Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 01 No. 01
(112– 121)
ISSN : 2303-3959
Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan Alami Artemia salina dan Brachionus plicatilis Survival Rate of Swimming Crab (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa through a Combination of Natural Feed Artemia salina and Brachionus plicatilis Masyitha Zahrah Zaidin*), Irwan J. Effendy**), dan Kadir Sabilu***) Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 e-mail: *
[email protected], **
[email protected],
***
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sintasan larva rajungan (Portunus pelagicus) pada stadia megalopa melalui kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis dalam mendukung sintasan. Penelitian ini dilakukan selama 25 hari pada bulan Februari hingga Maret 2012 di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan. Penelitian ini mengggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan A (A. salina kepadatan 60 ind/megalopa), perlakuan B (B. plicatilis kepadatan 60 ind/megalopa), perlakuan C (kombinasi A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:40 ind/megalopa), perlakuan D (kombinasi A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:60 ind/megalopa), dan perlakuan E (kombinasi A. salina dan B. plicatilis kepadatan 80:60 ind/megalopa). Persentase sintasan terbaik pada perlakuan C dengan sintasan mencapai 68%. Kemudian berturut-turut perlakuan A yaitu 60,67%; perlakuan E yaitu 40,67%; perlakuan D yaitu 26%; dan sintasan terendah pada perlakuan B yaitu sebesar 14%. Pertumbuhan mutlak lebar karapaks tertinggi pada perlakuan E yaitu 2,48 mm. Selanjutnya pertumbuhan mutlak tertinggi kedua pada perlakuan C yaitu 2,46 mm; kemudian berturut-turut perlakuan A yaitu 2,42 mm; perlakuan D yaitu 2,28 mm; dan terendah pada perlakuan B yaitu 1,15 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis berpengaruh nyata terhadap sintasan dan pertumbuhan mutlak lebar karapaks larva rajungan. Pengamatan kualitas air selama penelitian menunjukkan nilai kisaran yang mendukung kelangsungan hidup larva rajungan, dimana suhu berada pada kisaran 28-3oC; nilai pH 7-8; oksigen terlarut 4,34-5,94 mg/l; salinitas pada kisaran 28-31 ppt; dan amoniak dengan kisaran 0,005-0,26 mg/l. Kata kunci : Sintasan, kombinasi, pakan alami
Abstract This study aimed to determine survival rate of swimming crab larvae (Portunus pelagicus) on stadia megalopa through a combination of natural food Artemia salina and Brachionus plicatilis. This research was conducted during 25 days on February-March 2012 in Central of Brackish Water Aquaculture of Takalar, South Sulawesi. This research used Complete Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 3 replications. Treatment of A (A. salina density of 60 ind/megalopa), treatment of B (B. plicatilis density of 60 ind/megalopa), treatment of C (combination of A. salina and B. plicatilis densities 40:40 ind/megalopa), treatment of D (combination of A. salina and B. plicatilis densities 40:60 ind/megalopa), and treatment of E (combination of A. salina and B. plicatilis densities 80:60 ind/megalopa). The best survival rate percentage was in treatment of C with survival rate reaching 68%, and followed by treatment of A 60,67%; treatment of E 40,67%; treatment of D 26%, while the lowest survival rate was in treatment of B reaching 14%. The highest absolute growth of carapace was in treatment of E reaching 2,48 mm, and followed by treatment of C 2,46 mm; treatment of A 2,42 mm; treatment of D 2,28 mm, while the lowest was in treatment of B reaching 1,15 mm. Results showed that combination of natural feed A. salina and B. plicatilis had significantly response on the survival rate and the absolute growth of carapace. Observations of water quality throughout the study supported the survival of larva crab, i.e. temperature ranged 28-31oC; pH ranged 7-8; dissolved oxygen ranged 4,34-5,94 mg/l; salinity ranged 28-31 ppt; and ammonia ranged 0,005 to 0,26 mg/l. Keywords : Survival rate, combination, natural feed
112 Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Pendahuluan Rajungan merupakan salah satu komoditas penting perikanan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi di alam. Penangkapan induk dan benih yang berlebihan dapat mengakibatkan berkurangnya kelimpahan benih rajungan di alam. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan benih tersebut, diperlukan unit-unit pembenihan yang dapat menghasilkan benih dengan jumlah yang mencukupi, berkualitas tinggi, dan tidak tergantung kepada alam. Langkah awal untuk meningkatkan produksi rajungan dari sektor budidaya adalah penyediaan benih rajungan siap tebar. Perbaikan teknologi pembenihan masih terus diupayakan untuk memperoleh perbaikan dalam peningkatan tingkat kelangsungan hidup larva (Mardjono dkk, 2002). Permasalahan yang dihadapi dalam usaha pembenihan rajungan adalah rendahnya sintasan dan pertumbuhan pada stadia larva. Rendahnya nilai tersebut terutama pada stadia megalopa. Besarnya tingkat kematian larva rajungan pada stadia megalopa tersebut diduga karena nutrisi yang tidak tercukupi dan sifat naluri kanibalisme yang tinggi serta lingkungan yang tidak mendukung untuk perkembangan stadia berikutnya. Dijelaskan dalam Effendy dkk, (2005), kematian larva masih sering terjadi terutama pada zoea dan megalopa. Tingkat mortalitas tersebut dapat mencapai kisaran 80% dari populasi yang dipelihara. Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi pada budidaya, maka perlu dilakukan upaya untuk menghasilkan benih rajungan secara terkontrol. Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh rajungan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan rajungan dapat berlangsung secara normal. Menurut Fulks et al, (1991) dalam Adi (2011), pakan alami jenis zooplankton yang banyak digunakan dalam usaha pembenihan adalah Branchionus plicatilis dan Artemia salina. Ukurannya yang kecil, kandungan nutrisinya, dapat dikultur dengan kepadatan yang tinggi dan kemampuan reproduksi yang cepat merupakan kelebihan yang menyebabkan zooplankton ini dipilih untuk produksi secara massal sebagai pakan alami bagi larva. Keberhasilan pembenihan rajungan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas produksi
benih. Kondisi benih itu sendiri ditentukan oleh kondisi awal stadia serta kemampuan larva menjelang stadia pasca larva. Manajemen pakan dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan sintasan megalopa rajungan. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Februari sampai dengan 22 Maret 2012, bertempat di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu ember plastik kapasitas 10 liter sebagai media pemeliharaan, ember pakan sebagai media pakan, aerator, waring hitam, mistar, gayung, filter bag, pipet tetes dan beaker glass 50 ml untuk proses pengenceran pakan. Alat untuk mengukur kualitas air digunakan termometer, pH indikator, DO meter, handrefraktometer dan spektofotometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu larva rajungan (P. pelagicus) stadia megalopa, pakan uji berupa pakan alami A. salina dan B. plicatilis, dan air laut dengan salinitas 27-32 ppt sebagai media hidup hewan uji. Bahan untuk persiapan media berupa kaporit 30 ppm dan 100 ppm, Natrium Tiosulfat 15 ppm dan 50 ppm, formalin 100 ppm, dan air tawar. Wadah yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu didesinfektan menggunakan kaporit 100 ppm, disikat merata pada bagian permukaan wadah, selanjutnya dinetralkan dengan Natrium Tiosulfat 50 ppm. Pencucian peralatan aerasi dilakukan dengan perendaman formalin 100 ppm selama 24 jam, kemudian dibilas air tawar sampai bersih. Selanjutnya peralatan aerasi dikeringkan dengan penjemuran selama 1-2 hari. Setelah wadah kering kemudian diisi dengan air laut dan direndam selama 1 hari (Effendy dkk, 2005). Proses sterilisasi air media pemeliharaan selama penelitian, mengikuti proses yang dilakukan di BBAP Takalar, yaitu air laut ditreatment dengan kaporit 30 ppm selama 24 jam menggunakan aerasi, selanjutnya dinetralkan dengan Natrium Tiosulfat sebanyak 15 ppm dengan pengaerasian kuat. Air laut tersebut disterilkan kembali dengan mnggunakan lampu ultra violet serta disaring kembali dengan filter bag (Effendy dkk, 2005). Air yang sudah steril dimasukkan ke wadah pemeliharaan larva sebanyak 10 liter perwadah. Kultur A. salina menggunakan ember volume 15 liter dan dilengkapi corong di 113
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
bawahnya serta dilengkapi dengan selang aerasi pada bagian permukaan wadah sebagai suplai oksigen. Sebelum digunakan, ember dicuci terlebih dahulu kemudian diisi air laut sebanyak 5 liter. Kemudian kista A. salina dimasukkan ke dalam ember tersebut sebanyak 5 gram. Interval waktu penetasan A. salina mencapai 18-24 jam dari proses pengkulturan. Pemanenan dilakukan dengan cara menutup ember tersebut dengan plastik hitam agar A. salina yang menetas turun ke bawah karena sifat A. salina yang memiliki kecenderungan mendekati cahaya, di bawah saluran pengeluaran dipasangi saringan ukuran 300 mesh untuk menyaring A. salina yang akan dipanen. Setelah itu, saluran pengeluaran dibuka perlahan-lahan sampai A. salina tersebut masuk dalam saringan. Kemudian dilanjutkan dengan pembilasan air laut sampai bersih dan siap diberikan pada larva (Faudzan, 2011). Kultur B. plicatilis dilakukan di bak beton dengan volume 2 ton. Air media yang digunakan untuk kultur B. plicatilis air laut yang steril. Bibit B. plicatilis ditebar ke dalam wadah kultur dengan kepadatan 5 ind/ml. Kultur B. plicatilis diberi pakan berupa Chlorella sp dengan kepadatan 5 juta sel/ml. Setelah umur 5 sampai 7 hari, dilakukan pemanenan B. plicatilis menggunakan saringan 300 mesh (Adi, 2011). Larva rajungan yang digunakan adalah stadia megalopa dangan padat penebaran larva sebanyak 10 ekor/liter dalam media 5 liter air. Sebelum dilakukan penebaran pada media pemeliharaan, terlebih dahulu larva diadaptasikan dengan air media pemeliharaan, terutama suhu dan salinitas, agar tidak terjadi stress pada larva rajungan. Pemeliharaan larva rajungan dalam penelitian ini dimulai dari stadia megalopa yang berumur 1 hari sampai crablet 1. Wadah pemeliharaan diberikan perlindungan (shelter) yang dipasang pada dasar dan digantung pada wadah pemeliharaan. Shelter yang digunakan adalah waring hitam dan waring biru yang dipotong beruntai. Pakan yang diberikan berupa pakan alami yaitu A. salina dan B. plicatilis dengan kepadatan sesuai perlakuan yang diujikan. Menurut Watanabe dan Kiron (1994) dalam Fibro dkk, (2010), pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua kegiatan pembenihan. Pakan alami termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil dan larva hewan invertebrata yang telah diketahui sebagai makanan dalam pemeliharaan larva. Jenis pakan yang diberikan bervariasi sesuai bukaan mulut larva. Ditambahkan dalam Baharuddin (2011),
