3
TINJAUAN PUSTAKA Persea americana Mill. Alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur dan Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (Batak), dan pookat (Lampung). Tanaman alpukat diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18 yang berasal dari dataran Amerika Tengah. Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri atas tiga tipe keturunan, yaitu tipe Meksiko, Guatamala dan Hindia Barat. Menurut Prihatman (2000), taksonomi tanaman
alpukat
(Persea
americana
Mill.)
sebagai
berikut:
Divisi:
Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae; Bangsa: Renales; Keluarga: Lauraceae; Marga: Persea; Varietas: Persea americana Mill. Tanaman alpukat tumbuh liar di hutan-hutan, kebun dan pekarangan yang memiliki lapisan tanah gembur dan subur serta tidak tergenang air. Ciri-ciri tanaman alpukat diantaranya adalah berpohon kecil dengan tinggi 3-10 m, berakar tunggang, batang berkayu, berbentuk bulat dan berwarna coklat kotor, dengan cabang banyak dan ranting halus. Memiliki daun tunggal dengan panjang tangkai 1.5-5 cm yang letaknya berdesakan di ujung ranting, berbentuk lonjong sampai bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata terkadang seperti menggulung ke atas, bertulang menyirip dengan panjang 10-20 cm dan lebar 3-10 cm. Bunga majemuk, berkelamin dua dan berwarna kuning kehijauan. Buah berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm, berwarna hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu, berbiji satu bulat seperti bola dengan diameter 2.5-5 cm, berdaging buah lunak jika sudah matang, dan berwarna hijau kekuningan (Anonim 2010). Tanaman alpukat telah banyak digunakan untuk pengobatan tradisional, seperti pengobatan kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri syaraf, nyeri lambung, bronchial swellings dan menstruasi tidak teratur. Hal ini dikarenakan daun dan buah tanaman alpukat mengandung saponin, alkaloida, flavonoid, polifenol dan quersetin (Sunanto 2009). Selain itu, daun alpukat juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat (Fitriani 2009).
4
Gambar 1 Tanaman alpukat (Persea americana Mill.).
Berdasarkan hasil penapisan fitokimia, daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin, katekat, kuinon, saponin dan steroid atau triterpenoid (Maryati 2007). Flavonoid merupakan unsur mikro yang terkandung dalam hampir semua tipe daun alpukat karena berfungsi sebagai pigmen warna buah atau daun, pengusir serangga dan molekul pemberi isyarat (Sampson et al. 2002). Diantara senyawa di atas, yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas diuretik adalah flavonoid. Senyawa flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan pengeluaran elektrolit pada tikus normotensi. Hal ini dapat terjadi karena seyawa tersebut dapat meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) secara signifikan (Jouad 2001). Menurut Klabunde (2005), diuretikum dapat meningkatkan output urin melalui pengaturan natrium oleh ginjal karena jika ekskresi natrium meningkat, maka ekskresi air juga akan meningkat. Secara umum mekanisme kerja diuretikum adalah menghambat reabsorpsi natrium pada segmen yang berbeda dari sistem tubular ginjal. Agar efek diuretikum lebih baik biasanya pada pengobatan dilakukan kombinasi dua diuretikum. Hal ini dikarenakan efek sinergis dari kedua diuretikum dapat mengkompensasi reabsorpsi natrium dari nefron pada segmen yang berbeda, sehingga beberapa nefron dapat menghambat secara bersamaan. Diuretikum terbagi menjadi tiga yaitu loop diuretikum, thiazid diuretikum, dan anhydrase inhibitor karbonat. Mekanisme kerja diuretikum disajikan pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Mekanisme kerja diuretikum. Sumber: Klabunde 2005.
Tikus Putih Menurut Subahagio et al. (1997), hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai penelitian dibidang medis. Hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik dan lingkungan yang memadai dalam pengolahan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai dengan yang dikehendaki. Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus dengan galur Sprague-Dawley. Tikus ini memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Krinke 2000). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats) berdasarkan Myers dan Arnitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia; Filum: Chordata; Subfilum: Vertebrata; Kelas: Mammalia; Ordo: Rodensia; Famili: Muridae; Subfamili: Murinae; Genus: Rattus; Spesies: Rattus novergicus.
6
Gambar 3 Tikus putih (Rattus novergicus).
