Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
TRANSPARANSI DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK Oleh ; Mita Widyastuti, Dra, M.Si
Abstract This article attempts to highlight public service organization that is still considered very poor or unsatisfactory. Poor service quality is rooted in the cultural bureaucrats (ambtennar) which in the colonial period tend to be served than serve. In addition, the absence of service standards, do not have the vision and mission. Those issues need to be addressed in various ways. One of them by making the service transparent, accountable and reliable. Keyword: Public Service, Transparent, Accountabel And Reliable I. PEDAHULUAN Runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah merubah konstalasi kekuasaan dari yang sebelumnya otoriter
(birocratic otoritarian) menjadi demokratis. Presiden dan birokrasi sebagai puncaknya
mempunyai kekuasaan yang dominan, sedangkan lembaga tinggi yang lain (DPR, MA, DPA dsb pada waktu itu) berada dalam posisi yang subordinat, terhegomoni oleh kekuasaan presiden. Dalam iklim yang demokratis maka kekuasaan terbagi kepada beberapa lembaga secara lebih merata, sehingga tercipta
cek and balance
mengukuhkan/meneguhkan
diantara
lembaga-lembaga
tersebut.
Disamping itu
reformasi
keberadaan tiga pilar Negara: pemerintah, swasta (pengusaha) dan
masyarakat. Tiga pilar tersebut secara kolaboratif menjadi penentu kelangsungan Negara, pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat perlu bekerjasama dengan swasta sambil menuntut partisipasi maupun pengawasan dari masyarakat. Dengan demikian, dominasi pemerintah dapat dihindarkan karena adanya penyeimbang dari dua pilar yang lain. Dalam situasi berimbang (cek and balance) tersebut pemerintah tidak dapat semena-mena atau sepihak dalam menyusun serta menerapkan setiap kebijakan pada masyarakat. DPR maupun pemerintah harus menyelami masyarakat agar dapat menangkap aspirasi mereka, sebaliknya masyarakat juga harus berpartisipasi dan proaktif pada setiap proses kebijakan. Tanpa kesadaran kedua belah pihak sebuah kebijakan dapat menemui jalan terjal pada proses formulasinya, utamanya pada saat kebijakan tersebut kurang dikehendaki masyarakat, dan tentunya akan menghadapi ganjalan dalam implementasinya. Upaya memperbaiki hubungan maupun pemahaman antara pemerintah dan masyarakat dilakukan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta diamandemen dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar jarak antara pemerintah dengan masyarakat dapat dijembatani, pemerintah akan lebih memahami keinginan masyarakat dan sebaliknya. Dengan memberikan otonomi yang luas pada kabupaten/kota diharapkan pelayanan pada masyarakat dapat diberikan dengan lebih baik. Disamping itu, daerah juga dapat lebih
149
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki sehingga pembangunan masyarakat dapat lebih dipacu. Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga Negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan public yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam berbagai sector pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat sampai saat ini kinerjanya belum seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media pengaduan lainnya serta terlihat dari apatisme atau keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Pengaduan masyarakat meliputi prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informative, kurang akumodatif/responsive, kurang konsisten, terbatasnya sarana dan prasarana pelayanan sehingga tidak menjamin kepastian pelayanan.
Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2002 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian tadi. Memang melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. 150
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai masa Orde Baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya Jawa, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (public servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat. Buruknya kinerja pelayanan public ini antara lain dikarenakan belum dilaksanakannya transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Oleh karena itu, pelayanan public harus dilaksanakan secara transparan oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan public memiliki implikasi yang luas dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perlunya pelayanan publik yang transparan merupakan salah satu upaya agar masyarakat dapat mengontrol atau mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan public dan apa yang harus diterima oleh masyarakat sebagai penerima layanan. Bahkan dalam paradigma Ilmu Administrasi yang menjadi arus utama saat ini yaitu New Public Management atau New Public Service, masyarakat menempati posisi yang sangat penting bukan saja sebagai penerima pelayanan tetapi sebagai pemilik mandat bagi operator layanan (pemerintah atau birokrasi). Selain itu, untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, transparan dan akuntabel antara lain telah ditetapkan Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Namun demikian, transparansi yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara utuh oleh setiap instansi dan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya belum juga dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Dalam Instruksi Presiden RI Nomor 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerjasama dengan International Monetary Fund (IMF), menginstruksikan antara lain kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan transparansi pelayanan masyarakat, terutama yang 151
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
mengangkut kepastian prosedur, waktu dan pembiayaan pelayanan public. Hal ini sangat perlu dilakukan dalam kerangka menumbuhkan iklim usaha. Dalam era globalisasi sekarang ini kawasan Asia Tenggara menempati posisi yang strategis untuk dapat menjadi tujuan investor asing. Transparansi harus dilaksanakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan public, meliputi kebijakan perencanaan, pelaksanakan, pengawasan/pengendalian dan laporan hasil kinerjanya. Transparansi hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan pelayanan public karena sangat terkait dengan kepastian berusaha bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri serta kepastian pelayanan bagi masyarakat umum yang memerlukan dan yang berhak atas pelayanan. Data dibawah ini perlu menjadi perenungan dan perlu ada upaya mencari strategi jalan keluar sehingga kita dapat meningkatkan kualitas pelayanan, mengejar ketertinggalan dari Negara lain. Pertanyaannya mengapa perlu ada transparansi dalam pelayanan public dan perangkat apa saja yang perlu disiapkan untuk meningkatkan transpansi pelayanan public. Tabel 1. Perbandingan Kinerja Birokrasi Negara Anggota ASEAN Peringkat Kemudahan Berusaha Negara Tahun 2007 Tahun 2008 Singapura 1 1 Thailand 15 13 Malaysia 24 20 Brunei 78 88 Vietnam 91 92 Indonesia 123 129 Philipina 133 140 Kamboja 145 135 Sumber:IFC, Doing Business Report, 2008 II. PENTINGNYA TRANSPARANSI PELAYANAN Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan public? Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholder yang membutuhkan (2005:242). Dengan demikian, jika segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses dan dipahami oleh public, maka praktek penyelenggaraan itu dapat dinilai memiliki tranparansi yang tinggi. Merujuk pada konsep diatas, setidak-tidaknya ada tiga indicator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi pelayanan. Pertama, adalah mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan public. Penilaian terhadap tingkat keterbukaan disini meliputi seluruh proses pelayanan public, termasuk didalamnya adalah persyaratan, biaya dan waktu yang dibutuhkan serta cara pelayanan. Persyaratan yang harus dipenuhi harus terbuka dan mudah diakses oleh para 152
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
