TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI WILAYAH PERAIRAN SELAT MALAKA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : Nama
: Eka Krisnawati
NIM
: 030200044
Departemen
: Hukum Pidana
Program
: Reguler (Pagi)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI WILAYAH PERAIRAN SELAT MALAKA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : Nama
: Eka Krisnawati
NIM
: 030200044
Departemen
: Hukum Pidana
Program
: Reguler (Pagi)
Disetujui oleh : Ketua Departemen
Abul Khair, SH.MHum
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Madiasa Ablisar, SH. MS
M. Ekaputra, SH.MHum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia dari-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara ini. Adapun yang menjadi judul dari skripsi ini adalah “Tindak Pidana Perompakan di Wilayah Perairan Selat Malaka” Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata merupakan jerih payah penulis sendiri, tetapi juga berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis sampai terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH.MHum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Abul Khair, SH.MHum selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana. 3. Bapak Madiasa Ablisar, SH.MS dan Bapak M. Ekaputra, SH.MHum selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah sangat membantu dan telah sudi meluangkan waktunya untuk membaca dan memeriksa serta memberikan petunjuk dan pengarahan hingga selesainya skripsi ini. 4. Bapak Makdin Munthe, SH.MHum selaku Dosen Wali.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
5. Seluruh staf pengajar dan staf pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Kepada orang tua tersayang, Bapak Eko Laksono Putro (Pak uban) yang baik hati, jujur dan pekerja keras dan Ibu Iswati yang imut-imut, karena telah rela membesarkan dan mendidik anak-anaknya yang nakal-nakal ini, termasuk Mbak Ina, sehingga menjadi manusia yang lumayan beradab. Makasih tak terhingga ya, untuk Romo dan Ibu sayang, walaupun Mbak Ina bandel, nakal dan susah dikasih tahu tapi Mbak Ina sayaaaaaang banget sama Romo dan Ibu. Swear !! 7. Kepada adik-adik mbak yang bandel-bandel, Donik Dwi Noviany, adik kakak yang cerewet dan gampang marah, yang udah membantu mengetik skripsi waktu tangan kakak sudah pegel, untuk Nurul Bashiroh, adik mbak yang cerewet dan gampang ngambek, makasih juga udah membantu mbak mengetik sedikit waktu mata mbak sudah berat. Juga untuk Jala Sena Putra, adik laki-laki mbak satu-satunya yang super aktif dan bandel, makasih udah meramaikan rumah kita yang udah ramai ini. Makasih ya, adik-adik mbak yang manis, imut, ganteng, dan ngegemesin. 8. Untuk para lek (Lek Probo yang selalu bantu Mbak Ina ngerjain tugas sekolah, Lek Catur yang luar biasa gosong, Lek Tanto yang selalu ngasih uang jajan extra), matur nuwon, yo, lek. 9. Untuk sahabat dan teman-temanku semasa sekolah hingga saat ini, Mariance (makasih atas pinjaman komik-komiknya, dan udah jadi pendengar keluhan dan omelanku selama 10 tahun ini), Dewi Fatimah Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(makasih udah menunjukkan semangat kerja kerasmu padaku), Narsih yang imut-imut kaya’ marmut, Firman Syahputra (makasih udah dengerin curhatku, semoga kamu jadi perwira yang jujur dan berani), Dwi Kurniawan yang menjadi motivator untuk skripsiku karena selalu nanya, kapan lulus? Kapan lulus? Kapan lulus? 10. Untuk teman-teman baikku, Besti R.A. Sitompul yang udah mau nyimpan curhat-curhatku baik-baik (Bes, cobalah untuk setia…..;) ), Esnita N. Simbolon yang mau nemenin aku kesana kemari (makasih ya, Bolon!), Erlan Banjarnahor yang selalu kasih aku masukan (kembalilah ke jalan yang benar yach, Lan), Ahmad Azhary (itulah pilihanmu, hehe….), Nuridayati (yang semangat kuliahnya, Nur,ok?!), Mona J. Harvey (jangan terlalu sering ke kamar mandi, Mon), Meirini yang selalu meiyongmeiyong, Ayu Andanaly, dan teman-teman stambuk 2003 lain yang tidak dapat kusebutkan namanya satu per satu, makasih udah mo jadi temanku, yach…. 11. Untuk pihak-pihak pendukung, Amelia Claudy yang selalu sakaw kalo minta susu, dan M. Zulfadly Hakim yang cerewet dan beliin kakak komik tanggung (cuma dibeliin jilid 1 doank, sich), Oka (makasih ya coklatnya), Susan, Masrah, Lidya, Yessi, Devi dan Rudi yang udah bantuin Donik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang udah ngerusakin hp kakak. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak, maka penulis tidak akan mengkin mampu Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dan kekurangan selama ini. Semoga Allah SWT mengkaruniakan kebahagiaan dunia akhirat kepada kita semua. Amin. Hormat saya,
Penulis
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................... i Daftar Isi ........................................................................................................... iv Abstraksi ........................................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................1 A. Latar Belakang ...................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................. 4 C. Keaslian Penulisan ................................................................ 5 D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 6 E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................ 7 1. Pengertian Perompakan .................................................... 7 2. Pengaturan Tindak Pidana Perompakan dam KUHP …… 10 3. Pola Umum Pelaksanaan Perompakan ............................. 13 4. Aspek Sosial-Ekonomi Kejahatan Perompakan .............. 17 F. Metode Penelitian ................................................................ 18 G. Sistematika Penulisan ........................................................... 19
BAB II
PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA .................................... 22 A. Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia .................................. 22 B. Konvensi tentang Laut Lepas dalam hal Pengamanan di Wilayah Perairan Indonesia ............................................. 31 C. Tindak Pidana yang Menyertai Tindak Pidana Perompakan di Selat Malaka ................................................................... 33
BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEROMPAKAN ………………….............. 49 A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perompakan ......................................................................... 49
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
B. Dampak terhadap Materi dan Psikologis atas Terjadinya Tindak Pidana Perompakan ..................................................... 55
BAB IV
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA ................ 61 A. Peranan TNI AL sebagai Aparatur Negara dalam Menangani Tindak Pidana Perompakan .................................................. 61 B. Upaya Penanggulangan dalam Menghadapi Tindak Pidana Perompakan .............................................................. 70 C. Analisa Kasus ...................................................................... 81
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 88 A. Kesimpulan .......................................................................... 88 B. Saran .................................................................................... 90
Daftar Pustaka Lampiran
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Perompakan mungkin adalah tindak pidana yang paling jarang kita dengar. Kejahatan ini tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus sebagaimana ketentuan tindak pidana lain. Perompakan ini hanya dicantumkan dalam ketentuan umum dalam KUHP. Padahal, pada kenyataannya, perompakan bukanlah suatu kejahatan yang dapat dipandang sebelah mata. Kejahatan ini sering kali menimbulkan rasa kekhawatiran dari pihak asing untuk berlayar di perairan Indonesia karena merasa keamanannya tidak dapat dijamin. Hal ini tentu saja menjadi nilai kurang bagi bangsa Indonesia di mata dunia karena dianggap tidak mampu menjaga keamanan wilayahnya yang berdaulat. Selain itu, perompakan inipun memberikan suatu rasa takut kepada para nelayan Indonesia untuk berlayar karena tindak kekerasan yang biasa mengikuti perompakan ini. Topik perompakan ini sendiri penulis ambil karena penulis merasa bahwa pembahasan mengenai perompakan ini sangat minim dan agar penulis maupun pihak lain dapat menambah pengetahuan mengenai perompakan itu sendiri yang ketentuannya tercantum dalam Pasal 439 KUHP. Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah library research, yaitu pencarian data-data yang diperlukan melalui bacaan-bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan topik yang dibahas yang bersifat teoritis sebagai dasar penulisan skripsi. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian lapangan (field research) dimana penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Medan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dan juga melakukan wawancara dengan pihak aparat TNI AL yang menangani secara lansung tindak pidana perompakan ini. Dari pembahasan-pembahasan yang diuraikan di dalam skripsi ini dpat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemerintah masih belum memperhatikan dan belum dapat menangani secara maksimum mengenai tindak pidana perompakan ini mengingat akibat-akibatnya yang begitu luas. Untuk itu, seyogyanya pemerintah dapat melakukan suatu usaha yang konkret dalam pemberantasan tindak pidana yang sangat meresahkan ini.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah Negara Maritim yang kaya sumber daya alam, tentu kita menyadari begitu besar potensi alam yang dimiliki oleh negara kita, begitu juga kesadaran kita akan sulitnya mempertahankan kedaulatan atas wilayahnya tersebut. Hal ini disebabkan mengingat bahwa negara kita tidak hanya terdiri atas daratan saja, tetapi juga memiliki lautan yang luas. Kita tentu tidak asing lagi dengan kata “perompakan” yang juga dapat disebut dengan istilah pembajakan di laut. Perompakan dapat diidentikkan dengan kejahatan perampokan yang terjadi di wilayah daratan. Bedanya adalah bahwa untuk mengatasi tindak perompakan jauh lebih sulit mengingat daya negara kita yang terbatas untuk mengambil tindakan atas perompakan itu. Maksud dari arti kata perompakan itu sendiri, tidak semua orang memahaminya dengan baik. Di dalam tayangan-tayangan film di televisi, kita tentu telah sering melihat kejadian perompakan itu sebagaimana di dalam film Pirates of Carabian, Sinbad, ataupun film terkenal Peterpan yang di dalamnya terdapat tokoh Captain Hook, si perompak bertangan kait. Namun di kehidupan nyata, perompakan ini menjadi suatu tindak pidana yang kurang diperhatikan oleh masyarakat umum, bahkan oleh kalangan hukum itu sendiri. Dibandingkan tindak pidana lain seperti korupsi, pembunuhan atau pencurian, tindak pidana perompakan ini memang kurang “populer” dibandingkan tindak pidana tersebut di atas. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan disini Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
adalah bahwa dengan adanya perompakan ini, negara akan mengalami krisis kpercayaan dari masyarakat internasional menyangkut kekuasaan negara atas wilayah lautnya. Masyarakat internasional akan menganggap negara, dalam hal ini Negara Indonesia, tidak dapat menjaga otoritasnya atas wilayah lautnya sendiri sehingga warga asing yang berniat untuk melewati perairan Indonesia akan mengurungkan niatnya dan tentu saja hal ini akan sangat merugikan Negara Indonesia sendiri. Di samping itu, di dalam tindak pidana perompakan ini tidak hanya terjadi tindak perampasan barang muatan kapal saja, melainkan tidak jarang tindak pidana perompakan ini juga disertai tindak pidana, seperti pembunuhan, pernculikan, ataupun penganiayaan. Pada kenyataannya, perompak tidak akan berhenti setelah merampas barang muatan. Mereka tidak akan langsung meninggalkan kapal sasarannya, akan tetapi tidak jarang para perompak akan melakukan hal-hal yang akan meningkatkan hasil kejahatan mereka. Mereka tak segan-segan membunuh untuk menunjukkan kekuasaan dan kekejaman mereka agar para awak kapal dan pemilik kapal takut untuk melakukan tindakan macam-macam untuk menghindarkan diri dari pembajak. Setelah merampas muatan, tidak sedikit tindak pidana perompakan itu juga disertai penculikan Nahkoda Kapal, Ketua Kamar Mesin, Anak Buah Kapal bahkan kapal itu sendiri yang bertujuan untuk memeras pemilik kapal untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu yang demikian para perompak itu akan
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
memperoleh hasil yang lebih besar. Ancaman bagi yang menolak membayar uang tebusan ini adalah kematian bagi awaknya dan kehilangan kapalnya. Yang menjadi penyebab dari terjadinya tindak pidana perompakan ini antara lain adalah disebabkan karena faktor kebutuhan ekonomi maupun karena faktor psikologis para pelaku sendiri. Selain kedua faktor ini, diketahui bahwa perompkan ini diketahui memiliki unsur politis melihat bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak TNI AL bahwasannya kebanyakkan pelaku adalah mantan anggota kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikhawatirkan bertujuan untuk menggalang dana guna menyusun kekuatan dalam usahanya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apabila kita lihat lebih jauh lagi, dari segi pengamanannya, Negara Indonesia memiliki kelemahan dalam usahanya untuk menjaga keamanan di wilayah lautnya. Luasnya wilayah lautan Indonesia tidak diimbangi dengan peralatan yang mampu untuk melakukan kegiatan pengamanan. Kapal-kapal patroli yang terbatas dan kemampuannya yang minim dijadikan celah bagi pihak-pihak yang merasa memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kelemahan pengamanan tersebut. Kita memiliki sistem pengamanan yang baik di daratan dengan banyaknya aparat yang menjaga wilayah tersebut dan peralatannya pun sangat mendukung, akan tetapi pengamanan di laut agaknya kurang menjadi perhatian di sini. Di dalam penerapan hukum itu sendiri, tindak pidana perompakan kurang diperhatikan oleh para pembuat undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pengaturan mengenai perompakan ini di dalam suatu peraturan khusus Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
sebagaimana halnya tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai tindak pidana ini hanya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saja, tepatnya di dalam Pasal 439 KUHP. Dan bagi pihak Angkatan Laut juga dibuat suatu peraturan khusus tentang kejahatan perairan. Hanya itu sajalah peraturan mengenai tindak perompakan. Akibatnya, banyak pelaku dapat lolos dengan mudah ataupun dihukum namun dengan pidana yang ringan (das sein). Di masa mendatang, hendaknya pemerintah mampu memikirkan suatu cara yang efektif untuk meningkatkan keamanan masyarakat yang berada di wilayah perairan dari gangguan para perompak. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa perompakan ini bukan saja berkaitan dengan masalah keamanan internalNegara Indonesia sendiri, melainkan juga berkaitan dengan nama baik Negara Indonesia di mata dunia (das sollen). Hal-hal di atas inilah yang luput dari mata masyarakat tentang efek dari perompakan itu sendiri yang kadang acuh dalam menerima pemberitaannya. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat topik tindak pidana perompakan ini dalam tugas akhirnya. Penulis ingin mengungkapkan kebenaran atau realita di balik perompakan ini dan hal-hal yang tejadi setelahnya.
