15
ΙΙ. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alpukat (Persea americana) Menurut Orwa et al. (2009) tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon yang dikenal dengan nama kyesehtaw bat (Myanmar); avocado (Filipina); butter fruit, avocado, avocado pear, alligator pear (Inggis); avocat, avocatier, zaboka, zabelbok (Prancis); alligatorbirne, avocadobirne (Jerman); Avokad, Adpukat (Indonesia); avokaa (Kamboja); apukado, avokado (Malaysia); pagua, aguacate (Spanyol); awokado (Thai) Sejak zaman dahulu, buah alpukat sudah dikenal sebagai salah satu makanan yang berkhasiat bagi pengobatan. Manfaat yang dapat diperoleh antara lain dapat membantu menurunkan kolesterol darah, regenerasi darah merah, mencegah anemia, melembabkan kulit serta mencegah konstipasi. Diketahui bahwa kandungan gizi alpukat dalam 100 g BDD antara lain energi 93 kal, protein 0,9 kal, lemak 6,2 kal dan karbohidrat 10,5 g. Buah ini mengandung lemak 20-30 kali lebih banyak dibanding buah lainnya (Mahendra dan Rachmawati 2005). Menurut Mahendra dan Rachmawati (2005) jenis lemak dalam alpukat termasuk asam oleik dan asam linoleik sehingga mudah dicerna dan berfungsi dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada sampel daun alpukat dapat menurunkan serum kolesterol jenuh sebanyak 8,7-42,8%. Alpukat mengandung 14 jenis mineral yang berguna dalam mengatur fungsi tubuh dan menstimulasi pertumbuhan, salah satunya besi dan tembaga yang berperan dalam regenerasi darah merah dan mencegah anemia. Menurut Nurrasid (1999) dan Wijayakusuma (1998) biji alpukat mengandung alkaloid, tanin, triterpen, dan kuinon. Kandungan kimia buah alpukat dan daun alpukat adalah saponin, alkaloid dan flavonoid. Buah juga mengandung tanin sedangkan daun mengandung polifenol, kuersetin dan gula alkohol persit. Khasiat lain dari tumbuhan ini diantaranya untuk mengobati sariawan, sebagai pelembab, kencing batu, darah tinggi, nyeri saraf, nyeri lambung, saluran napas bengkak, menstruasi tidak teratur dan sakit gigi. Tanaman alpukat adalah tanaman buah dengan tinggi antara 9-20 m. alpukat sering dikelompokan dalam tanaman yang selalu hijau atau “evergeen”,
16
walaupun ada beberapa varietas yang menggugurkan daunnya dalam waktu singkat sebelum berbunga. Panjang daun antara 7-41 cm dan bentuknya bervariasi mulai dari oval, elips, dan lanceolate. Daun alpukat muda bewarna kemerahan, lalu menjadi licin dan bewarna hijau gelap saat tua (Orwa et al. 2009). Tanaman alpukat mempunyai bunga majemuk, berumah dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung ranting, warnanya kuning kehijauan. Buahnnya buni, berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm, warnanya hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu, daging buah lunak jika sudah matang, warnanya hijau kekuningan. Biji bulat dengan diameter 2,5-5 cm, keping biji putih kemerahan. Minyak buah alpukat biasa digunakan untuk keperluan kosmetik (BAPPENAS 2000). Klasifikasi lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berikut (BAPPENAS 2000) : Divisi
:Spermatophyta
Subdivisi
:Angiospermae
Kelas
:Dicotyledoneae
Ordo
:Ranales
Famili
:Lauraceae
Genus
:Persea
Spesies
:Persea americana Mill
Orwa et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak daun alpukat mepunyai sifat anti-kanker. Minyak yang diekstrak dari biji alpukat mempunyai kandungan adnstrigent. Pemberian oral infusum daun alpukat digunakan untuk mengobati disentri. Kulit buahnya mengandung anti-helmintik. Alpukat juga mempunyai sifat spasmolitik. Minyak dari biji alpukat dapat digunakan sebagai treatment dalam melembabkan kulit, mengobati skabies, luka purulent, dan lesio akibat scalp dan ketombe. Kandungan tiap 100 g buah alpukat yakni 65-86 g air, 1-4 g protein, 5.8 23 g lemak, 3.4 -5.7 g karbohidrat (dengan gula hanya 1 g), 0.8-1 g besi, 1.5-3.2 g vitamin A dan B-kompleks dan energi 600-800 kJ/100 g. Buah alpukat yang belum matang dapat menyebabkan keracunan pada tikus (Orwa et al.2009).
