9
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tingkatan hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi, dan hubungan darah (Rice & Tucker 1986; Kuznet 1989). Lebih spesifik, keluarga menurut definisi U.S. Bureau of the Census (2000) diacu dalam Newman dan Grauerholz (2002) adalah dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Para ahli sosiologi menyatakan bahwa keluarga tidak hanya terdiri atas individu-individu tetapi lebih kepada adanya hubungan-hubungan (relationships) antara: suami-istri, orangtua-anak, saudara perempuan-saudara laki-laki, dan sebagainya.
Hubungan tersebut
termasuk pertalian, ikatan persaudaraan, kasih sayang, dan kewajiban antar anggota, yang merupakan karakteristik kunci
dari beberapa tipe kelompok
sosial. Keluarga dianggap sebagai suatu sistem sosial karena memiliki unsurunsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidahkaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soekanto 2004). Meskipun keluarga adalah kelompok sosial yang merupakan unit terkecil dari masyarakat, akan tetapi keluarga berbeda dari kelompok sosial lain seperti kelompok pertemanan, klub sosial, kelompok gereja, dan sebagainya (Beutler et al. 1989, diacu dalam Newman & Grauerholz 2002). Keluarga juga dapat dipandang sebagai unit dari lingkungan, yaitu suatu kelompok yang terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dan saling tergantung yang memiliki tujuan dan sumberdaya, yang dalam sebagian siklus kehidupannya saling berbagi (Darling, 1987). Keluarga dapat dibedakan atas keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extended family), dan keluarga pokok (stem family) (Castillo et al. 1968; Young dalam Lucas et al. 1995; United Nations 1958; Soekanto, 2004; Newman & Grauerholz, 2002). Keluarga batih atau keluarga biologis atau inti terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin (Young dalam Lucas et al. 1995). Menurut Soekanto (2004), keluarga batih memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
10
1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual yang seyogya. 2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggotaanggota masyarakat baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. 3. Unit terkecil dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomis. 4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya mendapatkan perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan jiwanya. Keluarga luas atau keluarga gabung (extended atau composite family) biasanya terdiri dari dua generasi yang berasal dari suatu keluarga biologis dan terdapat di negara-negara yang anak-anak tidak lazim meninggalkan rumah orangtua segera setelah menikah (United Nations 1958, diacu dalam Young 1995).
Keluarga gabung terjadi jika ada dua anak atau lebih yang sudah
menikah masih tinggal bersama orangtua mereka. Sedangkan keluarga pokok adalah keluarga luas dengan hanya satu anak yang sudah menikah tetap tinggal di rumah tangga orangtuanya (Castillo et al. 1969, diacu dalam Young 1995). Fungsi Keluarga Undang-Undang
No.
10
Tahun
1992
tentang
Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan bahwa keluarga harus mampu menjalankan delapan fungsi utamanya agar bisa mengembangkan dirnya sendiri.
Kedelapan fungsi utama keluarga tersebut
adalah: 1) Fungsi keagamaan, 2) Fungsi sosial budaya, 3) Fungsi cinta kasih, 4) Fungsi melindungi, 5) Fungsi sosialisasi dan pendidikan, 6) Fungsi reproduksi, 7) Fungsi ekonomi, dan 8) Fungsi pembinaan lingkungan. Sedangkan menurut resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fungsi utama keluarga
adalah:
sebagai
wahana
untuk
mendidik,
mengasuh,
dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Megawangi (2004) mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Dalam keluargalah anak tumbuh dan berkembang menurut tahapan usianya.
Oleh
karena itu peran orangtua menjadi penting dalam mendidik dan membesarkan
11
anak sesuai agama, norma dan nilai yang dianut keluarga maupun yang berlaku umum di masyarakat. Hal tersebut senada dengan pendapat Soekanto 1990 yang menyatakan dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua (kalau ada), serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah anak akan mengenal dunia sekitarnya dan mengalami proses sosialisasi awal. Orangtua, saudara, maupun kerabat terdekat pada umumnya mencurahkan perhatian untuk mendidik anak agar memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan dan penyerasinya. Mereka secara sadar atau setengah sadar melakukan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang tersebut, anak dididik untuk mengenal nilai-nilai, seperti nilai ketertiban dan ketentraman, nilai kebendaan dan nilai keakhlakan, nilai kelestarian dan kebaruan, dan sebagainya. Menurut para ahli penganut faham struktural-fungsional, keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsinya jika terdapat diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama. Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda tetapi bersinergi untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Parsons dan Bales (1955) diacu dalam Megawangi (1999) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental dan emosional atau ekspresif. Peran instrumental diharapkan dapat dilakukan oleh ayah atau suami, karena peran ini dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran instrumental ayah menjadi peran penting dalam menunjang kesejahteraan (ekonomi) dalam keluarga.
Peran ini lebih
memfokuskan pada situasi eksternal yang dihadapi keluarga. Sedangkan peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang yang cocok untuk dipegang oleh istri atau ibu. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis.
Oleh karenanya, istri atau ibu diharapkan dapat memberikan
kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai. Walaupun ibu dan ayah memiliki peran yang berbeda bukan berarti terpisah dalam menjalankan tugasnya mendidik dan membersarkan anak-anak
12
mereka.
Bagaimanapun kedua peran tersebut tetap dilakukan bersamaan,
karena secara struktural masing-masing anggota keluarga memiliki fungsi yang harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut dalam keluarganya. Dalam hal ini, peran dan fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya menjadi paling penting sebelum berinteraksi dengan lingkungan di luar keluarga, dalam menghasilkan SDM yang berkualitas. Pentingnya keluarga dalam membentuk SDM yang berkualitas telah diakui sejak dahulu kala.
Menurut Carlson (1999), sebelum era industrialisasi
(akhir abad 19), Amerika melihat bahwa keluarga merupakan hal yang sangat penting. Hubungan kekerabatan (kinship) dan hubungan agama yang sangat kuat menyatukan bangsa Amerika. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Levy bahwa Bangsa Amerika dipersatukan dalam suatu keluarga dan menjadi tempat membesarkan anak-anaknya. Diibaratkan seperti tanaman yang menumbuhkan nilai-nilai kebenaran. Kualitas SDM sangat ditentukan oleh bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dalam suatu keluarga.
Dasgupta dan Serageldin (2000)
menekankan pentingnya modal sosial dalam keluarga bagi perkembangan intelektual anak-anak. Modal sosial keluarga adalah hubungan antara anak-anak dengan orangtuanya atau dengan anggota keluarga lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa faktor yang paling berperan dalam dalam pendidikan dan pembentukan kepribadian anak adalah institusi keluarga. Locke (1985), diacu dalam Prameswari (1999) menjelaskan bahwa individu adalah ibarat selembar kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada orangtua (keluarga) mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Posisi pertama di dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Belsky (1984), diacu dalam Megawangi (1999) yang mengatakan bahwa kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana orangtua mengasuh anaknya.
Hal itu memperlihatkan bahwa pada periode-
periode awal dari kehidupannya, anak akan menerima pengarahan dari kedua orangtuanya.
Periode awal kehidupan ini merupakan periode yang paling
penting dan sekaligus rentan. Pendekatan Teori Keluarga Teori Struktural-Fungsional. Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga
13
sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999). Pendekatan
teori
struktural-fungsional
dapat
digunakan
untuk
menganalisis peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan mayarakat (Newman dan Grauherholz 2002). Menurut teori struktural-fungsional, keluarga juga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 1999). Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama.
Dalam interaksi tersebut
keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Selanjutnya Megawangi (1999) mengatakan bahwa keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial ini akan tercipta jika dalam keluarga terdapat struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang berlaku.
Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu:
status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling kait mengait. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya terdiri dari tiga struktur utama, yaitu: bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak.
Struktur ini dapat pula
berupa figur-figur seperti: pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja, dan lain-lain. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu, tempat dalam sebuah sistem sosial, dan memberikan rasa memiliki karena merupakan bagian dari sistem tersebut. Fungsi atau peran sosial menggambarkan peran dari masing-masing individu menurut status sosialnya. Setiap status sosial tertentu akan memiliki fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan individu atau kelompok dengan status sosial berbeda.
Selanjutnya norma sosial adalah sebuah peraturan yang
menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya.
Demikian pula dalam keluarga, setiap keluarga dapat
memiliki norma sosial yang spesifik untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarganya.
14
Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus dipenuhi menurut Lezy, diacu dalam Megawangi 1999 adalah: 1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, 2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, 3) alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, 4) alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, serta 5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku. Teori Pertukaran Sosial.
Teori pertukaran sosial (Social Exchange
Therory) merupakan salah satu pendekatan konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan individu dalam konteks keluarga. Teori pertukaran sosial didasari oleh faham utilitarianisme yang menganggap bahwa dalam menentukan pilihan, individu secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Para sosiolog yang menganut teori ini
menyatakan bahwa seseorang akan
berinteraksi dengan pihak lain jika hal itu dianggapnya menghasilkan keuntungan. Dalam hal ini keuntungan merupakan selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan. Asumsi yang mendasari teori pertukaran sosial pada intinya adalah bahwa manusia bersifat rasional. Namun demikian masing-masing ahli mengemukakan asumsi teori dengan berbagai cara. Sabatelli & Shehan (1993), mengemukakan bahwa asumsi dari teori pertukaran terdiri atas asumsi yang melekat pada sifat alamiah dari manusia (nature of humans) dan sifat alamiah dari hubungan (nature of relationships). Inti dari asumsi tentang sifat alamiah manusia adalah sebagai berikut: 1) Manusia mencari imbalan dan menghindari hukuman, 2) Ketika berinteraksi dengan orang lain, ia akan memaksimumkan keuntungan bagi dirinya dengan meminimasi biaya yang harus ia keluarkan. Selama tidak memungkinkan untuk mengetahui imbalan dan pengorbanan aktual dari interaksi dengan orang lain tersebut,
orang
akan
menggunakan
ekspektasinya
untuk
menuntunnya
bertindak, 3) Dalam keterbatasan informasi yang ia miliki, manusia akan bertindak secara rasional.
