5
TINJAUAN PUSTAKA Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) adalah metode ilmiah dalam penentuan status suatu OPT dan mengidentifikasi persyaratan serta tindakan karantina tumbuhan yang harus dilakukan terhadap komoditas pertanian jika memiliki risiko atau berpotensi membawa OPTK (Barantan 2011). Metode ini dilakukan dalam rangka penentuan status suatu OPT dan identifikasi persyaratan serta tindakan karantina tumbuhan yang harus dilakukan terhadap komoditas pertanian jika memiliki risiko atau berpotensi membawa OPTK. Risiko masuknya OPT/OPTK salah satunya melalui lalu lintas komoditas, barang kiriman dan organisme itu sendiri.
Metode AROPT yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada ISPM No.11, petunjuk teknis penyusunan AROPT dari Badan Karantina Pertanian Tahun 2011, PRA dari APHIS versi 5.02 (2000), PRA dari Department of Agriculture, Fisheries and Forestry – Australia (2003) dan PRA untuk South American Leaf Blight (SALB) dari Asia and Pacific Plant Protection Commission (APPPC) (FAO 2011). Penyusunan AROPT dilakukan menggunakan metode penilaian semi-kuantitatif melalui tiga tahap yaitu inisiasi, penilaian risiko dan manajemen risiko. Informasiinformasi dan dokumentasi yang diperoleh selanjutnya dikaji secara menyeluruh dan mendalam.
Inisiasi Inisiasi merupakan tahap awal dalam penyusunan AROPT. Tujuan tahap inisiasi adalah untuk mengidentifikasi OPT dan media pembawa yang menjadi perhatian bagi karantina dan dipertimbangkan untuk dilakukan analisis risiko dalam kaitanya dengan area PRA yang diidentifikasi (FAO 2009). Tahap inisiasi bisa dilakukan terhadap tiga titik identifikasi yang selanjutnya disebut titik inisiasi. Titik inisiasi tersebut meliputi identifikasi berdasarkan media pembawa, identifikasi berdasarkan OPT dan identifikasi berdasarkan kebijakan karantina tumbuhan. Berdasarkan ketentuan internasional yang diterbitkan IPPC yaitu ISPM No. 11 tentang Pest risk analysis for quarantine pest, including analysis of environtmental risk and living modified organisms (FAO 2009), inisiasi terhadap organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dilakukan apabila:
6 a. Adanya intersepsi OPT baru pada komoditi impor di tempat pemasukan; b. Ditemukan infestasi atau ledakan populasi OPT baru di negara asal atau di Indonesia; c. Permohonan impor terhadap suatu organisme untuk keperluan industri, penelitian, pengendalian hayati atau tujuan lain yang berpotensi menjadi OPT di Indonesia; d. Suatu organisme yang dilaporkan sebagai hal yang baru bagi dunia ilmu pengetahuan dan baru sedikit informasi yang tersedia; e. Suatu OPT terintroduksi ke suatu negara dari negara pengekspor; f.
Suatu OPT dilaporkan menjadi lebih merusak di suatu area diluar daerah asalnya;
g. OPT tertentu sering ditemukan pada suatu komoditi; h. Suatu organisme teridentifikasi sebagai vektor dari OPT lain, yang tidak diketahui sebelumnya; i.
Organisme Hasil Rekayasa Genetik (OHRG) atau Genetic Modified Organism (GMO) yang berpotensi menjadi OPT.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses AROPT berdasarkan OPT yang mungkin terbawa oleh media pembawa atau OPT/GMO/OHRG itu sendiri meliputi informasi mengenai jenis dan bentuk media pembawa yang akan dimasukkan, nama ilmiah dan nama umum, kondisi lokasi pertanaman di negara asal dihubungkan dengan kondisi di Indonesia serta aspek biologi dan ekologi OPT (Barantan 2011). Sebelum masuk pada tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali AROPT sebelumnya.
Jika sudah pernah dilakukan proses AROPT
terhadap OPT yang sama maka perlu dikaji kembali apakah AROPT masih sesuai terhadap kondisi saat ini, jika ya maka proses AROPT dihentikan pada tahap ini. Sebaliknya jika AROPT yang ada dinilai tidak lagi memenuhi kriteria dan tidak sesuai maka proses AROPT dilanjutkan pada tahap penilaian risiko. Pada akhir tahap inisiasi, titik inisiasi dan area PRA telah teridentifikasi, informasi-informasi yang relevan sudah dikumpulkan dan OPT berpeluang/ berpotensi untuk terbawa oleh media pembawa (Barantan 2011).