17
Buah dan daun alpukat dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2
Gambar 1. Buah Alpukat (Persea americana Mill) Daun alpukat yang telah tua dan dapat digunakan sebagai bahan obat herbal dapat terlihat pada Gambar 2
Gambar 2. Daun Alpukat (Orwa et al. 2009)
2.2 Etilen Glikol Menurut Eder et al (1998) etilen glikol merupakan bahan dasar dalam pembuatan produk-produk otomotif yang sangat penting seperti anti pendingin dan antifreezing tapi umumnya menimbulkan masalah toksik dalam praktis medis saat ini. Umumnya etilen glikol dikonsumsi sebagai penghangat tubuh akibat mahalnya alkohol atau sebagai racun untuk bunuh diri. Etilen glikol dapat menyebabkan depressi pada susunan saraf pusat, kardiopulmonari dan insuffisiensi ginjal. Metabolisme etilen glikol menjadi asam organik dapat menyebabkam kerusakan organ. Keracunan etilen glikol dapat meningkatkan batasan metabolik asidosis, meningkatkan batasan osmolaritas, kalsium oksalat, kristaluria dan jumlah etilen glikol yang terdeteksi dalam serum. Keracunan etilen glikol dapat digambarkan dalam tiga tahap. Gejala saraf terjadi 0.5-12 jam setelah ingesti dan termasuk mabuk yang dapat dideteksi
18
keberadaan etanol pada nafas atau darah, nausea, muntah, nistagmus, papillaedema, tekanan sistem refleks, konvulsi dan koma. Gejala kardiopulmonari dapat terlihat setelah 12-24 jam pasca ingesti dan termasuk tachypnea (sesak napas) , tachycardia, hipertensi, edema pulmonal, dan gagal jantung kongesti. Komplikasi ginjal umumnya terjadi 24-72 jam setelah ingesti dan terdiri dari dari sakit pada daerah legok lapar, kostovertebral, oligouria (urin sedikit) dan gagal ginjal. Tingkat keparahan dari tiap stadium dan perkembangannya tergantung pada jumlah etilen glikol yang dikonsumsi. Etilen glikol diabsorbsi dengan cepat dari saluran pencernaan dan menimbulkan gejala sekitar 30 menit setelah ingesti. Absorbsi etilen glikol perkutaneus jarang terjadi tapi secara topikal dapat menimbulkan keracunan terutama preparasi yang mengandung propilen glikol dan dietilen glikol (Eder et al. 1998). Berikut merupakan mekanisme metabolisme etilen glikol dalam tubuh dan perubahan etilen glikol menjadi zat lain yang dapat diekskresi ke luar tubuh melalui urin atau menjadi bahan yang dapat menginduksi terjadinya nefrolitiasis. Mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 3
Gambar 3. Metabolisme Etilen Glikol (Eder et al 1998)
19
Etilen glikol di hati dimetabolisme dengan alkohol dehidrogenase dan enzim hepatik lainnya menjadi glikoaldehid dan asam organik. Eliminasi paruh waktu etilen glikol dapat meningkat menjadi lima kali lipat akibat adanya etanol. Hal ini terjadi karena keduanya mengandung komponen lengkap yang dapat mengaktifkan alkohol dehidrogenase. Enzim ini mempunyai afinitas yang lebih kuat dengan etanol daripada etilen glikol atau metanol ( Eder et al 1998) Di Amerika Serikat keracunan etilen glikol menyebabkan 50 sampai 60 kematian tiap tahun. Keracunan ini dapat menimbulkan injuri pada sistem saraf, jantung, dan ginjal. Indikator klinis dari ingesti atau keracunan etilen glikol tidak jelas sehingga diagnosis harus diperoleh melalui demonstrasi laboratorium etilen glikol pada serum pasien (Ryder et al.1986) Konsumsi asam prekursor atau asam non- volatil seperti etilen glikol dapat mengakibatkan metabolik asidosis sehingga terjadi peningkatan gap anion dan konsentrasi anion organik, terutama glikonat. Metabolisme asidosis juga dapat dihubungkan dengan komposisi kimia urin sebagai gambaran respon fisiologi atau biokimia dengan miningkatnya jumlah asam, seperti penurunan pH dan ekskresi sitrat pada urin. Selain itu juga dapat terjadi peningkatan ekskresi kalsium, ammonium dan phospat ( Geen et al.2005).
