UJI EFIKASI EKSTRAK DAUN ILER (Coleus scutellarioides Linn. Benth) SEBAGAI PLANT-BASED REPELLENT TERHADAP Aedes aegypti
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH : ARDILLAH WASIAH NIM : 109101000047
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M /1434 H
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, April 2014 Ardillah Wasiah, NIM : 109101000047 UJI EFIKASI EKSTRAK DAUN ILER (Coleus scutellarioides Linn. Benth) SEBAGAI PLANT-BASED REPELLENT TERHADAP Aedes aegypti (xvii + 80 halaman, 9 tabel, 6 gambar, 2 bagan, 4 lampiran) ABSTRAK Aedes aegypti meupakan vektor utama penyakit demam berdarah dengue (DBD), chikungunya dan demam kuning yang diderita oleh jutaan jiwa penduduk dunia. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan aplikasi repellent sebagai pelindung diri. Adanya efek toksik pada manusia dan resistensi nyamuk akibat penggunaan repellent sintetik DEET, mendorong alternatif repellent yang aman dari bahan alam. Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) diketahui memiliki kandungan eugenol, timol, kamfor, alkaloid, karvakol dan rosmarinic acid yang telah diketahui bersifat repellent terhadap Aedes aegypti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Metode eksperimen ini adalah post test only with control group design, dengan empat kali replikasi pada 7 interval waktu (jam ke- 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6). Sampel yang digunakan untuk setiap uji efikasi konsentrasi 0% (kontrol), 20%, 40%, 60%, dan 100% ekstrak daun Iler yaitu 10 ekor Aedes aegypti steril, dengan total sampel 160 ekor. Hasil analisa menunjukkan adanya perbedaan daya proteksi yang signifikan diantara kelompok perlakuan (Anova jam ke-0 p= 0,05, jam ke-1 p=0,05, Jam ke-2 p=0,002, jam ke-3 p=0,003, jam ke-4 p= 0,01; kruskall wallis jam ke-5 p=0,018, jam ke-6 p=0,007). Pada uji korelasi Pearson didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi, semakin besar daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent (r = 0,501), dan semakin lama waktu pengujian, semakin kecil daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent (r = -0,780) pada kondisi suhu ruang yang optimal. Sedangkan nilai EC50 ekstrak daun Iler didapat pada konsentrasi 100%, dengan daya proteksi total pada konsentrasi tersebut mencapai 50,53%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka ekstrak daun Iler kurang berpotensi sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait optimalisasi kerja ekstrak daun Iler, serta efek samping yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan ekstrak tersebut sebagai plant-based repellent. Kata Kunci
: Aedes aegypti, Ekstrak daun Iler, Plant-based repellent, Daya proteksi, EC50
Daftar Bacaan : 59 (1969-2013)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergratuated Thesis, April 2014 Ardillah Wasiah, NIM : 109101000047 EFFICACY OF Coleus scutellarioides Linn. Benth EXTRACT AS A PLANT-BASED REPELLENT AGAINST Aedes aegypti (xvii + 80 pages, 9 tables, 6 figures, 2 charts, 4 appendixs) ABSTRACT Aedes aegypti is the primary vector of viral diseases such as dengue fever, chikungunya and yellow fever that affect million of people throughout the world. Repellent application is one of the mosquito-control that could be done as personal protective measure against mosquito. Emerging issue related to toxic effects on human and development of resistance in mosquitoes as a result of continuous application of DEET based repellents, prompted the search for alternative natural repellent which considered more safety. Coleus scutellarioides Linn. Benth known to contain eugenol, thymol, camphor, alkaloids, karvakol and rosmarinic acid, which has been reported previously for their repellent activities. The aim of this research was to determine the potential of painted-nettle leaves extract as a plant-based repellent against Aedes aegypti. The experimental with post-test only control group design was used in this experiment, which replicated four times in seven period time intervals of testing, start from 0, 1st, 2nd, 3rd, 4th, 5th, 6th hour. Samples of 10 uninfected Aedes aegypti was used for each test at concentrations 0% (control), 20%, 40%, 60%, and 100% of painted-nettle leaves extract, with total amount of sample approximately 160 Aedes aegypti . Analysis result showed the differences in percentage repellency for each treatment group (Anova 0 hour p= 0,05, 1st hour p=0,05, 2nd hour p=0,002, 3rd hour p=0,003, 4th hour p= 0,01; kruskall wallis 5th hour p=0,018, 6th hour p=0,007). From Pearson correlation test was founded that with the increasing of extract concentration, also increased its percentage repellency (r = 0.501). Thus, the longer duration of testing time, decreased percentage repellency (r = -0.780). Meanwhile, EC50 value based on probit analysis was obtained at 100% of Coleus scutellarioides Linn. Benth extract, with the highest for its percentage repellency approximately 50,53% in seven period time intervals of testing. The conclusion that could be derived was that Coleus scutellarioides Linn. Benth leaves extract lacking in its potential as a plant-based repellent against Aedes aegypti. Further research aiming to optimize repellent activities of painted-nettle leaves extract are need to be done, also to find an adverse effects that could occur as the result of application of these extract as a plant-based repellent. Keywords : Aedes aegypti, Coleus scutellarioides Linn. Benth leaves extract, Plant-based repellent, percentage repellency, EC50 Literature : 59 (1969-2013)
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ardillah Wasiah
TTL
: Jakarta, 12 Februari 1992
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Karet Pedurenan No. 62 RT. 008/04 Kel. Karet Kuningan Kec. Setiabudi Jakarta Selatan 12940
No. Telp
: 085780433482
Email
:
[email protected] /
[email protected]
Riwayat Pendidikan Formal Jenjang Pendidikan SDN Karet 04 Pagi
Tahun Ajaran 1997-2003
SMPN 58 Jakarta
2003-2006
SMAN 3 Jakarta
2006-2009
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan – Kesmas)
2009-Sekarang
Pengalaman Organisasi Organisasi
Jabatan
Periode
English Club SMPN 58 Jakarta
Anggota
2003-2005
Osis SMPN 58 Jakarta
Seksi Bidang Olahraga dan Kesenian
2004-2005
KIR SMAN 3 Jakarta
Wakil Ketua
2006-2007
Deutsch Club SMAN 3 Jakarta
Humas
2008-2009
ENVIHSA
Anggota
2012-2013
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Uji Efikasi Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-based Repellent terhadap Aedes aegypti” ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini banyak kesulitan yang dihadapi, tapi dengan bantuan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Untuk mama dan papa; kakak dan adikku (Emma dan Aldi) yang senantiasa mendoakan, memberi dorongan semangat. Love u all so much.
2.
Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And.; selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Ir. Febrianti, Msi; selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Dewi Utami Iriani, S.KM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing I, dan Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM M.Kes selaku pembimbing II dan pembina peminatan kesehatan lingkungan, terima kasih atas masukan, nasihat, ilmu, motivasi, dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
5.
Ibu Catur Rosidati, MKM; Bapak Anton Wibawa, MKM dan ibu Hoirun Nisa, Ph.D; selaku penguji sidang skripsi.
6.
Bapak Dr. Zulkifli Rangkuti selaku pembina peminatan Kesehatan Lingkungan, terima kasih atas masukannya sehingga terbentuk pondasi awal skripsi ini.
7.
Bapak Supriyono dari FKH IPB dan Ibu Yusniar dari litbangkes; terima kasih atas pencerahan, motivasi, dan masukan yang diberikan ke penulis.
8.
Ibu Fahma, selaku kepala pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah.
9.
Ka Pipit, Ka Erni, Pak Aris, dan lainnya, selaku laboran di lab PLT.
10. Sahabat – sahabat Kesling 2009 (Imah, Zia, Cita, Maya, Ami, Sri, Yeni, Moris, Ersa, Herisma, Nita, Agung, Nissa, Ratna, Tari, Rudi, Udin, Yudi, Aan), love u all guys and till we meet again in the throne of success!!! 11. Sahabat seperjuangan dilab PLT (Imah, Fattah, Tyas, Lina, Ka Wafa, Cita, dll). 12. Dan seluruh pihak yang berkontribusi dalam penyelesaian penelitian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per-satu. Hormat penulis kepada semuanya. Semoga semua bantuan yang diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. TERIMA KASIH. Jakarta,
April 2014
Ardillah Wasiah viii
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................
i
ABSTRAK ………………………………………..……………………….......
ii
ABSTRACT …...………………………………………………..……………..
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….……....……
iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...........................................................
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………….
vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….
ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
xiv
DAFTAR BAGAN ………….………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………...
xvi
DAFTAR ISTILAH……...................................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .……………….….…………………………..…....
1
1.2 Rumusan Masalah …………….….………………………………....
6
1.3 Pertanyaan Penelitian …………..…..…………………….………..
7
1.4 Tujuan Penelitian …….….…………..……………………....…….
8
1.5 Manfaat Penelitian ..………………….…………………...……….
9
1.5.1 Mahasiswa ….……………………..……………………….......
9
1.5.2 Masyarakat ...……………………….……………………..…...
9
1.5.3 Peneliti Lain ...………………………...………………….……
10
ix
1.5.4 Dinas Kesehatan…………………………………………..…...
10
1.6 Ruang Lingkup….....………………….…………………...……….
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamuk Aedes aegypti ...…..………………..…………………….
11
2.1.1 Klasifikasi .……………..……………….………………….….
12
2.1.2 Morfologi ……………..………………….………………..…..
13
2.1.3 Siklus Hidup …...……..…………………..…………………....
13
2.1.4 Bionomik ………………………………….……………..…….
14
2.1.5 Indera Penciuman Nyamuk……...….………………………….
18
2.2 IMM (Integrated Mosquito Management) .………….……...……..
19
2.3 Repellent …...…….……………………………...………..……….
20
2.4 Pemanfaatan Ekstrak Daun Iler …...……………...……………….
23
2.4.1 Taksonomi. ….…………………………………………………
23
2.4.2 Morfologi …….………………………………………………..
24
2.4.3 Ekologi dan Penyebaran ………………………………………
25
2.4.4 Manfaat ….…………………………………………………….
25
2.4.5 Kandungan …………………………………………………….
26
2.5 Proses Ekstraksi ….………………………………………….…….
27
2.6 Uji Efikasi ………….……………………………………………...
29
2.7 Kerangka Teori ……………………………………..……………..
32
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep …..……………………………………...………
33
3.2 Definisi Operasional ….……..…………………………………….
34
x
3.3 Hipotesis Penelitian ………………………………………...……..
36
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ..………………………………………...……....
37
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................
37
4.3 Populasi, Sampel dan Subjek Uji Penelitian ...................................
37
4.3.1 Populasi ...………………………………..................................
37
4.3.2 Sampel …...………………………………................................
38
4.3.3 Subjek Uji …...……………………………..............................
39
4.4 Alat dan Bahan ….……………………………………..................
41
4.4.1 Alat …....…………………………………................................
41
4.4.2 Bahan …..……………………………………..........................
42
4.5 Prosedur Kerja .................................................................................
42
4.5.1 Pemeliharaan (rearing) Aedes aegypti……………..................
42
4.5.2 Pembuatan Ekstrak Daun Iler …….……………….….............
43
4.5.2.1 Proses Pemilihan dan Pengeringan ………………...……..
43
4.5.2.2 Proses Pembuatan Ekstrak Tanaman Uji …...…….…….
43
4.5.3 Pengujian ...……..…………………………..............................
44
4.5.3.1 Uji Efikasi………………………...………………...……..
44
4.6 Pengumpulan Data ..........................................................................
47
4.6.1 Data Primer …...........................................................................
47
4.6.2 Data Sekunder ……...................................................................
47
4.7 Pengolahan dan Analisa Data….......................................................
47
BAB V HASIL 5.1 Pengaruh Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth)
xi
Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti..................
49
5.1.1 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti ….…....................................
50
5.1.2 Perhitungan Daya Proteksi………….…....................................
54
5.2 Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Daun Iler Terhadap Daya Proteksi.............................................................................................
57
5.3 Nilai EC50 Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth).
59
5.4 Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Interval Waktu Pengujian dengan Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent…………
60
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Peneliti………………………………………............ 6.2 Pengaruh Ekstrak Daun Iler Terhadap Frekuensi Hinggap Aedes aegypti………………………………………………………………… ………………………………
63
64
6.3 Pengaruh Variasi Konsentrasi dan Interval Waktu Pengujian Terhadap Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent............
65
6.4 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Potensi Daun Iler sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti..................
70
6.5 Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti Dalam Penerapan Integrated Mosquito Management........
75
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ......................................................................................
79
7.2 Saran ………….…..........................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA Lampiran
xii
DAFTAR TABEL Halaman Jumlah spesies dari sub-famili atau suku berdasarkan wilayah zoogeografi…..……...................................................................
12
Tabel 3.1
Definisi Operasional………….……………………………......
34
Tabel 5.1
Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 0% Ekstrak Daun Iler (Kontrol) dan Interval Jam Pengujian……...
50
Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 20% Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian……...…………
51
Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 40% Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian………...………
52
Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 60% Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian…...……………
53
Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Pada Konsentrasi 100% Ekstrak Daun Iler dan Interval Jam Pengujian……...…………
54
Daya Proteksi Ekstrak Daun Iler pada setiap Konsentrasi dan Tujuh Interval Waktu Pengujian (empat replikasi)....................
55
Korelasi Antara Variasi Konsentrasi Ekstrak dan Interval Waktu dengan Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti…………………………….
61
Tabel 2.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Sebaran Jumlah spesies dan jenis berdasarkan wilayah Zoogeografi…….………………...………………………......
11
Gambar 2.2
Bionomik Aedes aegypti..........................................................
15
Gambar 2.3
Kemoreseptor (Sensilla) pada antena nyamuk………………
18
Gambar 2.4
Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth)…………………….
23
Gambar 5.1
Plot Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Iler (C. scutellarioides) Sebagai Plant-based Repellent Terhadap A. aegypti pada tujuh Interval Waktu Pengujian…………....
58
Grafik Persamaan Garis Regresi EC50 Ekstrak Daun Iler……
60
Gambar 5.2
xiv
DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1
Kerangka Teori……………………………………………..
32
Bagan 3.1
Kerangka Konsep…………………………………………..
33
xv
DAFTAR SINGKATAN
cyclicAMP
:
cyclic adenocine monophosphate
DAG
:
Diacylglycerol
DBD
:
Demam Berdarah Dengue
DEET
:
Diethyltoluamide atau N,N-diethyl-3-methylbenzamide
DP
:
Daya Proteksi
EC50
:
Effective concentration 50
EC90
:
Effective concentration 90
FDA
:
Food and Drug Administration
GABA
:
Gamma-Aminobutyric Acid
GRs
:
Gustatory Receptors
KD60
:
Knock down 60
IMM
:
Integrated Mosquito management
IP3
inositol 1,4,5 triphosphate
IVM
:
Integrated Vector Management
LD50
:
Lethal Dose 50
OBPs
:
Odor Binding Protein
ODE
:
Odor Degrading Enzym
ORs
:
Odor Receptors
ORNs
:
Olfactory Receptor Neurons
USEPA
:
United States Environmental Protection Agency
WHO
:
World Health Organization
WHOPES
:
World Health Organization Pesticide Evaluation Scheme
xvi
DAFTAR ISTILAH A–S Alomon:
Senyawa
kimia
yang Kairomon:
Senyawa
kimia
yang
menguntungkan bagi penghasil senyawa dilepaskan oleh suatu organisme yang kimia tersebut karena dipergunakan untuk dapat menimbulkan respon fisiologis dan mengusir dan membingungkan predator, perilaku pada spesies lain yang sifatnya dan memediasi interaksi simbiotik Depolarisasi:
Perubahan
muatan
menguntungkan bagi individu tersebut. ion Konformasi:
Bentuk-bentuk
molekul
didalam sel dari negatif menjadi positif, pada ruang tiga dimensi akibat putaran dimana pada keadaan ini membran sel pada poros ikatan tunggal (gol. alkana saraf bersifat impermeabel terhadap ion K atau molekul yang memiliki gugus alkil). dan permeabel terhadap ion Na sebagai Morfogenesis: Semua perubahan bentuk akibat dari adanya rangsangan pada sel dan lokasi (letak) dari sebuah atau (listrik, zat kimia), menyebabkan ion Na sekelompok sel atau jaringan. berdifusi dan ion K ditahan. Probing: Penetrasi nyamuk pada tubuh Feromon: Senyawa yang disekresikan host tanpa terjadi penghisapan darah. oleh satu individu dan diterima oleh Senyawa metabolit sekunder: Senyawa individu lain pada spesies yang sama, hasil sintesa sel tumbuhan yang dimana mereka akan memberikan reaksi digunakan untuk mempertahankan diri yang spesifik, seperti perubahan perilaku. dari habitatnya dan tidak berperan fixative additives: Perekat yang berfungsi penting dalam proses metabolisme utama. mempertahankan struktur cairan kimia dan sebagai
penetral
karena
didalamnya
terdapat sedikit pH yang berfungsi untuk mengurangi efek iritasi pada kulit.
