III. 3.1
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN UMUM MAKANAN DAN MINUMAN
3.1.1 Makanan dan Minuman (Pangan) Halal dan Thayyib Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (UU RI No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Konsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu untuk mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim. Kata halal berasal dari kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Pangan yang halal adalah pangan yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi (Girindra, 2005). Dalam hal ini, pangan yang baik dapat diartikan sebagai pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higiene baik dan kandungan gizinya yang baik. Berdasarkan ayat berikut, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q. S. Al Baqarah : 168). “Thayyib” di sini adalah sesuatu yang dipandang lezat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Syafi‟i dan ulama lainnya. Menurut Imam Malik dan ulama lainnya, “Ia (thayyib) adalah halal. Kata ini digunakan sebagai penguat firman-Nya “Halalan”. Berdasarkan hal ini, makna “thayyib” secara syar‟i di dalam Al Qur‟an merujuk pada tiga pengertian, yaitu : 1) Sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, sebagaimana pendapat Imam Ibn Katsir. 2) Sesuatu yang lezat, sebagaimana pendapat Imam al-Syafi‟i. 3) Halal itu sendiri, yaitu sesuatu yang suci. Tidak najis, dan tidak diharamkan, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Al Thabari (Yaqub, 2008). 3.1.2 Makanan dan Minuman (Pangan) Non Halal Halal berati boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Sebagai umat muslim, peraturan halal juga telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa “Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala”. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 173, Girindra (2005) menyatakan bahwa makanan yang diharamkan meliputi : 1. Bangkai, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya. 2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir. 3. Daging babi, mayoritas ulama menyatakan bahwa seluruh bagian babi haram untuk dikonsumsi, baik daging, lemak, tulang, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, maupun
6
semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. 4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Khamar ialah minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasullah saw. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Daud dari Abdullah bin Umar : Setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamr) dan setiap khamr adalah diharamkan (Departemen Agama RI, 2003).
3.2
TINJAUAN SYAR’IAH MAKANAN DAN MINUMAN
3.2.1 Ayat Al Qur’an Mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”(Q. S. Al Baqarah : 173).
7
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Peyanyang. Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.” (Q. S. Al Maidah :3-5)
“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi-karena semua itu kotor- atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena mengingikan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Penampun, Maha Penyayang.” (Q. S. Al An‟am : 145)
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl : 115)
8
3.2.2 Hadits Mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah ta‟ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya: Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu. Dia mengangkatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku”, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (Riwayat Muslim). Ibnu Abbas berkata bahwa Sa‟ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa‟ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani). I. Hewan yang Diharamkan untuk Dimakan : 1. Keledai piaraan (jinak) Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,
9
“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata, "Daging keledai telah banyak di konsumsi. " Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, "Daging keledai telah banyak di konsumsi." Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, "Keledai telah binasa." Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis." Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim). Akan tetapi boleh mengkonsumsi kuda sebagaimana pendapat mayoritas ulama. adalah hadits Jabir bin „Abdillah, beliau berkata,
Dalilnya
“Ketika perang Khaibar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang makan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda." (HR. Bukhari dan Muslim). 2. Binatang buas yang bertaring Setiap hewan yang bertaring yang digunakan untuk menyerang mangsanya, baik hewan liar (seperti singa, serigala, macan tutul,dan macan kumbang) maupun hewan piaraan (seperti anjing dan kucing rumahan) haram untuk dimakan. Hal ini terlarang berdasarkan hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim) Dari Abi Tsa‟labah, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Ibnu „Abbas, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim) An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring–menurut ulama Syafi‟iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).” Ibnu Hajar Al Asqolani (1339) dalam Fathul Bari mengatakan:
“Termasuk hewan yang dikecualikan dari kehalalan untuk dimakan adalah buaya karena ia memiliki taring untuk menyerang mangsanya.”
