Baguslah!” Di pulau itu terdapat sebelas titik penyelaman yang sangat terkenal bagi penyelam lokal maupun internasional di antaranya Ridge, Light House, Sherwood Forest, Sandy Ridge, Manta Run, Manta Avenue, The Rockies, dan lain-lain. Di titik ini, tamu-tamu Pak Made akan menikmati taman bawah laut yang sangat luar biasa indahnya. Terumbu karangnya yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia adalah rumah bagi plankton. Ikan pari manta atau pari hantu yang berukuran sangat besar berenang bergerombol untuk memangsa plankton-plankton itu. Melihat ikan pari manta yang berenang hingga ke permukaan bagaikan burung besar, tamu-tamu Pak Made tanpa dikomando segera menyiapkan peralatan selam dan langsung mencebur ke laut. Mereka tak sabar melihat pari manta dari dekat, dan kemudian mengabadikannya. Tinggal Pak Made di permukaan laut menjaga speedboat. Setengah jam berlalu sejak Pak Made ditinggal sendiri di atas speedboat. Masih tersisa sekitar tiga hingga empat jam sampai para tamu muncul kembali ke permukaan laut. Waktu yang cukup banyak buatnya untuk bersantai sambil menikmati birunya laut. Speedboat mengangguk-angguk pelan digoyang riak air laut. Suara ombak memukul-mukul dinding perahu. Suasana magis itu sangat menenangkannya.
95
Sekolah di Atas Bukit
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama, berganti dengan deru suara speedboat yang semakin lama terdengar semakin keras. Pak Made beranjak dari duduknya untuk melihat dengan jelas speedboat yang mendekat. Saat dia mengenali orang-orang di atas speedboat, rasa khawatir yang tadi dia rasakan berangsur hilang. “Hai…!” teriak Pak Made sambil melambaikan tangan. Delapan orang di atas speedboat tak mengacuhkan sapaannya dan menampakkan wajah beringas. Saat melihat mereka membawa senjata tajam, Pak Made mulai khawatir lagi. Ada apa ini?, tanyanya dalam hati. “Kamu… pergi dari sini!” teriak orang-orang dari atas speedboat yang baru tiba sambil mengacung-acungkan parang. “Lho, ada apa ini?” “Tidak usah banyak tanya. Pokoknya pergi dari sini. Pulang sana!” teriak mereka semakin beringas. “Wah, ada apa ini sebenarnya? Saya ini tidak tahu apa-apa. Kenapa saya harus pulang?” “Sudah… pergi saja dari sini. Kamu tidak boleh ke sini!” “Tidak bisa, Pak. Teman-teman saya masih ada di bawah!” jawab Pak Made kebingungan. Dia sudah melihat gelagat yang tidak baik dan bersiap-siap bila memang harus adu pukul. Tidak mungkin dia meninggalkan tamu-tamunya. Kalau dia pergi, apa jadinya bila tamutamunya naik dan tak menemukan speedboat. “Suruh mereka naik!” “Yang benar saja, Pak, bagaimana saya bisa memberitahu orang-orang yang sedang menyelam untuk naik? Tunggulah sebentar!” ucap Pak Made. 96
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Tidak bisa… pokoknya kamu harus pulang!” ucap mereka bersikeras. “Kok begitu? Jangan begitu lah, Pak, tidak mungkin saya meninggalkan teman-teman saya begitu saja.” “Oke, tapi nanti kamu ke pinggir!” “Iyalah kalau saya bisa.” “Awas, kami akan datang lagi nanti!” kata mereka mengancam sambil memutar haluan speedboat kembali menuju Pulau Sangalaki. Seperginya kelompok tersebut, Pak Made menunggu di atas speedboat dengan gelisah. Beberapa kali pandangannya menyapu permukaan laut di sekitar speedboat. Dia berharap salah satu tamunya muncul di permukaan sehingga dia bisa memberitahukan kejadian yang baru saja terjadi. Dia khawatir jika kelompok tersebut datang kembali dengan membawa orang yang lebih banyak lagi dan memaksanya untuk meninggalkan lokasi penyelaman, atau lebih parah lagi mereka bisa saja kalap, dan melukai para tamunya karena tidak segera mengikuti perintah. Tak sabar Pak Made menunggu. Ingin rasanya dia langsung menceburkan diri ke laut mencari para tamunya. Kemana mereka? Mengapa mereka lama sekali di bawah? tanyanya berulang kali. Satu jam kemudian akhirnya Pak Handoko muncul. “Pak, kita didemo!” ucap Pak Made tanpa menunggu Pak Handoko naik ke speedboat. “Demo yang di Sangalaki itu?” “Iya, Pak. Tolong yang lain dipanggil ke atas, Pak,” pinta Pak Made. “Iya, sebentar.” 97
Sekolah di Atas Bukit
Pak Handoko menjawab sambil kembali menceburkan diri ke laut, menyelam untuk memberitahu para tamu yang lain. Di saat yang sama, orang-orang yang tadi melakukan ancaman kembali datang. “Pak, tolong hati-hati ya bicaranya kalau nanti mereka bilang sesuatu. Soalnya saya kena bentak-bentak tadi,” ucap Pak Made mengingatkan Pak
Handoko
saat
speedboat
yang
membawa
pendatang
tak
diundang itu mendekat. “Tadi kan kalian sudah kami suruh pergi dari sini. Tunggu apa lagi?” teriak seseorang dari kelompok pendemo. “Tapi kami salah apa, Pak? Kami cuma nyelam di sini,” sanggah Pak Made. “Kalian semua ini yang menjual aset-aset kita ke orang asing. Lihatlah akibatnya! Populasi penyu jadi berkurang!” “Wah, kami dari TNC, Pak, tidak ikut-ikut soal konservasi penyu!” jawab Pak Made. “Mau TNC… atau apalah kami tidak mau tahu. Pokoknya kalian tidak boleh menyelam di sini. Titik!” “Tidak bisa begitu, Pak, kami dari Jakarta ini,” jawab Pak Handoko. “Biar orang dari mana pun, tidak bisa!” “Lho, kenapa tidak bisa? Perintah dari siapa kami tidak boleh menyelam di sini!” balas Pak Handoko yang sepertinya membuat kelompok pendemo tersebut mulai naik darah. “Pak… kita pergi dari sini saja, takut masalahnya makin besar. Temanteman mereka juga banyak di pulau. Bisa berbahaya kalau mereka datang kesini. Kasihan tamu-tamu ini,” ucap Pak Made. “Kita lanjutkan di sekitar Kakaban saja, Pak!” saran pak Made. “Ayolah!” 98
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Pekerjaan saya mungkin bukan pekerjaan yang ‘wah’ bagi sebagian orang tapi saya sangat mencintai pekerjaan ini. Pekerjaan yang biasa saja tapi dengan tanggung jawab yang sangat besar. Rekan-rekan saya di TNC memang bekerja untuk menyelamatkan dan melestarikan kekayaan alam Indonesia di Berau tapi menjaga mereka agar bisa menjalankan tugasnya dan kembali ke rumah dengan selamat adalah tugas saya.” “Nama saya I Made Sudarsa dan saya bekerja sebagai motoris speedboat di The Nature Conservancy.”
99
Forester juga Manusia Purnomo
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Forester atau Rimbawan biasanya diidentikkan dengan ketangguhan karena mampu bertahan hidup di hutan, terampil memanjat gunung, dan sanggup menyeberangi sungai yang lebar dan berarus deras. Forester sudah semestinya pandai menentukan arah perjalanan sehingga tidak akan kesasar. Kata ‘kesasar’ dapat dipastikan tak ada dalam kamus para forester. Forester tentunya pemberani juga. Tak takut menghadapi binatang buas seperti buaya, ular, atau beruang. Apalagi berhadapan dengan hantu. Yang paling penting seorang forester tidak mengenal kata menyerah. Tentunya sifat-sifat itu dapat ditemui pada Purnomo yang dengan tegas menyatakan dirinya seorang forester. Sepuluh tahun lebih Purnomo bergabung dengan The Nature Conservancy (TNC), dan bertugas melaksanakan berbagai macam kegiatan lapangan di hutan maupun gunung. Tugas semacam itu sudah bisa membuktikan jika dia adalah seorang forester sejati. Dia memiliki fisik yang kuat dan mental yang tangguh. Aktivitas mendaki gunung dan berjalan jauh menembus hutan, sembari memanggul beban logistik adalah pekerjaan yang mudah baginya. Sayangnya, kesan tangguh itu serta-merta berubah saat dia menjadi orang pertama dan satu-satunya yang memuntahkan isi perut ketika melakukan survei orangutan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. “Medannya sangat sulit,” kilahnya. 101
Sekolah di Atas Bukit
Kesasar, menurut Purnomo, adalah aib yang sangat memalukan bagi forester. Kejadian memalukan yang pernah sekali dirasakannya. Waktu itu, dia yang dikenal sebagai ahli sungai, salah perhitungan yang membuat timnya harus menempuh perjalanan hingga setengah hari untuk kembali ke pondok. Padahal, jika tidak tersesat, jarak itu dapat dicapai dalam waktu setengah jam saja. Tapi Purnomo tetap tak mengakui bahwa dia yang mengakibatkan timnya tersesat. “Hanya salah jalan. Salah perkiraan saja.” Untuk masalah keberanian, Purnomo juaranya. Keberanian yang dimilikinya tak bisa dianggap sebelah mata. Sudah tak terhitung berapa kali dia harus berhadapan dengan beruang. Meskipun, saat bertemu dengan binatang buas itu, dia lari tunggang langgang, menyelamatkan diri seperti yang dilakukan rekan-rekan satu timnya. Dia juga berani seorang diri berjalan jauh ke dalam hutan saat malam menjelang, hanya sekadar mencari spot yang bagus untuk memancing. Meski dikenal pemberani, belum ada yang tahu jika Purnomo sering kali menahan diri untuk tidak buang air kecil karena takut keluar dari pondok. Purnomo juga dikenal tidak mudah menyerah. Terbukti dia tetap bertahan bekerja di TNC walau tak jarang mengemban tugas yang sangat berat dengan nyawa sebagai taruhannya. Sebersit tanya muncul di kepala. Apakah seorang Purnomo tidak pernah punya keinginan untuk menyerah menjalani semua kewajibannya? Ternyata, Purnomo mengaku pernah memiliki niat menyerah itu sekali waktu. Niat ingin menyerah muncul saat Purnomo melakukan survei orangutan di daerah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Karya Lestari. Purnomo bersama 102
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
timnya berjalan seharian tanpa persediaan air minum sedikit pun. Hingga pukul 03.00 sore, mereka tetap tidak menemukan satupun sungai atau sumber air. Putus asa mungkin sudah mencapai titik tertinggi hingga rekan satu timnya berkata, “Mudah-mudahan kita tidak mendapatkan air, biar kita siup semua”. Setelah berjalan hingga pukul 09.00 malam, akhirnya mereka menemukan sungai. Saat itulah Purnomo berkata, “Sudah… saya sampai di sini saja. Tidak sanggup saya kerja seperti ini.” Malam itu, dia bahkan tidak sanggup lagi membantu rekan-rekan satu timnya untuk sekadar membuat pondok. “Kalau saya keluar dari sini, saya tidak mau kerja seperti ini lagi. Saya menyerah.” Namun, kata menyerah ternyata hanya ucapan di bibir saja. Pekerjaan sebagai forester tetap dilakoninya.
Kesialan yang kesekian kalinya menimpa Purnomo hari itu. Rekanrekan satu tim yang datang bersamanya, meninggalkannya bermalam di tempat yang namanya saja membuat bulu kuduk merinding. Tempat pengambilan gambar untuk film dokumenter tentang kegiatan survei orangutan. Di tempat dia berada. Sendirian. Ketika berangkat tadi pagi, dia sama sekali tidak mendapat firasat buruk akan mendapat tugas yang paling tidak mengenakkan ini. Bersama tiga orang rekannya dan Pak Tewek, seorang penduduk setempat, mereka berangkat dari Kampung Hambur Batu menuju pegunungan kapur. Mereka berangkat terlebih dahulu untuk mempersiapkan tempat, membangun pondok di pinggir sungai, dan menyiapkan peralatan. 103
Sekolah di Atas Bukit
Hari menjelang sore saat pondok selesai dibangun. Tak berapa lama, Pak Tewek mengajak tim untuk menyusuri gua-gua di sekitar lokasi. “Ayo kita jalan, ada gua di atas sana,” ucap Pak Tewek mengarahkan telunjuknya ke salah satu gua. Di gunung kapur ini terlihat gugusan gua-gua berdinding batu. Ada yang bernama Gua Gergaji, Gua Tewet, Gua Air, dan banyak lagi. “Eh, itu gua apa, Pak?” tanya Purnomo sambil mengikuti langkah kaki Pak Tewek. Tiga orang rekannya yang lain pun turut serta. Gua yang dituju tak jauh dari pondok yang mereka buat tadi. Kira-kira jaraknya hanya 100 hingga 150 meter. Seakan tak mendengar pertanyaan Purnomo, Pak Tewek hanya diam dan terus berjalan. Saat tiba di mulut gua baru pak tua itu membuka suara. “Gua Tengkorak.” Begitu jawabnya kalem dan singkat. Pak tua itu mungkin tidak menyadari bahwa jawabannya bagaikan ledakan bom di telinga Purnomo dan rekan-rekannya. “Gua ini diberi nama Gua Tengkorak karena di sini terdapat penggalian fosil-fosil tengkorak orang zaman dulu,” jelas Pak Tewek. Di dalam gua memang terlihat banyak bekas-bekas penggalian. Bulu kuduk Purnomo langsung merinding mendengar penjelasan Pak Tewek. Tak ingin berlama-lama di dalam gua tersebut, mereka bergegas keluar dari gua dan kembali ke pondok. Purnomo kemudian mengambil alat pancingnya dan berjalan menyusuri sungai mencari lokasi yang bagus 104
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
untuk memancing. Sedang asyik memancing, tiba-tiba terdengar suara Sugi memanggil Purnomo. “Pur, saya mau kembali ke kampung, menjemput tamu!” teriak Sugi. “Lho, saya pikir kita tidak akan kembali lagi ke sana,” balas Purnomo berteriak. “Nggak, harus dijemput!” “Bukannya mereka akan pakai ketinting lain?” Karena tak mendengar jawaban, Purnomo menghentikan kegiatan memancingnya dan mendekati rekan-rekan satu timnya. “Kita jadi menjemput tamu?” “Harus ada yang tinggal,” ucap Jasari. “Harus ada yang menjaga peralatan.” “Wah, bagaimana… siapa yang mau tinggal?” tanya Purnomo sambil menatap rekannya satu per satu. Tak ada satupun dari mereka yang bersuara. “Kita sut aja, yang kalah tinggal di sini,” ucap Sugi. Mereka pun bersuten untuk menentukan siapa yang berangkat dan siapa yang tinggal. Akhirnya, Purnomo harus mengalahkan Sugi bila tak ingin ditinggal sendiri. Sayangnya dewi fortuna tidak berpihak padanya. Dia harus tinggal meskipun sebenarnya enggan bermalam sendiri. “Jadi bagaimana, kamu mau turun? Siapa yang mau tinggal di sini? Kamu atau saya?” tanya Purnomo kepada Sugi berharap Sugi mau berbaik hati akan bertukar tempat dengannya. “Lho, saya turun dong,” jawab Sugi tanpa sungkan.
105
Sekolah di Atas Bukit
“Ya sudah, saya yang tinggal. Siapa takut,” jawab Purnomo santai meskipun dalam hati menyumpah serapah. Sialan… kok saya yang tinggal.
Purnomo berjalan mondar mandir di dalam pondok. Gelisah. Karma. Mungkin karena janjiku beberapa tahun lalu untuk berhenti dari pekerjaan di TNC tidak kutepati. Mungkin saja. Pikirnya gusar. Bagaimana ya nanti? Sesekali matanya mengarah ke Gua Tengkorak walau tak ada sedikit pun yang dapat dia lihat dalam gelapnya malam. Tetap sibuk! Lakukan kegiatan apa saja yang penting sibuk agar waktu cepat berlalu. Ah… memasak saja! Mulailah Purnomo mempersiapkan bahan dan peralatan memasaknya. Dibuatnya api untuk memasak. Ikan hasil pancingan tadi sore dia bersihkan lalu dibakar. Setelah ikan matang, kini giliran beras yang ditanak. Sengaja dia berlama-lama bekerja. Jika aku memasak dengan lambat, waktu akan cepat berlalu. Begitu pikirnya. Tapi tetap saja pada akhirnya makanan telah siap untuk disantap lebih cepat dari yang diharapkannya. Setelah makan malam, Purnomo mulai memikirkan lagi kegiatan apa yang harus dia lakukan untuk mengisi waktu. “Oh, iya, masak air!” ucapnya pada diri sendiri.
106
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Diambilnya panci, diisi dengan air lalu diletakkan di atas api. Saat air di panci mendidih, ditambahkannya lagi air mentah. Saat air kembali mendidih, ditambahkannya lagi air mentah. Begitu seterusnya hingga air mencapai bibir panci. Tak lagi punya pilihan, diangkatnya panci dari perapian. Sekitar pukul 08.00 malam, kedua mata Purnomo mulai berat karena kantuk. Namun, suara-suara binatang dari atap pondok membuatnya tetap terjaga. Suara monyet mulai terdengar. Suara burung yang menurut kepercayaan banyak orang seperti sedang memanggil sesuatu juga ikut terdengar. Rasa takut mulai mendatangi Purnomo. Bulu kuduknya meremang. Apalagi setiap kali burung yang hinggap di atap pondok itu memperdengarkan suaranya. Punomo mengarahkan pandangannya ke sekeliling pondok, berusaha mencari kegiatan apa lagi yang bisa dilakukan. Namun, tak satu ide pun yang muncul di kepalanya. Akhirnya, dia meraih alat pancingnya. Setidaknya saat memancing, dia bisa fokus ke pancingnya dan tidak memikirkan hal-hal lain. Sebelum memancing, dia menyibukkan diri membuat keramba dari bilah-bilah rotan sisa-sisa bahan dari pembangunan pondok. Keramba ini akan digunakan untuk menyimpan ikan di sungai. Setelah keramba selesai, dia pun mulai memancing ke sungai dari pintu pondok. Hingga pukul 02.00 dini hari Purnomo memancing. Kerambanya pun sudah penuh dengan ikan. Keramba itu lalu diikat dan diturunkan ke sungai. Sungguh menderita Purnomo malam itu. Tubuhnya direbahkan 107
Sekolah di Atas Bukit
agar segera tertidur. Ketika kantuk mulai menyerang, suara kecipak air yang tiba-tiba terdengar dari arah keramba membuatnya kembali terjaga. “Ahh… apa lagi ini?” desahnya. Dengan takut-takut diarahkannya senter ke sungai. “Ahh, cuma biawak,” ucapnya sambil mengusap-ngusap dadanya. Diusirnya biawak itu dan dirajutnya kembali keramba yang berlubang. Subuh hampir tiba saat mata Purnomo mulai terpejam. Perjuangan beratnya melalui malam membuatnya tertidur lelap hingga pukul 10.00 pagi. Ada rasa lega ketika dia terbangun karena semalam tak terjadi apa-apa. Dia pun segera memeriksa keramba ikannya. Hanya tersisa setengah. Segera dia membersihkan diri lalu menyiapkan makanan untuk rekan-rekan timnya yang tak lama lagi akan tiba. “Wah, Pur… berani juga kamu, ya?” tanya Pak Tewek dan rekan-rekan lainnya saat mereka tiba sekitar pukul 02.00 siang. “Ah… nggak ada apa-apa, Pak. Nggak ada takut sama sekali!” sahut Purnomo dengan sangat meyakinkan. Meski dalam hati dia juga mengeluh. Euih… forester kan juga manusia… bisa takut juga.
108
Negosiasi Karbon Saipul Rahman
Sekolah di Atas Bukit
Perubahan Iklim. Dua kata ini menjadi topik hangat yang selalu ramai diperbincangkan, terutama setelah terjadinya Topan Haiyan yang memorak-porandakan Filipina. Tapi apa sih perubahan iklim itu? Bila didefinisikan secara sederhana, perubahan iklim mengacu pada semua bentuk perubahan pada variabelvariabel iklim seperti suhu udara dan curah hujan dalam satu kurun waktu, yang terjadi secara alami atau akibat hasil aktivitas manusia. Karbondioksida merupakan salah satu gas rumah kaca. Karbondioksida yang terlepas ke atmosfer, sebagian besar berasal dari kerusakan hutan, pembakaran batu bara, gas dan minyak bumi, aktivitas industri, dan kegiatan rutin manusia. Kerusakan hutan menyumbangkan kurang lebih 18 persen dari emisi global. Sementara itu, pembakaran bahan bakar fosil menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar yakni lebih dari 70 persen emisi global. Peningkatan jumlah gas karbondioksida inilah yang menjadi faktor terbesar penyebab perubahan iklim. Semakin tinggi jumlah emisi gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer, semakin besar terjadinya perubahan iklim. Namun demikian, gambaran riil perubahan iklim tidaklah sesederhana definisi tersebut. Saat terjadi perubahan iklim, akan terjadi perubahan musim yang berakibat terjadinya perubahan cuaca yang cukup signifikan di sejumlah negara. Beberapa kasus yang terjadi di Eropa, musim dingin 110
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
berlangsung lebih lama, dengan suhu dingin yang ekstrem. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di Australia mengalami musim panas yang lebih panas dari tahun-tahun sebelumnya. Dampak perubahan iklim paling parah terjadi di Filipina. Negeri itu terkena hantaman Topan Haiyan yang rata-rata kecepatannya bertambah setiap tahun. Dampak perubahan iklim juga terjadi di Indonesia. Negeri zamrud khatulistiwa ini harus mengalami musim kemarau dan penghujan yang berkepanjangan. Situasi ini berakibat terjadinya gagal panen yang dirasakan para petani, dan kurangnya jumlah tangkapan ikan bagi para nelayan akibat ombak ganas yang membuat mereka gagal melaut. Derita ini tidak berhenti sampai di situ. Berbagai bencana seperti banjir dan angin kencang sering kali terjadi di berbagai daerah. Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya ledakan populasi jenis nyamuk dan serangga lain di beberapa daerah. Melonjaknya populasi tersebut mengakibatkan munculnya beragam penyakit baru pada manusia, tanaman, maupun hewan. Di tingkat nasional, perubahan iklim berpengaruh pada aspek pengambilan kebijakan dalam memitigasi perubahan iklim, dengan mengeluarkan kebijakan yang antara lain mengurangi penyebab peningkatan pelepasan emisi gas rumah kaca. Beberapa keputusan strategis yang diambil berpedoman pada upaya mengurangi kerusakan lingkungan, memberantas penebangan hutan, dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Yang paling penting dari keputusan tersebut adalah upaya menggerakkan masyarakat khususnya yang hidup di perkotaan untuk hidup lebih “green”. 111
Sekolah di Atas Bukit
Sementara itu, pembahasan mengenai mitigasi perubahan iklim di tingkat internasional, mengerucut pada beberapa skema yang salah satunya yakni REDD atau Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation. Konsep skema REDD saat ini adalah dengan mengalihkan tanggung jawab pengurangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sejumlah negara maju melalui bentuk kompensasi kepada negaranegara berkembang untuk melindungi hutannya. Proyek-proyek REDD mencakup deforestasi, konservasi, degradasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan. Mengapa hutan? Hutan berperan penting dalam menambah dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim. Hutan itu sangat unik. Apabila hutan ditebang akan mengeluarkan emisi karbon. Sebaliknya apabila hutan dilindungi dan dipelihara maka akan menarik gas karbon yang terlepas ke atmosfer, dan menyimpannya sebagai cadangan karbon. Jadi, hanya dengan berupaya melindungi hutan, maka suatu negara dapat menurunkan tingkat emisi karbonnya. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi hutan yang terbesar di dunia, mulai maju untuk memperjuangkan REDD sejak tahun 2007 dalam ajang konvesi perubahan iklim di Bali. Topik REDD ini menjadi topik penting di berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai cara termurah dalam mengurangi laju perubahan iklim. Indonesia menjadi negara terdepan dalam mempersiapkan 112
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
peraturan terkait pelaksanaaan REDD. Indonesia juga menetapkan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Berau sebagai provinsi dan kabupaten percontohan untuk program REDD. Di bawah payung REDD, Norwegia telah memberikan bantuan dana kepada Indonesia hingga US$1 miliar. Bantuan dana dari Norwegia ini disertai dengan kesepakatan moratorium penebangan hutan dan pembenahan tata kelola hutan secara keseluruhan. Kesepakatan ini dilaksanakan dengan sukses oleh Indonesia yang ditandai dengan kemampuan Indonesia menekan laju deforestasi yang sebelumnya di atas satu juta hektar per tahun, kini hanya tersisa 450 ribu hektar per tahun.
“Hei… kalian negara berkembang harus ikut bertanggung jawab atas perubahan iklim ini!” Demikian seruan negara-negara maju. “Wah… jawab,
nggak kalian
bisa
gitu
dong.