Brachionus dan nauplius Artemia merupakan pakan alami yang cocok diberikan pada pemeliharaan larva, karena selain ukurannya yang kecil juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik yakni mengandung asam-asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa Brachionus mempunyai kandungan protein sekitar 36,06-42,50%; karbohidrat 16,65% dan lemak 8,32- 10,48%; sedangkan Artemia mengandung protein kasar sekitar 58%. Frekuensi pemberian pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Penyiponan dan pergantian air media pemeliharaan larva dilakukan sebanyak 3050% setiap hari pada waktu pagi sebelum pemberian pakan, untuk menghindari penumpukan sisa pakan dan kotoran larva rajungan di dasar wadah pemeliharaan. Selama pemeliharaan berlangsung, dilakukan pengukuran sintasan larva rajungan stadia megalopa dengan pengambilan sampling yang dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini adalah dosis pakan kombinasi dan yang tidak dikombinasikan, terhadap sintasan larva rajungan stadia megalopa. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan, sehingga terbentuk 15 unit percobaan. Perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut: Perlakuan A : Pemberian pakan A. Salina 60 ind/megalopa Perlakuan B : Pemberian pakan B. plicatilis 60 ind/megalopa Perlakuan C : Kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis 40:40 ind/megalopa Perlakuan D : Kombinasi pakan A. salina dan B. Plicatilis 40:60 ind/megalopa Perlakuan E : Kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis 80:60 ind/megalopa Penempatan perlakuan dalam wadah percobaan dilakukan secara acak dengan cara undian atau lotre (Gaspersz, 1994). Tata letak percobaan tersebut disajikan pada Gambar 1. berikut:
114 Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
A A2 A E1 A B3
AC3
A E3
A B1
A D2
B1
B1
B1
A A1
A C2
A D3
A B2
B1
B1
B1
B1
A C1
A D1
A A3
A E2
B1
B1
B1
B1
Gambar 1. Tata letak satuan percobaan Keterangan : A, B, C, D, E = Perlakuan 1, 2, 3 = Ulangan Menurut Effendi (1979), untuk mengetahui Analisis yang digunakan untuk sintasan dapat dihitung dengan menggunakan mengetahui pengaruh perlakuan terhadap persamaan berikut: sintasan dan pertumbuhan larva rajungan stadia megalopa, dilakukan analisis data dengan N S = t x 100% menggunakan program SPSS 16, kemudian No dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil dimana: (BNT). S = Sintasan (%) Nt = Jumlah hewan uji yang hidup pada akhir Hasil Penelitian penelitian (ekor) Sintasan atau kelangsungan hidup No = Jumlah hewan uji yang hidup pada awal didapatkan berdasarkan perbandingan antara penelitian (ekor) jumlah larva rajungan stadia megalopa yang Pertumbuhan mutlak lebar karapaks hidup pada akhir penelitian dengan jumlah larva larva rajungan dilakukan pengukuran pada awal yang ditebar pada awal penelitian. Pelaksanaan dan akhir penelitian. Pengukuran lebar penelitian dibutuhkan waktu enam hari sampai dilakukan menggunakan mistar milimeter, semua larva rajungan stadia megalopa berubah diukur dari karapaks terluar hingga sisi menjadi stadia crab. berseberangan yang terluar. Pertumbuhan Berdasarkan hasil penelitian sintasan dihitung menggunakan persamaan berikut: larva rajungan stadia megalopa dengan ∆CW = CW1 – CW0 kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis, persentase sintasan terbaik pada dimana : perlakuan C (kombinasi pakan A. salina dan B. ∆CW = Pertumbuhan lebar karapaks (mm) plicatilis kepadatan 40:40 ind/megalopa) CW1 = Lebar karapaks rata-rata pada akhir dengan sintasan mencapai 68%. Kemudian penelitian (mm) berturut-turut perlakuan A (pakan A. salina CW0 = Lebar karapaks rata-rata pada awal kepadatan 60 ind/megalopa) yaitu 60,67%; penelitian (mm) perlakuan E (kombinasi pakan A. salina dan Sebagai data penunjang dilakukan B. plicatilis kepadatan 80:40 pengukuran parameter kualitas air harian. ind/megalopa) yaitu 40,67%; perlakuan D Kualitas air yang dilakukan setiap hari yaitu (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis suhu pagi, suhu sore, pH, dan salinitas, kepadatan 40:60 ind/megalopa) yaitu 26%; dan dilakukan pada pukul 08.00 dan 16.00 WITA. sintasan terendah pada perlakuan B (pakan Pengukuran kandungan oksigen terlarut, B. plicatilis kepadatan 60 ind/megalopa) yaitu dilakukan setiap 2 hari sebelum pergantian sebesar 14%. Hasil sintasan larva rajungan yang air pukul 08.00 WITA dan amoniak pada awal diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada dan akhir penelitian. Gambar 2.