pengguna. Penyelenggara pelayanan harus berusaha menjelaskan kepada para pengguna persyaratan yang harus dipenuhi beserta alasan dipelukannya persyaratan itu dalam proses pelayanan. Indikator kedua dari transparansi menunjuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholder yang lain. Maksud dari ‘dipahami’ disini tidak hanya pada yang tersurat tetapi juga yang tersirat dibalik semua prosedur dan peraturan itu. Penjelasan mengenai persyaratan, prosedur dan biaya serta waktu yang diperlukan merupakan hal yang sangat penting bagi pengguna. Jika rasionalitas prosedur dan aturan itu dapat diketahui dan diterima oleh para pengguna maka kepatuhan terhadap prosedur dan aturan akan mudah diwujudkan. Ketiga, adalah kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan public. Semakin mudah pengguna memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan public maka semakin tinggi transparansi. Pada saat pengguna dengan mudah memperoleh informasi mengenai biaya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelayanan maka pelayanan public itu dapat dinilai memiliki transparansi yang tinggi. Begitu pula dengan informasi mengenai prosedur, persyaratan dan cara memperoleh informasi (2005: 243-247). III. STRATEGI MENUJU TRANSPARANSI PELAYANAN Berdasarkan Keputusan Menpan Nomor: KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparan dan Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public, dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan public yang transparan harus mempunyai acuan dan aturan yang jelas tentang pelayanan bagi seluruh penyelenggara pelayanan public untuk meningkatkan kualitas transparan dan akuntabilitas pelayanan yang meliputi pelaksanaan prosedur, persyaratan teknis dan administrative, biaya, waktu, akta/janji, motto pelayanan, lokasi, standar pelayanan, informasi serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan public. Acuan dan aturan tentang pelayanan public juga untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyelenggara pelayanan public dalam melaksanakan pelayanan public agar berkualitas sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Namun implementasi dari Keputusan Menpan tersebut belum optimal dijalankan. Reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Saat ini 4 perubahan perundang-undangan, yaitu Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-undang Desentralisasi, Undang-undang Independensi Hukum, serta Undang-undang Anti Korupsi dan Komisi Anti Korupsi, semuanya memberikan kemajuan dalam agenda reformasi. Walaupun perundangan pelayanan publik tahun 1999 (UU Nomor 43 Tahun 1999) dan kebijakan desentralisasi lebih dari dua pertiga pegawai negeri tingkat pusat ke tingkat daerah telah dijalankan, struktur dan nilai yang dianut sebagian besar masih tidak berubah. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya
153
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Negara harus dapat memberikan garansi pelayanan bermutu tinggi jika pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat ingin tetap dipertahankan dalam lingkungan mendunia yang penuh persaingan ini. Indonesia jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikatorindikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Ketidakpastian hukum, khususnya sidang pengadilan yang berlarut-larut dan penuh praktek korupsi, membuat para investor berpaling. Pegawai negeri hanya memiliki sedikit insentif untuk memperbaiki pelayanan. Hal ini, digabung dengan administrasi yang berbelit-belit dan ketinggalan jaman, berakibat pada ketidakpuasan masyarakat. Kondisi kepegawaian dan kebijakan gaji secara tertulis terlihat transparan.Namun kenyataannya, terdapat banyak celah dalam sistem penerimaan pegawai , dimana dengan menyogok seseorang dapat memperoleh promosi atau bisa diterima sebagai pegawai. Sistem penggajian tidak memiliki kriteria kinerja yang melekat di dalam sistem tersebut. Juga tidak terdapat hukuman atas korupsi dan mutu kinerja yang rendah. Sehingga, menjadi pegawai negeri walaupun gajinya kecil tetap merupakan pilihan yang menarik, dan tidak terjadi kekurangan peminat untuk posisi-posisi pegawai negeri, serta tidak banyak terjadi tingkat perpindahan kerja yang tinggi kecuali karena pensiun. Pegawai negeri sering mencari-cari alasan atas kinerja yang buruk, absensi, dan praktekpraktek korupsi dengan menyatakan bahwa mereka tidak dibayar dengan cukup. Ini merupakan perdebatan panas, namun pegawai negeri sesungguhnya telah menerima kenaikan gaji yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir dan tidak kurang dibanding sektor swasta. Tetap saja, ada pandangan umum bahwa korupsi akan berkurang jika gaji meningkat. Penelitian internasional menunjukkan bahwa jika memang tingkat korupsi pegawai negeri tinggi, dan sanksi untuk yang tertangkap rendah, peningkatan gaji yang besar memang dibutuhkan untuk mengeliminasi korupsi. Tetapi peningkatan gaji yang kecil jumlahnya, dan tidak dibarengi usaha reformasi lainnya, tidak akan meningkatkan kinerja. Selain persoalan gaji, jumlah PNS juga merupakan isu yang perlu dibahas dalam kaitannya dengan kualitas pelayanan publik. Pertanyaan utama adalah bukan pada apakah jumlah pegawai negeri cukup dibandingkan dengan negara lain atau apakah jumlah yang sekarang ini sudah cukup. Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa ada urgensi untuk perlu dilakukan pengkajian ulang yang mendalam dan komplit di dalam sistem. Sensus ini melibatkan 3,6 juta pegawai negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4 juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak bekerja untuk negara. Hasil penelitian ini juga ditunjang oleh hasil 154