Mereka akan menghitung imbalan, biaya, dan
15
mempertimbangkan beberapa alternatif, sebelum bertindak.
Mereka akan
memilih alternatif yang paling sedikit pengorbanan atau biayanya, 4) Standar yang digunakan oleh setiap orang dalam menghitung imbalan dan biaya berbeda satu sama lain dan akan sangat bervariasi tergantung waktu, 5) Kepentingan untuk menangkap perilaku seseorang terhadap orang lain dalam berinteraksi berbeda satu sama lain dan tergantung waktu, dan 6) Semakin besar ekspektasi seseorang terhadap nilai imbalan, akan semakin kecil nilai imbalan tersebut pada masa yang akan datang. Adapun asumsi tentang sifat alamiah dari hubungan terdiri atas: 1) Pertukaran sosial dicirikan dengan saling ketergantungan, yakni kemampuan untuk memperoleh keuntungan merupakan satu kesatuan dari kemampuan untuk memberikan imbalan kepada orang lain, 2) Adanya pengalaman dalam hubungan menunjukkan bagian dari pertukaran, 3) Pertukaran sosial diatur dengan norma dan keadilan, 4) Kedinamisan hubungan sepanjang waktu tergantung pada pengalaman dari pelakunya. Senada dengan asumsi-asumsi terdahulu, Winton (1995) mengemukakan asumsi yang mendasari teori pertukaran adalah sifat-sifat manusia sebagai berikut: 1) Manusia adalah makhluk yang rasional.
Dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki, informasi, dan kemampuan untuk memprediksi masa depan, maka setiap manusia memilih keuntungan yang paling besar, yaitu mencari imbalan (rewards) yang paling besar atau mengeluarkan biaya (cost) yang paling rendah, 2) Manusia adalah aktor sekaligus reaktor.
Manusia
memiliki motivasi yang berasal dari diri sendiri, membuat keputusan sendiri, dan berinisiatif untuk melakukan aksi dengan menimbang hal-hal yang ditentukan oleh budayanya, 3) Orang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan imbalan, 4) Perilaku sosial tidak akan terulang kecuali perilaku yang menurut pengalaman masa lalu mendapat imbalan dan diharapkan mengeluarkan biaya termurah, 5) Jika terdapat alternatif yang tidak menguntungkan, maka alternatif yang dipilih adalah alternatif dengan kerugian terkecil, 6) Kehidupan sosial membutuhkan hubungan timbal balik (reciprocity), dan 7) Distribusi keadilan, mencakup perasaan bersalah jika menerima lebih banyak, merasa puas jika menerima semestinya, dan merasa marah jika menerima kurang, 8) Biaya untuk menerima hukuman akan lebih besar dari pada biaya yang telah dikeluarkan, dan 9) Individu beragam dalam menilai objek, pengalaman, hubungan, dan posisi.
16
Dalam teori pertukaran sosial terdapat konsep-konsep sebagai berikut: 1. Imbalan (rewards), dapat berupa materi secara fisik maupun non materi (sosial dan psikologis) seperti kesenangan dan kepuasan. 2. Biaya (costs) barupa materi maupun non materi seperti status, hubungan, interaksi, maupun perasaan yang tidak disukai. 3. Keuntungan (profit) yaitu selisih antara imbalan dan biaya. Individu selalu mencari keuntungan yang maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya. 4. Tingkat evaluasi atau tingkat perbandingan alternatif, yaitu suatu standar di mana seseorang dapat mengevaluasi imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan. 5. Norma timbal balik, adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik.
Konsep ini sangat penting, karena tanpa timbal balik tidak
mungkin akan terbentuk kehidupan sosial . 6. Pilihan, setiap manusia harus menentukan pilihan. Pengambilan keputusan merupakan output yang dijanjikan oleh pengambil keputusan. Teori Ekologi Keluarga. Pendekatan teori ekologi dalam menganalisis keluarga pertama kali dikembangkan oleh Bronfenbrenner yang menyatakan bahwa perkembangan anak merupakan hasil dari interaksinya dengan lima sistem dalam lingkungan di sekitarnya.
Kelima sistem tersebut adalah: 1)
mikrosistem, 2) mesosistem, 3) ekosistem, 4) makrosistem, dan 5) kronosistem. Selanjutnya berdasarkan teori ekologi tersebut, Deacon dan Firebaugh (1988) mengembangkan model ekologi keluarga yang memandang keluarga sebagai suatu subsistem dari sistem sosial lebih jelasnya yang saling berinteraksi. Gambar 1 memperlihatkan hubungan keluarga dengan lingkungannya. Dalam proses pegambilan keputusan, keluarga dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Lingkungan keluarga menurut Deacon dan Firebaugh (1988) lingkungan mikro dan makro. Pada lingkungan mikro, keluarga berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial yang ada di sekitarnya, yaitu tetangga. Kemudian lingkungan mikro ini berhubungan atau dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih besar yaitu lingkungan makro yang meliputi kondisi fisik (sumberdaya alam), sosial, politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi. Amsyari (1977), diacu dalam Siahaan (2004) secara lebih sederhana membagi lingkungan menjadi 3 macam, yaitu:
17
1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu di sekitar kita yang bersifat benda mati seperti gedung, sinar, air, dan lain-lain. 2. Llingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang bersifat organis, seperti: manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. 3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu manusia yang berada di sekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.
Alam/struktur LINGKUNGAN MAKRO
Sistem sosial LINGKUNGAN MAKRO
LINGKUNGAN MIKRO
Ekonomi
Buatan manusia
Sistem keluarga
Fisik
Politik
Fisik
Sosial
Sosial budaya
Teknologi
Biologi
Gambar 1. Lingkungan mikro dan makro dalam sistem keluarga (Deacon dan Firebaugh, 1988) Teori Gender. Menurut Donnel (1988) dan Eviota (1993), diacu dalam Mugniesyah (2007), gender adalah perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang tidak hanya berdasarkan biologis semata, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas, dalam bermasyarakat dan bernegara.
Gender juga dapat dikatakan sebagai proses melalui mana
individu-individu yang dilahirkan dalam kategori jenis kelamin laki-laki dan
18
perempuan yang kemudian memperoleh sifat-sifat maskulin dan feminin (Kabeer 1990, diacu dalam INSTRAW 1995). Selanjutnya menurut ILO (2000), gender mengacu pada perbedaanperbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari secara luas di antara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/zaman. Sedangkan menurut Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2001), gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peranana, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Terdapat tiga peranan gender menurut Mosher (1993), diacu dalam Mugniesyah (2007), yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai dan sejenisnya. Contoh: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga 3. Peran pengelolaan masyarakat dan politik yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni: a) peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat voluntir dan tanpa upah, b) pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yaitu peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung) dan meningkatkan kekuasaan atau status. Sementara itu, yang dimaksud dengan relasi gender adalah hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Peranan dan relasi gender sangat merupakan hal yang dinamis. Perubahan peranan gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan situasi ekonomi, sumberdaya alam, dan atau politik, termasuk perubahan usaha-usaha pembangunan atau penyesuaian
19
program struktural oleh kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global (Mugniesyah 2007). Dengan demikian, relasi gender juga terjadi pada proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga (Deacon & Firebough, 1988). Menurut King dan Mason (2005) dalam kehidupan keluarga sehari-hari, pengambilan keputusan
seringkali
dilakukan,
seperti
pengambilan
keputusan
dalam
menentukan menu makanan, menentukan pergi liburan, menentukan membeli baju, dan lain sebagainya. Menurut Guhardja et al. (1992), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarganya, yaitu: 1. Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk mengemukakan
pendapatnya.
Keputusan
yang
diambil
merupakan
keputusan bersama dan akan menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga. 2. Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut. 3. Pengambilan keputusan de facto, adalah pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa. Di
dalam
keluarga,
pola
pengambilan
keputusan
kewewenangan suami istri dalam mengambil keputusan.
menyangkut
Dalam hal ini pola
pengambilan keputusan dapat dibedakan atas pola tradisional dan pola modern. Pada pola tradisional, kewenangan mengambil keputusan hanya diberikan kepada suami.
Sedangkan istri hanya sebagai pendukung keputusan.
Sementara itu pada pola modern, keputusan diambil secara bersama-sama. Ada semacam kesamaan hak antara suami dan istri dalam mengambil keputusan, tanpa menghilangkan peran masing-masing. Sumarwan (2003) merangkum beberapa studi yang mengidentifkasi model pengambilan keputusan produk oleh sebuah keluarga sebagai berikut: 1. Istri dominan dalam pengambilan keputusan.
Istri memiliki kewenangan
untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya.