Penilaian Risiko Secara garis besar tahap penilaian risiko dibagi menjadi langkah antara lain kategorisasi OPT, penilaian potensi masuk, menetap, menyebar, dan penilaian potensi menimbulkan dampak ekonomi (termasuk dampak terhadap
7 lingkungan dan sosial). Umumnya tahap penilaian risiko tidak selalu mengikuti langkah-langkah tersebut, namun peniliaian dilakukan melalui proses kajian teknis dan ilmiah disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara masing-masing (FAO 2009). AROPT yang disusun harus memenuhi prinsip-prinsip necessity, minimal impact, transparency, equivalence, risk analysis, managed risk and nondiscrimination seperti tercantum dalam ISPM No.1 tentang Principles of Plant Quarantine as related to international Trade (FAO 1995). Kategorisasi OPT dilakukan melalui proses pengujian terhadap semua infromasi OPT yang telah dihimpun berdasarkan kriteria untuk dapat ditentukan sebagai OPTK sesuai dengan definisinya (Barantan 2008). Dalam ISPM No.11 (FAO 2009) dijelaskan beberapa elemen kategorisasi OPT untuk dapat ditentukan sebagai OPTK, di antaranya identitas OPT, keberadaan atau ketidakberadaan OPT di area PRA, peraturan yang mengatur OPT, potensi menetap dan tersebarnya OPT di area PRA, dan potensi OPT untuk menimbulkan dampak ekonomi termasuk kerusakan lingkungan di area PRA. Apabila OPT tidak berpotensi sebagai OPTK maka proses AROPT terhadap OPT tersebut dihentikan, namun sebaliknya jika OPT dapat ditentukan berpotensi sebagai OPTK maka proses AROPT dilanjutkan. Tindak lanjut dari kategorisasi OPT adalah penilaian risiko yang dilakukan terhadap individu OPT apakah memenuhi kriteria sebagai OPTK.
Untuk
mengetahui hal tersebut maka beberapa aspek dari individu OPT harus dikaji satu persatu.
Untuk memenuhi keperluan tersebut dibutuhkan sejumlah
informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal ilmiah, publikasi nasional dan internasional, dan komunikasi dengan para pakar.
Penilaian risiko dilakukan
berdasarkan penilaian potensi masuk, menyebar, dan menetap suatu OPT di area PRA serta penilaian potensi OPT untuk merugikan secara ekonomi (FAO 2001, Barantan 2008).
Apabila berdasarkan hasil tahap akhir penilaian OPT
tidak memenuhi kriteria sebagai OPTK maka proses AROPT dihentikan, namun apabila suatu OPT telah memenuhi kriteria sebagai OPTK, memiliki potensi untuk masuk, menetap dan menyebar maka perlu dilanjutkan ke tahap pengelolaan risiko (FAO 2001).
Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko adalah proses identifikasi dan evaluasi efektivitas cara untuk mengatasi risiko, berupa opsi yang paling tepat untuk mencapai tingkat
8 aman yang diperlukan. Tindakan ini dilakukan terhadap media pembawa yang merupakan inang dari OPTK di negara asalnya dan di negara tujuan. Tindakan yang akan dilakukan terhadap media pembawa agar tepat dan efektif, sehingga tidak berpotensi menjadi penghambat perdagangan atau tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam perdagangan bebas. Pengelolaan risiko merupakan proses identifikasi ketentuan fitosanitari bagi media pembawa yang akan dimasukkan. Ketentuan fitosanitari yang diterapkan berupa persyaratan dan/atau kewajiban tambahan sebagai upaya memperkecil peluang masuknya OPTK melalui importasi media pembawa. Sesuai dengan Permentan No: 52 Tahun 2006 dan Permentan No: 9 Tahun 2009 bahwa terhadap pemasukan media pembawa dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan karantina tumbuhan dan berdasarkan hasil AROPT media pembawa yang dinilai berpotensi besar mengakibatkan
terjadinya
penyebaran
organisme
pengganggu
tumbuhan
dikenakan kewajiban tambahan. Tahap akhir dari penyusunan pengelolaan risiko adalah suatu kesimpulan yang menjelaskan tentang persyaratan karantina tumbuhan dan/atau kewajiban tambahan.