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan salah satu jenis serangga dari filum arthropoda yang berperan dalam transmisi penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, filariasis, chikungunya, demam kuning (yellow fever), dan virus West Nile pada jutaan jiwa penduduk dunia (Ghosh, 2012). Hal tersebut mendorong WHO untuk mendeklarasikan nyamuk sebagai “public enemy number one” (Ghosh, 2012). Salah satu spesies nyamuk yang berperan sebagai agent penyebaran beberapa penyakit yang disebutkan diatas adalah Aedes aegypti. Aedes aegypti betina memiliki sifat multiple feeding, yang berarti untuk memenuhi kebutuhan darah untuk satu periode siklus gonotropik, nyamuk dapat menghisap darah beberapa kali (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010). Sifat tersebut akan meningkatkan risiko transmisi patogen, dimana satu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit, mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang. Oleh sebab itu, tindakan pengendalian terhadap vektor tersebut perlu dilakukan. Pengendalian vektor nyamuk awalnya hanya tersentral pada reduksi kepadatan populasi dan minimalisasi kontak vektor dengan manusia melalui pemanfaatan senyawa sintetik (Gosh, 2012). Namun, seperti yang tertuang dalam PerMenKes No. 374 tahun 2010 tentang pengendalian vektor, bahwa saat ini upaya pengendalian
1
vektor tidak hanya terfokus pada penggunaan kedua metode tersebut; tetapi juga kombinasi dari beberapa metode seperti pengelolaan lingkungan dan pengembangan kearifan lokal yang dilakukan dengan azas keamanan, efektifitas, dan rasionalitas. Upaya pengendalian tersebut diketahui sebagai Integrated Vector Management atau Pengendalian Vektor Terpadu. Untuk mencegah adanya kesalahpahaman pada kerangka konseptual dari pengendalian vektor terpadu yang sebenarnya akibat spesifikasi target dan metode yang digunakan, maka dipergunakan istilah Integrated Mosquito Management (IMM) atau pengendalian nyamuk terpadu dalam mengatasi masalah nyamuk. Berdasarkan American Mosquito Control Association, 2009; Environmental Health Directorate, 2006; dan Rose, 2001; IMM merupakan strategi pencegahan dan pengendalian nyamuk yang komprehensif melalui aplikasi berbagai metode pengendalian, baik secara terpisah atau kombinasi yang bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan menuju peningkatkan derajat kualitas hidup secara keseluruhan. Pendekatan utama IMM mencakup kegiatan surveilans, pemetaan, pengelolaan lingkungan hidup, pengendalian biologi, edukasi publik, dan penggunaan Mosquitocide (obat nyamuk) yang meliputi larvasida dan adultisida (American Mosquito Control Association, 2009; Gosh, 2012). Dari sekian banyak pendekatan yang ada pada IMM, penggunaan Mosquitocide memiliki tingkat keberhasilan yang paling besar dalam upaya pengendalian (Gosh, 2012). Salah satu metode tambahan yang turut melengkapi keberhasilan penggunaan
2
metode Mosquitocide (obat nyamuk) adalah berupa aplikasi alat pelindung diri (personal protection) seperti repellent. Produk repellent yang banyak beredar di masyarakat hingga kini diketahui merupakan repellent sintetis berbahan N,N-diethyl-3-methylbenzamide atau DEET. Meskipun DEET diketahui bekerja efektif sebagai repellent, namun penggunaannya menjadi perdebatan karena dilaporkan memiliki efek toksik yang ringan hingga berat pada manusia, salah satunya menyebabkan iritasi pada membran mucus (Taylor, 2009). Selain itu, pada penelitian Stanczyk (2011) diketahui bahwa telah terjadi insensitifitas DEET sebagai repellent pada Aedes aegypti, menyebabkan perlu ditekankan betapa pentingnya eksplorasi metode alternatif dalam upaya perlindungan diri dari gangguan nyamuk yang lebih aman untuk digunakan. Salah satu alternatif yang telah banyak dikembangkan saat ini adalah melalui pemanfaatan senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman sebagai plant-based repellent. Pemanfaatan tanaman sebagai repellent nyamuk atau insekta lain telah dipraktekkan selama ribuan tahun oleh manusia, dan hingga kini masih diterapkan di negara-negara berkembang (Moore et al, 2006). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis ditemukan tumbuhan di dunia, dan 30.000 jenis di antaranya diperkirakan tumbuh di Indonesia (Irwan et al, 2007). Namun, baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan insektisida (Irwan et al, 2007). Penggunaan repellent dari bahan alami lebih menguntungkan, karena selain terkandung senyawa aktif utama dengan bioaktivitas sebagai repellent, juga terdapat senyawa tambahan sinergis yang dapat meningkatkan aktivitas repellent tumbuhan 3
tersebut (Moore et al, 2006). Substansi dari tanaman bersifat eco-safety; spesifik pada target; dan tidak menyebabkan resistensi dan mutasi pada serangga sasaran, karena adanya keterbatasan pada serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap aktivitas beberapa senyawa yang berbeda (Moore et al, 2006). Selain itu, penggunaan senyawa yang berasal dari tanaman juga lebih mudah untuk diterima di daerah pedesaan (Govindarajan, 2009), sehingga dapat mendorong terbentuknya kearifan lokal dalam upaya pengendalian nyamuk. Hal tersebut tentu sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai IMM, yaitu mengurangi resiko transmisi penyakit lewat perantara nyamuk, namun turut memperhatikan aspek keamanan dari kesehatan masyarakat dan lingkungan (Rose, 2001; Environmental Health Directorate, 2006; American Mosquito Control Association, 2009). Tumbuhan yang berpotensi besar untuk digunakan dalam pengendalian serangga adalah yang berasal dari famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae, dan Zingiberaceae (Prasetyo, 2011). Beberapa tanaman dari famili tersebut diketahui memberi aktivitas repellent pada nyamuk. Mimba merupakan salah satu contoh tanaman dari famili Meliaceae yang memiliki daya proteksi terhadap nyamuk sebesar 76% selama 2 jam. Sedangkan pada famili Rutaceae, seperti Jeruk Purut memiliki daya proteksi 100% terhadap Ae.aegypti dan C.quinquefasciatus berturut-turut selama 3 dan 1,5 jam (Maia dan Moore, 2011). Pada famili Annonaceae, seperti Kenanga diketahui memberikan daya proteksi sebesar 97,4% terhadap Ae.aegypti selama 3 jam. Sedangkan Babadotan dari
4
famili Asteraceae diketahui memberikan daya proteksi terhadap nyamuk Ae.aegypti sebesar 97,2% selama 3 jam (Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011). Nilam, Rosemary, dan Kemangi merupakan beberapa contoh jenis tanaman dari famili Labiatae atau lamiacea yang memiliki aktivitas insektisida maupun repellent. Minyak atsiri Nilam dan Rosemary diketahui memberi daya proteksi terhadap nyamuk Ae.aegypti berturut turut sebesar 97,6% dan 96,2% selama 3 jam, sedangkan Kemangi memberikan daya proteksi berturut-turut sebesar 78.7% dan 79.2% terhadap An.arabiensis dan An.pharaoensis. Selain itu, Pada P. marrubioides Benth. dengan isolasi senyawa kampor sebanyak 48% juga ditemukan aktivitas repellent terhadap An. gambiae Meign (Rasikari, 2007; Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011). Bioaktivitas repellent dari tanaman-tanaman tersebut tidak terlepas dari senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Senyawa seperti azadirachtin (pada Mimba), sitrat (pada Jeruk Purut), flavanoid (pada Kenanga, Babadotan dan Nilam), eugenol (pada Kenanga dan Babadotan), sesquirterpen (pada Kenanga dan Nilam), alkaloid (pada Babadotan dan Rosemary), kumarin (pada Babadotan), patchouli (pada Nilam), caffeic acid (pada Rosemary dan Kemangi), rosmarinic acid (pada Rosemary dan Kemangi), sineol (pada Rosemary), borneol (pada Babadotan dan Rosemary), dan camphor (pada Babadotan, Rosemary dan P. marrubioides) merupakan senyawa yang diketahui berperan penting dalam menimbulkan bioaktivitas repellent terhadap serangga famili Culicidae (nyamuk) pada tanaman-tanaman tersebut (Shiga, 2009; Shinta, 2010; Maia dan Moore, 2011).
5
Iler merupakan salah satu spesies dari famili labiatae yang banyak ditemukan di Indonesia dan masuk dalam daftar 66 komoditas tanaman biofarmaka berdasarkan KepMenPer No. 511 tahun 2006 (Ridwan et al, 2010). Iler diketahui memiliki kandungan saponin, flavonoid, eugenol, steroid, tanin, karvakol, etil salisilat, alkaloid, metil eugenol, rosmarinic acid, timol, dan kamfor yang diketahui memiliki aktivitas repellent dan insektisida (Shiga, 2008; Nugroho, 2009; Kalita, 2013). Terlihat adanya similaritas antara senyawa yang terkandung pada daun Iler dengan beberapa senyawa dari beberapa tanaman yang memiliki bioaktivitas repellent seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa daun Iler berpotensi memiliki aktivitas repellent terhadap famili Culicidae atau nyamuk. Namun sejauh ini belum ada penelitian yang memperkuat asumsi tersebut. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh terkait aktivitas dan potensi ekstrak daun iler sebagai plant-based repellent terhadap nyamuk, terutama spesies Aedes aegypti.
1.2 Rumusan Masalah Nyamuk mentransmisi penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD), Malaria, chikungunya, demam kuning (yellow fever) dan virus West Nile yang merupakan penyebab masalah utama kesehatan di dunia. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pengendalian nyamuk yang efisien, efektif dan aman, seperti yang tertuang dalam IMM. Salah satunya adalah dengan aplikasi senyawa repellent sebagai perlindungan diri yang bertujuan untuk minimalisasi kontak dengan nyamuk. 6
Diketahuinya efek negatif dari repellent berbahan DEET yang beredar di pasaran, mendorong terjadinya peningkatan usaha pencarian repellent alami (plantbased repellent). Iler adalah salah satu tumbuhan yang diduga berpotensi sebagai repellent karena mengandung senyawa seperti saponin, flavonoid, eugenol, polifenol, steroid, tanin, karvakrol, etil salisilat, alkaloid, metil eugenol, rosmarinic acid, timol, dan kamfor yang diketahui memberi aktivitas repellent terhadap nyamuk, seperti yang dijumpai pada Kenanga, Rosmary, dan Babadotan. Adanya senyawa tersebut, serta distribusi daun Iler yang merata di Indonesia, memungkinkan untuk dikembangkannya pemanfaatan daun Iler sebagai kearifan lokal dalam hal pengendalian nyamuk. Namun, penelitian terkait pemanfaatan daun Iler sebagai repellent belum dapat ditemukan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui secara pasti ada atau tidaknya aktivitas repellent pada daun Iler terhadap serangga, khususnya pada famili Culicidae atau nyamuk. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah “Uji Efikasi Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-Based Repellent terhadap Aedes aegypti”.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1) Bagaimana daya proteksi dari ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn.
Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada variasi konsentrasi uji?
7
2) Berapa nilai EC50 (effective concentration 50) ekstrak daun Iler (Coleus
scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti? 3) Bagaimana hubungan antara variasi konsentrasi dengan daya proteksi ekstrak
daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti? 4) Bagaimana hubungan antara interval waktu pengujian dengan daya proteksi
ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti?
1.4 Tujuan Penelitian: o Umum: Untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. o Khusus: 1) Diketahuinya daya proteksi ekstrak daun iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada variasi konsentrasi uji. 2) Diketahuinya nilai EC50 (effective concentration 50) ekstrak daun iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.
8
3) Diketahuinya hubungan varian konsentrasi dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. 4) Diketahuinya hubungan lamanya interval waktu pengujian dengan daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti.
1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Mahasiswa Sebagai pengalaman dan media pembelajaran dalam aplikasi ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat yaitu melalui pencarian alternatif pengendalian vektor yang ramah lingkungan dan minim risiko efek samping pada kesehatan, yaitu melalui pemanfaatan bahan-bahan alami seperti tumbuhan sebagai upaya preventif terjadinya transmisi patogen yang ditularkan oleh vektor penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan lewat nyamuk.
1.5.2 Masyarakat Sumber informasi terkait pemanfaatan bahan alami dari tumbuhan untuk dijadikan sebagai alternatif dalam minimalisasi terjadinya kontak dengan vektor penyakit, khususnya nyamuk tanpa perlu bergantung pada produk sintetik yang diketahui dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
9
1.5.3 Peneliti Lain Sebagai referensi atau acuan untuk pelaksanaan penelitian serupa maupun penelitian lanjutan terkait pemanfaatan ekstrak tumbuhan, khususnya tumbuhan Iler sebagai
upaya
alternatif
pengendalian
nyamuk
yang
efektif
memberikan
perlindungan, serta aman digunakan bagi manusia dan lingkungan.
1.5.4 Dinas Kesehatan Sebagai informasi tambahan yang diharapkan dapat memberikan alternatif dalam pengambilan kebijakan terkait usaha minimalisasi kontak antara vektor penyakit dengan manusia, khususnya nyamuk, yang kemudian dapat disosialisasikan ke masyarakat untuk dirasakan manfaatnya oleh khalayak ramai.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa peminatan Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mengetahui potensi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada skala laboratorium. Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2013 - Januari 2014. Populasi penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti steril dari patogen, dengan total sampel yang digunakan sebanyak 160 ekor. Data-data yang dikumpulkan berupa hasil pengamatan yang kemudian dianalisa untuk mengetahui kinerja ekstrak daun iler sebagai repellent terhadap Aedes aegypti. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk terdistribusi hampir diseluruh belahan dunia, namun diperkirakan masih terdapat sebanyak 1000 spesies nyamuk yang hingga kini masih belum terdata (Rueda, 2008). Dari 3.500 spesies dan sub-spesies yang telah terdata, 300 diantaranya diketahui berperan dalam transmisi penyakit (Govindarajan, 2009).
Gambar 2.1 Sebaran jumlah spesies nyamuk berdasarkan wilayah Zoogeografi (Rueda, 2008)
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (mosquito-borne diseases) hingga kini masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia, terutama di daerah beriklim tropis dan sub-tropis (Benjawan et al, 2005). Daerah tersebut menjadi tempat endemik dari sejumlah genus nyamuk, dengan proporsi terbanyak berasal dari genus Aedini atau Aedes, seperti yang terlihat pada tabel 2.1 (Rueda, 2008).
11
Spesies Aedes aegypti dari genus Aedes merupakan vektor patogen berbahaya seperti demam berdarah dengue, yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia dan beberapa negara di Asia (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010). Tabel 2.1 Jumlah spesies dari sub-famili atau suku berdasarkan wilayah zoogeografi
Sumber: (Rueda, 2008)
2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi dari Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Philum
: Antrophoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Familia
: Culicidae
12
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes aegypti
2.1.2 Morfologi Telur Aedes aegypti memiliki dinding bergaris-garis membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Larvanya mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral. Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang, dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan yang ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena (Achmadi, 2011).
2.1.3 Siklus Hidup Siklus hidup Aedes aegypti berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat permukaannya. Setelah dua hari, telur akan menetas menjadi larva, kemudian mengalami pengelupasan kulit sebanyak 4 kali dan bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir, tanpa memerlukan asupan makanan, yaitu pupa (Achmadi, 2011). Didalam kulit pupa, nyamuk dewasa membentuk diri sebagai jantan atau betina, dan tahap dewasa muncul dari pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa yang baru muncul beristirahat di atas permukaan air untuk periode waktu singkat agar sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum 13
terbang. Nyamuk jantan muncul sekitar satu hari sebelum nyamuk betina, dan menetap dekat tempat perkembangbiakannya, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian (Achmadi, 2011). Untuk nyamuk betina, meskipun saat awal kemunculannya mereka memakan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga dan kemudian kawin, namun untuk memproduksi telur dan memulai generasi baru, nyamuk betina memerlukan protein yang banyak terdapat dalam darah. Perkembangan nyamuk sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal, terutama suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011).
2.1.4 Bionomik a) Breeding place Aedes aegypti berkembang biak di air yang bersih yang tidak beralaskan tanah, dan letaknya berdekatan dengan pemukiman, dengan jarak tidak lebih dari 500 m. Biasanya telur diletakkan pada bagian yang berdekatan dengan permukaan air di tempat yang gelap, terbuka lebar dan terlindung dari sinar matahari langsung; misalnya di bak mandi, drum air, kaleng, tower air yang tidak tertutup, vas bunga dan potongan bambu. b) Feeding activity Aedes aegypti aktif menggigit antara pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00, dan lebih banyak terjadi didalam ruangan. Nyamuk ini memiliki sifat multiple feeding /bitters (Pusat Data Surveilans Epidemiologi KEMENKES RI, 2010). Selain terdorong rasa lapar, saat mencari makan nyamuk juga dipengaruhi oleh beberapa 14
faktor, yaitu bau yang dipancarkan oleh host, suhu, kelembaban, karbon dioksida, dan warna (Achmadi, 2011). c) Resting place Setelah mengkonsumsi darah, nyamuk betina mencari tempat beristirahat yang aman untuk mengubah darah menjadi telur. Nyamuk beristirahat di daerah vegetasi yang padat atau pada baju-baju yang bergantungan di dalam rumah. Masa peristirahatan selesai ditandai dengan matangnya telur, dimana nyamuk mulai mencari habitat untuk meletakkan telurnya (Achmadi, 2011).
Gambar 2.2 Bionomik Aedes aegypti (Mattingly, 1969)
d) Jarak Terbang Ketika terbang, penguapan air pada tubuh nyamuk lebih besar karena jumlah oksigen yang diperlukan lebih banyak, sehingga jarak terbang nyamuk terbatas (Reiter, 2001).
15
e) Lingkungan Fisik 1) Jarak antar rumah dan kondisi bangunan Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk. Semakin dekat jarak, semakin mudah nyamuk berpindah tempat (Reiter, 2001). 2) Suhu udara Suhu mempengaruhi proses metabolisme yang menjadi penentu dalam kecepatan perkembangan tubuh nyamuk. Karenanya kejadian biologis tertentu seperti lamanya pra-dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan indung telur dan frekuensi menggigit berbeda menurut suhu. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk pada 25oC-27oC, dan terhenti pada suhu <10oC atau >40oC (Depkes RI, 2007). 3) Kelembaban udara Kelembaban mempengaruhi tingkat bertahan (survival rate) nyamuk, dimana pada kelembaban rendah (<60%) akan menghambat pembentukan telur, meskipun konsumsi darah tetap berlangsung (Reiter, 2001). Pada kelembaban tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit (Depkes RI, 2007). 4) Curah hujan Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah (Reiter, 2001).
16
5) Kecepatan angin Angin berpengaruh pada suhu udara dan evaporasi air di lingkungan sehingga berkaitan dengan kelembaban, dengan begitu akan mempengaruhi kontak antara nyamuk dan manusia (Reiter, 2001). 6) Intensitas cahaya Intensitas cahaya secara langsung mempengaruhi aktivitas istirahat dan terbang nyamuk. Nyamuk terbang jika intensitas cahaya rendah (< 20 Ft-cd). f)
Faktor manusia Menurut Reiter (2001) Ada beberapa faktor dari aktivitas dan budaya manusia
yang mempengaruhi siklus dan aktivitas hidup nyamuk, yaitu: - Berpindahnya penduduk, yang berdampak pada kepadatan sebuah tempat, sehingga memungkinkan nyamuk mencari mangsa dengan cepat. - Pola aktivitas, dimana lokasinya dekat dengan perindukan nyamuk. - Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA; Lokasinya berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk. Kurangnya vegetasi meningkatkan suhu sekitar, menyebabkan aktivitas menghisap darah nyamuk meningkat. - Penggunaan pestisida atau insektisida sintetik; Residunya berpotensi menyebabkan resistensi psikologis silang dan perilaku, misalnya spesies yang mulanya bersifat endofilik berubah menjadi eksofilik.