Kalian
duluan
yang
menghabiskan
yang
harus
bertanggung
hutan,”
protes
salah
satu
negara berkembang. “Iya, ada filmnya… terbukti kan!?” teriak negara berkembang lainnya. “Setelah kalian melepaskan begitu besar emisi dengan menebang hutan dan mendapatkan keuntungan ekonomi paling besar hingga bisa menjadi negara industri maju, kalian mau menekan kami. Nggak adil!” “Nggak bisa cuma kami dong. Cina juga sekarang mengeluarkan emisi paling besar!” kelit negara maju. “Lho… kami bukan negara maju, lihat Annex 1… kami nggak ada di situ!” jawab Cina. 113
Sekolah di Atas Bukit
Mungkin inilah bagian dari dialog negara-negara maju dan berkembang apabila kealotan negosiasi mengenai perubahan iklim diangkat dalam sebuah drama. Menurut Wahjudi Wardojo, mantan Sekretaris Jenderal di Kementerian Kehutanan, perubahan iklim itu memengaruhi seluruh hajat hidup orang banyak. Pada saat negara telah menyetujui sebuah angka sebagai cap atau limit pembatasan emisi karbon maka pada saat itulah perubahan iklim akan berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan seperti sosial dan ekonomi, termasuk lapangan kerja. Demikian halnya pada saat Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia ke-6, menyatakan target penurunan emisi 26 persen atau setara dengan 0,76 gigaton pada tahun 2020. Angka ini lalu diterjemahkan antara lain ke dalam bentuk upaya mengurangi pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan pertambangan yang secara langsung berpengaruh pada jumlah lapangan kerja yang tersedia. Angka ini juga berpengaruh terhadap pengalihan penggunaan sumber energi yang tidak ramah lingkungan seperti minyak bumi dan batubara menjadi sumber energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan banyak aspek kehidupan masyarakat lainnya. Negara-negara maju memang menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dengan cara meningkatkan kapasitas industrinya yang memerlukan sumbersumber energi yang tidak ramah lingkungan. Namun di sisi lain, negara-negara ini harus memegang komitmennya untuk menahan kenaikan suhu global. Dilema tersebut dan implikasi perubahan iklim yang besar dan luas terhadap masyarakat inilah yang menjadi alasan 114
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
mengapa kesepakatan antara negara-negara di seluruh dunia tentang pengurangan emisi belum mencapai titik temu. Pada konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke19 di Warsawa, Polandia, tanggal 11 – 22 November 2013, tarik ulur dan saling menunggu masih terjadi antara negara-negara penghasil emisi terbesar, yaitu negara-negara maju (developed countries), seperti Amerika dan negara-negara Eropa, dan negara-negara berkembang yang lebih maju (advance developing countries) diantaranya Brazil, Afrika Selatan, India dan Cina (BASIC). Negara-negara penghasil emisi terbesar saling tunjuk mengenai siapa yang paling bertanggung jawab dan saling menunggu kesiapan tiap negara untuk menurunkan tingkat emisi mereka. Di sisi lain negara-negara berkembang menyatakan siap melakukan upaya penurunan laju perubahan iklim asalkan negara-negara maju terlebih dahulu memulai upaya tersebut. Hingga konferensi berakhir, tidak ada kesepakatan angka penurunan emisi hingga kesepakatan harus diundur sampai tahun 2015 pada konferensi perubahan iklim selanjutnya yang akan diadakan di Paris. Bersama Pak Wahjudi Wardojo, saya diutus oleh The Nature Conservancy (TNC) Indonesia untuk menghadiri konferensi tersebut. Saya berkesempatan untuk mempresentasikan sejumlah kegiatan TNC dalam mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD. Presentasi ini sangat berkesan karena dihadiri oleh banyak negara dan mendapat respon yang positif. Beberapa peserta bahkan mengajukan pertanyaan mengenai pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh TNC dan
115
Sekolah di Atas Bukit
formula-formula yang diaplikasikan di masyarakat. Pada konferensi tersebut, saya juga menyaksikan bagaimana alotnya proses negosiasi yang dilakukan oleh negara-negara peserta untuk setiap isu yang dibahas. Banyak isu global yang dibahas dalam COP ke19 ini diantaranya pembatasan kuota emisi, REDD+, pendanaan untuk upaya pengurangan laju perubahan iklim dan isu baru yakni kerugian dan kerusakan (loss and damage). Isu kerugian dan kerusakan mendapat perhatian yang sangat besar dari peserta konferensi. Naderev Saño, ketua delegasi Filipina, memberikan pidato pembukaan yang sangat menyentuh. Dengan penuh perasaan beliau menjelaskan bagaimana keadaan negaranya setelah terkena Topan Haiyan. Sambil menangis, beliau menyampaikan penderitaan rakyat Filipina akibat topan yang menerjang negaranya dengan kecepatan 238 km per jam. Dikhawatirkan tahun depan, kecepatan angin Topan Haiyan akan bertambah seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi. Melalui pembahasan isu kerugian dan kerusakan ini, negara-negara maju sebagai penghasil emisi paling besar dan yang membuat bumi semakin panas diminta pertanggungjawabannya dengan memberikan kompensasi sebesar USD$100 miliar kepada negara-negara yang mengalami kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim, seperti yang dialami oleh Filipina. Negosiasi isu ini sangat intens, penuh keharuan, dan diwarnai dengan walk out dari negara-negara berkembang
116
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
dan kelompok NGO lingkungan hidup saat delegasi dari Australia dan beberapa negara lainnya menolak permintaan tersebut. Pada akhirnya, kompromi antara negara-negara kunci dapat dicapai. Negara-negara maju bersedia memberikan bantuan keahlian dan kemungkinan bantuan dana bagi negara-negara yang mengalami bencana akibat dampak perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, dan ancaman berupa naiknya permukaan air laut dan penggurunan (desertification). Pada COP ke-19 tersebut, Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya fokus pada tema utama, yaitu REDD. Delegasi Indonesia menuntut kejelasan target penurunan emisi dari negara-negara maju yang hingga konferensi berakhir tetap tidak tercapai. Delegasi Indonesia juga mengajukan tuntutan atau desakan mengenai kejelasan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tuntutan ini didasarkan pada komitmen yang telah tercapai pada konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009, yang menyetujui pendanaan sebesar USD$100 miliar. Terkait tuntutan ini dicapai kesepakatan untuk meningkatkan jumlah dana bantuan yang akan diberikan untuk skema REDD. Hal yang cukup menarik pada konferensi ini adalah Indonesia dan negara ASEAN lainnya memiliki satu suara dalam proses negosiasi REDD. Hanya saja, yang patut untuk dikaji kembali adalah Indonesia sepertinya masih kurang keras dalam mengajukan tuntutannya. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang paling strategis di
117
Sekolah di Atas Bukit
dunia, baik daratan maupun lautan. Dengan kekayaan sumber daya alam sebesar ini, semestinya Indonesia dapat bersuara lebih nyaring dan lebih bisa diperhitungkan di kancah dunia internasional.
118
Menyelamatkan Alam dari Balik Meja Stanley Matthew Rajagukguk & Hasni Ahmad
Sekolah di Atas Bukit
Kegiatan konservasi yang dilakukan oleh para penggiat konservasi di The Nature Conservancy (TNC) di Berau sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Berbagai kemajuan telah dicapai. Tidak terhitung program-program untuk menyelamatkan hutan dan sumber daya alam lainnya yang telah berhasil diterapkan. Kegiatan konservasi yang disertai dengan pemberdayaan ekonomi dan pendampingan masyarakat secara langsung di pelosok kampung di Berau telah dirasakan manfaatnya. Penetapan kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan dan Wehea, budidaya karet, dan konservasi terumbu karang adalah sebagian kecil program konservasi TNC yang telah sukses dilaksanakan. Setiap program TNC yang sukses dilaksanakan umumnya selalu diasosiasikan dengan keberhasilan dan kerja keras tim lapangan TNC. Tidak banyak yang menyadari meskipun banyak orang yang tidak terjun langsung ke masyarakat, tetapi tetap berkontribusi penting dalam menyokong keberhasilan program tersebut. Mereka ini acap kali terlupakan. Mereka yang bekerja menyelamatkan alam dari balik meja seperti Stanley Matthew, Manajer Keuangan dan Administrasi, dan Hasni Ahmad, staf Pendukung Umum, yang tugasnya berada sangat jauh dari keriuhan semangat konservasi di lapangan tidak bisa dianggap sepele. Setelah hampir 25 tahun bekerja di perusahaan asing berorientasi profit, Stanley Mathew memutuskan untuk pindah bekerja ke organisasi nonprofit internasional, TNC. Selama delapan tahun bekerja di TNC Berau 120
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
dan memegang kendali bagian keuangan dan administrasinya, hal yang menarik bagi Stanley adalah TNC menjunjung tinggi integritas. Dalam sistem pelaporan keuangan, TNC sangat patuh mengikuti ketentuan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh TNC pusat dan regulasi yang berlaku di Indonesia. Bagi TNC, menjaga kredibilitas dan integritas organisasi sangat penting karena dua hal inilah yang menjadi alasan para donor memberikan kepercayaan kepada TNC untuk mengelola dana yang akan mereka kucurkan dengan baik, tepat guna, dan sesuai aturan. Kegiatan pengelolaan dan pelaporan keuangan di perusahaan dan organisasi nirlaba seperti TNC tentu sangat berbeda. Di perusahaan biasa, dana perusahaan dikelola untuk memaksimalkan kegiatan produksi lalu menghasilkan dana dengan menjual hasil produksi. Akan ada pendapatan (revenue) dan hasil produksi yang dapat perusahaan lihat dan terima di setiap tahunnya. Di TNC, hal yang seperti ini tidak akan ditemui. Kegiatan pengelolaan dan pelaporan dana di TNC sangat tergantung pada kondisi dan jumlah grant atau donasi yang diterima. Grant atau donasi inilah yang menjadi pendapatan TNC yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya kepada para donor, baik itu perusahaan maupun negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan Norwegia. Jumlah donasi yang diterima oleh TNC setiap tahunnya berbeda tergantung berapa banyak jumlah proposal yang disetujui oleh para donor. Menurut Stanley, proposal yang diajukan tahun ini belum tentu 121
Sekolah di Atas Bukit
dananya akan dapat diterima satu atau dua tahun kedepan. Selain itu, kondisi keuangan dunia dan negara-negara donor juga sangat memengaruhi pendapatan TNC. Tahun 2008 merupakan tahun yang berat bagi TNC. Di tahun ini terjadi krisis keuangan terutama di Amerika Serikat yang merupakan donor terbesar TNC. Kurangnya dana memaksa TNC untuk memangkas pos-pos biaya operasional dengan merampingkan jumlah sumber daya manusia dan menutup kantor cabang di Balikpapan. TNC harus mengelola keuangannya dengan cermat. Rencana kegiatan atau workplan ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi keuangan. Program-program kegiatan dipilah-pilah berdasarkan skala prioritas. Program-program yang penting diprioritaskan dan dilaksanakan hingga selesai sesuai dengan dana yang tersedia. Sementara program-program yang kurang penting ditunda pelaksanaannya hingga tersedia dana untuk membiayai program tersebut atau tidak dilaksanakan sama sekali. “Rekan-rekan di lapangan itu tidak mau tahu kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. Bagi mereka, yang penting dana yang dibutuhkan tersedia dan program bisa terus berjalan,” ujar Stanley. Memberikan masukan mengenai pendanaan saat pembuatan program-program kerja dan menentukan budget yang akan dijadikan patokan dalam pembiayaan program kerja adalah cara-cara yang dilakukan Stanley untuk menyiasati tantangan tersebut. Semua mitra TNC yang mendapat sub-grant dari TNC harus menyerahkan laporan keuangan dan kegiatan kepada TNC yang harus 122
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
dibaca dan diperiksa satu per satu oleh Stanley. Laporan keuangan yang dibuat oleh TNC untuk pemberi grant mengikuti aturan-aturan standar pelaporan yang ditetapkan oleh TNC, pemberi grant, maupun ketentuan yang berlaku di Indonesia. Sayangnya, kemampuan membuat laporan keuangan ini yang tidak dimiliki oleh para mitra TNC. Inilah tantangan yang dihadapi oleh Stanley setiap waktu pelaporan mendekati jatuh tempo. Untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para mitra dalam membuat laporan, dia memberikan pelatihan-pelatihan akuntansi. “Pelatihannya tidak sekali atau dua kali tetapi terus-menerus,” ucap Stanley. Memberikan pelatihan kepada para mitra memang tidak mudah. Tingkat pergantian staf yang tinggi membuat pelatihan harus diberikan kembali setiap kali ada wajah-wajah baru di mitra.
Berbeda
dengan Stanley Mathew yang telah memiliki banyak
pengalaman sebelum bergabung dengan TNC, Hasni Ahmad mulai mengenal TNC saat masih mahasiswa dan menjalani magang di WWF yang saat itu memiliki Program Kelautan bersama dengan TNC. Hasni mulai bergabung dengan TNC pada tahun 2006 sebagai asisten keuangan. Suasana kekeluargaan dan persabatan yang sangat kuat di TNC membuat Hasni betah bekerja di TNC sampai saat ini. Menurutnya, pekerjaan konservasi di TNC maupun di organisasi-organisasi nirlaba lainnya merupakan pekerjaan yang mulia. Dia yang sebelum 123
Sekolah di Atas Bukit
menjadi bagian TNC sangat suka mengonsumsi telur penyu, kini tidak melanjutkan hobinya setelah tahu bahwa penyu termasuk hewan yang dilindungi. Tugas utama Hasni yang harus memastikan kegiatan administrasi dan tertib administrasi berjalan lancar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dihadapinya apalagi bila harus berhadapan dengan mitra TNC khususnya pemerintah. Terkadang agak sulit menjelaskan kepada mitra TNC ini mengenai tertib administrasi yang diterapkan oleh TNC. Kesulitan seperti ini pernah dia alami saat mengurus surat lapor kedatangan tamu asing TNC ke kepolisian. Untuk mendapatkan surat lapor ini TNC harus melampirkan surat pemberitahuan mengenai tujuan kunjungan, waktu kunjung, daerah yang dikunjungi, paspor, dan visa dari tamu asing tersebut. Pengurusan surat yang semestinya tidak dipungut biaya ternyata dalam praktiknya justru dikenai biaya tanpa disertai bukti pembayaran yang sah. “Maaf, kami juga tidak bisa memberikan dana kalau tidak ada bukti pembayaran.” Demikian Hasni menolak saat itu. Setelah berdebat panjang lebar dan “tawar menawar”, akhirnya disepakati surat dikeluarkan tanpa bayaran tetapi Hasni harus memberikan satu rim kertas HVS. Memastikan pergerakan rekan-rekannya ke lapangan berjalan dengan mulus merupakan tugas Hasni lainnya. Setiap staf TNC yang akan ke lapangan harus menyampaikan advance travel request (ATR) terlebih dahulu. ATR ini berisi informasi kegiatan yang akan dilakukan, waktu kegiatan, 124
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
serta hal-hal yang dibutuhkan baik akomodasi maupun alat transportasi, kode kegiatan, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan kegiatan tersebut. Jika semua informasi mengenai kegiatan tersedia dan persetujuan dari bagian keuangan diterima, ATR akan diproses. Setiap hari, Hasni harus berkutat dengan tugas-tugas administratif seperti ini. Bertugas mengurusi keuangan maupun administrasi tentunya tidak menghalangi Stanley maupun Hasni untuk tidak bersentuhan dengan masyarakat di lokasi program TNC dilaksanakan. Sesekali ikut turun ke lapangan membuat mereka bisa melihat gambaran utuh dari program yang sedang berjalan. Tidak hanya mengetahui suatu program pada tahap perencanaan dan hasil pelaksanaannya dari laporan saja tapi juga melihat pelaksanaannya di lapangan. Berada di lapangan membuat mereka sadar bahwa tidak semua prosedur operasi standar (Standard Operating Procedure/SOP) dapat dilaksanakan di lapangan. Misalnya, tidak semua bentuk pembelian barang untuk kebutuhan program bisa dibuktikan dengan kuitansi atau nota yang berstempel saat penjual di kampung hanya bisa memberikan bukti yang ditulis dengan pensil di secarik kertas. Dengan merasakan kondisi di lapangan, mereka dapat mengerti justifikasi-justifikasi seperti ini dan dapat mengkomunikasikannya ke pihak auditor. Para staf TNC di lapangan memiliki peranan yang sangat penting dalam mengimplementasikan program-program konservasi. Sepenting peran Stanley, Hasni, dan para staf pendukung lainnya yang bekerja keras dalam merencanakan program, memberikan dukungan selama pelaksanaannya, dan melaporkan hasilnya hingga dapat diterima oleh donor. 125
Sekolah di Atas Bukit
Staf TNC di lapangan memang ujung tombak TNC dalam melakukan program konservasi, namun para staf yang melakukan tugas-tugas konservasi dari balik meja inilah yang memberikan dorongan tenaga yang kuat agar tombak itu dapat melayang setinggi dan menancap sejauh yang diinginkan oleh TNC.
126
Membawa REDD ke Pelosok Berau Tomy Satria Yulianto
Sekolah di Atas Bukit
REDD, Think Globally – Act Locally
Pada pertemuan para pihak (Conference of Parties/COP) ke-13 UNFCCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2007, dinyatakan bahwa permasalahan perubahan iklim tidak hanya terkait dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor industri saja, tetapi aktivitas yang mengakibatkan penghilangan kawasan hutan (deforestasi dan degradasi) menjadi kontributor utama peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kawasan hutan terluas turut menandatangani kesepakatan yang dihasilkan baik pada COP ke-13 maupun COP ke-15 yang diadakan di Copenhagen, Denmark. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 26 persen emisi nasional dengan menggunakan anggaran sendiri atau 41 persen bila mendapat bantuan dana dari pihak luar. Hasil COP ke-13 dan ke-15 serta komitmen menurunkan emisi inilah yang menandai titik awal keterlibatan Kabupaten Berau dalam upaya mitigasi perubahan iklim di tahun 2008. Berau ditunjuk sebagai daerah kegiatan percontohan (Demonstration Activity) untuk pengembangan program REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) di Indonesia. Sejak pertengahan 2008, Pemerintah Kabupaten Berau bersama The Nature Conservancy (TNC) telah melakukan serangkaian diskusi yang membahas pengembangan program REDD dan mengidentifikasi komponen dan strategi penerapan REDD.
128
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Keterlibatan masyarakat dalam mitigasi perubahan iklim merupakan salah satu komponen penting dalam strategi REDD di Berau. Tidak bisa dinafikan jika partisipasi masyarakat adalah keharusan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan mengingat besarnya ketergantungan masyarakat di Berau terhadap hutan. Terlebih skema REDD menuntut diberikannya informasi yang jelas tentang REDD ke masyarakat dan memastikan keterlibatan masyarakat tanpa paksaan. Kemudian bagaimana cara membawa isu global ke tingkat lokal? Bagaimana menjelaskan konsep global REDD, laju emisi (emission rate), MRV (Measurement, Reporting and Verification), perubahan iklim, dan konsep lainnya sehingga komunitas Dayak di pelosok-pelosok Berau mengerti? Menarik isu global REDD ke tingkat lokal hanya dapat dilakukan dengan mengubahnya menjadi isu lokal dengan menggunakan bahasa lokal. Isu emisi, MRV, maupun perubahan iklim dijelaskan dengan menggunakan isu manfaat hutan bagi masyarakat, perubahan hutan, hasil buruan yang berkurang, dan isu-isu lokal lainnya. Hanya dengan cara inilah skema REDD dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat dengan jelas tanpa memberikan harapan yang berlebihan. Dengan mengaitkan konsep REDD dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari, partisipasi masyarakat dalam mitigasi perubahan iklim dapat ditumbuhkan. Membawa REDD ke Pelosok-Pelosok Berau Pemerintah Kabupaten Berau bekerja sama dengan TNC mendesain serangkaian model partisipasi masyarakat dalam skema REDD secara 129
Sekolah di Atas Bukit
spesifik melalui mekanisme insentif berbasis kinerja. Model-model ini lalu coba diterapkan di Long Duhung dan Merabu sebagai dua desa percobaan. Implementasi insentif berbasis kinerja ini berarti masyarakat harus memperlihatkan bukti kinerja bila ingin mendapatkan insentif. Melalui mekanisme ini, masyarakat secara tidak langsung “dipaksa” untuk berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim ini. Dalam mekanisme ini, TNC memberikan insentif kepada masyarakat Long Duhung dan Merabu dalam bentuk grant. Dana ini tidak dikelola TNC secara langsung dengan mengorganisir kegiatan di pedesaan. Sebaliknya, masyarakat diberikan kepercayaan untuk mengelola dana tersebut berdasarkan rencana kerja yang diajukan kepada TNC. Pengelola dan penganggung jawab dana ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat desa. Penanggung jawab dana di Long Duhung adalah pemerintah desa sedangkan di Merabu, dana dipertanggungjawabkan oleh kelompok pengelola hutan desa. Rencana kerja yang menggambarkan mimpi besar masyarakat desa untuk terlibat dalam mitigasi perubahan iklim ini disusun dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa. Ada tiga hal yang diharapkan bisa dicapai melalui skema insentif ini. Pertama, memastikan kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim baik dalam bentuk rehabilitasi maupun konservasi hutan terlaksana. Di Merabu, misalnya, insentif diberikan untuk memastikan penjaga lingkungan bekerja dengan baik. Kedua, meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Intervensi pada aspek penghidupan ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap alam dan kegiatan yang 130
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
memberikan tekanan yang besar terhadap alam, misalnya kegiatan ladang berpindah. Ketiga, memberikan penguatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Peningkatan kapasitas masyarakat akan memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam mitigasi perubahan iklim. Implementasi mekanisme insentif di masyarakat dibedakan atas tiga tipe, yaitu insentif berbasis input, insentif berbasis output, dan insentif berbasis outcome. Insentif berbasis input diberikan kepada masyarakat yang turut berpartisipasi dan memberikan input dalam kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam rencana kerja. Input dapat dinilai dari keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pemantauan hutan, rehabilitasi lahan yang terdegradasi, maupun menanam karet. Pemberian insentif ini disertai dengan pelaksanaan kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat sehingga memiliki kemampuan yang memadai untuk berpartisipasi. Insentif berbasis output diberikan setelah insentif berbasis input dilaksanakan, mengingat penilaian dilakukan berdasarkan pada besarnya output dari input yang telah dilakukan. Insentif ini diberikan kepada masyarakat desa yang memperlihatkan kinerja yang baik, misalnya jumlah kehadiran dalam pelatihan, pemantauan, rehabilitasi, maupun pertumbuhan tanaman karet masyarakat. Sedangkan insentif berbasis outcome diberikan bila keseluruhan output yang mereka lakukan memiliki relevansi dengan peningkatan tutupan hutan, peningkatan ekonomi masyarakat, dan peningkatan kapasitas masyarakat yang menjadi kerangka dari skema REDD. 131
Sekolah di Atas Bukit
Fasilitator TNC yang Tak Perlu “Genit” Upaya menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat di Desa Long Duhung dan Desa Merabu dalam skema REDD bukan hal yang mudah. Fasilitator-fasilitator TNC membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang agar masyarakat bukan hanya menerima permasalahan perubahan iklim yang mereka hadapi tetapi juga menerima fasilitator TNC yang akan mendampingi menyelesaikan permasalahan mereka. Mendampingi, bukan menyelesaikan masalah. Fasilitator bukanlah problem solver. Menurut Tomy Yulianto, Koordinator Pengembangan Masyarakat TNC, menjadi fasilitator skema REDD tidak perlu “genit”. Genit dalam artian bahwa fasilitator bertindak sebagai problem solver masyarakat. Dengan bertindak sebagai problem solver, fasilitator hanya akan menciptakan masalah baru berupa ketergantungan masayarakat terhadap sosok fasilitator maupun TNC. Prinsip inilah yang diterapkan oleh TNC di Long Duhung dan Merabu. Fasilitator-fasilitator yang terjun ke masyarakat menggunakan pendekatan masyarakat berbasis aset (asset based community development). Melalui pendekatan ini, identitas budaya masyarakat kembali ditumbuhkan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolan sumber daya alam. Kapasitas dan kemampuan masyarakat dibangun berdasarkan aset dan potensi yang dimiliki, sehingga mampu menyelesaikan permasalahannya secara mandiri. Masyarakat didorong untuk aktif berkontribusi dalam pelaksanaan skema REDD melalui gagasan dan mimpi, khususnya pada pengelolaan tata ruang seperti wilayah kelola sosial dan wilayah kelola ekonomi.
132
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Di Long Duhung, masyarakat berkontribusi salah satunya dalam bentuk komitmen untuk mengembalikan nilai kearifan lokal mereka, misalnya ladang gilir balik. Ladang gilir balik yang dilakukan oleh komunitas Dayak Punan di Long Duhung adalah berladang dengan menggilir tujuh lahan ladang tanpa membuka ladang baru. Konsep ini mengalami distorsi ketika masyarakat Dayak tidak lagi melakukan ladang gilir balik tetapi ladang berpindah dengan membuka tutupan hutan setiap tahunnya. Partisipasi masyarakat Long Duhung dalam konteks perubahan iklim juga meliputi rehabilitasi ladang yang telah terdegradasi dan mengaktifkan kembali pemantau lingkungan untuk memastikan pihakpihak swasta, misalnya perusahaan kayu, melakukan penebangan secara berkelanjutan dan lestari. Dalam aspek ekonomi, masyarakat Long Duhung ikut serta dalam mengembangkan ekonomi yang sesuai dengan budaya komunitas Dayak Punan dan relevan dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan, misalnya mengembangkan tanaman karet di bekas ladang berpindah dan mengembangkan ternak ayam. Pengembangan ekonomi masyarakat tidak hanya diperuntukkan untuk kesejahteraan setiap rumah tangga tetapi juga untuk pendapatan desa. Pendapatan desa ini nantinya diharapkan mampu menggantikan sumber pendanaan kegiatan mitigasi perubahan iklim apabila pendanaan dalam bentuk mekanisme insentif dari REDD berakhir.
133
Sekolah di Atas Bukit
Hasil pengembangan model skema REDD dan proses pembelajaran yang dilakukan di Long Duhung dan Merabu dapat diperluas dan direplikasi pada pelaksanaan skema REDD di daerah lain di Indonesia. Selain itu, berbagai desain, strategi, model, maupun tahapan-tahapan proses REDD di Berau dapat dijadikan praktik terbaik untuk menjawab isu-isu mengenai masyarakat, perubahan iklim, hutan adat, konflik masyarakat dan HPH, serta berbagai isu lain di kemudian hari.
134
Romantisme Konservasi Taufik Hidayat & Alie Syopyan
Sekolah di Atas Bukit
Apa jawaban kebanyakan anak-anak saat ditanya jenis pekerjaan yang mereka inginkan saat dewasa kelak? Jawaban klise yang sering kali terungkap biasanya profesi seperti polisi, presiden, pilot, pengusaha, insinyur, dan dokter. Sangat jarang atau bahkan tidak ada seorang anak pun yang menyebut dengan lantang ingin bekerja sebagai seorang konservator atau penjaga alam. Jangankan tahu, mengerti makna penggiat konservasi saja mereka tidak. Realitas ini tentunya tidak terlepas dari minimnya kesadaran orang tua dan masyarakat untuk menjaga alam, sekaligus rendahnya pemahaman mereka tentang pekerjaan di bidang konservasi alam. Kebanyakan orang berpikir seorang penggiat konservasi hanya bertugas keluar masuk hutan, dan berkutat dengan tumbuhan dan binatang yang hampir punah. Tidak jarang, seorang konservator mendapatkan cap tukang unjuk rasa, yang gemar menuntut masyarakat dan pemerintah untuk melindungi hutan, menyelamatkan orangutan, penyu, paus, atau satwa lainnya yang hampir punah. Sungguh sebuah pemahaman yang keliru. Bekerja di bidang konservasi selama sepuluh tahun di The Nature Conservancy (TNC), aktivitas seorang Taufik Hidayat tak hanya terbatas pada seputar kegiatan tersebut. Di TNC, Taufik bertugas sebagai Koordinator Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Wehea. Tugas ini masih ditambah dengan kegiatan mengawal proses pengusulan pegunungan karst sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site). 136
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Serangkaian aktivitas ini membuatnya tidak hanya terfokus mengurus kondisi hutan, tetapi juga menjaga hubungan dengan masyarakat dan pemerintah. Konservasi hutan dilakukan agar masyarakat mampu mengelola hutan, menjaga hutan, dan sekaligus mendapat akses dan manfaat yang nyata. Untuk mencapai tujuan ini, masyarakat dan pemerintah harus aktif. Hal inilah yang menyebabkan Taufik tidak hanya harus turun ke lapangan untuk memeriksa kondisi hutan. Dia juga harus bertemu dengan masyarakat yang hidup di sekitar hutan untuk mendorong dan memotivasi mereka agar berpartisipasi dalam menjaga dan mengelola hutan. Selain itu, dia juga menjalin dan menjaga hubungan dengan pemerintah kabupaten dan provinsi agar turut mendukung sejumlah program konservasi yang sedang dikerjakan oleh TNC. Peran dan partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan sangatlah penting. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan harus terus ditumbuhkan. Masyarakat yang selama ini terbiasa hidup bergantung pada hutan dan mengambil hasil hutan dengan bebas, jika kemudian dibatasi dan dilarang, pasti akan memicu masalah. Mengubah kebiasaan ini bukan hal mudah, apalagi bila harus mengenalkan paradigma baru tentang hutan lindung. Butuh waktu dan kesabaran. Tantangan-tantangan seperti ini yang dihadapi oleh Taufik saat menangani Kawasan Hutan Lindung Wehea. Masyarakat Dayak 137
Sekolah di Atas Bukit
Wehea tidak serta-merta mendukung dan berpartisipasi dalam Program Konservasi Hutan Wehea. Mereka terlebih dahulu ingin tahu manfaat dan keuntungan apa yang akan mereka dapatkan. Di titik inilah masyarakat diyakinkan bahwa dengan terlibat dalam upaya konservasi, mereka akan mendapatkan hak kelola hutan. Masyarakat Dayak Wehea mungkin tidak mendapatkan manfaat yang dapat diukur secara ekonomi dalam jangka waktu pendek. Tetapi mereka akan mendapatkan sesuatu yang baru yang tak ternilai harganya, yaitu “kebanggaan”. Ciri khas utama komunitas masyarakat Dayak termasuk Dayak Wehea adalah tinggal di hutan. Namun, komunitas Dayak seperti ini sudah jarang ditemukan. Semua aktivitas kehidupan yang dulunya selalu berhubungan dengan hutan kini berubah. Ciri khas yang menjadi identitas masyarakat Dayak pun mulai menghilang. Konservasi Hutan Lindung Wehea memunculkan kembali romantisme masyarakat Dayak Wehea. Romantisme tentang kehidupan masyarakat Dayak yang tinggal, hidup, dan tidak pernah jauh dari hutan. Konservasi Hutan Lindung Wehea memberi mereka kesempatan sekali lagi untuk hidup dan bergantung pada hutan sembari menjaga hutan. Romantisme ini yang didorong dan dikembangkan sehingga di masyarakat akan tumbuh kebanggaan sebagai seorang Dayak Wehea. Namun, manfaat konservasi tidak hanya berhenti pada rasa “bangga”. Masyarakat perlu merasakan kegiatan pembangunan, peningkatan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu, TNC selalu berusaha menjembatani kepentingan masyarakat dan pemerintah. 138
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
TNC berupaya mempertemukan kebutuhan masyarakat dengan program pembangunan dan pemberdayaan milik pemerintah. TNC tidak akan dapat terus menerus mendampingi masyarakat untuk menjaga hutannya. Serangkaian upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini menjadi penting agar masyarakat dapat mengelola dan membiayai pemeliharaan hutannya secara mandiri.
