7
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Pengertian dan Fungsi Keluarga Keluarga adalah wahana utama dan pertama bagi anggota-angotanya untuk mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi, serta penyemaian cinta kasih-sayang antar anggota keluarga.
Pengertian keluarga
menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10 keluarga adalah ”unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anak”. Keluarga adalah institusi yang ada dalam setiap masyarakat. Keluarga menurut U.S. Bureau of the Census (2000) diacu dalam Newman dan Grauerholz (2002) adalah dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1994 tentang delapan fungsi keluarga agar dapat mengembangkan potensinya dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Kedelapan fungsi utama keluarga tersebut adalah: 1) Fungsi
keagamaan, 2) Fungsi sosial budaya, 3) Fungsi cinta kasih, 4) Fungsi melindungi, 5) Fungsi sosialisasai dan pendidikan, 6) Fungsi reproduksi. 7) Fungsi ekonomi, dan 8) Fungsi pembinaan lingkungan. Sedangkan menurut resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fungsi utama keluarga adalah: sebagai wahana untuk mendidik, mangasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985) : 1. Pemberian afeksi, dukungan, dan persahabatan 2. Memproduksi dan membesarkan anak 3. Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda
8
4. Mengembangkan kepribadian 5. Membagi dan melaksanakan tuga-tugas di dalam keluarga maupun diluarnya. Keluarga inti maupun keluarga luas merupakan satu kesatuan sosial terkecil yang mempunyai fungsi sebagai berikut (Depdikbud 1995): 1. Mempersiapkan anak-anak bertingkahlaku sesuai dengan nilai dan normanorma serta aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi). 2. Mengusahakan terselenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga sering disebut unit produksi. 3. Melindungi anggota keluarga yang tidak produktif lagi (jompo). 4. Meneruskan keturunan (reproduksi). Menurut Guhardja et al. (1988), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya.
Dengan
demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang perlu tersedia, yaitu: 1. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan untuk perkembangan fisik dan sosial. 2. Kebutuhan
akan
pendidikan
formal,
informal,
dan
noformal
untuk
pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional, dan spiritual. Levy mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing anggota dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan (Megawangi 1999). Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai system dapat berfungsi antara lain (Megawangi 1999): 1. Diferensiasi peran. Dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap anggota dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.
9
2. Alokasi solidaritas. Distribusi relasi antaranggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relative terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak laki-laki mungkin lebih utama daripada hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi. Distribusi barang-barang dan jasa untu mendapatkan hasil yang dinginkan. Disferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dar barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. 5. Alokasi integrasi dan ekspresi. Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan prilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Pendekatan struktural-fungsional adalah salah satu pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga.
Keluarga sebagai sebuah
institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Newman dan Grauerholz, 2002). Pendekatan ini mempunyai warna jelas, yaitu mengakui adanya segala keberagaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur
10
masyarakat. Akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah system. Misalnya, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada segmen anggota yang mampu menjadi pemimpin, dan yang menjadi sekretaris atau anggota biasa. Tentunya kedudukan seseorang dalam struktur organisasi akan menentukan fungsinya, yang masing-masing berbeda. Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya struktur dan fungsi ini tidak akan pernah terlepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu (Megawangi 2001). Teori ini berkembang untuk menganalisis tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait meskipun memiliki fungsi yang berbeda. Perbedaan fungsi tersebut justru saling diperlukan untuk saling melengkapi sehingga suatu sistem yang seimbang dapat terwujud. Oleh karena itu konsep gender menurut teori struktural fungsional dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi laki-laki maupun perempuan secara dikotomi agar tercipta keharmonisan antara laki-laki dan perempuan (Narwoko 2004). Teori struktural fungsional dalam melihat sebuah sistem dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Sebuah sistem dapat berbentuk apa saja: keluarga, kelompok, organisasi, klubklub sosial dan lain-lain. Teori yang dikembangkan oleh Parsons (1964), dan Parson dan Bales (1956) adalah teori yang paling dominan sampai akhir tahun 1960-an dalam menganalisis institusi keluarga. Penerapan teori struktural-fungsional pada keluarga oleh Parsons, adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Bahkan menurut Parsons, fungsi keluarga pada zaman modern, terutama dalam hal sosialisasi anak dan tension management untuk masing-masing anggota keluarga, justru akan semakin terasa penting. Secara struktural, keluarga merupakan sebuah subsistem di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah sistem yang tidak statis, ia selalu berubah dan beradaptasi dengan perubahan sistem lain yang lebih besar dimana keluarga berada di dalamnya. Perubahan ini juga dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi antara subsistem dalam keluarga (anggota keluarga) dengan subsistem
11
