4
TINJAUAN PUSTAKA Susu Formula FAO/WHO (2004) menjelaskan susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan oleh industri untuk keperluan asupan gizi yang diperlukan bayi. Susu formula memiliki peranan yang penting karena seringkali berperan sebagai satusatunya sumber gizi bagi bayi. Oleh karena itu, susu formula yang diperdagangkan harus dikontrol dengan hati-hati. Kualitas keamanan dan gizi dari susu formula dipastikan dengan mensyaratkan para produsen mengikuti prosedur tertentu dalam memproduksinya. Para produsen harus menganalisa setiap periode produksi untuk memastikan tingkatan gizi dan keamanannya. Susu formula tidak dirancang sebagai produk steril, sehingga bisa terkontaminasi oleh bakteri patogen seperti C. sakazakii. Kontaminasi oleh C. sakazakii pada susu formula pada dasarnya melalui tiga jalur yaitu melalui bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan susu formula, kontaminasi pada susu formula atau bahan tambahan yang ditambahkan setelah proses pasteurisasi dan kontaminasi saat produk disiapkan. Kontaminasi ini bisa terjadi secara intrinsik atau ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi pada beberapa titik selama proses pembuatan (misalnya dari lingkungan manufaktur atau bahan mentah). Sedangkan kontaminasi ekstrinsik dapat terjadi ketika peralatan yang digunakan untuk mempersiapkan susu bubuk formula tersebut terkontaminasi (sendok, botol, dot) (FAO/WHO 2007). Resiko infeksi yang disebabkan oleh C. sakazakii dapat diminimalkan dengan menggunakan suhu air yang tidak kurang dari 70 °C untuk menyeduh susu formula tersebut serta meminimalkan waktu dari persiapan sampai dengan waktu konsumsi. Selain itu juga bisa menggunakan susu formula cair yang dirancang dengan produk akhir steril (FAO/WHO 2007). C. sakazakii dapat bertahan selama lebih dari satu tahun dalam susu bubuk formula kering (Forsythe 2005). Sehingga disarankan susu bubuk formula yang telah direkonstitusi disimpan pada suhu tidak lebih dari 4 °C yang akan mencegah pertumbuhan bakteri C. sakazakii. Pada penyimpanan di atas suhu tersebut misalnya suhu kamar, maka terdapat potensi pertumbuhan yang cepat dari C. sakazakii terutama jika disimpan pada waktu yang lama (FAO/WHO 2007).
5
C. sakazakii ini terutama beresiko untuk bayi yang usianya di bawah 6 bulan, sehingga FAO/WHO (2007) merekomendasikan bayi harus mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan pertama untuk mencapai pertumbuhan dan kesehatan yang optimal. Setelah itu untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka, diperlukan makanan pendamping ASI yang bergizi cukup dan aman saat menyusui berlanjut hingga dua tahun atau lebih. Namun terkadang ada bayi yang tidak mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan pertama hal ini disebabkan oleh ASI tidak tersedia, ibu tidak dapat menyusui atau waktu untuk menyusui tidak tepat misalnya ibu sedang minum obat yang merupakan kontraindikasi untuk menyusui atau ibu yang positif HIV. Demikian juga untuk bayi yang prematur sehingga tidak dapat disusui secara langsung atau ada juga kasus yang menyatakan bahwa ASI tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga diperlukan pengganti ASI yang sesuai seperti susu formula (FAO/WHO 2007). Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh C. sakazakii yang terjadi dilaporkan terkait dengan susu formula yang terkontaminasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dari 141 sampel susu formula dari 35 negara, 14% terkontaminasi oleh C. sakazakii (Muytjens et al. 1988). Nazarowec-White dan Farber (1997) menemukan 6.7% dari 120 kaleng susu formula yang diproduksi oleh lima perusahaan yang berbeda di Kanada mengandung C. sakazakii. Namun penelitian terbaru di Indonesia oleh Dewanti-Hariyadi et al. (2010) tidak ada isolat C. sakazakii yang diperoleh dari 16 sampel susu formula yang digunakan.
