TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase Zoea, dimana pada rajungan hanya ditemukan 4 fase Zoea sedangkan pada kepiting ditemukan 5 fase Zoea. Setelah itu fase Megalopa. Berdasarkan ciri morfologinya, tahap perkembangan rajungan dibedakan menjadi 3 yaitu stadia Zoea, Megalopa dan kepiting. Menurut Juwana dan Romimohtarto (2000) bahwa tingkat perkembangan rajungan melalui 4 fase Zoea dan satu fase Megalopa. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada fase Zoea 1 akan berkembang ke Zoea 2 dalam waktu 2 – 3 hari. Sedangkan Zoea 2, Zoea 3 dan Zoea 4 berturut-turut berkembang dalam selang waktu 2 hari.
Pada setiap pergantian kulit Zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat, dan pada tingkat Megalopa bentuk tubuhnya sudah mirip kepiting dewasa kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang. Fase Megalopa berganti kulit menjadi kepiting muda pertama, yang ditandai dengan abdomen berbentuk ekor ini berubah menjadi abdomen seperti yang dimiliki kepiting dewasa. Lebih Lanjut dinyatakan bahwa fase telur menyangkut perkembangan telur (gonad), sedangkan pada fase larva terdiri dari stadia Zoea dan Megalopa, dimana stadia Zoea terdiri dari Zoea 1, 2, 3, 4 dan 5. Pada fase kepiting dikenal dengan kepiting muda dan kepiting dewasa. Lebih lanjut Heasman (1980) membagi tingkatan kepiting dalam 4 fase yaitu larva, juvenil dengan ukuran 20-80 mm, subdewasa dari 70 – 150 mm dan kepiting dewasa dengan lebar karapaks ≥ 150 mm. Lamanya metamorfosa mulai dari stadia Zoea hingga Megalopa pada larva rajungan dapat dicapai selama 10 hari (Susanto et al. 2003). Menurut Kasry (1996) lamanya metamorfosa kepiting mulai dari stadia Zoea hingga Megalopa umumnya diperlukan waktu berkisar 17-26 hari, dimana waktu yang diperlukan untuk setiap stadia Zoea umumnya 3-5 hari, sedangkan pada stadia Megalopa waktu yang dibutuhkan adalah 7-12 hari.
Tingkat Kelangsungan Hidup dan Masa Kritis Perkembangan Larva Tingkat kelangsungan hidup
larva
rajungan ditentukan oleh faktor
lingkungan dan pakan. Pakan dapat menimbulkan sifat kanibalis pada larva rajungan karena dengan kekurangan pakan dapat menimbulkan kompetisi pakan. Selain itu, faktor kondisi lingkungan yang optimal perlu diperhatikan. Susanto et al. (2003) menyatakan bahwa lamanya perubahan metaformose disebabkan oleh suhu, pola pemberian pakan dan nutrien pakan pada rajungan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingginya tingkat kematian benih rajungan terjadi pada saat larva mengalami perubahan stadia yaitu dari stadia Zoea 4 ke stadia Megalopa. Hal ini sesuai dengan Panggabean et al. (1982) yang menyatakan bahwa larva rajungan mempunyai sifat kanibalis pada stadia Megalopa dan ini terjadi apabila waktu pemberian pakannya tidak sesuai.
Efektivitas Pemanfaatan Pakan Alami Larva
rajungan membutuhkan
pakan dalam
jumlah
tertentu
untuk
menunjang aktivitas pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi bervariasi bergantung pada ukuran larva yang dipelihara. Larva rajungan lebih menyukai jenis pakan alami misalnya rotifer dan nauplius Artemia sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya. Pemberian pakan tunggal berupa rotifer pada pemeliharaan larva rajungan sejak stadia awal sampai stadia rajungan muda hanya dapat menghasilkan sintasan sebesar 5,8% (Panggabean et al. 1982), dan bila diberi pakan berupa Artemia dapat menghasilkan sintasan 10% (Yatsuzuka dan Sakai, 1980). Menurut Setyadi et al. (1996) larva kepiting bakau yang baru menetas hingga hari ke 5 yang diberi makan rotifer strain SS tingkat kelangsungan hidupnya lebih baik dibandingkan dengan strain S dan L yaitu masing-masing 62,57%, 42,95% dan 28,67%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh ukuran rotifer tersebut. Ikenoue dan Kafuku (1992) dalam Setiyadi (1999) menyatakan bahwa rotifer Brachionus plicatilis type S (small type) berukuran 160-180 mikron dan type L (Large type) berukuran 200-250 mikron sedangkan untuk type SS berukuran lebih kecil dari type S
Pakan Buatan Sebagai Faktor Pembatas Perkembangan Larva Penelitian
pakan buatan untuk pemeliharaan larva rajungan maupun
kepiting bakau hingga saat ini masih sedikit dilakukan. Pakan yang sering
digunakan pada penelitian ini masih menggunakan pakan yang biasa digunakan untuk pemeliharaan larva udang.