20
2. Suami dominan dalam pengambilan keputusan. Suami memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya atau anggota keluarganya. 3. Keputusan autonomi, yakni keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau suami tanpa tergantung dari salah satunya. Artinya istri bisa memutuskan pembelian produk tanpa bertanya kepada suami, begitu pula sebaliknya. 4. Keputusan bersama, artinya keputusan untuk membeli produk atau jasa dilakukan bersama antara suami dan istri. Menurut Beatric (1977), diacu dalam Guhardja (1992) orang yang berhak melakukan pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, kekuasaan, jenis kelamin, kompetensi, dan keakraban. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi.
Bahkan menurut Nettimi dan Fidzani
(2002) sumberdaya manusia diyakini sebagai faktor yang paling strategis dan krusial dalam pertumbuhan ekonomi.
Meskipun beberapa negara memiliki
potensi sumberdaya alam yang besar, namun belum tentu membuat ekonomi negara tersebut tumbuh cepat selama sumberdaya manusia yang ada tidak memiliki
persyaratan
untuk
mampu
memobilisasai
dan
menggunakan
sumberdaya alamnya secara efektif. Sumberdaya manusia menurut Deacon dan Firebaugh (1988) adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Sumberdaya manusia meliputi karakteristik personal,
yakni kognitif, keterampilan psikomotor, atribut afektif, kesehatan, energi, dan waktu.
Sumberdaya manusia juga mencakup pengetahuan, perasaan, dan
keterampilan yang merupakan kapasitas seorang manusia. Sementara itu modal manusia (human capital) adalah kapasitas yang dimiliki oleh seluruh individu atau manusia pada waktu tertentu yang dapat mempengaruhi sumberdaya dan penggunaannya di masa mendatang.
Para ekonom mendefinisikan human
capital sebagai sumberdaya manusia yang berpengaruh terhadap pendapatan di masa mendatang (future income).
Definisi mengenai human capital pertama
kali dikemukakan oleh Schultz (1960) yaitu berbentuk pengetahuan yang dimiliki oleh
penduduk
dan
kapasitas
penduduk
pengetahuannya secara efektif (Gandhi 2002).
tersebut
untuk
menggunakan
21
Pembangunan manusia yang holistik menurut Tjiptoherijanto dan Soemitro
(1998)
memandang
program
pembangunan
yang
dirancang
seharusnya bercirikan tentang, untuk, dan oleh penduduk dengan pengertian dasar bahwa: 1. Tentang penduduk (of people), pemberdayaan yang diupayakan melalui investasi bidang-bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial dasar lain. 2. Untuk penduduk (for people), pemberdayaan penduduk yang diupayakan melalui program penciptaan peluang bekerja dan memperluas peluang berusaha (dengan cara memperluas kegiatan ekonomi suatu wilayah). 3. Oleh
penduduk
meningkatkan
(by
pemberdayaan
people),
harkat-martabat
melalui
penduduk
peningkatan
yang
dapat
partisipasi
dalam
pengambilan keputusan di bidang politik dan proses pembangunan. Tujuan atau sasaran pembangunan manusia sebenarnya menyangkut bidang yang sangat luas, tetapi jika diprioritaskan dapat dipersempit ke dalam tiga tujuan yaitu: (1) usia hidup (longevity); (2) pengetahuan (knowledge); dan standara hidup layak (decent living). Kualitas Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan asset sekaligus tujuan dari pembangunan manusia (human development). menurut konsep UNDP
Pembangunan manusia
merupakan suatu proses untuk memperluas pilihan
manusia, terutama dalam hal memperpanjang hidup sehat, lebih berpendidikan, dan menikmati standar hidup yang layak. Disamping pilihan utama, terdapat pilihan tambahan yang terdiri atas kebebasan berpolitik, keterjaminan hak asasi, dan penghargaan diri (Subraman 2002; Ranis et al. 2006). Menurut Hardinsyah (2007), kualitas sumberdaya manusia didefinisikan sebagai sekumpulan ciri yang menunjukkan keunggulan manusia yang dapat dicermati sebagai individu, kelompok atau masyarakat di suatu wilayah. Para ahli telah melakukan studi mengenai pembangunan manusia dari berbagai aspek. Tabel 1 memperlihatkan persyaratan-persyaratan pembangunan manusia yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Ranis, Stewart, dan Samman (2006) mengusulkan dimensi yang lebih luas dalam pembangunan manusia beserta indikatornya, yaitu:
22
Tabel 1 Persyaratan untuk pembangunan manusia dari berbagai ahli Pengarang
Rawls (1972)
Pendefinisian konsep
Barang primer
Kesehatan jasmani, kekuatan dan keselamatan
Kesejahteraan jasmani
Kesejahteraan materi
Pendapatan dan kekayaan
Pengetahuan praktis yang memiliki dasar
Pengembangan mental
Pekerjaan
Finnis, Grisez, dan Boyle (1987) Nilai dasar manusia
Kebebasan dalam jabatan
ketrampilan dalam bekerja
Keamanan
Hubungan sosial
Penghargaan
Kebutuhan dasar dan sekunder Kesehatan fisik: - Gizi: makanan dan air - Pemeliharaa n kesehatan - Pemeriksaan kelahiran bayi dan pengasuhan anak yang aman - Lingkungan fisik yang aman - Perlindungan Perumahan - Keamanan secara ekonomi Pendidikan dasar
Nussabaum (2000) Kemampuan fungsi sentral manusia Hidup Kesehatan jasmani Keutuhan jasmani
NarayanParker (2000) Dimensi kesejahtreaan
- Kesejahteraan materi - Makanan - Asset -
Perasaan Imaginasi Pemikiran Emosi Alasan praktis Pekerjaan
Keamanan fisik
- Damai - Lingkungan yang aman - Kepastian hukum - Keamanan fisik - Keamanan di hari tua Kesejahteraan sosial: -Keluarga -Penghargaan dan martabat - Hubungan masyarakat
Penghargaan
Hak, kebebasan, peluang Kekuatan dan kekuasaan di kantor dan bertanggung jawab Kebebasana untuk pindah
Penghargaan terhadap sesama Sumber: Ranis, Stewart, Samman (2006)
Kualitas hidup
Lumbung makanan
Pendidikan
Pekerjaan
Hubungan antar sesama
Camfield (2005)
- Kesejahteraan jasmani - Akses terhadap pelayanan kesehatan - Lingkungan fisik yang bagus
Hubungan harmonis dengan sumber kehidupan
Kesejahteraan spiritual
Pemberdayaa n dan kebebasan politik
Persahabatan
Doyal dan Gough (1993)
Agama
Agen kemandirian: - Hak warganegara dan politik - Partsisipasi politik
Control over one’s environment
Kepada sesama
Kebebasan dalam memilih dan bertindak
23
1. Komponen Human Development Index : kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (tingkat melek huruf penduduk dewasa dan angka lama sekolah), dan pendapatan. 2. Kesejahteraan mental: angka bunuh diri laki-laki, angka bunuh diri perempuan, kepuasan hidup, tawanan per jumlah penduduk. 3. Keberdayaan:
angka kemiskinan, Human Poverty Index (HPI), Gender
Empowerment Measure (GEM), angka partisipasi sekolah lanjutan lakilaki/perempuan, penggunaan alat kontarsepsi, perempuan (usia 15-19 tahun) yang
menikah,
rasio
perempuan
di
parlemen,
banyaknya
serikat
pekerja/koperasi. 4. Kebebasan berpolitik:
kemerdekaan berpolitik dan berwarganegara,
kebebasan beribadat, angka teror politik, kebebasan berpolitik, kebebasan pers, hukum yang independen. 5. Hubungan sosial: teman sangat penting, keluarga sangat penting, toleransi antar tetangga, angka perceraian kasar. 6. Kesejahteraan masyarakat: angka kejahatan, penggunaan alkohol, korupsi, angka anak yatim, kematian akibat AIDS, persentase gedung pemerintahan yang dipakai untuk organisasi, kepercayaan terhadap orang lain, peraturan perundangan, institusi publik, penduduk yang terkena bencana alam, toleransi antar tetangga. 7. Ketimpangan: kesenjangan pendapatan, ketidakmerataan horizontal (HIs), ketimpangan desa/kota, Gender Development Index (GDI), ketidakmerataan kebahagiaan, ketidakmerataan kesehatan. 8. Kondisi pekerjaan: pengangguran, kondisi pekerja, pekerja informal, tenaga kerja anak, kebijakan upah minimum. 9. Kondisi leisure: ketersediaan telepon, penggunaan internet, penggunaan radio, penonton bioskop, sirkulasi surat kabar, kepemilikan pesawat TV. 10. Dimensi keamanan ekonomi / stabilitas ekonomi: siklus GDP, fluktuasi indeks harga konsumen (CPII), pabrik per total ekspor, investasi asing per GDP, fluktuasi perdagangan, penutupan keamanan sosial. 11. Dimensi keamanan politik/bebas dari kejahatan politik atau instabilitas : stabilitas politik, arus pengungsi, kekerasan massal, kekerasan politik. 12. Kondisi lingkungan: indeks keberlanjutan lingkungan.
24
Di Indonesia, Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998 juga menjelaskan berbagai indikator yang terkait dengan pembangunan manusia. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Isu-isu pembangunan manusia dan indikatornya Dimensi/Isu Pembangunan Manusia A.
B.
C.
