Agatha Christie
PRIA BERSTELAN COKLAT Perampokan berlian kematian karena kecelakaan distasiun kereta api bawah tanah di london dan pembunuhan atas diri seorang wanita cantik di sebuah puri di daerah luar kota yg terpencil apa dan siapa yang terlibat?apakah orang asing yang mengaku dokter yang lalu lenyap begitu saja,ataukah yang disebut koran koran sebagai pria bersetelan coklat? Hanya anne bedingfeld yang telah menemukan secarik kertas yg berbau kapur barus yang percaya bahwa dia bisa memecahkan misteri itu dan untuk melakukan penyelidikan itu dia menyeberangi samudra yang penuh bahaya ke afrika,di sanalah berawalnya intrik dan petualangan yang sebenarnya
Kutipan Pasal 44: Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta 1987 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atan memperbanyak suatu ciptaan irŤť memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000, (seratus juta rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana timaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama S (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000 000, (lima puluh juta rupiah). 2.1 Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC Agatha Christie
PRIA BERSETELAN COKLAT Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1988 THE MAN IN THE BROWN SUIT b’v Agatha Christie Š 1924 by Dodd Mead & Company Inc
PRIA BERSETELAN COKLAT Alihbahasa: Ny. Suwarn A.S. GM 402 88.345 Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia. Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270 Sampul dikerjakan oleh J. Tefon Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta, Mei 1988 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT) CHRISTIE, Agatha Pria Bersetelan Coklat / Agatha Cfcristie ; alih-bahasa, Ny. Suwarni A.S. Jakarta : Gramedia, 1988. 392 hal. ; 18 cm. Judul asli : The Man in the Brown Suit. ISBN 979-403-345-6. 1. Fiksi Inggris. I. Judul. II. Suwarni A.S. Ť23 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
PROLOG Nadina, penari Rusia yang telah menggemparkan kota Paris, membungkukkan tubuhnya seirama dengan riuhnya tepuk tangan penonton. Dia membungkuk berulang kali. Matanya yang sipit dan berwarna hitam, makin menyipit. Mulutnya yang lebar yang dicat merah tua, melengkung ke atas. Para penonton Prancis yang antusias itu, masih terus menghentak-hentakkan kaki mereka, waktu tirai mendesir turun. Dengan tertutupnya tirai, hilang pula dari pemandangan, dekor yang oerwarna-warni menyolok. Penari yang mengenakan gaun warna biru dan Jingga berdraperi itu, meninggalkan pentas. Seorang pria berjenggot menyambutnya dengan antusias. Dialah manajernya. “Hebat, petite, hebat,” serunya. “Malam ini kau lebih hebat daripada biasanya.” Diciumnya kedua belah pipi penari itu. Madame Nadina menyambut pujian itu dengan tenang. Dia sudah biasa mendapat pujian. Wanita itu terus berlalu ke arah kamar gantinya. Di sana buket-buket bunga bertumpuk-tumpuk sembarangan, dan pakaian indah-indah yang berpotong*an mutakhir bergantungan di kapstok. Udara terasa panas, bercampur dengan harumnya bunga-bunga dan harumnya parfum serta wewangian lain. Jeanne, periasnya, segera membantu majikannya sambil terus berbicara dan tak henti-hentinya memuji. Arus kata-katanya terhenti oleh bunyi ketukan di pintu. Jeanne membuka pintu dan kembali dengan membawa kartu nama. “Maukah Anda menerimanya?” “Coba kulihat dulu.” Penari itu mengulurkan tangannya dengan luwes. Begitu melihat nama “Count Sergius Paulo-vitch” yang tercantum pada kartu itu, matanya berbinar karena tertarik. “Aku mau menerimanya. Cepat ambilkan kimono yang berwarna kuning jagung, Jeanne. Dan begitu Count masuk, kau Ijaleh pergi.” “Bien, Madame.” Kimono yang dibawakan Jeanne, cantik sekali. Berwarna jagung, terbuat dari bahan sifon dan.* berhias bulu binatang. Nadina mengenakan kimono itu, lalu tersenyum sendiri sambil mengetukngetukkan jemarinya yang putih lentik pada kaca meja rias. Count langsung memanfaatkan kesempatan yang diberikan padanya. Pria itu tidak terlalu tinggi, dia kurus, sangat rapi, sangat pucat, dan kelihatan letih sekali. Raut mukanya sukar untuk diingat, dan tanpa mengingat pembawaannya, akan sulit mengenali wajah itu kembali. 6 Dia menyalami penari itu sambil membungkuk dengan sopan-santun yang berlebihan.
“Madame, saya senang sekali mendapat kesempatan ini.” Hanya itu yang terdengar oleh Jeanne, sebelum dia keluar sambil menutup pintu. Setelah tinggal berduaan saja dengan tamunya, senyum Nadina * berubah tanpa kentara. “Meskipun kita berasal dari negeri yang sama, g sebaiknya kita tidak menggunakan bahasa Rusia,” kata penari itu. “Karena kita sama-sama tak tahu sepatah kata pun bahasa itu, memang sebaiknya begitulah,” tamunya membenarkan. Dengan persetujuan bersama, mereka lalu menggunakan bahasa Inggris. Dan setelah tak lagi berbasabasi, orang tak ragu lagi bahwa bahasa Inggris mernangJjahasa ibu si tamu. Dia memang Śmemulai hidupnya sebagai seniman musik di London. “Kau sukses besar malam ini,” katanya. “Selamat, ya.” “Tapi aku tak tenang,” sahut wanita itu. “Ke-,, dudukanku sebagai penari masih belum menjamin. Kecurigaan yang timbul selama peperangan, masih belum hilang. Aku masih tetap diawasi dan dimata-matai.” “Tapi kau tak pernah dituduh sebagai mata-mata, bukan?” “Mereka tak bisa berbuat begitu. Pemimpin ^ kita terlalu cermat untuk hal itu.” “ 7 “Kita bisa angkat topi untuk ‘Kolonel’,” kata Count sambil tersenyum. “Tapi berita tentang rencana pengunduran dirinya itu, mengejutkan sekali, ya? Bayangkandia akan mengundurkan diri! Seperti seorang dokter, atau tukang jagal, atau tukang pipa saja” “Atau seperti seorang pedagang biasa,” sambung Nadina. “Tapi kita tak perlu heran. Memang itulah ciri khas ‘Kolonel’dia seorang pengusaha yang luar biasa. Dia mengelola kejahatan, seperti orang mengelola pabrik sepatu saja. Tanpa melibatkan diri, dia merencanakan dan memimpin serangkaian kudeta, dengan menggerakkan setiap cabang ‘profesi’-nya. Perampokan permata, pemalsuan, kegiatan mata-mata (yang terutama sangat menguntungkan di masa perang), sabotase, pembunuhan terselubung. Boleh dikatakan tak ada bidang yang belum pernah disentuhnya. Hebatnya lagi, dia tahu kapan dia harus berhenti. Bila keadaan sudah mulai mengancamdia berhentidengan keuntungan besar!” “Hmm!” kata Count ragu-ragu. “Berita itu jadi mengacaukan kita semua. Kita bakal menganggur.” “Tapi bukankah selama ini kita dibayar dengan bayaran tinggi?” Pria itu tiba-tiba memandangnya dengan tajam, mendengar nada ejekan dalam suaranya. Wanita itu tampak tersenyum, dan senyumnya menimbulkan rasa ingin tahu. Tetapi Count melanjutkan dengan diplomatis, “Ya, ‘Kolonel’ memang selalu memberi kita bayaran yang tinggi. Kuakui bahwa kebanyakan
suksesnya adalah karena itujuga karena kepang daiannya mencari kambing hitam yang tepat. Otaknya memang cemerlang! Dan dia pandai? menjalankan semboyan, ‘Jika ingin melakukan sesuatu dengan aman, jangan lakukan sendiri!’ ** Sedang kita, terlibat habis-habisan dan berada dalam genggamannya. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa terhadap dia.” Dia diam, seolah-olah menunggu bantahan dari lawan bicaranya. Tetapi wanita itu tetap diam, dan * terus tersenyum sendiri. “Ya, tak seorang pun di antara kita bisa apa-apa,” katanya lagi sambil merenung. “Tapi tahukah kau, orang tua itu percaya takhyul. Kudengar, beberapa tahun yang lalu dia pernah mendatangi seorang peramal. Orang itu meramalkan sukses setimur hidup baginya, tapi dinyatakannya pula bahwa kehancurannya akan disebabkan oleh seorang w.anita.” Kini Nadina merasa tertarik. Dia mengangkat wajahnya. “Aneh, aneh sekali! Oleh seorang wanita katamu?” Count tersenyum sambil mengangkat bahu. “Setelah berhentipasti dia akan menikah. Mungkin dengan seorang wanita terkemuka yang cantik, yang akan menghambur-hamburkan uangnya lebih cepat daripada waktu dia mendapatkannya.” 9 Nadina menggeleng. “Bukan, bukan begitu. Dengar, besok aku akan pergi ke London.” “Bagaimana dengan kontrakmu di sini?” “Aku hanya akan pergi semalam. Dan aku pergi diam-diam, menyamar sebagai seorang bangsawan. Tak akan ada orang yang tahu bahwa aku meninggalkan Prancis. Dan tahukah kau untul^ ^apa aku pergi?” Z^^flP “Tak mungkin untuk bersenang-senang, pada saa^ seperti ini. Bulan Januari adalah bulan yang tak menyenangkan, selalu berkabut! Pasti untuk Sesuatu yang menguntungkan!” “Tepat.” Nadina bangkit lalu berdiri di depan pria itu dengan anggun dan penuh rasa percaya diri. “Kaukatakan tadi bahwa di antara kita tak da yang bisa berbuat apa-apa terhadap pemimpin kita itu. Kau keliru. Aku bisa. Aku, seorang “wanita, punya akal dan juga keberanian untuk mengkhianatinya. Ya, keberanian memang diperlukan untuk itu. Kau ingat berlian-berlian De Beers?” “Ya, aku ingat. Kejadian di Kimberley, sesaat sebelum pecah perang, bukan? Aku tidak terlibat dalam peristiwa itu, dan aku tak pernah mendengar kisahnya secara terinci. Entah mengapa perkara itu dibekukan begitu saja. Dan keuntungannya bukan main!” “Permata-permata seharga seratus ribu pound. Saya bekerja berduatentu saja atas petunjuk- . petunjuk ‘Kolonel’. Waktu itulah aku melihat 10
kesempatan. Rencananya, beberapa berlian De Beers akan ditukarkan dengan beberapa berlian contoh dari Amerika Selatan, yang dibawa oleh dua orang pencari intan yang masih muda, yang waktu itu kebetulan ada di Kimberley. Supaya merekalah yang dicurigai.” “Cerdik sekali,” sela Count. ‘ ” ‘Kolonel’ memang selalu cerdik. Nah, akulah yang harus menjalankan tugas itutapi aku juga melakukan sesuatu di luar perhitungan ‘Kolonel’. “Beberapa dari permatapermata Amerika Selatan itu kusimpan sendiribeberapa di antaranya punya ciri-ciri khas dan dapat dibuktikan dengari mudah bahwa itu bukan kepunyaan De Beers. Dengan memiliki permata-permata itu, pemimpin kita yang mulia itu berada dalam genggamanku. ^Segera setelah kedua anak muda itu dibebaskan dari tuduhan, dialah yang akan dicurigai. Selama -bertahun-tahun ini aku bungkam. Aku senang karena aku punya senjata untuk keadaan darurat. Tapi kini keadaannya lain. Aku akan menuntut bagiankubagian yang sangat besar, bahkan boleh dikatakan besar sekali.” “Luar biasa,” kata Count. “Apakah permata-permata itu kaubawa ke mana-mana?” Diam-diam matanya menyapu isi kamar yang acak-acakan itu. Nadina tertawa. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Aku takkan setolol itu. Berlian-berlian itu tersimpan di suatu tempat yang sama sekali tidak diduga orang.” 11 “Aku tak pernah menganggapmu wanita tolol. Tapi bolehkah aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa kau nekat? ‘Kolonel’ bukan orang yang mudah diperas.” “Aku tak takut padanya,” kata wanita itu sambil tertawa. “Hanya ada satu orang yang pernah kutakutidan dia sudah meninggal.” Pria itu memandangnya dengan rasa ingin tahu. “Semoga saja dia tak hidup kembali,” katanya dengan nada ringan. “Apa maksudmu?” seru penari itu dengan tajam. Count tampak agak heran. “Maksudku, kau akan susah kalau dia bangkit kembali,” katanya. “Tapi aku hanya bergurau.” Wanita itu bernapas lega. “Ah, tak mungkin, dia benar-benar sudah meninggal. Dia tewas dalam perang. Dia pernah mencintaiku,” “Di Afrika Selatan?” tanya Count memancing. “Ya, di Afrika Selatan.”
“Kau berasal dari sana, kan?” Nadina mengangguk. Tamunya berdiri, lalu ‘meraih topinya. “Yah,” katanya, “itu urusanmu sendiri. Tapi kalau aku jadi kau, aku jauh lebih takut pada ‘Kolonel* daripada pada orang mana pun juga i yang pernah jatuh cinta padaku. ‘Kolonel’ adalah orang yang sering dianggap remeh.” Penari itu tertawa mengejek. “Seperti aku tak kenal dia saja, setelah sekian lama!” 12 “Aku malah meragukan apakah kau benar benar mengenalnya,” katanya dengan nada halus. “Ah, aku kan bukan anak tolol! Apalagi aku tak seorang diri dalam hal ini. Sebuah kapal dari Afrika Selatan akan berlabuh di Southampton besok. Salah seorang penumpangnya khusus da-. tang atas permintaanku. Dia harus menjalankan! beberapa tugas untukku. Jadi ‘Kolonel’ bukan hanya harus berurusan dengan satu orang, tapi dengan kami berdua.” “Apakah itu bijaksana?” “Itu perlu.” “Apakah kau percaya betul pada orang itu?” Penari itu tersenyum aneh. “Aku percaya betul padanya. Dia memang kurang cekatan, tapi betul-betul bisa dipercaya ” Nadina diam sebentar, lalu berkata lagi dengan nada tak acuh, “Dia suamiku sendiri.” Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbaha aan dan keudakberuntungan
BBSC 13 Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC BAB I Semua orang mendesakku untuk menuliskan kisah ini. Mulai dari orang-orang terkemuka (yang diwakili oleh Lord Nasby), sampai orang-orang kecil (yang diwakili oleh almarhumah pembantu rumah tangga kami, Emily. Aku bertemu dengannya waktu aku terakhir kali ke Inggris. “Sungguh, Nona,” katanya. “Pasti akan menjadi buku yang menarik sekaliseperti cerita film saja!”). Kuakui bahwa memang pantas mereka memintaku melakukan hal itu. Aku memang terlibat dalam peristiwa itu, sejak awal. Aku menyaksikan sendiri semua yang terjadi, dan melihat pula bagaimana peristiwa itu berakhir. Suatu keuntungan lain, kekosongan-kekosongan dalam penuturanku, karena aku tak tahu, akan terisi dengan baik bila aku menggunakan catatan harian Sir Eustace Pedler. Beliau sendiri yang telah berbaik hati menyuruhku, menggunakan buku harian itu. Jadi begitulah ceritanya. Anne Beddingfeld mulai bercerita tentang petualangan-petualangannya. Aku selalu ingin bertualang. Soalnya hidupku datar-datar saja. Ayahku, Profesor Beddingfeld 15 adalah salah seorang penyelidik Inggris terbesar mengenai manusia primitif. Dia benar-benar jeniussemua orang mengakui hal itu. Otaknya dipenuhi oleh Zaman Batu Paleolitik, tapi tak enaknya, dia hidup di dunia modern. Papa tak mau tahu tentang manusia modernbahkan Manusia Neolitik dibencinya dan hanya dianggapnya “sebagai hewan ternak saja. Dia belum merasa puas sebelum mencapai masa Mousterian. ^ Sayang, orang tak bisa melepaskan diri sama sekali dari manusia modern. Kita terpaksa harus berhubungan dengan tukang daging, tukang roti, tukang susu, dan tukang sayur. Karena Papa selalu tenggelam dalam masa lalu, sedang Mama sudah meninggal waktu aku masih bayi, maka menjadi kewajibankulah untuk menangani soal-“soal praktis dalam hidup. Terus terang, aku benci pada Manusia Paleolitik itu, entah dia dari ras Aurignacian, Mousterian, Chellian, atau yang lain. Padahal akulah yang harus mengetik dan mengoreksi sebagian besar tulisan Papa mengenai Manusia Neanderthal dan Leluhurnya. Dan aku benci sekali pada orang-orang Neanderthal. Aku selalu berpikir, untunglah mereka sudah punah dalam masa yang sudah lama berlalu. Aku tak tahu apakah Papa bisa menebak perasaanku mengenai hal itumungkin tidak.’ Yang jelas, dia tak peduli. Dia sama sekali tak pernah peduli bagaimana pendapat orang lain. Kurasa itulah ciri khasnya sebagai orang besar. Dia juga hidup tanpa memperhatikan kebutuhan sehari-hari. Dia makan apa saja yang terhidang, tetapi kelihatan tersiksa bila dihadapkan pada soal pembayaran apa yang dimakannya itu. Rasanya kami tak pernah punya uang. Kemasyhurannya tidak menghasilkan uang. Meskipun dia anggota hampir semua organisasi yang penting, dan di belakang namanya berderet-deret huruf yang merupakan gelarnya, namun boleh dikatakan umum tak tahu bahwa dia ada. Dan buku-buku karangannya yang banyak jumlahnya, sama sekali tak menarik minat masyarakat, meskipun isinya jelas menambah pengetahuan umum. Hanya satu kali Papa pernah menjadi pusat perhatian umum. Waktu itu dia membacakan karangannya mengenai anak simpanse, di
depan suatu kelompok. Katanya, raut muka anak manusia sudah mempunyai raut muka manusia, sedang anak simpanse lebih mirip manusia daripada simpanse dewasa. Agak-rrya**1iaT itu membuktikan bahwa bentuk muka leluhur kita lebih menyerupai kera daripada*kita, sebaliknya leluhur simpanse lebih tinggi sifat-sifat badaniahnya daripada yang sekarangdengan kata lain, simpanse mengalami penurunan sifat. Surat kabar Daily Budget, yang memang menyukai sesuatu yang menggelitik, langsung memuatnya dengan judul besar-besar: “Kita Memang Bukan Keturunan Monyet, Tapi Apakah Monyet Keturunan Kita} Profesor yang terkemuka itu mengatakan bahwa simpanse adalah manusia yang sifat-sifat badaniahnya mengalami penurunan.” Tak lama setelah itu, seorang wartawan me-17 ngunjungi Papa, dan berusaha membujuk Papa untuk menulis suatu seri artikel populer mengenai teori itu. Jarang aku melihat Papa semarah saat itu. Dengan kasar wartawan itu dimintanya meninggalkan rumah kami. Diam-diam aku menyesali hal itu, karena saat itu kami sedang sangat kekurangan uang. Sesaat aku bahkan berniat untuk mengejar pemuda itu dan memberitahukan bahwa ayahku telah mengubah niatnya dan bahwa Papa akan mengirimkan artikel-artikel iw. Aku bisa saja menulis artikel-artikel itu sendiri, dan besar kemungkinannya Papa tidak akan pernah tahu tentang transaksi itu, karena Papa tidak membaca Daily Budget. Tetapi kemudian kuurungkan niat itu karena kuanggap terlalu riskan. Jadi aku hanya mengenakan topiku yang terbagus dan dengan sedih pergi ke desa untuk menemui pemilik warung yang menjengkelkan. Wartawan Daily Budget itulah satu-sa*uŤya penrada yang pernah datang ke rumah kami. A^a kalanya aku merasa iri pada Emily, pelayan kami. Dia bisa keluar setiap kali pacarnya, seorang pelaut bertubuh besar, datang. Dan bila si pelaut sedang berlayar dia berkencan dengan pesuruh tukang sayur, atau dengan pembantu apoteker, sekadar ‘untuk selingan’, katanya. Dengan sedih aku berpikir bahwa tak ada seorang pun yang bisa kujadikan ‘selingan’ begitu. Teman-teman Papa semuanya profesorprofesor tua yang biasanya berjenggot panjang. Memang, Profesor Peterson pernah merangkulku dengan sayang dan berkata 18 bahwa ‘pinggangku ramping sekali’, lalu mencoba menciumku. Kata-katanya itu saja sudah membuatku menganggapnya kuno. Aku sangat mendambakan petualangan, cinta, dan romantika. Tetapi agaknya nasibku mengharuskan aku hidup dalam keadaan yang sangat membosankan. Di desa ada sebuah perpustakaan, penuh buku cerita fiksi yang sudah sangat tua. Aku senang sekali membaca kisah-kisah petualangan yang berbahaya dan kisah-kisah cinta. Lalu aku akan tidur dan bermimpi tentang laki-laki Rhodesia yang selalu serius dan pendiam. Juga tentang laki-laki kuat yang selalu mampu ‘merobohkan lawannya dengan sekali tebas’. Tetapi di desa kami tak ada seorang pun yang kelihatannya bisa ‘menebas’ lawannya dengan sekali pukul. Bahkan dengan beberapa kali pukul pun tidak. Ada pula sebuah bioskop yang setiap minggu memutar satu episode film Bahaya-bahaya yang Mengancam Pamela. Pamela adalah seorang wanita muda yang hebat. Tak ada satu pun yang bisa membuatnya mundur. Dia jatuh dari pesawat terbang, dia bertualang di kapal selam, memanjat pencakar langit, dan menyusup dalam gerakan-gerakan bawah tanah, tanpa rasa takut sedikit pun. Dia sebenarnya tidak pintar. Pimpinan Organisasi Kriminal bawah tanah setiap kali berhasil menangkapnya, tetapi karena dia agaknya tak suka menghantam kepala gadis itu begitu saja, dan
selalu ingin membunuhnya dalam sebuah ruangan yang mengandung gas beracun, atau dengan suatu alat modern yang hebat, maka pada awal setiap episode baru, pahlawannya selalu berhasil menyelamatkannya. Keluar dari bioskop itu aku selalu merasa puyengapalagi, bila setiba di rumah aku menemukan surat peringatan dari perusahaan gas, yang mengancam akan memutuskan penyaluran gas kami, bila tunggakan tidak kami bayar! Namun tanpa kuduga sama sekali, setiap saat petualangan itu makin hari makin mendekati diriku. Mungkin banyak orang yang tak pernah mendengar tenung penemuan tengkorak antik di tambang Broken Hill di Rhodesia Utara. Pada suatu pagi kudapati Papa gembira sakali, sampai seperti kejangkejang. Kemudian dikisahkannya semua kejadian itu padaku. “Hasil penemuanku ini, Anne, punya persamaan-persamaan djnganjie.ngkorak Jawa. Tapi-persamaan itu tidak bersifat mendasar. Yang kutemukan ini adalah yang sudah lama kucari can, yaitu bentuk leluhur suku Neanderthal. Kita beranggapan bahwa tengkorak Gibraltar merupakan tengkorak Neanderthal yang paling primitif yang pernah ditemukan. Mengapa? Karena suku itu berasal dari Afrika. Mereka pindah ke Eropa” “Jangan bubuhkan selai marmalade pada tulang ikan salem, Papa,” kataku buru-buru sambil menangkap tangannya yang sedang linglung. “Ya, apa kata Papa tadi?” “Mereka pindah ke Eropa” 20 Kata-katanya terputus karena dia tersedak, gara-gara tertelan tulang ikan salem terlalu banyak. “Tapi kita harus segera mulai,” katanya sambil bangkit setelah selesai makan. “Kita tak boleh terlambat. Kita harus siappasti masih banyak lagi yang bisa kita temukan di sekitar tempat ini.-Aku juga ingin mencatat apakah penemuan-penemuan lainnya juga berasal dari Zaman Mous-.teriankurasa pasti ada kerangka-kerangka sapi primitif, tapi kerangka badak berbulu tebal itu pasti tidak ada. Pasti tak lama lagi akan datang serombongan penyelidik. Kita harus mendahului mereka. Tolong tulis surat pada Perusahaan-Cook, Anne.” “Bagaimana dengan uangnya, Papa?” tanyaku dengan halus. Dia menatapku dengan pandangan menegur. “Aku tak senang dengan pandanganmu itu, Nak. Kita tak boleh berpikiran rendah. Kita tak boleh berpikiran rendah kalau masalahnya menyangkut ilmu pengetahuan.” “Bukan saya, tapi Cook yang akan berpikiran begitu, Papa.” Papa kelihatan sedih. “Bayar saja dengan uang tunai, Anne.” “Saya tak punya uang tunai.”
Kini Papa tampak putus asa. “Aku benar-benar tak bisa diganggu dengan soal-soal sepele seperti uang, Anakku sayang. Coba hubungi bankkemarin manajernya me— 21 ngatakan bahwa aku masih punya dua puluh tujuh pound.” “Ah, saya rasa itu justru utang Papa.” “Oh, aku ingat! Tulis surat pada para penerbitku.” Aku terdiam ragu. Buku-buku Papa lebih banyak menghasilkan kemasyhuran daripada uang. Ah, ingin sekali aku pergi ke Rhodesia. ‘Laki-laki galak yang pendiam,’ gumamku. Kemudian terpandang olehku sesuatu yang aneh yang dipakai ayahku. “Papa memakai sepatu yang berlainan,” kataku. “Lepas yang coklat itu, dan ganti dengan yang hitam. Dan jangan lupa memakai syal. Hari dingin sekali.” Beberapa menit kemudian Papa berangkat, dengan memakai syal dan sepatu yang sudah sepasang. Malam itu dia pulang larut, dan aku bingung melihat syal dan mantelnya hilang. “Aduh, Anne, kau benar. Aku menanggalkan syal dan mantel waktu akan masuk ke gua, karena takut kotor.” Aku mengangguk mengerti. Aku ingat, suatu kali Papa pulang dengan badan berlumuran tanah liat Pleistoken, dari kepala sampai kaki. Alasan utama mengapa kami menetap di Little Hampsly, adalah karena tempat itu dekat dengan Gua Hampsly, suatu gua yang kaya akan peninggalan kebudayaan Aurignacian. Di desa ada sebuah museum kecil. Pengurus museum itu sering 22 pergi dengan Papa untuk mengorek-ngorek tanah dan menggali tulang-tulang badak berbulu atau tulang-tulang beruang gua. Sepanjang malam itu Papa batuk terus, dan esok paginya karena kulihat Papa demam, aku memanggil dokter. Kasihan Papa, dia menderita pneumonia berat. Empat hari kemudian dia meninggal. 23 r
BAB II Semua orang menunjukkan simpatinya padaku. j. Aku menghargai sikap itu, meskipun aku masih merasa bingung. Aku tidak terlalu merasa sedih. Aku tak pernah merasa dicintai Papa. Aku tahu itu. Bila dia mencintaiku, aku mungkin mencintainya juga. Di antara kami memang tak ada rasa cinta. Kami hanya saling memiliki, dan aku selalu merawatnya. Diam-diam aku kagum pada kepingannya dan pengabdian totalnya pada ilmu , Ť. lgetahuan. Dan aku sedih karena Papa meninggal pada saat hidupnya sedang sangat Ťaaturik baginya. Aku akan merasa lebih senang seandainya aku bisa memakamkannya di sebuah gua yang penuh lukisan rusa dan alat-alat Zaman Batu. Tetapi demi kebiasaan umum, aku terpaksa membuatkannya batu nisan yang rapi dari marmer, di pekuburan setempat yang tersembunyi di belakang gereja. Hiburan yang diberikan oleh pendeta dengan tulus hati, sama sekali tidak menghiburku. Beberapa lama kemudian barulah kusadari bahwa akhirnya aku mendapat apa yang selama ini kuidamidamkankebebasanku Aku telah men 24 jadi yatim-piatu, dan boleh dikatakan tak punya uang, tapi aku bebas. Aku juga menyadari kebaikan orang-orang. Pendeta berusaha membujukku untuk bekerja membantu istrinya. Perpustakaan kami yang kecil tiba-tiba merasa perlu untuk mempekerjakan seorang asisten. Akhirnya dokter pun-mendatangiku. Dia memberikan berbagai macam alasan yang tak masuk akal mengapa dia tidak menagih biaya pengobatan Papa. Akhirnya dengan banyak liku-liku dikatakannya bahwa sebaiknya aku menikah dengannya. Aku terkejut sekali. Umur dokter itu sudah mendekati empat puluh, dan tubuhnya bulat pendek. Sama sekali tidak seperti pahlawan dalam film Bahaya-bahaya yang Mengancam Pamela, dan lebih-lebih, tidak mirip orang Rhodesia yang galak dan pendiam. Aku merenung sebentar, lalu kutanyakan mengapa dia ingin menikah denganku. Dia kelihatan malu sekali. Lalu katanya dia sangat memerlukan seorang istri yang bisa membantunya di ruang piaktek. Sama sekali bukan posisi yang romantis. Namun ada sesuatu yang mendorongku untuk menerima lamarannya. Aku ditawarinya hidup yang aman. Aman dan nyaman. Kalau kuingat kembali hal itu, aku merasa telah berbuat tak adil terhadap pria kecil itu. Dia benar-benar cinta padaku, tetapi perasaannya yang halus tidak memungkinkannya berkata begitu. Dan dia keliru. Akibatnya, kecintaanku terhadap romantika malah memberontak. 25 Anda baik sekali,” kataku. “Tapi saya tak bisa. Saya tak bisa menikah dengan seseorang tanpa saya benar-benar mencintainya.” “Apakah Anda tidak?” “Tidak,” kataku tegas. Dia mendesah. “Lalu apa yang akan Anda lakukan?” “Melihat dunia luar dan bertualang,” sahutku tanpa ragu sedikit pun. “Nona Anne, Anda masih muda sekali. Anda tak mengerti” “Tak mengerti kesulitan-kesulitan dalam hidup, maksud Anda? Saya mengerti betul, Dokter. Saya
bukan anak ingusan yang sentimentilsaya ini manusia keras yang hanya mencari keuntungan! Anda akan menyadari hal itu, bila Anda kawin dengan saya!” “Cobalah pertimbangkan dulu” “Tidak bisa.” Dia mendesah lagi. “Saya punya usul lain. Seorang bibi saya tinggal di Wales. Dia membutuhkan seseorang untuk membantunya. Bagaimana kalau Anda ke sana?” “Tidak, Dokter, saya akan pergi ke London. Di sana banyak yang terjadi. Saya akan membuka mata saya, dan pasti akan terjadi sesuatu! Kelak Anda akan mendengar bahwa saya ada di Cina atau di Timbuctoo.” Kemudian Tuan Hemming, pengacara Papa, datang dari London khusus untuk menemuiku. Dia juga penggemar antropologi, dan dia sangat 26 mengagumi karya-karya Papa. Tubuhnya kurus, tinggi, wajahnya tirus, dan sudah beruban. Waktu aku masuk ruangan, dia bangkit lalu menyalam ku dengan kedua tangannya dan menepuk-nepuk tanganku penuh kasih sayang. “Kasihan kau, Anakku malang,” katanya. Tanpa kusadari dan tanpa niat untuk munafik, aku pun bersikap sebagai seorang yatim-piatu yang amat kehilangan. Itu gara-gara sikap orang tua itu. Dia begitu baik dan kebapakandan aku dianggapnya anak kecil yang bodoh yang harus menghadapi dunia yang kejam ini tanpa pegangan. Sejak semula aku sudah merasa bahwa akan percuma saja membantahnya. Dan kemudian ternyata bahwa sikapku itu memang ada benarnya. “Anakku, bisakah kau mendengarkan keterangan-keteranganku sebentar?” “Bisa.” “Kau tahu ayahmu itu orang besar. Anak-cucunya harus menghargainya. Tapi ayahmu bukan orang dagang.” Aku sudah tahu itu, mungkin jauh lebih tahu daripada Tuan Flemming, tapi aku diam saja. Dia berkata lagi, “Kurasa kau akan sulit mengerti soal-soal yang akan kujelaskan ini. Tapi akan kucoba.” Dia menjelaskan dengan panjang lebar. Kesimpulannya adalah bahwa aku harus menghadapi hidup ini dengan bekal sebanyak kira-kira 87 pound. Memang sedikit sekali. Dengan rasa cemas 27 aku menunggu keterangan apa lagi yang akan menyusul. Aku sudah kuatir kalau-kalau Tuan Flemming juga punya bibi di Skotlandia yang membutuhkan seorang teman yang muda dan ceria. Tapi rupanya tidak.
“Yang menjadi soal adalah masa depanmu,” lanjutnya. “Apakah kau tak punya sanak saudara yang masih hidup?” “Saya sebatang kara di dunia ini,” kataku. Aku lalu merasa seperti pahlawan wanita dalam film. “Punya teman?” “Semua orang di sini baik,” kataku dengan perasaan syukur. “Siapa yang tidak akan berbaik hati pada seseorang semuda kau dan menarik lagi?” katanya! “Yah, Anakku, coba kita lihat apa yang bisa kita perbuat.” Dia ragu sebentar, lalu berkata lagi, “Bagaimana kalau kau ikut kami untuk sementara?” Itulah kesempatan yang kuharapkan. London! Tempat yang banyak kejadiannya. “Anda baik sekali,” kataku. “Benarkah saya boleh ikut Anda? Hanya sementara saya melihat-lihat? Saya tentu harus segera mencari pekerjaan.” “Benar, Nak. Aku mengerti. Saya akan mencarikan yang cocok bagimu.” Aku segera merasa bahwa apa yang dimaksud Tuan Flemming mengenai sesuatu yang cocok, jauh berbeda dari keinginanku. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk mengatakan hal itu. 28 “Kalau begitu beres. Jadi mengapa tidak sekalian ikut aku hari ini juga?” ‘Terima kasih banyak, tapi bagaimana dengan Nyonya Flemming?” “Istriku akan senang sekali menerimamu.” Aku tak yakin apakah para suami mengenal istrinya sebaik yang diduganya? Bila aku punya suami, aku akan benci sekali kalau dia kembali dengan membawa seorang anak yatim p atu tanpa berunding dulu denganku. “Kita kirim telegram padanya dari stasiun,” lanjut pengacara itu. Dalam waktu singkat, aku sudah siap mengumpulkan barang-barangku yang tak seberapa. Aku sedih dan bingung melihat topiku sebelum aku memakainya. Topi itu mula-mula kusebut topi ‘Mary’, maksudnya topi yang biasa dipakai oleh seorang pembantu rumah tangga bila dia keluar. TopTTtu terbuat dari anyaman jerami yang dicat hitam dan bertepi keras, tapi sekarang sudah lembut. Aku pernah merasa seperti seorang jenius dan menyepak topi itu, kemudian meninjunya dua kali, lalu bagian atasnya kulekukkan dan di situ kupasang hiasan dari wortel. Hasilnya jadi bagus sekali. Wortelnya sudah kubuang, dan sekarang kubuang pula bagian-bagian lain dari I hasil karyaku. Tinggallah topi model ‘Mary’ dalam bentuk aslinya, yang sekarang sudah dalam keadaan penyokpenyok hingga jadi lebih buruk dari semula. Memang sebaiknya aku berpenampilan benar-benar seperti seorang anak yatim-piatu.
29 Aku agak gugup memikirkan bagaimana sambutan Nyonya Flemming nanti. Aku berharap semoga penampilanku menghilangkan rasa permusuhannya terhadapku. Tuan Flemming juga gugup. Hal itu kulihat waktu kami menaiki tangga rumah tinggi di kawasan Kensington yang tenang. Nyonya Flemming menyambutku dengan cukup menyenangkan. Dia seorang wanita gemuk yang bersikap tenangseorang istri dan ibu yang baik. Aku dibawanya naik ke sebuah kamar tidur yang bersih sekali dengan tirai putih bersih. Diharapkannya agar semua kebutuhanku terpenuhi, dan diberitahukannya bahwa seperempat jam lagi aku harus turun untuk minum teh. Kemudian aku ditinggalkannya sendiri. Setelah dia turun, kudengar suaranya yang agak tinggi dari ruang tamu di bawah. “Ah, Henry, bagaimana mungkin” Selebihnya tak kudengar lagi, tapi nada bicaranya jelas. Beberapa menit kemudian terdengar lagi kata-kata yang diucapkannya dengan nada yang lebih tajam, “Aku sependapat denganmu! Dia memang sangat menarik.” Betapa susahnya hidup ini. Laki-laki tidak akan mau berbaik hati pada kita bila kita tak cantik, sedang wanita tidak akan mau berbaik hati kalau kita cantik. Sambil mendesah panjang, aku mulai mengurus rambutku. Rambutku bagus. Warnanya hitam-hitam pekat, bukan coklat tuatumbuhnya pun 30 bagus, dari dahi menurun ke telinga. Kutarik rambutku ke atas. Telingaku pun bagus, tetapi zaman sekarang telinga tak penting dalam mode. Sama nasibnya dengan kaki gadis Spanyol di masa Profesor Peterson masih muda. Setelah selesai, aku benar-benar seperti anak yatim-piatu yang sedang antri berdiri dengan memakai topi kecil dan mantel merah. Waktu aku turun, kulihat Nyonya Flemming memandangi telingaku yang tak tertutup dengan pandangan senang. Tuan Flemming kelihatan heran. Dia pasti bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang diperbuat anak ini dengan dirinya sendiri?” Hari itu berlalu dengan baik. Kami memutuskan untuk segera mencari pekerjaan untukku. Waktu akan tidur, kutatap wajahku di cermin. Benarkah aku cantik dan menarik? Secara jujur aktrtakl>isa berkata begitu! Hidungku tak bagus, mulutku tidak seperti delima merekah, tak ada pula bagian-bagian lain yang bagus. Memang seorang pendeta pernah berkata bahwa mataku laksana “matahari yang tersangkut di kegelapan rimba raya”tapi ah, pendeta memang selalu pandai membuat perbandingan, dan dengan mudah pula mengobralnya. Aku jauh lebih suka kalau mataku berwarna biru seperti warna bunga Iris, daripada hijau berbintik-bintik kuning begini! Tetapi hijau memang warna yang cocok untuk seorang petualang. Kubalutkan gaun hitam yang ketat, serta mem—
31 xver biarkan lengan dan bahuku terbuka. Kemudian rambutku kusisir ke belakang, lalu kutarik ke bawah sampai menutupi telingaku. Kubedaki mukaku banyak-banyak hingga kulitku bertambah putih. Kucari lipstik dan kusapukan tebal-tebal ke bibirku. Lalu bagian bawah mataku kuhitamkan dengan gabus yang sudah dibakar. Akhirnya kusampirkan scarf merah ke pundakku yang terbuka, kutusukkan bulu merah tua ke rambutku, lalu kumasukkan rokok ke sudut bibirku. Aku senang melihat hasilnya. “Anne si Petualang,” kataku nyaring, sambil mengangguk ke arah bayanganku di cermin. “Anne si petualangan. Episode I, ‘Rumah di Kensington’!” Anak gadis memang gila-gilaan. 32
BAB III Aku bosan sekali dalam minggu-minggu berikutnya. Nyonya Flemming dan teman-temannya sama sekali tak menarik. Mereka mengobrol berjam-jam lamanya, tentang diri mereka sendiri dan anakanak mereka. Tentang sulitnya memperoleh susu yang baik untuk anak-anak, dan tentang keluhan mereka pada perusahaan susu bila susunya tak baik. Kemudian percakapan beralih mengenai pembantu dan sulitnya mendapatkan pembantu yang baik. Mereka ulangi kata-kata yang mereka ucapkan pada wanita yang bertugas di kantor pendaftaran pembantu dan apa kata wanita itu pada mereka. Agaknya mereka tak pernah membaca surat kabar, dan mereka tak peduli tentang kejadiankejadian di sekitar mereka. Mereka tak suka bepergiankarena semuanya begitu berbeda dari Inggris. Pergi ke Riviera bolehlah, karena di sana masih bisa bertemu dengan teman-teman. Aku mendengarkan dan menyabarkan diri dengan susah-payah. Kebanyakan wanita itu kaya. Mereka bisa pergi ke mana saja di dunijyang luas dan indah ini, tapi mereka lebih suka tinggal di 33 London yang kotor dan membosankan, dan bercakap-cakap tentang tukang susu dan pembantu rumah tangga! Kalau aku terkenang akan hal itu sekarang, aku menyadari bahwa aku kurang memberikan pengertian. Tapi mereka memang bodohjuga dalam memilih jabatannya sendiri: mereka memilih menjadi pemegang buku rumah C tangga yang tak memuaskan dan kacau. Urusanku tidak mengalami kemajuan. Rumah-dan perabot kami sudah dijual, dan hasil penjualan itu hanya cukup untuk menutup utang-utang kami. Aku belum berhasil mendapat pekerjaan. Aku sebenarnya memang tidak terlalu menginginkannya! Aku yakin bahwa bila orang mencari petualangan, dia akan menemukannya. Menurut teoriku, orang selalu mendapat apa yang diinginkannya. Ternyata teoriku itu hampir merupakan kenyataan. Waktu itu adalah awal bulan Januaritepatnya-tanggal delapan. Aku baru saja kembali dari suatu wawancara yang tak berhasil. Seorang *-anita l memerlukan seorang teman merangkap sekretaris, tetapi ternyata yang dibutuhkannya adalah seorang pembantu pekerja kasar yang kuat, yang : harus bekerja dua belas jam sehari dengan bayaran 25 pound setahun. Kami berpisah dengan masing-masing menyembunyikan rasa tak senang. Wawancara itu berlangsung di sebuah rumah di Jalan St. John’f’Wood. Aku lalu berjalan ke Edgware Road, dan menyeberang Hyde Park ke Rumah 34 Sakit St. George. Di sana aku masuk ke stasiun bawah tanah Hyde Park Corner dan membeli karcis ke Gloucester Road. Setibanya di peron aku berjalan sampai ke ujungnya. Pikiranku yang penuh rasa ingin tahu? ingin membuktikan apakah memang benar ada ujungnya, dan ada celah di antara kedua terowongan di ujung stasiun ke arah Down Street. “Aku merasa senang bahwa hal itu ternyata benar-. Di peron itu tak banyak orang. Di ujungnya hanya ada aku seorang diri dan seorang pria. Waktu aku melewati orang itu, mau tak mau aku mendengus. Aku memang selalu tak suka bau kapur barus! Mantel orang itu berbau kapur barus. Padahal kebanyakan orang sudah mengenakan mantel musim dingin sejak
sebelum bulan Januari, dan oleh karenanya pada saat sekarang bau itu seharusnya sudah hilang. Pria itu berdiri jauh-dariku. Dia berdiri di ujung terowongan. Kelihatannya dia sedang merenungkan sesuatu, hingga aku bisa memandanginya tanpa menyinggung perasaannya. Pria itu kecil kurus, kulit wajahnya coklat, bermata kecil biru, dan berjenggot hitam. “Dia pasti baru datang dari luar negeri,” kesimpulanku dalam hati. “Itulah sebabnya mantelnya berbau begitu. Dia pasti baru datang dari India. Bukan seorang perwira karena dia berjenggot. Mungkin dia seorang pengusaha perkebunan teh.” Pada saat itu dia berbalik, seolah-olah akan menyusuri kembali langkah-langkahnya di sepanjang peron itu.- Dia memandangku sekilas, lalu melihat sesuatu di belakangku. Wajahnya seketika berubah. Wajahnya mengernyit penuh ketakutandan panik. Dia mundur selangkah seolah-olah akan menghindari bahaya, lupa bahwa dia berada di ujung peron. Pria itu tersandung lalu jatuh. Tampak rel memijar dan terdengar bunyi gemeletak. Aku memekik. Orang-orang berdatangan. Dua orang petugas stasiun munculentah dari manadan menguasai keadaan. Aku tetap berdiri di tempatku, seolah-olah terpaku oleh sesuatu yang mengerikan. Aku merasa ngeri melihat kecelakaan mendadak itu, namun masih sempat menilai cara orang mengangkat korban dari rel yang mematikan dan membaringkannya di peron. Menurut aku mereka melakukannya dengan tenang sekaliť sama sekali tanpa perasaan. “Beri saya jalan. Saya dokter.” Seorang lelaki jangkung berjenggot coklat mendesak melewatiku, lalu membungkuk di atas tubuh yang sudah tak bergerak itu. Sementara dia memeriksa, aku dihinggapi perasaan aneh. Perasaan aneh itu pasti tak benartak mungkin benar. Akhirnya dokter itu tevak lalu menggeleng. “Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Orang ini sudah meninggal.” jm. Kami semua mendesak mendekat, dan seorang kuli barang yang tampak jengkel, berkata nyaring, 36 “Ayo mundur, mundur! Untuk apa berkerumun begini?” Aku tiba-tiba merasa mual. Lalu tanpa melihat ke kiri ke kanan aku berlari, naik tangga ke arah lift. Pemandangan itu terlalu mengerikan. Aku harus keluar mencari udara segar. Dokter yang memeriksa orang yang meninggal tadi, berjalan di depanku. Lift baru^saja akan naik, dan yang sebuah lagi baru saja turun. Pria itu mulai berlari, tanpa sadar bahwa ada secarik kertas jatuh dari sakunya. Aku berhenti, kupungut kertas itu, lalu aku mengejarnya. Tetapi pintu lift tertutup di depan hidungku, dan tinggallah aku dengan kertas itu dalam tanganku. Waktu lift yang kedua tiba di permukaan jalan, orang yang kukejar sudah tak kelihatan lagi. Kuharap dia tak kehilangan sesuatu yang penting. Aku lalu memeriksa kertas itu. Kertasnya hanya merupakan sobekan dari buku catarariTDTsitu tertulis kata-kata dan angka-angka dengan pensil, bunyinya:
7- J3. Kc&HAdU Gst& Sepintas lalu kelihatannya tidak penting. Namun aku ragu-ragu membuangnya. Sambil berdiri memegangnya, aku mendengus tak senang. Lagi-lagi tercium bau kapur barus! Ragu-ragu kudekatkan kertas itu ke hidungku. Ya, kertas itu berbau kapur barus yang menusuk. Tapi Kertas itu kulipat rapi-rapi lalu kumasukkan ke dalam tasku. Perlahan-lahan aku berjalan pulang, sambil terus berpikir. 37 Kuceritakan pada Nyonya Flemming bahwa aku baru saja menyaksikan suatu kecelakaan mengerikan* di stasiun kereta api bawah tanah. Kutambahkan bahwa aku merasa pening dan mual serta ingin langsung ke kamarku untuk berbaring. Wanita baik hati itu memaksa supaya aku minum teh dulu. Setelah itu aku mengunci diri di kamar, dan mulai menjalankan rencanaku. Aku ingin tahu apa yang menimbulkan perasaan aneh, waktu aku memperhatikan dokter memeriksa tubuh si korban tadi. Mulamula aku berbaring di lantai seolah-olah aku mayat. Kemudian aku bangkit, dan kuganti diriku dengan bantal-guling. Lalu kutimkan setiap gerak-gerik dokter itu, sepanjang yang kuingat. Setelah selesai, kudapatkan apa yang kuinginkan. Aku jongkok sambil merenungi dinding di seberangku. Dalam koran sore itu dimuat berita pendek tentang seorang pria yang tewas di suwu& kereta api bawah tanah. Diragukan apakah karena bunuh diri atau kecelakaan. Membaca berita itu, aku merasa bawa tugasku kini menjadi jelas. Waktu hal itu kuceritakan pada Tuan Flemming, dia membenarkan. “Kau pasti akan diperlukan dalam pemeriksaan pendahuluan mengenai hal itu. Bukankah tak ada orang lain yang melihat kejadian itu lebih dekat?” “Tapi saya merasa bahwa ada orang lain datang dari arah belakang saya. Tapi saya tak yakin benarbagaimanapun juga memang tak ada yang sedekat saya.” 38 Waktu diadakan pemeriksaan pendahuluan, Tuan Flemming mengantarku ke sana. Agaknya dia kuatir kalau-kalau aku ketakutan, dan aku pun tak mau mengatakan bahwa aku merasa tenang-tenang saja. Jenazah itu sudah dikenali. Dia bernama L.B. Carton. Di sakunya tidak ditemukan apa-apa kecuali surat keterangan dari sebuah agen penyewaan rumah, untuk melihat rumah di dekat sungai di Marlow. Surat keterangan itu untuk L.B. Carton, dengan alamat Hotel Russell. Petugas hotel menerangkan bahwa pria itu baru saja tiba sehari sebelumnya dan memang menginap di hotel itu. Dalam buku tamu terdaftar sebagai L.B. Carton, Kimberley, Afrika Selatan. Agaknya dari kapal dia langsung ke hotel itu. Akulah satu-satunya orang yang telah menyaksikan kejadian itu. “Apakah menurut Anda itu suatu kecelakaan?” tanya pemeriksa jenazah. “Saya yakin. Dia ketakutan melihat sesuatu, lalu dia mundur sembarangan tanpa disadarinya.” “Apa yang menakutkannya?”
“Saya tak tahu. Pokoknya ada sesuatu. Dia tampak panik.” Seorang anggota juri yang kelihatan tak punya perasaan berkata bahwa ada laki-laki yang takut sekali pada kucing. Mungkin laki-laki itu juga telah melihat kucing. Kurasa pendapatnya itu tak masuk akal, tetapi agaknya dewan juri merasa puas. Mereka kelihatan sudah tak sabaran untuk 39 pulang dan merasa senang bisa memberikan keputusan bahwa* itu adalah kecelakaan dan bukan bunuh diri. “Saya heran sekali,” kata petugas pemeriksa jenazah, “bahwa dokter yang pertama-tama memeriksa mayat itu tak muncul. Seharusnya waktu itu nama dan alamatnya dicatat. Salah kalau hal itu tidak dilakukan.” Aku tersenyum sendiri. Aku punya teori sendiri mengenai dokter itu. Dan untuk membuktikan teori itu, aku bertekad untuk pergi ke Scodand Yard secepatnya. Tetapi esok paginya terjadilah suatu kejutan. Mr. Flemming membeli koran Daily Budget. Dengan bangga koran itu memberitakan: KELANJUTAN YANG UNIK DARI KECELAKAAN DI STASIUN KERETA API BAWAH TANAH. SEORANG WANITA KEDAPATAN MATI TERCEKIK DI SEBUAH RUMAH TERPENCIL. Aku membaca dengan penuh minat. “Telah ditemukan sesuatu yang sensasional di Mill House, Marlow, kemarin. Mill House adalah rumah milik Sir Eustace Pedler, anggota parlemen. Rumah itu akan disewakan tanpa perabot.1 Dalam saku laki-laki yang mula-mula diduga bunuh diri dengan cara menjatuhkan dirinya di rel yang beraliran listrik di stasiun kereta api bawah 40 tanah di Hyde Park, telah ditemukan surat keterangan untuk melihat rumah tersebut. Kemarin, di sebuah kamar di lantai atas Mill House, ditemukan mayat seorang wanita muda yang cantik. Dia mati tercekik. Diduga wanita itu orang asing, tapi sampai kini belum diketahui identitasnya. Dikatakan bahwa polisi sudah punya petunjuk. Pemilik Mill House, Sir Eustace Pedler, sedang berlibur musim dingin di Riviera.” 41
BAB IV Tak seorang pun muncul untuk memberitahukan identitas mayat wanita itu. Pada pemeriksaan pendahuluan diperoleh petunjuk-petunjuk sebagai berikut. ->&~.^ Pukul satu lewat sedikit pada tanggal 8 Januari, seorang wanita yang berpakaian bagus dan berbicara dengan aksen asing memasuki kantor Messrs Butler and Park, sebuah agen penyewaan rumah, di Knightsbridge. Wanita itu berkata bahwa dia ingin menyewa atau membeli sebuah rumah di tepi Sungai Thames, yang dekat dengan London. Kepadanya diberikan beberapa alamat dan keadaan rumahnya, termasuk Mill House. Dia mengaku bernama Nyonya de Castina dan alamatnya Hotel Ritz. Tetapi ternyata tak ada orang yang bernama itu menginap di hotel tersebut, dan para petugas hotel tak bisa mengenali mayat itu. Nyonya James, istri tukang kebun Sir Eustace Pedler, yang bertanggung jawab aus Mill House dan tinggal di sebuah pondok kecil yang menghadap ke jalan besar di halaman rumah itu, memberikan kesaksiannya. Kira-kira pukul tiga petang itu, seorang wanita 42 datang untuk melihat-lihat Mill House. Dia menunjukkan surat keterangan dari agen penyewaan rumah, dan sebagaimana biasanya, Nyonya James memberikan kunci-kunci rumah itu. Rumah itu agak jauh dari pondok tempat tinggalnya, dan dia tak pernah menyertai calon-calon penyewa. Beberapa menit kemudian, datang seorang pemuda. Nyonya James menggambarkannya sebagai pemuda jangkung, berdada bidang, dengan wajah kemerahan dan mata abu-abu muda. Wajahnya tercukur bersih dan dia mengenakan setelan jas coklat. Dia menjelaskan bahwa dia teman si wanita muda yang datang untuk melihat-lihat Mill House tadi. Dijelaskannya bahwa dia tadi singgah dulu di kantor pos untuk mengirim telegram. Nyonya James mempersilakannya pergi ke rumah itu dan tidak lagi berpikir apa-apa. Lima menit kemudian anak muda itu muncul lagirDikembalikannya kunci-kunci rumah itu dan dikatakannya bahwa rumah itu tak cocok untuk mereka. Nyonya James tidak melihat wanita tadi, tapi menyangka bahwa si wanita telah pergi duluan. Yang tampak olehnya adalah bahwa pemuda itu tampak bingung. “Dia kelihatan seperti orang yang baru saja melihat hantu. Saya sangka dia mendadak sakit.” Esok harinya seorang waniu dan seorang pria lain datang untuk melihat rumah itu, dan mereka menemukan mayat itu tergeletak di lantai, di salah sebuah kamar di lantai atas. Nyonya James mengenalinya sebagai wanita yang pertama datang 43 kemarin. Agen penyewaan rumah juga mengenainya sebagai “Nyonya de Castina”. Dokter polisi berpendapat bahwa wanita itu sudah kira-kira dua puluh empat jam meninggal. Harian Daily Budget berkesimpulan bahwa laki-laki dT stasiun kereta api bawah tanah itulah yang telah membunuh si wanita, sebelum dia sendiri bunuh diri. Tetapi korban di stasiun kereta api bawah tanah itu meninggal pukul dua, sedang pukul tiga, wanita itu masih segar-bugar. Maka kesimpulannya adalah bahwa kedua
kejadian itu tak ada hubungannya satu sama lain. Disimpulkan pula bahwa surat keterangan untuk melihat rumah di Marlow yang ditemukan di saku pria yang meninggal itu hanyalah suatu kebetulan sajor Maka keputusannya adalah bahwa, “telah terjadi Pembunuhan Yang Direncanakan oleh seseorang atau beberapa orang yang tak dikenal.” Maka polisi (dan Daily Budget) harus mencari “pria yang bersetelan jas coklat” itu. Karena Nyonya James yakin bahwa tak seorang pun ada di dalam rumah itu waktu si wanita memasukinya, dan bahwa tak seorang pun yang masuk kemudian kecuali pemuda itu, maka masuk akal kalau disimpulkan bahwa dialah pembunuh Nyonya de Castina yang malang. Dia dicekik jiengan seutas tali besar berwarna hitam. Dan agaknya dia telah diserang dengan sangat mendadak, hingga tak sempat berteriak. Tas sutranya yang berwarna hitam berisi dompet yang penuh uang, baik uang kertas maupun uang receh. Juga 44 ada sapu tangan halus berenda yang tak bernoda dan sobekan karcis kelas satu untuk ke London. Semua itu tak bisa dijadikan petunjuk. Itulah hal-hal yang dimuat oleh Daily Budget. Dan setiap hari koran itu memuat anjuran “Temukan Pria Bersetelan Coklat.” Setiap hari rata-rata lima ratus orang mengaku telah berhasil menemukan orang itu, dan para pemuda yang jangkung dan wajahnya kemerahan karena sengatan matahari menyesal memiliki jas coklat. Kecelakaan di stasiun kereta api bawah tanah yang hanya dianggap kebetulan saja, telah dilupakan orang. _ Apakah itu memang kebetulan? Aku tak begitu yakin. Tapi itu pasti hanya prasangkaku sajakejadian di stasiun kereta api bawah tanah itu telah kuanggap sebagai misteri milikku sendiri. Aku tetap yakin bahwa antara kedua kejadian itu ada Jbubuegannya. Dalam kedua kejadian itu ada seorang pria yang berwajah merah karena sengatan matahariagaknya seorang Inggris yang tinggal di luar negerilalu ada lagi hal-hal lain. Dengan pertimbangan itulah aku terdorong untuk mengambil langkah yang berani. Aku melapor ke Scotland Yard, dan minta bertemu dengan petugas yang harus menangani perkara Mill House. Aku salah masuk, yaitu ke bagian yang mengurus orang-orang yang kehilangan payung. Orang-orang di situ lama baru mengerti, dan akhirnya barulah aku. diantar masuk ke kamar kerja Inspektur Detektif Meadows. 45 Inspektur Meadows bertubuh kecil dan mukanya berwarna merah kekuningan. Sikapnya aneh dan tak menyenangkan. Di sudut duduk diam-diam seseorang yang juga berpakaian preman. “Selamat pagi,” kataku gugup. “Selamat pagi. Silakan duduk. Saya dengar Anda akan menceritakan sesuatu yang mungkin berguna bagi kami.”
Nada bicaranya menyatakan bahwa hal itu sama sekali tak mungkin. Darahku naik. “Anda tentu tahu tentang pria yang tewas di stasiun kereta api bawah tanah itu? Pria yang dalam sakunya didapati surat keterangan untuk melihat rumah di Marlow.” “Oh!” kata inspektur itu. “Anda pasti Nona Beddingfeld yang memberikan kesaksian pada pemeriksaan pendahuluan dulu itu. Dalam saku orang itu memang ada surat keterangan yang dimaksud. Mungkin banyak sekaiť orang yang memiliki surat ituhanya mereka tidak tewas.” Kukumpulkan seluruh tenagaku. “Apakah Anda tak merasa aneh bahwa dalam saku orang itu tak ada karcis?” “Membuang karcis adalah hal yang biasa sekali. Saya sendiri pun melakukannya.” “Dan tak ada uang.” “Dalam saku celananya ada uang receh.” ‘Tapi tanpa dompet.” “Memang ada pria yang tak pernah membawa buku catatan atau dompet.” Aku mencoba siasat lain. 46 “Apakah Anda tak merasa aneh bahwa dokter yang memeriksanya tak pernah muncul?” “Seorang dokter yang sangat sibuk sering tidak membaca koran. Mungkin dia sudah lupa pada kecelakaan itu.” “Rupanya Anda sudah berketetapan hati bahwa tak ada satu pun yang aneh, Inspektur,” kataku dengan manis. “Yah, saya rasa Anda agak terlalu suka bicara, Nona Beddingfeld. Saya tahu wanita muda memang suka romantissuka akan misteri dan semacamnya. Tapi saya terlalu sibuk” Aku mengerti sindirannya dan aku bangkit. Pria yang di sudut angkat bicara dengan suara halus. “Mungkin nona ini bisa menceritakan dengan singkat apa gagasannya mengenai hal itu, Inspektur.” Inspektur langsung setuju dengan saran itu. “Saya harap Anda tidak tersinggung, Nona Beddingfeld. Anda telah menanyakan dan memancing beberapa hal. Coba berterus-terang, apa yang ada dalam pikiran Anda.” Aku ragu antara perasaan tersinggung dan keinginanku yang menggebu untuk menuturkan teoriku. Ternyata rasa tersinggungku kalah.
“Pada pemeriksaan pendahuluan, Anda berkata bahwa Anda yakin itu bukan bunuh diri?” “Ya, saya yakin betul. Pria itu ketakutan. Apa yang membuatnya ketakutan? Jelas bukan saya, tapi mungkin ada seseorang yartg berjalan di peron ke arah-kamiseseorang yang dikenalnya.” “Anda sendiri tidak melihat seseorang?” “Tidak,” kataku mengaku. “Saya tidak menoleh. Kemudian, segera setelah mayat orang itu diangkat dari rel, seorang laki-laki mendesak ke depan untuk memeriksanya. Dia mengaku dirinya seorang dokter.” “Itu biasa,” kata Inspektur datar. ‘Tapi dia bukan dokter.” “Apa?” “Dia bukan dokter,” ulangku. “Bagaimana Anda tahu itu, Nona Beddingfeld?” “Sukar mengatakannya dengan tepat. Selama perang saya bekerja di rumah sakit, jadi saya sudah biasa melihat cara seorang dokter menangani mayat. Pria itu tidak memiliki kecekatan profesional seorang dokter. Apalagi, dia meraba jantung di sebelah kanan tubuh.” “Benar begitu?” “Ya, saya tidak melihatnya benar pada saat itusaya hanya merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres. Setelah pulang dari situ saya merenungkannya kembali, dan saya pun menyadari mengapa semuanya tampak janggal pada saat itu.” “Hm,” kata Inspektur sambil mengambil kertas dan pena. “Sambil meraba bagian atas tubuh orang itu, dia memperoleh kesempatan cukup untuk mengambil apa yang diingininya dari saku orang itu.” “Rasanya tak masuk akal,” kata Inspektur. “Tapibisakah Anda memberikan ciri-ciri pria itu?” “Dia tinggi dan berdada bidang. Dia mengenakan mantel berwarna gelap, sepatu lars berwarna hitam dan topi bulat. Dia memakai kaca mata berbingkai emas. Jenggotnya lancip berwarna hitam.” “Kecuali mantelnya, jenggotnya dan kaca matanya, kita tidak akan bisa mengenalinya kembali,” gumam Inspektur. “Dalam waktu lima menit bisa saja dia mengubah penampilannya, bila dia mau. Kalau dia memang pencopet seperti Anda katakan tadi.” Tak ada maksudku untuk mengatakan begitu. Dan sejak saat itu kuanggap pertemuanku dengan inspektur itu percuma saja. “Tak ada lagi yang ingin Anda ceritakan tentang dia?” tanyanya waktu aku bangkit dan bersiap-siap untuk pergi.
“Ada,” kataku. Kumanfaatkan kesempatan terakhir itu sebaik-baiknya. “Kepalanya berbentuk brachycepbalic. Tidak akan mudah baginya untuk mengubah itu.” Aku senang melihat Inspektur Meadows menghentikan penanya. Jelas bahwa dia tak tahu bagaimana menuliskan kata brachycephalic itu. 49
BAB V Karena marah sekali, aku tak menyangka bahwa langkah berikutnya yang akan kuambil justru B lebih mudah. Waktu aku pergi ke Scotland Yard, aku sudah punya rencana. Rencana itu akan ku aksanakan bila pembicaraanku di Scotland Yard itu tidak memuaskan (yang ternyata memang sama sekali tidak memuaskan). Itu pun kalau aku masih punya keberanian untuk melaku‘ kannya. Tapi rupanya hal-hal yang dalam keadaan normal tak berani kita hadapi, bisa dengan mudah kita tangani dalam keadaan marah. Tanpa berpikir panjang aku pergi ke rumah Lord Nasby. Lord Nasby adalah jutawan yang memiliki t harian Daily Budget. Dia memiliki beberapa harian lain, tetapi Daily Budget adalah koran kesayangannya. Setiap orang di Kerajaan Inggris mengenalnya sebagai pemilik Daily Budget. Karena kegiatan sehari-hari orang besar itu baru saja diberitakan, aku tahu pasti di mana aku bisa ” menemukannya pada saat itu. Ini adalah saat-saat , dia mendiktekan surat-suratnya pada sekretaris-” *nya di rumahnya sendiri. 50 Aku tentu tidak berharap bahwa seorang wanita muda seperti aku yang ingin menemuinya ť akan segera diterima dan diperbolehkan bertemu dengan orang sepenting dia. Tapi aku sudah memikirkan hal itu. Di rumah keluarga Flemming, aku melihat kartu nama Marquis of Loamsley, yaitu bangsawan Inggris yang sangat terkenal karena kegemarannya berolahraga. Diam-diam kuambil kartu itu, kubersihkan cermat-cermat dengan roti tawar, lalu kutuliskan: ‘Tolong terima Nona Beddingfeld sebentar.” Petualang tak boleh terlalu teliti dalam cara kerjanya. Siasatku berhasil. Seorang petugas penerima tamu menerima kartu itu lalu membawanya, masuk. Lalu muncul seorang sekretaris yang pucat. Aku menang bersilat lidah dengannya. Dia masuk lalu muncul lagi dan memintaku untuk mengikutinya. Aku masuk ke sebuah kamar yang besar. Seorang juru tik steno yang ketakutan keluar melewati aku. Pintu tertutup dan tinggallah aku berdua dengan Lord Nasby. Orangnya serba besar. Kepalanya besar. Wajahnya besar. Kumisnya besar. Perutnya pun besar. Kukumpulkan seluruh keberanianku. Aku kemari bukan untuk mengomentari perut Lord Nasby yang besar. Suaranya menggelegar. “Ada apa? Mau apa Loamsley? Apa kamu sekretarisnya? Mengenai soal apa ini?” “Pertama-tama,” kataku dengan sikap setenang 51 mungkin, “saya tak kenal Lord Loamsley, dan beliau pasti tak tahu siapa saya. Saya mengambil kartunya dari rumah orang tempat saya menumpang. Dan kata-kata itu saya sendiri yang menulisnya.
Soalnya penting sekali saya harus bertemu dengan Anda.” Sesaat tampak seakan-akan Lord Nasby akan mengalami kejang karena marahnya. Akhirnya dia menelan ludah dua kali dan dapat menguasai dirinya. “Aku kagum pada keberanianmu, Anak muda. Nah, sekarang kau sudah bertemu denganku. Kalau kau bisa menarik minatku, kau boleh bicara selama dua menit, tidak lebih.” “Itu sudah cukup,” sahutku. “Saya yakin saya bisa menarik minat Anda. Ini mengenai misteri di Mill House.” “Kalau kau sudah berhasil menemukan ‘Pria Bersetelan Coklat’, tulis saja pada redaksi,” selanya cepat-cepat. “Kalau Anda menyela, saya akan membutuhkan lebih dari dua menit,” kataku dengan tegas. “Saya belum menemukan ‘Pria Bersetelan Coklat’, tapi kemungkinan besar saya akan berhasil.” Dengan menggunakan kata-kata sesedikit mungkin, kukemukakan fakta-fakta mengenai kecelakaan di stasiun kereta api bawah tanah, ndan kesimpulan yang kutarik mengenai hal itu. Setelah aku selesai, tanpa kuduga dia bertanya, “Apa yang kauketahui tentang kepala brachycephalic?” Kuceritakan tentang Papa. 52 “Pria penyelidik monyet itu? Oh. Yah, rupanya kepalamu ada isinya juga. Tapi ceritamu tadi meragukan. Tak bisa dijadikan pegangan. Dan agaknya tak ada gunanya bagi kami.” “Saya tahu betul itu.” “Lalu apa maumu?” “Saya ingin mohon pekerjaan di harian Anda untuk menyelidiki perkara ini.” “Tak bisa. Kami sudah punya orang khusus untuk itu.” “Tapi ada sesuatu yang lebih khusus yang saya ketahui.” “Yang baru kauceritakan tadi itu?” “Bukan, Lord Nasby. Masih ada yang lain lagi.” “Masih ada lagi? Kau memang cerdik. Apa itu?” “Waktu dokter palsu itu masuk ke lift, secarik kertas-tercecer dari sakunya. Saya memungutnya. Kertas itu berbau kapur barus. Sama dengan bau orang yang tewas itu. Tapi dokter itu sendiri tidak berbau begitu. Jadi saya segera berkesimpulan bahwa ‘dokter’ itu telah mengambilnya dari orang yang tewas itu. Pada kertas itu tertulis dua perkataan dan beberapa angka.”
