TKNJAUAN PUSTAKA
Morfologi dan Fisiologi Cacing Tanah E. foetida Ciri-ciri morfologis cacing tanah E. foetida adalah panjang tubuhnya berkisar antara 32-130 mm dengan diameter 2-4 mm, jumlah segmen antara 80-1 10, bentuk tubuh silindris dan jumlah seta per segmen delapan. Cacing ini umumnya berwarna merah,
ungu atau coklat dengan bagian dorsal berpigmen merah coklat atau tidak berpigmen dan wama antar segnen kuning (Lee, 1959). Cacing tanah tidak mempunyai mata, tetapi di seluruh permukaan tubuhnya terseba~sel-sel fotosensitif, sehingga sangat peka terhadap cahaya tenrtama sinar ultraviolet matahari (Lee, 1985). Indera pendengaran cacing tanah sangat lemah sehingga tidak responsif terhadap suara tetapi sangat responsif terhadap getaran. Cacing tanah bernafas melalui kulitnya yang basah. Kulit luar yang membungkusnya disebut kutikula yang selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar mukus (lendir). Segrnentasi pada cacing tanah tidak hanya tejadi di luar, tetapi juga di dalam tubuhnya. Setiag segrnen (mas tubuh) dibatasi oleh dinding tipis yang disebut septum (sekat). Beberapa segrnen di bagian anterior membentuk suatu organ yang disebut klitelurn. Klitelum merupakan penebalan dari jaringan epitel permukaan yang banyak
mengandung sel-sel kelenjar (Gaddie dan Douglas,
1977). Sel-sel kelenjar ini
menghasilkan ekskreta menyerupai lendir yang berguna untuk pembentukan kokon atau sebagai pelindung pada saat embrio berkembang. Warna klitelum u m u m n y a lebih gelap atau lebih terang dibandingkan dengan wama bagian tubuh lainnya (Edwards dan Lofty, 1977). Selain berperan penting untuk mengadakan perkawinan atau kopuiasi dan rnenghasiIkan kokon, klitelum juga berguna untuk klasifikasi spesies cacing tanah, karena
posisi dan jumlah segmen yang ditempati oleh klitelum tetap untuk setiap spesies atau dengan sedikit variasi (Anas, 1990). Klitelum terletak pada segmen ke 24, 25 atau 26 sampai 32, dengan luherculu ppuhertatis terletak pada segmen ke 28 sampai 30 atau 31 (Edwards dan Lofty, 1977). Cacing tanah bersifat hermuprodit, sebagian besar spesies reprduksinya melalui kopulasi (Edwards dan Lofty, 1977). Organ kelamin jantan terdiri atas dua pasang testis (segmen ke 10-1 I), kantong testis (segmen ke lo), vesikula seminalis (segmen ke 9-13), corong sperrna dua pasang
(segmen ke 10-11) dan kelenjar prostat. Organ kelamin
betina, meliputi sepasang ovarium (segmen ke 13), terletak pa& bagian anterior, corong masuknya sel-sel telur (segmen ke 13), oviduk dan kantong telur (segmen ke 14), spermatika dan dua pasang penampung sel-sel kelamin jantan (segmen ke 9-10). Pada waktu mengadakan kopulasi, tubuh cacing tanah saling melekatkan diri melalui bagian pennukaan ventral, dengan arah yang saling berlawanan. Pada waktu kopulasi lendir disekresikan sedemikian rupa, sehingga tubuh cacing tanah menjadi tertutup oleh lendir dari segmen ke sembilan sampai ujung posterior dari klitelum. Sel-sel kelamin jantan yang keluar dari lubang alat kelamin jantan pada segmen ke 15, akan dibawa ke belakang menuju lubang penampung sel-sel kelamin jantan (sperma) pada segmen ke 9 dan 10 dari cacing tanah pasangannya. Cacing tanah kemudian memisahkan diri, proses selanjutnya adalah peletakan telur dan fertilisasi. Kopulasi &pat beriangsung baik pada malam, pagi maupun siang hari apabila keadaan lingkungan sesuai, terutama kelembaban. Waktu yang diperlukan untuk kopulasi berkisar antara 2-3 jam. Proses pembuahan telur berlangsung dalam cincin lendir yang pada akhirnya cincin tersebut akan meluncur ke depan, ke bagian ujung anterior cacing tanah. Ujung cincin lendir
tersebut akan menutup pada saat lepas dan membentuk kapsul yang dinamakan kokon. Di dalam kokon, zigot berkembang menjadi cacing tanah muda yang kemudian ke luar dari kokon. Siste~npencernaan cacing tanah kurang sempuma. Menurut Storer
el
al. (1979)
sistein pencernaan cacing tanah terdiri atas : (1) mulut dilengkapi dengan bibir yang >
disebut pros/omeum dan diikuti oleh rongga mulut segmen ke 1-3, (2) faring pada segmen ke 4-5 dengan kelenjar untuk meminyaki ~nakanandan serat-serat otot dalam dinding eksternanya, (3) esofagus pada seglnen ke 6-14 betfungsi mengeluarkan kelebihan kalsium dari tubuh. Kelenjar kalsiferus yang terletak di dinding ruang esofagus berfungsi untuk menetralkan makanan yang mengandung asam, (4) tembolok berupa dinding tipis tetapi luas yang berguna untuk menyimpan makanan terdapat pada segmen ke 15-16, ( 5 ) empeta atau ernpedal pada segmen ke 17-18 mempakan dlnding otot tebal dan kuat, berfungsi untuk menggiling makanan dengan bantuan butiran-butiran tanah, (6) usus dan (7) anus. Usus berupa saluran dinding tipis yang membujur daiam segmensegmen dengan dinding dorsalnya melekuk ke dalam disebut trflosol. Tiflosol tersebut membantu memperluas bidang pencernaan dan penyerapan. Makanan yang masuk melalui mulut dilunakkan oleh otot farink, kemudian diteruskan ke esofagus yang mempunyai tiga pasang kelenjar kalsifem. Kelenjar ini mengeksresikan kalsium karbonat ke dalam esofagus dan membuang kelebihan kalsiu~n yang diperoleh dari berbagai garam yang terdapat dalam makanan. Makanan selanjutnya disimpan dalam tembolok. Di belakang tembolok terdapat lambung otot, berfungsi menghancurkan makanan secara langsung, dibantu oleh partikel-partikel mineral dan ..