17
2.1.5 Indera Penciuman Nyamuk Indera penciuman atau olfaktori memegang peranan terpenting bagi nyamuk dalam mendeteksi lokasi mangsanya (Rueda, 2008). Terdapat lebih dari 300 senyawa yang dibuang oleh tubuh manusia sebagai hasil sampingan metabolisme, dan lebih dari 100 senyawa volatil dapat terdeteksi pada nafas manusia (Rueda, 2008). Molekul bau yang volatil akan masuk secara ekstraseluler dan berikatan dengan kemoreseptor (sensilla) yang berada pada antena nyamuk. Molekul bau tersebut berikatan dengan odorant-binding proteins (OBPs) yang kemudian dibawa melewati cairan lymph di sensilla menuju olfactory receptor neurons (ORNs) (Paluch, 2009). Molekul bau tersebut selanjutnya akan berinteraksi dengan G-protein-coupled receptors ekstraseluler pada olfactory receptors (ORs) yang terletak di dendrit ORNs spesifik; dimana secara bergantian G-protein-coupled receptors intraseluler aktif dan menyebabkan perubahan konformasi G-protein (Paluch, 2009).
Gambar 2.3 Kemoreseptor (Sensilla) pada antena nyamuk (Qiu and van Loon, 2010)
Hal tersebut mendorong aktivasi sinyal intraseluler berupa Adenosina monofosfat siklik dan Inositol trifosfat + Diacylglycerol (cyclicAMP and IP3+ DAG)
18
untuk membuka jalur masuk untuk ion Na+ atau Ca++, menyebabkan depolarisasi saraf nyamuk. Impuls elektrik yang dihasilkan selanjutnya ditransmisikan ke lobus antena nyamuk untuk memunculkan respon berupa tingkah laku yang tepat, apakah nyamuk akan menghindari atau mendekati bau tersebut (Paluch, 2009).
2.2 IMM (Integrated Mosquito Management) Integrated Mosquito Management atau pengendalian nyamuk terpadu merupakan strategi komprehensif dalam pengendalian nyamuk dengan mengkombinasikan atau mengaplikasikan metode pengendalian nyamuk yang tersedia secara terpisah. Tujuan IMM adalah melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang ditransmisi oleh nyamuk, menciptakan lingkungan yang sehat melalui rasionalisasi pemanfaatan pestisida yang sesuai aturan, dan meningkatkan kualitas hidup melalui penerapan strategi pengendalian vektor yang efektif dan efisien (Ghost, 2012). IMM dikembangkan dengan memperhatikan faktor ekologi, ekonomi, sosial dan teknologi pengendalian nyamuk terpadu yang praktis dan efektif; dengan pendekatan utama mencakup kegiatan surveilans, pemetaan, reduksi sumber dan pengelolaan lingkungan hidup, pengendalian
biologi, edukasi publik, dan penggunaan
Mosquitocide (larvasida dan adultisida) (Environmental Health Directorate, 2006; American Mosquito Control Association, 2009; Gosh, 2012). Upaya pengendalian yang dilakukan dengan pendekatan tidak langsung dengan tujuan meminimalisasi kontak antara nyamuk dan manusia dilakukan melalui reduksi sumber resiko pemajanan dengan membuat semacam pembatas di daerah habitat 19
nyamuk. Selain itu, bekerja sama dengan komunitas di masyarakat untuk melakukan modifikasi fisik tempat yang berpotensi sebagai tempat ideal perkembangbiakan nyamuk, serta melakukan edukasi publik untuk menghindari habitat dan interaksi dengan nyamuk juga dapat dilakukan (Environmental Health Directorate, 2006). Intervensi langsung dalam upaya pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan menerapkan
program
reduksi
sumber,
yaitu
berupa
pembasmian
habitat
perkembangbiakan nyamuk. Pengendalian biologi dengan memanfaatkan predator dalam mengurangi kuantitas nyamuk di lingkungan ke skala yang dapat ditolerir, serta pengaplikasian insekstisida (larvasida dan adultisida) dengan tata cara penggunaan yang benar juga dapat dilakukan sebagai upaya intervensi langsung dalam mengendalikan nyamuk (Environmental Health Directorate, 2006). Meskipun reduksi sumber dan pengendalian biologi juga digunakan dalam IMM, namun efisiensi dan efektifitas kedua program tersebut dalam mencapai pengendalian yang optimal tidaklah sebanding dengnan pemakaian Mosquitocides (Rose, 2001). Penggunaan perlindungan diri seperti repellent merupakan salah satu bagian dari pengendalian nyamuk fase dewasa (adeulticide) yang dianggap efisien, tepat sasaran, dan memiliki probabilitas keberhasilan pengendalian berupa minimalisasi kontak dengan nyamuk.
2.3 Repellent Repellent merupakan salah satu produk atau substansi yang dapat digunakan sebagai upaya pelindungan pribadi terhadap gigitan nyamuk dengan tujuan untuk 20
mengurangi atau mencegah terjadinya transmisi penyakit berbasis vektor (Rueda, 2008) seperti yang diatur dalam IMM. Produk repellent yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya tidak beracun, tidak menimbulkan iritasi atau alergi, memberi perlindungan efektif terhadap berbagai gangguan serangga, dan dapat bertahan lama (Fradin, 2002). Beberapa studi menyatakan bahwa hilangnya repellent pada kulit disebabkan abrasi, absorpsi dan keringat. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas repellent antara lain komponen bahan kimia aktif, komposisi, dosis, metode aplikasi, titik didih, kecepatan penguapan, jenis serangga target, aktivitas dan kondisi fisik individu (misal pori-pori tubuh), dan faktor lingkungan berupa kelembaban, suhu, sirkulasi udara, iklim, dan curah hujan (Suwasono, 2006). Menurut Austin (2011), terdapat dua mekanisme kerja repellent. Mekanisme pertama yaitu pemblokan molekul bau menuju reseptor bau nyamuk yang menyebabkan kegagalan deteksi mangsa karena terjadi gangguan dalam pengenalan bau oleh otak nyamuk. Mekanisme kedua yaitu dengan mempengaruhi kadar CO2, kelembaban dan temperatur di permukaan kulit, dimana molekul bau dapat masuk ke dalam kutikula dengan diantarkan oleh OBPs menuju ke reseptor bau, namun hanya dikenali sebagai benda tidak bernyawa, sehingga nyamuk akan mencari tanda kehidupan atau mangsa lain. DEET (N,N-diethyl-3-methylbenzamide) merupakan sediaan repellent yang paling efektif dan sekaligus paling persisten pada kulit karena spektrum dan adanya kandungan hidrokarbon terhalogenasi dengan waktu paruh penguraian yang relatif 21
panjang (Moore et al, 2006; Khater, 2012). Meskipun efektif, namun Pitasawat (2003) dalam Khater (2012) berpendapat bahwa DEET dapat menimbulkan resiko pada kesehatan manusia dan lingkungan. Pada penelitian (Stanczyk, 2011) juga ditemukan efek resistensi pada nyamuk akibat dari penggunaan DEET. Oleh sebab itu, hingga kini upaya pencarian terhadap repellent yang alami dan ramah lingkungan terus meningkat intensitasnya. Beberapa jenis repellent nabati diketahui memiliki kinerja yang sebanding dan ada yang bekerja lebih efektif dibanding DEET, meskipun derajat efektifitasnya hanya berlangsung singkat karena dipengaruhi oleh sifatnya yang mudah menguap (Khater, 2012). Repellent nabati (plant-based repellent) diketahui menimbulkan residu yang relatif lebih rendah dibanding dengan DEET, karena sifatnya yang hit and run, yaitu jika perannya telah tercapai maka akan cepat terurai, tidak persisten, dan tidak memicu dampak berkepanjangan; sehingga aman bagi lingkungan, hewan, manusia dan organisme bukan sasaran (Asmaliyah, 2006). Tinjauan yang dilakukan oleh Nerio (2010) dalam Khater (2012) diketahui bahwa senyawa-senyawa metabolit pada minyak atsiri tanaman memiliki peranan penting terhadap aktivitas repellent. seperti pada metabolit monoterpenes ( -pinene, cineole, eugenol, limonene, terpinolene, citronellol, citronellal, camphor, dan thymol) yang bersifat repellent terhadap nyamuk. Metabolit sesquiterpenes, -caryophyllene, juga diketahui bersifat repellent terhadap A. aegypti, sedangkan metabolit phytol, diterpene alcohol linier bersifat repellent terhadap An. gambiae (Khater, 2012).
22
2.4 Pemanfaatan Ekstrak Daun Iler 2.4.1 Taksonomi Tanaman Iler memiliki banyak sinonim, yaitu dengan nama: Coleus blumei, Coleus atropurpureus, Bent., C. ingrates, Benth., C. laciniatus, Benth., C. hybridus, Hort. Plectranthus scutellariodes, (Linn.), Solenostemon scutellarioides Codd (Ridwan et al, 2010). Urutan klasifikasi tanaman Iler adalah sebagai berikut: Divisio
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Lamiaceae (Labiatae)
Genus
: Coleus
Spesies
: Coleus scutellarioides Linn. Benth
Gambar 2.4 Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) (Setiawati, 2008)
23
Iler atau Coleus blumei merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara (Ridwan 2010). Namun saat ini Coleus blumei telah tersebar luas dan dapat ditemukan hampir diseluruh dunia. Iler dikenal didunia dengan nama “Painted Nettle” atau “Rainbow plant”. Nama Iler pada beberapa negara diantaranya Tzai Ye Cao (Cina); Mayana, Maliana (Tagalog); Daun Ati-ati, Ati-kati Merah, Ati-ati Besar (Malaysia); Jangata (Marawake, Eastern Highlands); Jeune, Okavu (Papua New Guinea); Ruese Phasom Laeo, dan Waan Lueat Haeng di Thailand (Nadia, 2008). Sedangkan di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung daerah ditemukannya (Nadia, 2008). Di Sumatera dikenal dengan Gresing (Batak), Adong-adong (Palembang), Miana dan Pilado (Sumatera Barat). Di daerah Jawa, dikenal dengan Jawer Kotok dan Jengger Ayam (Sunda), Iler (Jawa Tengah), Kentangan (Jawa Timur). Di Nusa Tenggara dikenal dengan Janggar Siap, Ndae Ana Sina di Bali, dan Bunak Manu Larit di Timor. Di Sulawesi, dikenal dengan Mayana (Manado), Ati-ati (Bugis), dan Bunga Lali Manu (Makassar) (Ridwan et al, 2010).
2.4.2 Morfologi Iler memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada pangkal dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm, mempunyai penampang batang berbentuk segiempat dan termasuk kategori tumbuhan basah yang batangnya mudah patah (Setiawati, 2008). Daunnya berbentuk hati dan pada setiap tepiannya dihiasi oleh jorong-jorong atau lekuk-lekuk tipis yang bersambungan dan didukung oleh tangkai daun yang
24
panjangnya sekitar 3 cm, dan memiliki warna yang beraneka ragam, mulai dari hijau hingga merah ungu (Setiawati, 2008). Bunga berbentuk untaian bersusun dipucuk tangkai dengan variasi warna merah atau putih, ungu atau kuning. Tanaman iler memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak pahit, sifatnya dingin. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh bagian diremas akan mengeluarkan bau yang harum.
2.4.3 Ekologi dan Penyebaran Coleus blumei atau Iler ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat lembab dan terbuka, seperti tempat pembuangan sampah, pinggiran sungai dan sepanjang ladang, dipinggir selokan, pematang sawah atau tepi jalan pedesaan pada ketinggian 1-1300 m di atas permukaan laut (Nugroho, 2009). Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh di area kanopi (naungan pohon besar) dan hutan (Ridwan et al, 2010).
2.4.4 Manfaat Iler merupakan salah satu tanaman yang termasuk ke dalam daftar 66 komoditas tanaman biofarmaka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 511/Kpts/PD.310/9/2006 (Ridwan et al, 2010). Daunnya dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bidang kesehatan, seperti ramuan untuk mengobati opthalmia dan dyspepsia (Batugal, 2004); racikan untuk mengurangi bengkak pada luka (antiinflamator), sakit kepala, asma, bronkhitis, batuk, melancarkan siklus menstruasi,
25
menetralisir racun, penambah nafsu makan, mempercepat pematangan bisul, diare, dan obat cacing (Batugal, 2004; Tag, 2006; Ridwan et al, 2010). Pada suku Matigsalug di Filipina, daun Coleus blumei termasuk sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat dalam penyembuhan demam berdarah dan malaria (Gascon, 2011). Daun Coleus blumei juga dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk menghilangkan rasa sakit saat persalinan, ramuan untuk sakit perut, dan membantu terjadinya proses kehamilan (WHO, 2009).
2.4.5 Kandungan Coleus blumei atau Iler kaya akan berbagai senyawa metabolit primer maupun sekunder. Metabolit primer mencakup karbohidrat, protein, lemak yang digunakan tumbuhan untuk pertumbuhannya, dan metabolit sekunder mencakup senyawa hasil metabolisme yang memiliki berbagai kemampuan bioaktivitas, salah satunya sebagai pelindung dari gangguan hama (Ridwan et al, 2010). Telah dilakukan beberapa studi tentang senyawa aktif yang terkandung di dalam daun Coleus blumei. Pada ekstrak kasar daun Coleus blumei diketahui kaya akan kandungan senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid, saponin, steroid, dan tanin (Ridwan, 2005). Keempat senyawa metabolit sekunder tersebut diketahui sebagai senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek pestisida pada tanaman (Prasetyo, 2011). Selain itu, daun Iler juga mengandung senyawa polifenol, minyak atsiri, karvakrol, eugenol, etil salisilat, lender, alkaloid, metil eugenol, phytosterol, kalsium 26
oksalat, timol, dan camphor (Nugroho, 2009; Rahmawati, 2008). Senyawa metabolit sekunder seperti eugenol, metil eugenol, camphor, alkaloid dan timol diketahui bersifat repellent terhadap nyamuk (Khater, 2012). Daun Coleus blumei atau Iler juga diketahui mengandung senyawa rosmarinic acid (RA) yang memiliki ativitas antioksidan, efek farmakologi berupa minimalisasi pollinosis dan alergi, aktivitas antimikrobial dan aktivitas repellent terhadap serangga (Shiga, 2008).
2.5 Proses Ekstraksi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut. Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi, yaitu: 1) Cara dingin § Maserasi, yaitu proses pengekstrakan yang menggunakan pelarut dengan beberapa kali kocokan atau adukan pada temperatur ruangan (kamar). § Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. 2) Cara panas § Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, § Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
27
§ Digesti, adalah maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. § Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). § Dekok; infus pada waktu lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung senyawa yang terkandung pada sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah seleltivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan yaitu “like dissolve like”, yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar, pelarut non-polar melarutkan senyawa non-polar; dan pelarut organik melarutkan senyawa organik (Darwiati, 2009). Pelarut yang paling sering digunakan saat proses ekstraksi adalah benzene, toluene atau xylene, methylene chloride, chloroform, ethyl acetate, methanol atau ethanol. Alkohol atau etanol merupakan pelarut yang paling banyak dipilih terutama karena memiliki tingkat toksisitas yang rendah (Shankar et al, 2008). Hal tersebut yang menjadi dasar pertimbangan penggunaan pelarut etanol pada penelitian ini. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Ridwan, et al (2010) yang menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun miana memiliki toksisitas yang rendah, dengan baru didapatnya gejala klinis pada mencit mulai pada dosis 6000mg/bb, serta analisa probit berupa LD50 per-oral sebesar 9757.14 mg/kg.
28
2.6 Uji Efikasi Efikasi berkaitan dengan efek atau daya optimal dari adanya intervensi yang dilakukan pada skala laboratorium. Tujuan dari efikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dari ekstrak daun Iler sebagai plantbased repellent terhadap organisme sasaran, yaitu Aedes aegypti betina pada skala laboratorium (KEPMEN Pertanian, 2001). Untuk mengetahui efektif atau tidaknya sebuah ekstraksi yang digunakan sebagai repellent, maka dapat dilakukan perhitungan daya proteksi menggunakan data hinggap nyamuk melalui rumus Abbot:
Daya Proteksi
x 100%
Keterangan: Ca
= Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan kontrol
Ta
= Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan perlakuan
Daya proteksi merupakan ukuran derajat dari sedian repellent, yaitu ekstrak etanol daun iler dalam memberikan perlindungan terhadap nyamuk selama Interval waktu pengujian. Syarat mutu efektifitas penolakan yang ditetapkan SNI untuk produk anti-nyamuk dengan memanfaatkan bahan aktif kimiawi adalah 80% (Prasetyo, 2011). Namun, jika mengacu pada Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian tahun 2012, efektif atau tidaknya suatu ekstrak tanaman sebagai repellent ditentukan berdasarkan kriteria nilai daya proteksi. Ekstrak
29
tanaman dikatakan efektif sebagai repellent terhadap organisme sasaran, dalam hal ini Aedes aegypti, jika persentase daya proteksinya berada diatas 90% dari interval waktu jam ke-0 hingga jam ke-6 pengujian. Selain itu, dalam pencarian senyawa repellent baru dari bahan alam perlu dilakukan uji hayati untuk mengetahui bioaktivitas apa saja yang dimiliki dari bahan alam tersebut. Besaran umum dalam uji hayati yang biasa digunakan untuk menyatakan kefektifan zat bioaktif dalam menimbulkan respon pada organisme uji adalah EC50 (effective concentration 50) dan EC90 (effective concentration 90), yaitu konsentrasi zat yang dapat menyebabkan respon pada 50% dan 90% jumlah organisme sasaran atau sampel (Zaridah, 2005). Respon yang dimaksud pada penelitian ini adalah respon menolak (repellent) terhadap hinggap-nya nyamuk. Pengaruh dari ekstrak yang diuji terhadap sampel juga dapat dilihat dari kejadian jatuh atau lumpuhnya (knock down) organisme sasaran yang dilihat dari nilai KD60 (waktu kejatuhan selama 1 jam). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Phill (2006) dalam Kardian (2006) yang menyatakan bahwa serangga mendeteksi suatu rangsangan melalui alat sensornya (olfaktori), yang pada umumnya responsif terhadap rangsangan kimia (aroma khas). Serangga tersebut akan merespon dengan berusaha untuk mendekat jika besifat menarik (attract), atau menghindar (repel) dari sumber rangsangan tersebut jika dianggap berbahaya atau tidak disukai oleh serangga tersebut. Ketika serangga tidak mampu atau terlambat untuk menghindar, maka serangga akan mengalami knock
30
down yang dapat bersifat permanen (diikuti kematian) atau sementara (reversible), dimana serangga akan pulih kembali setelah beberapa waktu (Kardian, 2006). Meskipun menurut Metode Standar Efikasi Komisi Pestisida pengujian efek repellent ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti dilakukan selama periode 6 jam, pengujian akan dihentikan ketika telah mengalami kegagalan efikasi (efficacy failure) disetiap interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga ke-6). Efficacy failure yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan terjadinya probing Aedes aegypti sebanyak 2 kali pada lengan subjek uji (USEPA, 2010).