Kewajiban tambahan yang dikenakan terhadap media pembawa
akan berbeda untuk tingkat risiko yang berbeda berdasarkan hasil penilaian risiko. Hasil akhir pengelolaan risiko kemudian akan direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam kegiatan importasi media pembawa.
Leptocybe invasa Sejak tahun 2000 perkebunan eucalyptus di dunia mulai mengalami gangguan dari spesies hama baru yang bersifat invasif. Hama ini pada awalnya dilaporkan mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Timur, negara-negara Mediterania, kemudian semakin menyebar ke lebih dari tiga puluh negara di dunia.
Hama yang diduga berasal dari Queensland, Australia ini kemudian
diidentifikasi sebagai Leptocybe invasa Fisher & La Salle (Hymenoptera: Eulophidae). Hama ini membentuk benjolan berbentuk khas yang disebut puru pada pelepah daun, petiol, batang, maupun tunas pada beberapa species eucalyptus (Mendel et al. 2004). Serangga ini diketahui dapat merusak bibit dan tanaman muda (Dhahri et al. 2010). Serangga ini dapat menghasilkan dua atau tiga generasi tiap tahunnya di Israel. Lama hidup serangga dewasa yang diberi makan dengan madu dan air adalah 6.5 hari (Mendel et al. 2004). Protasov et al.
9 (2008) dan Kavitha Kumari et al. (2010) mencatat bahwa pernah ditemukan serangga jantan di India.
Taksonomi dan Informasi Umum L. invasa Secara harfiah Leptocybe berasal dari bahasa yunani, leptos berarti halus, tipis, lemah dan kybe berarti kepala; yang apabila digabungkan artinya menjadi area yang lemah di sekitar segitiga ocelli di kepala (Mendel et al. 2004). L. invasa termasuk ke dalam Subfamili Tetrastichinae.
Serangga yang dikenal
dengan nama umum blue gum chalcid ini pertama kali dilaporkan ditemukan di luar daerah asalnya di Timur Tengah pada tahun 2000, saat ini L. invasa telah menyebar ke banyak negara dan menyebabkan kerusakan pada pembibitan dan tanaman eucalyptus. Puru yang dibentuk bersifat merusak titik tumbuh dan daun eucalyptus, sehingga menyebabkan gugur daun dan mati pucuk (IFGTB 2007).
Biologi L. invasa Imago betina memiliki panjang tubuh 1.1 – 1.4 mm (Gambar 1). Kepala dan tubuh berwarna coklat dengan sedikit warna biru hingga hijau metalik. Koksa tungkai depan berwarna kuning, sedangkan koksa tungkai tengah dan belakang memiliki warna yang sama dengan warna tubuhnya, tungkai dan tarsus berwarna kuning, dengan satu ruas berwarna coklat pada ujung tarsus terakhir. Mendel et al. (2004) yang mendeskripsikan spesies ini, menyatakan bahwa waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak oviposisi sampai muncul individu baru adalah 132.6 hari pada suhu ruang dan imago dapat bertahan hidup berturut-turut selama 6.5 hari jika diberi makan dengan madu dan air dan 3 hari tanpa makan. Larva berukuran relatif kecil, tanpa tungkai dan berkembang di dalam puru (Gambar 1) yang terbentuk di tulang daun, petiol, batang tanaman eucalyptus muda, dan pada tanaman di pembibitan. Kerusakan pada tanaman inang terjadi karena aktivitas makan larva dan dilepaskannya zat kimia yaitu asam oksalat. Asam oksalat menyebabkan kanker pada bagian tanaman terserang yang kemudian berkembang menjadi puru (Mendel et al. 2004). Menurut Doganlar (2005) di Turki larva di dalam puru dapat mencapai 4 bulan sejak telur diletakkan, sehingga larva tahan terhadap aplikasi pestisida. Pupa terbentuk di dalam puru (Gambar 1), pada fase ini tidak terjadi aktivitas makan sehingga fase ini tidak bersifat merusak. Imago hidup dengan
10 memakan madu pada bunga tanaman inangnya. Ukuran imago yang sangat kecil menyebabkan OPT ini sulit dilihat dengan mata biasa (Mendel et al. 2004). Hesami et al. (2006) melaporkan perkembangan L. invasa di Iran berturut-turut 126.2 hari pada kondisi laboratorium dan 138.3 hari di lapangan.