“Coba kulihat.” Lord Nasby mengulurkan tangannya dengan seenaknya. “Saya keberatan,” kataku sambil tersenyum. “Soalnya itu penemuan saya.” “Aku benar kalau begitu. Kau memang gadis 53 yang cerdas. Tepat sekali tindakanmu untuk mempertahankan kertas itu. Apakah kau juga menolak menyerahkannya pada polisi?” “Tadi pagi saya ke sana dan saya tidak menyerahkannya pada mereka. Soalnya mereka tetap menganggap bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan peristiwa Marlow. Jadi saya pikir, dalam hal ini saya benar kalau saya tidak menyerahkannya. Apalagi inspekturnya telah membuat saya marah sekali.” “Picik sekali dia. Yah, aku hanya bisa berbuat begini, Anak gadis, teruslah bekerja dengan caramu sendiri. Bila kau menemukan sesuatu yang bisa diterbitkankirimkan kepada kami, dan kamu akan diberi kesempatan. Daily Budget selalu terbuka untuk orang-orang yang berbakat. Tapi kau harus membuktikan kemampuanmu dulu. Mengerti?” Aku mengucapkan terima kasih, dan minta maaf atas caraku masuk. “Sudahlah. Kadang-kadang aku suka juga kelancanganyang dilakukan oleh seorang gadis manis. Ngomong-ngomong, katamu kau hanya butuh waktu dua menit, tapi kau telah menghabis—kan tiga menit termasuk gangguan-gangguan. Bagi seorang wanita, itu hebat! Mungkin itu berkat pendidikan sains-mu.” Keluar dari gedung itu napasku memburu, seolah-olah aku baru saja berlari. Ternyata berkenalan dengan Lord Nasby telah membuatku letih. 54
BAB VI Aku pulang dengan perasaan gembira sekali. Rencanaku telah berhasil jauh lebih baik daripada yang kuharapkan. Lord Nasby telah sangat berbaik hati. Kini tinggal aku yang harus membuktikan kemampuanku. Setelah kukunci pintu kamarku, kukeluarkan kertasku tadi dan kupelajari dengan saksama. Inilah petunjuk misteri itu. Pertama-pertama, apa maksud angka-angka itu? Ada lima angka, dan sebuah titik di belakang dua angka yang pertama. “Tujuh belasseratus dua-puluh dua,” gumamku. Rasanya tidak memberi petunjuk apa-apa. Kemudian angka-angka itu kujumlahkan, seperti yang sering dilakukan orang dalam cerita-cerita fiksi dan yang selalu memberikan kesimpulan yang mengejutkan… “Satu ditambah tujuh, sama dengan delapan, ditambah satu sama dengan sembilan, ditambah dua sama dengan sebelas, ditambah dua lagi, menjadi tiga belas.” Tiga belas! Angka sial! Mungkin. Mungkin ini < merupakan suatu peringatan, mungkin pula sama sekali tak ada artinya. Aku tak mau percaya 55 bahwa suatu komplotan menulis angka tiga belas Ś dengan cara itu. Bila yang dimaksudnya tiga belas,-dia akan menuliskan “13”begitu saja. Di antara angka satu dan dua ada jarak. Oleh karenanya seratus tujuh puluh satu kukurangi dua puluh dua. Hasilnya seratus lima puluh sembilan. Kulakukan sekali lagi dan kujadikan seratus empat puluh sembilan. Latihan-latihan berhitung seperti ini baik sekali, tapi sebagai penyelesaian suatu misteri sama sekali tak berguna. Aku tak mau lagi berhitung, tak ingin lagi mencoba membagi dan mengali. Aku memperhatikan kata-katanya. Kilmorden Castle; Sesuatu yang lebih pasti. Itu pasti nama suatu tempat. Mungkin kediaman suatu keluarga ningrat. (Apakah ini merupakan peristiwa hilangnya seorang ahli waris? Ataukah r-tuntutan terhadap suatu gelar?) Mungkin pula merupakan suatu reruntuhan yang bagus. (Mungkinkah ada harta terpendam?) Ya, secara umum aku lebih cenderung yakin pada teori harta terpendam. Angka selalu berhubungan dengan harta terpendam. Selangkah ke kanan, tujuh langkah ke kiri, gali satu kaki, turuni dua puluh dua anak tangga. Begitulah umpamanya. Nanti aku bisa mengerjakannya. Yang penting sekarang adalah pergi ke Kilmorden Castle secepat mungkin. Aku menyusun strategi dalam kamarku lalu mengambil setumpuk buku petunjuk mengenai namanama tempat. Who’s who, Whitaker, Ga— 56 zetteer, Sejarah Rumah-rumah Kuno di Skodan-dia, dan Pulau-pulau Kecil di Sekitar Inggris. Satu
demi satu kuteliti dengan cermat. Tetapi dengan jengkel kututup buku yang terakhir. Rupanya tak ada satu pun tempat yang bernama Kilmorden Castle. Aku menghadapi jalan buntu. Tapi pasti ada tempat dengan nama itu. Untuk apa orang mengarangngarang nama itu dan menuliskannya di secarik kertas? Absurdi Aku mendapat pikiran baru. Mungkin itu sebuah rumah jelek berpagar setinggi benteng, di pinggiran kota, yang oleh pemiliknya diberi nama hebat begitu. Maka itu akan berarti sulit sekali mencarinya. Aku tetap jongkok dengan murung. (Aku selalu duduk di lantai bila harus melakukan sesuatu yang sangat penting.) Kurenungkan apa yang harus kulakukan lagi. Adakah jalan lain yang harus kutelusuri? Aku memeras otakku. Akhirnya aku melompat kegirangan. Aku harus mendatangi tempat kejadian itu. Itu selalu dilakukan oleh detektif-detektif ulung! Dan akhirnya, meskipun makan waktu lama, mereka selalu menemukan sesuatu yang tak terlihat oleh polisi. Jelas kini ke mana langkahku harus kutujukan. Aku harus pergi ke Marlow. Tapi bagaimana aku bisa masuk ke rumah itu? Kusingkirkan beberapa cara yang penuh petualangan, dan kupilih yang paling praktis. Waktu itu ‘rumah itu akan disewakanmungkin sekarang pun masih akan disewakan. Aku akan pura-pura 57 menjadi seorang calon penyewa. Yang pertama akan kudatangi adalah perusahaan penyewaan rumahrumah setempat. Di situ biasanya tidak terlalu banyak rumah yang terdaftar. Kali ini aku bertindak tanpa petunjuk tuan rumahku. Seorang petugas yang menyenangkan memberikan beberapa nama rumah yang menarik. Semuanya kutolak dengan berbagai alasan. Akhirnya aku merasa gagal. “Apa tak ada yang lain?” tanyaku sambil menatap mata petugas itu dengan tak acuh. “Yang di tepi sungai, dengan kebun yang luas dan punya pondok untuk tukang kebun.” Kutambahkan keteranganketerangan yang terakhir itu berdasarkan ciri-ciri Mill House yang kubaca di koran-koran. “Tentu. Ada. Rumah milik Sir Eustace Pedler,” kata petugas itu ragu. “Namanya Mill House.” “Bukankahitu,” kataku ragu. (Aku-jadi pandai sekali berpura-pura ragu.) “Benar! Tempat terjadinya pembunuhan itu. Saya rasa Anda tidak akan mau.” “Ah, saya rasa tak apa-apa,” sergahku. Aku sudah merasa yakin. “Soalnyasehubungan dengan kejadian itu, sewanya tentu bisa lebih murah.” Aku memuji akalku sendiri. “Yah, mungkin juga. Meskipun terus terang sekarang ini tak sulit mendapatkan penyewa rumah, dengan banyaknya orang memakai pembantu rumah tangga. Bila setelah melihatnya, 58
Anda menyukai - tempat itu, sebaiknya Anda mengajukan harga penawaran. Apakah Anda mau saya buatkan surat keterangan untuk melihat rumah itu?” “Ya, tolong.” Seperempat jam kemudian aku sudah berada di depan pondok tukang kebun Mill House. Setelah kuketuk, pintu langsung terbuka lebar dan seorang wanita setengah baya yang jangkung menghambur keluar. “Tak seorang pun boleh masuk ke rumah itu, tahu? Saya sudah bosan dengan wartawan-wartawan. Ini perintah Sir Eustace? “Saya dengar rumah itu akan disewakan,” kataku dengan nada dingin, sambil memperlihatkan surat keteranganku. “Tapi kalau sudah ada penyewanya” “Aduh, maaf sebesar-besarnya, Nona. Saya sudah terlalu banyak diganggu oleh para wartawan. Tak semenit pun saya diberi waktu. Rumah itu tak jadi disewakan.” “Mengapa? Apakah saluran airnya rusak?” bisikku penuh gairah. “Oh, tidak. Saluran airnya tak apa-apa! Masa Anda belum mendengar tentang wanita asing yang dibunuh di sini?” “Memang saya baca di koran-koran,” kataku tak acuh. Sikap tak acuhku rupanya membuatnya jengkel. Sekiranya aku menunjukkan perhatianku, mungkin dia malah akan menutup mulutnya ra— 59 pat-rapat. Kini, dia justru mengoceh tanpa kuminta. “Saya yakin Anda sudah mendengar! Peristiwa itu diberitakan di semua koran. Harian Daily Budget bahkan bertekad untuk menemukan siapa pelakunya. Menurut mereka, polisi kita tak mampu. Mudahmudahan saja mereka berhasil menangkapnyameskipun sebenarnya dia anak muda yang tampan. Dia gagah sekali. Penampilannya seperti bekas tentara. Saya rasa dia pernah luka dalam peperangan. Mereka kadang-kadang menjadi agak aneh sesudah perang usai. Anak kakak saya juga begitu. Mungkin wanita itu telah memperlakukannya dengan kasarorang asing memang jahat. Tapi wanita itu sangat cantik. Di situlah dia berdiri, di tempat Anda berdiri sekarang.” “Bagaimana warna rambutnya, hitam atau pirang?” tanyaku memberanikan diri. “Foto yang ada di koran-koran itu tak jelas.” “Rambutnya hitani, tapi wajahnya putih sekali terlalu putih, dan menurut saya tak wajarbibirnya dicat tebal. Tak suka saya melihatnya saya suka pemakaian bedak yang tipis saja.” Kami sudah seperti teman lama yang asyik mengobrol, sekarang. Kemudian aku bertanya lagi. “Apakah dia kelihatan gugup atau resah?” “Sama sekali tidak. Dia tersenyum-senyum dan tenang-tenang saja, seolah-olah dia sedang
memikirkan sesuatu. Sebab itu saya terkejut setengah 60 mati waktu esok siangnya kedua orang itu lari ke luar, memanggil polisi dan mengatakan telah terjadi pembunuhan. Saya tidak akan pernah lupa. Dan saya tidak akan mau menginjak rumah itu kalau hari sudah malam. Ya, saya bahkan tidak akan mau lagi tinggal di pondok ini, sekiranya Sir Eustace tidak datang sendiri menyembah-nyembah meminta saya untuk itu.” “Saya pikir Sir Eustace ada di Cannes?” “Waktu itu memang. Dia kembali ke Inggris segera setelah mendengar berita itu. Dan mengenai menyembah itu, sebenarnya maksud saya dalam arti lain. Sekretarisnya, Mr. Pagett, menawarkan kepada kami gaji dua kali lipat kalau kami mau tetap tinggal di sini. Dan suami saya, John, berkata bahwa uang masih tetap ada artinya.” Aku setuju sekali dengan kata-kata John itu. “Mengenai pemuda itu,” kata Nyonya James, tiba.-tiba beralih ke pokok pembicaraan semula. “Dia yang nampaknya kebingungan sekali. Matanya yang berwarna cerah, melotot. Saya perhatikan benar itu. Dia sedang kacau, pikir saya. Tapi saya sama sekali tak menyangka sampai demikian buruk keadaannya. Bahkan waktu dia keluar kembali dalam keadaan aneh begitu, saya masih belum curiga.” Ť*w “Berapa lama dia berada di dalam rumah itu?” ‘Tak lama, mungkin hanya kira-kira lima menit.” “Berapa tingginya? Ada kira-kira seratus delapan puluh?” 61 “Saya rasa begitulah.” “Kau Anda wajahnya tercukur rapi?” “Benardan tak berkumis.” “Apakah dagunya sampai kelihatan berkilat’” tanyaku mendadak. Nyonya James menaupku keheranan. “Ya, sekarang saya ingat, memang berkilat. Bagaimana Anda tahu?” “Aneh sekali. Pembunuh selalu berdagu licin,” kauku seenaknya. Nyonya James menerima penjelasanku itu dengan penuh kepercayaan. “Begitukah? Saya belum pernah mendengar hal itu.”
“Saya yakin Anda tidak memperhatikan bagaimana bentuk kepalanya?” “Biasa-biasa saja. Biar saya ambilkan kunci-kunci rumah itu, ya?” Kuterima kunci-kunci itu, lťlu pirgi ke Mill House. Sampai sejauh ini rekonstruksiku kuanggap cukup baik. Kurasa perbedaan-perbedaan mengenai laki-laki yang dilukiskan Nyonya James dengan dokter palsu di stasiun kereta api bawah tanah dulu, tak penting. Dokter palsu itu mengenakan mantel, berjenggot, dan memakai kaca mata berbingkai emas. Penampilannya memang benar-benar seperti orang setengah baya, tetapi waktu dia membungkuk untuk memeriksa mayat itu, geraknya lentur seperti gerak pria muda. Tampak jelas kelenturan geraknya yang merupakan ciri khas persendian yang muda. 62 Korban kecelakaan (yang kusebut Pria Kapur Barus) dan wanita asing yang bernama Nyonya de Castina, atau entah siapa namanya sebenarnya, telah berjanji untuk bertemu di Mill House. Begitulah kesimpulanku. Enuh karena takut diawasi orang, atau karena alasan lain, mereka mencari akal yang cerdik. Masing-masing minta surat keterangan untuk melihat rumah yang sama. Dengan demikian pertemuan mereka di sana akan kelihatan sebagai suatu kebetulan saja. Aku yakin sekali bahwa pertemuan antara Pria Kapur Barus dengan dokter palsu itu benar-benar tak terduga dan membuatnya terkejut. Apa yang kemudian terjadi? Dokter palsu lalu menanggalkan penyamarannya dan menyusul wanita itu ke Marlow. Tapi ada kemungkinan bahwa bila dia menanggalkan samaran itu dengan tergesa-gesa, bekas-bekas lem masih ketinggalan di dagunya. Itulah yang”kutanyakan pada Nyonya James tadi. Aku tiba di pintu Mill House dengan pikiran yang dipenuhi hal-hal itu. Pintu rumah itu rendah dan modelnya model lama. Setelah kubuka kuncinya, aku masuk. Lorong rumah itu rendah, gelap, dan baunya apek. Entah mengapa, aku bergidik. Wanita yang masuk ke rumah ini sambil tersenyumsenyum beberapa hari yang lalu itu, apakah dia tidak merasa ngeri dan berfirasat buruk? Tidakkah senyumnya lalu menghilang dari bibirnya, dan hatinya lalu tercekam ngeri? Atau apakah dia naik ke lantai atas sambil tetap tersenyum, tanpa menyadari nasib buruk yang akan menimpanya? 63 Jantungku berdebar. Apakah rumah ini benar-benar kosong? Apakah aku juga akan ditimpa nasib buruk? Kini aku baru mengerti arti kata “suasana” yang begitu banyak digunakan orang. Di rumah ini ada suasana itu, suasana kekejaman, ancaman, dan kejahatan.
BAB VII Aku cepat-cepat naik ke lantai atas sambil menepiskan perasaan-perasaan yang menekanku itu. Tak sulit menemukan kamar tempat tragedi itu terjadi. Waktu mayat itu diambil, hari hujan lebat, jadi tampak bekas-bekas tapak sepatu besar-besar yang berlumpur di lantai yang tanpa alas itu. Aku ingin tahu apakah si pembunuh meninggalkan jejaknya sehari sebelumnya. Kalaupun ada, kurasa polisi tidak akan mau bicara tentang hal itu. Tapi kurasa tak mungkin ada, sebab waktu itu cuaca 4>aik dan kering. Tak ada yang menarik di kamar itu. Kamar itu berbentuk segi empat, berjendela besar dua buah. Dindingnya putih polos dan lantainya tak beralas. Pada lantai di sudut tampak bekas karpet. Aku mencari dengan teliti di situ, tapi sebuah jarum pun tak kutemukan. Agaknya detektif yang berbakat ini tak bisa menemukan petunjuk yang tertinggal. Aku datang dengan membawa pensil dan buku catatan. Tapi rupanya tak banyak yang dapat dicatat. Maka kubuat saja sketsa kamar itu untuk menutupi kekecewaanku atas kegagalan usahaku. 65 Waktu akan mengembalikan pensil ke dalam tas, pensil itu terlepas lalu menggelinding di lantai. Mill House ini benar-benar sudah tua dan lantainya tidak rata. Pensil itu terus menggelinding sampai terhenti di bawah salah sebuah jendela. Pada setiap dasar jendela ada papan lebar dan di bawahnya ada lemari kecil. Pensilku terhenti di dekat pintu lemari itu. Lemari itu tertutup. Pikirku, seandainya pintu tersebut terbuka pasti pensilku sudah masuk ke dalamnya. Kubuka pintu itu dan pensilku pun langsung berguling masuk dan dengan amannya tersembunyi di sudut yang terjauh. Aku menjangkau akan mengambilnya. Karena kurangnya cahaya dan anehnya bentuk lemari itu, maka aku tak bisa melihat dan hanya meraba-raba saja. Lemari itu kosong, kecuali pensilku tak ada apa-apa di situ. Karena sifatku yang*$uka menyelidik, aku lalu mencoba mencari dalam lemari di bawah jendela yang satunya. Mula-mula kelihatannya lemari itu juga kosong. Tetapi aku meraba-raba terus, dan usahaku berhasil. Tanganku menyentuh sebuah gulungan kertas yang keras, yang terletak di sudut terjauh dari lemari itu. Setelah kupegang aku segera tahu apa itu. Sebuah tabung film Kodak. Ini baru penemuan! Aku merasa yakin bahwa tabung film itu tentu merupakan film tua milik Sir Eustace Pedler, yang menggelinding kemari tanpa ketahuan, dan tidak ditemukan orang waktu mereka mengosongkan 66 lemari itu. Tapi ternyata tidak. Kertas merahnya masih kelihatan baru sekali. Tabung itu berdebu, dan dari tebalnya debu dapat dilihat bahwa tabung itu telah tergeletak di situ selama dua atau tiga hariartinya, sejak hari pembunuhan itu. Seandainya benda itu sudah lama tergeletak di situ, pasti debunya lebih tebal lagi. Tercecer dari siapakah tabung tersebut? Si wanita atau laki-laki itu? Aku ingat bahwa isi tas wanita itu masih lengkap. Seandainya tabung film itu jatuh karena tasnya tersentak dan terbuka dalam perkelahian, tentu ada beberapa uang recehnya yang ikut tercecer. Jadi bukan si wanita yang
menjatuhkan tabung film itu. Aku tiba-tiba curiga, lalu mendengus. Apakah kapur barus telah menjadi obsesi bagiku? Aku yakin sekali bahwa tabung m itu akan berbau kapur barus juga. Kudekatkan tabun tu ke hidungku. Baunya keras seperti biasanva bau film, tapi kecuali itu tercium juga olehku bau yang sangat kubenci itu. Aku segera menemukan sebabnya. Di ujung serat kayu yang kasar di bagian tengah lemari, tersangkut seutas benang kain yang berbau kapur barus. Mungkin film itu dibawa dalam saku pria yang tewas di stasiun kereta bawah tanah itu. Jadi diakah yang telah menjatuhkannya di sini? Tak mungkin. Semua kegiatannya sudah diketahui. Bukan, pasti pria yang seorang lagi, si dokter palsu. Waktu dia mengambil kertas itu, dia mengambil tabung film ini juga. Dialah yang 67 menjatuhkan film ini dalam pergulatannya dengan wanita itu. Aku menemukan petunjuk! Film-film itu akan kucuci, dan akan makin kuatlah dasar usahaku. Kutinggalkan rumah itu dengan perasaan puas. Kunci-kunci, rumah kukembalikan pada Nyonya James, dan aku cepat-cepat pergi ke stasiun. Setiba di kota kukeluarkan kertas itu dan kupelajari lagi. Tiba-tiba angka-angka itu menjadi jelas. Mungkinkah itu merupakan tanggal? 17 1 22. Tanggal 17 Januari, tahun 1922. Pasti itu! Bodoh sekali aku, tidak terpikir ke situ sebelumnya. Tapi kalau begitu aku harus menemukan di mana Kilmorden Castle itu, karena hari ini sudah tanggal 14. Tinggal tiga hari lagi. Tinggal sedikit sekali waktunyabahkan boleh dikatakan tak ada lagi harapan karena aku tak punya bayangan ke mana harus mencari’ Sekarang sudah terlambat untuk mengantarkan film itu hari ini juga. Aku harus cepat-cepat pulang ke Kensington supaya tak terlambat makan malam. Tiba-tiba kusadari bahwa ada suatu jalan yang mudah untuk menilai apakah kesimpulan-kesimpulanku benar. Kutanyakan pada Tuan Flemming apakah di antara barang-barang si Pria Kapur Barus terdapat kamera. Aku tahu bahwa Tuan Flemming menaruh perhatian besar dan tahu benar tentang hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa itu. Aku terkejut dan jengkel mendengar bahwa tak ada kamera. Semua barang-barang Carton telah 68 diperiksa dengan teliti, dengan harapan akan menemukan sesuatu yang bisa sedikit menyingkap kabut misteri itu. Tapi Tuan Flemming vakin tak ada kamera di antara barang-barangnya. Itu merupakan hambatan dalam teoriku. Bila dia tak punya kamera, untuk apa dia membawa-bawa tabung film? Esok harinya pagi-pagi aku pergi membawa film itu untuk dicuci. Aku begitu tegang hingga aku jauhjauh pergi sampai ke Regent Street ke agen pusat Kodak. Tabung film itu kuserahkan dan kuminta supaya semuanya dicuci. Petugas menyelesaikan pekerjaannya menyusun film-film yang terbungkus dalam tabung-tabung timah, untuk daerah tropis. Lalu mengambil tabung filmku. Dia memandangku.
“Saya rasa Anda telah membuat kekeliruan,” katanya-sambil tersenyum. “Ah, tidak,” kataku. “Saya yakin saya tak salah.” “Anda telah keliru memberikan tabung film yang salah. Film-film ini belum digunakan.” Aku keluar dengan mempertahankan harga diriku sekuat tenaga. Memang baik juga kalau sekali-sekali kita menyadari bahwa kita bisa juga berbuat bodoh sekali. Lalu, waktu melewati salah satu kantor-kantor perkapalan besar, aku tiba-tiba terhenti. Di kaca jendelanya terpasang gambar salah satu kapal indah milik perusahaan itu, dan kapal itu bernama 69 “Kenilworth Castle”. Timbullah suatu pikiran gila dalam benakku. Kudorong pintu kantor itu dan aku masuk. Aku menuju meja Jayanan dan dengan suara ragu (yang kali ini memang benar-benar), aku bergumam, “Kilmorden Castle?” “Berangkat dari Southampton tanggal 17. Anda akan ke Cape Town? Kelas satu atau kelas dua?” “Berapa?” “Kelas satu, delapan puluh tujuh pound” Aku Ťtersentak. Mengapa begitu kebetulan! Sama benar dengan jumlah uang yang kuwarisi! Aku ingin mengadu nasibku! “Kelas satu,” kataku. Kini aku benar-benar menerjuni petualangan ini. 70
BAB VIII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler, MP)* Aneh, agaknya aku tak pernah bisa mengecap kedamaian. Aku sebenarnya suka hidup tenang. Aku menyukai klub tempatku menggabungkan diri, suka main bridge, suka makanan enak dan anggur yafe; enak. Aku suka negeriku, Inggris di musim panas dan Riviera di musim dingin. Aku tak punya hasrat untuk mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang sensasional. Aku hanya mauinembaca kejadian-kejadian itu dari surat kabar saja, kadang-kadang sambil duduk di depan perapian. Tak lebih dari itu. Tujuanku dalam hidup hanyalah ingin benar-benar nyaman. Untuk mencapai tujuan itu, aku telah menggunakan banyak akal dan uang. Tapi aku tak bisa berkata bahwa aku telah berhasil dalam hal itu. Kalaupun hal-hal itu tidak terjadi atas diriku, dia terjadi di sekitar diriku, dan sering-sering aku terlibat meskipun aku tak suka. Aku benci kalau aku sampai terlibat. Hal itu terjadi lagi waktu Guy Pagett tadi pagi MP: Member of Parliament (Anggota Parlemen) 71 masuk ke kamar tidurku, membawa sepucuk telegram. Wajahnya murung seperti orang sedang menghadiri suatu pemakaman. Guy Pagett adalah sekretarisku. Dia rajin sekali, mau bei susah-payah dan tak enggan bekerja keras. Pokoknya dia mengagumkan dalam segala \jal. Namun tak ada seorang pun yang bisa lebih menjengkelkan aku selain dia. Sudah lama aku mencari akal agar dapat menyingkirkannya. Tapi seorang sekretaris yang lebih suka bekerja daripada bersenang-senang, yang suka bangun pagi-pagi dan yang pekerjaannya sama sekali tak ada cacatnya, tak mudah dipecat. Hanya ada satu hal yang lucu pada diri laki-laki itu, yaitu wajahnya. Wajahnya mirip ahli pemb^tracun di abad XIVseperti budak orang-orang Borgia. Aku tidak merasa jengkel kalau dia tidak me-‘ nyuruhku bekerja juga. Menurutku, bekerja itu harus dijalankan dengan santai dan seenaknya pokoknya disepelekan! Kurasa Guy Pagett tak pernah meremehkan sesuatu selama hidupnya. Segala-galanya dianggapnya serius. Itulah sebabnya hidup dengan dia begitu sulit. Minggu yang lalu aku mendapat akal yang cemerlang. Aku menyuruhnya pergi ke Florence. Dia pernah bercerita tentang Florence dan mengatakan betapa inginnya dia pergi ke sana. “Besok kau berangkat ke sana,” kataku dengan bersemangat. “Aku yang akan membayar semua biayanya.” Bulan Januari memang bukan waktu yang tepat untuk pergi ke Florence, tapi bagi Pagett akan sama saja. Bisa kubayangkan dia berkeliling kota, sambil membawa buku petunjuk dan dengan sikap santrinya mengelilingi semua balai lukisan. Dengan demikian akan bebaslah aku selama seminggu. Ongkos yang kukeluarkan relatif rriuran* dibanding dengan kebebasan yang kuperoleh.
Minggu itu benar-benar menyenangkan. Aku melakukan semua yang kuingini, dan tidak melakukan satu pun yang tidak kuingini. Tapi waktu mataku mengerjap-ngerjap lalu terjbuka, dan kulihat Pagett berdiri di dekatku pukul sembilan pagi yang bagiku masih awal sekali, sadarlah aku bahwa kebebasanku sudah hilang. “Eh, Pagett,” kataku. “Sudah selesaikah acara pemakamannya? Atau nanti baru akan dilakukan?” Pagett tak suka lelucon. Dia menatap lurus. “Attda-sudah tahu rupanya, Sir Eustace.” “Sudah tahu apa?” bentakku. “Dari ekspresi wajahmu aku bisa menyimpulkan bahwa salah seorang keluarga dekatmu yang kausayangi harus dikuburkan pagi ini.” Pagett sama sekali tak menanggapi kelakar itu. “Saya pikir Anda belum tahu tentang ini.” Dijentiknya telegram yang dipegangnya. “Saya tahu Anda tak suka dibangunkan pagi-pagimeskipun sekarang sudah pukul sembilan,”Pagett tetap menganggap bahwa pukul sembilan itu su-dah-tengah hari“dan saya pikir karena ini penting” dijentiknya lagi telegram itu. 73 72 “Apa itu?” tanyaku. “Telegram dari polisi di Marlow. Seorang wanita kedapatan terbunuh di rumah Anda.” Aku jadi serius. “Bualan besar apa itu?” seruku. “Mengapa “harus di rumah&Ť? Siapa yang membunuhnya?” “Itu tak dikatakan. Saya pikir kita harus segera kembali ke Inggris, Sir Eustace.” “Kau tak perlu punya pikiran seperti itu. Mengapa kita harus kembali?” “Polisi-“ “Apa urusanku dengan polisi?” “Soalnya itu rumah Anda.” “Itulah sialnya,” kataku. “Tapi itu bukan salahku.” Guy Pagett menggeleng dengan murung. “Pengaruhnya akan buruk terhadap daerah pemilihan Anda,” katanya tetap dengan murung. Aku tak mengerti mengapa harus begitunamun kurasa naluri Pagett selalu benar dalam hal itu. Dilihat sepintas lalu, sama sekali tak ada pengaruhnya atas diri seorang anggota Parlemen, bila seorang wanita muda yang tak dikenal mari rterbunuh di rumahnya yang kosongtapi bagaimana anggapan rakyat Inggris yang terhormat, k belum diketahui.
“Apalagi wanita itu orang asing,” sambung Pagett. Lagi-lagi kupikir dia benar. Ada seorang wanita terbunuh di rumah kita saja sudah kurang terhor— 74 mat, apalagi bila wanita itu orang asing. Aku teringat sesuatu. * “Astaga,” seruku. “Kuharap hal itu tidak merisaukan Caroline.” Caroline adalah tukang masakku. Kebetulan dia istri tukang kebunku. Aku tak tahu apakah dia seorang istri yang baik atau tidak, yang jelas dia seorang tukang masak yang jempolan. Sebaliknya James bukan tukang kebun yang baiktapi aku tak terlalu keberatan dengan kemalasannya dan kuberi dia tempat tinggal di pondok itu, semata-mata demi masakan Caroline. “Saya rasa dia tidak akan mau tinggal setelah kejadian ini,” kata Pagett. “Kau selalu pesimis,” kataku. Kurasa aku terpaksa kembali ke Inggris. Pagett jelas-jelas setengah memaksaku. Apalagi aku juga harus menenangkan Caroline. Tiga hari kemudian. Aku selalu merasa heran bila ada orang yang tidak meninggalkan Inggris dalam musim dingin meskipun sebenarnya dia bisa pergi! Iklimnya buruk sekali di sana! Aku jengkel dengan semua urusan ini. Agen penyewaan rumah mengatakan bahwa mungkin tidak ada lagi orang yang berminat menyewa Mill House, setelah berita itu begitu meluas. Caroline sudah bisa ditenangkandengan gaji dua kali lipat. Sebenarnya kami bisa menyelesaikan hal itu dengan ‘menelegramnya dari Cannes 75 saja. Jadi seperti yang kukatakan, tak ada gunanya aku kembali. Besok aku akan pergi lagi. Esok harinya. Beberapa kejutan telah terjadi. Pertama-tama aku bertemu dengan Augustus Milray. Dia adalah contoh sempurna seorang pegawai negeri yang benar-benar bodoh. Tanpa memperhatikan rahasia hubungan diplomatik, ditariknya aku ke sudut yang sepi di Klub. Dia bicara banyak. Tentang ‘Afrika Selatan dan situasi perindustrian di sana. Mengenai desas-desus yang makin santer tentang ; pemogokan di Rand. Tentang alasan-alasan timbulnya pemogokan itu. Aku menyabarkan diri untuk mendengarkan. Akhirnya dibisikkannya tentang bocornya dokumen-dokumen tertentu vang seharusnya diserahkan ke tangan Jenderal Smuts. “Saya yakin Anda benar,” kataku sambi] menahan kantuk.
“Tapi bagaimana kita bisa menyerahkannya padanya? Kedudukan kita dalam hal ini sulit sekali.” “Mengapa tidak melalui pos saja?” tanyaku dengan ceria. “Tempelkan saja perangko seharga dua penny, dan masukkan saja ke kotak pos terdekat.” Dia kelihatan terkejut sekali mendengar usulku itu. “Aduh, melalui pos biasa! Bagaimana Anda ini, Pedler?” 76 Aku tak pernah mengerti mengapa Pemerintah mengangkat apa yang disebut “Utusan Raja”. Karena bukankah dengan demikian perhatian orang malah lebih tertarik pada dokumen rahasia mereka. “Jika Anda tak suka melalui pos, kirim saja salah seorang anak buah Anda yang masih muda. Mereka pasti senang disuruh bepergian.” “Tak mungkin,” kata Milray sambil menggeleng-geleng seperti orang bodoh. “Ada alasannya, Saudara Pedlerpercayalah, saya punya alasan.” “Yaaah,” kataku sambil bangkit. “Semuanya itu memang menarik, tapi saya harus pergi” “Sebentar lagi, Saudara Pedler, saya minta waktu sebentar lagi. Bukankah Anda punya niat untuk pergi ke Afrika Selatan tak lama lagi? Saya tahu Anda punya kepentingan di Rhodesia. Dengan adanya kemungkinan bahwa Rhodesia akan digabungkan dengan Kesatuan, maka kepentingan Anda akan sangat terancam.” “Saya akan ke sana sebulan lagi.” “Apakah tak bisa dipercepat? Bulan ini misalnya? Atau lebih baik lagi minggu ini?” “Bisa memang,” kataku sambil memandanginya dengan penuh perhatian. “Tapi belum tentu saya mau.” “Itu akan berarti Anda sangat membantu Pemerintahsungguh. Anda tentu tahu bahwa Pemerintahtidak akan melupakan jasa Anda.” “Maksud Anda, Anda akan menjadikan saya tukang pos?” 77 “Tepat. Kedudukan Anda dalam hal ini tak resmi, perjalanan Anda akan terjamin. Semuanya akan memuaskan.” “Yah,” kataku lambat-lambat. “Baiklah. Saya memang ingin sekali keluar dari Inggris secepat mungkin.” “Anda akan merasa cocok dengan iklim di sana.”
“Saya tahu betul mengenai iklim di sana. Beberapa waktu sebelum perang saya di sana.” “Sava betul-betul berutang budi pada Anda, Pedler. Kiriman itu akan saya sampaikan pada Anda melalui seorang pesuruh. Harap Anda ingat, serahkan ke tangan Jenderal Smuts sendiri. Kapal Kilmorden Castle akan berangkat hari Sabtukapal itu bagus.” Kami berjalan bersama sampai di Pall Mali, lalu kami berpisah. Dia menjabat tanganku dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Aku berjalan pulang sambil merenungkan penyimpanganpenyimpangan kebijaksanaan Pemerintah. Esok malamnya Jarvis, kepala pelayanku, memberitahukan bahwa ada seorang pria yang ingin menemuiku untuk urusJm pribadi, tapi orang itu tak mau memberitahukan’ namanya. Aku selalu benci pada petugas-petugas polis asuransi, maka kusuruh Jarvis mengatakan bahwa aku tak mau menerimanya. Sayang sekali, Guy Pagett yang dalam hal ini akan sangat berguna, sedang dapat serangan sakit perut. Anak-anak muda yang serius 78 dan mau bekerja keras, perutnya lemah dan mudah terserang penyakit. Jarvis kembali. “Orang itu minta disampaikan bahwa dia adalah utusan Tuan Milray, Sir Eustace.” Kini soalnya jadi lain. Beberapa menit kemudian aku berhadapan dengan tamuku di ruang baca. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap, kulitnya merah sekali karena sengatan matahari. Dari sudut matanya sampai rahangnya tergores suatu bekas luka. Bekas luka itu merusak wajahnya yang sebenarnya tampan, meskipun tampak berkesan nekat. “Ada apa?” tanyaku. “Saya diutus oleh Mr. Milray, Sir Eustace. Saya disuruhnya menyertai Anda ke Afrika Selatan sebagai sekretaris Anda.” “Anak muda,” kataku, “aku sudah punya sekreiartB.-Aku tak butuh lagi.” “Saya rasa perlu, Sir Eustace. Mana sekretaris Anda?” “Dia sedang sakit perut,” kataku. “Apakah memang hanya sakit perut biasa?” ‘Tentu. Dia sering mendapat serangan itu.” Tamuku tersenyum. “Mungkin benar, mungkin juga tak benar bahwa itu sakit perut biasa. Waktulah yang akan membuktikannya. Tapi sebaiknya saya katakan saja, Sir Eustace, Mr. Milray tidak akan terkejut bilamendengar ada usaha untuk menyingkirkan sekretaris Anda itu. Anda tak perlu kuatir akan 79 diri Anda sendiri”mungkin di wajahku sekilas terbayang rasa kuatirku “bukan Anda yang terancam. Bila sekretaris Anda sudah tersingkir, akan lebih mudah untuk menghubungi Anda. Bagaimanapun juga, Mr. Milray menginginkan saya menyertai Anda. Mengenai biaya perjalanan tentu urusan kami. Yang harus Anda urus hanya paspor. Tolong Anda katakan bahwa Anda butuh seorang sekretaris
tambahan.” Anak muda itu sangat penuh percaya diri. Kami bertatapan, sampai akhirnya aku yang mengalah. “Baiklah,” kataku. “Anda tak boleh mengatakan pada siapa-siapa bahwa saya akan ikut Anda.” “Baik,” kataku lagi. Barangkali ada juga baiknya anak muda ini ikut aku. Tapi aku mendapat firasat bahwa aku makin terseret ke dalam urusan yang tak menyenangkan. Padahal kusangka aku akan mendapat ketenangan! Waktu tamuku berbalik akan pulang, aku menghadangnya. “Sebaiknya aku tahu siapa nama sekretarisku yang baru,” kataku sinis. Dia berpikir sebentar. “Saya rasa Harry Rayburn cocok juga,” katanya. Aneh sekali cara mengatakannya. “Baiklah,” kataku untuk yang ketiga kalinya. 80
BAB IX (Sambungan Kisah Anne) Sungguh memalukan bila seorang pahlawan wanita mabuk laut! Dalam buku-buku cerita, makin hebat kapal itu oleng dan terhempas, makin “senang dia. Sedang semua orang mabuk, dia seorang diri berjalan-jalan di dek, menantang semua kesulitan dan menikmati badai. Dengan sangat menyesal aku harus mengakui bahwa pada waktu Kilmorden oleng untuk pertama kalinya, aku langsung pucat dan bergegas turun. Seorang pramugari laut yang simpatik menyambutku. Dianjurkannya agar aku minum-minuman jahe. Tiga hari lamanya aku mengerang dalam kamarku. Lupa akan buruanku. Aku tak lagi punya minat untuk memecahkan misteri. Aku sama sekali bukan Anne yang pulang ke South Kensington dengan girang dari kantor agen perkapalan. Aku tersenyum bila terkenang caraku masuk ke ruang tamu dengan mendadak-waktu itu. Di situ hanya ada Nyonya Flemming. Dia menoleh waktu aku masuk. 81 “Kau rupanya, Anne. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu.” “Ada apa?” tanyaku tak sabar. “Nona Emery akan berhenti.” Nona Emery adalah guru pengasuh pribadi. “Karena kau belum juga berhasil mendapat pekerjaan, bagaimana kalau kau yang menggantikannyaaku senang kalau kau tetap tinggal di sini.” Hatiku tersentuh. Aku tahu bahwa dia tidak menginginkan aku tinggal. Semata-mata keinginannya untuk beramal sebagai layaknya seorang Kristen yang baik saja yang mendorongnya menawarkan itu padaku. Aku menyesal bahwa selama ini diam-diam aku tidak menyukainya. Aku bangkit lalu berlari menyeberangi ruangan itu dan merangkulnya. “Anda baik sekali,” kataku. “Sangat, sangat baik! Terima kasih banyak sekali. Tapi saya tak bisa menerima tawaran Anda. Saya akan berangkat ke Afrika Selatan harf Sabtu.” Reaksiku yang tak terduga itu sangat mengejutkan wanita yang baik hati itu. Dia tak biasa mendapat pernyataan kasih sayang yang begitu demonstratif, tapi kata-kataku lebih-lebih lagi mengejutkannya. “Ke Afrika Selatan? Anne… Anne. Soal seperti itu harus kita pertimbangkan dulu baik-baik.” Aku tak suka mendengar kata-kata itu. Kujelaskan bahwa aku sudah membeli tiket kapal. Dan kujelaskan pula bahwa sesampainya Ji sana aku akan menjadi pembantu rumah tangga. Hanya 82 itulah yang terpikir olehku pada saat itu. Kukatakan bahwa di Afrika Selatan pembantu rumah tangga dicari orang. Kuyakinkan padanya bahwa aku mampu menjaga diriku sendiri. Dan akhirnya, dia menerima baik rencanaku tanpa banyak bertanya. Kurasa dia lega karena bisa lepas tangan dari diriku.
Waktu berpisah, diselipkannya sebuah amplop ke tanganku. Di dalamnya kudapati lima lembar uang lima pound yang masih baru benar, sepucuk surat pendek yang berbunyi, “Kuharap kau tidak merasa tersinggung dan mau menerima ini demi rasa sayangku.” Dia memang orang yang baik hati. Aku tidak akan mungkin bisa tinggal dengan dia terus, tapi kuakui bahwa pada dasarnya dia adalah orang baik. Sekarang dengan uang dua puluh lima pound dalam-^sakuku, aku siap bertualang menjelajahi dunia. Pada hari keempat, pramugari mendesakku agar mau naik ke dek. Dengan tekad bahwa aku akan bisa mati lebih cepat di bawah, aku menolak keras meninggalkan tempat tidurku. Lalu dikatakannya bahwa kami sudah hampir tiba di Madeira. Harapanku timbul. Aku bisa turun di tempat itu dan menjadi pembantu rumah tangga. Yang penting, aku bisa turun ke darat. Seluruh tubuhku dibungkus dalam berlapis-lapis mantel dan selimut tebal. Kakiku terasa lemah sekali. Aku dipapah lalu didudukkan di 83 sebuah kursi dek. Aku duduk saja dengan mata terpejam. Aku sama sekali tidak merasa senang. Seorang petugas pasasi kapal, seorang pria muda yang berambut pirang dan wajahnya bulat kekanakan, mendatangiku lalu duduk di sampingku. “Halo! Anda tentu merasa kesal pada diri sendiri, bukan?” “Ya,”, sahutku. Aku benci padanya. “Sehari dua lagi, Anda tidak akan ingat akan keadaan Anda sekarang ini. Kita baru saja menempuh gelombang besar di Teluk. Tapi kita akan menempuh cuaca yang baik. Besok Anda akan saya ajak main ketangkasan lempar gelang-gelang-an.” Aku diam saja. “Pasti Anda merasa tidak akan sembuh, ya? Saya sering melihat orang yang lebih parah keadaannya daripada Anda. Dan dua hari kemudian dia menjadi orang yang paling aktif dLkapal ini. Anda pun akan demikian.” Aku masih bisa menahan marahku, dan aku tak sampai hati untuk langsung mengatainya pembohong. Tapi hal jju kusampaikan dengan pandanganku. Dia masih bertahan mengobrol beberapa menit lagi, kemudian pergi. Aku bersyukur. Orang-orang lewat berseliweran. Pasangan-pasangan yang segar berolahraga, anak-anak berlompatan dengan riang, dan anak-anak muda tertawa-tawa. Ada beberapa orang penderita seperti aku, berbaring di kursi dek. Udaranya enak, berangin tapi tidak terlalu 84 dingin, dan matahari bersinar cerah. Tanpa kusadari aku merasa agak senang. Aku mulai memperhatikan orang-orang di sekelilingku. Seorang wanita menarik perhatianku. Dia berumur kira-
kira tiga puluh, tingginya cukupan, rambutnya pirang sekali, wajahnya bulat berlesung pipit, dan matanya biru sekali! Pakaiannya, meskipun sederhana, sangat bergaya dan menunjukkan bahwa itu buatan Paris. Dengan gayanya yang enak dilihat dan penuh percaya diri, dia seolah-olah memiliki kapal itu! Para pramugara dek berlari-lari mematuhi perintah-perintahnya. Kursi deknya pun khusus, dan berbantal banyak sekali. Tiga kali dia minta kursi deknya dipindahkan. Dan selama segala kesibukan itu, dia tetap cantik dan menarik. Dia adalah satu dari orang-orang yang tak banyak jumlahnya di dunia ini, yang tahu apa yang diingininya, berusaha untuk mendapatkan keinginannya, dan menuntut semuanya itu tanpa menyinggung perasaan orang. Pikirku, kalau aku sembuhtapi rasanya aku tidak akan sembuh-sembuhaku akan senang sekali kalau aku bisa bercakap-cakap dengan dia. Kami tiba di Madeira kira-kira tengah hari. Aku masih terlalu lemah untuk bergerak, tapi aku suka memperhatikan para pedagang yang berpakaian aneka warna naik ke kapal dan menggelar barangbarang jualan mereka di dek. Mereka juga membawa bunga. Kubenamkan hidungku ke seikat bunga violet yang masih basah dan harum. Dan 85 afeu pun merasa lebih baik. Aku bahkan merasa bahwa aku bisa meneruskan perjalananku sampai pelayaran ini berakhir. Waktu pramugariku menawarkan kaldu ayam, aku hanya menolak dengan lemah. Waktu orang mengantar kaldu itu, aku menghabiskannya. Wanita yang menarik itu turun ke darat. Dia kembali diiringi oleh seorang pria jangkung yang bersikap seperti prajurit. Rambutnya hitam dan wajahnya merah. Pagi tadi aku melihatnya berjalan santai hilir-mudik di sepanjang dek. Aku segera mencatat dalam hati bahwa dia tipe pria Rhodesia yang kuat dan pendiam. Umurnya kira-kira empat puluh, dan rambut di pelipisnya sudah mulai beruban. Dialah pria paling tampan di kapal itu. Waktu pramugari membawakan selimut tebal tambahan, kutanyakan apakah dia tahu siapa wanita yang menarik perhatianku ku. “Dia seorang wanita terkemuka dan terkenal, Yang Mulia Nyonya Clarence Blair. Anda pasti membaca tentang dia dalam surat-surat kabar.” Aku mengangguk dan memandanginya dengan perhatian lebih besar. Nyonya Blair memang terkenal sebagai salah seorang wanita yang paling bergaya. Kulihat bahwa dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Beberapa orang balikan mencari-cari kesempatan untuk berkenalan dengannya. Hal itu mudah terjadi di kapal, karena orang tak perlu menempuh jalan resmi. Aku kagum melihat Nyonya Blair yang pandai melecehkan 86 mereka dengan cara yang sopan. Agaknya dengan sendirinya pria kuat dan pendiam itu telah diangkatnya sebagai pengawal khususnya, dan kelihatannya pria itu merasa senang serta merasa mendapat kehormatan. Esok paginya, setelah berjalan beberapa putaran di dek dengan pengiringnya yang penuh perhatian itu,
Nyonya Blair berhenti di dekat kursiku. Aku terkejut. “Sudah merasa lebih baik hari ini?” Aku mengucapkan terima kasih, dan kukatakan bahwa aku sudah merasa lebih baik. “Kau memang kelihatan sakit sekali kemarin. Aku dan Kolonel Race sudah merasa senang akan bisa melihat matu penguburan di lauttapi kau mengecewakan kami.” Aku tertawa. “Setelah naik dan mendapatkan udara segar ini, saya. merasa enak.” “Tak ada yang lebih baik selain udara segar,” kata Kolonel Race sambil tersenyum. “Siapa pun akan mati kalau terkurung terus dalam kamar-kamar yang pengap itu,” kata Nyonya Blair. Dia lalu duduk di sebelahku dan mengisyaratkan dengan mengangguk bahwa pengiringnya boleh meninggalkannya. “Kamarmu di bagian luar, kan?” Aku menggeleng. “Aduh! Mengapa kau tak minta tukar. Kamarnya banyak sekali. Banyak orang yang turun di Madeira, dan kapal ini kosong. Bicaralah dengan 87 petugas pasasi. Dia pemuda yang baikaku dipindahkannya ke kamar yang enak dan bagus, aku tak suka kamar yang kudapatkan mula-mula. Bicaralah dengan dia waktu makan siang nanti.” Aku ngeri. “Saya belum bisa bergerak.” “Jangan bodoh. Ayo berjalan-jalan denganku.” Dengan senyumnya yang berlesung pipit, dia memberiku semangat. Mula-mula kakiku terasa lemah sekali, tapi setelah kami berjalan bolak-balik, aku mulai merasa ceria dan lebih segar. Setelah beberapa kali putaran, Kolonel Race menggabungkan diri lagi dengan kami. “Kita bisa melihatť Puncak Tenerrfe dari sisi lain.” “Oh, ya? Apakah aku akan bisa membuat fotonya?” “Tidaktapi kalau sekadar menjepret-jepret saja boleh.” Nyonya Blair tertawa. “Kau jahat. Aku bisa mengambil foto dengan baik.” “Kira-kira tiga persen saja yang jadi, mungkin.”
Kami pergi ke sisi dek yang lain. Di sana tampak menjulang puncak lancip yang putih gemerlap dan bersalju, diselaputi kabut tipis berwarna merah dadu. Aku berseru memuji keindahan itu. Nyonya Blair berlari mengambil kameranya. Tanpa merasa gentar oleh ejekan-ejekan Kolo— 88 nel Race, dia mengambil foto-foto dengan bersemangat. “Nah, habis sudah filmnya. Astaga,” serunya dengan nada kecewa sekali, “aku menjepret dengan lampunya terpasang selama itu tadi.” “Aku selalu senang melihat anak-anak memainkan mainan barunya,” gumam Kolonel. “Kau jahat sekalitapi aku masih punya satu rol film lagi.” Dengan sikap menang dikeluarkannya tabung film itu dari saku sweater-nyz. Tiba-tiba kapal oleng dan dia kehilangan keseimbangan. Waktu dia berpegangan pada pagar kapal untuk bertumpu, tabung film itu lepr%dan jatuh ke sisi kapal. “Aduh!” seru Nyonya Blair. Dengan kocak dia menyatakan kekecewaannya. Dia membungkuk untuk melihat. “Apakah jatuh masuk ke laut, ya?” “Tidak. Mungkin barang itu telah menghantam kepala seorang pramugara malang yang sedang berada di dek bawah.” Seorang anak laki-laki yang tanpa setahu kami telah berada beberapa langkah di belakang kami, meniup terompet sampai memekakkan telinga. “Mari makan siang,” kata Nyonya Blair. “Aku belum makan apa-apa sejak sarapan tadi, kecuali dua mangkuk kaldu daging sapi. Mau ikut makan, Nona Beddingfeld?” Aku bimbang sebentar. “Baiklah, saya juga lapar.” “Bagus. Aku tahu tempat dudukmu. Kau du— 89 duk semeja dengan petugas pasasi itu, bukan. Bicarakan dengan dia mengenai kamar itu.” Aku berhasil turun ke ruang makan. Mula-mula aku makan dengan enggan, tapi akhirnya ternyata bahwa makanku banyak sekali. Temanku kemarin, memberi selamat atas kesembuhanku. Semua orang pindah kamar hari ini, katanya, dan dia berjanji akan segera menyuruh pindahkan barang-barangku ke sebuah kamar di bagian luar. Hanya ada empat orang yang semeja dengan kami. Aku sendiri, sepasang wanita yang sudah berumur, dan seorang misionaris yang banyak berbicara tentang “saudara-saudara kita berkulit hitam yang malang”. ?
Aku melihat ke meja-meja yang lain. Nyonya Blair duduk semeja dengan kapten kapal. Kolonel Race di sebelahnya. Di sisi lain Kapten, duduk seorang pria yang sudah beruban. Kelihatannya dia orang penting. Kebanyakan dari orang-orang itu sudah pernah kulihat di dek. Tapi ada seorang yang belum pernah muncul sebelumnya, karena kalau sudah, pasti dia tidak akan luput dari penglihatanku. Dia tinggi dan berambut hitam, dan air mukanya aneh serta penuh rahasia, hingga aku agak terkejut. Dengan penuh rasa ingin tahu kutanyakan pada petugas pasasi siapa dia. “Pria itu? Oh, dia sekretaris Sir Eustace Pedler. Kasihan dia, tak pernah muncul karena mabuk laut. Sir Eustace membawa dua orang sekretaris, dan keduanya tak tahan gelombang besar. Yang 90 seorang lagi bahkan belum muncul. Yang ini bernama Pagett.” Rupanya Sir Eustace Pedler, pemilik Mill House itu ada di kapal ini. Mungkin ini hanya suatu kebetulan, tapi “Itu yang bernama Sir Eustace Pedler,” informanku melanjutkan, “yang duduk di samping Kapten itu. Orang tua itu suka berlagak.” .Makin kupandangi wajah sekretaris itu, makin tak suka aku. Wajah itu pucat, matanya berkelopak tebal dan penuh rahasia, kepalanya pipih dan anehsemuanya menimbulkan rasa tak senang dan curiga. Kami meninggalkan ruang makan bersamaan. Aku berjalan tak jauh di belakangnya waktu dia naik ke dek. Dia bercakap-cakap dengan Sir Eustace, dan aku bisa menangkap sedikit pembicaraan mereka. “Kalau begitu bolehkah saya segera mengurus soal kamar itu? Saya tak bisa bekerja karena banyaknya kopor Anda.” “Hei, dengar,” sahut Sir Eustace. “Kamarku itu gunanya, pertama untuk tempatku tidur, dan kedua untuk tempatku berpakaian. Aku tak pernah suka membiarkan kau hilir-mudik dalam kamar itu dan berisik dengan mesin tikmu itu.” “Itulah maksud saya tadi, Sir Eustace, harus ada tempat untuk bekerja” Sampai di situ aku berpisah dari mereka. Aku turun untuk melihat apakah pemindahan barang— 91 barangku sudah dilakukan. Kudapati pramugaraku sedang menjalankan tugas. “Kamarnya bagus, Nona. Di dek D. Kamar nomor 13.” “Oh, jangan!” seruku. “Jangan nomor 13.” Kuakui aku memang punya kepercayaan takhyul terhadap angka 13. Kamarnya memang bagus. Kuperiksa kamar itu, aku ragu, tapi perasaan takhyulku menang. Hampir menangis aku meminta petugas itu memindahkanku.
“Apakah saya tak bisa mendapat kamar lain?” Pramugara berpikir. “Oh, ada, nomor 17, di sisi sebelah kanan. Tadi pagi masih kosong, tapi kalau tak salah sudah diberikan pada seseorang. Tapi kalau barang-barang pria itu belum ada di dalamnya, dan karena kaum pria tidak begitu percaya takhyul seperti kaum wanita, saya yakin dia tak keberatan bertukar kamar.” Dengan rasa syukur kuterima usul itu. Pramugara itu pergi untuk mendapatkan izin dari petugas pasasi. Dia kembali dengan tertawa lebar. “Beres, Nona. Kita bisa pindah sekarang.” Dia mendahuluiku berjalan ke kamar 17. Kamar itu tidak sebesar kamar 13, tapi aku merasa puas sekali. “Saya akan segera mengambil barang-barang Anda, Nona,” katanya. Tetapi pada saat itu, si pria berwajah misterius (begitu aku menamakannya), muncul di ambang pintu. 92 “Maaf,” katanya, “tapi kamar ini disediakan untuk Sir Eustace Pedler.” ‘Tak apa-apa, Tuan,” pramugara menjelaskan. “.Kami siapkan kamar nomor 13 sebagai garltinya.” “Tidak, saya harus mendapatkan nomor 17.” “Kamar nomor 13 lebih bagus, Tuanlebih besar lagi.” “Saya sudah memilih nomor 17, dan petugas -pasasi sudah mengatakan bahwa itu bisa.” “Maaf,” selaku dengan nada dingin. “Tapi nomor 17 sudah disiapkan untuk saya.” “Saya tak bisa membenarkan hal itu.” Pramugara membantuku. “Kamar yang satu itu sama saja, bahkan lebih baik.” “Saya menghendaki nomor 17.” “Ada apa ini?” tanya suatu suara baru. “Pramugara, tolong masukkan barang-barang saya. Ini kamar”saya.” Dia adalah orang yang duduk di sebelahku waktu makan siang, Pendeta Edward Chichester. “Maaf,” kataku. “Ini kamar saya.” “Kamar ini disediakan untuk Sir Eustace Pedler,” kata Mr. Pagett.
Kami semua jadi agak panas. “Maafkan saya harus mempertengkarkan hal ini,” kata Chichester dengan tersenyum sabar. Namun senyum itu tak berhasil menyembunyikan tekad kuatnya untuk memperoleh keinginannya. Aku tahu, laki-laki yang kelihatan lemah memang selalu keras kepala. 93 Dia berjalan ke arah pintu sambil memiringkan badannya. “Kamar Anda nomor 28, di sisi kiri kapal,” kata pramugara. “Kamar itu bagus sekali, Tuan.” “Maaf, tapi saya tetap pada pendirian saya. Nomor 17 ini sudah dijanjikan pada saya.” Kami menemui jalan buntu. Masing-masing bertekad untuk tidak mengalah. Sebenarnya aku bisa menarik diri dari perebutan itu dan memudahkan perkara itu dengan mengatakan kesediaanku untuk menerima kamar nomor 28. Asal saja aku tidak mendapat nomor 13, sama saja kamar mana pun yang akan kudapatkan. Tapi darahku sudah naik. Aku sama sekali tak mau menjadi orang yang pertama mengalah. Apalagi aku tak suka pada Chichester. Giginya gigi palsu yang berbunyi kalau dia makan. Kami semua berulang kali mengulang-ulangi hal yang sama. Pramugara makin kuat meyakinkan kepada kami bahwa kedua kamar yang lain itu lebih baik. Tak ada di antara kami yang memperhatikan dia. Pagett mulai marah. Chichester tetap mempertahankan ketenangannya. Aku juga berusaha menahan kesabaranku. Namun tak ada yang mau mengalah barang sedikit pun. Pramugara memberiku isyarat dengan berbisik dan mengerjapkan matanya. Diam-diam aku mengundurkan diri dari tempat itu. Aku beruntung karena hampir segera bertemu dengan petugas pasasi. 94 “Tolonglah saya,” kataku, “Anda sendiri yang berkata bahwa saya bisa mendapatkan kamar nomor 17 itu. Tapi kedua orang itu tak mau mundur. Maksud saya Tuan Chichester dan Tuan Pagett. Anda tetap akan memberikannya pada saya, kan?” Aku punya keyakinan bahwa pelaut selalu baik pada wanita. Kepala tata usaha kapal itu pun terpancing dengan mudah. Dia pergi ke tempat pertengkaran, dan mengatakan pada pihak-pihak yang bertengkar bahwa nomor 17 adalah kamarku. Mereka berdua masing-masing bisa menempati nomor 13 dan nomor 28, atau tetap di kamar mereka semula. Mereka boleh pilih. Dengan mataku kuisyaratkan padanya betapa hebatnya dia, dan aku pun menempati tempatku yang baru. Pertemuanku dengannya tadi telah sangat menguntungkanku. Laut tenang dan cuaca makin hari makin panas. Dan aku tak mabuk lagi! Aku naik ke dek, dan diajar cara main gelang-gelangan. Aku mengikuti bermacam-macam cabang olahraga. Teh disuguhkan di dek, dan aku minum serta makan dengan nikmat. Setelah minum teh aku main dengan beberapa anak muda yang menyenangkan.
Kami dikejutkan oleh bunyi terompet tanda peringatan untuk berpakaian menjelang makan malam. Aku., bergegas ke kamarku yang baru. Pramugari menyambutku dengan wajah bingung. “Di kamar Anda ada bau busuk, Nona. Saya benar-benar tak tahu bau apa itu. Tapi saya yakin 95 bahwa Anda tidak akan bisa tidur di sini. Ada kamar di dek C. Anda bisa pindah ke sanahanya untuk malam ini saja.” Bau itu memang benar-benar busukmemuakkan. Kukatakan pada pramugari itu bahwa soal pindah itu akan kupikirkan sementara aku berpakaian. Aku cepat-cepat pergi-ke toilet sambil mendengus-dengus dengan jijik. Bau apa, ya? Bangkai tikus? Bukan, lebih busuk lagidan lain. Tapi rasanya aku kenal bau itu! Ya, aku pernah mencium bau busuk itu. Sesuatuha! Aku ingat. Bau asafoetida\ Aku pernah bekerja di kamar obat rumah sakit, selama perang, meskipun tak lama. Dan aku jadi mengenal bermacam-macam obat yang baunya memuakkan. Asafoetida, pasti itu. Tapi bagaimana Aku terduduk di sofa waktu aku menyadari keadaan itu. Seseorang telah menaruh sejumput asafoetida di dalam kamarku. Mengapa? Supaya aku meninggalkannya? Mengapa mereka begitu ingin aku keluar dari kamar ini? Lalu kubayangkan peristiwa tadi siang dari sudut lain. Ada apa dengan kamar 17 yang menjadikan begitu banyak orang ingin menguasainya? Padahal dua kamar yang lain itu lebih baik. Mengapa kedua pria itu berkeras untuk mendapatkan nomor 17? 17. Lagi-lagi angka 17! Pada tanggal 17 aku berangkat dari Southampton. Angka 17 pulaaku terhenti dengan tersentak. Cepat-cepat kubuka koporku, lalu kukeluarkan kertasku yang 96 penting itu dari tempat persembunyiannya, yaitu dalam gulungan kaus kaki. 17 1 22Angka-angka itu telah ku tafsirkan sebagai tanggal, tanggal keberangkatan Kilmorden Castle. Mungkinkah aku salah? Kalau dipikir-pikir lagi baik-baik, apakah seseorang yang menuliskan tanggal akan menganggap perlu untuk menuliskan tahun dan bulannya pula? Mungkinkah angka 17 itu kamar nomor 17? Lalu angka 1 ? Menyatakan waktunyapukul 1. Dan 22 tentu tanggalnya. Aku melihat ke almanak kecilku. Besok tanggal 22! 97
BAB X Aku jadi kacau sekali. Aku yakin bahwa akhirnya aku telah menemukan arah yang benar. Satu hal sudah jelas. Aku tak boleh keluar dari kamar ini. Bau asafoetida itu harus kutahan. Aku pun meneliti kenyataan-kenyataan yang ada sekali lagi— Besok tanggal 22, dan pukul 1 malam atau pukul 1 siang akan terjadi sesuatu. Kupastikan pukul 1 malam. Sekarang pukul 7 malam. Enam jam lagi aku akan tahu. Aku tak tahu bagaimana malam ini akan kulalui. Masih sore aku sudah kembali ke kamarku. Kukatakan pada pramugari bahwa aku sedang pilek dan hidungku tersumbat, jadi aku tidak akan terganggu oleh bau apa-apa. Dia masih kelihatan tak puas, tapi aku berpegang teguh. Malam itu rasanya tak kunjung berakhir. Aku pun tidur. Tapi kusiapkan diriku untuk keadaan darurat. Aku mengenakan kimono flanel yang tebal, dan sepatu kusiapkan. Dengan berpakaian siap begitu, kurasa aku akan bisa melompat bangun dan langsung bisa berbuat sesuatu bilaada apa-apa. 98 Apa yang kuharapkan akan terjadi? Aku sendiri tak tahu. Sesuatu yang kabur, yang tak mungkin memenuhi otakku. Hanya satu yang aku tahu pasti, tepat pukul 1 nanti, sesuatu akan terjadi. Sekali-sekali kudengar penumpang-penumpang lain masuk kamar masing-masing. Melalui lubang angin pintu, terdengar penggalan-penggalan percakapan dan ucapan selamat tidur yang disertai tawa. Lalu, sepi. Kebanyakan lampu sudah dipadamkan. Ada satu lampu di lorong luar yang masih menyala, dan karenanya kamarku masih cukup terang. Kudengar bunyi jam delapan kali. Jam-jam yang berikutnya rasanya merupakan waktu yang terpanjang. Aku melihat ke arlojiku untuk meyakinkan diri bahwa pikiranku tidak sedang melayang terlalu jauh. Bila analisaku salah, bila pukul satu tidak terjadi apa-apa, itu berarti aku telah membuat kekeliruan yang bodoh, dan telah menghabiskan uangku sia-sia saja. Jantungku berdebar kencang. Terdengar jam berdentang satu kali. Pukul satu! Tidak terjadi apa-apa. Tungguapa itu? Kudengar langkah kaki orang berlari-lari di lorong. Kemudian mendadak, seperti meledaknya sebuah bom, pintu kamarku terbuka, dan seorang pria hampir jatuh karena masuk tergopoh-gopoh. “Selamatkan aku,” katanya serak. “Mereka mengejarku.” Aku sadar bahwa itu bukan saatnya untuk berdebat atau meminta penjelasan. Di luar sudah terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Aku ha— 99 nya punya waktu empat puluh detik untuk mengambil tindakan. Aku tadi terlompat bangun dan kini berhadapan dengan orang asing itu di tengah-tengah kamar. Sebuah kamar di kapal tak cukup banyak tempat untuk menyembunyikan seorang laki-laki yang tingginya 180 cm. Dengan sebelah tanganku kutarik ke luar peti yang terdapat di bawah tempat
tidurku. Dia menjatuhkan diri lalu menyelinap ke belakang peti itu. Peti itu kubuka tutupnya. Sementara itu dengan tangan yang sebelah lagi, baskom kutarik ke bawah. Dengan gerak cepat, rambutku kugulung menjadi sebuah sanggul kecil di atas kepalaku. Memang memberikan penampilan yang jelek, tapi demi keselamatan itu merupakan bantuan yang baik sekali. Dengan rambut yang tergulung menjadi sanggul yang jelek, dan berpura-pura sedang mengambil sabun dari petinya, aku seolah-olah akan mencuci tengkukku. Orang tidak akan mungkin mencurigaiku menyembunyikan seorang buronan. Terdengar ketukan di pintu. Tanpa menunggu aku menyuruh masuk, pintu sudah didorong dan terbuka. Aku tak pubnya bayangan apa yang akan kulihat. Kurasa secara samar ada kubayangkan bahwa Mr. Pagett yang akan masuk sambil mengacungkan pistol. Atau si Pendeta dengan karung pasir atau semacam senjata lain yang mematikan. Yang sama sekali tidak kubayangkan adalah datangnya seorang pramugari yang bertugas malam, yang wajahnya mengandung rasa ingin tahu namun tetap bersikap sopan. “Maaf, Nona, saya pikir Anda memanggil.” “Tidak,” kataku. “Maafkan saya telah mengganggu Anda.” “Tak apa-apa,” kataku. “Saya tak bisa tidur. Saya pikir sebaiknya saya membasuh muka.” Kedengarannya seolah-olah aku tak biasa berbuat begitu. “Maaf sekali lagi, Nona,” kata pramugari itu. “Tapi tadi ada seorang pria yang agak mabuk dan kami takut dia masuk ke salah satu kamar wanita, dan membuat mereka ketakutan.” “Mengerikan sekali!” kataku dengan sikap ketakutan. “Dia tidak akan masuk kemari, kan?” “Ah, saya rasa tidak, Nona. Bunyikan saja bel kalau dia masuk. Selamat malam.” “Selamat malam.” Pintu kubuka lalu aku mengintip ke lorong. Kecuali pramugari yang sudah menjauh itu, tak kelihatan siapa-siapa di situ. Mabuk! Jadi itulah rupanya sebabnya! Sia-sia saja bakatku bersandiwara kalau begitu. Peti itu kutarik lebih jauh ke luar dan berkata, “Keluar cepat,” kataku dengan nada marah. Tak ada jawaban. Kuintip ke bawah tempat tidurr Tamuku tak bergerak. Kelihatannya dia tidur. Kucolek bahunya. Dia tetap tak bergerak. “Benar-benar mabuk,” pikirku jengkel. “Apa yang harus kuperbuat?” Lalu terlihat olehku sesuatu yang membuat 101
100 napasku terhenti. Di lantai terdapat suatu noda merah tua. Dengan mengerahkan seluruh tenagaku, aku berhasil menyeret orang itu keluar sampai ke tengah kamar. Wajahnya yang pucat pasi menunjukkan bahwa dia pingsan. Mudah sekali aku menemukan mengapa dia sampai pingsan. Di bawah tulang belikatnya yang kiri menganga luka yang dalamrupanya dia ditikam. Kubuka jasnya lalu kubersihkan luka itu. Karena merasa dinginnya air, dia bergerak lalu duduk. “Diam, jangan bergerak,” kataku, Dia anak muda yang cepat pulih. Dia memaksakan berdiri dengan terhuyung. “Terima kasih, aku tak perlu bantuan apa-apa.” Sikapnya menantang. Sama sekali tak ada ucapan terima kasih! “Luka itu dalam sekali. Biar kubalut dulu.” “Tak perlu!” sergahnya, seolah-olah aku^ie-mohon kebaikan hatinya. Darahku langsung mendidih! Aku memang bukan orang yang sabar. “Sikapmu sungguh tak terpuji,” kataku dengan nada dingin. “Bukankah sekurang-kurangnya aku .bisa membebaskanmu dari kehadiranku di sini?” Dia berjalan ke arah pintu, tapi hampir jatuh terhuyung. Dengan cepat kudorong dia duduk ke sofa. “Jangan tolol,” kataku tanpa menimbang perasaannya lagi. “Apakah kau ingin pergi dengan mencecerkan darah ke seluruh kapal?” 102 Agaknya dia menyadari kebenaran kata-kataku, karena dia lalu duduk diam-diam sementara aku membalut lukanya sebisaku. “Nah, sudah,” kataku sambil menepuk hasil karyaku, “cukuplah untuk sementara. Apakah perasaanmu pun sudah agak tenang sekarang dan mau menceritakan apa yang terjadi?” “Maaf, aku tak bisa memuaskan rasa ingin tahumu itu.” “Mengapa tidak?” tanyaku kecewa. Dia tersenyum sinis. “Bila ingin sesuatu tersebar luas, ceritakanlah pada seorang wanita. Kalau tidak, tutup mulut rapatrapat.”
