TINJAUAN PUSTAKA Evolusi Geografi dan Keragaman Organisme Geografi bumi akhir periode Paleozoic dan awal mesozoic adalah dua benua yang sangat besar, yaitu Gondwana di bumi selatan dan Laurasia di bumi utara. Gondwana terbentuk dari massa daratan benua Amerika Selatan, Afrika, Antartika, Australia, dan India. Laurasia terbentuk dari massa daratan Asia, Eropa, dan Amerika Utara pada masa sekarang. Dua massa daratan Gondwana dan Laurasia akhir Permian ± 260 juta tahun yang lalu bergabung membentuk satu benua dunia, yaitu Pangaea (Pangea) (Ridley 1996; Cox & Moore 2000). Pada periode Permian semua bagian Pangaea berangsur-angsur terpisah, yaitu Gondwana di bumi selatan dan Laurasia di bumi utara. Gondwana mulai terbelah menjadi benua-benua dangkal, sehingga menjadi pembatas dengan Laurasia. Proses ini dimulai pada periode Jurassic dan berlanjut hingga periode Kretaseus. Pada awal periode Kretaseus India masih menjadi bagian dari Gondwana. Pada periode pertengahan, Amerika Selatan menjadi bagian dari Afrika dan di akhir periode Kretaseus Eropa menjadi bagian dari Asia (Ridley 1996; Cox & Moore 2000). Perubahan geografi dunia yang ada sekarang tidak terjadi sampai awal Cenozoic. Pada periode Eosin, Australia bagian dari Antartika dan India bersatu dengan Asia. Pada waktu yang sama Eropa bergabung dengan Asia akibat keringnya laut Obik (Cox & Moore 2000). Evolusi geografi Asia Tenggara dimulai pada periode pertengahan dan akhir Pleistocene (± 160 000 tahun yang lalu). Pada akhir Pleistocene terbentuk laut yang dalamnya 120 m. Selama periode ini banyak pulau-pulau di Sunda (benua dari Asia Tenggara) yang masih berhubungan dengan daratan. Kelompok wilayah daratan ini dikenal sebagai Sundaland, sebaliknya, pulau Andaman, Sulawesi, dan Luzon pada waktu itu merupakan daratan yang terisolasi oleh lautan. Garis pantai Asia Tenggara mulai terbentuk kira-kira pada akhir Pleistocene (Hall 1996). Perubahan geografi dan iklim bumi mempengaruhi pola distribusi dan kehidupan oraganisme seperti hewan dan tumbuhan. Pola distribusi yang berubah menyebabkan keragaman organisme. Keragaman organisme terdiri atas variasi
genetik, perbedaan spesies, individu, populasi, habitat, komunitas, dan ekosistem (Cox & Moore 2000). Perubahan geografis juga mempengaruhi pola distribusi lebah madu. Akibatnya, lebah madu genus Apis tersebar di beberapa benua dan pulau. Distribusi sembilan spesies dari genus Apis adalah sebagai berikut: (1) A. andreniformis Smith di Cina, India, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Wongsiri et al. 1996; Koeniger et al. 2000) (Gambar 2); (2) A. florea di Iran, Iraq, Arab Saudi, Pakistan, India, Srilanka, Thailand, Malaysia, dan Indonesia; (3) A. cerana di Cina, Jepang, Iran, India, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia; (4) A. nigrocincta di Sulawesi; (5) A. nuluensis di Pegunungan Kinibalu, Malaysia, (6) A. koschevnikovi terdistribusi di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia; (7) A. dorsata terdistribusi di India, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina (Akratanakul 1990) (Gambar 4); (8) A. laboriosa terdistribusi di Nepal, India, Cina, Myanmar, dan Laos; dan (9) A. mellifera terdistribusi di Eropa, Afrika, dan Timur Tengah (Ruttner 1988). Evolusi dan Keragaman