115 Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Sintasan (%)
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
a a b c d
A
B
C
D
E
Perlakuan
Gambar 2. Histogram sintasan larva rajungan (P. pelagicus) stadia megalopa pada setiap perlakuan yang dipelihara selama enam hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis berpengaruh nyata terhadap sintasan larva rajungan stadia megalopa. Hasil uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa sintasan larva rajungan pada perlakuan C tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A, namun berbeda nyata terhadap perlakuan E, perlakuan D, dan perlakuan B. Perlakuan A juga berbeda nyata terhadap perlakuan E, perlakuan D, dan perlakuan B. Selanjutnya pada perlakuan E berbeda nyata terhadap perlakuan C, perlakuan A, perlakuan D, dan perlakuan B. Perlakuan D berbeda nyata terhadap perlakuan C, perlakuan A, perlakuan E, dan perlakuan B. Selanjutnya pada perlakuan B berbeda nyata terhadap perlakuan C, perlakuan A, perlakuan E, dan perlakuan D.
Hasil pengukuran pertumbuhan mutlak lebar karapaks menunjukkan bahwa pertumbuhan tertinggi terlihat pada perlakuan E (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis kepadatan 80:40 ind/megalopa) yaitu 2,48 mm. Selanjutnya pertumbuhan mutlak tertinggi kedua pada perlakuan C (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:40 ind/megalopa) yaitu 2,46 mm; kemudian berturut-turut perlakuan A (pakan A. salina kepadatan 60 ind/megalopa) yaitu2,42 mm; perlakuan D (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:60 ind/megalopa) yaitu 2,28 mm; dan pertumbuhan mutlak terendah pada perlakuan B (pakan B. plicatilis kepadatan 60 ind/megalopa) yaitu 1,15 mm. Hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan mutlak lebar karapaks dapat dilihat pada Gambar 3.
Lebar Karapaks (mm)
3.00
2.50
a
a
a
a
2.00 1.50
b
1.00 0.50 0.00 A
B
C
D
E
Perlakuan Gambar 3. Histogram pertumbuhan mutlak lebar karapaks larva rajungan (P. pelagicus) pada setiap perlakuan yang dipelihara selama enam hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis memberikan respon yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan mutlak lebar karapaks larva rajungan. Hasil uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa perlakuan E tidak
berbeda nyata terhadap perlakuan C, perlakuan A, dan perlakuan D, namun berbeda nyata terhadap perlakuan B. Selanjutnya pada perlakuan C tidak berbeda nyata terhadap perlakuan E, perlakuan A, dan perlakuan D, namun berbeda nyata terhadap perlakuan B. Perlakuan A tidak berbeda nyata terhadap 116
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
perlakuan E, perlakuan C, dan perlakuan D, namun berbeda nyata terhadap perlakuan B. Perlakuan D tidak berbeda nyata terhadap perlakuan E, perlakuan C, dan perlakuan A, namun berbeda nyata terhadap perlakuan B. Kemudian perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan E, perlakuan C, perlakuan A, dan perlakuan D. Air sebagai lingkungan tempat hidup larva rajungan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan dari organisme tersebut. Sebagai salah satu faktor penting dalam pemeliharaan larva rajungan, kualitas air perlu dijaga dalam kondisi prima, baik dalam aspek fisika, kimia dan biologi. Beberapa yang
berpengaruh terhadap kehidupan larva rajungan adalah suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas dan amoniak. Pengukuran suhu, pH dan salinitas dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat termometer, pH indikator, dan refraktometer. Oksigen terlarut air media pemeliharaan diukur setiap dua hari sekali dengan menggunakan alat DO meter. Sedangkan untuk kandungan amoniak dilakukan dengan mengambil sampel air pada awal dan akhir selama pemeliharaan. Nilai kisaran parameter kualitas air setiap perlakuan pada pemeliharaan larva rajungan stadia megalopa selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan larva rajungan (P. pelagicus) stadia megalopa selama penelitian Perlakuan Parameter Kualitas Air A B C D E Suhu (oC) 28-31 28-31 28-31 28-31 28-31 pH 7-8 7-8 7-8 7-8 7-8 DO (mg/l) 4,87-5,88 4,5-5,21 4,51-5,46 4,34-5,36 4,85-5,94 Salinitas (ppt) 28-31 28-30 28-31 28-31 28-31 Amoniak (mg/l) 0,006-0,0197 0,005-0,026 0,005-0,014 0,006-0,0234 0,006-0,0234 Pembahasan Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan A. salina dan B. plicatilis dengan dosis dan kombinasi yang berbeda pada media pemeliharaan larva rajungan (P. pelagicus) stadia megalopa menghasilkan persentase sintasan dan rata-rata pertumbuhan mutlak lebar karapaks dan larva rajungan. Hasil pengamatan sintasan