31
2.7 Kerangka Teori Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikembangkan kerangka teori berupa: Ekstrak etanol daun iler (C. scutellarioides Linn. Benth)
Berikatan dengan OBPs
Senyawa metabolit sekunder yang volatil
Molekul bau
Kemoreseptor di antena nyamuk
Bau (aroma khas)
Sensilla (cairan lymph) G-protein-coupled receptors intraseluler
ORNs
Impuls bau-OBPs Keterangan:
Berikatan dengan G-protein-coupled receptors di ORs
ORNs: Olfactory Receptor Neurons OBPs : Odor Binding Protein ORs : Odor Receptors
Depolarisasi saraf
EC50 : Effective concentration 50
Impuls elektrik
EC90 : Effective concentration 90
Lobus posterior (otak) Nyamuk mendekat
Nyamuk menghindar
Nyamuk hinggap
Nyamuk jatuh (knockdown) Mati
KD60 : Knock down 60
Daya Proteksi
Pulih
Nilai EC50
Nilai KD60
Nilai EC90
Bagan 2.1 Kerangka Teori (Zaridah, 2005; Kardian, 2006; Paluch, 2009; Komisi Pestisida, 2012) 32
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep Mengacu kepada kerangka teori, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Ekstrak kasar etanol daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth)
Lengan Kanan
Kontrol (0%)
Lengan Kiri
20%
40%
60%
Paparan lengan kontrol dan lengan perlakuan terhadap 10 ekor A. aegypti (umur 2-5 hari) selama 5 menit
A. aegypti mendekat
A. aegypti menghindar
Frekuensi hinggap A. aegypti
Daya Proteksi
Nilai EC50 Effective 33
concentratio n 50
100%
3.2 Definisi Operasional No. 1.
Variabel Daya proteksi
Definisi operasional
Cara ukur
Alat ukur
Hasil ukur
Skala
Potensi ekstrak daun iler sebagai
Peengukuran
Rumus Abbott:
Persentase (%)
Rasio
Rumus Pengenceran:
1. 0%
Rasio
C1 x V1 = C2 x V2
2. 20%
plant-based repellent terhadap Aedes x 100%
aegypti.
2.
Konsentrasi Ekstrak
Perbandingan antara ekstrak kasar
daun iler
induk daun Iler dengan etanol 70%
Pengukuran
(ml/ml).
3. 40% 4. 60% 5. 100%
3.
Interval Waktu
Lamanya periode pengujian efikasi
Pengukuran
Stopwatch
1. Jam ke-0
Pengujian
ekstrak daun Iler sebagai plant-based
2. Jam ke-1
repellent terhadap Aedes aegypti.
3. Jam ke-2 4. Jam ke-3 5. Jam ke-4 6. Jam ke-5
34
Interval
7. Jam ke-6 3.
Frekuensi hinggap
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap
nyamuk
pada lengan perlakuan dan lengan
Pengukuran
Counter
Ekor
Rasio
Analisa Probit
Tabel probit dan
Persentase (%)
Rasio
kontrol. 5.
EC50 (Effective
Konsentrasi optimum ekstrak daun
concentration 50)
Iler yang dapat menimbulkan efek repellent sebesar 50% terhadap Aedes aegypti.
35
program SPSS
3.3 Hipotesis Penelitian § Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth), maka akan semakin besar daya proteksinya sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti § Semakin lama interval waktu pengujian, semakin rendah daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti pada kondisi suhu ruang yang optimal.
36
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design yang bertujuan untuk mengetahui efek dari pengaplikasian ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai repellent terhadap Aedes aegypti. Objek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan yang dianggap sama sebelum pengujian dilakukan. Perbedaan hasil observasi yang didapat diantara kedua kelompok tersebut dianggap sebagai efek dari pemberian intervensi atau perlakuan (treatment).
4.2 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 hingga Januari 2014 dan bertempat di Laboratorium Kimia, Ekologi, dan Pangan; Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.3 Populasi, sampel, dan subjek uji penelitian 4.3.1 Populasi Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Aedes aegypti steril yang didapat dengan memelihara nyamuk tersebut dari fase telur hingga dewasa. Telur
37
nyamuk didapatkan dari Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
4.3.2 Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aedes aegypti betina steril dengan umur antara 2-5 hari, seperti yang diatur dalam Metode Standar Pengujian Efikasi, Komisi Pestisida Indonesia tahun 2012. Dalam panduan uji efikasi produk repellent pada kulit manusia yang dikeluarkan oleh USEPA (2010), disebutkkan bahwa setidaknya sebanyak 200 ekor nyamuk digunakan untuk setiap kurungan percobaan berukuran 2’x2’x2’ atau ± 232,000 cm3 (setara dengan ± 1 ekor nyamuk untuk setiap penambahan volume kurungan uji sebesar 1,160 cm3). Namun, menurut Fradin (2002) disarankan untuk menggunakan sampel dengan kepadatan yang rendah (± 10 ekor) sebagai pertimbangan bahwa pada kondisi tersebut akan lebih akurat dalam menggambarkan frekuensi kontak antara manusia dan nyamuk yang dijumpai di lingkungan (Fradin, 2002). Sehingga, jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 ekor Aedes aegypti yang ditempatkan pada kurungan uji berukuran ± 27 x 27 x 27 cm untuk setiap pengujian. Percobaan
ini
dilakukan
replikasi
sebanyak
4
kali
seperti
yang
direkomendasikan dalam Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan Direktorat Pupuk dan Pestisida
38
Kementerian Pertanian tahun 2012. Oleh sebab itu, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak ±160 ekor.
4.3.3 Subjek uji Partisipasi sebanyak empat subjek uji atau volunteer diperlukan pada penelitian ini. Setiap subjek uji akan melakukan serangkaian uji efikasi yang terdiri dari konsentrasi kontrol (0%) dan konsentrasi ekstrak uji (20%, 40%, 60%, dan 100% v/v), dimana untuk uji coba peningkatan konsentrasi ekstrak uji dilakukan pada hari berikutnya (WHOPES, 20009; Komisi Pestisida Indonesia, 2012). Uji efikasi dilakukan replikasi atau pengulangan sebanyak 4 kali, dimana untuk setiap replikasi melibatkan subjek uji yang berbeda. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan jenis kulit terhadap hasil uji repelansi (daya proteksi) yang didapat (Rajkumar, 2010). Berikut skema rangkaian uji efikasi yang dilakukan. R1
R2 K + 40%
R3 K + 60%
R4 K + 100%
Subjek uji 1
K + 20%
Subjek uji 2
K + 40%
K + 60%
Subjek uji 3
K + 60%
K + 100%
K + 20%
K + 40%
Subjek uji 4
K + 100%
K + 20%
K + 40%
K + 60%
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
39
K + 100%
K + 20%
Keterangan: K = Kontrol (konsentrasi 0%) R = Replikasi atau pengulangan Gambar 4.1 Rangkaian Uji Efikasi
Semua
subjek
uji
yang
berpartisipasi
dalam
penelitian
ini
telah
menandatangani surat persetujuan atau informed consent setelah sebelumnya diberikan penjelasan terkait tujuan penelitian, prosedur, dan risiko yang mungkin timbul pada subjek uji saat penelitian berlangsung. Protokol uji efikasi repellent ekstrak daun Iler yang dilakukan pada penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Minimalisasi risiko terhadap kesehatan dan keselamatan subjek uji yang mungkin timbul akibat penelitian ini perlu dilakukan,
karena terdapat golongan
individu tertentu yang sangat rentan terhadap kontak dengan nyamuk. Kelompok tersebut diantaranya lansia, bumil dan menyusui, dan perokok (WHOPES, 2009; USEPA, 2010). Selain itu, perlu diperhatikan juga minimalisasi faktor pengganggu yang dapat mempengaruhi kinerja optimum ekstrak daun Iler sebagai repellent, seperti penggunaan parfum atau produk repellent sebelum pengujian. Bau dari produk tersebut dapat meningkatkan atau menihilkan bau dari ekstrak uji yang diterima oleh protein (OBPs) pada olfaktori nyamuk (WHOPES, 2009; Qiu dan van Loon, 2010). Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kedua permasalahan tersebut, maka perlu ditetapkan kriteria dalam pemilihan subjek uji, yaitu sebagai berikut:
40
1. Pria atau wanita sehat (umur 18-55 tahun); kecuali bumil dan menyusui, dan perokok (dapat dilibatkan jika tidak mengkonsumsi rokok selama 12 jam sebelum pengujian berlangsung). 2. Tidak memiliki riwayat alergi atau sensitif terhadap kontak dengan nyamuk dan senyawa kimia tertentu. 3. Menghindari pemakaian produk repellent dan parfum selama 12 jam sebelum pengujian dilakukan, dan saat pengujian berlangsung. Mengacu pada kriteria diatas, maka didapatkan proporsi perbandingan jumlah wanita dan pria sehat yang terlibat sebagai subjek uji yaitu sebesar 3:1, dengan usia berada pada rentang 20 - 22 tahun.
4.4 Alat dan Bahan 4.4.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah vacuum rotary evaporator, blender, oven, gelas ukur, kurungan pemeliharaan, shaker, labu erlenmeyer, neraca analitik, counter, botol sprayer tangan, tabung reaksi bertutup, destilator, penangas pasir, desikator, kurungan uji (terbuat dari kawat kasa dengan lapisan kaca dikedua sisi untuk mempermudah pengamatan) berukuran ± 27 cm x 27 cm x 27 cm dengan diameter lubang ±14 cm, sarung tangan lateks, kertas saring, corong, alumunium foil, termohigrometer, Stop watch, mikro pipet, aspirator, kain kasa dan kapas.
41
4.4.2 Bahan Bahan yang digunakan adalah daun Iler, telur Aedes aegypti, ethanol 70%, aquades, air mineral, larutan gula 10% dan pelet (fish food).
4.5 Prosedur kerja 4.5.1 Pemeliharaan (rearing) Aedes aegypti Nyamuk yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dengan membiakkan telur Aedes aegypti steril yang diperoleh dari Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ketika telur menetas menjadi larva, larva tersebut akan diberi pakan ikan hingga mencapai stadium pupa (fase dorman). Setelah mencapai stadium dewasa, nyamuk akan diberi pakan berupa larutan gula 10% hingga mencapai target umur yang akan digunakan dalam percobaan. Dalam pengembangbiakan nyamuk, perlu diperhatikan kondisi fisik lingkungan sekitar dengan mengikuti standar yang ditetapkan oleh WHOPES (2009) yang mencakup aspek temperatur (27 ± 2 oC); dan kelembaban ( ≥ 80 ± 10%) untuk memastikan siklus gonotropik nyamuk tetap berlangsung. Penggunaan nyamuk steril (uninfected) pada penelitian ini bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan subjek penelitian dari adanya transmisi patogen. Penggunaan nyamuk steril pada uji efikasi diketahui juga dapat mendorong respon imun subjek uji untuk membentuk suatu proteksi terhadap patogen. Penelitian yang dilakukan Donovan et al (2007) pada mencit yang terpapar gigitan A. stephensi steril berulang-ulang, didapatkan adanya dorongan pada respon 42
imun untuk membentuk T-helper 1 (Th1) phenotype yang diketahui efektif bekerja dalam menekan penyebaran infeksi malaria.
4.5.2
Pembuatan Ekstrak Daun Iler
4.5.2.1 Proses Pemilihan dan Pengeringan Coleus blumei atau Iler yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari pot-pot pekarangan rumah penduduk pada kawasan padat pemukiman di daerah Jakarta dan Bogor. Daun Iler dipilih yang kondisinya baik (tidak muda dan tidak tua), dan kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel. Setelah disortir dan dicuci bersih, daun Coleus blumei tersebut kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 500 selama ± 2 hari. Bahan kering tersebut kemudian dihancurkan dengan blender sampai menjadi serbuk.
4.5.2.2 Proses Pembuatan Ekstrak Tanaman Uji Serbuk halus daun Iler yang telah diketahui bobotnya dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer untuk direndam dalam pelarut yang digunakan, yaitu etanol 70% dengan perbandingan 1:10. Kemudian sampel diaduk menggunakan shaker selama 24 jam. Sampel tersebut disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Selanjutnya ampas dicampur kembali dengan pelarut dengan perbandingan 1:5. Larutan tersebut kembali disaring dan ditampung untuk dicampur dengan hasil saringan utama. Masing-masing filtrat kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu ±60°C yang dilanjutkan dengan menggunakan penangas pasir untuk 43
menguapkan pelarut. Proses pemekatan dihentikan setelah semua senyawa ethanol menguap dan didapat ekstrak kasar induk daun Coleus blumei atau Iler. Dari ekstrak kasar induk tadi kemudian dibuat berbagai konsentrasi uji yang akan digunakan menggunakan larutan etanol 70% dengan perbandingan volume per volume (ml/ml) dengan menggunakan rumus pengenceran:
C1 x V1 = C2 x V2 Keterangan: C1 : Konsentrasi ekstrak kasar induk (100%) C2
:
Konsentrasi ekstrak uji yang diinginkan
V1 : Volume ekstrak kasar induk yang harus dilarutkan V2
:
Volume ekstrak uji yang dinginkan
4.5.3 Pengujian 4.5.3.1 Uji Efikasi Setelah didapatkannya ekstrak kasar induk daun Iler atau Coleus blumei, selanjutnya dilakukan uji pendahuluan dengan satu kali replikasi menggunakan konsentrasi ekstrak daun Iler sebesar 5% v/v, 10% v/v, 20% v/v, dan 40% v/v. Hal tersebut bertujuan untuk menentukan rangkaian konsentrasi ekstrak daun Iler yang menimbulkan efek repellent kurang dari 50% (2-3 konsentrasi) dan lebih dari 50% (2-3
konsentrasi)
untuk
digunakan
dalam
penelitian
ini,
seperti
yang
direkomendasikan oleh WHOPES (2009) untuk uji repellent pada skala laboratorium.
44
Pengujian efikasi dilakukan dengan metode uji repelansi atau daya proteksi berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian tahun 2012. Untuk melakukan uji efikasi, langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu penyiapan ekstrak daun Iler pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 100% v/v yang telah ditetapkan sebagai konsentrasi uji berdasarkan hasil uji pendahuluan yang didapat dengan mengacu pada estimasi WHOPES (2009). Kemudian dilanjutkan dengan penyiapan kurungan uji berukuran ± 27 x 27 x 27 cm2 yang diisi sebanyak 10 ekor Aedes aegypti betina steril yang telah diberikan pakan larutan gula 10% dan dibuat lapar selama 12 jam sebelum proses pengujian dilakukan. Langkah selanjutnya yaitu menutupi daerah pergelangan tangan hingga ujung jari lengan kontrol dan lengan perlakuan menggunakan sarung tangan lateks. Lengan terlebih dulu dicuci dengan air atau aquades hingga bersih, lalu dikeringkan (WHOPES, 2009). Kemudian lengan perlakuan (lengan kiri) diaplikasi ekstrak uji dengan dosis 0,5 mg/cm2 (0,375
) ke permukaan lengan secara merata, dan
dibiarkan selama 5 menit. Bagian lengan yang dipaparkan sebatas persendian tangan hingga siku, dengan perhitungan area paparan (WHOPES, 2009):
….(cm2) Keterangan: cw → lingkar pergelangan tangan (cm)
45
ce
→ lingkar siku fosa kubiti (bagian bisep) (cm)
Dwe → jarak antara cw dan ce (cm) Selama masa tunggu pengaplikasian ekstrak uji, subjek tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun untuk minimalisasi kecepatan penguapan senyawa volatil yang terkandung dalam ekstrak daun Iler. Lengan kontrol (lengan kanan) dimasukkan kedalam kurungan uji selama 5 menit. Secara bergantian, masukkan lengan perlakuan ke dalam kurungan uji selama 5 menit. Setiap pengujian menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang belum pernah dipakai sebelumnya. Nyamuk yang tidak aktif atau mati selanjutnya diambil dan diganti dengan nyamuk baru menggunakan aspirator. Pengujian akan dihentikan ketika telah mencapai efficacy failure, yaitu terjadinya probing (penetrasi tanpa terjadi penghisapan darah) Aedes aegypti sebanyak 2 kali pada lengan subjek uji (USEPA, 2010). Jumlah nyamuk yang hinggap pada kedua lengan tersebut dihitung dari jam ke-0 (segera setelah pemaparan) sampai terjadinya efficacy failure. Prosedur yang sama juga berlaku untuk pengujian di interval waktu berikutnya hingga interval jam ke-6, seperti yang tertera dalam Metode Standar Efikasi oleh Komisi Pestisida (2012) dan repellent test guideline oleh USEPA (2010). Nilai efikasi ditentukan berdasarkan daya proteksi yang dihitung dengan rumus:
Daya Proteksi DP
x 100
46
Keterangan: Ca
= Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan kontrol
Ta
= Frekuensi nyamuk hinggap pada lengan perlakuan
4.6 Pengumpulan data 4.6.1 Data primer Data primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari hasil uji efikasi laboratorium, yaitu berupa data jumlah nyamuk yang hinggap pada lengan subjek uji yang diamati mulai dari periode pengujian jam ke-0 hingga jam ke-6. Data tersebut selanjutnya dicatat dan diolah untuk mengetahui data persentase daya proteksi.
4.6.2 Data sekunder Data sekunder yang diperoleh pada penelitian ini bersumber dari studi kepustakaan berupa buku atau jurnal-jurnal yang memuat tentang penelitian serupa, teori-teori pendukung, data-data statistik, dan berupa guideline pelaksanaan uji efikasi repellent dengan menggunakan manusia sebagai subjek uji.