“Apakah aku ini kelihatannya tak bisa menyimpan rahasia?” “Kurasa tidakaku yakin itu.” Dia bangkit. “Pokoknya,” kataku sengit, “aku bisa saja menyebarluaskan kejadian-kejadian malam ini.” “Aku pun yakin kau akan berbuat begitu,” katanya tak acuh. “Kau jahat sekali!” seruku marah. Kami berhadapan dan kami saling melotot dengan kebencian dua orang yang bermusuhan. Saat itulah aku baru mengamati wajahnya. Rambutnya yang hitam, dipotong pendek sekali. Rahangnya tirus. Pada pipinya yang kecoklatan, terdapat bekas luka. Matanya yang abu-abu dan aneh menatap mataku dengan ejekan yang menantang. Dia tampak berbahaya. 103 “Kau belum mengucapkan terima kasih padaku padahal aku telah menyelamatkan nyawamu!” kataku pura-pura manis. Kata-kataku mengena. Jelas kelihatan dia agak surut. Naluriku berkata bahwa dia paling benci diingatkan bahwa dia berutang nyawa padaku. Aku tak peduli. Aku ingin membuatnya sakit hati. Tak pernah aku begitu ingin menyakiti orang. “Sebenarnya lebih baik tidak!” sergahnya keras. “Aku lebih suka mati, habis perkara.” “Aku senang kau mengakui utang itu. Kau tidak akan bisa melepaskan diri. Aku telah menyelamatkan nyawamu, dan aku menunggu kau mengucapkan ‘Terima Kasih’.” Bila dengan pandangan saja seseorang bisa membunuh, kurasa ingin benar dia membumi ku pada saat itu. Dengan kasar dia melewati aku. Di pintu dia berbalik, dan berkata, “Aku tidak akan mengucapkan terima kasih padamusekarang atau kapan pun juga. Tapi kuakui utangku. Suatu hari akan kubayar itu.” Dia berlalu, meninggalkan aku dengan tangan terkepal dan jantung berdebar keras. 104
BAB XI Kecuali itu tak ada lagi ketegangan lain malam itu. Aku sarapan di tempat tidur dan siang baru bangun. Waktu aku naik ke dek, aku disambut oleh Nyonya Blair. “Selamat pagi, Gadis Gipsy. Mari duduk di sebelahku. Kelihatannya kau kurang tidur.” “Mengapa Anda menyebut saya begitu?” tanyaku sambil duduk dengan patuh. “Kau keberatan? Sebutan itu cocok bagimu. Sudah sejak semula aku menyebutmu begitu. Ada unsur .gipsy pada dirimu yang membuatmu lain dari yang lain. Lalu kupikir hanya kau dan Kolonel Race-lah di kapal ini yang tidak akan membosankan bila diajak bicara.” “Lucu sekali,” kataku. “Saya juga berpikir begitu tentang Andahanya bagi Anda lebih bisa dimengerti. Soalnya AndaAnda adalah orang yang terpilih.” “Pandai kau mengatakannya,” kata Nyonya Blair sambil mengangguk. “Coba ceritakan tentang dirimu, Gadis Gipsy. Untuk apa kau pergi ke Afrika Selatan?” Aku bercerita tentang pekerjaan Papa. 105 “Rupanya kau putri Charles Beddingfeld? Sudah flfthiga bahwa kau bukan gadis sembarangan! Apakah kau akan pergi ke Bukit Broken Hill untuk mengumpulkan tengkorak-tengkorak lagi?” “Mungkin,” kataku dengan hati-hati. “Tapi saya juga punya rencana lain.” “Kau memang gadis misterius. Tapi kau.benar-benar kelihatan letih pagi ini. Apakah kau tak tidur? Aku sendiri sulit bangun di kapal. Kata orang, hanya orang bodoh yang tidur sampai sepuluh jam! Tapi aku bisa tidur sampai dua puluh jam!” Dia menguap dan kelihatan seperti anak kucing yang mengantuk. “Seorang pramugara goblok membangunkan aku tengah malam untuk mengembalikan tabung filmku yang jatuh kemarin. Caranya mengembalikan pun aneh. Diulurkannya tangannya melalui lubang angin pintu, lalu dilemparkannya. Benda itu jatuh tepat di tengah-tengah perutku. Sesaat kusangka itu bom!” “Ini Kolonel Anda datang,” kataku, waktu Kolonel Race yang jangkung yang seperti prajurit itu muncul di dek. “Dia bukan Kolonelku sendiri. Dia malah sangat mengagumi kau, Gadis Gipsy. Jadi jangan lari.” “Saya ingin mencari sesuatu untuk mengikat rambut saya. Lebih enak daripada memakai topi.” Aku cepat-cepat menyelinap. Entah mengapa, aku merasa tak enak bersama Kolonel Race. Dia 106 adalah salah seorang yang tak banyak jumlahnya, yang bisa membuatku merasa malu.
Aku turun ke kamarku dan mencari sesuatu untuk bisa menahan rambutku yang selalu acak-acakan. Aku memang orang yang rapi, aku suka barang-barangku tersusun dengan cara tertentu dan aku tak suka susunan itu berubah. Waktu kubuka laciku, aku segera tahu bahwa ada orang yang telah mengacak-acak barang-barangku. Semuanya terbongkar dan berantakan. Aku melihat ke laci yang sebuah lagi dan lemari gantung yang kecil. Sama saja keadaannya. Kelihatannya ada seseorang yang dengan terburu-buru mencari sesuatu tapi tak berhasil. Aku duduk di tepi tempat tidur. Siapa yang telah membongkar kamarku, dan apa yang dicarinya? Apakah potongan kertas kecil yang bertulisan angka-angka dan kata-kata itu? Aku mengge-. leng dengan rasa tak puas. Itu sudah tak perlu lagi sekarang. Lalu apa? Aku ingin berpikir. Peristiwa semalam, meskipun menegangkan, tak bisa menjelaskan persoalan. Siapakah anak muda yang menghambur masuk ke kamarku itu? Aku belum pernah melihatnya sebelum waktu itu, baik di dek maupun di ruang makan. Apakah dia salah seorang anak buah kapal? Atau apakah dia salah seorang penumpang? Siapa, yang menikamnya? Mengapa dia ditikam? Dan mengapa kamar nomor 17 begitu besar artinya? Semuanya itu suatu misteri. 107 Tapi jelas bahwa di Kilmorden Castle ini sedang terjadi peristiwa-peristiwa aneh. Aku mulai menghitung nama orang-orang yang kuputuskan untuk kuawasi. Tamuku malam itu tidak kumasukkan hitungan. Tapi aku bertekad untuk menemukannya di atas kapal ini, hari ini atau besok. Kupilih orang-orang yang harus kuperhatikan secara khusus, yaitu: (1) Sir Eustace Pedler. Dia adalah pemilik Mill House. Kehadirannya di Kilmorden Castle ini seperti suatu kebetulan saja. (2) Mr. Pagett, sekretaris yang penuh misteri itu. Dia menjadi pusat perhatianku karena begitu berkeras untuk mendapatkan Kamar 17. N.B. Cari tahu apakah dia ikut Sir Eustace Pedler. (3) Pendeta Edward Chichester. Aku ingin tahu tentang dia karena dia begitu keras kepala ingin mendapat Kamar 17. Mungkin itu disebabkan oleh temperamennya yang aneh. Sifat keras kepala bisa menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Aku bertekad bahwa suatu percakapan dengan Pendeta Chichester tak boleh dilewatkan Setelah cepat-cepat mengikatkan sapu tanganku ke rambutku, aku naik lagi ke dek dengan tekad bulat. Aku beruntung. Orang yang kucari sedang bersandar di pagar kapal sambil minum kaldu. Aku mendatanginya. “Saya minta maaf atas peristiwa Kamar 17,” kataku semanis mungkin. “Mendendam itu dilarang oleh agama,” kata 108 Pendeta Chichester dengan nada dingin. “Tapi petugas pasasi jelas telah menjanjikan kamar itu pada
saya.” “Petugas pasasi adalah orang-orang yang sibuk sekali, bukan?” kataku. “Wajar kalau mereka kadangkadang lupa.” Pendeta Chichester tak menyahut. “Apakah baru kali ini Anda bepergian ke Afrika Selatan?” tanyaku lagi, sekadar untuk memperpanjang percakapan. “Ke Afrika selatan memang yang pertama kali. Tapi dua tahun terakhir ini saya bekerja di antara suku-suku kanibal di Afrika Timur.” “Mendebarkan sekali! Barangkali Anda sering mengalami lolos dari lubang jarum, ya?” “Lolos dari lubang jarum?” “Maksud saya, lolos dari pengejaran mereka untuk dimakan.” “Soal-soal yang suci tak boleh dibahas dengan sembrono, Nona Beddingfeld.” “Saya tak pernah mendengar bahwa kanibalisme itu sesuatu yang suci,” balasku tersinggung. Baru saja mengucapkan kata-kata itu, aku mendapat gagasan lain. Kalau memang benar Pendeta Chichester tinggal di pedalaman Afrika selama dua tahun terakhir ini, mengapa kulitnya tak kelihatan bekas tersengat matahari? Kulitnya merah muda dan putih seperti bayi. Pasti ada yang tak beres dengan orang ini. Tapi sikap dan bicaranya benar-benar menunjukkan keperidetaan-109 nya. Barangkali bahkan agak berlebihan. Apakah dia bukan seorang pendeta sandiwara} Aku mengingat-ingat kembali para pendeta vang pernah kukenal di Little Hampsley. Ada yang kusukai, ada yang tidak. Tapi jelas tak ada seorang pun yang sama dengan Pendeta Chichester. Mereka itu semua manusiawisedang yang seorang ini sucinya berlebihan. Aku sedang memikir-mikirkan semuanya itu, waktu Sir Eustace Pedler lewat di dek. Tepat di dekat Pendeta Chichester, dia membungkuk dan memungut secarik kertas yang diberikannya pada pendeta itu sambil berkata, “Ada yang jatuh.” Dia berjalan terus tanpa berhenti lebih lama, dan karenanya mungkin tak melihat betapa terkejutnya Pendeta Chichester. Tapi aku melihatnya. Apa pun yang jatuh tadi, telah membuatnya kacau sekali setelah dikembalikan. Wajahnya jadi pucat kebiruan seperti orang sakit. Kertas itu diremasnya kuatkuat. Kecurigaanku jadi berlipat ganda. Dia menoleh padaku lalu cepat-cepat memberikan penjelasan. “Anutadi itu suatu bagian dari khotbah yang sedang saya karang,” katanya dengan senyum kecut. “Oh!” kataku sopan.
Suatu bagian dari khotbah! Bisa saja! Tidak, Pak Pendetaalasanmu terlalu lemah! Dia segera meninggalkan aku setelah menggumamkan suatu alasan. Alangkah senangnya aku bila aku yang memungut kertas itu tadi, bukan Sir Eustace Pedler! Satu hal sudah jelas, Pendeta Chichester tak bisa disingkirkan dari daftar orang-orang yang kucurigai. Aku bahkan lebih cenderung untuk menempatkan namanya paling atas dari yang tiga orang itu. Setelah makan siang, waktu aku masuk ke ruang istirahat untuk minum kopi, aku melihat Sir Eustace dan Mr. Pagett, duduk bersama Nyonya Blair dan Kolonel Race. Nyonya Blair mengajakku sambil tersenyum, jadi aku menggabungkan diri dengan mereka. Mereka sedang bercakap-cakap tentang I tali. “Tapi itu benar-benar menyesatkan,” kata Nyonya Blair bertahan. “Bukankah Aqua calda berarti air dinginbukan panas.” “Pasti Anda tak pernah belajar bahasa Latin,” kata Sir Eustace sambil tersenyum. “Kaum pria suka menyatakan kelebihannya dalam bahasa Latin,” kata Nyonya Blair. “Padahal saya suka melihat bahwa kalau kita minta mereka menerjemahkan bahasa Latin yang tertulis di gerejagereja tua, mereka tak pernah bisa! Mereka mendehem-dehem dan tergagap-gagap, lalu berusaha melepaskan diri.” “Memang benar,” kata Kolonel Race. “Saya selalu berb’uat begitu.” “Tapi saya suka pada orang-orang Itali,” lanjut Nyonya Blair. “Mereka suka menolongtapi, ada pula segi negatifnya yang memalukan. Bila kita menanyakan jalan ke suatu tempat umpama— 111 110 nya, dia tidak mengatakan ‘mula-mula ke kanan, lalu ke’kiri-‘, atau semacamnya. Tidak! Mereka menyebutkan serangkaian nama tempat. Dan kalau kita memandanginya dengan kebingungan, dituntunnya saja kita dan diantarnya sendiri ke tempat itu.” “Begitukah pengalamanmu waktu di Florence, ‘Pagett?” tanya Sir Eustace, sambil menoleh dan tersenyum pada sekretarisnya. Entah mengapa, pertanyaan itu kelihatannya mengejutkan Mr. Pagett. Dia terbata-bata dan wajahnya memerah. “Oh, yaeh, ya begitulah.” Kemudian, setelah menggumamkan alasan-alasan dan meminta maaf, dia bangkit falu meninggalkan meja. “Saya jadi curiga kalau-kalau Guy Pagett telah melakukan perbuatan yang tak baik di Florence,” kata Sir Eustace, sambil memandangi sekretarisnya yang sudah menjauh. “Setiap kali kita menyebutkan
Florence atau Itali, dia mengalihkan bahan percakapan, atau buru-buru melarikan diri.” “Mungkin dia telah membunuh seseorang di sana,” kata Nyonya Blair dengan penuh harapan. “Dia kelihatansaya harap Anda jangan tersinggung, Sir Eustacetapi kelihatannya dia memang bisa membunuh orang.” “Ya. Tapi kadang-kadang saya gelisoalnya saya tahu benar, betapa tunduknya dia pada undang-undang dan betapa tinggi budinVa. Kasihan dia.” 112 “Sudah agak lama juga dia ikut Anda, bukan, Sir Eustace?” tanya Kolonel Race. “Enam tahun,” kata Sir Eustace, sambil menarik napas dalam-dalam. “Dia pasti sangat berarti bagi Anda,” kata Nyonya Blair. “Berarti? Ya, sangat berarti.” Pria yang malang itu kelihatan makin tak senang. Agaknya, kehebatan Mr. Pagett diam-diam merupakan kesusahan baginya. Kemudian ditambahkannya dengan lebih meyakinkan. “Tapi wajahnya membayangkan kejujuran, bukan? Seorang pembunuh tidak akan mau kelihatan seperti seorang pembunuh.’ Seperti si Crippen itu. Saya rasa dia adalah orang yang sangat menyenangkan, padahal dia seorang pembunuh ulung.” “Dia tertangkap di sebuah kapal, kan?” gumam Nyonya Blair. Terdengar suatu bunyi gemeletuk di belakang kami. Aku cepat-cepat menoleh. Cangkir kopi Pendeta Chichester terjatuh. Rombongan kami segera bubar. Nyonya Blair turun untuk tidur, dan aku pergi ke dek. Kolonel Race menyusulku. “Anda selalu menghindar, Nona Beddingfeld. Semalam saya mencari-cari Anda pada acara dansa.” “Saya pergi tidur sore-sore,” aku menjelaskan. “Apakah malam ini pun Anda akan melarikan diri lagi? Atau maukah Anda dansa dengan saya?” “Saya akan senang sekali dansa dengan Anda,” 113 gumamku agak malu. “Tapi bagaimana dengan Nyonya Blair?” “Teman kita, Nyonya Blair itu, tak suka dansa.” “Anda suka?” “Saya suka dansa dengan Anda.” “Oh!” kataku gugup. Aku agak takut pada Kolonel Race. Tapi aku juga merasa senang. Ini lebih baik daripada membahas tentang tengkorak-tengkorak yang sudah menjadi fosil, dengan profesor-profesor tua yang membosankan! Dan Kolonel Race benar-benar memenuhi bayanganku mengenai pria Rhodesia yang
pendiam dan tegas. Mungkin kelak aku kawin dengan dia! Aku memang belunxdilamar-nya, tapi dalam kepramukaan ada semboyan, “Siaplah Selalu!” Dart semua wanita, mau tak mau, suka menganggap setiap pria yang mereka temui sebagai calon suami bagi dirinya sendiri atau bagi teman terdekatnya. Malam itu aku dansa beberapa kali dengan dia. Dia pandai dansa. Setelah selesai dansa, aku ingin pergi tidur. Tapi dia mengajak berjalan-jalan di dek dulu. Tiga kali kami berputar-putar, dan akhirnya kami duduk di kursi dek. Tak ada orang lain di tempat itu. Beberapa lamanya kami bercakap-cakap tanpa ujung pangkal. “Tahukah Anda, Nona Beddingfeld? Saya rasa saya pernah bertemu dengan Ayah Anda. Dalam bidangnya, beliau itu sangat menarik, dan saya suka. sekali bidang itu. Saya juga pernah melaku— 114 kan penyelidikan seperti beliau, meskipun hanya secara sederhana sekali. Waktu saya berada di daerah Dordogne” Percakapan kami jadi bersifat teknis. Kata-kata Kolonel Race bukan omong kosong. Dia banyak tahu tentang hal itu. Tapi kadang-kadang dia membuat kesalahan yang anehyang kuanggap saja merupakan salah ucap. Antara lain dikatakannya bahwa periode Mousterian itu menyusul periode Aurignaciansuatu kesalahan besar bagi seseorang yang mengaku tahu bidang itu. Tapi dengan cepat dia bisa menangkap pembetulanku dan menutupi kesalahannya. Pukul dua belas aku baru kembali ke kamarku. Aku masih tertanya-tanya mengenai pertentanganpertentangan aneh dalam percakapan kami tadi. Mungkinkah dia telah mempersiapkan diri secara khusus untuk pertemuan tadi itubahwa dia sama sekali tak tahu apa-apa tentang arkeologi? Aku menggeleng. Aku merasa kurang puas dengan penyelesaian itu. Pada saat aku hampir tertidur, aku tiba-tiba duduk, karena suatu gagasan terkilas di kepalaku. Apakah dia yang ingin memancing aku} Apakah kesalahan-kesalahan yang dibuatnya tadi itu semacam testuntuk melihat apakah aku benar-benar tahu tentang bidang itu. Dengan kata lain, dia curiga bahwa aku bukanlah Anne Beddingfeld yartg sebenarnya. Mengapa? 115
BAB XII (Kutipan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler) Ada yang harus dikatakan mengenai kehidupan di kapal. Kehidupan itu tenang. Rambutku yang sudah ubanan tidak memungkinkan aku mengikuti permainan-permainanseperti lomba makan apel, membawa telur dengan sendok, dan lain-lainyang menyenangkan yang begitu banyak di kapal, meskipun aku memang tak pernah mengerti kesenangan apa yang didapatkan orang dari permainanpermainan itu. Di dunia ini memang banyak orang bodoh. Kita memuji Tuhan yang telah menciptakan mereka, dan kita menghindar saja dari mereka. Untunglah aku ini seorang pelaut yang baik sekali. Pagett tidak. Kasihan dia. Dia sudah mulai mabuk begitu kami keluar dari Solent. Kurasa, yang menyebut dirinya sekretarisku yang seorang lagi itu, juga mabuk laut. Soalnya dia tak pernah muncul. Tapi mungkin juga itu bukan karena dia mabuk melainkan karena alasan diplomatik tingkat tinggi. Aku senang karena dia tidak menggangguku. >Penumpang-penumpang kapal kebanyakan tak 116 menyenangkan. Hanya ada dua orang pemain bridge yang lumayan dan seorang wanita yang lumayanNyonya Clarence Blair. Aku pernah bertemu dengannya di kota. Tak banyak wanita yang punya rasa humor seperti dia. Aku suka bercakap-cakap dengannya. Sebenarnya aku akan lebih suka lagi sekiranya tak ada keledai berkaki panjang yang pendiam, yang menempel terus padanya seperti lintah. Tak masuk di akalku bahwa Kolonel Race itu bisa merupakan hiburan bagi Nyonya Blair. Pria itu memang tampan, tapi sangat membosankan. Salah seorang pria kuat dan pendiam yang biasanya didambakan oleh novelis-novelis wanita dan anak-anak gadis. Guy Pagett terhuyung-huyung di dek setelah kami meninggalkan Madeira, dan mulai lagi ngo-ceh tentang pekerjaan dengan suara yang masih serak. Mengapa masih ada juga orang yang mau bekerja, di kapal? Aku memang sudah berjanji pada penerbitku untuk menyerahkan naskah ‘Kenangkenanganku’ di awal musim panas ini. Tapi persetan dengan itu! Siapa sih yang mau membaca buku kenang-kenangan? Paling-paling nenek-nenek di pinggir kota. Dan berapalah banyaknya kenangkenanganku? Selama hidupku aku memang sudah bertemu dan bergaul dengan beberapa orang terkenal. Dengan bantuan Pagett, aku telah mengumpulkan beberapa anekdot yang tak lucu tentang mereka. Dan terus terang, Pagett terlalu jujur untuk pekerjaan semacam itu. Tak dibiarkannya aku membuat anekdot tentang 117 orang-orang yang kukatakan telah kujumpai, padahal sebenarnya belum pernah. Aku memaksakan diri untuk menunjukkan kebaikan hatiku padanya. “Kau masih kelihatan sakit sekali,” kataku dengan nada ringan. “Sebaiknya kau berjemur saja di kursi dek. Janganjangan membantah. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Tapi kemudian dia mengeluh tentang perlunya sebuah kamar tambahan.
“Tak ada tempat untuk bekerja di kamar Anda, Sir Eustace. Kamar itu sudah terlalu penuh dengan kopor-kopor Anda.” Mungkin dia menganggap bahwa kopor-kopor itu hanya mengganggu. Kujelaskan padanya bahwa kalau orang bepergian, harus membawa pakaian untuk ganti. Dia tersenyum kecut. Begitulah selalu reaksinya bila aku mulai melucu. Kemudian dia kembali membicarakan urusannya. “Sedang kamar saya terlalu kecil, dan tak ada tempat untuk bekerja.” Yang dimaksudnya dengan ‘kamarnya yang kecil’ itu sebenarnya salah satu kamar yang terbaik di kapal. “Sayang, kali ini Kapten tak muncul untuk menampung keluhanmu itu,” kataku menyindir. “Atau apakah kau mau memindahkan sebagian barangmu ke kamarku?” Sindiran sebenarnya berbahaya untuk orang seperti Pagett. Wajahnya langsung berseri. 118 “Ya, kalau boleh mesin tik dan peti berisi alat-alat tulis itu” Peti itu sekian ton beratnya, dan selalu menjadi pokok kesulitan dengan kuli-kuli pelabuhan. Keinginan Pagett sekarang adalah membebankan peti itu padaku. Itu selalu merupakan bahan pertengkaran kami. Dia selalu beranggapan bahwa barang-barang itu merupakan milik pribadiku yang khusus. Sebaliknya, aku beranggapan bahwa untuk mengurus barang-barang itulah maka aku menggaji seorang sekretaris. “Kita cari saja kamar tambahan,” kataku buru-buru. Soalnya sebenarnya sederhana sekali, tapi Pagett adalah orang yang menyukai misteri. Esok harinya dia datang padaku dengan wajah orang yang mengajak berkomplot. “Bukankah Anda mengatakan bahwa saya boleh menempati Kamar 17 sebagai kantor?” “Ya. Ada apa? Apakah peti alat-alat tulis itu tak muat masuk di pintunya?” “Pintu semua kamar sama saja lebarnya,” sahut Pagett serius. “Tapi Sir Eustace, ada sesuatu yang aneh dengan kamar itu.” Aku lalu teringat akan buku yang menceritakan tentang tempat tidur yang misterius di sebuah kapal. “Apakah kamar itu ada hantunya?” tanyaku. “Bukankah kita tidak akan tidur di kamar itu, jadi biar saja. Hantu tidak mengganggu mesin tik.” Pagett mengatakan bahwa bukan hantu yang 119
menjadi soal, melainkan bahwa dia sama sekali tidak mendapat Kamar 17 itu. Dikisahkannya suatu cerita panjang yang berbelit-belit. Ceritanya, dia dan seseorang yang bernama Tuan Chichester, dan seorang gadis bernama Beddingfeld, bertengkar hebat berebut kamar itu. Jelas bahwa gadis itu yang menang dan kelihatannya Pagett kesal sekali. “Baik Kamar 13 maupun ^8 lebih baik,” ulangnya, “tapi mereka melihatnya saja pun tak mau.” “Yaah,” kataku sambil menahan diri untuk tidak menguap, “kau sendiri pun tak mau melihatnya, kan Pagett?” Dia melihatku dengan pandangan menegur. “Tapi Anda sendiri mengatakan bahwa saya harus memperoleh Kamar 17.” Rupanya dia menyesali aku. “Pagett,” kataku jengkel, “aku menyebutkan nomor 17, karena kebetulan kulihat kamar itu kosong. Tapi bukan maksudku supaya kau mempertahankannya mati-matiannomor 13 atau 28, sama saja.” Dia tampak tersinggung. “Tapi ada sesuatu lagi,” katanya ngotot. “Memang Nona Beddingfeld yang mendapat kamar itu, tapi tadi pagi saya melihat Chichester keluar dari kamar itu dengan menyelinap.” Aku melihat padanya dengan marah. “Bila kau mencoba menceritakan skandal tentang Chichester, yang misionaris itumeskipun 120 dia benar-benar manusia berbisadengan Anne Beddingfeld yang manis, aku sama sekali tak percaya,” kataku dingin. “Anne Beddingfeld itu gadis yang manis sekalikakinya bagus sekali. Aku yakin kakinyalah yang terbagus di kapal ini.” Pagett tak suka aku memuji kaki Anne Beddingfeld. Dia sendiri tak pernah memperhatikan kaki orangatau mungkin, kalaupun melihat, dia lebih baik mati daripada mengakuinya. Dia juga beranggapan bahwa aku berpikiran dangkal karena menghargai hal-hal seperti itu. Tapi aku suka membuat Pagett jengkel, jadi sengaja kulanjutkan, “Karena kau sudah berkenalan dengan gadis itu, sebaiknya besok kauajak dia makan malam semeja dengan kita. Besok malam ada acara pesta Pakaian Aneh. Ngomong-ngomong, sebaiknya kau pergi ke tukang pangkas dan pilihkan aku pakaian yang aneh.” “Masakan Anda akan pergi dengan berpakaian aneh-aneh?” kata Pagett dengan nada ngeri. Pasti dianggapnya hal itu tak sepadan dengan harga diriku. Dia tampak terkejut dan menderita. Sebenarnya aku tak punya niat untuk mengenakan pakaian aneh-aneh, tapi melihat Pagett kebingungan aku jadi makin tergoda.
“Apa maksudmu?” kataku. “Tentu aku akan mengenakan pakaian aneh-aneh itu. Dan kau juga” Pagett tampak ngeri. “Pergilah ke tukang pangkas dan urus itu,” kataku mengakhiri pembicaraan. 121 “Saya rasa dia tak punya pakaian dalam ukuran luar biasa,” gumam Pagett, sambil memandangi, aku, mengira-ngira besar badanku. Tanpa bermaksud apa-apa, Pagett kadang-kadang bisa melawan. “Lalu pesan juga meja untuk enam orang di ruang makan,” kataku. “Kita akan mengundang Kapten, gadis yang berkaki bagus itu, Nyonya Blair-“ “Anda tidak akan bisa mengundang Nyonya Blair, tanpa Kolonel Race,” sela Pagett. “Kolonel itu sudah mengundang wanita itu untuk makan bersamanya, saya mendengar sendiri.” Pagett selalu tahu segalanya. Aku jadi jengkel. “Siapa Race itu?” tanyaku geram. Seperti sudah kukatakan, Pagett selalu tahu segalanyaatau menganggap dirinya tahu. Dia memandang dengan pandangan misterius lagi. “Kata orang, dia agen Dinas Rahasia, Sir Eustace. Orangnya sok. Tapi saya tak tahu betul.” “Dasar Pemerintah!” seruku. “Di kapal ini ada Seseorang yang seharusnya membawa dokumen rahasia, tapi Pemerintah malah menyerahkannya pada orang luar, yang hanya minta supaya tak diganggu.” Tatapan Pagett jadi lebih misterius. Dia mendekatiku selangkah lebih dekat, lalu berbisik, “Saya yakin semua peristiwa ini aneh, Sir Eustace. Coba Anda ingat saja penyakit saya sebelum kita berangkat” “Pagett,” selaku dengan kasar, “itu adalah sakit 122 perut. Sakit perutmu itu memang sering kambuh.” Pagett bergidik sedikit. “Itu bukan sakit perut biasa. Kali ini” “Demi Tuhan, jangan ceritakan tentang kondisimu secara terinci begitu, Pagett. Aku tak mau mendengarnya.”
“Baiklah, Sir Eustace. Tapi saya rasa, saya telah diracuni dengan sengaja.” “Oh!” kataku. “Rupanya kau sudah bicara dengan si Rayburn.” Dia tak membantah. “Pokoknya, Sir Eustace, dia pikir begitudan dia memang tahu.” “Ngomong-ngomong, mana anak muda itu?” tanyaku. “Sejak kita naik ke kapal ini, aku belum melihatnya.” “Katanya dia sakit dan tinggal di kamarnya terus,.5ir Eustace.” Pagett kembali berbisik. “Tapi saya yakin itu hanya kamuflase. Dengan begitu dia bisa mengawasi lebih baik.” “Mengawasi apa?” “Keselamatan kita, Sir Eustace. Kalau-kalau Anda diserang.” “Kau ini penuh curiga, Pagett,” kataku. “Kurasa itu pasti dibumbui imajinasimu. Kalau aku jadi kau, lebih baik kau pergi ke pesta nanti malam dalam pakaian algojo. Itu sesuai sekali dengan gayamu yang selalu murung.” Kata-kataku membuatnya menutup mulut untuk sementara. Aku pergi naik ke dek. Gadis yang 123 bernama Beddingfeld sedang asyik bercakap-cakap dengan Pendeta Chichester. Wanita memang suka pada pendeta. Orang sebesar aku tak suka membungkuk. Tapi aku berbaik hati untuk memungutkan secarik kertas yang jatuh melayang kedekat kaki pendeta itu. Yang bersangkutan tidak mengucapkan terima kasih atas jerih payahku. Tanpa mauku aku sempat melihat apa yang tertulis pada kertas itu. Hanya ada satu kalimat. “Jangan coba bertindak sendiri kalau tidak menghendaki akibat yang lebih buruk!” Bagus sekali untuk seorang pendeta. Aku jadi ingin tahu siapa Chichester itu sebenarnya. Dia kelihatan alim sekali. Tapi penampilan sering menyesatkan. Aku akan menanyai Pagett tentang dia. Pagett selalu tahu segalanya. Dengan gaya, aku menjatuhkan diri di kursi dek di sebelah Nyonya Blair. Dengan demikian aku telah mengganggu percakapan empat mataapa dengan Race. Kukatakan bahwa aku tak tahu apa tugas pendeta zaman sekarang. Kemudian kuundang Nyonya Blair untuk makan malam bersama pada malam pesta Pakaian Aneh. Race dengan sendirinya ikut terundang juga. Setelah makan siang, Nona Beddingfeld datang dan minum kopi bersama kami. Aku tak salah
mengenai kaki gadis itu. Memang yang terbagus di seluruh kapal. Aku pasti akan mengundangnya makan malam juga. 124 Ingin sekali aku tahu perbuatan salah apa yang telah dilakukan Pagett di Florence. Setiap kali orang menyebutkan Itali, dia tampak kacau. Sekiranya aku tak mengenalnya sebagai orang yang sangat berbudi, kurasa aku akan mencurigainya telah main cinta secara tak terhormat…. Sekarang aku bingung! Bahkan orang-orang yang begitu berbudi punAku akan senang bila dugaanku memang benar. Bayangkan, Pagettdengan suatu rahasia penuh dosa! Hebat sekali! Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau h dug anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC 125
BAB XIII Malam itu malam yang aneh sekali. Satu-satunya kostum yang ada di tukang pangkas yang cukup untukku, adalah pakaian Teddy si Beruang. Aku mau saja main beruang* dengan gadis-gadis cantik di malam hari dalam musim dingin di Inggristapi untuk daerah khatulistiwa, itu bukan kostum yang tepat. Bagaimanapun juga aku berhasil menciptakan kegembiraan, dan meraih hadiah pertama untuk jenis pakaian “yang dibawa ke kapal”. Istilah itu memalukan, sebab pakaian itu hanya kusewa untuk keperluan malam itu. Tapi biarlah, karena tak seorang pun yang tahu apakah pakaian itu dibuat ataukah dibawa dari darat. Nyonya Blair tak mau berpakaian aneh. Kubanya dia sepaham dengan Pagett dalam hal itu. Kolonel Race juga ikut-ikutan. Anne Beddingfeld telah merancang pakaian gipsy untuknya sendiri. Dia pantas sekali berpakaian begitu. Dengan dalih pusing kepala, Pagett tak muncul. Untuk meng*para pemuda bergaya menunjukkan kebolehannya di depan gadis yang diincar 126 gantikannya kuminta seorang pria kecil yang aneh, yang bernama Reeves. Dia anggota terhormat Partai Buruh Afrika Selatan. Meskipun dia mengerikan, aku ingin terus bersamanya, karena dia memberikan informasi yang kuperlukan. Aku ingin mengerti peristiwa Rand itu dari kedua belah pihak. Berdansa membuat kita panas. Dua kali aku berdansa dengan Anne Beddingfeld. Dia pura-pura suka berdansa denganku. Dengan Nyonya Blair satu kali aku dansa. Dia sama sekali tidak bersusah-payah untuk berpura-pura suka. Aku juga telah mengorbankan beberapa wanita lain yang penampilannya kusukai. Kemudian kami turun untuk makan malam kedua kalinya. Aku memesan sampanye. Pramugara menganjurkan Clicquot 1911, karena itulah yang terbaik yang ada di kapal. Aku setuju saja. Agaknya dengan minuman itu aku telah berhasil membuka mulut Kolonel Race. Dia sama sekali tidak pendiam lagi, dan menjadi banyak bicara. Mula-mula aku senang melihatnya. Kemudian baru kusadari bahwa Kolonel Race-lah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian pesta itu, dan bukan aku. Dia memperolok-olokkan aku karena aku menulis buku harian. “Buku itu akan membuka semua rahasia Anda, Pedler.” “Race,” kataku, “aku ingin memberitahukan bahwa aku tidaklah sebodoh yang kaupikir. Mungkin aku membukakan rahasiaku, tapi aku 127 tidak menuliskannya. Bila aku sudah mati, orang-orang yang menghukumku akan tahu pendapatku. tentang banyak orang, tapi kuragukan apakah mereka akan bisa menambahkan atau mengurangi pendapat orang tentang diriku. Buku harian itu gunanya untuk mencatat keanehan-keanehan orang lainbukan keanehan-keanehan kita sendiri.”
“Tapi kan ada yang disebut pernyataan diri yang tak disadari.” “Di mata seorang psiko-analis, semuanya memang kotor,” sahutku. “Kehidupan Anda pasti menarik, Kolonel Race,” kata Nona Beddingfeld, sambil memandanginya dengan mata lebar yang berbinar. Begitulah gadis-gadis! Othello menarik hati Desdemona dengan mengisahkan bermacam-macam cerita padanya, dan sebaliknya Desdemona menarik hati Othello dengan caranya mendengarkan. Pokoknya, gadis itu telah berhasil menimbulkan semangat Race. Dia mulai bercerita tentang singa. Seseorang yang telah menembak banyak singa, dianggap punya kelebihan dari pria-pria lain. Itu tak adil. Rasanya telah tiba waktunya aku pun bercerita tentang singa. Kisah yang lebih lucu. “Ngomong-ngomong,” kataku, “saya jadi ingat akan suatu kisah mendebarkan yang pernah saya dengar. Seorang sahabat saya pergi berburu ke suatu tempat di Afrika Timur. Pada suatu malam dia keluar dari tendanya untuk suatu keperluan. 128 Dia dikejutkan oleh suara mengaum. Dia menoleh dan melihat seekor singa sedang merunduk, siap menerjangnya. Senapannya ditinggal di tenda. Secepat kilat dia membungkuk, dan singa itu melompat melewati kepalanya. Singa itu marah karena gagal menerkamnya. Dia mengaum lalu bersiap-siap untuk melompat lagi. Temanku itu merunduk lagi, dan singa itu lewat di atasnya lagi. , Hal itu berulang tiga kali, tapi kini dia sudah dekat dengan pintu masuk tenda. Dia cepat-cepat masuk dan meraih senapannya. Waktu dia keluar lagi dengan membawa senapannya, singa itu sudah pergi. Dia heran sekali. Dia mengendap-endap ke bagian belakang tendanya, di mana terdapat tanah lapang. Tahu kalian apa yang dilihatnya di situ? “Singa itu sedang asyik berlatih melompat ren-dah-rcwdah berkali-kalidi sana.” Kisahku itu disambut dengan gelak tawa dan tepuk tangan. Aku minum sampanye lagi. “Pada suatu peristiwa lain,” kataku kemudian, “sekali lagi sahabat saya itu mengalami sesuatu yang aneh. Dia sedang bepergian di Afrika bersama suatu rombongan. Dia ingin sekali tiba di tempat tujuan sebelum hari panas. Diperintahkan-, nya anak buahnya untuk mempersiapkan keledai-keledai selagi hari masih gelap. Mereka mengalami kesulitan karena binatang-binatang itu gelisah. Setelah akhirnya selesai, mereka berangkat. Keledai-keledai itu lari sekencang-kencangnya. Setelah hari siang, barulah mereka tahu mengapa larinya sekencang itu. Karena gelapnya hari, tanpa sadar anak buah itu telah memasang seekor singa berpasangan dengan si keledai.” Kelakar itu pun diterima dengan baik. Semua orang di sekeliling meja tertawa-tawa riang. Tapi kurasa yang membuat orang tertawa paling geli adalah temanku si Anggota Paitai Buruh, yang sejak tadi tetap pucat dan murung yang tiba-tiba berseru, “Ya, Tuhan! Siapa yang harus melepas singa itu dari kekangnya?”
“Aku harus pergi ke Rhodesia,” kata Nyonya Blair. “Mendengar ceritamu, Kolonel Race, aku jadi tambah ingin pergi. Meskipun perjalanannya mengerikan. Bayangkan lima hari dalam kereta api!” “Sebaiknya Anda ikut dalam gerbong pribadi saya,” ajakku dengan tidus. “Oh, Sir Eustace, Anda baik sekali! Apakah Anda bersungguh-sungguh?” “Tentu saya bersungguh-sungguh!” sergahku, dan aku minum segelas sampanye lagi. “Tinggal kira-kira seminggu lagi, dan kita akan tiba di Afrika Selatan,” desah Nyonya Blair. “Afrika Selatan,” kataku sentimentil. Lalu kuucapkan lagi sebagian dari pidatoku yang pernah kuucapkan di Colonial Institute. “Apa yang bisa diperlihatkan Afrika Selatan pada dunia? Apa? Buahbuahan dan hasil-hasil perkebunannya, wolnya, ternak dan kulitnya, emas dan berliannya” 130 Aku nyerocos terus, karena aku tahu bahwa bila aku berhenti, Reeves akan segera menyela dengan mengatakan bahwa kulit binatangnya tak -ada harganya, karena binatang-binatang itu mati gara-gara terkait pada kawat berduri atau semacamnya. Dia akan mengorek hal-hal yang lain lagi, dan akhirnya akan menyinggung tentang kesulitan-kesulitan para buruh tambang di Rand. Dan aku tak mau dituding sebagai seorang kapitalis. Tapi interupsi datangnya dari orang lain waktu aku menyebutkan kata sakti ‘berlian’. “Berlian!” seru Nyonya Blair dengan bersemangat. “Berlian!” sambung Nona Beddingfeld. Keduanya lalu menoleh pada* Kolonel Race. “Kurasa kau pernah ke Kimberley.” Aku sendiri pernah ke Kimberley, tapi aku tak sempat mengatakannya. Race-lah yang dihujani pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana tambang-tam-bangnya? Apakah benar bahwa orang-orang pribumi di sana dikurung dalam perkampungan yang berpagar? Dan seterusnya. Race menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan . memperlihatkan bahwa dia banyak tahu tentang hal itu. Dilukiskannya bagaimana cara De Beers mengatur perumahan bagi orang-orang pribumi dan para pencari berlian itu, dan cara-cara pence-ah lainnya. “Jadi sama sekali tak ada kemungkinan untuk mencuri berlian-berlian itu?” tanya Nyonya 131 Blair. Nyata benar rasa kecewanya, seolah-olah kepergiannya ke sana khusus untuk itu. “Tak ada yang tak mungkin, Nyonya Blair. Pencurian-pencurian tetap terjadiseperti kejadian yang pernah saya ceritakan pada Anda, mengenai seorang pribumi yang menyembunyikan permata itu dalam lukanya.”
“Ya. Tapi maksud saya pencurian besar-besaran?” “Pernah sekali, baru-baru ini. Tepatnya sebelum perang. Anda pasti ingat peristiwa itu, Pedler. Anda berada di Afrika Selatan pada saat itu.” Aku mengangguk. “Ceritakan pada kami,” seru Nyonya Blair. “Ayolah!” Race tersenyum. “Baiklah, akan saya ceritakan. Saya ras| kebanyakan dari Anda pemah mendengar nama Sir Laurence Eardsley, pemilik tambang terkaya .di Afrika Selatan? Tambang-tambangnya adalah tambang emas. Tapi dia terlibat karena putranya. Kalian tentu ingat bahwa tak lama sebelum perang, tersiar desasdesus tentang adanya sebuah tambang baru yang menjanjikan harapan. Tambang itu tersembunyi di bawah batu karang dalam hutan di British Guiana. Dilaporkan bahwa ada dua orang anak muda penyelidik, kembali dari daerah Amerika Selatan itu dengan membawa sejumlah besar berlian kasar. Beberapa di antaranya berukuran besar. Berlian berukuran kecil sebelumnya pernah ditemukan di daerah di sekitai 132 Sungai Essequibo dan Sungai Mazaruni. Tapi kedua anak muda itu, yaitu John Eardsley dan sahabatnya Lucas, menyatakan bahwa mereka telah menemukan bedengan-bedengan deposit karbon yang luas di hulu kedua sungai itu. Berlian-berliannya di situ beraneka warna, merah jambu, biru? kuning, hijau, dan putih bersih. Eardsley dan Lucas datang ke Kimberley, di mana mereka harus menyerahkan permata-permata itu untuk (iiperiksa. Pada saat yang sama, telah terjadi suatu perampokan besar di tempat De Beers. Bila mereka mengirim berlian ke Inggris, permata-permata itu dibungkus dalam sebuah paket. Paket itu disimpan dalam peti besi yang besar. Dua buah kuncinya dipegang oleh dua orang, sedang yang tahu kombinasi nomor kuncinya hanya orang ketiga. Peti besi itu diserahkan ke bank, dan bank itulah yang mengirimkannya ke Inggris. Setiap paket, secara kasar bernilai 100.000 pound. Pada saat itu bank melihat ada sesuatu yang tak beres dengan lak paket itu. Maka dibukalah paket itu, dan ternyata isinya bongkah-bongkah gula! “Entah bagaimana kejadian sebenarnya, sampai John Eardsley-lah yang dicurigai. Orang ingat bahwa waktu masih belajar di Universitas Cambridge dia agak liar, dan bukan hanya sekali ayahnya harus melunasi utang-utangnya. Pokoknya, tersiarlah bahwa ceritanya tentang ladang-ladang berlian di Amerika Selatan itu hanya isapan jempol belaka. John Eardsley ditangkap. Dia kedapatan memiliki sebagian dari berlian-berlian De Beers. 133 “Tapi perkara itu tak pernah sampai ke pengadilan. Sir Laurence Eardsley membayar sejumlah uang seharga berlian-berlian yang hilang itu, dan De Beers pun tak menuntut ke pengadilan. Tak pernah diketahui bagaimana perampokan itu sebenarnya terjadi. Tapi mendengar bahwa putranya menjadi pencuri, hancurlah hati bangsawan tua itu. Tak lama setelah itu dia mendapat serangan jantung.
Sedang si John, nasibnya boleh dikatakan masih baik. Dia mendaftarkan diri sebagai tentara, dia ikut perang, berjuang dengan berani dan tewas. Dengan demikian dia menghapus noda pada namanya. Sir Laurence sendiri mendapat serangan jantung untuk ketiga kalinya, dan meninggal kira-kira sebulan yang lalu. Dia meninggal tanpa meninggalkan wasiat, dan kekayaannya yang sangat besar itu jatuh ke tangan seorang keluarga jauhnya yang hampir-hampir tak dikenalnya.” Kolonel itu berhenti. Lalu timbullah suara kacau-balau, ada yang berseru, ada yang bertanya. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian Nona Beddingfeld. Dia menoleh. Karena mendengar dia berseru dengan suara tertahan, aku pun ikut menoleh. Rayburn, sekretarisku yang baru, berdiri di ambang pintu. Di balik wajahnya yang merah karena matahari, dia tampak pucat seolah-olah bara saja melihat hantu. Rupanya kisah Race sangat menyentuh hatinya. Tiba-tiba dia sadar bahwa kami mengawasinya. Dengan cepat dia berbalik dan menghilang. 134 “Kenalkah Anda pada orang itu?” tanya Anne Beddingfeld padaku. “Itu sekretarisku yang kedua,” aku menjelaskan. “Namanya Rayburn. Selama ini dia tak sehat.” Gadis itu mempermainkan rod yang ada di piringnya. “Sudah lamakah dia menjadi sekretaris Anda?” “Belum,” kataku hati-hati. Tapi kewaspadaan tak ada gunanya bagi seorang wanita. Makin banyak kita berahasia, makin kuat dia mendesak. Dan Anne Beddingfeld tak malu-malu melakukannya. “Berapa lama?” desaknya terang-terangan. “Yahbaru saja, sebelum aku berangkat. Seorang teman lama menganjurkan untuk menerimanya.” Dia tak berkata apa-apa lagi, dan diam merenung. Aku menoleh pada Race karena merasa bahwa kini giliranku untuk memperlihatkan perhatianku pada kisahnya. “Tahukah Anda siapa keluarga jauh Sir Laurence itu, Race?” “Tentu saya tahu,” sahutnya dengan tersenyum. “Saya sendirilah orangnya!” 135
BAB XIV (Kembali ke Cerita Anne) Pada malam pesta dengan pakaian aneh-aneh itu, kuputuskan bahwa aku harus menceritakan rahasiaku pada seseorang. Selama ini aku main sendiri, dan aku menyukainya. Kini tiba-tiba semuanya berubah. Aku tak percaya pada penilaianku sendiri, dan untuk pertama kalinya aku merasa kesepian dan sedih. Aku duduk di tepi tempat tidur, masih dalam pakaian gipsy ku. Aku mempertimbangkan situasinya. Pertama-tama aku berpikir tentang Kolonel Race. Kelihatannya dia suka padaku. Aku yakin bahwa dia pasti akan berbaik hati. Dan dia bukan orang bodoh. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku jadi bimbang. Dia orang yang biasa memerintah. Pasti dia akan mengambil alih seluruh persoalan ini. Padahal misteri, ini adalah milikku! Ada pula alasan-alasan lain, yang tak mau aku mengakuinya, bahkan pada diriku sendiri. Dengan alasan-alasan itu akan lebih baik kalau aku tidak menceritakan rahasiaku pada Kolonel Race. Lalu aku berpikir tentang Nyonya Blair. Dia juga begitu baik padaku. Aku tak mau menipu diri 136 bahwa hal itu ada artinya bagiku. Mungkin itu hanya kesukaannya untuk sesaat saja. Tapi bagaimanapun juga, aku telah berhasil menarik perhatiannya. Dia adalah wanita yang telali banyak mengalami sensasi yang biasa dalam hidup. Aku berniat akan memberinya sesuatu yang luar biasa! Aku suka akan sikap santainya, kurangnya rasa sentimentilnya, dan karena tak pernah menunjukkan sikap dibuat-buat. Tekadku sudah bulat. Kuputuskan untuk segera mencarinya. Dia pasti belum tidur. Kemudian aku ingat bahwa aku tak tahu nomor kamarnya. Pramugari yang bertugas malam mungkin tahu. Kubunyikan bel. Agak lama barulah datang seorang pria. Dia langsung memberikan informasi yang kuminta. Kamar Nyonya Blair adalah nomor 71. Pramugara itu minta maaf atas keterlambatannya. Dikatakannya bahwa dia harus mengurus semua kamar. “Lalu ke mana pramugari itu?” tanyaku. “Setelah jam sepuluh malam mereka semua tak bertugas lagi.” “Bukanmaksud saya pramugari yang bertugas malam.” “Tak ada pramugari yang bertugas malam, Nona.” “Tapitapi, kemarin malam, jam satu seorang pramugari datang kemari.” “Pasti Anda bermimpi, Nona. Tak ada pramugari yang bertugas setelah jam sepuluh malam.” 137
Dia pergi, dan tinggallah aku sendiri mencerna informasi baru ini. Siapakah wanita yang datang ke kamarku pada malam tanggal 22 itu? Aku jadi makin geram waktu menyadari betapa cerdik dan beraninya lawan-lawanku yang tak kukenal itu. Kemudian dengan tekad bulat, kutinggalkan kamarku sendiri dan pergi ke kamar Nyonya Blair. Kuketuk pintunya. “Siapa?” tanyanya dari dalam. “SayaAnne Beddingfeld.” “Oh, masuklah, Gadis Gipsy.” Aku masuk. Pakaian-pakaian berserakan, sedang Nyonya Blair sendiri memakai kimono yang tercantik yang pernah kulihat. Warnanya Jingga, keemasan, dan hitam. Aku jadi tergiur melihatnya. “Nyonya Blair,” kataku langsung, “saya ingin mencei itakan kisah hidup sayatapi kalau sekarang tidak terlalu larut bagi Anda dan Anda tidak akan merasa bosan.” “Sama sekali tidak. Aku selalu benci tidur cepat-cepat,” kata Nyonya Blair dengan wajah berkerut karena senyum yang menyenangkan. “Aku akan senang sekali mendengarkan kisah hidupmu. Kau makhluk yang luar biasa, Gadis Gipsy. Tak akan ada seorang pun yang mau masuk ke kamarku jam satu malam, untuk menceritakan kisah hidupnya. Terutama karena selama berminggu-minggu ini kau telah membuatku menekan rasa ingin tahuku! Padahal aku tak biasa ditolak. Duduklah di sofa, dan keluarkan isi hatimu.” Aku pun menceritakan semua kisahku. Hal itu makan waktu lama, karena hal-hal yang kecil pun kuceritakan dengan teliti. Dia menarik napas panjang setelah aku selesai. Tapi dia tidak mengucapkan kata-kata yang kuharapkan. Dia hanya melihat padaku, tertawa kecil lalu berkata, “Tahukah kau, Anne, kau gadis yang luar biasa! Tak pernahkah kau merasa gentar?” “Gentar?” tanyaku tak mengerti. “Ya, gentar! Berangkat seorang diri tanpa uang sama sekali. Apa yang akan kaulakukan di negeri orang, bila uangmu habis?” “Tak ada gunanya memusingkan hal itu sebelum keadaannya terjadi. Uang saya masih banyak. Uang dua puluh lima pound yang diberi Nyonya Flemming masih utuh. Lalu kemarin saya menang lotere. Tambahan lima belas pound lagi. Wah, banyak sekali uang saya. Empat puluh pound!” “Ya, Tuhan! Banyak katamu sekian itu!” gumam Nyonya Blair. “Aku tidak akan mampu berbuat begitu, Anne. Padahal aku boleh berkata bahwa aku ini pemberani. Tapi aku tidak akan bisa berangkat dengan gembira, dengan hanya beberapa pound dalam sakuku, tanpa tahu apa yang akan kulakukan dan ke mana aku akan pergi.” “Tapi justru di situlah seninya,” seruku. Aku jadi bersemangat. “Kita jadi memiliki semangat petualangan.” Dia memandangi aku, mengangguk-angguk, lalu tersenyum. ^
139
I 138 “Kau bet untung, Anne! Tak banyak orang di dunia ini yang berperasaan seperti kau.” “Nah,” kataku tak sabaran, “bagaimana pendapat Anda tentang semua cerita sava itu, Nyonya Blair?” “Kurasa mendebarkan sekali! Pertama-tama, kau tak boleh lagi menyebutku Nyonya Blair. Suzanne, lebih baik. Setuju?” “Suka sekali, Suzanne.” “Bagus. Sekarang mari kita tinjau persoalan ini. Kau katakan bahwa sekretaris Sir Eustacebukan si Pagett yang bermuka tiius itu, tapi yang seorang lagikaukenali sebagai orang yang ditikam dan mencari perlindungan ke kamarmu?” Aku mengangguk. “Sekarang ada dua mata rantai yang menghubungkan Sir Eustace dengan kekacauan ini. Wanita Itu tet bunuh di rumah dia, dan sekretaris dia pula yang ditikam jam satu malam. Aku tidak mencurigai Sir Eustace sendiri, tapi bukankah tak mungkin kalau semuanya kebetulan saja. Pasti ada hubungannya, meskipun dia sendiri tidak menyadarinya. “Lalu ada pula peristiwa aneh dengan pramugari itu,” lanjutnya sambil merenung. “Bagaimana gampangnya?” “Aku kurang memperhatikannya. Aku kacau sekali dan tegangdan pramugari itu merupakan antiklimaks. Tapitungguya, wajahnya rasanya kukenal. Tentu saja, karena aku telah melihat wajah itu di kapal ini.” 140 “Kau merasa mengenal wajahnya,” kata Suzanne. “Yakinkah kau bahwa dia bukan seorang laki-laki?” “Dia memang tinggi sekali,” kuakui. “Hmm. Kurasa tak mungkin Sir Eustace. Pagett juga tak mungkinTunggu!” Diambilnya secarik kertas lalu mulai menggambar dengan bersemangat. Ditelitinya hasilnya sambilmemiringkan kepalanya. “Mirip sekali dengan Pendeta Chichester, meskipun belum sempurna.” Kertas itu diberikannya padaku. “Inikah pramugarimu itu?” “Eh, benar,” seruku. “Suzanne, kau pandai sekali!” Dia membantah pujian itu dengan isyarat.
“Aku sudah lama mencurigai makhluk yang bernama Chichester itu. Ingatkah kau bahwa cangkir kopinya terjatuh, dan dia jadi pucat kebiruan, waktu kita berbicara tentang Crippen hari itu?” “Dan dia mencoba merebut kamar 17!” “Ya, sebegitu jauh semuanya cocok. Tapi apa artinya semua ini? Apa yang seharusnya terjadi jam 1 malam di kamar 17 itu? Rasanya tak mungkin penikaman atas diri sekretaris itu. Kejadian begitu tak bisa ditentukan waktunya pada jam tertentu, pada hari tertentu, dan di suatu tempat tertentu. Tidak, itu pasti suatu janji pertemuan, dan dia sedang menuju tempat itu waktu dia ditikam. Tapi dengan siapakah janji itu? Jelas bukan dengan kau. Mungkin dengan Chichester. Atau mungkin juga dengan Pagett.” 141 “Rasanya itu tak mungkin,” bantahku, “mereka bisa bertemu setiap saat.” Beberapa saat lamanya kami terdiam. Lalu Suzanne menempuh jalan lain. “Mungkinkah ada sesuatu yang tersembunyi dalam kamar itu?” “Itu lebih masuk akal,” kataku membenarkan. “Itu juga bisa menjelaskan mengapa barang-barangku diobrak-abrik esok paginya. Tapi aku yakin di tempat itu tak ada apa-apa yang tersembunyi.” “Apakah tak mungkin anak muda itu menyelipkan sesuatu ke dalam lacimu malam itu?” Aku menggeleng. “Pasti terlihat olehku.” “Mungkinkah kertasmu yang berharga itu yang mereka cari?” “Mungkin, tapi rasanya tak masuk akal. Itu hanya catatan jam dan tanggaldan itu sudah lewat.” Suzanne mengangguk. “Ya, benar juga. Jadi bukan kertas itu. Ngomong-ngomong, adakah kertas itu padamu sekarang? Aku ingin melihatnya.” Kertas itu memang kubawa sebagai Bukti. A, dan kuserahkan padanya. Suzanne mengamatinya sambil mengerutkan dahinya. “Di belakang angka 17 ada titik. Mengapa di belakang angka 1 tak ada titiknya?” “Tapi ada jarak,” aku mengingatkannya. “Ya, memang ada jarak, tapi” 142
Tiba-tiba dia bangkit lalu mendekatkannya ke lampu sedekat mungkin. Sikapnya menunjukkan kekacauan yang tertekan. “Anne, ini bukan titik! Ini cacat pada kertasnya! Cacat pada kertasnya, mengertikah kau? Jadi kita harus mengabaikannya, dan memperhatikan jarak-jarak itu!” Aku ikut berdiri di dekatnya. Aku membaca angka-angka itu sebagaimana sekarang tampak olehku. “1 71 22.” “Kaulihat?” kata Suzanne. “Angka itu sama, tapi jadi tak serupa. Waktunya tetap jam 1, dan pada tanggal 22tapi kamarnya, kamar nomor 71! Kamarku ini, Anne!” Kami bertatapan. Kami senang dengan penemuan kami yang baru itu dan asyik dengan kegembiraan yang meluap, seolah-olah kami sudah berhasil menyelesaikan seluruh misteri itu. Kemudian aku serasa terhempas ke bumi. “Tapi Suzanne, di sini tidak terjadi apa-apa pada jam 1 tanggal 22, bukan?” Wajahnya juga membayangkan kekecewaan. “Tidaktak ada apa-apa.” Aku mendapatkan pikiran baru. “Ini semula bukan kamarmu sendiri, bukan, Suzanne? Maksudku bukan kamar yang kaupesan mulamula?” “Bukan, petugas pasasi menukarnya.” “Aku ingin tahu apakah sebelum berangkat tej^h dipesan orang lainlalu orang itu tak 143 muncul? Kurasa kita bisa mencari tahu tentang hal itu.” “Kita tak perlu mencari tahu, Gadis Gipsy,” seru Suzanne. “Aku sudah tahu! Petugas pasasi itu yang menceritakannya padaku. Kamar ini dipesan oleh seseorang yang bernama Nyonya Greytapi rupanya Nyonya Grey hanya nama samaran dari Madame Nadina yang terkenal itu. Dia adalah penari Rusia yang sangat terkenal. Dia memang tak pernah muncul di London, tapi orang Pat is tergila-gila padanya. Dia sukses besar di sana, selama petang. Kurasa dia bergaul dengan orang-orang jahat, tapi dia cantik sekali. Petugas pasasi itu menyatakan penyesalannya yang setu-lus-tulusnya bahwa dia sampai tak berada di kapal ini. Itu dikatakannya waktu dia memberikan kamar ini padaku. Lalu Kolonel Race juga bercerita banyak tentang dia. Agaknya banyak cerita-cerita aneh yang tersiar di Paris. Dia dicurigai melakukan kegiatan mata-mata, tapi orang tak bisa membuktikan apa-apa. Kurasa Kolonel Race berada di sana khusus untuk keperluan itu. Dia menceritakan beberapa hal yang menarik. Katanya ada suatu kumpulan yang terorganisir, yang sama sekali tidak terdiri dari orangorang Jerman. Bahkan ketuanya, yang selalu disebut dengan panggilan ‘Kolonel’, diduga orang Inggris. Tapi orang tak pernah bisa mengenalinya. Tapi jelas bahwa dialah yang mendalangi suatu
organisasi yang cukup kuat, yang” terdiri dari penjahat-penjahat internasional. Perampok-144 an, kegiatan mata-mata, pembunuhan, semua dijalankannyadan biasanya ada seseorang yang tak bersalah, yang dijadikan kambing hitam dan harus menjalani hukumannya. Dia tentu seseorang yang luar biasa pintarnya! Wanita penari itu diduga salah seorang kaki tangannya. Tapi orang tak bisa membuktikannya. Ya, Anne, kita berada di jalur yang benar. Pasti Nadina-lah wanita yang terlibat dalam urusan ini. Janji pertemuan jam ‘ 1 malam tanggal 22 itu adalah janji dengan dia, di kamar ini. Tapi mana dia? Mengapa dia tak ikut berlayar?” Sesuatu terkilas di benakku. “Dia bermaksud pergi berlayar,” kataku perlahan-lahan. “Mengapa tak jadi?” “Karena dia sudah meninggal. Suzanne, Nadina-lah wanita yang terbunuh di Marlow itu!” Pikiranku melayang kembali ke kamar kosong di rumah yang kosong itu, dan terasa lagi ancamanancaman dan kejahatan yang ada di sana. Dan aku pun lalu teringat akan pensilku yang jatuh, dan penemuanku berupa tabung film. Tabung filmterhubung lagi dengan sesuatu yang baru-baru ini terjadi. Di mana aku mende—ngar tentang sebuah tabung film? Dan mengapa pikiran itu kuhubungkan dengan Nyonya Blair? Mendadak bagaikan terbang aku mendatanginya^hi kuguncang-guncang tubuhnya karena kacamrya pikiranku. “Filmmu! Film yang dikembalikan padamu 145 melalui lubang angin pintu! Bukankah itu terjadi pada tanggal 22?” “Rol filmku yang hilang itu?” “Bagaimana kau tahu bahwa itu memang tabung filmmu yang hilang? Mengapa orang harus mengembalikannya padamu dengan cara begitu? Tengah malam lagi. Itu pikiran gila. Tidakitu pasti suatu pesan. Filmnya sudah dikeluarkan dari tabung timah yang kuning itu, dan diisi dengan sesuatu yang lain. Apakah masih ada padamu?”^ “Mungkin sudah kupakai. Oh, tidak. Aku ingat, aku melemparkannya ke dalam rak di sisi tempat tidur. Ini dia.” Tabung itu diberikannya padaku. Tabung itu bulat panjang seperti biasa, terbuat dari timah, sebagaimana film biasanya dibungkus di daerah tropis ini. Aku menyambutnya dengan tangan gemetar, dan hatiku rasanya akan terloncat ke luar. Tabung itu jelas lebih berat daripad^ seharusnya. Dengan jari-jari gemetar kulepas plester adhesive yang menjaganya agar tidak kemasukan udara. Lalu
tutupnya kucabut. Pada saat itu bergulingan-lah kerikil-kerikil kaca yang buram ke tempat tidur. “Kerikil,” kataku benar-benar kecewa. “Kerikil?” seru Suzanne. Nada suaranya membuatku kacau lagi. “Kerikil? Bukan, Anne, bukan kerikil! Ini berlianl” 146
BAB XV Berlian! Aku terpana, terbelalak memandangi tumpukan berlian di tempat tidur itu. Kuambil sebutir. Kalau tidak karena beratnya, kita bisa saja menyangka bahwa itu adalah pecahan botol. “Yakinkah kau, Suzanne?” “Oh, ya, yakin sekali. Aku sudah terlalu sering melihat berlian kasar, hingga aku tak mungkin ragu lagi. Alangkah cantiknya, Annedan beberapa di antaranya istimewa. Pasti ada sejarahnya di balik semuanya ini.” “Sejarah yang baru saja kita dengar malam ini,” seruku. “Maksudmu ?” “Cerita Kolonel Race itu. Tak mungkin itu hanya suatu kebetulan. Dia menceritakannya dengan suatu maksud.” “Maksudmu untuk melihat reaksi orang-orang?” Aku mengangguk. “Reaksi Sir Eustace?” “Ya.”* Waktu menjawab itu, aku sendiri masih ragu. 147 Apakah Sir Eustace yang menjadi bahan test itu, atau apakah kisah itu diceritakannya untuk diriku sendiri? Aku teringat beberapa malam yang lalu waktu aku mendapat kesan bahwa aku sedang ‘dipancing’. Dengan alasan yang tidak kuketahui, Kolonel Race merasa curiga. Tapi bagaimana keterlibatannya? Bagaimana hubungan dia sendiri dengan peristiwa ini? “Siapa sebenarnya Kolonel Race itu?” tanyaku. “Itu pertanyaan yang sulit,” kata Suzanne. “Dia cukup terkenal sebagai pemburu binatang buas. Dan kaudengar sendiri tadi bahwa dia sepupu jauh Sir Laurence Eardsley. Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya sebelum perjalanan ini. Dia sering bolak-balik antara Inggris dan Afrika. Ada pendapat umum bahwa dia bekerja di Dinas Rahasia. AJju tak tahu apakah itu benar atau tidak. Dia memang orang yang misterius.” “Sebagai ahli waris Sir Laurence Eardsley, dia pasti dapat uang banyak, ya?” “Oh, Anne dia pasti bergelimang uang. Tahukah kau, dia merupakan pasangan yang tepat bagimu.”
“Tidak akan mudah mendapatkan kesempatan untuk mendekati dia, selama kau ada di kapal ini,” kataku sambil tertawa. “Wanita yang sudah menikah lebih berpengalaman!” “Kami memang punya daya tarik tersendiri,” gumam Suzanne. “Tapi semua orang tahu bahwa aku cinta betul pada Clarencesuamiku. Lebih 148 aman dan lebih menyenangkan bercinta dengan istri yang penuh pengabdian.” “Beruntung sekali Clarence menikah dengan seseorang seperti kau.” “Ah, sebagai teman hidup, aku ini membosankan! Tapi dia selalu bisa melarikan diri - ke kantornya di Departemen Luar Negeri. Di sana dia memasang kaca matanya, lalu tidur di kursinya. Kita bisa mengirim telegram padanya menanyakan apa yang diketahuinya tentang Race. Aku suka mengirim telegram. Padahal Clarence merasa jengkel dengan telegram-telegramku itu. Dia selalu berkata, dengan surat juga bisa. Tapi kurasa dia tidak akan mau menceritakan apa-apa pada kita. Dia selalu berhati-hati sekali. Itu sebabnya sulit hidup dengan dia lama-lama. Tapi mari kita teruskan dengan perjodohan tadi. Aku yakin Kolonel Race itu sangat tertarik padamu, Anne. Main matalah sedikit dengan dia, dengan matamu yang tajam itu. Pasti dia akan makin terpikat. Banyak orang yang bertunangan setelah bertemu di kapal. Kau tak perlu berbuat lain.” “Aku tak ingin menikah.” “Apa iya?” kata Suzanne. “Mengapa tidak? Aku senang bahwa aku sudah menikahmeskipun dengan Clarence!” Kesembronoannya bicara itu kuanggap tak terpuji. “Aku hanya ingin tahu,” kataku dengan tegas, “apa hubungan Kolonel Race dalam urusan ini? Karena aku yakin bahwa dia terlibat.” 149 “Tidakkah kau berpikir bahwa suatu kebetulan saja dia menceritakan itu pada kita?” “Tidak,” kataku pasti. “Dia sedang mengamat-amati kita dengan ketat. Kau ingat kan, hanya ‘sebagian dari berlian itu yang ditemukan kembali, tidak semuanya. Mungkin ini yang tidak ditemukan kembali ituatau mungkin” “Mungkin apa?” Aku tak segera menjawab. “Aku ingin tahu,” kataku kemudian, “apa yang terjadi atas diri anak muda yang seorang lagi. Bukan Eardsley, melainkansiapa namanya? Lucas!” “Bagaimanapun juga, kita akan tahu tentang hal itu. Semua orang mengejar berlian ini. Pasti untuk memiliki berlian-berlian inilah ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu membunuh Nadina.”