Cronobacter sakazakaii C. sakazakii adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan termasuk ke dalam famili Enterobactericeae (FAO/WHO 2004). Berdasarkan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA; uji biokimia (API 20E, ID 32E) dan α-glukosidase; pigmen kuning; dan pertumbuhannya pada media kromogenik, Enterobacter sakazakii dikelompokkan ke dalam genus baru Cronobacter spp. (Iversen dan Forsythe 2007). Susu formula bayi diasosiasikan sebagai sumber kontaminan bakteri C. sakazakii yang menyebabkan infeksi pada bayi. Shaker et al. (2007) berhasil mengisolasi dua dari 8 sampel susu formula serta El Sharound et al. (2009)
6
mengisolasi dua dari 35 sampel susu formula. Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa
penelitian
mengenai
C.
sakazakii,
seperti
hasil
penelitian
Estuningsih et al. (2006) menjelaskan bahwa dari 74 sampel makanan bayi di Indonesia dan Malaysia, ditemukan 35 sampel (47%) positif mengandung Enterobactericeae dan 10 sampel (13.5%) diantaranya mengandung C. sakazakii. Meutia (2009) juga berhasil mengisolasi 8 kultur C. sakazakii 97% dengan genom lengkap C. sakazakii ATCC BAA-894 berdasarkan identifikasi dengan API 20E dan DNA sekuensing. Dewanti-Hariyadi et al. (2010) juga berhasil mengisolasi 6 kultur C. sakazakii, 3 kultur dari produk makanan bayi yaitu DES b7a, DES b7b, dan DES b10; 2 kultur dari maizena yakni DES c7 dan DES c13; serta 1 kultur dari bubuk coklat yakni DES d3. Konfirmasi terhadap keenam kultur tersebut dengan menggunakan gen penyandi 16S rRNA menunjukkan 5 dari 6 kultur memiliki kemiripan 99% dengan C. sakazakii ATCC 29544. Selanjutnya penelitian terbaru oleh Hamdani (2012) juga telah berhasil mengisolasi C. sakazakii dari sumber pangan jenis bubuk komersial dan produk bubuk lainnya. C. sakazakii bukan merupakan bagian dari flora normal manusia dan hewan, diduga kontaminasi bisa berasal dari tanah, air, dan sayuran. Beberapa penelitian juga telah mengisolasi C. sakazakii dari berbagai sumber seperti lingkungan produksi pangan dan rumah tangga (Iversen et al. 2004; Friedemann 2007; Khandai et al. 2006). Namun Muytjens dan Kollee (1990) tidak berhasil mengisolasi bakteri ini dari susu sapi mentah, ternak, tikus, padi-padian, kotoran burung, hewan peliharaan, permukaan air, tanah, lumpur, atau akar kayu. C. sakazakii adalah bakteri patogen makanan yang dapat menyebabkan meningitis, meningoencephalitis, sepsis, dan necrotizing enterocolitis 80% (Lai 2001). Himelright et al. (2002) juga menyatakan bahwa angka kematian yang disebabkan oleh C. sakazakii
80%. Berdasarkan distribusi
usia kasus yang dilaporkan, ditemukan bahwa bayi di bawah usia satu tahun berada pada risiko khusus untuk patogen ini, meskipun C. sakazakii menyebabkan penyakit pada semua kelompok umur (FAO/WHO 2004).