lain di luar keluarga, misalnya anggota dari dari keluarga lain, lingkungan sekolah, lingkungan kantor dan sebagainya. Semua proses interaksi tersebut, baik antara anggota keluarga maupun luar keluarga berpotensi menimbulkan konflik yang pada akhirnya dapat menggagu keseimbangan keluarga sebagai sebuah system (Megawangi 2005). Pendekatan Teori Pertukaran Sosial Teori pertukaran sosial (Social Exchange Theory) merupakan salah satu pendekatan konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan individu dalam konteks keluarga. Teori pertukaran sosial didasari oleh faham utilitarianisme yang menganggap bahwa dalam menentukan pilihan, individu secara rasional menimbang antara imbalan yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan. Para sosiolog yang menganut teori ini menyatakan bahwa seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika hal itu dianggapnya menghasilkan keuntungan. Dalam hal ini keuntungan merupakan seslisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan. Teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George Thomas dan Peter Blau dilandaskan pada prinsip ekonomi yang elementer. Individu menyediakan barang dan jasa sebagai imbalannya berharap memperoleh barang dan jasa yang dinginkan. Teori ini bertumpu pada asumsi bahwa individu terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Ganjaran atau hukuman tersebut dapat berbentuk ekstrinsik (barang dan jasa) maupun instrisik (perhatian, kasih sayang dan lain-lain). Thomas berpendapat bahwa individu bertindak dengan orientasi tujuan dengan memperkecil biaya dan memperbesar keuntungan (Poloma 1987). Asumsi lain yang juga merupakan bagian penting dalam teori pertukaran adalah individu-individu yang terlibat dalam suatu hubungan berusaha memelihara hubungan tersebut dalam suatu kondisi yang simetris, yaitu menguntungkan pihak-pihak yang terlibat atau minimal tidak bersifat merugikan. Teori pertukaran sosial Thomas kemudian disempurnakan oleh Peter Blau yang mengemukakan “ The emergence principle”,prinsip ini menyatakan bahwa dalam suatu hubungan terdapat nilai-nilai kohesi dan solidaritas sosial. Nilai-nilai ini
12
berfungsi membantu menciptakan rasa kesatuan bersama menggantikan nilai keuntungan yang mungkin berkurang pada kondisi hubungan yang tidak simetris (Poloma 1987). Pendekatan Teori Gender Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dan dalam berperilaku, dan pada giliranya hakhak dan sumberdaya, dan kuasa (Bank Dunia 2000). Selanjutnya gender bukan hanya membicarakan tentang perempuan saja, namun juga membicarakan tentang laki-laki dalam kaitannya dengan kerjasama/partnership dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan untuk ,mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, gender membahas permasalahan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat (Puspitawati & Krisnatuti 2007). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggungjawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat (Puspitawati 2009). Sedangkan menurut Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2001), gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Relasi adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan pembagian peran yang dijalankan masing-masing pada tipe dan struktur keluarga (keluarga miskin/kaya, keluarga desa/kota, keluarga lengkap/tunggal, keluarga punya anak, keluarga pada berbagai tahapan life cycle). Bahkan relasi gender ini juga diperluas secara bertahap berdasarkan luasan ekologi, mulai dari mikro, meso, ekso dan makro (keluarga inti, keluarga besar, masyarakat regional, masyarakat nasional, bangsa, dan negara serta masyarakat internasional) (Puspitawati & Krisnatuti 2007).
13
Mugniesyah (2007) menyatakan bahwa relasi gender adalah hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Peranan dan relasi itu dinamis. Perubahan peranan gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan situasi ekonomi, sumberdaya alam, dan politik, termasuk perubahan usaha-usaha pembangunan atau penyesuaian program struktural oleh kekuatankekuatan di tingkat nasional global. Namun demikian, tidak semua perubahan peranan bermakna perubahan dalam relasi gendernya. Itu sebabnya, banyak ahli gender dan pembangunan mengemukan bahwa pembangunan yang mampu mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan gender (gender equity) diartikan sebagai keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhannya, mencakup perlakuan setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor mempertimbangkan kesamaan dalam hak, kewajiban, kesempatan, dan manfaat. Adapun kesetaraan gender (gender equity) adalah suatu konsep yang menyatakan laki-laki dan perempuan keduanya memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal dan membuat pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotip, prasangka dan peranan gender yang kaku. Dinyatakan lebih lanjut bahwa perbedaan perilaku, aspirasi dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dipertimbangkan, dinilai, dan didukung secara setara bukan berarti bahwa lakilaki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi hak-hak, tanggungjawab, dan kesempatannya tidak ditentukan karena ia terlahir sebagai laki-laki dan perempuan (ILO 2000). Analisis Gender Kerangka Moser. Terdapat lima kerangka berpikir gender yang umum digunakan dalam menganalisis gender yakni: 1. The Harvard Analytical Framework, juga dikenal dengan the Gender Roles Framework. 2. The Moser Gender Planning Framework 3. The Women’s Empowerment Framework (WEP), dan 4. The Social Relations Approach 5. The Analysis Matrix (GAM)
14
Dalam penelitian ini analisis gender mengadopsi kerangka Moser, sehingga pembahasan akan lebih menyoroti kerangka berfikir ini. Kerangka Moser ( The Gender Planning Framework) dikenal juga sebagai “the University CollegeLondon Department of Planning Unit (DPU) Framework”.
Secara singkat,
kerangka ini mewarkan pembedaan antara kebutuhan praktis dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban kerja perempuan. Uniknya, kerangka Moser tidak berfokus pada kelembagaan tertentu tetapi lebih berfokus pada rumahtangga. Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah: 1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga bidang: kerja reproduksi, kerja produktif, dan kerja komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian gender dan alokasi kerja. Moser (1993) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple roles), yaitu: a. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai dan sejenisnya. Termasuk produksi
pasar
dengan
suatu
nilai
tukar,
dan
produksi
rumahtangga/subsistem dengan suatu nilai guna, tetapi juga sesuatu nilai tukar potensial. Contohnya, kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. b. Peranan
reproduktif,
tanggungjawab
yakni
pengasuhan
peranan anak
dan
yang
berhubungan
tugas-tugas
domestik
dengan yang
dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan hidup keluarga. Misalnya, melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, meamasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju dan lainya. c. Peran pengelolaan masyarakat dan politik yang dikelompokan menjadi dua kategori, yakni; a) Peranan pengelolaan masyarakat ( kegiatan sosial) yang mencakup semua aktifitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunteer, dan tampa upah, b) Pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yaitu peranan
yang
dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan status.