4.7 Pengolahan dan Analisa data Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan program statistik computer (SPSS for windows). Data pengamatan berupa jumlah nyamuk yang hinggap pada lengan subjek uji (kontrol dan perlakuan) kemudian digunakan untuk menentukan nilai daya proteksi untuk masing-masing konsentrasi ekstrak daun Iler 47
selama tujuh interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga ke-6). Data daya proteksi yang didapat selanjutnya dianalisa menggunakan uji Anova untuk mengetahui adanya perbedaan daya proteksi diantara variasi konsentrasi ekstrak daun Iler (20%, 40%, 60%, dan 100%). Data daya proteksi tersebut selanjutnya dianalisa dengan metode probit dan dilanjutkan dengan uji regresi linier untuk mendapatkan persamaan garis yang digunakan untuk menentukan nilai EC50 (konsentrasi ekstrak yang memberikan efek repellent atau daya proteksi sebesar 50% ) ekstrak daun Iler selama tujuh interval waktu pengujian. Kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi pearson dan regresi linier untuk mengetahui adanya hubungan serta berapa besar hubungan antara variasi konsentrasi dan lamanya interval waktu terhadap daya proteksi atau potensi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti yang didapat.
48
BAB V HASIL
5.1 Pengaruh Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti Daya tolak (repellent) ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) terlihat dari frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji yang telah diaplikasi variasi konsentrasi ekstrak daun Iler (0%, 20%, 40%, 60%, dan 100%) hingga terjadinya efficacy failure untuk setiap interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga ke-6). Sebelum prosedur tersebut diterapkan, terlebih dulu dilakukan standardisasi pada sampel dan subjek uji, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya bias pada penelitian karena munculnya keanekaragaman data. Standardisasi Aedes aegypti dilakukan dengan homogenisasi morfologi berupa umur (2-5 hari); bionomik (feeding activity), yaitu dengan memblok akses larutan gula 12 jam sebelum pengujian; serta dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban ruangan uji untuk memastikan siklus gonotropik tetap berlangsung. Pada subjek uji, homogenisasi dilakukan pada respon fisiologis, yaitu dengan menetapkan kriteria seperti tidak memiliki riwayat alergi dan tidak memakai produk repellent atau parfum; serta perilaku, yaitu dengan membatasi pergerakan subjek uji saat uji efikasi berlangsung.
49
5.1.1 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Berdasarkan hasil pengamatan, terlihat bahwa frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji berbeda untuk setiap variasi konsentrasi dan interval waktu pengujian di setiap replikasinya. Sementara itu, terjadinya efficacy failure (kegagalan efikasi) pada kelompok konsentrasi ekstrak daun Iler cenderung homogen, yaitu terjadi segera setelah pengujian berlangsung (jam ke-0) disetiap replikasinya. Namun, durasi proteksi yang didapat bervariasi untuk masing-masing konsentrasi uji yang diaplikasi, yaitu berturut-turut terjadi pada ≤ 2 menit untuk konsentrasi 20%, ≤ 3 menit untuk konsentrasi 40%, 3-4 menit untuk konsentrasi 60%, dan ³ 4 menit untuk konsentrasi 100%. Data frekuensi hinggap Aedes aegypti untuk masing-masing konsentrasi uji (20%, 40%, 60% dan 100% v/v) pada tujuh interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga jam ke-6) disetiap replikasinya terlihat pada tabel 5.1 hingga 5.5 berikut ini. Tabel 5.1 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti pada Konsentrasi 0% (Kontrol) dan Tujuh Interval Jam Pengujian Replikasi
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada Interval Jam ke-
Ratarata
0
1
2
3
4
5
6
I
9
7
9
8
9
8
8
8,29
II
9
8
9
8
8
9
7
8,29
III
9
8
9
8
8
8
9
8,43
IV
8
9
8
9
7
8
8
8,14
Rata-rata
50
8,29
Berdasarkan tabel 5.1 diatas, terlihat bahwa pada kelompok kontrol berupa aplikasi aquades pada lengan kanan subjek uji tidak memberikan
daya tolak
(repellent) yang signifikan terhadap frekuensi Aedes aegypti yang hinggap. Hal tersebut terihat dari masih banyaknya jumlah nyamuk yang hinggap pada lengan subjek uji. Frekuensi hinggap Aedes aegypti tertinggi mencapai 9 ekor, sementara frekuensi terendah mencapai 7 ekor yang terjadi di interval akhir pengujian. Rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap selama tujuh interval waktu pengujian adalah sebanyak 8,29 ekor. Tabel 5.2 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti pada Konsentrasi 20% dan Tujuh Interval Jam Pengujian Replikasi
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada Interval Jam ke-
Ratarata
0
1
2
3
4
5
6
I
5
4
6
6
7
7
8
6,14
II
4
4
5
5
6
7
7
5,43
III
6
5
6
6
7
7
8
6,43
IV
5
6
6
7
6
7
7
6,29
Rata-rata
Pada tabel 5.2 diatas, terlihat bahwa daya tolak
6,07
(repellent) daun Iler (Coleus
scutellarioides Linn. Benth) terhadap Aedes aegypti mulai terlihat di periode awal waktu pengujian. Frekuensi tertinggi Aedes aegypti yang hinggap pada lengan kiri subjek uji mencapai 8 ekor yang ditemukan di akhir periode waktu pengujian (jam ke-6). Sedangkan frekuensi terendah mencapai 4 ekor yang didapat di awal periode
51
waktu pengujian (jam ke-0 dan ke-1). Rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap selama tujuh interval waktu pengujian pada kelompok ini adalah sebanyak 8,29 ekor. Tabel 5.3 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti pada Konsentrasi 40% dan Tujuh Interval Jam Pengujian Replikasi
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada Interval Jam ke-
Ratarata
0
1
2
3
4
5
6
I
5
4
6
6
7
6
7
5,86
II
3
3
4
4
5
6
6
4,43
III
4
5
6
6
7
7
8
6,14
IV
4
5
5
6
6
7
7
5,71
Rata-rata
5,54
Tabel 5.3 diatas menjelaskan adanya peningkatan penolakan (repellent) dari ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) terhadap Aedes aegypti dibanding dengan aplikasi konsentrasi sebelumnya. Rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan kiri subjek uji selama tujuh interval waktu pengujian yaitu sebesar 5,54 ekor. Frekuensi tertinggi Aedes aegypti yang hinggap pada kelompok ini mencapai 8 ekor yang terjadi di akhir periode pengujian (jam ke-6), dan terendah mencapai 3 ekor yang didapat diawal periode pengujian (jam ke-0 dan ke-1).
52
Tabel 5.4 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti pada Konsentrasi 60% dan Tujuh Interval Jam Pengujian Replikasi
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada Interval Jam ke-
Ratarata
0
1
2
3
4
5
6
I
2
3
4
5
6
5
6
4,43
II
4
4
5
5
6
7
6
5,29
III
4
4
5
5
6
6
7
5,29
IV
3
4
4
5
5
6
7
4,86
Rata-rata
4,97
Mengacu pada tabel 5.4 diatas, efek penolakan (repellent) terhadap Aedes aegypti yang diberikan oleh ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) pada konsentrasi 60% terlihat terus mengalami peningkatan jika dibanding dengan 2 konsentrasi sebelumnya. Frekuensi terendah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan kiri subjek ukelompok ini mencapai 2 ekor yang didapat diawal periode pengujian (jam ke-0). Sedangkan frekuensi tertinggi mencapai 7 ekor yang didapat di akhir periode pengujian (jam ke- 5 dan ke-6), dengan rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap selama tujuh interval waktu pengujian (jam ke-0 hingga jam ke-6) yaitu sebesar 4,97.
53
Tabel 5.5 Frekuensi Hinggap Aedes aegypti pada Konsentrasi 100% dan Tujuh Interval Jam Pengujian Replikasi
Jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada Interval Jam ke-
Ratarata
0
1
2
3
4
5
6
I
3
3
4
4
6
5
6
4,43
II
2
2
3
4
5
6
5
3,86
III
3
3
4
4
5
5
6
4,29
IV
2
3
3
4
4
5
5
3,71
Rata-rata
4,07
Berdasarkan tabel 5.5 diatas, efek penolakan (repellent) terhadap Aedes aegypti dari ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) pada konsentrasi 100% terlihat terus mengalami peningkatan jika dibanding dengan 3 konsentrasi sebelumnya. Rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap selama tujuh interval waktu pengujian adalah sebesar 4,07. Frekuensi terendah
Aedes aegypti yang
hinggap pada kelompok ini mencapai 2 ekor yang didapat diawal periode pengujian (jam ke-0 dan ke-1), sedangkan frekuensi tertinggi mencapai 6 ekor yang didapat di akhir periode pengujian (jam ke- 4 hingga ke-6).
5.1.2 Perhitungan Daya Proteksi Pada tabel 5.3 diatas, terlihat bahwa pada kelompok kontrol (0%), meskipun tidak memberikan efek repellent terhadap Aedes aegypti, namun sebesar 17,1% sampel ditemukan menunjukkan respon menolak atau menghindar dari lengan subjek
54
uji. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya bias pada nilai daya proteksi yang didapatkan maka perlu dilakukan pengkoreksian data menggunakan rumus abbott untuk memastikan bahwa efek penolakan yang didapatkan pada kelompok perlakuan (konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 100% v/v) adalah benar-benar sebagai akibat dari pengaplikasian ekstrak daun Iler. Persentase daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini. Tabel 5.6 Daya Proteksi Ekstrak Daun Iler pada setiap Konsentrasi dan Tujuh Interval Waktu Pengujian (empat replikasi) Daya Proteksi (%) pada Interval Jam ke-
Konsentrasi
Total
Replikasi 20%
0
1
2
3
4
5
6
I
44,44
42,86
33,33
25
22,22
12,5
0
II
55,56
50
44,44
37,5
25
22,22
0
III
33,33
37,5
33,33
25
12,5
12,5
11,11
IV
37,5
33,33
25
22,22
14,29
12,5
12,5
42,71
40,92
34,03
27,43
18,5
14,93
5,9
I
44,44
42,86
33,33
25
22,22
25
12,5
II
66,67
62,5
55,56
50
37,5
33,33
14,29
III
55,56
37,5
33,33
25
12,5
12,5
11,11
IV
50
44,44
37,5
33,33
14,29
12,5
12,5
54,17
46,83
39,93
33,33
21,63
20,83
12,6
I
77,78
57,14
55,56
37,5
33,33
37,5
25
II
55,56
50
44,44
37,5
25
22,22
14,29
Rata-rata 40%
Rata-rata 60%
55
Rata-rata
26,35%
32,76%
III
55,56
50
44,44
37,5
25
25
22,22
IV
62,5
55,56
50
44,44
28,57
25
12,5
62,85
53,18
48,61
39,24
27,98
27,43
18,5
I
66,67
57,14
55,56
50
33,33
37,5
25
II
77,78
75
66,67
50
37,5
33,33
28,57
III
66,67
62,5
55,56
50
37,5
37,5
33,33
IV
75
66,67
62,5
55,56
42,86
37,5
37,5
71,53
65,33
60,1
51,39
37,8
36,46
31,1
Rata-rata 100%
Rata-rata
39,68%
50,53%
Berdasarkan tabel 5.6 diatas, terlihat bahwa variasi konsentrasi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) memberikan daya proteksi yang berbeda terhadap Aedes aegypti. Daya proteksi tertinggi ekstrak daun Iler terlihat mencapai 77,78% yang didapat diawal periode waktu uji (jam ke-0) pada konsentrasi ekstrak 100%. Sedangkan daya proteksi terendah mencapai 0% yang terjadi di akhir periode waktu uji (jam ke-6) pada konsentrasi 20%. Diketahui pula bahwa total daya proteksi tertinggi ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti selama tujuh interval waktu pengujian yaitu sebesar 50,53% yang dicapai pada aplikasi konsentrasi 100%. Dari tabel daya proteksi diatas, terlihat bahwa kenaikan daya proteksi ekstrak daun Iler terjadi bersamaan dengan kenaikan konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan. Trend tersebut terlihat terjadi secara kontinuiti dari awal hingga periode akhir pengujian (jam ke-0 hingga ke-6). Tabel diatas juga menunjukkan adanya perbedaan daya proteksi disetiap interval waktu pengujian, dimana daya proteksi ekstrak daun
56
Iler semakin menurun seiring dengan peningkatan
interval waktu uji, dan
hal
tersebut terjadi disemua kelompok konsentrasi ekstrak daun Iler. Meskipun terlihat adanya perbedaan daya proteksi pada variasi konsentrasi ekstrak daun Iler disetiap interval waktu pengujiannya, namun untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut signifikan, serta untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari variable konsentrasi dan interval waktu pengujian
terhadap daya
proteksi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti, maka selanjutnya perlu dilakukan pengujian secara statistik.
5.2 Pengaruh Variasi Konsentrasi Ekstrak Daun Iler Terhadap Daya Proteksi Untuk mengetahui adanya pengaruh dari variasi konsentrasi ekstrak daun Iler dengan daya proteksi yang diberikan dari ekstrak tersebut terhadap frekuensi hinggap Aedes aegypti, maka dilakukan uji analisa varians atau Anova. Terlebih dulu dilakukan uji normalitas dengan metode Kolmogorov-Smirnov untuk memastikan bahwa data berdistribusi normal. Setelah normalitas data terpenuhi, selanjutnya dilakukan uji kesamaan ragam Levene (Levene test homogeneity of variances) untuk memastikan bahwa data yang didapatkan homogen. Berdasarkan uji normalitas data yang dilakukan, diketahui bahwa data daya proteksi ekstrak daun Iler berdistribusi normal (p > 0,05) pada tujuh periode waktu pengujian (lampiran 3). Namun, dari hasil uji kesamaan ragam Levine diketahui bahwa hanya pada 5 dari 7 periode waktu pengujian didapatkan data daya proteksi yang relatif homogen (p > 0,05) (lampiran 3), yaitu pada interval waktu pengujian 57
jam ke-0 hingga jam ke-4. Dengan demikian, uji Anova dapat dilakukan pada data daya proteksi yang didapatkan pada periode pengujian jam ke-0 hingga ke-4, sementara data daya proteksi pada periode pengujian jam ke-5 dan ke-6 dilakukan uji non parametrik Kruskal-Wallis untuk mengetahui adanya perbedaan daya proteksi diantara variasi konsentrasi ekstrak daun Iler. Dari hasil analisis Anova dan Kruskal Wallis, didapatkan adanya perbedaan daya proteksi (p < 0,05) pada variasi konsentrasi ekstrak daun Iler (20%, 40%, 60%, dan 100%) disetiap periode waktu pengujian (jam ke-0 hingga jam ke-6) (lampiran 3). Perbedaan daya proteksi diantara variasi konsentrasi ekstrak daun Iler secara jelas telihat pada grafik dibawah ini. 80% -
70% tlP n a
60% tiA yp eg .a
50% Kons. 20%
40%
Kons. 40%
e p ad h t
30% Kons. 60% 20% Kons. 100% t ln p R sed a b
ayProteksi(%)EdunIlbgD
10% 0% 0
1
2
3
4
5
6
Interval Waktu Pengujian (Jam ke-)
Gambar 5.1 Plot Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Iler (C. scutellarioides) sebagai Plant-based Repellent terhadap A. aegypti pada tujuh Interval Waktu Pengujian
58
Plot diatas menunjukkan adanya pengaruh variasi konsentrasi dengan daya proteksi ekstrak daun Iler disetiap periode waktu uji. Terlihat bahwa dengan ditingkatkannya konsentrasi ekstrak, meningkat pula daya proteksi dari ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti. Namun sebaliknya, dengan penambahan periode waktu uji, penurunan daya proteksi ekstrak daun Iler pun terjadi. Didapatkan pula bahwa diantara kelompok perlakuan ekstrak daun Iler yang digunakan, ekstrak daun Iler pada konsentrasi 100% merupakan yang paling baik memberikan
perlindungan
terhadap Aedes aegypti, seperti yang ditunjukkan dengan persentase daya proteksi yang paling besar diantara daya proteksi konsentrasi ekstrak daun Iler lainnya.
5.3 Nilai EC50 Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Nilai daya proteksi ekstrak daun Iler terhadap frekuensi hinggap Aedes aegypti yang didapat dari hasil pengkoreksian menggunakan formula Abbott selanjutnya digunakan untuk mendapatkan nilai probit dengan menggunakan tabel konversi probit. Setelah diketahui nilai probit untuk masing-masing konsentrasi uji, kemudian dilakukan uji regresi untuk mendapatkan nilai EC50 ekstrak daun Iler yang menunjukkan konsentrasi optimum dari ekstrak tersebut sebagai plant-based repellent pada 50% jumlah Aedes aegypti. Berdasarkan hasil
uji regresi didapatkan adanya hubungan antara log10
konsesntrasi ekstrak daun Iler dengan probit (p = 0,02). Persamaan regresi yang didapat berupa Y = 0,912x + 3,160; dimana Y menyatakan nilai probit, dan x menyatakan log10 konsentrasi ekstrak daun Iler. 59
Nilai EC50 ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent selanjutnya dihitung menggunakan persamaan regresi diatas dengan memasukkan nilai probit 5,0 untuk mendapatkan nilai EC50. Dari persamaan linier tersebut, maka didapatkan nilai log10 konsentrasi sebesar 2,018. Dengan demikian, nilai EC50 ekstrak daun Iler adalah pada konsentrasi 100% (antilog 2). Plot hubungan log10 konsentrasi ekstrak daun Iler terhadap nilai probit dapat dilihat pada grafik dibawah ini. 5.1
EC50
5
Y = 0.912x + 3.160 R² = 0.961
4.9 4.8 4.7 itrP b o
4.6 4.5 4.4 4.3 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Log10 Konsentrasi ekstrak daun Iler
Gambar 5.2 Grafik Persamaan Garis Regresi EC50 Ekstrak Daun Iler
5.4 Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Interval Waktu Pengujian dengan Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Untuk mengetahui hubungan antara interval waktu pengujian dan konsentrasi ekstrak dengan potensi atau daya proteksi ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti, maka dilakukan uji korelasi Pearson dengan hasil seperti yang terlihat pada tabel 5.9.
