TINJAUAN PUSTAKA Program Pemberdayaan Masyarakat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program
nasional
penanggulangan
kemiskinan
terutama
yang
berbasis
pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Selain
itu,
pemberdayaan
masyarakat
adalah
upaya
untuk
menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai (Anonim 2009). Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan, dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. Mulai tahun 2008 PNPM
Mandiri
diperluas
dengan
melibatkan
Program
Pengembangan
Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusatpusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PNPM Mandiri 2008 juga akan diprioritaskan pada desa-desa tertinggal. Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektivitas dan efisiensi
dari kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antar proyek diharapkan juga dapat
diwujudkan.
Mengingat
proses
pemberdayaan
pada
umumnya
membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut (Anonim 2009). Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan
penanggulangan
masyarakat,
meliputi
(a)
kemiskinan Penyediaan
yang dan
diusulkan
dan
disepakati
perbaikan prasarana/sarana
lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi secara kegiatan padat karya; (b) Penyediaan sumberdaya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Perhatian yang lebih besar diberikan bagi kaum perempuan untuk memanfaatkan dana bergulir ini; (c) Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs; (d) Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik (Anonim 2009). Tujuan Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Tujuan Khususnya adalah (a) meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan; (b)Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel; (c) Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor); (d) Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan; (e) Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, kapasitas pemerintah daerah, dan kelompok peduli setempat dalam
menanggulangi kemiskinan di wilayahnya; (f) Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan local (g) Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan tekhnologi tepat guna, informasi, dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat (Anonim 2009). Sebenarnya arti dari pemberdayaan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui
pengembangan
kemampuan
masyarakat,
perubahan
perilaku
masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Dari definisi tersebut terlihat ada tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat (Awandana 2009). Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Program Kelompok Usaha Bersama keluarga miskin (KUBE) adalah program penanggulangan kemiskinan melalui usaha ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga miskin (Gakin). Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan PROKESOS untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangant kebersamaan sebagai sarana untuk menigkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. KUBE merupakan metode pendekatan yang terintegrasi dan keseluruhan proses PROKESOS dalam rangka MPMK. KUBE tidak dimaksudkan untuk menggantikan keseluruhan prosedur baku PROKESOS kecuali untuk Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin yang mencakup keseluruhan proses. Pembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan ketrampilan berusaha, bantuan stimulans, dan pendampingan.
Tujuan
program
KUBE
Gakin
diarahkan
kepada
upaya
mempercepat
penghapusan kemiskinan melalui: (1) Peningkatan kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok; (2) Peningkatan pendapatan; (3) Pengembangan usaha; (4) Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat sekitar. Sasaran KUBE adalah keluarga miskin yang telah memiliki usaha atau mau dan mampu berusaha, dan namanya tercantum dalam register keluarga miskin hasil pencatatan keluarga miskin oleh BPS dan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Masing-masing kelurahan jumlah sasaran disesuaikan dengan kuota. Adapun ciri lainnya adalah (1) Keluarga fakir miskin yang dibina melalui program bantuan kesejahteraan sosial fakir miskin; (2) Kelompok masyarakat tersaing
yang
dibina
melalui program pembinaan kesejahteraan
sosial
masyarakat terasing; (3) Para penyandang cacat yang dibina melalui program pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat; (4) Lanjut usia yang dibina melalui program pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia; (5) Anak terlantar yang dibina melalui program pembinaan kesejahteraan sosial anak terlantar; (6) Wanita rawan sosial ekonomi yang dibina melalui program peningkatan peranan wanita di bidang kesejahteraan sosial; (7) Keluarga muda mandiri yang dibina melalui program keluarga muda mandiri; (8) Remaja dan pemuda yang dibina melalui program pembinaan karang taruna; (9) Keluarga miskin di daerah kumuh yang dibina melalui program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK). Tolak ukur keberhasilan program KUBE adalah apabila pengembalian pinjaman sebesar 50%. Dengan asumsi bahwa 20% usahanya macet, 30% usahanya tetap jalan tetapi tidak bisa mengembalikan, dan 50% usahanya jalan dan pengembalian lancar ( Tanziha & Sukandar 2009). Program Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Garda Emas) Program Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Garda Emas) diluncurkan
sebagai bentuk keprihatinan
pemerintah
Kota
Bogor pada
masyarakat kota Bogor yang terimbas krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997.