Suka dan duka itu seperti dua sisi koin mata uang. Tak ada yang bisa menduga sisi mana yang akan muncul saat koin telah dilempar ke udara. Begitu pula jika bekerja sebagai penggiat konservasi, selalu ada suka dan duka saat mendampingi masyarakat. Rasa suka muncul saat mendapat kepercayaan dan persahabatan yang tulus dari masyarakat. Sementara rasa duka muncul saat terpaksa menginap dalam perjalanan, memperoleh akomodasi yang tidak layak, kehujanan, atau bahkan kebanjiran. Menurut Alie Syopyan, seorang penggiat konservasi tidak bisa pilihpilih. Kondisi apa pun yang ditemui di lapangan, mau tidak mau harus diterima dan dihadapi. Kegembiraan yang tidak terkira terasa saat melihat masyarakat terbuka menyambut dan antusias mengikuti pelatihan yang diberikan. Sebaliknya, hanya rasa sedih yang muncul saat masyarakat menganggap pelatihan yang diberikan tidak penting. Enam tahun menjadi penggiat konservasi di TNC, membuat Alie banyak makan asam garam. Pengalaman suka dan duka menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Bekerja di bidang GIS (Geographic 139
Sekolah di Atas Bukit
Information System), membuat Alie sering ke lapangan untuk mengambil data, pemetaan, maupun memberikan pelatihan kepada masyarakat. Kegiatan pelatihan yang dilakukan di Segah, misalnya, bertujuan untuk melatih masyarakat agar terampil membaca peta, mengambil data dengan GPS (Geographic Positioning System), dan memetakan serta mengawasi kawasan hutan. Sementara itu, kegiatan pemetaan bertujuan mengukur dan memetakan lahan, batas desa dan batas hutan desa. Berbicara tentang konservasi hutan tidak bisa dilepaskan dari peran pihak swasta yang mendapatkan izin dari pemerintah untuk memanfaatkan areal hutan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki hak konsesi ini tidak bisa lepas tangan dalam konservasi hutan. Mereka perlu memastikan proses produksi yang mereka lakukan ramah lingkungan serta memastikan dilakukan pemetaan lahan areal yang akan ditebang dan perencanaan produksi yang efektif sehingga kerusakan hutan dan pelepasan karbon dapat diminimalisir. TNC berusaha memberikan bantuan kepada perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) agar mereka mampu melakukan proses produksi yang ramah lingkungan agar memperoleh sertifikasi. TNC memberikan pendampingan agar perusahaan tersebut bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah maupun institusi pemberi sertifikasi. Di sinilah tugas Alie banyak bersinggungan dengan perusahaanperusahaan HPH. Dia bertugas mendampingi perusahaan HPH dengan 140
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
memberikan pelatihan-pelatihan tentang pengukuran dan perencanaan hutan, pengolahan data dan pemetaan dengan GIS. Pelatihan ini akan membantu perusahaan HPH dalam mengidentifikasi areal hutan yang akan ditebang dan areal hutan yang tidak boleh ditebang karena memiliki nilai konservasi tinggi (High Value Conservation). Perusahaan juga dilatih menyusun perencanaan produksi, kegiatan penebangan, menentukan arah rebah pohon, menentukan rute penebangan, dan lain-lain. Bagi Alie, mendampingi perusahaan HPH bukan hal yang mudah. Terkadang perjalanan ke lokasi pelatihan jauh dan medannya yang berat. Menghabiskan malam di perjalanan dengan perlengkapan yang seadanya atau menginap di atas kapal tarik sudah pernah dia alami. Dia bahkan pernah ditinggalkan di sebuah gudang tanpa penerangan dan makanan selama berjam-jam oleh karyawan perusahaan konsesi yang ditugaskan untuk menjemputnya. Beberapa perusahaan konsesi yang akan diberikan pelatihan juga terkadang tidak siap. Peralatan dan ruangan belum dipersiapkan. Layar untuk proyektor tidak tersedia. Kadang-kadang Alie harus menggunakan bagian belakang kalender sebagai pengganti papan tulis. Tetapi bagaimanapun sulitnya kondisi yang dihadapi di lapangan, selalu ada pengalaman-pengalaman manis yang tidak terlupakan. Suka dan duka ini tidak hanya dialami oleh Alie, tetapi juga oleh setiap penggiat konservasi.
141
Karang A. Faisal Kairupan
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Sedari pagi-pagi buta, Faisal dan rekan timnya dari The Nature Conservancy (TNC) berangkat dari Berau ke Samarinda dengan menggunakan pesawat kecil. Perjalanan selama 45 menit itu dilanjutkan melalui darat selama 8 jam hingga mencapai Desa Tering, Kabupaten Kutai Barat. Sesampai di sana, mereka tidak sempat bermalas-malasan. Perjalanan masih jauh dengan transportasi berbeda: speedboat untuk sampai di Kecamatan Long Bangun. Sungguh lengkap moda transportasi yang dipakai hari ini. Lewat udara, darat, dan air. Perjalanan yang sangat melelahkan karena mereka berkejaran dengan waktu. Mereka harus sampai di Long Bangun pada pukul 03.00 sore. Sungguh tenggat waktu yang sulit dicapai. Sesekali Faisal terlihat melirik jam tangannya. Wajahnya yang basah terkena cipratan air sungai terlihat tegang dan risau. Semoga tepat waktu. Semoga tak ada banjir di hulu, ya Allah, doanya. Bukan kali pertama Faisal dan timnya melakukan perjalanan ini. Namun, tetap saja perasaan tegang dan risau muncul. Apalagi perjalanan dari Long Bagun menuju Long Pahangai, harus ditempuh dengan melewati dua riam besar yang terkenal sering memakan korban. Tapi tugas adalah tugas dan tugas mereka kali ini Long Pahangai. Long Pahangai adalah kecamatan yang terletak di hulu Sungai Mahakam. Kecamatan ini sebelumnya merupakan bagian daerah 143
Sekolah di Atas Bukit
administratif Kabupaten Kutai Barat. Namun, setelah Kabupaten Kutai Barat dimekarkan, kecamatan tersebut dimasukkan dalam wilayah Kabupaten Mahakam Ulu. Namun, keistimewaan Long Pahangai ini bukan karena administratif wilayahnya, tetapi letaknya yang berada di areal IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam) milik dua perusahaan kayu besar. Kedua HPH tersebut merupakan perusahaan yang didampingi oleh TNC agar mengelola hutan secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Salah satu bentuk pendampingannya berupa fasilitasi kegiatan pengelolaan aspek sosial pada kampung-kampung di sekitar areal HPH bersama dengan tim CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan. Sebelumnya, tim telah berkunjung ke Long Pahangai pada pertengahan tahun 2009 untuk membantu menyelesaikan sengketa tapal batas antarkampung. Pada kunjungan kedua pada awal tahun 2010, tim meneliti penyebab permasalahan, melakukan studi data, dan mengambil dokumentasi untuk dijadikan dasar dalam penyelesaian masalah. Pada kunjungan ketiga ini, tim berharap bisa memberikan solusi dan menyelesaikan masalah tersebut.
Matahari baru naik sepenggalah saat Faisal dan timnya bersiap menuju base camp perusahaan. Perjalanan mereka kemarin terpaksa dihentikan karena mereka tiba di Long Bagun terlalu sore. Hari ini mereka akan bertaruh nyawa melewati Riam Udang dan menghabiskan 144
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
malam di base camp. Keesokan harinya, mereka masih harus bertemu Riam Panjang yang tak kalah ganasnya untuk mencapai Long Pahangai. “Bagaimana, Pak? Kira-kira aman tidak?” tanya Faisal ke motoris perahu sesaat sebelum perahu dijalankan. Melewati Riam Udang saat air tidak pasang saja sudah membuat hati ketar-ketir, apalagi saat banjir atau pasang. Saat air Riam Udang bergejolak, riam itu sangat berbahaya. “Aman, Pak! Arus sungai lagi tenang ini.” jawab sang motoris berusaha menenangkan. Namun, saat tiba di Riam Udang, nyali tiba-tiba menciut. Air deras menghantam bebatuan lalu membentuk pusaran dan gelombang setinggi lebih satu meter. Dengan lincah motoris mengarahkan perahu melewati celah bebatuan dan menghindari pusaran air. “Allahu Akbar!” teriak Faisal diiringi seruan yang sama dari rekan setimnya saat perahu yang mereka tumpangi melaju kencang menembus gelombang-gelombang jeram itu. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti goyangan perahu. Sesekali tubuhnya terhempas ke lantai perahu. Wajah dan pakaiannya yang basah kuyup tak lagi dipedulikan. “Pegangan yang kuat, Pak. Jangan sampai jatuh ke air!” terdengar teriakan juru mesin mengingatkan penumpangnya. Buku-buku jari Faisal memutih karena berpegangan begitu kuat pada pinggiran perahu. Dia tidak ingin terjatuh dan menjadi salah satu korban riam ini. Setelah satu setengah jam berada di atas perahu, mereka akhirnya 145
Sekolah di Atas Bukit
sampai ke base camp. Faisal bernapas lega karena masih bisa menjejakkan kaki di atas tanah. Saatnya beristirahat dan menenangkan diri. Untuk sementara, dia tidak ingin membayangkan Riam Panjang dengan bebatuannya yang sebesar rumah yang akan dilewatinya besok.
Karang kosong dan makam. Itulah dua akar permasalahan tata batas dari empat kampung yang menimbulkan perselisihan di Long Pahangai. Perselisihan yang berlangsung lebih dari 20 tahun. Kemarin pagi, pemuka Kampung Long Pahangai II dan Datah Naha yang tengah berselisih dipertemukan oleh TNC untuk berdiskusi. Pendekatan dokumen yang diterapkan oleh TNC ternyata tidak membawa hasil. Kedua kampung bertetangga yang hanya dibatasi oleh Sungai Mahakam ini akhirnya diminta untuk menjelaskan batas-batas wilayah masingmasing dan wilayah yang diperselisihkan. “Batas kampung kami itu dari bagian sungai ini, naik ke hulu, turun kemudian naik ke pematang… dan seterusnya,” ucap Kepala Kampung Long Pahangai II menjelaskan. Buru-buru Umbar memotongnya karena tim menyadari bahwa ternyata batas wilayah kedua kampung tersebut hanya berdasarkan narasi. Umbar mengusulkan membantu menggambarkan narasi tersebut dalam sebuah peta. Setelah peta selesai dibuat, pemuka adat menelusuri batas-batas kampung mereka. “Bagian yang mana batas kampung, Bapak-bapak? Di peta ini hanya tertera karang,” tanya Umbar. “Karang?” tanya kedua kepala kampung bersamaan. 146
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Iya, Pak. Di situ hanya ada karang kosong dan letaknya di tengah sungai.” “Jadi selama ini kami berselisih hanya untuk karang kosong saja!?” seru seorang pemuka Kampung Long Pahangai II. Lebih baik kita relakan saja. Kami masih punya banyak wilayah,” Akhirnya perselisihan antara Kampung Long Pahangai II dan Datah Naha yang telah berlangsung bertahun-tahun dapat diselesaikan dengan baik. Sayangnya, masih ada masalah yang tersisa: sebuah makam. Dua kampung yang sekerabat mengklaim memiliki hak atas makam tersebut. Perjalanan penyelesaian konflik ternyata masih panjang.
147
Menjejaki Wahid dalam Kehidupan Dayak Gaai Fakhrizal Nashr
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Setengah abad yang lalu, konon nenek moyang tiga suku Dayak terbesar di Banua berawal dari keluarga besar yang sama. Di hulu Kelay yang disebut Lhung Bhu, tiga kakak beradik keluarga nenek moyang suku Dayak sedang mencari binatang buruan dan panganan lainnya. Sampai di satu tempat mereka beristirahat bersama menghilangkan lelah. Salah satu bahan meramu mereka adalah jamur putih seperti payung sebesar jempol tangan yang berhasil dikumpulkan. Itulah yang menjadi menu makan malam mereka. Setelah santap malam, seluruh keluarga besar tersebut tidak menyadari bila jamur yang dilahap tadi membuat mereka mabuk dan tidak sadarkan diri. Saya menyimak dengan penuh rasa ingin tahu dan perhatian setiap ucapan sang tetua. Bagi saya, cerita ini sangat penting. Sangat sulit menemukan risalah seperti ini dalam tulisan karena selalu dituturkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. “Dalam keadaan mabuk, ketiga kakak beradik tersebut berjalan terpisah,” ucap sang tetua Gaai Lesan Dayak melanjutkan ceritanya. “Seorang diantaranya menjadi Dayak Mapnan yang milir tidak jauh dari tempat mereka makan malam. Satu orang lagi berjalan menyisiri sungai hingga ke kaki gunung karst lalu membentuk komunitas Dayak Lebok. Sedangkan seorang lagi yang memutuskan perjalanan ke Sungai Segah dan hilir Sungai Kelay menjadi Dayak Gaai. Dan kamilah ini, cucu-cucu mereka.”
Perjalanan
kehidupan mengantarkan saya bersinggungan dengan
jalan panjang sejarah Dayak Gaai. Saya dipertemukan pada zuriah kisah 149
Sekolah di Atas Bukit
panjang masyarakat yang rendah hati, zuhud dalam hidup, dan kesatria dalam kesyukuran alam semesta. Dari mereka, saya belajar memaknai ayat-ayat Tuhan yang disiratkan oleh alam. Belajar merangkai titiktitik kehidupan manusia dan tugas besarnya di bumi. Saya percaya dari bumi Indonesia inilah awal muasal penyebaran manusia. Terlebih setelah ditemukannya manusia pendek hobbit di Flores, Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Usia manusia yang lebih tua dari Homo Sapien. Teori terbaru tentang sejarah penyebaran manusia adalah Out of Sundaland yang dikemukakan oleh Oppenheimer. Teori ini menyatakan bahwa Sundaland dahulu merupakan kawasan berbudaya tinggi yang kemudian tenggelam sehingga manusia-manusia spiritual yang memiliki daya intuitif tinggi yang menghuni kawasan itu menyebar dan menurunkan ras-ras baru di bumi. Teori ini membantah teori lain yang berpendapat bahwa manusia pertama berasal dari Afrika atau Out of Africa yang kemudian menyebar menuju ke berbagai tempat di bumi. Teori lain yang mungkin menarik untuk diketahui adalah bahwa peradaban manusia berulang setiap 4.000 tahun. Manusia pertama sampai pada puncak kemutakhiran itu berawal pada masa Nabi Adam AS dan berakhir di masa Nabi Nuh AS. Sisa manusia yang selamat pada masa itu kemudian berkembang biak sampai pada akhir dari 4.000 tahun kedua pada masa Nabi Isa AS. Kita yang saat ini dengan kecanggihan IT, industri senjata, dan fesyen baru saja berjalan 2.000 tahun dan berada pada pertengahan episode ketiga. Belum sampai pada teknologi yang dikisahkan Tuhan ketika 150
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Istana Ratu Balqis dipindahkan dalam kejapan mata. Kisah tentang mengubah partikel api yang kehilangan daya kalor panasnya. Kisah mengenai terbelahnya lautan dan perubahan massa tongkat kayu menjadi seekor ular ataupun kisah-kisah lainnya. Tentu peradaban mereka sudah jauh lebih tinggi di zaman tersebut sehingga ketika teknologi para nabi tersebut diperagakan di depan mata para ilmuan Firaun, mereka mengakui keagungan Tuhan pada batas nalar dan intelektualitasnya. Pada episode 4.000 tahun terakhir tersebut, saya mengagumi sosok manusia tradisional yang telah mewarnai hidup saya selama lima tahun terakhir ini. Hat adalah salah satu nama klasik yang dilafazkan semalam suntuk dalam lantunan tarian Jiak. Gemerecik aliran Sungai Lesan berpadu harmonis dengan entakan-entakan kaki pada permukaan papan-papan kayu yang menyusun balai sederhana, helaan napas wukuf kebersamaan, semilir angin, dan tabuhan gong yang cepat dan panjang. Lantunan Jiak sulit diartikan oleh masyarakat adat Dayak sendiri. Konon, setiap kata dalam Jiak tersebut sebenarnya merupakan namanama nenek moyang mereka. Saya membayangkan nama-nama orang yang telah menginspirasi cerita Qurani yang telah dicatat dalam lembaran-lembaran nabi-nabi yang diutus Tuhan dahulu kala.
Saya hadir dalam satu peristiwa penting, upacara penggalian budaya adat Dayak Gaai, Emlie Hejung Pleay. Suatu gerak kolosal masyarakat yang belajar dan terinspirasi dari alam. Guru paling tua manusia. Melalui upacara ini, dihidupkan kembali romantisme budaya leluhur 151
Sekolah di Atas Bukit
yang selaras dengan keberadaan hutan. Upacara meminta perlindungan dan mengucap kesyukuran saat menanam dan memanen. Emlie Hejung Pleay pernah dilaksanakan setengah abad yang lalu dan baru pada bulan Desember 2011 upacara tersebut diadakan kembali untuk mempersiapkan musim tanam padi. Upacara ini mengikat semua anggota komunitas yang berada pada dua lokasi kampung, baik anakanak, remaja, dewasa maupun orang tua. Dari wajah dan sorot mata masyarakat, terpancar semangat akan suka cita pesta budaya sebagai aborigin atau orang pertama yang menghidupi hutan kampung mereka saat ini. Tetua adat dan sebagian masyarakat begadang selama dua malam dengan ber-jiak, memotong babi, meminum tuak, dan menyantap singkong berbalur madu hutan. Upacara Emlie Hejung Pleay dilakukan untuk meminta perlindungan nenek moyang dan alam semesta agar menjaga padi dari kerusakan dan gangguan hama. Perlindungan ini diragakan dalam bentuk analogi rupa-rupa wujud setan, jin, makhluk gaib yang tinggal di hutan dalam bentuk tarian Hudoq dan coreng moreng arang yang menakutkan yang terlukis di wajah para penari, layaknya parade pesta Halloween. Makhluk gaib itulah yang menjaga keberhasilan panganan masyarakat, sebuah kekuatan yang lebih besar dari diri manusia, yang menjaga keseimbangan tatanan masyarakat. Dialah tanah ibu mereka Hutan. Tiba-tiba sang ketua adat, Pak Hatsong, berteriak di tengah kerumunan masyarakat. “Saya meminta leluhur, nenek moyang, Kampung Lesan
152
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Dayak!” Teriakannya keras dan jelas memenuhi gendang telinga. Meluncur kata-kata gaib dari bibirnya dengan lantang. Tangannya tengadah menjulur tinggi ke langit. “Meminta sebuah nama untuk disematkan. Nyek Wan, nama dari ayah kandung saya untuk disematkan kakek buyut kita kepadamu.” Saya berdiri canggung, tak bergerak. Terhipnotis oleh setiap kalimat yang diucapkan Pak Hatsong. “Sedari hari ini, semua masyarakat Kampung Lesan Dayak, memanggilmu dengan sebutan, ‘Bokai Nyek Wan’!” ucap Pak Hatsong sambil memandangku lekat-lekat. Semua mata dan telinga menyimak dengan hati-hati apa yang baru dilakukan dan diujarkan oleh ketua adat. ‘Bokai Nyek Wan’!
Nyek Wan adalah Kepala Kampung Lesan Dayak pertama pada tahun 1945 hingga tahun 1960-an. Dari istri pertamanya, Nyek Wan mendapatkan dua anak lelaki dan tiga anak perempuan. Keseluruhan zuriahnya menetap di Kampung Lesan Dayak sampai saat ini. Hidupnya yang sepi sejak ditinggal istrinya, kembali dipenuhi warna ketika dia mendapatkan cinta kedua dari seorang janda Dayak dari pernikahan dengan suami bersuku Bugis yang telah menjadi muslimah. Mereka kemudian menetap di Teluk Bayur. Nyek Wan yang mualaf pun mendapat nama muslim, Abdul Wahid. Nama yang tersemat hingga dia tutup usia.
153
Sekolah di Atas Bukit
Liku perjalanan hidup Wahid hingga bertemu cinta keduanya, hanya dia yang tahu. Terakhir kali Wahid terlihat oleh masyarakat saat meninggalkan rumah untuk mengolah ladangnya di ujung sungai kemudian tak pernah kembali lagi. Menurut penuturan orang tua yang masih hidup di sana, perahu yang dikayuh Nyek Wan tenggelam. Dia menyatu dengan Sungai Segah, pulang kembali kepada alam yang telah melahirkannya. Nama Nyek Wan masih dikenang hingga saat ini oleh masyarakat Dayak Gaai Kampung Lesan Dayak. Saya belajar banyak dalam perjalanan kali ini. Belajar tentang multikulturalisme budaya Islam, Kaharingan, Kristen, dan Ritus Alam yang banyak menghiasi praktik kehidupan Dayak.
Dua anak gadis cucu dari Pak Hatsong, diam dan berdiri mematung tidak jauh dari saya yang tengah berkemas untuk pulang. Saya yang tersadar saat menangkap tatapan malu-malu mereka kemudian mengarahkan pandangan penuh perhatian. Kedua gadis yang berwajah Melayu Dayak ini bernama Ajeng dan Puspa. “Bokai,” sapa Ajeng dan Puspa. “Kita mau salaman sama Bokai,” lanjut mereka dengan tulus. Ternyata kakek mereka menyuruh agar mereka berdua meminta salam hormat dan cium hangat dari Bokai-nya yang separuh baya ini. Sebelum meninggalkan kampung, saya berjanji akan melepas anak-anak Bokai dengan bahasa Gaai. Sebuah permintaan dari ketua adat semalam.
154
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Kekas kekas sekaw… Kui kelemlie hengen… Elkay tlaw pedde lehtay… Saya membisiki kuping Samuel Hatsong, sambil memeluk hangat menyiratkan akan kembali. Sambil membatin kata demi kata yang makna-maknanya kini mulai meresapi jiwa. Baik-baiklah kalian tinggal… Saya mau pulang dulu… Nanti pasti kita ketemu lagi… Perjumpaan kami ini bukanlah kebetulan. Perjumpaan ini semuanya telah ditulis oleh pena alam semesta. Tinta telah mengering. Perjalanan hidup membawa saya dalam pencarian diri menuju Yang Maha Gaib di Lesan Dayak.