Kelangsungan Hidup: - Derajat kesehatan penduduk secara umum rendah - Kelangsungan hidup balita rawan - Status kesehatan lingkungan rendah - Cakupan pelayanan kesehatan masih terbatas Pengetahuan: - Taraf pengetahuan penduduk rendah - Partisipasi pendidikan usia sekolah rendah - Penilaian orangtua terhadap pendidikan anak rendah - Tipologi daerah tidak kondusif untuk pendidikan formal Standar Hidup Layak: - Pendapatan rendah - Akses terhadap sumber ekonomi timpang
- Sarana pemasaran produk pertanian terbatas
Indikator Angka harapan hidup waktu lahir Angka kematian balita Persentase balita dengan gizi kurang Persentase rumah tangga yang memiliki WC dengan tangki septik Persentase balita yang memperoleh imunisasi lengkap Rata-rata lama sekolah Persentase penduduk usia 13-15 tahun yang berstatus masih sekolah Persentase orangtua yang lebih cenderung agar anaknya bekerja daripada sekolah Persentase penduduk bekerja di sektor pertanian PDRB per kapita Rata-rata konsumsi per kapita Persentase penduduk miskin Persentase petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki tetapi kurang dari 0,25 Ha Persentase rumah tangga berjarak lebih dar 10 km ke pasar inpres Persentase desa yang mempunyai pasar permanen
Sumber: Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998.
Faktor-faktor Penentu Kualitas Sumberdaya Manusia Gani 1984 dalam Tjiptoherijanto dan Soemitro 1998 mengemukakan hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia dan penduduk (Gambar 2). Kesehatan merupakan aspek penting dalam kualitas sumberdaya manusia.
Menurut definisi WHO (1974) yang disebut dengan sehat adalah
memiliki fisik yang lengkap dan sejahtera secara mental dan sosial.
Dalam
menguklur kesehatan, alat ukur yang lebih banyak digunakan adalah integrasi antara mortalitas dengan morbiditas (Molla & Lubitz 2008).
25
Kualitas manusia (individual):
Kualitas input:
Fisik : - Ukuran/berat - Tenaga - Daya tahan
Gizi Pendidikan Lingkungan: - Fisik - Biologis - Sosial ekonomi
Kualitas penduduk (Sosial): Fisik : - VDR - IMP - PQLI - HDI
Non Fisik: - Kecerdasan - Emosional - Budi - Iman
Non Fisik: - Produktivitas penduduk - Disiplin sosial - Kemandirian - Solidaritas sosial - Etika lingkungan
Output: - Kreativitas - Produktivitas - Disiplin/etos kerja - Kemandirian/ identitas diri
Gambar 2 Hubungan antara input dan output dalam pembentukan kualitas manusia dan penduduk (Tjiptoherijanto & Soemitro 1998) Kesehatan penduduk dapat diestimasi dengan berbagai ukuran. Salah satu cara terpenting untuk mengukur tingkat kesehatan masyarakat adalah angka harapan hidup (life expectancy = LE). Ukuran lain yang sering digunakan antara lain Healthy Life Expectancy (HLE) dan Disability Free Life Expectancy (DFLE).
Angka harapan hidup saat lahir merupakan indikator kesehatan
penduduk. Jika penduduk tidak mengalami penyakit kronis atau cacat maka LE akan meningkat (Postnote 2006).
Healthy Life Expectancy (HLE) digunakan
untuk mengestimasi lama tahun hidup sehat seseorang selama hidupnya. Dalam mengukur HLE terdapat dua
tipe perhitungan, pertama adalah General HLE
yaitu keadaan yang dirasakan seseorang selama 12 bulan terakhir mengenai kesehatannya. Tipe perhitungan kedua adalah LE bebas dari penyakit yang berkepanjangan.
Disability
Free
Life
Expectancy
(DFLE)
mengukur
ketidakmampuan atau kecacatan seseorang dengan melihat keterbatasan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, sekolah, dan leisure. Indikator kesehatan yang dipakai oleh Beegle et al. (2005) dalam melakukan penelitian tentang pekerja anak terdiri atas: 1) Penyakit yang dialami individu selama 4 minggu terakhir
26
2) Jumlah hari sakit selama 4 minggu terakhir, dan 3) Indikator status gizi, yaitu Body Mass Index (BMI) atau berat per tinggi tubuh. Menurut Zuluaga (2004), tingkat kesehatan yang mencakup akses terhadap fasilitas kesehatan (asuransi dan lain-lain), prevensi kesehatan dan kondisi kesehatan memiliki hubungan yang positif dengan pendidikan. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada tingkat pendapatan yang sama memiliki perilaku hidup sehat yang lebih baik. Akses terhadap fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Aspek geografis, seperti kedekatan tempat tinggal dengan tempat pelayanan akan
memberikan
efek
positif
pada
pemanfaatan
pelayanan
melalui
pengurangan biaya perjalanan dan waktu yang diperlukan untuk pergi ke tempat pelayanan (Raghupaty 1996; Thaddeus dan Maine 1993; Timyan 1993 diacu dalam Widaningrum 2003). Faktor lain yang menjadi pertimbangan untuk mengakses pelayanan kesehatan adalah kualitas pelayanan. Hal ini dikemukakan oleh Airey (1989), diacu dalam Widaningrum (2003) bahwa di dataran tinggi Guatemala, meskipun jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan dekat namun tidak menjamin tingkat pemanfaatan yang tinggi. Hal ini disebabkan kurangnya peralatan dan petugas kesehatan. Kualitas pelayanan menjadi penting ketika pasien tersebut memiliki akses ke lebih dari satu fasilitas pelayanan. Fasilitas kesehatan mencakup aspek institusional seperti waktu tunggu dan kepadatan pasien di tempat pelayanan, serta jarak sosial antara petugas pelayanan dengan pasien. Selain faktor geografis dan kualitas pelayanan kesehatan, karakteristik individu, rumah tangga, atau komunitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Barlow dan Diop
(1995) diacu dalam Widaningrum (2003) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan memperkuat individu untuk memanfaatkan pelayanan karena pemahaman terhadap pentingnya status kesehatan. Chernichovsky dan Meesok (1985) menghitung perubahan proporsi pengeluaran untuk kesehatan terhadap total pengeluaran rumah tangga. Secara rata-rata 10 persen peningkatan pengeluaran rumah tangga di Indonesia menyebabkan tujuh persen peningkatan pengeluaran untuk kesehatan, dan 10 persen peningkatan jumlah anggota rumah tangga menyebabkan tujuh persen peningkatan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Hal ini menunjukkan
27
bahwa permintaan (demand) terhadap pelayanan kesehatan tidak elastis terhadap pendapatan. Sementara itu hasil penelitian Widaningrum (2003) di wilayah pedesaan Kabupaten Purworejo menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menghambat pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu dari sisi permintaan dan dari sisi persediaan. Dari sisi permintaan atau masyarakat pengguna, hambatan yang ada adalah keterbatasan informasi serta akses finansial dan non finansial. Sedangkan faktor penghambat dari sisi penyediaan adalah pembiayaan kesehatan dan kualitas pelayanan. Kurangnya
informasi
mencakup
pemahaman
masyarakat
tentang
pentingnya kesehatan dan fasilitas kesehatan seperti obat, rumah sakit, dokter, dan lain-lain. Akses finansial adalah tingginya biaya pelayanan, yang terdiri atas biaya transportasi, pemeriksaan, dan pengobatan.
Sementara itu akses non
finansial meliputi kenyamanan sosial-psikologis yang antara lain terdiri atas kemudahan sarana transportasi menuju tempat pelayanan, persepsi terhadap petugas kesehatan dan kualitas pelayanan. Dari sisi penyediaan, kinerja pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas pelayanan. Sedangkan kuantitas dan kualitas kesehatan sangat tergantung pada pembiayaan kesehatan yang tersedia. Alokasi biaya kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat kecil. Sampai tahun 2003 rata-rata anggaran pemerintah untuk kesehatan hanya 1,4 persen dari APBN.
Padahal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
anggaran kesehatan suatu negara harus diupayakan minimal 5-6 persen dari APBN. Dalam literatur mengenai human capital yang dipelopori oleh Schultz (1961) dan Becker (1964), pendidikan dipandang sebagai investasi sumberdaya manusia di masa sekarang untuk mendapatkan hasil di masa yang akan datang. Schultz (1961) menyatakan bahwa pengetahuan dan keterampilan adalah bentuk dari kapital yang merupakan hasil investasi yang disengaja.
Pendidikan dan
training dapat meningkatkan peluang dan pilihan bagi individu untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Becker (1964) mengasumsikan bahwa individu memilih pendidikan untuk memaksimumkan pendapatan di masa yang akan datang. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap school enrollment adalah kemiskinan, baik kemiskinan rumah tangga maupun tingkat kemiskinan kelompok (cluster level poverty).