60
Tabel 5.7 Korelasi antara Variasi Konsentrasi Ekstrak dan Interval Waktu dengan Potensi Daun Iler sebagai Plant-based Repellent terhadap Aedes aegypti
Variabel Potensi (Daya proteksi) daun Iler
Koefisien korelasi (r)
Pvalue
0,501
0,000
- 0,780
0,000
(Coleus scutellarioides Linn. Benth) dengan konsentrasi ekstrak Potensi (Daya proteksi) daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) dengan Interval waktu pengujian Berdasarkan hasil analisis diatas, terlihat bahwa interval waktu pengujian dan konsentrasi ekstrak memiliki korelasi yang signifikan (p < 0,05) dengan potensi atau daya proteksi daun Iler, dengan koefisien korelasi yang didapat menunjukkan besaran serta sifat dari hubungan tersebut. Dari tabel diatas terlihat bahwa bahwa korelasi antara konsentrasi ekstrak dengan potensi atau daya proteksi daun Iler adalah berbanding lurus, yang berarti setiap peningkatan konsentrasi ekstrak akan cenderung meningkatkan potensi daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti (r = 0,501). Sementara itu, korelasi antara interval waktu pengujian dengan daya proteksi daun iler berbanding terbalik, yang berarti semakin meningkat interval waktu pengujian, maka potensi atau daya proteksi daun Iler justru akan cenderung semakin menurun ( r = - 0,780). Sementara itu, hasil dari uji regresi untuk mengetahui bentuk hubungan diantara konsentrasi ekstrak, interval waktu , dan daya proteksi dari ekstrak daun Iler sebagai repellent menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan (p < 0,05), dengan
61
persamaan regresi yang didapat berupa Y = –6,949 x1 + 0,302x2 + 41,58; dimana Y menyatakan potensi atau daya proteksi ekstrak daun Iler, x1 sebagai interval waktu pengujian, dan x2 sebagai konsentrasi ekstrak. Berdasarkan
persamaan
regresi
tersebut
diketahui
bahwa
tanpa
mempertimbangkan pengaruh konsentrasi ekstrak dan interval waktu pengujian, maka daya proteksi ekstrak daun Iler akan meningkat secara konstan sebesar 41,582%. Namun, dengan memperhatikan faktor konsentrasi dan interval waktu pengujian, maka setiap kenaikan 1% konsentrasi ekstrak akan menyebabkan kenaikan daya proteksi ekstrak daun Iler sebesar 0,302%, sedangkan untuk setiap penambahan satu periode waktu pengujian akan menyebabkan terjadinya penurunan potensi atau daya proteksi ekstak sebesar 6,949%. Telah dibahas sebelumnya bahwa suatu produk repellent yang memanfaatkan bahan aktif kimia dikategorikan efektif jika daya proteksi yang diberikan dari produk tersebut mencapai lebih dari 90% (selama periode 6 jam aplikasi), seperti yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan hasil perhitungan nilai daya proteksi ekstrak daun Iler dengan menggunakan model regresi diatas, diketahui bahwa konsentrasi ekstrak daun Iler yang diperlukan untuk memberikan daya proteksi sebesar 90% selama 6 jam pengaplikasian adalah sebesar 298,38% v/v.
62
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Peneliti Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu diantaranya: 1) Penentuan rangkaian konsentrasi uji yang dipakai tidak terstandar, hanya mengikuti rekomendasi dari WHO yang kemudian disesuaikan dengan hasil uji pendahuluan yang didapat. 2) Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dan tidak dilakukan uji fitokimia dari hasil ekstrak tersebut, sehingga komposisi kandungan metabolit sekunder yang terlarut tidak diketahui apakah semua senyawa yang terlarut memiliki bioaktivitas sebagai repellent. 3) Ekstrak daun Iler yang digunakan masih berupa ekstrak kasar yang rentan terhadap kontaminasi, dan senyawa volatil yang terkandung dalam ekstrak tersebut berisiko untuk menguap lebih cepat, sehingga kinerja dari ekstrak daun Iler berkurang ketika uji efikasi dilakukan. 4) Faktor yang berpengaruh terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent yang diukur pada penelitian ini hanya faktor konsentrasi dan interval waktu uji. Sementara faktor-faktor berpengaruh lain seperti faktor lingkungan, subjek uji, serangga target tidak dilakukan.
63
6.2 Pengaruh Ekstrak Daun Iler Terhadap Frekuensi Hinggap Aedes aegypti Hasil pengamatan terhadap frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji sebagai akibat dari aplikasi 5 variasi konsentrasi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) didapatkan starting point efikasi (jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada jam ke-0) yang berbeda. Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa pada kelompok kontrol (0%) berupa aquades, didapatkan rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji sebesar 82,9%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada efek penolakan yang diberikan karena masih cukup banyak didapatkannya jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji. Pengaruh ekstrak daun Iler dalam menolak Aedes aegypti untuk hinggap pada lengan subjek uji mulai terlihat pada konsentrasi 20%, dimana rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap mengalami penurunan, yaitu mencapai 60,7% (tabel 5.2). Efek penolakan ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) terhadap Aedes aegypti terus mengalami peningkatan searah dengan peningkatan konsentrasi ekstrak yang digunakan. Hal tersebut terlihat dari rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap dikelompok perlakuan ekstrak daun Iler pada konsentrasi 40%, 60%, dan 100%, yaitu masing-masing sebesar 55,4%, 49,7%, dan 40,7% (tabel 5.3 hingga 5.5). Adanya perbedaan starting point efikasi dibeberapa replikasi kelompok perlakuan (tabel 5.2 hingga 5.5) diindikasikan terjadi karena adanya perbedaan komposisi senyawa metabolit sekunder volatil yang terkandung dalam masingmasing konsentrasi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth).
64
Hal tersebut didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2010) dan Shinta (2010) yang menyatakan bahwa pada konsentrasi tertinggi ekstrak yang digunakan pada uji efikasi cenderung memiliki proporsi senyawa aktif repellent yang lebih besar dibanding dengan konsentrasi ekstrak yang lebih rendah. Dengan begitu, besarnya konsentrasi ekstrak mempengaruhi besarnya nilai daya proteksi dari ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti. Ketidakstabilan suhu dan kelembaban ruangan uji untuk setiap peningkatan periode waktu uji, seperti yang diamati terjadi di setiap awal pengujian, juga diperkirakan mempengaruhi variasi frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji. Hal tersebut terjadi karena suhu dan kelembaban berkaitan dengan proses metabolisme dan keadaan oviparitas yang menjadi penentu keaktifan nyamuk dalam mendeteksi host untuk menggigit atau mengkonsumsi darah (Reiter, 2001; Depkes RI, 2007).
6.3 Pengaruh Variasi Konsentrasi dan Interval Waktu Pengujian Terhadap Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Berpotensi atau tidaknya suatu sediaan tanaman dalam memberikan perlindungan terhadap nyamuk direpresentasikan dengan besarnya persentase daya proteksi yang diberikan selama beberapa interval waktu tertentu. Hasil pengkoreksian daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) terhadap Aedes aegypti menggunakan rumus abbot didapatkan adanya perbedaan daya proteksi yang terjadi
65
pada interval pengujian jam ke-0 hingga ke-6, seperti yang ditunjukkan dari hasil analisis Anova dan Kruskal-Wallis (p < 0,05) (lampiran 3). Meskipun didapatkan perbedaan daya proteksi ekstrak daun Iler di tujuh interval waktu uji, namun diketahui bahwa perbedaan terbesar terlihat pada interval pengujian jam ke-0 (p = 0,005) dan jam ke-1 (p = 0,005). Senyawa metabolit sekunder volatil yang terkandung dalam ekstrak daun Iler bekerja dalam fase uap, dan umumnya efektif bekerja sebagai repellent segera setelah pengaplikasian (Kalita, 2013). Dengan begitu, uap atau molekul bau yang dihasilkan oleh variasi konsentrasi ekstrak daun Iler dengan proporsi yang berbeda itulah yang menyebabkan perbedaan daya proteksi yang cukup besar pada kedua periode waktu uji tersebut. Analisa probit terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler juga dilakukan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak yang mampu memberikan efek penolakan (repellent) optimum sebesar 50% jumlah Aedes aegypti yang dilihat dari nilai EC50. Berdasarkan analisis regresi terhadap probit yang didapat, diketahui adanya hubungan antara log10 konsentrasi ekstrak daun Iler dengan probit (p = 0,02), dimana nilai EC50 yang didapat sebesar 100% (antilog 2). Nilai EC50 yang relatif besar tersebut menandakan cenderung rendahnya aktivitas repellent ekstrak daun Iler karena kecilnya proporsi kandungan senyawa metabolit sekunder yang bertanggung jawab terhadap aktivitas repellent dalam ekstrak tersebut. Rendah atau tingginya proporsi kandung metabolit sekunder tanaman yang bekerja sebgai repellent salah satunya dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan,
66
serta metode ekstraksi yang diaplikasikan (Ridwan 2010). Efek tersebut terlihat pada tabel 5.2 hingga 5.5, dimana daya kerja ekstrak daun Iler dalam memberikan perlindungan terhadap Aedes aegypti berlangsung singkat, yang ditandai dengan efficacy failure yang cenderung terjadi segera setelah pemaparan (pada jam ke-0) pada semua kelompok perlakuan. Spesifikasi mekanisme kerja senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak tanaman sebagai repellent hingga saat ini masih dalam proses studi, namun secara umum kinerjanya dikaitkan dengan indera penciuman nyamuk. Sifat dari senyawa metabolit tanaman yang mudah menguap di lingkungan bebas, dimanfaatkan sebagai chemical messengers bagi serangga dan hewan lainya sebagai sinyal dalam durasi singkat yang memberikan peringatan pada feromon serangga (Kalita, 2013). Bau khas dari metabolit sekunder ekstrak daun Iler akan masuk secara ekstraseluler dan kemudian ditangkap oleh kemoreseptor pada sensilla yang terletak di antenna nyamuk. Molekul bau tersebut selanjutnya akan berikatan dengan OBPs (odorant-binding proteins), dan kemudian akan dibawa oleh OBPs melewati cairan lymph (getah bening) di sensilla menuju ORNs (olfactory receptor neurons) (Paluch, 2009). Selain membawa molekul bau, OBPs juga berfungsi melarutkan molekul bau tersebut serta menyeleksi molekul bau untuk diterima pada ORs (olfactory receptors) tertentu (Austin, 2011). Molekul bau selanjutnya berinteraksi dengan G-protein-coupled receptors ekstraseluler pada ORs yang terletak di dendrit ORNs spesifik; dimana secara bergantian G-protein-coupled receptors intraseluler aktif dan menyebabkan 67
perubahan konformasi G-protein (Paluch, 2009). Hal tersebut menyebabkan terjadinya depolarisasi saraf yang akan memicu terjadinya transmisi implus elektrik ke lobus antena nyamuk untuk memunculkan respon penolakan atau memblok indera penciuman nyamuk yang akhirnya bertindak sebagai pengahalang kinerja nyamuk untuk mengenali mangsanya (Paluch, 2009; Kalita, 2013). Jacquin-Joly dan Merlin (2004) dalam Austin (2011) menyatakan bahwa molekul bau yang berikatan dengan OBPs tidak selamanya beredar dalam pembuluh limfe nyamuk karena akan didegradasi oleh enzim yang dikenal dengan ODEs (odordegrading enzymes), dengan kecepatan degradasi tergantung dari molekul yang berikatan dengan OBP tersebut. ODEs berfungsi sebagai regulator, terutama jika molekul bau yang berikatan dengan OBPs berlebihan (Austin, 2011). Diketahui dari hasil uji korelasi Pearson bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar senyawa metabolit sekunder dengan bioaktivitas repellent yang erat kaitannya dengan besar konsentrasi ekstrak (r = 0,501), dan lamanya interval waktu pengujian (r = - 0,780) terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler. Sementara itu, didapatkan koefisien determinasi (R square) sebesar 85,9% yang menjelaskan cukup besarnya pengaruh yang diberikan oleh konsentrasi ekstrak dan interval waktu pengujian terhadap daya proteksi atau potensi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Senyawa metabolit sekunder golongan monoterpen seperti eugenol, kamfor dan timol yang diketahui terkandung dalam daun Iler merupakan komponen umum dalam tumbuhan yang menimbulkan efek repellent terhadap nyamuk (Kalita, 2013). 68
Sebagian dari senyawa monoterpen tersebut diketahui bersifat sitotoksik terhadap jaringan hewan, menyebabkan penurunan jumlah mitokondria dan badan golgi; menyebabkan terganggunya sistem pernafasan dan permeabilitas membran sel (Kalita, 2013). Efek sitotoksik dari senyawa monoterpen tersebut terbukti dengan ditemukannya sejumlah Aedes aegypti yang mati saat uji efikasi berlangsung. Mortalitas Aedes aegypti mulai terjadi pada kelompok perlakuan ekstrak daun Iler dengan konsentrasi 40%, konsentrasi 60%, dan konsentrasi 100% setelah kontak antara ekstrak tersebut dengan Aedes aegypti berlangsung selama periode 1 jam pengujian. Eugenol merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik, dan memiliki aroma yang menyegarkan dan pedas. Diketahui bahwa kandungan eugenol pada konsentrasi 10% yang dimanfaatkan sebagai insektisida dapat menyebabkan gangguan pada non-target untuk menghasilkan keturunan (Austin, 2011). Bariyah (2010) dalam Austin (2011) menyatakan bahwa selain memiliki aktivitas sebagai antiseptik, eugenol juga memiliki aktivitas repellent terhadap gangguan nyamuk, meskipun mekanisme kerja dari senyawa tersebut belum diketahui secara pasti. Tinjauan yang dilakukan oleh Rattan (2010) dalam Gosh (2012) terkait efek kerja senyawa timol diketahui dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada serangga. Gangguan fisiologis tersebut berupa terjadinya penghambatan kerja enzim asetilkolinestrase, penghambatan reseptor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) terkait pembukaan saluran ion klorida ke dalam sel, pemblokan reseptor octopamine,
69
serta gangguan pada proses molekuler seperti morfogenesis, serta perubahan perilaku dan memori pada syaraf cholinergic nyamuk. Penelitian yang dilakukan oleh Rasikari (2007) terhadap daun Iler dan beberapa spesies dari genus Plectranthus lainnya, didapatkan kuantitas kandungan metabolit polar berupa rosmarinic acid dan turunan abietane yang signifikan. Senyawa metabolit tersebut dilaporkan memiliki efek non-toksik hingga sangat toksis terhadap T. urticae (Rasikari, 2007). Senyawa Rosmarinic acid diketahui memiliki aktivitas repellent terhadap serangga (Shiga, 2008), sedangkan turunan abietane diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan insect anti-feedant (Wellsow, 2005).
6.4 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Potensi Daun Iler Sebagai Plantbased Repellent Terhadap Aedes aegypti Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R square) yang didapat dari uji regresi, diketahui bahwa sebesar 14,1% nilai potensi atau daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai repellent dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain konsentrasi ekstrak uji dan interval waktu pengujian. Menurut Suwasono (2006), faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor ekstraksi, jenis dan jumlah serangga target, serta karakteristik fisik individu atau subjek uji. Faktor-faktor lingkungan yang turut mempengaruhi potensi atau nilai daya proteksi ekstrak daun Iler adalah temperatur dan kelembaban sebelum dan saat pengujian berlangsung (Rasikari, 2007). Achmadi (2011) menyatakan bahwa dengan meningkatnya suhu dan kelembaban di lingkungan sekitar, menyebabkan lebih 70
mudahnya nyamuk untuk mendekati host. Kelembaban dan suhu juga berkaitan erat dengan kecepatan laju penguapan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak daun Iler yang bekerja sebagai repellent (Rasikari, 2007). Faktor jumlah serangga yang digunakan dalam uji efikasi juga turut mempengaruhi potensi ekstrak sebagai repellent. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan kemampuan serangga tersebut untuk memberikan respon terhadap senyawa kimia yang diterimanya (Rasikari, 2007). Pemilihan jenis serangga juga berpengaruh terhadap potensi suatu repellent, salah satunya adalah karena pernyataan Schoonhoven (1977) dalam Rasikari (2007) yaitu menjelaskan bahwa selain dilengkapi dengan olfactory receptors di antena, ada beberapa jenis nyamuk yang ditemukan memiliki gustatory receptors (GRs) atau kemoreseptor kontak yang terletak di bagian mulut (labella) nyamuk yang bekerja sebagai feeding deterrence. Dengan begitu, meskipun terdapat enzim penghambat (ODEs) pada olfaktori Aedes aegypti yang menghentikan sinyal bau dari metabolit sekunder ekstrak, menyebabkan mulai ditemukannya kembali Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji; namun dengan adanya senyawa metabolit sekunder bervolatil rendah yang terkandung dalam ekstrak daun Iler, yang kemudian akan berinteraksi dengan gustatory receptors (GRs) atau kemoreseptor kontak nyamuk, maka respon nyamuk berupa gigitan pun berkurang karena aktivitas senyawa volatil rendah tadi yang bekerja sebagai repellent kontak (feeding deterrence) (Dickens et al, 2013). Faktor lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap efektifitas suatu repellent adalah karakteristik host atau subjek uji. Telah diketahui bahwa setiap orang memiliki 71
daya tarik yang berbeda terhadap nyamuk karena adanya variasi suhu, kelembaban tubuh, dan lemak di lapisan kulit (Carrol, 2007). Hal tersebut tentunya juga akan mempengaruhi efektifitas kerja repellent dalam melindungi host dari deteksi sistem olfaktori nyamuk, mengingat tidak semua ORNs maupun ORs nyamuk yang sensitif terhadap senyawa yang bekerja sebagai repellent yang sama. Karakteristik host atau subjek uji yang juga berpengaruh terhadap daya proteksi repellent adalah kandungan mikroba pada kulit, kemampuan absorpsi kulit, dan produksi keringat (Stajkovic Dan Milutinovic, 2013). Kandungan mikroorganisme pada kulit manusia berkaitan dengan intensitas bau, serta komposisi kimia yang dilepaskan oleh manusia dalam molekul bau yang nantinya akan dideteksi oleh nyamuk sebagai sensor untuk mendekati host-nya (Verhulst, 2010; Achmadi, 2011). Menurut Shelley et al (1953) dalam Verhulst (2010), pada dasarnya keringat manusia tidak berbau, namun dengan adanya inkubasi dari bakteri pada kulit-lah yang menyebabkan keringat menimbulkan bau yang khas dan bertindak sebagai kairomon atau atraktan bagi nyamuk. Kandungan mikroorganisme tersebut berbeda pada setiap individu, sehingga reaksi nyamuk juga bervariasi terhadap individu yang berbeda. Reaksi berupa mendekat atau menjauh dari host yang diberikan oleh nyamuk lebih banyak disebabkan oleh senyawa volatil yang berasal dari aktivitas bakteri dalam kulit host tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh de Jong dan Knol (1995) dalam Verhulst (2010), dimana ketika membasuh kaki dengan sabun anti-bakteri terbukti secara signifikan mengurangi daerah gigitan An. gambiae betina pada subjek uji.