Menurunnya
daya
beli
masyarakat,
tingginya
pengangguran,
meningkatnya jumlah rumah tangga miskin serta pertumbuhan ekonomi yang negatif, mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan positif. Maka pada bulan Juli 1999 Pemerintah Kota Bogor bekerjasama dengan LSM Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) meluncurkan Program Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Garda Emas). Garda Emas adala upaya pemberdayaan yang dilakukan secara bersamasama dan terarah dari, oleh, dan untuk masyarakat di wilayah Kota Bogor melalui penggalian dan pengembangan potensi sumberdaya ekonomi masyarakat untuk meningkatkan tingkat kualitas ekonomi masyarakat. Komitmen akhir dari Garda Emas
adalah
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
dan
dengan
menempatkan ekonomi masyarakat sebagai subyek program diharapkan terciptanya ketahanan ekonomi masyarakat yang kuat. Tujuan umum program Garda Emas adalah untuk membantu masyarakat khususnya kelompok sasaran, memberdayakan dirinya agar mempunyai kemampuan melakukan usaha-usaha produktif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sehingga dapat lebih berperan dalam pembangunan daerah. Sasaran program Garda Emas adalah seluruh lapisan masyarakat di wilayah Kota Bogor, secara khusus program ini diprioritaskan : pemberdayaan
kelembagaan
ekonomi,
melalui
(a) Program
merevitalisasi
dan
mendayagunakan lembaga ekonomi yang ada di masyarakat (koperasi. LPED, UED-SP, dan BMT) sehingga mampu menjadi pilar ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan; (b) Program pemberdayaan usaha/pengusaha kecil (sasarannya pengusaha kecil dan mikro); (c) Program penanggulangan penganggur (sasarannya adalah pengangguran korban PHK dan lainnya); (d) Program khusus pemberdayaan keluarga miskin (sasarannya adalah keluarga Pra KS dan KS1) melalui bantuan modal bergulir dan usaha pendampingan / pembinaan usaha. Indikator untuk menilai keberhasilan dari program Garda Emas dapat dilihat dari aspek input dan output. Indikator input meliputi (a) Adanya kebijakan pemerintah yang jelas tentang Garda Emas; (b) Adanya program-program yang berwawasan pemberdayaan ekonomi masyarakat pada instansi pemerintah, swasta, LSM, dan Ormas yang dapat dipafukan; (c) Adanya kesepakatan data aktual tentang sasaran prioritas dan rencana terpadu garda emas. Indikator output meliputi (a) Peningkatan jumlah dan persentase masyarakat sasaran yang ikut berperan atau terlibat dalam program ini setiap tahunnya; (b) Peningkatan keterampilan dan akses berusaha pada kelompok sasaran; (c) Berkurangnya jumlah pengangguran, keluarga para KS dan KS1 di wilayah Kota Bogor; (d) Peningkatan lapangan kerja dan peluang usaha
baru; (e) Peningkatan
pendapatan keluarga dari kelompok sasaran; (f) Meningkatnya kemandirian penerima sasaran; (g) Keberhasilan pengembangan dan pengaturan usaha dari setiap kelompok sasaran (Tanziha & Sukandar 2009).
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan
melalui
konsep
memberdayakan
masyarakat
dan
pelaku
pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal (Anonim 2009). P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses
perubahan
perilaku
masyarakat
adalah
melalui
pendekatan
pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya. Kedua substansi P2KP tersebut sangat penting sebagai upaya proses transformasi P2KP dari tataran proyek menjadi tataran program oleh masyarakat bersama pemerintah daerah setempat. Bagaimanapun harus disadari bahwa upaya dan pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah pusat, melainkan harus menjadi prioritas perhatian dan kebutuhan masyarakat bersama pemerintah daerah itu sendiri. Substansi P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dilakukan dengan terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsipprinsip kemasyarakatan, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat masyarakat ini berlangsung selama masa Program P2KP maupun pasca Program P2KP oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar Kelurahan (KBK). Sedangkan substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah,
dilakukan
melalui
pelibatan
intensif
pemerintah
daerah
pada
pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran dan fungsi Komite
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM Pronangkis Kota/Kab
berbasis
program
masyarakat
(Pronangkis
Kelurahan),
serta
melembagakan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP). Semua pendekatan yang dilakukan P2KP di atas, ditujukan untuk mendorong proses percepatan terbangunnya landasan yang kokoh bagi terwujudnya kemandirian penanggulangan kemiskinan dan juga melembaganya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dengan demikian, pelaksanaan P2KP sebagai “gerakan bersama membangun kemandirian dan pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai-nilai universal ” diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu ke arah yang lebih baik. Perubahan perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses pemberdayaan masyarakat agar terbangun daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif, daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif dan, daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Anonim 2009). Tujuan program P2KP ini adalah (a) Terbangunnya lembaga masyarakat berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan berorientasi pembangunan berkelanjutan, aspiratif, representatif, mengakar, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin, mampu memperkuat aspirasi/suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan lokal, dan
mampu
menjadi
wadah
sinergi
masyarakat
dalam