15
2. Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan (seperti subordinasi). 3. Pendekatan analisis kebijakan – dari fokus pada pada kesejahteraan (welfare), kesamaan (equaity), anti kemiskinan, efisiensi dan pemberdayaan atau dari (Women in Development) ke GAD (Gender and Development). Salah satu program yang berupaya mengedepankan kesetaraan gender adalah program PIDRA (Participatory Integrated Development in Rainfed Area) yang merupakan program pemberdayaan bagi masyarakat miskin di pedesaan yang berdomisili pada daerah-daerah yang berlahan kritis, tadah hujan dan kurang mendapat kesempatan dalam proses pembangunan wilayah dengan pendekatan partisipatif. Diantara capaian program ini, nilai tabungan Kelompok Mandiri Wanita (KMW) lebih tinggi dibandimg Kelompok Madiri Pria (KMP) karena KMW lebih teliti dan bertanggungjawab dalam pengelolaan
keuangan, serta
transparan dalam pengelolaan keuangan. Dengan demikian, secara kuantitatif perempuan dalam
kegiatan
pembangunan
ternyata cukup memberikan
kontribusi yang sangat berarti (Satuan Kerja Pengembangan Partisipasi Lahan Kering Terpadu (PIDRA) Kabupaten Timur Tengah Utara (2008). Beberapa hasil penelitian mengenai peran dan
relasi gender disajikan
sebagai berikut: 1. Penelitian di Provinsi Jawa Tengah pada nelayan yang mempunyai keluarga lengkap menunjukkan bahwa hampir sebagian besar aktivitas domestik dilakukan oleh perempuan (ibu dan anak perempuan). Pembagian wilayah partisipasi berdasarkan peran publik dan domestik, terlihat secara jelas antara suami dan istri, sehingga istri mempunyai peran yang penting dalam keluarga nelayan contoh Prasetyo (2004). 2. Penelitian di Kalimantan Timur menunjukkan lebih dari tiga perlima istri (61,7%) berperan ganda untuk memperoleh tambahan penghasilan bagi keluarga. Persepsi tentang gender yang paling banyak dianut baik oleh suami maupun istri adalah “istri dan suami menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan melengkapi”. Sedangkan pilihan tugas berdasarkan
16
gender yang paling banyak dianut baik oleh suami maupun istri adalah “tugas utama istri adalah mengurus rumahtangga, tetapi boleh membantu tugas suami dalam mencari nafkah keluarga, sedangkan tanggungjawab mencari nafkah utama tetap tugas suami” Saleha (2003). 3. Sebagian besar istri melakukan kerjasama pembagian peran dalam kegiatan keluarga baik kegiatan domestik , usaha tani (produktif) maupun sosial kemasyarakatan. Jadi, kerjasama atau relasi gender antara suami istri sudah diterapkan pada keluarga contoh dengan kategori sedang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian peran gender dalam keluarga adalah pendapatan/kapita/perbulan, frekuensi perencanaan, dan permasalah umum keluarga yang dihadapi Fahmi (2008). Manajemen Keuangan Keluarga Uang merupakan sumberdaya dan sekaligus merupakan alat pengukur dari sumberdaya.
Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga
menunjukan berapa banyak sumberdaya yang dimilikinya. Sumberdaya yang dimiliki keluarga umumnya terbatas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas Guharja, Puspitawati, Hartoyo, & Hastuti (1992). Menurut Deacon & Firebaugh (1988) uang memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai dasar perbandingan nilai, sebagai mekanisme untuk pertukaran dalam perekonomian umumnya, sebagai hak untuk kebutuhan sumberdaya masa depan, serta sebagai media pertukaran dan perpindahan dengan pemerintah, lembaga-lembaga, kelompok pribadi, dan individu. Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga akan relatif terbatas, tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpaatisipasi dalam pencarian pendapatan, sedangkan keinginan dan kebutuhan setiap keluarga dan anggota relatif tidak terbatas. Bahkan keinginan dan kebutuhan akan barang atau jasa dari setiap keluarga dan anggotanya dari waktu ke waktu selalu berubah dan cenderung bertambah banyak. Pemenuhan dari keinginan dan kebutuhan dari setiap keluarga.
Dengan demikian, agar femanfaatan sumberdaya uang yang
terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif. Walaupun manajemen tidak bisa membuat sumberdaya yang
17
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk item yang disetujui oleh semua anggota keluarga (Guhardja et al. 1992). Manajemen sumberdaya keluarga merupakan salah satu kegiatan yang dihadapi individu dan keluarga dalam mencari jalan terbaik untuk memenuhi harapan dan keinginan dengan sumberdaya yang relatif terbatas.