2.4 Ureum Ureum adalah ampas terakhir yang terpenting dalam metabolisme protein. Air dan ureum merupakan dua bagian penting dalam air kemih. Dalam keadaan normal ureum dapat melalui saringan glomeruli ginjal. Bila saringan glomeruli rusak maka jumlah air yang melalui saringan berkurang dan pengeluaran ureum juga tidak sempurna sehingga dapat menimbulkan intoksikasi yang disebut uremi atau asam urat (Hidayah 2005). Ureum dan kreatinin merupakan senyawa kimia yang menandakan fungsi ginjal normal atau tidak. Ureum merupakan produk nitrogen yang dikeluarkan ginjal dari diet protein. Kadar ureum memberikan gambaran paling baik untuk timbulnya ureum toksik dan gejala yang dapat dideteksi dibandingkan kreatinin pada gagal ginjal kronik. Nilai perbandingan ureum kreatinin pada manusia normal berkisar 60-80 ( Pratiwi 2009). Penurunan GFR akibat peningkatan jumlah
20
nefron yang mengalami kerusakan akan mengakibatkan peningkatan kreatinin serum dan BUN yang sangat mencolok. Hal ini biasanya terjadi pada gagal ginjal stadium tiga atau progesif akibat kerusakan nefron sekitar 90 % (Lorraine dan Sylvia 2002). Tahapan pembentukan ureum terlihat pada Gambar 4
+CO2 +NH3 Ornitin -H2O
Sitrulin
+NH3
-H2O
Arginin
Ureum
Gambar 4. Tahapan pembentukan Ureum sebagai hasil metabolisme protein normal (Guyton 1994)
Reaksi dimulai dengan derivat asam amino ornitin yang bergabung dengan satu molekul karbondioksida dan satu molekul amonia untuk membentuk zat kedua yaitu sitrulin. Sitrulin kemudian bergabung dengan molekul amonia lain untuk membentuk arginin, yang kemudian pecah menjadi ornitin dan ureum. Ureum berdifusi dari sel hati ke cairan tubuh dan dikeluarkan melalui ginjal. Ornitin dipakai kembali dalam siklus berulang-ulang (Guyton 1994). Menurut Poedjiadi dan Supriyanti (2006) ureum merupakan suatu senyawa yang mudah larut dalam air, bersifat netral dan terdapat dalam urin yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Dalam pembentukan ureum, amonia bereaksi dengan CO2 membentuk karbamil phospat. Karbamil yang terbentuk bereaksi dengan ornitin membentuk sitrulin. Kemudian sitrulin bereaksi dengan asam aspartat membentuk asam arginosuksinat, selanjutnya asam arginosuksiksinat diuraikan menjadi arginin dan asam fumarat serta reaksi terakhir penguraiaan arginin menjadi urea dan ornitin. Menurut Girindra (1988) ureum merupakan senyawa organik sederhana yang dihasilkan oleh hati mamalia sebagai hasil akhir katabolisme protein. Senyawa ini sangat mudah berdifusi sehingga tedapat diseluruh cairan tubuh. Secara relatif tidak toksik, namun dalam konsentrasi yang tinggi dapat
21
menyebabkan denaturasi protein dengan terbentuknya suatu produk yang besifat racun. Ureum terbentuk dalam hati melalui reaksi daeaminasi asam amino menjadi amonia dan masuk dalam siklus Krebs lalu terbentuk ureum yang terutama dikeluarkan melalui urin. Ureum mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal, meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus. Sejumlah urea yang telah difiltrasi dan direabsorbsi dalam tubulus proksimal, loop of Henle terjadi secara pasif (Noer 1992). Menurut Gatot (2003) kadar urea-nitrogen plasma
yang
meningkat
disebabkan
peningkatan
pemasukan
protein,
hiperkatabolisme (infeksi), perdarahan ganstrointestinal, fungsi renal residual yang menurun dan efesiensi hemodialisis yang menurun. Penurunan GFR akibat insufisiensi ginjal akan meningkatkan BUN plasma, keadaan ini dikenal dengan nama azotemia atau zat nitrogen dalam darah (Lorraine dan Sylvia 2002). Kadar BUN yang tinggi dapat menimbulkan gejala uremia antara lain letargi, anoreksia, mual dan muntah, kebingungan, kedutan otot, kejang-kejang dan akhirnya koma (Ganong 1995).