Berdasarkan hasil penelitian Ray (2001),
28
kemiskinan berpengaruh negatif terhadap keterlibatan anak dalam sekolah. Dengan demikian semakin miskin suatu rumah tangga atau masyarakat, akan semakin rendah keterlibatan anak dalam sekolah (school enrollment). Hasil penelitian Ray (2001) di negara Asia Selatan juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang dewasa dalam keluarga memiliki pengaruh positif yang kuat terhadap tingkat keterlibatan anak-anak dalam sekolah. Disamping itu ketersediaan infrastruktur sekolah khususnya kualitas berpengaruh nyata terhadap kemauan orangtua untuk membayar biaya sekolah bagi anakanaknya, sehingga keterlibatan anak dalam sekolah menjadi lebih besar. Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pendidikan atau keterlibatan dalam sekolah dapat meningkatkan pendapatan. Hasil penelitian Psacharopoulus
dan
Patrinos
(2002)
menunjukkan
bahwa
peningkatan
pendapatan akibat sekolah di negara-negara sedang berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan di negara berkembang. Di Asia dan USA, satu tahun sekolah dapat meningkatkan pendapatan sebesar 10 persen, bahkan di Amerika Latin dan Caribia dapat meningkatkan pendapatan 12 persen. Sementara itu di negara-negara OECD satu
tahun sekolah hanya dapat
meningkatkan pendapatan sebesar 7,5 persen (Beegle et al. 2005). Anak-anak yang telah bekerja biasanya akan mengurangi waktunya untuk sekolah. Hal ini sesuai dengan penelitian Heady (2003) di Ghana yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara anak bekerja dengan tingkat pendidikan. Hubungan negatif mengandung arti bahwa semakin banyak anakanak bekerja, maka tingkat pendidikan semakin rendah.
Selain tingkat
pendidikan, kemampuan anak dalam membaca juga menurun seiring banyaknya jam kerja anak (Akayabashi dan Psacharopoulus 1999 diacu dalam Beegle et al. 2005).
Dengan demikian faktor-faktor yang dapat menaikkan jumlah jam kerja
anak juga akan menurunkan tingkat partisipasi sekolah (Patrinos dan Psacharopoulus 1995, diacu dalam Beegle et al. 2005). Pendidikan ayah dan pendidikan ibu berhubungan positif signifikan dengan tingkat partisipasi sekolah dan pendidikan anak. Demikian pula halnya dengan pengeluaran per kapita yang berhubungan positif dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Selain faktor pendidikan orangtua, faktor
kesehatan menurut Glewwe et al. 2001 dan Alderman et al. 2001 juga terkait dengan pendidikan. Meningkatkan status kesehatan akan dapat meningkatkan partisipasi sekolah dan produktivitas ekonomi (Beegle et al. 2005).
29
Kesejahteraan Keluarga dan Kemiskinan Konsep Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan
(well-being)
didefinisikan
sebagai
kualitas
hidup
seseorang atau unit sosial lain (Behnke & MacDermid 2004). Kualitas hidup individu terdiri dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun psikologisnya. Siahaan (2004) menyebutkan patokan kualitas hidup adalah nilai kuantitatif dengan standar yang minimal (kebutuhan pangan, sandang, rumah, dan kebutuhan urgen lainnya yang cukup). Sumarwoto, diacu dalam Siahaan (2004) memberikan satu parameter kualitas hidup yang lebih universal, yaitu besarnya pilihan.
Semakin lapangnya kebebasan untuk menentukan pilihan,
maka kualitas kehidupan semakin tinggi. Derajat pilihan tersebut dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: 1) Faktor diversifikasi/keanekaan.
Keanekaan akan membuka pilihan-pilihan
yang lebih baik banyak, sehingga meningkatkan kualitas kehidupan. Keragaman pangan, energi, fasilitas-fasilitas hidup dan kesempatankesempatan
yang
beranekaragam
akan
membuat
hidup
lebih
baik
dibandingkan dengan keanekaragaman yang kurang. 2) Faktor pendidikan, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka derajat pilihan semakin baik pula. Orang yang berpendidikan akan lebih banyak tahu tentang apa yang lebih baik untuk kesehatan dan pilihan gizinya. 3) Faktor kestabilan atau kemampuan ekonomi 4) Adanya jaminan dan pengembangan hak. Kesejahteraan individu dapat dilihat dari pengalaman pribadi atau penilaian individu tersebut, seperti persepsi terhadap kesejahteraan emosional atau spiritual, atau melalui pengukuran objektif seperti indeks kesehatan fisik, misalnya tekanan darah (Diener 1984, diacu dalam Behnke & MacDermid 2004). Dengan definisi tersebut, pengukuran kesejahteraan keluarga menjadi lebih kompleks, karena keluarga terdiri dari kumpulan individu yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan keluarga. Terdapat dua pendekatan dalam pengukuran kesejahteraan keluarga. Menurut Thompson dan Walker (1982), diacu dalam Behnke dan MacDermid (2004), pengukuran kesejahteraan keluarga dengan pendekatan yang sederhana adalah
dengan
mengukur
kesejahteraan
individu
seluruh
anggotanya.
Kesejahteraan keluarga merupakan gabungan dari kesejahteraan individu tersebut. Pada pendekatan kedua, kesejahteraan keluarga dipandang lebih dari
30
sekedar penggabungan dari kesejahteraan individu, tetapi merupakan suatu hal yang berbeda.
Dalam pendekatan ini selain kesejahteraan inidividu anggota
keluarga, juga dilihat hubungan diadik antar anggota, dan kesejahteraan keluarga secara menyeluruh. Berbagai indikator atau cara pengukuran kesejahteraan keluarga telah digunakan, namun demikian tidak ada ukuran yang tepat atau ideal untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga.
Martinez et al. (2003) menelaah
sebanyak 36 laporan dan hasil penelitian atau studi tentang kesejahteraan keluarga. Hasil content analysis menunjukkan bahwa terdapat berbagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga (family well-being). Meskipun seluruh dokumen tidak secara spesifik mendefinisikan kesejahteraan keluarga, namun secara umum kesejahteraan keluarga digambarkan berkenaan dengan aspek kesehatan (health and wellness), faktor-faktor ekonomi (economic factors), kehidupan keluarga yang sehat (healthy family life), pendidikan (education), kehidupan bermasyarakat dan dukungan masyarakat (community life and community support), serta budaya dan keberagaman (culture and diversity). Di Indonesia, dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1992 dijelaskan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Melihat definisi tersebut, kesejahteraan keluarga terdiri dari
berbagai aspek, tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga psikis. Beranjak
dari
itu,
Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
(BKKBN)
mengembangkan indikator keluarga sejahtera yang mencakup berbagai aspek tersebut. BKKBN
(1999)
mengklasifikasikan
keluarga
berdasarkan
tingkat
kesejahteraannya ke dalam lima kategori, yaitu: Keluarga Pra Sejahtera (PraKS), Keluarga Sejahtera Tahap 1 (KS-1), Keluarga Sejahtera Tahap 2 (KS-2), Keluarga Sejahtera Tahap 3 (KS-3), dan Keluarga Sejahtera Tahap 3 plus (KS-3 plus). Keluarga akan tergolong pada keluarga pra sejahtera jika belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, papan, dan kesehatan. digunakan di Indonesia hingga kini.
Indikator BKKBN tersebut masih
31
Suryadarma et al. (2005) menyampaikan hasil uji coba sistem pemantauan kemiskinan baru yang menurutnya memiliki tiga keunggulan dibandingkan dengan sistem yang sekarang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi orang miskin. Pertama, sistem ini melibatkan masyarakat lokal, sehingga hasil yang didapat memanfaatkan pengetahuan lokal. Kedua, indikator kemiskinan yang dihasilkan peka terhadap kondisi kemiskinan lokal, akurat, dan tidak mudah dimodifikasi. Ketiga, pemrosesan data sangat cepat. Indikator tersebut dikenal dengan pendekatan community base management system (CBMS).
Variabel yang digunakan sebagai indikator
kesejahteraan keluarga dengan pendekatan CBMS adalah sebagai berikut: kepemilikan aset, kepemilikan binatang ternak, status perkawinan, jenis kelamin kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangannya, anggota keluarga yang bekerja, sektor pekerjaan, akses terhadap lembaga keuangan, konsumsi makanan dan indikator kesehatan, indikator kesejahteraan lainnya, partisipasi politik dan akses kepada informasi. Pengukuran tingkat kesejahteraan yang telah dikemukakan tersebut semuanya merupakan ukuran objektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach). Pendekatan ini menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi untuk keluar dari kemiskinan. Dewasa ini telah banyak dilakukan pengukuran kesejahteraan dengan pendekatan subyektif, yaitu menilai kesejahteraan berdasarkan persepsi atau pandangan masyarakat itu sendiri (Rettig & Leichtentritt 1999; Suwandi 2007). Konsep Kemiskinan Jika kesejahteraan didefinisikan sebagai terpenuhinya kebutuhan materiil dan spirituil yang layak, maka kemiskinan merupakan kondisi sebaliknya. Badan Pusat
Statistik
(2002)
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
kondisi
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar manusia terdiri dari pangan-sandang yang selanjutnya oleh BPS dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok makanan dan bukan makanan.
Melihat definisi
tersebut, maka penduduk atau keluarga miskin identik dengan tidak sejahtera, karena belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan dapat didefinisikan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Biasanya konsep kemiskinan terkait dengan kondisi ekonomi atau sosial, dan implikasi untuk kebijakan .