penyelesaian
permasalahan yang ada di wilayahnya; (b) Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan ke pelayanan sosial, prasarana dan sarana serta pendanaan (modal), termasuk membangun kerjasama dan kemitraan sinergi ke berbagai pihak terkait dengan menciptakan kepercayaan pihak-pihak terkait tersebut terhadap lembaga masyarakat (BKM); (c) Mengedepankan peran pemerintah kota/kabupaten agar mereka semakin mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, baik melalui pengokohan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) di wilayahnya maupun kemitraan dengan masyarakat serta kelompok peduli setempat. Pada dasarnya, kelompok sasaran P2KP mencakup empat sasaran utama, yakni masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat, dan
para pihak terkait (stakeholders). Agar terwujud tujuan yang hendak dicapai, maka strategi yang dilaksanakan adalah (a) Mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya/miskin menuju masyarakat berdaya melalui: (1) Internalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal, sebagai pondasi yang kokoh untuk memberdayakan masyarakat menuju tatanan masyarakat yang mampu
mewujudkan
kemandirian
dan
pembangunan
berkelanjutan;
(2)
Penguatan lembaga masyarakat melalui pendekatan pembangunan bertumpu pada
kelompok
(Community
based
Development),
dimana
masyarakat
membangun dan mengorganisir diri atas dasar ikatan pemersatu (common bond), antara lain kesamaan kepentingan dan kebutuhan, kesamaan kegiatan, kesamaan
domisili
yang
mengarah
pada
upaya
mendorong
tumbuh
berkembangnya kapital sosial; (3) Pembelajaran penerapan konsep Tridaya dalam penanggulangan kemiskinan , menekankan pada proses pemberdayaan sejati (bertumpu pada manusia-manusianya) dalam rangka membangkitkan ketiga daya yang dimiliki manusia agar tercipta masyarakat efektif secara sosial, masyarakat ekonomi produktif, dan masyarakat pembangunan yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, produktif, dan lestari; (4) Penguatan akuntabilitas masyarakat , menekankan pada proses membangun dan menumbuhkembangkan segenap lapisan masyarakat untuk peduli untuk melakukan kontrol sosial secara obyektif dan efektif sehingga menjamin pelaksanaan kegiatan yang berpihak kepada masyarakat miskin dan mendorong kemandirian serta keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di wilayah masing-masing; (b) Mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat berdaya menuju masyarakat mandiri melalui: (1) Pembelajaran kemitraan antar Stakeholders strategis yang menekankan pada proses pembangunan kolaborasi dan sinergi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan antara masyarakat, pemerintah kota/kabupaten, dan kelompok peduli setempat agar kemiskinan dapat ditangani secara efektif, mandiri dan berkelanjutan; (2) Penguatan jaringan antar pelaku pembangunan dengan membangun kepedulian dan jaringan sumberdaya dan mendorong keterlibatan aktif dari para pelaku pembangunan lain maka dapat dijalin kerjasama dan dukungan sumberdaya bagi penanggulangan kemiskinan, termasuk akses penyaluran ( channeling ) bagi keberlanjutan program-program di masyarakat dan penerapkan Tridaya di lapangan. Para pelaku pembangunan lain yang dimaksud antara lain : LSM, Perguruan
Tinggi
setempat,
lembaga-lembaga
keuangan
(perbankan),
Pengusaha, Asosiasi Profesi dan Usaha Sejenis, dll; (c) Mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat mandiri menuju masyarakat madani. Intervensi P2KP untuk mampu mewujudkan transformasi dari kondisi masyarakat mandiri menuju masyarakat madani lebih dititikberatkan pada proses penyiapan landasan yang kokoh melalui penciptaan situasi dan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhkembangnya masyarakat madani, melalui intervensi komponen Pembangunan Lingkungan Permukiman Kelurahan Terpadu (Neighbourhood Development) , yakni proses pembelajaran masyarakat dalam mewujudkan prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
yang
berbasis
nilai
menuju
terwujudnya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif, dan lestari (Anonim 2009). Indikator keberhasilan tingkat UPK akan diukur dari enam variabel :
(1)
Rasio resiko saldo kredit; (2) Rasio kecukupan cadangan resiko kredit; (3) Rasio laba dibanding rata-rata aktiva produktif perbulan; (4) Rasio biaya dibanding pendapatan operasional; (5) Rasio saldo kredit dibanding dengan total aktiva; (6) Rasio aktiva bersih dibanding dengan modal awal (Tanziha & Sukandar 2009). Program DAKABALAREA Program Dakabalarea merupakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat Jawa Barat dalam mengembangkan usaha mikro, kecil, dan koperasi serta lembaga ekonomi rakyat lainnya melalui penyediaan kredit dengan sistem pendampingan dan syariah. Program Dakabalarea dibentuk dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat Jawa Barat, serta kaitannya dengan antisipasi terhadap akibat krisis ekonomi, peran, dan fungsi usaha mikro/kecil dan koperasi diberdayakan serta mendapat prioritas. DAKABALAREA itu sendiri punya arti sebagai berikut: DA (dahareun loba), KA (kabeuli ku rakyat), BA (barudak bisa sakola tur rakyat jagjag waringas), LA (layanan umur ningkat), RE (reformasi dilaksanakeun), dan A (anu miskin ngurangan tur nu iman jeung nu taqwa nambahan). Dalam implementasinya, program Dakabalrea melibatkan Bank Jabar Syariah dan Dekopinwil Jawa Barat. Kerjasama dilakukan dalam hal penyaluran dan penatausahaan penerusan pinjaman untuk kelompok peminjam dengan prinsip bagi hasil dan jual beli. Sasaran kredit program Dakabalrea adalah tercapainya peningkatan dan pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang
dikelompokan dalam suatu kelompok peminjam baik berupa perorangan, koperasi atau kelompok usaha lainnya, yang memenuhi syarat teknis perbankan /feasible rencana usaha di bidang agribisnis, industri, perdagangan, dan jasa lainnya. Indikator keberhasilan kredit program Dakabalrea dapat diukur dari perkembangan penyaluran dan pemanfaatan kredit yang saat ini kredit telah digulirkan ke 2.941 kelompok dengan melibatkan 25.881 orang. dari kegiatan ekonomi masyarakat/usaha mikro kecil, menengah, dan koperasi yang didanai kredit program Dakabalrea akan memberikan implikasi positif terhadap penyerapan tenaga kerja yang pelaku usahanya masih didominasi oleh usaha kecil, menengah, dan koperasi dengan pencapaian 99% dari seluruh usaha di Jawa Barat. Dari proses kegiatan usaha yang didanai oleh kredit Dakabalrea akan menghasilkan output bagi meningkatnya kegiatan usaha yang pada akhirnya pendapatan masyarakat akan semakin tinggi, daya beli masyarakat serta bermuara pada tercapainya IPM Jawa Barat. Selain dari pada itu dampak positif lainnya dari kredit ini ialah meningkatnya kelembagaan ekonomi, serta terselamatkannya dan kembalinya dana untuk digulirkan ke masyarakat secara merata (Tanziha & Sukandar 2009). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa telaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et all) Tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya. Selama tahap ini, intake (makanan yang masuk tubuh) satu atau lebih zat gizi makanan biasanya tidak cukup, apakah karena defisiensi (kekurangan) primer, yaitu taraf zat gizi dalam menu yang rendah atau karena defisiensi sekunder. Pada defisensi sekunder ini, intake zat gizi makanan mungkin tampaknya memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh, tetapi karena bebrbagai faktor, seperti obat-obatan tertentu, komponen-komponen makanan, atau
penyakit, menggangu penyerapan, transport, penggunaan, atau ekskresi zat-zat gizi sehingga terjadilah defisiensi sekunder tersebut (Nasoetion & Riyadi 1993). Konsumsi makanan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil) dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makanan antar anggota keluarga (ayah, ibu, anak, balita). Selanjutnya pola distrbusi makanan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro adalah tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga terutama bagi wanita, kepala rumah tangga wanita, siapa pengambil keputusan di rumah tangga untuk pembelanjaan makanan dan sebagainya (Soekirman 1991). Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada anaknya (Khomsan et all). Konsumsi makanan yang selalu kurang dapat berakibat kurang gizi, walaupun ia tidak menderita penyakit tetapi konsumsi makanan cukup, bila terdapat penyakit dapat pula berakibat kurang gizi. Keadaan gizi seseorang akan lebih jelek kalau konsumsi makanan kurang dan terdapat penyakit. Biasanya kedua faktor ini saling berinteraksi, yaitu konsumsi makanan yang kurang menyebabkan tubuh lebih mudah terserang penyakit dan penyakit tersebut juga dapat mengganggu konsumsi makanan dan penyerapan atau penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Oleh karena itu, penderita kurang gizi pada umumnya juga menderita salah satu atau kombinasi berbagai jenis penyakit (Nasoetion et al. 1993). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio-budaya dan religi. Faktor ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan terutama pada golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga (baik harga pangan (baik harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar
peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pandapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli (Baliwati et al. 2004). Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan individu di tingkat keluarga maupun wilayah. Keterkaitan beragam faktor dengan konsumsi pangan, antara lain sebagai berikut : a. Model multi-dimensional yang dikemukakan oleh Sanjur dan Scoma tahun 1977 yang menggambarkan bahwa konsumsi pangan merupakan fungsi dari kebiasaan makan, preferensi, ideologi, dan sosial budaya. b. Children’s food consumption behaviour model dikemukakan oleh Lund dan Burk (1969) bahwa konsumsi pangan anak tergantung pada adanya sikap , pengetahuan, dan tiga motivasi utama terhadap pangan yaitu kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sekolah. c. Model Welkam yang dirancang pada tahun 1969. Model ini menekankan pada faktor ekologi terutama faktor fisik dan budaya terhadap terhadap konsumsi pangan. Faktor fisik meliputi produksi, pengawetan, distribusi, persiapan, dan peralatan yang berkaitan dengan pangan. d. Keterkaitan antara komponen ekosistem / lingkungan dengan pilihan dan penggunaan pangan juga dikemukakan oleh Hartog 1995. lingkungan budaya, lingkungan alam, dan penduduk mempengaruhi konsumsi pangan suatu masyarakat. e. Lewin’s motivational model atau disebut dengan Channel Theory / teori alur mengemukakan bahwa konsumsi pangan merupakan unsur pemuasan kebutuhan sosial (Baliwati et al. 2004). Banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu baik di tingkat keluarga maupun daerah. Faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio budaya dan religi yang ada di suatu daerah sangat mempengaruhi konsumsi pangan penduduknya. Di tingkat rumah tangga, faktor kesehatan sangat berperan terhadap konsumsi pangan anggota keluarganya. Dalam keadaan sakit, seseorang tidak dapat mengkonsumsi pangan yang sama dengan jika ia dalam keadaan sehat, hal ini disebabkan oleh adanya jenis-jenis makanan tertentu yang tidak boleh dikonsumsi berkaitan dengan penyakitnya tersebut (Hardinsyah et al. 2002).