batu-batu kecil yang terdapat dalam organ ini. Makanan diteruskan dari lamb~mgotot
ke usus yang membujur menuju ke anus. Di dalam usus makanan dicerna oleh getah usus yang berasal dari lapisan epitel. Makanan yang telah dicema diserap ke dalam pembuluhpembuluh darah dinding lambung, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh. Kemampuan cacing tanah
dalam
menghancurkan limbah
organik
selain
ditentukan oleh enzim amilase, protease, selulase dan kitinase yang dihasilkan dari saluran pencemaannya, juga banyak dibantu oleh mikroba dalam saluran pencernaannya. Tanpa adanya aktivitas mikroba kemampuan cacing tanah untuk menghancurkan limbah organik menjadi sangat rendah, sehingga akan mengakibatkan rendahnya daya reproduksi dan menurunnya kesehatan cacing tersebut. Oleh karena itu pada habitat aslinya di alam cacing tmah lebih menyukai tempat-tempat yang banyak mengandung mikroba pengurai bahan organik, seperti feses ternak atau bahan organik yang sudah mengalami sebagian proses dekompsisi (Waluyo
ef
a/., 1991). Kerjasama yang terjalin tersebut dapat
meningkatkan kemarnpuan cacing tanah untuk menghancurkan bahan organik serta akan meningkatkan jumlah mikroba di dalam saluran pencemaan dan kotoran cacing tanah, karena kondisinya sangat mendukung untuk perkembangan mikroba (annich, 1977).
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Produksi dalam Budidaya Cacing Tanab Lee (1985) membagi fakkor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan cacing tanah menjadi dua yaitu : (1) lingkungan fisik meliputi kelembaban, temperatur, cahaya, tekstur tanah, kebutuhan
0 2
dan COz untuk pernafasan (2)
lingkungan kimia meliputi C, N, rasio C M dan pH, sedangkan menurut Martin et aZ.
(1981) faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan cacing tanah meiiputi ketersediaan pakan, temperatur, kelembaban, pH dan
aerasi. Simandjuntak dan Waluyo (1982) menyatakan bahwa, media sebagai tempat hidup cacing tanah hams memiliki beberapa faklor yang saling terkait satu dengan lainnya untuk mendukung kehidupannya. Adapun kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan cacing tanah adalah pakan, temperatur, kelembaban, pH, aerasi, cahaya, kepadatan populasi dan pemangsa (predator).
Ketersediaan Pakan Seperti halnya dengan hewan lain, cacing tanah juga memerlukan pakan yang cukup untuk tu~nbuhdan berkembangbiak. Catalan (1981) mengemukakan bahwa, pertwnbuhan dan laju reproduksi cacing tanah sangat bergantung pada jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsinya. Pakan cacing tanah adalah bahan organik yang berasal dari serasah daun, feses ternak dan tanaman atau hewan yang mati (Budiarti dan Palungkun, 1992) yang telah membusuk atau lapuk setelah difermentasi dan dalam keadaan basah (Catalan, 1981). Daiam usaha budidaya, pakan diberikan daiam bentuk bubur dengan perbandingan 25% padatan dart 75% air ditabur di permukaan media. Pada waktu pemberian pakan hams teti~p dijaga agar cacing tanah tidak terkena cahaya yang berlebihan (Catalan, 1981). Menurut Fortage dan Bobb (1971) pakan yang paling baik untuk cacing tanah adalah pakan dengan pH netral dan mengandung protein 9,O-15%.