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
survey lembaga-lembaga kesehatan dan pendidikan yang menunjukkan tingginya tingkat absensi dan kerja sampingan (Survey WDR 2004). Terlebih lagi, adanya sejumlah staf yang tetap dipertahankan di tingkat pusat dan propinsi walaupun sudah ada desentralisasi berbagai fungsi. Sensus ini juga menunjukkan betapa mencemaskannya tingkat pendidikan PNS yang rata-rata rendah. Sensus pegawai negeri ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan publik. Dibawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pemerintah daerah dapat menjalankan pelayanan publik mereka sendiri, namun tidak jelas sampai dimana suatu konsep nasional pelayanan publik yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dapat dijelaskan. Ada dua badan yang menggawangi pelayanan publik. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) bertanggung jawab terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan mengeluarkan ‘aturan main’ dalam penerimaan, pemecatan dan promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya menentukan jumlah ini. Departemen Dalam Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam pengelolaan pelayanan publik mereka. Nyatanya, institusi pengelola pusat (Menpan dan BKN) mendapat kesulitan untuk dapat didengar di luar Jakarta. Menpan selama beberapa tahun ini telah merancang sebuah proposal untuk reformasi gaji, reformasi sistem klasifikasi kerja dan deskripsi pekerjaan untuk posisi-posisi penting dan BKN juga telah mengambil inisiatif reformasi. Sayangnya inisiatif ini tidak dapat melewati batasbatas institusi tersebut. Semua pemain memiliki ‘role’, namun tidak banyak koordinasi dan tidak ada usaha kepemimpinan proaktif untuk inisiatif reformasi yang lebih dalam lagi. Untungnya Pemerintah memiliki alat untuk menjalankan proses reformasi. Dasar hukum bagi pelaksanaan reformasi tersebut tertuang dalam UU 43/1999 dalam fungsi Komisi Layanan Publik Nasional yang belum terbentuk. Berita-berita di media tentang maraknya pegawai negeri yang menerima suap menyebabkan masyarakat meminta reformasi pelayanan publik yang jauh lebih dalam lagi. Namun sejauh ini hanya sedikit indikasi bahwa reformasi yang diinginkan ini menjadi prioritas. Beberapa lembaga pemerintah pusat dan daerah telah menyiapkan desain ulang kebijakan dan praktek kepegawaian mereka. Mereka menghadapi keadaan sulit karena regulasi pemerintah pusat menghalangi inisiatif yang ada untuk mengadakan reorganisasi kepegawaian. Namun, jika berhasil, hasilnya memang pantas untuk dinikmati Selain landasan peraturan, secara teori pemerintah perlu memperhatikan terjadi pegeseran paradigma administrasi negara, dari Traditional public administration menuju New public 155
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
administration., Pada Traditional Public Adminstrations orientasi administrasi negara, lebih ditekankan kepada Control, Order, Prediction,, yang sangat terikat kepada political authority, tightening control, to be given and following the instruction. Pada New Public Manajement, administrasi Negara diarahkan kepada alignment creativity and empowering. Pergeseran juga terjadi pada operasionalisasi administrasi negara oleh pemerintah, untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi menjalankan pemerintahan sehari-hari. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara oleh pemerintah saat ini telah mengalami satu proses pergeseran, yaitu dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara terjadi pergeseran titik tekan dari Administration
of
public
di
mana
negara
sebagai
agen
tunggal
implementasi
fungsi
negara/pemerintahan; Administration for Public yang menekankan fungsi Negara/Pemerintahan yang bertugas dalam Public Service, ke administration by Public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertititik tekan pada putting the customers in the driver seat. Di mana determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving force. Pendapat tersebut menegaskan adanya fenomena perubahan besar, dari peran tunggal negara sebagai penyelenggara pemerintahan, bergeser menjadi fasilitator saja. Untuk meninggalkan paradigma administrasi klasik dan Reinventing Government atau New Public Management, dan beralih ke paradigma New Public Service, administrasi publik harus (a) Melayani warga masyarakat bukan pelanggan (serve citizen, not customers); (b) Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest), (c) Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entpreneurship), (d) Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategic, act democratically), (d) Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize that accountability is not simple), (e) Melayani dari pada mengendalikan (serve rather than steer), (f) Menghargai orang bukannya produktivitas semata (value people, not just productivity) Paradigma baru pelayanan publik (New Public Services Paradigm) lebih diarahkan pada ”democracy, pride and citizen”. Lebih lanjut dikatakan bahwa ”Public servants do not deliver customer service, they deliver democracy”. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar dalam penyelenggaraan administrasi publik. IV. KESIMPULAN Pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara 1945 merupakan landasan dasar filosofis bagi pengaturan pelayanan publik. Dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan bahwa kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara utama pelayanan publik untuk melayani kebutuhan publik yang lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan demokratis, Amanat ini tercermin dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (6),
156
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 i ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal-pasal tersebut merupakan amanat negara bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus dikelola, diatur dan diselenggarakan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Merujuk pada UUD 1945 tersebut diatas, perlu dibuat kebijakan turunannya dengan penekanan pada pelayanan yang transparan. Hal ini tidak selalu harus membuat peraturan yang baru tetapi kita bisa melakukan perbaikan pada peraturan yang sudah ada atau mengoptimalkan pelaksanaan yang sudah ada. Kebijakan atau peraturan tidak dapat diimplementasikan dengan baik dikarenakan adanya tiga kemungkinan, pelaksananya yang tidak kapabel atau tidak mempunyai kemempuan untuk melaksanakan, kebijakan kurang
logis sehingga tidak mudah diterima oleh
pelaksana maupun oleh kelompok sasaran dan kemungkinan yang lain karena kelompok sasaran kurang mengerti tujuan dari kebijakan tersebut. Satu loncatan yang telah dilakukan pemerintah, yaitu dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut setidaknya akan memaksa setiap lembaga pemerintah untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh public atau masyarakat tanpa harus diminta atau dipaksa. Diharapkan tidak terjadi lagi monopoli informasi oleh satu lembaga, kelompok atau golongan. Langkah maju tersebut sesungguhnya telah dilakukan oleh pemerintahan daerah dengan mengeluarkan Perda Transparansi (dan Partisipasi) seperti yang dilakukan oleh Pemda Gorontalo, Pemda Solok, Pemda Kebumen Pemda Goa dan pemda-pemda yang lain. Kendala yang mungkin timbul dalam pelaksanaan Undang-undang diatas adalah kepercayaan diri masyarakat sebagai pengguna informasi. Tingkat pendidikan serta pengalaman dalam berhubungan dengan birokrasi yang rendah cenderung membuat mereka enggan meminta informasi karena khawatir akan dipermasalahkan dan mempermalukan diri sendiri ketika apa yang mereka sampaikan ternyata tidak tepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan kampanye mengenai hak-hak masyarakat terhadap akses informasi khususnya serta pelayanan public pada umumnya. Pemerintah perlu mendorong semua instansi public untuk mendokumentasikan semua kegiatan dan mengelolanya dalam sebuah publikasi yang mudah dipahami dan diakses masyarakat. Langkah lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan. Selama ini timbul kesan bahwa penyelenggaraan pelayanan merupakan monopoli pemerintah, masyarakat dilibatkan hanya pada saat pemrintah membutuhkan informasi dari masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong keterlibatan warga dalam penyelenggaraan pelayanan adalah dengan mengenalkan kontrak pelayanan. Penyelenggara layanan dapat membuat serta melembagakan Pakta Integritas yang ditandatangani para pejabat public. Kesemua langkah yang dapat diupayakan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan tanpa political will dari pemegang kekuasaan. Sebaik apapun alternative pemecahan masalah maupun 157
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
kebijakan diambil, tidak ada artinya tanpa kemauan baik untuk melaksanakannya. Hal itu juga harus diimbangi dengan kehendak masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendorong penyelenggaraan pelayanan yang baik. DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus (ed), 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa Pada Masa Transisi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Syakrani dan Syahriani, 2009, Implentasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance, Yogjakarta, Pustaka Pelajar. Jurnal PSPK, Edisi 1, Februari 2002.
158