Keduanya
menjelaskan bahwa serangga pembuat puru ini memiliki tipe reproduksi telitoki dan mampu menghasilkan keturunan dua hingga tiga generasi (multivoltinous) yang tumpang tindih setiap tahunnya, sehingga sangat menunjang kecepatan penyebaran spesies ini. Tipe reproduksi telitoki yaitu suatu bentuk reproduksi aseksual yang ditemukan pada serangga betina, dimana pertumbuhan dan perkembangan embrio terjadi tanpa dibuahi oleh serangga jantan dan serangga betina dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi.
a
c
Imago betina yang muncul
b
d
Gambar 1 L. invasa (a) imago betina; (Kavitha Kumari 2009); (b) imago betina yang muncul dari dalam puru; (c) larva di dalam sayatan puru; (d) pupa di dalam sayatan puru (Dhahri et al. 2010) kemudian siap untuk meletakkan telur kembali. Imago meletakkan telur pada bagian tanaman yang masih muda seperti tulang daun, petiol, dan tunas (Kavitha Kumari et al. 2010). Betina dapat meletakkan 80 – 100 telur di bawah jaringan epidermis tanaman. Telur bulat, putih, semi transparan dan tumpul pada salah satu ujungnya (Mutitu et al. 2008).
Ukuran telur sangat kecil sehingga sulit
11 dideteksi sebelum terbentuk puru pada bagian tanaman terserang. Berdasarkan informasi ICFR (2011), waktu perkembangan yang dibutuhkan oleh L. invasa di Afrika Selatan sejak peletakan telur hingga serangga dewasa keluar dari puru paling sedikit 72 hari. Berdasarkan studi biologi yang dilakukan oleh Kavitha Kumari et al. (2010) di India waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga muncul imago pada inang eucalyptus berkisar antara 54 – 65 hari dan imago dapat bertahan hidup tanpa makan selama 4.50 ± 0.4 hari. Doganlar (2005) melaporkan bahwa secara keseluruhan bentuk imago jantan mirip dengan imago betina kecuali pada jantan kepala dan mesosoma berwarna coklat dengan sedikit warna biru dan hijau metalik, metasoma berwarna coklat metalik, tungkai kuning pucat, kecuali pada koksa bagian tengah dan belakang yang sedikit metalik dan antena yang berwarna kuning. Larva terlindung di dalam puru.
Gejala dan Kerusakan pada Tanaman Eucalyptus Klasifikasi perkembangan puru menurut Mendel et al. (2004) dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama (1 – 2 minggu setelah oviposisi) ditandai dengan munculnya gejala pada jaringan gabus tempat telur disisipkan. Pada tahap ini terjadi sedikit perubahan morfologi pada jaringan yang diserang. Bekas luka pada jaringan gabus membesar dan bagian tulang daun tempat terdapatnya telur seringkali berubah warna dari hijau menjadi merah muda. Menjelang akhir tahap ini puru semakin mudah dikenali melalui bentuknya yang bulat, warna yang hijau mengkilap, masing-masing puru terpisah satu sama lain. Tahap ke-dua ditandai dengan perkembangan bentuk seperti benjolan dan puru mencapai ukuran yang maksimum pada tahap ini (lebar 2.7 ± 0.5 mm).
Tahap ke-tiga
dicirikan dengan memudarnya warna hijau pada bagian permukaan dan cenderung berubah menjadi merah muda dan tetap berkilau. Tahap ke-empat ditandai dengan hilangnya kilau pada permukaan puru, dengan perubahan warna menjadi lebih terang atau lebih gelap.
Tahap ke-lima dapat dikenali segera
setelah lubang tempat munculnya imago tampak. Lubang berwarna coklat pada daun dan merah kecoklatan pada batang. Di Israel waktu yang dibutuhkan mulai oviposisi hingga muncul individu baru sekitar 4.5 bulan dan waktu antara tahap empat dengan munculnya imago sekitar 4 minggu. Hasil dokumentasi Kavitha Kumari et al. (2010) tentang tahap perkembangan puru pada tanaman Eucalyptus sp. yang terserang L. invasa dapat dilihat pada gambar 2.
12 Bibit yang dihasilkan dari tempat pembibitan yang terinfestasi L. invasa dapat menjadi sumber bagi kehancuran bibit di tempat lain di lokasi tersebut (Mendel et al. 2004). Hama ini menyerang tunas dalam 1 – 2 minggu dan dapat berkembang pada ketinggian 32.7 m di atas permukaan laut.