7
Hasil pengujian ketahanan panas terhadap 7 kultur C. sakazakii lokal asal susu formula, MP-ASI, dan lainnya yakni DES c13, DES b10, DES b7a, YR c3a, YR t2a, DES d7, dan 6a. Dapat dilihat dari hasil pengujian nilai D 56 kultur C. sakazakii tersebut memiliki ketahanan panas yang bervariasi, seperti YR c3a, YR t2a, dan 6a yakni masing-masing 4.10, 5.83, dan 9.73 menit (Seftiono 2012). Larasati (2012) melakukan screening cepat terhadap ketahanan panas 8 kultur C. sakazakii menggunakan suhu 50 °C selama 30 menit menunjukkan ketahanan panas yang berbeda. Dari 8 kultur yang diuji kultur YR t2a, YR t2a, dan 6a memiliki ketahanan panas paling baik, dapat dilihat dari reduksi yang dialami hanya sebesar 1 log CFU/mL. Menurut Iversen et al. (2004) C. sakazakii tumbuh pada rentang suhu yang cukup luas yaitu antara 6 – 45 °C, namun tumbuh optimum pada suhu 37 °C. Ketahanan panas dari C. sakazakii antara lain dipengaruhi oleh kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan inokulum, menstrum pemanas (konsentrasi lemak, total padatan, serta konsentrasi gula) dan metodologi recovery kultur (Knabel et al. 1990). Meutia et al. (2009) meneliti tentang sintas C. sakazakii dalam susu formula setelah rekonstitusi pada suhu yang berbeda-beda hasilnya menunjukkan bahwa rekonstitusi susu formula dengan air bersuhu 4 oC dan 40 °C tidak banyak mengurangi jumlah C. sakazakii, sementara air bersuhu 100 °C menginaktifkan C. sakazakii hingga jumlah yang tidak terdeteksi lagi. Rekonstitusi dengan suhu 70 °C dapa
6.72 log CFU/mL tergantung dari galur kultur
sehingga efektif jika digunakan sebagai suhu untuk merekonstitusi susu formula dan makanan bayi jika jumlah awal bakteri ini maksimal 5 log CFU/mL. Fitriyah (2010) juga menyatakan bahwa rekonstitusi menggunakan suhu 70 °C mampu mereduksi C. sakazakii hingga 2 log CFU/mL.
Bakteri Asam Laktat Sebagai Probiotik Dewasa ini produk probiotik bisa ditemukan dengan mudah di pasaran. Susu formula merupakan salah satu produk yang seringkali ditambahkan probiotik. Beberapa industri susu formula menambahkan BAL pada produknya yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan saluran cerna. BAL disini berperan
8
sebagai agen probiotik yang dapat menjaga keseimbangan flora normal saluran cerna, permeabilitas mukosa usus dan meningkatkan IgA baik lokal maupun sistemik (Subijanto dan Ranuh 2006). Selain itu BAL ini juga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup (bakteri atau khamir) yang apabila dikonsumsi atau digunakan dalam jumlah cukup dapat meningkatkan kesehatan yang mengkonsumsinya (FAO/WHO 2001). Produk probiotik biasanya mengandung 106
mikroba
hidup
dalam
108 CFU/mL (Tannock 1999).
jumlah
banyak,
yakni
sekitar
Lactobacillus dan Bifidobacterium
merupakan jenis BAL yang paling banyak digunakan sebagai kultur probiotik yang bisa diberikan dalam bentuk kultur tunggal atau campuran. Penambahan bakteri probiotik pada susu formula memberikan manfaat yang menguntungkan dalam
pengobatan
dan
pencegahan
alergi,
diare,
dan
pencegahan
Necrotizing enterocolitis. Selain itu bakteri probiotik juga mampu menghambat patogen
seperti
Bacteroides
Salmonella,
vulgatus,
E.
coli,
Clostridium
L.
monocytogenes,
difficile
dan
C.
S.
aureus,
perfringens
(Collado et al. 2005; Gueimonde et al. 2005; Gueimonde et al.
2006;
Collado et al. 2007). Dalam produk pangan umumnya BAL tidak berbahaya dan memenuhi status Generally Recognized As Safe (GRAS). Bahkan bakteri ini dapat memberi efek bermanfaat bagi manusia karena komponen metabolit yang dihasilkannya dapat menghambat bakteri patogen enterik, mengatasi masalah lactose intolerance, menurunkan kadar kolesterol, antimutagenik, dan antikarsinogenik serta memperbaiki sistem kekebalan tubuh (Surono 2004). Collado et al. (2010) menyatakan BAL dapat berfungsi sebagai probiotik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: •
Memiliki efek yang menguntungkan bagi inang.
•
Non-patogenik, tidak beracun, dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan.
•
Mampu bertahan pada saluran pencernaan.
•
Terdapat dalam jumlah yang cukup untuk dapat memberikan efek bagi kesehatan.