155
Loyalitas Seorang Supir Abdul Rahman
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Abdul Rahman. Nama itulah yang tertera pada KTP yang dimiliki oleh sosok yang sering disapa dengan panggilan Daeng. Pria ramah yang kini berusia 56 tahun ini masih berlogat Bugis yang sangat kental, meski dia telah lama meninggalkan tanah kelahirannya di Soppeng, Sulawesi Selatan. Perantauan memberi Daeng banyak pengalaman hidup. Dimulai dari pengembaraannya ke tanah Papua, tempat dia bekerja di pabrik pembuat batu tela, sejenis batako yang berukuran besar, selama enam bulan. Saat masih muda, dia juga sempat menjadi kernet mobil. Pada siang hari, dia menjadi kernet hingga pukul 12 malam. Setelah itu, dia harus mencuci mobil di sungai, lalu memarkir mobil yang sekaligus menjadi kamar tidurnya di garasi. Dari ketelatenannya bekerja, Daeng sempat belajar mengemudi, dan akhirnya dipercaya menjadi sopir. Berkat kemahirannya mengemudi, Daeng dipercaya membawa mobil hingga ke luar kota. Di Papua, Daeng dipertemukan dengan belahan jiwanya. Di awal tahun 1971, Daeng meminang seorang dara cantik yang kelak memberinya delapan orang anak. Beberapa tahun setelah menikah, Daeng pindah ke Nabire untuk bekerja di PT Bumi Karsa. Perusahaan milik H. Kalla tersebut tengah mengerjakan proyek lokasi pemukiman transmigrasi di Nabire. Daeng dipercaya mengemudikan truk engkel. Selama tiga tahun dia menekuni pekerjaan tersebut sebelum akhirnya memilih menjadi sopir taksi. 157
Sekolah di Atas Bukit
Setahun mengemudikan taksi, Daeng memutuskan untuk beristirahat. Di tengah kejenuhan, dia berdiskusi dengan istrinya tentang rencana kembali ke Makassar. Kesepakatan pun terjadi. Tepatnya pada tahun 1985, Daeng memboyong istri dan lima anaknya kembali pulang ke Makassar. Di sana, dia bekerja sebagai sopir angkutan antarkota dengan rute Makassar – Pare-Pare – Pinrang. Sayangnya, profesi ini tidak lama dia jalani. Merasa tidak betah, dia memutuskan untuk kembali merantau. Kali ini dia memilih Kendari, Sulawesi Tengah, sebagai tempat persinggahan yang baru. Di Kendari, dia kembali bekerja sebagai sopir selama empat tahun. Di kota inilah Daeng kembali mendapatkan anugerah dari Tuhan, yakni kelahiran tiga anak yang lucu-lucu. Saat mulai merasa betah, tibatiba saja dia dipanggil oleh ibunya untuk segera pulang ke Makassar. “Pulanglah, Nak. Ayahmu sudah tiada. Di sini tidak ada laki-laki. Pulanglah,” ujar ibunya. Namun, setelah tinggal selama setengah tahun di Soppeng, Daeng kembali mengepak pakaian dan berangkat merantau ke Tanah Grogot, Balikpapan. Pada tahun 1998, dengan menggunakan kapal Teratai, Daeng meninggalkan Tanah Grogot menuju Berau untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah terlebih dahulu menetap di Berau. Di Berau, Daeng sempat menganggur selama empat bulan, sebelum akhirnya diterima bekerja di INHUTANI BFMP (Berau Forest Management Project), sebagai sopir. Setelah kontrak kerjanya di BFMP selesai, dia melamar kerja di pelabuhan, dan diterima sebagai sopir 158
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
truk pelabuhan. Saat menjadi sopir truk di pelabuhan inilah Daeng berkenalan dengan The Nature Conservancy (TNC). Saat tengah mengemudikan truk, dia bertemu dengan Junaedi dan Saleh, dua orang temannya yang sudah terlebih dahulu bergabung di TNC. “Ayolah, Daeng... di sini saja, bergabunglah dengan kami. Ayolah, bergabung ke TNC saja.” “Ndak lah... sudah enak bawa truk,” jawab Daeng menolak ajakan mereka. Dia sudah merasa nyaman bekerja sebagai sopir di pelabuhan. Setelah berkali-kali dibujuk, akhirnya Daeng menyerah dan bergabung dengan TNC pada tanggal 23 Juni 2003. Pengalamannya sangat berguna dalam menghadapi medan terjal di lapangan. Keselamatan penumpang yang terdiri dari para peneliti dan para tamu selalu menjadi perhatian utamanya. Tidak jarang, dia harus memutar otak saat melewati ruas jalan dan jembatan yang rusak. Banyak suka dan duka dialaminya selama satu dekade. Salah satu pengalaman yang tak akan pernah dilupakannya adalah saat mengantar tim survei ke hutan lindung Wehea pada tahun 2005. Saat itu, belum dibuka jalan yang mengarah ke hutan lindung. Daeng dan tim survei harus bekerja keras membuka jalan agar dapat dilalui kendaraan. Masalah tidak berhenti di situ. Saat tim akan meninggalkan hutan lindung, hujan turun dengan derasnya. Arus air hujan yang deras menghanyutkan jembatan hingga jalan terputus dan otomatis tidak dapat dilalui dua kendaraan yang dibawa oleh Daeng dan Saleh. 159
Sekolah di Atas Bukit
Dengan gergaji mesin, Daeng dan anggota tim survei memotong kayu untuk membuat jembatan. Hambatan dapat dilalui dengan baik. Rasa syukur yang tak terkira selalu terucapkan saat Daeng berhasil mengantarkan tim survei ke hutan dan kembali ke kantor dengan selamat. Lebih dari dua per tiga usianya dihabiskan Daeng di belakang kemudi. Selama di TNC, Daeng berusaha untuk tepat waktu dan mengikuti jadwal yang ditentukan oleh kantor. Dia sama sekali tak pernah mengeluh. Hanya satu hal yang dia sayangkan. Sebagai muslim yang taat, Daeng dan kawannya sering kali tidak dapat melaksanakan kewajiban salat Jumat karena sering bersamaan waktunya dengan jadwal mengantar tamu. Perubahan jadwal yang mendadak sering kali membuat Daeng tidak dapat mencapai tujuan, atau kembali ke kantor tepat waktu. Beberapa kali para tamu dan rekan peneliti meminta Daeng untuk siap di kantor pada pukul 08.00 pagi, tetapi mereka baru berangkat menjelang salat Jumat. Di satu sisi, salat Jumat menjadi kewajiban, sementara di sisi lain menjalankan amanah untuk mengantarkan penumpang juga bagian dari tugas. Hal ini kerap kali membuat Daeng kesal. Tetapi apa mau dikata, sebagai orang yang bertugas di lapangan, Daeng harus melaksanakan tugas dengan fleksibel. Terlepas dari pengalaman-pengalaman duka, banyak kejadian manis yang membuatnya selalu bersyukur. Daeng mendapatkan gaji yang lebih
160
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
dari cukup dan dibayarkan tepat waktu. Bahkan semua biaya pendidikan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi juga ditanggung. Masalah kesehatan juga tidak luput dari perhatian. Saat Daeng dan istrinya mengalami kecelakaan yang membuat tiga ruas jari kakinya terpaksa dioperasi, dia dan istrinya diterbangkan ke Balikpapan untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif dan tanpa dipungut biaya. Waktu begitu cepat berlalu, pada 23 Juni 2014, Daeng sudah bekerja di TNC selama 11 tahun. Dia bekerja keras memastikan rekanrekannya untuk menjalankan tugasnya menyelamatkan hutan dan keanekaragaman hayati Kalimantan. Usianya kini menginjak 56 tahun. Daeng tak lagi muda. Waktunya untuk beristirahat, menikmati hidup tenang bersama istri dan anak-anaknya. Kini Daeng tengah menanti surat pensiunnya. Dia dapat tersenyum lebar karena di akhir pengabdiannya, dia telah berkontribusi menyelamatkan kekayaan bumi Kalimantan. “Terima kasih, Daeng. Terima kasih karena kesetiaan dan kesabaran mengantarkan tim ke setiap lokasi tugas konservasi dan kembali dengan selamat.”
161
Bumi Tanpa Hutan, Bumi Tanpa Kehidupan Bambang Wahyudi
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Apa jadinya bumi tanpa hutan? Bila hutan musnah, apakah masih ada kehidupan di bumi? Mungkinkah manusia, makhluk hidup lainnya, dan bumi mampu lestari tanpa adanya hamparan hijau hutan? Seberapa pentingnya keberadaan sebatang pohon atau sehektar-dua hektar hutan? Pohon. Mahluk hidup ciptaan Tuhan yang tumbuh menjulang ke langit, akarnya menghunjam kuat ke bumi, daunnya yang rimbun memberikan kehidupan bagi makhluk bumi lainnya. Pohon mampu menyerap gas karbon dan menyimpannya di batang, dahan, maupun di akar. Sebuah pohon dewasa mampu menyerap gas CO2 hingga 48 pon setiap tahun, menyimpan satu ton gas CO2 hingga usia pohon mencapai 40 tahun, dan menghasilkan oksigen yang cukup untuk empat orang. Nah, coba hitung berapa banyak emisi karbon yang tersimpan pada jutaan hektar hutan yang berumur ribuan tahun. Uniknya, gas CO2 yang diserap dan disimpan oleh pohon ini akan terlepas ke atmosfer saat pohon ditebang. Pelepasan gas CO2 inilah yang berdampak pada meningkatnya emisi karbon. Jadi, pohon dapat menjadi solusi dan juga penyebab pemanasan global dan perubahan iklim yang dipicu oleh emisi gas karbondioksida. Bayangkan, ada berapa juta ton karbon yang terlepas ke atmosfer saat jutaan hektar hutan Indonesia yang menyerap dan menyimpan karbon sejak ribuan tahun lalu ditebang untuk perkebunan sawit. Tentunya tidak perlu bertanya-tanya mengapa suhu di bumi semakin terasa panas setiap tahunnya. 163
Sekolah di Atas Bukit
Indonesia sangat beruntung karena dikaruniai hutan luas, sekaligus menjadi salah satu paru-paru dunia. Luas hutan sebesar 99,6 juta hektar yang menutupi 52,3 persen luas daratan Indonesia (Statistik Kehutanan Indonesia, 2011), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ke-9 di dunia. Sementara itu, hutan tropis Indonesia merupakan yang terluas ke-3 di dunia setelah Brazil dan Kongo. Keseluruhan kawasan hutan ini menyimpan kekayaan hayati yang tak ternilai. Ironisnya, Indonesia beberapa kali mencatat rekor di Guiness Book of Record sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Menurut peneliti Indonesia, Belinda Arunarwati Margono, 6,02 juta ha hutan Indonesia musnah sejak 2002 hingga 2012. Bayangkan, sebanyak 60 ribu km2 hutan yang hilang tersebut hampir setara dengan luas negara Irlandia. Laju deforestasi bahkan semakin parah di tahun 2012 yang mencapai 840 ribu ha, jauh di atas angka deforestasi Brasil (National Geographic Indonesia, 01 Juli 2014). Menurut Bambang Wahyudi, Manajer Peningkatan Pengelolaan Hutan di The Nature Conservancy (TNC), hutan telah berubah sangat drastis. Lelaki paruh baya yang telah keluar-masuk hutan Kalimantan sejak tahun 1987 ini, bercerita bahwa hutan tropis Kalimantan di tahun tersebut masih sangat bagus. Pohon-pohon tak terhitung banyaknya. Meranti merah, meranti putih, gaharu, dan banyak jenis pohon lainnya dengan diameter bervariasi dapat ditemukan dengan mudah.
164
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Dulu, di tahun 1987… saat saya survei di hutan dan sedang berbaring di pondok saat malam hari, dari kejauhan sering terdengar bunyi menggelegar. Itu suara pohon-pohon tua yang tumbang. Tapi sekarang, suara pohon tumbang seperti itu tidak lagi terdengar. Hutan tidak seperti dulu lagi. Dulu, pohon tua di hutan tumbang dengan sendirinya. Tetapi sekarang, pohon-pohon ditumbangkan,” cerita Bambang. Deforestasi hutan Indonesia utamanya disebabkan oleh kebakaran hutan, penyalahgunaan hak pengusahaan hutan (HPH), alih fungsi hutan, dan pemekaran wilayah. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya rusak dalam kebakaran yang terjadi dari tahun 1997 hingga 1998. Bahkan di bulan Maret 2014, kebakaran hutan di Riau terjadi di lebih dari 3 ribu titik api (World Resource Institute & Global Forest Watch, 2014). Rusaknya hutan-hutan Indonesia paling besar diakibatkan oleh kegiatan industri terutama industri kayu yang menyalahgunakan izin HPH yang mengarah ke pembalakan liar. Penebangan hutan semakin tak terkendali saat pemerintah membuat program Hutan Tanaman Industri (HTI) di tahun 1990. Jutaan hektar hutan dibabat habis untuk dijadikan areal HTI. Namun, sebagian besar di antaranya tidak pernah ditanami. “Puncak kerusakan hutan terjadi sejak tumbangnya Orde Baru di tahun 1999,” ujar Bambang.
165
Sekolah di Atas Bukit
Menteri Kehutanan Muslimin Nasution mengeluarkan kebijakan, yaitu Forest for People (Hutan untuk Rakyat) yang memberikan masyarakat kewenangan untuk mengelola hutan skala 100 ha. Izin pengelolaan yang disebut Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) ini cukup dikeluarkan oleh bupati setempat. “Hutan menjadi karutmarut karena mudahnya mendapat izin penebangan. Harga kayu sangat murah dari Rp500.000,- per kubik turun hingga Rp100.000,- karena stok kayu yang melimpah. Bayangkan, untuk di Kutai Barat saja, ada 1.200 izin dikeluarkan saat itu, bagaimana hutan jadi tidak karuan,” keluh Bambang. Alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemukiman juga mengakibatkan semakin berkurangnya luas hutan Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Booming-nya industri sawit membutuhkan lahan yang luas. Hingga Juni 2010, sekitar 2,8 juta ha hutan dibabat, dikeringkan, dan dibakar untuk ditanami kelapa sawit (Forest Watch Indonesia, 2011). Ekspansi perkebunan kelapa sawit bahkan menjadi penyebab utama kerusakan hutan di Kalimantan karena dilakukan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungannya. Kalimantan menjadi penyumbang deforestasi terbesar di Indonesia. Dalam periode 2000-2009, 36,32 persen atau 5,50 juta ha hutan Kalimantan musnah (Forest Watch Indonesia, 2011). Rusaknya hutan bukan hanya sangat berdampak pada fungsi hutan sebagai pengatur iklim dengan menampung CO2 dan menghasilkan 166
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
oksigen, tetapi juga menghilangkan sumber air dan memusnahkan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna yang tak ternilai harganya. Tumbuhan dan hewan ini akan terancam punah. Selain itu, rusaknya hutan juga mengancam sumber perekonomian dan mengikis kebudayaan orang-orang rimba yang hidup di hutan dan sekitarnya. Bila di Brazil Greenpeace mencatat punahnya 87 kebudayaan karena rusaknya hutan, bagaimana dengan Indonesia? Tanpa hutan, bagaimana eksistensi orang-orang rimba seperti masyarakat Dayak dan Anak Dalam? Bagi masyarakat Dayak, hutan adalah dunia, sumber utama dan pertama kehidupan. Hutan adalah sumber kehidupan ekonomi, tempat berladang dan berburu. Hutan adalah sumber kehidupan budaya, tempat mendapatkan bahan ramuan obat-obatan, bahan untuk membuat alat-alat rumah tangga, alat-alat berburu, dan bahan perlengkapan untuk upacaraupacara keagamaan dan budaya lainnya. Hutan adalah rimba warisan dari nenek moyang untuk dijaga dan dinikmati hasilnya secara berkelanjutan. Namun demikian, demi modernisasi dan industrialisasi, masyarakat Dayak diusir dari hutan. Dengan selembar surat izin HPH, para pemodal sawit menggusur masyarakat Dayak dari hutan adat, warisan nenek moyang mereka. “Kesalahan pemerintah kita pada saat menerbitkan izin HPH, mereka tidak pernah bertanya pada masyarakat Dayak. Perusahaan juga masuk tanpa izin atau permisi. Tidak ada penghargaan sama sekali kepada masyarakat adat,” jelas Bambang.
167
Sekolah di Atas Bukit
Hutan tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi (high economic value) tetapi juga nilai budaya yang tinggi (high cultural value). Perusahaanperusahaan tidak memedulikan HCV ini. Mereka tidak peduli atau menyadari bila di antara blok-blok hutan yang ditebang terdapat situssitus budaya Dayak seperti pekuburan. Ini yang selalu menjadi sumber konflik antara perusahaan dan masyarakat. “Hutan lenyap, budaya Dayak lenyap juga,“ ucap Bambang yang mempersunting gadis Dayak 26 tahun lalu. Seluruh aktivitas masyarakat Dayak berhubungan dengan hutan dan beberapa jenis pohon mempunyai fungsi yang sangat penting bagi mereka. “Pohon upas adalah pohon yang sangat berharga bagi masyarakat Dayak. Getah pohon ini dijadikan racun untuk anak sumpit yang dipakai berburu. Racunnya sangat keras dan bisa bertahan hingga sebulan. Nah, kalau pohon upas sampai ditebang oleh perusahaan, bagaimana dengan kehidupan masyarakat? Bukankah sumpit itu untuk berburu yang menjadi mata pencaharian mereka?” kata Bambang. Rusaknya hutan Kalimantan membuat masyarakat Dayak kesulitan untuk mendapatkan binatang buruan. Payau, babi hutan, dan binatang buruan lainnya kini jarang terlihat karena hutan yang memiliki sepan atau air garam tempat binatang minum berubah menjadi kebun kelapa sawit. Banyak upacara-upacara adat Dayak yang sulit dilakukan akibat penebangan hutan yang tidak terkendali di Kalimantan. Masyarakat Dayak kesulitan untuk mendapatkan kayu ulin, padahal sangat diperlukan untuk lungun. Lungun yang dibuat dari kayu ulin ini digunakan 168
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
untuk menyimpan mayat dan semua harta almarhum semasa hidup sebelum dikubur di dalam tanah. Bila deforestasi di Kalimantan masih terus berlanjut, beberapa tahun mendatang, saat hutan sudah gundul dan ulin tak lagi bisa ditemukan, maka budaya Dayak pun akan lenyap. Keberadaan hutan berpengaruh pada setiap aspek kehidupan manusia. Hutan sangat penting bukan hanya bagi orang-orang rimba seperti masyarakat Dayak, tetapi seluruh makhluk hidup di bumi ini. Tanpa hutan, makhluk hidup tak memiliki sumber oksigen. Tanpa hutan, makhluk hidup tak memiliki bahan makanan. Tanpa hutan, makhluk hidup tak memiliki sumber air. Tanpa hutan, makhluk hidup menghadapi bencana alam yang semakin dahsyat setiap tahunnya. Mari selamatkan hutan alam yang tersisa, karena bumi tanpa hutan adalah bumi tanpa kehidupan.
169
Implementasi RIL-C, Mungkinkah? Delon Marthinus
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Hari itu mungkin hari terberat dalam hidup Delon. Berjalan jauh melintasi hutan sambil memanggul tas seberat 25 kg bukanlah hal mudah. Apalagi beban tas yang menggantung di pundaknya terasa semakin berat setiap kali dia melangkahkan kaki. Keringat yang mulai menganak-sungai di wajahnya, perlahan jatuh membasahi kemeja flanel biru yang dikenakannya. Sesekali disekanya dengan lengan bajunya. Delon dan Umbar, rekannya di The Nature Conservancy (TNC), serta empat orang warga lokal berjalan menyusuri hutan perawan menuju lokasi HPH PT Karya Lestari. Namun sudah berjam-jam berjalan, lokasi flying camp (kamp berpindah) yang dituju belum juga terlihat. Bila kamp maupun lokasi salah satu blok tebangan PT Karya Lestari yang luasnya 100 ha itu tidak mereka temukan, mereka tidak bisa melakukan validasi data risalah yang merupakan bagian dari pengujian konsep RIL-C. Sejak tahun 2009, TNC memang telah mengembangkan konsep RIL-C (Reduce Impact Logging-Carbon) atau teknik pembalakan ramah lingkungan. Teknik pembalakan ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pada tegakan tinggal dan tanah dan sekaligus memaksimalkan penyimpanan karbon hutan dan pengurangan emisi karbon. Pada konsep RIL-C, setiap kegiatan pelaksanaan produksi hasil hutan mulai dari perencaanaan, pengelolaan, pemetaan, hingga monitoring didefinisikan secara rinci. Dengan konsep RIL-C, praktik pembalakan yang konvensional ditingkatkan hingga emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan tersebut bisa diturunkan. 171
Sekolah di Atas Bukit
Hal dasar yang paling utama dalam konsep RIL-C adalah kegiatan perencanaan khususnya peta perencanaan pemanenan yang baik. Untuk membuat peta pemanenan pohon yang baik, harus dilakukan Inventarisasi Tebangan Sebelum Penebangan (ITSP). Data ITSP ini diperoleh dengan melakukan risalah untuk mencatat, mengukur dan memberi tanda pada pohon dalam areal blok kerja untuk membedakan antara pohon inti, pohon yang dilindungi, dan pohon yang akan ditebang, serta untuk mengumpulkan informasi mengenai medan kerja. TNC
selalu
mendorong
perusahaan-perusahaan
HPH
untuk
mempraktikkan konsep pengelolaan hutan produksi yang berbasis manajemen karbon, baik dengan melaksanakan RIL-C dalam proses pemanenannya,
Sertifikasi
Hutan
(Forest Certification),
maupun
Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management). Ketiga konsep pengelolaan hutan tersebut merupakan bagian dari program RAFT (Responsible Asia Forestry Trade). Di Berau, salah satu perusahaan yang bertekad untuk mempraktikkan konsep RIL-C ini adalah PT Karya Lestari. Dan perusahaan ini telah melakukan risalah untuk mendapatkan data ITSP sebelum melakukan penebangan. Matahari sudah mulai condong ke barat, tetapi tak ada tanda-tanda tempat tujuan mereka sudah dekat. Untuk kesekian kalinya, Delon menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Terpal yang tadi dia panggul di atas ranselnya kini berpindah ke pundak salah seorang warga lokal. Langkahnya sudah mulai pendek-pendek, kakinya pun semakin berat untuk melangkah. Kenapa juga saya ikut masuk hutan, padahal tugas ini bisa saya delegasikan ke Mas Umbar, keluhnya. 172
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Aduh, sepertinya kita tersesat!” seru penunjuk jalan. “Bukannya Bapak sudah pernah ke kamp itu?” tanya Umbar. “Sudah, Mas. Malah sudah dua kali ke sana. Tetapi saya tidak tahu, kok, bisa tersesat seperti sekarang.” “Lalu bagaimana ini? Kita, kan, harus tiba di kamp sebelum malam,” ucap Delon khawatir. Penuh frustrasi, salah satu anggota tim Delon yang memanggul bekal yang berat menghentikan langkahnya. Bekal persiapan untuk seminggu di hutan diturunkan dari pundaknya. ”Aduh… capek sekali,” keluhnya. “Bekal air mineral, kita buang saja… saya sudah nggak kuat lagi membawanya.” “Iya, buang saja!” ucap Delon. “Jadi, bagaimana sekarang? Kita jalan terus?” “Jalan saja, saya sudah ingat jalannya,” jawab penunjuk jalan sambil mengayunkan kakinya menyusuri jalan yang tadi telah mereka lalui. Delon dan keempat anggota tim yang lain pun dengan lunglai mengikuti di belakang penunjuk jalan. Tujuan yang belum jelas dan tubuh yang lelah membuat seluruh anggota tim kehilangan harapan. Rasa kesal pun mulai memuncak. Seorang anggota tim yang membawa jeriken solar bahkan sampai melempar bawaannya setelah terjatuh untuk kesekian kalinya. Jeriken berisi solar ditinggal begitu saja sampai akhirnya dipungut oleh anggota tim yang lain. Untunglah sebelum kekesalan semakin memuncak dan sebelum matahari terbenam, mereka sampai juga ke kamp PT Karya Lestari. Ternyata dalam perjalanan-perjalanan ke gunung atau ke hutan, karakter asli seseorang bisa terlihat. 173
Sekolah di Atas Bukit
Hari pertama validasi hasil risalah ditandai dengan matahari yang bersinar dengan cerah setelah sepanjang malam hujan mengguyur deras disertai angin kencang. Langit yang cerah ini seakan-akan memberikan restu kepada Delon dan tim untuk memulai tugasnya. Dengan postur tubuh yang lebih besar dibandingkan tubuh anggota timnya yang lain, ditambah lagi dengan hobinya berolahraga, Delon merasa siap melakukan validasi. Dengan penuh percaya diri dia ikut berjalan mengecek data hasil risalah. Tetapi setelah berjalan cukup lama, baru dia sadari bila dia memperlambat kerja tim karena berjalan paling lambat. Pada validasi data hari kedua, Delon memutuskan untuk tinggal di kamp karena tidak ingin menghambat kerja tim. Tak pernah dia bayangkan bila berada seorang diri di kamp di tengah hutan dari pagi hingga sore itu lebih sengsara. Suara-suara hewan membuatnya terganggu. Akhirnya untuk mengisi waktu, dia memutuskan memasak makanan untuk anggota timnya. Tengah asyik memasak, tiba-tiba terdengar suara-suara keresek yang semakin lama berubah menjadi suara gemuruh yang mendekati kamp. Bergegas Delon masuk ke tenda untuk berlindung. Penuh kepanikan dan rasa ngeri, dia menunggu asal suara gemuruh tersebut. Tak lama, dari balik tenda dia melihat gerombolan kera hitam datang mendekati kamp. “Ahh... hanya kera,” ucap Delon sambil mengelus dada. Dari luar tenda suara riuh kera yang ditimpahi dengan bunyi dahan dan ranting pohon 174
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
terus terdengar. Prakk…prakk…prakk. Penuh rasa ngeri, Delon menunggu gerombolan kera menjauh dari tenda. “Arrgghh… kalau tahu begini, mendingan tadi saya ikut tim validasi!“ keluhnya. Ketakutan yang dialaminya ternyata belum berakhir. Hujan deras dan angin kencang di malam hari membuatnya tak bisa memejamkan mata. Apalagi di tengah malam tiba-tiba terdengar suara pohon tumbang. Rrrrrrrrr… buumm! Delon sudah membayangkan bila pohon itu menimpa tendanya. Untungnya, validasi data risalah yang diperkirakan akan memerlukan waktu empat hari ternyata bisa dirampungkan dalam tiga hari. Hasil validasi data risalah yang tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan membuat Delon dan tim memutuskan untuk pulang keesokan harinya. ”Data di jalur-jalur yang kita pilih di hari pertama tidak bagus,“ ucap Delon saat tim berkumpul mendiskusikan temuan mereka. ”Data di jalur-jalur yang kami susuri hari ini juga begitu. Saya pikir percuma untuk mengecek data yang lain,“ timpal Umbar. ”Seandainya hasil validasi data di keempat jalur yang kita pilih kemarin dan hari ini bagus, mungkin kita bisa tambah sehari lagi untuk validasi jalur yang lain. Tetapi data yang sekarang seperti ini. Lebih baik kita pulang saja,” ujar Delon. “Jadi data ini tidak bisa dipakai untuk menguji RIL-C?” tanya Umbar. “Tidak, kita harus melakukan risalah ulang. Tetapi sebaiknya jangan pada saat musim hujan seperti ini. Seandainya data risalahnya bagus, 175
Sekolah di Atas Bukit
kita sudah bisa membuat model RIL-C di blok penebangan ini. Kita bisa buktikan ke perusahaan kalau konsep RIL-C ini bagus untuk mereka karena bisa meningkatkan efektivitas dan mengurangi biaya. Sayang sekali datanya tidak bagus,” keluh Delon. Penerapan konsep RIL-C memang tidak hanya mengurangi emisi karbon dari kegiatan pembalakan tetapi juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. Pada proses penyaradan dengan cara konvensional yang dilakukan oleh hampir semua perusahaan HPH di Berau, perusahaan biasanya tidak memiliki peta pemanenan dan menggunakan buldoser. Tanpa peta pemanenan yang jelas, buldoser tidak punya jalan dan akan berjalan tanpa rute yang jelas. Hal ini bukan hanya akan memboroskan bahan bakar, tetapi juga mengakibatkan pohon-pohon inti berdiameter sekitar 20 cm yang belum siap ditebang, tumbang terseruduk buldoser. Buldoser dengan lebar pisau sekitar 5 meter dan berjalan sepanjang 100 meter dapat merobohkan sekitar 20 pohon inti. Luar biasa kerusakannya! Dengan konsep RIL-C, perusahaan harus memiliki peta pemanenan sebelum melakukan kegiatan pemanenan pohon dilakukan. Pohon yang akan ditebang sudah diketahui dan ditandai dengan jelas, dan rute jalan untuk memindahkan pohon yang telah ditebang sudah didesain dan ditandai. Perusahaan HPH juga didorong untuk mengganti buldoser dengan mesin pancang (mono cable machine) dalam penyaradan pohon. Mesin pancang lebih ramah lingkungan karena dampak kerusakan vegetasi horizontal yang ditimbulkan lebih kecil. Hanya selebar satu meter bila dibandingkan dengan buldoser yang lebarnya 5 meter. Mesin 176
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
pancang inilah yang akan menarik pohon ke Tempat Penampungan (TPn) sementara. “Banyak hal yang bisa kita buktikan ke perusahaan tentang RIL-C dan mengubah pola bisnis mereka untuk lebih peduli pada lingkungan, bukan hanya berorientasi pada produk saja.” Demikian Umbar memecah kebisuan. “Tapi metode ini apakah mudah dilaksanakan, ya? Pastilah bukan pekerjaan
yang
mudah
melakukannya,”
ucap
Delon
sembari
melayangkan pandangannya ke tetesan-tetesan hujan yang masuk ke tenda melalui atap tenda yang bocor.