“Bukan dia yang membunuhnya,” kataku tajam. “Pasti dia yang membunuhnya. Siapa lagi?” “Entahlah. Tapi aku yakin bahwa bukan dia yang membunuh Nadina.” “Dia masuk ke rumah itu tiga menit setelah Nadina, dan dia keluar lagi dengan wajah sepucat kain putih.” “Karena dia menemukan wanita itu sudah meninggal.” “Tapi tak ada orang lain yang masuk.” “Kalau begitu pembunuhnya sudah berada dalam rumah itu, atau bisa juga, dia masuk melalui jalan lain. Dia tak perlu melewati pondok tukang kebun. Bisa saja dia masuk dengan memanjat tembok.” Suzanne melihat padaku dengan pandangan tajam. ” ‘Pria Bersetelan Coklat’,” katanya sambil merenung. “Ingin sekali aku tahu siapa dia. Kupikir, dialah ‘dokter’ di stasiun kereta api bawah tanah itu. Mungkin dia sempat menanggalkan make-upnyz, lalu menyusul wanita itu ke Marlow. Nadina dan Carton ada janji untuk bertemu di sana. Keduanya memiliki surat keterangan untuk melihat rumah yang sama. Bila mereka begitu waspada dan berusaha supaya pertemuan mereka kelihatan seolah-olah kebetulan saja, itu artinya mereka merasa curiga bahwa mereka diikuti orang. Pokoknya Carton tidak tahu bahwa yang membayangbayanginya itu adalah ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu. Waktu dia mengenali pria itu, dia begitu terkejut dan kebingungan, hingga dia mundur dan jatuh ke atas rel yang beraliran listrik. Semuanya itu jelas kan, Anne!” Aku tak menyahut. “Ya, memang begitu. Dia mengambil kertas itu dari tubuh Carton, tapi karena terburu-buru kertas itu tercecer. Kemudian dia menyusul Nadina ke Marlow. Apa yang dilakukannya setelah dia membunuhnyaatau, menurut kau, setelah dia menemukan mayat wanita itu? Ke mana dia pergi?” Aku masih tetap diam. 151 “Sekarang terpikir olehku,” kata Suzanne merenung. “Mungkinkah dia lalu berusaha agar Sir Eustace Pedler membawanya naik kapal ini sebagai sekretarisnya? Itu merupakan kesempatan baik untuk keluar dari Inggris dengan aman dan menghindari pengejaran. Tapi bagaimana dia sampai bisa mempengaruhi Sir Eustace? Kelihatannya dia punya kekuatan untuk memaksa Sir Eustace.” “Atau mengancam Pagett,” kataku tanpa berpikir. . “Kelihatannya kau tak suka pada Pagett, Anne. Kata Sir Eustace, dia orang yang sangat terampil dan suka bekerja keras. Yah, mungkin saja benar, meskipun kita tetap mencurigainya. Nah, mari kita
lanjutkan dengan kecurigaan-kecurigaanku. Ray-?burn adalah si ‘Pria Bersetelan Coklat’. Kertas yang tercecer itu telah sempat dibacanya. Lalu dia disesatkan oleh titik itu, seperti kau. Sebab itu dia berusaha masuk ke kamar 17 pada jam satu tanggal 22. Sebelum itu dia telah mencoba memiliki kamar itu melalui Pagett. Dalam perjalanannya menuju kamar itu, seseorang menikamnya” “Siapa?” “Chichester. Ya, semuanya cocok. Kirim telegram pada Lord Nasby. Katakan bahwa kau sudah menemukan identitas ‘Pria Bersetelan Coklat’, supaya kau cepat kaya, Anne!” Ť “Ada beberapa hal yang kaulupakan,” “Apa itu? Di wajah Rayburn ada bekas luka. Aku tahu itutapi bekas luka bisa dipalsukan 152 dengan mudah. Tinggi dan bentuk badannya sama. Bagaimana kau melukiskan bentuk kepala orang itu pada Scotland Yard?”’ Aku gemetar. Suzanne memang orang yang berpendidikan tinggi serta banyak membaca buku, tapi tak kusangka bahwa dia juga mengenal istilah teknis antropologi. “Dolichocephalic” kataku ringan. Suzanne melihatku dengan ragu. “Apa benar itu?” “Ya. Yang berkepala panjang. Kepala yang ukuran lebarnya 75 persen kurang dari panjangnya,” aku menjelaskan dengan lancar. Kami berdiaman sebentar. Aku baru akan bernapas lega, ketika Suzanne tiba-tiba berkata lagi, “Apa lawannya?” “Lawan apa?” “Yah, tentu ada lawannya. Kalau kepala ukuran lebarnya 75 persen lebih dari panjangnya, disebut apa?” “Brachycephalic,” gumamku dengan enggan.*’ “Ya, itu. Kurasa itulah yang kausebut.” “Apa iya? Aku hanya keseleo lidah. Maksudku dolichocephalic,” kataku dengan penuh keyakinan. Suzanne melihatku dengan pandangan menyelidik. Lalu dia tertawa. “Kau pandai berbohong, Gadis Gipsy. Tapi untuk menghemat waktu dan kesulitan, sebaiknya ka e itakan semua padaku sekarang.” 153 “Tak ada yang harus kuceritakan,” kataku enggan. “Benar tak ada?” tanya Suzanne dengan halus.
“Yah, kurasa memang harus kuceritakan padamu,” kataku perlahan-lahan. “Aku tak malu. Bukankah kita tak perlu malu akan sesuatu yangmenimpa diri kita. Itulah yang terjadi atas diriku, gara-gara orang itu. Dia orang yang pantas dibencidia kasar dan tak tahu berterima kasih tapi aku bisa mengerti itu. Sama halnya dengan anjing yang dirantaiatau diperlakukan dengan burukdia akan menggigit siapa saja. Seperti itulah diapemarah dan kasar. Aku tak tahu mengapa aku menyukainya. Aku sangat menyukainya. Baru melihatnya saja, hidupku sudah kacau-balau rasanya. Aku mencintai laki-laki itu. Aku menginginkan dia. Akan kujalani seluruh Afrika dengan kaki telanjang, sampai aku menemukannya. Lalu akan kubuat supaya dia mencintaiku pula. Aku mau mati untuk dia. Aku mau bekerja untuknya, menjadi budaknya, mencuri untuknya, bahkan mengemis atau meminjam untuknya! Nahsekarang kau tahu!” Lama Suzanne memandangiku. “Kau sama sekali tidak seperti orang Inggris, Gadis Gipsy,” katanya akhirnya. “Kau tak punya rasa sentimentil barang secuil pun. Tak pernah aku bertemu dengan seseorang yang begitu praktis dan sekaligus begitu bernafsu. Aku tidak akan pernah suka pada orang seperti itu. Aku bersyukur. Namunbiarpun begitu, aku merasa iri 154 padamu, Gadis Gipsy. Memang hebat kalau kita bisa menyukai sesuatu. Tak banyak orang bisa begitu. Tapi dokter kecilmu itu beruntung bahwa kau tak kawin dengan dia. Kedengarannya, dia bukanlah orang yang akan suka menyimpan seseorang yang mudah meledak di rumahnya! Jadi kau tak mau mengirim telegram pada Lord Nasby?” Aku menggeleng. “Dan kau masih tetap berpendapat bahwa dia tak bersalah?” “Aku juga berpendapat bahwa orang yang tak bersalah pun bisa saja digantung.” “Hem! Ya. Tapi, Anne sayang, kau biasanya bisa menghadapi kenyataan. Hadapilah sekarang. Kecuali apa yang kaukatakan tadi, mungkin dia telah membunuh wanita itu.” “Tidak,” kataku. “Bukan dia.” “Itu sentimen.” “Bukan. Dia memang bisa membunuhnya. Dia bahkan mungkin menyusulnya ke rumah itu dengan niat untuk itu. Tapi dia tidak akan mengambil seutas tali hitam dan mencekiknya dengan tali itu. Bila dia yang melakukannya, dia akan melakukannya dengan tangannya.” Suzanne bergidik. Matanya disipitkannya sambil dia berpikir. “Hram! Anne, aku mulai melihat mengapa kau menganggap anak muda itu begitu menarik!” 155
BAB XVI Esok paginya aku mendapat kesempatan untuk menangani Kolonel Race. Pengundian lotere baru saja selesai, dan kami berjalan hilir-mudik di dek. “Bagaimana sang gipsy pagi ini? Sudah ingin cepat-cepat mendarat dan merindukan karavan?” Aku menggeleng. “Karena laut kini sudah begitu baik dan tenang, rasanya ingin saya tinggal terus di kapal.” “Bersemangat sekali!” “Lihat saja pagi ini, betapa indahnya.” Kami sama-sama bersandar pada pagar kapal. Laut tenang bagai permukaan kaca. Permukaan yang seolah-olah diminyaki. Tampak bercak-bercak besar beraneka warna, biru, hijau muda, hijau zamrud, ungu, dan Jingga tua, seperti pada lukisan kubus. Kadang-kadang tampak kilasan warna keperakan yang menunjukkan adanya ikan terbang. Udara lembab dan hangat, terasa agak lengket. Hembusannya bagai belaian yang mengandung parfum. “Cerita Anda semalam menarik sekali,” kataku memecah kesunyian. “Yang mana?” 156 “Yang mengenai berlian.” “Saya rasa wanita memang selalu tertarik pada berlian.” “Tentu. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan anak muda yang seorang lagi? Kata Anda mereka berdua.” “Oh, yang bernama Lucas? Yah, orang tentu tak bisa menuntut hanya seorang di antara mereka. Jadi dia juga bebas.” “Apa yang terjadi atas dirinya?Maksud saya, sekarang ini? Adakah yang tahu?” Kolonel Race memandang lurus ke depan, ke laut. Wajahnya tak membayangkan apa-apa, seperti kedok saja. Tapi aku mendapat kesan bahwa dia tak menyukai pertanyaanku. Namun dia langsung menjawab. “Dia pergi perang dan berjuang dengan gagah berani. Diberitakan bahwa dia luka dan hilang mungkin tewas.” Itulah yang ingin kuketahui? Aku tak bertanya lagi. Tapi aku makin meragukan, seberapa jauh yang diketahui Kolonel Race. Aku makin tak tahu peran apa yang dimainkannya dalam hal ini. Aku melakukan satu hal lagi, yaitu mewawancarai pramugara yang bertugas malam. Dengan imbalan sedikit uang, aku segera berhasil membuatnya bicara.
“Wanita itu tidak ketakutan, kan Nona? Agaknya semacam lelucon yang tak merugikan. Saya dengar itu merupakan semacam taruhan.” Sedikit demi sedikit, aku berhasil mendapatkan 157 informasi dari dia. Dalam pelayaran dari Cape Town ke Inggris, salah seorang penumpang memberikan sebuah tabung film padanya, dengan instruksi supaya benda itu dilemparkan ke tempat tidur kamar 71, jam satu malam pada tanggal 22 Januari, pada pelayaran kembali. Katanya, kamar itu akan ditempati oleh seorang wanita, dan katanya hal itu merupakan suatu taruhan. Kudengar, pramugara itu dibayar banyak untuk tugasnya itu. Siapa wanita itu, tidak disebutkan. Karena Nyonya Blair langsung masuk ke kamar 71, pramugara itu tentu tak mengira bahwa dia bukanlah wanita yang dimaksud. Penumpang yang mengatur hal tersebut dengan pramugara itu, bernama Carton, dan gambaran tentang pria itu sesuai sekali dengan pria yang tewas di stasiun kereta api bawah tanah. Jadi setidak-tidaknya satu misteri sudah terbuka, dan rupanya berlian-berlian itulah yang merupakan kunci seluruh peristiwa itu. Hari-hari terakhir di Kilmorden, rasanya berlalu cepat sekali. Sementara kami makin mendekati Cape Town, aku terpaksa memikirkan rencana-rencana masa depanku baik-baik. Banyak sekali orang yang ingin kuamat-amati. Pendeta Chichester, Sir Eustace dan sekretarisnya, danjuga Kolonel Race! Apa yang harus kulakukan sehubungan dengan hal itu? Yang pasti, Chichester harus mendapat perhatian khusus. Aku Sr benarnya ingin menghapuskan Sir Eustace dan Mr. Pagett sebagai tokoh-tokoh yang dicurigai, mes-158 kipun dengan enggan. Tapi suatu percakapan yang tak disengaja, membangkitkan kecurigaanku kembali. Aku tak lupa mengapa emosi Pagett yang tak bisa dijelaskan itu meluap, setiap kali Florence disebutsebut. Pada malam terakhir di kapal, kami semua duduk-duduk di dek. Sir Eustace menanyakan sesuatu yang biasa sekali pada sekretarisnya. Aku lupa apa tepatnya, sesuatu yang berhubungan dengan keterlambatan kereta api di Itali. Tapi segera kulihat Pagett memperlihatkan kegelisahan yang telah menarik perhatianku selama ini. Waktu Sir Eustace mengajak Nyonya Blair dansa, aku cepatcepat pindah ke kursi di dekat sekretaris itu. Aku bertekad untuk mengorek soal itu sampai dapat. “Sudah lama saya ingin pergi ke Itali,” kataku. “Khususnya ke Florence. Apakah Anda senang di sana?” “Senang sekali, Nona Beddingfeld. Maafkan saya, ada beberapa surat Sir Eustace yang”. Kutahan lengan jasnya kuat-kuat. “Ah, jangan lari!” seruku dengan gaya genit seorang janda setengah baya. “Saya yakin Sir Eustace tak suka melihat Anda meninggalkan saya seorang diri, tanpa teman bicara. Kelihatannya Anda tak pernah mau bicara tentang Florence, Mr. Pagett. Saya yakin Anda menyimpan rahasia yang mengandung dosa!”
Aku masih tetap mencengkam lengannya, dan aku merasakan dia tiba-tiba terkejut. 159 v “Sama sekali tidak, Nona Beddingfeld, sama ‘ sekali tidak,” katanya bersungguh-sungguh. “Sebenarnya saya suka sekali menceritakan segalanya pada Anda, tapi benar-benar ada beberapa telegram yang” “Aduh, Mr. Pagett, alasan Anda sangat dicari-cari! Biar saya katakan pada Sir Eustace” Aku tak bisa berkata lebih jauh. Sekali lagi dia terlompat. Sarafnya bukan main tegangnya. “Apa yang ingin Anda ketahui?” Nada bicaranya sangat tersiksa, membuatku tersenyum sendiri. “Tentang semuanya! Lukisan-lukisannya, pohon-pohon zaitunnya” Aku terdiam, aku sendiri tak tahu harus berkata . apa lagi. “Saya rasa Anda bisa berbahasa Itali, ya?” kataku lagi. “Sayang, sepatah pun tak bisa. Hanya sekadar dengan kuli-kuli danehdengan pramuwisata.” “Pasti,” aku buru-buru menyahut. “Lalu, lukisan apa yang paling Anda sukai?” “Oh, ehLukisan Madonnahasil karya Raphael.” “Ah, Florence,” gumamku sentimentil. “Pe-‘mandangan di tebing Sungai Arno itu indah sekali. Indah sekali sungai itu.- Lalu Sungai Duomo. Anda ingat kan Sungai Duomo?” “Tentu, tentu.” “Sungai itu juga cantik, ya?” serangku terus. 160 “Hampir-hampir lebih cantik daripada Sungai Arno.” “Saya rasa begitulah.” Karena jebakan kecilku berhasil, aku jadi berani melangkah lebih jauh. Tapi kecil sekali kesempatanku untuk merasa ragu lagi. Mr. Pagett selalu membenarkan setiap kata yang kuucapkan. Laki-laki ini sama sekali belum pernah pergi ke Florence selama hidupnya. Tapi bila dia tidak pergi ke Florence, di mana dia selama itu? Di Inggriskah? Apa sebenarnya dia ada di Inggris pada saat terjadinya misteri Mill House? Aku memutuskan untuk mengambil langkah baru. “Ada sesuatu yang aneh,” kataku. “Saya merasa bahwa saya pernah melihat Anda di suatu tempat. Tapi tentu saya kelirukarena waktu itu Anda sedang berada di Florence. Tapi”
Kuamat-amati dia dengan terang-terangan. Matanya tampak liar karena gugup. Lidahnya diulur-* kannya akan membasahi bibirnya yang kering. “Di manayadi mana” “Saya merasa telah melihat Anda?” aku menyelesaikan pertanyaannya. “Di Marlow. Anda tahu Marlow, kan? Ali, tentu Anda tahu, bodoh sekali saya. Sir Eustace punya rumah di sana!” Tapi, dengan alasan tak jelas yang digumam-kannya, korbanku melarikan diri. Malam itu aku masuk kamar Suzanne dengan penuh semangat. “Nah, sekarang kau tahu, Suzanne,” desahku 161 setelah selesai bercerita padanya, “dia berada di Inggris, tepatnya di Marlow, pada saat pembunuhan itu. Apakah kau masih begitu yakin bahwa ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu yang bersalah?” “Aku yakin akan satu hal,” kata Suzanne sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku tak mengerti. “Apa?” “Bahwa ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu lebih tampan daripada Mr. Pagett yang malang. Jangan marah, Anne. Aku hanya menggodamu. Duduklah. Sekarang aku tidak bergurau lagi. Kurasa kaili telah menemukan sesuatu yang penting. Hingga kini kita menganggap si Pagett punya alibi. Sekarang kita tahu, dia tidak punya alibi.” “Tepat,” kataku. “Kita harus mengamat-amati -dia.” “Juga semua yang lain,” katanya murung. “Itulah salah satu hal yang ingin kubicarakan denganmu. Kecuali itujuga mengenai keuangan. Jangan, jangan terlalu merasa yakin akan dirimu. Aku tahu kau sangat so’mbong dan maumu .mandiri, tapi kau juga harus mau mendengarkan pikiran sehat mengenai hal itu. Kita kini berpat-neraku tidak akan mau menawarkan saxu penny pun, hanya karena aku suka padamu, atau karena kau tak punya teman lain. Yang kuingini adalah pengalaman yang menegangkan, dan aku bersedia membayar untuk itu. Kita akan menyelesaikan perkara ini berdua, tanpa harus memikirkan biayanya. Pertama-tama, kau harus ikut aku 162 menginap di Hotel Mount Nelson, atas biayaku, dan kita rencanakan bersama langkah-langkah kita.” Kami bertengkar mengenai hal itu. Tapi akhirnya aku mengalah, meskipun aku sebenarnya tak suka. Aku ingin melakukannya sendiri. “Kalau begitu beres,” kata Suzanne akhirnya., Dia bangkit dan meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar. “Capek sekali aku karena terlalu banyak bicara. Sekarang mari kita bahas korban-* korban kita. Pendeta Chichester akan melanjutkan perjalanannya ke Durban. Sir Eustace akan menginap di Hotel Mount Nelson di Cape Town, lalu terus ke Rhodesia. Dia akan naik kereta api dan
menyewa gerbong pribadi. Dan setelah minum empat gelas sampanye kemarin malam, dia jadi begitu terbuka dan menawarkan padaku untuk ikut dengan dia. Aku yakin dia tak bersungguh-sungguh, tapi dia tentu tak bisa menarik kembali tawarannya, kalau aku bilang aku mau ikut.” . “Baik,” aku membenarkan. “Kau mengamari Sir Eustace dan Pagett, dan aku menjaga Chichester. Tapi bagaimana dengan Kolonel Race?” Suzanne melihat padaku dengan pandangan aneh. “Anne, kau kan tidak mencurigai” “Ya. Aku mencurigai semua orang. Aku bahkan mencurigai orang yang kelihatannya tak mungkin dicurigai.” “Kolonel Race akan pergi ke Rhodesia juga,” 163 kata Suzanne merenung. “Kalau saja kita bisa mengatur supaya Sir Eustace juga mengajak dia-“ “Kau pasti bisa mengaturnya. Kau selalu bisa mengatur.” “Aku senang dipuji,” kata Suzanne. Kami berpisah dengan janji bahwa Suzanne akan memanfaatkan bakatnya sebaik mungkin. Aku merasa terlalu kacau untuk langsung pergi tidur. Malam itu adalah malam terakhirku di kapal. Besok pagi-pagi benar kami sudah akan berada di Table Bay. Aku menyelinap naik ke dek. Angin sepoi terasa segar dan sejuk. Kapal agak oleng dihempas laut. Dek-dek gelap dan sepi. Hari sudah lewat tengah malam. Aku bersandar pada pagar kapal, memperhatikan buih yang berkilat-kilat. Afrika terbentang di hadapan kami. Kami melaju ke arah itu di air yang gelap. Aku merasa sepi sendiri di dunia yang indah ini. Aku berdiri di sana dengan perasaan damai yang aneh, tanpa memperhatikan waktu. Aku tenggelam dalam mimpi. Tiba-tiba aku mendapat firasat aneh akan adanya bahaya. Aku tak mendengar apa-apa, tapi aku berbalik. Suatu sosok gelap mengendap-endap di belakangku. Pada saat aku berbalik, dia menerpaku. Sebelah tangannya mencengkeram leherku, dan dengan demikian tersumbatlah pekikku. Aku melawan mati-matian, tapi tak berdaya. Napasku sesak karena cengkeraman di 164 leherku itu, lalu aku melawan dengan cara yang biasa dipakai kaum wanita. Aku menggigit, aku mencengkeram dan mencakar. Laki-laki itu kurang bisa melawan karena harus mencegahku berteriak. Kalau saja dia tadi bisa menyerangku, tanpa kusadari,‘akan mudah sekali dia melemparkan aku dari kapal dengan sekali angkat saja. Ikan-ikan hiu akan menyelesaikan pekerjaannya. Betapapun kuatnya aku berjuang, aku merasa tenagaku berkurang. Penyerangku merasakan juga kelemahanku itu. Dia mengumpulkan seluruh tenaganya. Tapi kemudian, suatu bayangan lain
mendekat. Bayangan itu berlari cepat, hampir-hampir tak terdengar. Dengan sekali tinju saja, lawanku jatuh terkapar di lantai dek. Setelah merasa bebas, aku bersandar pada pagar. Aku pusing dan gemetar. Penyelamatku dengan cepat berbalik mendatangiku. “Kau cedera!” Nada bicaranya terdengar kasarsuatu ancaman terhadap orang yang telah berani mencede-raiku. Sebelum dia bicara pun, aku sudah mengenali siapa dia. Dia adalah priakupria yang ada bekas lukanya. ^Waktu yang hanya sesaat, waktu dia mengalihkan perhatiannya padaku, sudah cukup bagi musuhku yang jatuh itu. Secepat kilat dia bangkit dan berlari menuruni dek. Sambil mengumpat, Rayburn melompat mengejarnya. Aku selalu tak suka tinggal diam saja. Aku ikut 165 mengejarmeskipun tak banyak membantu. Kami mengejar berkeliling dek, ke sisi kanan kapal. Setiba di dekat pintu ruang makan, laki-laki itu roboh menjadi suatu onggokan. Rayburn membungkuk di dekatnya. “Kau memukulnya lagi?” tanyaku terengah. “Tak perlu lagi,” sahutnya. “Kudapati dia sudah roboh di dekat pintu ini. Mari kita lihat siapa dia.” Dengan jantung berdebar aku mendekat. Segera tampak olehku bahwa penyerangku itu bertubuh lebih besar daripada Chichester. Lagi pula, Chichester adalah orang yang lemah,- yang mungkin lebih suka menggunakan pisau. Tanpa senjata, dia tak punya kekuatan apa-apa. Rayburn menyalakan korek api. Kami sama-sama berseru karena terkejut. Laki-laki itu adalah Guy Pagett. Rayburn tampak benar-benar terkejut melihat itu. “Pagett,” gumamnva. “Ya, Tuhan, Pagett.” Aku merasa agak mempunyai kelebihan. “Kau kelihatan terkejut sekali.” “Memang,” katanya dengan berat. ‘Tak pernah kuduga” Tiba-tiba dia berbalik menghadapi aku. “Kau sendiri? Apakah kau tak terkejut? Apakah kau sudah mengenalinya waktu dia menyerangmu?” “Tidak, tapi aku tidak terlalu terkejut.” Dia menatapku dengan curiga..
“Aku jadi ingin tahu apa peranmu. Apa yang kautahu?” 166 Aku tersenyum. “Banyak, TuanehLucas!” Lenganku dicengkeramnya. Cengkeraman kuat yang tak disadarinya, membuatku bergidik. “Dari mana kaudapat nama itu?” tanyanya serak. “Itu namamu, kan?” tanyaku manis. “Atau kau lebih suka disebut ‘Pria Bersetelan Coklat’?” Dia terkesima mendengar itu. Dilepaskannya lenganku lalu mundur beberapa langkah. “Kau ini gadis atau perempuan sihir?” tanyanya kasar. “Aku seorang teman.” Aku maju selangkah ke arahnya. “Aku pernah menawarkan bantuanku kini kuulangi tawaranku. Mau kan menerimanya?” “Tidak, aku tak mau punya hubungan dengan kau, atau dengan perempuan mana pun juga. Camkan itu.” Aku terkejut sekali mendengar betapa kasarnya jawabnya. Darahku pun mulai naik. “Mungkin kau tidak menyadari bahwa hidupmu ada dalam tanganku,” kataku. “Sepatah kata dariku kepada Kapten” “Coba katakan,” ejeknya. Lalu dia maju dengan cepat. “Dan bicara tentang sadar-menyadari, apa kau tak sadar bahwa pada detik ini kau berada dalam kekuasaanku? Aku bisa mencekikmu begini” Dengan gerak cepat dilakukannya apa yang diucapkannya. Kedua belah tangannya menceng-167 keram leherkumeskipun perlahan. “Seperti inidan kucekik terus sampai habis nyawamu! Laluseperti kawan kita yang tak sadar itu, tapi dengan lebih mudah lagiakan kulemparkan mayatmu ke ikan-ikan hiu. Bagaimana?” Aku tak berkata apa-apa. Aku hanya tertawa. Padahal aku tahu bahwa dia tak main-main. Pada saat itu dia membenciku. Tapi aku tetap saja menyukai bahaya yang satu ini, menyukai tangannya yang mencengkeram leherku. Aku tak ingin, menukar saat ini dengan saat lain dalam hidupku i Sambil tertawa pendek dilepaskannya aku. “Siapa namamu?” “Anne Beddingfeld.”
“Tak adakah yang membuatmu takut, Anne Bedingfeld?” “Ada,” sahutku, dengan menunjukkan ketenangan yang sebenarnya sama sekali tak ada rpadaku. “Aku takut pada tawon, pada wanita ,yang sarkastis, laki-laki yang sangat muda, kecoa, dan pramuniaga yang sok tahu.” Dia tertawa pendek seperti tadi. Lalu diguncangnya tubuh Pagett yang masih pingsan, dengan kakinya. “Kita apakan barang rongsokan ini? Dilempar ke laut saja?” tanyanya sembarangan. “Kalau kau suka,” sahutku menyamai ketenangannya. “Aku kagum akan nalurimu yang benar-benar haus darah itu, Nona Beddingfeld. Tapi baiklah 168 kita biarkan dia sadar sendiri. Cederanya tidak terlalu berat.” “Rupanya ngeri juga kau melakukan pembu-. nuhan untuk kedua kalinya,” kataku-manis. “Pembunuhan untuk kedua kalinya?” Dia kelihatan benar-benar heran. “Wanita di Marlow itu,” aku mengingatkannya sambil memperhatikan efek kata-kataku itu dengan tajam. Air mukanya berubah jadi geram sekali. Dia seperti lupa akan kehadiranku di situ. “Aku memang bisa saja membunuhnya,” katanya. “Dan aku memang bermaksud untuk itu….” Aku dilanda rasa benci amat sangat pada wanita yang sudah meninggal itu. Ingin aku membunuhnya pada saat itu, seandainya dia ada di hadapanku…. Karena priaku ini pasti pernah mencintainyapasti! Aku bisa menguasai diriku dan berbicara dengan suara normal, “Rasanya sudah cukup banyak yang kita katakankecuali selamat malam.” **Selamat malam, dan selamat berpisah, Nona Beddingfeld.” “Au revoir, Tuan Lucas.” Dia tersentak lagi mendengar nama itu. Lalu dia mendekat. “Apa maksudmumengapa kaukatakan au revolt!” “Karena aku merasa bahwa kita akan bertemu lagi.” 169
“Akan kuusahakan supaya itu tidak terjadi!” Meskipun nada bicaranya keras, aku tidak merasa tersinggung. Sebaliknya, diam-diam aku merasa puas. Aku tak bodoh. “Bagaimanapun juga,” kataku serius, “kita akan jumpa lagi.” “Mengapa?” Aku menggeleng. Aku tak bisa menjelaskan perasaanku yang membuatku berkata demikian. “Aku tak ingin bertemu lagi denganmu,” katanya tiba-tiba dengan kasar. Sungguh kasar kata-katanya, tapi aku hanya tertawa dan menghilang dalam kegelapan. Kudengar dia menyusulku, tapi lalu berhenti. Dan terdengar kata-kata dari dek tempatnya berada. Kalau tak salah, kata-kata itu adalah, “Dasar perempuan sihir!” 170
BAB XVII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler) Mount Nelson Hotel, Cape Town. Aku lega sekali turun dari Kilmorden. Selama berada di kapal aku merasa seperti dikelilingi suatu jaringan intrik. Dan untuk mengakhiri semuanya itu, Guy Pagett semalam merasa perlu melibatkan diri dalam perkelahian mabuk-mabukan. Mungkin bukan itu yang terjadi, tapi begitulah kesannya. Apa lagi yang bisa kita pikirkan bila seseorang datang pada kita, dengan benjol sebesar telur di sisi kepalanya, dan matanya babak belur? Pagett tentu saja masih mencoba bersikap misterius mengenai peristiwa itu. Menurut dia, matanya yang biru itu karena pengabdiannya pada kepentinganku. Kisahnya samar dan kacau. Lama baru aku bisa mengerti apa maksudnya. Agaknya dia melihat seseorang yang tingkah lakunya mencurigakan. Mungkin dia mengutip kata-kata itu dari buku cerita mata-mata. Soalnya dia sendiri tak tahu apa yang dimaksudnya dengan laki-laki yang tingkah lakunya mencurigakan. 171 Waktu hal itu kutanyakan padanya, dia hanya berkata, “Dia berjalan sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap, padahal waktu itu sudah tengah malam, Sir Eustace.” “Kau sendiri, apa yang kaulakukan di malam buta itu? Mengapa kau tak tidur?” tanyaku jengkel. “Saya sedang mengirimkan telegram Anda itu, Sir Eustace, dan mengetik catatan harian Anda yang terbaru.” Kita harus percaya bahwa Pagett selalu benar, dan selalu yang menjadi korban! “Lalu?” “Lalu saya ingin berjalan-jalan sedikit sebelum pergi tidur, Sir Eustace. Laki-laki itu datang dari arah kamar Anda. Melihat dia celingukan ke sekelilingnya, saya segera berpikir bahwa ada sesuatu yang tak beres. Lalu dia mengendap-endap naik tangga di dekat ruang makan. Saya mengikutinya.” “Pagett, Pagett,” kataku, “untuk apa kau -membuntuti orang yang berjalan-jalan di dek? Banyak orang yang bahkan tidur di dekmeskipun kursi di situ tak nyaman. Apalagi, jam lima subuh para kelasi akan menyiramnya bersamaan dengan mereka mencuci dek.” Ngeri aku memikirkannya. “Jadi,” lanjutku, “kalau kau mengganggu ketenangan orang yang susah tidur, aku tak heran kalau kau diserangnya.” 172
Pagett tetap sabar. “Harap dengarkan saya sampai selesai, Sir Eustace. Saya yakin bahwa laki-laki itu berkeliaran di dekat kamar Anda. Apa urusannya? Di lorong itu hanya ada dua kamar, kamar Anda dan kamar Kolonel Race.” “Race bisa menjaga dirinya sendiri tanpa bantuanmu, Pagett,” kataku dengan tenang sambil menyulut cerutu. Lalu kutambahkan, “Dan aku juga bisa.” Pagett mendekatiku, lalu napasnya terengah, seperti biasanya kalau dia ingin menceritakan suatu rahasia. “Tahukah Anda, Sir Eustacesaya yakin bahwa orang itu adalah Rayburn.” “Rayburn?” “Ya, Sir Eustace.” Aku menggeleng. “Rayburn punya akal sehat. Dia tidak akan mau membangunkan aku tengah malam.” “Benar, Sir Eustace. Semula saya sangka dia akan mendatangi Kolonel Race. Mungkin suatu pertemuan rahasiauntuk mendapat instruksi!” “Jangan bicara dengan mendesis begitu, Pagett,” kataku sambil mundur sedikit, “dan kendalikan napasmu. Pikiranmu itu tak masuk akal. Untuk apa mereka mengadakan pertemuan rahasia di tengah malam? Kalau ada yang akan mereka bicarakan, bisa saja mereka melakukannya sambil minumminum dengan cara yang wajar, yang tidak menarik perhatian.” 173 Kulihat Pagett sama sekali tak yakin. “Pokoknya ada sesuatu semalam, Sir Eustace,” desaknya, “Kalau tidak, mengapa Rayburn menyerang saya dengan begitu kejam?” “Yakin benarkah kau bahwa itu Rayburn?” Pagett kelihatan yakin benar akan hal itu. Itulah bagian dari ceritanya yang tidak dikisahkannya dengan samar. “Ada sesuatu yang aneh sekali dalam peristiwa ini,” katanya. “Sekarang, mana Rayburn?” Itu memang benar. Kami sama sekali belum jnelihat orang itu sejak kami mendarat. Dia tidak datang ke hotel bersama kami. Namun aku tak percaya bahwa dia takut pada Pagett. Aku memang jengkel dengan semua kejadian ini. Salah seorang sekretarisku hilang tanpa jejak, dan yang seorang lagi seperti petinju kalah bertanding. Aku tak bisa mengajaknya ke mana-mana dalam
keadaan begitu. Aku akan ditertawakan orang di Cape Town ini. Padahal aku sudah membuat janji untuk menyerahkan dokumen Milray, siang hari itu. Tapi aku tidak akan mengajak Pagett. Sialan benar orang itu, gemar sekali dia berkeliaran! Aku benci sekali menghadapi semua keadaan ini. Sarapanku tak enak bersama orang-orang yang sama sekali tak menyenangkan. Pelayan-pelayannya gadis-gadis Belanda yang kakinya besar-besar. Aku harus menunggu setengah jam sebelum pesananku berupa ikan diantarkan, itu pun ikan yang sudah tak segar. Apalagi, setiba di 174 pelabuhan tadi ada banyolan yang tak lucu. Jam lima subuh kami sudah harus bangun dan diperiksa oleh seorang dokter yang masih mengantuk, yang menyuruh kami menaruh tangan kami di atas kepala. Aku benar-benar letih. Kemudian. Ada kejadian yang serius sekali. Berdasarkan janji, aku pergi menghadap Perdana Menteri,—dengan membawa surat Milray yang dilak. Kelihatannya surat itu ‘tak pernah disentuh orang. Tapi ternyata isinya hanya sehelai kertas kosong! Aku tentu berada dalam keadaan sulit sekali. Aku tak mengerti mengapa si tua Milray mempermainkan aku begitu. Pagett pandai sekak memanfaatkan orang yang’ sedang dalam kesulitan. Dia malah kelihatan puas. Aku geram sekali. Dalam kesusahanku itu, dia malah akan membebaniku dengan peti alat-alat tulis itu. Mau rasanya aku membunuhnya. Tapi akhirnya aku harus mendengarkannya juga. “Sir Eustace, apakah tak mungkin Rayburn .telah mendengar sebagian dari percakapan Anda dengan Mr. Milray di jalan waktu itu? Anda harus ingat bahwa Anda tidak mendapatkan kuasa tertulis dari Mr. Milray. Anda menerima Rayburn berdasarkan kata-katanya sendiri.” “Jadi kaupikir Rayburn itu orang jahat?” tanyaku ragu. 175 Pagett mengangguk. Aku tak tahu berapa jauh pandangannya dipengaruhi oleh rasa dendamnya garagara mata birunya itu. Terang-terangan dia menjahat-jahatkan Rayburn. Dan dia bertekad untuk mencari Rayburn. Aku tak ingin berbuat begitu. Sebagai orang yang sudah dipermainkan habishabisan begitu, aku tak mau hal itu sampai didengar orang. Tapi Pagett, yang sangat bernafsu gara-gara nasib buruk yang telah dialaminya, tak dapat dicegah untuk tidak bertindak sendiri. Dan dia kubiarkan saja. Dia bergegas ke kantor polisi, mengirim banyak telegram. Dia bahkan mengumpulkan para petugas berkebangsaan Inggris dan Belanda, dan mengajak mereka minum wiski dan soda, atas biayaku. Malam itu kami menerima’jawaban dari Milray. Dia sama sekali tak tahu-menahu tentang
sekretarisku yang kedua! Hanya ada satu soal kecil yang menyenangkan yang bisa ditarik dari peristiwa itu. “Yang penting,” kataku pada Pagett, “kau tidak diracuni. Kau benar-benar hanya sakit perut biasa.” Kulihat dia bergidik. Itulah satu-satunya kemenanganku. Kemudiannya lagi. Pagett sedang bet semangat. Otaknya benar-benar penuh dengan pikiran-pikiran yang cemer— 176 lang. Kali ini ditegaskannya bahwa Rayburn tak lain adalah ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu. Aku yakin dia benat. Bukankah dia biasanya memang benar? Tapi aku jadi tak senang. Makin cepat aku pergi ke Rhodesia makin baik. Sudah kujelaskan pada Pagett bahwa dia tak perlu ikut aku. “Soalnya,” kataku, “kau harus berada di tempat ini. Mungkin sewaktu-waktu kau dibutuhkan untuk mengenali Rayburn. Kecuali itu aku juga liat us memikirkan harga diriku sebagai anggota Parlemen Inggris. Tak pantas aku bepergian dengan sekretaris yang seperti baru saja terlibat dalam suatu perkelahian di jalanan.” Pagett tak senang. Dia orang yang terhormat dan merasa bahwa penampilannya sangat menyiksanya. “Tapi siapa yang akan mengurus surat-menyu-rat Anda, dan catatan pidato-pidato Anda, Sir Eustace?” “Itu bisa kuatur,” kataku seenaknya. “Gerbong pribadi Anda akan dihubungkan dengan kereta api jam sebelas, besok, liari Rabu pagi,” lanjut Pagett. “Semua sudah saya atur. Apakah Nyonya Blait akan membawa pelavan?” “Nyonya Blair?” tanyaku heran. “Katanya Anda mengajaknya bersama Anda.” Baru aku ingat bahwa aku memang pernah mengajaknya. Pada malam pesta Pakaian Aneli itu. Waktu itu aku bahkan mendesaknya untuk ikut. Tapi aku tak menyangka bahwa dia mau. Meskipun dia wanita yang menyenangkan, aku 177 tak yakin apakah aku memang ingin disertai Nyonya Blair untuk pergi ke Rhodesia dan kembali lagi. Wanita meminta terlalu banyak perhatian. Dan kadang-kadang mereka merupakan penghalang besar pula. “Apakah ada orang lain lagi yang kuajak?” tanyaku gugup. Dalam keadaan banyak mulut karena kurang sadar, kita bisa berbuat begitu.
“Agaknya Nyonya Blair beranggapan bahwa Anda mengajak Kolonel Race juga.” Aku menggeram. “Kalau aku sampai mengajak Race, itu artinya aku benar-benar mabuk waktu itu. Benar-benar mabuk. Dengarkan nasihatku, Pagett, dan jadikanlah matamu yang babak belur itu suatu peringatan. Jangan suka minum-minum lagi.” “Anda kan tahu bahwa saya tak pernah minum?” “Lebih baik bersumpah untuk menjauhinya kalau kau punya kelemahan ke arah itu. Aku tidak mengajak siapa-siapa lagi, kan Pagett?” “Setahu saya tidak, Sir Eustace.” Aku menarik napas lega. “Ada Nona Beddingfeld,” kataku merenung. “Dia mau pergi ke Rhodesia juga. Kurasa untuk menggali tulang-belulang. Rasanya aku ingin memberinya pekerjaan sebagai sekretaris sementara. Dia pandai mengetik. Itu pernah diceritakannya padaku.” Aku terkejut karena Pagett menentang keras niatku itu. Dia tak suka pada Anne Beddingfeld. 178 Sejak dia mengalami mata biru itu, dia memperlihatkan kebencian yang tak terkendali, setiap kali nama. gadis itu kusebut. Pagett akhir-akhir ini memang misterius. Justru untuk membuatnya jengkel, maka aku nekat mengajak gadis itu. Seperti pernah kukatakan, gadis itu punya kaki yang bagus. 179
BAB XVIII (Lanjutan Kisah Anne) Kurasa seumur hidup aku tidak akan lupa saat untuk pertama kalinya aku melihat Table Mountain. Aku bangun pagi-pagi sekali dan langsung naik ke dek. Aku terus naik ke dek paling atas, yang merupakan tempat yang seram. Tapi aku memberanikan diri karena aku ingin menyendiri. Kami sedang berlayar memasuki Table Bay. Tampak awan putih tipis bergerak di atas Table Mountain. Dan kota yang masih tidur, bertengger di lereng gunung itu, terus menurun ke arah laut. Kota itu tampak keemasan dan seolah-olah dalam keadaan tersihir ditimpa sinar matahari pagi. Napasku tertahan, dan aku merasa tercekam rasa sakit seperti yang biasa kita rasakan bila kita melihat sesuatu yang cantik luar biasa. Aku tak begitu pandai menyatakan keindahan, tapi aku tahu benar bahwa aku telah menemukan apa yang selama ini kucari sejak aku meninggalkan Little Hampsley. Meskipun hanya sekilas saja. Sesuatu yang baru, sesuatu yang selama ini kuimpikan, sesuatu yang memberikan kepuasan pada hasratku akan romantika. 180 Kurasakan Kilmorden meluncur makin lama makin dekat, tanpa bersuara sama sekali. Keadaan masih seperti dalam mimpi. Namun, seperti pemimpi-pemimpi lainnya, aku tak mau melepas mimpiku. Kita manusia memang tak ingin melepas apa-apa. “Inilah Afrika Selatan,” kataku berulang kali pada diriku sendiri. “Afrika Selatan, Afrika Selatan. Kau sedang menyaksikan dunia. Inilah dunia. Kau sedang menyaksikannya. Ingat itu, Anne Beddingfeld, gadis tolol. Kau sedang melihat dunia.” Kusangka aku seorang diri di dek kapal itu. Tapi kemudian kulihat seseorang lain yang juga sedang bersandar di pagar kapal, dan seperti aku juga, sedang asyik memandangi kota yang mendekat dengan cepat. Sebelum dia berpaling pun aku sudah tahu siapa dia. Peristiwa semalam rasanya tak terjadi, dan terasa seolah-olah terlalu dibesar-besarkan pada pagi hari yang tenang di musim panas ini. Bagaimana penilaiannya tentang diriku? Aku merasa tak enak mengingat kata-kata yang telah kuucapkan. Padahal aku tak bersungguh-sungguh waktu itutapi entahlah. Dengan tegas aku membuang muka, dan terus menatap Table Mountain. Bila Rayburn datang kemari untuk menyendiri, aku tak punya niat untuk mengganggunya dengan menyatakan keberadaanku di sini. Tapi aku heran sekali waktu mendengar langkah-langkah ringan di dek di belakangku, dan 181 kemudian mendengar suaranya yang menyenangkan dan wajar, “Nona Beddingfeld.” “Ya?” Aku menoleh.
“Aku ingin minta maaf. Semalam aku bertingkah kampungan sekali.” “Tadi malam itu memanganeh,” kataku cepat. Pernyataanku itu memang tak begitu jelas maksudnya, tapi memang hanya itulah yang terpikir olehku. “Maukah kau memaafkan aku?” Kuulurkan tanganku tanpa berkata apa-apa. Dia menyambutnya. “Ada lagi satu hal yang ingin kukatakan.” Dia lebih bersungguh-sungguh. “Nona Beddingfeld, mungkin kau tidak menyadarinya. Tapi kau terlibat dalam suatu urusan yang berbahaya.” “Saya tahu.” “Tidak. Tak mungkin kau tahu. Aku ingin memperingatkan kau. Tinggalkan semua urusan ini. Ini tak ada urusannya denganmu. Jangan sampai rasa ingin tahumu melarutkanmu sampai mencampuri urusan” orang-orang lain. Tunggu, jangan marah lagi. Aku tidak bicara tentang diriku sendiri. Kau tak tahu apa yang akan kaualami orang-orang itu tidak setengah-setengah dalam mengambil langkah. Mereka itu licik sekali. Belum apa-apa, kau sudah menghadapi bahaya lihat saja semalam itu. Mereka pikir kau tahu 182 tentang sesuatu. Satu-satunya harapanmu adalah memberikan kesan pada mereka bahwa mereka keliru. Tapi berhati-hatilah, waspadalah selalu terhadap bahaya. Lalu, ingat, bila sewaktu-waktu kau jatuh ke tangan mereka, jangan coba-coba sok pintarceritakan apa adanya, hanya itulah satu-satunya harapanmu.” “Kau membuatku ngeri, Tuan Rayburn,” kataku dengan sebenarnya. “Mengapa kau mau bersusahpayah memberi peringatan padaku?” Beberapa lamanya dia tak menyahut. Kemudian dengan suara rendah dia berkata, “Mungkin inilah yang terakhir yang bisa kuperbuat untukmu. Bila aku tiba di darat, aku selamattapi mungkin aku tak sempat turun ke darat.” “Apa?” seruku. “Soalnya, kau bukannya satu-satunya orang di kapal ini yang tahu bahwa akulah ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu.” “Maksudmu, aku telah menceritakan” kataku dengan hati panas. Dia meyakinkanku dengan senyumnya. “Aku tidak menuduhmu, Nona Beddingfeld. Bila aku pernah berkata begitu, aku berbohong. Bukan kau, tapi ada seseorang di kapal ini yang tahu. Kalau dia membuka mulutnyahabislah aku. Tapi ada kemungkinan dia takkan bicara.”
“Mengapa?” “Karena dia orang yang suka bertindak sendiri. Dan bila aku sampai tertangkap polisi, aku tidak 183 akan berguna lagi baginya. Jadi, mungkin aku akan bebas! Yah, kita lihat saja satu jam lagi/’ Dia tertawa agak meremehkan, tapi kulihat wajahnya lalu menegang. Bila dia berjudi dengan Nasib, dia adalah penjudi yang baik. Dan dia bisa menerima kekalahan dengan tersenyum. “Bagaimanapun juga,” katanya dengan nada ringan, “kurasa kita tidak akan bertemu lagi.” “Ya,” kataku perlahan-lahan. “Kurasa memang tidak.” “Kalau begitu, selamat berpisah.” “Selamat berpisah!” Tanganku digenggamnya erat-erat. Sesaat matanya yang aneh dan cerah membara, menatap mataku. Lalu dia cepat-cepat berbalik dan meninggalkan aku. Kudengar langkah-langkahnya menggema di sepanjang dek. Menggema dan menggema terus. Kurasa aku akan mendengarnya terus. Langkahlangkahyang pergi meninggalkan hidupku. Kuakui terus terang, masa dua jam berikutnya sama sekali tak bisa kunikmati lagi. Setelah selesai dengan semua formalitas yang aneh-aneh yang dituntut dalam birokrasi, dan berdiri di dermaga, barulah aku bisa bernapas lega. Tak ada seorang pun yang ditangkap. Saat itu aku menyadari betapa indahnya hari itu, dan bahwa aku lapar sekali. Aku ikut Suzanne menginap di hotel bersamanya. Esok paginya barulah kapal akan berlayar terus ke Port Elizabeth dan Durban. Kami naik taksi pergi ke Hotel Mount Nelson. 184 Semuanya menyenangkan sekali. Mataharinya, udaranya, bunga-bunganya! Bila kuingat Little Hampsley dalam bulan Januari begini, dengan lumpurnya yang selutut, dan hujannya yang pasti turun, maka aku merasa senang dan bersyukur. Suzanne tidak segembira aku. Tentu karena dia sudah sering bepergian. Apalagi dia adalah orang yang tak bisa bergembira sebelum sarapan. Aku ditegurnya waktu aku berseru kegirangan melihat semacam tanaman raksasa berwarna biru yang merambat. ‘ Ngomong-ngomong, harus kujelaskan di sini bahwa cerita ini tidak akan mengisahkan tentang Afrika Selatan. Aku tak pandai melukiskan keadaan setempat. Untuk itu aku harus menulis setengah lusin kata-kata yang dicetak miring di setiap halaman. Aku sangat mengaguminya, tapi aku tak bisa menceritakannya. Di South Sea Islands, sudah temu kita harus segera bercerita tentang beche-de-mer. Aku tak tahu apa beche-de-mer itu, aku tak pernah tahu dan barangkali tidak akan pernah tahu. Sekali dua kali aku pernah menebak, tapi tebakanku salah. Aku tahu bahwa kalau di Afrika Selatan orang langsung berbicara tentang stoepaku tahu apa artinya stoepitu adalah ruangan terbuka di sekeliling rumah, tempat orang duduk-duduk. Di tempat-tempat lain di dunia, bagian itu disebut veranda, piazza atau ha-ha. Kemudian ada pula papaya. Aku sudah sering membaca tentang papaya. Aku segera tahu, karena disuguhi makanan itu pada 185
waktu sarapan. Mula-mula kusangka buah melon yang sudah busuk. Pelayan Belanda menjelaskan padaku, dan menganjurkan supaya aku mencobanya lagi dengan membubuhkan air jeruk dan gula. Aku senang sekali bertemu dengan papaya. Secara samar aku selalu menghubungkannya dengan hula-hula, yang menurut bayanganku adalah semacam rok dari jerami yang dipakai untuk menari oleh gadisgadis Hawai, meskipun mungkin aku keliru. Ya, kurasa aku salahitu lava-lava namanya. Bagaimanapun juga, semuanya jauh lebih menyenangkan daripada Inggris. Aku jadi berpikir bahwa Inggris yang dingin akan menjadi lebih ceria, bila waktu sarapan kita bisa makan bacon-bacon, lalu keluar dengan berpakaian jumper-jumper untuk membeli lotere taruhan. Suzanne menjadi lebih baik setelah sarapan. Aku diberi kamar tepat di sebelahnya. Dari situ aku bisa langsung melihat pemandangan Table Bay yang indah. Aku menikmati pemandangan itu, sementara Suzanne pergi mencari krim muka khusus. Setelah memperolehnya dan menyemir-kannya ke wajahnya, barulah dia bisa mendengarkan aku. “Adakah kau bertemu dengan Sir Eustace?” tanyaku. “Waktu kita masuk ke ruang sarapan tadi, dia keluar. Agaknya dia disuguhi ikan busuk atau entah apa, dan dia akan mengatakannya pada pelayan. Dia juga membanting buah persik ke lantai akan membuktikan betapa kerasnya buah 186 itu. Padahal ternyata tidak sekeras yang diduganya, sebab langsung hancur.” Suzanne tersenyum. “Sir Eustace itu sama dengan aku, dia tak suka bangun pagi. Tapi, Anne, adakah kau melihat Pagett? Aku bertemu dengannya di lorong hotel tadi. Matanya biru. Apa yang telah dilakukannya, ya?” “Hanya mencoba mendorongku ke laut,” sahutku tak acuh. Aku merasa menang. Suzanne berhenti menyemir mukanya dan mendesakku untuk menceritakan secara terinci. Kukisahkan kejadian itu. “Semuanya makin lama makin misterius saja,” serunya. “Kupikir aku bisa dengan mudah membuntuti Sir Eustace saja, dan kau bersenang-senang dengan Pendeta Edward Chichester. Tapi rupanya tidak begitu. Mudah-mudahan saja Pagett tidak akan mendorongku dari kereta api pada suatu malam yang gelap.” “Kurasa kau masih tetap tidak dicurigai, Suzanne. Tapi bila sampai terjadi hal yang terburuk, aku akan menelegram Clarence.” “Aku jadi ingattolong selembar formulir telegram. Apa yang akan kutulis, ya? ‘Terlibat dalam suatu misteri yang sangat mendebarkan. Tolong kirim seribu pound segera. Suzanne.’” Kuambil formulir itu, lalu kukatakan bahwa demi penghematan, dia bisa menghilangkan kata ‘dalam’, dan bila dia mau agak kurang sopan, juga bisa menghapuskan kata ‘tolong’. Tapi rupanya 187 Suzanne itu sembrono sekali dengan uang. Jangankan mendengarkan saranku mengenai penghematan, dia bahkan menambah tiga perkataan lagi, ‘aku senang sekali’.
Suzanne sedang pergi makan siang dengan teman-temannya yang kira-kira jam sebelas tadi datang menjemputnya. Aku tinggal seorang diri. Aku turun menyeberangi pekarangan hotel, kuseberangi rel trem, dan kutelusuri jalan sejuk dan teduh yang diapit pohon-pohon, sampai aku tiba di jalan raya. Aku berjalan-jalan saja, sambil melihat-lihat pemandangan, menikmati matahari dan para penjual bunga dan buah-buahan yang berkulit hitam. Aku juga menemukan tempat orang menjual es krim soda yang paling enak. Akhirnya aku membeli sekeranjang buah persik seharga enam penny, lalu kembali ke hotel melalui jalan semula. Aku terkejut bercampur senang menemukan sepucuk surat untukku. Surat itu dari kurator museum. Dia telah mendengar tentang kedatanganku dengan Kilmorden, di mana aku dinyatakan sebagai putri almarhum Profesor Beddingfeld. Dia mengenal ayahku secara sepintas dan sangat mengagumi beliau. Ditulisnya juga bahwa istrinya pun akan merasa senang bila petang itu aku bisa datang ke vila mereka di Muizenberg untuk minum teh bersama mereka. Diberikannya petunjuk-petunjuk untuk pergi ke tempat itu. Aku senang karena ternyata Papa masih dikenang dan dihargai. Kupikir, sebelum aku mening— 188 galkan Cape Town, aku pasti akan diantar juga mengelilingi Museum, tapi biarlah aku memanfaatkan kesempatan ini. Bagi kebanyakan orang, kesempatan seperti itu merupakan suatu keuntungantapi bagi orang yang boleh dikatakan dibesarkan di antara barang-barang itu, pagi, siang, dan malam, hal itu rasanya membosankan. Setelah makan siang aku berangkat, dengan mengenakan topiku yang terbagus (salah satu bekas milik Suzanne), dan baju linen putih yang paling kurang kusutnya. Aku naik kereta api cepat ke Muizenberg, dan tiba di sana setengah jam kemudian. Perjalanan itu menyenangkan. Perlahan-lahan kami mengitari kaki Table Mountain dengan bunga-bunganya yang indah. Pengetahuan ilmu bumiku demikian kurangnya, hingga aku tak pernah menyadari bahwa Cape Town itu sebenarnya sebuah jazirah. Oleh karenanya aku agak terkejut waktu keluar dari kereta api, dan mendapatkan diriku menghadapi laut lagi. Aku tergiur melihat orang-orang yang sedang berenang. Orang menggunakan papan-papan pendek yang melengkung dan mengapung di atas gelombang. Hari masih terlalu siang untuk minum teh. Maka aku pergi ke tempat penyewaan alat-alat renang. Waktu mereka bertanya apakah aku menginginkan papan selancar, kukatakan ya. Kelihatannya berselancar itu mudah. Ternyata tidak. Aku tidak berkata apa-apa. Aku jadi marah sekali dan papan selancar itu kulemparkan. Namun aku bertekad untuk mencoba lagi. Aku tak 189 mau menyerah. Tanpa sengaja aku bisa meluncur dengan baik di atas papanku, dan aku keluar dari air dengan rasavmabuk karena kesenangan. Berselancar memang begitu. Atau kita menyumpah-nyumpah, atau kita merasa puas sekali pada diri sendiri. Vila Medgee kutemukan setelah mengalami kesulitan kecil. Vila itu terdapat di sisi gunung, terpencil dari pondok-pondok dan vila-vila yang lain. Kutekan bel, dan seorang anak laki-laki pribumi membukakan pintu sambil tersenyum. “Nyonya Raff ini?” tanyaku.
Dia mempersilakan aku masuk, berjalan mendahuluiku di lorong rumah, lalu membuka sebuah pintu lebar-lebar. Waktu akan melangkah masuk, aku bimbang. Tiba-tiba aku merasa was-was. Begitu aku melangkahi ambang pintu, pintu itu tettutup rapat kembali. Seorang pria bangkit dari kursinya di balik meja, dan mendatangiku dengan tangan terulur. “Senang sekali kami berhasil mengundang Anda datang, Nona Beddingfeld,” katanya. Pria itu jangkung, kelihatannya orang Belanda. Jenggotnya berwarna Jingga menyala. Dia sama sekali tak bertampang kurator museum. Aku segera menyadari bahwa aku telah berbuat bodoh. Aku masuk perangkap musuh. 190
BAB XIX Tanpa kusadari aku jadi ingat Episode III kisah, Bahaya-bahaya yang Mengancam Pamela. Betapa seringnya aku duduk nonton film itu di kelas enam penny, sambil minum coklat susu berharga dua penny, dan mendambakan kejadian-kejadian serupa terjadi atas diriku! Nah, sekarang benar-benar terjadi, sebagai pembalasan dendam. Dan kejadian itu sama sekali tidak menyenangkan sebagaimana yang kubayangkan. Di layar putili semuanya berjalan lancardan penonton boleh tenang-tenang saja karena tahu bahwa akan ada Episode IV. Tapi dalam kehidupan sebenarnya sama sekali tak ada jaminan bahwa hidup Anne si Petualang, tidak akan berakhir dengan mendadak pada akhir suatu Episode. ‘ Ya, aku berada di tempat yang berbahaya. Semua yang dikatakan Rayburn subuh tadi, teringat lagi olehku dengan jelas sekali. Katakan apa adanya, katanya. Yah, aku bisa saja berbuat begitu, tapi apakah itu akan membantuku? Pertama-tama, apakah kisahku akan dipercaya? Apakah akan mereka anggap masuk akal dan mungkin, bahwa aku memulai perbuatan nekat ini 191 hanya berdasarkan secarik kertas yang berbau kapur barus? Aku sendiri pun akan menganggap bahwa kisah itu sangat tak masuk akal. Pada saat itu aku mengumpat diriku sendiri karena telah berbuat begitu tolol. Dan aku mendambakan kembali Little Hampsley-ku yang membosankan namun aman dan damai. Semua itu berkecamuk dalam pikiranku dalam waktu singkat sekali, tidak selama waktu yang tersita untuk menceritakannya. Dengan gerakan berdasarkan naluri, aku mundur dan menggapai gagang pintu. Penyanderaku hanya tertawa kecil. “Anda sudah berada di sini dan akan tetap di sini,” katanya mencoba melucu. Aku berusaha menghadapi hal itu dengan wajah berani. “Saya diundang kemari oleh kurator Museum Cape Town. Bila saya keliru” “Keliru? Oh ya, suatu kekeliruan besar!” Dia tertawa dengan kasar. “Apa hak Anda untuk menahan saya? Akan saya laporkan pada polisi” “Nyap-nyap sajaseperti anjing mainan.” Dia tertawa. Aku duduk. ‘*Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa Anda adalah orang gila yang berbahaya,” kataku dengan nada dingin. “Begitukah?” “Asal Anda tahu saja, teman-teman saya semua tahu ke mana saya pergi. Dan bila saya tak
192 kembali malam ini, mereka akan datang mencari saya.” “Jadi teman-teman Anda tahu di mana Anda berada, ya? Teman-teman yang mana?” Aku merasa ditantang. Dan secepat kilat aku memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya. Apakah akan kusebutkan nama Sir Eustace? Dia orang yang terkenal, dan namanya akan berpengaruh besar. Tapi bila mereka telah berhubungan dengan Pagett, mereka akan tahu bahwa aku berbohong. Sebaiknya jangan memakai nama Sir Eustace. “Salah satu di antaranya, Nyonya Blair,” kataku dengan nada ringan. “Saya tinggal bersama-.nya.” “Saya rasa dia tak tahu,” kata penyanderaku sambil menggelengkan kepalanya yang berwarna jingga, dengan licik. “Sejak jam sebelas pagi ini Anda tidak bertemu dengannya. Dan Anda menerima surat kami yang mengajak Anda kemari pada saat makan siang.” Kata-katanya menunjukkan betapa cermatnya mereka mengikuti gerak-gerikku. Tapi aku tetap tak mau menyerah tanpa berjuang. “Anda pandai sekali,” kataku. “Apakah Anda pernah mendengar tentang penemuan canggih yang bernama telepon itu? Nyonya Blair menelepon saya waktu saya sedang beristirahat dalam kamar saya, setelah makan siang. Waktu itulah saya mengatakan padanya akan ke mana saya petang ini.” 193 Aku puas sekali melihat suatu bayangan rasa kuatir di wajahnya. Kelihatannya tadi dia melupakan kemungkinan Suzanne meneleponku. Alangkah baiknya kalau itu memang benar! “Cukup,” katanya dengan tajam, sambil berdiri. “Apa yang akan Anda perbuat atas diri saya?” tanyaku masih tetap berusaha untuk tetap tenang. “Menempatkan Anda di suatu tempat di mana Anda tidak akan membuat susah kalau teman-teman Anda datang mencari.” Sesaat aku merasa ngeri. Tapi hatiku besar kembali mendengar kata-katanya yang berikut, “Besok Anda harus menjawab beberapa pertanyaan, dan setelah itu kami akan tahu akan kami apakan Anda. Dan asal Anda tahu saja, Nona, kami punya banyak cara untuk menyuruh bicara orang-orang bodoh yang keras kepala.” Kedengarannya tidak menggembirakan, tapi sekurang-kurangnya ada penundaan. Aku masih punya waktu sampai besok. Kelihatannya orang ini hanya seorang bawahan yang mematuhi perintah-perintah atasannya. Mungkinkah atasannya itu Pagett? Dia berseru dan dua orang pribumi muncul. Aku dibawa ke lantai atas. Tanpa mempedulikan perlawananku, mulutku disumbat dan kaki tanganku diikat. Aku dibawa ke sebuah kamar yang agaknya merupakan gudang di bawah atap. Tempat itu berdebu dan tak ada tanda-tanda bekas dihuni.
Orang Belanda tadi membungkuk dengan mengejek, lalu keluar sambil menutup pintu. 194 Aku sama sekali tak berdaya. Betapapun aku berputar-balik dan menggeliat, aku sama sekali tak bisa melepaskan ikatanku. Dan sumbat di mulutku membuatku tak bisa berteriak. Bila memang kebetulan ada orang yang datang ke rumah itu sekalipun, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk menarik perhatiannya. Di ruang di bawahku, kudengar pintu ditutup. Agaknya orang Belanda itu keluar. Aku jengkel sekali tak bisa berbuat apa-apa. Aku meregangkan ikatanku lagi, tapi simpulnya tetap bertahan. Akhirnya aku berhenti berjuang, entah pingsan entah tertidur. Waktu bangun, seluruh tubuhku sakit. Hari sudah gelap dan kurasa malam sudah larut, karena bulan sudah tinggi di langit dan cahayanya menembus awan yang tipis. Sumbat mulutku setengah mencekikku. Rasa kaku dan sakit, serasa tak tertahankan. Waktu itulah terpandang olehku sepotong pecahan kaca yang tergeletak di sudut. Kaca itu ditimpa sebaris sinar bulan, dan kilatnya telah menarik perhatianku. Begitu melihatnya aku mendapat akal. Kaki dan tanganku memang tak berdaya, tapi aku masih bisa berguling. Perlahan-lahan dan dengan susah-payah, aku mulai bergerak. Tak mudah memang. Kecuali sakit luar biasa, karena tak bisa melindungi mukaku dengan lenganku, aku juga merasa sulit menentukan arah tertentu. Aku miring dan berguling ke semua arah, tapi tidak ke arah yang kuingini. Tapi akhirnya sampai 195 juga ke tempat barang yang kutuju. Kaca itu hampir kena tanganku yang terikat. Namun itu pun masih tak murlah. Lama sekali baru aku berhasil memutar-mutar kaca itu, lalu mengganjalkannya ke dinding. Kemudian tali pengikatku kugosok-gosokkan pada tepi kaca itu. Prosesnya berjalan lama sekali, dan aku hampir putus asa. Tapi akhirnya aku berhasil “menggergaji” tali pengikatpergelangan tanganku. Selanjutnya aku menunggu. Kugosok-gosok pergelangan tanganku kuat-kuat untuk memulihkan peredaran darahku. Setelah itu kulepas sumbat mulutku. Satu-dua kali aku menarik napas panjang. Kemudian aku menguraikan simpul yang terakhir. Setelah itu, beberapa lama lagi baru aku bisa berdiri. Akhirnya aku berdiri tegak.. Kuayun-ayunkan lenganku ke depan dan ke belakang untuk memulihkan peredaran darahku. Aku sangat mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan. Kutunggu kira-kira seperempat jam sampai yakin sekali bahwa kekuatanku sudah pulih. Kemudian aku berjalan berjingkat ke pintu tanpa berbunyi. Harapanku terpenuhi, pintu itu tidak terkuncikubuka, lalu dengan hati-hati mengintip ke luar. Semuanya sepi. Sinar bulan masuk melalui jendela, dan menunjukkan tangga yang berdebu dan tak beralas karpet. Dengan hati-hati aku menyelinap turun. Aku tetap belum mendengar bunyi apa-apatapi waktu tiba di anak tangga 196
paling bawah, telingaku menangkap suara samar-samar. Aku berhenti dan berdiri mematung beberapa lamanya. Sebuah jam di dinding menunjukkan bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam. Aku. sadar sepenuhnya akan bahaya yang mungkin kuhadapi bila aku turun lagi. Tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku. Dengan sangat hati-hati aku bersiap-siap untuk menyelidik. Perlahanlahan aku menuruni anak tangga paling bawah, dan berdiri di ruangan besar yang berbentuk segi empat. Aku melihat ke sekelilingkudan napasku serasa terhenti. Seorang anak pribumi duduk dekat pintu ruangan itu. Tapi dia tak melihatku. Dari bunyi napasnya aku tahu bahwa dia sedang tidur nyenyak. Apakah aku akan mundur atau terus? Suara-suara itu datang dari kamar tempat aku dibawa waktu aku tiba. Salah seorang di antaranya adalah suara si orang Belanda. Suara yang satu lagi belum bisa kukenali, meskipun rasanya aku pernah mendengarnya. Akhirnya kuputuskan bahwa menjadi tugasku-lah untuk mendengar apa yang bisa kutangkap. Aku harus berani menghadapi kemungkinan anak pribumi itu akan terbangun. Tanpa menimbulkan bunyi, kuseberangi ruangan besar itu, lalu berlutut di dekat pintu. Beberapa lamanya aku tak bisa mendengar dengan baik. Suara-suara itu menjadi lebih nyaring, tapi aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. 197 Lalu mataku kutempelkan ke lubang kunci. Sebagaimana dugaanku, salah seorang yang berbicara adalah si orang Belanda yang berbadan besar. Yang seorang lagi duduk di tempat yang tidak tertangkap oleh ruang pandangku. Tiba-tiba orang itu berdiri untuk mengambil minuman. Tampak punggungnya yang lurus dan mengenakan jas hitam. Sebelum dia berbalik, aku sudah tahu siapa dia. Pendeta Chichester! Sekarang aku mulai bisa menangkap kata-kata mereka. “Bagaimanapun juga, itu berbahaya. Bagaimana kalau teman-temannya datang mencarinya?” Orang Belanda itu yang berbicara. Chichester menjawab. Hilang sama sekali suara kependetaan-nya. Pantas aku tadi tidak mengenalinya. “Semua itu bohong belaka. Mereka tak tahu di mana dia.” “Tapi dia bicara dengan yakin.” “Sungguh mati. Aku sudah menyelidiki soal itu. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Bagaimanapun juga ini perintah ‘Kolonel’. Kau tak berani melawannya, kan?” Orang Belanda itu berseru dalam bahasanya sendiri. Kupikir dia buru-buru membantah. “Tapi mengapa tidak dihantam saja kepalanya?” geramnya. “Itu lebih mudah. Kapal sudah siap. Dia bisa dibuang ke laut.”