Analisis komposisi
nutrisi media budidaya cacing tanah yang terdiri atas campuran dam-dauan kering (70°h)
dan feses sapi perah (30%) mengandung 1,66% N, 1,56% P, 1,65% K, 43,32% C dan ratio C N 26,09. Kadar protein media tersebut sekitar 10,31%, yaitu berada pada kisaran protein yang dibutuhkan oleh cacing tanah. Media cacing tanah tersebut setelah
digunakan untuk budidaya mengandung 3,4I% N, 2,47% P, 2,08% K, 43,46% C dan ratio CI'N 12,74 (Andayani, 1993). Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi kokon dan reproduksi cacing tanah. Simandjuntak dan Waluyo (1982) menyatakan bahwa, temperatur yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mempengaruhi proses biologis seperti pemafasan, perkembangbiakan dan metabolisme. Temperatur optimum untuk pertumbuhan cacing tanah E. foerida adalah 25°C (Minnich, 1977). Cacing tanah E. foetida paling aktif dan produktif pada temperatur media antara 15,6-2I,l°C. Aktivitas makan dan reproduksi cacing tanah menurun pada temperatur media di atas 23,9"C (Gaddie dan Douglas,1977). Gates (1972) menyebutkan bahwa
E. foetida dewasa &pat berkembangbiak pada suhu 32"C, disebutkan bahwa suhu 28°C merupakan suhu yang optimal bagi E. foetida, bahkan apabila cacing ini diaklimatisasi secara bertahap dapat hidup pada suhu 38°C selama 1 I hari. Untuk mernperoleh produksi cacing tanah yang baik, maka dalarn budrdaya cacing tanah E. foef ida suhu harian media dipertahankan pa& kisaran 18-27°C (Razon d m Razon, 1981). Menurut Catalan (1981) cacing tanah E. foetida hidup terbaik pada kisaran temperatur 2 1,l-29,4OC. Cacing tanah mulai mengalami hibernasi apabila temperatur di bawah 10°C dan apabila temperatur meningkat di atas 29,4OC cacing tanah mulai mengalami aestivasi (Edwards clan Lofty, 1977). Menurut Catalan (1981) selama dalam kondisi aestivasz cacing tanah berhenti makan untuk mengurangi kehilangan air dari tububnya. Pada suhu antara 22°C (malarn hari) sampai 32°C (siang hari), kelembaban
media 55-70% E. foetida dapat mencapai dewasa kelamin secara penuh pada umur 35 hari (Waluyo, 1993).
Kelembaban Kelembaban sangat dibutuhkan untuk menjaga agar kulit berfungsi normal, bila udara terlalu kering akan merusak kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk ke dalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhimya mati. Kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan cacing tanah segera lari ke tempat yang mempunyai aerasi lebih baik (Simandjuntak dan Waluyo, 1982). Kelcmbaban media yang dibutuhkan agar cacing tanah mencapai produksi yang optimal berkisar aniara 28-42% (Minnich, 1977). Menurut Kevin (1979) kelembaban yang dibutuhkan berkisar 50-SO%, sedangkan menurut Haukka (1987) 60-90%. Tubuh cacing tanah mengandung 75-90% air (Minnich,l977; Anas, 1990), sehingga kehilangan air tubuh merupakan masalah utarna dari kehidupan cacing tanah (Edwards dan Lofty, 1977). Oleh karena itu cacing tanah membutuhkan kelembaban
yang sesuai s e c m tetap (Gaddie dan Douglas, 1975). Dengan demikian media hams dapat menahan air, sehingga dapat memgertahankan kelembabm, karena permukaan kulit cacing tanah membutufikan kondisi yang selalu basah.
Derajat Keasaman (pH) Cacing tanah sangat sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH dari tanah menjadi faktor pembatas penyebaran dan populasinya. pH yang disukai cacing tanah berkisar 7,O (Edwards dan Lofty, 1977). Lee (1985) berpendapat bahwa cacing tanah jarang dijumpai datam tanah dengan pH di bawah 4,O.
Menurut Budiarti dan Palungkun (1992) cacing tanah membutuhkan pakan atau media dengan pH 6,O-7,2, yaitu pH dimana bakteri bekej a optimal. Cacing tanah yang memakan pakan yang asam menyebabkan kej a bakteri sangat aktif, sehingga kelenjar kaIsferu\. yang terbatas di dalam alat pencernaannya fdinding esoSugus) tidak cukup
untuk menetralisir asam yang terbentuk. Hal ini menyebabkan membengkaknya tembolok sehingga dapat pecah. Sebaliknya bila media basa akan menghambat pertumbuhan bakteri esensial yang rnembantu merombak makanan di dalam alat pencernaannya, sehingga zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat diserap oleh cacing tanah berkurang, akibatnya cacing tanah menjadi kekurangan nutrisi dan dapat menyebabkan kernatian (Catalan, 1981). Menurut
Gaddie dan Douglas (1975), bila media basa akan
rnenyebabkan cacing tanah mengalami dehidrasi, akibatnya akan kehilangan bobot, warnanya menjadl pucat, tubuhnya menciut dan akfiirnya mati. Keasarnan media &pat diatasi dengan menambahkan kapur Ca(OH)*, sedangkan bila media basa dapai ditambahkan sisa-sisa buah-buahan yang mengandung asarn. Hasil penelitian Minnich, (1977); Edward dan Lofty (1977) bahwa cacing tanah E. jbetida menyukai pH netral sampai sedikit basa, yaitu 7,O-8,O. Waluyo (1993) menggunakan media feses sapi perah sebanyak 300 gram per pot tanah liat yang diberi kapur sebanyak 0,3%, maka dewasa kelamin (pembentukan klitelum) E. foetida dicapai pada urnur empat minggu dan menghasilkan kokon pada umur 35 hari. Penambahan kapur 0,3% dapat menaikan pH sebesar 0,14-0,39 tertinggi yang dicapai sebesar 7,9 1.