177
Satu Jiwa, Lima Reinkarnasi Fakhrizal Nashr
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
20 Desember 2006
“Zzzaap!” Nada singkat itu membuatku merogoh tas mencari telepon genggam. Kotak Masuk (1). Kumainkan jemariku di bantalan tombol untuk mengecek surel yang masuk. Sebuah surel dari kakak kelas. Aku terdiam, terpaku. Kupandangi surel itu untuk beberapa saat sambil membayangkan wajah si pengirim. “Dia di mana sekarang ya?” desahku lalu kembali melangkahkan kaki menuju ruangan kuliah. Kota Joensuu di pengujung tahun berubah menjadi selimut tebal putih nan lembut. Dari balik jendela kulihat pohon pinus, spruce, dan birch, semua menjadi putih, bersembunyi di bawah salju. Udara dingin membuat jari-jari tanganku yang sedari tadi terbuka membeku. “Kota ini sepi sekali,” gumamku. Mungkin karena terbiasa hidup di tempat yang sangat padat membuatku merasa kota ini begitu senyap. Aku berjumpa dengan Mourad Benrahmoune dua tahun lalu. Dialah pasak dari kegelisahan selama hidup di tempat baru ini. Aku bertemu dengannya di suatu siang ketika hendak salat Zuhur. Mourad-lah yang menolongku dari situasi kere saat beasiswa tidak lagi cukup untuk membayar sewa kamar. Kitapun menjadi akrab seperti seorang kakak yang penuh rasa cinta kepada adiknya. Pada kali kedua, aku datang bersama Cipta, sahabatku yang pintar, jenaka dan berhati lembut yang lulus cum laude. Kuliah S-2 dengan beasiswa Erasmus Mundus seperti anugerah di pengujung kuliah S-1 yang aku 179
Sekolah di Atas Bukit
tempuh selama enam tahun. Aktivitas IFSA yang memperjalankanku ke Finlandia untuk pertukaran pelajar satu semester sebelumnya, mungkin telah membuat Profesor Paavo Pelkonen memberiku kepercayaan untuk kembali dan kuliah di sini. Kulirik jam yang melingkar di lenganku. Tak lama lagi kuliah Ethics in Forestry bimbingan Dr. David Gritten akan dimulai. Dengan kemampuan bahasa Inggris-ku yang pas-pasan, terkadang materi kuliah tidak sepenuhnya bisa terserap. Saat teman-teman di kelas bersahutan saling memberi argumen, sepertinya hanya aku dan kawan Indonesia lainnya saja yang terengah-engah mengejar pemahaman materi. Kuedarkan pandangan mencari sosok Cipta. Duduk paling depan di ruang auditorium, dengan sweater kura-kura warna hitam, dan kupluk hangat di kepala, dia mengangguk angguk mengikuti kuliah. Penuh perhatian. “Kuliah itu sangat melelahkan, ya.” Begitu keluhku selalu. Namun semua hilang ketika aku melihat Tanja Kahkonen, seorang single mother yang tangguh, seorang Fins. “Satu orang Finlandia sangat berharga. Mereka hanya lima juta orang di bumi ini. Orang Finlandia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi di antara seluruh populasi dunia. Dan sebaliknya orang Indonesia, karena populasinya yang besar, nilai manusia dan kemanusiaan menjadi murah sekali,” celoteh pikiranku saat pertama kali mengenal Tanja. Tanja, duduk tegak menatap ke depan, penuh disiplin dan senyum yang anggun. Wanita Finlandia pertama yang amat aku kagumi. Anaknya 180
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
bernama Rose, benar-benar serupa bunga mawar yang wangi, tak jauh beda dengan ibunya. Ketika aku berkenalan dengan Rose, dia terlihat sangat malu dan selalu bersembunyi di belakang kaki ibunya. Kaki-kakiku melangkah menuju parkiran sepeda saat kuliah usai. Seperti biasa, hari-hari kulalui dengan bersepeda santai sejauh lima kilometer menuju kampus. Melewati dua jembatan kayu, bekas tapak pemain ski, salju kuning, perempatan jalan yang ditabur batu kerikil dan berputar di belakang Gedung Metsa untuk memarkirkan sepeda pada dudukan besi. Selalu seperti itu. Ruang koridor Metsa sangat luas dengan jendela kaca yang besar di sepanjang koridornya. Gedung di Finlandia selalu memiliki kaca jendela berlapis tiga. Insulator udara ternyata efektif mempertahankan kehangatan di dalam ruangan dari dinginnya udara ekstrem di luar. Pada pintu masuk ada seekor moose (Alces alces) yang dibekukan, berdiri melongok ke arah siapa saja yang melewatinya. Konon moose, rusa Elk Eurasia terbesar, banyak menghiasi tanda marka jalan di sebelah utara negara ini, Suomi, menuju kutub utara, rumah Sinterklas dan karibu kutubnya menurut klaim masyarakat Finlandia. Moose menjadi binatang yang paling diwaspadai pengemudi mobil dari kecelakaan dan tak jarang menjadi korban tabrak lari. Entah salah siapa. Mungkin karena berasal dari negeri tropis, apa pun yang terjadi di Suomi, menjadi pengalaman baru buatku. Bersama Mourad, imam masjid dan penjual kebab malam, dan Cipta, aku menikmati masa ketika jauh dari kampung halaman dan belajar di kota sunyi ini. 181
Sekolah di Atas Bukit
Juli 1999 Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Inilah kampus dan jurusan kuliah yang aku pilih dari jalur masuk tanpa tes atau PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) IPB. Dulu aku berpikir jurusan teknologi akan sangat terkait dengan kecanggihan dan keterkinian alat-alat digital, monitor komputer, ruang ber-AC, dan kawan-kawan berkacamata yang menyukai permainan Nintendo atau Sega. Kenyataannya, teknologi hasil hutan sama sekali jauh panggang dari api. Teknologi diterjemahkan mahasiswa Kehutanan sebagai cara membuat kertas skala lab, minyak kayu putih, dan papan dari serbuk gergaji. Mungkin aku bisa tambahkan juga dengan teknologi gergaji mesin, belajar bagaimana melukis setiap mata rantai dan cara memegang gergaji mesin yang benar. Teknologi ternyata memiliki definisi ganda. Maklumlah anak remaja tanggung yang terlalu banyak mimpi sehingga tafsir jurusan pun tidak luput ikut di dalam lamunan. Aku tumbuh di lingkungan yang menyalahkan kebodohan dan ketidaktahuan. Setiap anak yang bodoh akan dibandingkan dengan anak tetangga yang pintar, dan tunggulah sampai orang tua berkata, Lihat temanmu bisa pintar, ayo belajar lebih rajin. Aku tumbuh menjadi seorang dengan ingatan yang pendek, maka aku selalu alergi dengan ujian. Hal itulah yang membuat hidupku seperti saat ini. Masuk kuliah tanpa tes, bukan karena pintar namun lebih kepada menghindari tes. Kelak, memilih Swedia daripada Jerman atau Belanda, karena negara Skandinavia memberlakukan sistem mengulang seumur hidup dan tidak ada ujian tesis. Hidup lebih baik buat mahasiswa tanpa tes. Rasanya merdeka untuk belajar dan boleh lupa. 182
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Perjalanan itu yang membuat hidup penuh dengan magis. Satu perjalanan dengan kehidupannya adalah satu bagian reinkarnasi, peran, teman, tanggung jawab, dan perhatian kita. Satu perjalanan panjang hidup terdiri dari banyak kejadian reinkarnasi. Tuhan memiliki tangantangan gaib yang membuat hal paling mustahil menjadi mungkin dan hidup penuh dengan keajaiban. Desember 2006 Beasiswa itu seperti sebuah pekerjaan. Kerjanya membolak-balik lembaran buku-buku teks, berdiskusi, gowes ke rumah teman untuk berpesta, mengeluh banyaknya tugas dan sesekali bertelepon ria ke Indonesia untuk membuat khawatir banyak orang tentang makan, kesehatan dan kesibukan. Tidak heran banyak mahasiswa sepulang dari luar negeri mampu membeli bermacam barang, rumah, dan mobil. Sehingga banyak pula orang melihat penerima beasiswa itu sebagai orang yang mapan. Surel yang masuk pagi ini, mungkin dituliskan saat tengah malam di Indonesia. Swedia terpaut delapan jam lebih lambat dari kota Jakarta. Pertanyaan singkat, “Rizal sudah siap menikah?” Wow… memang ini pertanyaan yang aku nantikan. Jodoh itu bukan dicari tapi rezeki yang sudah ditulis kering dalam buku Tuhan, Al Lauh Al Mahfuz. Malu-malu aku jawab, “Sudah siap, Uni, kiranya siapa yang bersedia menikahiku, si mahasiswa malang ini?”
183
Sekolah di Atas Bukit
Oktober 2007 Sebuah adat unik di dunia modern, mungkin adaptasi dari tradisi dan kecerdasan dalam mengelola jumlah sanak saudara serta handai taulan yang banyak. Tiga jam resepsi sudah bisa berjabat tangan erat dan menerima ucapan selamat dari dua ribu tamu yang hadir. Tidak perlu ditanyakan apakah aku tahu orang-orang tersebut. Aku hanya mengenal seorang wanita yang saat ini berada di sampingku, bergelayut manja dan sedikit capek. Maklumlah bila resepsi jatuh pada hari kedua, tentunya kami berdua sudah sangat sibuk di hari sebelumnya. November 2011 Pagi hari yang cerah, kulihat pipi dan matanya bercahaya, memerah dengan semangat. “Beginilah luar negeri, Bie,” ucapku lembut. “Ayah ambil fotomu dengan abang Zaky, ya.” Billboard di jalan Balmoral ini terlihat bagus sekali di kamera Canon EOS 1.000D yang kupegang. “Bie, ambil foto kebun kota yang banyak ya, akan bermanfaat untuk presentasimu nanti,” ujarku berlalu mendahuluinya sambil menunjuk ke arah kebun hijau di sebelah kiri jalan Stevensson di negeri singa Merlion itu. Cahaya matahari memeluk seluruh kulitku. Udara terasa begitu ringan. Sambil berjalan santai dengan ibu mertua dan abang Zaky di dalam pelukan. BRAAAKKK! Hening. Udara tiba-tiba menjadi berat. Degup jantung mendesir.
184
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Apakah saatnya harus datang secepat ini? Apakah sekarang saatnya? Tangan malaikat Izrail sudah di pengujung orang tersayangku. Habibatie, selamat jalan. Kupandangi dengan nanar mata wanita tersayang di pangkuanku yang penuh dengan darah. Merah membasahi sekujur kepalanya. Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan akan kembali kepada Tuhan. Begitulah aku mengingat sepotong wahyu Tuhan yang turun di dada Nabi-Nya, Muhammad SAW. Oktober 2010 “Ayah, met anniversary ya, Say.” Begitu suara lembutnya di ujung telepon. Sudah tiga tahun kami menikah dan segala puji untuk Allah yang telah menciptakan kita. Memang sudah garis hidupnya para lelaki secara historis untuk merantau, menyeberangi lautan, memeluk gunung, menunggangi awan, menjemput dan mengais rezeki untuk anak, istri, dan plus-plus. Kenapa plus, karena ternyata distribusi rezeki juga merembes ke tempat lain. Kerja konservasi itu mencintai alam dan mengenali Al Khalik, Sang Pencipta. Binatang dan tumbuhan adalah manifestasi jalan mengenal yang menciptakan kita. Siapa tahu kita adalah debu atom yang didaur ulang dari alam semesta yang kita sentuh saat ini. Bukankah kita berasal dari debu dan kembali menjadi debu? Kita dimulai dari sari pati tanah. Atom tersebut diberikan nyawa sehingga bisa menorehkan lukisan keabadian akhirat melalui kanvas dunia. 185
Sekolah di Atas Bukit
Ulang tahun kali ini aku rayakan bersama pekikan suara bekantan, Nasalis larvatus, dan biawak Kalimantan, Salvator sp, yang menyapaku dengan gemericik air dari hentakan kepalanya saat menyelam melintasi sungai di depan ketintingku. Aku membuka telungkup tangan dan berdoa khusyuk agar diberikan keindahan keluarga dan anak yang menerangi mata di dunia. Aku kecupkan salam kepada angin untuk Habibatie-ku di Palembang. November 2013 Hadir di depanku saat ini, seorang petani karet dengan penuh antusias bernyanyi dan berjoget pada sesi rehat di depan peserta fasilitasi penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) se-kabupaten Berau yang disambut dengan derai tawa keriangan bersama. Pertemuan yang saya kelola dari The Nature Conservancy (TNC) untuk membuat proposal peluang pendanaan pengalihan utang antara Amerika Serikat dengan Indonesia yang lebih dikenal dengan TFCA Kalimantan atau Tropical Forest Conservation Action Kalimantan. Hidupku
dan
penggiat
lingkungan
lainnya
terus
berlanjut.
Memperjuangkan suatu nilai yang mulia dan tinggi untuk melindungi alam dan melestarikan kehidupan. Mungkin sebagai mandat ilahiah untuk terus bekerja. Bukan untuk suatu yang sia-sia. Meskipun hutan yang kami jaga saat ini belum aman dari degradasi hutan dan deforestasi, namun, apa pun yang kelak akan terjadi biarlah terjadi dan itu tidak akan merisaukan perjuangan ini. Karena saya, Anda, dan siapa pun yang terpanggil untuk menjaga dan melindungi hutan hakikatnya 186
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
bukan menjaga hutan saat ini saja, namun sedang membangun hutan abadi di akhirat. Surga yang di dalamnya ada hutan beragam warna dan buah-buahan yang mengalir di bawahnya sungai-sungai beraneka rasa untuk orang-orang yang memercayainya sebagai balasan. Saya yakin betul dengan hal itu.
187
Lingkungan Mengubah Pandangan Hidup Intan Sarah Dewi Ritonga & Ade Soekadis
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Bekerja di sektor lingkungan membuat saya dapat memandang hidup dengan lebih luas. Hidup tidak sekadar penampilan dan materi saja, tetapi lingkungan merupakan hal yang lebih besar dan penting.” Kalimat liris ini diucapkan lugas oleh Manajer Pengembangan Program The Nature Conservacy (TNC), Intan Sarah. Siang itu, dia tampak antusias menceritakan pengalamannya bergabung dengan TNC. Tidak pernah terpikir oleh perempuan ini bila dia akan terpincut untuk bergabung dalam dunia penyelamatan lingkungan, terlebih latar belakang pendidikannya di bidang hukum, Universitas Indonesia, sangat jauh dari bidang lingkungan. Dunia kerja yang dimasukinya pun sangat berbeda saat dia bekerja sebagai pengacara yang sangat formal, kaku, dan mengutamakan penampilan. “Materi dan penampilan penting, tetapi tidak sangat penting. Di TNC, saya melihat bahwa hidup itu tidak semata-mata hanya materi,” tandasnya. Sebelum bergabung dengan TNC, Intan dikenal sebagai aktivis demokrasi. Pekerjaannya dalam bidang demokrasi ternyata tidak berlangsung lama. Pertemuan yang tidak sengaja dengan TNC ternyata berbuah manis. Di TNC, Intan mengasah keterampilannya untuk bernegosiasi dengan pihak lain, yang bukan di tataran akar rumput, tetapi di tingkat pengambil kebijakan. Bergabung dengan TNC bagaikan perawan di sarang penyamun karena pekerjaan konservasi ini mayoritas dilakukan oleh pria. Bekerja dengan kaum Adam membuat Intan dituntut untuk memperlihatkan 189
Sekolah di Atas Bukit
kegigihan dan kepintarannya dalam bidang pekerjaan. “Di tempat ini saya dituntut untuk teguh dan gigih. Jangan sampai memperlihatkan sifat lemah dan mudah diinjak. Bekerja dengan mayoritas laki-laki, perempuan itu harus kuat dan teguh,” katanya. Sebagai seorang manajer pengembangan program, pekerjaan seperti perencanaan, pengawasan, dan terlibat dalam pengelolaan dana hibah yang diberikan kepada TNC, menjadi tanggung jawab Intan. Salah satu tugas besarnya adalah bertanggung jawab terhadap proses pengalihan utang Indonesia menjadi dana hibah konservasi (debt swap) pada proyek Tropical Forest Conservation Act (TFCA). Intan terlibat mulai dari tahap bernegosiasi dengan pihak-pihak terkait yang terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia, pemerintah Amerika Serikat, dan para mitra sesama lembaga swadaya masyarakat seperti World Wild Fund for Nature (WWF) hingga TFCA terlaksana. Di TFCA ini, Intan harus menyamakan visi antar pihak, dengan demikian akan muncul kesamaan visi mengenai pengelolaan hibah yang diberikan kepada Indonesia melalui rekening dana perwalian di Bank HSBC Singapura. Menyamakan visi berbagai pihak bukan hal yang mudah. Tidak jarang Intan harus memutar otak untuk menemukan jurus jitu dalam menghadapi perwakilan dari para pihak. “Sebelum negosiasi saya pasti akan mencari tahu dulu bagaimana karakter setiap orang dari perwakilan pihak-pihak tersebut. Jika saya tidak antisipasi seperti itu, pasti stres,” katanya. Dia mencontohkan saat berhubungan dengan perwakilan pemerintah Indonesia yang diwakili 190
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
oleh Kementerian Kehutanan, dia dihadapkan dengan perwakilan yang menyatakan bahwa Kementerian memiliki Tugas, Pokok, dan Fungsi yang sudah digariskan. Akibat prosedur di Kementerian tersebut, halhal yang terkait dengan pengambilan kebijakan, hingga surat menyurat menjadi sangat lambat. Untuk mengantisipasinya, Intan harus pandai-pandai mendekati pengambil kebijakan di Kementerian, dan mendorong agar hal-hal yang dibutuhkan dapat segera dikeluarkan. Semua ini dilakukan agar tidak menghambat proses negosiasi dengan pihak lainnya. “Jika saya mentok, maka saya akan bicara dengan manajer senior TNC bahwa untuk masalah A, maka yang harus didekati di Kementerian atau mitra lain adalah si B, dan si C. Sementara itu, di TNC yang dapat menanganinya adalah si D dan si E,” ungkapnya. Masalah negosiasi yang harus dihadapi membuat Intan kaya pengalaman, baik suka maupun duka. Duka saat dia seperti membentur dinding dalam proses negosiasi, dan suka saat melakukan serangkaian perjalanan ke tempat-tempat yang belum terjamah. Intan sering kali merasa berbahagia saat ditugaskan mengunjungi sejumlah taman nasional, baik di Berau maupun di Kutai Timur. Menurutnya, hutan yang masih perawan, anggrek hitam yang mekar dengan indahnya, lingkungan yang masih berhawa sejuk dan bersih, serta air sungai yang mengalir jernih membuatnya terpesona. “Seperti sedang berlibur tetapi dibiayai oleh kantor,” ujarnya sembari tergelak.
191
Sekolah di Atas Bukit
Di sisi lain, kepuasan yang didapatkannya dari pekerjaan saat ini adalah kekuasaan untuk mengalokasikan dana hibah secara tepat sasaran. Dana hibah TFCA yang merupakan utang dari pemerintah Indonesia sebesar US$28,5 juta kepada pemerintah Amerika Serikat, dialokasikan atau dialihkan (debt swap) untuk dana program lingkungan. Sebagai salah satu mitra penerima hibah, TNC mengalokasikan dana tersebut ke beberapa tempat yang termasuk dalam daerah konservasi, yakni Berau, Mahakam Hulu, Kapuas Hulu, dan Kutai. “Dengan dana tersebut, suara kami jadi terdengar lebih lantang. Diharapkan agar isu lingkungan, konservasi daratan (terestrial) menjadi minat semua orang,” ujarnya. Lingkungan terbukti menyimpan kekuatan besar untuk mengubah pandangan manusia. Hidup tidak hanya selesai hanya dengan memikirkan masalah keduniawian. Masalah lingkungan ternyata tidak dapat dinafikan begitu saja. “Ambisi saya sudah berbeda sekarang ini. Kepuasan saya sudah berbeda, tidak lagi ingin posisi struktural yang tinggi, tetapi lebih pada bagaimana mendekati pihak lain terkait pelestarian lingkungan hidup agar dapat berhasil dengan baik.” Sependapat dengan Intan, Ade Soekadis yang bertanggung jawab dalam pengelolaan proyek TNC menuturkan selama 4,5 tahun bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat ini, banyak hal menarik yang dialami. Gelar S1 dan S2 dalam bidang teknik industri yang dimilikinya memang sedikit menyimpang dari dunia konservasi yang kini dia geluti namun bukan menjadi penghalang baginya untuk tetap berkarya. “Tugas saya membuat perencanaan program dan anggaran, pengawasan, dan
192
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah, baik dari pemerintah Indonesia, Norwegia, Australia, dan Amerika Serikat,” katanya. Menurutnya yang paling sulit dalam pekerjaannya adalah pengawasan terkait dampak atau hasil atas program yang dijalankan. “Seperti program yang diarahkan untuk hutan produksi. Hasilnya bisa nampak dalam hitungan satu hingga dua tahun. Tetapi jika terkait dengan penelitian hayati, maka hasilnya sulit dicapai dalam waktu singkat. Semuanya tergantung pada prosesnya.” Ade mengaku tekanan besar yang dihadapi adalah ukuran keberhasilan. Berhadapan dengan The United States Agency for International Development (USAID) misalnya, harus tepat dalam memberikan data dan perhitungan. Semua itu dikarenakan USAID bertanggung jawab langsung dengan konggres di Amerika Serikat. Semua perhitungan harus detail dan tidak boleh satu pun data yang tercecer. Dunia konservasi itu sangat menantang. Cerita menarik diungkapkan Ade saat harus berhubungan dengan pemerintah pusat. Dia mengeluh sering kali pejabat di Kementerian yang sudah mengerti betul program konservasi yang diserahkan TNC, tiba-tiba saja dipindahtugaskan dan diganti oleh orang baru yang sama sekali buta dengan program itu. “Saya harus menjelaskan lagi dari awal. Bayangkan saja kalau di daerah, bupati yang lama digantikan bupati baru yang memiliki program berbeda,” katanya.
193
Sekolah di Atas Bukit
Pemerintah sangat berperan penting dalam isu lingkungan. Sayangnya, menurut Ade, pemerintah memiliki paradigma, pola pikir yang sangat sulit diubah. Hal ini berdampak buruk terhadap kecepatan dalam pengambilan keputusan. Titik terendah dalam kegiatan konservasi yang dilakukan TNC adalah pada saat TNC mengalami krisis pada tahun 2011 dan 2012. Krisis ini dipicu oleh adanya pengurangan bantuan dana yang sangat drastis dari TNC tingkat regional maupun global untuk TNC Indonesia khususnya untuk kegiatan program terestrial yang dipangkas hingga separuhnya. Krisis keuangan ini menyebabkan beberapa program harus dihapus dan banyak karyawan TNC dirumahkan. Hal tersebut menimbulkan gejolak di sisi internal. Pengurangan dan pembatalan program kerja dengan mitra menyebabkan menurunnya motivasi kerja karyawan TNC. “Ini titik terendah dalam hidup saya. Saya merasa berada dalam lembah paling dalam, tapi untung tidak sampai tenggelam. Semua bekerja dalam suasana ketidakpastian. Bahkan anggaran dan program yang dibuat pada tahun itu, belum ada dananya juga,” katanya. Krisis kepercayaan juga dialami oleh beberapa manajer senior terhadap manajemen TNC. Mereka merasa tidak mendapat dukungan pendanaan yang memadai padahal program Terestrial TNC Indonesia termasuk program prioritas dunia. Ketidakpercayaan, demotivasi, dan suasana kerja yang tidak kondusif ini menyebabkan banyak penggantian karyawan-karyawan kunci TNC dan berdampak negatif pada produktivitas dan kinerja TNC. 194
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
“Sebagai Pejabat Sementara Direktur Program Terestrial saat itu, saya dituntut untuk menakhodai kapal terestrial keluar dari krisis. Dan itu bukan hal yang mudah, terlebih pada saat harus melakukan pemecatan terhadap puluhan karyawan,” jelas Ade. Menetralisir seluruh isu-isu yang berkembang di internal TNC adalah hal pertama yang dilakukan oleh Ade agar TNC bisa terlepas dari krisis. Setelah itu, melakukan konsolidasi internal untuk penguatan organisasi. “Kami berusaha membangun kekompakan, merangkul teman-teman yang memiliki potensi dan masih ingin berkontribusi, dan melepaskan mereka yang sudah kehilangan kepercayaan dan tidak merasa nyaman, untuk meminimalisir konflik,” ucapnya. Akhirnya semua krisis dapat dilalui di pengujung tahun 2012. Bantuan dana dari Norwegia dan Australia juga mulai mengalir masuk untuk memperkuat keuangan TNC. Ade mengakui semua LSM harus belajar untuk mengantisipasi dan mengalokasikan dana dengan baik. Untuk saat ini, anggaran TNC sangat cukup hingga dua tahun mendatang. Krisis TNC pada tahun 2011-2012 telah mendorong semua tim program untuk membuat rincian panduan yang merangkum seluruh hal yang harus dilakukan oleh TNC Indonesia selama masa transisi menuju TNC Indonesia yang memiliki struktur dan visi yang baru dan hubungan dengan TNC tingkat regional dan global yang lebih kuat. Ade mengungkapkan tantangan terbesar bekerja di TNC adalah membuat standardisasi sistem yang jelas. Dia mengakui standardisasi 195
Sekolah di Atas Bukit
sistem hanya dibuat per divisi dan tidak ada standardisasi yang baku dari tingkat regional. Akhirnya semuanya membuat sendiri-sendiri dan dipastikan tidak seragam. Standardisasi yang ada saat ini hanya tempelan saja. Pekerjaan rumah Ade tidak berhenti di situ. Ternyata selama ini, promosi atas program-program yang diselesaikan TNC masih jauh dari cukup. Dia mengungkapkan paska RAFT I, hanya terdapat dua publikasi kegiatan. Padahal banyak program bagus tetapi kurang dipublikasikan. “Tantangan saya adalah menerbitkan publikasi untuk RAFT II. Dengan demikian, maka sosialisasi tentang metodologi dan program yang sudah dilakukan dapat lebih banyak beredar di masyarakat,” pungkasnya. Harapan-harapan Ade memang masih jauh panggang daripada api. Namun, dengan ketekunan dan kerja sama tim yang solid, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan harapan tersebut dalam waktu dekat.