“Ya,” kata Chichester sambil merenung. “Itu pula yang akan kulakukan. Gadis itu tahu terlalu 198 banyak, itu sudah pasti. Tapi ‘Kolonel’ lebih suka menanganinya sendiripadahal sebenarnya tak boleh begitu.” Kemudian dia teringat akan sesuatu yang menjengkelkannya. “Dia menginginkan informasi tertentu dari gadis itu.” Dia berhenti sebentar sebelum mengucapkan kata ‘informasi’, dan orang Belanda itu langsung menangkap artinya. “Informasi?” “Semacam itulah.” “Berlian,” gumamku. “Nah,” kata Chichester, “bawa kemari daftar itu.” Lama percakapan mereka tak dapat kutangkap. Sepertinya berhubungan dengan bermacam-macam sayuran dalam jumlah besar. Mereka menyebutkan tanggal-tanggal, harga-harga, dan nama-nama tempat yang aku tak tahu. Setengah jam lebih mereka baru selesai mengecek dan menghitung. “Baiklah,” kata Chichester. Terdengar suara seperti dia mendorong kursinya ke belakang. “Ini akan kubawa untuk kuperlihatkan pada ‘Kolonel’.” “Kapan Anda berangkat?” “Jam sepuluh besok pagi,” “Apakah Anda akan bertemu dulu dengan gadis itu sebelum Anda pergi?” “Tidak. Ada larangan keras bahwa tak seorang pun boleh melihatnya sampai ‘Kolonel’ sendiri datang. Baik-baik sajakah dia?” 199 “Tadi, waktu akan makan malam, saya masuk sebentar melihatnya. Kelihatannya dia tidur. Bagaimana dengan makanan untuknya?” “Biar dia kelaparan sedikit, tidak apa-apa. ‘Kolonel’ akan kemari besok. Gadis itu akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan lebih baik kalau dia lapar. Sebaiknya jangan ada seorang pun mendatanginya sebelum itu. Apakah dia sudah diikat kuat-kuat?” Orang Belanda itu tertawa. “Mana mungkin tidak?” Keduanya tertawa. Dalam hati aku juga tertawa. Kemudian waktu terdengar mereka akan keluar dari
kamar itu, aku cepat-cepat menghindar. Nyaris! Begitu menjejakkan kaki di anak tangga teratas, kudengar pintu kamar itu terbuka, dan anak pribumi itu pun terbangun. Tak mungkin lari melalui, pintu ruangan besar itu. Dengan hati-hati aku masuk kembali ke dalam gudang tadi. Kukumpulkan semua tali pengikatku tadi, lalu berbaring lagi di lantai. Aku takut mereka tiba-tiba ingin datang menengokku. Tapi mereka tidak melakukannya. Kira-kira satu jam kemudian, perlahan-lahan aku menuruni tangga. Tapi pribumi di dekat pintu itu sudah bangun, dia sedang asyik bersenandung. Aku ingin sekali keluar dari rumah itu, tapi sama sekali tidak melihat jalan untuk melakukan hal itu. Akhirnya aku masuk ke gudang lagi. Kelihatannya pribumi itu akan berjaga-jaga sepanjang malam. Dengan sabar aku tinggal di situ, sampai 200 terdengar suara orang-orang bersiap-siap pagi harinya. Mereka sarapan di ruangan yang luas itu, aku bisa mendengar suara-suara mereka naik ke atas dengan jelas. Aku jadi tegang sekali. Jadi bagaimana aku bisa lari dari rumah ini? Kutenangkan diriku supaya aku bersabar. Suatu gerakan yang gegabah bisa merusak segala-galanya. Setelah sarapan, terdengar suara Chichester pergi. Aku lega sekali karena kudengar orang Belanda itu ikut dia. Aku menunggu dengan hati berdebar. Orang sedang memberesi bekas-bekas sarapan dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Akhirnya selesailah segala macam kegiatan itu. Sekali lagi aku menyelinap keluar dari perangkapku. Hati-hati sekali aku menuruni tangga. Ruang besar itu kosong. Secepat kilat kuseberangi ruangan itu, kubuka pintu dan aku keluar, menikmati sinar matahari. Aku berlari sepanjang pekaranganseperti orang kesetanan. Setelah tiba di luar baru aku berjalan dengan wajar. Orang-orang memandangi aku dengan heran. Aku tak heran, wajah dan pakaianku pastf penuh debu, karena berguling-guling di gudang semalam. Akhirnya aku tiba di sebuah bengkel. Aku masuk “Saya mengalami kecelakaan,” kataku menjelaskan. “Saya butuh mobil yang bisa segera membawa saya ke Cape Town. Saya harus ikut kapal yang ke Durban.” Aku tak perlu menunggu lama. Sepuluh menit 201 kemudian aku sudah meluncur ke arah Cape Town. Aku harus tahu apakah Chichester ada di kapal. Aku belum memasukan apakah aku akan ikut berlayar juga. Tapi akhirnya kuputuskan untuk ikut. Chichester tak tahu bahwa aku telah melihatnya di vila di Muizenberg itu. Dia. pasti memasang perangkap lagi untukku, tapi aku sudah siaga. Sekarang dialah orang yang kucari, orang yang mencari berlian itu untuk ‘Kolonel’ yang misterius itu. Sayang, rencanaku buyar! Waktu aku tiba di pelabuhan, Kilmorden sudah berlayar. Dan aku tak bisa tahu apakah Chichester ada di kapal itu atau tidak!
Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau. hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberun ungan BBS< -4 202
BAB XX Aku kembali ke hotel. Di ruang duduk tak ada seorang pun yang kukenal. Aku berlari ke lantai atas, lalu mengetuk pintu kamar Suzanne. Suaranya menyuruh masuk. Waktu dilihatnya aku, dia melompat dan merangkulku erat-erat. “Anne, Sayangku, ke mana saja kau? Aku kuatir setengah mati memikirkan kau. Apa yang kaulakukan?” “Bertualang,” sahutku. “Seperti dalam Episode III kisah Bahaya-bahaya yang Mengancam Pamela.” Kemudian kuceritakan semuanya. Dia menarik napas panjang setelah aku selesai. “Mengapa hal-hal seperti itu selalu terjadi atas dirimu?” katanya dengan nada sesal. “Mengapa bukan aku yang disumbat dan diikat kaki tanganku?” “Kau pasti tak senang,” aku memastikan. “Terus terang aku tak ingin lagi mengalami petualangan seperti itu. Kalau yang ringan-ringan saja bolehlah.” Suzanne kelihatan tak yakin. Tapi kurasa, kalau mulutnya yang disumbat dan kaki tangannya 203 yang diikat selama satu atau dua jam saja, pikirannya itu akan berubah. Suzanne memang suka hal-hal yang menegangkan, tapi dia benci kalau kesenangannya terganggu. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya. “Aku sendiri tak tahu,” kataku merenung. “Tapi kurasa sebaiknya kau tetap pergi ke Rhodesia dan mengawasi Pagett” “Dan kau?” Itulah kesulitanku. Apakah Chichester pergi dengan kapal Kilmorden atau tidak? Apakah dia bermaksud melaksanakan rencananya semula, pergi ke Durban? Mengingat jam keberangkatannya dari Muizenberg, agaknya kedua pertanyaanku itu harus dijawab dengan.‘ya’. Dalam hal itu mungkin aku akan pegi ke Durban naik kereta api. Kurasa aku akan tiba di sana sebelum kapal tiba. Sebaliknya, bila berita tentang lolosnya aku diberitakan dengan telegram pada Chichester, ditambah dengan informasi bahwa aku telah berangkat dari Cape Town ke Durban, maka tak ada yang lebih mudah baginya daripada meninggalkan kapal di Port Elizabeth atau East London. Maka aku pun akan kecele. Rumit sekali masalahnya. “Bagaimanapun juga kita akan mencari informasi tentang kereta api ke Durban,” kataku. “Tapi sekarang belum terlambat untuk minum teh pagi,” kata Suzanne. “Kita minum di ruang duduk saja.” 204
ian padaku Di kantor, orang memberitahukan pac bahwa kereta api ke Durban akan berangkat pukul 20.15 malam itu. Untuk sementara kutunda dulu keputusanku dan ikut Suzanne minum teh, meskipun sudah agak terlambat karena waktu itu -sudah pukul 11.00. “Apakah kaurasa kau masih akan bisa mengenali Chichestermaksudku, kalau dia menyamar sebagai orang lain lagi?” tanya Suzanne. Aku menggeleng dengan sedih. “Yang jelas, aku tidak mengenalinya waktu dia menyamar menjadi pramugari, kalau saja aku tidak melihat lukisanmu.” “Aku yakin dia seorang aktor profesional,” kata Suzanne sambil merenung. “Dandanannya sempurna betul. Mungkin nanti dia turun dari kapal sebagai seorang kuli penggali atau yang lainnya, dan kau tidak akan mengenalinya.”“Kau pesimis sekali,” kataku. 4 Pada saat itu Kolonel Race masuk dan menggabungkan diri dengan kami. “Sedang apa Sir Eustace?” tanya Suzanne. “Aku tak melihatnya di mana-mana.” Wajah Kolonel Race berubah dan tampak aneh. “Dia sibuk. Ada urusan yang harus diselesaikannya.” “Coba ceritakan.” “Aku tak boleh membuka rahasia perusahaan.” “Ceritakan sedikit sajademi kami.” “Rupanya ‘Pria Bersetelan Coklat’ yang termasyhur itu berlayar sekapal dengan kita.” 205 “Apa}” Aku merasa darahku tersembur ke mukaku. Untung Kolonel Race tidak sedang melihatku. “Kurasa memang benar. Rupanya dia telah memaksa Pedler untuk membawanya sebagai sekretarisnya. Dan sekarang, di setiap pelabuhan orang mencari dia.” “Apa bukan Pagett?” “Bukan, bukan Pagettyang seorang lagi. Dia memakai nama Rayburn.” “Apakah dia sudah ditangkap?” tanya Suzanne. Di bawah meja, Suzanne meremas tanganku untuk meyakinkan aku. Aku menahan napas menunggu jawabnya.
“Dia menghilang tanpa bekas.” “Bagaimana reaksi Sir Eustace?” “Dia menganggapnya sebagai suatu penghinaan Nasib atas dirinya.” Petang harinya kami mendapat kesempatan untuk mendengar pendapat Sir Eustace sendiri mengenai hal itu. Kami sedang tidur siang, ketika kami dibangunkan oleh seorang pelayan yang mengantarkan surat. Dengan kata-kata yang menyentuh hati, Sir Eustace meminta kami untuk menyertainya minum teh di kamar duduknya. Pria malang itu keadaannya memang menyedihkan. Dikeluarkannya semua kesulitannya pada kami. Dengan suaranya yang merayu, Suzanne mendorongnya untuk bercerita terus. (Dia memang pandai sekali berbuat begitu.) “Mula-mula seorang wanita Ťasing seenaknya 206 saja terbunuh dalam rumahkukurasa sengaja untuk membuatku jengkel. Mengapa justru rumahku? Mengapa di antara rumah -rumah yang begitu banyak jumlahnya di Britania Raya, dia justru memilih Mill House? Apa salahku terhadap wanita itu hingga dia merasa perlu dibunuh di sana?” Suzanne mendesah untuk menunjukkan simpatinya, dan Sir Eustace melanjutkan dengan nada yang lebih menyedihkan, “Dan rupanya belum juga cukup. Orang yang membunuhnya, dengan kurang ajarnya, menempelkan dirinya padaku sebagai sekretarisku. Sekretarisku, coba pikir! Aku bosan dengan sekretaris. Aku tak mau punya sekretaris lagi. Kalau bukan pembunuh yang menyamar, mereka itu tukang berkelahi yang mabuk-mabukan. Adakah kalian melihat mata si Pagett yang biru itu? Pasti sudah! Bagaimana aku bisa hidup dengan sekretaris seperti itu? Apalagi wajahnya berwarna kuning jelek warna yang sama sekali tak serasi dengan matanya yang biru. Aku tak mau lagi punya sekretariskecuali kalau dia seorang gadis. Seorang gadis manis yang matanya berbinar, yang akan menggenggam tanganku bila aku sedang marah. Bagaimana kalau kau, Anne? Maukah kau menerima pekerjaan itu?” “Apakah saya harus menggenggam tangan Anda sering-sering?” tanyaku dengan tertawa. “Sepanjang hari,” sahut Sir Eustace. “Kalau begitu saya tidak akan punya waktu untuk mengetik,” aku mengingatkannya. 207 “Tak apa-apa. Semua pekerjaan itu kan gagasan si Pagett saja. Dia yang membuatku bekerja matimatian. Aku sudah ingin sekali meninggalkannya di Cape Town ini.” “Akan tinggal di sinikah dia?” “Ya. Dia akan senang sekali mencari jejak si Rayburn. Pekerjaan yang begituan itulah yang paling
cocok untuk Pagett. Dia suka sekali intrik-intrikan. Ngomong-ngomong, aku sungguh-sungguh menawarimu pekerjaan itu. Mau kau ikut? Nyonya Blair ini akan merupakan pelin-dungmu yang baik. Dan kadang-kadang kau boleh mengambil-cuti untuk menggali tulang belulang.” “Terima kasih banyak, Sir Eustace,” kataku hati-hati, “tapi saya akan berangkat ke Durban nanti malam.” “Alaa, jangan begitu keras kepala. Ingat, di Rhodesia banyak singa. Kau akan senang melihat singa. Banyak gadis yang suka.” “Apakah singa-singa itu akan berlatih untuk mengambil lompatan rendah?” tanyaku bergurau. “Tidak, terima kasih banyak. Saya harus pergi ke Durban.” Sir Eustace memandangiku, menarik napas panjang, lalu membuka pintu kamar yang berbatasan dengan ruang duduk itu. Dia memanggil Pagett. “Kalau sudah puas tidur siangnya, ini ada tugas untukmu, Pagett.” Guy Pagett muncul di pintu. Dia membungkuk 208 pada kami berdua. Dia agak terkejut melihat aku, lalu dia menyahut dengan suara sedih, “Saya sudah mengetik memorandum itu sepanjang petang ini, Sir Eustace.” “Ya, berhentilah mengetik. Pergilah ke Kantor Departemen Perdagangan, atau ke Dinas Pertanian, atau ke Pengurus Pertambangan, atau ke tempat lain. Minta mereka meminjami aku seorang sekretaris wanita yang bisa kuajak ke Rhodesia. Dia harus punya mata yang berbinar, dan tidak keberatan menggenggam tanganku.” “Baiklah, Sir Eustace. Akan saya mintakan seorang juru tik steno yang terampil.” “Si Pagett itu jahat sekali,” kata Sir Eustace, setelah sekretarisnya pergi. “Aku berani taruhan bahwa dia akan sengaja memilih seorang makhluk yang bermuka papan, hanya untuk menjengkelkan aku. Ah, lupa aku mengatakan pada Pagett bahwa gadis itu harus punya kaki yang bagus.” Tangan Suzanne kugenggam erat-erat, dan dia setengah kuseret kembali ke kamarnya. “Kita harus membuat rencana, Suzanne,” kataku, “secepatnya. Pagett akan tinggal di sinikau dengar itu tadi, kan?” “Ya, dan kurasa aku jadi tak dibolehkan pergi ke Rhodesia, begitu, kan? Menjengkelkan sekali, karena kau ingin pergi ke Rhodesia. Membosankan sekali.” “Tenanglah,” kataku. “Kau tetap pergi. Kau tak bisa membatalkan niat itu pada saat terakhir, tanpa menimbulkan kecurigaan. Apalagi, bisa saja 209
Pagett tiba-tiba diajak Sir Eustace. Maka akan lebih sulit bagimu untuk menempel dia terus selama perjalanan itu.” “Rasanya tak pantas,” kata Suzanne sambil tertawa dengan lesung pipitnya. “Aku harus pura-pura jatuh cinta padanya.” “Sebaliknya, bila kau sudah berada di sana* waktu dia tiba, semuanya jadi mudah sekali dan kelihatan wajar. Lagi pula, kita tak boleh melepaskan begitu saja dua orang yang lain itu.” “Ah, Anne, apakah kau tetap mencurigai Kolonel Race dan Sir Eustace?” “Aku mencurigai semua orang,” kataku tegas, “kalau kau pernah membaca cerita-cerita detektif, Suzanne, kau pasti tahu bahwa penjahatnya adalah orang yang paling tidak kita duga. Banyak sekali penjahat yang bertampang gemuk dan ceria seperti Sir Eustace.” “Kolonel Race tidak begitu gemukdan tidak begitu ceria.” “Kadang-kadang ada juga yang kurus dan pemurung,” tukasku. “Aku tidak berkata bahwa aku benarbenar mencurigai salah ^-seorang di antara mereka berdua. Tapi bagaimanapun juga wanita itu terbunuh di rumah Sir Eustace” “Ya, ya, tapi kita tak perlu mengulang-ulang soal itu lagi. Aku akan mengawasinya, Anne. Dan bila dia bertambah gemuk atau makin ceria, aku akan segera mengirim telegram padamu, yang berbunyi, ‘Sir Eustace membengkak, sangat men-^ curigakan. Datang segera.’” 210 “Sudahlah, Suzanne,” seruku. “Agaknya kaupikir semuanya ini hanya main-main saja.” “Memang iya,” katanya tanpa malu-malu. “Kelihatannya memang seperti main-main saja. Itu salahmu sendiri, Anne. Kau sendiri yang memberikan kesan itu dengan ajakan, ‘Mari .kita mencari semangat petualangan.’ Rasanya sedikit pun tak ada kesungguhannya. Ah, kalau saja Clarence tahu bahwa aku berkeliaran di Afrika mencari jejak penjahat-penjahat yang berbahaya, bisa-bisa mendapat serangan jantung dia.” “Mengapa tak kaukirim telegram padanya menceritakan tentang itu?” tanyaku ketus. Rasa humor Suzanne selalu hilang’bila, berbicara tentang pengiriman telegram. Saranku itu lalu dipertimbangkannya dengan bersungguh-sungguh. “Mungkin memang akan kukirim. Telegramnya harus yang panjang.” Matanya jaai berbinar memikirkan rencana itu. “Tapi kurasa sebaiknya tidak saja. Para suami selalu suka campur tangan dalam hiburan yang sama sekali tidak merugikan.” “Nah,” kataku menumpulkan, “kau mengamat-amati Sir Eustace dan Kolonel Race” “Aku tahu mengapa aku harus mengawasi Sir Eustace,” sela Suzanne, “karena tampangnya dan karena cara ngomongnya yang penuh humor. Tapi kurasa akan terlalu jauh kalau harus mencurigai Kolonel Race, sungguh. Bukankah dia agen Dinas Rahasia. Tahukah kau, Anne, kurasa se-211
baiknya kita malah menceritakan semua ini padanya.” Aku menolak keras usul tak sehat itu. Usul semacam itu kuanggap’ sebagai akibat tak baik dari perkawinan. Sering aku mendengar, seorang wanita yang cerdas sekali, dalam suatu perdebatan yang tegang berkata, ‘Kata Edgar” Padahal semua orang tahu bahwa orang yang bernama Edgar, suaminya itu, orang goblok. Suzanne pun, sebagai seorang yang sudah menikah, ingin sekali menyandarkan diri pada seseorang pria. Tapi setelah kutolak, dia berjanji dengan bersungguh-sungguh untuk tidak akan mengucapkan sepatah kata pun pada Kolonel Race. Dan kami pun meneruskan pembicaraan tentang rencana kami. “Sudah jelas bahwa aku harus tinggal di sini untuk mengawasi Pagett. Dan inilah jalan yang terbaik: aku harus pura-pura pergi ke Durban malam ini. Aku membawa semua barang-barangku ke luar, padahal sebenarnya aku hanya akan pergi ke sebuah hotel kecil di kota ini juga. Aku bisa mengubah rupaku sedikitmemakai wig berwarna pirang, dan selendang renda putih yang tebal, supaya dia menyangka bahwa aku sudah tidak berada di tempat lagi. Dengan demikian, aku pun akan punya kesempatan lebih baik untuk melihat rencananya.” Suzanne setuju sekali dengan rencana itu. Lalu kami mengadakan persiapan yang menyolok. Kami sekali lagi bertanya tentang keberangkatan 212 kereta api di kantor, dan membenahi barang-barangku. Kami makan malam bersama di restoran. Kolonel Race tak muncul, tapi Sir Eustace dan Pagett makan di meja mereka, dekat jendela. Belum selesai makan, Pagett meninggalkan meja. Aku jengkel, karena menurut rencana, aku harus pamit dari dia. Tapi dengan Sir Eustace saja pun cukuplah. Setelah selesai makan, aku mendatanginya. “Selamat berpisah, Sir Eustace,” kataku. “Saya berangkat ke Durban malam ini.” Sir Eustace mendesah panjang. “Begitulah yang kudengar. Kau pasti tak ingin aku ikut denganmu, ya?” “Suka sekali.” “Kau anak yang baik. Yakinkah kau bahwa kau tidak akan mengubah pikiranmu, dan ikut aku melihat singa di Rhodesia?” “Yakin sekali.” “Laki-laki itu pasti tampan sekali,” keluh Sir Eustace. “Pasti dia orang muda yang suka nampang, hingga aku yang lebih tua ini sama sekali tak dipandang sebelah mata. Ngomong-ngomong, sebentar lagi Pagett akan pergi ke kota dengan mobil. Dia bisa mengantarmu ke stasiun.” “Oh, tak usah, terima kasih,” kataku cepat-cepat. “Nyonya Blair dan saya sudah memesan taksi.”
Aku sama sekali tak mau-pergi dengan Guy Pagett! Sir Eustace memandangiku dengan penuh perhatian. 213 “Kurasa kau tak suka pada Pagett, ya? Aku tak menyalahkan kau. Dia itu keledai yang paling suka mencampuri urusan orang laindan selalu bersikap sebagai martir. Dia selalu berbuat apa saja untuk menjengkelkan aku!” “Apa umpamanya yang dilakukannya?” tanyaku ingin tahu. “Dia sudah berhasil mendapatkan seorang sekretaris untukku. Tak pernah aku melihat perempuan seperti itu! Umurnya empat puluh, memakai kaca mata tanpa gagang, bersepatu lars, dan sikapnya penuh efisiensi. Bisa mati aku dibuatnya. Benar-benar seorang wanita bermuka tembok.” “Apakah dia tidak akan menggenggam tangan Anda?” “Amit-amit!” seru Sir Eustace. “Itu akan keterlaluan. Nah, selamat jalan, Mata Berbinar. Bila aku berhasil menembak singa, aku tidak akan memberikan kulitnya padamukarena kau telah menolakku mentah-mentah.” Diremasnya tanganku dengan hangat, dan kami 1 pun berpisah. Suzanne menunggu aku di ruang besar. Dia harus mengantarku. “Mari kita segera berangkat,’ť kataku buru-buru, dan mengisyaratkan pada pesuruh untuk memanggil taksi. Kemudian aku dikejutkan oleh suara di belakangku, “Maaf, Nona Beddingfeld. Saya akan pergi ke kota dengan mobil. Saya bisa mengantar Anda dan Nyonya Blair ke stasiun.” 214 “Oh, terima kasih,” kataku buru-buru lagi. “Tapi saya tak mau menyusahkan Anda. Saya” “Sama sekali tidak menyusahkan. Masukkan barang-barang itu,” perintahnya pada pesuruh hotel. Aku tak berdaya. Aku masih ingin menolak, _ tapi Suzanne menyikutku memberi peringatan supaya berhati-hati. “Terima kasih, Mr. Pagett,” kataku dengan nada dingin. Kami semua masuk ke mobil. Sedang mobil meluncur menuju kota, aku memeras otak untuk mencari apa yang harus kukatakan. Akhirnya Pagett sendiri yang memecah kesunyian. “Saya sudah menemukan seorang sekretaris baru untuk Sir Eustace,” katanya. “Namanya Nona Pettigrew.”
“Beliau baru saja mengumpat-umpat tentang dia tadi,” balasku. Pagett melihat padaku dengan pandangan dingin. “Dia juru tik steno yang cakap,” katanya dengan tekanan. Kami berhenti di depan stasiun. Semoga dia meninggalkan kami. Aku berpaling sambil mengulurkan tangan padanya, tapi tidak. “Saya akan ikut mengantar Anda,” katanya. “Sekarang baru jam delapan, kereta api Anda berangkat seperempat jam lagi.” Dia memberikan perintah-perintah kepada kuli-kuli stasiun. Aku’ berdiri tak berdaya. Aku tak 215 berani melihat Suzanne. Laki-laki itu curiga. Dia bertekad untuk meyakinkan dirinya bahwa aku benar-benar berangkat naik kereta api. Lalu apa yang bisa kuperbuat? Tak satu pun. Kubayangkan diriku seperempat jam lagi melaju keluar stasiun, sementara Pagett yang berdiri dengan tegap di peron melambai mengucapkan selamat jalan. Dengan tangkas dia telah membalikkan keadaan. Sikapnya terhadapku pun berubah. Dia jadi sangat ramah, suatu hal yang sama sekali tak sesuai dengan pribadinya. Dan aku jadi mual. Laki-laki ini benar-benar seorang murtad yang licik. Mula-mula dia mencoba membunuhku, sekarang dia melayaniku! Apakah dia membayangkan bahwa aku tidak mengenalinya di kapal malam itu? Tidak, semuanya ini hanya sandiwaranya saja. Dan aku dipaksanya menurutinya, sementara dia bersukacita. Bagaikan domba yang tak berdaya aku bergerak berdasarkan petunjuk-petunjuknya yang tepat. Barang-barangku sudah ditumpuk dalam kereta tidurkuaku mendapat gerbong dengan dua tempat tidur untukku sendiri. Waktu itu pukul delapan lewat dua belas menit. Tiga menit lagi kereta akan berangkat. Tapi Pagett tidak memperhitungkan Suzanne. “Kau akan kepanasan sekali dalam perjalanan, Anne,” katanya tiba-tiba. “Apalagi waktu melewati Karoo besok. Adakah kau membawa eau-de-Cologne atau air mawar?” Aku mengerti betul isyarat itu. 216 “Astaga,” seruku. “Eau-de-Cologne-ku tertinggal di meja rias di hotel.” Suzanne pandai sekali memanfaatkan kebiasaannya untuk memerintah. Dia menoleh pada Pagett dan memerintah, “Cepat, Pagett. Masih ada waktu sedikit. Di seberang stasiun ada apotek. Tolong belikan Anne eau-deCologne.” Laki-laki itu tampak bimbang, tapi dia tak bisa berkutik menghadapi sikap tegas Suzanne. Suzanne
memang orang yang bisa menundukkan orang. Pagett pergi. Suzanne mengikutinya dengan matanya sampai dia menghilang. “Cepat, Anne, keluar dari sebelah sanajangan-jangan dia tidak benar-benar pergi tapi mengawasi kita dari ujung peron. Jangan pedulikan barang-barangmu. Besok bisa kauminta dengan telegram. Mudahmudahan saja kereta berangkat tepat pada waktunya!” Kubuka pintu di sisi sebelah yang lain, lalu turun ke peron. Tak ada orang yang melihatku. Aku masih sempat melihat Suzanne tetap berdiri di tempatku berada tadi, sambil mendongak ke kereta api, seolah-olah sedang mengobrol denganku melalui jendela. Peluit berbunyi dan kereta api mulai bergerak. Kemudian kudengar langkah-langkah orang berlari-lari cepat di peron. Aku bersembunyi di belakang sebuah kios buku dan memperhatikan. Suzanne berpaling, setelah melambaikan sapu tangannya ke kereta api yang sudah menjauh. “Ah, terlambat, Pagett,” katanya dengan ceria. “Dia sudah pergi. Itukah eau-de-Colognenya? Sayang, tidak tadi-tadi kita ingat.” Mereka lewat tak jauh dari aku, keluar dari stasiun. Guy Pagett kelihatan terengah-engah. Pasti dia tadi berlari-lari pulang-pergi ke apotek. “Maukah Anda saya panggilkan taksi, Nyonya Blair?” Suzanne tetap memainkan perannya dengan baik. “Ya, tolonglah. Apakah Anda tak mau ikut pulang dengan saya? Atau banyakkah yang harus Anda kerjakan untuk Sir Eustace? Ah, alangkah baiknya kalau Anne Beddingfeld ikut kami besok. Saya tak suka gadis seperti dia bepergian seorang diri ke Durban. Tapi dia berkeras. Saya rasa ada yang menarik hatinya di sana” Aku tak bisa lagi mendengar kata-kata mereka. Sungguh pandai Suzanne! Dia telah menyelamatkan aku. Aku masih menunggu beberapa menit lagi, lalu aku juga keluar dari stasiun. Waktu itu aku hampir saja bertabrakan dengan seorang laki-lakiorang itu tak enak dipandang karena hidungnya terlalu besar untuk wajahnya. 218
BAB XXI Aku tidak mengalami kesulitan lagi dalam menjalankan rencanaku. Aku menemukan sebuah hotel kecil di lorong kecil. Aku mendapat kamar, membayar uang tanggungan karena aku tak punya barang, dan pergi tidur dengan tenang. Esok paginya aku bangun pagi-pagi, lalu pergi ke kota untuk membeli pakaian secukupnya. Rencanaku, aku tidak akan berbuat apa-apa sampai kereta api jam sebelas yang akan ke Rhodesia berangkat. Maka akan berangkat pulalah sebagian dari orang-orang itu. Pagett tak mungkin berani melakukan kegiatan jahat sebelum mereka berangkat. Oleh karenanya, aku lalu naik kereta api yang ke luar kota dan berjalan-jalan di pedesaan. Udara boleh dikatakan sejuk, dan aku senang bisa melemaskan kakiku setelah pelayaran yang makan waktu lama serta penawananku di Muizenberg itu. Banyak yang bisa terjadi dari hal-hal yang kecil. Tali sepatuku lepas, dan aku berhenti untuk mengikatnya. Aku ada di bagian jalan yang akan membelok. Waktu aku membungkuk ke sepatu yang lepas talinya itu, seorang laki-laki keluar dari 219 tikungan dan hampir menabrakku. Dia mengangkat topinya, menggumamkan permintaan maaf lalu berjalan terus. Rasanya aku mengenali wajah itu, tapi saat itu tidak ingat lagi. Aku melihat ke arlojiku. Waktuku sudah hampir habis. Aku berbalik ke arah Cape Town. Ada sebuah trem yang akan berangkat. Aku berlari mengejarnya. Kudengar langkah-langkah lain berlari pula di belakangku. Aku terus berlari, dan pelari di belakangku pun terus berlari juga. Aku segera tahu siapa dia. Dia adalah laki-laki yang melewati aku di jalan waktu aku membetulkan tali sepatuku yang lepas. Dan aku langsung tahu mengapa aku mengenali wajahnya. Dia adalah laki-laki kecil yang berhidung besar, dengan siapa aku hampir tabrakan waktu aku meninggalkan stasiun kemarin malam. Kebetulan menyolok sekali! Munginkah laki-laki itu sengaja membuntuti aku? kuputuskan untuk langsung mengetes hal itu. Kubunyikan bel tanda minta berhenti, dan aku segera turun di tempat berhenti. Orang itu tak turun. Aku bersembunyi di pimu sebuah toko dan mengawasinya. Dia turun di perhentian berikutnya, lalu berjalan kembali ke arahku. Sekarang sudah jelas. Aku dibuntuti. Aku terlalu cepat merasa puas. Kemenanganku atas Guy Pagett ternyata berbuntut lain. Aku menghentikan trem berikutnya, dan benar’dugaanku, “pengawalku” naik juga. Aku lalu berpikir. Jelas sudah bahwa aku terlibat dalam sesuatu yang lebih besar daripada dugaanku. Pembunuhan di Marlow itu bukan kejadian tersendiri yang dilakukan oleh orang seorang. Aku berhadapan dengan suatu komplotan. Berkat keteranganketerangan Kolonel Race pada Suzanne, dan apa yang telah kudengar di Muizenberg, aku mulai tahu beberapa dari kegiatan-kegiatannya yang banyak jumlahnya. Kejahatan yang dilakukan secara teratur, dipimpin oleh seseorang yang oleh para pengikutnya disebut ‘Kolonel’! Aku ingat beberapa percakapan di atas kapal, mengenai pemogokan di Rand dan hal-hal yang menjadi penyebabnyadan dugaan bahwa ada suatu organisasi rahasia yang mendalangi pemogokan itu. Itu merupakan rencana
‘Kolonel’, sedang utusan-utusannya bekerja berdasarkan rencana-rencana itu. Kudengar, dia sendiri tak mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan itu. Dia membatasi dirinya pada perencanaan dan pengaturannya. Dia hanya melakukan kerja otakbukan pekerjaan yang berbahaya. Tapi bisa saja dia sendiri berada di tempat itu, mengatur dari tempat yang sama. Untuk itulah Kolonel Race berada di Kilmorden Castle. Dia sedang mengejar penjahat ulung itu. Semuanya cocok dengan kesimpulan tersebut. Dia orang yang berkedudukan tinggi dalam Dinas Rahasia, dan tugasnya adalah menangkap ‘Kolonel’. Aku mengangguk sendiriaku jadi mengerti beberapa hal. Bagaimana kedudukanku dalam 221 peristiwa itu? Apakah mereka hanya mengejar berlian-berlian itu? Aku menggeleng. Meskipun berlian-berlian itu memang sangat berharga, permata-permata itu bukanlah alasan utama mengapa mereka berusaha begitu hebat untuk menyingkirkan diriku. Tidak, kedudukanku lebih penting dari itu. Tanpa kusadari, aku merupakan ancaman dan bahaya! Sesuatu yang kuketahui atau yang mereka anggap aku tahu, membuat mereka bertekad untuk, bagaimanapun juga, menyingkirkan akudan apa yang kuketahui itu agaknya berhubungan dengan berlian-berlian itu. Aku yakin bahwa hanya ada satu orang yang bisa memberikan penjelasan tentang itu kepadakuitu pun kalau dia mau! Yaitu si ‘Pria Bersetelan Coklat’Harry Rayburn. Dia tahu sisi lain cerita itu. Tapi dia telah sirna ditelan gelap. Harry Rayburn adalah makhluk buron yang melarikan diri dari pengejaran. Besar kemungkinan aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya…. Aku mengembalikan pikiranku pada kejadian-kejadian saat ini. Tak ada gunanya untuk bersentimentil memikirkan Harry Rayburn. Sejak semula dia sudah memperlihatkan rasa tak suka yang hebat terhadap diriku. Ataukahaku, aku mulai lagiberkhayal! Yang penting adalah apa yang harus kulakukansekarangl Aku, yang menepuk dada sebagai pengawas, kini menjadi orang yang diawasi. Dan aku merasa takut! Untuk pertama kalinya aku kehilangan keberanianku. Aku hanyalah sebutir kerikil kecil 222 yang ingin menghalangi kerja sebuah mesin besar yang mulusdan aku yakin bahwa mesin itu akan mudah saja menghancurkan kerikil-kerikil kecil seperti aku. Satu kali Harry Rayburn telah menyelamatkan nyawaku, dan satu kali pula aku menyelamatkan diriku sendiritapi kini aku tiba-tiba merasa bahwa aku sedang menghadapi jalan buntu. Aku dikelilingi musuh-musuhku, mereka ada di mana-mana dan mereka mengurungku. Bila aku tetap bertindak sendiri, aku akan hancur. Aku mengerahkan segala tenagaku. Apalah yang bisa mereka lakukan? Aku berada di kota yang beradabdalam jarak beberapa meter saja ada seorang polisi. Selanjutnya aku harus lebih waspada. Aku tak boleh membiarkan diriku dijebak lagi seperti di Muizenberg. Pada saat renunganku sampai di situ, trem tiba di Adderley Street. Aku turun. Tanpa tahu dengan pasti apa yang harus kuperbuat, aku berjalan lambat-lambat di sisi jalan sebelah kiri. Aku tak memerlukan menoleh untuk melihat apakah pengawasku ada di belakangku. Aku tahu pasti dia ada. Aku masuk ke sebuah bar, dan memesan dua gelas kopi campur es krim sodauntuk menenangkan sarafku. Kurasa
seorang laki-laki memerlukan wiski, tapi seorang gadis sudah cukup tenang dengan es krim soda saja. Minuman itu kuhirup sampai habis dengan nikmat. Cairan dingin itu masuk ke leher dan menggelitik dengan nyamannya. Gelas pertama sudah kosong, dan kusingkirkan. 223 Aku duduk di bangku tinggi di depan meja layan. Dari sudut mataku kulihat orang yang mengejarku masuk dan diam-diam duduk di bar kecil dekat pintu. Gelas yang kedua kuhabiskan juga, lalu aku memesan es krim maple. Aku memang bisa minum es krim soda banyak sekali. Orang di dekat pintu itu tiba-tiba berdiri lalu keluar. Aku heran. Bila dia akan menunggu di luar, mengapa tidak sejak tadi di luar saja? Aku turun dari bangkuku, lalu dengan hati-hati pergi ke pintu. Aku cepat-cepat bersembunyi. Orang itu berbicara dengan Guy Pagett. Melihat itu hilanglah keraguanku. Pagett mengeluarkan arloji sakunya lalu melihat ke arloji itu. Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu sekretaris itu pergi ke arah stasiun. Agaknya dia baru saja memberikan perintah-perintahnya. Apa gerangan? Tiba-tiba napasku serasa tersekat. Laki-laki vang membuntuti aku menyeberang ke tengah jalan dan berbicara dengan polisi. Agak lama juga dia berbicara, sambil menunjuk-nunjuk ke bar tempatku berada untuk menjelaskan sesuatu. Aku segera maklum. Polisi itu disuruhnya menangkapku dengan suatu tuduhanbarangkali dengan tuduhan mencopet. Akan mudah sekali bagi komplotan itu merencanakan hal semacam itu. Aku tidak akan berdaya untuk menyatakan bahwa aku tak bersalah. Mereka pasti telah merencanakan segalanya sampai hal yang sekecil-kecilnya. Di masa lampau mereka bahkan telah 224 berhasil menuduhkan perampokan De Beers atas diri Harry Rayburn. Dan orang itu tak bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah, padahal aku yakin bahwa dia tak bersalah. Apa dayaku untuk melawan tuduhan palsu ‘Kolonel’? Aku melihat ke jam dinding, dan aku segera melihat segi lain dari persoalan itu. Aku mengerti mengapa Guy Pagett melihat ke arlojinya. Waktu itu hampir pukul sebelas, dan pada pukul sebelas, kereta api pos akan berangkat ke Rhodesia. Dan teman-temanku yang punya pengaruh akan berangkat naik kereta api itu, hingga mereka tidak akan bisa menyelamatkan aku-Itulah sebabnya aku tak diganggu sampai saat ini. Sejak semalam sampai jam sebelas ini, aku aman, tapi sekarang jaring perangkap sudah terpasang untukku. Cepat-cepat aku membuka tasku akan membayar minumanku. Pada saat itu jantungku serasa berhenti, karena di dalam tasku ada dompet pria yang penuh berisi uang} Pasti dompet itu dengan cekatan telah diselipkan ke dalam tasku waktu aku turun dari trem tadi. Aku marah. Aku cepat-cepat keluar dari bar itu. Laki-laki kecil yang berhidung besar itu sedang menyeberangi jalan diikuti oleh polisi. Mereka melihat aku. Laki-laki kecil itu menunjuk-nunjuk aku. Aku lari. Kulihat polisi itu orangnya lamban. Aku bisa mendahuluinya. Tapi pada saat itu aku belum punya rencana. Aku hanya lari menyelamatkan diri ke arah Adderley Street. Orang-orang mulai melihat. Mungkin
225 beberapa menit lagi akan ada yang menghadangku. Aku mendapat akal. “Di mana stasiun?” tanyaku terengah. “Di sebelah kanan.” Aku terus, berlari. Orang berlari mengejar kereta api adalah hal yang biasa. Aku masuk ke stasiun, tapi langkah-langkah kaki para pengejarku terdengar dekat sekali. Laki-laki kecil berhidung besar itu rupanya jago lari. Aku merasa bahwa aku sudah akan tertangkap sebelum aku tiba* di peron yang kuingini. Kusempatkan diriku melihat jampukul sebelas kurang satu menit. Sebaiknya kulakukan saja kalau aku ingin rencanaku berhasil. Aku tadi masuk ke stasiun melalui jalan masuk utama di Adderley Street. Sekarang aku keluar lagi melalui jalan samping. Tepat di seberang ada jalan samping masuk ke kantor pos. Jalan masuk utama ke kantor pos itu ada di Adderley Street. Sebagaimana yang kuduga, pengejarku tidak mengikuti aku, melainkan berlari terus di jalan untuk memotong jalanku bila aku nanti keluar dari jalan masuk utama, atau memberi tahu polisi untuk pergi ke sana. Tapi aku menyelinap ke jalan lagi dan kembali ke stasiun. Aku lari seperti orang gila. Saat itu tepat pukul sebelas. Kereta api panjang itu sudah mulai bergerak waktu aku tiba di peron. Seorang kuli stasiun mencoba menangkapku, tapi aku berkelit melepaskan cengkeramannya dan melom-226 pat ke papan tangga kereta api. Kunaiki dua anak tangganya, lalu kubuka pintunya. Aku selamat! Kereta api mulai melaju. Aku melewati seorang laki-laki yang berdiri seorang diri diujung peron. Aku melambai padanya. “Selamat tinggal, Mr. Pagett,” teriakku. Belum pernah aku melihat orang terkejut seperti itu. Dia seperti melihat hantu. Aku menghadapi kesulitan dengan kondektur sebentar. Tapi aku cepat-cepat bersikap anggun. “Saya sekretaris Sir Eustace Pedler,” “kataku dengan sikap angkuh. “Tolong antar saya ke kereta pribadinya.” Suzanne dan Kolonel Race sedang berdiri di gerbong terbuka. Keduanya berseru terkejut waktu melihat aku. “Halo, Nona Anne,” seru Kolonel Race, “dari mana saja Anda? Kusangka Anda pergi ke Durban. Anda ini orang yang suka membuat kejutan!” Suzanne tidak berkata apa-apa, tapi matanya menanyakan seratus pertanyaan.
“Saya harus segera lapor ke majikan saya,” kataku dengan tenang. “Di mana beliau?” “Ada di kantornyadi gerbong tengahdia sedang mendiktekan banyak surat pada Nona Pettigrew yang malang itu.” “Baru sekarang saya mendengar Sir Eustace begitu bersemangat bekerja,” kataku. “Hmm!” kata Kolonel Race. “Kurasa itulah 227 akalnya. Diberinya perempuan itu pekerjaan banyak-banyak, supaya dia terikat pada mesin tik di gerbongnya sendiri, sepanjang hari.” Aku tertawa. Kemudian bersama mereka berdua aku mencari Sir Eustace. Kudapati dia sedang berjalan hilir mudik dalam ruangan yang terbatas itu, sambil mencurahkan kata-kata pada sekretarisnya yang malang. Kini barulah aku melihat wanita itu. Badannya tinggi, besar, dan pakaiannya tak menarik. Kaca matanya tak bergagang dan sikapnya efisien sekali. Kulihat bahwa dia mengalami kesulitan dalam mengikuti kecepatan Sir Eustace, karena dahinya tampak berkerut. Aku masuk ke kamar itu. “Saya jadi ikut, Tuan,” kataku lancang. Sir Eustace terhenti dengan sangat terkejut di tengah-tengah kalimat yang sulit mengenai keadaan buruh. Dia terbelalak melihat aku. Nona Pettigrew orangnya pasti penggugup, meskipun penampilannya efisien, karena dia terlompat seolah-olah kena tembak. “Inilah berkat Tuhan atas diriku!” seru Sir Eustace. “Bagaimana dengan anak muda di Durban itu?” “Saya lebih suka memilih^Anda,” kataku dengan suara halus. “Sayangku,” kata Sir Eustace. “Kau bisa segera mulai menggenggam tanganku.” Nona Pettigrew mendehem, dan Sir Eustace segera menarik kembali tangannya. “Oh ya,” katanya. “Sampai di mana kita tadi? 228 Ya. Tylman Roos, dalam pidatonya diAda apa? Mengapa tak ditulis?” “Agaknya pensil Nona Pettigrew patah,” kata Kolonel Race dengan lembut. Diambilnya pensil itu dari tangan wanita itu lalu dirautnya. Sir Eustace terbelalak, begitu pula aku. Ada sesuatu dalam nada bicara Kolonel Race yang tak aku mengerti. 229
BAB XXII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler) Aku mulai melalaikan buku ‘Kenang-kenanganku*. Sebagai gantinya aku akan menulis suatu artikel singkat, yang akan kuberi judul ‘Sekretaris-sekretarisku’. Bicara soal sekretaris, agaknya aku ini bernasib buruk. Suatu saat aku sama sekali tak punya sekretaris, pada saat lain, terlalu banyak sekretarisku. Saat ini aku sedang dalam perjalanan ke Rhodesia dengan segerombolan wanita. Race disertai dua orang wanita yang tercantik, sedang aku mendapatkan yang jelek. Selalu begitulah yang terjadi atas diriku. Anne Beddingfeld juga menyertaiku ke Rhodesia dengan dalih menjadi sekretaris cadanganku. Tapi sepanjang petang ini dia berada di gerbong terbuka bersama Race, mengagumi keindahan Hex River Pass. Memang kukatakan padanya bahwa tugas utamanya adalah menggenggam tanganku. Tapi itu pun tidak dilakukannya. Mungkin dia takut pada Nona Pettigrew. Kalau memang itu alasannya, aku tak menyalahkannya. Tak ada yang menarik pada diri Nona Pettigrew 230 dia jelek dan kakinya besar. Dia lebih mirip laki-laki daripada wanita. Mengenai Anne Beddingfeld, ada sesuatu yang misterius. Dia melompat ke kereta api pada saat kereta sudah mulai berjalan, terengah-engah seperti lokomotif. Dia seperti sedang berlomba lari saja. Padahal Pagett mengatakan bahwa dia telah mengantarnya berangkat ke Durban semalam! Kalau bukan Pagett yang baru habis minum-minum lagi, maka gadis itulah yang punya tubuh seperti bintang yang bisa beralih-alih. Apalagi dia tak pernah menjelaskan. Tak ada yang pernah memberi penjelasan. Yah, memang banyak sekretarisku. Yang pertama, seorang pembunuh yang melarikan diri dari hukum. Yang kedua, seorang tolol yang diam-diam adalah peminum, yang punya affair memalukan di Itali. Yang ketiga, seorang gadis cantik yang punya kemampuan yang sangat berguna, yaitu bisa berada di dua tempat sekaligus. Yang keempat, Nona Pettigrew, yang kuyakin sebenarnya adalah seorang penjahat luar biasa yang sedang menyamar! Mungkin dia salah seorang teman Pagett dari Itali, yang diberikannya padaku. Aku tidak akan heran, bila pada suatu saat dunia merasa ditipu habis-habisan oleh si Pagett itu. Dari semuanya, kupikir Rayburn-lah yang terbaik. Dia tak pernah menyusahkan aku, dan tak pernah menjadi penghalang. Guy Pagett si lancang itu telah menempatkan peti alat-alat tulis 231 di sini. Tak ada seorang pun bisa memindahkannya, tanpa terjatuh di atasnya. Tadi aku keluar ke gerbong terbuka. Aku mengharapkan kemunculanku disambut dengan gembira. Kedua wanita itu sedang terpaku mendengarkan salah satu kisah perjalanan Race. Aku jadi’ ingin menamai gerbong inibukan dengan kata-kata ‘Sir Eustace Pedler dan Rombongan’, melainkan ‘Kolonel Race dengan Haremnya’. Kemudian Nyonya Blair memerlukan membuat foto-foto. Setiap kali kami membelok di’ tikungan
yang tajam, sedang kereta kami merayap makin lama makin tinggi, dia menjepret lokomotif. “Tahukah kalian mengapa aku berbuat begitu?” serunya dengan gembira. “Kalau kita sampai bisa membuat foto sebagian dari kereta dari belakang, itu berarti bahwa tikungannya tajam sekali. Dan dengan berlatar belakang gunung, kelihatannya berbahaya sekali.” Kukatakan padanya bahwa tak seorang pun bisa mengatakan bahwa foto-foto itu diambil dari bagian belakang kereta api. Dia melihat padaku dengan kecewa. “Akan kutulis saja di bawahnya, ‘Diambil dari ?kereta api ketika lokomotif membelok di tikungan’.” “Ah, itu bisa saja dituliskan di bawah setiap foto kereta api,” kataku. Wanita memang tak pernah memikirkan hal-hal yang sesederhana itu. I “Saya senang kita tiba di sini siang hari,” seru 232 Anne Beddingfeld. “Saya tidak akan melihat semuanya ini, sekiranya semalam saya jadi pergi ke Durban, bukan?” “Memang tidak,” kata Kolonel Race sambil tersenyum. “Kau akan bangun esok pagi dan mendapatkan dirimu berada di Karoo, sebuah gurun batu dan karang yang panas dan berdebu.” “Saya senang saya telah mengubah pikiran saya,” kata Anne mendesah dengan lega, sambil melihat ke sekelilingnya. Pemandangan di situ memang indah. Terdapat gunung-gunung yang besar di sekeliling kami. Kereta membelok dan menikungbersusah-payah melingkarinya, sambil naik terus. “Apakah ini kereta api yang terbaik dalam sehari ini, yang ke Rhodesia?” tanya Anne Beddingfeld. “ “Dalam sehari?” Race tertawa. “Aduh, Nona Anne, hanya ada tiga kereta api dalam seminggu., Hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Tahukah kau bahwa pada hari Sabtu yang akan datang barulah” kita akan tiba di Air Terjun?” “Pasti kita sudah akan saling mengenal lebih baik, kalau sudah tiba di sana,” kata Nyonya Blair. “Berapa lama Anda akan tinggal di Air Terjun, Sir Eustace?” “Itu tergantung,” kataku hati-hati. “Tergantung pada apa?” “Pada keadaan di Johannesburg. Rencanaku “semula adalah tinggal beberapa hari di Air Terjunaku belum pernah melihatnya, meskipun ini adalah kunjunganku yang ketiga kalinya ke Afrika inisetelah itu ke Johannesburg untuk mempelajari keadaan’di Rand. Soalnya, kalian kan tahu bahwa di negeri kita aku ini dianggap orang yang ahli mengenai politik Afrika Selatan. Tapi kudengar, Johannesburg akan merupakan tempat yang paling tak enak dikunjungi dalam waktu seminggu lagi. Aku tak ingin mempelajari keadaan di tengah-tengah suatu pergolakan.”
Race tersenyum dengan sikap sok lebih tahu. “Saya pikir rasa takut Anda itu berlebihan, Sir Eustace. Keadaan di Johannesburg tidak akan terlalu berbahaya.” Kedua wanita itu langsung melihat padanya dengan kagum. Aku jadi jengkel sekali. Kurasa keberanianku sama benar dengan Racemeskipun aku kalah tampang. Laki-laki yang tinggi, ramping, dan berkulit coklat, jauh lebih menarik. “Kurasa Anda akan berada di*sana nanti, ya?” kataku dengan nada dingin. “Mungkin sekali. Mungkin nanti kita pergi ke sana bersama-sama.” “Aku belum tahu. Mungkin aku akan tinggal di Air Terjun agak lebih lama,” tukasku. Mengapa Race ingin sekali aku pergi ke Johannesburg? Mungkin dia jatuh hati pada Anne. “Apa rencanamu, Anne?” “Itu tergantung,” sahutnya dengan tenang, menirukan aku. “Bukankah kau sekretarisku?” aku menunjukkan keberatanku. 234 “Tapi saya kan sudah didahului orang. Anda telah berpegangan tangan dengan Nona Pettigrew sepanjang petang ini.” “Berani sumpah, aku tidak berbuat, begitu,” aku meyakinkannya. Malam Jum’at Kami baru saja meninggalkan Kimberley. Race diminta menceritakan kisah perampokan berlian itu sekali lagi. Mengapa kaum wanita begitu tergila-gila akan apa saja yang berhubungan dengan berlian? Akhirnya Anne Beddingfeld melepas cadar misterinya. Rupanya dia koresponden sebuah surat kabar. Dia mengirimkan banyak telegram dari De Aar, pagi ini. Mendengar suara yang tak henti-hentinya mendengung hampir sepanjang malam di kamar Nyonya Blair, kupikir dia pasti membacakan semua artikel khususnya untuk tahun-tahun mendatang. Agaknya, selama ini dia sedang mencari jejak ‘Pria Bersetelan Coklat’ itu. Rupanya dia tidak menemukannya di kapal Kilmordenyah, sebenarnya dia tak punya kesempatan untuk itu. Tapi sekarang dia sedang sibuk mengirim telegram ke Inggris, dengan judul ‘Pelayaranku Bersama Seorang Pembunuh’. Dan dia menciptakan cerita-cerita fiktif tentang ‘Apa yang dikatakan pembunuh itu padaku’, dan seterusnya. Aku tahu bagaimana melakukan hal-hal seperti itu. Aku sendiri juga melakukannya dalam buku ‘Kenang-235 kenanganku’, bila dibenarkan Pagett. Dan salah seorang staf sahabatku Nasby yang efisien itu, akan lebih mengembangkan hal-hal yang kecil, hingga bila kisahku nanti muncul di harian Daily Budget, Rayburn tidak akan bisa mengenali dirinya lagi.. Tapi gadis itu memang cerdas. Agaknya seorang diri saja dia mengusut siapa wanita yang terbunuh di
rumahku itu. Dia adalah penari Rusia yang bernama Nadina. Kutanya Anne Beddingfeld apakah dia yakin akan hal itu. Dijawabnya bahwa hal itu hanya merupakan kesimpulannya sajapersis seperti Sherlock Holmes mengatakannya. Padahal kudengar bahwa dia telah mengirim telegram pada Nasby di Inggris, mengatakan bahwa itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Kaum wanita memang punya naluri begituaku yakin bahwa Anne Beddingfeld tak salah menebaktapi sangat tak masuk akal kalau itu disebutnya suatu kesimpulan. Aku sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana dia sampai bisa menjadi staf pada harian Daily Budget. Tapi dia memang gadis yang pandai dalam hal begituan. Oang tak bisa meremehkannya. Dia pandai sekali membujuk, dan menyembunyikan tekadnya yang tak bisa ditawar. Lihat saja caranya masuk ke gerbong pribadiku. Aku mulai melihat titik terang. Race menyinggung-nyinggung soal polisi yang menduga bahwa Rayburn akan pergi ke Rhodesia. Mungkin dia 236 sudah berangkat naik kereta api hari Senin. Orang berbalas-balasan mengirim telegram, tapi tak ditemukan seorang pun yang mempunyai ciri-ciri seperti dia. Namun itu tak ada artinya. Harry Rayburn seorang pemuda yang cerdik, dan dia mengenal Afrika. Mungkin sekarang dia sedang menyamar sebagai seorang wanita pribumi yang tuadan polisi yang bodoh terus saja mencari seorang pemuda tampan yang punya bekas luka, yang mengenakan pakaian model Eropa yang tak bercela. Aku tak pernah percaya betul pada bekas luka itu. Pokoknya, Anne Beddingfeld sedang mencari dia. Dia ingin menjadi pemenang, ingin menemukan anak muda itu bagi Sirinya sendiri, dan bagi Daily Budget. Gadis-gadis zaman sekarang memang berdarah dingin. Aku pernah menyindirnya bahwa apa yang dilakukannya itu tidak feminin. Tapi aku ditertawakannya. Dikatakannya bahwa bila dia berhasil menemukan laki-laki itu, dia akan menjadi kaya. Kelihatannya Race juga tak suka akan kegiatan gadis itu. Mungkin Rayburn ada di’ kereta api ini. Kalau demikian halnya, bisa-bisa kami dibunuh di tempat tidur. Kukatakan juga hal itu pada Nyonya Blairtapi kelihatannya dia malah senang kalau hal itu terjadi. Dikatakannya bahwa bila aku yang dibunuh, itu akan merupakan berita besar bagi Anne! Sungguh tak punya perasaan! Besok kami akan melewati Bechuanaland. Debunya akan mengerikan! Lalu di setiap stasiun, 237 anak-anak pribumi berdatangan dan menjual binatang-binatang aneh dari kayu, ukiran mereka sendiri. Juga mangkuk-mangkuk dan keranjang-keranjang berisi makanan. Aku takut Nyonya Blair akan memborong. Soalnya mainan itu punya daya tarik primitif yang kurasa akan memikatnya. Malam Sabtu. Yang kutakutkan terjadi. Nyonya Blair dan Anne membeli empat puluh sembilan binatang-binatang dari kayu itu! 238
BAB XXIII (Lanjutan Kisah Anne) Aku sangat menyukai perjalanan ke Rhodesia ini. Setiap hari selalu ada sesuatu yang baru dan mencekam. Pertama-tama pemandangan lembah Sungai Hex yang indah, kemudian gurun Karoo yang luas dan sepi, dan akhirnya Bechuanaland yang indah memanjang, dengan mainan-mainan yang benarbenar mengagumkan yang dijajakan oleh anak-anak pribumi. Suzanne dan aku hampir selalu ketinggalan kereta di setiap stasiunkalau itu bisa disebut stasiun. Aku merasa bahwa kereta api itu seenaknya saja berhenti di sembarang tempat. Lalu, begitu kereta api berhenti, berdatanganlah segerombolan orang pribumi dari ladang-ladang yang kelihatannya kosong. Mereka menjunjung mangkuk-mangkuk berisi makanan, tebu, bulu binatang, dan ukiran kayu berupa binatang-binatang yang bagus-bagus sekali. Suzanne segera membeli ukiran-ukiran itubanyak sekali. Aku ikutikutankebanyakan di antaranya berharga satu ‘tiki’ (tiga pence) sebuah, dan semuanya lain-lain bentuknya. Ada jerapah, harimau, ular, kijang 239 yang berwajah sedih dan prajurit hitam kecil yang aneh-aneh. Kami gembira sekali. Sir Eustace menega piengekang kami, tapi sia-sia. Aku masih merasa ajaib bahwa kami tidak ketinggalan di suatu oase di daerah itu. Kereta api di Afrika.Selatan tidak ribut-ribut atau kacau bila akan berangkat lagi. Kereta itu meluncur saja dengan tenang. Kita langsung lari mengejarnya bila melihatnya bergerak, padahal sedang asyik tawar-menawar. Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya Suzanne waktu melihat aku menaiki kereta api di Cape Town. Malam hari itu, lama kami meninjau situasi. Setengah malam kami habiskan untuk berbicara. Menjadi jelas bagiku bahwa siasat yang harus diambil haruslah bersifat pertahanan diri dan sekaligus juga agresif. Aku cukup aman, karena bepergian dengan Sir Eustace Pedler dan rombongannya. Dia dan Kolonel Race merupakan pelindung-pelindung yang dapat diandalkan, dan kurasa musuhmusuhku tidak akan berani menyerangku. Juga, selama aku berada di dekat Sir Eustace Pedler, boleh dikatakan aku berhubungan pula dengan Guy Pagettpadahal Guy Pagett adalah jantung misteri ini. Kutanyakan pada Suzanne apakah menurut dia mungkin Pagett sendirilah ‘Kolonel’ yang misterius itu. Kedudukannya sebagai orang bawahan tentulah bertentangan dengan dugaan itu. Tapi beberapa kali aku mendapat kesan bahwa meskipun Sir Eustace* 240 bersikap otoktrat, sebenarnya dia sering dipengaruhi oleh sekretarisnya itu. Sir Eustace adalah seorang pria yang mudah diatur, dan seorang sekretaris yang cekatan dapat mempermainkannya dengan mudah. Kedudukan Pagett yang tak penting itu mungkin bahkan berguna baginya, karena dengan demikian dia tidak akan mendapat sorotan. Tapi Suzanne sama sekali tidak membenarkan pikiranku. Dia tak percaya bahwa Guy Pagett adalah si tokoh pemimpin. Pemimpin yang sesungguhnya‘Kolonel’berada di latar belakang, dan mungkin sudah berada di Afrika waktu kami tiba.
Kuakui bahwa pandangannya itu perlu dipertimbangkan benar-benar, tapi aku tak puas. Karena pada setiap saat yang mencurigakan, Pagett selalu tampil sebagai seorang jenius yang memimpin. Pribadinya memang kurang meyakinkan sebagaimana yang diharapkan dari seorang penjahat ulungtapi bukankah Kolonel Race telah mengatakan bahwa pemimpin yang misterius itu hanya memberikan kerja otak, dan seorang jenius .yang kreatif sering berkaitan dengan keadaan fisik yang lemah dan pemalu. “Itu kata putri profesor,” sela Suzanne ketika kami berdebat mengenai hal itu. “Tapi itu benar. Sebaliknya, mungkin pula Pagett sesungguhnya justru si Komandan dari komandankomandan kecil.” Aku diam sebentar, lalu berkata lagi sambil merenung, “Alangkah / 241 baiknya kalau aku tahu bagaimana cara Sir Eustace mencari nafkah.” “Kau mencurigainya lagi?” “Suzanne, aku sudah terlanjur harus mencurigai seseorang! Aku bukan mencurigai dia secara khusustapi bagaimanapun juga, bukankah dia majikan Pagett? Dan bukankah dia yang memiliki “Mill House?” “Aku selalu mendengar bahwa dia tak suka bercerita tentang caranya mencari nafkah,” kata Suzanne sambil berpikir. “Tapi itu belum berarti kejahatanmungkin saja dia pengusaha paku .seng atau obat penumbuh rambut!” Aku membenarkannya dengan enggan. “Apakah kita ini tidak menuduh orang yang salah?” kata Suzanne ragu, “maksudku, kita telah disesatkan oleh anggapan kita tentang keterlibatan Pagett. Bagaimana kalau sebenarnya dia itu orang yang benar-benar jujur?” Kupertimbangkan pandangan itu beberapa lamanya, lalu aku menggeleng. “Aku tak bisa percaya itu.” “Tapi yang jelas, dia selalu bisa menjelaskan segala-galanya.” “Yaah, tapi penjelasannya tidak terlalu meyakinkan. Umpamanya, waktu dia mencoba menceburkan aku ke laut dari Kilmorden malam itu, dia berkata bahwa dia membuntuti Rayburn naik ke dek, lalu Rayburn berbalik dan menghantamnya. Padahal kita tahu bahwa itu tak benar.” J,Memang,” kata Suzanne dengan enggan. “Ta— 242 pi kita hanya mendengar kisah itu dari tangan kedua, dari Sir Eustace. Bila kita mendengarnya langsung dari Pagett sendiri, mungkin akan lain. Kita kan tahu bahwa orang selalu salah bila mengulangi menceritakan suatu kejadian.”
Pendapat itu kupertimbangkan dalam pikiranku. “Tidak,” kataku akhirnya, “kurasa tak bisa lain. Pagett bersalah. Kita tak bisa membantah kenyataan bahwa dia telah mencoba menceburkan aku ke laut. Dan semua yang lain pun cocok. Mengapa kau berkeras pada pikiranmu yang baru itu?” “Karena wajahnya.” “Wajahnya? Tapi” “Ya, aku tahu apa yang akan kaukatakan. Wajahnya memang wajah orang jahat. Justru itu. Orang yang berwajah jahat tidak selamanya harus jahat. Itu hanya merupakan lelucon Alam.” Aku tak begitu percaya akan argumentasi Suzanne itu. Aku tahu banyak tentang Alam di waktu lampau. Kalaupun dia bermaksud melucu, hal itu tak terbayang di wajahnya. Suzanne adalah orang yang bisa mendandani Alam dengan caranya sendiri. Kami masih terus membahas rencana-rencana kami. Aku merasa yakin bahwa aku harus punya pendirian. Aku tak bisa terus-menerus menghindari penjelasan. Penyelesaian semua kesulitanku sudah ada padaku, meskipun hal itu tak kusadari 243 selama ini. Harian Daily Budget! Baik aku diam, maupun aku bicara, tak ada lagi pengaruhnya atas diri Harry Rayburn. Dia telah dicap sebagai ‘Pria Bersetelan Coklat’, bukan karena aku. Aku hanya bisa membantunya dengan cara pura-pura menentangnya. ‘Kolonel’ dan komplotannya tak boleh curiga bahwa antara aku dan laki-laki yang telah mereka pilih untuk dijadikan kambing hitam dalam pembunuhan di Marlow itu, ada rasa persahabatan. Sejauh pengetahuanku, wanita yang terbunuh itu belum dikenali. Aku akan mengirim telegram pada Lord Nasby. Akan kuberitakan bahwa wanita itu tak lain dari ‘Nadina’, penari Rusia kenamaan, yang telah menggemparkan Paris sekian lamanya. Rasanya mustahil bahwa dia belum dikenalitapi lama-lama, dan aku makin banyak tahu tentang perkara itu, barulah kusadari bahwa itu wajar sekali. Selama penampilannya yang begitu berhasil di Paris, Nadina tak pernah datang ke Inggris. Tak ada orang yang mengenalnya di London. Foto-foto korban Marlow yang dimuat oleh surat-surat kabar, sangat kabur dan sukar dikenali, jadi tidaklah mengherankan kalau tak ada yang tahu siapa dia. Apalagi, Nadina memang bermaksud untuk sangat merahasiakan kunjungannya ke Inggris terhadap semua orang. Sehari setelah pembunuhan itu, manajernya menerima surat dari penari itu, di mana dikatakannya bahwa dia akan kembali ke Rusia, untuk suatu urusan pribadi yang sangat mendesak. Dimintanya manajernya 244 menyelesaikan kontrak yang diputuskan itu sebaik mungkin. Semua itu tentu saja baru kudengar kemudian. Dengan persetujuan Suzanne, kukirim telegram panjang dari De Aar. Telegram itu tiba pada saat yang tepat (ini pun baru kudengar kemudian). Harian Daily Budget sedang sangat mencari-cari berita sensasi. Dugaanku itu diselidiki benar-tidaknya, dan ternyata benar. Maka Daily Budget pun mendapat berita yang hebat. ‘Korban Pembunuhan di Mill House dikenali oleh Reporter Khusus Kami.’ Dan seterusnya. ‘Reporter Kami Berlayar Bersama si
Pembunuh. Pria Bersetelan Coklat. Dialah orangnya.’ Berita utama itu tentu saja ditelegramkan kembali ke surat-surat kabar di Afrika Selatan. Tapi lama kemudian baru aku membaca tulisan-tulisanku sendiri! Aku menerima izin dan instruksi penuh melalui telegram, waktu aku sedang berada di Bulawayo. Aku menjadi staf resmi harian Daily Budgetl Lord Nasby mengirim ucapan selamat secara pribadi. Aku mendapat kepercayaan penuh untuk mencari jejak pembunuh itu, dan aku, ya, aku sendirilah yang yakin bahwa pembunuhnya bukanlah Harry Rayburn! Tapi biarlah dunia menyangka bahwa dialah orangnyauntuk saat sekarang itulah yang terbaik. 245
BAB XXIV Kami tiba di Bulawayo pagi-pagi benar pada hari Sabtu. Aku kecewa melihat tempat itu. Di situ #* panas sekali dan aku benci hotelnya. Lagi pula, Sir Eustace sedang marah-marah terus. Kurasa, binatang-binatang kayu kami itulah yang menjengkelkannyalebih-lebih jerapah yang besar itu. Binatang itu memang besar sekali, lehernya luar biasa panjangnya, matanya lembut, dan ekornya terkulai. Binatang itu punya karakter dan punya daya pikat. Telah timbul pertentangan mengenai siapa yang memilikinyaaku atau Suzanne. Waktu membelinya kami masing-masing membayar satu tiki. Suzanne menuntut untuk memilikinya dengan alasan bahwa dia lebih tua dan karena dia telah menikah. Aku “bertahan dengan alasan bahwa akulah yang pertama melihat keindahannya. Sementara itu harus kuakui bahwa binatang itu mengambil tempat banyak dalam ruangan kami yang terbatas. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk membawa empat puluh sembilan binatang yang bentuknya aneh-aneh, dan semuanya terbuat dari kayu yang sangat rapuh. Dua orang kuli stasiun masing-masing dibebani dengan banyak binatangsalah seorang di antaranya langsung mencecerkan beberapa ekor burung unta dan membuat kepalanya patah. Melihat itu, Suzanne dan aku ikut membaca beberapa sekemampuan kami. Kolonel Race ikut membantu, dan jerapah yang besar itu kupaksakan ke tangan Sir Eustace. Bahkan Nona Pettigrew yang selalu menjaga sikap, tak bisa lolos. Dia kebagian seekor kuda Nil yang besar dan dua prajurit hitam. Kurasa Nona Pettigrew tak suka padaku. Mungkin aku ini seorang gadis nakal yang lancang di matanya. Pokoknya, dia sedapat mungkin menghindari aku. Anehnya, wajahnya rasanya pernah kulihat, tapi aku tak bisa ingat di mana. Sepanjang pagi itu kami beristirahat, dan petang harinya kami naik mobil pergi ke Matoppos untuk melihat makam Rhodes. Begitulah rencananya, tapi pada saat terakhir, Sir Eustace menarik diri. Dia marah-marah seperti waktu kami tiba di Cape Town pagi itudi mana dia menghempaskan buah persik ke lantai dan buah itu pecah! Rupanya dia punya sifat selalu tak senang bila tiba di suatu tempat pagi hari. Dia menyumpahi kuli-kuli, mengumpat pelayan pada waktu sarapan, dan memarahi seluruh staf hotel. Pasti dia sebenarnya ingin pula menyumpahi Nona Pettigrew yang hilir-mudik saja dengan pensil dan buku notesnya. Tapi kurasa, dia takkan berani melakukannya. Dia sama benar dengan sekretaris yang efisien dalam buku-buku cerita. Untung aku 247 246 masih sempat menyelamatkan jerapah yang amat kami sayangi. Kurasa Sir Eustace ingin sekali menghempaskannya ke tanah juga. Berbicara tentang rencana ekspedisi kami tadi, setelah Sir Eustace menarik diri, Nona Pettigrew berkata bahwa dia pun ingin tinggal di rumah, takut kalau-kalau Sir Eustace nanti membutuhkannya. Dan pada detik terakhir, Suzanne memberi tahu bahwa dia sakit kepala. Maka hanya aku dan Kolonel Race saja yang berangkat. Dia orang yang aneh. Bila berada dalam kumpulan orang banyak, hal itu tak kelihatan. Tapi kalau kita berduaan saja dengan dia, maka kepribadiannya pun kelihatan sekali. Dia jadi sangat pendiam. Namun diamnya itu malah berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.