A. andreniformis dan A. dorsata Apis andreniformis dikenal sebagai “lebah kecil”, karena ukuran tubuhnya yang kecil (± 8-9 mm). A. andreniformis tidak terdistribusi di Filipina, kecuali di pulau Palawan (Ruttner 1988). A. andreniformis ini mempunyai sejarah khusus yang menarik berdasarkan kemunculannya di daratan Asia. Berdasarkan pembentukan daratan, Pulau Kalimantan dan Palawan dipisahkan oleh lautan yang dalamnya 145 m. Palawan merupakan bagian dari daratan Asia sejak periode pertengahan Pleistocene (± 160 000 tahun yang lalu). Lautan antara pulau Palawan dan Luzon selama pertengahan Pleistocene memiliki jarak ± 50 km. Air merupakan barrier yang menyebabkan A. andreniformisi sulit menyebarluas ke pulau lainnya. Hal inilah yang menyebabkan di Filipina, A. andreniformis hanya dapat ditemukan di Palawan (Heaney 1986). Lebah berukuran besar terdiri atas A. dorsata dan A. laboriosa. Subspesies A. dorsata breviligula tersebar di pulau Luzon, A. d. binghamii tersebar di Sulawesi dan A. d. dorsata tersebar pada daerah yang lebih luas dari spesies lainnya. Pada periode akhir Pleistocene (± 160 000 tahun yang lalu) pulau-pulau Sulawesi, Andaman, dan Luzon merupakan daratan yang terisolasi oleh lautan.
Hal ini menyebabkan lebah yang berada di pulau tersebut berkembang menjadi spesies tersendiri yang berbeda dengan spesies A. d. dorsata. Begitu juga dengan A. laboriosa, lebah ini terisolir karena ada pembatas gunung Himalaya yang tinggi (Heaney 1986).
Taksonomi dan Biologi A. andrenifomis dan A. dorsata A. andreniformis dan A. dorsata termasuk ke dalam Ordo Hymenoptera, Subordo Apocrita, Superfamili Apoidea, Famili Apidae, Subfamili Apinae, dan Genus Apis (Ruttner 1988; Michener 2000). A. andreniformis merupakan lebah madu yang berukuran kecil dikelompokkan dengan A. florea (Michener 2000). A. andreniformis terdapat pada ketinggian 1000 m dpl. Habitat A. andreniformis berada pada hutan sekunder dan pohon di sekitar desa. (Yan-Ru & Bangyu 1987; Wongsiri et al.1996). A. andreniformis hidup simpatrik dengan A. florea (Yan-Ru & Bangyu 1987; Wongsiri et al. 1990; Otis 1991). Walau demikian, terdapat perbedaan waktu kawin (mating flight time) pada kedua jenis lebah tersebut, yaitu A. andreniformis pukul 12.33-12.50 dan A. florea pukul 14.00-16.45 (Rinderer et al. 1993, Koeniger et al. 2000). Secara morfologi, A. andreniformis memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan A. florea. Perbandingan ukuran tubuh A. andreniformis dan A. florea, yaitu (1) ratu A. andreniformis memiliki panjang tubuh 12-14 mm, sedangkan A. florea memiliki panjang tubuh 13-15 mm; (2) pejantan A. andreniformis memiliki panjang tubuh 10-11 mm, sedangkan A. florea memiliki panjang tubuh 11-13 mm; (3) pekerja A. andreniformis mempunyai panjang tubuh 8-9 mm, sedangkan panjang tubuh A. florea 7-10 mm (Yan-Ru & Bangyu 1987; Wongsiri et al. 1996). Sarang koloni A. andreniformis menggantung pada ranting pohon dan berada di lingkungan terbuka dengan ketinggian 3-5 m dari permukaan tanah (m dpt). Sarang terdiri dari satu sisir dengan luas 150-250 cm2. Sarang berbentuk segitiga terbalik, yaitu bagian atas lebih luas dari pada bagian bawah (Gambar 1). A. andreniformis sangat agresif, koloni akan menyerang apabila mendapat ancaman pada jarak 30-40 m (Yan-Ru & Bangyu 1987).