Kebutuhan dan Sumber Energi Penelitian tentang kebutuhan dan sumber energi pada larva rajungan belum banyak diteliti, sekalipun demikian secara umum kebutuhan untuk metabolisme standar harus terpenuhi sebelum kelebihan energi dapat tersedia untuk pertumbuhan. Oleh karena itu larva rajungan maupun kepiting harus makan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Menurut Sikong (1982) bila kandungan energi pakan rendah maka larva harus memakan sejumlah pakan yang lebih banyak dan akan memakan pakan sedikit bila kandungan energi pakan tinggi. Kebutuhan akan energi dan imbangan protein dengan energi yang optimum belum diketahui dengan jelas. Aquacop (1977) dalam Effendi (1992) melaporkan bahwa pertumbuhan udang windu yang terbaik pada ransum berkadar protein 40% dengan kandungan energi 3,3 kkal/g ransum, sedangkan Sikong (1982) menyatakan bahwa untuk ukuran juvenil kandungan energi pakan yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan udang windu adalah 3,36 kkal/g pakan dengan kandungan protein 25%. Sumber energi pada larva rajungan maupun kepiting adalah lemak, karbohidrat dan protein. Apabila pemenuhan kebutuhan energi dari sumber lemak dan karbohidrat tidak mencukupi, maka protein juga digunakan sebagai sumber energi.
Kebutuhan Protein dan Lemak Protein merupakan komponen pakan yang sangat dibutuhkan sebagai pembentuk jaringan tubuh dalam proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk udang bervariasi bergantung kepada umur atau ukuran dan spesies. Bages dan Sloane (1981) menyatakan bahwa pada udang Penaeus monodon yang mempunyai ukuran 0,002 g membutuhkan kadar protein dalam pakan 55%. Theshima dan Kanazawa (1984) dalam Guillaume (1989) menyatakan bahwa pada stadia Zoea Peneaus monodon membutuhkan kadar protein 55%, sedangkan Besbes (1987) dalam Guillaume (1989) menyatakan bahwa kebutuhan protein dari stadia Zoea – mysis II pada Penaeus monodon adalah lebih besar 50%. Lipid adalah penting sebagai sumber asam-asam lemak untuk proses metabolisme energi, dan memelihara integritas struktur dalam membran seluler.
Quinitio
et
al.
(1999)
menyatakan
bahwa
n-3
HUFA
seperti
20:5n-3
(eicosapentaenoic acid ; EPA) dan 22:6n-3 (docosahexaenoic acid ; DHA) adalah komponen esensial dalam pakan krustase. Lebih lanjut dinyatakan bahwa masih rendahnya pertumbuhan larva kepiting bakau yang diberi pakan Artemia dan rotifer disebabkan Artemia dan rotifer kekurangan n-3 HUFA, sehingga diperlukan pengkayaan Artemia dan rotifera sebelum diberikan pada larva kepiting (Suprayudi et al. 2002). Menurut Quinitio et al. (1999) bahwa suplement pakan buatan secara bertahap dapat memperbaiki pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kepiting bakau (Scylla serrata). Lebih lanjut dinyatakan bahwa suplement pakan buatan digunakan dengan tujuan mengurangi kebutuhan pakan alami.