Dalam
melaksanakan kegiatan tersebut, anggota keluarga membawa pulang bagian terbesar dari hasil kerjanya. Hasil kerja ini dapat saja berupa barang yang secara langsung akan memberikan kepuasan, atau berupa uang yang nantinya digunakan atau dibutuhkan (Guhardja et al. 1992). Tujuan manajemen keuangan keluarga adalah menggunakan sumberdaya pribadi dan keuangan untuk menghasilkan tingkat kepuasan hidup sehari-hari dan membangun cadangan keuangan untuk memenuhi kebutuhan di masa depan dan saat mendadak. Oleh karena itu, manajemen mempunyai tujuan saat ini dan tujuan masa depan. Tentunya tujuan tersebut harus seimbang satu sama lain. Sebuah rencana pengeluaran akan sangat membantu untuk mengontrol bagaimana, dimana, kapan, dan untuk tujuan apa uang yang ada seharusnya digunakan. Dalam membuat rencana keuangan yang tepat ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu menetapkan tujuan yang akan dicapai, mengetahui jumlah pendapatan yang dimiliki, menggunakan catatan pengeluaran, dan memperhitungkan tabungan untuk masa depan (Raines 1964). Menurut Senduk (2000), perencanaan keuangan merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan merencanakan keuangan yang dimiliki. Untuk mencapai tujuantujuan tersebut bisa dilakukan dengan menabung, melakukan investasi, melakukan budgeting, atau mengatur sumberdaya keuangan yang dimiliki saat ini. Sebuah keluarga perlu melakukan perencanaan keuangan karena adanya tujuan keuangan yang ingin dicapai, meningkatnya gaya hidup, keadaan peekonomian yang tidak selalu baik, kondisi fisik manusia yang tidak akan selalu sehat, dan banyaknya alternatif produk-produk keuangan. Selanjutnya Rice dan Tucker (1986) mengungkapkan adanya 12 prinsip dalam manajemen keuangan yang dapat membantu memaksimalkan hasil atau
18
kepuasan dengan sumberdaya yang dimiliki. Kedua belas prinsip itu adalah memprioritaskan tujuan dan menetapkan standar; menganalisis sumberdaya keuangan; menetapkan manajemen keuangan sistimatis; membuat anggaran untuk mengontrol pengeluaran dan tabungan; menyimpan catatan-catatan; menetapkan batasan kredit dan menggunakannya dengan bertanggungjawab; menggunakan waktu untuk melipatgandakan tabungan; membangun kesehatan lebih awal dan sistematis; melindungi asset secara cukup dan beralasan; menggunakan keuntungan dari pajak dan membangun untuk masa pension; memeriksa dan menyesuaikan secara teratur; dan merencanakan untuk mentrasfer pada kesehatan. Sebuah rencana keuangan (budget) merupakan rencana bagi pengeluaran yang akan datang, yang mencerminkan langkah pertama dalam proses manajemen keuangan. Agar suatu rencana keuangan dapat berhasil maka harus realistis dan fleksibel. Budget yang dibuat seteliti mungkin pun masih memiliki kekurangan, walaupun demikian, budget dapat membantu untuk menghindari penggunaan sumberdaya untuk keperluan yang kurang atau tidak penting. Rencana keuangan seperti manajemen lainnya bersifat dinamis, walaupun nilai dan kebutuhan terhadapnya bersifat tetap dalam seluruh siklus hidup yang dihadapi keluarga (Gross & Crandall, 1980). Pola Pengambilan Keputusan Keluarga Blood dan Wolfe dalam Sajogyo (1983) menyatakan bahwa aspek yang paling penting dalam struktur keluarga adalah posisi anggota keluarga dilihat dari distribusi dan alokasi kekuasaan. Aspek berikutnya yang juga penting adalah pembagian peran dalam keluarga Menurut Scanzoni dan Scazoni dalam Azzachrawani (2004) pola pengambilan keputusan (decision) dalam suatu keluarga, menggambarkan bagaimana struktur/pola kekuasaan dalam keluarga tersebut. Selain itu, beberapa konsep seperti:”pengaruh”, “control”, “wewenang”, dan “dominasi”, digunakan pula untuk menggambarkan dan menjelaskan kekuasaan dalam keluarga, termasuk disini konsep pengambilan keputusan. Menurut Deacon dan Firebough (1988) pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga. Dalam
19
kehidupan keluarga sehari-hari pengambilan keputusan yang sering dilakukan, seperti mengambil keputusan dalam menetukan menu makanan, menentukan pergi liburan, menentukan membeli baju, dan lain-lain. Biasanya proses pengambilan keputusan ini bisa secara singkat ataupun mengambil waktu yang lama tergantung pada keputusan apa yang akan diambil. Menurut Guhardja et al. (1992) dilihat dari keterlibatan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga, yaitu : 1. Pengambilan keputusan konsensus, yaitu pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya. 2. Pengambilan keputusan akomodatif, yaitu pengambilan keputusan yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut. 3. Pengambilan keputusan de facto, yaitu pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa. Sedangkan yang dimaksud dengan pola pengambilan keputusan dalam keluarga menyangkut kewenangan suami istri dalam mengambil keputusan, yaitu: 1. Pola Tradisional Pengambilan keputusan keluarga yang memberikan wewenang kepada suami untuk mengambil keputusan. Sedangkan istri hanya sebagai pendukung dari keputusan. 2. Pola Modern Pengambilan keputusan dalam keluarga secara bersama-sama, ada semacam persamaan hak istri dalam mengambil keputusan, tanpa menghilangkan peran masing-masing. Sumarwan (2003) merangkum beberapa studi yang mengidentifikasi model pengambilan keputusan produk oleh sebuah keluarga sebagai berikut : 1. Istri dominan dalam pengambilan keputusan. Istri memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya dan untuk keluarganya.