dan pH
Aerasi Media Aerasi media yang baik sangat penting untuk membantu mencegah akumulasi asam dan gas-gas di dalam media. Untuk memberi aerasi yang baik media cacing tanah dapat dibalik setiap 2-3 minggu sekali. Aerasi media yang baik merupakan prasyarat yang sangat penting untuk memacu kecepatan reproduksi (Gaddie dan Douglas, 1975). Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982) aerasi yang baik dapat diciptakan dengan penambahan bahan-bahan yang mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi seperti serbuk gergaji, jerami atau sekam. Media yang terlalu padat menyebabkan cacing tanah sulit bernafas (Minnich, 1977). Cahaya
Cacing tanah secara alami makan di permukaan tanah (Gaddie dan Douglas, 1975; Lee dan Sabine, 1985). Pada kondisi cahaya yang terang cacing tanah tidak bera& di permukaan untuk makan, karena cacing tanah sangat peka terhadap cahaya dan mempunyai kecenderungan untuk menghindari cahaya atau bersifat nokturnal. Hal ini disebabkan karena pada tubuh cacing tanah, terutama bagian ujung depan terdapat banyak sel fotosensitif yang sangat peka terhadap cahaya, terutarna simr ultra violet m a w (Gaddie dan Douglas, 1975). Untuk mengatasinya, media dapat ditutup dengan karung goni atau diberi pelindung, karung goni juga berfungsi mengurangi penguapan media. Predator (Pemangsa)
Cacing tanah belum ditemukan penyalutnya, tetapi mempunyai musuh yang hams dihindari antara lain burung, katak, kecoak, kelabang atau lipan, semut, tikus, ayam dan ular (Gaddie dan Douglas, 1975; Catalan, 1981 ).
Kepadatan Popukasi Populasi atau biomassa cacing tanah dinyatakan dalam satuan jumlah (ekor) dan bobot cacing tanah (gram). Jurnlah kadang-kadang menimbulkan salah tafsir, karena tidak membedakan ukuran cacing kecil atau besar d m suatu individu (Edwards dan Lofty, 1977). Populasi cacing tanah dalam tanah berkisar antara beberapa ratus sampai beberapa ribu ekor per meter persegi, bergantung pada suhu, pH, kelembaban tanah, ketersediaan pakan clan persaingan dengan jasad hidup lainya. Menurut Catalan (1981), bila pemeliharaan cacing tanah dilakukan pada bak berukuran 24 inci x 18 inci x 8 inci = 3.456 inci3 atau 61 cm x 46 cm x 20 cm
=
56.120
cmn3, maka kepadatan populasi cacing tanah yang ideal adalah 200-400 gram Populasi yang terlalu padat dapat menyebabkan cacing tam& yang dipelihara menjadi kecil (Gaddie dan Douglas, 1975).
Tekstur Tanah Lee (1985) berpendapat bahwa, cacing tanah pada umumnya jarang atau tidak
dijumpai pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Hal ini disebabkan karena adanya abrasi fisik pada perrnukaan tubuhnya oleh bahan-bahan mineral kuarsa dan pada tanah bertekstur kasar mudah tejadi kekeringan. Cacing tanah jarang- dijumpai pada tanah-
tanah dengan kandungan liat yang tinggi serta daerah-daerah yang bercurah hujan tinggi, karena pada tanah-tanah yang keadaamya demikian sering mengalami k e k k n g a n oksigen secara permanen.
Teknologi Budidaya Cacing Tanah Keberhasilan usaha budidaya selain dipengaruhi oleh jenis cacing tanah, jenis dan proses fennentasi bahan media atau pakan, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh jenis kotak sarang dan padat penebaran cacing tanah. Teknologi pembuatan media dilakukan dengan mencampur feses sapi segar dengan kapw dengan perbandingan satu kilogram feses sap1 dan tiga gram kapur tembok. Media tersebut disiram kemudian ditutup dengan plastik selama tiga hari, lalu dibalik dan ditutup lagi sampai tujuh hari. Setelah itu plastik dibuka dan media diangin-anginkan selama tiga hari sambil disiram dan dibalik, sehingga media cocok bagi cacing tanah (WaIuyo, 1993). Ukuran dan jenis bahan kotak sarang tempat budidstya cacing tanah bervariasi, bergantung pada tujuan pemeliharaan. Gaur (1982) menggunakan kotak sarang dari kayu berukuran panjang, Lebar dan tinggi 60 cm x 45 cm x 20 cm, berisi 20 liter media dengan padat penebaran satu kilogram cacing tanah merupakan jenis kotak sarang terbaik dalam menghasilkan biomassa cacing tanah. Bahan-bahan lain seperti karton dan plastik juga dapat digunakan sebagai kotak sarang. Sebaiknya dihindari pemakaian bahan-bahan dari logam sebagai wadah untuk budidaya, agar sisa media yang rnengandung logam tersebut tidak meracuni biIa diberikan pada tanaman (Lee, 1985). Ketebalan media untuk budidaya cacing tanah dapat dipilih mulai dari 5-30 cm. Lee (1985) menyarankan bahwa, kedalaman kotak sarang tidak melebihi 30 cm. Ukuran kedalarnan kotak sarang didasarkan pa&
kebiasaan hidup cacing tanah di alam berkisar
antara 0-30 cm. Hal ini sesuai dengan habitamya secara vertikal E. foefidu temasuk r-worm atau ep~gerkyakni cacing tanah yang hidup di permukaan tanah (Satchell, 1980).