Perilaku migrasi pada A. andreniformis dilakukan apabila mendapat gangguan dari predator, ketersediaan pakan, dan habitat yang tidak sesuai. Waktu migrasi A. andreniformis jarang diketahui, migrasi biasanya terjadi selama 10 hari. Waktu yang cukup lama itu digunakan untuk perkembangan larva, pupa, dan membatasi produksi larva baru. A. andreniformis tidak melakukan pemilihan lokasi sarang yang baru sebelum migrasi. Berbeda pada A. florea, yang melakukan pemilihan sarang baru sebelum meninggalkan sarang yang lama (Oldroyd & Wongsiri 2006).
Gambar 1 Sarang koloni lebah A. andreniformis (Raffiudin 2002).
A. dorsata merupakan madu berukuran besar (± 17-19 mm) yang dikelompokkan bersama A. laboriosa (Michener 2000). A. dorsata memiliki dua subspesies yaitu A. d. binghamii di Sulawesi dan A. d. breviligula di Filipina (Ruttner 1988; Paar et al. 2004). A. dorsata dapat dijumpai pada dataran rendah dan tinggi dengan ketinggian 0-1300 m (Ruttner 1988). Habitat A. dorsata berada pada pohon hutan primer, sekunder, dan desa dekat hutan sekunder (Akratanakul 1990). Sarang A. dorsata dibangun pada tempat yang agak terlindung, akan tetapi cahaya matahari masih dapat masuk. Sarang terdiri dari satu sisir dengan panjang dapat mencapai 1.5 m dan tinggi 1 m. Bentuk sarang A. dorsata kurang lebih menyerupai setengah lingkaran (Gambar 3). Sarang A. dorsata terdiri atas ribuan
Gambar 2 Distribusi lebah A. andreniformis (Ruttner 1988).
bangunan sel segi enam yang saling bertolak belakang. Sel-sel ini digunakanuntuk menyimpan madu, perkembangan larva dan pupa. Sel penyimpanan madu berada di sarang bagian atas atau di bagian sarang yang menempel pada tempat menggantung. Sel-sel penyimpan tepung sari berada di antara sel madu dan sel larva atau pupa. Madu diproduksi selama 3-4 minggu, setelah sarang terbentuk. Lebar sarang 43-162 cm, sedangkan tinggi sarang 23-90 cm (Tan 2007; pengamatan pribadi). Ketebalan sarang madu dapat mencapai 15-20 cm, sedangkan sarang larva dan pupa sekitar 3.5 cm (Ruttner 1988). Diameter sel berkisar antara 5.35-5.64 mm dan tidak ada perbedaan antara sel pekerja dan pejantan. Sel pejantan letaknya berpencar di antara sel pekerja (Ruttner 1988; Wattanachaiyingcharoen et al. 2002). Demikian pula dengan ukuran tubuh pekerja dewasa dan pejantan dewasa kebanyakan berukuran sama (Oldroyd & Wongsiri 2006). Perilaku kawin A. dorsata jantan memiliki waktu periode terbang pukul 18.15-18.45 sebelum senja (Ruttner 1988; Rinderer et al. 1993; Woyke et al. 2001). Perilaku A. dorsata yang unik adalah kebiasaan lebah berpindah tempat (migrasi) untuk mencari tempat bersarang yang baru. Migrasi A. dorsata dilakukan secara musiman yang berhubungan dengan ketersediaan pakan di suatu
wilayah. A. dorsata selalu kembali ke pohon tempat bersarang sebelumnya (Dyer & Seeley 1994). Sebelum koloni A. dorsata melakukan migrasi, lebah ratu berhenti bertelur, dan memakan madu cadangan. Jarak migrasi A. dorsata mencapai 100-200 km. Migrasi mencari lokasi baru mencapai waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu, koloni A. dorsata akan berhenti beberapa kali selama 1-3 hari untuk mencari pakan tanpa membentuk sarang (Ruttner 1988). Selain perilaku migrasi, A. dorsata juga mempunyai perilaku terbang massal secara periodik. Perilaku ini berhubungan dengan pembentukan lapisan sarang (Kastberger 1996).