20
2. Suami dominan dalam pengambilan keputusan. Suami memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya atau anggota keluarganya. 3. Keputusan autonomi, yakni keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau suami tanpa tergantung dari salah satunya. Artinya istri bisa memutuskan pembelian produk tanpa bertanya kepada suami, begitu pula sebaliknya. 4. Keputusan bersama, artinya keputusan untuk membeli produk atau jasa dilakukan bersama antara suami dan istri. Menurut teori decision makers, pengambilan keputusan dalam keluarga tidak diberikan kepada satu orang anggota keluarga. Pembagiannya sesuai dengan tugas dari beberapa tingkatan diantara anggota keluarga. Keputusan dapat juga dilakukan secara kerjasama antara anggota keluarga. Perencanaan dapat berarti hal yang berbeda buat orang yang berbeda. Defenisi perencanaan bisa berbeda dan bervariasai antara penulis yang satu dengan yang lain. Definisi yang sangat sederhana mengatakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut Tarigan (2005). Jadi, perencanaan adalah suatu penentuan sebelumnya dari tujuan-tujuan yang dinginkan dan bagaimana tujuan tersebut harus dicapai. Sedangkan pelaksanaan merupakan melaksanakan suatu rencana sehingga menjadi kenyataan dan mengawasinya sesuai dengan prosedur yang telah di buat Guhardja et al. (1992). Hasil Penelitian Saleha (2003) menyebutkan bahwa pengambilan keputusan yang menyangkut aktivitas domestik dan publik dalam keluarga nelayan tidak mengikuti pola tertentu secara khusus terpusat pada istri atau suami, tetapi memiliki pola yang menyebar antara suami dan istri. Ditemukan fenomena bahwa kontribusi pendapatan istri yang lebih besar dari suami dapat mengubah dominasi pola pengambilan keputusan pada beberapa aspek di sektor domestik maupun publik pada keluarga nelayan. Tugas ibu menjadi lebih berat lagi karena pada keluarga Jawa pengambilan keputusan dalam urusan-urusan domestik umumnya banyak ditentukan oleh istri Molo (1994) dalam Mulyono, Martiana & Ardyanto (2001).
21
Menurut Beatric (1977) dalam Guhardja (1992) orang yang berhak melakukan pengambilan keputusan dalam keluarga di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, kekuasaan, jenis kelamin, kompetensi, dan keakraban. Peran Gender dalam Ekonomi Keluarga Kontribusi Ekonomi Perempuan Salah satu tujuan seseorang bekerja di bidang nafkah adalah untuk memperoleh penghasilan berupa uang.
Hal tersebut yang mendorong peran
perempuan sebagai penunjang perekonomian rumahtangga menjadi sangat penting dan ikut serta berperan dalam sector ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan Hubeis (2010). Pada umumnya peran perempuan secara ekonomi adalah menambah penghasilan keluarga. Karena itu, penghasilan tambahan dari aktivitas ekonomi perempuan dapat membantu mengentaskan keluarga dari kemiskinan Rahardjo (1995). Alokasi ekonomi dalam keluarga erat hubungannya dengan struktur lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat luas.
Jika terjadi perubahan
dalam faktor ekonomi suatu masyarakat, maka alokasi ekonomi dalam keluarga itu akan berubah. Hoffman dan Nye (1975) dalam Fahmi & Pusptawati (2008) berpendapat bahwa ada tiga alasan perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu: uang, peranan sosial dan pengembangan diri.
Hampir bisa dipastikan bahwa uang
merupakan alas an terbesar bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Perempuan pedesaan bekerja agar dapat bertahan hidup, sedangkan perempuan kota bekerja untuk “membayar” tingkat kemahalan hidup di kota. Juga menyatakan bahwa ada tiga faktor pendorong perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu: 1. Alasan ekonomi, yaitu untuk menambah pendapatan keluarga (family income), terutama jika pendapatan suami relatif kecil.
Selain itu, juga karena istri
memiliki kelebihan tertentu, sehingga merasa lebih efisien jika waktunya digunakan untuk mencari nafkah. 2. Untuk mengangkat status dirinya, agar memperoleh kekuasaan lebih besar di dalam kehidupan keluarganya.
22
3. Adanya motif intrinsik (dari dalam dirinya) untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia, yang mampu berprestasi di dalam keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam usaha produksi, umumnya muncul penilaian yang berbeda mengenai pekerjaan laki-laki, wanita dan anak-anak.
Sumber penghasilan dari usaha
produksi. Menurut Levi dalam Sajogyo (1983) perlu membedakan : 1. Apakah penghasilan usaha bersama dari kesatuan keluarga, usaha perseorangan anggota
keluarga
ataukah
beberapa
orang
anggota
keluarga
yang
menggabungkan diri ke dalam kesatuan-kesatuan produktif/pencarian nafkah di luar keluarga. 2. Apakah penghasilan dikuasai oleh keluarga atau pihak luar keluarga Di bidang komsumsi, keluarga mengenal pola-pola konsumsi yang merupakan bagian dari pola-pola kebudayaan masyarakat itu.