Hari itu kami pergi ke Matoppos melalui semak-semak yang berwarna kuning kecoklatan. Segalagalanya kelihatan sepi dan anehkecuali mobil kami. Kurasa mobil itu termasuk buatan Ford yang pertama! Kain lapis joknya sudah tinggal serat-seratnya saja, dan meskipun aku tak tahu apa-apa tentang mesin, aku bisa juga menebak bahwa mesinnya tak beres. Sebentar kemudian keadaan alam berubah. Tampak batu-batu besar bulat, yang disusun menjadi bentuk-bentuk yang aneh. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku berada dalam zaman primitif. Saat itu aku merasa manusia-manusia Neanderthal benar-benar ada seperti anggapan Papa. Aku menoleh pada Kolonel Race. 248 “Pasti di sini pernah ada raksasa.” kataku sambil merenung. “Dan anak-anaknya sama seperti anakanak zaman sekarangbermain-main dengan kerikil yang ditumpuk-tumpuk lalu dirobohkan lagi. Makin pandai mereka menyusunnya secara seimbang makin senang mereka. Bila saya boleh menamai tempat ini, akan saya beri nama Negeri Anak-anak Raksasa.” “Mungkin kau lebih mendekati kenyataan itu tanpa kausadari,” kata Kolonel Race serius. “Sederhana, primitif, luasitulah Afrika.” Aku mengangguk membenarkannya. “Anda menyukainya, bukan?” tanyaku. “Ya. Tapi kalau kita tinggal di sini lama-lamakita akan menjadi kejam. Kita lalu menganggap hidup atau mati enteng saja.” “Ya,” kataku, aku jadi teringat Harry Rayburn. Begitulah dia. “Tapi tidak kejam terhadap yang lemah, bukan?” “Pendapat orang berbeda tentang penilaian apa yang disebut ‘yang lemah’ itu, Nona Anne.” Nada bicaranya yang serius hampir membuatku terkejut. Aku merasa bahwa sedikit sekali yang kuketahui tentang laki-laki di sampingku ini. “Maksud saya, anak-anak dan anjing.” “Saya sama sekali tak pernah kejam terhadap anak-anak dan anjing. Apakah kaum wanita tidak Anda golongkan pada ‘yang lemah’ itu?” Aku berpikir. “Tidak, saya rasa tidakmeskipun mereka memang lemah. Maksud saya zaman sekarang ini. 249 Papa selalu berkata bahwa pada awalnya, pria dan wanita berkelana di’ dunia bersama-sama, dengan kekuatan yang samaseperti singa dan harimau.”
“Dan jerapah?” sambung Kolonel Race dengan licik. Aku tertawa. Semua orang mengolok-olokkan jerapah itu. “Juga jerapah. Soalnya jerapah juga binatang nomad. Baru setelah manusia menetap dalam kelompokkelompok, dan kaum wanita menjalankan pekerjaan tertentu sementara pria mengerjakan yang lain, wanita lalu menjadi lemah. Tapi sebenarnya, pada dasarnya, manusia tetap sama-maksud saya, kita merasa sama. Dan oleh karena itulah wanita memuja kekuatan fisik kaum pria, yang pernah pula mereka miliki tapi kemudian tidak lagi.” “Jadi sebenarnya semacam pemujaan terhadap leluhur?” “Ya, semacam itulah.” “Dan apakah Anda benar-benar percaya bahwa memang begitu keadaannya? Maksudku, mengenai pemujaan oleh kaum wanita itu?” “Saya rasa itu benarbila kita mau jujur. Kita berpikir bahwa yang kita kagumi adalah sifat-sifat moral, padahal bila kita jatuh cinta, kita kembali t pada sifat primitif di mana sifat-sifat fisiklah yang kita anggap paling penting. Tapi saya rasa bukan sampai di situ saja; bila kita hidup dalam keadaan primitif, itu tak apa-apa. Tapi kita tidak hidup dalam alam primitifjadi akhirnya, hal-hal yang 250 lain yang menang. Apa-apa yang seolah-olah dikalahkan, itu yang sebenarnya selalu menang, bukan? Mereka menang dalam hal yang terpenting. Sebagaimana dikatakan dalam Injil, bagaimana kita kehilangan kehidupan kita dan kemudian menemukannya kembali.” “Akhirnya kita jatuh cinta,” kata Kolonel Race hati-hati, “lalu putus cinta, itukah maksudmu?” “Tidak hanya itu, tapi kira-kira begitulah.” “Tapi kurasa kau belum pernah putus cinta, Nona Anne?” “Memang,” kuakui terus terang. “Juga belum pernah jatuh cinta?” Aku tak menjawab. Mobil tiba di tempat tujuan, dan percakapan kami terhenti. Kami turun, lalu mulailah kami mendaki dengan lambat ke puncak yang bernama World’s View. Lagi-lagi aku merasa tak enak bersama Kolonel Race. Pikirannya diselubungi-nya dengan baik di balik mata hitamnya yang tak tertembusi. Aku agak takut padanya. Dia selalu membuatku takut. Aku tak pernah tahu bagaimana aku harus bersikap terhadapnya. Kami mendaki tanpa berkata-kata, sampai kami tiba di tempat di mana Rhodes terbaring, dikawal oleh batu-batu raksasa. Suatu tempat yang aneh dan mengerikan, yang tak banyak dikunjungi manusia, dan selalu menyanyikan lagu-lagu tentang keindahan yang masih murni.
Beberapa lamanya kami duduk di situ tanpa berbicara. Lalu kami turun lagi, tapi kami agak 251 menyimpang dari jalan semula. Kadang-kadang kami harus merayap dengan susah-payah, dan. suatu kali kami tiba di suatu lereng atau karang tajam yang hampir tegak lurus. Kolonel Race turun dulu, lalu berbalik akan menbantuku. “Sebaiknya kuangkat kau,” katanya tiba-tiba, lalu diangkatnya aku dengan gerak cepat. Aku merasakan kekuatan tenaganya, waktu aku diletakkannya kembali dan kemudian dilepaskan dari cengkeramannya. Dagingnya dari besi dan ototnya dari baja. Lagi-lagi aku merasa takut, terutama karena dia tak bergerak untuk menjauh. Dia berdiri tepat di hadapanku, menatap wajahku. “Apa sebenarnya yang kaulakukan di sini, Anne Beddingfeld?” tanyanya mendadak. “Saya seorang gipsy yang sedang mengembara.” “Ya, itu benar sekali. Menjadi koresponden surat kabar, itu hanya dalih saja, bukan? Kau tidak berjiwa wartawan. Kau bekerja hanya bagi dirimu sendirikau ingin menggapai kehidupan. Tapi bukan hanya itu,” Aku disuruhnya mengatakan siapa aku? Aku takuttakut. Aku menatap wajahnya lurus-lurus. Mataku tak mampu menyimpan rahasia seperti matanya, tapi mataku bisa menyatakan perang pada musuh. “Dan Anda sendiri, apa yang Anda kerjakan di sini, Kolonel Race?” tanyaku menantang. Sesaat kupikir dia tidak akan menjawab. Dia 252 kelihatan terkejut. Akhirnya dia berbicara, dan agaknya kata-katanya membuatnya senang. “Mengejar ambisi,” katanya. “Itu sajamengejar ambisi. Ingatlah, Nona Beddingfeld, karena ambisius setan jatuh ke dalam neraka.” “Saya dengar,” kataku lambat-lambat, “Anda seorang petugas Pemerintahbahwa Anda bekerja pada Dinas Rahasia. Benarkah itu?” Entah hanya fantasiku saja, atau mungkin dia memang bimbang sesaat sebelum dia menjawab. “Percayalah, Nona Beddingfeld, bahwa saya kemari semata-mata sebagai seorang pribadi yang bepergian untuk kesenanganku sendiri.” Setelah jawabannya kupikirkan lagi, kusadari bahwa kata-katanya itu punya arti ganda. Mungkin memang begitu yang diharapkannya. Kami kembali ke mobil tanpa berbicara. Setengah perjalanan kembali ke Bulawayo, kami berhenti
untuk minum teh di suatu bangunan yang agak primitif, di pinggir jalan. Pemiliknya sedang menggali di kebun, dan kelihatan jengkel karena diganggu. Tapi dengan ramah dijanjikannya untuk berusaha memberi kami minum. Setelah menunggu lama sekali, dibawakannya kami sedikit kue yang sudah setengah basi, dan teh yang hangat-hangat kuku. Lalu orang itu menghilang lagi di kebunnya. Baru saja dia keluar, kami langsung dikerubuti kucing. Ada enam ekor jumlahnya, semua mengeongngeong memelas. Suara mereka menulikan telinga. Kujatuhkan beberapa potong kue. 253 Mereka melahapnya dengan rakus. Kutuang semua susu yang ada ke sebuah lepek, dan kucing-kucing itu pun berebutan menjilatinya. “Aduh,” seruku dengan rasa marah, “kucing-kucing ini kelaparan sekali! Jahat sekali! Tolong, tolong pesankan susu lagi dan beberapa potong kue.” Tanpa berkata apa-apa Kolonel Race pergi memenuhi perintahku. Kucing-kucing itu mulai mengeong lagi. Kolonel Race kembali dengan sebuah mangkuk besar berisisusu. Kucing-kucing itu menjilatinya rampai licin. Aku bangkit dengan penuh tekad. “Saya akan membawa pulang semua kucing itusaya tidak akan meninggalkannya di sini.” “Jangan berbuat yang bukan-bukan, Anak manis. Kau tidak akan bisa membawa enam ekor kucing dan lima puluh binatang kayu.” “Biar saja binatang-binatang kayu itu. Kucing-kucing ini hidup. Saya akan membawanya pulang.” “Kau tak boleh berbuat begitu.” Aku menatapnya dengan benci, tapi dia berkata lagi, “Kau pasti menganggapku kejamtapi kita tak bisa hidup dengan merasa sentimentil terhadap hal-hal yang begini. Tak ada gunanya berkerasaku tetap melarangmu membawa binatang-binatang itu. Ingat ini negeri primitif, dan aku lebih kuat daripadamu.” Aku selalu mau mengakui kekalahanku. Aku kembali ke mobil dengan menangis. 254 “Mungkin kebetulan hari ini mereka sedang kekurangan makanan,” katanya menghibur. “Istri laki-laki itu sedang pergi ke Bulawayo untuk membeli persediaan. Jadi semuanya akan beres. Apalagi, kau pasti tahu bahwa dunia ini penuh dengan kucing-kucing yang kelaparan.” “Jangantak usah dijelaskan,” kataku dengan kasar. “Aku mengajarkan padamu untuk menyadari kehidupan sebagaimana adanya. Aku mengajarimu untuk bersikap keras dan tak mengenal belas kasihanseperti aku. Itulah rahasia kekuatandan rahasia keberhasilan.” “Aku lebih suka mati daripada jadi keras,” kataku geram.
Kami masuk ke mobil dan berangkat. Perlahan-lahan aku menguatkan diriku lagi. Aku sangat terkejut waktu tiba-tiba dia menggenggam tanganku. “Anne,” katanya dengan lembut, “aku menginginkanmu. Maukah kau kawin denganku?” Aku terpana. “Oh, tidak,” gagapku. “Tak bisa.” “Mengapa tidak?” “Saya suka pada Anda, tapi tidak untuk itu. Saya tak pernah berpikir tentang Anda dengan cara seperti itu.” “Oh, begitu. Itukah satu-satunya alasanmu?” Aku harus jujur. Aku tahu bahwa itu harus kulakukan terhadapnya. “Bukan,” kataku, “saya mencintai pria lain.” 255 “Oh, Begitu,” katanya lagi. “Lalu apakah itu berawalwaktu aku pertama kali melihatmudi Kilmorden}” “Tidak,” bisikku. “Setelah itu.” “Oh, begitu,” katanya untuk ketiga kalinya, tapi kali ini dalam suaranya terdengar sesuatu yang membuatku menoleh padanya. Wajahnya lebih keras, tak pernah aku melihatnya seperti itu. “Apaapa maksud Anda?” tanyaku ragu. Dia memandangku dengan tajam, dengan sikap menguasai. “Tak apa-apahanya sekarang aku tahu apa yang harus kuperbuat.” Bergidik aku mendengar kata-katanya itu. Di balik kata-kata itu terdengar adanya tekad yang tak aku mengertidan aku jadi takut. Tak ada di antara kami yang berbicara lagi, sampai kami tiba di hotel. Aku langsung pergi mendapatkan Suzanne. Dia sedang berbaring di tempat tidur, membaca. Sama sekali tak kelihatan bahwa dia sakit kepala. “Di sinilah terbaring si pengganggu orang-Orang yang sedang bercintaan,” katanya. “Dengan nama lain, si pelindung yang tahu diri. Tapi, Anne, ada apa?” Tangisku meledak. Aku lalu bercerita tentang kucing-kucing tadiaku merasa tak adil untuk bercerita tentang Kolonel Race. Tapi Suzanne penglihatannya tajam. Kurasa dia melihat bahwa sebenarnya ada yang lebih dari itu. 256
‘Kau tak masuk angin, kan, Anne? Memang tak masuk akal, mengingat udara yang begini panas. Tapi kau kelihatan menggigil.” “Tak apa-apa,” kataku. “Hanya sarafku sajaatau barangkali ada orang yang menginjak kuburku. Aku terus-menerus merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan.” “Jangan bodoh,” kata Suzanne tegas. “Mari kita berbicara tentang sesuatu yang menarik, Anne, mengenai berlian-berlian itu” “Mengapa berlian-berlian itu?” “Aku yakin bahwa permata-permata itu aman dalam tanganku. Setidaknya sampai saat ini. Tak seorang pun menyangka bahwa permatapermata itu ada di antara barang-barangku. Tapi karena orang-orang sekarang sudah tahu bahwa kau dan aku bersahabat, aku pasti juga akan dicurigai.” “Tapi tak seorang pun tahu bahwa berlian-berlian itu ada dalam tabung film itu,” bantahku. “Itu suatu tempat penyembunyian yang sempurna, dan kurasa kita tak bisa berbuat lebih baik.” Dia membenarkan aku dengan ragu, tapi dikatakannya bahwa kami masih akan membicarakannya lagi setiba kami di Air Terjun. Kereta api kami berangkat pukul sembilan. Sir Eustace masih marah-marah, dan Nona Pettigrew kelihatan menahan diri. Kolonel Race sudah seperti biasa lagi. Aku jadi merasa bahwa aku hanya mengkhayalkan percakapan yang terjadi dalam perjalanan kami pulang itu. Malam itu aku tidur di tempat tidur yang keras, 257 dan tak lienti-hentinya diganggu mimpi yang mengerikan. Aku bangun dengan kepala pusing. Aku lalu pergi ke gerbong terbuka. Di situ terasa segar dan segalanya tampak indah. Sejauh mata memandang, tampak bukit-bukit penuh hutan yang kelihatan bergoyang-goyang. Aku suka melihatnyakurasa itu lebih indah daripada semua tempat yang pernah kulihat. Saat itu aku merasa, alangkah asyiknya bila aku punya pondok kecil di tengah-tengah semak-semak itu dan hidup di situ untuk selamalamanyaselamanya…. Menjelang setengah tiga, Kolonel Race memanggilku dari ‘kantor*. Ditunjukkannya selapis kabut putih berbentuk buket, yang rrielayang-layang di udara di atas sebagian dari semak-semak itu. “Itu semburan air terjun,” katanya. “Kita hampir sampai ke sana.” Aku masih diliputi perasaan aneh dan mengganggu, gara-gara mimpiku semalam. Aku dilanda perasaan yang kuat sekali, bahwa aku sudah pulang…. Pulang ke tempat ini! Padahal aku belum pernah kemariatau mungkinkah aku berada di sini, dalam mimpiku? Kami berjalan dari stasiun kereta api ke hotel. Bangunan itu besar, bercat putih, dan seluruhnya dipasangi kawat halus pencegah nyamuk. Di tempat itu tak ada jalan, tak ada rumah-rumah. Kami keluar ke beranda dan berseru kagum. Di sana, kira-kira setengah mil dari tempat kami berdiri, tampaklah Air Terjun. Belum pernah aku 258
melihat sesuatu yang seagung dan seindah itutidak akan pernah lagi. “Anne, kau kelihatan aneh,” kata Suzanne, waktu kami sedang makan siang. “Aku belum pernah melihatmu seperti sekarang.” Dia menatapku dengan pandangan ingin tahu. “Apa iya?” aku tertawa. Tapi aku merasa bahwa tawaku tak wajar. “Itu karena aku suka semuanya ini.” Dahinya kelihatan agak berkerutdia cemas. Ya, aku memang bahagia, tapi kecuali itu aku juga punya perasaan aneh bahwa aku sedang menantikan sesuatusesuatu yang akan terjadi secepatnya. Aku merasa tercekamaku gel al Setelah minum teh, kami keluar berjalan-jalan. Kami naik lori yang didorong oleh orang-orang kulit hitam di atas rel, melalui jalan-jaLm setapak, ke jembatan. Pemandangannya indah sekali, jurangnya lebar dan air terjun dengan derasnya. Tampak tirai kabut dan semburan dihadapan kami, yang sekali-sekali terkuak sebentar, memperlihatkan arus air yang akan terjunkemudian terkatup lagi. Suatu misteri yang tak tertembusi. Menurut aku, itulah yang merupakan pesona air terjun ituyaitu keadaannya yang tak mudah dimengerti. Kita selalu merasa bahwa kita akan melihat sesuatu tapi bayangan kita itu tak pernah terjadi. Kami menyeberang melalui jembatan, dan berjalan perlahan-lahan di jalan setapak yang di kirikanannya dibatasi dengan batu putih. Jalan seta— 259 pak itu menuju ke tepi jurang yang dalam. Akhirnya kami tiba di tempat terbuka. Di sebelah kiri ada jalan setapak yang menuju ke bawah, ke jurang. “Ini namanya jurang palma,” Kolonel Race menjelaskan “Mau kalian turun ke sana? Atau besok saja? Memang makan waktu lama menu-runinya, dan lebih lama lagi mendakinya kembali.” “Besok saja,” kata Sir Eustace dengan tegas. Aku tahu bahwa dia sama sekali tak suka olahraga berat. Sekembali dari situ, Sir Eustace berjalan di depan. Di jalan kami berpapasan dengan seorang pria pribumi yang bertubuh bagus, berjalan melenggang. Di belakangnya berjalan seorang wanita menyunggi semua alat rumah tangga bertumpuk-tumpuk di atas kepalanya! Termasuk wajan. “Ah, aku selalu lupa membawa kamera pada saat aku membutuhkannya,” gerutu Suzanne. “Kesempatan seperti itu akan sering Anda pe/oleh, Nyonya Blair,” kata Kolonel Race. “Jadi tak usah mengeluh.” Kami tiba kembali di jembatan. “Maukah kalian pergi ke hutan pelangi sekarang?” kata Kolonel Race lagi. “Atau apakah kalian takut
menjadi basah?” Suzanne dan aku ikut. Sir Eustace kembali ke hotel. Aku agak kecewa akan hutan pelangi itu. Aku tak melihat pelangi, dan kami basah kuyup. 260 Tapi sekali-sekali kami bisa melihat sekilas Air Terjun yang ada di seberangnya, dan kami pun menyadari betapa luasnya Air Terjun itu. Ah, Air Terjun tercinta, betapa aku mencintai dan memujamu untuk selama-lamanya! Kami kembali ke hotel. Kami hanya sempat berganti pakaian untuk makan malam. Kelihatannya Sir Eustace tak suka pada Kolonel Race. Suzanne dan aku mengajaknya bergurau dengan halus, tapi aku merasa tak puas. Setelah makan malam, dia langsung masuk ke kamar duduknya, dengan menyeret Nona Pettigrew. Suzanne dan aku bercakap-cakap sebentar dengan Kolonel Race. Kemudian sambil menguap lebar, Suzanne berkata bahwa dia ingin tidur. Aku tak mau ditinggalkan berduaan dengan Kolonel Race, maka aku bangkit juga dan pergi ke kamarku. Tapi perasaanku masih kacau sekali, dan aku belum bisa tidur. Aku bahkan tidak mengganti pakaianku. Aku hanya bersandar di kursi, dan membiarkan diriku melamun. Sementara itu aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang makin lama makin mendekat…. Terdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkejut. Aku bangkit dan berjalan ke pintu. Seorang anak lakilaki berkulit hitam mengulurkan secarik kertas. Surat itu dialamatkan padaku. Aku tak, kenal tulisan tangan siapa itu. Setelah mengambilnya, aku masuk kembali. Lama aku berdiri dan memegangi kertas itu. Akhirnya surat itu kubuka. Surat itu pendek sekali! 261 “Aku harus bertemu denganmu. Aku tak berani ke hotel. Tolong datang ke padang rumput di dekat jurang palma. Kuharap kau mau datang, demi kenang-kenangan Kamar 17. Dari laki-laki yang kaukenal dengan nama Harry Rayburn.” Jantungku berdebar keras hingga aku merasa tercekik. Jadi dia ada di sini! Oh, aku tahusudah tahu selama ini! Aku selalu merasa dia ada di dekatku. Sama sekali tanpa-kusadari, aku telah mendatangi tempat persembunyiannya. Kuikatkan sehelai scarf di kepalaku, dan aku menyelinap keluar dari pintu. Aku harus hati-hati. Dia sedang dikejar-kejar. Tak seorang pun boleh melihatku menjumpainya. Aku mengendap-endap pergi ke kamar Suzanne. Dia sudah tidur nyenyak. Kudengar bunyi napasnya yang teratur. Bagaimana dengan Sir Eustace? Aku berhenti di luar pintu kamar duduknya. Dia sedang mendiktekan surat pada Nona Pettigrew. Kudengar suara datar wanita itu mengulangi, “Oleh karenanya saya memberanikan diri untuk mengusulkan, bahwa dalam menangani masalah buruh kulit berwarna” Dia berhenti sebentar supaya Sir Eustace melanjutkan, dan kudengar Sir Eustace menggeram marah. Aku menyelinap lagi. Kamar Kolonel Race Kosong. Aku tidak melihatnya di ruang duduk * umum.
Padahal dialah yang paling kutakuti! Tapi 262 aku tak bisa membuang waktu. Aku cepat-cepat menyelinap keluar hotel, dan aku melewati jalan setapak ke arah jembatan. Kuseberangi jembatan itu, dan menunggu dalam gelap. Bila ada orang yang membuntutiku, aku pasti bisa melihatnya menyeberangi jembatan itu. Tapi waktu berlalu, dan tak ada orang yang datang. Aku tidak dibuntuti. Aku berbalik, lalu melewati jalan setapak lagi ke padang rumput. Baru enam langkah aku maju, tiba-tiba aku berhenti. Kudengar suara gemeresik di belakangku. Tak mungkin seseorang yang membuntutiku dari hotel. Dia pasti seseorang yang sudah berada di sini, menunggu aku. Dan pada saat itu juga, tanpa sebab dan alasan, melainkan hanya berdasarkan keyakinan naluriku saja, aku tahu bahwa akulah yang terancam. Perasaan itu sama dengan yang kuhayati di Kilmorden malam itunaluri yang memperingatkan akan adanya bahaya. Aku menoleh dengan tajam ke balik bahuku. Tak ada apa-apa. Aku maju selangkah, dua langkah. Lagi-lagi kudengar bunyi gemeresik itu. Sambil tetap berjalan, aku menoleh ke belakang lagi. Sesosok tubuh laki-laki keluar dari kegelapan. Dia tahu bahwa aku melihatnya. Dia melompat ke depan dan mengejarku. Hari terlalu gelap untuk mengenali orang itu. Aku hanya bisa melihat bahwa dia tinggi, dan dia t orang Eropa, bukan orang pribumi. Aku lari sekuat tenaga. Kudengar dia mengejarku. Aku lari 263 makin cepat, sambil terus memperhatikan batu-batu putih penunjuk jalan, supaya aku tahu ke mana aku harus menuju, karena malam itu gelap tanpa bulan. Lalu tiba-tiba kakiku kehilangan tempat berpijak. Kudengar suara orang di belakangku itu tertawa. Tertawa jahat sekali. Tawa itu terdengar jelas, sementara aku jatuh terjungkalterusterus ke bawah menuju kehancuran. 264
BAB XXV Perlahan dan dengan rasa sakit, aku sadar. Terasa kepalaku sakit, dan bagian bawah lengan kiriku nyeri waktu aku mencoba bergerak. Segalanya terasa samar bagaikan dalam mimpi. Gambarangambaran mimpi buruk terbayang di hadapanku. Aku merasa jatuhjatuh lagi. Suatu saat, wajah Harry Rayburn seakan-akan mendatangiku dari balik kabut. Rasanya seperti sungguh-sungguh. Lalu wajah itu menjauh lagi dan mengejekku. Pada saat lain, rasanya seseorang meletakkan cangkir ke bibirku dan aku minum. Kemudian tampak lagi wajah hitam menyeringai padaku wajah setan, itu perasaanku dan aku berteriak. Lalu mimpi-mimpimimpi-mimpi panjang yang mengerikan, di mana aku sia-sia mencari Harry” Rayburn untuk memberinya peringatanperingatan tentang apa? Aku sendiri tak tahu. Tapi bahaya itu adasuatu bahaya besardan hanya aku sendiri yang bisa menyelamatkannya. Kemudian gelap lagi. Kegelapan yang kusyukuri, dan tidur nyenyak. Akhirnya aku bangun lagi dengan penuh kesadaran. Mimpi buruk yang panjang itu telah 265 berakhir. Aku ingat betul apa yang telah terjadi: kepergianku yang terburu-buru dari hotel untuk menemui Harry, laki-laki dalam gelap, dan saat mengerikan itu, yaitu saat aku jatuh…. Entah karena suatu keajaiban, atau karena sebab lain, aku tak mati. Aku luka-luka, aku kesakitan dan lemah sekali, tapi aku masih hidup. Tapi di manakah aku? Dengan susah-payah kugerakkan kepalaku untuk melihat sekelilingku. Aku berada dalam sebuah kamar kecil berdinding kayu kasar. Di dinding bergantungan kulit-kulit binatang dan beberapa buah gading. Aku terbaring di sebuah dipan yang kasar, diselimuti dengan kulit binatang pula. Lengan kiriku dibalut, rasanya kaku dan tak nyaman. Mula-mula kupikir bahwa aku seorang diri, tapi kemudian kulihat sosok seorang laki-laki yang duduk di antara aku dan jendela. Dia sedang memandang ke luar jendela. Dia tak bergerak, seolah-olah dia terukir dari kayu. Rasanya aku mengenali bentuk kepalanya yang berambut hitam dan dipangkas pendek itu. Tapi aku tak mau disesatkan oleh khayalanku lagi. Tiba-tiba dia menoleh, dan aku menahan napasku. Dia adalah Harry Rayburn. Ya, Harry Rayburn sendiri. Dia bangkit lalu mendatangiku. “Merasa lebih enak?” tanyanya agak kaku. Aku tak mampu menjawab. Air mataku mengalir deras. Aku masih lemah, namun kugenggam tangannya dengan kedua belah tanganku. Alangkah senangnya bila aku bisa mati seperti ini, 266 sementara dia berdiri dan memandangi aku dengan pandangan mesra. “Jangan menangis, Anne. Jangan menangis. Kau sudah selamat. Tak ada orang yang bisa menyakitimu lagi.” - Dia pergi mengambil sebuah cangkir dan membawanya padaku. “Minum sedikit susu ini.”
Aku minum dengan patuh. Dia berbicara dengan nada rendah dan membujuk, seolah-olah berbicara dengan anak kecil. “Jangan bertanya apa-apa dulu sekarang. Tidurlah lagi. Nanti kau akan menjadi lebih kuat. Aku akan pergi kalau kau lebih suka.” “Jangan,” kataku mendesak. “Jangan, jangan.” “Kalau begitu aku akan menungguimu.” Diambilnya sebuah bangku kecil, diletakkan-‘nya di sisiku lalu duduk di situ. Tanganku digenggamnya, dan dia membujuk dan menghiburku. Lalu aku pun tertidur lagi. Waktu itu mungkin malam. Waktu aku bangun lagi, matahari sudah tinggi. Aku seorang diri dalam pondok itu, tapi waktu aku bergerak, seorang wanita pribumi yang tua datang berlari. Wajahnya seram dan mengerikan, tapi dia tertawa membesarkan hatiku. Dibawakannya aku sebaskom air, lalu dibantunya aku mencuci muka dan tanganku. Lalu dibawakannya aku sup semangkuk besar. Kuhabiskan sup itu sampai bersih! Aku menanyakan beberapa pertanyaan padanya, tapi dia hanya tertawa dan mengangguk saja, dan 267 mengoceh dalam bahasa yang tak kukenal. Maka aku berkesimpulan bahwa dia tak bisa berbahasa Inggris. Tiba-tiba dia bangkit lalu mundur dengan sikap hormat, waktu Harry Rayburn masuk. Harry mengangguk mengisyaratkan bahwa dia boleh pergi. Dia keluar, dan tinggallah kami berduai Harry tersenyum padaku. “Sudah benar-benar sembuh kau hari ini?” “Ya, sudah. Tapi masih bingung sekali. Di mana aku?” “Kau berada di sebuah pulau kecil di Sungai Zambesi, kira-kira empat mil di hulu Air Terjun.” “Apakahapakah teman-temanku tahu bahwa aku di sini?” Dia menggeleng. “Aku harus mengabari mereka.” “Tentu, boleh saja kalau kau mau. Tapi kupikir sebaiknya kau menunggu sampai kau sudah lebih kuat.” “Mengapa?” Dia tak langsung menjawab, jadi aku berkata lagi, “Berapa lama sudah aku di sini?” Jawabnya sangat mengejutkan. “Hampir sebulan.”
“Aduh!” seruku. “Aku harus mengabari Suzanne. Dia tentu kuatir sekali.” . “Siapa Suzanne?” “Nyonya Blair. Aku tinggal sehotel dengan dia, dengan Sir Eustace dan Kolonel Racetapi kau pasti sudah tahu itu.” 268 Dia menggeleng. “Aku tak tahu apa-apa. Hanya kebetulan sekali aku menemukan kau, tersangkut di celah dua cabang pohon. Kau tak sadar dan lenganmu terpelecok.” “Di. mana pohon itu?”* * “Menjulur di atas jurang. Kalau saja pakaianmu tidak tersangkut pada dahan-dahan pohon itu, kau pasti sudah hancur remuk di dasar jurang.” Aku menggigil. Kemudian aku teringat sesuatu. “Katamu kau tak tahu bahwa aku di sini. Bagaimana dengan surat itu?” “Surat apa?” * “Surat yang kaukirimkan padaku, memintaku untuk menemuimu di padang rumput itu.” Dia memandangiku dengan terbelalak. “Aku tidak mengirim surat.” Wajahku jadi terasa merah seluruhnya. Untunglah dia kelihatannya tidak memperhatikan. “Bagaimana mungkin kau berada di tempat itu begitu kebetulan?” tanyaku dengan sikap tak acuh.. “Dan apa pula yang kauperbuat di tempat seperti ini?” “Aku tinggal di sini,” katanya dengan sederhana. “Di pulau ini?” “Ya, aku datang kemari setelah Perang. Kadang-kadang aku membawa rombongan-rombongan dari hotel, naik perahuku. Tapi kebutuhan hidupku sedikit sekali, dan aku lebih sering hidup seenakku saja.” 269 “Kau tinggal di sini seorang diri saja?” “Aku sama sekali tidak butuh hidup bermasyarakat,” sahutnya dengan nada dingin. “Menyesal sekali aku telah membuatmu repot,” sergahku, “tapi dalam hal ini aku tak punya pilihan lain.” Aku terkejut melihat matanya agak bersinar.
“Sama sekali tak merepotkan. Kau hanya kusampirkan saja di bahuku, seperti sekarung arang, dan kubawa ke perahuku. Persis seperti seorang laki-laki primitif di Zaman Batu.” “Tapi dengan alasan lain,” sambungku. Kali ini dia yang wajahnya memerah, betul-betul merah. Warna kecoklatan pada wajahnya tersapu oleh warna merah itu. “Tapi kau belum lagi menceritakan mengapa kau sampai berkelana seenakmu, dan kemudian menemukan aku?” Aku buru-buru berkata untuk menutupi rasa malunya. “Aku tak bisa tidur. Aku gelisahterganggu perasaanku mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi. Akhirnya kuambil perahuku -dan aku bersampan ke arah Air Terjun. Aku sudah . mendekati jurang palma waktu kudengar jeritmu.” “Mengapa tak kauminta bantuan dari hotel? Daripada membawaku sejauh ini?” tanyaku. Wajahnya memerah lagi. “Aku mengerti. Mungkin tindakanku kauanggap lancang dan tak bisa dimaafkantapi kupikir, sampai sekarang pun kau belum menyadari ba— 270 haya yang menghadangmu! Kaupikir aku harus mengabari teman-temanmu serombongan? Baik sekali teman-temanmu itu! Mereka membiarkan kau dijebak ke dalam kematian. Aku lalu bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku bisa merawatmu lebih baik daripada siapa pun juga. Tak ada seorang pun datang ke pulau ini. Kusuruh si Batani datang untuk merawatmu. Aku pernah menyembuhkannya dari demam panas. Dia setia sekali padaku. Dia tidak akan membuka mulut. Aku bisa saja menahanmu di sini selama berbulan-bulan tanpa ada seorang pun yang tahu.” Aku bisa saja menahanmu di sini selama berbulan-bulan tanpa ada seorang pun yang tahu! Katakatanya membuatku senang. “Tindakanmu tepat,” kataku dengan tenang. “Aku tidak akan mengabari siapa-siapa. Sehari dua hari lebih lama merasa kuatir tak apa-apa. Apalagi mereka bukan keluargaku. Mereka sebenarnya hanya kenalan biasajuga Suzanne. Dan siapa pun yang menulis surat itu, pasti sudah tahu banyak! Itu bukan perbuatan orang luar.” Akhirnya aku bisa menyinggung soal surat itu tanpa merasa malu. “Aku tak mau dianggap mengorek” katanya ragu. “Tak seorang pun bisa mengorek aku,” sahutku tegas. ‘Tapi tak ada salahnya kau mendengarnya.” “Apakah kau selalu berbuat semaumu?” “Biasanya begitu,” sahutku hati-hati. Pada orang lain aku akan menjawab, “Selalu!”
271 “Kasihan suamimu,” katanya tanpa kuduga. “Jangan kuatir,” tukasku. “Aku tak punya niat menikah dengan siapa pun, kecuali kalau aku tergilagila pada seorang pria. Tapi sebenarnya tak ada yang lebih menyenangkan hati seorang wanita daripada melakukan semua yang tidak disukainya, demi seseorang yang dicintainya. Dan makin keras hati wanita itu, makin suka dia melakukannya.” “Kurasa aku tak sependapat denganmu. Biasanya yang sebaliknyalah yang terjadi.” Dia berbicara dengan nada mencemooh. “Benar,” seruku bersungguh-sungguh. “Itulah sebabnya begitu banyak perkawinan yang tak bahagia. Semua karena kesalahan kaum pria. Atau mereka terlalu mengalah pada istri merekadan yang wanita lalu membenci merekaatau mereka sangat egois, bertahan pada maunya sendiri saja, dan pantang mengucapkan terima kasih. Para suami yang berhasil membuat istri-istrinya melakukan apa yang mereka ingini, selalu ribut-ribut karena mereka melakukannya. Kaum wanita memang suka dikuasai, tapi mereka benci kalau pengorbanan mereka tidak dihargai. Sebaliknya, laki-laki tidak terlalu menghargai wanita yang selalu manis padanya. Bila aku menikah, aku akan lebih banyak menjadi setan, tapi sekali-sekali, tanpa diduga suamiku, akan kuperlihatkan padanya bahwa aku juga bisa menjadi bidadari yang sempurnai” Harry terbahak. 272 “Kalau begitu hidup perkawinanmu akan penuh dengan cakar-cakaran!” “Orang-orang yang saling mencintai memang selalu berkelahi,” kataku meyakinkannya. “Karena mereka saling tidak mengerti. Bila mereka sudah saling mengerti, mereka tidak saling mencinta lagi.” “Apakah sebaliknya juga berlaku? Apakah orang-orang yang selalu berkelahi juga saling mencinta?” “Enentah ya,” kataku gugup sesaat. Dia berbalik menghadap perapian. “Mau sup lagi?” tanyanya dengan santai. “Mau. Aku lapar sekali, rasanya kuda Nil pun akan habis kumakan.” “Itu pertanda baik.” Dia menyibukkan diri menyalakan api. Aku memperhatikannya. “Kalau aku sudah bisa turun dari dipan ini, aku akan masak untukmu,” aku berjanji. “Kurasa kau tak tahu apa-apa tentang masak-memasak.”
“Kalau sekadar memanasi makanan dari kaleng, sekurang-kurangnya aku sama pandainya dengan kau,” balasku, sambil menunjuk deretan kaleng di atas perapian. “Bisa saja kau membalas,” katanya lalu tertawa. Seluruh wajahnya berubah kalau dia tertawa. Wajah itu menjadi kekanakan, riangmenjadi pribadi yang lain. Aku makan sup dengan enak. Sambil makan 273 kuingatkan dia bahwa dia belum memberikan nasihatnya. “Oh, ya. Ini yang akan kukatakan. Kalau aku jadi kau, aku akan tinggal saja di sini dengan tenang dan tersembunyi, sampai kuat. Musuh-musuhmu akan menyangka bahwa kau sudah mati Mereka tidak akan heran kalau tak bisa menemukan mayatmu. Tubuhmu dianggap hancur remuk terbanting di batu karang dan langsung dihanyutkan oleh arus yang kuat.” Aku ngeri. “Segera setelah kesehatanmu pulih kembali, dengan tenang kau bisa melanjutkan perjalananmu ke Beira. Di sana kau bisa naik kapal yang akan membawamu kembali ke Inggris.” “Bukan main jinaknya,” bantahku mencemooh. “Bicaramu seperti anak sekolah yang pendek akal.” “Aku bukan anak sekolah yang pendek akal,” seruku dengan marah. “Aku seorang wanita.” Dia memandangku dengan air muka yang tak dapat kuduga, waktu aku duduk dengan darah yang terasa tersembur ke wajahku dan ngotot membantahnya. “Demi Tuhan, kau memang seorang wanita,” gumamnya, lalu segera keluar. - Aku cepat sembuh. Aku mengalami dua cedera, yaitu benturan di kepala dan lengan yang terkilir. Yang di lengan yang lebih parah, dan orang yang menyelamatkan aku bahkan menyangka bahwa 274 lenganku itu patah. Namun setelah diperiksanya dengan teliti, dia yakin bahwa tidaklah demikian halnya. Dan meskipun sakit sekali, cepat juga aku bisa menggunakannya kembali. Itu merupakan masa yang aneh. Kami terpencil dari dunia luar, berduaan saja seperti Adam dan Hawatapi keadaan kami lain! Batani sibuk hilir-mudik, setia seperti anjing, tanpa perhitungan apa-apa. Aku berkeras untuk memasak, pokoknya apa yang bisa kulakukan dengan sebelah tangan. Harry sering keluar, tapi kadang-kadang kami berbaring berjam-jam di keteduhan pohon-pohon kelapa. Kami bercakap-cakap, kami bertengkarmembahas apa saja di kolong langit ini. Kami bertengkar dan berdamai lagi. Kami sering bertengkar, tapi di antara kami telah timbul suatu persahabatan yang tulus dan kekal, seperti yang tak pernah kuduga akan bisa terjadi. Selain daripada persahabatan itu masih ada lagi sesuatu.
Aku tahu bahwa waktuku makin sempit. Segera aku cukup sehat, maka aku harus pergi. Hal itu kusadari dengan berat hati. Apakah dia akan membiarkan aku pergi? Tanpa sepatah kata pun? Tanpa memberikan suatu pertanda? Dia sering diam, dan pada saat begitu dia murung saja. Dalam keadaan begitu, biasanya dia lalu tiba-tiba melompat dan pergi seorang diri. Pada suatu malam datanglah krisis itu. Kami baru saja selesai makan, dan duduk-duduk di ambang pintu pondok. Matahari sedang terbenam. Jepit rambut merupakan kebutuhan penting 275 dalam hidupku, tapi Harry tak bisa memberikannya padaku. Jadi rambutku yang lurus dan hitam, tergerai saja sampai ke lututku. Aku duduk dengan menumpangkan daguku ke tanganku. Aku merenung. Aku tidak melihat Harry memandangiku, tapi aku merasakannya. “Kau seperti perempuan sihir, Anne,” katanya akhirnya. Dalam suaranya kudengar sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya. Diulurkannya tangannya, dan disentuhnya rambutku sebentar. Aku menggigil. Tiba-tiba dia bangkit sambil menyumpah-nyumpah. “Besok kau harus meninggalkan tempat ini. Kaudengar itu?” sergahnya. “Anne, aku tak tahan lagi. Aku hanya seorang laki-laki biasa. Kau harus pergi, Anne. Harus. Kau tidak bodoh. Kau sendiri pasti tahu bahwa keadaan tak bisa begini terus.” “Kurasa memang tidak,” kataku lambat-lambat. “Tapikita senang, bukan?” “Senang? Rasanya seperti dalam neraka!” “Seburuk itukah?” “Mengapa kau menyiksaku? Mengapa kauce-moohkan aku? Mengapa kau berbicarasambil menertawakan aku?” “Aku tidak tertawa. Dan aku tidak mencemooh. Kalau kau ingin aku pergi, aku akan pergi. Tapi kalau kau ingin aku tinggalaku akan tinggal.” “Jangan begitu!” serunya berapi-api. “Jangan goda aku, Anne. Adakah kausadari apa aku ini? Sudah dua kali menjadi penjahat. Seorang laki-laki 276 buron. Di sini orang mengenalku dengan nama Harry Parkermereka menyangka aku baru saja kembali dari perjalanan berburu ke pedalaman. Tapi pada suatu hari kelak mereka akan menduga-duga lalu curigamaka habislah aku. Kau masih sangat muda, Anne, dan cantik sekalikecantikanmu itu memabukkan laki-laki- Kau bisa mendapatkan segala-galanya di dunia inicinta, kehidupan, segalanya. Sedang bagiku, hidupku sudah berlaluhidup yang rusak, penuh cacat, penuh kepahitan.” “Kalau kau tidak menginginkan aku”
“Kau tahu betul bahwa aku menginginkan kau. Kau tahu bahwa aku mau mengorbankan nyawaku untuk bisa merengkuhmu dalam pelukanku dan membuatmu tetap di sini, tersembunyi dari dunia luar untuk selama-lamanya. Dan kau menggodaku, Anne. Kau, dengan rambutmu yang panjang seperti rambut perempuan sihir, dan matamu yang keemasan dan coklat dan hijau, yang tak pernah berhenti tertawa meskipun mulutmu cemberut. Tapi aku akan menyelamatkan dari dirimu sendiri dan dari diriku. Malam ini juga kau berangkat. Kau pergi ke Beira” “Aku tak mau ke Beira,” selaku. “Harus. Kau harus berangkat ke Beira, biarpun aku sendiri yang harus menggendongmu ke sana, dan melemparkanmu ke kapal. Kaupikir terbuat dari apa aku ini? Apa kausartgka aku tak terbangun hampir setiap malam, karena ketakutan mereka akan menangkapmu? Bukankah orang tak 277 bisa mengharapkan keajaiban selalu terjadi? Kau harus kembali ke Inggris, Anne. Dandan menikah dan hidup bahagia.” “Dengan seorang pria yang sudah mapan, yang bisa memberiku tempat berlindung yang baik, begitu, kan?” “Itu lebih baik daripadamalapetaka melulu.” “Dan bagaimana dengan kau?” Wajahnya menjadi serius dan keras. “Aku harus menyelesaikan tugasku. Jangan tanya apa itu. Kurasa kau bisa menduganya. Tapi satu hal akan kuceritakan padamuaku akan membersihkan namaku, meskipun aku harus mati dalam usaha itu. Dan aku akan mencekik sampai mati, penjahat yang sudah berusaha membunuhmu malam itu.” “Kita harus adil,” kataku. “Sebenarnya dia tidak mendorongku.” “Dia memang tak perlu melakukannya. Rencananya lebih cerdik daripada itu. Setelah kejadian itu, aku pergi ke jalan setapak itu. Semuanya kelihatan biasa-biasa saja. Tapi di tanah aku melihat bahwa batu yang membatasi jalan setapak itu telah dipindahkan letaknya. Di tepi jalan setapak itu ada semaksemak yang tinggi. Batu-batu pembatas itu diarahkannya ke semak-semak itu, hingga kau akan menyangka bahwa kau masih berada di jalan yang benar, padahal kau menuju ke jurang. Mudahmudahan saja aku bisa membalasnya!” Dia berhenti sebentar lalu berkata lagi dengan nada yang lain sekali, 278 “Kita tak pernah berbicara tentang beberapa hal, kan Anne? Tapi sekarang sudah tiba waktunya. Aku ingin kau mendengar seluruh ceritanyadari awal.” “Bila kau merasa sakit hati karena harus mengenang masa lampau, jangan ceritakan padaku,” kataku dengan suara rendah.
“Tapi aku ingin kau tahu. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan mau menceritakan bagian hidupku itu pada siapa pun. Lucu ya, bagaimana Sang Nasib memainkan perannya?” Dia diam lagi sebentar. Matahari telah terbenam, dan kegelapan malam Afrika yang bagaikan beludru, menyelimuti kami bagaikan mantel. “Ada beberapa hal yang aku tahu,” kataku dengan lembut. “Apa yang kautahu?” “Aku tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Harry Lucas.” Dia masih ragudia tak melihat padaku, dia. memandang lurus ke depan. Aku tak dapat menerka apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Tapi akhirnya disentakkannya kepalanya ke depan, seolah-olah dia membenarkan keputusannya sendiri yang tak diucapkannya. Lalu dia pun memulai kisahnya. 4ť 279
BAB XXVI “Kau benar. Namaku yang sebenarnya memang Harry Lucas. Ayahku seorang pensiunan prajurit yang datang ke Rhodesia untuk bertani. Beliau meninggal waktu aku duduk di tahun kedua di Universitas Cambridge.” “Sayang sekalikah kau padanya?” tanyaku tiba-tiba. “Ehentah, ya.” Lalu wajahnya memerah dan dia melanjutkan kisahnya dengan bernafsu, “Mengapa aku berkata begitu? Aku mencintai ayahku. Kami memang saling melempar kata-kata pailit, waktu aku bertemu dengannya terakhir kali. Kami juga sering bertengkar mengenai hidupku yang liar dan utang-utangku, tapi aku sayang pada orang tua itu. Setelah terlambat kiniaku baru tahu betapa sayangnya aku padanya.” Kemudian dengan lebih tenang dilanjutkannya, “Di Universitas Cambridge itulah aku bertemu dengan pemuda itu” “Pemuda yang bernama Eardsley itu?” “YaEardsley. Sebagaimana kauketahui, ayahnya adalah salah seorang pengusaha yang paling 280 terkemuka di Afrika Selatan. Kami berdua langsung cocok, dan kami bersahabat. Kami sama-sama menyukai Afrika Selatan, dan kesukaan kami sama pula mengenai tempat-tempat yang belum diinjak manusia di muka bumi ini. Setelah meninggalkan Universitas Cambridge, Eardsley bertengkar untuk terakhir kalinya dengan ayahnya. Orang tua itu telah dua kali melunasi utang-utangnya, dan beliau tak mau lagi. Terjadilah pertentangan hebat antara mereka berdua. Setelah habis kesabarannya, Sir Laurence menyatakan bahwa dia tak mau tahu lagi tentang putranya. Untuk sementara, anak muda itu harus mandiri. Akibatnya, seperti kauketahui, pergilah kami berdua bersama-sama ke Ajaprika Selatan, dengan tujuan mencari berlian. Talc usah kuceritakan lagi hal itu secara terinci, pokoknya kami senang sekali di sana. Kau tentu maklum bahwa banyak sekali kesulitan yang kami hadapi, tapi hidup kami senang. Kami harus hidup dengan cara mencari dulu baru makan, jauh dari cara yang lazim. Nah, di situlah kita mengenal ketulusan seorang sahabat. Di sanalah tertempa ikatan batin antara kami berdua, ikatan yang hanya bisa diputuskan oleh kematian. Sebagaimana yang diceritakan oleh Kolonel Race pada kalian, usaha kami berhasil. Kami menemukan Kimberley yang kedua di jantung hutan rimba British Guiana. Tak bisa kulukiskan betapa gembiranya kami. Yang paling berarti bukanlah nilai uang dari penemuan kami itu. Soalnya, Eardsley sudah tei biasa dengan 281 uang, dan dia tahu bahwa bila ayahnya meninggal, dia akan menjadi seorang jutawan, sedang Lucas selalu hidup miskin dan terbiasa pula akan hal itu. Jadi, yang sangat menyenangkan adalah penemuan itu sendiri.” Dia diam lagi, lalu menambahkan dengan nada seolah-olah meminta maaf.
“Kau kan tidak keberatan kalau aku menceritakannya dengan cara itu? Seolah-olah aku sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Kalau aku menoleh ke masa lalu, dan melihat kedua anak ‘muda itu, rasanya memang seolah-olah aku tidak terlibat. Aku hampir-hampir lupa bahwa salah seorang di antaranya adalahHarry Rayburn.” “Ceritakanlah dengan cara yang kausukai,” kataku, dan dia bercerita lagi, “Kami datang ke Kimberleykami memamerkan penemuan kami itu kepada siapa saja yang mau mendengarnya. Kami membawa sejumlah berlian pilihan untuk diserahkan kepada para ahli. Kemudiandi hotel di Kimberley itukami bertemu dengan perempuan itu” Aku jadi tegang, dan tanganku yang memegang daun pintu kukepalkan tanpa kusadari. “Anita Griinbergitulah namanya. Dia seorang aktris. Masih muda dan cantik sekali. Dia * kelahiran Afrika Selatan, tapi kudengar ibunya orang Hongaria. Perempuan itu misterius, dan hal itu justru merupakan daya tarik yang lebih besar bagi dua orang anak muda yang baru saja kembali dari rimba belantara. Tugas yang harus dijalankan 282 perempuan itu jadi lebih mudah. Kami dua-duanya langsung jatuh cinta padanya, dan kami berdua bersungguh-sungguh. Itu merupakan gangguan yang pertama dalam persahabatan kaminamun hal itu tetap tidak melemahkan persahabatan kami. Aku benar-benar yakin bahwa kami masing-masing akan mau mengalah untuk memberikan kesempatan pada yang seorang. Tapi bukan hanya itu permainan Anita; Setelah itu, kadang-kadang aku tak mengerti mengapa dia tak memilih, karena bukankah putra tunggal Sir Laurence Eardsley merupakan pilihan yang baik? Tapi sebenarnya adalah karena dia sudah menikahdengan juru sortir pada perusahaan De Beersmeskipun tak ada orang yang tahu. Perempuan itu pura-pura menaruh perhatian besar pada penemuan kami. Dan kami menceritakan segala-galanya padanya, dan bahkan memperlihatkan berlian-berlian kami padanya. Dia sebenarnya patut disebut ‘Delilah’dan dia memainkan perannya dengan baik sekali! “Kemudian perampokan di perusahaan De Beers terbongkar. Dan kami terkejut seperti mendengar halilintar di siang bolong waktu polisi mendatangi kami. Mereka menyita berlian-berlian kami. Mulamula kami tertawasemuanya itu tak masuk akal. Kemudian berlian-berlian itu ditunjukkan dalam pengadilandan ternyata bahwa* permata-permata itu adalah yang dicuri dari De Beers. Anita Griinberg menghilang. Penukaran itu telah dilakukannya dengan rapi sekali Dan 283 keterangan kami bahwa permata-permata itu bukanlah yang semula ada pada kami, ditertawakan dan dicemooh. “Sir Laurence Eardsley punya pengaruh yang besar sekali. Dia berhasil mengusahakan supaya perkara itu ditutup saja. Tapi hal itu telah menghancurkan dua orang anak muda. Mereka merasa malu untuk menghadapi dunia dengan cap pencuri pada nama mereka. Lagi pula, hal itu telah menghancurkan hati orang tua itu. Dia berbicara dengan putranya. Pada kesempatan itu dia menumpahkan semua kemarahannya pada anaknya itu. Dikatakannya bahwa dia telah melakukan apa yang bisa dilakukannya untuk menyelematkan nama keluarga, dan bahwa mulai hari itu putranya tak diakuinya
sebagai anaknya lagi. Anak itu benar-benar dibuangnya. Dan anak yang sombong tapi bodoh itu tetap diam. Dia tak mau menyatakan dirinya tak bersalah, karena dia yakin bahwa ayahnya tidak akan percaya. Dia meninggalkan rumahnya dengan sangat marahmenemui-sahabatnya yang menunggunya. Seminggu, kemudian, diumumkan perang. Kedua sahabat itu mendaftarkan diri ke dalam angkatan perang. Kau sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Sahabat terbaik yang pernah dimiliki seorang pria tewas, sebagian karena nekatnya dan karena menerjun-‘kan diri ke dalam bahaya yang sebenarnya tak perlu. Dia meninggal dengan nama yang tercemar____ “Aku bersumpah, Anne, bahwa terutama kare— 284 na dialah aku benci kak terhadap perempuan itu. Peristiwa dengan perempuan itu telah melukai hatinya lebih dalam daripada aku. Pada saat itu aku benar-benar tergila-gila padanyaaku bahkan tahu bahwa kadang-kadang aku membuatnya takut. Tapi sahabatku lebih tenang dan lebih mendalam perasaannya. Perempuan itu telah menjadi satu-satunya pusat bagi dunianyadan pengkhianatan perempuan itu terhadapnya telah merobek-robek akar-akar kehidupannya. Pukulan itu sangat mengejutkannya dan telah melumpuhkannya.” Harry berhenti sebentar. Beberapa menit kemudian dia melanjutkan, “Sebagaimana kauketahui, mengenai diriku orang melaporkan ‘Hilang, diduga tewas’. Aku tak pernah berusaha untuk memperbaiki laporan salah itu. Aku memakai nama Parker, dan datang ke pulau ini, yang sudah sejak dulu kukenal. Pada awal Perang, aku punya niat untuk membuktikan bahwa aku tak bersalah, tapi sekarang semangat itu sudah padam. Aku hanya berpikir, ‘Apa gunanya?’. Sahabatku sudah meninggal. Dia maupun aku sudah tak punya lagi sanak saudara yang mau tahu tentang kami. Aku diharapkan mati pula, biarlah anggapan itu tetap begitu saja. Aku hidup damai di sini, tidak bahagia, tapi tidak pula sedih. Semua perasaanku sudah lumpuh. Sekarang aku mengerti bahwa itu sebagian adalah akibat Perang. Semula aku tak menyadari hal itu “Lalu pada suatu hari, terjadilah sesuatu yang 285 membangunkan aku kembali. Waktu itu aku sedang membawa serombongan orang ke hulu sungai, dan aku sedang berdiri di dermaga. Aku membantu mereka masuk ke kapal motorku. Lalu tiba-tiba salah seorang pria berseru terkejut. Aku jadi memusatkan perhatianku padanya. Pria itu kecil, kurus, dan berjenggot. Dia menatapku dengan terbelalak tanpa peduli sekelilingnya, seolah-olah aku ini hantu. Emosinya begitu besar, hingga rasa ingin tahuku tergugah. Aku lalu mencari tahu tentang dia di hotel dan di sana aku mendengar bahwa namanya adalah Carton, bahwa dia datang dari Kimberley, dan bahwa dia adalah juru sortir yang bekerja pada ‘De Beers’. Pada saat itu timbullah kembali semua yang tak beres di masa lalu. Kutinggalkan.pulau ini dan aku pergi ke Kimberley. “Tapi hanya sedikit tambahan informasi yang kudapat tentang dia. Akhirnya kuputuskan bahwa aku harus memaksakan suatu pertemuan dengannya. Aku membawa pistol. Waktu melihatnya sekilas, aku sudah bisa menyimpulkan bahwa dia seorang pengecut. Baru saja kami berhadapan, dia sudah takut sekali padaku. Dengan mudah aku memaksanya menceritakan apa yang diketahuinya. Dialah yang mengatur sebagian dari perampokan itu, dan Anita Griinberg adalah istrinya. Dia pernah melihat kami
berdua makan bersama istrinya di hotel, jadi waktu melihat aku masih hidup di Air Terjun, dia terkejut sekali. Dia dan Anita menikah waktu masih sangat muda, tapi 286 wanita itu segera meninggalkannya. Istrinya itu lalu bergabung dengan orang-orang jahatdan waktu itulah untuk pertama kalinya aku mendengar tentang orang yang disebut ‘Kolonel’. Carton sendiri tak pernah terlibat apa pun kecuali peristiwa yang satu itu. Hal itu ditekankannya benar padaku, dan aku percaya. Kelihatannya dia bukan potongan seorang penjahat yang berhasil. “Tapi aku masih merasa bahwa dia masih merahasiakan sesuatu. Untuk mengujinya, kuancam dia akan kutembak di tempat dengan mengatakan bahwa aku sekarang tak peduli lagi apa yang akan terjadi atas diriku. Karena ketakutan sekali, dicurahkannya lanjutan ceritanya. Rupanya Anita Griinberg tidak begitu percaya pada ‘Kolonel’. Dia hanya pura-pura menyerahkan permata-permata yang diambilnya dari hotel. Beberapa dari permata itu disimpannya untuk dirinya sendiri. Dengan pengetahuan teknisnya, Carton menunjukkan yang mana yang harus disimpannya. Bila sewaktu-waktu permata-permata itu diperlihatkan, warna dan mutunya akan segera dikenali, dan ahli-ahli di De Beers akan segera mengakui bahwa mereka tak pernah memiliki permata-permata itu. Dengan demikian, pengakuanku bahwa aku hanya dijadikan kambing hitam, akan dibenarkan orang, dan namaku akan bersih kembali. Dan yang penting, akan ketahuan siapa sebenarnya yang perlu dicurigai. Diceritakannya, bahwa tidak sebagaimana biasanya, ‘Kolonel’ turun tangan sendiri dalam peristiwa itu. Oleh 287 karena itu Anita merasa senang bahwa orang itu ada dalam tangannya, bila sewaktu-waktu diperlukan. Lalu Carton menganjurkan agar aku mengadu untung dengan Anita Griinberg, alias Nadina. Dia yakin bahwa dengan uang dalam jumlah besar, istrinya akan mau menyerahkan berlian-berlian itu, dan dia akan mau pula mengkhianati bekas majikannya. Dia bersedia mengirim telegram segera pada istrinya. “Aku masih mencurigai Carton. Dia memang mudah ditakut-takuti, tapi dalam ketakutannya dia akan begitu banyak berbohong, hingga sulit menyaring mana yang benar dan mana yang bohong. Aku kembali ke hotel dan menunggu. Kupikir esok malamnya dia akan sudah menerima jawaban atas telegramnya. Aku pergi ke rumahnya, tapi di sana aku diberi tahu bahwa Carton sedang keluar dan esok harinya baru akan kembali. Aku langsung curiga. Pada saat terakhir aku tahu bahwa sebenarnya dia akan berlayar ke Inggris dengan kapal Kilmorden Castle, yang akan berangkat dari Cape Town dua hari lagi. Untung aku masih sempat pergi ke Cape Town dan berlayar dengan kapal yang sama. “Aku tak mau menampakkan diriku di kapal. Aku tak mau membuatnya takut. Waktu masih kuliah di Cambridge, aku sering main drama, jadi mudah saja bagiku untuk mengubah diriku menjadi seorang laki-laki setengah baya yang berjenggot. Di kapal aku menghindari Carton sedapat 288 mungkin. Aku diam-diam saja di kamarku dengan berpura-pura sakit. “Tak sulit aku membuntutinya setiba kami di London. Dia langsung pergi ke sebuah hotel, dan esok paginya baru keluar. Beberapa saat menjelang jam satu, dia meninggalkan hotel. Aku di belakangnya.
Dia langsung pergi ke agen penyewaan rumah-rumah di Knightsbridge. Di sana dia menanyakan kalau-kalau ada rumah di tepi sungai yang disewakan. “Aku berada di meja di sebelatinya, juga menanyakan tentang rumah. Lalu tiba-tiba Anita Griinberg alias Nadina, masuk dengan anggun dan angkuh. Dia masih secantik dulu. Bukan main bencinya aku padanya! Dialah yang telah menghancurkan hidupkudan juga telah memusnahkan hidup seseorang yang lebih baik daripadaku. Rasanya ingin aku pada saat itu juga mencengkeramkan tanganku ke lehernya, dan mencekiknya sampai mati perlahan-lahan! Beberapa saat lamanya darahku mendidih. Hampir-hampir tak kudengar apa yang dikatakan agen itu. Aku mendengarkan kata-kata perempuan itu. Suara yang tinggi dan lantang, dengan aksen asing yang dilebih-lebihkan. Dia mengatakan, ‘Mill House, Marlow. Milik Sir Eustace Pedler. Rasanya itu cocok untuk saya. Pokoknya saya akan ke sana dan melihatnya.’ “Pria di meja itu menuliskan surat keterangan untuknya, dan setelah itu dia keluartetap dengan sikap anggun dan angkuh. Sama sekali tidak 289 menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengenal Carton. Tapi aku yakin bahwa pertemuan mereka di tempat itu adalah rencana yang telah diatur. Lalu aku menarik beberapa kesimpulan. Aku tak tahu bahwa pada saat itu Sir Eustace berada di Cannes, dan aku menyangka bahwa urusan mencari rumah itu hanya suatu dalih untuk menjumpainya di Mill House. Aku tahu bahwa Sir Eustace berada di Afrika Selatan pada saat perampokan itu, dan karena aku tak pernah melihatnya, aku langsung berkesimpulan bahwa Sir Eustace sendirilah ‘Kolonel’ yang misterius, yang sudah sering kudengar itu. “Kuikuti kedua orang yang kucurigai itu, sepanjang Jalan Knightsbridge. Nadina masuk ke Hotel Hyde Park. Aku mempercepat langkahku dan ikut masuk. Dia langsung masuk ke restoran. Aku tak mau dia sampai mengenaliku pada saat itu, sebab itu aku lalu mengikuti Carton. Aku sangat berharap bahwa dia akan mengambil berlian-berlian itu. Maka aku akan tiba-tiba muncul dan mengenalkan diriku padanya untuk membuatnya sangat terkejut, dan supaya dengan begitu dia akan menceritakan yang sebenarnya padaku. Kususul dia memasuki stasiun kereta-api-bawah-tanah di Tikungan Hyde Park. Dia sedang berdiri seorang diri di ujung peron. Ada pula seorang gadis berdiri di dekat tempat itu, selebihnya tak ada orang lain. Kuputuskan untuk mengejutkan dia pada saat itu. Kau tahu apa yang kemudian terjadi. Karena shock-nya. melihat 290 orang yang disangkanya berada jauh di Afrika Selatan, dia tak sadar apa yang dilakukannya, lalu mundur dan menginjak rel listrik. Dia memang pengecut. Dengan pura-pura menjadi dokter, aku berhasil memeriksa saku-sakunya. Ada sebuah dompet yang berisi uang dan beberapa pucuk surat yang tak penting. Ada pula sebuah tabung filmyang kemudian tercecer entah di-mana, selain itu kutemukan pula secarik kertas yang bertuliskan janji pertemuan di Kilmorden Castle pada tanggal 22. Karena terburu-buru untuk meninggalkan tempat itu, dan karena takut kalau-kalau ditangkap orang, kertas itu pun tercecer juga. Tapi untung aku ingat angka-angkanya. “Aku cepat-cepat mencari kamar ganti yang terdekat dan buru-buru menanggalkan dandananku. Aku tak ingin tertangkap dengan tuduhan mencopet orang yang sudah meninggal. Kemudian aku kembali
ke Hotel Hyde Park. Nadina masih makan siang. Tak perlu kuceritakan lagi bagaimana aku mengikutinya ke Marlow. Dia masuk rumah itu, dan aku berbicara dengan wanita penghuni pondok rumah itu. Aku pura-pura bersama dia. Kemudian aku ikut masuk.” Dia berhenti. Suasana makin tegang. “Kau percaya padaku, bukan Anne? Aku bersumpah demi Tuhan bahwa apa yang akan kukatakan ini, benar. Aku menyusul perempuan itu masuk ke rumah itu, dengan niat untuk membunuhtapi aku mendapatinya sudah mati! Aku menemukannya di kamar, di lantai duaYa, 291 Tuhan! Mengerikan sekali. Dia matipadahal hanya tiga menit aku berada di belakangnya. Apalagi, tak ada tanda-tanda ada orang lain di rumah itu! Aku segera menyadari betapa berbahayanya kedudukanku. Dengan satu pukulan yang tepat, si calon korban pemerasan telah mencabut nyawa si pemeras. Dan sekaligus juga menyediakan orang yang akan dijadikan korban tuduhan palsu. Jelas bahwa itu perbuatan ‘Kolo-ppeP lagi. Untuk kedua kalinya aku harus menjadi korban perbuatannya. Betapa bodohnya aku, masuk ke perangkapnya dengan begitu mudah! “Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kemudian. Aku berhasil keluar dari tempat itu dalam keadaan agak wajar. Tapi aku tahu bahwa tidak akan lama lagi kejahatan itu akan tercium, dan gambaran tentang diriku akan disiarkan dengan telegram ke seluruh negeri. “Beberapa hari lamanya aku bersembunyi. Aku ‘ tak berani bergerak. Akhirnya nasib baik membantuku. Aku menangkap pembicaraan dua orang setengah baya di jalan. Salah seorang di antaranya ternyata adalah Sir Eustace Pedler. Aku segera merencanakan untuk mengikutsertakan diriku padanya sebagai sekretarisnya. Potongan percakapan yang kuden^r memberikan petunjuk padaku. Kini aku tidak begitu yakin lagi bahwa Sir Eustace Pedler adalah ‘Kolonel’ itu. Mungkin hanya kebetulan saja rumahnya telah dijadikan tempat pertemuan empat mata. Mungkin pula dengan suatu alasan yang aku tak tahu.” 292 “Tahukah kau,” selaku, “bahwa Guy Pagett ada di Marlow pada hari pembunuhan itu?” “Kalau begitu, cocok. Kupikir dia berada di Cannes bersama Sir Eustace.” “Dia seharusnya ada di Florencetapi pasti dia tak pernah pergi ke sana. Aku yakin dia berada di Marlow, meskipun aku tak bisa membuktikannya.” “Padahal aku sama sekali tak pernah mencurigai Pagett, sampai saat dia mencoba menceburkan kau ke laut malam itu. Orang itu pandai sekali bersandiwara.” “Memang.” - “Itulah sebabnya mengapa Mill House yang dipilih. Mungkin Pagett bisa keluar-masuk rumah itu tanpa menarik perhatian. Dia memang tidak keberatan aku ikut Sir Eustace naik kapal. Dia tak ingin aku langsung ditangkap. Sebenarnya Nadina tidak membawa permata-permata itu ke tempat pertemuan itu, sebagaimana yang diharapkan. Kurasa permata-permata itu ada pada Carton yang
menyembunyikannya di .Kilmorden Castle di situlah keterlibatan Carton. Mereka berharap, aku punya petunjuk mengenai tempat permata-permata itu disembunyikan. Selama ‘Kolonel’ belum mendapatkan kembali berlian-berlian itu, dia masih terancam bahayaitulah sebabnya dia begitu bernafsu untuk mendapatkannya dengan jalan apa pun. Kalaupun memang Carton yang menyembunyikannyaaku tak tahu di mana dia menyembunyikannya.” 293 “Itu lain lagi kisahnya,” kataku. “Itu Dan itu akan kuceritakan sekarang.” 294
BAB XXVII Harry mendengarkan dengan penuh perhatian sementara aku menceritakan kembali semua peristiwa yang sudah kukisahkan di halaman-halaman depan. Yang paling mengherankan dan mengejutkannya adalah waktu mendengar bahwa selama ini berlian-berlian itu ada padakuatau tepatnya di tangan Suzanne. Tak pernah dia menduga hal itu. Setelah mendengar ceritanya, aku mengerti tujuan perbuatan Cartonatau tepatnya perbuatan Nadina, karena aku tak ragu bahwa otak wanita itulah yang telah melahirkan rencana itu. Tak satu pun siasat mendadak yang dijalankan orang atas dirinya atau suaminya, akan bisa menghasilkan tertangkapnya berlian-berlian itu. Rahasia itu terkunci dalam otaknya sendiri. ‘Kolonel’ tidak akan mungkin menyangka bahwa permata-permata itu telah dipercayakan pada seorang pramugara kapal. Pembelaan diri Harry terhadap tuduhan lama, yaitu pencurian permata-permata itu, agaknya sudah terbukti. Tuduhan yang satu lagi, yang lebih berat, telah melumpuhkan kegiatan-kegiatan 295 kami. Karena mengingat keadaannya sekarang, dia tak bisa menampakkan diri untuk membuktikan keadaannya. Berulang kali, kami selalu kembali lagi pada satu hal, yaitu, siapakah si ‘Kolonel’? Apakah dia Guy Pagett atau bukan? “Aku bisa mengatakan bahwa dialah orangnya, tapi ada satu hal,” kata Harry, “rasanya sudah pasti bahwa Pagett-lah yang membunuh Anita Griinberg di Marlowdan kepastian itu menjurus pada kemungkinan bahwa dialah sebenarnya si ‘Kolonel’, karena bisnis Anita itu tak bisa dibicarakan dengan seorang bawahan. Satu-satunya hal yang bertentangan dengan teori itu adalah percobaannya untuk menyingkirkanmu pada malam hari kau tiba di sini. Kau melihat bahwa Pagett ditinggalkan di Cape Townjadi tak mungkin dia bisa tiba di sini sebelum hari Rabu berikutnya. Tak mungkin dia punya kaki tangan di daerah ini, dan semua rencananya adalah menangani kau di Cape Town. Tentu ada pula kemungkinan bahwa dia mengirimkan instruksinya dengan telegram pada pembantunya yang ada di Johannesburg. Orang itu bisa naik kereta api Rhodesia di Mafeking. Tapi dalam hal itu, instruksi itu harus benar-benar pasti hingga surat yang kauterima itu bisa ditulis.” Kami diam sebentar, kemudian Harry berkata lagi, “Katamu Nyonya Blair sedang tidur waktu kau meninggalkan hotel, dan bahwa kau mendengar 296 Sir Eustace sedang mendiktekan surat pada Nona Pettigrew? Lalu mana Kolonel Race?” “Aku tidak melihatnya.” “Mungkinkah dia punya dugaan bahwakita berdua punya hubungan baik?” t “Mungkin,” sahutku. Aku teringat akan percakapan kami dalam perjalanan kembali dari Matoppos.