Serangga ini
mampu membentuk 50 puru pada satu daun (Aytar 2006). Hasil pengamatan Kavitha Kumari et al. (2010) menunjukkan bahwa meskipun L. invasa dewasa aktif sepanjang hari, namun aktifitas lebih intensif selama hari cerah setelah pukul 9.30 pagi dan setelah 14.30 sore. Kerusakan parah terjadi pada bibit di pembibitan (60.18 puru per 10 cm tunas) dan pada tanaman dewasa (15,67 puru per 10 cm tunas).
Banyaknya jumlah telur akibat adanya oviposisi yang
berulang-ulang pada daun yang sama menyebabkan terhambatnya pertumbuhan daun.
a
b
c
d
e
Gambar 2
f
Lima tahap perkembangan puru akibat serangan L. invasa pada tanaman Eucalyptus sp. (a) ooze yang muncul setelah oviposisi; (b) tahap I; (c) tahap II; (d) tahap III; (e) tahap IV; (f) lubang keluar imago L. invasa (Kavitha Kumari et al. 2010)
Pada serangan yang cukup parah ujung bibit dan tunas mengering. Puru terutama terbentuk pada batang atau percabangan dan jarang ditemukan pada
13 daun, sedangkan pada tanaman dewasa puru lebih sulit ditemukan (La Salle et al. 2008). Serangan L. invasa mampu menyebabkan daun keriput, daun gugur, hilangnya vigor tanaman, pertumbuhan tanaman kerdil, mati pucuk hingga kematian pada tanaman eucalyptus (Mendel et al. 2004). Thu et al. (2009) menambahkan bahwa puru yang terbentuk pada daun eucalyptus dapat menyebabkan deformasi pada tunas dan ujung daun. Daun menjadi lebih cepat kering dan gugur. Infestasi yang berat menyebabkan retardasi pada klon dan bibit eucalyptus. Dampak kerusakan serangan hama ini mulai berkurang pada tanaman berumur lebih dari dua tahun. Kerusakan yang disebabkan pembentukan puru pada tanaman eucalyptus sudah tampak pada beberapa tahun terakhir. Sri Lanka mengindikasikan adanya infestasi serangga ini pada tanaman E. grandis, E. robusta dan E. microcorys. Pada tahun 2010 dilaporkan bahwa sebanyak 97% tanaman eucalyptus yang tersebar di Sri Lanka terancam serangan L. invasa (Karutnaratne et al. 2010). Kerusakan parah tercatat pada bibit dan tanaman muda E. camaldulensis dan E. urophylla di Vietnam bagian utara, tengah dan tenggara, dan saat ini semakin sulit untuk menemukan bibit tanaman sehat pada perkebunan baru. Serangga ini juga menjadi masalah bagi bibit dan tanaman E. camaldulensis di Thailand dan Cina (Thu et al. 2009). Hasil penelitian di Queensland menunjukkan bahwa puru lebih sering ditemukan pada tanaman E. tereticornis berumur 3 sampai 4 tahun (La Salle et al. 2008). Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama ini di Kenya mencapai 4% pada tanaman di bawah 5 tahun dan 20% pada bibit (KEFRI 2007).
Iklim Mendel et al. (2004) melaporkan tahap oviposisi dan perkembangan hama terjadi selama musim panas (April sampai Oktober). Perkembangan pada musim dingin berjalan lebih lambat. Tahap 3 dan 4 perkembangan puru di musim dingin mulai muncul pada bulan April hingga Mei. Pada awal musim dingin, larva telah memasuki tahap akhir atau bahkan telah berpupa sehingga dapat melanjutkan perkembangannya pada musim semi berikutnya. Tanaman pada awal musim semi (Maret) dapat terhindar dari serangan L. invasa, karena aktivitas hama ini terjadi setelah periode musim dingin ketika suhu rata-rata maksimum meningkat di atas 20 °C. Mutitu et al. (2008) melaporkan tidak terdapat perbedaaan yang nyata antara area di Kenya. Sebaliknya terdapat perbedaan yang nyata pada
14 kejadian dan keparahan serangan hama antara area yang berbeda di Uganda. Pada ketinggian yang lebih rendah, tingkat kerusakan lebih rendah dibandingkan dengan area yang lebih tinggi. Nyeko et al. (2009) menyatakan kejadian dan keparahan serangan hama lebih tinggi pada area agroekologi yang lebih panas dan kering dibandingkan dengan area yang dingin dan basah.