Dapat terjadi
bahwa seluruh penghasilan dari semua pencari nafkah dalam suatu keluarga dikumpulkan menjadi dana bersama, yaitu dimanfaatkan untuk keperluan bersama, yaitu dimanfaatkan untuk keperluan bersama menurut kebutuhan masing-masing, disesuaikan dengan norma-norma tingkat hidup keluarga tersebut. Jadi dalam alokasi ekonomi, perlu diperhatikan antara siapa-siapa dana bersama dibentuk, siapa yang menguasainya dan bagaimana cara menjalankan wewenang itu Levi dalam Sajogyo (1983). Kerja produktif yang dilakukan pria dan wanita akan berpengaruh terhadap sumbangan mereka pada pendapatan keluarga.
Menurut Armanto (1997),
semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin terwujud dan terbentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia, sebaliknya semakin sulit tingkat perekonomian akan sulit mewujudkan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Beberapa hasil penelitian mengenai kontribusi ekonomi perempuan terhadap kesejahteraan keluarga disajikan sebagai berikut: 1.
Kesempatan perempuan dalam menunjang kesejahteraan keluarga di Kabupaten Tulang Bawang sudah tergolong tinggi. Para perempuan yang memiliki
kemauan
dan
keterampilan
kerja
yang
dianggap
dapat
meningkatkan kesejahteran keluarganya, hampir tidak mengalami hambatan, baik secara srtuktural maupun kultural, baik dari suami, keluarga maupun
23
dari masyarakat sekitarnya. Terdapat kontribusi nyata aktivitas kaum perempuan dalam kegiatan kerja untuk kesejahteraaan keluarga. Kontribusi tersebut dapat dilihat dari tingkat kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga. Kontribusinya tidak hanya berupa peningkatan pendapatan keluarga, tetapi juga peningkatan pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat dalam upaya mempertahankan stabilitas dan keharmonisan keluarga Syani (2009). 2.
Besarnya kontribusi yang diberikan oleh buru wanita terhadap pendapatan keluarga dilihat dari proporsi rata-rata upah buruh wanita terhadap rata-rata pendapatan keluarga ternyata cukup besar yakni sebesar 52,32 persen Fadah dan Yuswanto (2004).
3.
Perempuan pedesaan, merupakan sumber daya manusia yang cukup nyata berpatisipasi, khususnya dalam memenuhi fungsi ekonomi keluarga dan rumah tangga bersama dengan laki-laki. Perempuan di pedesaan sudah diketahui secara umum tidak hanya mengurusi rumah tangga sehari-hari saja, tetapi tenaga dan pikirannya juga terlibat dalam berbagai kegiatan usaha tani dan non usaha tani, baik yang sifatnya komersial maupun sosial Sajogyo (1983). Keterlibatan perempuan di pedesaan dalam kegiatan ekonomi produkti antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yaitu tidak tercukupinya kebutuhan rumahtangga mereka. Sebagai ibu rumahtangga, biasanya perempuan yang bertanggung jawab dalam mengatur rumahtangga, baik menyangkut kesehatan gizi keluarga, pendidikan anak, dan pengaturan biaya hidup keluarga. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak tercukupi, maka perempuan yang pertama merasakan dampaknya. Sehingga dengan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif setidaknya sebagian kebutuhan keluarga mereka terpenuhi.
Fungsi Ekonomi Keluarga Setiap keluarga diharapkan mampu berfungsi meningkatkan keterampilan dalam usaha ekonomi produktif, sehingga tercapainya upaya peningkatan pendapatan keluarga guna memenuhi kebutuhan hidup. Dapat juga dikatakan bahwa arti ekonomi dari suatu keluarga adalah, bagaimana keluarga itu mengelola
24
kegiatan ekonomi keluarga, pembagian kerja dan fungsi, kemudian menghitung berapa jumlah pendapatan yang diperoleh atau konsumsinya serta jenis produksi dan jasa apa yang dihasilkan Raharjo (1989). Keluarga merupakan suatu unit dalam sistem ekonomi, yang senantiasa berinteraksi (mempengaruhi dan dipengaruhi) oleh sistem ekonomi yang lebih besar Bryant (1990). Artinya, bahwa keadaan ekonomi keluarga akan tergantung pada keberadaan ekonomi negara saat itu.
Keluarga sebagai unit ekonomi
merupakan alat untuk melakukan aktivitas guna memperoleh hasil yang diinginkan, seperti kepuasan, tujuan, gaya hidup, standar hidup, kesejahteraan, keamanan, kemampuan dan keterampilan untuk proses produksi dan konsumsi Bryant (1990). Aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang sangat vital bagi kehidupan keluarga, yang sekaligus akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan seseorang. Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga diantaranya pengalokasian sumberdaya untuk pelayanan kesejahteraan dengan memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi produk diantara anggota keluarga. Dengan demikian keluarga di dalam melakukan kegiatan ekonominya mempunyai kemungkinan menambah saling pengertian, solidaritas dan tanggung jawab bersama dalam keluarga serta meningkatkan rasa kebersamaan dan satu ikatan antara sesama anggota keluarga Soelaeman (1994). Undang-undang Nomor 16 Tahun 1974 mendefinisikan kesejahteraan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warganegara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia dengan Pancasila dan UUD Tati (2000). Menyimak pengertian kesejahteraan di atas, maka kesejahteraan itu sifatnya subjektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga akan berbeda-beda. Pada prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Jika kebutuhan dasar bagi setiap individu/keluarga sudah dipenuhi, berarti dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dari individu tersebut sudah dapat
25
tercapai (BPS 1994). Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesejahteraan suatu keluarga perlu ditopang antara lain dengan sedikitnya dua tiang utama yaitu: keluarga kecil agar bebannya tidak terlalu berat dan keluarga dengan ekonomi yang kuat (BKKBN 1997). Kesejahteraan Keluarga Pengertian Kesejahteraan Keluarga Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992, keluarga diartikan sebagai keluarga yang dibentuk bardasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan Suyono (2006). Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warganegara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 Rambe et al. (2008). Setiap orang memiliki penilaian terhadap tingkat kesejahteraan dimana antara satu sama lain tidak sama. Sejahtera bagi seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki pengalaman dan tingkat kepuasan yang berbeda yang sangat bergantung pada kepribadian masingmasing individu terhadap kepuasan dan persepsi yang dimilikinya akibat dari pengalaman sebelumnya Angur & Widgery (2004). Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain: 1. Faktor ekonomi. Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pembangunan sumberdaya yang dimiliki keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga.