72
Selain itu, variasi kinerja repellent yang terjadi antar individu juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan absorpsi kulit individu tersebut terhadap komponen aktif repellent yang digunakan (Carrol, 2007). Terdapat lapisan penghalang yang secara natural terdapat dalam kulit yang menghalangi terjadinya absorpsi suatu senyawa. Namun, Williams (1991) dalam Uzor (2011) menyatakan bahwa senyawa golongan terpen seperti carvone, cineol, geraniol, timol, eugenol, rosmarinic acid, karvakol, dan kamfor memiliki kemampuan penetrasi ke dalam kulit yang cukup baik dengan tingkat iritan dan toksisitas sistemik yang rendah, seperti yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA). Oleh karena itu, jika senyawa timol, eugenol, camphor, karvakol, dan rosmarinic acid yang terkandung dalam ekstrak daun Iler yang diaplikasi pada lengan uji menguap lebih cepat daripada diabsorp oleh kulit, maka proteksi yang diberikan oleh ekstrak tersebut sebagai repellent akan optimal (Stajkovic dan Milutinovic, 2013). Namun, jika senyawa tersebut diserap terlebih dulu oleh kulit, maka konsentrasi molekul bau yang dihasilkan dari senyawa tersebut akan berkurang, menyebabkan daya proteksi yang diberikan oleh ekstrak daun Iler terhadap nyamuk pun kurang optimal (Stajkovic dan Milutinovic, 2013). Penurunan daya proteksi ekstrak daun Iler terjadi karena menurut Todd et al (1992) dalam Qiu dan van Loon (2010) respon ORNs nyamuk terhadap molekul bau bergantung pada konsentrasi molekul bau tersebut. Lebih lanjut Hallem et al (2004) dalam Qiu dan van Loon (2010) menjelaskan bahwa ORs nyamuk lebih banyak teraktivasi jika kontak dengan molekul bau dengan konsentrasi yang tinggi. 73
Rendahnya konsentrasi molekul bau ekstrak daun Iler yang bersifat sebagai alomon (repellent terhadap nyamuk) sebagai akibat dari adanya absorpsi ekstrak oleh kulit memiliki kemungkinan untuk mengalami netralisasi. Hal tersebut menurut Verhulst (2010) dapat terjadi karena adanya senyawa kairomon (atraktan bagi nyamuk) dengan konsentrasi molekul bau yang lebih besar yang dihasilkan oleh bakteri pada kulit subjek uji yang menghalangi efek repellent dari ekstrak daun Iler. Penggunaan alkohol atau etanol sebagai pengencer dalam pembuatan konsentrasi uji ekstrak daun iler dalam format spray ternyata juga turut mempengaruhi efektifitas ekstrak tersebut sebagai repellent. Penelitian yang dilakukan oleh Pates (2002) dalam Qiu dan van Loon (2010) menunjukkan bahwa mencuci kulit dengan etanol merupakan salah satu atraktan nyamuk yang sangat kuat (Pates 2002). Selain itu, Shirai et al (2002) dalam Bernier et al (2006) melaporkan bahwa frekuensi hinggap Aedes albopictus meningkat setelah konsumsi minuman yang mengandung etanol. Alkohol juga diketahui dapat memperbesar ukuran pori-pori manusia (Rinzler, 2013), menyebabkan lebih mudahnya absorpsi suatu senyawa ke dalam kulit. Hal tersebut selanjutnya berimbas kepada kadar konsentrasi molekul bau dari ekstrak daun Iler yang dilepaskan. Pori-pori yang membesar juga mendorong terjadinya produksi keringat dalam jumlah yang besar dibanding dengan keadaan normal (Rinzler, 2013). Terjadinya kontak antara repellent dengan keringat akan mengurangi durasi proteksi, karena konsentrasi dari repellent yang diaplikasi akan berkurang (Carrol, 2007).
74
6.5 Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti Dalam Penerapan Integrated Mosquito Management Mengacu pada standar efektifitas repellent yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia, dimana suatu repellent dikategorikan efektif jika daya proteksi yang diberikan mencapai lebih dari 90% selama tujuh interval waktu uji (6 jam pemakaian); maka ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) belum termasuk ke dalam sediaan atau produk repellent yang berpotensi untuk digunakan atau dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan daya proteksi tertinggi dari ekstrak daun Iler berdasarkan uji efikasi hanya mencapai 50,53% pada konsentrasi 100% selama 6 jam. Pada beberapa penelitian uji efikasi ekstrak tanaman sebagai plant-based repellent terhadap nyamuk juga menunjukkan hal serupa, yaitu masih belum ditemukannya ekstrak tanaman yang telah memenuhi standar efektifitas yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia. Pada penelitian Shinta (2010) terhadap bunga Kenanga, daun Babadotan, daun Nilam, daun Rosemary, didapatkan daya proteksi ekstrak botani tersebut terhadap Aedes aegypti berturut-turut sebesar 97,4%; 97,2%; 97,6%; dan 96,2% selama 3 jam. Penelitian lain yang dilakukan oleh Korneliani (2011) terhadap kulit Jeruk keprok dan Jeruk nipis didapatkan daya proteksi yang diberikan terhadap Aedes aegypti mencapai 55,33 % dan 57,64% selama 6 jam. Begitu juga dalam tinjauan yang dilakukan oleh Maia dan Moore (2011), dimana ekstrak daun Mimba hanya memberikan proteksi sebesar 76% selama 2 jam. 75
Meskipun sulit untuk mendapatkan daya proteksi optimal dari ekstrak botani seperti yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia, namun terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk untuk meningkatkan daya proteksi atau memperlama durasi waktu kerja dari ekstrak tersebut sebagai repellent. Menurut Trongtokit et al (2005) dan Maji et al (2007) dalam Kalita (2013), salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi volatilitas atau penguapan senyawa metabolit sekunder dengan bioaktivitas repellent yang terkandung dalam suatu ekstrak tanaman dan kemampuan kulit manusia untuk mengabsorpsi senyawa tersebut adalah dengan mengembangkannya menjadi suatu formulasi atau menambahkan fixative additives seperti vanillin. Fixative merupakan perekat yang berfungsi mempertahankan struktur cairan kimia dan sebagai penetral karena terdapat pH yang berfungsi mengurangi efek iritasi pada kulit (Kalita, 2013).
Dengan penambahan perekat tersebut, maka
senyawa aktif dalam ekstrak daun Iler akan dapat bertahan pada kulit dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga derajat efektifitas dan nilai ekonomis dari ekstrak tanaman tersebut sebagai plant-based repellent akan semakin meningkat (Kalita, 2013). Belum didapatkannya plant-based repellent yang memenuhi standar Komisi Pestisida Indonesia tahun 2012 disebabkan karena pada dasarnya acuan atau standar efektifitas sediaan repellent tersebut ditujukan untuk repellent sintetis berbahan DEET, yang memang diketahui memberikan perlindungan paling baik dengan durasi
76
yang lebih lama (6-8 jam) terhadap beberapa spesies serangga karena memiliki struktur komponen kimia yang tidak mudah rusak (Korneliani, 2012). Oleh sebab itu, perlu adanya perumusan sebuah standar baru yang ditujukan untuk repellent dengan bahan aktif berupa metabolit sekunder tanaman. Tjajani (2008) dalam Korneliani (2011) menyatakan terdapat perbedaan standar yang ditetapkan di Indonesia dengan standar yang di tetapkan di Kanada terkait efektifitas penggunaan suatu repellent, dimana sediaan repellent dapat didaftarkan jika zat atau sediaan bahan tersebut memberikan daya proteksi mencapai lebih dari 95% selama minimal 30 menit. Meskipun telah diketahui memiliki efek kerja yang cenderung lebih singkat dibanding DEET, pengujian terhadap banyak jenis tanaman sebagai sumber botani penolak serangga hingga kini masih terus dilakukan (Korneliani, 2012), mengingat telah dilaporkannya efek toksik ringan hingga berat pada manusia seperti iritasi pada membran mucus setelah penggunaan senyawa DEET dalam repellent (Taylor, 2009). Ditambah dengan adanya penelitian yang menunjukkan adanya resistensi yang terjadi pada Aedes aegypti karena pemakaian repellent sintetik berbahan aktif DEET (Stanczyk, 2011) Pemanfaatan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak daun Iler atau botani lainnya sebagai plant-based repellent merupakan salah satu upaya alternatif yang dapat dilakukan dalam pengendalian nyamuk. Dengan begitu, tujuan berupa minimalisasi kontak antara manusia dengan nyamuk sebagai vektor penyakit pun dapat t.erlaksana. Upaya alternatif tersebut terus ditekankan pelaksanaannya sebagai 77
bagian integral dari Integrated Mosquito Management (IMM) (Gosh, 2012), dimana dalam pelaksanaan strategi pengendalian vektor tersebut sangat diperhatikan azas keamanan, efektifitas, dan rasionalitas (PerMenKes No. 374 tahun 2012). Terdapat beberapa pendekatan dalam pelaksanaan IMM, dan dari sekian banyak pendekatan tersebut penggunaan Mosquitocide memiliki tingkat keberhasilan pengendalian yang paling besar (Gosh, 2012). Salah satu Mosquitocide yang dianggap efektif sekaligus efisien untuk diterapkan adalah berupa aplikasi personal protection seperti repellent. Repellent telah diakui oleh WHO sebagai alat yang berguna dalam upaya pencegahan penyakit sebagai pelengkap dari metode pengendalian vektor dengan pendekatan Mosquitocide (Maia dan Moore, 2011). Peranan penting repellent kemungkinan akan terus meningkat sebagai salah satu upaya pengendalian spesies nyamuk, dan pemanfaatan senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang berlimpah ruah di alam dapat memainkan peranan luas dalam penerapan teknologi repellent yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (green and sustainable technology) (Khater, 2012; Kalita, 2013). Potensi tersebut tentunya didukung dengan adanya fakta bahwa di abad 21 ini, penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk (mosquito borne diseases) banyak diderita oleh populasi manusia di seluruh dunia (Kalita, 2013).
78
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka dapat disimpulkan: 1) Daya proteksi ekstrak daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) berbeda antara variasi konsentrasi ekstrak yang digunakan. 2) Nilai EC50 ekstrak daun Iler sebagai repellent terhadap Aedes aegypti selama tujuh interval waktu pengujian adalah 100% (v/v). 3) Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin tinggi daya proteksi ekstrak daun .Iler sebagai plant-based repellent yang didapat. 4) Semakin meningkat interval waktu pengujian, semakin menurun daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent yang didapat.
7.2 Saran 1. Bagi masyarakat Masyarakat sebagai konsumen agar dapat mempertimbangkan alternatif pemanfaatan bahan alam seperti daun Iler dan TRO sebagai repellent yang kemudian
dikembangkan
menjadi
kearifan
lokal
masyarakat
dalam
pengendalian vektor nyamuk; mengingat telah ditemukannya efek toksis pada manusia dan resistensi nyamuk akibat pemakaian repellent sintetis DEET dalam jangka waktu panjang. 79
2. Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian terkait: · Optimalisasi aktivitas repellent ekstrak daun Iler melalui pembuatan formulasi atau penambahan fixative additives seperti vanillin untuk mengurangi laju penguapan metabolit sekunder ekstrak daun Iler. · Pengaplikasian pelarut dan metode ekstraksi yang berbeda untuk mengetahui ada atau tidaknya variasi aktivitas repellent daun Iler. · Analisa pengaruh faktor lingkungan (suhu, kelembaban, kecepatan angin), faktor host (suhu tubuh, pori-pori kulit), faktor agent (variasi spesies), dan faktor waktu penyimpanan ekstrak.
3. Bagi Dinas Kesehatan Bekerja sama dengan Departemen Pertanian, dan lembaga penelitian seperti LIPI atau LITBANGKES untuk mengeksplorasi hasil penelitian ini lebih lanjut terkait aktivitas repellent daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth), dan menggunakannya sebagai rujukan untuk mengembangkan pemanfaatan daun iler sebagai plant-based repellent yang memiliki nilai pakai dan nilai guna bagi masyarakat luas.
80
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. American Mosquito Control Association. 2009. Best Management Practices for Integrated Mosquito Management. Asmaliyah. 2006. Prospek Pemanfaatan Bioinsektisida Sebagai Alternatif Dalam Pengendalian Hama Pada Hutan Tanaman. Austin, Rifcka. 2011. Uji Potensi Ekstrak Bunga Kenanga (Cananga odorate) Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Culex sp. Skripsi. FK UnBra, Malang. Batugal, PA, et al. 2004. Medicinal Plants Research in Asia. Vol. 1: The Framework and Project Workplans. International Plant Genetic Resources Institute. Benjawan, T., et al. 2005. Repellent Properties of Celery, Apium graveolens L., Compared With Commercial Repellents, Againts Mosquitoes Under Laboratory and Field Conditions. Tropical Medicine and International Health. Bernier, Ulrich R., et al. 2006. Human Emanations and Related Natural Compounds That Inhibit Mosquito Host-Finding Abilities. Insect Repellents: Principles, Methods, and Uses. VELU—14245—XML MODEL CRC1 – pp. 77–100. Carrol, Scott P.. 2007. Evaluation of Topical Insect Repellent and Factors That Affect Their Performance. Insect Repellents: Principles, Methodes, and Uses, 245260. Boca Raton, FL: CRC Press.
Darwiati, Wida. 2009. Uji Efikasi Ekstrak Tanaman Suren (Toona sinensis Merr) Sebagai Pestisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Daun (Eurema spp. Dan Spodoptera litura F.). Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Depkes RI,. 2007. Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Dit.Jen. PP & PL. Dickens, Joseph C., et al. 2013. Mini Review: Mode of Action of Mosquito Repellents. Pesticide Biochemistry and Physiology xxx (2013) xxx–xxx. Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Donovan, Michael J., et al. 2007. Uninfected Mosquito Bites Confer Protection against Infection with Malaria Parasites. Infect. Immun. 2007, 75(5):2523. Environmental Health Directorate. 2006. Planning a Mosquito Management Program. Department of Health. Western Australia. Fradin, Mark S., et al. 2002. Comparative Efficacy of Insect Repellents Againts Mosquito Bites. New England Journal of Medicine. Gascon, Mervin G. 2011. Traditional Ecological Knowleadge System Of The Matigsalug Tribe In Mitigating The Effects Of Dengue and Malaria Outbreak. Asian Journal Of Health Ethno Medical Section Vol. 1 No. 1 pp. 160-171. Gosh, Anupam, et al. 2011. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvacides. Indian J Med Res 135, May 2012, pp 581-598. Govindarajan, M.. 2009. Bioefficacy of Cassia fistula Linn. (Leguminosae) Leaf Extract Against Chikungunya Vector, Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). European Review for Medical and Pharmacological Sciences; 13: 99-103.
Irwan, Azidi, et al. 2007. Uji Aktivitas Ekstrak Saponin Fraksi n-Butanoldari Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana Willd) pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Sains dan Terapan Kimia, Vol. 1, no. 2 , 93 - 101. Kalita, Bhupen, et al. 2013. Plant Essential Oils As Mosquito Repellent-A Review. International Journal of Research and Development in Pharmacy and Life Sciences Vol. 3, No.1, pp 741-747. Kardian, Agus. 2006. Daya Tolak Ekstrak Tanaman Rosemery (Rosmarinus officianalis) Terhadap Lalat (Musca domestica). Buletin Littro no. 2, 170-176. Keputusan Menteri Pertanian. 2001. Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida. Nomor: 434.1/Kpts/TP.270/7/2001. Khater, Hanem Fathy. 2012. Ecosmart Biorational Insecticides: Alternative Insect Control Strategies in Insecticides - Advances in Integrated Pest Management. Egypt: InTech. Korneliani, Kiki. 2011. Perbedaan Dya Proteksi Berbagai Ekstrak Kulit Jeruk (Citrus sp.) Sebagai Repellent Terhadap Kontak Nyamuk. FKM UNSIL. Maia, Marta F. and Moore, Sarah J. 2011. Plant-based Insect Repellents: a Review of their Efficacy, Development and Testing. Malaria Journal (Suppl 1):S11. Mattingly, P. F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. The Science of Biology Series 1. London : George Allen & Unwin Ltd. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor. 2012. Direktorat Pupuk dan Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.
Moore, Sarah J., et al. 2006. Plant-Based Insect Repellents. In Insect Repellents: Principles Methods, and Use. Boca Raton Florida: CRC Press. Nadia, Husna. 2008. Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Miana (Coleus blumei) Terhadap Infeksi Hymenolepis microstoma Pada Mencit (Mus musculus albinus). Skripsi. FKH IPB. Nugroho, Yun Astuti. 2009. Pembuatan Formula dan Uji Aktivitas Obat Anti Malaria Berbasis Buah Sirih Menggunakan Teknologi Vacuuk Drying. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pengendalian Vektor. Nomor: 374/MENKES/PER/III/ 2010. Prasetyo, Arif Budi. 2011. Formulasi Anti Nyamuk Spray Menggunakan Bahan Aktif Minyak Nilam. Skripsi. FTP IPB. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Vol. 2, Agustus 2010. Qiu, Yu Tong and van Loon, Joop J. A.. 2010. Olfactory Physiology of Blood-feeding Vector Mosquitoes. Olfaction in Vector-Host Interactions, 39-61. Ebook, Vol 2. Rahmawati, Fri. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun Miana (Coleus scutellarioides [L] Benth.). Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Rajkumar, S., et al. 2010. Prevention of Dengue Fever Through Plant-based Mosquito Repellent Clausena dentata (Willd.) M. Roem (Family: Rutaceae) Essential Oil Against Aedes aegypti L. (Diptera: Culicidae) Mosquito. European Review for Medical and Pharmacological Sciences : 231-234
Rasikari, Heidi. 2007. Phytochemistry and Arthropod Bioactivity of Australian Lamiaceae. Thesis. Southern Cross University. Reiter, Paul. 2001. Climate Change and Mosquito-Borne Disease. Environmental Health Perspectives. Volume 109, Supplement 1, March 2001. Ridwan, Yusuf, et al. 2010. Efektivitas Anticestoda Ekstrak Daun Miana (Coleus blumei Bent) terhadap Cacing Hymenolepis microstoma pada Mencit. Media Peternakan Vol. 33 No. 1, hlm. 6-11. Ridwan, Yusuf. 2005. Kandungan Kimia Berbagai Ekstrak Daun Miana (Coleus blumei Benth) dan Efek Anthelmintiknya Terhadap Cacing Pita Pada Ayam. J.II. Pert.Indon. Volume 11 (2). 2006. Rinzler, Carol Ann. 2013. Nutrition for Dummies, 5th Edition. Ebook. Diakses pada tanggal
22
Februari
2014
dalam
http://m.dummies.com/topics/health-
fitness/diet-nutrition/understanding-diet-nutrition.html. Rose, Robert I. 2001. Pesticides and Public Health: Integrated Methods of Mosquito Management. U.S. EPA. Vol. 7, No. 1, January–February 2001. Rueda, Leopolda M. 2008. Global Diversity of Mosquito (Insecta: Diptera: Culicidae)
in
Freshwater.