Diperkirakan ada lima puluh senyawa dan unsur dari zat gizi yang diperlukan oleh manusia yang harus diperoleh dari makanan dengan jumlah tertentu setiap harinya untuk hidup sehat. Zat gizi tersebut pada umumnya diperoleh dari pangan (makanan dan minuman). Secara umum zat-zat gizi yang diperlukan tubuh dikelompokkan menjadi 6 kelompok utama, yaitu: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Hidup sehat manusia perlu makan dan minum atau mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup dan teratur (Hardinsyah et al. 2002). Berikut ini penjelasan tentang energi dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh: 1. Energi Energi adalah kekuatan untuk melakukan pekerjaan. Pangan merupakan bahan bakar yang berguna sebagai sumber energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Pekerjaan dilakukan terus-menerus dalam semua bagian tubuh untuk memelihara proses-proses tubuh. Energi juga diperlukan untuk membentuk jaringan baru dan memperbaiki lain-lainnya, untuk memproduksi susu pemberi makan bayi, dan sebagainya (Harper et al. 1988). Energi makanan digunakan untuk aktivitas di dalam tubuh dan aktivitas luar. Aktivitas di dalam tubuh misalnya kerja jantung memompa darah ke seluruh tubuh, kerja paru-paru untuk bernapas, kerja ginjal, pencernaan makanan, dan proses metabolisme dalam sel. Aktivitas luar ialah berjalan, berlari, menulis, berolah raga, dan lain-lain. Makanan sumber karbohidrat pada umumnya merupakan makanan yang paling murah. Oleh karenanya dapat dimengerti bahwa ada hubungan yang sangat erat antara penyediaan sumber energi dengan penyediaan zat gizi lainnya (Poedjiadi & Supriyanti 2005). 2. Protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida (Almatsier 2001). Protein mempunyai kegunaan yang amat banyak dalam tubuh. Diantaranya adalah pembongkaran molekul protein untuk mendapatkan energi atau unsur senyawa seperti nitrogen
atau sulfur untuk reaksi metabolisme lainnya. Protein juga penting untuk keperluan fungsional maupun struktural dan untuk keperluan tersebut komposisi asam-asam amino pembentuk protein sangat penting fungsinya (Buckle et al. 1987). 3. Vitamin A Vitamin adalah senyawa-senyawa yang tidak dapat dibuat oleh tubuh tetapi diperlukan untuk memelihara aktivitas berbagai proses metabolik atau integritas berbagai selaput membran. Vitamin dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kelarutannya yaitu vitamin yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Berbagai vitamin dibutuhkan dalam makanan dalam jumlah yang berbeda tergantung dari jumlah yang dibutuhkan tubuh dan kesanggupan tubuh untuk menyerap dari makanan dan menyimpan dalam tubuh (Buckle et al.1987). Vitamin A berperan dalam proses melihat, yaitu pada proses fotokimia pada retina. Dalam proses reproduksi, vitamin A berfungsi sebagai salah satu faktor pertumbuhan. Defisiensi vitamin A adalah rabun malam atau rabun senja, perubahan epitel, dan perkembangan tulang dan gigi yang tidak normal. Kelebihan vitamin A atau hipervitaminosis akan menunjukkan gejala keracunan (Poedjiadi & Supriyanti 2005). 4. Vitamin B Vitamin B-kompleks terdiri atas sepuluh faktor yang saling berkaitan fungsinya di dalam tubuh dan terdapat di dalam bahan makanan yang hampir sama. Fungsinya terkait dalam proses metabolisme sel hidup, baik pada tumbuhtumbuhan maupun hewan sebagai koenzim atau faktor. Vitamin B-kompleks merupakan vitamin larut air. Vitamin larut air biasanya tidak disimpan di dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil. Oleh sebab itu vitamin larut air perlu dikonsumsi tiap hari untuk mencegah kekurangan yang dapat mengganggu
fungsi
tubuh
normal
(Almatsier
2001).