26
2. Faktor budaya. Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralkan akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharapkan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya. 3. Faktor teknologi. Peningkatan kesejahteraan juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan dan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kepemilikan modal. 4. Faktor keamanan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin. 5. Faktor kehidupan beragama. Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lain. Sehingga pemahaman keagamaan dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan spritualnya. 6. Faktor kepastian hukum. Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum. Hasil penelitian Rembe et al. (2008) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria BPS adalah pendidikan kepala rumah tangga. Sementara itu, peubah-peubah yang berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan menurut persepsi subjektif adalah pendidikan kepala keluarga, umur kepala keluarga, persepsi harga dan pendapatan.
Peubah yang memiliki peluang paling tinggi diantara keempat
peubah tersebut adalah pendidikan kepala keluarga yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga berpeluang lebih besar untuk sejahtera. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran keluarga, yaitu pengukuran kesejahteran yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BPS mengukur kesejahteraan
27
dilihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) proxy pengeluaran yaitu rata-rata Rp. 122 775,00 per kapita per bulan (Susenas 2004), sedangkan BKKBN membagi kesejateraan keluarga ke dalam tiga kebutuhan, yakni: (1) Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari pangan, sandang, papan, dan kesehatan, (2) Kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang terdiri dari pendidikan , rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal, dan (3) Kebutuhan pengembangan (developmental needs)
yang terdiri dari tabungan,
pendidikan khusus/kejuruan, dan kases terhadap informasi (Suandi 2005). Kesejahteraan Keluarga Subjektif Kesejahteraan secara umum diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni objektif dan subjektif. Kategori pertama mengukur kesejahteraan melalui faktafakta tertentu yang dapat diamati seperti ekonomi, sosial dan statistik lingkungan. Kesejahteraan diukur secara tidak langsung menggunakan ukuran ordinal. Menurut Rojas (2004) kurang tepat untuk menilai kesejahteraan hanya berdasarkan pendapatan dan indikator sosial ekonomi lainnya.
Kesejahteraan
manusia tergantung pada banyak faktor diluar standar hidup yang biasa seperti pendapatan, kosumsi, kekayaan, posisi sosial-ekonomi dan akses terhadap pelayanan umum. Dengan demikian, pendapatan harus dipertimbangkan sebagai satu dari banyak alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan. Kesejahteraan Berdasarkan Quality of Life. “Quality of Life” adalah salah satu pendekatan untuk mengukur kepuasaan atau kesenangan seseorang secara subjektif. Krueger (2009) pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagian seseorang secara subjektif terhadap keadaanya dalam waktu tertentu. Kepuasan atau kesejahteraan ini dapat berbeda antara harapan dengan kenyataan dan dapat berbeda setiap orang (Mccall 1975; Frankl 1963 dalam Anonimous 2008). Menurut Guharja et al. (1992),
kepuasan
merupakan keluaran yang telah
diperoleh akibat kegiatan suatu manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbedabeda untuk setiap individu. Puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang diinginkan, nilai tersebut dapat berubah akibat banyaknya pengalaman.
