TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana. Sapi ini berasal dari Belanda yaitu di provinsi North Holand dan West Friesland yang memiliki padang rumput yang sangat luas. Sapi FH mempunyai beberapa keunggulan, salah satunya yaitu jinak, tidak tahan panas tetapi sapi ini mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Ciri-ciri sapi Friesian Holstein yang baik adalah memiliki tubuh luas ke belakang, sistem dan bentuk perambingan baik, puting simetris, dan efisiensi pakan tinggi yang dialihkan menjadi produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). Sapi ini tubuhnya memiliki pola warna hitam dan putih dan ada pula yang memiliki pola warna merah dan putih. Gambar sapi FH dapat dilihat pada Gambar 1. Ukuran badan, kecepatan pertumbuhan serta karkasnya yang bagus menyebabkan sapi ini sangat disukai pula untuk tujuan produksi daging serta pedet untuk dipotong selain untuk produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). Bangsa Friesian Holstein sangat menonjol dibandingkan bangsa lain karena memiliki jumlah produksi susu yang banyak dengan kadar lemak yang rendah. Sifat seperti ini sangat dibutuhkan oleh peternak sapi perah saat ini. Bangsa sapi FH merupakan penghasil susu tertinggi dibandingkan bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis maupun sub tropis dengan kadar lemak yang rendah. Populasi sapi perah di Indonesia diperkirakan sebanyak 487.000 ekor yang sebagian besar adalah bangsa sapi Friesian Holstein (FH) (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Susu dihasilkan di sentra-sentra produksi sapi perah seperti di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3.000-3.900 l per laktasi (Dwiyanto et al., 2000). Produksi susu merupakan sifat kuantitatif yang dikendalikan banyak gen, sehingga ekspresinya merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi keduanya.
Gambar 1. Sapi Friesian Holstein Jantan Sumber : http://dompi.co.id
Gen Growth Hormone (GH) Pertumbuhan merupakan salah satu sifat utama dan penting dari makhluk hidup. Secara umum pertumbuhan memiliki aspek yang luas seperti pertumbuhan sel, organ, fetus, tulang dan beberapa aspek lain yang terkait dengan pertumbuhan individu (Zulkharnaim et al., 2010). Pertumbuhan suatu individu dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan merupakan hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lobus anterior pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Hormon pertumbuhan diekspresikan oleh gen-gen. Gen Growth Hormone adalah salah satu gen yang penting yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, dan pertumbuhan badan normal. Oleh karena itu, gen GH sering dijadikan kandidat untuk program Marker Assisted Selection pada sapi (Beauchemin et al., 2006). Gen GH mempunyai panjang 2800 pb dengan 5 ekson dan 4 intron dan terletak pada kromosom ke 19 (Ardiyanti et al., 2009). Fungsi dari gen GH khususnya pada ternak menjadi sangat penting karena gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. Menurut Sumantran et al. (1992) gen GH terbukti menjadi pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, metabolisme pada mamalia, kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh, kesehatan. Selanjutnya, gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon immun (Ge et al., 2003). Gen Growth Hormone Receptor (GHR) menjadi kandidat gen untuk pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH membutuhkan reseptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan (Zulkharnaim et al., 2010). Zhou dan
4
Jiang (2005) menyatakan bahwa pada tingkatan jaringan, gen GH dimediasi oleh gen GHR. Gen Growth Hormone Receptor (GHR) Menurut Di Stasio et al. (2005), Growth Hormone Receptor (GHR) merupakan suatu protein transmembran yang mengikat GH dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi. Gen Growth Hormone memiliki berat molekul yang tinggi sehingga sulit memasuki sel-sel yang harus melewati membran sel. Oleh karena itu, gen GH membutuhkan reseptor yang terdapat dalam membran sel, agar gen GH dapat memberikan efeknya ke target sel tanpa merusak membrannya (Djojosoebagio, 1996).