“Dia seorang pria yang hebat,” kataku lagi, “tapi aku sama sekali tak bisa membayangkan dia sebagai si ‘Kolonel’. Lagi pula tak masuk akal, karena dia adalah petugas Dinas Rahasia.” “Bagaimana kita bisa meyakini hal if u? Mudah sekali mengaku-aku begitu. Memang, tak seorang” pun yang akan membantah dan pengakuan itu akan tersebar, sampai semua orang percaya betul. Pengakuan seperti itu memang perlu untuk mendukung segala macam perbuatannya yang menimbulkan keraguan. Anne, apakah kau suka pada Race?” “Sukadan tidak. Dia tak menyenangkan, tapi sekaligus bisa membuatku tertarik. Tapi satu hal aku tahu, aku selalu agak takut padanya.” “Tahukah kau, dia berada di Afrika Selatan waktu perampokan Kimberley itu terjadi,” kata Harry perlahan-lahan. “Tapi dialah yang bercerita tentang ‘Kolonel’ pada Suzanne. Juga tentang kepergiannya ke Paris dalam usahanya mencari jejak orang itu.” “Itu kamuflaseyang cerdik sekali.” - “Kalau begitu, di mana Pagett terlibat? Apakah dia orang bayaran Race?” 297 “Mungkin dia sama sekali tidak terlibat,” kata Harry. “Apa?” “Coba ingat-ingat lagi, Anne. Pernahkah kau mendengar keterangan dari mulut Pagett sendiri, mengenai kejadian malam itu di Kilmorden}” “Tidaktapi melalui Sir Eustace.” Kuulangisembali keterangan itu. Harry mendengarkan dengan hati-hati. “Dia melihat seorang laki-laki datang dari arah kamar Sir Eustace, dan laki-laki itu di buntutinya naik ke dek. Begitu kan, katanya? Nah, siapa yang kamarnya berseberangan dengan kamar Sir Eustace? Kolonel Race, bukan? Umpamakan Kolonel Race yang menyelinap naik ke dek, lalu mencoba menyerangmu, melarikan diri mengitari dek dan bertemu dengan Pagett yang baru saja keluar dari ruang makan. Dipukulnya Pagett, lalu langsung melompat ke dalam kamarnya dan langsung mengunci pintunya. Kita mengejar dengan memutari dek juga, dan menemukan Pagett tergeletak di sana. Bagaimana?” “Kau lupa bahwa Pagett dengan jelas mengatakan bahwa kaulah yang memukulnya sampai jatuh.” “Nah, andaikan waktu dia sadar kembali, dia melihat aku yang menghilang di kejauhan. Tidakkah dengan sendirinya dia lalu berkesimpulan bahwa akulah yang menyerangnya? Terutama karena dia menyangka bahwa akulah yang sejak semula dibuntutinya itu.” 298 “Ya, itu mungkin,” kataku ragu. “Tapi kita lalu harus mengubah teori kita. Padahal masih banyak halhal lain.”
“Kebanyakan dari hal-hal itu bisa dijelaskan. Laki-laki yang membuntuti kau di Cape Town berbicara dengan Pagett, dan Pagett melihat ke arlojinya. Mungkin orang itu hanya bertanya jam berapa waktu itu.” “Maksudmu, itu hanya suatu kebetulan?” “Tidak juga. Dalam semua peristiwa itu ada metodenya, yaitu menghubungkan Pagett dalam peristiwa itu. Mengapa Mill House yang dipilih untuk pembunuhan itu? Apakah karena Pagett berada di Kimberley waktu berlian-berlian itu dicuri? Apakah sebenarnya dia yang akan dijadikan kambing hitam, sekiranya aku tak muncul pada saat yang menguntungkan itu?” “Jadi kaupikir dia sama sekali tak bersalah?” “Kelihatannya begitu. Tapi kalau begitu, kita harus mencari tahu apa yang dilakukannya di Marlow. Bila dia punya alasan yang masuk akal mengenai kehadirannya di situ, kita benar.” Dia bangkit. “Hari sudah lewat tengah malam. Masuklah, Anne, dan tidurlah. Sebelum fajar aku akan mengantarmu dengan perahu. Kau harus naik kereta api di Livingstone. Di sana ada seorang temanku yang akan menyembunyikanmu sampai kereta api berangkat. Kau pergi ke Bulawayo, dan naik kereta api yang ke Beira dari sana. Dari temanku yang di Livingstone itu aku akan bisa 299 mencari tahu apa yang sedang terjadi di hotel, dan di mana teman-temanmu sekarang.” “Beira,” kataku merenung. “Ya, Anne. Kau harus ke Beira. Ini pekerjaan laki-laki. Serahkan padaku.” Tadi emosi kami tertunda sebentar, sementara kami membicarakan keadaan kami. Tapi sekarang soal itu muncul lagi. Kami bahkan tak mau saling memandang. ; “Baiklah,” kataku, lalu masuk ke pondok. Aku berbaring di dipan yang beralas kulit itu, tapi tak bisa tidur. Dan di luar, kudengar Harry Rayburn berjalan hilir-mudik terus dalam kegelapan. Akhirnya dipanggilnya aku, “Mari, Anne, sudah waktunya untuk pergi.” | Aku bangun dan keluar dengaTti patuh. Hari masih gelap sekali, tapi aku tahu bahwa fajar hampir menyingsing. “Kita naik sampan saja, tidak naik perahu motor” kata Harry. Tapi tiba-tiba dia berhenti berkata, dan mengangkat tangannya. “Shhh! Apa itu?” t Aku memasang telingaku, tapi tak bisa mendengar apa-apa. Telinga Harry lebih tajam daripada pendengaranku. Telinga orang yang lama tinggal di hutan belantara. Kemudian aku mendengar jugabunyi dayung menyibak air, datang dari arah tebing sungai sebelah kanan dan dengan cepat mendekat ke dermaga kecil kami.
Kami berusaha melihat dalam gelap, dan hanya mampu melihat suatu bayangan kabur di permu— 300 kaan air. Bayangan itu adalah sebuah sampan. Kemudian tampak cahaya api sesaat. Seseorang menyalakan korek api. Dalam cahaya itu aku mengenali seseorang. Dia adalah orang Belanda berjenggot merah di vila di Muizenberg dulu itu. Yang lain adalah orang-orang pribumi setempat. “Cepatkembali ke pondok.” Harry menarikku masuk. Diambilnya beberapa buah senapan dan pistol dari dinding. “Bisakah kau memasukkan peluru ke senapan?” * “Belum pernah. Tunjukkan caranya;” Aku bisa menangkap instruksinya dengan cukup baik. Kami menutup pintu. Harry berdiri di dekat jendela yang menghadap ke dermaga. Sampan itu sedang berjalan sejajar dengan dermaga itu. i “Siapa itu?” seru Harry dengan suara lantang. Keraguan kami mengenai niat tamu-tamu itu segera terjawab. Hujan peluru berjatuhan di sekeliling kami. Untung kami tak kena. Harry mengangkat senapannya dan kemudian memuntahkan peluru berulang kali. Kudengar dua orang mengerang dan bunyi sesuatu tercebur ke air. “Biar mereka tahu,” gumamnya dengan geram, sambil menjangkau senapannya yang kedua. “Anne, demi Tuhan, berlindunglah baik-baik. Dan cepat masukkan peluru-peluru.” Tembakan lagi. Satu peluru menyerempet pipi Harry. Tembakan balasan dari Harry lebih hebat daripada mereka. Senapan yang satu lagi sudah 301 siap kuisi peluru kembali, waktu dia memintanya. Ditariknya aku lalu didekapnya dengan lengan kirinya, dan aku diciumnya dengan bernafsu, sebelum dia berbalik ke jendela lagi. Tiba-tiba dia bersorak. “Mereka sudah pergisudah merasa puas. Mereka merupakan sasaran yang baik di air, dan mereka tak bisa melihat ada berapa orang kita. Untuk sementara mereka telah kita kalahkan tapi mereka akan kembali. Kita harus siap menghadapi mereka.” Senapannya dilemparkannya lalu dia berbalik padaku. “Anne! Kau cantik! Kau mengagumkan! Kau ratu kecilku! Pemberani seperti singa. Kau perempuan sihir berambut hitam!” . Aku dipeluknya. Diciuminya rambutku, mataku, dan kemudian bibirku. “Dan sekarang kembali ke urusan kita,” katanya, dan dilepaskannya aku dengan tiba-tiba. “Keluarkan kaleng-kaleng.parafin itu.” Kukerjakan perintahnya. Dia sibuk di dalam pondok. Kemudian kulihat dia di atap pondok. Dia merangkak di sepanjang atap itu sambil memeluk sesuatu. Beberapa menit kemudian dia kembali
padaku. “Pergi ke sampan. Kita harus membawa parafin itu menyeberangi pulau ini ke sisi lain.” Setelah aku pergi, diangkatnya parafin itu. “Mereka kembali,” seruku dengan suara halus. Aku melihat bayangan kabur bergerak di pantai di seberang. 302 Harry berlari mendatangiku. “Tepat pada waktunya. Aduhmana sampan kita?” Keduanya sudah dilepaskan dari rambatannya dan hanyut. Harry mendesis. “Kita terkurung, Sayang. Keberatan?” “Bersama kau, tidak.” “Ah, tapi bersama untuk mati, apa enaknya. Kita akan mengusahakan yang lebih baik. Lihat sekarang mereka datang dua perahu penuh. Mereka akan mendarat di dua tempat yang berlainan. Nah, sekarang kujalankan tipu muslihatku.” Pada saat yang bersamaan dengan kata-katanya itu, tersemburlah nyala api tinggi dari atas pondok. Cahayanya menerangi dua sosok manusia, yang meringkuk berpelukan di atas atap. “Itu pakaian tuakuyang kuisi dengan permadani butut. Untuk sementara itu bisa mengelabui mereka. Ayo, Anne, kita mencoba suatu usaha yang nekat.” Dengan berpegangan tangan, kami berlari cepat menyeberangi pulau itu. Sebuah terusan sempit memisahkan pulau kami dengan pantai di seberangnya. “Kita harus berenang ke seberang. Bisa kau berenang, Anne? Bukan apa-apa. Aku bisa saja menyeberangkan kau. Bagian ini malah tak baik untuk perahuterlalu banyak batunya. Tapi tempat ini baik untuk berenang, dan dari sini mudah ke Livingstone.” 303 “Aku bisa berenang sedikit-sedikitlebih jauh dari itu pun bisa. Apa bahayanya, Harry?” tanyaku karena aku melihat kebimbangan di wajahnya. “Apakah ada hiu di sini?” “Tidak ada, Gadisku yang tolol. Ikan hiu hidup di laut. Tapi pengamatanmu memang tajam, Anne. Di sini buaya yang menjadi kesulitan.” * “Buaya?” “Ya, tapi jangan ingat-mgat binatang itusebaiknya bacalah doa apa saja yang kauingini.” Kami mencebur. Agaknya doaku didengar, karena kami tiba di pantai seberang tanpa kesulitan. Kami mendaki tebing dalam keadaan basah kuyup. “Sekarang kita ke Livingstone. Terus terang, jalannya sulit, apalagi dengan pakaian basah. Tapi kita harus melakukannya.”
Perjalanan itu serasa mimpi buruk. Rokku yang basah terkepak-kepak di kakiku, dan sebentar saja kaus kakiku sudah robek-robek kena duri. Akhirnya aku terduduk, kehabisan tenaga. Harry kembali mendatangiku. “Berdiri, Sayang. Biar kupikul kau.” Dengan cara begitulah aku tiba di Livingstone, tergantung di pundak Harry seperti sekarung arang. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia mampu berbuat begitu. Cahaya fajar samar-samar sudah mulai kelihatan. Teman Harry adalah seorang pemuda yang berumur kira-kira dua puluh tahun. Dia mempunyai sebuah toko-yang menjual barang-barang khas pribumi. Namanya 304 Nedmungkin ada nama lainnya, tapi aku tak pernah mendengarnya. Dia sama sekali tak kelihatan heran melihat Harry masuk dalam keadaan basah kuyup, sambil menggandeng seorang wanita yang juga basah kuyup. Laki-laki memang hebat. Kami diberinya makanan dan kopi panas, dan pakaian kami dikeringkan sementara kami membungkus badan kami dengan selimut Manchester yang coraknya norak. Di kamar kecil di bagian belakang pondoknya, kami tidak akan kelihatan oleh siapa pun. Sementara isu dia pergi untuk mencari tahu tentang rombongan Sir Eustace, dan apakah ada di antara mereka yang masih ada di hotel. Pada saat itulah aku memberi tahu Harry, bahwa tak ada satu pun yang bisa memaksaku pergi ke Beira. Aku tak pernah berniat untuk itu, dan sekarang, semua alasan untuk ke Sana sama sekali sudah tak ada lagi. Tujuan rencana kami adalah supaya musuh-musuhku menyangka bahwa aku sudah mati. Karena sekarang mereka sudah tahu bahwa aku tidak mati, maka kepergianku ke Beira tak ada gunanya. Dengan mudah mereka bisa mengikutiku ke sana dan membunuhku dengan tenang. Di sana tidak akan ada yang melindungiku. Akhirnya kami sepakati bahwa aku akan bergabung lagi dengan Suzanne, di mana pun dia berada, dan akan selalu sangat berhati-hati menjaga diriku. Aku sama sekali tak boleh mencari petualangan atau berusaha mengalahkan ‘Kolonel’. Aku harus tinggal tenang-tenang dengan Suzan— 305 ne dan menunggu instruksi-instruksi dari Harry. Berlian-berlian itu harus disimpan di bank atas nama Parker. “Ada satu hal,” kataku sambil berpikir, “kita harus punya semacam kode. Jangan sampai kita terjebak lagi oleh pesan-pesan yang menyuruh datang dari satu tempat ke tempat lain.” “Itu mudah. Setiap pesan yang benar-benar datang dariku, harus ada satu kata ‘dan’ yang tercoret di dalamnya.” “Tanpa ciri khusus itu, berarti palsu,” gumamku. “Bagaimana dengan telegram?” “Setiap telegram dariku akan ditandatangani dengan nama ‘Andy’.” “Sebentar lagi kereta api akan tiba, Harry,” kata Ned, yang menjengukkan kepalanya sebentar, lalu
segera menariknya kembali. Aku bangkit-. “Apakah aku harus menikah dengan seorang pria yang baik dan sudah mapan bila aku bisa menemukannya?” tanyaku berlagak serius. Harry datang lebih dekat padaku. “Demi Tuhan, Anne! Kalau kau sampai kawin dengan pria lain, akan kucekik lehernya. Dan kau sendiri” “Ya?” kataku dengan gembira. “Kau akan kularikan dan kupukuli sampai babak belur!” “Menyenangkan sekali suami pilihanku ini!” kataku menyindir. “Dan pikirannya berubah hanya dalam semalam.” 306
BAB XXVIII (Cuplikan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler) Sebagaimana yang pernah kunyatakan, aku ini sebenarnya orang yang suka damai. Aku mendambakan hidup yang tenangtapi justru yang satu itulah yang tak bisa kuperoleh. Aku selalu berada di tengahtengah badai dan bahaya. Aku sudah merasa lega sekali karena sudah bebas dari Pagett yang terusmenerus ingin mencari-cari persekongkolan. Nona Pettigrew adalah makhluk yang berguna. Meskipun dia sama sekali tak cantik, ada beberapa kecakapannya yang sangat berguna. Waktu kami di Bulawayo, aku mendapat sakit lever ringan, dan kuakui bahwa sebagai akibatnya aku memang marahmarah terus. Tapi itu juga disebabkan karena aku mengalami gangguan di kereta api, semalam sebelumnya. Seorang anak muda yang berpakaian rapi sekali dan bertampang seperti pahlawan dalam film koboi yang lucu, masuk ke dalam gerbongku, jam tiga subuh. Dia bertanya ke mana aku akan pergi. Mula-mula aku berkata, “Tolong bawakan teh tanpa gula-” Tapi dia tidak mempedulikan permintaanku itu. Dikatakannya bahwa dia bukan 307 pelayan kereta, melainkan seorang petugas imigrasi, dan pertanyaannya diulanginya lagi. Akhirnya aku berhasil memuaskan hatinya dengan mengatakan bahwa aku tidak sedang menderita suatu penyakit menular, dan bahwa aku sedang dalam perjalanan untuk berkunjung ke Rhodesia, dengan alasan yang murni sekak. Selanjutnya kuberikan pula nama lengkapku dan tempat lahirku. Kemudian kucoba untuk tidur sedikit, tapi seorang tolol yang tak berhak, membangunkan aku pukul setengah enam dengan membawa secangkir cairan bergula yang disebutnya teh. Memang cairan itu tidak kusiramkan padanya, meskipun sebenarnya ingin sekali aku berbuat begitu. Pukul enam aku dibawakannya teh tanpa gula yang dingin sekali. Setelah itu aku tertidur karena keletihan. Aku terbangun setelah kami keluar dari Bulawayo, dan langsung dibebani seekor jerapah jelek dari kayu, yang berkaki dan berleher panjang sekali! Semuanya berjalan lancar, kecuali gangguan-gangguan kecil tadi itu. Kemudian terjadi kekacauan baru. Waktu itu adalah malam hari kami tiba di Air Terjun. Aku sedang mendiktekan surat-surat pada Nona Pettigrew, ketika tiba-tiba Nyonya Blair menyerbu masuk tanpa meminta maaf, dengan mengenakan pakaian yang sangat memalukan. “Di mana Anne?” teriaknya. Bagus sekali pertanyaannya. Seolah-olah aku bertanggung jawab atas gadis itu. Apa pikir Nona 308 Pettigrew nanti? Tentu dipikirnya aku bisa saja mengeluarkan Anne Beddingfeld dari sakuku, tengah malam atau kapan saja. Sungguh memalukan untuk orang yang berkedudukan seperti aku. “Kurasa dia ada di tempat tidurnya,” kataku dingin. Aku menelan ludah, lalu mengerling ke arah Nona Pettigrew, menyatakan bahwa aku sudah siap
mendikte lagi. Kuharapkan Nyonya Blair mengerti sindiranku itu. Tapi dia sama sekali tak mengerti. Dia malah duduk, dan menggoyang-goyangkan kakinya yang bersandal kuat-kuat. “Dia tak ada di kamarnya. Saya baru saja ke sana. Saya bermimpimimpi yang mengerikan bahwa dia dalam bahaya besar. Saya lalu bangun dan pergi ke kamarnya akan meyakinkan diri. Dia tak ada di sana, dan tempat tidurnya belum ditiduri.” Dia melihat padaku dengan pandangan memohon. “Apa yang harus saya lakukan, Sir Eustace?” Kutahan diriku supaya tidak menyahut, “Pergilah tidur, dan jangan kuatir. Seorang gadis yang cukup kuat seperti Anne Beddingfeld, tentu bisa menjaga dirinya sendiri.” Aku hanya mengerutkan dahiku. “Apa kata Race?” Mengapa Race bisa enak-enak saja? Bebani jugalah dia dengan hal-hal tetek-bengek dari kaum wanita, jangan yang enak-enak saja. “Saya tak bisa menemukan dia.” 309 Agaknya wanita itu sudah bersusah-payah malam ini. Aku mendesah lalu duduk. “Aku kurang mengerti mengapa Anda begitu’ kacau,” kataku dengan sabar. “Mimpi saya itu” “Mungkin karena kare yang kita makan tadi!” “Aduh, Sir Eustace!” Dia benar-benar marah. Padahal semua orang tahu bahwa mimpi buruk adalah akibat langsung dari makanan yang tak enak. “Tapi,” ) lanjutku membujuk, “bukankah mungkin saja Anne Beddingfeld dan Race sedang Keluar untuk berjalan-jalan, tanpa harus membangunkan seisi hotel?” “Anda mengira bahwa mereka hanya pergi untuk berjalan-jalan? Tapi bukankah sekarang sudah lewat tengah malam?” “Orang muda biasa berbuat tolol begitu,” gumamku, “meskipun sebenarnya Race sudah cukup tua untuk bisa berpikir lebih baik.’ “Benarkah Anda pikir begitu?” “Aku yakin bahwa mereka lari untuk kawin,” lanjutku menenangkan. Padahal aku sadar bahwa itu pikiran tolol. Karena, ke mana mereka akan lari di tempat seperti ini? . Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus mencari-cari alasan-alasan lemah seperti itu. Untunglah saat
itu Race sendiri masuk. Aku hanya setengah benar. Dia memang baru kembali dari berjalan-jalan, tapi dia tidak mengajak Anne. Bagaimanapun juga aku sudah salah menangani 310 keadaan itu. Hal itu segera terbukti. Dalam tiga menit saja, Race sudah berhasil menyuruh orang memeriksa seluruh hotel. Belum pernah aku melihat orang lebih risau daripada dia ketika itu. Keadaan itu aneh sekali. Ke mana gadis itu? Dia pergi ke luar hotel, dengan pakaian lengkap, kira-kira pukul sebelas lewat sepuluh, dan sejak itu tak pernah kelihatan lagi. Rasanya tak mungkin dia bunuh diri. Dia adalah seorang gadis enerjik yang cinta kehidupan dan sama sekali tak punya niat untuk menghabisi nyawanya. Lalu di mana dia? Kasihan Race, dia bingung sekali. Tak ada satu pun tempat yang tak dibongkarnya untuk mencari Anne. Semua petugas keamanan, entah petugas apa pun namanya, sampai sejauh beratus-ratus mil, dikerahkannya. Para pencari pribumi merangkak kian kemari. Apa saja yang bisa dilakukan, telah dikerjakannamun Anne Beddingfeld tetap tak ditemukan. Secara umum orang lalu berpendapat bahwa dia berjalan dalam tidurnya. Ada tanda di jalan setapak dekat jembatan yang menunjukkan bahwa gadis itu telah dengan sengaja berjalan ke tepinya. Bila itu benar, maka tentu dia sudah jatuh terhempas dan hancur/ membentur batu-batu di bawah. Sayang, kebanyakan bekas jejaknya sudah terhapus oleh serombongan wisatawan yang berjalan-jalan ke arah itu, pagi-pagi pada hari Senin. Aku tak yakin apakah teori itu tepat. Waktu masih muda, aku sering mendengar bahwa orang yang berjalan dalam tidurnya tidak akan mencela— 311 -kai dirinya sendiri dan bahwa indria keenam mereka yang menjaga mereka. Tapi kurasa, Nyonya Blair juga merasa bahwa teori itu tidak tepat. Aku tak bisa mengerti wanita itu. Seluruh sikapnya terhadap Race kini berubah. Kini dja mengawasinya seperti kucing mengintai tikus, dan n ta sekali bahwa hanya dengan berusaha keras saja dia berhasil bersikap sopan terhadap Race. Padahal mereka semula bersahabat. Wanita itu sudah berubah sama sekali. Dia jadi penggugup, histeris, cepat terkejut, dan terlompat mendengar bunyi yang sekecil-kecilnya. Aku mulai berpikir bahwa sudah tiba saatnya aku harus pergi ke Johannesburg. Kemarin kudengar desas-desus tentang sebuah pulau misterius di hulu sungai, yang didiami oleh seorang laki-laki dan seorang gadis. Race jadi ribut sekali. Tapi rupanya itu isapan jempol belaka. Laki-laki itu rupanya sudah bertahun-tahun tinggal di situ, dan manajer hotel tahu benar akan hal itu. Laki-laki itu biasa mengantar rombongan-rombongan bersampan-sampan hilir-mudik di sungai bila cuaca baik, dan menunjukkan buaya dan bayangan kuda Nil kalau sedang ada. Kurasa laki-laki itu memelihara seekor buaya jinak, yang dilatihnya untuk makan makanan yang dilemparkannya dari sampan. Lalu binatang itu didorongnya dengan kaitan sampan, dan rombongan akan menyangka bahwa akhirnya mereka telah melihat punggung binatang langka itu. Tidak diketahui dengan pasti sudah berapa 312
lama gadis itu ada di sana. Tapi agaknya sudah jelas bahwa tak mungkin dia itu Anne. Apalagi, kurang baik mencampuri urusan orang lain. Jika aku yang menjadi anak muda itu, pasti Race akan kutendang keluar dari pulau itu, bila dia datang untuk bertanya tentang urusan cintaku. Kemudian. Sudah pasti aku akan berangkat ke Johannesburg besok. Race yang mendesakku untuk pergi. Kudengar keadaan di sana tak menyenangkan. Jadi sebaiknya aku pergi sebelum keadaan memburuk. Aku yakin bahwa aku akan tertembak oleh pemogok. Sebenarnya Nyonya Blair akan menemaniku ke sana, tapi pikirannya berubah pada saat terakhir, dan diputuskannya untuk tinggal di Air Terjun saja. Rupanya dia bermaksud terus mengawasi Race. Semalam dia datang padaku, dan dengan ragu berkata bahwa dia mengharapkan ban tuanku. Dimintanya agar aku mau mengurus suvenir-suvenirnya. “Bukan binatang-binatang itu, kan?” tanyaku ngeri. Aku sudah merasa bahwa cepat atau lambat, aku akan terlibat juga dengan binatang-binatang yang memuakkan itu. Akhirnya kami mendapatkan kata sepakat. Aku harus mengurus dua buah kotak kecil dari kayu, yang berisi barang-barang yang mudah pecah.. Binatang-binatang itu akan dipak dalam peti-peti kayu yang besar oleh toko setempat, dan dikirim 313 ke Cape Town dengan kereta api. Di sana Pagett akan mengurus penyimpanannya. Orang-orang yang mengepaknya berkata bahwa binatang-binatang itu bentuknya sulit-sulit, sehingga harus dibuatkan peti-peti khusus. Kuperingatkan pada Nyonya Blair bahwa sampai dia tiba di rumahnya kelak, harga binatang-binatang itu akan menjadi satu pound sebuah! Pagett ingin sekali bergabung denganku di Johannesburg. Tapi peti-peti Nyonya Blair akan kujadikan alasan untuk menyuruhnya tetap berada di Cape Town. Aku telah menulis surat padanya, bahwa dia harus menerima peti-peti itu dan mengurus penempatannya yang aman, karena peti-peti itu berisi barang-barang khas dan langka yang mahal sekali. Jadi semuanya sudah beres, dan aku berangkat dengan Nona Pettigrew. Dan siapa pun yang telah melihat Nona Pettigrew akan mengakui bahwa perjalananku dengan wanita itu adalah perjalanan yang terhormat. 314
BAB XXIX 315 Johannesburg, 6 Maret. Ada sesuatu dalam keadaan di sini yang sama sekali tak sehat. Boleh dikatakan kami ini hidup di lereng gunung berapi, begitulah istilah yang begitu terkenal, yang sering kubaca. Para pemogok berkeliaran di jalan-jalan dan memandangi orang dengan pandang mengancam. Kurasa mereka memilih kaum kapitalis yang gendut-gendut, supaya mudah menyembelihnya bila pembunuhan besarbesaran terjadi. Orang tak bisa naik taksikalau kita mencoba juga, kaum pemogok itu akan menarik kita keluar lagi. Dari hotel-hotel dengan senang hati memperingatkan bahwa bila makanan habis, mereka akan melempar kita ke luar! Kemarin malam aku bertemu dengan Reeves, sahabatku dari Partai Buruh, dengan siapa aku bertemu di Kilmorden. Belum pernah aku melihat orang yang selalu ketakutan seperti dia. Dia sama saja dengan orang lain di tempat itu; mereka berpidato panjang-lebar dengan penuh semangat, sematamata untuk tujuan politik, kemudian mereka menyesalinya. Saat ini dia sedang sibuk pergi kian kemari untuk mengatakan bahwa dia tidak melakukannya. Waktu aku bertemu denganr nya itu, dia baru saja akan berangkat ke Cape Town, di mana rencananya dia akan berpidato dalam bahasa Belanda tiga hari lamanya, untuk membela dirinya dan mengatakan bahwa apa-apa yang pernah diucapkannya sebenarnya lain maksudnya. Aku bersyukur bahwa aku tak duduk di Badan Legislatif Afrika Selatan. Menjadi anggota Majelis Rendah Kerajaan Inggris seperti aku ini, sudah cukup pusing. Tapi setidaknya kami punya satu bahasa, dan ada batas-batas tertentu dalam panjangnya pidato. Waktu aku berkunjung ke badan legislatif itu, sebelum aku berangkat dari Cape Town, aku mendengarkan pidato seorang pria berambut kelabu yang kumisnya menggantung ke bawah. Dia persis seorang tokoh dalam dongeng Alice in Wonderland., yang bernama Mock Turtle. Kata-katanya diucapkannya sepatah demi sepatah, dengan cara yang melankolis sekali. Sekali-sekali dia menguatkan dirinya sendiri, dan mengucapkan kata-katanya dengan lebih bersemangat, berbeda dengan bagian lain dari pidatonya. Bila dia berbuat demikian, separuh dari yang hadir berteriak, ‘Wuuu, wuuu!’, yang mungkin merupakan kata-kata bahasa Belanda yang berarti ‘Dengar, dengar’. Maka hadirin yang separuh lagi akan tersentak bangun dari tidur yang nyaman. Diceritakan padaku, bahwa sekurang-kurangnya sudah tiga hari pria itu berpidato terus-menerus. Penyabar sekali orang-orang di Afrika Selatan ini. 316 Aku telah menciptakan pekerjaan yang banyak sekali untuk menahan Pagett di Cape Town. Tapi akhirnya keringlah sumber ilhamku, dan besok dia akan menyertaiku dengan semangat seekor anjing setia yang datang dan siap mati di sisi majikannya. Dan aku pun telah banyak kemajuan dengan buku Kenang-kenangankul Telah kucip-takan beberapa lelucon mengenai apa yang dikatakan para pemimpin pemogokan kepadaku, dan apa yang kukatakan pada para pemimpin itu. Pagi ini aku diwawancarai oleh seorang pegawai Pemerintah. Dia kadang-kadang sopan, kadangkadang mendesak, dan sekali-sekali misterius pula. Pertama-tama dia menyindir tentang kedudukanku yang mulia dan penting dan menganjurkan agar aku mau pindah, atau mau dipindahkannya ke Pretoria.
“Jadi Anda menduga akan terjadi kesulitan?” tanyaku. Jawabannya panjang-lebar, dan sama sekak tak ada artinya. Jadi aku berkesimpulan bahwa mereka merasa akan ada kesulitan besar. Kukatakan bahwa Pemerintah mereka telah membiarkan situasi berlarut-larut. “Bukankah ada cara, di mana kita memberikan tali panjang pada seseorang, dan membiarkannya menggantung dirinya sendiri, Sir Eustace?” “Oh ya, memang.” “Sebenarnya bukan para pemogok itu sendiri yang menyebabkan kesulitan. Tapi mereka sebenarnya didalangi oleh suatu organisasi. Senjata 317 dan bahan-bahan peledak telah mengalir masuk kota dan kami telah berhasil merampas dokumen yang menjelaskan bagaimana cara mereka mengimpor barang-barang itu. Mereka menggunakan kata-kata sandi tertentu. Kentang berarti ‘granat’, kembang kol berarti ‘senapan’, sayur-sayuran lain berarti bermacam-macam alat peledak.” “Menarik sekali,” sahutku. “Lebih dari itu, Sir Eustace, kami punya alasan kuat dan terpercaya, bahwa orang yang menjadi otak semuanya ini, yaitu orang jenius yang memimpin peristiwa ini, pada saat ini ada di Johannesburg.” Dia menatapku lama sekali, hingga aku takut kalau-kalau dia curiga bahwa akulah orang itu. Keluar keringat dinginku memikirkan hal itu, dan aku menyesal telah punya niat untuk meninjau sendiri revolusi kecil ini. “Tak ada kereta api yang berangkat dari Johannesburg ke Pretoria,” lanjutnya. “Tapi saya bisa mengatur untuk mengirim Anda ke sana dengan mobil pribadi. Untuk menjaga kalau-kalau Anda dihadang di tengah jalan, saya bisa memberi Anda dua surat jalan terpisah. Satu yang dikeluarkan oleh Pemerintah Union, dan satu lagi surat keterangan yang menyatakan bahwa Anda adalah tamu berkebangsaan Inggris, yang sama sekali tak ada hubungan apa-apa dengan Union.” “Satu untuk rakyat Anda, dan satu lagi untuk para pemogok, bukan?” “Benar.” 318 Tapi aku tak tertarik akan proyek ituaku tahu apa yang akan terjadi dalam keadaan seperti itu. Kita jadi kacau dan bingung. Bisa-bisa aku memberikan surat jalan yang salah kepada orang yang salah, dan akibatnya aku akhirnya ditembak oleh pemberontak yang haus darah itu, atau oleh salah seorang pendukung hukum dan ketertiban, yang kulihat mengawal jalan-jalan dengan memakai topi bulat, mengisap pipa, dan mengepit senapannya secara sembarangan. Lagi pula, apa yang akan kulakukan di Pretoria? Apakah aku harus mengagumi arsitektur gedung-gedung Union, dan mendengarkan gema suara tembakan di sekitar Johannesburg? Maka aku akan terkurung di sana entah untuk berapa
lamanya. Kudengar mereka telah meledakkan jalur kereta api. Agaknya membeli minuman pun sulit di sana. Tempat itu telah dinyatakan dalam keadaan bahaya dua hari yang lalu. “Saudaraku,” kataku, “agaknya Anda tak tahu bahwa saya sedang meninjau keadaan di Rand. Bagaimana saya akan bisa meninjaunya dari Pretoria? Saya hargai perhatian Anda atas keselamatan saya, tapi Anda tak perlu kuatir mengenai diri saya. Saya akan baik-baik saja.” “Saya peringatkan Anda, Sir Eustace,**bahwa soal makanan sudah jadi serius di sini.” “Sedikit berpuasa malah ada baiknya untuk bentuk tubuh saya,” kataku sambil mendesah. Percakapan kami terganggu karena sepucuk 319 telegram disampaikan padaku. Dengan penuh keheranan kubaca telegram itu, “Anne selamat. Dia di Kimberley bersama saya. Suzanne Blair.” Kurasa aku tak pernah percaya benar tentang hilangnya Anne. Ada sesuatu yang aneh yang tak bisa dihancurkan pada diri gadis itudia seperti bola ampuh yang tak bisa rusak meskipun diberikan pada seekor anjing. Dia mempunyai kemampuan istimewa untuk muncul kembali dengan tersenyum. Tapi aku masih tak mengerti, mengapa dia menganggap perlu untuk keluar dari hotel tengah malamhanya untuk pergi ke Kimberley. Malam hari tak ada kereta api. Mungkin dia memasang sayap bidadari dan terbang ke sana. Dan kurasa dia tidak akan pernah mau menjelaskan. Tak ada seorang pun yang mau memberi penjelasanpadaku. Aku selalu saja harus menerka. Lama-lama jadi membosankan. Kurasa itu memang dibutuhkan dalam persurat-kabaran. Telegram itu kulipat kembali dan temanku dari Pemerintah itu pergi. Aku tak senang kalau mengingat bahwa aku terpaksa kelaparan, tapi aku tidak merisaukan keselamatan pribadiku. Smuts benar-benar mampu menangani pemberontakan. Tapi alcu harus membayar banyak kalau ingin minum! Aku ingin tahu apakah Pagett punya pikiran untuk membawa sebotol wiski, bila dia tiba besok? Kupakai topiku dan aku keluar, dengan niat 320 membeli beberapa suvenir. Toko-toko suvenir di Johannesburg agak menyenangkan. Aku sedang melihat-lihat etalase yang penuh dengan barang-barang aneh yang menakjubkan, ketika tiba-tiba seorang pria yang keluar dari toko itu menubruk aku. Aku keheranan, karena ternyata dia adalah Race. Aku tak bisa berkata bahwa dia senang bertemu denganku. Sebaliknya, jelas kelihatan bahwa dia jengkel. Tapi aku memaksanya untuk ikut aku ke hotel. Aku bosan tak punya teman bicara lain, kecuali Nona Pettigrew. “Aku tak menyangka kau ada di Johannesburg,” ocehku. “Kapan kau tiba?” “Semalam.”
“Menginap di mana?” “Di tempat tdman.” Dia jadi sangat pendiam, dan kelihatan merasa tak enak menjawab pertanyaan-pertanyaanku. “Mudah-mudahan saja temanmu itu memelihara ayam itik,” kataku. “Kudengar dalam waktu singkat kita akan sangat memerlukan makanan berupa telur yang baru dan sekali-sekali makan ayam jantan yang sudah tua.” “Ngomong-ngomong,” kataku setiba kami di hotel, “apakah kau sudah mendengar bahwa Nona Beddingfeld masih hidup dan sehat-sehat ^ja?” Dia mengangguk. “Bukan main cemasnya kita dibuatnya,” kataku seenakku. “Ingin sekali aku tahu ke mana gerangan dia pergi malam itu.” 321 “Dia berada di pulau, selama itu.” “Di pulau mana? Bukan di pulau yang didiami anak muda itu?” “Ya, di situlah.” “Benar-benar tak pantas,” kataku. “Kalau Pagett mendengar, dia akan shock. Dia tak pernah suka pada Anne Beddingfeld. Apakah dia anak muda yang sebenarnya ingin dijumpainya di Durban dulu itu?” “Aku rasa bukan.” “Kalau kau tak suka menceritakannya, tak usah,” kataku, padahal sebenarnya aku mendorongnya untuk bercerita. “Kurasa dia adalah anak muda yang akan membuat kita senang sekali, bila kita bisa menangkapnya.” “Bukan?” seruku. Aku jadi berapi-api. Dia mengangguk. “Harry Rayburn, alias Harry Lucasitulah hamanya yang sebenarnya, tahukah Anda itu? Sekali lagi dia telah berhasil meloloskan diri, tapi kita akan segera menangkapnya.” “Bukan main,” gumamku. “Tapi kita tidak mencurigai gadis itu terlibat dalam suatu perkara. Di pihak dia, itu hanya meiup!akanurusan cinta.” Aku sudah lama menduga bahwa Race jatuh cinta pada Anne. Caranya mengucapkan kata-kata yang terakhir itu membuatku merasa lebih yakin. “Dia pergi ke Beira,” lanjutnya cepat. 322
“Begitukah?” tanyaku terbelalak. “Bagaimana kau tahu?” “Dia menulis surat padaku dari Bulawayo, menceritakan bahwa dari situ dia akan pulang. Itulah yang terbaik bagi anak malang itu.” “Tapi kurasa dia tidak berada di Beira,” kataku merenung. “Dia baru akan berangkat ke sana waktu dia menulis surat itu.” Aku tak mengerti. Jelas ada yang berbohong. Tak terpikir olehku bahwa Anne punya alasan kuat untuk memberikan keterangan yang menyesatkan. Aku akan senang sekali kalau aku bisa menyalahkan Race. Dia selalu begitu yakin akan dirinya sendiri. Kukeluarkan telegram tadi dari sakuku, lalu kuberikan padanya. “Lalu bagaimana hal ini bisa dijelaskan?” tanyaku. Dia terpana. “Katanya dia baru akan berangkat ke Beira,” sahut Race bingung. Banyak orang mengira Race itu orang yang pintar. Tapi menurutku, dia agak bodoh. Tak pernah terpikir olehnya bahwa seorang gadis tidak selalu mengatakan yang sebenarnya. “Kimberley lagi. Apa yang mereka lakukan di sana?” gumamnya. “Ya, aku pun heran. Kupikir Anne sedang sibuk-sibuknya di sini, mengumpulkan berita untuk Daily Budget.” “Kimberley,” katanya lagi. Agaknya tempat itu 323 membuatnya risau. “Tak ada apa-apa yang pantas dilihat di sanatambang intan pun sedang tak dikerjakan.” “Maklumlah wanita,” kataku samar. Dia menggeleng lalu pergi. Rupanya aku telah memberinya bahan untuk dipikirkannya. Baru saja dia pergi, temanku yang pegawai Pemerintah itu muncul lagi. “Saya harap Anda mau memaafkan saya karena mengganggu Anda lagi, Sir Eustace,” katanya penuh penyesalan. “Tapi masih ada satudua pertanyaan lagi yang harus saya tanyakan pada Anda.” “Boleh saja, Saudara,” sahutku dengan ceria. “Tanya saja.” “Ini mengenai sekretaris Anda” “Saya tak tahu apa-apa tentang dia,” kataku buru-buru. “Dia menyodorkan dirinya pada saya, di London, mencuri beberapa surat berharga dari sayauntuk mana saya harus memberikan
pertanggungjawabannyalalu menghilang begitu saja di Cape Town. Memang saya berada di Air Terjun, bersamaan dengan waktu dja berada di sana, tapi saya di hotel sedang dia di sebuah pulau. Saya sama sekali tak pernah melihatnya selama saya J^erada di sana.’-‘ Aku berhenti untuk bernapas. “Anda salah mengerti, Sir Eustace. Yang saya bicarakan adalah sekretaris Anda yang seorang lagi.” “Apa? Pagett?” seruku, benar-benar terkejut. 324 “Sudah delapan tahun dia bekerja pada sayadia orang yang bisa dipercaya sepenuhnya.” Orang itu tersenyum. “Masih simpang-siur percakapan kita. Maksud saya yang wanita.” “Nona Pettigrew?” seruku lagi. “Ya. Dia kelihatan keluar dari toko Agrasato yang menjual barang-barang cendera mata.” “Ya, Tuhan!” selaku. “Saya sendiri tadi siang juga ke tempat itu. Bisa-bisa saya yang Anda tangkap keluar dari tempat itu!” Kelihatannya tak ada satu pun hal yang biasa yang bisa dilakukan orang di Johannesburg ini, tanpa dicurigai. “Ya! Tapi dia ke sana lebih dari satu kalidan dalam keadaan yang agak mencurigakan. Sebaiknya saya katakan saja pada Andatapi ini rahasia, Sir Eustacebahwa tempat itu dicurigai sebagai tempat yang dipakai untuk pertemuan organisasi rahasia yang mendalangi pemberontakan ini. Sebab itu saya akan senang sekali kalau boleh mendengar tentang segala sesuatu yang bisa Anda ceritakan tentang wanita itu. Di mana dan bagaimana Anda sampai mempekerjakan dia?” “Dia dipinjamkan kepada saya oleh Pemerintah Anda sendiri.” _ Dia benar-benar terpukul. 325
BAB XXX (Lanjutan Kisah Anne) Begitu tiba di Kimberley, aku langsung mengirim telegram pada Suzanne. Dia cepat sekali datang menemuiku. Dia memberitahukan kedatangannya dengan mengirimkan beberapa pucuk telegram sepanjang perjalananmendahuluinya. Aku heran sekali melihat kenyataan bahwa dia benar-benar sayang padakukusangka aku hanya sekadar suatu sensasi baru saja baginya. Tapi waktu kami bertemu dia benar-benar memelukku dan menangis. Setelah kami agak pulih dari emosi kami, aku duduk di tempat tidur, dan kuceritakan seluruh pengalamanku dari A sampai Z. “Kau memang selalu mencurigai Kolonel Race,” katanya sambil merenung, setelah aku selesai. “Aku baru mulai curiga setelah kau hilang malam itu. S^ebelum itu, aku suka sekak padanya, dan kupikir dia akan merupakan suami yang baik sekali untukmu. Jangan marah, Anne sayang. Tapi bagaimana kau tahu bahwa pemudamu itu berkata benar? Kau mempercayai setiap kata yang diucapkannya.” 326 “Tentu aku percaya,” seruku dengan marah. “Apanya sih yang menarik bagimu? Aku sama sekali tak melihat apa-apa pada dirinya, kecuali ketampanannya dan kesembronoannya. Dan kurasa, caranya bercinta pun merupakan cara modern yang masih berbau kuno dengan sedikit seni bercinta seperti orang-orang Zaman Batu.” Habislah Suzanne kumaki-maki selama beberapa menit. “Mentang-mentang kau sudah menikah dan sudah tenang dan menjadi gemuk. Kau lupa bahwa masih ada sesuatu yang bernama romantika,” kataku mengakhiri amarahku. “Oh, aku kan tidak menjadi gemuk, Anne. Gara-gara kecemasanku memikirkan dirimu akhir-akhir ini, aku pasti telah menjadi kurus kering.” “Kau kelihatan sehat-sehat saja,” kataku dingin. “Kurasa beratmu malah bertambah kira-kira dua puluh kilo.” “Dan aku tak yakin apakah perkawinanku telah memberikan ketenangan hati padaku,” lanjut Suzanne lirih. “Aku baru menerima telegram yang paling menyakitkan hati dari Clarence. Dia menyuruhku cepat-cepat pulang. Akhirnya tak kujawab telegram-telegramnya, dan sekarang sudah lebih dari dua^minggu aku tak menerima kabar dari dia.” Aku tidak terlalu mengindahkan keluhan-keluhan tentang kesulitan-kesulitan dalam hidup perkawinan Suzanne. Dia pasti bisa memberes— 327 kannya dengan Clarence, bila saatnya tiba. Maka kualihkan pokok pembicaraan pada soal berlian-
berlian. Suzanne memandangku dengan pandangan menyesal. “Aku harus memberi penjelasan padamu, Anne. Begini, begitu aku mulai mencurigai Kolonel Race, aku jadi kuatir sekali mengenai berlian-berlian itu. Aku ingin tetap tinggal di Air Terjun, karena takut kalau-kalau dia telah menculik kau dan menyembunyikan kau di sekitar sana. Tapi aku tak tahu apa yang harus kuperbuat dengan permata-permata itu. Aku takut menyimpannya sendiri” Suzanne melihat ke sekelilingnya dengan takut, dia seolah-olah takut dinding-dinding ruangan itu bertelinga. Lalu dia berbisik dengan bersemangat di telingaku. “Suatu gagasan yang bagus sekali,” kataku membenarkan. “Maksudku untuk saat itu. Untuk saat sekarang keadaannya jadi sulit. Apa yang dilakukan Sir Eustace dengan peti-peti itu?” “Yang besar-besar dikirim ke Cape Town. Hal itu kudengar dari Pagett sebelum aku berangkat dari Air Terjun, dan dia mengirimkan surat tanda terima penyimpanannya. Ngomong-ngomong, hari ini dia berangkat dari Cape Town, untuk menggabungkan diri dengan Sir Eustace di Johannesburg.” “Oh, begitu,” kataku merenung. “Lalu peti-peti yang kecil di mana?” “Kurasa ada pada Sir Eustace sendiri.” Kupikirkan hal itu. “Yah,” kataku akhirnya, “memang sulittapi cukup aman. Sekarang ini sebaiknya kita tidak berbuat apa-apa.” Suzanne memandangku sambil tersenyum kecil. “Bukankah kau tak suka nganggur, Anne?” “Memang tidak begitu suka,” sahutku sejujurnya. Satu hal yang jelas bisa kulakukan adalah mencari jadwal kereta api, dan melihat pukul berapa kereta api yang ditumpangi Guy Pagett akan melewati Kimberley. Kudapati bahwa kereta api itu akan tiba pukul lima lewat empat puluh esok petangnya, dan berangkat lagi pukul enam. Aku ingin bertemu dengan Pagett secepat mungkin, dan waktu itulah merupakan kesempatan yang terbaik. Keadaan di Rand makin bertambah serius, dan “mungkin masih lama aku baru akan mendapat kesempatan lagi. Satu-satunya hal yang menghidupkan hari itu, adalah sepucuk telegram yang dikirim dari Johannesburg. Telegram itu sederhana sekali bunyinya, “Sudah tiba dengan selamat. Semuanya beres. Eric ada di sini, juga Eustace, tapi Guy tidak. Sekarang tetaplah tinggal di mana kau berada. Andy.” Eric adalah nama julukan kami untuk Race. Aku yang memilihnya karena aku benci sekali pada 329 328
nama itu. Jelas tak ada yang harus kulakukan sampai aku bisa bertemu dengan Pagett. Suzanne menyibukkan diri dengan mengirim telegram panjang untuk menenangkan Clarence yang jauh. Šia jadi sentimentil dan merindukan suaminya. Dengan caranya sendiriyang tentu sangat berbeda dengan aku dan Harrydia sebenarnya amat cinta pada Clarence. “Alangkah baiknya kalau dia ada di sini, Anne,” katanya sambil menelan ludah. “Sudah ‘lama sekali aku tak bertemu dengan dia.” “Oleskan krim ke wajahmu,” kataku membujuk. Suzanne mengoleskan sedikit ke pucuk hidungnya yang bagus. “Aku juga perlu krim muka lagi,” katanya, “padahal yang macam ini hanya ada di Paris.” Dia mendesah. “Paris!” “Suzanne,” kataku, “dalam waktu singkat kau akan merasa bosan di Afrika Selatan dan bosan bertualang.” “Aku ingin topi yang benar-benar bagus,” Suzanne cepat mengaku. “Apakah kau ingin aku menemanimu menemui Guy Pagett besok?” “Aku lebih suka pergi sendiri. Dia akan lebih malu berbicara di depan kita berdua.” . Esok siangnya aku berdiri di ambang ^intu notel, berjuang dengan payung yang bandel yang ‘tak mau dibuka, sementara Suzanne berbaring dengan tenangnya di tempat tidurnya ditemani sebuah buku dan sekeranjang buah-buahan. 330 Menurut pelayan hotel, kereta api sedang berkelakuan baik dan hampir pasti akan tiba tepat pada waktunya, meskipun dia sangat meragukan apakah kereta api itu akan bisa terus ke Johannesburg. Dengan bersungguh-sungguh diceritakan? nya bahwa relnya telah diledakkan. Kedengarannya mengecilkan hati! Kereta api memasuki stasiun terlambat sepuluh menit. Semua orang berebutan turun ke peron, dan berjalan hilir-mudik dengan kacau. Aku tak menemui kesulitan menemukan Pagett. Aku cepat-cepat mendatanginya. Seperti biasanya dia terkejut dan gugup waktu melihat akukali ini agak berlebihan. “Astaga, Nona Beddingfeld, saya sangka Anda sudah hilang.” “Saya sudah muncul kembali,” kataku bersungguh-sungguh. “Dan bagaimana kabar Anda, Mr. Pagett?” “Baik-baik saja, terima kasihsudah ingin sekali mulai bekerja kembali dengan Sir Eustace.” “Mr. Pagett,” kataku, “ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Saya harap Anda tak tersinggungť soalnya hal itu penting sekali, lebih penting dari yang Anda duga. Saya ingin tahu apa yang Anda lakukan di Marlow pada tanggal 8 Januari vang lalu?” Dia terkejut sekali.
“Sungguh, Nona Beddingfeld sayasungguh-“ “Benar Anda ada di sana, bukan?” 331 “Sayauntuk urusan saya sendiri saya berada di sekitar tempat itu.” “Tak maukah Anda menceritakan urusan Anda itu?” “Apakah Sir Eustace belum menceritakannya pada Anda?” “Sir Eustace? Apakah dia tahu?” “Saya yakin dia tahu. Saya berharap dia tidak mengenali saya waktu itu, tapi dari sindiran-sindiran yang diucapkannya saya yakin dia tahu. Pokoknya, saya bermaksud akan mengakui semuanya, dan kemudian minta berhenti. Beliau orang yang aneh, Nona Beddingfeld, dengan rasa humor yang tak wajar. Agaknya dia senang membiarkan saya dalam keadaan tegang. Saya yakin bahwa selama ini beliau tahu keadaan yang sebenarnya. Mungkin sudah bertahun-tahun beliau tahu.” Kuharap saja bahwa cepat atau lambat aku akan mengerti apa yang dikatakan Pagett itu. Dia berkata lagi dengan lancar, “Sulit bagi orang yang berkedudukan seperti Sir Eustace untuk memahami keadaan saya. Saya tahu bahwa saya salah, tapi rasanya itu merupakan suatu penipuan yang tak merugikan. Menurut saya, akan lebih baik bila dia langsung menindak sayadaripada menyatakannya dalam bentuk lelucon sindiran yang menyakiti hati saya.” Terdengar bunyi peluit, dan orang-orang mulai masuk ke kereta api. “Benar, Mr. Pagett,” selaku. “Saya sependapat 332 benar dengan apa yang anda katakan tentang Sir Eustace. Tapi untuk apa Anda pergi ke Marlow ?” “Saya memang salah pergi ke sana, tapi dalam keadaan itu, wajarya, saya tetap menganggap hal itu wajar dalam keadaan itu.” “Dalam keadaan apa?” teriakku. Barulah Pagett kelihatan menyadari bahwa aku sedang bertanya padanya. Rupanya pikirannya baru terlepas dari keanehan-keanehan Sir Eustace, dan keinginannya untuk membela diri. Dan akulah yang menjadi sasaran pelampiasannya. “Maaf, Nona Beddingfeld,” katanya kaku, “tapi saya tidak melihat kepentingan Anda dalam urusan ini.” Dia sudah naik ke kereta api. Dia bersandar di jendela, berbicara padaku. Aku putus asa. Apa yang bisa
dilakukan dengan orang seperti itu? x “Yah, kalau memang begitu mengerikan hingga Anda malu mengatakannya pada saya” kataku menyakiti hatinya. Akhirnya aku menemukan cara yang tepat. Pagett menjadi tegang dan wajahnya memerah. “Mengerikan? Malu? Saya tak mengerti.” “Kalau begitu ceritakanlah.” Hanya dengan tiga kalimat pendek dia menceritakannya. Akhirnya tahulah aku rahasia Pagett! Rahasia itu jauh berbeda dari apa yang kuharapkan. Aku berjalan perlahan-lahan kembali ke hotel. Sesampai di sana, disampaikan padaku sepucuk telegram. Telegram itu kubuka. Isinya instruksi 333 yang lengkap tjaji-jelas, supaya aku segera berangkat Re Jojiai^esburg, atau tepatnya ke stasiun pertama seb^tujn Stasiun Johannesburg. Di sana aku akan dijemput mobil. Telegram itu ditandatangani Harry, bukan Andy. Aku duduk dan berpikir. 334
BAB XXXI 335 (Dari Buku Harian Sir Eustace Pedler) Johannesburg, 7 Maret Pagett sudah tiba. Tentu saja dia murung. Dia segera menganjurkan supaya kami berangkat ke Pretoria. Kemudian, waktu kukatakan padanya dengan ramah tapi tegas bahwa kami akan tetap di sini, dia jadi aneh. Dikatakannya bahwa dia akan merasa lebih aman bila senapannya ada di sini, lalu mulai ngoceh tentang jembatan yang pernah dijaganya selama Perang Dunia. Sebuah jembatan kereta api di persimpangan Little Puddecombe, atau semacamnya. Kisah itu cepat-cepat kupotong dengan menyuruhnya membuka bungkusan mesin tiknya. Kupikir hal itu akan menyibukkannya untuk sementara, karena mesin tik itu pasti tak beresselalu begitu mesin tik itudan dia akan terpaks* membawanya ke tukang servis untuk diperbaiki. Tapi aku lupa bahwa Pagett selalu mengerjakan tugas-tugasnya pada waktunya. “Saya sudah membuka semua peti-peti itu, Sir Eustace. Mesin tiknya dalam keadaan baik.” “Apa^mak^ui^m^-ysernua peti-peti?” “KeUua pen’j^ng kecil itu juga.” ““Alangka^aiKnya kalau kau tidak begitu sok tahu, Pagett,. “5s|-peti kecil itu bukan urusanmu. Itu, *mijik .NyonjrŤ>^lair.” Pagett ke^irTa*^ kecewa. Dia tak suka membuat kesalahan. “Jadi kau harus mengepaknya lagi dengan rapi,” lanjutku. “Setelah itu kau boleh keluar melihat-lihat kota. Mungkin besok Johannesburg sudah menjadi seonggok reruntuhan yang berasap. Jadi ini mungkin merupakan kesempatanmu yang terakhir.” Kupikir, dengan begitu sekurang-kurangnya aku akan bebas dari dia sepanjang pagi ini. “Kalau Anda ada waktu, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Anda, Sir Eustace.” “Aku tak sempat,” kataku cepat-cepat. “Saat ini aku sibuk sekali.” Pagett pergi. “Ngomong-ngomong,” panggilku kembali, “apa isi peti-peti Nyonya Blair itu?” “Beberapa alas lantai dari kulit binatang, dan-saya rasa beberapa buah topi dari kulit binatang pula.” “Benar,” kataku membenarkan. “Itu memang topimasa kau tak tahu bahwa itu topi. Dia membelinya di kereta api. Dia pasti akan memakai satu di antaranya untuk nonton balap kuda di Ascot. Apa lagi?” “Beberapa tabung film, dan beberapa keranjangbanyak keranjang”
336 “Tentu,” aku meyakinkannya. “Nyonya Blair tak pernah membeli sesuatu kurang dari selusin.” “Hanya itu saja, Sir Eustace, kecuali beberapa macam tetek bengek, seperti sehelai selendang dan beberapa sarung tangan yang hanya sebelah-sebelah saja” “Bila kau tidak begitu bodoh, Pagett, kau tentu sudah tahu bahwa barang-barang begituan bukanlah milikku.” “Saya sangka beberapa di antaranya mungkin kepunyaan Nona Pettigrew.” “Nah, aku jadi ingatapa-apaan kau memilihkan aku sekretaris yang tindak-tanduknya meragukan begitu?” Lalu kuceritakan padanya tentang tanya-jawab yang telah kualami. Aku langsung menyesal, karena kulihat matanya berkilat, dan aku tahu benar apa artinya itu. Maka aku cepat mengalihkan bahan pembicaraan. Tapi terlambat. Pagett sudah terlanjur siap tempur. Kemudian mulailah dia mengisahkan suatu cerita yang tak berujung pangkal, mengenai Kilmorden. Mengenai sebuah tabung film dan suatu taruhan. Tabung film itu dilemparkan melalui lubang angin pintu sebuah kamar oleh seorang pramugara yang goblok. Aku tak suka taruhan kuda. Hal itu kukatakan pada Pagett, tapi dia malah mengulangi cerita itu lagi. Dia memang sama sekali tak pandai bercerita. Lama baru aku mengerti kisahnya itu. Aku tak melihatnya lagi sampai waktu makan 337 siang. Lalu dia masuk dalam keadaan kacau, seperti anjing pemburu yang mencium jejak binatang buruan. Aku tak pernah suka pada anjing pemburu. Akhirnya aku baru mengerti bahwa dia melihat Rayburn. “Apa?” seruku terkejut. Ya, dia melihat seseorang yang dia yakin adalah Rayburnsedang menyeberangi jalan. Pagett membuntutinya. “Dan tahukah Anda, siapa lagi yang saya lihat? Nona Pettigrew yang berhenti dan bercakap-cakap dengan dia!” “Apa?” “Benar, Sir Eustace. Dan bukan hanya itu. Saya telah bertanya-tanya tentang perempuan itu” “Tunggu sebentar. Apa yang terjadi atas diri Rayburn?” “Dia masuk ke toko cendera mata di tikungan itu, bersama Nona Pettigrew”
Tanpa kusadari aku berseru. Pagett terhenti, keheranan. “Tak apa-apa,” kataku. “Teruskan.” “Lama sekali saya menunggu di luartapi mereka tidak keluar-keluar. Akhirnya saya masuk. Sir Eustace, tak ada seorang pun dalam toko itu! Pasti ada jalan ke luar yang lain.” Aku membelalak memandanginya. “Saya kembali ke hptel dan mencari informasi tentang Nona Pettigrew.” Pagett lalu merendahkan suaranya dan napasnya berat, seperti biasanya kalau dia mau menceritakan suatu rahasia. “Sir 338 Eustace, orang melihat seorang laki-laki keluar dan kamarnya semalam.” Aku mengangkat alisku. “Padahal selama ini dia kuanggap wanita yang sangat terhormat,” gumamku. Tanpa mempedulikan kata-kataku, Pagett melanjutkan. “Saya langsung pergi dan memeriksa kamarnya. Tahukah Anda apa yang saya temukan?” Aku menggeleng. “Ini!” Pagett menunjukkan pisau cukur ‘dan sabun cukur. “Untuk apa barang-barang ini bagi seorang wanita?” Kurasa Pagett tak pernah membaca iklan-iklan dalam surat-surat kabar bacaan wanita kelas atas. Aku biasa. Meskipun aku tak bermaksud memperdebatkan soal itu, aku tak mau menerima pisau cukur itu sebagai bukti nyata tentang jenis kelamin Nona Pettigrew. Pagett memang kolot sekali. Aku sama sekali tidak akan terkejut bila dia menunjukkan kotak rokok untuk mendukung teorinya. Tapi Pagett pun punya batas-batasnya. “Anda tak yakin, Sir Eustace. Bagaimana kalau Anda melihat ini}” Kuperiksa barang yang diangkatnya tinggi-tinggi dengan sikap kemenangan itu. “Kelihatannya seperti rambut,” kataku dengan rasa jijik. 339 “Memang rambut. Saya rasa inilah yang disebut orang wig.” “Memang,” kataku. “Nah, apakah Anda yakin sekarang bahwa Pettigrew itu sebenarnya seorang laki-laki yang menyamar?”
^ “Memang, Pagett, sekarang aku yakin. Seharusnya aku tahu begitu aku melihat kakinya.” “Begitulah. Dan sekarang, Sir Eustace. Saya ingin berbicara tentang urusan pribadi saya. Berdasarkan sindiran-sindiran Anda yang selalu menyinggung tentang saat saya berada di Florence, saya yakin bahwa Anda sudah mencium rahasia saya.” Akhirnya akan terbuka juga misteri tentang apa yang diperbuat Pagett di Florence. “Mengaku sajalah tentang itu, Pagett,” kataku dengan ramah. “Itulah jalan yang terbaik.” “Terima kasih, Sir Eustace.” “Apakah mengenai suaminya? Suami orang memang sering menjengkelkan. Mereka selalu muncul pada saat yang sama sekali tidak kita harapkan.” “Saya tak mengerti, Sir Eustace. Suami siapa?” “Suami wanita itu.” “Wanita mana?” ‘f” “Ya, ampun, Pagett, wanita teman kencanmu di Florence itu. Tentu ada seorang wanita. Jangan membual bahwa kau merampok sebuah gereja atau menikam punggung seorang pria, hanya karena kau tak suka melihat wajahnya.” 340 “Saya sama sekali tak mengerti, Sir Eustace. Anda tentu bergurau.” “Kadang-kadang aku memang suka melucu kalau aku mau. Tapi saat ini aku tidak sedang bergurau.” “Karena waktu itu saya berada jauh dari Anda, saya berharap semoga Anda tidak mengenali saya, Sir Eustace.” “Mengenali kau di mana?” “Di Marlow, Sir Eustace.” “Di Marlow? Apa kerjamu di Marlow?” “Saya pikir Anda mengerti bahwa” “Makin lama aku jadi makin tak mengerti. Kembalilah ke awal ceritamu. Kau pergi ke Florence.” “Jadi Anda sama sekali tak tahudan Anda tak* mengenali saya!” “Agaknya kau mengakui sesuatu yang tak berartikau ketakutan karena hati kecilmu sendiri. Tapi kalau sudah kudengar seluruh ceritamu, aku akan bisa menilainya lebih baik. Nah, tariklah napas panjangpanjang dan mulailah lagi. Kau pergi ke Florence” “Tapi saya tidak pergi ke Florence. Itulah soalnya.” “Lalu ke mana kau pergi?”