196
REDD+ dan PKHB Upaya Menyelamatkan Hutan Alam yang Tersisa Lex Hovani
Sekolah di Atas Bukit
Apa sih REDD+? Apa sih PKHB itu? Pertanyaan-pertanyaan itu yang mungkin langsung muncul di benak kita. Memang kedua topik itu tidak begitu populer hingga dapat dijadikan topik pembicaraan di warung kopi. Namun, tidak populer bukan berarti tidak penting. REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) merupakan sebuah mekanisme global yang bertujuan untuk mitigasi perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang yang melindungi hutannya. Sementara itu, PKHB (Program Karbon Hutan Berau) merupakan aktivitas percontohan REDD+ atau sering disebut Demonstration Activities (DA) di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Implementasi REDD+ di Indonesia sangat diharapkan mampu berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim sekaligus menyelamatkan hutan alam Indonesia yang tersisa. Isu perubahan iklim dan peran hutan yang signifikan dalam menyerap karbondioksida dan mengurangi emisi sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian dunia sejak lama. Pada tahun 1997, isu ini termasuk dalam pembahasan Kyoto Protocol yang disepakati pada konferensi internasional perubahan iklim, Conference of Parties (COP) ke-3 di Kyoto, Jepang. Isu ini kemudian mengerucut menjadi RED atau Reducing Emission from Deforestation, dan menjadi topik bahasan utama dalam Conference of Parties (COP) ke-11 di Montreal, Kanada, pada tahun 2005. Lex Hovani, penasihat senior terkait REDD di The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, adalah orang yang paling tepat 198
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
menjelaskan REDD+ dan PKHB. Dia direkrut oleh TNC untuk mengembangkan ide REDD di tingkat global dan terlibat dalam mendesain mekanisme insentif keuangan yang dikenal dengan FCPF atau Forest Carbon Partnership Facility (Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan). FCPF merupakan program Bank Dunia yang membantu pendanaan kegiatan REDD+ untuk dilakukan di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Lex juga terlibat dalam perancangan strategi penerapan REDD+ dan PKHB di Indonesia. Peran hutan yang sangat signifikan terhadap perubahan iklim menjadi konsep dasar REDD+. Hutan berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbondioksida tetapi juga sekaligus pengemisi karbondioksida. Menurut Lex, pohon terbuat dari 50 persen karbon, sehingga saat hutan ditebang dan dibakar ataupun tumbang dan terdekomposisi maka karbon akan terlepas ke udara. Karbon yang terlepas inilah yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim. Jadi hanya dengan menekan laju deforestasi, emisi karbon juga dapat dikurangi. Lalu bagaimana dengan tingkat emisi di Indonesia? Tidak dapat terbantahkan bahwa fakta hutan alam Indonesia saat ini banyak yang mengalami kerusakan dan penurunan luas yang signifikan sejak empat dekade terakhir. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia pada 1996 mencapai 1,97 ha per tahun. Angka ini meningkat tajam menjadi 3,8 juta ha per tahun pada kurun waktu 1997-2000, meski pada tahun-tahun berikutnya sempat menurun sekitar 1 juta ha 199
Sekolah di Atas Bukit
per tahun. Pada periode 2009-2011, laju kehilangan hutan di Indonesia menurun, yaitu seluas 450 ribu ha per tahun. Berdasarkan data tahun 2005, menjadi wajar jika laju deforestasi dan perubahan tata guna lahan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar, yaitu 48 persen. Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dan dianggap paling maju dalam mempersiapkan penerapan REDD+. Implementasi REDD+ ini dilakukan secara bertahap sejak tahun 2008. Tahap awal penerapan REDD+ ini ditandai dengan pembentukan forum Indonesia Forest Climate Alliance yang melibatkan para ahli nasional dan internasional untuk merancang strategi penerapan REDD+ di Indonesia. “What we did was, first of all, we were involved in the national level process to develop Indonesia’s first REDD strategies which gave some overall directions from international level about what is REDD, what is going to happen, what Indonesia is going to do and how can Indonesia participate in REDD+,” jelas Lex menyoal tentang proses awal menyiapkan Indonesia dalam menerapkan REDD+. Untuk
menegaskan
kesiapannya,
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono, menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan kekuatan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Indonesia juga menjadikan upaya mitigasi sebagai sesuatu yang ‘mainstream’ dalam kebijakan nasional, mencanangkan daerah-daerah penerapan kegiatan percontohan atau DA, dan membentuk kelompok kerja (POKJA) REDD+ di tingkat provinsi dan kabupaten. 200
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Ada beberapa alasan mengapa diperlukan daerah kegiatan percontohan (DA). Menurut Lex, konsep REDD+ yang belum jelas dan pendanaan serta kapasitas SDM yang terbatas membuat REDD+ tidak bisa langsung diterapkan di seluruh Indonesia. DA memungkinkan untuk menilai apakah sebuah kabupaten memiliki strategi pembangunan yang bisa menciptakan pembangunan ekonomi dengan emisi rendah dan lebih fokus dalam mengimplementasikan REDD+, menggalang para pemangku kepentingan untuk bisa bekerja sama mewujudkan tujuan pembangunan tersebut dan mengukur tingkat emisi karbon dari perubahan tata guna lahan sesuai dengan yang diharapkan. “So, basically the idea is, look, this is the development pathway up until now, here is how carbon emission is going, if you can reduce the emission, you will get incentives. And the challenge is to design the system that’s rigorous enough to have a real contribution in reducing climate change… but also… simple enough so that people can understand and implement it,” jelas Lex lebih lanjut. Salah satu daerah kegiatan percontohan (DA) REDD+ adalah Kabupaten Berau, di Kalimantan Timur dengan program kegiatan PKHB. PKHB merupakan program lima tahun yang dimulai pada tahun 2008 hingga 2016. Program ini diharapkan bisa menjadi ‘mainstream’ dalam kebijakan pembangunan nasional dan direplikasi pada kabupaten lainnya ataupun di tingkat provinsi nasional. Daerah yang hutannya sudah gundul tidak cocok dipilih untuk lokasi kegiatan percontohan (DA). Menurut Lex, tidak ada pengaruh atau upaya yang bisa dilakukan untuk mengubah apa yang telah terjadi. 201
Sekolah di Atas Bukit
Begitu pula dengan daerah yang hutannya tidak mengalami ancaman karena berada jauh di atas gunung dengan tebing yang curam sehingga tidak cocok untuk pertanian ataupun tata guna lahan lainnya. Berbeda halnya dengan Berau, yang dipilih sebagai lokasi program kegiatan percontohan, karena tutupan hutan Berau masih relatif bagus dan memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi. Selain itu, menurut Lex yang telah berada di TNC Indonesia sejak tahun 2009, hutan Berau mengalami tingkat ancaman kerusakan yang tinggi karena hutan Berau sangat cocok untuk berbagai bentuk alih fungsi hutan. Kerusakan hutan alam Berau akibat aktivitas pembangunan ini menimbulkan tingkat emisi gas rumah kaca yang cukup tinggi. Banyak pihak yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan dengan membuka hutan seperti pertanian, pertambangan, ataupun perkebunan kelapa sawit. Namun, alih fungsi hutan ini menghilangkan fungsi hutan dalam menjaga sumber air dan menyimpan karbon. Sementara itu, masyarakat lokal yang menghargai hutan alam tidak dilibatkan dalam proses alih fungsi lahan. Lex menjelaskan bahwa PKHB berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak ini dengan memberikan insentif kepada masyarakat untuk menjaga hutannya. PKHB juga berusaha untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal untuk lebih berpartisipasi dalam perencanaan tata guna lahannya. Pengakuan pemerintah akan hak masyarakat lokal untuk ikut dalam penentuan perubahan tata guna lahan ini menjadi salah satu tujuan penting yang ingin dicapai PKHB. Program PKHB memang ditujukan untuk menurunkan emisi karbon tetapi salah 202
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menghargai hutan, memberikan mereka hak untuk mengontrol hutan, dan memiliki suara dalam menentukan tata guna lahan. Jadi untuk berhasil, program ini harus mendapatkan dan mengatur komitmen dan aspirasi berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat lokal, agar selaras dengan tujuan PKHB untuk menurunkan emisi karbon. PKHB melakukan kegiatan pendampingan di beberapa desa secara kontinyu selama bertahun-tahun, membantu mereka melakukan penyelarasan pandangan, membayangkan desa mereka di masa depan, mengenali potensi sumber daya alam di sekitar mereka, dan bagaimana memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk pembangunan desa mereka. Hasil kegiatan penyelarasan pandangan tersebut dibuat menjadi rencana pembangunan jangka pendek dan tahunan desa. Komitmen desa untuk melakukan pembangunan rendah emisi dituangkan dalam kesepakatan insentif yang sifatnya berbasis kinerja. Jadi, desa akan diberikan dana awal untuk melakukan pembangunan dan dana tambahan apabila pembangunan rendah emisi berhasil dilakukan. Tidak hanya bekerja dengan masyarakat lokal, PKHB juga membangun kerja sama dengan pihak swasta khususnya perusahaan HPH. PKHB telah mendorong enam perusahaan HPH yang memiliki izin konsesi seluas 400 ribu ha untuk mendapatkan sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Di saat yang sama, TNC sejalan dengan tujuan PKHB, membuat petunjuk spesifik kegiatan pembalakan yang rendah emisi dan 203
Sekolah di Atas Bukit
mengukur penurunan emisi karbon dari kegiatan pembalakan hutan itu. TNC mendorong perusahaan HPH untuk mengubah paradigma mereka dari ‘Business as Usual’ (Praktik Biasa) menjadi ‘Best Management Practice’ (Praktik Pengelolaan Terbaik) dan memberikan insentif kepada perusahaan HPH yang secara signifikan berhasil menurunkan emisi karbonnya. Dari semua kegiatan REDD+ dan PKHB yang telah dilakukan selama ini, satu pertanyaan penting yang belum terjawab, “Mampukah konsep REDD+ menyelamatkan hutan alam Indonesia yang tersisa?” “I think Indonesia’s forest is incredibly valuable for Indonesia. If the decision making on land uses is more appropriate and more people involved in it and people have good information about the value of forest, there will be a dramatic increase on the number of forest that would be protected and well manage. It is in Indonesia self interest to protect the existing forest. Forget about REDD, if REDD works there will be an incentive to protect even more but the goals are extending the way and the number of people in land use planning and improving information available for decision making. These will help a lot to protect Indonesia’s forest whether or not REDD is work.” Demikian Lex menjawab pertanyaan tersebut dengan lugas. Pada hakikatnya, REDD+ tidak boleh hanya dilihat sebagai skema untuk menurunkan emisi karbon dan menyelamatkan hutan Indonesia tetapi juga sebagai peluang Indonesia untuk memperbaiki tata kelola hutannya dengan merangkul semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, sampai dengan swasta.
204
Butterfly Effect Musnanda
Sekolah di Atas Bukit
Pernah
dengar tentang Butterly Effect atau Efek Kupu-Kupu-nya
Edward Norton Lorenz? Butterfly effect merujuk pada pemikiran bahwa secara teori kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil mampu menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena dalam Chaos Theory ini dikenal sebagai ketergantungan sistem yang sangat peka terhadap kondisi awal sehingga perubahan yang sangat kecil pada kondisi awal dapat mengubah kelakuan sistem pada jangka panjang secara drastis. Dengan kata lain, kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana di kemudian hari. Nah, pertanyaan yang muncul kemudian adalah mungkinkah topan Haynan yang setiap tahunnya semakin ganas memorak-porandakan Filipina itu salah satunya diakibatkan oleh penebangan hutan di Amerika berpuluh-puluh tahun lalu? Mungkinkah ini contoh dari Butterfly Effect? Butterly effect
mungkin
dapat
menggambarkan
bagaimana
satu
kesalahan kecil yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat akan menimbulkan bencana di masa yang akan datang. Bagaimana bubuhan tanda tangan dari pena pemerintah pada selembar surat izin konsesi hutan untuk tambang atau perkebunan sawit akan memberi dampak merusak yang besar, seperti kekeringan, sungai yang tercemar, dan banjir di kemudian hari. Izin yang diberikan tanpa pertimbangan aspek-aspek konservasi dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Idealnya kebijakan pemerintah untuk alih fungsi kawasan haruslah melalui pertimbangan dan kajian yang matang, baik dari sisi nilai 206
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
ekonomisnya
maupun
nilai
konservasinya.
Pemerintah
harus
mengambil kebijakan-kebijakan cerdas karena kebijakan yang diambil hari ini akan menentukan bagaimana pengelolaan dan keberlangsungan kawasan-kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi bagi generasi Indonesia di masa datang. Inilah pentingnya pemerintah memasukkan aspek konservasi dalam perencanaan tata ruang. Hanya sayangnya, menurut Musnanda, Manajer Perencanaan Sumber Daya Alam di The Nature Conservancy (TNC), banyak penentu kebijakan tidak menyadari betapa pentingnya perencanaan tata ruang yang mendukung konservasi. “Perencanaan tata ruang dan konservasi itu sangat berhubungan erat tetapi tidak banyak pengambil keputusan seperti BAPPEDA yang tahu dan sadar akan hal ini. Padahal apa yang mereka putuskan di meja saat itu sangat berpengaruh pada konservasi,” jelasnya. Bayangkan berapa hektar hutan yang akan rusak. Berapa banyak habitat yang akan hilang. Dan berapa banyak flora dan fauna yang akan punah akibat pemberian izin konsesi tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa melalui kajian yang menyeluruh akan dampak negatifnya terhadap alam. “TNC mempunyai latar belakang yang kuat dalam hal perencanaan lanskap. Banyak pendekatan ilmiah yang telah dibuat oleh TNC seperti ekoregion, conservation by design (konservasi terencana), perencanaan penggunaan lahan, dan development by design (pembangunan terencana). Bahkan ide ekoregion kini diadopsi Kementerian Lingkungan Hidup dalam perencanaan lingkungan dan akan dijadikan basis dalam penilaian lingkungan,” ungkap Musnanda. 207
Sekolah di Atas Bukit
Penggunaan pendekatan-pendekatan ilmiah ini akan memungkinkan pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk merencanakan tata ruang kawasan, memanfaatkan lahan, dan melindungi serta meningkatkan pengelolaan kawasan-kawasan sumber daya alam yang berkelanjutan. Development by design, salah satu pendekatan yang sedang dikembangkan TNC menggabungkan perencanaan lanskap dengan pilihan mitigasi. Pendekatan ini akan memberikan pandangan menyeluruh mengenai bagaimana pembangunan dapat memengaruhi sistem alam dan menawarkan solusi untuk memastikan keberlangsungannya sehingga satwa dan masyarakat dapat tetap bergantung pada alam. Pendekatan ini akan memperlihatkan bagaimana pembangunan harus dilakukan ketika perencanaan untuk mengantisipasi dampak pembangunan telah disusun. Dengan kata lain, penilaian harus dilakukan pada areal yang akan dibangun sehingga dapat dipetakan lahan mana yang bisa dan tidak bisa dipergunakan, serta lahan konservasi mana yang penggunaannya tidak bisa dihindari karena memiliki potensi tambang yang sangat besar. Development by design memberikan arahan-arahan bagaimana dampak dari eksploitasi suatu areal bisa diminimalisir dan direstorasi setelah kegiatan ekstraktif dilakukan. Development by design juga menawarkan pilihan offset bila penggunaan kawasan konservasi tidak dapat dihindari. Offset merupakan metode kompensasi yang harus diberikan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang mempunyai hak konsesi di
208
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
kawasan konservasi dengan cara berkontribusi pada kegiatan konservasi di daerah sekitar konsesinya atau di daerah lain. TNC telah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang menggunakan pendekatan ilmiahnya seperti perencanaan penggunaan lahan di desadesa model di Kabupaten Berau yang menjadi proyek percontohan untuk REDD+. Perencanaan penggunaan lahan ini dicoba diterapkan agar nantinya dapat diadopsi ke dalam kebijakan pemerintah Kabupaten Berau yang lebih besar sehingga dalam penentuan alokasi tata ruang Kabupaten Berau memperhatikan juga aspek-aspek konservasi maupun kondisi dan budaya masyarakat Berau. TNC berharap sejumlah desa yang dijadikan model dapat dikembangkan dan pendekatan ilmiah dapat diadopsi dan direplika oleh pemerintah maupun lembagalembaga non pemerintah ke desa lainnya di seluruh Indonesia. Bukan hal mudah melakukan pendekatan, mensosialisasikan programprogram kerja TNC, dan meyakinkan masyarakat dan pemerintah mengenai pentingnya perencanaan wilayah dan tata ruang yang berkontribusi pada konservasi. Bukan hal yang baru bila Musnanda dan tim TNC lainnya berhadapan dengan aparat pemerintah yang mendukung program-program TNC hanya sampai pada tataran janji semata. Pemerintah Kabupaten Berau, misalnya, sudah sangat paham dengan isu lingkungan, tetapi keinginan untuk mengadopsi konservasi lingkungan pada kebijakan masih sangat minim. “Terkadang kita merasa percuma untuk melakukan pendampingan bila status kawasan tidak dijaga. Terlebih jika ada oknum aparat pemerintah yang dukungannya ternyata hanya di mulut saja, tiba-tiba memberikan izin 209
Sekolah di Atas Bukit
sawit di kawasan konservasi tanpa melakukan kajian maupun konsultasi publik,” papar Musnanda ketika disinggung tentang kendala yang dihadapi di lapangan. Beberapa kawasan konservasi yang bernilai ekonomis tinggi memang menarik banyak kepentingan. Kepentingan pemerintah daerah yang ingin meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), pihak swasta yang ingin memanfaatkan peluang usaha, ataupun oknum-oknum yang ingin mengeruk keuntungan pribadi sehingga tak jarang kawasan konservasi diperjualbelikan. Kasus Bupati Bogor yang kini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah satu contoh buruk bagaimana status kawasan hutan lindung dijadikan komoditi. Sang bupati diduga menerima suap 4,5 miliar untuk mengonversi kawasan Hutan Jonggol di Bogor yang berstatus hutan lindung menjadi lahan untuk perumahan. “Harusnya dilakukan perencanaan dan kajian yang detail terlebih dahulu. Apakah kawasan tersebut memang boleh ditukar guling? Apa yang rusak bila ditukar guling? Apakah ada satwa endemik, misalnya macan dahan atau kucing hutan? Apakah ada sumber air? Kompensasi seperti apa yang harus diterapkan bila konversi dilakukan? Apakah kompensasi tersebut diberikan untuk mendukung konservasi di Gunung Salak ataukah dilakukan di kawasan lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus terjawab dulu sebelum izin-izin tukar guling dikeluarkan. Tapi model perencanaan seperti ini belum sampai di kepala para pengambil keputusan atau memang diabaikan sejak awal.”
210
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa berdasarkan peraturan pemerintah, penetapan tata ruang mengikat secara hukum sehingga tidak boleh ada tarik-ulur dalam kebijakan konversi kawasan konservasi. Dengan begitu, bila terdapat izin penambangan atau kegiatan operasi yang berada di kawasan hutan lindung, masyarakat dapat melakukan gugatan atas terbitnya izin dari pemerintah daerah. Peran aktif masyarakat ini tentunya hanya bisa terwujud apabila masyarakat mengerti dan sadar bahwa dampak dari pemberian izin konversi yang tidak melibatkan mereka dan memperhatikan aspek konservasi ini akan ditanggung oleh mereka sendiri. Peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat inilah yang diupayakan oleh TNC melalui berbagai pelatihan peningkatan kapasitas yang berhubungan dengan perencanaan lanskap dan pelestarian lingkungan. “Perencanaan pembangunan, perencanaan tata ruang, dan konservasi itu memiliki hubungan yang sangat erat, dan itu harus dikuatkan bila alam Indonesia ingin lestari,” tegas Musnanda. Pembangunan yang terencana, perencanaan tata ruang, dan konservasi harus dijalankan secara searah dan berbarengan bila kita menginginkan generasi mendatang bisa menikmati dan merasakan keindahan alam yang kita nikmati saat ini. Adalah kewajiban semua pihak baik swasta, masyarakat, dan terutama pemerintah untuk memastikan alam tetap lestari dan telah dimanfaatkan dengan tepat guna. Pemerintah harus belajar dari pengalaman-pengalaman di masa lalu. Jangan karena satu kebijakan yang keliru, alam Indonesia yang indah dan kaya ini musnah tak bersisa. Jangan karena satu pemberian izin 211
Sekolah di Atas Bukit
konsesi yang salah dari pemerintah hari ini, memicu kepakan sayap kupu-kupu yang dampaknya mengerikan dan harus ditanggung oleh generasi mendatang.
212
Perdagangan Karbon, Siapkah Kita ? Rizal Bukhari
Sekolah di Atas Bukit
Emisi Karbon. Fenomena ini yang menjadi biang kerok terjadinya climate change atau perubahan iklim yang kini ribut didiskusikan dalam berbagai pertemuan tingkat internasional. Semakin meningkatnya gas kabon yang dilepas ke atmosfer menyebabkan bumi semakin panas dan berdampak pada perubahan iklim dan cuaca yang sangat ekstrem. Banjir, topan dan badai tropis yang semakin dahsyat dan menelan ribuan korban jiwa, gelombang panas yang semakin ganas, dan level permukaan laut yang semakin tinggi, menunjukkan betapa seriusnya dampak dari perubahan iklim ini. Hanya dengan mengurangi tingkat emisi karbon, bencana-bencana akibat perubahan iklim ini dapat dihindari. Di Indonesia, sektor kehutanan merupakan penghasil terbesar emisi karbon. Penebangan hutan untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, perkebunan sawit, pertambangan, dan perumahan, maupun perusakan hutan akibat perambahan menyumbangkan emisi karbon sebesar 87 persen. Untuk menurunkan tingkat emisi karbon ini, hutanhutan Indonesia harus diselamatkan. Hal ini tentunya bukan tugas pemerintah semata tetapi harus didukung oleh pemangku kepentingan lainnya, baik swasta, lembaga-lembaga non pemerintah, maupun masyarakat. Sektor industri memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga dan menyelamatkan hutan Indonesia. Hal ini menjadi alasan mengapa The Nature Conservancy (TNC) selalu menjalin kerja sama dengan pihak swasta terutama yang aktivitas bisnisnya langsung berdampak 214
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
pada kawasan hutan, baik perusahaan di industri kehutanan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indonesian Sawmill and Woodworking Association (ISWA), dan Asosiasi Pengrajin Mebel Indonesia (ASMINDO) maupun perusahaan di industri pertambangan yang tergabung dalam Indonesia Mining Association (IMA). Kedua industri ini bersifat sangat destruktif terhadap hutan sehingga TNC selalu mendorong untuk mematuhi peraturan-peraturan nasional terutama mengenai restorasi pada bekas lahan ekstraktif perusahaan tersebut. Menurut
Rizal
Bukhari,
Manajer
Senior
terkait
Kebijakan
Nasional Bidang Kehutanan di TNC, komunikasi juga dibangun dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengambil peran aktif dalam menjaga dan menyelamatkan hutan Indonesia. Perusahaan-perusahaan seperti Nestle, Starbucks dan Indofood diharapkan mau membuka peluang pasar terhadap produk para petani dan peternak yang berada di sekitar hutan lindung sehingga dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap hutan. Hutan Desa Merabu merupakan daerah kawasan hutan lindung binaan TNC. Status kawasan lindung menjadikan produk yang dihasilkan adalah produk hutan non kayu (Non Timber Forest Product) seperti madu dan sarang burung walet. Produk-produk tersebut tentunya bersifat musiman sehingga hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari sepanjang tahun. Masyarakat Desa Merabu 215
Sekolah di Atas Bukit
memerlukan sumber mata pencaharian lain tanpa harus mengambil nilai ekonomis kayu di hutan. Inilah yang kini diusahakan oleh TNC dengan menghubungkan masyarakat Desa Merabu dengan Nestle, Garuda Food, Starbucks, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Satu atau dua dari perusahaan tersebut diharapkan bisa menjadi bapak angkat bagi para petani di Desa Merabu baik itu dengan menyiapkan bibit dan pupuk maupun menampung hasil pertanian tersebut. Garuda Food, misalnya, bisa menjadi bapak angkat untuk produk “Kacang Garuda”-nya dengan memberikan bibit kacang tiga polong kepada masyarakat untuk ditanam. Hasil panen kacang yang memenuhi standar nantinya akan dijual kembali ke Garuda Food sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam proses pemasaran. Dengan demikian, bentuk kerja sama ini tidak hanya akan mempermudah pasokan bahan baku dan meningkatkan citra merek Garuda Food, tetapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Merabu sekaligus menjaga kelestarian Hutan Lindung Desa Merabu.
Usaha untuk menyelamatkan hutan tidak cukup hanya dilakukan di tingkat lokal dengan terjun langsung ke hutan dan menjalin komunikasi dengan pihak swasta tetapi juga dilakukan di tingkat nasional. Bermain di tingkat atas, aktivitas itulah yang dilakukan oleh Rizal Bukhari selama 14 bulan bergabung di The Nature Conservancy (TNC). Sesuai dengan deskripsi tugasnya sebagai manajer senior terkait kebijakan nasional bidang kehutanan, Rizal banyak berhubungan
216
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan BAPPENAS. Program RAFT (Responsible Asia Forestry and Trade) merupakan salah satu tugas Rizal yang sangat berhubungan dengan program pemerintah khususnya program SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) Kementerian Kehutanan. Program ini bertujuan untuk mengatasi pembalakan ilegal, menekan laju kerusakan hutan, dan meningkatkan praktik pengelolaan hutan secara lestari. Melalui program RAFT, perusahaan-perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) didorong untuk mengubah paradigma bisnis mereka dari ‘Business as Usual’ (Praktik Biasa) menuju ‘Best Management Practice’ (Praktik Pengelolaan Terbaik). Salah satu langkah awal perusahaan HPH untuk mencapai Best Management Practice adalah dengan mengikuti program mandatory, yaitu sertifikasi SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). SVLK merupakan skema sertifikasi hutan dan industri kehutanan yang memastikan industri dan unit manajemen telah mengelola hutan dan produk hutan secara legal serta menggunakan bahan baku legal. Langkah selanjutnya adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Skema sertifikasi ini memastikan unit manajemen hutan telah mengelola hutan produksi secara lestari. Dengan memiliki sertifikat SVLK dan PHPL, perusahaan HPH dapat memperluas pangsa pasar ke negaranegara yang mensyaratkan jaminan legalitas atas kayu yang diimpor dan jaminan bahwa produk industri kehutanan yang menggunakan bahan baku dari sumber yang lestari dan legal.
217
Sekolah di Atas Bukit
Usaha sosialisasi SVLK dan PHPL dilakukan oleh TNC dan Kementerian Kehutanan yang bekerja sama dengan APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Buku panduan persiapan sertifikasi SVLK diterbitkan untuk membantu para pemangku kepentingan yang membutuhkan di tingkat tapak. TNC juga menfasilitasi Kementerian Kehutanan untuk mensosialisakan SVLK di berbagai provinsi, baik di Kalimantan maupun di Papua.