Faktor dan Proses Penentu Perkembangan Larva Umur dan Padat Tebar Padat tebar larva merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva rajungan maupun kepiting. Susanto et al. (2003) menggunakan padat tebar rajungan pada stadia Zoea 1 berkisar 50-75 ind/l. Juwana (2002) menyatakan bahwa penebaran larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 100 ind/l. Syahida et al. (2001) melaporkan bahwa dengan padat tebar 25 ind/l kepiting bakau (Scylla paramamosain) yang baru menetas (Zoea 1) memberikan rata-rata tingkat kelangsungan hidup 61% dibandingkan padat penebaran 50, 75 dan 100 ind/l, dengan tingkat kelangsungan hidup masing-masing 23, 14 dan 8,78%. Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan padat tebar 25 dan 50 ind/l tersebut, maka stadia Megalopa pertama kali dicapai dalam waktu 10 hari. Yunus et al. (1994) menyatakan bahwa padat tebar 25 ind/l larva kepiting bakau (Scylla serrata) selama pemeliharaan 12 hari memberikan kelangsungan hidup rata-rata tertinggi yakni 18,89%, sedangkan Zainodin (1992) dengan menggunakan padat tebar larva kepiting bakau 20 – 30 ind/l dengan masa akhir pemeliharaan 28 hari memberikan tingkat kelangsungan hidup
0, 9 – 21%.
Baylon dan Failaman (1999) menyarankan bahwa tebar 50 ind/l dapat digunakan untuk pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla serrata).
Enzim Pencernaan Enzim adalah suatu katalisator biologis dalam reaksi-reaksi kimia yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan (Affandi et al. 2004), lanjut dinyatakan bahwa enzim berperan dalam mengubah laju reaksi, sehingga dengan demikian kecepatan reaksi yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim. Aktivitas enzim pencernaan selama perkembangan larva rajungan maupun kepiting belum banyak informasi, tetapi masih dalam taraf pendugaan. Aktivitas enzim pencernaan pada spesies lain telah dipelajari oleh beberapa peneliti seperti pada beberapa krustase antara lain Macrobrachium rosenbergii (Kamaruddin et al. 1994) dan Penaeaus japonicus (Le Vay et al. 1993), sedangkan pada larva ikan, seperti pada larva Dicentrarchus labrax (1983), benih Ctenopharyngodon idella (Das dan Tripathi, 1991), dan benih Osphronemus gouramy (Affandi et al. 1994). Tang et al. (1995) dalam Li et al. (1997) menyatakan bahwa pada larva kepiting bakau stadia Zoea 1 mempunyai aktivitas enzim protease tinggi tetapi menurun pada stadi Zoea 5. Le Vay et al. (1993) dan Kamaruddin et al. (1994) menyatakan bahwa pada larva stadia mysis, Penaeaus japonica yang hanya diberi pakan buatan mempunyai aktivitas tripsin sangat tinggi dan sebaliknya pada larva yang diberi pakan alami atau pakan buatan dicampur pakan alami C. gracilis. Pada larva terakhir pertumbuhan serta retensi nitrogen dan karbon cukup tinggi, sedangkan larva pertama tampaknya sangat rendah kemampuan untuk mengasimilasi protein pakan buatan guna mendukung pertumbuhan sebagaimana yang terjadi pada larva pertama. Aktivitas enzim tripsin dan esterase pada larva Macrobachium rosenbergii mencapai puncaknya pada stadia 5 – 6 (stadia larva udang ini ada 11 stadia). Aktivitas amilase tetap rendah hingga larva mencapai stadia 6 – 7, dan ini menunjukkan bahwa stadia awal larva spesies ini bersifat karnivor. Aktivitas amilase yang maksimum terjadi pada stadia 10 – stadia 11 (Kamaruddin et al. 1994). Kualitas Air Kualitas
air
pertumbuhan terlarut, pH, metabolisme dan
yang
sangat
mempengaruhi
kelangsungan
hidup
dan
larva rajungan dan kepiting, yaitu suhu, salinitas, oksigen nitrat dan amonia. Suhu dapat mempengaruhi proses kelarutan gas dalam air. Dat (1999) menyatakan
bahwa suhu yang optimal
untuk perkembangan Zoea adalah berkisar 25 –
300C. Susanto et al. (2003) menggunakan suhu berkisar 26 – 320C. Suprayudi (2002a) melakukan penelitian tentang larva kepiting yang diberi pakan Artemia 29 – 30,50C. Juwana (2002)
menggunakan suhu berkisar