B. Permasalahan Sebagaimana telah diuraikan di atas mengenai perkembangan perompakan yang menjadi sesuatu yang diacuhkan masyarakat umum tersebut, penulis ingin membuka mata masyarakat atas apa yang terjadi sebenarnya di dalam kehidupan nyata yang mana menjadi sebuah resiko dengan taruhan nyawa bagi para nelayan Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
yang ingin mencari penghsilan yang layak dengan adanya tindak pidana perompakan ini. Dengan adanya topik ini, penulis berharap suatu saat nanti masyarakat lebih memahami makna dari perompakan itu sendiri dan menjadi sesuatu yang layak dibahas dalam pembicaraan ilmiah. Sehubungan dengan hal ini, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah : 1. Tindak pidana apa sajakah yang menyertai sebuah peristiwa perompakan ? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perompakan ? 3. Bagaimanakah upaya penanggulangan dalam menghadapi tindak pidana perompakan ini ?
C. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul Tindak Pidana Perompakan di Wilayah Perairan Selat Malaka ( Studi Kasus : Pengadilan Negeri Medan ). Dalam penulisan skripsi ini, penulis selain melakukan studi kepustakaan, penulis juga melakukan riset di Pengadilan Negeri Medan guna memperoleh datadata yang dapat mendukung penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Setiap penulisan karya tulis yang disusun dalam bentuk skripsi selalu mempunyai tujuan dan manfaat tertentu yang ingin dicapai dengan pembahasan karya tulis tersebut. Demikian juga halnya dengan pembahasan skripsi ini yng memiliki tujuan dan manfaat tertentu yang ingin penulis capai. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui tindak pidana-tindak pidana lain yang terjadi di dalam suatu tindak pidana perompakan; 2. Untuk mengeetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perompakan; 3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dilakukan dalam mengatasi tindak pidana perompakan; 4. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain : 1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pihak lain yang turut membaca karya tulis ini tentang kejahatan perompakan di wilayah perairan Selat Malaka khususnya yang terjadi di sekitar perairan Belawan; 2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk dapat memberantas tindak pidana perompakan ini yang telah nyata-nyata Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
meresahkan masyarakat dan menurunkan nama baik Negara Indonesia di mata dunia internasional dalam hal keamanan di laut.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Perompakan Perompakan secara gamblang dapat diartikan sebagai perampokan yang terjadi di wilayah lautan. Namun dalam pengertian secara ilmiah, istilah perompakan ini memiliki beberapa pengertian yang antara lain akan dikemukakan dalam paragraf berikut. Menurut Sir Charles Hedges, seorang hakim (tahun 1600) pada Mahakamah Pelayaran Inggris mengemukakan bahwa “perompak (pirates) adalah perampok yang merampas kapal dan/atau muatannya melalui cara yang keras di lautan.” 1 Konvensi Genewa tahun 1958 juga memuat arti dari “pembajakan. Pembajakan diatur dalam pasal 15 konvensi laut lepas yang antara lain mencantumkan sebagai berikut : “Pembajakan di laut meliputi salah satu perbuatan sebagai berikut : (1) setiap perbuatan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum, menyetop/menahan, atau perbuatan merampok . . . .” Di dalam Bab III Protap yang berjudul “Peranan TNI AL dalam Pengawasan dan Penegakkan Hukum di Laut”, disebutkan dengan tegas defenisi dari
perompakan/pembajakan
ini
yaitu
adalah
1
setiap
tindakan
M. Arif Nasution, dkk, Isu-isu Kelautan “dari Kemiskinan hingga Bajak Laut”, (Yogyakarata : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 118 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
kekerasan/perampasan atau penahan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal. Defenisi perompak (pirates) ini kemudian diatur dalam Pasal 101 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982; dimana pengertian perompak mengandung makna : (a) Any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation commited for private ends by crew or passengers of a private ship or a private aircraft, and directed : (i) On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft; (ii) Against a ship, aircraft, persons or property in aplace outside the jurisdiction of any State; (b) Any act of voluntary participation in the operation of
ship or of an
aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft; (c) Any act inciting of intentionally facilitating an act described in subparagraph (a) or (b). Secara bebas defenisis tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut : (a) Setiap perbuatan illegal atas kekerasan atau penahanan, atau setiap perbuatan pembinasaan yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh Anak Buah Kapal (ABK) atau penumpang dari sebuah kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan ditujukan :
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(i) Di wilayah laut lepas, terhadap kapal atau pesawat lain, atau terhadap orang atau benda-benda di atas kapal atau pesawat tersebut; (ii) Terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau benda-benda di suatu wilayah di luar yurisdiksi negara manapun; (b) Setiap perbuatan ikut serta secara sukarela di dalam penyelenggaraan suatu kapal atau sebuah pesawat sedang diketahuinya secara nyata bahwa kapal atau pesawat tersebut digunakan sebagai kapal atau pesawat perompak; (c) Setiap perbuatan menghasut secara sengaja dengan memberi fasilitas untuk suatu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam sub-paragraf (a) atau (b). Pada perkembangan selanjutnya, defenisi tersebut dirasa tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan. Hal ini dikarenakan perompakan tidak lagi terbatas dilkukan pada harta benda saja melainkan juga mengancam nyawa manusia yang berada di atas kapal tersebut. Selain itu, perompakan tidak hanya terjadi di wilayah internasional saja sebagaimana disebutkan dalam sub-paragraf (a) pada butir (i), tetapi juga terjadi di wilayah laut teritorial, bahkan sampai ke anak sungai seperti yang terjadi di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itulah, beberapa negara di dunia menyatakan bahwa perlu didirikan suatu badan internasional untuk mengatasi masalah keamanan di laut secara lebih efektif. Untuk itu pada tahun 1948, sebuah konferensi internasional yang diadakan di Genewa mengadopsi sebuah konvensi yang selanjutnya secara resmi mendirikan Inter Governmental Maritime Consultative Organization atau IMCO. Selanjutnya pada tahun 1982. IMCO ini berubah nama menjadi IMO. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Adapun tujuan dari didirikannya organisasi ini adalah untuk menyediakan sarana kerja sama antar negara untuk membantu pemerintah dalam bidang keamanan di laut. Pada pertemuan IMO pada tahun 1991, organisasi ini menyetujui Resolusi A 682 (17) dalam rangka pencegahan dan penindsan tindakan dari perompak bersenjata yang menyerang kapal-kapal di lautan. Berikutnya, Swedia pada tahun 1983 mengjukan kertas kerja untuk mendirikan Maritime Safety Committee (MSC). Dan pada tahun 1999 International Chamber of Commerce mendirikan pula International Maritime Bureau (IMB) untuk menangani kasus kriminal di lautan dengan lebih serius karena perompakan yang terjadi terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar di seluruh dunia telah mencapai angka lebih kurang 1.587 serangan pada tahun 1984 sampai akhir November 1999.