5. Vitamin C Vitamin ini adalah kristal putih yang nudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh sebagai koenzim atau
kofaktor. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan, mencegah infeksi, dan mencegah kanker dan penyakt jantung (Almatsier 2001). Sumber vitamin C adalah sayuran berwarna hijau, buah-buahan (perlu diketahui bahwa rasa asam pada buah tidak selalu sejalan dengan kadar vitamin C dalam buah tersebut karena rasa asam disebabkan oleh asam-asam lain yang terdapat dalam buah bersama vitamin C). Vitamin C dapat hilang karena hal-hal seperti pemanasan yang menyebabkan rusak/berbahayanya struktur, pencucian sayuran setelah dipotong-potong terlebih dahulu, adanya alkalli atau suasana basa selama pengolahan, membuat tempat berisi vitamin C sebab oleh udara akan terjadi oksidasi yang tidak reversibel (Poedjiadi & Supriyanti 2005). 6. Zat Besi (Fe) Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas didalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi termasuk di Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif, dan sistem kekebalan (Almatsier 2001). Kadar besi dalam tubuh kita relatif kecil. Pada pria dewasa terdapat 40-50 mg besi per kg berat badan dan pada wanita dewasa 35-50 mg per kg berat badan. Kebanyakan dari besi esensial terdapat dalam hemoglobin, kira-kira 15% terdapat dalam otot (mioglobin), dan kurang dari 1% terdapat dalam sel tubuh sebagai bagian dari enzim oksido-reduktase. Penyerapan besi dibantu oleh keasaman cairan lambung dan vitamin C (Poedjiadi & Supriyanti 2005). 7. Kalsium Mineral ini merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Dari jumlah ini, 99% berada di dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit. Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga
permeabilitas membran sel. Kalsium mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier 2001). Kalsium berkaitan sangat erat dengan fosfor dalam tubuh. Mekanisme kedua unsur ini berhubungan dengan sejumlah mekanisme fisiologis tubuh. Kalsium mempunyai peranan penting dalam proses kontraksi otot, menjaga normalitas kerja jantung, dan merupakan aktivator enzimenzim tertentu. Absorpsi kalsium dibantu oleh vitamin C, vitamin D, dan laktosa. Sedangkan oksalat dan fitat mengganggu absorpsi kalsium. Kekurangan kalsium dalam diet seseorang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang dan gigi, riketsia pada anak-anak, dan dapat mengakibatkan osteoporosis (tulang rapuh) pada orang dewasa (Poedjiadi & Supriyanti 2005). 8. Fosfor Mineral ini menempati kadar nomor dua dalam tubuh kita setelah kalsium, yaitu 22% dari seluruh mineral yang ada. Kurang lebih 80% berada dalam bentuk kalsium fosfat kristal yang tidak larut yang memberikan kekuatan pada gigi. Disamping fungsinya sebagai bagian dari struktur gigi dan tulang, fosfor memiliki fungsi yang sangat banyak bila dibandingkan dengan mineral-mineral lainnya. Biasanya kira-kira 70% dari fosfor yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh. Penyerapan akan lebih baik bila fosfor dan kalsium dimakan dalam jumlah yang sama. Penyerapan fosfor dibantu oleh vitamin D dan diekskresi melalui urine. Kekurangan fosfor mengakibatkan demineralisasi tulang dan terjadi pertumbuhan yang kurang baik. Makanan sumber fosfor antara lain susu, keju, daging, kacang-kacangan, dan padi-padian (Poedjiadi & Supriyanti 2005). Kekurangan fosfor bisa terjadi bila menggunakan obat antasid untuk menetralkan asam lambung seperti alumunium hidroksida untuk jangka lama. Kekurangan fosfor juga bisa terjadi pada penderita yang kehilangan banyak cairan melalui urin. Kekurangan fosfor menyebabkan kerusakan tulang (Almatsier 2001). Konsumsi pangan baik keluarga, individu, maupun golongan tertentu dapat diamati dengan cara ”recall”. Metode ini umum digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan yang telah lalu (1-3 hari terakhir) baik dari segi kuantitas maupun kualitas contoh yang cukup besar. Dalam metode ini enumerator minta agar responden mengingat-ingat secara terinci apa yang telah dikonsumsi dalam 1-3 hari terakhir tersebut. Cara ini relatif cepat dan murah, tatapi mengandung subyektifitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistemik (Suhardjo 1989).