2.3 Kreatinin Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan fosfokreatin, disintesis terutama dalam otot bergaris, hati, pankreas dan ginjal. Kreatinin secara eksklusif diekskresi melalui ginjal, terutama melalui proses filtrasi glomerulus dan sedikit sekali melalui sekresi tubulus. Kreatinin kemih berasal dari sekresi tubulus pada manusia sehat tidak melampaui 10 – 15 persen, tetapi secara bermakna akan lebih tinggi pada pasien gagal ginjal kronik. kecepatan
sintesis
kreatinin
relatif
konstan, dan
kadar
Umumnya
dalam
serum
menggambarkan kecepatan eliminasi ginjal (Noer 1992). Kreatin dalam tubuh sebagai phospat berenergi tinggi yakni sebagai sumber energi dalam urat daging. Kadar kreatin dalam plasma hewan dewasa lebih sedikit dibanding pada hewan muda. Kreatinin merupakan senyawa yang mudah berdifusi sehingga terdapat di seluruh cairan tubuh. Pengeluaran kreatinin dalam urin tidak dipengaruhi oleh kreatinin yang berasal dari makanan, umur, seks, olahraga dan diet (Girindra 1988). Hati mensintesis metionin, arginin dan glisin menjadi kreatin. Difosforilasi kreatin terjadi dalam otot rangka menjadi
22
fosforil kreatin yang merupakan cadangan energi yang penting bagi sintesis Adenosintriphospat (ATP). Pembentukan ATP melalui proses glikolisis dan fosforilasi oksidatif bereaksi dengan kreatin membentuk Adenosindiphospat (ADP) dan fosfokreatin yang mengandung ikatan phospat lebih banyak sehingga energinya lebih banyak dibanding dengan ATP. Kreatin di dalam urin dibentuk fosforilasi kreatin. Kreatin tidak dikonversi secara langsung menjadi kreatinin tetapi kecepatan ekskresi kreatinin relatif konstan (Ganong 1995).
H2N Istrahat
H2N+
C
CH3
NCH2COO-
+ ATP olahraga
HN
PO3
H2N
C
CH3
NCH2COO-
Kreatin
+ ADP
Fosforilkreatin
HN
HN
C
CH3
N
C
O
CH2
Kreatinin Gambar 5. Sintesis Kreatinin (Ganong 1995)
Kreatininphospat dapat bereaksi dengan ADP secara berulang untuk membentuk ATP dengan cara memberikan gugus phospat kepada ADP dan berubah menjadi kreatin, kemudian kreatin dalam urin dibentuk oleh fosfokreatin. Kemudian fosfokreatin diubah menjadi kreatinin. Jika ATP banyak dibutuhkan maka kreatininphospat yang berubah menjadi kreatin meningkat pula. Sebaliknya, bila ATP telah terbentuk kembali oleh proses glikolisis dan siklus asam sitrat maka kreatinin phospat terbentuk kembali (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Kreatinin disekresi dalam urin melalui proses filtrasi glomerulus, tetapi kreatinin tidak direabsorbsi oleh tubulus ginjal bahkan sejumlah kecil disekresi oleh tubulus terutama bila kadar kreatinin dalam serum tinggi. Uji bersihan
23
kreatinin merupakan pemeriksaan yang cukup memuaskan untuk memperkirakan GFR dalam pemeriksaan klinis. Kreatinin plasma merupakan indeks GFR yang lebih cermat daripada BUN karena kecepatan produksinya merupakan fungsi dari massa otot yang sedikit sekali mengalami perubahan (Sylvia dan Lorraine 2002). Kadar BUN dan kreatinin bervariasi sesuai dengan jenis hewan. Pada Tabel 1 berikut disajikan kadar normal BUN dan kreatinin dari beberapa jenis hewan.