9
•
Sesuai dengan matriks produk, pemrosesan dan penyimpanan untuk mempertahankan sifat yang diinginkan. Mekanisme penghambatan patogen oleh probiotik adalah (1) mensekresikan
zat antimikroba terhadap patogen berupa asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin
yang
menghambat
baik
gram
positif
dan
gram
negatif,
(2) meningkatkan kekebalan tubuh, (3) berkompetisi dengan patogen terhadap nutrisi yang dibutuhkan untuk pertahanan bakteri patogen, (4) mencegah adhesi patogen pada epithel usus, dan (5) agregasi dan koagregasi dengan patogen. Collado et al. (2010) menyampaikan bahwa mekanisme penghambatan patogen oleh probiotik melalui 3 interaksi seperti yang terlihat pada Gambar 1 yaitu: •
Interaksi antara probiotik dengan permukaan epithel yaitu mencegah adhesi patogen pada epitel usus.
•
Interaksi antara probiotik dengan sisitem imun yaitu dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
•
Interaksi antara probiotik dengan patogen yaitu mencegah adhesi dan replikasi patogen dengan adanya senyawa antimikroba, serta berkompetisi untuk mendapatkan nutrisi.
Gambar 1. Mekanisme penghambatan patogen oleh probiotik (Collado et al. 2010)
10
Penggunaan BAL sebagai probiotik baik berupa kultur tunggal ataupun campuran. Penggunaan kultur campuran ini bertujuan untuk lebih meningkatkan efektifitas dari bakteri asam laktat dalam menghambat bakteri patogen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Al-Holy et al. (2009), penggunaan kultur tunggal Lactobacillus acidophilus ATCC 4356 tidak menunjukkan penghambatan terhadap campuran dari 4 strain C. sakazakii setelah rekonstitusi dengan
perbadingan 6
Lactobaclillus
C. sakazakii 10 : 10
4
acidophilus
ATCC
4356
dan
CFU/mL. Hasil penelitian Fitriyah (2010), dengan
menggunakan bakteri asam laktat Lactobacillus R23 dan C. sakazakii yang direkonstitusi pada suhu 70 °C tidak mampu menghambat pertumbuhan C. sakazakii karena jumlah C. sakazakii kembali meningkat setelah 4 jam hang time sama seperti ketika C. sakazakii dalam keadaan tunggal di dalam susu formula yang direkonstitusi. Artinya, reduksi yang dialami oleh C. sakazakii saat direkonstitusi pada suhu 70 °C dipengaruhi oleh suhu rekonstitusi. Kombinasi spesies probiotik telah ditemukan memiliki efek sinergis. Dengan kata lain, jenis probiotik bekerja sama untuk memberikan manfaat kesehatan yang lebih baik dari spesies tunggalnya. Misalnya kombinasi L. casei, L. plantarum, L. acidophilus, L. bulgaricus, B. longum, B. breve, B. infantis, S. thermophilus, dikenal sebagai VSL 3, telah digunakan dalam sejumlah uji klinis bersama dengan probiotik tunggal, berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui bahwa VSL 3 memberikan efek yang lebih baik bagi kesehatan dari pada penggunaan probiotik tunggal. Sebagian besar produk multispesies probiotik di pasaran mengandung Lactobacillus dan Bifidobacteria (Tannis 2008). Kultur campuran antara Lactobacillus rhamnosus, Propionibacterium freudenreichii, dan Bifidobacterium lactis serta campuran antara L. acidophilus dan L. rhamnosus secara klinis terbukti efektif digunakan untuk pasien yang menderita iritasi usus (Kajander et al. 2008; Tannis 2008). Penggunaan kultur campuran BAL juga memberikan efek yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Jones et al. (2010), yang menggunakan campuran 3
kultur
Lactobacillus
sakei
27,
Lactobacillus
sakei
44,
dan
Lactobacillus sakei 63 untuk menghambat pembusukan dan pertumbuhan bakteri
11