pada larva rajungan stadia megalopa selama penelitian terlihat bahwa persentase sintasan tertinggi yaitu pada perlakuan C (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:40 ind/megalopa) yaitu 68% dan terendah pada perlakuan B (pakan B. plicatilis kepadatan 60 ind/megalopa) yaitu sebesar 14%. Tingginya sintasan yang diperoleh diduga disebabkan karena ketersediaan pakan yang cukup dan tidak berlebihan yang mengakibatkan terjaganya faktor lingkungan dalam media pemeliharaan. Pada perlakuan C dengan kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis, dosis pakan yang diberikan telah terpenuhi bagi larva, sehingga terlihat bahwa larva dengan mudahnya menangkap pakan dengan tenang dan kadang larva menempel pada shelter sehingga bisa terhindar dari sifat kanibalisme, hal ini bisa mendukung sintasan yang baik untuk larva
rajungan. Menurut Effendy dkk, (2005), bahwa pemberian pakan yang cukup memudahkan bagi larva mengambil dan makan pakan yang diberikan, sehingga kelangsungan hidup dapat bertahan. Menurut Mardjono dkk, (2002), bahwa pemberian pakan alami jenis B. plicatilis dan A. salina pada pemeliharaan larva rajungan skala massal dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup sebesar 64% dibanding dengan hanya pemberian pakan buatan komersial dengan hasil sintasan yang diperoleh sebesar 50%. Lebih lanjut dijelaskan Susanto dkk, (2003) dalam Muskita (2006), menyatakan pada pemberian rotifer, nauplius Artemia dan pakan buatan dari stadia zoea 1 sampai megalopa memberikan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (46,96%) dibandingkan dengan pemberian rotifer dari zoea 1–zoea 4 (9,85%). Pada perlakuan A (pakan A. salina kepadatan 60 ind/megalopa) dan perlakuan B (pakan B. plicatilis kepadatan 60 ind/megalopa), walaupun dengan dosis yang sama tetapi menunjukkan hasil sintasan yang sangat berbeda. Dimana pemberian pakan A. salina lebih menunjukkan sintasan yang baik, karena pakan A. salina mempunyai protein dan asam lemak esensial yang lebih tinggi dibanding dengan B. plicatilis. Menurut Susanto dkk, (2005), bahwa kandungan asam lemak pada A. 117
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
salina sebesar 4,52% sedangkan pada B. plicatilis sebesar 0,73%. Hasil uji proksimate yang dilakuakan terhadap pakan A. salina mengandung protein sebesar 53,30%, kandungan lemak sebesar 20,40%, dan karbohidrat sebesar 16,50%. Kandungan ini sangat baik untuk menunjang pertumbuhan larva rajungan. Menurut Catacutan (2002), menyatakan bahwa kepiting tumbuh secara baik, bila diberi pakan yang mengandung protein 32%-40%, tinggi rendahnya kadar protein pakan dapat membatasi pertumbuhan dan pertambahan bobot tubuh. Lebih lanjut dijelaskan dalam Serang dkk, (2007), bahwa pakan untuk benih rajungan (P. pelagicus) diharapkan mengandung protein 35%. Miartin (2001), menyatakan bahwa fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Protein merupakan sumber energi utama bagi ikan. Oleh karena itu kandungan nutrisi pakan selalu dilihat dari persentase proteinnya. Kurniasih (2008) dalam Rahmansyah (2012) menambahkan bahwa Crustacea yang mendapat kandungan gizi yang yang cukup akan lebih cepat mengalami pergantian kulit karena energi yang tersimpan dalam makanan dimetabolisme dan digunakan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan. Rendahnya sintasan pada perlakuan B, diduga disebabkan karena pengaruh kandungan protein B. plicatilis yang rendah yakni 7,90%, sehingga kebutuhan protein tidak mendukung kelangsungan hidup larva rajungan selama penelitian. Seperti yang dikemukakan Takeuchi (1997) dalam Baharuddin (2011), kebutuhan protein kepiting stadia zoea sampai megalopa dibutuhkan protein berkisar antara 8%-35%. Kebutuhan protein pada krustase berkisar 35%-55% dari pakan yang dikonsumsi. Sebagai gambaran besarnya kandungan nutrisi pada B. pliatilis sesuai dengan hasil uji proksimate yang dilakukan adalah kandungan protein sebesar 7,90%, lemak sebesar 4,40%, dan air sebesar 86,60%. Selain faktor protein makanan yang dimakan oleh larva rajungan, faktor daya tarik makanan diduga juga berperan penting dalam kelangsungan hidup larva rajungan. Makanan yang memiliki daya tarik yang lebih baik akan dapat merangsang nafsu makan larva rajungan. Hal ini terlihat secara visual pada perlakuan B dengan pemberian pakan jenis B. plicatilis tidak direspon dengan baik oleh larva rajungan karena tidak bergerak aktif, berbeda dengan A. salina yang bergerak aktif. Terlihat pada perlakuan A, larva rajungan aktif memakan A. salina yang berenang bebas. Sesuai dengan hasil penelitian