Tabel 1 Kadar normal BUN dan kreatinin beberapa jenis hewan (Malole dan Pramono 1989) Hewan
Kadar Normal (mg/dl) BUN
Kreatinin
Kelinci
17,0 - 23,5
0,8 - 1,8
Marmut
9,0 - 31,5
0,6 - 2,2
Hamster
0,91 - 0,99
0,25 - 0,60
Mencit
17,0 - 28,0
0,31 - 1,0
Tikus
15,0 - 21,0
0,2 - 0,8
2.5 Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan teletak sedikit lebih ke posterior karena tertekan ke bawah oleh hati. Ginjal mempunyai peran yang sangat vital dalam mempertahankan volume dan komposisi Extracellular Fluid (ECF) dalam batas normal dengan kontrol filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus (Lorraine dan Sylvia 2002). Menurut Sharma dan Rajput (2008) nefron merupakan unit satuan terkecil dari ginjal. Pada masing-masing ginjal mempunyai sekitar satu juta nefron. Setiap nefron terdiri dari satu unit penyaring yang terdiri dari pembuluh darah halus yang disebut glomerulus, dan setiap glomerulus menempel pada sebuah tubula yang merupakan tempat terjadinya proses kimia yang rumit dan penyaringan darah menjadi urin. Ginjal menyaring sekitar 200 liter darah setiap hari dan menghasilkan sekitar 2 liter urin. Sampah dari hasil penyaringan darah berasal
24
dari hasil proses metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, kalsium, kalium, natrium, klorida dan ion-ion hidrogen Ada dua populasi nefron yaitu kortikal nefron yang mempunyai glomerulus pada lapisan dua dan tiga dari korteks dan short loop of Henle kemudian masuk ke lapisan luar medula. Populasi nefron yang kedua yaitu nefron juxtamedullary yang mempunyai glomerulus pada lapisan dalam korteks dan long loop of Henle ( Sharma dan Rajput 2008).
Gambar 6. Ginjal dan nefron (Noer 1992)
Proses ultrafiltrasi glomerulus mempunyai komposisi yang sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan protein yang berukuran besar atau protein bermuatan negatif (albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan dari sawar membran filtrasi glomerular sedangkan molekul yang berukuran kecil atau dengan muatan netral dan positif akan tersaring seperti kalium, natrium, klorida, phospat inorganik, glukosa, kreatinin dan asam urat (Lorraine dan Sylvia 2002). Ginjal merupakan “alat pengatur utama” dalam tubuh sedangkan urin dapat dipandang sebagai hasil dari aktivitas pengaturannya. Sehubungan dengan
25
itu, ginjal dalam keadaan normal dapat membedakan zat yang berguna dan harus dibuang ,bahkan benda asing pun dengan segera dikenalnya. Dalam keadaan patologis atau ada gangguan pada ginjal, daya pengaturan filtrasi ginjal akan menyimpang. Perubahan ini biasanya dapat dilihat dari senyawa kimia yang dilepaskannya. Begitu juga jika ada kelainan pada organ lain yang dapat menyebabkan perubahan komposisi darah, maka komposisi air kemih akan mengalami perubahan (Girindra 1988).
2.6 Batu Ginjal (Nefrolitiasis) Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah (termasuk lingkungan dalam tubuh) dengan mensekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi utama ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air diekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpul urin. Zat terlarut kadang kala menjadi endapan jika dalam keadaan superjenuh dan tidak dikeluarkan. Hal ini yang akan menyebabkan batu di ginjal atau berpindah ke kandung kemih (Lorraine dan Sylvia 2002) Nefrolitiasis umumnya merupakan penyakit dengan multifaktorial etiopathogenesis (Jaeger 1996 ; Baggio 1999). Batu ginjal atau nefrolitiasis merupakan penyakit yang melibatkan beberapa mekanisme yang kompleks. Batu ginjal umumnya terdiri dari garam kalsium, asam urat, magnesium amonium phospat (struvite), atau cystine. Umummya batu ginjal yang mengandung kalsium sekitar 70 % tersusun oleh kalsium oksalat atau kalsium phospat atau keduanya. Pembentuk batu ginjal kalsium oksalat berasal dari metabolisme endogonius glisin, glikonat, hidroxiprolin, dan diet vitamin C. Intake kalsium dan magnesium yang dapat membatasi absorbsi oksalat di usus sehingga sebagian besar oksalat dapat diekskresikan melalui urin, hal ini dapat mencegah terbentuknya batu oksalat (Taylor dan Curhan 2007). Kurangnya sitrat, magnesium, pirophospat dalam urin dapat menyebabkan terbentuknya batu (Dewi dan Subawa 2007). Batu struvit sering terjadi karena ada infeksi di ginjal sedangkan batu sistin terbentuk jika ada gangguan metebolisme (Coe 2003).