patogen. Dengan menggunakan kultur campuran ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes, C. jejuni dan Clostridium estertheticum. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Prioctavitri (2002), menunjukkan bahwa kultur campuran antara Lb. brevis AE 1.6 dan Lc. Lactis subsp. lactis mempunyai aktivitas antimikroba yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan kultur tunggalnya dalam menghambat pertumbuhan L. monocytogenes dan Staphiloccocus aureus dalam melon yang yang telah diinfeksi. Ditambahkan oleh Pasatri (1997), bahwa penggunaan kultur campuran bakteri asam laktat dapat menekan pertumbuhan E. coli, S. aureus, Shigella spp dan S. typimurium lebih besar jika dibandingkan dengan kultur tunggalnya. Mikroba probiotik yang umum digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik berasal dari berbagai kelompok, termasuk bakteri asam laktat. Kelebihan bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk bertahan hidup dan mengkoloni usus, memproduksi asam laktat, bakteriosin dan merangsang pembentukan antibodi tubuh (Salminen dan Wright 1998). Produk-produk probiotik yang ada saat ini tidak lagi hanya dalam bentuk makanan atau minuman, tetapi juga dalam bentuk tablet atau kapsul. Bentuk produk probiotik saat ini meliputi produk susu fermentasi, makanan bayi, susu formula untuk bayi, produk minuman buah, produk serealia dan pharmaceuticals (tablet dan kapsul) (Donohue et al. 1998). BAL sebagai agen probiotik memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap panas sehingga untuk menjaga agar BAL ini tetap hidup disarankan penyeduhan susu menggunakan air dengan suhu 35 – 40 °C. Berdasarkan penelitian Purwandhani et al. (2007), terlihat bahwa dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 5 menit mampu menurunkan probiotik L. achidophillus SNP 2 yang diisolasi dari material intestine bayi sehat yang minum ASI sebanyak 2 log CFU/mL.
Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat BAL menghasilkan beberapa senyawa antimikroba seperti asam organik (asam laktat dan asam asetat), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), karbondioksida (CO 2 ), diasetil, dan bakteriosin. Asam organik dapat menyebabkan penurunan pH
12
sitoplasma bakteri patogen dengan adanya akumulasi anion yang terbentuk. Hal ini berakibat pada penurunan laju sintesis makromolekul dan mempengaruhi perpindahan senyawa melalui membran sel. Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) merupakan oksidator kuat bersifat bakterisidal terhadap mikroba karena H 2 O 2 mengoksidasi sel bakteri, enzim, grup sulfidril dari protein sel dari membran lipida, karbondioksida (CO 2 ) yang terbentuk oleh BAL yang bersifat heterofermentatif menyebabkan kondisi lingkungan menjadi anaerobik dan selain itu juga memiliki sifat antimikroba, diasetil menghambat pertumbuhan Gram negatif, kapang, dan khamir lebih baik dibandingkan dengan Gram positif dan bakteriosin merupakan protein yang mempunyai berat molekul tinggi yang menghambat pertumbuhan mikroba lain (Ouwehand dan Vesterlund 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Back et al. (2009) menunjukkan bahwa asam organik seperti laktat, malat, format, asam propionat, sitrat, dan asam asetat menunjukkan efek penghambatan untuk ketiga strain C. sakazakii. Secara khusus, asam propionat dan asetat menunjukkan efek penghambatan yang kuat terhadap C. sakazakii
-
-
1.7 cm. Dari penelitian yang dilakukan oleh Mufandaedza (2006), juga menunjukkan bahwa bakteri asam laktat mampu menghambat pertumbuhan patogen seperti E. coli dan Salmonella entiritidis yang disebabkan oleh bakteri asam laktat menghasilkan asam dalam waktu cepat sehingga menurunkan pH yang menyebabkan bakteri patogen tidak dapat tumbuh. Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Davidson dan Hoover (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan
peningkatan
permeabilitas
dan
menyebabkan
kehilangan
komponen penyusun sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibat pada terhambatnya síntesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.
Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) ASI merupakan makanan yang terbaik untuk bayi karena semua persyaratan gizi yang dibutuhkan oleh bayi terkandung di dalamnya. Selain itu ASI juga
13
melindungi bayi dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan senyawa antimikroba dan immunoglobulin (Martin et al. 2003) serta ASI mengandung prebiotik yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri usus yang menguntungkan bagi bayi (Martin et al. 2003; Martin et al. 2004). Salah
satu
BAL
yang
ditemukan
di
dalam
ASI
adalah
Bifidobacteria bifidum (yang kemudian dikenal dengan Lactobacillus bifidus) (Ballongue 2004), Menurut Mitsuoka (1990) Bifidobakteria merupakan genus yang dominan pada mikrobiota bayi yang diberi ASI¸ sedangkan bayi yang diberi susu formula memiliki mikrobiota yang lebih beragam meliputi Bifidobakteria¸ dan beberapa mikroba aerobik dan anaerobik. Nuraida et al. (2008) mengisolasi bakteri asam laktat yang berasal dari ASI. Dari tiga puluh satu sampel ASI diperoleh 88 kultur macam kultur bakteri asam laktat. Uji fisiologis dan biokimia yang dilakukan pada uji identifikasi awal diperoleh 54 kultur yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus homofermentatif, 18 kultur teridentifikasi sebagai Lactobacillus heterofermentatif, 9 kultur teridentifikasi
sebagai
Bifidobacterium,
1
kultur
teridentifikasi
sebagai
Pediococcus, serta 6 kultur teridentifikasi sebagai Streptococcus. Selanjutnya terhadap Lactobacillus homofermentatif dilakukan pengujian ketahanan terhadap kondisi asam. Lactobacillus rhamnosus R21, R25, dan R23 merupakan sebagian dari bakteri asam laktat yang mempunyai kemampuan yang sangat baik untuk bertahan pada kondisi asam lambung dan garam empedu melalui pengujian secara in vitro. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Hartanti (2010) menunjukkan bahwa kultur Lactobacillus rhamnosus R21, R25, dan R23 tersebut mampu menghambat pertumbuhan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) K.1.1 > 2 log CFU/mL dengan jumlah EPEC 105 CFU/mL dan kultur Lactobacillus 106 CFU/mL. Jika dilihat dari ketahanan terhadap panas terlihat bahwa Lactobacillus R21, R25, dan R23 mempunyai ketahanan panas yang lebih baik pada suhu 50 °C (Saputra 2012). Penelitian yang dilakukan secara in vitro menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus R23 memiliki ketahanan hidup yang baik pada kondisi pH 2 selama 5 jam dan konsentrasi garam empedu sebesar 0.5%, serta memiliki daya hambat
14
terhadap
B.
cereus,
S.
thypimurium,
E.
coli
dan
S.
Aureus.
Lactobacillus rhamnosus R21 dan R25 mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih baik terhadap C. sakazakii YR t2a (Saputra 2012). Aktivitas antimikroba ini disebabkan oleh Lactobacillus ini mampu menghasilkan L-asam laktat dengan konsentrasi yang tinggi (Wanga et al. 2010). Beberapa kultur asal ASI yang diperoleh oleh peneliti lainnya menghasilkan sejumlah
komponen
yang
diduga
berkemampuan
sebagai
antimikroba.
Martin et al. (2005) berhasil mengisolasi bakteri asam laktat dari ASI yaitu L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715 dan L. gasseri johnsonii La1 dilaporkan menghasilkan hidrogen peroksida. Selain itu, juga dilaporkan bahwa L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715 dan L. fermentum CECT 5716 secara signifikan menghasilkan asam laktat enantiomer (sekitar 50% untuk masing-masing enantiomer). L. rhamnosus GG dan L. casei juga menghasilkan L-asam laktat, sedangkan pada L. johnsonii La1 dihasilkan D-asam laktat. Produksi
asam
asetat
hanya
terjadi
pada
dua
kultur,
yaitu
L. fermentum CECT 5716 dan L. rhamnosus GG. Olivares et al. (2006) mengevaluasi aktivitas antimikroba empat kultur Lactobacillus. Lactobacillus salivarius CECT5713, Lactobacillus gasseri CECT5714,
Lactobacillus
CECT5716)
yang
diisolasi
gasseri dari
CECT5715, ASI
terhadap
Lactobacillus bakteri
fermentum
patogen
yaitu
Salmonella choleraesuis CECT4155. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa keempat kultur Lactobasilus dan khususnya Lactobacillus salivarius CECT5713 menunjukkan aktivitas antibakteri. Hasil ini menunjukkan bahwa Lactobacillus asal ASI memberi perlindungan terhadap bayi dari infeksi dan dapat dikembangkan menjadi produk probiotik untuk bayi.