menyatakan bahwa pada pemeliharaan larva rajungan memerlukan salinitas berkisar 30-33 ppt. Salinitas sangat berpengaruh terhadap proses osmoregulasi, terutama pada setiap tingkat metamorfosa. Dat (1999) menyatakan bahwa untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada stadia Zoea membutuhkan salinitas 30 ± 1 ppt, sedangkan Li et al. (1997) menyarankan untuk pemeliharaan larva pada stadia Zoea 1 – Zoea 3 diperlukan salinitas 27 – 35 ppt. Pada stadia Zoea 4 – Megalopa memerlukan salinitas berkisar 23 – 31 ppt. Lebih lanjut dinyatakan bahwa salinitas yang optimal selama pekembangan larva adalah 27 ppt, dan salinitas berkisar 33 – 35 ppt selama stadia Zoea, sedangkan pada stadia Megalopa menggunakan salinitas 24 ppt (Suprayudi, 2002). Rusdi et al. (2001) menyatakan bahwa pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain) pada salinitas berbeda dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva pada stadia Megalopa yaitu pada salinitas 24-25 (SR 83-75%), 28-29 ppt (80%), 32-33 ppt (75%). Juwana (2002) menyatakan bahwa pada pemeliharaan larva rajungan menggunakan pH berkisar 8-8,5. Yunus et al. (1997) mendapatkan tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau (Scylla serrata) terbaik pada media air yang dipelihara pada pH antara 9,1 – 9,5, sedangkan Dat (1999)
menyarankan
pada
pemeliharan
larva
kepiting
bakau
(Scylla
paramamosian) dengan pH berkisar 7,5 – 8,0. Oksigen terlarut sangat diperlukan oleh larva rajungan dan kepiting bakau dalam proses respirasi dan proses metabolisme. Kadar oksigen yang disarankan oleh Dat (1999) untuk pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain) ≥ 6,0 ppm. Samidjan (2001) menyarankan bahwa untuk pemeliharaan larva keping bakau, kadar amoniak yang layak adalah kurang dari 0,01 ppm, sedangkan Chin dan Chen (1987) menyatakan bahwa kandungan NH3-N dalam air yang baik pada pemeliharan udang adalah kurang dari 0,1 ppm.
Efektifitas Pemanfaatan Pakan Efektifitas pemanfaatan pakan sangat ditentukan oleh kondisi media hidup dan tingkat kebutuhan larva rajungan maupun kepiting yang merupakan faktor
penentu keberhasilan pembenihan. Dalam memilih pakan yang tepat agar efektif pemanfaatannya, ada lima prinsip yang perlu dipertimbangkan yaitu ketepatan dalam hal : (1) kuantitas, (2) kualitas (nilai nutrisi dan sanitasi), (3) bentuk dan ukuran, (4) daya tarik, serta (5) ketahanan (stabilitas) di dalam air atau media (Ilyas et al. 1987). Gibson (1983) dalam Effendi (1992) menyatakan bahwa kemampuan larva udang untuk memanfaatkan secara efektif pakan yang tersedia ditentukan oleh perkembangan struktur dan fungsi alat pencernaan.
Program dan Manajemen Pemberian Pakan Program dan manajemen pemberian pakan sangat diperlukan karena dapat mempengaruhi kelangsungan hidup larva rajungan. Pemberian pakan pada larva harus sesuai dengan stadia perkembangan larva sehingga pakan yang diberikan dapat termanfaatkan. Susanto et al. (2003) menyatakan pada pemberian rotifer, nauplius Artemia dan pakan buatan dari stadia Zoea 1 sampai Megalopa memberikan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (46,96%) dibandingkan dengan pemberian rotifer dari Zoea 1 – Zoea 4, pakan buatan pada Zoea 1 dan nauplius Artemia pada Zoea 3 (9,85%). Pemberian rotifer yang diperkaya dengan Nannochloropsis dari Zoea 1Zoea 2, kemudian diikuti pemberian nauplius Artemia dari Zoea 3 - Megalopa memberikan keberhasilan perkembangan stadia larva kepiting dibandingkan dengan pemberian rotifer yang diperkaya dengan nannochloropsis dan nauplius Artemia dari Zoea 1 - Megalopa (Suprayudi et al. 2002). Sedangkan Syahidah dan Rusdi (2003) menyatakan bahwa pemberian pakan buatan yang dimulai pada stadia Zoea 1 - Zoea 4 memberikan rata-rata kelangsungan hidup terbaik (45,3%) dibandingkan dengan pemberian pakan buatan yang dimulai dari Zoea 3 dan Zoea 4 dengan masing-masing rata-rata kelangsungan hidup 36,6% dan 25,27%.