2. Pengaturan Tindak Pidana Perompakan di dalam KUHP Berbicara tentang Kitab Undng-undang Hukum Pidana (KUHP) tentu tidak terlepas dari penggolongan tindak pidana-tindak pidana yang harus dimuli dengan mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat ini kemudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk membedakan suatu golongan tindak pidana dari golongan lain; dan dari setiap golongan ini mungkin bisa dipecah lagi ke dalam dua atau lebih subgolongan. Ini adalah ciri khas dari ilmu pengetahuan yang secara sistematis memungkinkan para peminat untuk mendapat pandangan yang jelas tentang
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
berbagai gejala khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu , kini di bidang hukum pidana. Di dalam buku Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro yang berjudul “Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia”, beliau mengemukakan bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. Beberapa pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) menyebutkan salah
satu
unsur
khusus
dari
suatu
tindak
pidana
tertentu
adalah
wederrechtelijkheid atau sifat melanggar hukum. Adakalanya dengan penyebutan ini ditekankan bahwa sifat melanggar hukum ini terutama mengenai satu bagian dari suatu tindak pidana. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian oleh Pasal 362 KUHP disebutkan bahwa pengambilan barang milik orang lain ini harus dengan tujuan (oogmerk) untuk memiliki barang itu dengan melanggar hukum. Dalam tindak pidana penggelapan barang dari Pasal 372 KUHP perbuatannya dirumuskan sebagai “memiliki barang dengan melanggar hukum” (wederrechtelijkheid zich toe-eigenen). Tindak pidana Pasal 522 KUHP dirumuskan sebagai “dengan melanggar hukum tidak memenuhi panggilan sah untuk datang selaku saksi”.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Penyebutan “sifat melanggar hukum” dalam pasal-pasal tertentu ini menimbulkan tiga pendapat tentang arti dari “melanggar hukum” ini, yaitu diartikan : Ke-1 : bertentangan dengan hukum (objektif); Ke-2 : bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; Ke-3 : tanpa hak. Menurut Mr. T.J. Noyon dalam bukunya Het Wetboek van Straftrecht cetakan V yang dikerjakan oleh Prof. Mr. G.E. Langemeyer, jilid I halaman 7 noot ke-2, pendapat ke-1 dianut oleh Simons, Zevenbergen, dan Pompe; pendapat ke-2 oleh Noyon dalm cetkan IV; pendapat ke-3 dikatakan dianut oleh HogeRaad Belanda, tetapi menurut Langemeyer sebenarnya tidak. Langemeyer dalam noot tersebut juga menceritakan bahwa menurut van Hamel, praktis tidak ada perbedaan antara ketiga pendapat itu, dan bahwa menurut Mr. J. Riphangen perkatan wederrechtelijk tidak perlu diartikan sama, tetapi dalam suatu pasal tertentu harus diartikan lain daripada dalam pasal lain tertentu. Menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro sendiri, perbedaan antara ketiga pendapat tersebut jelas da. Apabila suatu perbuatan bertentangan dengan suatu peraturan hukum tertentu (objektif), belum tentu dengan perbuatan itu terlanggar suatu hak (subjektif) orang lain, misalnya apabila suatu peraturan hukum terlanggar itu melulu mengenai tata tertib, tanpa menyinggung hak orang-orang. Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum dapat dikatakan bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Bahwa istilah melanggar hukum dalam suatu pasal harus diartikan lain daripada pasal lain, seperti dikemukakan oleh Riphangen, menurut hemat Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro sendiri hal itu mungkin saja. Ini praktis bergantung pada : kepada apa yang dibayangkan oleh pembentuk undang-undang; dan kepada apa yang dirasakan oleh para pelasana hukum sebagai hal yang terbaik dalam situasi tertentu.2 Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri mengenai tindak pidana perompakan diatur dalam Bab XXIX, tepatnya tercantum dalam Pasal 439 KUHP. Isinya antara lain : A. Karena membajak di pantai dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun, barangsiapa dengan memakai sebuah kapal (perahu) melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) yang ada di dalam daerah laut Negara Indonesia. B. Yang dikatakan “Daerah Laut Negara Indonesia” ialah daerah laut sebagai yang diterangkan dalam pasal 1 dari “Territoriale zee en maritime kringen ordonnantie” (L.N. 1939 No. 442). 3 Mengenai daerah laut Negara Indonesia seperti tercantum dalam pasal 1 dari “Territoriale zee en maritime kringen ordonnantie” telah diterangkan sebelumnya di dalam Bab II karya tulis ini. Berbeda dengan tindak pidana lain, yang termuat dalam pasal-pasal 439 KUHP, 440 KUHP, dan 441 KUHP yang ketiganya dirumuskan sebagai
2
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hal.1-3. 3
R. Soesilo Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor : Penerbit Politea, 1994), hal. 295. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
perbuatan kekerasan dan ketiganya masing-masing diancam dengan hukuman maksimum lima belas tahun penjara. Tindak pidana dari pasal 439 KUHP dinamakan pembajakan pantai (kustroof) dan dirumuskan sebagai : dengan mempergunakan kapal dalam laut teritorial Indonesia (laut wilayah Indonesia), melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang-orang atau barang-barang di atas kapal itu. Jadi, sebenarnya kini ada pembajakan di laut dekat pantai. 4
3. Pola Umum Pelaksanaan Perompakan Berdasarkan laporan dari badan-badan resmi, seperti Buletin IMO pada Bulan Januari tahun 2000, tindak pidana perompakan telah tumbuh sebagai tindak pidana internasional yang bersifat global dan terorganisir. Adapun informasi yang diperoleh pada Buletin IMO tersebut antara lain adlah mengenai pola-pola umum pelaksanaan perompakan yang diuraikan sebagai berikut : a. Afrika Barat Pada periode 1986 – 1992 di Afrika Barat, khususnya di Negeria telah terjadi aktivitas kejahatan perompakan dan perampokan bersenjata lebih kurang 25 kasus per tahunnya. Dan pada tahun 1998 saja telah terjadi perompakan sebanyak 25 kasus, khususnya terhadap kapal yang sedang berlabuh. b. Selat Malaka
4
Wirjono Prodjodikoro, op. cit, hal. 143.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Sebelum tahun 1989 Selat Malaka dipandang sebagai wilayah lautan yang relatif aman. Namun pada masa-masa berikutnya menjadi kawasan yang cukup rawan. Setiap tahunnya dilaporkan telah terjadi sekitar 28 kali penyerangan dan sejak tahun 1991 jumlahnya terus bertambah hingga 50 kali serangan per tahun. Kebanyakan penyerangan tersebut adalah terhadap kapal-kapal dagang yang sedang berlayar. Perlu juga diketahui bahwa kejahatan perompakan yang terjadi di Selat Malaka mungkin tidak murni bersifat mencari keuntungan semata-mata tetapi mengandung tujuan politis sebagaimana dilaporkan oleh beberapa ICC Commercial Crimes Services tanggal 23 September 2003. Dalam laporan tersebut dinyatakan : . . . .There was evidence to suggest Aceh rebels are responsible for the growing piracy in the area. Their principal motivation … Is to fund their political cause by holding hostages for ransum. Yang secara bebas dapat diartikan sebagai berikut : ……….terdapat bukti yang mengarahkan bahwa pemberontak di Aceh bertanggung jawab atas pertumbuhan perompakan di wilayah ini. Tujuan utama mereka……… adalah untuk mendanai usaha politik mereka dengan melakukan penyanderaan untuk persediaan. c. Laut Cina Selatan Dalam waktu tujuh bulan (Mei hingga Desember), telah terjadi 42 kasus perompakan terhadap kapal besar dan kecil.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
d. Amerika Selatan Penyerangan perompak di Colombia, Venezuela tahun 1998 terjadi 38 kasus. Adapun pola modus operasi yang dipergunakan perompak adalah naik dan menyerang kapal pada malam hari. Berikut adalah peristiwa perompakan dan modus operandinya secara garis besarnya. Tabel 1 Perompakan yang terjadi dalam kurun tahun 1999 - 2003 No.
Waktu Kejadian
1
13 November 1999
2
19 November 1999
3
21 November 1999
Lokasi Kejadian
Keterangan
Pelabuhan Surabaya
Ketika sedang berlabuh, perompak naik kapal dan mencuri peralatan kapal. 15 : 32 U dan 041 : Kapal yang sedang 53 T dekat Jazirat berlayar dinaiki 7 Ta’ir (Laut Merah) perompak bersenjata canggih. Karang Channing Perompak berusaha Shoal, P. batu Gelasa menaiki kapal dan awak kapal
berusaha
membunyikan sinyal dan memukul balik serangan peompak. 4
23 November 1999
Tanjung Priok
Kapal
ditumpangi
perompak
10
bersenjata
dengan pisau panjang, namun mereka melarikan diri setelah awak kapal menghidupkan alarm.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
5
26 November 1999
025 : 63 S dan 106 : 5 perompak bersenjata 58 T di Leplia Str
dengan
pisau
panjang
menaiki kapal, menahan nahkoda, pegawai dan menyandera
kepala
pegawai.
Perompak
melompat ke air ketika ada
perlawanan
dari
tawanan. 6
26 November 1999
03 : 01 S dan 106 : 7 58 T di Gelasa Str
perompak
dengan
senjata panjang menaiki kapal, menahan nahkoda, pegawai,
menyandera
serta mencuri uangmilik awak
kapal
dan
perlengkapan kapal. 7
1 Oktober 2002
_
Perompak
menyerang
kapal tanker 8
2 September 2003
Selat Malaka
Perompak
mengancam
kapal tanker minyak Sumber : Buku Isu-isu Kelautan “dari kemiskinan hingga bajak laut”
4. Aspek Sosial-Ekonomi Kejahatan Perompakan Sebagai suatu negara maritim, wilayah laut Indonesia memiliki peran yang sangat vital dan strategis dalam aspek kedaulatan, keamanan, transportasi, industri, perekonomian, sosial, sebagai sumber penghidupan masyarakat, dan hubungan luar negeri.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Namun demikian, akhir-akhir ini kondisi keamanan laut sangat membutuhkan perhatian serius. Berbagai masalah keamanan laut saat ini meliputi ancaman kekerasan, ancaman navigasi, ancaman sumber daya, dan ancaman kedaulatan dan hukum. Masalah keamanan laut ini apabila dilirik dari sudut hubungan internasional antara lain berupa sea piracy (perompakan), illegal entry (masuk wilayah Indonesia secara illegal), smuggling (penyelundupan), illegal fishing (penangkapan ikan secara illegal), maritime disaster (bencana laut), hostages (penyanderaan), tererism (terorisme) di laut dan kejahatan-kejahatan umum di perairan Indonesia serta pengrusakan ekosistem laut. Berdasarkan laporan FAO pada tahun 2001, jumlah ikan yang ditangkap secara illegal di Indonesia mencapai angka 1 juta ton per tahun dengan kerugian senilai US$ 4 milyar (38 trilyun rupiah), pasir laut senilai US$ 8 milyar (72 trilyun rupiah), BBM senilai US$ 5,6 milyar (50 trilyun rupiah) kayu senilai US$ 40 milyar (30 trilyun rupiah). Keadaan
keamanan
laut
yang
rawan
tersebut
pada
akhirnya
mengakibatkan keterpurukan yang semakin dalam pada kekuatan ekonomi rakyat, sebagaimana terlihat pada pengusaha tambak yang meninggalkan tambaknya, dan ada pengusaha yang diculik dan diperas, nelayan tidak mau lagi pergi ke laut mencari ikan dan sebagainya. Untuk mengatasi hal ini maka konsep keamanan dan menegakkan hukum di laut perlu dibahas secara komprehensif dan terpadu.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
F. Metode Penelitian Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis memerlukan data-data yang berhubungan dengan pokok masalah yang ada. Dan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah mengadakan usaha pengumpulan data dengan mempergunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Penelitian Lapangan (Library Research) Yaitu melakukan penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan masalah yang dihadapi guna memperoleh bahanbahan yang diperlukan yang bersifat teori-teori ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar penulisan skripsi ini, baik itu berupa buku-buku bacaan maupun ketentuan perundang-undangan yang penulis lakukan dengan membaca dan mengutip kalimat-kalimat dalam bacaan-bacaan tersebut. 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Penulis melakukan penelitian lapangan di Pengadilan Negeri Medan guna memperoleh data-data yang diperlukan. Selain itu, penulis juga melakukan metode wawancara dengan anggota TNI AL yang menangani secara langsung masalah perompakan di Selat Malaka, khususnya sekitar perairan Belawan dalam kurun waktu antara tahun 2005 sampai tahun 2006.
G. Sistematika Penulisan Untuk menjaga agar pembahasan skripsi ini dapat dilakukan secara sistematis, maka pembahasannya diuraikan dalam beberapa bab, dan setiap bab Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
dibagi lagi dalam beberapa sub-bab, dimana gambaran skripsi ini dapat penulis uraikan sebagai berkut :
Bab I : PENDAHULUAN Dalam Bab I tentang Pendahuluan ini, diuraikan gambaran umum sebagai pendahuluan untuk pembahasan dalam bab-bab berikutnya. Di dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II : PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA Dalam bab ini diuraikan mengenai hubungan perompakan dengan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Konvensi tentang Laut Lepas dalam hal pengamanan di wilayah perairan Indonesia, serta tindak pidana lain yang menyertai tindak pidana perompakan itu sendiri.
Bab III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEROMPAKAN Bab ini membahas mengenai faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perompakan itu sendiri dan akibat-akibat yang harus diterima oleh korban perompakan, baik itu dari segi materi maupun psikologis.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Bab IV : UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA Bab IV ini menguraikan peranan TNI AL dalam mengatasi tindak pidana perompakan, dan upaya penanggulangan yang dilakukan untuk menghadapi perompakan tersebut, serta analisis kasus perompakan yang data-datanya diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan.