26
Pembentukan batu pada urin yang mengalami supersaturasi berhubungan dengan komponen ion dari batu spesifik dan urin yang mengalami saturasi tergantung pada aktivitas ion kimia bebas. Aktivitas ion kimia pembentuk batu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi ion, pH urin, dan kompleksitas zat dalam urin. Konsentrasi urin menunjukan fungsi dan banyaknya ion yang diekresikan di urin melalui ginjal. Peningkatan ekskresi ion urinari dan menurunnya volume urin akan meningkatkan aktivitas ion bebas dan pembentukan batu (Bushinsky 1998). Nefrolitiasis juga dapat menurunkan Glomerulus Filtration Rate (GFR) karena adanya obstruksi pada saluran urinari akibat akumulasi batu pada saluran tersebut. Penurunan GFR berlanjut pada peningkatan nitrogenous partikular seperti urea, kreatinin dan asam urat yang terakumulasi dalam darah (Ghodkhar 1994).
2.7 Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria tertentu, antara lain kemiripan fungsi fisiologis dengan manusia, perkembangan cepat, canderung mudah didapat dan dipelihara (Subahagio et al. 1997). Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian farmakologi dan toksikologi adalah mencit dan tikus putih. Hewan ini dipilih karena murah, mudah diperoleh, dan mudah ditangani. Mencit dan tikus putih mempunyai data toksikologi sehingga akan mempermudah perbandingan toksisitas zat-zat kimia (Lu 1995). Menurut Malole dan Pramono (1989) terdapat 3 galur tikus putih yang umum dikenal yakni galur Sprague- Dawley, galur Winstar, dan Galur Long Evans. Galur Sparague-Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang dari badannya. Taksonomi tikus putih dalam Robinson (1979) : Kingdom
: Animalia
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
27
Subordo
: Myorpha
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus sp.
Tikus putih (Rattus novergicus) strain Sprague Dawley merupakan salah satu pilihan hewan model eksprimental yang diminati untuk penelitian laboratorium. Hal ini karena penetapan data kontrol sesuai dengan dasar ciri anatominya yang merupakan kemudahan dalam berbagai penelitian biomedis (Ezumi et al. 2007). Penelitian dalam bidang toksikologi dan farmakologi memerlukan serangkaian percobaan terhadap hewan percobaan untuk mengetahui tingkat toksisitas dan keamanan obat untuk manusia. Penggunaan berbagai tingkat dosis obat terhadap hewan percobaan dilakukan untuk mendapatkan dosis tebesar yang tidak menimbulkan efek merugikan atau dosis yang sangat besar yang dapat menimbulkan kelainan jaringan atau efek toksik yang jelas. Waktu observasi akan jauh lebih pendek bila kita menggunakan dosis yang lebih besar, sehinnga akan mengurangi biaya pemeriksaan. Pada waktu tertentu sebagian hewan percobaan perlu dibunuh untuk mengetahui pengaruh terhadap oragan dalamnya. Pemeriksaan kimia darah, urin dan tinja dilakukan untuk mengetahui kelainan yang timbul (Darmansjah 1995).
2.8 N-heksan Menurut Agency For Toxic Substances and Disease Registry (1999) nheksan merupakan senyawa kimia yang diperoleh dari minyak mentah. N- hexan murni berupa cairan yang berwarna dan sedikit berbau busuk. Senyawa ini mudah terbakar dan meledak. N-heksan murni sering digunakan di laboratorium. Umumnya n-heksan digunakan dalam industri sebagai pelarut bahan kimia lainnya. Kegunaan utama pelarut yang mengandung n-heksan yaitu mengekstrak minyak tumbuhan. Senyawa ini merupakan senyawa non-polar dan tidak larut dalam air.N- hexan merupakan senyawa anorganik yang tidak larut dalam air, larut dalam sebagian besar pelarut organik dan sangat larut dalam alkohol.