Penulis juga
melaporkan terdapat hubungan negatif antara ketinggian tempat dan infestasi L. invasa pada tanaman eucalyptus. Hama ini tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari 1 938 m di atas permukaan air laut. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Roux dan Slippers (2007), daerah yang lebih panas dan kering cenderung lebih rentan terhadap serangan L. invasa dibandingkan dengan daerah yang dingin.
Mendel et al. (2004)
melaporkan keberadaan hama ini di Lembah Bet Shean dan Golan Selatan di Israel yang diketahui memiliki musim panas dan dingin dengan suhu yang ekstrim. Hal ini menunjukkan bahwa populasi hama ini dapat berkembang baik pada kisaran suhu yang cukup luas. ICFR (2011) juga menyatakan bahwa L. invasa memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam. Oviposisi dan perkembangan setiap fase L. invasa di Israel terjadi pada musim panas, namun perkembangan serangga ini dapat ditekan dan lebih lambat terjadi pada musim dingin.
Sri Lanka, negara yang memiliki iklim panas sepanjang
tahun baik pada area kering maupun sedang diketahui dapat memberikan kondisi yang optimal bagi perkembangan serangga ini (Karutnaratne et al. 2010).
Musuh Alami L. invasa Pengendalian biologi merupakan cara yang baik untuk mengelola suatu spesies asing invasif di area yang luas.
Di Australia, parasitoid memegang
peranan penting dalam mengendalikan populasi L. invasa (Kim et al. 2008). Karantina Israel melakukan pengujian terhadap agens pengendali biologi L. invasa.
India akan memasukkan parasitoid tersebut untuk dikembangkan
sebagai salah satu upaya pengendalian biologi (Kavitha Kumari 2009). Kim et al. (2008) mencatat bahwa Megastigmus spp. (Hymenoptera: Torymidae) dan Aprostocetus spp. (Hymenoptera: Eulophidae) merupakan parasitoid larva pupa pada L. invasa. Megastigmus spp. dikenal dapat memarasit L. invasa di Italia, Turki dan Israel (Noyes 2007, Protasov et al. 2008) (Gambar 3).
15 a
b
c
d
e
f
Gambar 3 Parasitoid L. invasa: (a) Megastigmus sp. (♀) ; (b) Megastigmus sp. (♂); (c) Aprostocetus gala; (d) Aprostocetus sp. (a – d parasitoid larva-pupa); (e) Parallelaptera sp.; (f) Telenomus sp. (Kavitha Kumari 2009) Dua spesies dari Subfamili Tetrastichinae (Hymenoptera: Eulophidae) asal Australia yang diketahui dapat menjadi parasitoid pada L. invasa yaitu Quadrastichus mendeli Kim & La Salle dan Selitrichodes kryceri Kim & La Salle (Gambar 4).
Menurut La Salle et al (2008) kedua parasitoid ini berukuran
panjang ± 1 mm, soliter dan merupakan serangga ektoparasitik, S. kryceri biparental sedangkan Q. mendeli adalah uniparental.
Keduanya mampu
memarasit masing-masing 2.2 dan 2.5 puru per hari, dan berkembang pada larva
16 awal maupun larva akhir dari L. invasa. Kedua parasitoid ini berhasil digunakan di Israel sebagai bagian dalam program pengendalian biologi pada tanaman eucalyptus yang terserang L. invasa.
a
b
Gambar 5 Parasitoid larva L. invasa asal Australia (a) Quadrastichus mendeli (♀); (b) Selitrichodes kryceri (♀) (Kim et al. 2008) Keberadaan Aprostocetus spp. di India dilaporkan oleh Noyes (2007), pada saat ini parasitoid tersebut dapat menjadi agens pengendali hayati bagi L. invasa. Gupta dan Poorani (2009) melaporkan lima spesies parasitoid L. invasa di India antara lain Aprostocetus gala dan Aprostocetus sp., Megastigmus sp., Parallelaptera sp. (Hymenoptera: Mymaridae) and Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelionidae). Dari kelima spesies di atas Megastigmus sp. merupakan spesies yang paling melimpah di Italia, Turki dan Israel (Protasov et al. 2008). Hasil penelitian Kulkarni et al. (2010) menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi parasitoid Megastigmus dan A. gala berturut-turut mencapai 28.33% dan 16.45% pada kondisi rumah kaca. Menurut Kavitha Kumari (2009), tingkat parasitisasi A. gala berada pada kisaran 9.09 sampai 38.38%.