Gen GHR pada sapi dipetakan sebagai gen tunggal yang terletak pada kromosom 20 (Moody et al., 1995), terdiri atas 10 ekson dan 9 intron dan memiliki panjang 25.688 pb (Lucy et al., 1998, Jiang dan Lucy, 2001). Gambar rekonstruksi gen GHR dapat dilihat pada Gambar 2. Proses transkripsi gen GHR pada sapi di inisiasikan oleh tiga promotor exon utama 1A, 1B, dan 1C (Jiang dan Lucy, 2001).
Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen Growth Hormone Receptor Berdasarkan Sekuen Gen GHR di GenBank (Kode Akses. EF207442)
5
Hasil produk PCR pada gen GHR exon 8 adalah sepanjang 230 bp. Hasil pemotongan fragmen GHR oleh SspI menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp). Genotipe TT adalah genotipe yang mempunyai karakteristik produksi susu paling rendah dibandingkan dengan genotipe AT dan AA (Khatib et al., 2009). Menurut Komisarek et al. (2010) genotipe AA merupakan genotipe yang mempunyai karakteristik produksi susu paling tinggi. Keragaman Genetik Menurut Kirby (1990) keragaman genetik atau polimorfisme genetik adalah terdapatnya lebih dari satu bentuk atau macam genotipe di dalam populasi. Keragaman genetik adalah perbedaan di dalam runutan DNA antar individu, kelompok, atau suatu populasi. Sumber keragaman ini dapat disebabkan oleh adanya pengulangan urutan sekuen, insersi, delesi, dan rekombinasi. Keragaman genetik dapat digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam suatu populasi yang erat kaitannya dengan penciri atau suatu sifat khusus (Blott et al., 1998). Suatu populasi yang alami memiliki tingkat keragaman yang tinggi. Frekuensi genotipe dan alel merupakan suatu parameter dasar untuk mempelajari proses terjadinya evolusi karena perubahan genetik pada sebuah populasi yang biasanya digambarkan dengan adanya perubahan pada frekuensi alel (Nei dan Kumar, 2000). Tingkat keragaman dalam suatu populasi dapat dilihat dari frekuensi alelnya. Frekuensi alel adalah rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Menurut Falconer dan Mackay (1996), suatu populasi dinilai beragam apabila memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama atau kurang dari 0,99. Hukum Hardy-Weinberg dapat menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi yang telah mengalami kawin acak dan bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Noor (2000) menyatakan bahwa hukum ini memperlihatkan frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya jika tidak
6
terjadinya seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang). Ukuran tinggi rendahnya keragaman genetik dalam suatu kelompok atau populasi dapat dilihat berdasarkan nilai heterozigositas. Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi (Avise, 1994). Menurut Nei (1987), derajat heterozigositas adalah rataan presentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan presentase individu heterozigot dalam populasi. Analisis Keragaman DNA Analisis keragaman DNA bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain RFLP, SSCP, DGGE, dan sequencing. Polimerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target yang telah ditentukan dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek. Proses yang terjadi dalam PCR meliputi tiga tahap yang penting yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan primer) (Muladno, 2002). Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan penyakit yang diturunkan (Orita et al., 1989) ataupun untuk mendeteksi keragaman gen yang berhubungan dengan sifat-sifat ekonomis ternak seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007). Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP juga dapat digunakan untuk analisis keragaman DNA. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001). Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo et al., 1998). Metode PCR-SSCP dapat mendeteksi perubahan pada satu basa tetapi tidak dapat diketahui basa mana yang berubah.
7
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) adalah suatu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong yang berbeda-beda pada setiap mikroorganisme (Orita et al., 1989). Prinsip kerja RFLP adalah menghilangkan semua mutasi untuk menciptakan sekuen rekognisi baru. Metode ini bisa mendeteksi mutasi jika situs restriksi mengalami perubahan susunan basa. Apabila mutasi terjadi diluar situs restriksi, maka mutasi tersebut tidak dapat dideteksi. Menurut Nei dan Kumar (2000), atas dasar terpotong atau tidaknya fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasikan melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu atau populasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).
8