Baharuddin (2011), bahwa larva rajungan stadia megalopa lebih menyukai pakan alami yang bergerak aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan A. salina pada pemeliharaan larva rajungan stadia megalopa dapat direspon dengan baik. Pertumbuhan mutlak didapatkan berdasarkan pengukuran lebar karapaks pada awal penelitian stadia megalopa sampai akhir penelitian hingga semua larva telah memasuki stadia crab yaitu selama enam hari. Dari hasil pengukuran didapatkan pertumbuhan mutlak lebar karapaks tertinggi yaitu pada perlakuan E (kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis kepadatan 80:40 ind/megalopa) yaitu dengan nilai rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 2,48 mm. Tingginya nilai pertumbuhan yang diperoleh diduga diakibatkan karena dosis pakan kombinasi yang tinggi dan didominasi pemberian pakan A. salina, yaitu pakan A. salina dengan dosis 80 ind/megalopa dan B. plicatilis dengan dosis 60 ind/megalopa. Dosis pakan A. salina sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan, karena nilai nutrisi khususnya protein yang lebih tinggi dari pakan B. plicatilis. Pertumbuhan mutlak terendah dalam penelitian ini, didapatkan pada perlakuan B dengan dosis pemberian pakan B. plicatilis 60 ind/megalopa yaitu rata-rata pertumbuhan 1,15 mm. Rendahnya pertumbuhan yang diperoleh diduga diakibatkan pakan yang diberikan adalah jenis B. plicatilis, dimana ukurannya kecil bagi stadia larva rajungan stadia megalopa, sehingga membutuhkan lebih banyak individu B. plicatilis untuk dikonsumsi oleh larva rajungan dibanding dengan A. salina yang ukuranya lebih besar. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) dalam Baharuddin (2011), bahwa ukuran B. plicatilis strain S bentuknya cenderung bulat dengan panjang antara 150-220 mikron, sedangkan strain L memiliki panjang 200-360 mikron, sedangkan nauplius A. salina berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron dan lebar 170 mikron. Hasil sintasan yang diperoleh, tidak menunjukkan bahwa semakin besar sintasan yang diperoleh semakin besar pula hasil pertumbuhan mutlak larva rajungan, terlihat pada perlakuan C dan perlakuan E, dimana nilai sintasan tertinggi didapat dari perlakuan C dan pertumbuhan mutlak tertinggi pada perlakuan E. Hal ini diakibatkan dari dosis pakan alami A. salina yang merupakan salah satu faktor eksternal dalam menunjang pertumbuhan. Pada perlakuan C dengan dosis pakan A. salina 40 118
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
ind/megalopa belum cukup menunjang pertumbuhan yang lebih baik daripada dengan dosis 80 ind/megalopa pada perlakuan E. Walaupun demikian, dengan penambahan kombinasi pakan B. plicatilis 40 ind/megalopa pada perlakuan C, menunjukkan kombinasi pakan A. salina dan B. plicatilis yang sesuai sehingga dapat menunjang sintasan yang lebih baik dari setiap perlakuan. Pada perlakuan dengan dosis kombinasi pakan yang lebih tinggi, terlihat sintasan yang lebih rendah yaitu pada perlakuan D (kombinasi A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:60 ind/megalopa) dan perlakuan E (kombinasi A. salina dan B. plicatilis kepadatan 80:60 ind/megalopa), sedangkan hasil pertumbuhan mutlaknya baik. Hal ini diduga karena dosis pakan yang lebih tinggi mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat dan tidak merata pada setiap larva di masingmasing media pemeliharaan. Hal ini terlihat pada pengamatan harian yang dilakukan, bahwa pada perlakuan A, perlakuan D, dan perlakuan E menunjukkan dalam satu media pemeliharaan pada hari keempat sudah ada beberapa larva yang telah memasuki stadia crab, sehingga naluri kanibalisme dari larva semakin kuat dan tidak dapat mempertahankan sintasan yang lebih tinggi. Dijelaskan dalam Moller et al. (2008), bahwa kanibalisme dapat secara langsung mempercepat pertumbuhan, biasanya larva yang berukuran lebih besar menempati tropik level yang lebih tinggi dibandingkan dengan larva yang lebih kecil. Sehingga memungkinkan dapat terjadinya kanibalisme apabila ukuran larva tidak seragam. Menurut Juwana (1997), menyatakan bahwa larva rajungan yang berukuran seragam dapat mengurangi kanibalime antara larva. Lebih lanjut dijelaskan Effendy dkk, (2005), bahwa kematian pada larva rajungan dapat disebabkan oleh pengaruh pakan dan lingkungan media pemelihara, serta kanibalisme sesama larva rajungan. Selain pengaruh pakan yang diberikan, faktor lingkungan khususnya kualitas air juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Soundarapandian and Tamizhazhagan (2009), kualitas air dan pakan merupakan kriteria penting dalam pemeliharaan rajungan, jika keduanya tidak diperhatikan dengan serius, dikhawatirkan dapat terserang penyakit yang dapat mengakibatkan kematian pada larva. Suhu air sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup rajungan dan organism laut lainnya, dimana perubahan suhu sangat berpengaruh dalam kecepatan metabolisme dan