17 Persebaran L. invasa L. invasa diduga berasal dari Queensland, Australia. Pertama kali tercatat ditemukan di Timur Tengah pada tahun 2000, namun saat ini telah dilaporkan ditemukan tersebar di Afrika, Asia, Eropa, Oceania dan Amerika (Gambar 5).
Gambar 5 Peta persebaran L. invasa di dunia (Sumber: http://silverlight2.blogspot. com; Aytar 2003, 2006; Mutitu 2003; Mendel et al. 2004; Branco et al. 2005; Kumar et al. 2007; Nyeko et al. 2007; Wiley 2008; Gaskill et al. 2009; Thu et al. 2009, Dhahri et al. 2010, Karutnaratne et al. 2010.)
Kisaran Inang L. invasa E. botryoides. E. bridgesiana, E. camaldulensis, E. globulus, E. gunii, E. grandis, E. robusta, E. saligna, E. tereticornis, E. cineria, E. nicholoi, E. pulverulenta, dan E. viminalis merupakan inang bagi L. invasa.
Di antara
beberapa spesies tersebut E. camaldulensis merupakan spesies yang paling rentan terhadap serangan L. invasa.
Hal ini disebabkan E. camaldulensis
menghasilkan generasi baru sepanjang musim panas (April – Oktober) secara paralel sehingga makanan selalu tersedia dan proses reproduksi hama terus berlangsung (Mendel et al. 2004). Sebanyak sepuluh dari 36 spesies Eucalyptus yang diujikan di Israel rentan terhadap serangan L. invasa. E. torquata, E. woodwordii dan turunannya bukan merupakan inang bagi L. invasa, begitu pula E. gompocephala, dan E. occidentalis tidak diserang oleh L. invasa. L. invasa seringkali dapat meletakan telur pada E. erythrocorys, namun tidak tampak adanya perkembangan terbentuknya puru (Mendel et al. 2004). Analisis fisik daun eucalyptus berdasarkan ketebalan dan permukaan daun menunjukkan hasil
18 yang tidak berbeda nyata antara genotip spesies yang tahan dan rentan, namun hal tersebut dapat dibedakan melalui analisis kimia. Mutitu et al. (2008) melaporkan kejadian dan keparahan serangan L. invasa dari tingkat yang tinggi ke rendah berturut-turut terjadi pada E. camaldulensis diikuti E. grandis, E. saligna dan E. robusta. Thu et al. (2009) mengevaluasi kerentanan beberapa eucalyptus terhadap serangan L. invasa di lokasi pembibitan dan tanaman eucalyptus muda di Vietnam. Corymbia henryi, C. citriodora, dan C. tesselaris bukan merupakan inang bagi L. invasa, begitu pula E. cloeziana yang resisten terhadap serangan L. invasa. Tingkat kerusakan menengah terjadi pada E. pellita, E. microcorys, E. pilularis, E. robusta, E, coolabahs, E, globulus, E. smithii, E. moluccana dan C. polycarpa, sementara E. grandis, E. camaldulensis dan E. tereticornis sangat rentan terhadap L. invasa. Menurut APF ISN (2011) beberapa spesies eucalyptus yang diketahui dapat menjadi inang bagi L. invasa antara lain E. saligna, E. grandis, E. deanei, E. globulus s.sp globulus, E. nitens, E. botryoides, E. camaldulensis, E. gunnii, E. robusta, E. bridgesiana, E. viminalis dan E. tereticornis. Nyeko et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat serangan L. invasa lebih tinggi pada persilangan antara tanaman E. grandis dan E. camaldulensis daripada E. grandis dan E. urophylla.
Penyebaran L. invasa Salah satu cara penyebaran yang paling memungkinkan bagi L. invasa adalah melalui lalu lintas media pembawa, angin dan melalui alat transportasi. Imago dapat menyebar cepat dengan bantuan angin maupun transportasi udara. Selain itu juga dapat berpindah ke area baru melalui pemasukan bibit dan lalu lintas komoditas. Ukuran tubuh imago yang relatif kecil tidak memungkinkan hama ini aktif terbang dalam jarak yang jauh (APF ISN 2011). Mendel et al. (2004) melaporkan bahwa penyebaran dan perkembangan populasi yang cepat mungkin disebabkan oleh tipe reproduksi telitoki dan perkembangan multivoltin serta tidak adanya musuh alami utama (Mendel et al. 2004). Sampai saat ini belum diketahui berapa cepat L. invasa mampu memencar secara alami. Namun, spesies ini diketahui telah tersebar dari utara ke selatan Afrika dalam waktu kurang dari satu dekade.