Perbandingan antara jumlah cacing tanah yang ditebarkan dengan jumlah bahanbahan media yang digunakan bermacam-macam. Lee (1985) menggunakan padat penebaran 5 0 ekor cacing tanah untuk setiap liter media. Ada juga yang menggunakan padat penebaran 2000 ekor cacing tanah untuk tiap meter persegi luas kotak sarang dengan ketebalan media 5-10 cm atau dengan padat penebaran cacing tanah 20-40 ekor per liter media. Padat penebaran 14 y a m atau 39 ekor E .foetida digunakan pada media dengan volume kurang lebih 2874 cm3 dalam pot tanah liat dengan diameter 18 cm dan tinggi 11.3 c m . Menurut Mulyani (1992) setiap 200 cm3 volume campuran feses sapi &an alang-alang sebagai media, bobot cacing tanah 17.foerida yang digunakan satu gram. Padat penebaran ini merupakan padat penebaran yang sesuai. Andayani (1993) rnenggunakan kotak sarang bak plastik dengan padat penebaran 5 0 gram cacing tanah L. rubeIlus per liter media. Media yang digunakan adalah campuran
daun-daunan kering (70%) dan feses sapi perah (30%) serta diberi pakan feses sapi perah 50 gram setiap hari. Hasil percobaan menunjukkan pertambahan bobot cacing tanah terus
meningkat setiap kali penimbangan selama 36 hari dengan fiekuensi penimbangan sembilan hari sekali. Rataan bobot cacing tanah pada umur 66 hari sebesar 113,72 gram atau meningkat 127,44% &lam waktu 36 hari. Bobot cacing tanah ini diduga terus meningkat hingga mencapai dewasa kelamin (menghasilkan kokon). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila cacing tanah yang dipelihara dengan media yang sarna tetapi tidak diberi pakan setiap hari maka tejadi penurunan bobot menjadi 3 1,73 gram atau
Limbah Organik sebagai Media atau Pakan Cacing Tanah E. foetida Limbah organik merupakan bahan sisa hasil aktiviias kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan yang terbuang dan saat ini belum mempunyai nilai ekonomis. Limbah petemakan adalah semua buangan dari usaha petemakan yang bersifat padat, cair rnaupun gas. Limbah padat adalah sernua limbah yang berbentuk padatan atau berada dalam fase padat. Dalam usaha peternakan limbah padat berasal dari feses temak, rumput sisa pakan ternak, ternak yang mati, isi rumen dan isi usus hasil pemotongan (Soehadji,l994). Keberadaan limbah dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu sebagai penyebab polusi dan surnber timbulnya penyakit Feses temak adalah hasil buangan metabolisme atau tinja ternak yang kadangkadang bercampur dengan urine. Menurut Gaddie dan Douglas (1977) feses ternak mempunyai kandungan bahan organik, protein dan unsur hara yang tinggi
seperti
tercantum dalam Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Kandungan Bahan Organik, Protein dan Unsur Hara dalarn Feses Ternak
Sumber : Gaddie dan Douglas, 1977 Menurut Schmidt et al. (1988) seekor sapi perah menghasilkan feses 7 - 8 s dari bobot badan setiap hari. Markel (1981) menyatakan bahwa, seekor sapi menghasilkan feses 36-45 kg per hari dengan total bahan padat 18-30%, pH 6 , 6 4 6 dan nisbah C/N 18. Menurut Abbott dan Parker (1981) feses sapi perah berdasarkan berat bahan keringnya
mengandung N 1,65%, P 0,50% dan K 2,30% dan protein kasar 10,30%. Sihornbing (1999) menyatakan bahwa, feses sapi mengandung sekitar
15% protein kasar.