kegiatan organisme lainnya. Suhu juga berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Perubahan faktor lingkungan seperti suhu, oksigen terlarut, salinitas dan mutu lingkungan air lainnya akan mempengaruhi frekuensi pergantian kulit dan peningkatan ukuran pada krustacea (Setyadi, 2008). Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase (Zacharia dan Kakati, 2004). Suhu air selama penelitian berkisar antara 28-31 oC, ini merupakan kisaran yang cukup baik untuk sintasan larva rajungan. Hal ini didukung oleh pendapat Juwana dan Romimohtarto (2000), bahwa suhu optimun untuk larva rajungan fase megalopa berkisar antara 28-34ºC. Nilai pH air selama penelitian berkisar antara 7-8. Kisaran ini masih optimal untuk pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan. Menurut Syahidah (2003), bahwa pH 7,0-8,5 masih dalam batas normal untuk kehidupan larva rajungan stadia megalopa. Menurut Juwana dan Romimohtarto (2000), menyatakan bahwa pH yang baik untuk megalopa rajungan adalah 7,5-8,5. Oksigen terlarut merupakan suatu parameter pembatas utama karena pengaruh oksigen terlarut sangat penting pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Apabila kandungan oksigen rendah menyebabkan pada kematian larva. Pada penelitian kandungan oksigen yang terukur berkisar antara 4,34-5,94 mg/l. Kisaran kualitas air ini dikategorikan masih layak bagi kehidupan larva rajungan. Menurut Kasry (1996) dalam Faudzan (2011), kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya temperatur, salinitas, pH dan bahan organic, salinitas semakin tinggi, kelarutan oksigen semakin rendah. Menurut Adi (2011), oksigen terlarut di dalam air antara 4-6 ppm dianggap paling ideal untuk tumbuh dan berkembang larva. Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva rajungan. Salinitas air yang terukur dari penelitian ini pada keempat perlakuan berkisar antara 28-31 ppt. Selama penelitian dari akhir hingga hari keenam, setiap hari terjadi perubahan tinggi rendahnya salinitas hingga akhir penelitian. Menurut Juwana (1997), salinitas yang optimal untuk larva rajungan berkisar 28–34 ppt. Lebih lanjut 119
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
dikatakan Adi (2011), bahwa salinitas 31-33 ppt dan suhu air 31oC dengan pemberian pakan yang cukup dapat mempercepat molting larva rajungan. Amoniak dalam air berasal dari sisa metabolisme larva, hasil feses dan sisa pakan, dengan demikian kandungan amoniak di dalam media penelitian tergantung pada kepadatan larva dan kuantitas serta kualitas pakan yang diberikan. Menurut Neil et al, (2005), amoniak merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik. Selama penelitian dilaksanakan kandungan amoniak yang terukur berkisar antara 0,005-0,0234 mg/l. Kisaran ini masih batas optimal bagi sintasan dan pertumbuhan larva rajungan. Menurut Djunaedi (2009), kandungan amoniak optimal untuk pemeliharaan larva rajungan berkisar antara 0,0004-0,0391 mg/l. Lebih lanjut dijelaskan Lee and Chen (2003), amoniak bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme. Kuntiyo dkk, (1994) dalam Yasin (2011), apabila konsentrasi amoniak meningkat, maka berpengaruh terhadap permeabilitas organisme dan menurunkan konsentrasi ion netralnya, mempengaruhi pertumbuhan dan konsumsi oksigen. Oleh sebab itu, agar kepiting dapat tumbuh dengan baik maka konsentrasi amoniak dalam media tidak lebih dari 0,1 ppm. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka disimpulkan bahwa Kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis memberikan respon yang berpengaruh nyata terhadap sintasan dan pertumbuhan larva rajungan (P. pelagicus) stadia megalopa. Pemberian kombinasi pakan alami A. salina dan B. plicatilis kepadatan 40:40 ind/megalopa dan A. salina dengan kepadatan 60 ind/megalopa memberikan kontribusi yang lebih baik untuk mendukung sintasan, dibanding perlakuan yang lain. Hasil perlakuan pada pemberian pakan tanpa A. salina memberikan hasil pertumbuhan dan sintasan yang tidak baik bagi larva rajungan stadia megalopa. Persantunan Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc, dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari. Kepala dan Staf Balai Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan, atas bantuan dan bimbingan selama melakukan penelitian.