Cara penyebaran yang paling
memungkinkan adalah dengan bantuan manusia, yaitu melalui material tanaman yang di dalamnya mengandung larva.
Oleh karena itu perlu dihindari
19 perpindahan material tanaman dari area terinfestasi ke area bebas. Sebelum bibit dipindahkan ke area lain sebaiknya dilakukan pemeriksaan terlebih dulu (ICFR 2011).
L. invasa yang masuk ke India diduga berasal dari Ausralia.
Introduksi serangga ini ke India kemungkinan terjadi melalui pertukaran material vegetatif tanaman eucalyptus (Ananthakrishnan dan Jesudasan 2009).
Eucalyptus di Indonesia Pinus dan eucalyptus merupakan genus tanaman yang paling banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis. Data yang diterbitkan oleh FAO (1995) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1.4 juta ha perkebunan eucalyptus di wilayah Asia Tenggara.
Perkiraan luas areal penanaman eucalyptus di
Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 80 000 ha, dan saat ini telah bertambah menjadi 200 000 ha. Sejak tahun 1995 sejumlah negara seperti Cina, Laos, Thailand dan Vietnam meningkatkan program penanaman eucalyptus, sehingga perkebunan eucalyptus di kawasan Asia Tenggara saat ini telah melampaui 2 juta ha (Old et al. 2003). Pertumbuhan industri kayu khususnya dari jenis eucalyptus untuk menghasilkan produk akhir berupa kertas, bubur kertas dan rayon makin meningkat. Eucalyptus ditanam dilahan marjinal/kritis khususnya pada sistem agroforestri di pulau Jawa dan spesies yang ditanam telah dilakukan uji coba dan studi kelayakan terlebih dahulu. Spesies eucalyptus asli Indonesia tersebar di wilayah timur antara lain E. deglupta (asal Sulawesi), E. urophylla dan E. alba (asal Nusa Tenggara Timur), dan E. pellita (asal Papua Barat).
E. globulus
pertama kali dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1800-an untuk ditanam disepanjang jalan di Pasuruan. Penanaman eucalyptus pada saat itu dilakukan dalam rangka mendukung program penghijauan kembali khususnya di area pegunungan di Jawa Tengah seperti Dieng, Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro, selain itu eucalyptus juga ditanam di Gunung Lawu dan Ngawi (Jawa Timur) pada tahun 1911.
Delapan spesies eucalyptus yang diketahui dapat
berperan menjadi inang bagi L. invasa di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Penanaman eucalyptus masih terbatas di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Inti Indorayon Utama, salah satu perusahaan yang bergerak di
bidang kehutanan telah mengembangkan eucalyptus sejak tahun 1987. Perusahaan ini telah menanam ± 30 ribu ha eucalyptus di Sumatera Utara yang terdiri dari E. urophylla, E. saligna dan E. grandis.
Sejak tahun 1987, Inti
20 Indorayon Utama mampu meningkatkan kapasitas produksinya hingga 165 ribu ton per tahun (Pramono dan Pudjiharta 1996). Tabel 1 Daerah sebar eucalyptus yang dapat menjadi tanaman inang L. invasa di Indonesia Nama spesies
Daerah sebar
Eucalyptus camaldulensis E. globulus E. grandis
Kalimantan (CABI 2007) Jawa (Pramono dan Pudjiharta 1996) Kalimantan, Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996, CABI 2007) Jawa, Papua (Pramono et al. 1996) Indonesia (CABI 2007) Indonesia (CABI 2007), Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996) Indonesia (CABI 2007) Papua (CABI 2007) Nusa Tenggara Timur, Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996), Sulawesi (CABI 2007)
E. robusta E. saligna E. tereticornis E. pellita E. urophylla
PT Toba Pulp Lestari, Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri bubur kertas dengan tanaman pokok eucalyptus menghasilkan 240 ribu ton bubur kertas per tahun. Penjualan bersih rata-rata PT Toba Pulp Lestari, Tbk sejak 2003 hingga 2010 mencapai
6.648 triliun rupiah (Anonim
2011). PT Riau Andalan Pulp and Paper memiliki kapasitas produksi yang jauh lebih besar untuk industri bubur kertas yaitu dua juta ton per tahun.