Bab V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan yang ada, kemudian dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
BAB II
PEMBAHASAN D. Perompakan dalam Hubungannya dengan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Jika
kita
membicarakan
perompakan,
tentu
kita
tidak
dapat
mengenyampingkan pembahasan mengenai tempat kejadian tindak pidana tersebut, yaitu wilayah perairan. Dan mengingatbahwa wilayah perairan di dunia ini adalah satu kesatuan, maka kita juga tidak boleh lupa untuk membicarakan daerah teritorial negara sebagai batas kedaulatan untuk melaksanakan hukum negara. Sebagimana kita ketahui bahwa negara kita terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan yang juga biasa kita sebut dengan wilayah teritorial. Sedangkan yang dimaksud dengan wilayah perairan itu sendiri adalah kedaulatan negara tertentu atas sebagian wilayah tertentu dari laut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah kepunyaan bersama dan negara pantai hanya memiliki kekuasaan tertentu saja, yang berarti negara pantai tidak memiliki kedaullatan penuh atas wilayah perairannya sendiri. Pendapat ini kurng mendapat dukungan dari banyak pihak karena dinilai merugikan negara pantai di dunia. Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa laut teritorial merupakan kedaulatan penuh dari negara pantai tertentu dan negara pantai tersebut memiliki hak untuk menegakkan hukum negaranya di wilayah laut teritorialnya. Pendapat inilah yang umumya kita gunakan sekarang. Dan sebagai wilayah yang memiliki Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
kedaulatan penuh, maka negara pantai yang memiliki wilayah teritorialnya mempunyai wewenang untuk mengatur segla sesuatu di wilayah laut teritorialnya tersebut yang wajib dihormati dan dipatuhi semua pihak yng berada di atasnya. Batasan dari wilayah teritorial ini ditentukan oleh Hukum Internasional yang kemudian dimuat dalam Pasal 2 – 5 dan 7 – 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang bunyinya antara lain : Pasal 2 : “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana).” Pasal 3 : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.” Pasal 4 : “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1e. salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis pada 1e. 127 dan 131; 2e. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negeri atau uang kertas bank atau tentang materai atau merek yang dikeluarkan atau disuruhkan oleh pemerintah Indonesia;
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
3e. pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang yang ditanggung Indonesia, daerah (gewest) atau sebahagian daerah, talon-talon, surat-surat hutang sero atau surat-surat bunga hutang yang masuk surat-suarat itu, serta surat-surat keterangan ganti surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dn tidak dipalsukan; 4e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.” Pasal 5 : “(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesi : 1e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; 2e. suatu perbuatan yang dipandang sebagai suatu kejahatan menurut ketentuan hukum pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri, tempt perbuatan itu dilakukan.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(2) Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke-2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi Warga Negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.” Pasal 7 : “ Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Pegawai Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku II.” Pasal 8 : “ Ketentuan pidana dalam undang-undang Inonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang-penumpang alat-alat pelayar (kapal, perahu) Indonesia, yang ada di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas alat-alat pelayar, melakukan salah satu peristiw pidana, yang diterangkan dalam Bab XXIX Buku II dan Bab IX Buku III, demikian juga dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi Kapal 1927.” Pasal 9 : “ Berlakunya pasal 2 – 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum antar negara”. Dengan demikian, jelas pembatasan atas laut teritorial Indonesia dibatasi oleh Hukum Internasional. Pengaturan laut teritorial Indonesia diatur pada : • Peraturan Pelayaran Indonesia Tahun 1936, Stbl No. 700 Tahun 1936 • Peraturan Pelayaran Tahun 1936, Stbl No. 703 Tahun 1936 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
• Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939 Berdasarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Stbl No. 442 Tahun 1939 pada Pasal 1 ayat (1) butir 2 dirumuskan “daerah laut Indonesia (perairan teritorial)” sebagai berikut : “Daerah laut Indonesia termasuk bagian laut teritorial yang terletak pada bagian sisi darat dari : a. Laut pantai; b. Daerah air teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan terusan.” Pada Pasal 1 ayat (1) butir 3 memuat ketentuan tentang “perairan pedalaman Indonesia” yang bunyinya sebagai berikut : 3. Perairan pedalaman Indonesia : Semua perairan yang terletak pada bagian sisi darat laut teritorial Indonesia, termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau dan rawa-rawa di Indonesia.” 5
Pada tahun 1939, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim menentukan bahwa luas wilayah laut teritorial negara pantai adalah 3 mil laut (1 mil laut = 1852 m) diukur dari garis pantai pada saat air surut (along low water mark).
5
Laden Marpaung, Tindak Pidana Perairan (Laut) Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 9 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Ketentuan ini dilaksanakan di sebagian besar negara dunia antara lain : Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Belanda dan telah disetujui dalam “International Law Association” pada tahun 1924. Tetapi ada juga negara-negara lain yang menentukan batas wilayah teritorialnya secara berbeda, antara lain : • Negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia, Norwegia) = 4 mil laut. • Meksiko
= 9 mil laut.
• Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab, Indonesia
= 12 mil laut.
Hingga sat ini belum ada kesepakatan mengenai jarak wilayah teritorial di dunia dan mengenai hal ini pula Wirjono Prodjodikoro, SH (teks Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) berkata : . . . . soal ini dibahas lagi oleh International Law Commissions dari Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations), yang dalam sidang ke-8 yang berlangsung tanggal 23 April – 4 Juli 1956 hanya sampai mengusulkan mengadakan suatu peraturan tentang territorial sea . . . (2) Panitia menganggap, bahwa hukum internasional tidak memperbolehkan memperluas jarak laut wilayah itu sampai lebih dari 12 mil. (3) . . . “6
Indonesia sendiri pada tanggal 13 Desember 1957, dengan Pengumuman Pemerintah mengubah jarak 3 mil menjadi 12 mil. Pengumuman Pemerintah tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut :
KEDAULATAN ATAS LAUT KABINET PERDANA MENTERI REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
6
Ibid, hal. 10
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
PENGUMUMAN PEMERINTAH MENGENAI WILAYAH PERAIRAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Dewan Menteri, dalam sidangnya pada hari Jumat tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia. Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri. Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat. Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939”( Stbl.1939 No.442 ) artikel ayat (1) tidak lagi sesuai dengan pertimbngan – pertimbangan tersebut di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian – bagian terpisah dengan territorialnya sendiri – sendiri. Berdasarkan pertimbangan – pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau – pulau yang termasuk Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan luas atau lebarnya adalah bagian – bagian yang wajar daripada wilayah pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal – kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan / mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penetuan batas lautan territorial ( yang lebarnya 12 mil ) diukur dari garis yang menghubungkan titik – titik ujung terluar pada pulau – pulau Negara Indonesia. Ketentuan – ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas – lekasnya dengan Undang – Undang. Pendirian Pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak – hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa. Jakarta, 13 Desember 1957 PERDANA MENTERI Ttd H. JUANDA 7 Kemudian Pengumuman Pemerintah tersebut dikuatkan dengan Undangundang No. 4 /Prp/1960 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Februari 1960.
7
Ibid, hal. 10-11
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Dahulu sebelum era industrialisasi, maka hubungan antar pulau atau antar bangsa yang dipisahkan dengan lautan, dilakukan dengan perahu, perahu layar yang berkembang menjadi kapal motor dan terakhir dengan kapal terbang. Oleh karena itu merupakan suatu kebutuhan untuk mampu mengatur keamnan dan ketertiban di lautan, termasuk di dalamnya isi kapal, awak kapal maupun penumpang kapal. Dengan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban tersebut maka dibuat aturan-aturan dalam hukum pidana yang di Indonesia dimuat pada Bab XXIX tentang kejahatan pelayaran. Ramainya lalu lintas pengangkutan di laut juga memerlukan suatu peraturan untuk mengatur lalu lintas di laut, baik itu di laut teritorial maupun di laut leps. Pengangkutan di laut itu tentu saja tidak terlepas dari urusan dagang, oleh karena itu pulalah dapat dipahami jika ketentuan pengangkutan itu turut pula dicantumkan dalam hukum dagang. Berlakunya Undang-undang No. 4/Prp/1960 yang menentukan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut maka perairan yang dulunya merupakan laut bebas menjadi perairan teritorial Indonesia sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dengan negara tetangga, misalnya : • Republik Singapura yang menganut lebar laut wilayah 3 mil laut. Dilihat dari Indonesia yang menganut lebar wilayah laut 12 mil, maka diperlukan luas wilayah laut diantara Indonesia dan Singapura selebar 15 mil untuk dapat membagi secara adil menurut ketentuan negara masing-masing.. namun pada kenyatannya lebar laut diantara kedua negara ini adalah
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
kurang dari 15 mil sehingga hal ini menimbulkan permasalahan dalam pembagian kewenangan. • Kerajaan Malaysia, pada bulan Agustus 1969 membuat pengumuman yang menyatakan bahwa lebar laut teritorialnya adalah 12 mil juga. Hal inipun menimbulkan permasalahan karena jarak lebar laut kedua negara kurang dari 24 mil untuk bisa dilakukan pembagian secara merata. Untuk mencegah perselisihan-perselisihan antar negara tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga yang menghasilkan persetujuan-persetujuan sebagai berikut : • Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut dibuat pada tanggal 17 Maret 1970 yang ditandatangani oleh Adam Malik (sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia) dan Tuan Haji Abdul Rajak (Timbalan Perdana Menteri Malaysia). Perjanjian ini pada tanggal 10 Maret 1971 telah menjadi Undang-undang No. 2 Tahun 1971. • Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973 oleh Adam Malik (untuk Indonesia) dan S. Rajaratman (untuk Republik Singapura). Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1973. • Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu, yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973. Perjanjian ini telah menjadi Undang-undang No. 6 Tahun 1973. • Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang penetapan garis batas dasar laut antara kedua negara di Laut Andaman. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1975. kemudian perjanjian tersebut dikuatkan dengan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1978. Seyogyanya persetujuan ini diratifikasi DPR agar menjadi undangundang karena dasar hukum batas laut teritorial sesuatu negara tidak cukup hanya dengan Keputusan Presiden atau persetujuan. Dengan perjanjian/ persetujuan, maka kekuatan hukumnya hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian/persetujuan tersebut. 8 8
Ibid, hal. 14-15
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
B.
Konvensi tentang Laut Lepas dalam Hal Pengamanan di Wilayah Perairan Indonesia Laut lepas atau laut bebas ini sendiri Pasal 1 Konvensi diartikan sebagai
“semua bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau periran pedalaman sesuatu negara” Konvensi tentang laut lepas (bebas) ini pada dasarnya mengatur antara lain sebagai berikut : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Laut lepas (bebas) terbuka untuk semua bangsa. Semua bangsa memiliki kebebasan atas laut lepas dalam hal : a. melakukan navigasi; b. melakukan perikanan; c. memasang kabel atau pipa saluran; d. melakukan penerbangan. Kebebasan tersebut diatur dalam hukum internasional. Tiap negara berhak melakukan pelayaran dengan benderanya masingmasing di laut lepas. Kapal-kapal harus mengibarkan bendera satu negara saja tidak diperkenankan berganti-ganti kecuali berpindah pemilik (owner). Jika satu kapal mengibarkan dua bendera kapal maka kapal tersebut dianggap tidak berkebangsaan. Tiap negara bekerjasama untuk memberantas pembajakan di laut. Kapal atau pesawat terbang yang melakukan pembajakan akan diadili negara yang benderanya dipergunakan. Tiap negara harus mengatur untuk mencegah pengotoran laut. Membuang minyak, membuang sisa radio aktif serta mengatur eksploitasi dan eksplorasi. 9 Adapun hak sebuah negara untuk melakukan pengejaran terhadap kapal
yang dicurigai melakukan tindak pidana ditentukan sebagai berikut ; •
Pengejaran hanya dilakuakan kapal perang, pesawat terbang militer atau kapal/pesawat yang sedang menjalankan tugas pemerintahan.
9
Ibid, hal. 19-21
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
•
Pengejaran dilakukan terhadap kapal yang diduga keras melanggar undangundang/peraturanperaturan negara yang mengejar.
•
Pengejaran yang dilakukan secara tidak terputus dapat dilakukan sampai batas laut teritorial negara lain. Jika telah sampai di laut teritorial negara lain maka pengejaran harus dihentikan.
•
Perintah harus dilakukan dari laut teritorial dan hanya boleh dimulai setelah diberikan semboyan yang dapat dilihat/didengar kapal asing tersebut.
•
Kapal
yang
dikejar
dikawal
menuju
suatu
pelabuhan
untuk
diperiksa/disidik. •
Jika kecurigaan ternyata tidak terbukti maka diberikan ganti rugi. Dalam buku Wirjono Prodjodikoro, SH “Hukum Laut bagi Indonesia”
membicarakan tentang International Law Comission PBB, yang antara lain memuat : Tentang hal ini hanya diusulkan satu pasal, yaitu pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut : 1. Dalam suatu bagian samudera raya yang merupakan lanjutan dari suatu laut teritorial dari negara pesisir, maka negara ini dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. menghindrkan pelanggaran peraturan-peraturan undang-undangnya yang berlaku di perairan itu tentang bea masuk atau pajak lain atau tentang kesehatan; b. menghukum perbuatan-perbuatan melanggar peraturan undang-undang itu yang dilakukan dalam laut wilayah itu. 2. Wilayah lanjutan itu tidak boleh lebih luas dari 12 mil terhitung dari titik dari mana dihitung jarak luas dari laut wilayah. 10
10
Wirjono Prodjodikoro, “Hukum Laut bagi Indonesia”, (Bandung : Penerbit Sumur, 1963), hal. 49 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
C.
Tindak Pidana yang Menyertai Tindak Pidana Perompakan di Selat Malaka Sebelum kita mulai membahas tindak pidana lain yang menyertai
terjadinya tindak pidana perompakan, ada baiknya kita melihat kepada pasal utama yang disertai tindak pidana lain tersebut, yaitu Pasal 439 KUHP. Pasal 439 KUHP itu berbunyi sebagai berikut : “(1) Karena membajak di pantai dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun, barang siapa dengan memakai sebuah kapal (perahu) melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) itu yang ada dalam daerah laut Negara Indonesia. (2) Yang dikatakan “Daerah Laut Negara Indonesia” ialah daerah laut sebagai Pasal 1
dari “Territoriale zee en maritieme kringen
ordonnantie”(LN. 1939 No. 442).” Dari ayat (1) pasal ini dapat kita ambil unsur-unsurnya, yaitu antara lain : 1. Membajak di pantai. Yang dimaksud dengan “pantai” disini adalah pembajakan (perompakan) yang dilakukan di dalam laut teritorial yang luasnya yaitu sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat air laut surut, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya dalam sub-bab sebelumnya. Pembajakan yang terjadi di luar laut teritorial (laut bebas) akan dikenai Pasal 438 KUHP, sedangkan pembajakan di sungai dikenai Pasal 441 KUHP. 2. Dengan memakai sebuah kapal (perahu).