Gambar 3 Sarang koloni lebah A. dorsata di pelepah daun pohon kelapa (Cocos nucifera).
India
Thailand Vietnam
Filipina
Srilanka Sulawesi
Malaysia Kalimantan Sumatera Jawa
Timor
Gambar 4 Distribusi Lebah A. dorsata (Ruttner 1988).
DNA Mitokondria Mitokondria adalah organel tempat terjadinya metabolisme aerob dalam sel eukariotik dengan DNA yang berbentuk sirkuler. Satu sel memiliki satu sampai ratusan mitokondria. Setiap mitokondria mengandung beberapa DNA yang sama. Dengan demikian, isolasi DNA mitokondria menjadi lebih mudah (Hoy 1994). DNA mitokondria lebah A. mellifera dan berukuran 16 343 pb (Crozier & Crozier 1993). DNA mitokondria sangat kecil dibandingkan dengan DNA inti, sehingga dapat dipelajari sebagai satu unit. DNA mitokondria A. mellifera pada umumnya sama seperti DNA mitokondria hewan lain, yaitu mengkode 13 protein, 2 ribosomal RNAs dan 22 tRNAs. Akan tetapi, DNA mitokondria lebah A. mellifera memiliki daerah yang tidak mengkode protein, yaitu daerah antara pengkode tRNA Leu dan gen cox2 (daerah intergenik cox1/cox2) (Crozier & Crozier 1993) (Gambar 5).
Daerah Intergenik cox1/cox2 Gen cox2
Gambar 5 Genom mitokondria lebah A. mellifera (Crozier & Crozier 1993). Genom mitokondria lebah madu dicirikan oleh adanya daerah intergenik cox1/cox2. Daerah intergenik cox1/cox2 merupakan daerah yang kaya basa A+T dengan panjang sekitar 200-650 pb dan terbentuk secara tandem duplication (Cornuet et al. 1991).
Metode PCR-RFLP Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik in vitro untuk memperbanyak daerah DNA secara spesifik, berdasarkan pada primer yang digunakan untuk menginisiasi proses sintesis. Teknik ini banyak digunakan dalam berbagai penelitian genetik dan biokimia, karena memungkinkan analisis DNA secara cepat dengan menggunakan enzim polimerase dalam replikasi DNA. Pada umumnya, enzim polimerase yang dipakai berasal dari bakteri yang mampu hidup pada suhu tinggi, diantaranya Thermus aquaticus (Taq DNA polymerase) (Erlich 1989).
Pada kondisi normal, DNA berada dalam keadaan heliks ganda, yaitu terdiri atas dua utas tunggal DNA yang saling berpasangan terikat non-kovalen oleh ikatan hidrogen. Tahap-tahap dalam proses PCR terdiri atas denaturasi, annealing, dan pemanjangan DNA. Pada awal proses PCR, utas ganda dipanaskan pada suhu tinggi hingga menjadi utas tunggal, tahap ini disebut denaturasi. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk memungkinkan primer utas tunggal menempel pada daerah target, tahap ini selanjutnya disebut tahap annealing. DNA polimerase kemudian digunakan untuk pemanjangan sekuen dengan bantuan suplai empat basa nukleotida (dNTP; Adenin, Guanin, Timin, dan Sitosin) dan buffer. Siklus ini terjadi berlangsung dalam 30-40 siklus. Dengan cara ini dapat dihasilkan duplikasi daerah target yaitu 2n (n adalah jumlah siklus). PCR-RFLP banyak digunakan untuk keragaman genetik antar populasi. Keragaman genetik dapat diperoleh melalui pemotongan produk PCR dengan enzim restriksi tertentu (Erlich 1989).