10
Imam Ahmad mengatakan:
“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.” 3. Setiap burung yang bercakar Setiap burung yang bercakar dan cakarnya ini digunakan untuk menyerang mangsanya (seperti burung elang), maka haram untuk dimakan. Dalilnya adalah hadits Ibnu „Abbas, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.”( HR. Muslim). Yang dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan merobek seperti pada burung nasar dan burung elang. Artinya di sini, syarat diharamkan burung yang bercakar adalah apabila cakarnya digunakan untuk menerkam atau menyerang mangsanya. Oleh karena itu, ayam jago, burung pipit, dan burung merpati tidak termasuk yang diharamkan. 4. Hewan jallalah Hewan jallalah adalah hewan yang mengkonsumsi yang najis–atau mayoritas konsumsinya najis–. Para ulama mengatakan bahwa daging atau susu dari hewan jalalah tidak boleh dikonsumsi. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad (dalam salah satu pendapatnya) dan Ibnu Hazm. Dasar pelarangan hal ini adalah hadits Ibnu „Umar,
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hewan al jallalah bisa dikonsumsi lagi apabila bau-bau najisnya hilang setelah diberi konsumsi makanan yang bersih, inilah pendapat yang shahih. Ada riwayat dari para salaf, diantara mereka memberikan rentan waktu hewan al jalalah tadi diberi makan yang bersih-bersih sehingga bisa halal dimakan kembali. Ada riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu „Umar,
“Ibnu „Umar mengkarantina (memberi makan yang bersih-bersih) pada ayam jalalah selama tiga hari.” Dikeluarkan pula oleh All Baihaqi dengan sanad yang bermasalah dari „Abdullah bin „Amr secara marfu‟ (dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam) yang menyatakan bahwa hewan al jalalah tidaklah dikonsumsi sampai hewan tersebut diberi makan yang bersih selama 40 hari. (Hajar, 1379). Hewan jalalah ini juga bisa terdapat pada ikan seperti lele yang biasa diberi pakan berupa kotoran tinja. Jika diketahui demikian, sudah seharusnya ikan semacam itu tidak dikonsumsi kecuali jika ikan tersebut kembali diberi pakan yang bersih-bersih.
11
5. Setiap hewan yang diperintahkan oleh syari‟at untuk dibunuh Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka ia haram untuk dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah tikus, kalajengking, burung gagak, al hadaya (mirip burung gagak), anjing (yang suka menggigit), ular, dan tokek. Dari „Aisyah, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari dan Muslim). An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta‟ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.” Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan dimaksud untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas, macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu „Uyainah, Imam Asy Syafi‟i, Imam Ahmad dan selainnya. Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa‟ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan:
“Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cecak.” Dari Ummu Syarik –radhiyallahu „anha-, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim 'alaihis salam.” (HR. Bukhari). Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
12
“Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.” (HR. Muslim). 6. Setiap hewan yang dilarang oleh syari‟at untuk dibunuh Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod (kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau), dan katak. Dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dari „Abdurrahman bin „Utsman, ia berkata:
“Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air yang dibolehkan untuk dikonsumsi.” Imam Ahmad mengatakan, “Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.” II. Minuman yang Diharamkan untuk Diminum
Dari Ibnu „Umar ra., ia berkata : “Umar pernah berdiri berkhutbah di mimbar, ia berkata, “Amma ba‟du. Sesungguhnya telah turun ketetapan haramnya khamr, dan khamr itu (terbuat) dari lima macam, yaitu dari anggur, kurma kering, madu, gandum yang bagus, dan sya‟ir (gandum biasa). Dan khamr adalah sesuatu yang menutupi akal.” (HR Bukhari juz 6, hal 241).
13
Dari Jabir bin „Abdullah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Minuman yang dalam jumlah banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram” (HR Ibnu Majah juz 2, hal 1125, no. 3393).