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Kapal atau perahu disini dipergunakan pihak perompak sebagai sarana untuk melakukan perompakan. Tidak jarang perompak, menyandera sebuah kapal untuk melakukan perompakan di kapal lain dan kemudian meninggalkan kapal tersebut dengan membawa pergi kapal yang dirompaknya. Jadi, tidak menjadi suatu keharusan perompak menggunakan kapal pribadinya untuk melakukan perompakan. 3. Melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) Perbuatan kekerasan disini dimaksudkan pada kapal atau perahu yang dibajak (dirompak) untuk menimbulkan kerugian pada pihak lawan, bukan kepada orang-orang yang ada di dalam kapal yang dibajak/dirompak tersebut. Sedangkan ayat (2) dari pasal ini memuat batas berlakunya pasal ini terhadap kapal yang melakukan perompakan, yaitu selebar 12 mil dihitung dari garis pantai ketika air laut surut dari pulau terluar Negara Indonesia, termasuk disini Selat Malaka khususnya bagian perairan Belawan yang kejadian perompakannya penulis bahas di dalam karya tulis ini. Pada kenyataannya, perompakan yang sekarang ini terjadi tidak hanya melanggar Pasal 439 KUHP saja, melainkan juga melanggar beberapa ketentuan lain dalam KUHP. Adapun tindak pidana yang menyertai perompakan ini antara lain : 1. Penenggelaman Kapal (Perahu) Mengenai hal ini, KUHP mengaturnya dalam Pasal 198 KUHP, yang isinya antara lain : Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak menenggelamkan (mengaramkan) atau mendamparkan, membinasakan, membuat sehingga tidak dapat dipergunakan lagi atau merusakkan sesuatu kapal (perahu) dihukum : 1e.
penjara selama-lamanya lima belas tahun kalau hal itu dapat
mendatangkan bahaya maut kepada orang lain; 2e. penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, kalau perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya maut kepada orang lain dan ada orang mati lantaran itu.” Berbeda dengan Pasal 199 KUHP, pasal ini dilakukan dengan sengaja (delik dollus), dan bukan karena kesalahannya (delik culpa). Penenggelaman kapal ini dilakukan oleh perompak apabila pemilik kapal tidak memberikan sejumlah uang tebusan yang diminta perompak atas kapal tersebut, atau apabila si pemilik kapal tidak memberikan nominal uang setoran yang diminta oleh perompak. 2. Penculikan dan Penahanan Dalam melakukan kejahatannya, perompak juga tidak jarang melakukan penculikan terhadap kapal dan/atau nahkoda kapal dan/atau Kepala Kamar Mesin (KKM). Penculikan sendiri diatur dalam Pasal 328 KUHP yang isinya sebagai berikut : “Barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, denganmaksud melawan hak akan membawa orang itu di bawah kekuasaan sendiri atau dibawah kekuasaan orang lain atau akan Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
menjadikan ia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Untuk dapat dihukum dengan pasal ini, harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki maksud akan membawa orang itu pada saat itu dengan melawan hak di bawah kekuasaan sendiri atau orang lain. Perbuatan ini melawan hukum karena menyerang hak kemerdekaan orang sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 UUDS Republik Indonesia. Perompak terkadang melakukan penculikan terhadap anggota kapal dengan tujuan untuk mempermudah aksinya dengan menahan sandera agar aparat tidak melakukan pengejaran. Tidak jarang korban kemudian ditinggalkan begitu saja di kapal berikutnya yang dirompak oleh pelaku. Sedangkan tindak penahanan yang dilakukan perompak tercantum secara jelas dalam Pasal 333 KUHP yang isinya adalah sebagai berikut : “(1) Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selamalamanya delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. (4) Hukuman yang dikenakan pada pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan) orang dengan melawan hak.” Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Istilah penahanan disini adalah perbuatan mengurung atau menutup korban di dalam kamar, rumah, dengan mengikat, ataupun disuruh tinggal dalam suatu ruangan yang luas tetapi dijaga dan dibatasi kebebasannya. Penahanan ini ditujukan untuk memperoleh uang tebusan dari pengusaha kapal tersebut, yang mana hal ini disebut juga sebagai tindak pidana pemerasan yang akan penulis bahas di paragraf berikutnya. 3. Pengancaman Pengancaman sebagaimana dimaksud diatur dalam Pasal 336 ayat (1) KUHP yang isinya sebagai berikut : “(1) Dihukum selama-lamanya dua tahun delapan bulan, barangsiapa yang mengancam : Dengan kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama, kepada orang atau barang; Dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orangatau barang; Dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan; Dengan sesuatu kejahatan terhadap jiwa orang; Dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.” Yang dihukum menurut pasal ini adalah mengancam dengan : a. kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama kepada orang atau barang;
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Disini
perompak
melakukan
pengancaman
secara
beramai-ramai
umumnya dengan menggunakan senjata tajam atau senjata api agar awak kapal mau menuruti permintaannya. b. suatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orang atau barang; Ancaman ini dapat membahayakan awak kapal yang ketakutan sehingaa mereka mungkin saja melakukan hal-hal di luar kesadaran yang membahayakan jiwa mereka, sebagaimana yang terurau dalam kasus yang penulis analisa dalam bab berikutnya. c. memaksa atau perbuatan melanggar kesopanan; Dalam kasus perompakan ancaman jenis ini jarang ditemui. d. suatu kejahatan terhadap jiwa orang; Ancaman yang digunakan pelaku biasanya berupa ancaman pembunuhan apabila awak kapal tidak mematuhi perintah para perompak, yang man hal ini merupakan suatu kejahatan terhadap jiwa orang. e. penganiayaan berat dan pembakaran. Ancaman pembakaran terhadap kapal yang dirompak adalah salah satu cara yang dilakukan perompak agar pemilik kapal mau memberikan sejumlah uang sebagai tebusan. 4. Pembunuhan Tindak pembunuhan sebagaimana dimaksud tercantum secara jelas di dalam Pasal 339 KUHP, yang isinya sebagai berikut :
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
“Makar mati diikuti, disertai atau didahului dengan perbuatan yang dapat dihukum dan yang dilakukan dengan maksud untuk menyiapkan atau mempermudah perbuatan itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya atau kawan-kawannya dar pada hukuman atau akan mempertahankan barang yang didapatnya dengan melawan hak, dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Pembunuhan yang dilakukan oleh para perompak ini umumnya dikarenakan pihak lawan tidak mau memberikan sejumlah uang yang diminta oleh perompak, sehingga pembunuhan ini dilakukan untuk mempermudah pemerasan yang dilakukannya karena hal ini memberikan rasa takut bagi pemilik kapal untuk tidak menolak permintaan perompak lain waktu. 5. Penganiayaan Selain melakukan perompakan, tidak jarang dalam melakukan aksinya pelaku juga menganiaya korban yang umumnya adalah Anak Buah Kapal (ABK). Di dalam bab berikutnya, penulis akan menganalisis kasus perompakan yang dilakukan dengan kekerasan terhadap kapal/perahu sehingga pelaku dikenai Pasal 439 tentang pembajakan di pantai. Yang dimaksud dengan pantai disini adalah wilayah laut teritorial Indonesia. Penganiayaan ini pada akhirnya menjadi hal yang memberatkan pelaku dalam tuntutannya. Di dalam KUHP, penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP, yang isinya antara lain : “(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamuanya lima tahun. (3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.” Yang dimaksud dengan penganiayaan sendiri di dalam KUHP diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Penganiayaan ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak melewati hal yang patut atas batas yang diizinkan (misalnya rasa sakit yang disebabkan karena dicabut giginya oleh dokter gigi). Menurut Jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan atau pengabaian (nalaten) mengenai apa yang oleh undang-undang dapat ditentukan sebagai pidana. 11 Penganiayaan yang dilakukan oleh perompak dalam hal ini bertujuan untuk memberikan rasa takut kepada para ABK untuk tidak menghalangi perbuatan perompak, dengan kata lain hal ini mereka lakukan untuk mempermudah niat mereka merompak kapal dimaksud.
11
Andi Hamzah, “Azas-azas Hukum Pidana”, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 106
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
6. Pencurian Pasal pencurian ini sebagaimana kita ketahui telah diatur dalam Pasal 362 KUHP yang isinya sebagai berikut : “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“ Elemen-elemen dari pasal ini aagaknya perlu kita bahas, antara lain ; a. perbuatan mengambil; Yang dimaksud perbuatan mengambil disini menurut undang-undang adalah mengambil untuk dikuasainya. Perompak mengambil barang-barang berharga di atas kapal tersebut tanpa izin pemiliknya dengan tujuan untuk menguasainya dan membawa barangbarang tersebut bersama perompak, maka dapat dilihat deisini bahwa tindakan perompak memenuhi unsur ini. b. yang diambil itu harus sesuatu barang; Barang berharga yang diambil oleh perompak umumnya berupa radar kapal, telepon satelit, uang yang ada di kapal/milik ABK, bahkan dokumen-dokumen kapal. Diambilnya dokumen kapal ini bertujuan agar pemilik kapal tersebut mau memberikan uang tebusan, karena tanpa dokumen tersebut kapal tidak akan bisa berlayar. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
c. barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; Agaknya elemen yang satu ini tidak perlu banyak dibahas karena barang yang diambil oleh perompak nyata-nyata bukan milik/hak perompak. d. pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Barang yang diambil untuk dikuasai oleh perompak ini biasanya dijua, dipakai sendiri, ataupun sebagai barang tebusan seperti halnya dokumen kapal tersebut. 7, Pemerasan Pemerasan yang dilakukan oleh pihak perompak dalam hal ini adalah merupakan kelanjutan dari tindak penahanan secara melawan hak yang mereka lakukan. Di dalam KUHP, perbuatan ini diatur dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasanatau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orangitu sendiri atau kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) ketentuan dalam ayat kedua, ketiga dan keempatdari Pasal 365 berlaku bagi kejahatan itu.” Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Unsur-unsur dari Pasal 368 KUHP ini adalah : b. memaksa orang lain; Dalam hal ini perompak memaksa pengusaha atau pemilik kapal agar mau menuruti permintaan mereka dengan menggunakan anggota kapal yang mereka culik sebagai sandera. c. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang; Kebanyakan perompak meminta pemilik untuk memberikan sejumlah uang untuk ditukarkan dengan anggota anggota kapal yang mereka tahan. Tidak jarang diantara perompak dan pemilik kapal melakukan tawar menawar dalam hal penentuan jumlah uang tebusan sampai ada kesepakatan mengenai angka yang disetujui keduanya. Perompak biasanya menghubungi pemilik melalui nomor telepon berkali-kali demi kesepakatan harga ini berikut ancaman yang selalu mereka katakan di akhir pembicaraan jika si pemilik kapal tidak menuruti permintaan perompak. d. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; Tujuan dari perompak melakukan penahanan ini adalah tentu saja untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar selain keuntungan yang mereka peroleh dari hasil merompak. e. memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Objek yang dikenai kekerasan atau ancaman kekerasan disini bukanlah pemilik kapal yang diperas, melainkan anggota kapal yang ditahan oleh perompak. Selain pemerasan yang dilakukan dengan tindak penahanan yang dilakukan oleh perompak, ancaman pemerasan itu juga dapat berupa setoran berupa uang ataupun pulsa telepon seluler yang telah ditentukan jumlahnya oleh pelaku yang harus dibayar kepada si perompak tiap bulannya demi keselamatan kapal yang berlayar di perairannya. Ancaman bagi pihak yang tidak memenuhi setoran bulanan ini adalah ditahannya kapal yang sedang berlayar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Polairud Belawan, berikut adalah perompakan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2006 di sekitar wilayah perairan Selat Malaka. Tabel 2 Perompakan yang terjadi pada tahun 2005 No.