Kegigihan
dan kesabaran adalah dua karakteristik yang harus
dimiliki bila berhubungan dengan pembuat kebijakan, dalam hal ini pemerintah. Kegigihan dan kesabaran sangat dibutuhkan bila berhadapan dengan sistem birokrasi di pemerintahan. Demikian Rizal membagi pengalamannya bekerja sebagai mitra pemerintah. Bermitra dengan pemerintah, terkadang TNC harus membantu dalam memeriksa kebijakan-kebijakan pemerintah, baik berupa UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lain-lain. Setiap kebijakan dievaluasi apakah masih valid dan sesuai dengan kondisi saat ini atau tidak. Bila tidak valid lagi, maka diusulkan untuk direvisi. Begitu pula bila ada peraturan yang belum ada tetapi sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka diusulkan untuk dibuatkan Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen). Namun, bukan hal yang baru bila pemerintah selalu terkesan lamban dalam memberi tanggapan atas usulan atau pesan yang disampaikan
218
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
oleh masyarakat maupun lembaga-lembaga non pemerintah termasuk TNC. Bahkan terkadang pesan tersebut tidak mendapat tanggapan sama sekali. Menurut Rizal, lambannya atau tidak adanya tanggapan dari pemerintah bisa disebabkan karena pemerintah tidak mengerti bagaimana harus menanggapi pesan tersebut, apa yang harus dilakukan, diubah dan direvisi, atau pesan memang tidak diterima oleh pembuat kebijakan. “Setiap surat usulan ke pemerintah harus dikawal dan perlu waktu lama karena sistem birokrasi jadi harus sabar dan jeli. Jangan sampai ada mata rantai yang terpotong dan surat terhenti. Kalau suratnya belum sampai, kita harus tegur lagi dan tegur lagi!” ungkap Rizal menggambarkan kendala yang dihadapinya bekerja sama dengan pemerintah. “Atau terkadang pejabat-pejabat yang berwenang tidak mengerti atau bertentangan, contohnya saja REDD, pejabat yang satu bilang A, yang lain bilang B. Ini perlu sosialisasi lagi, apalagi kalau pejabatnya diganti, pasti harus dilakukan sosialisasi lagi. Jadi butuh waktu yang lama dan harus sabar,” tambahnya. Bagaikan lomba lari dengan memakai sepatu kets melawan pelari yang memakai sepatu pantofel. Pelari yang mengenakan sepatu kets tentunya bisa berlari lebih kencang dibandingkan pelari mengenakan sepatu pantofel. Itulah pengandaian yang diberikan oleh Rizal untuk menggambarkan lambannya pemerintah dalam menanggapi usulan
219
Sekolah di Atas Bukit
maupun pesan-pesan yang dia sampaikan. Tentunya yang harus dipertanyakan sekarang ini adalah kapan pemerintah mau mengganti sepatu pantofelnya dengan sepatu kets sehingga dapat berlari secepat mitranya.
220
Indonesia, Negara Adidaya yang [Tak] Berdaya Wahjudi Wardojo
Sekolah di Atas Bukit
“Indonesia, negara adidaya? Ah, yang benar saja? Siapa yang bilang begitu? Pasti pakai data siluman! Negara adidaya tuh Amerika, bukan Indonesia!” Mungkin sejumlah komentar itulah yang langsung terlintas dalam benak Anda dan dipikirkan oleh penduduk Indonesia saat membaca atau mendengar pernyataan tentang Indonesia sebagai negara adidaya, super power. Komentar-komentar itu memang ada benarnya tetapi juga banyak salahnya. Dalam hal kekuatan ekonomi, Indonesia memang belum menjadi negara adidaya. Berdasarkan data dari Bank Dunia, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-10 ekonomi dunia yang dinilai dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Dunia menempatkan Indonesia di atas Australia ataupun Korea, meskipun peringkatnya masih berada jauh di bawah China, India, dan Jepang. Kekuatan angkatan perang dan persenjataan yang dimiliki Indonesia juga tidak menjadikan Indonesia sebagai negara adidaya yang “ditakuti” oleh negara-negara lainnya. Namun, Indonesia tentunya tidak hanya bisa dipandang dari perspektif ekonomi atau militer saja. Luas hutan Indonesia memang hanya berada di peringkat ke-8 di dunia dan terluas ke-3 untuk hutan tropisnya setelah Brazil dan Kongo dengan total luas sekitar 20 persen dari total hutan tropis dunia. Tetapi dalam hal keragaman hayati daratan, Indonesia menempati posisi ke-2 setelah Brazil, bahkan tak terkalahkan untuk keragaman hayati 222
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
kelautannya. Perpaduan keragaman hayati di daratan maupun di lautan ini, bukankah membuktikan bila Indonesia sesungguhnya merupakan negara adidaya? Keragaman hayati yang sangat luar biasa ini tidak bisa dianggap sepele dan disia-siakan atau menerimanya begitu saja. Banyak di antara kita tahu dan paham bahwa alam Indonesia sangat kaya tapi kita gagal dalam memaknainya. Kita gagal memaknai bahwa alam yang dikaruniakan Tuhan ini memang hak kita tetapi bukan untuk dieksploitasi semenamena sehingga lupa bahwa ada unsur keadilan yang harus ditegakkan di situ. Keadilan yang dimaksudkan bukan hanya keadilan komutatif di mana bila satu orang mendapatkan bagian 10 unit maka seluruh penduduk yang lain juga akan mendapatkan 10 unit. Namun meliputi keadilan dalam dimensi spasial dan lintas generasi. Memaknai alam dalam perspektif keadilan yang berdimensi spasial adalah memaknai bahwa adil untuk masyarakat di Jawa, juga berarti harus adil pada masyarakat di Papua, bahkan masyarakat global. Manfaat alam yang dirasakan oleh orang di Jawa, juga harus dirasakan hingga ke masyarakat di ujung timur Indonesia dan seluruh penduduk dunia. Udara segar dari hutan di Jawa tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di Jawa tetapi juga masyarakat di seluruh Indonesia. Begitu pula saat hutan di Riau terbakar, asapnya tidak hanya merepotkan masyarakat di Riau dan Sumatera tetapi juga negara-negara tetangga. Inilah yang membuat pernyataan bahwa “Hutan Indonesia” adalah “paru-paru bumi” tidak menjadi kalimat simbolis semata karena terpeliharanya atau rusaknya hutan Indonesia 223
Sekolah di Atas Bukit
tidak hanya akan dirasakan oleh penduduk di Jawa atau Kalimantan tetapi juga seluruh penduduk bumi. Sementara itu, keadilan yang berdimensi lintas generasi menekankan bahwa alam yang kita nikmati sekarang ini juga harus dirasakan oleh anak, cucu, cicit, dan cicit dari cicit kita hingga sekian ratus tahun kemudian. Alam harus bisa diwariskan hingga lintas generasi. Kita memang punya hak untuk memanfaatkan alam tetapi bukan berarti boleh merampas hak generasi mendatang. Franklin D. Roosevelt pernah mengatakan bahwa “Great power involves great responsibility”. Adidaya yang dimiliki Indonesia dalam hal keragaman hayati harus dibarengi dengan tanggung jawab yang besar untuk memastikan keragaman hayati ini lestari hingga lintas generasi. Untuk mewujudkan hal ini, langkah penting yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma pembangunan Indonesia. Pembangunan Indonesia selama ini tidak terancang dan sangat bertumpu pada ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam tanpa memedulikan dampaknya. Bukit-bukit yang sebelumnya hijau kini lenyap atau bahkan hanya tersisa lubang-lubang besar karena biji timah dan nikelnya telah dikeruk. Hutan-hutan dibabat dan kayunya dijadikan komoditi ekspor. Luas hutan Indonesia yang awalnya lebih dari 130 juta ha, berdasarkan laporan tahun 2011 kini tersisa 90 juta ha. Tanpa disadari, saat hutan-hutan ini dibabat, tak terhitung spesies tumbuhan dan hewan serta ekosistem yang punah begitu saja tanpa sempat kita ketahui atau manfaatkan. 224
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Kemajuan Indonesia memang tidak akan bisa tercapai tanpa adanya pembangunan. Tetapi pembangunan tidak berarti harus mengorbankan sumber daya alam, bukan? Untuk itulah paradigma pembangunan perlu diubah menjadi pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Inilah yang menjadi fokus utama The Nature Conservancy (TNC) melalui konsep development by design-nya. Konsep yang sebenarnya bukan hal baru karena Bung Karno telah melontarkan konsep yang sama, yaitu pembangunan semesta berencana. Development by design menekankan bahwa pembangunan harus selalu terancang dan terencana serta mengintegrasikan aspek konservasi dalam seluruh kebijakan makro pembangunan. Hal ini berarti negara harus mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terkategorikan sensitif, sedang, dan kurang sensitif dari sisi keragaman hayati. Pembangunan hanya dilakukan pada wilayah dengan tingkat sensitivitas kurang dan sedang, tentunya dengan memenuhi persyaratan-persyaratan konservasi yang ketat. Sementara di wilayah-wilayah sensitif tidak boleh dilakukan pembangunan kota, kegiatan perkebunan, pertambangan, maupun kegiatan eksploitasi lainnya untuk melindungi alam dan keragaman hayati. Bukankah keragaman hayati ini merupakan sumber daya yang bisa diperbarui, jadi kenapa mesti dilindungi? Pemahaman ini sangat salah. Alam memang memiliki kemampuan untuk memulihkan sendiri hutan yang rusak tetapi tidak mungkin pulih seperti kondisinya semula. Pemulihan hutan yang rusak ini memerlukan waktu 250 hingga 500 tahun dengan sumber daya manusia dan dana yang tidak sedikit. 225
Sekolah di Atas Bukit
Sebagai contoh, mari kita prediksi kapan kira-kira pulihnya hutanhutan di Riau yang saat ini terbakar? Upaya penanaman kembali hutan alam yang rusak tidak akan sertamerta mengembalikan ekosistem alami yang punah. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membangun suatu ekosistem alami. Hutan sekunder, hutan tanaman industri, atau apa pun istilah yang digunakan untuk hutan-hutan yang dibuat manusia, tetap tidak akan memiliki potensi dan peran sebesar hutan alam baik dalam hal keragaman hayati maupun simpanan karbon. Betapa pun besar usaha manusia, tetap saja tidak akan bisa menciptakan alam seindah dan sesempurna ciptaan Tuhan. Pernahkah kita menghitung berapa liter udara yang kita hirup dalam setahun? Atau berapa yang harus kita bayar bila surat tagihannya datang ke rumah? Dan pernahkah kita bersyukur untuk semua itu? “Maka
nikmat
Tuhanmu
yang
manakah
yang
kamu
dustakan?”
(QS. Ar Rahman [55]). Ayat ini dengan jelas mengingatkan kita untuk bersyukur dengan lebih menghargai alam, dan bahkan mengajak manusia untuk memahami dan memaknai secara cerdas akan pentingnya alam untuk kelangsungan kehidupan di bumi. Para ahli telah memprediksikan bahwa jumlah penduduk bumi akan mencapai 9 miliar pada tahun 2050. Akibatnya akan terjadi kekurangan pangan, pasokan energi, dan air bersih. Secara teoritis, sekeras apa pun usaha para petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya, 226
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
total produksi pangan yang tersedia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan seluruh penduduk bumi. Keterbatasan pangan maupun energi ini, menurut pakar mikrobiologi, dapat diatasi dengan pemanfaatan mikroba (Reid & Greene, 2012). Kini mikroba sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan bakar hayati dengan mendekomposisi sampah menjadi bioetanol. Mikroba adalah bagian terkecil dari keragaman hayati. Sebagian besar mikroba misalnya kelompok jamur, alga, bakteri, dan virus hidup di daerah tropis seperti Indonesia terutama di hutan-hutan alam. Maka bila hutan-hutan dibabat habis dan keragaman hayati punah, tidak akan ada mikroba yang bisa ditemukan untuk menghasilkan bahan pangan maupun energi pada tahun 2050. Tegakah kita membuat cucu dan cicit kita kelaparan? Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia harus mulai menyadari bila keragaman hayati ini bukan hanya hak penduduk Indonesia, tetapi juga hak seluruh penduduk bumi di masa kini maupun di masa datang. Sudah saatnya, keadidayaan Indonesia ini dimaknai dan dimanfaatkan karena di hutan-hutan Indonesialah ketersediaan pangan dan energi untuk penduduk bumi di masa depan dipertaruhkan. Sudah saatnya Indonesia berbicara lantang pada setiap negosiasi di bidang kehutanan, perubahan iklim, dan keragaman hayati demi kepentingan nasional, global, dan masa depan. Bukan saatnya Indonesia sebagai negara adidaya untuk tidak berdaya.
227
Berburu Orang Pendek Ahmad Yanuar
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Satu bulan atau tepatnya 43.200 menit jika bergabungnya Ahmad Yanuar yang terbilang baru di The Nature Conservancy (TNC) harus dihitung dalam skala menit. Meski terhitung baru bergabung di TNC, namun tidak membuat Ahmad tergagap dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dia mengaku mendengar keberadaan TNC sejak duduk di bangku kuliah. “Saya sangat tertarik dengan konservasi, riset, dan kehidupan alam liar. Namun, tidak banyak yang dapat saya ceritakan mengenai ‘sepak terjang’ saya bersama TNC karena saya baru sebulan bergabung di LSM ini,” ujarnya. Meskipun baru bergabung pada 2014, tawaran untuk bergabung dengan TNC sudah kerap ditanyakan kepadanya sejak 2007. Manajemen TNC membutuhkan ahli yang mengerti tentang kehidupan primata, dalam hal ini Orangutan, keahlian yang memang Ahmad Yanuar miliki. Dia mengaku sebenarnya lebih sreg untuk bergabung dengan TNC, tetapi waktu itu proses perekrutan di LSM lingkungan ini terlalu lama sehingga tawaran dari Conservation International (CI) langsung disambutnya. Meski belum bergabung dengan TNC, namun pada tahun 2011 Yanuar ditawari menjadi konsultan TNC untuk Hutan Lindung Sungai Lesan, Kabupaten Berau. Sebagai konsultan, dia bertanggung jawab pada penanganan vegetasi dan fenologi.
229
Sekolah di Atas Bukit
Selama bergabung di CI dan menjadi konsultan lepas di TNC, begitu banyak pengalaman yang dirasakannya. Salah satunya saat menyusuri kawasan konservasi di tiga provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Perjalanan selama 6 bulan itu menyusuri 30 area di tiga provinsi tersebut. “Saya menyusuri tiga provinsi hanya dengan tim kecil. Bayangkan, kami hanya bertiga tetapi berhasil menjelajah di 30 area,” katanya dengan penuh kebanggaan. Yanuar mengatakan bila selama menyusuri kawasan konservasi, timnya juga berupaya untuk mencari keberadaan spesies orang pendek yang sangat dikenal di Jambi. Salah satu spesies yang keberadaannya menghebohkan dunia dan tengah dicari-cari oleh para ahli di bidang primata. Pencarian orang pendek ini sangat berhubungan dengan pengalamannya saat kuliah di Inggris. Selama tahun 2000 hingga 2008, Yanuar kuliah di Universitas Cambridge dan berhasil menyelesaikan kuliahnya untuk gelar Master dan PhD dengan mendalami tentang kehidupan primata. Untuk penelitian Master-nya, dia mengkhususkan pada kehidupan primata, yang kemudian lebih dia perdalam lagi pada penelitian S3 dengan meneliti kehidupan siamang dan ungka. Di Universitas Cambridge, Yanuar berada di bawah bimbingan Profesor David Chivers yang terkenal sebagai ahli primata, khususnya Ungka. Pada saat kuliah di Inggris inilah dia mendengar tentang orang pendek karena begitu ramainya pembahasan mengenai spesies orang pendek yang berasal dari Kerinci, Jambi, di kalangan akademisi.
230
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Orang Pendek merupakan misteri sejarah alam terbesar di Asia. Lebih dari 150 tahun, banyak ilmuwan satwa telah melaporkan tentang keberadaan kera misterius di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Namun hingga detik ini, satwa yang di Kerinci dikenal sebagai “uhang pandak” belum teridentifikasi. Bagi yang baru pertama kali mendengar tentang orang pendek ini tentu langsung bertanya-tanya, apakah makhluk ini manusia atau binatang? Bila manusia, tingginya berapa sentimeter sehingga mendapat julukan seperti itu? Nah, sebenarnya orang pendek adalah nama yang diberikan kepada satwa yang sudah dilihat banyak orang selama ratusan tahun dan kerap muncul di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Walaupun tak sedikit orang yang pernah melihatnya, keberadaan orang pendek hingga sekarang masih merupakan teka-teki. Tidak ada seorang pun yang tahu, sebenarnya makhluk jenis apakah yang sering disebut sebagai orang pendek ini. Sama sekali tidak pernah tersebar laporan yang mengabarkan bahwa seseorang pernah menangkap atau bahkan menemukan jasad makhluk ini. Namun demikian banyak laporan yang diterima dari beberapa orang yang mengatakan pernah melihat makhluk yang termasuk dalam salah satu studi Cryptozoology ini. Lama-kelamaan orang pendek ini terdengar seperti hantu, banyak yang pernah melihat tetapi belum ada yang berhasil menangkapnya.
231
Sekolah di Atas Bukit
Ekspedisi pencarian orang pendek sudah beberapa kali dilakukan di kawasan Kerinci. Salah satunya adalah ekspedisi yang didanai oleh National Geographic Society. National Geographic sangat tertarik mengenai legenda orang pendek di Kerinci, Jambi, dan mengirim beberapa peneliti mereka ke sana untuk melakukan penelitian dan mencari keberadaan makhluk tersebut. Sebenarnya cerita tentang orang pendek pertama kali ditemukan dalam catatan penjelajah Italia, Marco Polo, pada tahun 1292, saat bertualang ke Asia. Walau diyakini keberadaannya oleh penduduk setempat, makhluk ini hanya dipandang sebagai mitos oleh para ilmuwan, seperti halnya Yeti di wilayah pegunungan Himalaya, dan monster Danau Loch di Dataran Tinggi Skotlandia. Sejauh ini, para saksi yang mengaku pernah melihat orang pendek menggambarkan tubuh fisiknya sebagai makhluk yang berjalan tegap (berjalan dengan dua kaki) dengan tinggi sekitar satu meter (antara 85 cm hingga 130 cm) dan memiliki banyak bulu di seluruh badan. Bahkan tak sedikit pula yang menggambarkannya dengan membawa berbagai macam peralatan berburu, seperti tombak. Legenda mengenai orang pendek juga secara turun temurun dikisahkan di dalam kebudayaan masyarakat suku Anak Dalam. Bisa dibilang, suku Anak Dalam sudah lama berbagi tempat dengan para orang pendek di kawasan tersebut. Walaupun demikian, jalinan sosial di antara mereka tidak pernah ada. Suku Anak Dalam tidak pernah menjalin kontak langsung dengan makhluk ini. Meski sering terlihat, tak seorang pun dari suku 232
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Anak Dalam yang dapat mendekatinya. Ada suatu kisah mengenai keputusasaan para suku Anak Dalam yang mencoba mencari tahu identitas dari makhluk ini dengan mencoba menangkapnya namun selalu gagal. Pencarian lokasi di mana mereka diperkirakan membangun komunitas di kawasan Taman Nasional juga pernah dilakukan, namun keberadaan mereka juga tidak pernah diketahui. Pada awal tahun 1900-an, saat Indonesia masih merupakan jajahan Belanda, banyak laporan dari para peneliti asing tentang pertemuan mereka dengan orang pendek. Namun yang paling terkenal adalah Kesaksian Van Heerwarden pada tahun 1923. Van Heerwarden yang dikenal sebagai ahli zoologi, sedang melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, saat pertemuannya dengan orang pendek terjadi. Kesaksian Van Heerwarden memuat kisah pertemuannya dengan beberapa makhluk gelap dengan banyak bulu di badan. Tinggi tubuh mereka dia gambarkan setinggi anak kecil berusia 3-4 tahun, namun dengan bentuk wajah yang lebih tua dan rambut hitam sebahu. Heerwarden sadar mereka bukan sejenis siamang ataupun primata lainnya. Dia terus berusaha mencari tahu makhluk tersebut, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Usaha yang tanpa hasil juga dialami oleh Yanuar dan rekan-rekannya. Perjalanan menyusuri kawasan Kerinci tidak mendapatkan jejak sedikit pun tentang orang pendek. “Saya hampir frustrasi untuk menemukan spesies ini. Seluruh Sumatera juga sudah saya susuri dan camera tracker 233
Sekolah di Atas Bukit
sudah dipasang sejak enam tahun lalu. Namun kamera tidak menangkap jejak mereka, hanya spesies lain dan beberapa spesies langka,” ungkap Yanuar. Yanuar menambahkan World Wild Fund for Nature (WWF) juga pernah merilis tulisan tentang spesies orang pendek. “Hanya saja ilustrasinya digambarkan seperti sosok alien,” katanya sembari terbahak. Pengalaman menarik masih banyak dituturkan Yanuar. Saat dia bekerja sebagai konsultan di WWF, dia dilibatkan dalam proyek menyusuri Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Ekspedisi Sungai Kahayan yang bertujuan untuk mendata keanekaragaman hayati ini menghabiskan dana lebih kurang Rp300 juta. Membengkaknya dana yang dibutuhkan karena biaya transportasi yang sangat mahal untuk mengangkut 50 orang anggota tim yang terdiri dari enam orang anggota WWF dan 44 masyarakat setempat. Sebanyak 40 perahu yang disiapkan, karena dalam satu perahu hanya dapat mengangkut barang, penumpang, dan motoris perahu. Menurut Yanuar, transportasi air dengan perahu menjadi pilihan terbaik karena menggunakan jalan darat membutuhkan waktu lebih lama. Melalui sungai akan lebih cepat meskipun harus melewati banyak riam. Berdasarkan cerita penduduk yang sudah sering berperahu di Sungai Kahayan, terdapat lebih dari seratus riam. “Setiap melalui riam, semua penumpang turun dan jalan darat. Melalui satu riam membutuhkan waktu tiga jam. Bayangkan bagaimana lama 234
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
perjalanan kami waktu itu. Kesulitan menyusuri sungai juga bukan hanya itu. Satu perahu kami terbalik dan semua logistik hilang. Untung motoris perahunya sudah terbiasa dan berhasil menyelamatkan diri,” tuturnya. Di sepanjang aliran Sungai Kahayan ini, Yanuar dan timnya menemukan banyak spesies burung, mamalia besar, mamalia kecil, reptil, serangga, dan kodok Langles yang sangat unik karena hanya bisa ditemukan di Kalimantan dan India. Pengalaman Yanuar selama ekspedisi ini tidak akan terlupakan. Aliran sungai yang masih jernih yang hampir mustahil ditemukan di daerah perkotaan dan lauk untuk makanan mereka yang selalu bermenu ikan segar adalah dua kenangan indah yang masih terpatri jelas dalam ingatannya. Meskipun mengeluarkan dana yang cukup besar, tetapi ekspedisi menyusuri Sungai Kahayan termasuk jarang dilakukan. Menjadi bagian dalam ekspedisi Sungai Kahayan adalah salah satu kebanggaan Yanuar yang tak ternilai harganya.
235
Kearifan Seorang Teroris Ikan Ali
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Langit Tanjung Batu di ufuk barat mulai memerah saga. Gemuruh empasan ombak sesekali ditimpali riuh rendah suara rombongan burung yang terbang di atas laut. Bergegas pulang ke sarang. Seperti para nelayan menyiapkan peralatan dan perbekalannya untuk melaut. Esok pagi atau lusa, mereka akan kembali ke daratan dengan perahu yang dipenuhi ikan hasil tangkapan yang segar dan siap untuk dijual. Seorang pria paruh baya tampak berdiri santai memperhatikan kesibukan para nelayan sambil menikmati indahnya pemandangan senja. Angin yang bertiup kencang menampar-nampar wajahnya tidak dia pedulikan. Dialah Pak Ali, begitu orang-orang sering memanggilnya, pengurus sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama JALA (Jaringan Nelayan) yang berperan aktif dalam konservasi laut dan terumbu karang serta peningkatan kesejahteraan kehidupan nelayan di Tanjung Batu. Seperti kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung nelayan Tanjung Batu, Berau, Pak Ali juga berprofesi sebagai nelayan. Laut memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Bukan hanya karena di tubuhnya mengalir darah suku Bajau, suku yang terkenal dengan sebutan gipsi laut karena hidup nomaden di atas laut, tetapi juga karena Pak Ali telah merasakan suka-duka menjadi nelayan di usia yang sangat belia. Semenjak meninggalkan bangku Sekolah Dasar, Pak Ali mulai ikut melaut menangkap ikan. Kulitnya yang hitam legam terbakar matahari 237
Sekolah di Atas Bukit
seperti menjadi bukti bila sebagian besar waktunya dihabiskan di tengah laut, di bawah teriknya sengatan matahari. Di pertengahan tahun 1990-an, Pak Ali yang sebelumnya menangkap ikan dengan jala lalu beralih menggunakan bagan, teknik menangkap ikan yang sedang populer kala itu. Di tahun 1999, Pak Ali mulai bermain-main dengan bom. Kalau mendengar kata-kata ”meracik bom” atau ”mengebom”, di otak kita mungkin langsung muncul kata “teroris“ dan gambaran seseorang yang dengan motif tertentu membawa bom untuk meledakkan gedung yang mengakibatkan puluhan hingga ratusan nyawa orang melayang. Gelar teroris mungkin bisa disematkan kepada Pak Ali. Apa yang dilakukannya kurang lebih sama dengan gambaran kegiatan seorang teroris, membawa bom dan meledakkannya. Hanya saja Pak Ali meledakkan bom di laut bukan di darat dan yang menjadi korban adalah ratusan ekor ikan atau nyawanya sendiri bila dia tidak berhati-hati. Ya, Pak Ali adalah teroris, atau tepatnya “Teroris Ikan”, yang selama empat tahun menggunakan bom untuk menangkap ikan. Awalnya Pak Ali hanya ikut belajar bagaimana merakit sebuah bom lalu mulai coba-coba untuk mengebom bersama dengan Anton, teman yang kemudian menjadi iparnya sejak 2003 lalu. “Pertama belum mahir betul, Mas.” demikian Pak Ali memulai ceritanya hari itu bersama Junedi yang merupakan fasilitator JALA. “Bomnya saya buat dalam botol-botol saja, tetapi mulai dari tahun 2000 hingga 2003, saya sudah mahir betul sampai-sampai bukan pakai bom botolan lagi tapi saya buat
238
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
bomnya dalam jeriken lima liter. Apa tidak luar biasa itu!” ungkap Pak Ali penuh senyum membayangkan kegilaan yang pernah dia lakukan. Memang banyak nelayan beralih menggunakan bom untuk menangkap ikan dengan pikiran bila menggunakan bom tangkapan akan lebih banyak sehingga akan mendatangkan banyak keuntungan saat dijual. Bahan-bahan untuk membuat bom juga tidak terbilang mahal. Bagi beberapa nelayan menggunakan bom untuk menangkap ikan itu lebih mudah dan tak memakan waktu lama sehingga mereka tidak perlu berhari-hari melaut. “Bomnya tidak pakai detonator tapi pakai pupuk, Mas. Pupuknya khusus dibeli dari Malaysia. Jadi dari pupuk sampai pemicunya itu semua diimpor dari Malaysia,” jelas Junedi. “Saya dulu membeli bahan untuk membuat bom itu per karung isi 25 kg. Tahun 2000 itu harga satu karungnya hanya Rp500 ribu. Sekali beli langsung dua karung yang biasanya saya pakai sebulan. Bayangkan saja Mas, membeli 25 kg itu untuk lima jeriken isi lima liter, jadi lima kali buang habis satu karung itu,” ujar Pak Ali. Dia pun membenarkan penghasilannya lebih banyak jika menangkap ikan dengan menggunakan bom daripada dengan menggunakan jala atau cara-cara lain yang legal dan tidak merusak lingkungan. “Kalau memakai bom itu penghasilan meningkat, tetapi segera habis terpakai. Tidak pernah jelas untuk apa. Kadang-kadang saya dan teman membawa ikan ke Pak Aji, penampung ikan di Berau, dan kami pasti meminjam uang ke Pak Aji bila akan kembali melaut,” cerita Pak Ali. 239
Sekolah di Atas Bukit
“Kami tidak tahu cara menghitung keuntungannya, berapa pemasukan dan berapa pengeluaran. Bom itu kan berbeda dengan pancing. Kalau memancing, umpannya bisa ditarik kembali dan dipakai lagi bila tidak termakan ikan. Kalau bom, begitu dipakai tidak bisa ditarik kembali. Ikan banyak atau sedikit, bomnya tidak bisa dipakai lagi.” Menurut Pak Ali, hasil tangkapan yang besar dalam satu bulan sebenarnya hanya keberuntungan saja. Bila bulan ini bisa mendapatkan tangkapan ikan putih sebanyak satu ton, bulan depan atau dua bulan mendatang belum tentu bisa mendapatkan tangkapan sebanyak itu lagi. Jarak hasil tangkapan yang besar yang terlalu jauh inilah yang, menurut Pak Ali, membuat nelayan tidak bisa meningkatkan taraf kehidupannya. “Teman-teman banyak yang bilang kalau jumlah ikan di kawasan yang sudah dibom itu langsung berkurang sehingga butuh waktu satu hingga dua bulan bagi perairan untuk memulihkan diri. Setelah dibom, ikan-ikan akan berpindah tempat sehingga hasil tangkapan nelayan di tempat tersebut berkurang. Akibatnya nelayan kehabisan modal dan terpaksa meminjam uang ke penampung,” lanjutnya. Banyak nelayan yang menggunakan bom hanya tergiur dengan imingiming hasil tangkapan yang besar. Mereka tidak menghiraukan bahaya yang akan menimpa atau kerusakan yang ditimbulkannya. “Sebenarnya bom itu berbahaya setelah pemicunya dipasang. Saya selalu pasang pemicunya kalau mau turun ke laut. Setelah di laut, dibakar, dilempar dan… BUUMMMMM!” ujar Pak Ali sambil memperagakan bagaimana dia melempar bom. “Yang berbahaya itu saat bomnya 240
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
meledak sebelum dilempar. Seperti yang dialami almarhum Pak Kahar. Dadanya sampai terbelah, tangannya putus, sebelah mukanya hancur, dan sebelah kakinya juga putus.” “Badan adiknya Bahar malah hancur sama sekali. Kepala mertuanya Lilies belum ditemukan hingga sekarang,” tambah Junedi. “Tahun 2003, saya berhenti memakai bom. Saya insaf!” ucap Pak Ali jujur. “Karena dia berhenti mengebom… akhirnya bisa menikah,” ucap Junedi. “Iya, suatu hari Anton dan saya berperahu mencari ikan di sekitar Pulau Panjang dan Pulau Derawan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, ‘Aih, kalau begini terus, saya tidak akan bisa menikah. Tidak akan bisa kawin dengan istri saya’,” cerita Pak Ali sembari tertawa lepas. “Saya bilang ke Anton kalau saya mau usaha sendiri. Perahu biarlah dia yang pakai. Saya kemudian beralih menggunakan pancing. Empat lima bulan saja, mungkin sudah kehendak Tuhan, saya akhirnya bisa menikah.” “Memang tidak ada yang bisa memastikan jika nelayan bisa cepat kaya dengan menangkap ikan menggunakan bom. Yang kaya bukan nelayan tetapi justru pengumpul ikannya. Namun yang lebih pasti adalah cepat atau lambat, nelayan tersebut akan cacat atau bahkan meninggal karena bom yang digunakan meledak sebelum dilempar.” “Bila ada nelayan yang menolak untuk berhenti memakai bom karena tidak bisa mencari makan, itu alasan yang dibuat-buat. Buktinya, tanpa mengebom pun saya bisa hidup. Orang bisa makan, saya juga bisa makan. Orang bisa membeli motor, saya juga bisa. Jadi, itu alasan yang tidak benar sama sekali!” ucap Pak Ali berapi-api.