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Thalhah bertanya kepada Nabi SAW tentang beberapa anak yatim yang mewarisi khamr, belaiu SAW menjawab, “Buanglah! (Abu Thalhah) bertanya, “Apakah tidak boleh saya jadikan cuka?” Jawab beliau, “Tidak.” (HR Abu Daud juz 3, hal 329, no. 3675). 3.2.3 Pendapat Ulama mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman Al Qur‟an tidak menyebutkan pengharaman sesuatu pun dari binatang darat kecuali secara khusus daging babi juga bangkai, dan darah, serta semua binatang yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dengan bentuk pembatasan yang haram atas empat macam secara global dan sepuluh macam secara terinci (Qardhawi, 2000). Namun dijelaskan di dalam Al Qur‟an tentang halal-haram, “Ia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor.” (Q.S. Al-A‟raf : 157). Maksud jallalah (yang kotor) adalah semua binatang yang dirasa kotor oleh selera dan perasaan orang pada umumnya, meskipun beberapa orang mungkin menganggapnya tidak demikian. Contohnya Rasulullah saw. mengharamkan untuk menyantap daging keledai jinak di Perang Khaibar. “Rasulullah saw. melarang makan daging keledai jinak pada hari Perang Khaibar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari Muslim yang lainnya ada juga pengharaman jenis hewan lain, yaitu“Diharamkan binatang yang memiliki taring, seperti binatang buas dan yang memiliki cakar, seperti bangsa burung.” (HR. Bukhari). Binatang buas yang dimaksud adalah binatang yang memangsa binatang lain, atau memakan dengan kejam seperti singa, macan, serigala, dan semisalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan binatang yang memiliki cakar dan kuku tajam dari jenis burung misalnya adalah burung rajawali dan elang (Qardhawi, 2000). Madzhab Ibnu Abbas menyebutkan bahwa tidak ada yang haram kecuali empat jenis yang dituturkan dalam Al Qur‟an. Ia sepertinya menganggap bahwa hadits-hadits larangan untuk binatang buas dan lain-lain hanya memberikan makna dibenci bukan diharamkan, atau mungkin riwayat ini belum sampai kepadanya. Ia berkata, “Masyarakat Jahiliyah zaman dahulu memakan banyak jenis makanan dan meninggalkan banyak jenis juga lantaran dianggap kotor. Lalu Allah SWT mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Allah halalkan yang halal dan haramkan yang haram. Apa yang dihalalkan, maka dia halal hukumnya dan apa yang diharamkan maka ia haram hukumnya, sedangkan yang didiamkan maka ia dapat ditoleransi. Lalu ia membaca, “Katakanlah, „Tiada kuperoleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku makanan yang diharamkan…‟” (Q.S. Al An‟am 145). Dengan ayat ini Ibnu Abbas melihat bahwa daging keledai jinak halal saja hukumnya. Imam Malik mengikuti madzhab Ibnu Abbas ini, yaitu ia tidak mengatakan haramnya binatang buas dan semisalnya, melainkan hanya memakruhkannya.
14
Ada suatu ketetapan bahwa penyembelihan yang syar‟i tidak ada pengaruhnya pada binatangbinatang yang memang haram hukumnya, dalam hal memakan dagingnya, kecuali pada sucinya kulit tanpa harus disamak (Qardhawi, 2000).
3.3
TINJAUAN SYAR’IAH ISTIĤĀLAH
Salah satu hal yang berkaitan dengan najis adalah istiĥālah. Istiĥālah menurut Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah perubahan (konversi) dan peralihan sebuah hakikat benda. Sedangkan menurut Ibn‟Abidin, istiĥālah ada dua macam; (1) perubahan suatu benda dari suatu sifat ke sifat lainnya dan (2) perubahan suatu benda dari satu hakikat ke hakikat lainnya. Al„Allamah Ibn Qasim al-Ghazali dari kalangan Syafi‟iyah menuturkan bahwa istiĥālah adalah perubahan sesuatu dari sifat yang satu ke sifat yang lain. Jika demikian, istiĥālah ada dua macam ; 1. Perubahan suatu benda dari sifat yang satu ke sifat yang lain. 2. Perubahan suatu benda dari hakikat yang satu ke hakikat yang lain. Sebagai contoh adalah perubahan khamr menjadi cuka. Perubahan ini terjadi karena peralihan sifat dari khamr ke cuka. Adapun contoh yang kedua adalah perubahan anjing, jika jatuh ke tempat pembuatan garam, maka ia akan berubah menjadi garam, dan jika terbakar, maka ia menjadi abu. Perubahan ini terjadi karena peralihan hakikat dari anjing ke garam atau abu. Menurut Yaqub (2008), berdasarkan contoh kasus perubahan khamr menjadi cuka, maka istiĥālah dapat diklasifikasikan menjadi dua; istiĥālah dengan sendirinya dan istiĥālah dengan campur tangan manusia. Contoh yang pertama, perubahan khamr menjadi cuka tanpa ada campur tangan atau rekayasa manusia. Contoh yang kedua, perubahan khamr menjadi cuka dengan campur tangan manusia. Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam khamr hingga terjadi perubahan menjadi cuka, atau memindahkan khamr dari suatu tempat ke tempat yang lain hingga akhirya berubah menjadi cuka. Istiĥālah adalah suatu proses di mana substansi asli produk tertentu berhasil dilewati, dan hasil akhirnya adalah produk atau bahan tersebut telah benar-benar berubah dari produk asli ke produk lain yang berbeda bahan maupun atributnya. Hal ini dapat terjadi secara alami atau dengan bantuan manusia. Berikut ini adalah pendapat para fuqaha berbagai mazhab mengenai masalah-masalah fiqh yang berhubungan dengan istiĥālah. 