Bulan
Jumlah
Keterangan
1
Januari
-
-
2
Februari
5
1. sebanyak satu kali perompakan dilakukan oleh OTK bersenjata tajam, kerugian berupa terlukanya pemilik
kapal
dan
kerugian
materiil berupa sejumlah uang yang diambil oleh pelaku. 2. sebanyak
4
kali
perompakan
terjadi yang dilakukan oleh OTK
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
bersenjata api, kerugian berupa diambilnya sejumlah uang. kapal
diantaranya
digunakan
2
hanya
perompak
hanya
sebagai sarana. 3
Maret
-
-
4
April
-
-
5
Mei
-
-
6
Juni
-
-
7
Juli
-
-
8
Agustus
2
1. pelaku menyandera 2 korban, sandera melarikan diri setelah ditinggalkan pelaku di hutan tak dikenal di daerah Tamiang. 2. pelaku menembak 1 orang korban hingga tewas dan membuang mayatnya di Selat Malaka.
9
September
-
10
Oktober
3
1. pelaku
menyandera
5
ABK,
sandera
bebas
setelah
terjadi
kontak
senjata
antara
pelaku
dengan Patkamla. 2. pelaku
menyandera
2
ABK,
sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku
menyandera
3
ABK,
sandera bebas bersama sandera sebelumnya. 11
November
-
-
12
Desember
1
Pelaku menyandera 2 ABK, sandera dibebaskan oleh aparat. Sumber : Polair Belawan
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa para perompak tidak segan-segan melakukan usaha pembunuhan terhadap para sandera. Hal ini tentu saja menjadi hal yang sangat meresahkan bagi para awak kapal dan pemilik kapal sendiri serta bagi keluarga awak kapal yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan seorang aparat TNI AL berpangkat Sersan Mayor yang enggan disebutkan namanya, pelaku umumnya adalah warga Aceh bagian Timur dan Utara, namun pada perompakan yang terjadi pada Bulan Februari, satu pelaku bukan warga Aceh. Pelaku pada kelima perompakan tersebut berhasil lolos dari kejaran aparat. 12 Sedangkan pada tahun 2006, daftar perompakan sebagai berikut: Tabel 3 Perompakan yang terjadi pada tahun 2006 No. 1
Bulan Januari
Jumlah
Keterangan
1
1. pelaku menyandera 5 orang yang kemudian dibebaskan setelah ada tebusan.
2
Februari
-
-
3
Maret
-
-
4
April
-
-
5
Mei
-
-
6
Juni
1
1. pelaku menyandera nahkoda yang kemudian
dibebaskan
setelah
ditebus. 7
Juli
1
1. pelaku menyandera ABK, 2 pelaku ditangkap saat mengambil tebusan.
12
Serma “X”, tanggal 7 Agustus 2007
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
8
Agustus
-
-
9
September
-
-
10
Oktober
6
1. pelaku
menyandera
2
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 2. pelaku
menyandera
1
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku
menyandera
2
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 4. pelaku
menyandera
2
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 5. pelaku menyandera 3 orang, 2 sandera dibebaskan oleh aparat, 1 sandera bebas karena sakit selama penyanderaan. 6. pelaku
menyandera
4
orang,
sandera bebas tanpa tebusan, tapi kapal disita pelaku. 11
November
6
1. pelaku
menyandera 2
orang,
sandera bebas tanpa tebusan, namun kapal disita pelaku. 2. pelaku
menyandera 2
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 3. pelaku
menyandera 7
sandera
bebas
tebusan,namun
orang, tanpa
barang
kapal
menyandera 2
orang,
disita pelaku. 4. pelaku sandera
bebastanpa
tebusan,
namun diancam kapal mereka akan
ditenggelamkan
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
jika
bertemu. 5. pelaku
menyandera 2
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 6.
pelaku
menyandera 4
orang,
sandera bebas setelah ditebus. 12
Desember
-
Sumber : Polair Belawan
Dari informasi yang penulis peroleh, peningkatan kejadian perompakan umumnya terjadi mendekati bulan puasa, maka biasanya aparat menyarankan kepada para pemilik dan awak kapal untuk meningkatkan kewaspadaan pada bulan-bilan tersebut. Pada tabel di atas, dapat kita lihat bahwa motif perompakan pada tahun 2006 ini kebanyakan bertujuan untuk meminta tebusan atas sandera yang pelaku tahan pada saat melakukan perompakan. Jumlah uang tebusan yang diberikan kepada perompakpun bervariasi, tergantung dari kesepakatan pihak perompak dan pemilik kapal yang bisanya diantara keduanya terjadi proses tawar menawar.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEROMPAKAN
A.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perompakan Sebelum kita membicarakan faktor penyebab terjadinya tindak pidana
perompakan, sekilas penulis akan membahas penyebab terjadinya kejahatan secara umum. Mengenai hal ini, di dalam kriminologi disebutkan bahwa aetologi/sebabsebab kejahatan itu dapat dilihat dari faktor : 1. bakat si penjahat. a.psykis/kejiwaan Kretschmer, seorang ahli jiwa, menyempurnakan pembagian Karel Jasper yang membagi penyakit jiwa atas : - epilepsi, yaitu suatu gejala kejang yang diderita oleh penderita sat mengalami rasa emosi yang berlebihan. - Psycopat, yaitu penyakit kelainan jiwa yang menyebabkan seseorang tidak dapat membedakan baik dan buruk. - Schizophraenia, yaitu penyakit kejiwaan yang menyebabkan seseorang tidak dapat membedakan antara realita dan khayalan. - Psychose manisch depresif, yaitu penyakit kejiwaan dimana seseorang menderita tekanan jiwa sehingga tidak mampu menahan rasa marah. 13 b.jenis kelamin Kejahatan kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari persentase perbandingan tindak pidana yang dilakukan oleh laki-laki dan
13
H.M. Ridwan Ediwarman, “Azas-azas Kriminologi”, (Medan, USU Press, 1994), hal. 4
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
wanita, dan hasilnya bahwa tindak pidana itu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. c.umur/usia Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia itu mengalami tahapan-tahapan yang harus dilalui, mulai dari masa kanak-kanak hingga masa tua. Setiap tahapan usia memiliki kategori yang berbeda dalam hal pelaksanaan tindak pidana. Namun tindak pidana serius umumnya dilakukan pada tahapan dewasa pertama dan tahapan dewasa penuh. Pada tahap dewasa pertama, umumnya disebabkan oleh tingkat seksualitas sehingga tindak pidana yang umum terjadi adalah tindak pemerkosaan atau penganiayaan. Sedangkan pada tahapan dewasa penuh, berorientasi pada kebendaan sehingga tindak pidana yang terjadi berupa pencurian, pemerasan, penggelapan, dan lain sebagainya. d.kecerdasan Tingkat kecerdasan menjadi salah satu faktor pendukung tindak pidana itu untuk dilakukan. Seorang yang lemah daya fikirnya agaknya sulit untuk merencanakan suatu tindak pidana karena keterbatasan cara berfikirnya. Terutama pada tindak pidana yang berorientasi pada kebendaan, misalnya pencurian, pelaku memerlukan suatu pemikiran untuk dapat terlaksananya pencurian tersebut. e.fisik
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Teori yang menyatakan bahwa fisik sangat mempengaruhi seseorang itu penjahat atau bukan dikemukakan oleh Lambrosso dimana seorang penjahat dapat dikenali dengan ciri-ciri tertentu. Namun teori ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena seorang yang memiliki fisik yang baik juga memiliki kemungkinan menjadi seorang penjahat.
2. alam sekitarnya/milieu si penjahat. a.segi pendidikan dan pengajarannya sehari-hari; b.lingkungan keluarga dan masyarakat; c.pengaruh komunikasi - media massa dan elektronik F. Ferry Olds berkata dalam hal menghidangkan berita-berita tentang kejahatan, surat-surat kabar banyak yang melupakan tanggung jawabnya. Makanya, katanya orang yang mengerti dasar-dasar koreksi harus mempertimbangkan para penerbit dan para penulis muda yang sering menyalahgunakan kebebasan pers dan hanya memikirkan segi edukatifnya, sehingga berita – berita yang disajikan tersebut mempengaruhi orang yang neurotic berbuat kejahatan.Banyak surat – surat kabar kesenangannya hanyalah menyerang dan menjelekkan pejabat – pejabat yang benar – benar ingin bertugas melaksanakan hukum dan bertindak edukatif. 14 a. geografis b. ekonomi c. politik 3. spirituil/kerohanian. M.D.Baets dan F.A.K. Krauss, keduanya berpendapat bahwa tindak pidana itu terjadi karena kurangnya ketaatan beragama dan pengasingan diri terhadap Tuhan.
14
Ibid, hal. 21
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
4. bakat + sekitar/milieu + spirituil si penjahat, dapat pula merupakan suatu kebetulan saja. Menurut Enrico Ferri, faktor yang menimbulkan kejahatan terdiri dari 3 kelompok, yaitu : a.
Individu/antropologi : umur, kelamin, domisili, status, keahlian.
b.
Fisikal/natural : ras, iklim, suburya tanah, panjangnya siang.
c.
Sosial : kerepotan, penduduk, imigrasi, pendapat umum.
Setelah melihat penyebab terjadinya tindak pidana secara umum, mari kita lihat faktor penyebab terjadinya tindak pidana perompakan itu sendiri. Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan seorang aparat TNI AL yang menangani secara langsung tindak pidana perompakan di wilayah perairan Selat Malaka, khususnya di sekitar periran Belawan, penulis menyimpulkan bahwa tindak pidana perompakan itu terjadi karena : 1. Keadaan Ekonomi Sebagaimana telah dikemukakan oleh Aristoteles bahwa kemiskinan dapat menimbulkan kejahatan/pemberontakan. Demikian pula dengan kejahatan perompakan, alasan pokok yang dikemukakan oleh pelaku adalah karena faktor ekonomi. Pelaku pada umumnya mengaku bahwa mereka melakukan perompakan ini karena tidak memiliki pekerjaan atau karena kehilangan pekerjaan. Akibatnya banyak orang kehilangan sumber penghasilannya sedangkan keluarga mereka memerlukan berbagai kebutuhan hidup. Oleh sebab itu melakukan tindak kriminal Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
menjadi alternatif mereka untuk kelangsungan hidup mereka dan keluarga, termasuk tindak perompakan. Sumber menyatakan bahwa pelaku umumnya berasal dari daerah Aceh bagian Utara dan Timur. Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah Aceh pada akhir tahun 2004 mengalami bencana tsunami yang menewaskan ratusan warga Aceh dan menghancurkan hampir seluruh bangunan di Aceh. Akibatnya sebagian besar warga Aceh kehilangan tempat tinggal dan pekerjaannya. Jalan pintas menjadi sebuah solusi yang terpikir bagi mereka. Mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup, termasuk merompak demi memperoleh biaya penghidupan. Agaknya masalah ekonomi menjadi alasan klasik bagi pelaku perompkan, tapi aparat sendiri masih menyangsikan alasan yang dikemukakan pelaku ini. 2. Alasan Politis Gutherland mengemukakan keadaan politik ekonomi berpengaruh dalam hal terjadinya tindak pidana, perubahan politik besar sekali pengaruhnya. Dengan adanya perubahan norma, dengan sendirinya berubah pula pandangan orang itu di masyarakat, akhirnya orang itu tidak mampu lagi mengetahui yang mana perbuatan yang baik dan yang mana buruk. 15
Pendapat Gutherland ini dirasa cocok dengan tindak pidana yang terjadi belakangan ini di wilayah Selat Malaka, terutama di sekitar perairan Belawan. Menurut sumber, pelaku perompakan kebanyakkan adalah para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebagaimana kita ketahui pernah melakukan pemberontakan di bumi Indonesia ini beberapa waktu yang lalu.