Freshwater
Animal
Diversity
Assessment.
Hydrobiologia (2008) 595:477–487. Setiawati, Wiwin, et al. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya Untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Bandung: Prima Tani Balitsa (Balai Penelitian Tanaman Sayuran).
Shankar, Smriti, et al. 2008. Growth Studies of Coleus aromaticus by Changing the Composition of MS Media Extraction and Purification of Eugenol from the Coleus Leaves. Faculty of Engineering and Technology. SRM University. Shiga, Tomomi, et al,. 2008. Effect of Light Quality on Rosmarinic Acid Content and Antioxidant Activity of Sweet Basil, Ocimum basilicum L.. Plant Biotechnology 26, 255–259 (2009). Shinta. 2010. Potensi Minyak Atsiri Daun Nilam (Pogostemon cablin B.), Daun Babadotan (Ageratum conyzoides L), Bunga Kenanga (Cananga odorata hook F & Thoms), dan Daun Rosemarry (Rosmarinus officinalis L) Sebagai Repelan Terhadap Nyamuk Aedes aegypti L. Media Litbang Kesehatan Vol 22 no. 2. Stajkovic, Novica and Milutinovic, Radmila. 2013. Insect repellents – transmissive disease vectors prevention. Vojnosanit Pregl 2013; 70(9): 854–860. Stanczyk, Nina. 2011. An Investigation Of DEET-Insensitivity In Aedes aegypti. Thesis. University of Nottingham. Suwasono, Hadi, et al. 2006. Uji Efikasi Repelen “X” Terhadap Nyamuk Aedes aegypti, Culex quinquefasciatus dan Anopheles aconiatus Di Laboratorium. Jurnal Vektora Vol. 1 no.2. Tag, Hui, et al. 2006. Anti-inflammatory Plants Used by the Khamti tribe of Lohit District in Eastern Arunachal Pradesh, India. Natural Product Radiance, Vol. 6 (4) 2007, pp. 334-340. Taylor. 2009. The Effectiveness Of Botanical Extracts as Repellent Against Aedes aegypti Mosquitoes. American Museum Of Natural History.
USEPA. 2010. Insect Repellents to be Applied to Human Skin. Test Guidelines. Uzor, P. F., et al. 2011. Perspective on Transdermal Drug Delivery. Journal of Chemistry and Pharmaceutical Research, 2011, 3(3):680-700. Verhulst, Niels O. 2010. The Role of Skin Microbiota in the Attractiveness of Humans to the Malaria Mosquito An. gambiae Giles. Thesis. Wageningen University. WHO. 2009. Medicinal Plants in Papua New Guinea. WHO Library Cataloguing in Publication Data. ISBN 978 92 9061 249 0. Wellsow, Julia, et al. 2005. Insect-Antifeedant and Antibacterial Activity of Diterpenoids From Spesies Of Plectranthus. Phytochemistry 67 1818–1825. WHOPES. 2009. Guidelines for Efficacy Testing of Mosquito Repellents for Human Skin. WHO/HTM/NTD/WHOPES/2009.4 Zaridah, M. Z., et al. 2005. Mosquitocidal Activities Of Malaysian Plants. Journal of Tropical Forest Science 18(1): 74--80 (2006).
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
INFORMED CONSENT KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
A. Introduksi Saya, Ardillah Wasiah, mahasiswa S1 angkatan 2009, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; akan melaksanakan penelitian yang berjudul Uji Efikasi Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) Sebagai Plant-based Repellent terhadap Aedes aegypti. Penelitia ini bertujuan untuk mengetahui potensi dari ekstrak daun iler (Coleus scutellarioides Linn. Benth) sebagai Plant-Based Repellent terhadap Aedes aegypti melalui persentase daya proteksi berdasarkan variasi konsentrasi ekstrak dan interval waktu pengujian, dan nilai effective concentration 50 (EC50) pada hasil uji efikasi.
B. Kesukarelaan partisipasi dalam penelitian Keikutsertaan Anda dalam penelitian ini bersifat sukarela (volunteer) tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Bila Anda telah memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda juga bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa perlu memberikan penjelasan dan tanpa dikenai denda atau sangsi apapun.
Bila Anda bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, namun berkeberatan untuk menjadi subjek uji, maka alternatif lainnya yaitu Anda dapat bertindak sebagai observator atau pengamat saat proses penelitian berlangsung.
C. Prosedur Penelitian Apabila Anda bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda diminta untuk menandatangani lembar persetujuan yang terlampir dihalaman akhir. Selanjutnya Anda akan diminta untuk mengikuti prosedur pengujian efikasi daya tolak (repelansi) yang berpedoman pada Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Rumah Tangga dan Pengendalian Vektor yang dikeluarkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian tahun 2012 dan USEPA 2010. Prosedur pengujian sebagai berikut: 1) Pengujian dilakukan pada pagi hari sesuai dengan masa aktif nyamuk Aedes aegypti, yaitu dari pukul 08.00 hingga 16.00 WIB selama 4 hari berturut-turut. 2) Pengujian dilakukan setiap jamnya selama periode 6 jam hingga terjadinya efficacy failure (terjadinya probing oleh nyamuk sebanyak 2 kali), dan dilakukan replikasi sebanyak 4 kali untuk keempat konsentrasi (20%, 40%, 60%, dan 100% v/v) yang digunakan. Sehingga diharapkan untuk setiap volunteer untuk menyelesaikan 4 rangkaian konsentrasi (konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 100% v/v) dihari yang berbeda, beserta kontrol (0%). 3) Nyamuk yang digunakan adalah nyamuk yang steril dari patogen, sebagai upaya pencegahan terjadinya transmisi penyakit.
4) Menghitung area paparan. Bagian lengan yang dipaparkan sebatas persendian tangan hingga siku. 5) Cuci kedua lengan menggunakan aquades (lengan kanan sebagai kontrol). Setelah kering, daerah pergelangan tangan hingga ujung jari kedua lengan ditutup dengan sarung tangan lateks sebagai penanda bukan daerah uji. 6) Lengan kiri diaplikasikan ekstrak daun iler dengan dosis 0,5 mg/cm2 (0,375 ) untuk tiap-tiap konsentrasi pada permukaan lengan secara merata, dan dibiarkan selama 5 menit. 7) Uji efikasi dimulai dengan memasukkan lengan kanan (kontrol) kedalam kurungan uji berisi 10 ekor Aedes aegypti steril selama 5 menit. Secara bergantian, masukkan lengan kiri yang telah diberi ekstrak daun iler selama 5 menit. Jumlah nyamuk yang hinggap pada kedua lengan tersebut dihitung dari jam ke-0 sampai jam ke-6 hingga terjadinya efficacy failure (terjadinya probing oleh nyamuk sebanyak 2 kali) untuk mengetahui efikasi penolakan (repellent) ekstrak daun Iler terhadap nyamuk disetiap interval waktu pengujian (Jam ke-0 hingga ke-6).
D. Kewajiban subjek penelitian Sebagai subjek penelitian, Saudara/Saudari berkewajiban mengikuti aturan atau petunjuk penelitian seperti yang tertulis di atas. Saudara/Saudari bisa bertanya lebih lanjut kepada peneliti jika masih ada ketidakjelasan. Tidak diperkenankan memakai
produk repellent, parfum, dan merokok selama 12 jam sebelum dan saat pengujian. Saat pengujian berlangsung, Saudara/Saudari sebaiknya menghindari pergerakan yang berlebihan agar tidak mempengaruhi kecepatan penguapan dari senyawa volatile yang terkandung dalam sediaan repellent yang digunakan.
E. Risiko, Efek samping, dan Penanganannya Daun iler telah banyak digunakan masyarakat sebagai ramuan dalam mengobati gigitan serangga karena sifanya sebagai anti-inflamasi. Ekstrak etanol daun iler juga diketahui memiliki toksisitas rendah berdasarkan hasil analisa probit berupa LD50 sebesar 9757.14 mg/kg berat badan. Uji pendahuluan telah dilakukan sebelumnya, dan tidak ditemui efek samping berupa alergi atau gangguan kulit lainnya akibat aplikasi dari ekstrak tersebut. Meskipun berdasarkan fakta diatas yang mengindikasikan bahwa penggunaan ekstrak daun iler tidak memberikan efek samping yang berarti, namun terkadang pada beberapa orang dapat terjadi alergi bahan kimia alami yang tidak diduga-duga. Oleh sebab itu, sebagai langkah awal dilakukan seleksi subjek uji, dengan syarat tidak memiliki riwayat alergi; karena selain risiko dari ekstrak etanol daun iler, gigitan nyamuk yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada kulit juga dapat terjadi saat proses pengujian berlangsung, Oleh sebab itu, selama penelitian peneliti menyiapkan perlindungan yang diperlukan seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Perlindungan tersebut yaitu dengan penyediaan sediaan anti-alergi dan sediaan pereda rasa gatal yang
mungkin timbul akibat gigitan nyamuk; dan seandainya terjadi efek samping berupa gatal-gatal, ruam, dan gejala iritasi kulit lainnya yang perlu dilakukan tindakan medis, maka biaya medis tersebut sepenuhnya akan ditanggung oleh peneliti.
F. Kerahasiaan Semua informasi yang berkaitan dengan identitas subjek penelitian akan dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti dan subjek penelitian. Hasil penelitian akan dipublikasikan tanpa identitas subjek penelitian.
G. Insentif Sebagai apresiasi kepada Anda yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, akomodasi makan siang akan disediakan atau ditanggung oleh peneliti ketika penelitian telah selesai dilaksanakan.
H. Informasi tambahan Bila Anda belum sepenuhnya paham dan ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut dan mengajukan pertanyaan terkait penelitian ini, atau sewaktu-waktu terjadi efek samping setelah ikut serta dalam penelitian ini, Anda dapat menghubungi peneliti
melalui
telepon/sms
ke
no.
085780433482,
atau
[email protected] /
[email protected]. Terima kasih atas kesedian Anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
email
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN DALAM PENELITIAN
Nama lengkap
:
NIM
:
No. Telp.
:
Menyatakan bahwa saya telah membaca informasi terkait penelitian yang dilakukan oleh Ardillah Wasiah (109101000047). Saya memiliki kesempatan untuk bertanya lebih lanjut terkait penelitian tersebut, dan jawaban yang diberikan telah memenuhi ekspektasi saya. Saya mengerti bahwa saya memiliki hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa dikenai denda atau sangsi apapun yang dapat mempengaruhi kesehatan maupun keselamatan saya. Saya menyatakan tidak memiliki riwayat alergi, dan karenanya bersedia untuk menjadi subjek uji atau volunteer dalam penelitian yang dilakukan di Laboratorium Pangan, Kimia dan Ekologi; Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan kesadaran saya tanpa adanya pengaruh atau paksaan dan pihak manapun. Jakarta,
2014
………………………………
LAMPIRAN 3 Output Analisa Data
1) Uji normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Daya
Daya
Daya
Daya
Daya
Daya
Daya
proteksi
proteksi
proteksi
proteksi
proteksi
proteksi
proteksi
daun iler
daun iler
daun iler
daun iler
daun iler
daun iler
daun iler
jam ke-0
jam ke-1
jam ke-2
jam ke-3
jam ke-4
jam ke-5
jam ke-6
N Normal
Mean a
Parameters Std. Deviation
16
16
16
16
16
16
16
57.8137
51.5625
45.6594
37.8469
26.4756
24.9125
17.1138
9.87177 10.19922
10.55865
13.66533 11.64033 12.22534 11.17518
Most
Absolute
.128
.116
.166
.187
.141
.201
.230
Extreme
Positive
.128
.116
.156
.187
.141
.201
.230
Negative
-.122
-.076
-.166
-.174
-.131
-.170
-.160
Kolmogorov-Smirnov Z
.512
.464
.664
.749
.566
.803
.922
Asymp. Sig. (2-tailed)
.956
.983
.770
.628
.906
.540
.363
Differences
a.
Test distribution is normal
2) Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Daya proteksi daun iler jam ke-0
.271
3
12
.845
Daya proteksi daun iler jam ke-1
.902
3
12
.469
Daya proteksi daun iler jam ke-2
.655
3
12
.595
Daya proteksi daun iler jam ke-3
2.028
3
12
.164
Daya proteksi daun iler jam ke-4
2.094
3
12
.154
Daya proteksi daun iler jam ke-5
4.099
3
12
.032
Daya proteksi daun iler jam ke-6
9.221
3
12
.002
3) Uji anova ANOVA Sum of Squares Daya proteksi daun iler jam ke-0 Between Groups Within Groups Total Daya proteksi daun iler jam ke-1 Between Groups Within Groups Total Daya proteksi daun iler jam ke-2 Between Groups Within Groups Total Daya proteksi daun iler jam ke-3 Between Groups Within Groups Total Daya proteksi daun iler jam ke-4 Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
1819.973
3
606.658
981.146
12
81.762
2801.119
15
1310.916
3
436.972
721.545
12
60.129
2032.461
15
1538.515
3
512.838
703.368
12
58.614
2241.883
15
1256.936
3
418.979
616.333
12
51.361
1873.269
15
870.032
3
290.011
591.746
12
49.312
1461.778
15
4) Uji Kruskal Wallis Test Statisticsa,b Daya proteksi daun iler jam ke-5 Chi-Square Df Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: konsentrasi
Daya proteksi daun iler jam ke-6
10.068
12.247
3
3
.018
.007
F
Sig.
7.420
.005
7.267
.005
8.749
.002
8.158
.003
5.881
.010
5) Uji Probit
konsentrasi
Log10 konsentrasi
Total
Penolakan
% daya
% koreksi daya proteksi
proteksi
dng formula abbot
Probit*
0
-
10
1.71
17.1
-
-
20
1.301
10
3.93
39.3
26.78
4.39
40
1.602
10
4.46
44.6
33.17
4.56
60
1.778
10
5.03
50.3
40.05
4.75
100
2
10
5.93
59.3
50.91
5.03
*ket: nilai probit didapat dari tabel probit
Tabel Probit % 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
1 2.67 3.77 4.19 4.50 4.77 5.03 5.28 5.55 5.88 6.34
3.72 4.16 4.48 4.75 5.00 5.25 5.52 5.84 6.28
2 2.95 3.82 4.23 4.53 4.80 5.05 5.31 5.58 5.92 6.41
3 3.12 3.87 4.26 4.56 4.82 5.08 5.33 5.61 5.95 6.48
4 3.25 3.92 4.29 4.59 4.85 5.10 5.36 5.64 5.99 6.56
5 3.35 3.96 4.33 4.62 4.87 5.13 5.38 5.67 6.04 6.65
6 3.44 4.01 4.36 4.64 4.90 5.15 5.41 5.71 6.08 6.75
7 3.52 4.05 4.39 4.67 4.92 5.18 5.44 5.74 6.13 6.88
§ Regresi probit Model Summaryb Std. Error of the Model 1
R
R Square .980a
.961
a. Predictors: (Constant), log10konsentrasi b. Dependent Variable: probit
Adjusted R Square .942
Estimate .066043
8 3.59 4.08 4.42 4.70 4.95 5.20 5.47 5.77 6.18 7.05
9 3.66 4.12 4.45 4.72 4.98 5.23 5.50 5.81 6.23 7.33
ANOVAb Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Regression
.217
1
.217
Residual
.009
2
.004
Total
.226
3
Sig. .020a
49.787
a. Predictors: (Constant), log10konsentrasi b. Dependent Variable: probit Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
Coefficients
Std. Error
Beta
(Constant)
3.160
.218
log10kons
.912
.129
t
.980
Sig.
14.477
.005
7.056
.020
a. Dependent Variable: probit
6) Uji korelasi dan regresi daya proteksi ekstrak daun Iler terhadap konsentrasi dan interval waktu pengujian Correlations Konsentrasi Konsentrasi
Daya proteksi daun iler
.000
.000
1.000
112
112
112
**
1
-.780**
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Daya proteksi daun iler
Interval jam ke-
Pearson Correlation
Interval jam ke**
.501
.501
Sig. (2-tailed)
.000
N
112
112
112
.000
**
1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.000
-.780
1.000
.000
112
112
112
Correlations Konsentrasi Konsentrasi
Daya proteksi daun iler .501**
.000
.000
1.000
112
112
112
**
1
-.780**
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Daya proteksi daun iler
Interval jam ke-
Pearson Correlation
Interval jam ke-
.501
Sig. (2-tailed)
.000
N
112
112
112
.000
**
1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.000
-.780
1.000
.000
112
112
112
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Model Summaryb Std. Error of the Model
R Square
R
1
.927a
Adjusted R Square
.859
Estimate
.856
6.79496
a. Predictors: (Constant), kons, intervaljamke b.
Dependent Variable: dayaproteksi
ANOVAb Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
Df
Mean Square
30570.486
2
15285.243
5032.687
109
46.171
35603.173
111
a. Predictors: (Constant), intervaljamke, Kons b. Dependent Variable: dayaproteksidauniler
F 331.054
Sig. .000a
Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Konsentrasi Interval jam ke-
Std. Error
41.582
1.663
.302
.022
-6.949
.321
a. Dependent Variable: daya proteksi daun iler
Coefficients Beta
t
Sig.
25.007
.000
.501
13.911
.000
-.780
-21.647
.000
LAMPIRAN 4
§ Tahap persiapan penelitian
Rearing Aedes aegypti (tahap larva instar III – dewasa) Kandang uji dan pemeliharaan U
Pengumpulan dan pensortiran simplisia daun Iler Destilasi pelarut etanol
Pemekatan ekstrak etanol daun Iler Pemisahan filtrat dengan ampas
Ekstrak kasar daun Iler
Pengenceran ekstrak daun Iler menjadi 4 konsentrasi uji (20%, 40%, 60%, dan 100%)
§ Tahap pelaksanaan pengujian
Aspirator
Sprayer tangan berisi konsentrasi ekstrak uji, termohigrometer, counter
Pengujian ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent pada lengan subjek uji (volunteer)