Penggunaan campuran feses sapi 75% dan 25% jerami busuk sebagai media budidaya cacing tanah memberikan hasil yang baik (Guerrero, 1981). Feses ayam petelur mengandung protein, karbohidrat, lemak, kalsium, phosfor dan mineral lain, sehingga merupakan sumber zat makanan yang dapat dirnanfaatkan oleh cacing tanah. Feses ayam petelur dapat digunakan sebagai media cacing tanah, apabila d~campurdengan tanah dan Iimbah tumbuh-tumbuhan yang telah rnembusuk agar memberikan hasil yang baik (Sihombing, 1999). Penggunaan feses kuda sebagai media budidaya cacing tanah dianjurkan dicampur dengan feses temak lain, agar dapat mencukupi kebutuhan zat makanan cacing tanah, namun feses kuda mempunyai kelebihan karena mengandung banyak serat kasar, sehingga mampu menyerap air lebih banyak, dengan demikian kelembaban media tetap stabil (Gaddie dan Douglas, 1977). Isi rumen seekor sapi berkisar antara 10-20% dari bobot badannya. Isi m e n sapi mengandung protein kasar 9,63%, lemak kasar 1,81%, bahan ekstrak tanpa nitrogen
Kadar protein jerami padi segar 6,62% (Yuliprianto, 1993), sedangkan dengin proses fermentasi kadar protein kasar jerami padi rneningkat mencapai 11,34V/o, kadar C 34,29%, N 1,82%, P 0,24%, K 1,6696 dan rasio C/N 18,84. Bahan organik dapat didekomposisi dengan mudah oleh mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan aktinomisetes yang terdapat pada feses ternak (Haga, 1990; Harada et al., 1993). Cacing tanah berkembang pesat pada media feses ternak dan secara cepat
akan memakan serta mengubahnya menjadi humus yang baik. Selanjutnya dikatakan bahan organik hams selalu ditambahkan secara periodik untuk menjaga laju peningkatan populasi cacing tanah. Cacing tanah juga mengkonsurnsi bahan-bahan yang berasal dari tanaman yang sebagian telah lapuk atau yang telah mengalami fermentasi terIebih dahulu (Minnich, 1977). Bahan organik adalah bahan-bahan yang berasal dari organisme hidup baik tumbuhan maupun hewan yang mengandung senyawa karbon. Bahan organik diuraikan menjad karbohidrat, protein, lernak, vitamin, asam nukleat dan asam organik. Bahan yang digunakan sebagai media untuk budidaya cacing tanah hams dapat mempertahankan kelembaban, porous dan mengandung zat makanan yang cukup, baik kandungan protein, karbohidrat, mineral maupun vitamin (Gaur, 1982). Media dapat berupa campuran kotoran ternak, kompos tanaman, dedak padi, sekam, serbuk gergaji, rumput, daundaunan, enceng gondok, kertas dan bahan-bahan lain yang banyak mengandung bahan organik (Catalan, 1981; Budiarti dan Palungkun, 1992). Hsieh dan Hsieh (1990), membagi bahan-bahn untuk pembuatan media ke dalam dua kelompok, yaitu bahan yang mengandung banyak C dan N. Bahan-bahan yang banyak mengandung C adalah jerami padi dan gandum, serbuk gergaji, sekam padi, daun
tebu, tangkai dan batang wortel, klobot jagung, tangkai sorgum, daun-daunan yang gugur, daun dan batang kacang tanah serta kertas. Bahan-bahan yang banyak mengandung N ineliputi feses temak, ltmbah sayur, dedak padi, hijauan gulma, rumput-rumputan hijau dan sampah. Fermentasi Bahan Media atau Pakan Cacing Tanah Fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang dibutuhkan &lam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan senyawasenyawa organik secara anaerob dan aerob. Enzi~ndan mikroorganisme rnenstirnulir reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi peruhahan kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Fardiaz, 1988). Mimich (1977) menyatakan bahwa, cacing tanah lebih menyukai bahan organik yang sedang mengalarni proses dekomposisi daripada yang sudah terdekomposisi atau masih terlalu segar. Menurut Budiarti dan Palungkun (1992), sebelum dijadikan sebagai media budidaya atau pakan cacing tanah, sebaiknya bahan organik segar difermentasikan terlebih &hulu selama tiga minggu. Barley (1961) melaporkan bahwa, daun-dawn atau feses temak segar tidak dimakan oleh cacing tanah. Media difementasi selama 20 hari
clan selama fermentasi media dibalik atau diaduk setiap tiga hari sekali. Setelah difementasi media diangin-anginkan selama dua hari sebelum digunakan. Menurut Guerrero ( 1981) selama berlangsungnya fermentasi media dibalik atau diaduk satu kali seminggu untuk memperbaiki aerasi dan mempercepat proses fermentasi. Untuk menghilangkan bahan-bahan yang bersifat racun d m mempercepat pelepasan panas yang terjadi seiama proses fermentasi media dikering-anginkan selama tiga hari (Lee, 1985). Yulipriyanto (1993) mengatakan bahwa campuran limbah pasar Bogor dan Limbah
Taman Safari yang diferlnentasi selana dua ~ninggu menggunakan bak dari kayu berukuran 1 m x 11nx 1 m media sudah siap digunakan untuk vermikomposting. Alexander (1996) menggunakan campuran isi rumen dan feses ternak sapi perah segar sebagai media dengan perbandingan berat 1 : 1 yang ditambahkan kapur 0,5% dari berat campuran bahan media dan difermentasi selama tiga minggu. Menurut Harada et al. (1993) feses ternak segar kurang layak digunakan, karena baunya busuk dan mengandung mikroorganisme patogen, parasit dan biji rumput liar, sehingga perlu diatasi dengan pengomposan. Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor terpenting dalam fermentasi (pengomposan). Nisbah C/N yang optimum untuk bahan kompos berkisar 20/1 sampai dengan 3011. Mikroorganisme membutuhkan C mtuk pertumbuhan dan N untuk sintesis protein. Nisbah C/N yang terlalu tinggi ~nenyebabkanlaju pengomposan betjalan lambat, sedangkan bila terialu rendah menyebabkan tejadinya kehilangan N dalam bentuk gas amonia. Sela~napengomposan juga terjadi kehilangan C dalam bentuk COZ(Golueke, 1975). Temperatur optimum pengomposan 30-55OC, sedangkan kelembaban optimum pengornposan aerob 50-60% (Gaur, 1982). Bila kelembaban di bawah 50% pengomposan berlangsung aerob tetapi lambat (Hsieh dan Hsieh, 1990). Sebaliknya bila kelembaban
di atas 60% menyebabkan bahan memadat ke bawah dan rongga yang kosong diisi oleh air, sehingga menyebabkan terjadinya kondisi anaerob, menghasilkan gas berbau dan proses dekomposisi berlangsung lambat. Jika ha1 ini terjadi maka perlu dibalik atau diaduk, agar oksigen tersedia bagi mikroorganisme d m proses kembali aerob (Markel, 1981). Menurut Golueke (1975) bila kelembaban 60-70% dapat dibalik tiga kali sehari dan bila kelembaban kurang dari 40% hams ditambah air pada tumpukan pengomposan.
Produksi Kokon dan Biomassa
Menurut Lee (1985) siklus hidup cacing tanah dibagi menjadi 4 tahap yaitu : (1) produksi kokon, (2) inkubasi, (3) penetasan clan (4) pertumbuhan. Kokon yang
diproduksi cacing tanah dipengaruhi oleh kepadatan populasi, temperatur, kelembaban dan kandungan energi dalarn makanan yang tersedia. Apabila keadaan tanah lembab kokon diletakkan di pennukaan tanah, sebaliknya dalam keadaan kering kokon diletakkan di dalam tanah. Beberapa spesies cacing tanah menghasilkan kokon sepanjang tahun apabila tanah lembab, cadangan pakan cukup dan faklor-faktor lingkungan lainnya mendukung. Waktu inkubasi kokon sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh temperatur (Edwards dan Lotfy, 1977). Kokon akan rnenetas setelah 36 hari pada suhu 20°C, 50 hari pada suhu 15"C, dan 112 hari pada suhu 10°C. Waktu yang diperlukan untuk berkembang mulai dari menetasnya kokon sampai dewasa kelarnin berbeda-beda untuk setiap spesies. Menurut Hatanaka et at. (1983), cacing tanah E. Joefidu dapat rnemproduksi kokon sebanyak 14 butir selama 70 hari atau satu kokon setiap lima hari. Jumlah anak cacing yang menetas berkisar antara 1-7 ekor dengan rata-rata3,9 ekor. Menurut Minnich (19771, dewasa kelamin pada cacing E. foetida dicapai pa& umur 6 6 3 hari pa& suhu udara 18°C dan akan diperpendek menjadi 45,s hari pada suhu 2g0C. Pada urnur ini mulai terjadi
perkembangan
klitelum,
dan
saat klitelunl
telah
mencapai
pertumbuhan
maksimum, cacing tanah mulai berkembangbiak. Permulaan terbentuknya klitelum ditandai dengan adanya penggembungan tipis yang berwarna putih di bagian ventral (Lee, 1985). Waluyo (1993) menyatakan bahwa cacing tanah 6foetida mencapai dewasa kelamin pada umur empat minggu yang ditandai dengan pembentukan klitelum dan
produksi kokon dicapai pada urnur 35 hari. Menurut Venter dan Reineche f 1988) cacing tanah E. foetjda menghasilkan kokon empat hari setelah perkawinan, masa inkubasi 23 hari dan daya tetasnya tiga ekor cacing tanah per kokon pada temperatur 25°C dan
kelembaban media 75%. Dewasa kelamin dicapai pada urnur 40-60 hari yang ditandai dengan terbentuknya ktitelum. Pada umur tersebut cacing tanah sudah dapat melakukan perkawinan d m menghasilkan kokon kernbali, sehingga total waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus hidup 40-60 hari. Lama hidup (life span) E. foeetida diperkirakan mencapai 4,s tahun (Minnich, 1977).
Produksi dan Kualitas Eksmecat
Sihombing (1999) memberikan padanan istilah eksmecat pada castzng, karena yang dimaksudkan dengan kasting oleh sebagian besar masyarakai saat ini a&lah kotoran cacing tanah (casfzng) yang telah bercampur dengan sisa media atau pakan cacing tanah. Oleh karena itu, akan lebih relevan apabila digunakan istilah eksmecat yang berasal dari kata
ekskreta media cacing tanah. Casting merupakan hasil proses pencemaan yang
terjadi di dalam tub& cacing tanah clan setelah ke luar dan tubuh cacing mengalami proses ferrnentasi. Di dalam tubuh cacing tanah terdapat bakteri-bakteri yang membantu proses dekomposisi bahan organik menjadi senyawa sederhana dan siap diserap oleh tanaman (Rao, 1994). Casting merupakan sumber nutrisi bagi mikroba tanah (Daniel dan Anderson,
1992), dengan adanya nutrisi tersebut mikroba pengurai bahan organik akan terus berkembang dan rnenguraikan bahan organik dengan lebih cepat. Oteh karena itu selain dapat meningkatkan kesuburan tanah, castzng juga dapat membantu proses penghancuran
limbah organik. Dalam meningkatkan kesuburan tanah casting berperan memperbaiki kemampuan menahan air, membantu menyediakan nutrisi bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah (Minnich, 1977). Casting mempunyai kemampuan menahan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur cusfrng yang memiliki ruang-ruang yang rnampu
menyerap dan menyimpan air, sehingga mampu mempertahankan kelembaban (Venter dan Reinecke, 1988). Tanaman hanya dapat tnengkonsumsi nutrisi dalam bentuk terlarut. Menurut Petrusi bentuk
ef
0 7 . (1988) cacing tanah berperan mengubah nutrisi yang tidak larut menjadi
terlarut,
yaitu
dengan bantuan
enzim-enzim
yang terdapat dalam
alat
pencemaannya. Nutrisi tersebut terdapat di dalam cusfing, sehingga &pat diserap oleh akar tanaman untuk dibawa ke seluruh tanaman. Casting banyak mengandung substansisubstansi humus yang berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah (Nardi et ul., 1988). Menurut Hornor dan Mitchell (1981) humus merupakan suatu campuran yang kompleks, terdiri atas bahan-bahan yang berwarna gelap yang tidak larut dengan air (asam humik, asam fulfik dan humin) clan zat organik yang larut (asam-asam &n gula). Menurut Waluyo dan Hidayat (1990) kesuburan tanah ditentukan oleh kadar bumus pada lapisan olah tanah. Makin tinggi kadar humus (humic acid) makin subur tanah tersebut. Kesuburan seperti ini dapat diwujudkan dengan menggunakan pupuk organik berupa cusring cacing tanah, karena casting mengandung humus sebesar 13,88%. Casting juga
mengandung banyak
mikroba
tanah yang berguna,
seperti
aktinomisetes 2,s x lo6 sel per gram bahan kering (BK), bakteri 1,8 x 10' sel per gram BK dan fungi 2,6 x 10' sel per gram BK. Dengan adanya mikroorganisme tersebut berarti custing mengandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk meningkatkan
.