Pendekatan
yang
digunakan
dalam
Strategi
32
Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) adalah bahwa kemiskinan dapat dipandang sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan,
pekerjaan,
perumahan,
air
bersih,
pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosialpolitik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BPS menggunakan beberapa pendekatan utama yaitu: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach), serta pendekatan objektif dan subjektif (Sahdan 2007). Pendekatan
kebutuhan
dasar
melihat
kemiskinan
sebagai
suatu
ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Seseorang dikatakan miskin jika pendapatan perkapita atau konsumsinya di bawah garis kemiskinan (Coudouel dan Hentschel 2000, diacu dalam Nunan et al. 2002). Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan
dasar
seperti
kemampuan
membaca
dan
menulis
untuk
menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat keluar dari kemiskinan. Pendekatan
subyektif
menilai
kemiskinan
berdasarkan
pendapat
atau
pandangan orang miskin sendiri (Sahdan 2007). Sebenarnya konsep tentang kemiskinan telah dikembangkan sejak lama. Pada Tahun 1901, Rowtree memandang kemiskinan dari pendapatan. Tabel 3
33
memperlihatkan beberapa konsep kemiskinan sejak tahun 1900an sampai tahun 2000an. Tabel 3 Beberapa konsep tentang kemiskinan Waktu (tahun) 1900an 1970 an 1980 an
1990 an
2000 an Sumber:
Konsep Kemiskinan
Income-poverty Basic needs mode Food entitlement Right-based approach Empowerment Gender issues Vulnerability Social exclussion Self-respect Environmental entitlement Livelihood approach Human development Béné (2003).
Pencetus Rowtree, 1901 ILO Sen, 1981 UNICEF e.g. Chambers, 1983 e.g. Agarwal, 1985 e.g. Swif, 1989 MDM – France e.g. Beck, 1994 e.g. Leach, Mearns & Scooner, 1995 e.g. UNDP, DFID, Oxfam e.g. UNDP, 2000
Secara teoritis, cara pandang terhadap kemiskinan dapat dibedakan atas dua paradigma, yaitu paradigma neo liberal dan demokrasi sosial (socialdemocracy).
Para pendukung neo liberal berargumen bahwa kemiskinan
merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat residual, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan.
Peran negara hanyalah sebagai penentu terakhir yang baru boleh
ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Depdagri dan LAN, 2007). Sebaliknya, para pendukung teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural.
Kemiskinan
disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumbersumber kemasyarakatan. Oleh karenanya, strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh pendukung teori tersebut juga berbeda. Kemiskinan dapat ditanggulangi dengan melakukan perubahan yang fundamental terhadap polapola pendistribusian pendapatan melalui intervensi negara dan kebijakan sosial. Perbedaan antara pandangan kemiskinan dari teori neo-liberal dan demokrasi sosial dapat dilihat pada Tabel 4.
34
Tabel 4 Teori Neo-liberal dan Demokrasi Sosial tentang Kemiskinan Paradigma
Neo-liberal
Demokrasi sosial
Landasan teoritis
Individual
Struktural
Konsep dan indikator
Kemiskinan absolut
Kemiskinan relatif
Penyebab kemiskinann
Kelemahan dan pilihan-pilihan individu; lemahnya pengaturan pendapatan; lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh)
Ketimpangan struktur ekonomi dan politik; ketidakadilan sosial
Strategi penanggulangan kemiskinan
Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif. Memberi pelatihan keterampilan pengelolaan keuangan melalui inisiatif masyarakat dan LSM
Penyaluran pendapatan dasar secara universal. Perubahan fundamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui intervensi negara dan kebijakan sosial
Sumber: Cheyne et al. (1998) dalam Depdagri dan LAN 2007.
Terdapat banyak indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan.
Bank
Dunia menggunakan ukuran pendapatan. Jika orang desa memiliki pendapatan kurang dari 50 dolar per tahun dan kota 75 dolar pertahun, mereka digolongkan miskin.
Di Indonesia, ukuran kemiskinan yang biasa digunakan antara lain
ukuran kemiskinan yang dikembangkan Sajogyo (1973) dan garis kemiskinan yang dikeluargan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). dikembangkan
oleh
Sajogyo
adalah
dengan
Garis kemiskinan yang
menggunakan
pendekatan
pengeluaran per kapita per tahun disetarakan dengan 240 kg beras bagi penduduk perdesaan dan 360 kg beras bagi penduduk perkotaan. BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Kebutuhan minimum pangan menggunakan standar tingkat kecukupan konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori per kapita per hari. Selain itu, BPS juga telah menentukan indikator keluarga miskin yang digunakan dalam program pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai akibat kebijakan kenaikan harga BBM.
Terdapat 14 variabel yang dijadikan sebagai indikator keluarga
miskin yang mencerminkan rumah tangga miskin dilihat dari kondisi rumah tinggal dan pemenuhan kebutuhan dasar lain seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
35
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Kesejahteraan Keluarga Secara kontekstual, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga mencakup: konteks ekonomi, sosial, dan konteks komunitas (Behnke & MacDermid 2004). Dari konteks ekonomi (economic context), akses terhadap pekerjaan yang sesuai dan stabiltas finansial merupakan penentu kesejahteraan. Hasil kajian Ross dan Mirowsky (1992) menemukan bahwa semakin tinggi pendapatan akan meningkatkan sense of control dari laki-laki maupun perempuan.
Di sisi lain, keluarga dengan pendapatan rendah berpengaruh
terhadap kesejahteraan anak dan keluarga (Marshall, et.al 1997; Zedlewski 2002). Penemuan lain adalah bahwa pendapatan berkorelasi negatif dengan persepsi terhadap stress dan berkorelasi positif dengan persepsi terhadap kesejahteraan (Jacobs & Gerson 2001; Kinnunen & Mauno 1998, diacu dalam Behnke & MacDermid 2004 ). Dalam konteks sosial, indikator kesejahteraan keluarga adalah integrasi sosial (Campbell 1997).
Integrasi sosial seringkali diukur dengan melihat
keterlibatan anak dalam kegiatan sekolah dan teman-temannya, keterlibatan orangtua dengan rekan sekerja, tetangga, dan keluarga (Bowen & Richman 2001; Stroh & Brett 1990). Adapun konteks komunitas lebih difokuskan pada peran kehidupan bertetangga (lingkungan sekitar) dan pengaruh karakteristisk lingkungan perumahan terhadap fungsi keluarga dan perkembangan anak (Bowen & Richman 2001).
Salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kemiskinan adalah pendidikan.
Berdasarkan berbagai literatur tentang sumberdaya
manusia, pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan tidak terbatas hanya pada hal-hal yang terkait dengan uang melalui pendapatan dan upah, akan tetapi juga menyangkut aspek yang tidak terkait dengan uang seperti kesehatan, gizi, perumahan, dan lain-lain (Zuluaga, 2005).
Senada dengan pendapat tersebut,
hasil penelitian Milcher (2006) di Roma, Italia, menyebutkankan bahwa kemiskinan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain karakteristik keluarga, pendidikan anak, dan pendapatan. Di Indonesia, kemiskinan yang terjadi di perdesan antara lain juga disebabkan karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia, yang ditandai dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan yang rendah (Tjondronegoro et al. 1994, diacu dalam Tjiptoherijanto dan Soemitro 1998). Faktor
lain
yang
dapat berpengaruh terhadap kemiskinan adalah ketergantungan terhadap
36
sumberdaya alam. Berbagai penellitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kemiskinan dengan ketergantungan dengan sumberdaya alam. Godha (1986), diacu dalam Narain et al. (2005) melakukan penelitian terhadap 502 rumah tangga di 21 desa di India. Pada rumah tangga miskin, 9-26 persen dari pendapatan tahunannya bergantung pada sumberdaya alam, sedangkan rumah tangga kaya hanya satu sampai dengan empat persen. Hasil penelitian lain dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara kemiskinan dan ketergantungan pada sumberdaya alam No.
Kasus
1. 2.
502 RT di 21 desa di India 232 RT di 12 desa di Himalaya 3. 197 RT di 29 desa di Zimbabwe 4. 330 RT di 8 kelompok pengguna hutan di Nepal Sumber: Narain et al. (2005)
Ketergantungan pada SDA (%)
Peneliti
Miskin
Kaya
9-26 22,78
1-4 4,26
40
30
Godha (1986) Reddy dan Chakravanty (1999) Cavendish (2000)
14
22
Adhikari (2003)
Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada umumnya, rumah tangga miskin lebih banyak tergantung kepada sumberdaya alam daripada rumah tangga kaya. Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi pengguna hutan di Nepal menurut hasil penelitian Adhikari 2003. Pada komunitas pengguna hutan justru rumah tangga kaya lebih banyak yang tergantung pada sumberdaya alam yaitu sebesar 22 persen, sedangkan rumah tangga miskin hanya 14 persen. Hasil penelitian Papilaya (2006) menyebutkan bahwa menurut rumah tangga miskin,
akar penyebab kemiskinan meliputi:
1) kurang produktifnya
perilaku rumah tangga miskin, 2) kurang normatifnya perilaku elitis, 3) lemahnya kepribadian rumah tangga miskin, 4) memudarnya sistem nilai budaya, 5) kuatnya kepentingan elitis, 6) ketimpangan infrastruktur, 7) persaingan yang tidak adil dan, 8) deprivasi kapabilitas asset produksi. Kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin yang tercermin dari rendahnya tingkat kognitif, sikap mental, dan keterampilan dalam menanggulangi kemiskinan merupakan akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan. Selanjutnya Papilaya (2006) juga menjelaskan faktor-faktor determinan yang
berpengaruh
langsung
maupun
tidak
langsung
terhadap
tingkat
kesejahteraan rumah tangga miskin menurut tipologi perkotaan dan tipologi perdesaan. Faktor modal sosial yaitu tingkat kepercayaan sosial dan gotong
37
royong merupakan faktor yang pengaruhnya paling kuat
terhadap tingkat
kesejahteraan rumah tangga miskin perkotaan. Faktor lain yang juga secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin di perkotaan adalah modal fisik (akses terhadap kelembagaan dan perumahan) dan modal politik (akses terhadap kebijakan publik dan kebijakan terhadap kemiskinan).