28
Karakteristik Sistem Matrilineal Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu". Sementara itu matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti "ibu" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "matriarkhi" berarti "kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Berbicara tentang perempuan secara umum menurut Holleman dalam Pudjiwati Sajogyo (1994) kedudukan perempuan menurut golongan dan fungsinya di tentukan oleh beberapa hal antara lain : 1. Sistem susunan keluarga yang berlaku di daerah tertentu ( mengikuti garis keturunan bapak, ibu atau orang tua). 2. Faktor-faktor sosial ekonomis, terutama yang menyangkut pilihan tempat tinggal suami istri serta bentuk pernikahan yang dianut. 3. Perbedaan tingkat sosial. 4. Pengaruh salah satu diantara tiga aliran agama di dunia dalam urutan kronologis : Hindu, Islam dan Kristen. Sistem susunan keluarga sepihak menurut garis keturunan ibu di Indonesia teristimewa terdapat di Minangkabau (Sumatera Barat) dan di daerah mana orangorang Minangkabau menetap sebagai penduduk. Sistem di Minangkabau tengah masih dalam bentuk asli dan dilaksanakan secara konsekuen dan di daerah pinggiran umumnya sudah terjalin dengan sistem garis orangtua (sistem parental). Sedangkan garis keturunan bapak (patrilineal) banyak terdapat di daerah Sumatera Selatan, Batak, Maluku, Timor dan Bali. Karena itu, berbicara tentang wanita Minangkabau kita akan menemukan beberapa hal yang menarik berhubungan dengan sistem matrilinier, sistem dimana keturunan dihitung berdasarkan garis ibu yang menjadikan kaum perempuan sebagai sentral di dalam struktur keluarga. Kato (1983) mengidentifikasi ciri-ciri sistem matrilineal Minangkabau sebagai berikut :
29
1. Keturunan dihitung berdasarkan garis ibu. 2. Kaum sebuah kelompok keturunan yang dipimpin oleh seorang yang yang disebut pengulu. 3. Pola menetap bersifat dua lokal. 4. Wewenang kaum terletak di tangan mamak. Sistem matrilineal dengan kehidupan komonal, seperti orang Minang sampai sekarang, menempatkan perkawinan menjadi persoalan dan urausan kerabat. Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, meminang, perkawinan dan bahkan kepada segala akibat perkawinan itu sendiri. Perkawinan bukanlah masalah sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga saja. Oleh karena itu falsafah Minangkabau telah menjadikan semua hidup bersama, sehingga masalah pribadi dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama. Pola perkawinan bersifat eksogami, kedua belah pihak atau salah astu pihak dari yang menikah tersebut lebur ke dalam kerabat pasangannya. Karena masih relatif menganut sistem komunal jadi suami dan istri tidak hanya berurusan dengan keluarganya sendiri, tetapi sampai jauh juga bersamasama menjadi anggota masing-masing dalam kelompok geneologisnya, tentang hubungan keluarga yang bersifat geneologis ini selanjutnya digambarkan oleh Holleman dalam Sajogyo (1994) sebagai berikut: “ Walaupun mereka telah kawin, masih juga membawa ikatan-ikatan yang menghubungkan mereka dengan keluarga masing-masing, sehingga mereka kerapkali tetap lebih merupakan anak perempuan dan anak laki-laki dari keluarga mereka dari pada menjadi suami istri dan karenanya jika ada perselisihan antara mereka atau jika didorong dari luar, lebih cendrung untuk mengingkari kesatuannya dalam keluarga dan memihak kepada famili sendiri dari pada rukun sebagai suami istri”. Menurut struktur masyarakat Minangkabau setiap orang adalah warga kaum dan suku masing-masing yang tidak bisa dialihkan.
Jadi setiap orang telah
menjadi warga kaumnya, meskipun telah diikat tali perkawinan atau telah mempunyai anak. Anak yang lahir dari perkawinan menjadi anggota kaum istri. Perkawinan eksogami meletakan
istri pada satus yang sama dengan
suaminya. Sistem matrilineal menyebabkan istri tidak tergantung kepada suaminya, walaupun suami tetap dihargai dalam rumahtangga, ia bukanlah
30
pemegang kuasa atas anak dan istrinya. Dari berbagai literatur tentang Minangkabau, dijelaskan pola kewarisan yang diperuntukkan bagi perempuan, mnyebabkan perempuan di Minangkabau, secara ekonomi relatif kuat. Perempuan Minang mempunyai dua sumber penghasilan, yang pertama dari suaminya dan kedua dari saudara laki-lakinya. Dalam kaitannya dengan fenomena wanita bekerja, tentu saja akan mempunyai pengaruh semakin kuatnya kedudukan perempuan, terutama dalam keluarga.
Dominasi perempuan dalam ekonomi akan mempunyai implikasi
terhadap kekuasaan laki-laki (suami) dalam rumahtangga. Elifina (2001) menyatakan bahwa perempuan minang mempunyai dua sumber penghasilan, yang pertama dari suaminya dan kedua dari saudara laki-lakinya. Terutama dalam mengatasi kesulitan hidup yang tidak dapat diatasi suaminya, maka mereka akan meminta bantuan saudara-saudara laki-lakinya. Dalam kaitannya dengan fenomena perempuan bekerja, tentu saja akan mempunyai pengaruh semakin kuatnya kedudukanperempuan, terutama dalam keluarga. Dominasi perempuan dalam ekonomi akan mempunyai implikasi terhadap kekuasaan laki-laki (suami) dalam rumahtangga. Mansoer (1990) dalam penelitiannya menemukan bahwa istri yang bekerja relatif banyak terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengaturan anggaran belanja dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja. Kedudukan Perempuan Dalam posisi matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau penyimpanan.
Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan
perundang-undangan adat, perempuan tidak dilibatkan.
Perempuan menerima
bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak (Thaib 2008). Perempuan menerima hak dan kewajibanya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup dalam kondisi bagaimanapun. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk
31
mengatur dan mempertahankannya. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya, dan tidak memerlukan emansipasi lagi, serta tidak perlu dengan perjuangan gender,
karena sistem matrilineal telah menyediakan apa
sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah membuat suatu “aturan permaianan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya (Thaib 2008). Kedudukan laki-laki dan perempuan berada dalam posisi berimbang. Lakilaki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka, perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Dalam hal ini peranan laki-laki di dalam dan luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Pada hakekatnya peranan perempuan itu sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri sebagaiman yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Hanya saja, waktu itu tidak memakai kata emansipasi, persamaan hak, kesetaraan gender dan lain sebagainya sebagaimana yang sering digembar-gemborkan oleh kaum perempuan barat (Thaib 2008). Dengan demikian, bagaimana perempuan menempatkan dirinya di tengahtengah keluarga dalam masyarakat Minangkabau dapat diukur berdasarkan, sejauh mana mereka dapat menjalankan aturan adatnya dengan baik. Bila perempuan menjalankan adatnya dengan baik, maka sekaligus dia telah menjalankan ajaran islam dengan baik pula.