.
kesuburan tanah atau untuk pertumbuhan tanaman (Flack dan Hartenstein, 1984). Menurut Tomatti et a[. (1988) casting cacing tanah mengandung hormon tumbuh tanaman seperti uuksin 3,80 ug equiev. per gram bahan kering (BK), sirokinin 1,05 ug equiev. per gram BK dan giberelin 2,75 ug equiev. per gram BK. Honnon tersebut tidak hanya memacu perakaran pada cangkokan, tetapi juga memacu pertumbuhan akar tanaman di dalam tanah, memacu pertunasan ranting-ranting baru pada batang dan cabang pohon, serta mernacu pertumbuhan daun. Cusfing kaya akan hara esensial seperti C, N, P, dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya (Minnich, 1977). Menurut Yulipriyanto (1 993) eksmecuf E. foetidn (vermikompos) yang berasal dari limbah Taman Safari Indonesia
mengandungan N 1,00%, P 0,20%, K 0,l I%, Ca 0,24%, Mg O,14%, Na 0,07% dan ratio C/N 28,9 setelah 45 hari. Menurut Gaddie dan Douglas (1977) kandungan unsur hara casting tergantung spesies cacing tanah yang menghasilkannya, bahan pakan dan umur casting sejak dihasilkan. Pada umumnya casting cacing tanah rnengandung 0,50-2,00% N, 0,60-0,6S0h P dan 0,lO-l,lOOh K. Kandungan nitrogen casting berasal dari
perombakan bahan organik yang kaya nitrogen dan ekskresi mikroba yang bercampw dengan tanah &lam sistem pencemaan cacing tanah (Tiwari et a1.,1989). Peningkatan kandungan nitrogen dalam casting selain disebabkan adanya proses mineralisasi bahan organik dari cacing tanah yang telah mati, juga oleh urin yang dihasilkan dan ekskresi mukus dari tubuhnya yang kaya nitrogen (Gaddie dan Douglas, 1977). Menurut Businelli ef al. (1984) casting terdiri atas dua bagian yaitu padat dan cair. Nitrogen dalarn casting
pada umumnya berada dalam dua bentuk yaitu residual protein dan protein yang disentesis oleh sel-sel bakteri yang berada dalam bentuk tersedia bagi tanarnan.
Menurut Tiwari et al. (1989) tingginya kandungan hara (C, N, P, dan K) pada casting cacing tanah dianggap berasal dari pencernaan dan mineralisasi bahan organik
yatlg mengandung hara dalarn konsentrasi yang tinggi. Casting mengandung unsur hara lebih banyak dari pada tanah asalnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Umur casting adalah lamanya penyirnpanan casting setelah dipanen dari petemakan cacing tanah. Umur casting merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi stabilitas casting, di samping aktivitas mikroba dan konsentrasi bahan organik dalam casting. Ketiga faktor tersebut sding berkaitan satu dengan lainnya (Lee, 1985). Casting mempunyai struktur rernah, sehingga &pat mempertahankan kestabilan
dan aerasi tanah serta bakteri aerobik yang sangat berperan untuk kesuburan tanah dapat
tumbuh dengan baik (Schreier dan Timmenga, 1986). Casting mengandung enzim-enzim seperti protease, amilase, I i p s e dun selulase yang berfungsi &lam perombakan bahan organik (Ross clan Cairns, 1982). Mackay dan Kladrvko (1985) berpendapat bahwa, casting juga dapat mencegah kehilangan tanah akibat aliran permukaan. Pada saat tanah masuk ke dalarn saluran pencemaan cacing, maka cacing akan mensekresikan suatu senyawa yaitu Ca-humat. Dengan adanya senyawa tersebut partikel-partikel tanah diikat menja& suatu kesatuan (agregat). Agregat-agregat itulah yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air clan unsur hara tanah. Casting banyak mengandung Ca yang dapat digunakan untuk menaikkan pH tanah.