15
Ibid, hal. 25
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Berdasarkan informasi yang diperoleh sumber, perompakan ini dilakukan untuk menggalang dana bagi mantan kelompok GAM ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf, bahwa perompakan yang dilakukan oleh GAM lebih disebabkan karena keinginan untuk mengumpulkan dana dengan cara menjarah dan merompak kapal. Namun tudingan ini dibantah oleh juru bicara militer GAM, Sofyan Daud, yang menyatakan bahwa GAM tidak pernah melakukan perompakan di timur dan wilayah pesisir Pulau Sumatera dan pernyataan Laksma Abdul Malik Yusuf ini hanyalah suatu upaya untuk melepaskan tanggung jawab pihak TNI AL dengan menjadikan pihak GAM sebagai kambing hitam. Namun demikian, kenyataan yang terjadi belakangan ini adalah bahwa sebagaimana yang telah kita ketahui sebuah partai lokal baru dideklarasikan di suatu sudut kota di Banda Aceh. Partai ini menamakan dirinya sendiri sebagai Partai GAM yang dipimpin oleh Muzakir Manaf yang pernah kita kenal sebagai mantan panglima sayap militer GAM pada masa pemberontakan, sedangkan sebagian besar anggota dari partai ini adalah mantan anggota dan simpatisan GAM. Ketua umum dari partai lokal ini adalah Malek Mahmud yang hingga saat ini masih berstatus sebagai warga negara Swiss. Yang menarik dari partai lokal ini bukan saja nama partai dan orang-orang di dalamnya, melainkan juga lambang partai ini yang berupa bulan bintang berwarna putih dengan latar warna merah serta garis putih. Sebuah lambang yang Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
tidak asing lagi karena inilah yang menjadi lambang pemberontakan gerakan separatis di Aceh pada waktu lalu. Pihak partai GAM sendiri menanggapi nama GAM sebagai nama partainya sebagai hal yang tidak perlu dipersoalkan karena istilah GAM disini tidak memiliki kepanjangan apapun. Pihak Partai GAM juga berdalih bahwa pendirian partai ini tidak melanggar isi perjanjian di Helsinki, karena di dalamnya juga disebutkan bahwa warga diberikan wewenang untuk mendirikan partai lokal maupun nasional sebanyak-banyaknya di Aceh. Berdirinya Partai GAM ini merupakan konsekwensi dari perjanjian Helsinki karena hal itu merupakan satu paket, namun perlu diingat bahwa sebagai partai lokal, Partai GAM tidak bisa berlaku pada tingkat nasional. Namun demikian, juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Ibrahim bin Syamsuddin menyatakan bahwa pendirian partai tersebut adalah sebagai tindak lanjut perjuangan masyarakat Aceh yang mana selama 30 tahun dilakukan dengan senjata dan sekarang dilakukan dengan alat yang berbeda yaitu melalui politik.
B. Dampak terhadap Materi dan Psikologis atas Terjadinya Tindak Pidana Perompakan
Tidak seperti yang kebanyakan dari kita yang menduga bahwa akibat suatu tindak pidana itu hanya diderita oleh pihak korban, sebenarnya selain korban ada pihak-pihak lain yang juga terkena dampaknya. Akibat-akibat kejahatan itu dapat tertuju pada : Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
1. korban si penjahat (perorangan) 2. masyarakat umum 3. individu/ diri si penjahat 16 Dari keterangan di atas dapat kita lihat bahwa selain korban, masyarakat dan yang paling mengejutkan bahwa pelaku juga menerima akibat dari terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini penulis akan memberikan penekanan pada pembahasan kerugian yang diterima oleh korban, karena bagaimanapun juga, korban tindak pidanalah yang menerima akibat paling besar atas terjadinya suatu peristiwa pidana. Tindak pidana perompakan ini memiliki akibat-akibat antara lain : Korban Bagi korban sendiri akibatnya antara lain : a. Kerugian materil yang diderita akibat dirampasnya peralatan dan barangbarang lain yang ada di kapal, seperti ikan, hasil tangkapan lain oleh nelayan, unit GPS, unit komputer ikan, pesawat radio, uang, bahkan terjadi penenggelaman oleh pelaku. Kerugian materiil yang tidak sedikit ini tentu saja menimbulkan suatu perasaan tidak enak bagi korban yang terpaksa harus kehilangan harta dan sarana mata pencahariannya. Seperti pembajakan yang baru saja terjadi atas kapal tanker milik Malaysia, MT. Penrider, 12 Agustus 2007 lalu. Kerugian materiil yang
16
Ibid, hal.43
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
diterima oleh korban adalah bahwa mereka harus rela kehilangan uang sejumlah RM 10 ribu (22,4 juta rupiah), sebuah telepon seluler dan dokumen-dokumen penting. Menurut keterangan yang ada di Harian The Straits Times edisi Hari Kamis, modus operandi yang dipergunakan oleh perompak adalah mereka bersikap seolah-olah seperti pedagang barter saat mereka mendekati kapal tanker ini dengan dua kapal boat. Pada saat itu kapal berada pada jarak 22 km dari Pelabuhan Klang saat para perompak mulai melepaskan tembakan dan memerintahkan kapten untuk mematikan mesin. Perompak biasanya setelah menaiki kapal sasarannya mulai mencari barang-barang berharga yang bisa diambil dari atas kapal tersebut, tidak peduli apakah barang tersebut kepunyaan pemilik kapal sebagai alat pendukung pelayaran, seperti radar atau telepon satelit, maupun milik pribadi awak kapal, seperti handphone atau uang pribadi mereka. Kerugian terbesar dalam hal materi tentu saja diderita oleh pemilik kapal yang kapalnya dirompak oleh pelaku. Kehilangan alat navigasi yang harganya mencapai ratusan bahkan milyaran rupiah itu tentu saja bukan hal yang remeh bagi pemilik kapal, belum lagi apabila kapal mereka ditenggelamkan oleh perompak. Tebusan yang harus mereka bayarkan demi pembebasan awak kapalnya juga menjadi tanggung jawab pemilik kapal yang tidak bisa mereka elakkan. Oleh karena itulah, para pemilik kapal biasanya harus rela untuk Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk membayar iuran bulanan yang diminta oleh para perompak agar mereka dapat menghindarkan diri dari kerugian yang lebih besar yang mengancam mereka apabila mereka tidak melakukannya. b. Kerugian personil/immateril, yaitu disandera dan dianiayanya awak kapal beberapa awak kapal sehingga korban menderita tekanan psikologis dan trauma. Kerugian personil ini juga dialami oleh kapten kapal kargo asal Taiwan Dong Yih pada tanggal 9 Agustus lalu ketika mereka berlayar melintasi perairan dekat Aceh. Kapten kapal dimaksud menderita luka di bagian kepala saat kapal mereka ditembaki oleh para perompak. Begitu pula yang terjadi pada awak kapal Indonesia, tak jarang mereka mengalami penyiksaan di atas kapal mereka yang sedang dibajak tersebut, baik itu dipukuli dengan tangan kosong atau menggunakan senjata. Dan bagi mereka yang disandera oleh para perompak juga mengalami traumatis yang mendalam akibat penyanderaan yang mereka alami. Salah seorang sandera yang berhasil dibebaskan dengan uang tebusan mengalami syok dan sekujur tubuhnya gemetar saat ia diantarkan petugas ke rumahnya. Apabila rasa trauma ini tidak diatasi maka ada kemungkinan bahwa korban akan kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan/awak kapal akibat tidak berani melaut lagi karena takut akan terjadinya perompakan di atas kapalnya lagi. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Masyarakat umum Bagi masyarakat umum, kerugian yang dialami adalah rasa takut dan khawatir atas keamanan di laut dalam diri masyarakat itu sendiri untuk melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencahariannya. Rasa khawatir bagi keluarga dan kerabat awak kapal yang berlayar di sekitar perairan rawan perompakan pun juga dapat dianggap sebagai kerugian tersendiri yang harus diderita akibat adanya perompakan. Rasa percaya akan keamanan dari perairan Negara Indonesia ini menjadi suatu hal yang diragukan oleh masyarakat umum. Individu/diri pelaku Adalah suatu hal yang mengejutkan bagi penulis mengetahui bahwa pelaku perompakan juga dapat terkena akibat dari hasil perbutannya. Tapi hal ini kemudian disadari oleh penulis sebagai hal yang nyata dialami oleh pelaku. Pelaku
sendiri
akan
menderita
kerugian
karena
ia
harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan pidana penjara, dan secara moral ia adalah seorang yang berdosa dan kepercayaan orang lain kepadanya akan hilang. Kerugian yang harus diterima pelaku perompakan adalah secara spirituil bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang salah dan hal tersebut adalah dosa, apabila pelaku memang menyadari bahwa dirinya melakukan sesuatu yang salah. Dan secara lahiriah, apabila mereka tertangkap mereka harus menjalani hukuman penjara dan terpaksa harus kehilangan kebebasan mereka dengan terkurung di dlam penjara untuk waktu tertentu. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Dengan melihat daftar kerugian yang diterima oleh warganya, hendaknya pemerintah mampu melakukan suatu usaha agar kerugian-kerugian di atas tidak sampai terjadi lagi di kemudian hari, atau paling tidak menekan angka terjadinya tindak pidana perompakan ini.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEROMPAKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA A. Peranan TNI AL sebagai Aparatur Negara dalam Menangani Tindak Pidana Perompakan Pengaturan tindak pidana perompakan ini, di luar KUHP, tidak dituangkan ke dalam suatu peraturan khusus, atau dengan kata lain tindak pidana perompakan ini termasuk ke dalam tindak pidana umum. Patokan yang lain sama sekali dipakai oleh Scholten yang memakai patokan “berlaku umum” dan “berlaku khusus” yang mengatakan semua hukum pidana yang berlaku umum disebut sebagai hukum pidana umum. Hukum pidana khusus ialah perundang-undangan bukan pidana umum yang bersanksi pidana khusus yang disebut hukum pidana pemerintahan. 17 Demikian pula menurut P. Mostert yang menunjukkan bahwa dengan menggunakan perundang-undangan pidana yang khusus ini maka yang utama bukanlah perbuatan secara individual, melainkan melaksanakan suatu kebijaksanaan yang bersifat umum. Kadang-kadang disebut juga “ordeningstrafrecht” yang menurut Roeslan Saleh tidak lebih hanya suatu penutup atas suatu pengaturan yang bersifat memaksakan. 18 TNI AL sebagai aparatur negara yang bertugas untuk menjaga keamanan di laut, dalam melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan tindak pidana ini, memiliki suatu panduan khusus yang tercantum dalam sebuah Protap (Prosedur Tetap) yang berjudul “Peranan TNI AL dalam Pengawasan dan Penegakkan Hukum di Laut”.
17
W.P. Prins, Kosim Adisaputro, “Pengantar Hukum Tata Usaha Negara”, (Jakarta : Aksara Baru, 1957), hal. 42 18
Roeslan Saleh ,”Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif”, (Jakarta : Aksara Baru, 1981), hal. 5 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Secara universal, TNI AL mengemban tiga peran, yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan Angkatan Laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung pembangunan bangsa. Tujuan dari pembentukan Protap ini adalah untuk memberikan ketegasan dan keseragaman serta kepastian hukum bagi unsur operasional dalam rangka penanganan tindak pidana di laut secara benar guna keberhasilan tugas TNI AL. Protap ini juga dimaksudkan sebagai pedoman dan tuntunan bagi setiap operasional dan penyidik TNI AL dalam menangani setiap tindak pidana di laut. Ruang lingkup dari Protap ini meliputi langkah-langkah penanganan tindak pidana di laut yang dilaksanakan oleh KRI maupun Pangkalan TNI AL, mulai dari tindakan penghentian, pemeriksaan sampai dengan penyerahan berkas perkara kepada Kejaksaan. Adapun tata urutan penulisan Protap ini adalah sebagai berikut : a. Bab I
: Pendahuluan
b. Bab II
: Ketentuan Umum
c. Bab II
: Jenis-jenis tindak pidana di laut
d. Bab IV
: Penanganan tindak pidana di laut oleh KRI
e. Bab V
: Penanganan tindak pidana di laut oleh Pangkalan TNI AL
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
f. Bab VI
: Penutup19
Disebutkan di dalam Bab II Protap ini, Indonesia sebagai negara kepulauan menurut UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985 memiliki perairan sebagai berikut : a. Perairan Indonesia (perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut wilayah) 1)
Perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai. Peerairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia.
2)
Kewenangan : a) Mempertahankan
eksistensi/keberadaan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia dari segala bentuk ancaman dan gangguan. b) Memelihara stabilitas nasional dan turut serta memelihara stabilitas regional dan internasional. c) Menegakkan hukum terhadap tindak pidana di wilayah perairan Indonesia meliputi : (a)
Illegal entry/pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing.
(b)
Imigran gelap.
19
Peranan TNI AL dalam Pengawasan Hukum di Laut, (Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL I, 2004), hal. 1-2 Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(c)
Pelanggaran hak lintas damai.