Sedangkan faktor modal manusia dan perilaku rumah tangga
miskin berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan rumah tangga miskin di perkotaan. Sementara itu faktor-faktor determinan yang berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin di pedesaan terdiri dari: faktor modal alamiah (akses terhadap sumberdaya alam), modal fisik (akses terhadap kelembagaan dan kondisi perumahan), modal finansial (pendapatan dan sumber modal usaha), dan perilaku rumah tangga miskin (aspek pengetahuan/kognitif dan keterampilan/ psikomotorik. Adapun modal manusia berpengaruh tidak langsung terhadap tingkat kesejahteraan (Papilaya 2006). Karakteristik Wilayah dan Masyarakat Pesisir Karakteristik Wilayah Pesisir Wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal.
Wilayah
dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: (1) wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah perencanaan, dan (4) wilayah administratif (Budiharsono 2001). Willayah pesisir dari konsep wilayah bisa termasuk dalam keempat jenis wilayah tersebut. Sebagai wilayah homogen, pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya di bawah garis kemiskinan.
Sebagai wilayah nodal, pesisir
seringkali sebagai wilayah belakang yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Wilayah pesisir juga sebagai penyedia input bagi wilayah inti dan merupakan pasar output (barang-barang jadi) dari inti. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa. Namun dapat juga berupa kabupaten/kota yang berupa pulau kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Oleh karenanya, batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas wilayah administratif.
38
Sementara itu menurut Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (
2003
), wilayah pesisir (coastal zone) secara sederhana dapat dipahami sebagai
wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, ke arah laut 12 mil dari garis pantai menjadi kewenangan provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu dan ke arah darat batas administrasi untuk kabupaten/kota. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebagai wilayah yang merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara bio-geofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosesproses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir Jawa Barat terbagi atas dua wilayah yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu wilayah pesisir pantai utara (pantura) dan wilayah pesisir pantai selatan (pansela). Menurut Fandora (2007), wilayah pesisir utara Jawa Barat memiliki topografi yang landai dengan perairan yang relatif dangkal. Dasar perairan bersubstrat lumpur dan pasir. Pola arus dipengarhui oleh arus Laut Jawa. Vegetasi terdiri dari mangrove dan rawa-rawa. Sementara itu pesisir selatan memiliki topografi yang terjal dengan perairan yang relatif dalam. Dasar perarian bersubtrat pasir dan karang. Pola arus dipengaruhi oleh arus Samudera Hindia sehingga memiliki gelombang yang relatif besar. Vegetasi yang tumbuh di daratan pesisir selatan relatif kurang karena tanah pada umumnya berupa pasir dan karang. Karakteristik Masyarakat Pesisir Menurut BPS (2008), desa pesisir/tepi laut adalah desa/kelurahan termasuk nagari atau lainnya yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan garis pantai/laut (atau merupakan desa pulau). Masyarakat yang tinggal
39
di desa pesisir dapat disebut sebagai masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang spesifik.
Hanson (1984) melihat karakteristik
masyarakat pesisir melalui 3 aspek, yaitu aspek ekologi, aspek sosial, dan aspek ekonomi. 1. Dari aspek ekologi, masyarakat pesisir dihadapkan pada zona ekologi yang luas, berhadapan langsung dengan kondisi alam yang berbahaya seperti angin dan pusaran air, rentan terhadap masalah kesehatan seperti malaria, kesulitan air bersih, bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai. 2. Dari aspek sosial, masyarakat pesisir memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan sosial seperti layanan kesehatan dan pendidikan, kalaupun ada terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan, adanya intervensi orang luar untuk membentuk organisasi seperti kelompok nelayan, koperasi, dan lainlain,
memiliki
keeratan
hubungan
masyarakat
yang
tinggi,
dan
ketidakbergantungan kepada hukum positif. 3. Dari aspek ekonomi, pendapatan masyarakat pesisir umumnya berada di bawah standar hidup, terdapat kesenjangan pendapatan karena perbedaan sumberdaya, tipe armada, alat tangkap, dan akses pasar, produktivitas sumberdaya alam dan ketersediaan pasar yang berfluktuasi menyebabkan variasi pendapatan dan ketidakpastian, lokasi komunitas yang terisolasi membuat biaya tinggi dalam membangun dan memelihara infrastruktur, investasi sulit dilakukan, dan kesenjangan permodalan di berbagai lapisan masyarakat. Sementara itu, Satria (2002) menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa pantai dan desa terisolasi dari berbagi aspek, yaitu sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, peran wanita, struktur sosial dan posisi sosial nelayan. 1. Sistem pengetahuan masyarakat pesisir khususnya nelayan pada umumnya merupakan pengalaman
warisan empiris.
orangtua
atau
Pengetahuan
pendahulu lokal
mereka
(endegenous
berdasarkan knowledge)
merupakan kekayaan intelektual yang sampai saat ini terus dipertahankan. 2. Sistem kepercayaan. Nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin.
40
3. Peran wanita merupakan faktor penting dalam menstabilkan ekonomi di beberapa masyarakat pesisir terutama di kalangan nelayan. Salah satu strategi adaptasi yang ditempuh rumah tangga nelayan dalam mengatasi kesulitan ekonomi dengan mendorong istri mereka ikut mencari nafkah. Bahkan istri nelayan banyak yang dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari. 4. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan adalah akibat dari keterasingan
yang
menyebabkan
masyarakat
non
nelayan
kurang
mengetahui lebih jauh cara hidup masyarakat nelayan. Posisi sosial nelayan juga dapat dilihat secara politis yaitu ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik. Akibatnya nelayan terus dalam posisi dependen dan marjinal. Berbagai literatur tentang kemiskinan nelayan menurut Béné (2003) dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu yang menganut paradigma lama yang menyatakan bahwa kemiskinan nelayan terkait dengan sumberdaya alam dan paradigma baru yang melihat kemiskinan nelayan dari berbagai sisi (multidimensi). Nelayan dianggap sebagai kelompok masyarakat yang termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor). Dikatakan oleh Bailey (1988), bahwa mereka miskin karena mereka nelayan atau dikenal dengan kemiskinan endemik, artinya apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka tetap miskin. Pernyataan tentang kemiskinan nelayan sesuai dengan ungkapan FAO (1974), diacu dalam Copes (1989) bahwa orang-orang dan keluarga yang menggantungkan
hidupnya
pada
aktivitas
perikanan
biasanya
hidup
terpinggirkan, subsisten, dan memiliki human dignity yang rendah. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan World Bank (1992), diacu dalam Béné (2003) bahwa
pemanenan,
prosesing,
dan
pemasaran
sumberdaya
perikanan
memberikan penghasilan bagi lebih dari 100 juta orang, dan 80 persen di antaranya termasuk dalam golongan berpenghasilan rendah dan miskin. Berbagai fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan hidup dalam kemiskinan menggugah Wright (1990) untuk melihat pentingnya mencari penyebab kemiskinan alamiah yang terjadi pada masyarakat nelayan (Béné, 2003).
Menurut Firth diacu dalam Sutawi dan Hermawan (2004) kemiskinan
nelayan dicirikan oleh lima karakteristik. Pertama, pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu pendapatan
41
nelayan sangat dipengaruhi oleh musim dan status nelayan (pemilik atau buruh). Hal tersebut menyebabkan mereka sulit untuk merencanakan penggunaan pendapatannya. Kondisi ini mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Kedua, tingkat pendidikan nelayan dan keluarganya biasanya rendah. memperoleh pekerjaan lain.
Kondisi ini mempersulit mereka untuk
Sementara itu anak nelayan yang berhasil
mencapai pendidikan tinggi enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmampuan. Ketiga, sifat produk yang diproduksi (ditangkap) oleh nelayan mudah rusak (perishable) sehingga harus segera dipasarkan (Suyanto, 2003).
Hal ini menimbulkan
ketergantungan yang besar kepada pedagang yang menyebabkan harga ikan dikuasai oleh pedagang.
Keempat,
bidang
perikanan
membutuhkan
investasi cukup besar dan mengandung resiko yang besar dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana atau hanya menjadi buruh (anak buah kapal = ABK). Dalam hubungannya dengan pemilik kapal, nelayan buruh terlibat dalam suatu pembagian hasil yang terkadang tidak menguntungkannya. Kelima, kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi kerentanan. Hal ini ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga dalam kegiatan produksi dan ketergantungan keluarga yang sangat besar pada satu mata pencaharian. Kondisi lingkungan wilayah pesisir yang umumnya gersang juga mengurangi kesempatan mereka untuk membuka lapangan kerja dan mengembangkan usaha di sektor lain. Terdapat dua aliran besar dalam melihat faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan
(Satria,
2002).
Pertama,
aliran
modernisasi
yang
selalu
menganggap persoalan kemiskinan disebabkan faktor internal masyarakat. Dalam hal ini kemiskinan nelayan terjadi sebagai akibat faktor budaya (kemalasan), keterbatasan modal dan teknologi, keterbatasan manajemen, serta kondisi sumberdaya alam. Kemiskinan ini disebut dengan kemiskinan kultural dan alamiah. Oleh karena itu, aliran ini menganggap bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan
harus
dengan
modernisasi
nelayan,
mengubah
budayanya, meningkatkan kapasitas teknologinya, dan memperbaiki sistem usahanya.