Ginjal Anatomi, Fisiologi dan Histologi Ginjal Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam homeostasis air dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksik. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Wuthrich 2000). Menurut Lu (2006) ginjal berfungsi memekatkan toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai
penyingkir buangan
metabolisme normal
dan
mengekskresikan
xenobiotik dan metabolitnya. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai organ endokrin yang dapat menghasilkan hormon-hormon eritropoietin, renin, dan prostaglandin (Huminto et al. 1995). Ginjal terletak di retroperitoneum vertebralis lumbalis, dibungkus
oleh
kapsula
yang
normalnya
dapat
bergerak
bebas
pada
permukaannya, berpasangan dan berwarna merah kecoklatan (Maxie 1993). Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter (Hartono 1992). Ginjal terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan ratarata satu banding dua atau satu banding tiga (Maxie 1993), dan ukuran ginjal dalam berbagai spesies sangat ditentukan oleh jumlah nefron (Ganong 2003). Unit fungsional ginjal yaitu nefron. Nefron memiliki enam segmen yaitu kapsula glomerulus yang merupakan ujung buntu yang meluas pada nefron, tubuli konvoluti, tubuli rekti proksimalis, segmen tipis, segmen tebal pada nefron, dan
7
tubuli konvoluti distalis (Dellman dan Brown 1992). Nefron memiliki fungsi dasar membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida, serta ion-ion hidrogen dalam jumlah yang berlebihan (Guyton 2008). Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus yang bekerja berdasarkan faktor-faktor hermodinamika dan osmotik. Glomerulus dibentuk oleh tumpukan kapiler yang dilayani oleh arteriola afferens dan dialirkan oleh arteriola efferens (Ganong 2003). Kapiler-kapiler tersusun kompleks dalam suatu matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Aliran darah yang masuk melalui kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Kerusakan pada barrier filtrasi glomerulus menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi klinis tersebut adalah lolosnya protein pada filtrat glomerulus ke urin. Selain itu, aliran darah abnormal pada kapiler juga dapat menyebabkan edema ginjal (Confer dan Panciera 1995). Menurut Ganong (2003), tubulus ginjal terdiri atas tubulus proksimal, jerat Henle dengan bagian descenden dan ascenden, serta tubulus distal. Tubulus proksimal berperan dalam proses reabsorpsi cairan, elektrolit dan bahan organik seperti glukosa dan asam amino. Tubulus proksimal dilengkapi dengan brush borders untuk mendukung proses reabsorpsi (Komarek et al. 2000). Reabsorpsi tubulus proksimal terhadap protein terjadi dengan cara pinositosis yaitu protein melekat ke brush borders membran lumen kemudian bagian membran inti berinvaginasi ke bagian dalam sel sehingga protein diserap dengan sempurna (Guyton 2008).
Kelainan Ginjal Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada umumnya. Penyakit ginjal pada umumnya menyerang salah satu diantara empat kesatuan terpenting pada ginjal, yaitu glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah. Meskipun hanya salah satu yang terkena, namun seluruh kesatuan itu saling berhubungan erat sehingga pada kesatuan lain tentu terjadi perubahan. Perubahan pada ginjal
8
antara lain nephrosis, yaitu perubahan pada ginjal yang bersifat degenerasi yang ditimbulkan oleh gangguan pertukaran zat. Nephrosis adalah istilah morfologik yang digunakan para ahli patologi untuk kelainan ginjal degeneratif terutama pada tubulus. Nephrosis dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis. Tubulo-nephrosis terdiri atas perubahan-perubahan progresif pada epitel tubuli. Glomerulo-nephrosis berupa perubahan yang tidak bersifat radang dalam glomerulus. Disfungsi glomerulus dapat menyebabkan degenerasi atau kematian epitel tubuli bila terlalu banyak bahan-bahan yang harus direasorbsinya (McGavin dan Zachary 2007). Penyakit lain yang dapat terjadi pada glomerulus diantaranya adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis serta amiloidosis (Jubb et al. 1993). Selain itu dalam glomerulus juga sering terlihat corak radang, sedangkan tubulus
sering
memperlihatkan
tanda
degenerasi.
Perubahan-perubahan
degenerasi pada tubulus yang sering terlihat adalah degenerasi berbutir, degenerasi lemak dan nekrosa. Interstisium sering mengalami radang dan pertambahan jaringan ikat. Perubahan dan kelainan yang terjadi pada ginjal bisa diakibatkan oleh zat yang bersifat nefrotoksik, seperti logam berat, antibiotik, analgesik dan hidrokarbon halogen tertentu. Zat-zat tersebut dapat merubah fungsi ginjal, yang ditandai dengan glikosuria, aminosiduria, poliuria, atau bahkan kematian jika dosisnya berlebihan (Lu 2006).
Nefrotoksikan Ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik, dan sebagian besar hasil filtrasi diekskresikan melalui urin. Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk pada beberapa bagian ginjal dan mengakibatkan perubahan fungsi (Jubb et al. 1993). Menurut Tugcu et al. (2008), salah satu contoh zat yang dapat menginduksi batu ginjal adalah zat etilen glikol yang dapat terakumulasi di tubulus ginjal serta dapat merusak ginjal, sehingga etilen glikol dapat dikategorikan sebagai zat nefrotoksik. Menurut Confer dan Panciera (1995), terdapat beberapa kelompok nefrotoksikan yang umum menyebabkan kerusakan ginjal pada hewan domestik, diantaranya kelompok logam berat (merkuri, arsen, cadmium dan bismuth), agen antibakterial atau antifungal (aminoglikosida, tetrasiklin, amphotericin B dan monensin), mikotoksin (ochratoxin A dan
9
citrinin), pembentuk kalsium oksalat (etilen glikol, halogeton, Sarcobatus vermiculatus, Rheum rhaponticum dan Rumex sp.), dan antineoplastik (ciplastin). Kelompok di atas dapat menyebabkan tubular nekrosis akut yang ditandai dengan perubahan pada tubulus seperti kehilangan brush borders dan dispersi ribosom serta diikuti dengan pembengkakan mitokondria dan kematian sel.