241
Sekolah di Atas Bukit
“Tidak ada nelayan yang berhasil dengan cara mengebom. Contohnya ipar saya. Kehidupannya lebih buruk dan rumahnya tidak karuan ketika masih mengebom. Mungkin karena uang yang dihasilkan berasal dari cara-cara yang tidak ramah lingkungan.” Menangkap ikan dengan menggunakan bom itu bukanlah cara yang modern tetapi cara yang merusak. Sudah saatnya nelayan menyadari jika menggunakan bom bisa merusak terumbu karang dan mengurangi spesies ikan karena benih ikan juga akan ikut mati saat bom meledak. Sudah bukan saatnya juga nelayan mati di ujung sumbu bom ikan karena iming-iming keuntungan sesaat. “Lihat alam di sekeliling kita ini!” ucap Pak Ali sambil membentangkan kedua tangannya. “Apa yang kita rasakan dan nikmati sekarang adalah hasil jerih payah dan kearifan nenek moyang kita dalam menjaga alam. Kini giliran kita untuk insaf, sadar, dan bersikap arif. Kini giliran kita untuk menjaga alam demi anak-cucu kita. Jangan lagi merusak terumbu karang. Jangan lagi menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak berkelanjutan. Hidup ini hanya sekali, mari memastikan anak-cucu kita mewarisi alam yang indah, bukan alam yang rusak.”
242
Menyelamatkan Laut dengan Jala Junedi
Sekolah di Atas Bukit
Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km2 atau 2/3 dari total luas wilayah Indonesia. Lautan Indonesia diakui sebagai wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Bagaimana tidak, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di laut Indonesia hidup 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies biota terumbu karang. Keragaman hayati yang sangat tinggi yang menjadi sumber kehidupan seluruh rakyat Indonesia hingga harus dikelola secara lestari. Indonesia juga memiliki sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia, yaitu sekitar 95.181 km. Ribuan kampung atau desa-desa nelayan terdapat di sepanjang garis pantai yang membentang dari Pulau Weh hingga Papua. Wilayah pesisir pantai dan laut telah menjadi tempat tinggal, sumber kehidupan dan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Para nelayan inilah yang berjasa besar hingga tuna, kakap, dan berbagai jenis ikan laut segar lainnya bisa dengan mudah kita nikmati. Sayangnya, tidak semua nelayan menangkap ikan dengan cara-cara yang legal dan ramah lingkungan. Permintaan produk perikanan yang semakin meningkat dan iming-iming keuntungan yang lebih besar adalah dua hal yang memotivasi banyak nelayan untuk menangkap ikan dengan menggunakan racun potasium sianida dan bom ikan. Dengan bom dan racun, nelayan dapat menangkap ikan lebih banyak dalam waktu yang singkat. 244
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Fenomena penangkapan ikan yang merusak ini juga terjadi di Kampung Tanjung Batu. Penggunaan racun dan bom oleh nelayan di kampung yang terletak di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini telah menyebabkan rusaknya terumbu karang dan berkurangnya spesies ikan di wilayah perairan Berau. Inilah yang mendorong Junedi dan beberapa tokoh masyarakat Tanjung Batu lainnya membentuk Jaringan Nelayan (JALA). Bagi Junedi, bekerja di lapangan menyelamatkan alam bukanlah hal baru. Pria paruh baya ini mulai aktif dalam kegiatan konservasi lingkungan dengan bergabung di Yayasan Konservasi Alam, Lingkungan, dan Kebudayaan atau Yayasan Kalbu pada tahun 1999. Kecintaannya pada alam juga membawanya bergabung dalam program bersama WWF – TNC yang fokus pada kegiatan konservasi kelautan pada tahun 2009. Pada tahun 2010, pengeboman ikan semakin marak dilakukan oleh beberapa nelayan Tanjung Batu. Hal ini menyulut kemarahan masyarakat dan nelayan yang ramah lingkungan. “Bayangkan saja, ketika kita sedang asyik memancing, tiba-tiba ada orang yang mengebom di sebelah kita. Bagaimana tidak marah kalau seperti itu? Mau melawan, kita takut dibom. Masyarakat sampai berkumpul untuk merencanakan demonstrasi.” Begitu cerita Junedi menyoal awal mula dibentuknya JALA. “Karena khawatir bila melakukan demonstrasi nantinya akan berubah anarkis, saya menyarankan ke masyarakat untuk berkumpul di rumah Pak Aliksidi yang sering dipanggil Ali Bolong, keesokan malam tanggal 30,” lanjutnya. 245
Sekolah di Atas Bukit
Pada tanggal 30 Juli 2010 itulah Kelompok JALA (Jaringan Nelayan) terbentuk. JALA dibentuk sebagai wadah bagi masyarakat nelayan agar dapat mendiskusikan dan menyelesaikan masalah-masalah mereka. Di JALA, nelayan bisa membicarakan masalah praktik pengeboman ikan dan solusinya, masalah hasil tangkapan yang berkurang, dan lokasi pencarian ikan yang bergeser semakin jauh akibat penangkapan ikan dengan bom dan racun. JALA juga menjadi wadah yang menfasilitasi keinginan masyarakat untuk menjaga sumber daya perikanan yang lestari
dengan
memberikan
informasi
dan
pelatihan-pelatihan
mengenai pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. “Saya pikir JALA sangat diperlukan karena selama ini belum ada wadah bagi nelayan untuk membicarakan masalah dan mencari solusinya. Selain itu, kontrol aparat juga tidak ada sehingga penangkapan ikan tidak ramah lingkungan terkesan dibiarkan,” jelas Junedi. “Selain dapat menjaring semua masalah, JALA juga diharapkan dapat menjaring dan menyatukan semua masyarakat nelayan di pesisir.” Setelah empat tahun berdiri, tidak sedikit hambatan yang dihadapi oleh JALA, terutama dalam upaya pemberantasan pengeboman ikan. “Mengatasi nelayan-nelayan dari luar yang menangkap ikan di wilayah perairan Berau itu bukan masalah. Kami sering melakukan pengusiran nelayan-nelayan dari Bali, Filipina, maupun Malaysia,” tegas Junedi. “Tetapi kami tidak bisa apa-apa ketika melihat orang yang mengebom ternyata adik sendiri atau kadang-kadang bapak sendiri. Bahkan ada beberapa aparat kepolisian yang iparnya tukang mengebom yang tetap
246
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
saja mengebom meski telah ditegur. Sangat sulit untuk menindak jika yang merusak itu saudara-saudara kita sendiri,” keluh Junedi. Untuk mengatasi praktik pengeboman ikan, JALA membuat program yang disebut Bank Ikan. Program Bank Ikan ini prinsipnya seperti bank pada umumnya, hanya bedanya nelayan tidak menyetor uang melainkan ikan. Jadi setiap nelayan menyetor satu ekor ikan atau lebih dan boleh diambil kembali setahun kemudian dalam bentuk uang maupun ikan. “Menabung ikan itu begini, misalnya hari ini nelayan menabung ikan satu kilo yang harga pasarannya dua puluh ribu rupiah selama satu tahun. Pada saat nelayan mengambil tabungannya, ikan mereka tidak akan dihargai sebesar dua puluh ribu rupiah lagi tetapi sesuai dengan harga ikan satu tahun kemudian. Jadi, jumlah ikan yang mereka tabung akan diakumulasikan dan dihargai sesuai dengan harga pasar pada saat tabungan itu diambil,” papar Junedi. “Bank ikan ini milik nelayan karena dibuat dari dana mereka sendiri. Tantangan terberatnya adalah bagaimana memutar dana dari tabungan ikan yang dikumpulkan oleh petugas pengumpul, yaitu Bang Mail. Kalau tidak pintar dan hati-hati, Bang Mail bisa bangkrut. Saya sudah menghitung, jika satu orang nelayan rutin menabung satu kg ikan maka tahun depannya Bang Mail harus mengembalikan dana sebesar satu miliar rupiah,” lanjutnya. Sayang sekali, program yang hebat ini harus terhenti di tengah jalan karena minimnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh JALA. “Teman-teman di JALA paling tinggi lulusan SMA, itu pun hanya tiga 247
Sekolah di Atas Bukit
atau empat orang, sisanya DO (drop out) dari SMP atau SD. Meskipun program Bank Ikan ini tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan, JALA tidak berhenti sampai di situ. Kita mengubah program Bank Ikan menjadi GSI atau Gerakan Satu Ikan, bukan Gerakan Sayang Ibu, ya,” jelas Junedi penuh semangat. Gerakan Satu Ikan dijalankan bukan hanya karena program Bank Ikan gagal tetapi juga untuk mengatasi keengganan anggota JALA untuk membayar iuran. Padahal iuran tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan patroli pengawasan laut yang dilakukan JALA bersama aparat. “Meminta iuran ke nelayan-nelayan itu susahnya minta ampun, seribu rupiah pun tidak akan diberi. Lucunya, kalau kita meminta seekor ikan ke nelayan, mereka bisa memberi sampai tiga ekor ikan. Tiga ekor ikan itu kalau dijual kan nilainya bisa lebih dari seribu rupiah,” katanya. Dana yang terkumpul dari Gerakan Satu Ikan, 30 persen diantaranya dipergunakan untuk kegiatan patrol dan kegiatan JALA lainnya sementara 70 persen lainnya untuk kepentingan nelayan meliputi pendidikan dan kesehatan. JALA berharap pada tahun 2019 atau 2020 nanti, Tanjung Batu sudah memiliki jaminan sosial yang dibiayai dari GSI. Menurut Junedi, kehidupan masyarakat nelayan menjadi miskin karena tidak mempunyai kemampuan menabung. Uang yang diperoleh dari penjualan ikan tangkapan seluruhnya dibelanjakan. Dapat uang, belanja. Dapat uang, belanja. Prinsip mereka, tidak masalah menghabiskan
248
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Rp100 ribu atau Rp1 juta karena jika habis mereka cukup melaut. Prinsip inilah yang ingin diubah JALA dengan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program Gerakan Satu Ikan, ataupun kegiatan lainnya, seperti agen travel wisata. Selain masalah kesejahteraan masyarakat nelayan, masalah pengawasan dan perlindungan wilayah perairan Berau juga menjadi perhatian JALA. Untuk melakukan kegiatan pengawasan perairan laut, JALA bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan Dinas Kelautan dan Perikanan, melakukan patroli sekali dalam sebulan. Kegiatan pengawasan ini juga melibatkan para nelayan yang bertindak sebagai “intelijen” jika terjadi kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing. Kegiatan patroli ini terbukti mampu mengurangi kegiatan pengeboman ikan maupun penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan dari negara lain. Untuk perlindungan laut, JALA telah menginisiasi pembentukan Kawasan
Perlindungan
Laut
(KPL)
Tanjung
Batu.
Melalui
pembentukan KPL ini, JALA ingin memastikan kondisi terumbu karang di kawasan perairan Tanjung Batu dapat terjaga dan berfungsi dengan baik sebagai tempat berkembang biak ikan dan sumber tangkapan ikan bagi nelayan Tanjung Batu. Wilayah perairan Karang Balutung merupakan area yang ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Laut. Menurut Junedi, wilayah Karang Balutung ini dipilih karena di area tersebut terdapat karang tempat
249
Sekolah di Atas Bukit
pemijahan ikan yang harus diselamatkan. Nelayan tidak diperbolehkan menggunakan racun dan bom atau alat tangkap ikan lainnya yang bisa merusak terumbu karang di dalam wilayah KPL. Begitu banyak masalah yang ingin dijaring oleh JALA. Banyak pula jawaban JALA yang berusaha diberikan untuk memecahkan masalah tersebut. Namun, hanya satu impian besar JALA, yaitu mewujudkan pelestarian ekosistem laut dan bakau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai dan nelayan Tanjung Batu. Impian yang hanya bisa terwujud dengan mata yang terbuka lebar, bukan dengan mata tertutup!
250
Pengumpul Ikan Ramah Lingkungan: Melestarikan Laut dari Darat Ismail
Sekolah di Atas Bukit
“Sebagai negara maritim, samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali.” Rentetan kalimat di atas merupakan petikan dari pidato kenegaraan Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, yang dibacakan pada acara pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada Senin, 20 Oktober 2014. Pidato yang berisi seruan ke segenap elemen bangsa untuk bekerja keras untuk mewujudkan Jalesveva Jayamahe. Cita-cita besar tersebut bukan mustahil diwujudkan mengingat Indonesia, sejak zaman kerajaan Sriwijaya hingga Majapahit, tercatat sebagai kerajaan yang sangat besar dan merajai samudera. Jaya di lautan pada hakikatnya bukan ditandai dengan kemampuan bangsa ini untuk menjelajahi lautan hingga jauh ke Madagaskar dan Pasifik Selatan seperti yang pernah dilakukan oleh nenek moyang dahulu. Kejayaan bangsa Indonesia tercermin tidak hanya pada kemampuan untuk mempertahankan kedaulatan di laut, tetapi juga keahlian dalam memanfaatkan ruang laut dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan. Bagi Ismail, seorang pengumpul ikan di Kampung Tanjung Batu, Kabupaten Berau, apa yang diserukan oleh pak Presiden telah dilakukannya dengan tekun. Bukan hanya dengan aktif terlibat sebagai bendahara dalam kepengurusan JALA (Jaringan Nelayan)—lembaga 252
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
swadaya masyarakat yang fokus kegiatannya pada konservasi laut—saja, Ismail juga dapat dikatakan aktif menjaga kelestarian laut. Namun, seberapa besar yang dapat dilakukan pengumpul ikan untuk turut menyelamatkan laut? Julukan “Pengumpul Ikan Ramah Lingkungan” telah tersemat di dada Ismail. Julukan tersebut dinyatakan layak disandangnya karena upayanya untuk memastikan laut Berau dan kekayaan hayati, baik berupa terumbu karang maupun ikan-ikan, terjaga dari kerusakan akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun. Tidak perlu ide dan tindakan besar untuk menyelamatkan laut. Bagi Ismail, tindakan kecilnya yang menolak membeli ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan peledak atau cara-cara tidak berkelanjutan lainnya dan membeli ikan nelayan yang ditangkap dengan cara-cara legal dan tidak merusak dengan harga tinggi sudah mengurangi kegiatan pengeboman ikan oleh nelayan. Tindakannya ini juga secara langsung mengurangi kerusakan pada terumbu karang dan melindungi spesies ikan di laut Berau dari kepunahan. Usaha Ismail mengumpulkan ikan yang ramah lingkungan ini bermula dari usaha jual beli hasil laut yang dikelola bersama dengan beberapa orang keluarganya pada tahun 2004. Setahun kemudian dia pun merintis usaha sendiri dengan mulai mengumpulkan hasil laut yang ditangkap dengan cara-cara yang legal dan tidak merusak. Bukan hal yang mudah bagi Ismail untuk merintis usahanya. Keuntungan yang lumayan baru dia rasakan pada tahun 2009 hingga saat ini. 253
Sekolah di Atas Bukit
Pada awalnya, Ismail tidak terlalu paham dengan konsep penangkapan ikan ramah lingkungan dan manfaat yang bisa dia dapatkan dengan menerapkan konsep tersebut pada usahanya. Namun, pendampingan dan informasi yang diberikan oleh The Nature Conservancy (TNC) telah membuka matanya lebar-lebar. “Dulu saya tahu yang melanggar hukum itu berarti yang tidak ramah lingkungan tetapi saya tidak paham manfaat dari konsep ramah lingkungan ini,” tutur Ismail. “Saya seperti pengusaha lain yang sudah senang cukup dengan melihat ikan tangkapan tanpa peduli apakah ikannya ditangkap dengan cara-cara ramah lingkungan atau tidak. Lama-kelamaan saya merasa tidak puas dengan jual beli ikan tidak ramah lingkungan seperti itu. Pamor bisnis saya turun di mata masyarakat, begitu juga dengan pamor nelayan Tanjung Batu.” Keputusan Ismail untuk membidik konsumen yang membutuhkan ikan ramah lingkungan memberinya peluang bisnis yang sangat menjanjikan. “Ikan yang ditangkap dengan cara ramah lingkungan itu berkelas ekspor sedangkan yang ditangkap dengan menggunakan bom ikan itu berkelas lokal saja. Jadi, saya bisa mendapatkan keuntungan lebih karena produk ikan bisa saya ekspor tanpa perlu bersaing dengan banyak pengusaha yang bermain di pasar lokal,” jelas Ismail. Saat ini, Ismail mendapat pasokan ikan segar dari sekitar seratus orang nelayan. Ikan-ikan ini pun kemudian dia ekspor ke Singapura dan Malaysia melalui pihak perantara. Ikan-ikan Ismail juga disajikan di restoran-restoran berkelas di Balikpapan. Guna mendapatkan ikan-
254
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
ikan yang ditangkap dengan cara-cara ramah lingkungan, Ismail rela merogoh kantung sedalam-dalamnya. Upaya inilah yang mengubah metode nelayan Tanjung Batu dalam menangkap ikan. Jika ikan yang ditangkap dengan menggunakan jala saja dapat dijual dengan harga yang tinggi, kenapa harus menggunakan bom? Ini mungkin yang tebersit dalam pikiran para nelayan tersebut. “Saya berani memasang harga tinggi ke nelayan karena saya mampu. Saya juga ingin membantu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, bukan hanya sekadar mengambil untung yang banyak. Saya tidak mau serakah. Jika saya bisa mendapatkan keuntungan lebih, tidak ada salahnya saya menaikkan harga beli ikan nelayan.” Begitu yang diungkapkan Ismail. Tidak hanya itu, setiap hari raya dia selalu membagikan bingkisan dan tunjangan hari raya kepada nelayannya. Ismail mengungkapkan bahwa dia berusaha untuk memberikan pelayanan lebih kepada para nelayannya. Dia berusaha memberikan solusi untuk setiap masalah operasional yang dihadapi oleh nelayannya. Masalah alat tangkap atau perahu nelayan yang rusak, dia selesaikan dengan memberikan bantuan pinjaman modal untuk mengganti peralatan yang rusak tersebut. Alasan ini pulalah yang membuat para nelayan senang dan sukarela menjadi nelayan binaan Ismail. Beragam jenis ikan dikumpulkan Ismail dari setoran para nelayan. “Nelayan-nelayan saya menangkap ikan dengan cara yang berbeda-beda, jadi ikan tangkapannya juga bermacam-macam. Ada yang menggunakan pancing untuk menangkap ikan karang, atau menggunakan bubu dan bagan. Pokoknya yang ramah lingkungan,” ujar Ismail.
255
Sekolah di Atas Bukit
Setiap harinya, Ismail bisa mengumpulkan ikan rata-rata hingga satu ton yang langsung dikemas untuk dikirim ke Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Setiap tiga hari sekali, dia mengirim ikan ke Surabaya dan setiap lima hingga tujuh hari sekali ke Balikpapan dan Tarakan. Beberapa tahun ini Ismail yang sangat mendukung kegiatan JALA banyak memberikan ide dan masukan untuk mengurangi penggunaan bom untuk menangkap ikan. Dia berusaha membentuk imej bahwa nelayan menangkap ikan dengan pancing dan pukat memiliki kehidupan yang lebih sejahtera dibanding nelayan yang menggunakan bom. Ismail bahkan rela menyediakan alat tangkap pukat secara cumacuma bagi nelayan yang ingin beralih menangkap ikan dengan cara ramah lingkungan. Rugi? Dalam hitungan ekonomis tentu saja Ismail rugi. Pertanyaan lainnya adalah apa yang dia dapatkan dengan melakukan hal gila seperti itu? “Hitung-hitung mengurangi jam terbangnya untuk menangkap ikan dengan menggunakan bom. Bila seorang nelayan dalam sehari melaut dengan menggunakan bom, dia bisa melempar bom hingga sepuluh botol. Bisa dibayangkan berapa ribu ikan yang belum semestinya mati ikut mati dan berapa banyak terumbu karang yang rusak. Sehari nelayan ini tidak melaut, mungkin seribu ikan akan terselamatkan sehingga nelayan-nelayan saya yang ramah lingkungan mempunyai kesempatan untuk menangkap seribu ikan tersebut dan menjualnya kepada saya. Jadi, tidak masalah saya mengeluarkan uang satu juta rupiah membeli 256
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
pukat untuk nelayan pengebom ikan karena saya akan mendapatkan keuntungan dua juta rupiah dari bertambahnya ikan-ikan yang ditangkap oleh nelayan-nelayan saya,” jelas Ismail saat ditanya mengenai investasi jangka panjang yang ada di balik tindakan yang dia lakukan untuk memberikan pukat gratis kepada nelayan pengebom ikan. Ismail tidak pernah kehabisan ide untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memastikan tidak ada lagi penangkapan ikan dengan caracara ilegal dan merusak di wilayah laut Berau. Salah satu idenya yang masih dalam proses pengkajian adalah Bank Ikan di mana para nelayan bisa menabung satu ekor ikan setiap hari yang total tabungannya bisa mereka cairkan pada tahun berikutnya dalam bentuk uang. Ismail juga memiliki cita-cita untuk mendirikan usaha restoran yang menyajikan ikan-ikan yang ditangkap dengan cara ramah lingkungan. “Saya akan tulis besar-besar pengumuman ‘Restoran seafood ramah lingkungan. Setiap makan di sini, Anda telah menyelamatkan 1.000 bibit ikan dan 1 cm terumbu karang’,” kata Ismail dengan mata berbinar. Itulah usaha yang dilakukan Ismail. Usaha sederhana tetapi dampaknya sedemikian besar untuk penyelamatan lingkungan. Dalam pikiran Ismail, tidak perlu melaut untuk menyelamatkan laut, tetapi cukup dengan memijak kuat di daratan karena semua yang merusak laut berasal dari darat. Mari mulai menyelamatkan laut dari darat.
257
Sekolah di Atas Bukit
258
Kumpulan Cerita Pengalaman Konservasi
Staf The Nature Conservancy IMP (Indonesia Marine Program) & ITP (Indonesia Terrestrial Program) Berdiri dalam foto (kiri – kanan): Alie Syopyan | Siswandi | Ahmad Yanuar | Lex Hovani | Edy Soediyono Jasari | Achmad Faisal Kairupan | Khornaylius Ervin Bambang Wahyudi | Sudiyanto | Hasni Ahmad | Fakhrizal Nashr Matias | Niel Makinuddin | Herlina Hartanto | Asty Leonasty Ali Sasmirul | Rizal Bukhari | Ade Soekadis Saipul Rahman | Musnanda Berlutut dalam foto (kiri – kanan): Taufiq Hidayat | Umbar Sujoko | Tomy Satriya Yulianto Marjayanti | Indah Astuti | Stanley Mathew Rajagukguk | Delon Marthinus Guan Lim | Purnomo | Robi Sugara
Tidak ada dalam foto: Intan Sarah Dewi Ritonga | Wahjudi Wardojo | Achmad Sahri Adli | Agustina Tandi Bunna | Anisa Budiayu | Eliansyah | Frisnar Paysal I Made Sudarsa | M. Zeen | Titik Ermawati
259