Pengukuran Konsumsi Pangan Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Dari informasi ini akan dapat dihitung konsumsi gizi dengan menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Makanan (Daftar Komposisi Bahan Makanan) dan daftar-daftar lainnya bila diperlukan. Survei konsumsi pangan secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan (Suhardjo 1989). Informasi tentang konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei dan akan menghasilkan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall 24 jam, food records, dan weighing method. Berdasarkan kandungan gizi yang terdapat dalam DKBM maka dapat diketahui jumlah konsumsi zat gizi dari berbagai jenis dan kelompok pangan. Secara kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh pangan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah food frequency questionnaire dan dietary history (Baliwati et al. 2004). Berikut ini penjelasan tentang metode pengumpulan data secara kuantitatif ( metode recall 24 jam) dan secara kualitatif (metode frekuensi makanan): 1. Metode Recall 24 jam Pada prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring atau alat lain yang biasa digunakan di rumahtangga. Selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka
perlu
dilatih
sebelumnya
mengenai
penggunaan
URT
dan
mengkonversikannya ke satuan berat. Metode ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitiannya karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namum kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survei (lebih dari 1x24 jam). Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini direkomendasikan untuk survei konsumsi pangan dalam
rangka memperoleh gambaran (representasi) dari populasi. Metode ini bisa digunakan untuk individu dan keluarga (Hardinsyah et al. 2002). Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman yang telah dikonsumsi dalam 24 jam yang lalu (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008). Metode ini bisa digunakan untuk survei konsumsi keluarga bila semua anggota keluarga diwawancarai atau salah satu anggota keluarga yang mengetahui tentang konsumsi anggota keluarga lainnya, biasanya ibu rumahtangga (Suhardjo 1989). Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitaif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari (Supariasa et al. 2001). Kelebihan cara ini adalah karena yang menyiapkan model makanan dan mencatat adalah pewancara, responden tidak dituntut harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan, antara lain (1) orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang sering tidak melaporkan makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, disamping terlalu berlebihan dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui sebagai ”makanan sehat”, dan (4) wawasan pangan pewancara tidak luas (Arisman 2004). 2. Metode Frekuensi Makan (Food Frequency Questionnaire/FFQ) Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu, diperlukan kuisioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan dan frekuensi konsumsi pangan (Baliawati et all 2004). Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data yang tidak dapat dapat diperoleh melalui ingatan 24 jam. Data yang didapat dengan FFQ merupakan data frekuensi: berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan orang menyantap makanan tertentu. Pada umumnya, FFQ digunakan untuk meranking orang berdasarkan besaran asupan zat gizi tetapi tidak dirancang untuk memperkirakan asupan secara absolut. Kelemahan cara ini antara lain, (1) tidak dapat menghasilkan data kuantitatif tentang asupan pangan karena pangan yang disantap tidak diukur, (2) pengisian kuisioner hanya mengandalkan ingatan. Kelebihan cara ini antara lain relatif murah, cocok jika
diterapkan pada penelitian kelompok besar yang asupan pangan setiap hari sangat variatif, pengisian formulir dapat diserahkan pada responden, dan mudah didistribusikan (Arisman 2004). FFQ merupakan kuisioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuisioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman. Kelebihan FFQ adalah relatif murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatasan FFQ yaitu adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden tergantung pada kemampuan responden untuk mendeskripskan dietnya (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008). Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa et al. 2001). Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan merupakan cara menilai keadaan atau status gizi masyarakat secara tidak langsung. Informasi tentang konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei dan akan menghasilkan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif (Baliwati et al. 2004). Tingkat konsumsi zat gizi dihitung dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan angka kebutuhan gizi yang dianjurkan (Hardinsyah et al. 2002). Menurut Hardinsyah & Briawan (1994), diacu dalam Sukandar (2007), untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi (DKG), yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi seseorang.
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan antara lain untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional atau nasional,
menilai
data
konsumsi
makanan
perorangan
atau
kelompok
masyarakat, perencanaan pemberian makanan bagi institusi seperti rumah sakit, perkantoran, industri, sekolah, panti sosial, dan lembaga pemasyarakatan perlu diperhatikan berat badan rata-rata dan aktivitas, menetapkan standar bantuan pangan dalam keadaan darurat seperti bencana alam, menetapkan pedoman keperluan label gizi makanan yang dikemas, dan untuk bahan penyuluhan atau pendidikan gizi yang berkaitan dengan kebutuhan gizi menurut kelompok umur dan kegiatan maupun jenis kelamin (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008). Pada Tabel 1 disajikan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut umur (WKNPG 2004).
Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut umur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kelompok Umur Anak 0-6 bln 7-12 bln 1-3 thn 4-6 thn 7-9 thn Laki-laki 10-12 thn 13-15 thn 16-18 thn 19-29 thn 30-49 thn 50-64 thn 60+ thn Wanita 10-12 thn 13-15 thn 16-18 thn 19-29 thn 30-49 thn 50-64 thn 60+ thn Hamil (+an) Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui (+an) 6 bln pertama 6 bln kedua
Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (cm)
Energi (Kkal)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat Besi (mg)
Vitamin A (RE)
Vitamin C (mg)
6 8.5 12 17 25
60 71 90 110 120
550 650 1000 1550 1800
10 16 25 39 45
200 400 500 500 600
100 225 400 400 400
0.5 7 8 9 10
375 400 400 450 500
40 40 40 45 45
35 46 55 56 62 62 62
138 150 160 165 165 165 165
2050 2400 2600 2550 2350 2250 2050
50 60 65 60 60 60 60
1000 1000 1000 800 800 800 800
1000 1000 1000 600 600 600 600
13 19 15 13 13 13 13
600 600 600 600 600 600 600
50 75 90 90 90 90 90
37 48 50 52 55 55 55
145 153 154 156 156 156 156
2050 2350 2200 1900 1800 1750 1600
50 57 50 50 50 50 50
1000 1000 1000 800 800 800 800
1000 1000 1000 600 600 600 600
20 26 26 26 26 12 12
600 600 600 500 500 500 500
50 65 75 75 75 75 75
+180 +300 +300
+17 +17 +17
+150 +150 +150
+0 +0 +0
+0 +9 +13
+300 +300 +300
+10 +10 +10
+500 +550
+17 +17
+150 +150
+0 +0
+6 +6
+350 +350
+45 +45
Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996), diacu dalam Sukandar (2007) adalah : (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); dan (5) kelebihan (>= 77% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005), diacu dalam Sukandar (2007) yaitu (1) kurang (<77% AKG) dan (2) cukup (≥77% AKG). Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompokkelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Suhardjo 2005). Komponen penilaian status gizi meliputi asupan pangan, pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai kesehatan, pemeriksaan antropometris, serta data psikososial (Arisman 2004). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksik atau membahayakan. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya (Almatsier 2001). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada tahapan keadaan kekurangan gizi.
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan pengukuran antropometrik,
klinik,
dan
laboratorik.
Diantara
ketiganya,
pengukuran
antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak dilakukan. Dalam antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Di dalam ilmu gizi status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur Berat Badan (BB) atau Tinggi Badan (TB) sesuai dengan Umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupaa kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator mempnyai makna tersendiri. Misalnya kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan ”BB/U”, kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U atau ”TB/U”, dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau ”BB/TB”. Indikator BB/U meunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 1999). Di Indonesia, besaran Indeks Massa Tubuh (IMT) menggunakan kategori ambang untuk penduduk asia dewasa yang telah dirumuskan para ahli dalam IOTF, WHO 2000 dan telah ditetapkan dalam WHO 2007 (WHO 2007). Tabel 2 Kategori ambang batas IMT untuk penduduk asia dewasa menurut World Health Organization (WHO) IMT (kg/m2) < 18.5 18.5-22.9 ≥ 23.0
Kategori Underweight (Kekurangan Berat Badan) Normal Overweight
23.0-24.9
At risk (Pra Obese)
25.0-29.9
Obesitas Tingkat 1
≥ 30.0 Sumber : WHO (2007)
Obesitas Tingkat 2 (Berat)
Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Komponen penilaian status gizi meliputi (1) asupan pangan, (2) pemeriksaan biokimiawi, (3) pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai kesehatan, (4) pemeriksaan antropometris, serta (5) data psikososial (Arisman 2004). Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2001). Salah satu pemeriksaan antropometris adalah Indeks massa Tubuh (IMT). IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa dan dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kwadrat tinggi badan (dalam ukuran meter). Rumus ini hanya cocok diterapkan pada mereka yang berusia antara 19-70 tahun, berstrukutur belakang normal, bukan atlet atau binaragawan, juga bukan wanita hamil atau menyusui. Penggolongan status gizi berdasarkan nilai IMT ini (Arisman 2004). Pembandingan keadaan gizi menurut hasil pengukuran terhadap standar yang sesuai dari individu atau kelompok masyarakat tertentu disebut penilaian status gizi individu atau kelompok. Penilaian status gizi dapat dipakai sebagai landasan untuk pengembangan program masyarakat dan nasional dalam membantu mengatasi kurang gizi, menyediakan jumlah dan jenis pangan yang diperlukan, dan umumnya mendukung kesehatan penduduk. Untuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang, suatu kelompok penduduk atau suatu masyarakat dilakukan pengukuran-pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau mungkin ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjuk kepada indikator atau parameter dan dinamakan demikian karena berguna sebagai indeks untuk menunjukkan kepada tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda-beda (Harper et al. 1988).