1. Fuqaha al-Hanafiyah Para ulama Hanafi menyatakan kesucian khamr apabila telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau dengan sengaja atau dengan upaya-upaya manusia seperti dengan memasukkan atau mencampurkan sesuatu ke dalamnya, memindahkan dari tempat terik ke tempat teduh, atau sebaliknya, menyalakan api di dekatnya, atau dengan cara apa saja. Benda-benda najis berubah menjadi suci apabila substansinya ber-istiĥālah, seperti perubahan menjadi garam atau terbakar api (Al Ikhlas 1985). 2. Fuqaha al-Malikiyyah Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa istiĥālah merupakan proses pencuci. Di dalam proses pembuatan cuka, menurut pendapat yang kuat dari mazhab Maliki, tidak ada perbedaan apakah berproses dengan sendirinya, ataukah dengan sengaja diolah, sama saja hasilnya berupa cuka yang suci. Akan tetapi, al Qurtubi menceritakan riwayat dari Imam Malik yang membedakan proses alami dengan proses buatan. Walaupun demikian, para ulama Malikiyyah berpendapat apabila khamr dipadatkan dan hilang sifat memabukkannya, maka ia menjadi suci, dengan catatan sekiranya mencair kembali sifat memabukkannya tetap hilang. Perubahan khamr menjadi cuka itu suci karena merupakan hasil istiĥālah dari seluruh sifat-sifat khamr dan keluar dari sebutan atau namanya menjadi sifat-sifat dengan nama yang dikhususkan bagi keduanya. Hal ini terjadi sebagaimana darah dan
15
makanan-makanan hewan yang najis menjadi daging yang suci, sebagaimana pula terbentuknya buah anggur atau sayuran dari kotoran dan benda najis lainnya (Muhammad, 1977). 3. Fuqaha asy-Syafi‟iyah Menurut Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa al- istiĥālah bukanlah proses pensuci, kecuali dalam tiga kasus berikut : a. Istiĥālah menjadi hewan, karena kehidupan (ruh) jelas-jelas mempengaruhi di dalam meniadakan sifat najis, sedangkan istiĥālah menjadi selain hewan, seperti bangkai anjing jatuh di tambak garam kemudian berubah menjadi garam, atau pupuk kandang dibakar sehingga menjadi abu, maka istiĥālah demikian tidak menjadi benda suci. b. Kulit yang disamak berdasarkan pendapat bahwa proses penyamakan kulit termasuk iĥālah (istiĥālah) bukan izālah, yakni bukan pengilangan najis atau pembersihan kulit itu dari najis-najis yang mengotorinya, tapi pengubahan najis itu menjadi kulit yang suci. c. Khamar yang berubah secara alami menjadi cuka, sedangkan jika melalui proses buatan, para ulama Syafi‟iy membedakan di antara dua hal : 1) Cuka tetap najis jika diproses dengan cara memasukkan sesuatu ke dalam khamr asalnya. 2) Menjadi suci jika diproses dengan cara memindahkan khamar asalnya dari tempat panas terik ke tempat yang teduh, atau sebaliknya, atau dengan cara membuka tutup wadahnya untuk mempercepat masuknya udara yang mengubahnya menjadi cuka. Dalam pemahaman ulama Syafi‟iyah, istiĥālah benar-benar efektif terutama dalam dua proses saja, yaitu penyamakan kulit dan perubahan khamar menjadi cuka. Hewan-hewan yang terjadi melalui istiĥālah benda-benda najis dan dihukumi suci bukan karena semata-mata terjadinya istiĥālah, melainkan eksistensi ruhnyalah yang mensucikan. Jika ruhnya lenyap, jadilah bangkai yang najis. Demikian pula, misik, alaqah, susu, dan sebagainya. Dihukumi suci bukan karena proses istiĥālah, melainkan karena ada dalil-dalil yang lain. 4. Fuqaha al-Hanabilah Menurut pendapat yang kuat dari Ulama Hanabilah, istiĥālah tidak mensucikan benda-benda najis. Sebab, Nabi saw. melarang memakan al-jallalah dan susunya karena kebiasaannya memakan benda-benda najis. Seandainya al-jallalah suci karena istiĥālah, tentu Nabi tidak akan melarangnya. Oleh karena itu, apabila anjing masuk ke tempat pembuatan garam, atau mati di dalamnya sehingga menjadi garam, atau kotoran kering dan najis dibakar sehingga menjadi abu, maka hukumnya najis. Ada beberapa benda hasil istiĥālah yang dihukumi suci, dikecualikan dari ketentuan di atas, yaitu : a. Segumpal darah di dalam rahim yang berubah menjadi hewan yang suci. b. Kulit najis yang telah di samak, berdasarkan penyamakan termasuk iĥālah. c. Khamr setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Jika sengaja dibuat cuka, maka hukum cuka hasil istiĥālah itu tetap najis karena ada larangan dari Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, dan Imam Tirmiziy (Ibn, 1988). Muhammad Bāqiral-Majlisiy memahami istiĥālah sebagai gejala perubahan benda sebagaimana ia bedakan menjadi sembilan macam : 1. Abu yang dihasilkan pembakaran benda-benda najis 2. Asap yang ditimbul dari benda-benda najis 3. Arang yang dihasilkan dari pembakaran benda-benda najis 4. Tembikar yang diolah dari tanah najis (mutanajjis) 5. Benda-benda najis yang berubah menjadi tanah atau cacing , ulat dan sejenisnya 6. Adonan roti yang menggunakan air mutanajjis 7. Babi yang terbenam di ladang garam hingga berubah menjadi garam, atau kotoran yang telah berubah menjadi lumpur hitam
16
8.