Daftar Pustaka Adi, Y. S. 2011. Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Zoea pada Berbagai Frekuensi Pemberian Pakan Alami Jenis Brachionus plicatilis. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah, Makassar. 46 hal. Baharuddin. 2011. Perbandingan Pakan Alami Artemia salina Terhadap Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Mahammadiyah. Makassar. 48 hal. Catacutan M. R. 2002. Growth and Body Composition of Juvenile mud Crab, Scylla serata, fed Different Dietary Protein to Energy Ratios. Journal Aquaculture 213: 113-123. Djunaedi, A. 2009. Kelulushidupan dan Pertumbuhan Crablet Rajungan (Portunus pelagicus Linn.) pada Budidaya dengan Substrat Dasar yang Berbeda. Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP 14 (1): 23-26. Effendy, S., Faidar., Sudirman., E, Nurcahyono. 2005. Perbaikan Teknik Pemeliharaan Larva Pada Produksi Masal Benih Rajungan Portunus pelagicus. Penelitian Balai Budidaya Air Payau Takalar 6: 110. Faudzan, A. 2011. Tingkat Pemberian Pakan Alami Artemia salina terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar. Makassar. 52 hal. Fibro, A.F., Sulaeman, dan Muslimin. 2010. Laju Pemangsaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serata) terhadap Pakan Alami Rotifera (Brachionus sp.). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 21(3): 139-144. Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. 472 hal. Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI 22: 1-12. Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan Perikanan, Cara Budidaya dan Menu Masakan. Djambatan. Jakarta. 47 hal. 120
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Lee, W. C and Chen, J. C. 2003. Hemolymph Ammonia, Urea and Uric Acid Levels and Nitrogenous Excretion of Marsupenaeus japonicas at Different Salinity Levels. Journal Marine Biology and Ecology 288: 39-49. Mardjono, M., L. Ruliaty., R. Prasetyo., dan Sugen. 2002. Pemeliharaan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) Skala Massal. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara 3 (1): 1-9. Miartin. 2001. Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla serrata yang Diberi Dosis dan Jenis Pakan yang Berbeda. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari. 46 hal. Moller H., S. Y Lee., B. Paterson and D. Mann. 2008. Cannibalism Contributes Significantly to the Diet of Cultured Sand Crabs (Portunus pelagicus Linn.): A Anal Stable Isotope Study. Journal Experimental Marine Biology and Ecology 37 (3): 75-82. Muskita, W.H. 2006. Pengaruh Waktu Pemberian Pakan Buatan terhadap Kelangsungan Hidup Larva Rajungan (Portunus pelagicus): Hubungannya dengan Perkembangan Aktivitas Enzim Pencernaan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 60 hal. Neil, L. L., Foteda, R., and Shelley C., C. 2005. Effects of Acute and Chronic Toxicity of Unionized Ammonia on Mud Crab Scylla serrata Larvae. Journal Aquaculture 219: 927-932. Rahmansyah. 2012. Pengaruh Frekuensi Pemberian Kapur (CaCO3) yang Berbeda terhadap Moulting Benih Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 50 hal. Serang, A. M., M. A Suprayudi., D. Jusadi., Mokoginta. 2007. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Akuakultur Indonesia 6 (1): 5563. Setyadi,I. 2008. Pengaruh Suhu yang Berbeda terhadap Sintasan Larva Rajungan (Portunus pelagicus) di Wadah Terkontrol. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali 7: 1-5. Soundarapandian, P dan T. Tamizhazhagan. 2009. Embryonic Development of
Commercially Imporatant Swimming Crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Centre of Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, Parangipettai, Tamil Nadu. India. Journal Biological Sciences 1 (3): 106-108. Susanto, B., I. Setyadi, Haryanti, dan A. Hanafi. 2005. Pedoman Teknis. Teknologi Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. 22 hal. Syahidah, D., B. Susanto, I. Setiadi., 2003. Percobaan Pemeliharaan Megalopa Rajungan, Portunus pelagicus Sampai Menjadi Rajungan Muda (Crablet 1) Dengan Kisaran Salinitas Berbeda. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Gondol 2: 1-6. Yasin, H. 2011. Pengaruh Pemberian Berbagai Kadar Karbohidrat dan Lemak Pakan Ber-Vitomolt terhadap Efisiensi Pakan dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla sp). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar 32: 1-7. Zacharia, S and Kakati, V. S. 2004. Optimal Salinity and Temperature of Early Developmental Stages of Penaeus merguensis de Man. Journal Aquaculture 232: 378-382.
121 Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU