TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler
Ayam (Gallus gallus domesticus) merupakan unggas yang dipelihara dan ditemakkan. Persilangan antar jenis ayam menghasilkan ratusan spesies seperti ayam potong (pedaging) dan ayam petelur (Anonim 2007b). Ayam pedaging atau lebih dikenal dengan ayam broiler merupakan salah satu jenis ayam domestikasi yang telah dibudidayakan sejak 50 tahun lalu. Pada awalnya, nenek moyang ayam broiler adalah strain Comish yang berbulu putih. Strain tersebut disilangkan dan terus dikembangkan hingga dihasilkan ayam broiler seperti sekarang (Amrullah 2004). Pengembangan tersebut diikuti dengan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan secara terus-menerus (Abidin 2002). Ayam broiler adalah ayam yang masih berumur muda (antara 6-8 minggu), baik jantan ataupun betina, biasanya disembelih pada umur 6-7 minggu dan memilii warna bulu putih atau putih kemerahan (Ensrninger 1992). Menurut Woodward (2008), ayam broiler khusus dikembangkan karena dagingnya. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pertarnbahan berat badan yang cepat. Meskipun demikian, ayam broiler juga memiliki kekurangan berupa adanya sbvktur perlemakan pada serat-serat dagingnya dan tingkat kerentanan ayam ini terhadap penyakit daripadajenis-jenis ayam yang lain (Rasyaf 2002).
Gambar 1 Ayam broiler Ayam broiler dibesarkan dan dipelihara dalam lingkungan yang sangat terjaga, dengan pakan yang mengandung nutrisi dan kadar protein tinggi.
Perlakuan ini dikombinasikan dengan pellambahan lampu sebagai cahaya buatan yang dapat menstimulasi pertumbuhan d.0.c sehingga berat badan yang diharapkan dapat tercapai pada umur 4 - 8 minggu (Anonim 200Sa). Sistem Imunitas Tubub Kemampuan tubuh untuk melindungi diri dari organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan atau organ tubuh disebut imunitas (Guyton & Hall 1996). Secara garis besar imunitas dapat dibedakan atas imunitas bawaan d m imunitas dapatan. Imunitas bawaan muncul sebagai akibat proses pertahanan secara umum, bukan berdasarkan faktor penyebab penyakit secara spesifik (Guyton & Hall 1996). Contoh imunitas bawaan antara lain fagositosis oleh leukosit dan makrofag jaringan terhadap organisme invasif, perusakan organisme ole11 asam lambung dan enziln pencemaan, pertahanan kulit terhadap invasi organisme, dan senyawa kimia yang terkandung dalam darah yang berfungsi untuk membantu proses perusakan organisme atau toksin (Guyton & Hall 1996). Menurut Carter dan Wise (2004), mekanisnie resistensi nonspesifik inang atau sistem kekebalan bawaan terseb~~t mengacu pada imunitas yang dibawa sejak lahir (innate immunity). Mekanisme tersebut antara lain pertahanan kulit dan membran mukosa, fagositosis, sistem retikuloendotelial, resistensi jaringan, antibodi alami, dan respon peradangan. Imunitas dapatan mempakan respon pertahanan spesifik terhadap agen invasif seperti bakteri, virus, toksin, atau jaringan lain dengan pembentukan antibodi spesifik dalam proses perusakannya. Sistem imunitas spesifik melibatkan sel T dan sel B yang dapat memproduksi sel memori sehingga bereaksi secara g terpaparkan sebelumnya (Ibs & Rink 2003). cepat terhadap antigen y a ~ pernah Imunitas dapatan memberikan perlindungan yang lama dan lebih kuat daripada imunitas bawaan (Guyton & Hall 1996). Tubuh memiliki mekanisme pertahanan terhadap masuknya ballan asing dengan cara menangkap, menelan, dan menghancurkan ballan asing tersebut. Aktivitas ini disebut dengan fagositosis. Aktivitas fagositosis ini dilakukan oleh sel fagosit yang secara harfiah berarti sel yang memakan bahan-bahan lain atau benda asing (Black 2005).
Sel fagositik memiliki dua sistem yang saling konlplemen yaitu sistem illyeloid dan sistem fagositik mononuklear. Sel-sel yang berperan dalam sistem myeloid ialah sel-sel yang mampu bekerja secara cepat tetapi tidak mampu bertahan lama, yaitu netrofil (disebut heterofil dalam darah wlggas), eosinofil, dan basofil. Sedangkan sistein pertallanan fagositik mononuklear dilak~dcanoleh sel monosit. Sel monosit bekerja lebih lambat tetapi mampu bertahan dengan melakukan fagositosis berulang-ulang (Tizard 1987). Heterofil unggas memiliki fungsi yang sama seperti netrofil mamalia dan merupakan leukosit doininan dalam respon peradangan hematologis ataupun di jaringan. Heterofil juga merupakan sel fagosit jaringan yang penting untuk nlelawan mikroba patogen (Stedman 2001). Tizard (1987) menerangkan bahwa heterofil merupakan sel utama yang berperan dalam sistem myeloid, yang disebut juga sel granulosit polimorfon~dclear.Heterofil adalah sistem pertahanan pertama dari invasi benda asing dalam tubuh. Heterofil berfungsi terutama dalam fagositosis. Proses fagositosis sendiri terdiri atas empat tahapan, yaitu kemotaksis (chemotaxis), perlekatan (adherence), penelanan (ingestion), d m pencernaan (digestion) (Tizard 1987; Black 2005). Heterofil dalam tahap kemotaksis akan menuju bahan asing melalui penganth rangsangan kiiniawi eksternal. Rangsangan kimiawi ini dapat berupa produk bakteii, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel yang rusak, atau oleh produk reaksi kebal (Tizard 1987). Proses fagositosis menurut Guyton dan Hall (1996) yaitu heterofil akan mendekati partikel atau benda asing, kemudian menjulurkan pseudopodia. Pseudopodia bertemu satu sama lain dan bergabung, membentuk ruang yang inengelilingi partikel. Kemudian rttang ini berinvaginasi ke dalatn sitoplasma membentuk gelembung fagositik (fagosom). Setelah partikel difagositosis, lisosom dan granula sitoplasma lainnya aka1 bergabung ke dalam fagosom untuk mencerna partikel (Gambar 2). Heterofil memiliki lisosom dalam jwnlah besar yang berisi enzim proteolitik untuk mencema bakteri dal bahan protein asing lainnya. Lisosom yang mengandung granul lisosomal inenghasilkan enzim hidrolitik (termasuk lisozim) untuk membantu dalam perusakan mikroorganisme (Carter & Wise 2004).
Sebuah sel heterofil mampu memfagosit 5-20 bakteri sebelum sel heterofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton & Hall 1996). Heterofil merupakan leukosit yang umuln ditemukan pada darah perifer beberapa spesies unggas. Heterofil cendeimg bulat dengan sitoplasma tidak benvarna yang mnengandwtg granul eosinofilik berbentuk batang. Heterofil yang dewasa memiliki nukleus yang bersegmenlberlobus (biasanya dua atau tiga lobus) dengan khronlatin benvarna ungu. Heterofil berftlngsi sebagai sel pertahanan terltadap infeksi bakteri atau fungi dan proses inflamasi dan merupakan sel yang merespon pertama kali terhadap infeksi mikrobial (Campbell 1995).
Gambar 2 Fagositosis bakteri oleh heterofil (Anonim 2008d) Eosinofil unggas berbentuk bulat tetapi lebih irregular daxipada heterofil. Eosinofil inemiliki sitoplasma yang jelas, b e m a biru pucat dan mengandung granul eosinofilik berbentuk bulat (atau oval hingga batang pada beberapa spesies). Nukleus eosinofil berlobus dengan sekelompok khronlatin yang kasar dan berwanta ungu, nukleus eosinofil terwarnai lebih biru dan lebih tampak daripada nukleus heterofil (Campbell 1995). Meskipun fungsi fagositosis eosinofil tidak seefisien netrofil, eosinofil memiliki dua fungsi istunewa. Pertama, eosinofil dapat ntenyerang dan menghancurkan larva cacing, serta efektif untuk nlenghancurkan kutikula larva cacing. Kedua, enzim eosinofil dapat menetralkan faktor radang yang dilepas ole11 sel mast dan basofil atau sebagai pengatur reaksi hipersensitivitas tipe I (Tizard 1987). Basofil adalalt sel myeloid yang jumlahnya paling sedikit dalam darah. Basofil berfimgsi untuk membangkitkan perbarahan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 1987). Morfologi basofil unggas cenderung bulat dengan nukleus yang bulat dan terletak di tengah-tengah. Nukleus berwama biru rnuda dan seringkali terh~tup ole11 granula sitoplasmanya yang basofilik. Basofil
bertanggung jawab terhadap respon alergi dan antigen dengan cara melepas histamin sehingga menyebabkan peradangan. Monosit dalam darah merupakan cikal bakal makrofag. Monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag ketika berada di jaringan untuk melaksanakan fungsi fagositosisnya. Makrofag memiliki aktivitas fagositosis yang mampu bertahan lebih lama daripada neutrofil untuk mengolah antigen dalam persiapan reaksi imunitas dan memberikan kontribusi langsung terhadap perbaikan jaringan yang rusak (Tizard 1987). Makrofag terdapat di seluruh bagian tubuh. Beberapa organ dan jaringan tubuh memiliki makrofag spesifik. Mekanisme dasar tanggap kebal yang khusus mengatasi infeksi bakteri yaitu berupa netralisasi toksin atau enzim oleh antibodi, pemusnahan bakteri oleh antibodi, komplemen, dan lisozim, opsonisasi bakteri ole11 antibodi dan komplemen yang mengakibatkan fagositosis dan penghancuran bakteri, dan fagositosis serta penghancuran intraselular bakteri oleh makrofag yang teraktivasi (Tizard 1987). Selain disebabkan oleh keberadaan benda asing dalam tubuh, respon imunitas juga dapat dipengaruhi oleh sistem hormonal. Menurut Guyton dan Hall (1996), hormon yang sebagian besar mekanisme kerjanya dipengaruhi oleh hypothalanlus tersebut memiliki efek pengaturan terhadap berbagai fungsi metabolisme tubuh dan pengaturan fisiologis terlladap sel-sel tubuh yang lain. Bakteri Esclrericlria coli
Bakteri Escherichia coli adalah salah satu spesies dari genus Escherichia, yang tergolong dalam familia Enterobacteriaceae. Di antara enam spesies lainnya, hanya E. coli yang memiliki a-ti penting dalam kedokteran hewan. Berdasarkan sifatnya, bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan bersifat anaerobik fakultatif (Carter & Wise 2004). Secara normal, bakteri ini dapat ditenlukan dalam saluran pencernaan mamalia dan unggas. Meskipun sebagai mikroorganisme normal, pada kondisi tertentu E. coli dapat ~nenjadipatogenik (menimbulkan penyakit) dan dapat bertindak sebagai
food poisoning (Kunkel 2007). Beberapa strain E. coli secara alami bersifat patogen karena ~nemilikifaktor virulensi. Infeksi oleh E. coli biasanya terlihat
sebagai septikemia yang secara potensial menjadi fatal dan keberadaannya dapat meningkatkan keparahan suatu penyakit (Stehling et al. 2003).
Gambar 3 Bakteri EscIterichia coli (Anonim 2007c) Strain E. coli yang menyerang unggas, atau disebut juga strain Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC) memiliki asosiasi terhadap infeksi ekstra intestinal dan perkembangan septikemia pada broiler (Knob1 et al. 2006). AF'EC inilah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya kolibasilosis pada unggas (Schouleur et al. 2007). Kolibasilosis atau disebut juga Escherichia coli infection adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli, dan biasanya menyerang semua tipe ayam dengan semua tingkat umur tetapi infeksi lebih sering tejadi pada ayam muda (Fadilah & Polana 2004). Penyakit ini dapat menyerang secara tunggal atau sebagai penyakit ikutan dan biasanya parah atau fatal (Fadilah & Polana 2004) atau sebagai agen primer dan atau sekunder (Carter & Wise 2004). Kolibasilosis me~pz3kanpenyakit oportunistik yang menyebabkan industri perunggasan mengalami kemgian ekononli yang besar karena mengakibatkan menumnnya produksi, peningkatan mortalitas, mempengaruhi kualitas karkas, dan pengeluaran biaya untuk pengobatan (Knob1 et al. 2006). Karakteristik bentuk kolibasilosis yang sering muncul adalah infeksi pemapasan (peradangan kantong hawa/airsacculitis). Bakteri masuk melalui salnran pemapasan, yang kemudian diikuti dengan infeksi
umum bempa perihepatitis, perikarditis, dan septikemia (Mellata et al. 2002). Carter dan Wise (2004) melaporkan pembahan yang terjadi berupa serositis fibrinopdenta, sinovitis, cellulitis, panophthalmitis, dan salphingitis. Respon irnun yang utanla dalam infeksi E. coli adalah respon humoral. Respon ini timbul
karena adanya bakteri atau produk yang dihasilkan, seperti faktor kolonisasi dan toksin (Carter & Wise 2004). Pakan dan Imunitas Secara umum, ayam yang mendapatkan ransum yang baik (komposisi pakan baik, cukup, dan sesuai kebutuhan), aka11 menunjukkan performans yang baik, pertumbuhan yang sehat, dan produksi baik (Nugroho 1989). Sebagai gambaran, kulit d m mukosa intestinal merupakan barrier protektif yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Ketika struktur ini menjadi lemah atau rusak, resiko terjadinya infeksi akan meningkat. Integritas dari barrier ini dapat berhubungan dengan tingkat nutrisi pakan, misalnya defisiensi protein akan meinperlemah jaringan. Aspek lain dari sistem imunitas juga dipengaruhi oleh tidak adanya atau insufisiensi dari nutrisi, terutama vitamin dan mineral tertentu (Agar 2003). Menurut Carter dan Wise (2004), kondisi dan faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi adalah defisiensi nutrisi. Hewan yang diberi pakan yang buruk lebih rentan terhadap berbagai infeksi. Seperti defisiensi vitamin A menyebabkan hilangnya integritas epitel. Defisiensi nutrisional lainnya dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas fagositosis, pengurangan efisiensi sistem retikuloendotelial, melemahnya respon antibodi, p e n m a n produksi lisozim dan interferon, penlbahan yang tidak diiilginkan dari mikroba flora, dan perubahan sistem endokrin. Kunyit Kunyit (Curcuma longa Linn. atau Curcuma domestics Val.) tennasuk salah satu tanaman rempah dal obat yang tergolong dalam familia Zingiberaceae. Tauaman ini memiliki habitat asli meliputi wilayah Asia khususnya Asia Tenggara kemudian menyebar ke wilayah Indo-Malaysia, Indonesia, Australia, dan Afiika (Anonim 2007d). Bagian kunyit yang dominan digunakan sebagai obat adalah bagian umbi atau rimpangnya. Tanaman kunyit memiliki daya adaptasi yang cukup besar, kisaran perturnbuhan dan produksi optimum pada suhu 1930°C dengan curah hujan 1500-4000 d t a h u n (Rahmat 1994). Kunyit sering disebut juga dengan turmeric (Inggris) dan kurkuma (Belanda) (Winarto 2003).
Gambar 4 K~myit(Anonim 2007d) Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat sebagai obat yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin serta mengandung minyak atsiri, lemak, karbohidrat, protein, pati, vitamin C, dan garam-garam mineral berupa zat besi, fosfor, kalsiurn (Anonim 2007d). Menunlt Ilsley ei al. (2005), kurkun~in [1,7-bis(4-hydroxy-3-
methoxypheny1)-1,6-heptadiene3,5 dione] merupakan bahan imunomodulator yang diekstrak dari kunyit. South et al. (1997) dalam Ilsley et al. (2005) menemukan bahwa kurkumin dalam pakan (40 mgkg) yang diberikan selama 5 minggu, meningkatkan konsentrasi IgG plasma tikus. Penelitian yang dilakukan oleh Churchill et al. (2000) dalam Ilsley ei al. (2005) pada mencit yang diberi 1 gr kurkumintkg pakan, sel T dan sel B pada mukosa intestinalnya mengaiami peningkatan. Kedua penelitian tersebut mengindiiasikan bahwa kurhunin dapat memodulasi fungsi imunitas yang diperantarai liilfosit (Ilsley et al. 2005). Selain memiliki kemampuan imunomodulator, kunyit juga dapat memperbaiki atau meningkatkan kemampuan pencernaan dengan meningkatkan produksi enzim pankreas sehingga berpotensi untuk meningkatkan performa. Akan tetapi, konsumsi kunyit dengan dosis yang lebih tinggi atau waktu konsumsi yang lebih lama mungkm diperlukan untuk memberikan hasil yang nyata atas kemampuan peningkatan performa dan perbaikan status imunitasnya (Ilsley et al. 2005). Winarto (2003) menyebutkan, peranan kunyit dalam bidang petemakan, yaitu kunyit yang dicampurkan dalam pakan atau minuman terbukti dapat meningkatkan berat badan ayam broiler, menjaga kesehatan ayam broiler dari penyakit yang mengganggu pencemaan, dan mengurangi bau fesesnya. Dalam
bidang pangan, minyak atsiri kunyit dapat memberikan efek anti mikroba sehingga banyak digunakan sebagai pengawet makanan. Selain itu, kunyit juga dapat memberikan efek repellent dan antifeedant (pencegah) terhadap hama gudang (Sitophilus zaemais).
Bawang Putih Bawang putih atau garlic (Allium sativum Linn.) merupakan tanaman rempah yang termasuk dalam familia Liliaceae dan telah dikenal sejak dulu. Umbi bawang putih berlapis atau terdiii atas beberapa bagian yang disebut siung yang bersusun, biasa dimanfaatkan untuk dikonsumsi (baik mentah maupun dimasak) dan untuk tujuan pengobatan (Anonim 2008b).
Gambar 5 Bawang putih (Anonim 2008b) Bawang putih mengandung enzim, minyak volatil, dan komponen lain. Enzim yang terdapat dalam bawang putih yaitu allinase, peroksidase, myrosinase, dan lain-lain (seperti katalase, superoksida dismutase, arginase, dan lipase). Minyak volatil bawang putih berupa bahan yang mengandung sulfur, termasuk alliin, dan bahan-bahan yang diproduksi secara enzimatis dari alliin termasuk allicin (diallyl thiosulfinate), allylp,.opyl disulfide, diallyl disulfide, dan lain-lain. Sedangkan komponen lain dalam bawang putih yaitu protein (contohnya glutamil peptida), asam amino (antara lain arginin, glutamic acid, aspargic acid, metionin, threonin), mineral, vitamin, lipid, dan prostaglandin (Barnes et al. 2002). Meiluiut Nagpurkar (1998) bawang putih segar inengandung vitamin yaitu asam askorbat sebanyak 30 mg/100 g dan vitamin E sebesar 9,4 pg/g, mineral yang terkandung berupa selenium 0,014 mg/100 g dan chromium 0,05 mg/100 g, serta mengandung saponin.
Loughry
(2006),
menyebutkan perkembangan penelitian terakhir
melaporkan bahwa komponen utama atau zat aktif bawang putih, yaitu allicin, meiupakan senyawa yang berperan dalan~kesehatan. Selain mengandung allicin, bawang putih juga memiliki bahan yang mengandung sulfur yang sama reaktifnya dengan kandungan sulfur pada antibiotik jenis sulfa. Allicin (ally1 2-propene
thiosulJinat) dan bahan yang mengandung sulfur lainnya terbentuk daxi alliin oleh kerja enzim allinase ketika bawang putih dihancurkan atau dipotong-potong (Barnes et al. 2002; Ross 2001). Penelitian tentang bawang putih yang dilakukan Garlic Centre, Sussex Selatan, Inggris, membuktikan aktivitas farmakologis allicin antara lain, sebagai antikoagulan, antihipertensi, antimikrobial, antibiotik, antiparasitik, antimikotik, antiviral, antitumor, antioksidan, anti-aging, antiplatelet, detoksifikasi logam berat, iinunitas humoral (teimasuk produksi antibodi dan semua proses yang menyertainya), hipolipidemia (menunmkan kadar lipid), dan imunomodulator (Josling 2007). Berdasarkan keterangan Barnes et al. (2002), aktivitas imunomodulator yang telah diteliti pada hewan baik in vivo maupun in vitro membuktikan bahwa bawang putih memiliki beberapa efek penguat imunitas, seperti menstimulasi proliferasi limfosit dan fagositosis makrofag, menginduksi infiltrasi makrofag dan limfosit ke dalam ttunor yang ditransplantasikan, dan menstimulasi pelepasan interferon-y. Penelitian yang dilakukan secara in vitro menunjukkan bahwa bakteri yang sensitif terhadap bawang putih termasuk spesies dari genus Staphylococcus,
Escherichia, Proteus, Salmonella, Providencia, Citrobacter, Klebsiella, Hafiia, Aeromonas, Vibrio, dan Bacillus. Berbagai kandungan zat kimia dalam bawang putih seperti arginin, asam askorbat, dan selenium telah diteliti dan dilaporkan mampu meningkatkan imunitas. Ada fakta yang kuat bahwa dalam situasi di lapang dan laboratorium, perlakuan unggas dengan asam askorbat dapat menguatkan produktivitas, respon imun, resistensi terhadap penyakit, dan tenttama kemampuan bertahan pada kondisi stress (Zulkifli et al. 2000). Zulkifli et nl. (2000) melaporkan bahwa indeks status stress dapat diketahui dengan menghitung rasio heterofil terhadap limfosit (rasio WL). Berdasarkan penelitian yang dilakukan tersebut, penambahan
asam askorbat sebanyak 1.200 ppm14 liter (dalam bentuk L-ascorbic acid) air minum ayam dapat mengurangi rasio H/L dan kortikosteron plasma akibat stress karena proses panen dan transportasi. Arginin, asam amino yang ditemukan dalam bawang putih juga banyak diteliti dan menunjukkan bahwa penambahan arginin dalam pakan broiler komersial dapat meningkatkan imunitas dan resistensinya terhadap penyakit (Kidd et al. 2001). Ramirez et al. (1997) dalam Kidd et al. 2001 lnenemukan bahwa anak ayam yang diberi arginin secara oral memiliki resistensi terhadap invasi Salmonella enteritidis pada organ.
Zink (Zn) Zn adalah salah satu mikro mineral (trace mineral) esensial yang telah dikenal lebih dari 50 tahun. Sebagai mikro mineral, Zn hanya diperlukan dalam jumlah mikrogram atau inikromiligram per hari dan ditemukan dalam jaringan tubuh dalam konsentrasi yang rendah (Peny et al. 2004). Zn dapat ditemukan pada setiap sel tubuh dan merupakan komponen dalam sistem enzim, yang merupakan substansi yang diperlukan untuk reaksi biokimia (Anonim 2000). Menurut Scanes (2004), Zn diperlukan untuk sintesa dan metabolisme normal protein dan merupakan komponen dari insulin. Zn juga merupakan mineral yang diperlukan pada seluruh stadium perkembangan unggas. Peny et al. (2004) melaporkan kebutuhan Zn pada unggas adalah 60 mglkg pakan kering. Secara urnurn, Zn berfungsi sebagai mikro mineral aktif yang bei~erandalam metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak sehingga defisiensi Zn akan mengakibatkan kerusakan semua jalur metabolisme, pengaturan ekspresi gen, dan pembelahan sel (Klasing 2006). Defisiensi Zn mengakibatkan kerusakan proses fisiologis, antara lain replikasi dan perhunbuhan sel, pertumbuhan bulu, tulang, fertilitas, immunokompeten, dan keseimbangan elektrolit. Sedangkan pada anak ayam, defisiensi Zn menyebabkan timbulnya masalah pada tulang, pertumbuhan bulu yang tidak baik, anorexia, dan pertumbuhan yang lambat (retarded growth) (Ensminger 1992). Penelitian yang dilakukan secara in vivo oleh Ibs dan Rink (2003), menunjukkan bahwa penurunan kadar Zn dalam tubuh dapat mengganggu aktivitas sel natural killer (NK) dan fagositosis oleh inakrofag dan netrofil, selain itu juga menurunkan
jumlah leukosit granulosit. Dampak defisiensi Zn terhadap imunitas spesifik menyebabkan penurunan jumlah absolut limfosit B, meskipun perubahannya hanya sedikit. Hal ini disebabkan oleh induksi apoptosis pada sel tersebut. Defisiensi Zn bertanggung jawab terhadap terjadinya atropi timus, sehingga akan meinpengaruhi diferensiasi sel T dan fungsinya dalam d a d perifer. Menurut Klasing (2006), Zn merupakan mineral yang diserap melalui difusi pasif di usus halus, terutama di duodenum. Penyerapan Zn dapat menjadi berkurang karena intake pakan yang tinggi kadar asam phytat, kalsium, phosphor, tembaga, kadmium, atau khromium. Zn yang terserap akan berikatan dengan albumin sehingga siap ditransfer ke jaringan. Kelebihan Zn dalam tubuh akan diekskresikan melalui pankreas dan empedu. Sedangkan pemberian pakan yang tinggi kadar Zn akan meningkatkan kebutuhax terhadap selenium, zat besi, dan tembaga.
Zi memiliki beberapa peran penting berhubungan dengan aktivasi sel, ekspresi gen, sintesa protein dan apoptosis. Zn juga menentukan perkembangan normal sel imun dan berperan penting dalam menjaga aktivitas sel imun, termasuk neutrofil, monosit, makrofag, sel natural killer (NK), serta sel T dan sel B (Prasad
et al. 2007). Suplementasi Zn pada bayi dan anak-anak dapat mengurangi 25-30% kejadian dan durasi diare akut dan kronis dan dapat mengurangi kejadian pneumonia hingga 50% (Prasad et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Karlsen et
al. (2003) mengenai kajian vaksin toxoid kolera bersamaan dengan pemberian suplemen Zn secara oral, membuktikan bahwa Zn dapat menguatkan respon antibakterial serum.
Gambar 6 Sediaan ZnO (Anonim 2008c)
Sumber Zn yang dapat diperoleh dari pakan biasanya berupa zink sulfat, zink karbonat, zink oksida, atau zink yang membentuk kompleks dengan asam amino (Klasing 2006). Zink oksida merupakan bahan kimia dengan rumus kimia Zn0, memiliki bentuk powder atau serbuk berwarna putih. Bahan ini sedikit larut atau hampir tidak larut sama sekali di dalam air, tetapi larut dala~nsuasana asam atau basa (Anonim 2008~). Berdasarkan keterangan Ibs dan Rink (2003), dosis terapi yang optimal untuk kondisi defisiensi Zn belum diketahui dengan jelas dan dosis farmakologis Zn harus disesuaikan terhadap kebutuhan aktual untuk menghindari efek negatif pada fungsi kekebalan tubuh. Suplementasi Zn dalam dosis tinggi dapat memberikan efek samping dengan perubahan yang tejadi seperti efek yang ditimbulkan apabila tubuh mengalami defisiensi Zn. Gejala keracunan Zn antara lain anemia, pertumbuhan yang lambat, dan kehilangan berat badan pada unggas dewasa (Klasing 2006).