28
Senyawa ini sering digunakan untuk mengekstrak minyak tumbuhan (HSDB 1999). Bahan ini juga sering digunakan sebagai pelarut alkohol dan campuran cat. Industri tekstil, furnitur, dan kulit sering menggunakan n-heksan sebagai cleaning agent (HSDB 1999). Yamada (1967) melaporkan bahwa polineuropathi yang berkembang menjadi atrophi otot dan parastesia pada ekstrimitas distal yang terjadi pada pekerja yang terpapar 500 dan 1000 ppm (1 ppm = 3,52 mg/m 3) nheksan yang diperoleh dari tanaman herbal. Konsentrasi hexanedione pada urin secara signifikan lebih tinggi pada 35 orang yang terpapar n- hexan dibanding dengan dengan kelompok orang yang tidak terpapar n-heksan (Karakaya et al. 1996). Penurunan serum IgG, IgM dan IgA pada urine secara signifikan berkorelasi dengan konsentrasi 2,5 hexanedione (Karakaya et al.1996). Menurut Daughtrey et al.(1999) tidak ada perbedaan signifikan yang jelas antara tikus yang terpapar n-heksan dengan kelompok tikus kontrol, tapi secara statistik ada penurunan berat badan secara signifikan pada tikus yang terpapar n-heksan dibanding dengan kelompok tikus yang tidak terpapar n-heksan (kelompok kontrol). Menurut Perbelinni et al. (1981) metabolisme n-heksan dalam tubuh diubah menjadi 2-hexanol, 2,5-hexadione, 2,5-dimetil-furan dan γ-valerolacetone. Seluruh hasil metabolit tersebut dapat ditemukan dalam serum tikus yang terpapar n-heksan tapi tidak ditemukan dalam urin manusia yang terpapar n-heksan. Senyawa
2,5
hexadione
dapat
menghambat
kerja
fosfofruktokinase,
glyceraldehid-3-phospat dehidrogenase dan α-glicerophospat dehidrogenase. Mekanisme metabolisme n-heksan dalam tubuh dapat terlihat pada Gambar 7 2,5-Dimetilfluran Siklisasi Oksidasi Metil-n-butil keton
N-heksan
2-hexanol
Enolisasi 5-hidroxy-2-hexanon α-Oksidasi
2,5 Hexadiol
Dekarboksilasi Oksidasi
2,5- Hexadion
Laktonosasi
γ -Valeroaseton
Gambar 7. Metabolisme N-heksan dalam tubuh (Pebellini et al.1981)
29
Menurut Tensiska et al. (2007) dalam pengujian efektivitas palarut untuk mengekstrak komponen flovonoid (Randemen), n-heksan mempunyai randeman yang terendah dibandingkan dengan etil-asetat dan etenol sehingga n-heksan hanya dapat mengekstrak komponen aglikon yang sifatnya non-polar.
2.9 Maserasi Metode dasar ekstraksi obat adalah maserasi dan perkolasi. Cara ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan cara-cara ekstraksi, dan tujuan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi. Pada umunya lebih sering digunakan kombinasi dari kedua proses dalam melakukan ekstraksi bahan mentah obat. Obat mula-mula dimaserasi untuk melunakan jaringan tanaman dengan melarutkan lebih banyak zat aktifnya, kemudian dilakukan proses perkolasi untuk memisahkan ekstrak dari ampasnya. Preparat farmasi dibuat dengan proses ekstraksi, yakni dengan penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut, sedangkan hasil dari ekstraksi yang berisi unsur-unsur yang dapat larut dalam pelarut tertentu disebut dengan ekstrak. Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuan dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Voight 1994). Beberapa bahan yang dapat dijadikan mesentrum diantaranya air, campuran
hidroalkohol, dan gliserin. Gliserin dan campuran hidroalkohol
merupakan bahan mesentrum yang sering digunakan. Penggunaan ini dikarenakan mudah tercampur, melindungi dari kontaminasi mikroba, mencegah pemisahan dengan bahan yang diekstraksi, dan dapat membantu kemantapan dari ekstrak obat (Voight 1994).