“Saya pulangke Marlow.” “Untjuk apa kau ke Marlow?” “Untuk menjumpai istri saya. Kesehatannya terganggu, dan dia sedang menantikan” “Istrimu? Aku tak tahu bahwa kau sudah kawin!” 341 “Memang tidak, Sir Eustace, itulah yang akan saya katakan pada Anda. Saya membohongi Anda dalam hal itu.” “Sudah berapa lama kau kawin?” “Delapan tahun lebih. Saya baru kawin enam bulan waktu saya menjadi sekretaris Anda. Saya ‘ takut kehilangan pekerjaan. Seorang sekretaris yang harus tinggal serumah dengan majikannya sebenarnya tak boleh punya istri. Jadi saya rahasiakan hal itu.” “Kau membuatku terkejut sekali,” kataku. “Di mana istrimu itu selama ini?” “Lebih dari lima tahun ini kami tinggal di sebuah rumah kecil, dekat sungai di Marlow. Tak jauh dari Mill House.” “Ya, Tuhan,” gumamku. “Berapa anakmu?” “Empat orang, Sir Eustace.” Aku ternganga memandanginya. Seharusnya aku tahu bahwa laki-laki seperti Pagett tak bisa menyimpan rahasia tentang kesalahannya. Pribadinya yang selalu menjunjung tinggi kehormatan itulah yang selama ini merupakan racun bagiku. Sesuai benar dengan pribadinya, menyimpan rahasia macam itupunya istri dan empat anak. “Pernahkah kauceritakan hal itu pada orang lain?” tanyaku akhirnya, setelah lama memandanginya dengan terpana. “Hanya pada Nona Beddingfeld. Dia mendatangi saya di stasiun di Kimberley.” Lagi-lagi aku terpana menatapnya. Dia merasa tak enak kupandangi begitu. 342 “Saya harap Anda tidak terlalu marah, Sir Eustace?” “Pagett,” kataku. “Terus terang kukatakan bahwa kau benar-benar telah mengacaukan keadaan!” Aku keluar dalam keadaan kacau sekak. Waktii” aku melewati toko cendera mata di tikungan, aku merasa sangat terdorong, dan aku masuk. Pemiliknya menyambutku dengan hormat sekali, sambil menggosok-gosok tangannya. s:
“Silakan melihat-lihat, Tuan. Kulit binatang, .barang-barang khas daerah!” “Saya ingin sesuatu yang tak biasa,” kataku. “Untuk suatu peristiwa khusus. Bisakah Anda memperlihatkan apa yang ada pada Anda?” “Silakan masuk ke kamar belakang. Kami punya banyak barang-barang khusus di sana.” Di situlah kekeliruanku. Padahal kupikir aku akan melakukan sesuatu yang cerdik. Aku mengikutinya masuk melalui pintu angin. 343
BAB XXXII (Sambungan Kisah Anne) Aku menghadapi kesulitan besar dengan Suzanne. Dia melarang, dia memohon, dan dia bahkan menangis sebelum akhirnya aku dilepasnya untuk melaksanakan rencanaku. Akhirnya terlaksanalah keinginanku. Kuberi dia beberapa instruksi. Dia berjanji untuk menjalankan instruksi itu dengan saksama. Lalu dia ikut ke stasiun, dan melepasku dengan berurai air mata. Esok harinya pagi-pagi benar, aku tiba di tempat tujuanku. Aku dijemput oleh seorang Belanda yang pendek dan berjenggot hitam. Orang itu belum pernah kulihat. Sebuah mobil sudah menunggu dan kami berangkat. Terdengar bunyi menggelegar di kejauhan. Aku bertanya apa itu. “Meriam,” sahutnya tak acuh. Jadi di Johannesburg sedang ada pertempuran! Rupanya tujuan kami adalah suatu tempat di pinggir kota. Kami membelok-belok dan berputar beberapa kali untuk tiba di sana. Bunyi meriam-meriam itu terasa makin lama makin dekat. Tegang sekali rasanya aku. Akhirnya kami berhenti di depan sebuah bangunan yang agak 344 bobrok. Pintu dibuka oleh seorang anak laki-laki pribumi. Penjemputku mengisyaratkan agar kami masuk. Aku berdiri dalam ruangan segi empat yang kotor, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Lakilaki tadi melewati aku, lalu membuka sebuah pintu lebar-lebar. “Ini Nona muda yang akan berjumpa dengan Tuan Harry Rayburn,” katanya lalu tertawa. Aku masuk. Kamar itu hanya sedikit perabotnya dan berbau asap tembakau murahan. Di balik meja kerja, duduk seorang pria yang sedang menulis. Dia mendongak, lalu mengangkat alisnya. “Astaga,” katanya, “Nona Beddingfeld rupanya?” “Salahkah penglihatan saya?” kataku dengan nada meminta maaf. “Apakah Anda Pendeta Chichester atau Nona Pettigrew? Banyak sekali; persamaan antara keduanya.” “Saat ini kedua tokoh itu kita abaikan dulu. Pakaian wanita sudah saya tanggalkanbegitu juga pakaian pendeta. Silakan duduk.” Aku duduk dengan tenang. “Agaknya saya telah datang ke alamat yang salah,” kataku. “Dari segi kepentingan Anda, memang salah. Yah, Nona Beddingfeld, Anda telah masuk perangkap untuk kedua kalinya!” “Bodoh sekali saya,” kuakui dengan lemah. Agaknya dia heran melihat sikapku. “Anda kelihatannya tidak terlalu risau dengan kejadian ini,” katanya datar.
“Apakah Anda akan lebih suka bila saya memberontak?” tanyaku. “Sama sekali tidak.” Ś “Bibi ibu saya: yang bernama Jane pernah mengatakan bahwa seorang wanita sejati tak boleh terlalu terkejut dan tercengang dalam menghadapi suatu kejadian,” gumamku sambil menerawang. “Saya selalu berusaha mengikuti pandangan hidupnya itu.” Aku bisa membaca di wajah Mr. Chichester-Pettigrew apa yang dipikirkannya, dan aku pun cepatcepat berkata lagi, “Anda memang benar-benar ahli mengubah-ubah dandanan,” kataku memuji. “Selama Anda menjadi Nona Pettigrew, saya tak pernah bisa mengenali Andabahkan waktu pensil Anda sampai patah karena terkejutnya Anda melihat saya waktu saya naik kereta api di Cape Town itu pun, tidak.” Pensil yang sedang dipegangnya saat itu, diketuk-ketukkannya ke meja. “Biarlah yang sudah berlalu itu, sekarang mari kita berurusan. Nona Beddingfeld, mungkin Anda bisa menduga mengapa kami menghendaki Anda kemari?” “Maafkan saya,” kataku, “tapi saya tak pernah berurusan kecuali jika langsung dengan sang pemimpin.” Aku pernah membaca ucapan begitu atau semacamnya di suatu surat edaran lintah darat, dan aku senang bisa menggunakannya. Dan 346 ucapan itu mempunyai efek menghancurkan atas diri Mr. Chichester-Pettigrew. Dia membuka mulutnya lalu menutupnya kembali. Aku memandanginya dengan berseri-seri. Setelah berpikir sebentar, kutambahkan, “Itu semboyan paman ibu saya yang bernama George”. Dia adalah suami bibi ibu saya yang bernama Jane itu. Kerjanya membuat tombol kuningan untuk hiasan tempat tidur.” ‘ Aku tak tahu apakah Chichester-Pettigrew pernah diperolok-olok. Nyatanya dia sama sekali tak suka. “Sebaiknya Anda mengubah cara bicara Anda, Nona.” ^ Aku tak menyahut, tapi aku menguap-nguap kecil untuk menyindir betapa bosannya aku; “Apa-apaan” sergahnya. Cepat-cepat kupotong, “Yakinlah, tak ada gunanya marah-marah pada saya. Kita hanya membuang-buang waktu saja di sini. Saya tetap tak ingin berbicara dengan orang bawahan. Anda akan menghemat banyak waktu dan kejengkelan, kalau Anda langsung mengantar saya pada Sir Eustace Pedler.” “Pada-?”
Dia tercengang-cengang. “Ya,” kataku. “Pada sir Eustace Pedler.” “Sasayamaaf” Dia lari keluar kamar itu secepat kilat. Kesempatan yang baik itu kumanfaatkan untuk membuka tasku dan membedaki wajahku lagi dengan 347 sempurna. Dan kuperbaiki pula letak topiku. Kemudian aku duduk tenang-tenang, menunggu dengan sabar kembalinya musuhku. Dia kembali dalam keadaan sudah pulih lagi. “Mari ikut saya, Nona Beddingfeld.” Aku mengikutinya naik tangga. Dia mengetuk pintu sebuah kamar, dari dalam terdengar suara tegas berkata, “Masuk,” dibukanya pintu lalu di-isyaratkannya supaya aku masuk. Sir Eustace Pedler melompat bangkit untuk’ menyambutku, dengan tersenyum ramah. “Nah, nah, Nona Anne.” Tanganku dijabatnya dengan hangat. “Aku senang sekali bertemu denganmu. Mari duduk. Letih setelah perjalananmu tadi? Tidak? Bagus.” Dia duduk berhadapan denganku, dengan wajah yang tetap berseri. Aku jadi kurang enak. Sikapnya begitu wajar. “Kau pandai, berkeras minta diantar langsung padaku,” lanjutnya. “Si Minks itu goblok. Dia seorang aktor yang baiktapi bodoh. Minks adalah orang yang menemuimu di lantai bawah itu.” “Oh, ya?” kataku lemah. “Nah sekarang,” kata Sir Eustace dengan ceria, “mari kita bicarakan kenyataan-kenyataan yang ada. Sudah berapa lama kau tahu bahwa akulah !KoloneP itu?” “Sejak Mr. Pagett menceritakan pada saya bahwa dia melihat Anda di Marlow, padahal semua orang menyangka bahwa Anda ada di Cannes.” 348 Sir Eustace mengangguk dengan murung. “Ya, kukatakan pada si tolol itu bahwa dia telah mengacaukan keadaan. Kata-kataku tentu tak diperhatikannya. Pikirannya hanya tertuju pada soal, apakah aku mengenali dia waktu itu. Tak pernah terpikir olehnya, apa yang kuperbuat di sana. Dasar sial. Padahal sudah kuatur begitu cermat, kusuruh dia pergi ke Florence, kukatakan .pada hotel bahwa aku akan pergi ke Nice selama Śsatu atau dua malam. Lalu waktu pembunuhan itu terbongkar, aku sudah kembali ke Cannes. Tak seorang pun
menyangka bahwa aku pernah meninggalkan Cannes.” Dia berbicara dengan wajar dan tanpa emosi. Aku harus mencubit diriku sendiri untuk meyakinkan bahwa itu semua benar terjadibahwa’ pria di hadapanku ini adalah penjahat ulung yang sebenarbenarnya, yaitu ‘Kolonel’. Kuikuti urut-urutan kejadian yang kuingat. “Kalau begitu, Anda-lah yang mencoba menceburkan saya ke laut dari Kilmorden,” kataku perlahan. “Anda-lah yang dibuntuti Pagett ke dek malam itu?” Dia mengangkat bahu. “Maafkan aku, Nak. Aku benar-benar menyesal. Aku selalu menyukaimutapi kau terlalu mencampuri. Aku tak rela semua rencanaku, digagalkan oleh seorang gadis kecil.” Ś “Saya rasa rencana Anda di Air Terjun itulah yang paling cerdik,” kataku. Aku berusaha untuk meninjau kejadian itu seolah-olah aku tidak 349 terlibat di dalamnya. “Saya bersedia disumpali di mana pun, bahwa Anda ada di hotel waktu saya keluar. Yang akan datang, bila sudah saya lihat sendiri, baru saya percaya.” “Ya, Minks telah sukses besar dalam penyamarannya sebagai Nona Pettigrew, dan dia pandai sekali menirukan suaraku.” “Ada satu hal yang ingin saya ketahui.” “Apa itu?” “Bagaimana Anda bisa membujuk Pagett untuk memilih Nona Pettigrew menjadi sekretaris Anda?” “Oh, itu sederhana sekali. Waktu Pagett pergi ke kantor Urusan Perdagangan atau Persekutuan Pertambangan, atau entah ke mana, dia bertemu dengan perempuan itu di pintu. Dikatakannya pada Pagett bahwa aku telah buru-buru menelepon, dan bahwa dialah yang telah dipilih oleh Pemerintah. Dalam urusan seperti itu Pagett mau saja percaya.” “Anda berterus terang,” kataku sambil menatapnya lurus-lurus. “Tak ada alasan untuk tidak berterus terang.” Aku tak suka mendengar kata-katanya itu. Cepat-cepat kukatakan penafsiranku mengenai kata-katanya itu. “Jadi Anda yakin akan keberhasilan Revolusi ini? Apakah setelah itu Anda akan menghentikan kegiatan-kegiatan Anda di masa lalu?” “Ucapanmu itu sama sekak tidak menunjukkan kecerdasanmu. Tidak, Anakku, aku tidak percaya 350
bahwa Revolusi ini akan berhasil. Paling-paling beberapa hari lagi, dan Revolusi itu akan menguap dengan meninggalkan bekas yang buruk.” “Jadi sekak lagi Anda gagal, rupanya?” kataku dengan maksud menyakiti hatinya. “Kau sama saja dengan perempuan-perempuan lain, kau tak mengerti soal bisnis. Tugasku dalam urusan ini hanya menyediakan alat-alat peledak dan senjata-senjata tertentuuntuk mana aku dibayar banyak sekali. Juga untuk membakar perasaan umum, dan menuduh orang-orang tertentu habishabisan. Kontrakku itu sudah kulaksa-nakan dengan sukses sekak, dan demi keamanan, aku minta dibayar di muka. Semuanya sudah kuatur dengan rapi sekali, karena urusan ini akan merupakan kontrakku yang terakhir. Aku mau berhenti dari pekerjaan ini. Mengenai apa yang kausebut masa laluku, aku benar-bejiar tak tahu apa maksudmu. Aku bukan pemimpin pemberontakan atau semacamnyaaku hanya seorang pendatang terkemuka, berkebangsaan Inggris, yang bernasib malang, karena telah melihat-lihat isi sebuah toko cendera matadan aku telah melihat sesuatu yang sebenarnya tak boleh kulihat. Maka orang itu lalu. diculik, dan besok atau lusa, bila keadaan mengizinkan, orang akan menemukan diriku terikat di suatu tempat, dalam keadaan yang menyedihkan karena ketakutan dan kelaparan.” “Oh!” kataku. “Lalu bagaimana nasib saya?” “Itulah,” kata Sir Eustace dengan nada halus. “Bagaimana dengan nasibmu? Kau sudah ada di 351 sinibukannva aku ingin menepuk dadatapi dengan mudah sekali aku menjebakmu kemari. Masalahnya sekarang, akan kuapakan kau? Cara yang termudah untuk menyingkirkanmudan boleh kutambahkan, cara yang paling menyenangkan bagi dirikuadalah cara perkawinan. Seorang istri tak bisa mendakwa suaminya, dan aku sangat mendambakan seorang istri yang muda, yang cantik, yang bisa menggenggam tanganku dan yang selalu memandangiku dengaii mata berbinarjangan pelototkan begitu matamu itu! Aku jadi takut. Kulihat bahwa rencanaku itu tak berkenan di hatimu?” “Memang tidak.” Sir Eustace mendesah. “Sayang sekali. Tapi aku bukan bajingan dari Adelphi. Kurasa kesulitannya sekarang ini adalah Seperti yang biasa tertulis dalam buku-buku: kau mencintai pria lain.” “Saya memang mencintai pria lain.” “ “Sudah kudugamula-mula kusangka orang itu adalah si Race, keledai sombong yang berkaki ^panjang itu. Tapi kurasa sebenarnya dia adalah pahlawan muda yang telah menyelamatkanmu di Air Terjun malam itu. Kaum wanita memang tak punya selera. Kedua orang itu tak punya separuh dari otak yang kumiliki. Orang memang mudah sekali menganggapku remeh.” Kurasa dia memang benar dalam hal itu. Meskipun aku tahu pasti orang macam apa dia -sebenarnya, aku tetap tak bisa percaya. Dia telah 352
mencoba membunuhku lebih dari satu kali, bahkan sudah membunuh seorang wanita lain. Lagi pula dia yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan-kejahatan lain yang aku sendiri tak tahu, dan aku tetap tak bisa menilai perbuatan-perbuatan itu sebagaimana mestinya. Aku tak bisa menilai dirinya lain dari sebagai teman seperjalanan kami yang menyenangkan dan baik hati. Aku bahkan tak bisa merasa takut padanyapadahal aku tahu bahwa dia bisa saja menyuruh orang membunuhku dengan darah dingin, bila hal itu dianggapnya perlu. Aku hanya bisa menyamakannya dengan kasus Long John Silver, k4rangan Stevenson. Dia pasti orang seperti itu. “Yaaah ” kata orang luar biasa itu sambil menyandarkan dirinya di kursi. “Sayang sekali kau tak .tertarik untuk menjadi Lady Pedler. Soalnya pilihan-pilihan lain cukup seram.” Aku merasa ngeri. Aku memang tahu bahwa aku telah mengambil jalan yang penuh bahaya, tapi rasanya tindakanku itu masuk akal dan pantas dilakukan. Apakah semua yang telah kuperhitungkan akan berjalan dengan baik, ataukah tidak? “Soalnya,” lanjut Sir Eustace, “aku lemah dalam menghadapi kau. Aku benar-benar tak ingin kekerasan. Bagaimana kalau kauceritakan saja segalanya, dari awalnya, lalu kita lihat lagi apa, yang akan kita lakukan. Tapi ingat, jangan diembel-embeli dengan khayalanmuaku hanya ingin cerita yang benar.” 353 Aku tidak akan membuat kesalahan dalam hal itu. Dan aku sangat menghormati kesungguhan Sir Eustace. Pada saat itu dia hanya menginginkan yang benar. Maka kuceritakanlah semua kejadian yang telah kualami, tanpa melampaui apa pun juga, sampai saat Harry menyelamatkan aku. Setelah ceritaku usai, dia mengangguk membenarkan. “Kau anak pandai. Kau telah mengeluarkan seluruh isi hatimu. Tapi bila kau tidak melakukannya tadi, aku bisa memaksamu untuk berbuat begitu. Sebenarnya banyak orang yang tidak akan mempercayai ceritamu itu, terutama bagian yang pertama. Tapi aku percaya. Kau memang gadis yang akan langsung mengambil langkah begitu meskipun tanpa alasan yang kuat. Kau memang beruntung sekali, tapi cepat atau lambat, si amatir berhadapan dengan si profesional, maka akibatnya adalah seperti yang telah kaualami. Dalam hal ini, akulah pelaku yang profesional itu. Aku memulai pekerjaan ini sejak aku muda sekali. Menurut pertimbanganku, cara inilah yang terbaik untuk cepat menjadi kaya. Aku memang selalu pandai memakai otak dan membuat rencana-rencana yang Ťerdikdan aku tak pernah membuat kekeliruan dengan menjalankan sendiri rencana-rencanaku. Semboyanku adalah, tugaskanlah selalu orang yang ahli. Begitu aku mengabaikan prinsipku, aku .langsung menyesaltapi aku tak bisa mempercayai siapa pun untuk melaksanakan pekerjaan itu untukku. Nadina tahu terlalu banyak. Aku ini orang yang gampang, baik hati, dan tak mudah 354 marahselama aku tak dirintangi. Nadina telah merintangiku dan sekaligus mengancamkupada saat aku berada di puncak karierku. Kalau ia sudah mati dan berlian-berlian itu berada dalam tanganku, amanlah aku. Sekarang aku berkesimpulan bahwa rencanaku kacau. Sialan si Pagett yang goblok itu! Punya istri dan anak-anak, lagi!-Tapi s ku jugarasa humorku tergelitik, dan aku lalu ingin menerimanya bekerja, karena wajahnya yang seperti tukang racun dan jiwanya yang kolot. Itu peringatan bagimu, Anne. Jangan sampai rasa humormu menyesatkan dirimu. Sudah bertahun-tahun naluriku mengatakan bahwa sebaiknya Pagett kupecat saja. Tapi orang itu suka bekerja keras, dan
nuraninya bersih, hingga aku benar-benar tak bisa menemukan alasan untuk memecatnya. Maka kubiarkan saja keadaan berjalan. “Tapi kita sudah menyimpang dari pokoknya. Masalahnya sekarang, apa yang harus kuperbuat atas dirimu? Ceritamu sudah jelas benar, tapi ada satu hal yang masih belum kutangkap. Di mana berlianberlian itu sekarang?” “Ada pada Harry Rayburn,” kataku sambil ” mengawasinya. Wajahnya tak berubah, air mukanya tetap membayangkan rasa humornya yang baik, yang sedikit bercampur ejekan. “Hm. Aku menginginkan berlian-berlian itu.” “Kelihatannya Anda tak punya kemungkinan untuk mendapatkannya,” sahutku. 355 “Begitu pikirmu? Aku yakin aku bisa. Aku tak mau jahat, tapi sebaiknya kau tahu, orang tidak akan merasa heran bila menemukan mayat seorang gadis di bagian kota ini. Di lantai bawah ada seseorang yang pandai melakukan pekerjaan macam itu dengan rapi sekali. Tapi kau adalah gadis yang berakal sehat. Aku hanya mengusulkan begini: kau duduk lalu menulis surat pada Harry Rayburn. Suruh dia menyusulmu kemari dengan membawa berlian-berlian itu” “Saya menolak berbuat begitu.” “Jangan memotong bicara orang yang lebih tua. Aku akan mengadakan tawar-menawar denganmu. Berlian-berlian itu kita tukar dengan nyawamu. Dan jangan membuat kesalahan, nyawamu sepenuhnya ada dalam kekuasaanku.” “Dan Harry?” “Hatiku terlalu lembut untuk memisahkan dua orang yang saling mencinta. Dia akan bebas jugatapi tentu dengan pengertian bahwa selanjutnya kalian berdua tak boleh menggangguku.” “Tapi apa jaminan yang bisa saya pegang bahwa Anda akan memenuhi janji Anda?” “Tak ada, Anak manis. Kau harus percaya saja padaku, dan mengharapkan yang terbaik. Tapi bila kau mau sok pahlawan dan lebih suka perlakuan yang tuntas, itu soal lain.” . Itulah yang aku ingin tahu. Aku waspada dan tak mau cepat-cepat menangkap umpannya. Lama baru aku mau digertak dan dibujuk untuk mengalah. Aku menulis berdasarkan dikte Sir Eustace, 356 “Harry, tersayang, Kurasa aku telah melihat kesempatan untuk memastikan bahwa kau tak bersalah, dan menghilangkan semua keraguan orang. Ikutilah instruksiku dengan cermat. Pergilah ke toko cendera mata Agrasato. Mintalah, untuk melihat sesuatu yang-luar biasa’, ‘untuk suatu kesempatan khu~ sus’. Maka
pemiliknya akan mengajakmu ‘pergi ke kamar belakang’. Ikuti dia. Di sana kau akan menemukan seseorang yang akan mengantarmu padaku. Patuhi semua yang dikatakannya. Bawa berlian-berlian itu, jangan tidak. Jangan berkata apa-apa pada siapa pun juga.’ Sir Eustace berhenti. “Penutupnya kuserahkan padamu sendiri,” katanya. “Tapi awas, jangan membuat kesalahan.” ” ‘Kekasihmu selalu, dan selamanya, Anne’, saya rasa sudah cukup,” kataku. Kutuliskan kata-kata itu. Sir Eustace mengulurkan tangannya mengambil surat itu, lalu membacanya. “Rasanya sudah baik. Bagaimana alamatnya?” Kusebutkan alamat itu, yaitu sebuah toko kecil yang biasa menerima dan menyampaikan surat,-surat serta telegram-telegram. Ditekannya bel yang ada di atas mejanya. Chichester-Pettigrew, alias Mmks datang memenuhi panggilan itu. “Surat ini harus-dikirim segeramelalui saluran yang biasa.” 3.57 “Baik, Kolonel.” Dia melihat nama yang tercantum di amplop. Sir Eustace memandanginya dengan tajam. “Itu temanmu, bukan?” “Teman saya?” Laki-laki itu tampak terkejut. “Kau berbicara lama dengan dia di Johannesburg kemarin.” “Seorang laki-laki mendatangi saya dan menanyai saya tentang gerak-gerik Anda dan Kolonel Race. Saya tentu memberikan informasi yang menyesatkan.” “Bagus, Sahabat, bagus,” kata Sir Eustace dengan ramah. “Aku yang keliru.” Aku menyempatkan diri melihat Chichester-Pettigrew, waktu dia meninggalkan kamar. Dia pucat pasi dan tampak ketakutan setengah mati. Begitu dia keluar, Sir Eustace mengangkat sebuah mikrofon yang terletak dekat sikunya, lalu berbicara melalui alat itu. “Kaukah itu, Schwart? Awasi Minks. Dia tak boleh meninggalkan rumah tanpa perintah.” . Mikrofon itu diletakkannya kembali. Dia mengerutkan dahinya sambil mengetuk-ngetuk meja perlahan-lahan. “Bolehkah saya menanyakan beberapa hal, Sir Eustace?” tanyaku, setelah keadaan sunyi beberapa lamanya. “Tentu. Kau benar-benar tak punya rasa takut, ya Anne! Kau masih bisa memperhatikan keadaan
dengan baik, padahal gadis-gadis lain yang berada dalam keadaan seperti kau, tentu hanya bisa menangis sambil meremas-remas tangannya.” 358 “Mengapa Anda mau menerima Harry sebagai sekretaris waktu itu, dan tidak menyerahkannya pada polisi?” “Aku menginginkan berlian-berlian sialan itu. Nadina, setan kecil itu, telah memanfaatkan Harry-mu itu untuk melawanku. Bila aku tak mau memberinya sejumlah uang yang diminta^ nya, dia mengancam akan menjual berlian-berlian itu kembali pada Harry. Di situ aku membuat kesalahan lagikusangka berlian-berlian itu ada padanya hari itu. Tapi perempuan itu memang cerdik sekali. Carton, suaminya, sudah meninggal jugaaku sama sekali tak punya petunjuk di mana berlian-berlian itu disembunyikan. Lalu aku berhasil mendapat salinan telegram yang dikirimkan pada Nadina oleh seseorang yang berada di Kilmordenentah dari Carton, entah dari Rayburn. Bunyinya sama dengan yang tertulis pada potongan kertas yang kaupungut itu. Tujuh belassatudua puluh dua’, begitu bunyinya. Kupikir itu merupakan janji dengan Rayburn, jadi waktu dia berusaha keras untuk ikut naik Kilmorden, aku yakin bahwa dugaanku benar. Jadi aku pura-pura percaya pada ceritanya, dan kubolehkan dia ikut. Dia kuawasi dengan-cermat sekal, dengan harapan aku bisa mendapat petunjuk— petunjuk lain. Kemudian kudapati Minks mau mencoba main sendiri, dan mencampuri urusanku. Aku segera menghentikannya, dan dia pun menyadari kesalahannya. Menjengkelkan sekali kami tak berhasil mendapatkan Kamar 17, dan 359 aku risau sekali, karena aku tak tahu siapa kau sebenarnya. Apakah kau memang gadis biasa yang tak tahu apa-apa, atau siapa? Waktu Rayburn akan memenuhi janjinya malam itu, Minks ditugaskan untuk menghalanginya. Tapi Minks gagal.” “Tapi mengapa di telegram itu tercantum ‘17’ dan bukan ‘71’?” “Itu sudah kupikirkan. Pasti Carton memberikan catatan yang ditulisnya sendiri pada petugas telegram untuk disalin ke formulirnya. Salinan itu tak dibacanya lagi. Petugas itu telah membuat kekeliruan seperti kita, dia membacanya 17.1.22, bukan 1.71.22. Yang aku tak mengerti adalah bagaimana Minks bisa masuk ke Kamar 17. Kurasa itu hanya nalurinya saja.” “Lalu surat yang harus disampaikan pada Jenderal Smuts? Siapa yang menukarnya?” “Anak manis, apakah kausangka aku mau saja rencana-rencanaku dibeberkan, tanpa berusaha menyelamatkannya? Karena sekretarisku adalah seorang pembunuh dan buronan, aku tak perlu ragu menggantinya dengan kertas-kertas kosong. Tidak ada seorang pun yang akan mencurigai si Tua Pedler ini.” “Bagaimana dengan - Kolonel Race?” “Nah, itu yang mengejutkan. Waktu Pagett mengatakan bahwa dia adalah petugas Dinas Rahasia, aku cemas sekak. Aku ingat bahwa dia pernah memata-matai Nadina di Paris selama Perangdan aku lalu curiga bahwa dia membuntutiku! Aku benci sekali, karena dia lalu lengket
360 terus padaku. Dia adalah orang kuat yang pendiam, yang selalu punya rencana tak terduga.” Terdengar bunyi peluit. Sir Eustace mengangkat alat penerima, mendengarkan sebentar, lalu menjawab, “Baiklah, akan kujumpai dia sekarang.” “Ada urusan,” katanya. “Mari, Anne, kuantar kau ke kamarmu.” Aku diajaknya masuk ke sebuah kamar kecil yang jelek. Seorang anak pribumi membawakan koporku. Setelah Sir Eustace mengatakan supaya aku minta apa saja yang kuingini, dia pergi. Dia merupakan tuan rumah yang ramah. Di atas wastafel sudah tersedia air panas, dan aku mulai membongkar beberapa barang kebutuhanku. Aku sangat terkejut karena terpegang akan sesuatu yang keras dalam kantung busaku. Kubuka talinya dan kulihat isinya. Dengan sangat tercengang kukeluarkan sebuah pistol kecil yang gagangnya dihiasi mutiara. Barang itu tak ada di situ waktu aku berangkat dari Kimberley. Kuperiksa barang itu dengan hati-hati. Ternyata berisi peluru. Kupegang-pegang pistol itu dengan rasa senang. Benda ini berguna sekali dalam rumah seperti ini. Tapi pakaian modern sangat tak cocok untuk membawa senjata api. Akhirnya kuselipkan saja di bagian atas stoeking-ku. Benda itu menonjol sekali, dan aku merasa seolah-olah pistol itu akan meletus setiap saat dan menembak kakiku. Tapi itulah satu-satunya tempat yang baik. 361
BAB XXXIII Sudah senja barulah aku diminta menghadap Sir Eustace lagi. Pukul sebelas pagi aku disuguhi teh dan makan siang yang enakdiantar ke kamarku. Dan aku pun merasa cukup kuat untuk menghadapi perjuangan selanjutnya. Sir Eustace seorang diri. Dia sedang berjalan hilir-mudik dalam kamarnya. Tampak olehku bahwa matanya berkilat dan sikapnya gelisah. Pasti ada sesuatu yang sangat menyenangkannya yang diharapkannya. Sikapnya terhadapku agak berubah. “Aku ada berita untukmu. Pacarmu sedang dalam perjalanan kemari. Beberapa menit lagi dia akan berada di sini. Jangan dulu berbesar hati ada lagi sesuatu yang akan kukatakan. Tadi pagi kau telah mencoba menipuku. Kau kuperingatkan untuk menceritakan yang benar saja, kau patuh sampai pada titik tertentu. Lalu kau melenceng. Kau mencoba membohongi aku dengan mengatakan bahwa berlianberlian itu ada pada Harry Rayburn. Waktu itu aku percaya padamu, karena tugasku akan mudahyaitu mendesakmu untuk menjebak Harry Rayburn kemari. Padahal, Anne, 362 Anak manis, berlian itu ada dalam tanganku sejak aku meninggalkan Air Terjunmeskipun baru kemarin aku tahu itu.” “Anda tahu?” kataku dengan napas tersekat’. “Mungkin menarik bagimu bila mendengar bahwa Pagett-lah yang membuka rahasia itu. Dia lagi-lagi membosankan aku dengan kisah tak berujung pangkal tentang suatu taruhan mengenai sebuah tabung film. Aku tak memerlukan waktu lama untuk menarik kesimpulanNyonya Blair yang mencur rigai Kolonel Race, kebingungannya, desakannya padaku untuk menjagakan suvenir-suvenirnya. Karena kerajinannya yang berlebihan, si Pagett yang baik itu telah membongkar semua peti itu. Sebelum meninggalkan hotel, semua tabung film kupindahkan ke dalam sakuku sendiri. Semuanya ada di sini sekarang. Kuakui bahwa aku belum sempat memeriksanya. Tapi sudah kulihat bahwa ‘satu di antaranya, beratnya berbeda sekali dari yang lain. Berbunyi gemeletak aneh, dan kelihatannya direkat dengan las, hingga akan diperlukan pembuka kaleng. Jadi perkaranya sudah beres, bukan? Nah, sekarang kaulihat, kalian berdua sudah berada dalam perangkapku…. Sekali lagi sayang, bahwa kau tak mau menjadi Lady Pedler.” Aku tak menyahut. Aku berdiri memandanginya saja. Terdengar bunyi langkah-langkah di tangga. Pintu terbuka, dan Harry Rayburn dibawa masuk dengan diapit oleh dua orang laki-laki. Sir Eustace memandangku dengan penuh kemenangan. 363 “Tepat seperti rencana, kalian yang amatir ini akan kalah melawan kami yang profesional,” katanya dengan suara halus. “Apa artinya ini?” seru Harry serak. “Artinya, kau sudah masuk ke dalam jaringankubegitu kata labahlabah pada lalat,” kata Sir Eustace berkelakar. “Sahabatku Rayburn, kau benar-benar sial.”
‘Katamu aku bisa datang dengan aman, An-t” ‘Jangan salahkan dia, Kawan. Surat itu ditulisnya berdasarkan apa yang kudiktekan, dia tak berdaya. Sebenarnya lebih baik kalau dia tidak menulisnya, tapi waktu itu aku berkata sebaliknya. Kau menuruti instruksi-instruksinya, kau pergi ke toko cendera mata itu, kau dibawa ke kamar belakang melalui lorong rahasiadan kau pun berada di tangan musuh!” Harry memandangku. Aku mengerti maksud pandangannya itu dan aku mendekat ke Sir Eustace. “Ya,” gumam Sir Eustace, “kau benar-benar sial! Kurasa ini adalahpertemuan kita yang ketiga.” “Anda benar,” kata Harry. “Ini pertemuan kita yang ketiga. Dua kak Anda mengalahkan saya-tapi apakah Anda tak pernah mendengar bahwa pada kali yang ketiga, nasib akan berbalik? Kali ini saya yang bernasib baikurus dia, Anne.” Aku sudah siap. Secepat kilat kucabut pistol dari stockingku dan kutodongkan ke kepalanya. 364 Kedua laki-laki yang mengawal Harry melompat ke depan, tapi mereka terhenti mendengar suara* Harry. “Dia akan mati kalau kalian maju selangkah lagi! Bila mereka mendekat, Anne, tarik saja pelatuk pistolmujangan ragu.” “Baik,” sahutku dengan ceria. “Kurasa aku bakal menariknya tanpa sengaja.” Kurasa Sir Eustace sama takutnya seperti aku. Dia gemetar. “Tinggal di tempat kalian,” perintahnya, dan kedua orang itu pun mematuhinya. “Suruh mereka keluar,” kata Harry. Sir Eustace memberikan perintah itu. Kedua orang itu keluar, dan Harry memasang palang pintu setelah pintu tertutup. “Sekarang kita bisa bicara,” katanya bersungguh-sungguh sambil menyeberangi kamar dan mengambil pistol dariku. Sir Eustace menarik napas lega, dan menyeka dahinya dengan sapu tangan. “Aku benar-benar takut,” desahnya. “Mungkin jantungku lemah. Aku senang pistol itu sudah berada di tangan orang yang lebih ahli. Aku tak percaya waktu Anne yang memegangnya. Nah, Anak muda, seperti katamu tadi, sekarang kita bisa bicara. Kuakui bahwa kalian telah mengalahkan aku. Entah dari mana datangnya pistol itu, padahal barang-barang Anne sudah kusuruh geledah waktu dia tiba. Dari mana kauambil benda itu? Bukankah benda itu tak ada padamu, sesaat yang lalu?” 365
“Adz,” sahutku. “Saya selipkan di stocking saya.” “Aku tidak begitu kenal wanita. Aku harus mempelajari mereka lebih baik,” kata Sir Eustace dengan sedih. “Entah kalau Pagett, apakah dia akan tahu?” Harry mengetuk meja keras-keras. “Jangan pura-pura bodoh. Kalau tidak karena uban Anda itu, Anda sudah saya lemparkan dari jendela. Dasar bajingan! Uban atau tak beruban, saya” ^ Dia maju selangkah dua langkah, dan Sir Eustace berlindung ke balik meja. “Anak muda selalu kasar,” katanya menegur. “Tak bisa menggunakan otaknya, semata-mata mengandalkan ototnya saja. Coba kita bicara baik-baik. Saat ini kau memang berada di pihak yang kuat. Tapi keadaan begini tak bisa berlanjut terus. Rumah ini penuh dengan anak buahku. Kami jauh lebih banyak daripada kalian. Kemenanganmu yang hanya sementara itu, hanya suatu kebetulan saja” “Begitukah?” Sesuatu dalam suara Harry, yang merupakan ejekan, menarik perhatian Sir Eustace. Dia menatap Harry. “Begitukah?” kata Harry lagi. “Duduklah, Sir Eustace, dan dengarkan kata-kataku.” Sambil terus menodongkan pistolnya, dia berkata lagi, “Kali ini nasib Anda yang sial. Pertama-tama, dengarlah itu" 366 Yang dimaksud dengan itu, adalah gedoran keras pada pintu di lantai bawah. Terdengar teriakanteriakan, umpatan-umpatan, kemudian suara tembakan. Sir Eustace menjadi pucat. “Apa itu?” “Race dan anak buahnya. Soalnya Anda tak tahu, Sir Eustace, bahwa antara saya dan Anne sudah ada perjanjian, yang akan memastikan apakah komunikasi antara salah seorang di antara kami kepada pihak yang lain, asli dari dia atau tidak? Telegram harus ditandatangani dengan nama ‘Andy’, bila mengirim surat, harus ada kata ‘dan’ yang dicoret. Anne tahu bahwa telegram Anda itu tipu muslihat Anda saja. Dia datang kemari atas kemauannya sendiri, sengaja masuk perangkap, dengan harapan akan bisa menangkap Anda dalam perangkap Anda sendiri. Sebelum meninggalkan Kimberley, dia mengirim telegram padaku dan pada Race. Sejak itu Nyonya Blair berkomunikasi terus dengan kami. Saya menerima surat yang ditulis berdasarkan dikte. Itu sudah saya harapkan. Saya sudah membahas dengan Race, mengenai kemungkinan adanya lorong rahasia yang keluar dari toko cendera mata itu. Dan Race lalu menemukan tempat di mana lorong itu menembus keluar.” Terdengar jeritan, bunyi nyaring sesuatu yang pecah, dan sebuah ledakan yang mengguncang kamar. “Mereka sedang menembaki kota di bagian ini. Aku harus membawamu keluar dari sini, Anne.” 367
Tampak seberkas sinar menyala. Rumah di seberang terbakar. Sir Eustace bangkit, lalu berjalan hilirmudik. Harry tetap menodongkan pistolnya padanya. “Jadi Anda lihat, Sir Eustace, permainan Anda sudah berakhir. Anda sendirilah yang telah berbaik hati memberi kami petunjuk mengenai tempat persembunyian Anda ini. Anak buah Race mengawasi jalan keluar dari lorong rahasia itu. Betapapun hati-hatinya kalian, mereka berhasil juga mengikuti aku kemari.” Tiba-tiba Sir Eustace membalik. “Pandai sekali. Sangat terpuji. Tapi masih ada yang harus kukatakan. Kalaupun aku sudah kalah langkah, kau juga begitu. Kalian tidak akan pernah bisa menudingku sebagai pembunuh Nadina. Satu-satunya bukti yang ada padamu adalah, bahwa hari itu aku berada di Marlow. Tak seorang pun bisa membukukan bahwa aku kenal wanita itu. Tapi kau kenal padanya, kau punya motif untuk membunuhnyadan tuduhan yang pernah ditujukan atas dirimu, tidak menguntungkanmu. Kau dikenal sebagai pencuri, ingat itu, seorang pencuri. Dan mungkin ada satu hal yang kau tak tahu. Berlian-berlian itu ada padaku. Ini dia” Dengan gerakan secepat kilat, dia membungkuk, mengangkat tangannya, lalu melempar. Terdengar gemerincing kaca pecah, waktu benda itu menabrak jendela, dan menghilang ke dalam nyala api yang berkobar di seberang. “Hilang sudah satu-satunya harapanmu untuk 368 meyakinkan kebersihan dirimu dari peristiwa pencurian di Kimberley dulu. Dan sekarang kita akan bicara. Kita akan mengadakan tawar-menawar. Kau telah menyudutkan aku. Race akan menemukan semua yang diperlukannya dalam rumah ini. Aku masih punya kesempatan, kalau aku bisa lolos. Bila aku tetap di sini, habislah aku, tapi begitu pula kau, Anak muda! Di kamar di sebelah ini ada kaca di atap untuk masuk sinar matahari. Aku hanya membutuhkan beberapa menit untuk bebas. Aku sudah mempersiapkan beberapa sarana untuk melarikan diri. Kalau kau mau membiarkan aku lolos melalui jalan itu akan kutinggalkan surat pengakuan yang kutan-datangani, yang menyatakan bahwa aku yang membunuh Nadina.” “Ya, Harry,” seruku. “Katakan, ya" Harry menoleh padaku dengan’wajah kaku. “Tidak, Anne, seribu kak tidak. Kau tak menyadari apa yang kaukatakan.” “Aku sadar. Itu akan menyelesaikan segalanya.” “Aku tidak akan punya muka lagi terhadap Race. Demi apa pun juga, aku tidak akan mau melepaskan penjahat licik ini. Tidak ada gunanya, Anne. Aku tak mau.” Sir Eustace tertawa kecil. Dia menerima kekalahan tanpa emosi sedikit pun. “Nah,” katanya, “agaknya kau kini kena batunya, Anne. Tapi sebaiknya kalian ketahui bahwa kejujuran moral saja tidak selalu berguna.” 369 Terdengar derak kayu patah, dan langkah-langkah yang menaiki tangga. Harry mencabut palang pintu. Kolonel Race-lah yang pertama-tama masuk ke kamar. Wajahnya berseri waktu melihat kami.
“Kau selamat, Anne. Aku sudah takut” Dia berpaling pada Sir Eustace. “Sudah lama aku mengejarmu, Pedlerakhirnya aku sekarang bisa menangkapmu.” “Kelihatannya semua orang sudah jadi gila,” kata Sir Eustace dengan tenang. “Anak-anak muda ini sejak tadi mengancamku dengan pistol dan menuduhku yang bukan-bukan. Aku tak mengerti semuanya ini.” “Tak tahu? Itu berarti bahwa aku sudah menemukan orang yang disebut ‘Kolonel’. Itu berarti bahwa pada tanggal 8 Januari yang lalu, kau tidak berada di Cannes, melainkan di Marlow. Itu berarti bahwa waktu kaki tanganmu, Madame Nadina, berusaha mengkhianatimu, kau ingin menyingkirkan diadan akhirnya kami bisa mendakwamu telah melakukan kejahatan itu.” “Oh, begitu. Dari mana kau mendapatkan informasi yang menarik itu? Dari orang yang sekarang sedang dicari polisi? Kesaksiannya sama sekali tidak akan berharga.” “Kami punya saksi lain. Ada seorang lagi yang tahu bahwa Nadina akan menemui kau di Mill House.” Sir Eustace kelihatan terkejut. Kolonel Race memberi isyarat dengan tangannya. Arthur Minks 370 alias Pendeta Edward Chichester, alias Pettigrew,.. melangkah maju. Dia pucat dan gugup, tapi bicaranya cukup jelas. “Saya bertemu dengan Nadina di Paris, malam sebelum dia berangkat ke Inggris. Waktu itu saya menyamar sebagai seorang bangsawan Rusia. Dia menceritakan tentang niatnya. Saya memberinya peringatan, karena saya tahu pria macam apa yang =harus dihadapinya. Tapi dia tak mau menerima nasihat saya. Di mejanya ada sepucuk telegram. Saya membacanya. Setelah itu saya pikir saya akan mencoba mendapatkan sendiri berlian-berlian itu. Di Johannesburg, Rayburn menemui saya. Dia membujuk saya supaya memihak padanya.” Sir Eustace memandanginya. Orang tua itu tidak berkata apa-apa, tapi jelas kelihatan bahwa Minks kehilangan semangat. “Tikus-tikus selalu meninggalkan kapal yang akan karam,” kata Sir Eustace. “Aku benci tikus-tikus busuk. Cepat atau lambat, akan kumusnah-kan dia.” “Ada satu hal yang ingin saya katakan pada Anda, Sir Eustace,” kataku. “Tabung timah yang Anda lemparkan ke luar jendela itu, tidak berisi berlian. Isinya kerikil biasa. Berlian itu tersimpan di tempat yang benar-benar aman. Tepatnyať dalam perut jerapah yang besar itu. Suzanne melubangi perut binatang itu, lalu membungkus permata-permata itu dalam kapas supaya tidak gemeletak, baru memasukkannya ke dalam rongga perut itu. Setelah itu direkatnya kembali.” 371 Sir Eustace memandangi aku beberapa lamanya. Jawabannya memang khas Sir Eustace, “Aku memang benci pada jerapah yang suka mengedip-ngedipkan matanya itu,” katanya. “Mungkin itu naluriku.”
Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC 372
BAB XXXIV Kami tak bisa kembali ke Johannesburg malam itu. Penembakan-penembakan makin gencar, dan kudengar bahwa kami berada di tempat yang terputus hubungannya, karena kaum pemberontak sudah menduduki suatu bagian lagi dari pedesaan itu. Tempat pengungsian kami adalah suatu peternakan yang kira-kira dua puluh mil jauhnya dari Johannesburgterletak di tengah-tengah padang. Aku terduduk karena keletihan. Tubuhku jadi lemah sekali gara-gara kekacauan dan ketegangan selama dua hari yang lalu. Tanpa berani merasa yakin, aku terus-menerus berkata dalam hatiku bahwa kesulitan-kesulitan kami sudah berlalu. Bahwa Harry dan aku kini sudah berkumpul dan tidak akan terpisah lagi. Namun selama itu aku juga menyadari bahwa di antara kami masih ada dinding pemisahdia. tetap menjaga jarak, dan aku tak pernah bisa menduga sebabnya. Sir Eustace dibawa ke arah yang berlawanan dengan pengawalan dua orang yang kuat-kuat. Dengan tenang dia melambai pada kami waktu akan berangkat. 373 Esok harinya, pagi-pagi benar aku keluar ke beranda dan memandangi padang luas, ke arah Johannesburg. Dalam sinar matahari yang masih berkabut itu kulihat tempat penyimpanan senjata militer yang luas. Senjata-senjata itu berkilat-kilat. Dan kudengar gelegar bunyi meriam. Revolusi belum selesai. Istri petani itu keluar lalu mengajakku masuk untuk sarapan. Dia wanita yang baik hati dan keibuan, dan aku sudah mulai menyukainya. Pada saat fajar menyingsing, Harry sudah keluar dan kini belum kembali, kata wanita itu. Lagi-lagi aku merasa resah. Bayangan apakah yang selalu kurasakan memisahkan kami? Setelah sarapan aku duduk di beranda dengan membawa buku yang tak kubaca. Demikian asyiknya aku melamun, hingga tak kulihat Kolonel Race datang berkuda. Sampai dia turun dari kudanya dan mengatakan, “Selamat pagi, Anne,” barulah aku sadar. “Oh,” kataku dengan “wajah memerah, “Anda rupanya.” “Ya. Boleh aku duduk?” Ditariknya kursi ke dekatku. Baru sekaranglah kami berduaan lagi, sejak hari itu di Matoppos. Sebagaimana biasanya, aku merasakan campuran pesona dan rasa takut terhadapnya. “Ada berita apa?” tanyaku. “Smuts akan berada di Johannesburg besok. Menurut perhitunganku, dalam tiga hari dia baru akan bisa mengamankannya, karena kota itu 374
benar-benar kacau. Sementara itu pertempuran masih berjalan terus.” “Sebaiknya dalam pertempuan itu orang-orang yang memang harus matilah, yang tewas,” kataku. “Maksud saya, orang-orang yang memberontak itujangan hanya orahg-orang miskin yang kebetulan tinggal di daerah-daerah di mana pertempuran itu berkecamuk.” Dia mengangguk. “Aku tahu apa maksudmu, Anne. Itulah, tak adilnya perang. Tapi aku ada berita lain.” “Apa itu?” “Pengakuan tentang ketidakmampuanku. Pedler lolos.” “Apa?” “Ya. Tak seorang pun tahu bagaimana itu bisa terjadi. Malam itu dia sudah dikunci dengan amandalam kamar di lantai atas salah sebuah rumah pertanian di sekitar ini, yang sudah diambil alih oleh militer. Tapi tadi pagi, kamar itu kedapatan kosong, dan tawanan kita sudah lepas.” Diam-diam aku merasa senang. Sampai saat ini, aku tak bisa menepiskan rasa sayangku pada Sir Eustace. Aku yakin itu salah, tapi perasaan itu tetap ada. Aku mengaguminya. Aku tahu betul bahwa dia seorang penjahat ulungtapi dia menyenangkan. Belum pernah aku bertemu dengan orang yang lebih menyenangkan daripada dia. Tentu saja aku harus menyembunyikan perasaan itu. Wajar kalau Kolonel Race punya perasaan 375 lain. Dia ingin Sir Eustace diajukan ke pengadilan. Bila dipikir-pikir, tak terlalu mengherankan kalau dia bisa lolos. Di Johannesburg dan sekitarnya, dia punya mata-mata dan agen banyak sekali. Dan apa pun pikiran Kolonel Race, aku sangat meragukan bahwa dia akan tertangkap lagi. Mungkin dia punya tempat pelarian yang sudah direncanakan dengan baik dan itu memang pernah dikatakannya pada kami. Aku mengucapkan kata-kata yang sepantasnya, meskipun tidak dengan tulus, dan kami pun kehabisan bahan percakapan. Lalu tiba-tiba Kolonel Race menanyakan Harry. Kukatakan bahwa dia pergi subuhsubuh tadi, dan aku belum bertemu dengannya sepanjang pagi ini. “Kau tentu tahu, Anne, bahwa dia sekarang “sudah benar-benar bebas, kecuali beberapa formalitas dan hal-hal teknis yang masih harus dibereskan. Sudah jelas bahwa Sir Eustace-lah yang bersalah. Sekarang tak ada lagi yang memisahkan kalian.” Kata-kata itu diucapkannya lambat-lambat dan terputus-putus, tanpa melihat padaku. “Saya mengerti,” kataku dengan rasa terima “kasih. “Dan tak ada lagi alasan mengapa dia tidak memakai nama aslinya.” “Tentu tidak.” “Tahukah kau nama aslinya?” Aku heran mendengar pertanyaan itu. * “Tentu tahu. Harry Lucas.” 376
Dia diam. Tapi sesuatu pada sikapnya tampak aneh. “Anne, ingatkah kau, dalam perjalanan pulang kita dari Matoppos hari itu, aku berkata bahwa aku tahu apa yang harus kuperbuat?” “Tentu saya ingat.” “Kurasa sekarang aku boleh berkata bahwa aku sudah melaksanakannya. Laki-laki yang kaucintai sudah bebas dari tuduhan.” “Itukah yang Anda maksud waktu itu?” “Ya.” Aku tertunduk, merasa malu atas rasa curigaku yang -tak beralasan. Dengan hati-hati dia berkata, “Waktu aku masih muda sekali, aku mencintai seorang gadis. Tapi gadis itu meninggalkan aku. Setelah itu aku hanya memikirkan pekerjaanku saja. Karierku sangat penting bagiku. Lalu aku bertemu dengan kau, Annedan semua karier itu jadi tak berarti lagi. Tapi anak muda menginginkan yang muda…. Sekarang aku tinggal punya pekerjaanku.” Aku diam. Kurasa kita tak bisa mencintai dua orang sekaligus. Tapi daya tarik laki-laki ini besar sekali. Aku mengangkat kepalaku. “Kurasa Anda akan sangat berhasil,” kataku. “Kurasa Anda akan mencapai karier yang lebih besar. Anda akan menjadi salah satu orang-orang-besar di dunia.” Aku merasa telah mengucapkan suatu ramalan. “Tapi aku akan sendiri terus.” “Semua orang yang menjalankan tugas besar, selalu begitu.” 377 i “Begitukah?” “Aku yakin.” Digenggamnya tanganku, lalu berkata dengan suara rendah, “Sebenarnyaaku lebih suka pilihan yang satu lagi.” Lalu Harry datang dari sudut rumah. Kolonel Race bangkit. “Selamat pagiLucas,” katanya. Entah mengapa, wajah Harry menjadi merah sampai ke akar-akar rambutnya. “Ya,” kataku dengan ceria, “kau harus dikenal dengan nama aslimu sekarang.” Tapi Harry masih menatap Kolonel Race.
“Jadi Anda tahu?” katanya akhirnya. “Aku takkan lupa wajah yang pernah kulihat. Aku pernah melihatmu waktu kau masih kecil.” “Ada apa ini?” tanyaku. Dengan keheranan aku memandang kedua orang itu bergantian. Tampak seolah-olah keduanya sedang memper-tempurkan kemauan masing-masing. Race menang. Harry membuang muka. “Saya rasa Anda benar. Katakan padanya nama asli saya.” “Anne, ini bukan Harry Lucas. Harry Lucas tewas dalam peperangan. Ini adalah John Harold Eardsley.” 378
BAB XXXV Setelah mengucapkan kata-kata ylR| terakhir itu, Kolonel Race berbalik lalu pergi. Aku terpana menatapnya. Suara Harry menyadarkan aku. “Anne, maafkan aku, katakan bahwa kau mau memaafkan aku.” Digenggamnya tanganku, dan hampir otomatis aku menariknya kembali. “Mengapa kau membohongi aku?” “Kurasa aku tak yakin bahwa aku akan bisa membuat kau mengerti. Aku takut akan hal-hal sepertikuatnya daya pikat kekayaan. Aku ingin kau mencintai aku semata-mata karena akusebagai laki-laki apa adanyatanpa embel-embel, tanpa jebakan-jebakan.” “Maksudmu kau tak percaya padaku?” “Bisa juga diartikan begitu, tapi tak seluruhnya benar. Sebab kalau begitu halnya, aku akan jadi getir, penuh rasa curigaselalu waspada kalau-kalau ada maksud-maksud tersembunyipadahal aku bahagia sekali mengecap cinta yang kauberi-kan padaku.” “Aku mengerti,” kataku perlahan-lahan. Aku “membalik-balik kisah yang pernah diceritakannya^ 379 padaku, dalam otakku. Aku baru melihat adanya pertentangan-pertentangan, yang sebelumnya tak kusadariadanya jaminan keuangan, kemampuan untuk membeli kembali berlian-berlian dari Nadina. Juga caranya menceritakan diri mereka berdua, seolah-olah dia orang luar. Dan waktu dikatakannya ‘sahabatku*, maka yang dimaksudnya bukanlah Eardsley, melainkan Lucas. Lucas-lah pemuda yang pendiam itu, yang sangat mencintai Nadina. IRagaimana hal itu sampai terjadi?” tanyaku. ‘Kami berdua nekatingin tewas dalam perang itu. Pada suatu malam kami saling bertukar tanda pengenaluntuk mengadu nasib! Esok harinya Lucas tewastertembak sampai hancur berantakan.” Aku menggigil. “Tapi mengapa kau tidak menceritakannŁT padaku? Mengapa tidak pagi-pagi tadi? Apakah kau masih meragukan cintaku padamu?” “Anne, aku tak mau merusak cinta kita. Aku ingin membawamu kembali ke pulau. Apa sih artinya uang? Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Kita akan bahagia di pulau itu. Terus terang, aku takut cara hidup yang laincara itu pernah menghancurkan aku.” “Apakah Sir Eustace tahu siapa kau sebenarnya?” “Oh, tentu saja.” “Carton juga?” . “Tidak. Dia melihat kami berdua bersama
380 Nadina di Kimberley pada suatu malam, tapi dia tak bisa membedakan kami. Dia percaya waktu kukatakan bahwa aku Lucas, dan Nadina terkecoh oleh telegramnya. Nadina tak pernah takut pada Lucas. Dia pemuda yang pendiamyang dalam, sedang aku berangasan seperti setan. Pasti dia ketakutan setengah mati kalau dia tahu bahwa aku hidup kembali.” “Harry, sekiranya Kolonel Race tidak menceritakannya padaku, apa sebenarnya yang ingi kaulakukan?” “Mendiamkannya saja. Tetap saja sebagai Lucas.” “Bagaimana dengan kekayaan ayahmu?” “Race boleh saja mengambilnya. Bagaimanapun juga, dia akan bisa memanfaatkannya dengan lebih baik daripada aku. Anne, apa yang kaupikirkan? Kau mengerutkan dahimu.” “Aku berpikir,” kataku perlahan-lahan, “bahwa aku sebenarnya lebih senang kalau Kolonel Race tidak memaksamu untuk mengatakannya padaku.” “Tidak. Dia benar. Aku memang harus mengatakan yang sebenarnya.” Dia diam sebentar, lalu tiba-tiba berkata lagi, “Tahukah kau, Anne, aku cemburu pada Race. Dia juga mencintaimudan dia lebih daripada aku dalam segala hal.” Aku tertawa. “Harry, kau tolol sekali. Kaulah yang kuinginkandan hanya itulah yang penting.” 381 Kami berangkat ke Cape Town secepat mungkin. Di sana Suzanne menyambutku, dan kami membongkar perut jerapah besar itu berdua. Setelah pemberontakan akhirnya dapat dipadamkan, Kolonel Race datang ke Cape Town. Dikatakannya bahwa vila besar yang di Muizenberg yang dulu dimiliki Sir Laurence Eardsley, telah dibuka kembali, dan dianjurkannya agar kami semua menempatinya, r Di sana kami membicarakan rencana kami. Aku -harus kembali ke Inggris bersama Suzanne, dan akan menikah di rumahnya di London. Dan -pakaian pengantin akan dibeli di Paris! Bukan main senangnya Suzanne merencanakan semua itu. Aku juga. Namun masa depan itu rasanya aneh dan tak nyata. Dan kadang-kadang aku merasa tersekattak bisa bernapas. Waktu itu malam hari sebelum kami berlayar. Aku tak bisa tidur. Aku risau, tanpa tahu mengapa. Aku tak suka meninggalkan Afrika. Bila aku kembali lagi, masih akan samakah keadaannya? Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suatu ketukan yang jelas di daun jendela. Aku melompat. Harry berdiri di beranda di luar.
“Kenakan pakaianmu, Anne, dan keluarlah. Aku ingin bicara.” Cepat-cepat kukenakan pakaian, dan keluar ke *udara malam dan sejuksepi dan wangi, dan rasanya seperti beludru. Harry menuntunku sampai ke tempat yang tak terdengar orang di rumah. 382 Wajahnya tampak pucat dan penuh tekad, dan matanya berkilat. “Anne, ingatkah kau pernah berkata’ bahwa kaum wanita suka melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai demi seseorang yang mereka cintai?” “Ingat,” kataku sambil menebak-nebak apa yang akan dikatakannya selanjutnya. “Anne, marilah ikut akusekarang jugamalam ini. Kembali ke Rhodesiake pulau. Aku tak suka rencanarencana tetek-bengek itu. Aku tak bisa menunggu-kau lebih lama lagi.” “Lalu bagaimana dengan gaun pengantinku yang kita pesan dari Paris itu?” Aku pura-pura mengeluh. Sampai hari ini, Harry tak pernah tahu kapan aku bersungguh-sungguh, dan kapan aku hanya menggodanya saja. “Persetan dengan gaun Paris itu. Kaupikir aku suka kau mengenakan pakaian itu? Aku malah cenderung untuk merenggutkannya dari tubuhmu. Aku tidak akan membiarkan kau pergi! Kau dengar itu? Kau milikku. Bila kubiarkan kau pergi, aku mungkin akan kehilangan kau. Aku tak pernah yakin akan kau. Kau harus ikut aku sekarang jugamalam inidan persetan dengan semua orang.” ‘ Aku didekapnya dan diciuminya sampai aku susah bernapas. “Aku tak bisa lagi tanpa kau, Anne. Sungguh tak bisa. Aku benci semua uang itu. Biar diambil Race semua. Mari kita pergi “ 383 “Sikat gigiku?” kataku berlagak serius. “Bisa dibeli. Aku tahu aku gila, tapi demi Tuhan, ikutlahV* Dia pergi dengan langkah-langkah panjang. Aku mengekor di belakangnya dengan patuh, seperti wanita Barotsi yang kulihat di Air Terjun dulu itu. Bedanya hanyalah, aku tidak menyunggi wajan. Jalannya cepat sekali hingga aku merasa sulit mengikutinya. “Harry,” kataku akhirnya dengan lemah, “apa-kah kita akan berjalan terus sampai ke Rhodesia?” Tiba-tiba dia berbalik, dan dengan tertawa terbahak-bahak aku dirangkulnya. “Aku gila, Sayangku, aku tahu. Tapi aku cinta sekali padamu.” “Kita memang pasangan gila. Dan, oh, Harry, kau tak pernah menanyakannya, tapi biarlah kukatakan
saja. Aku tidak berkorban! Aku memang suka ikuti” 384
BAB XXXVI 385 Itu terjadi dua tahun yang lalu. Kami masih tetap tinggal di pulau. Di atas tfte)a kayu yang kasar, c\i hadapanku, ada surat dari Suzanne. Anak-anak Tercinta di dalam Hutan Pasangan Gila yang Mabuk cinta, Aku tak kagetsama sekali tak kaget. Selama kita berbicara tentang Paris dan pakaian, aku sudah merasa bahwa itu sama sekali tidak akan terjadibahwa pada suatu saat kau akan menghilang tanpa bekas, dan menikah dengan iringan genderang seperti pengantin gipsy. Kalian memang pasangan gila! Sungguh tak masuk akal tindakan Harry yang melepaskan haknya atas kekayaan yang begitu besar. Kolonel Race ingin menolak, tapi kuanjurkan untuk menunda penolakan itu. Dia bisa mengelola kekayaan itu untuk Harrytak ada orang yang lebih baik. Karena bagaimanapun juga, bulan madu tidak akan kekalaku bisa mengatakan hal itu dengan aman sekarang, tanpa kemungkinan kau akan mencakarku seperti kucing liar, Anne, karena kau tak ada di sini.Cinta di tengah rimba belantara me-‘ mang akan bertahan lebih lama, tapi pada. suatu hari, tibatiba kau akan mulai memimpikan rumah-rumah di Park Lane, mantel bulu binatang yang mewah, gaun-gaun dari Paris, mobil yang paling besar dan yang lagi jadi mode sekarangpelayan dari Prancis serta pengasuh bayi dari Norwegia! Ya, pasti! Tapi sekarang, nikmatilah bulan madu kalian, sahabat-sahabatku yang gila yang kusayangi. Dan semoga bulan madu itu panjang. Tapi sekali-sekali kenanglah aku, yang makin lama makin gemuk, di tengah-tengah pot-pot krim pengoles wajah! Sahabatmu tercinta, Suzanne Blair. N B.Bersama ini kukirimkan satu set wajan sebagai hadiah perkawinan, dan satu pot besar pasta hati angsa, supaya kalian ingat padaku. Ada sepucuk surat lagi yang kadang-kadang masih kubaca. Surat itu tiba, lama setelah surat yang di atas, dan disertai sebuah paket besar. Agaknya surat itu ditulis di suatu tempat di Bolivia. Anne Beddingfeld Yang Kusayangi, Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menulis surat padamu. Bukan karena aku 386 senang menulis padamu, tapi karena aku yakin bahwa kau akan senang sekali mendengar berita dariku. Sahabat kita Race, rupanya tidak sepintar yang disangkanya sendiri. Kurasa sebaiknya kau kutunjuk sebagai hakimku pribadi. Bersama ini kukirimkan Buku Harianku. Isinya tidak akan menarik bagi Race dan orang-orangnya, tapi kurasa ada bagian-bagian di dalamnya yang akan menyenangkan hatimu. Manfaatkanlah buku itu sesukamu. Kuanjurkan supaya kau menyiapkan sebuah artikel untuk Daily Budget, dengan judul ‘Penjahat-penjahat Yang Pernah Kujumpai’. Tapi aku menuntut supaya aku yang menjadi tokoh sentralnya.
Aku yakin bahwa pada saat ini kau bukan lagi Anne Beddingfeld, melainkan Lady Eardsley, yang menjadi ratu di Park Lane. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tak punya perasaan dendam terhadapmu. Tentu saja sulit untuk mulai dari awal lagi, pada usia senja seperti aku, tapi, di antara kita saja, aku masih punya dana persediaan yang kusisikkanbaik-baik.untukke^aanme^esak seperti sekarang ini. Dana itu sangat berguna, ddn aku sekarang sedang membina hubungan-hubungan baik. Ngomong-ngomong, kalau kau bertemu dengan sahabatmu yang lucu itu, Arthur Minks, katakan padanya bahwa aku tidak melupakannya. Dia pasti akan mati ketakutan. 387 Kurasa aku punya jiwa Kristen yang cukup pemaaf. Juga terhadap Pagett. Aku kebetulan mendengar bahwa diaatau tepatnya istrinyabaru melahirkan anak yang keenam, beberapa hari yangJalu. Tak lama lagi, Inggris akan penuh dengan Pagett-Pagett kecil. Bayi itu kuhadiahi sebuah cangkir besar dari perak, dan kukirim pula kartu pos di mana aku menyatakan kesediaanku untuk menjadi ayah permandiannya. Terbayang olehku, Pagett ^ Lmgsung membawa cangkir dan kartu pos itu ke Scotland Yard, dengan wajah kaku tanpa senyum! Semoga Tuhan memberkatimu, Mata Berbinar. Suatu hari kelak kau akan menyadari kekeliruanmu karena tak mau menikah denganku. Salamku selalu, Eustace Pedler Harry marah sekali. Itu satu-satunya hal di mana kami tak sepakat. Bagi dia, Sir Eustace adalah orang yang telah mencoba membunuhku, dan yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian sahabatnya. Aku masih belum mengerti mengapa Sir Eustace mencoba membunuhku. Rasanya tak masuk akal, soalnya aku yakin bahwa dia selalu punya perasaan yang benar-benar tulus terhadapku. 388 Lalu mengapa sampai dua kali dia berusaha menghabisi nyawaku? Kata Harry, ‘karena dia penjahat yang terkutuk’, dan tak mau mendengar pertimbangan lain. Suzanne punya pertimbangan yang lebih baik. Aku membicarakannya dengan dia, dan dia menyebutnya sebagai ‘kompleks rasa takut’. Suzanne suka mendasarkan pembicaraannya pada analisa psikis. Dijelaskannya bahwa sepanjang hidupnya Sir Eustace selalu mendambakan rasa aman dan nyaman. Dia punya rasa ingin melindungi diri sendiri yang sangar* kuat. Dia membunuh Nadina juga karena alasan itu. Perbuatan-perbuatannya terhadapku tidak berdasarkan perasaannya terhadapku, tapi merupakan akibat rasa takutnya yang hebat, karena merasa keamanannya terancam. Kurasa Suzanne benar. Mengenai Nadina, wanita itu memang pantas mati. Kaum pria melakukan segala macam usaha yang bertanggung jawab, untuk menjadi kaya. Tapi kaum wanita tak boleh berpura-pura jatuh cinta kalau mereka punya alasan tersembunyi. Aku bisa memaafkan Sir Eustace dengan mudah sekali, tapi aku tidak akan pernah memaafkan Nadina. Tidak akan! Beberapa hari yang lalu, waktu aku sedang membongkar beberapa kaleng yang terbungkus dalam koran-koran tua Daily Budget, tiba-tiba terbaca olehku kata-kata, “Pria Bersetelan Coklat”. Alangkah lamanya rasanya hal itu telah berlalu! Aku tentu saja sudah lama memutuskan hubungan kerja dengan
Daily Budgetaku yang 389 sudah tak mau lagi bekerja untuk mereka. Naskahku yang berjudul Perkawinanku yang Romantis, diterbitkan dan sukses besar. Anakku laki-laki, sedang berbaring di bawah sinar matahari. Dia menyepak-nyepakkan kakinya. Dialah sekarang yang merupakan ‘pria bersetelan coklat’. Dia berpakaian sangat minim, cara berpakaian yang paling cocok di Afrika, dan tubuhnya berwarna coklat. Dia gemar sekali mengorekngorek tanah. Kurasa dia mewarisi kwk+i Papa. Pasti dia akan tergila-gila pada tanah liat Pleistocene. Waktu dia lahir, Suzanne’mengirim telegram, “Selamat dan sampaikan cintaku pada pendatang baru di Pulau Orang Gila. Apakah bentuk kepalanya dolichocephalic atau brachycephalic?” Aku tak membiarkan Suzanne mengejekku. Langsung kukirim balasan yang hanya terdiri dari satu kata, supaya hemat dan tepat. Bunyinya, “Platycephalic!” Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan (S) 390