Nutfah najis yang berubah menjadi hewan suci, air najis yang berubah menjadi kencing hewan yang dagingnya halal, pakan najis yang berubah menjadi kotoran hewan yang halal dagingnya, darah yang berubah menjadi nanah atau bagian tubuh hewan yang tak berdarah merah, kotoran yang berubah menjadi tumbuhan, atau buah-buahan 9. Uap yang timbul dari cairan najis Pengertian dan pembedaan gejala istiĥālah menjadi sembilan macam yang dikemukakan oleh al-Maqdisiy nampaknya didasarkan atas hasil yang terjadi dari proses istiĥālah, bukan dari jenis proses istiĥālah-nya. Sebab, abu, asap, arang, atau tembikar diperoleh dari proses yang relatif sama, yaitu pembakaran melalui persentuhan dengan api. Roti yang dicontohkan di atas diperoleh melalui pemanggangan. Cacing, ulat, hewan suci dan bagian tubuhnya, yang terjadi dari najis terbentuk melalui proses biologis. Uap yang timbul dari cairan najis dapat terjadi melalui kenaikan suhu. Babi yang berubah menjadi garam, kotoran yang berubah menjadi lumpur hitam, dan lain-lainnya, terjadi melalui proses penguraian yang sangat rumit, dengan bantuan mikroorganisme.
3.4 TINJAUAN ILMIAH KOLAGEN DAN GELATIN 3.4.1 Kolagen Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat putih (white connetive tissue) yang meliputi hampir 30 persen dari total protein pada jaringan danorgan tubuh vertebrata dan invertebrata. Pada mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat. Demikian juga pada burung dan ikan, sedangkan pada avertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Bailey and Light, 1989). Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin, dan hidroksiprolin merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino pembatas dalam berbagai protein (Chaplin and Nyachoti, 2005). Untuk saat ini, sekitar 27 jenis kolagen telah teridentifikasi (Schrieber dan Garies, 2007). Molekul kolagen terdiri dari tiga rantai α yang saling terkait yang disebut triple-heliks kolagen, strukturnya mengadopsi struktur 3D yang menyediakan bentuk geometri ideal untuk ikatan antarrantai hidrogen (Nijenhuis, 1997). Setiap rantai heliks berputar berlawanan. Triple-heliks memiliki panjang sekitar 300 nm, dan memiliki berat molekul sekitar 105 kDa (Papon et al., 2007). Struktur triple-heliksnya distabilkan oleh ikatan antar-rantai hidrogen tersebut. Denaturasi dari kolagen menyebabkan hilangnya konformasi triple-helix (Papon et al., 2007). Kolagen adalah satu-satunya protein mamalia yang mengandung sejumlah besar hidroksiprolin dan hidroksilisin dengan kadar total asam imino (prolin dan hidroksiprolin) yang tinggi. Total urutan glisin–proline–hidroksiprolin merupakan hal yang utama yang mempengaruhi kestabilan terhadap panas dari kolagen (Burjandze, 2000). 3.4.2 Gelatin Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin dan Nyachoti, 2005). Komposisi asam amino dari gelatin sangat dekat dengan kolagen induknya dan dikarakterisasi oleh urutan triplet Gly-XY yang berulang, dimana X adalah prolin dan Y sebagian besar merupakan hidroksiprolin (Eastoe dan Leach, 1977). Sumber
17
terbanyak dari gelatin adalah kulit babi (46%), kulit sapi (29.4%), serta tulang babi dan sapi (23.1%) (Gómez-Guillén et al., 2009). Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glikol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Menurut Norland (1997), gelatin mudah larut pada suhu 71.1oC dan cenderung membentuk gel pada suhu 48.9 oC. Sedangkan menurut Montero et al. (2000), pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49oC atau biasanya pada suhu 60 – 70oC. Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982). Menurut Utama (1997), sifat-sifat seperti itulah yang membuat gelatin lebih disukai dibandingkan bahan-bahan semisal dengannya seperti gum xantan, keragenan dan pektin. 3.4.3 Pembuatan Gelatin Gelatin terbuat dari denaturasi termal dari kolagen. Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen silang protein dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisis, pH dan suhu akan berbeda-beda (Gilsenan et al., 2000). Menurut Hinterwaldner (1977), proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap : 1) tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku, 2) tahap konversi kolagen menjadi gelatin, dan 3) tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan. Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1 –2 menit (Pelu et al., 1998). Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32–80oC sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Wars dan Courts, 1977). Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein (Utama, 1997). Menurut Wiyono (1992), asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4–7 %. Sedangkan menurut Hinterwaldner (1977), proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberapa hari sampai dua minggu. Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan (swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Surono et al., 1994). Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan baunya tdak meyengat. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potasium hidroksida (Choi and Regestein, 2000). Menurut Ward dan Court (1977) asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak
18
daripada larutan basa. Oleh karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan. Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40–50oC (Choi and Regenstein, 2000) hingga suhu 100oC (Viro 1992). Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4–5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1997). Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk mencegah denaturasi lanjutan (Utama, 1997). Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40– 50oC (Choi and Regenstein, 2000) atau 60–70oC (Pelu et al., 1998). Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas permukaan bahan, sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan mudah digunakan. Kulit yang telah direndam dicuci dengan air mengalir hingga mencapai pH 6-7, karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non-kolagen pada kulit sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1977). Ekstraksi dilakukan pada suhu 60oC sistem water bath, dimana perbandingan kulit dengan air adalah 1 : 2. Pemanasan perlu dilakukan karena gelatin umumnya akan melarut dalam air hangat (T≥ 40C) (Ross-Murphy, 1991). Ekstraksi dengan air hangat akan melanjutkan perusakan ikatan-ikatan silang, serta untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor penstabil struktur kolagen. Gelatin yang diperoleh dari ekstraksi disaring dengan kain katun untuk dipisahkan dari kulit dan memperoleh filtrat yang jernih. Filtrat kemudian didinginkan dalam lemari pendingin (15 oC) untuk memadatkan struktur gel gelatin. Pendinginan akan membentuk gel yang thermoreversibel. Proses pendinginan pada temperatur 15oC, yaitu dibawah temperatur leleh (Tm) gelatin. Pendinginan mengakibatkan transisi struktur gulungan yang acak menjadi struktur helik yang baru dan akan memperkuat kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Struktur helik yang baru bentuk tersebut tidak sama dengan struktur asli kolagen, karena terbatasannya jumlah tripel helik yang terbentuk kembali.
3.5
SISTEM JAMINAN HALAL (LPPOM MUI 2008)
Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan, dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI (LPPOM MUI, 2008). Sistem jaminan halal merupakan kerangka kerja yang dipantau terus-menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan, baik secara internal maupun secara eksternal. Kerangka sistem jaminan halal digambarkan dalam bentuk siklus operasi yang ditampilkan pada gambar berikut :
19
Gambar 2. Siklus operasi SJH (LPPOM MUI, 2008) Penjelasan siklus operasi tersebut adalah sebagai berikut : I. Kebijakan halal Pernyataan kebijakan halal adalah langkah awal dan menjadi dasar (jantung) dalam: 1. Menyusun manual SJH (Planning) 2. Melaksanakan SJH (Implementation) 3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan SJH (Monitoring and Evaluation) 4. Tindakan perbaikan terhadap pelaksanaan SJH (Corrective Action) II. Perencanaan (Planning) Perusahaan menyusun manual SJH standar III. Pelaksanaan (Implementation) Perusahaan melaksanakan semua yang telah direncanakan seperti tertulis dalam Manual SJH. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaanya. IV. Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation) Perusahaan memantau dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan. V. Tindakan perbaikan (Corrective Action) Perusahaan memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki perencanaannya untuk mencapai hasil yang lebih baik. Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject, tetap inspectio. Karena itu dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect, dan zero risk (three zero consept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Sistem jaminan halal merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal.
20