Kedua adalah aliran struktural yang selalu menganggap faktor
eksternal yang menyebabkan kemiskinan nelayan. Menurut aliran ini kemiskinan nelayan bukan karena budaya atau terbatasnya modal, melainkan karena faktor eksternal yang menghambat proses mobilitas vertikal.
42
Sejalan dengan itu, Brodjonegoro (2007), diacu dalam Kodim dan Sampurno (2010) menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan masyarakat pesisir memiliki tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah: 1) struktural, artinya kemiskinan disebabkan oleh struktur ekonomi, struktur sosial, dan politik yang tidak kondusif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir; 2) kultural, yaitu kemiskinan akibat faktor budaya yang berupa kemalasan, cara berfikir fatalistik, dan etos wirausaha yang rendah, serta 3) kemiskinan natural, yakni kemiskinan akibat keterbatasan sumberdaya alam untuk produksi. Penelitian Mashuri et al. (2001) tentang adaptasi nelayan di Prigi (Jawa Timur),
Cilacap
(Jawa
Tengah),
dan
Labuhan
Maringgai
(Lampung)
menunjukkan adanya pembagian pendapatan yang timpang. Hal ini disebabkan struktur tertentu yang meliputi berbagai institusi sosial-ekonomi tertentu yang dibangun sebagai hasil adaptasi nelayan terhadap pekerjaan yang berisiko tinggi dan pendapatan yang tidak teratur.
Hal ini menolak tesis yang menyatakan
bahwa kemiskinan nelayan bersifat kultural, akan tetapi kemiskinan nelayan lebih bersifat struktural. Program Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Hampir setiap negara memiliki program pengentasan kemiskinan, terutama negara-negara yang masih memiliki banyak penduduk miskin. Namun demikian bukan berarti negara yang maju tidak memiliki program pengentasan kemiskinan. Negara maju melaksanakan program pengentasan kemiskinan tidak hanya untuk warga negaranya, melainkan juga untuk membantu negara lain dalam menanggulangi kemiskinan. Di Canada, khususnya di Provinsi Saskatchewan yang memiliki banyak penduduk miskin, terdapat dua program besar, yaitu Sasktchewan Assistance Program (SAS) dan Transitional Employment Assistance (TEA). Kedua program ini diluncurkan sejak tahun 1998. SAS bertujuan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar mencapai penghasilan minimal US $125 per bulan. Target dari program ini adalah orangtua yang memiliki anak berusia di bawah 18 tahun. Target akan dihentikan dari program jika penghasilan telah mencapai US$1.220 per bulan. Program TEA bertujuan untuk membantu individu yang tidak siap kerja menjadi siap kerja dan mendapatkan pekerjaan. Para peserta ini dididik dan dilatih sampai mereka memperoleh pekerjaan yang layak. Selama pelatihan, peserta program diberikan biaya hidup untuk menutupi kebutuhan
43
sehari-hari seperti pengeluaran untuk pangan, sandang, papan, dan transportasi (Holden et al. 2009). Menurut Shantong di dalam ADB (2007), sejak Tahun 1978, Pemerintah China memfokuskan program untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan melalui tiga tahap.
Tahap pertama (Tahun 1978-1985) pemerintah memberlakukan
insentif khususnya di bidang pertanian dengan melakukan hak pengelolaan lahan bagi rumah tangga dan melakukan kontrak untuk memberikan upah kepada rumah tangga yang dapat mengelola lahannya dengan baik. Tahap kedua (Tahun 1986-1993) memiliki orientasi terhadap pengembangan skala besar. Program dengan motto turning blood transfusion into blood production, pemerintah mendorong masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin untuk menjadi lebih tahan (resilient), mendayagunakan sumberdaya lokal, dan menciptakan peluang income-generating oleh dan untuk mereka. Selanjutnya selama tujuh tahun ke depan (Tahun 1994-2001), orientasi pengembangan melalui penanganan masalah kunci yaitu bantuan pekerjaan. Di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (Depdagri dan LAN 2007). Program ini sempat terhenti akibat krisis politik tahun 1965.
Kemudian sejak tahun 1970 pemerintah menggulirkan kembali
program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Selanjutnya berbagai program diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak tahun 2005 dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang bertugas melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. Kini program penanggulangan kemiskinan terbagi menjadi tiga kluster, yaitu (Kemeneg PPN/BAPPENAS, 2008): 1. Kluster I: Bantuan dan perlindungan sosial kelompok sasaran 2. Kluster II: Pemberdayaan masyarakat, dan 3. Kluster III: Pemberdayaan usaha mikro dan kecil (UMK). Kluster I, pada prinsipnya adalah sama dengan ”memberi ikan”. Program ini merupakan penajaman fokus dan sinkronisasi serta pengamanan Program Bantuan dan Perlindungan Sosial pada rumah tangga sasaran (RTS) dan kelompok rentan lainnya (kaum perempuan miskin, lansia, korban bencana
44
alam/konflik sosial, penyandang cacat, komunitas adat terpencil, dan lain-lain). Program-program pengentasan kemiskinan yang termasuk dalam kluster ini antara lain: a) Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diluncurkan oleh Departemen Kesehatan; b) Program Wajib Belajar Diknas 9 tahun dan Program Pendidikan Menengah; c) Program Pendidikan Non-Formal; d) Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS); e) Program Keluarga Harapan (PKH) dari Departemen Sosial; f) Program Beras untuk Rumah Tangga Sasaran (Raskin) oleh BULOG; g) Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang Infrastruktur Perdesaan (PKPS BBM-IP) yang dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum; dan h) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP) dari Departemen Pertanian. Kluster II adalah program pemberdayaan masyarakat atau disitilahkan ”mengajari memancing”. Pemberdayaan
Program ini tergabung dalam Progran Nasional
Masyarakat
(PNPM)
Mandiri
yang
ditujukan
untuk
memberdayakan kelompok masyarakat miskin yang rentan atau perluasan program-program penguatan pada PNPM Mandiri, antara lain untuk kelompok perempuan, petani/buruh gurem, nelayan miskin, penyandang cacat, penderita penyakit
menahun,
korban
bencana
alam/konflik
sosial,
dan
lain-lain.
Departemen/kementerian yang telah melakukan program dalam kluster ini adalah sebagai berikut: a. Kementerian Dalam Negeri: Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) b. Kementerian Sosial: Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS) c. Kementerian Kehutanan: Program Pembentukan Kelompok Usaha Produktif (KUP) dan Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan (SPKP); Program Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI; Program Pembangunan Hutan Rakyat d. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Program Pengembangan Wilayah Perbatasan (PWP) dan Program Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT) e. Kementerian Negara Lingkungan Hidup: Program Pemberdayaan Masyarakat Pemukiman Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Perkotaan f. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata: Program Fasilitasi Pengembangan Destinasi Pariwisata Unggulan
45
g. Kementerian Perdagangan: Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (P3MP) h. BKKBN: Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga i. Kemeneg PDT: Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK/SPADA) j. Kementerian
Pertanian:
Program
Pengembangan
Usaha
Agribisnis
Perdesaan (PUAP) k. Kementerian
Pekerjaan
Umum:
Program
Pengembangan
Infrastruktur
Pedesaan (PPIP); Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP);
Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah
(RISE) l. Kementerian Kelautan dan Perikanan: Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) m. Kemeneg
Pemberdayaan
Perempuan:
Program
Model
Desa
Prima
(Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Kluster III, merupakan program ”membantu untuk mempunyai perahu dan pancing sendiri” ditujukan kepada masyarakat miskin, hampir miskin, dan tidak mampu namun yang dipandang mempunyai kemampuan untuk berhubungan dengan lembaga keuangan formal melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penerima manfaat kluster III ini adalah kelompok masyarakat yang telah dilatih dan ditingkatkan keberdayaan serta kemandiriannya pada kluster program sebelumnya, sehingga mereka mampu untuk memanfaatkan skema pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal seperti Bank, Koperasi, BPR, dan sebagainya. Program-program dari berbagai departemen/kementerian yang telah diluncurkan sesuai dengan kluster III adalah sebagai berikut: a. Badan Pertanahan Nasional: Program Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil b. Kementerian Pertanian: Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) c. Kementerian Kehutanan: Program Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi; Program Peningkatan Usaha Masyarakat di Sekitar Hutan Produksi (PUMSHP) d. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja (PKPTK); Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja (PPLTK)
46
e. Kementerian Negara Koperasi dan UKM: Program Penciptaan Iklim Usaha bagi UKM; Program Pengembangan Sistem Pendukung bagi UKM; Program Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif UKM; Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi; PERKASSA; P3KUM f.
Kemeneg Pemberdayaan Perempuan: Program Pelatihan Pengarus-utamaan Gender; Program Terpadu Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS)
g. Kemeneg Perumahan Rakyat: Program Stimulasi Perumahan Swadaya bagi MBR melalui LKM/LKnB h. Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup:
Program
Pinjaman
Lunak
Lingkungan i.
Kementerian Perdagangan: Program Pengembangan Ekonomi Lokal (PPEL)
j.
Kementerian
Komunikasi
dan
Informasi:
Program
Pinjaman
Lunak
Lingkungan k. Kementerian Perindustrian: Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah l.
Kementerian Kelautan dan Perikanan: Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan
m. Kemeneg PDT: Program Pengembangan Investasi di Kawasan Daerah Tertinggal (SPADI) n. Kementerian Dalam Negeri: Peningkatan Kapasitas Fasilitator Pembangunan Pedesaan o. Bank Indonesia: Rencana Bisnis Perbankan bagi UMKM p. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata: Pengembangan Usaha dan Investasi Pemerintah.