(d)
Pelanggaran hak lintas alur kepulauan.
(e)
Pelanggaran hak lintas transit.
(f)
Pelanggaran hak akses komunikasi.
(g)
Tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing di sekitar wilayah perairan Indonesia.
(h)
Sabotase objek vital dan tindakan terorisme lainnya.
d) Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi : (1)
Melindungi
sumber
daya
alam
hayati
dari
kegiatan
penangkapan/eksploitasi tanpa izin, antara lain :
(2)
(a)
Perikanan.
(b)
Kehutanan.
(c)
Benda cagar budaya.
(d)
Pasir laut.
(e)
Pencemaran laut.
Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya alam non hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin.
(3)
Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupu industri lainnya di laut.
e) Mengamankan pelayaran, meliputi : (1)
Mencegah dan menindak kegiatan pelayaran yang dilakukan di luar alur pelayaran yang telah ditentukan.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(2)
Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak sesuai dengan ketentuan penggunaan oleh kapal di laut.
(3)
Mencegah dan menindak perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di laut.
(4)
Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut.
f) Mengamankan pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana komunikasi lainnya. g) Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin. h) Mencegah dan menindak kegitan pemetaan atau survey hidroseanografi tanpa izin. i) Mencegah dan menindak perompakan/pembajakan di laut. j) Mencegah dan menindak penyelundupan di laut. k) Mencegah dan menindak pengangkutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal lewat laut. l) Mencegah dan menindak pengankutan obat-obatan terlarang dan senjata api gelap. 3) Hak bagi pengguna laut : a) Hak lintas damai. b) Hak lintas alur laut Kepulauan ALKI. c) Hak lintas transit di selat internasional. d) Hak akses komunikasi sesuai perjanjian bilateral.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
b. Zona Tambahan 1)
Zona tambahan adalah zona yang berbatasan dengan laut teritorian yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal lebar laut teritorial.
2) Kewenangan : a) Mencegah terjadinya pelanggaran atas peraturan-peraturan yang berkenan dengan kepabeanan, fiskal/pajak, imigrasi dn sanitasi (kesehatan lingkungan). b) Mencegah dan menindak terhadap pelanggaran pengangkutan benda cagar budaya tanpa izin. 3) Hak bagi pengguna laut. Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut.
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 1) ZEEI adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim khusus yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal laut tertorial. Di ZEE negara Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati. 2) Kewenangan : a) Melindungi dan mengamankan sumber daya hayti maupun non hyati di ZEEI.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
b) Melindungi dan mengamnkan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi maupun alat-alat lainnya dalam rangka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEEI. c) Mengawasi dan menindak kegiatan penangkapan ikan tanpa izin. d) Mencegah perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut. e) Mengatur dan mencegah riset ilmiah kelautan tanpa izin. 3) Hak bagi pengguna laut. Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut.
d. Landas Kontinen 1) Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratnya hingga pinggiran sebelah luar tepi kontenen, diukur dari daerah di bawah permukaan laut teritorial suatu negara pantai hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pngkal, hak negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut. 2) Kewenangan negara pantai atas landas kontinen adalah sebagi berikut : a) Mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi dan eksplorasi sumber kekayaan alam di landas kontinen. b) Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur kegiatan dalam rangka mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam di landas kontinen negara pantai tersebut. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
3) Hak bagi pengguna laut : a) Hak kebebasan berlayar dan penerbangan internasional. b) Hak kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut.
e. Laut Lepas Kebebasan di laut lepas meliputi kebebasan berlayar, penerbangan, memasang pipa dan kabel di bawah laut, kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya, menangkap ikan, kebebasan riset ilmiah, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya negara lain dalam melaksanakan kebebasan alaut lepas itu. Kewajiban setiap negara bendera untuk mencegah dan menindak kejahatankejahatan yang bersifat internasional, meliputi : (1) Perompakan/pembajakan. (2) Perdagangan budak. (3) Penyiaran gelap. (4) Kapal tanpa bendera/kebangsaan. (5) Narkotika dan bahan psikotropika. (6) Terorisme di laut. 20 Dari pernyataan di atas, sangat jelas dituliskan kewajiban Negara Indonesia sebagai salah satu negara pantai untuk menjaga keamanan dan kedamaian di sekitar wilayah lautannya. Bahkan di dalam butir e pernyataan di atas, dinyatakan bahwa perompakan itu termasuk ke dalam salah satu kejahatan internasinal, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi bangsa Indonesia untuk mencegah terjadinya
20
Ibid, hal. 7-11
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
tindak pidana tersebut untuk menjaga citra dan nama baik bangsa Indonesia di mata internasional. Walaupun
Protap
ini
tidak
mengatur
secara
khusus
mengenai
perompakan/pembajakan, namun Protap inilah yang menjadi pedoman dan pegangan bagi TNI AL untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku perompakan/pembajakan. Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar dalam tindak pidana perompakan/pembajakan ini antara lain : (1)
Pembajakan (piracy) melanggar Pasal 438 KUHP jo Pasal 103 jo Pasal 110 KUHP jo Pasal 105 KUHP jo Pasal 107 UNCLOS 1982.
(2)
Pembajakan di pantai (perompakan), melanggar Pasal 439 KUHP.
(3)
Pembajakan di pesisir, melanggar Pasal 440 KUHP.
(4)
Pembajakan di sungai, melanggar Pasal 441 KUHP.
(5)
Nahkoda bekerja sebagai/menganjurkan melakukan pembajakan, melanggar Pasal 442 KUHP.
(6)
Bekerja sebagai ABK pembajak, melanggar 443 KUHP.
(7)
Menyerahkan kapal untuk dibajak, melanggar Pasal 448 KUHP.
(8)
Penumpang merampas kapal, melanggar Pasal 449 KUHP.
(9)
Melarikan kapalnya dan pemilik, melanggar Pasal 449 KUHP.
(10) Tanpa izin pemerintah bekerja sebagai nahkoda atau ABK kapal pembajak, melanggar Pasal 450 dan 451 KUHP. Yang menjadi penyidik untuk tindak pidana ini dan dasar hukum baginya, yaitu :
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
(1)
TNI AL berdasarkan Pasal 14 Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie jo Pasal 110 UNCLOS 1982.
(2)
Polisi berdasarkan Pasal 6 KUHAP.
Apabila diketahui dan dipastikan terjadi perompakan/pembajakan, maka tindakan yang diambil oleh aparat TNI AL adalah : (1)
Hentikan, periksa.
(2)
Laksanakan penyidikan. 21
B.
Upaya
Penanggulangan
dalam
Menghadapi
Tindak
Pidana
Perompakan 1. Pencegahan (Prevention) Tekanan ekonomi dapat membuat seseorang menjadi pencuri atau koruptor, tetapi dapat pula membuat menjadi pedagang atau pengusaha. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaum koruptor sebagian besar terdiri dari mereka yang justru perekonomiannya lebih kuat daripada orang lain. Kegiatan-kegiatan lain yang penting dalam prevention of crime ialah pendidikan karakter melalui pendidikan di sekolah-sekolah umum, pendidikan keagamaan yang terarah untuk dunia dan akhirat, klinik-klinik pembinaan anak-anak dan sebagainya. Jelas bahwa objek prevensi bukanlah kejahatan itu sendiri, melainkan manusia-manusianya agar tidak melakukan kejahatan dan tidak menjadi korban kejahatan. Walter C. Reckless mengemukakan sebutan-sebutan “crime control” dan “prevention”. Bagi Reckless, control dan prevention adalah sinonim namun 21
Ibid, hal. 12-13
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
diadakan pengertian yang terpisah-psah untuk membedakan bahwa crime control meliputi tugas-tugas kepolisian, tugas pengadilan, tugas badan-badan proteksi tertentu dan sebagainya. Control bagi Reckless adalah usaha untuk membatasi kejahatan pada batas-batas minimum, sedang prevention adalah usaha untuk menyetop, menghentikan perkembangan crime dan delinquency. 22
Dalam pencegahan kejahatan tersebut terdapat 2 strategi, yaitu : 1. Strategi Tidak Langsung a. Peningkatan kualitas hidup Dalam hal bahwa penyebab melakukan tindakan perompakanadalah karena alasan keadaan ekonomi, maka untuk mencegahnya perlu diadakan peningkatan kualitas hidup berupa pengaturan perumahan, makanan, pendidikan, kesempatan kerja, pensiun yang memadai dan jaminan sosial yang cukup, yang ditujukan untuk menjamin kondisi hidup yang terhormat (layak) bagi seluruh penduduk. Beberapa negara menganggap peningkatan kualitas hidup berarti tindakantindakan yang ditujukan pada generasi muda khususnya yang potensial melanggar hukum berarti pula perbaikan kondisi penjara. Negara-negara yang menghadapi masalah pemenuhan kebutuhan hidup, menafsirkan peningkatan kualitas hidup sebagai penghapusan daerah kumuh, atau menjamin suatu persediaan makanan yang mencukupi kebutuhan hidup penduduk. b. Menyediakan pendidikan yang baik Suatu strategi tidak langsung yang lain untuk pencegahan kejahatan adalah berupaya untuk menjamin kesejahteraan dan pendidikan yang benar bagi anakanak.
22
Noach, dkk, “Kriminologi”, (Bandung : Penerbit Tarsito, 1984), hal. 350
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Pendidikan moral terutama sangat diperlukan untuk dapat mencegah anakanak dari melakukan suatu tindakan kriminal di masa mendatang. Pendidikan yang menekankan adanya perbedaan atas perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk akan menjadi “bibit” yang akan dapat dituai oleh Negara Indonesia nantinya. Mungkin hal ini dinilai terlalu jauh karena perompakan ini dilakukan oleh orang dewasa, namun menurut hemat penulis, apabila hal ini dikesampingkan begitu saja, maka perompakan itu akan terus terjadi di masa mendatang yang dilakukan oleh anak-anak di masa sekarang. c. Menyediakan kegiatan mengisi waktu senggang yang konstruktif Mengisi waktu senggang dengan hal-hal yang bermanfaat akan mencegah seseorang dari berfikiran hal-hal yang negatif. Terutama apabila kegiatan tersebut berupa kegiatan pendalaman rohani seperti pengajian atau berupa pelatihan ketrampilan yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencari penghasilan. d. Menyediakan kesempatan kerja Seperti disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa berdasarkan pengakuan pelaku perompakan mereka melakukan tindak pidana ini karena tidak memiliki pekerjaan, jadi penyediaan kesempatan kerja merupakan hal yang tepat untuk dilakukan mengingat alasan tersebut. e. Kesejahteraan dan bantuan keuangan Bantuan kesejahteraan dan keuangan diartikan sebagai suatu pelayanan kesejahteraan umum yang diberikan atas dasar-dasar kebutuhan dengan pertimbangan pencegahan tindak pidana.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Apabila warga merasa dirinya telah sejahtera dan bahagia atas hidupnya, tidak tertutup kemungkinan bahwa melakukan tindak pidana adalah sesuatu yang tidak akan terfikirkan bagi mereka.
2. Strategi Langsung Pihak internasional sendiri merasa “gerah” dengan tindak pidana perompakan yang making sering terjadi belakangan ini. Mereka mengatakan bahwa penjagaan wilayah laut yang paling strategis dan paling sibuk di dunia ini justru dilakukan oleh pihak Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia yang dipandang miskin. Tokyo mendesak negara-negara Asia untuk mendukung persetujuan anti perompakan laut, tapi masalah ini peka karena menyangkut kedaulatan pengawasan wilayah teritorial. Sementara keinginan pihak industri jelas, mendesak pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penjagaan di laut untuk menjamin keselamatan kapal-kapal yang melewati Selat Malaka. Strategi langsung yang dimaksudkan disini adalah berupa tindakan patroli yang saat ini dilakukan secara gabungan oleh pihak militer Indonesia, Malaysia dan Singapura. Hal ini juga dinyatakan secara tegas oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Slamet Soebijanto bahwa perompakan di Selat Singapura mengalami penurunan sejak adanya patroli koordinasi trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Diketahui bahwa pada periode Januari 2004 sampai Juni 2004 terjadi 23 kasus perompakan di Selat Singapura, dan sebanyak 2 kasus berhasil diatasi. Kemudian pada periode 22 Juli 2004 sampai akhir tahun 2004 terjadi 38 kasus perompakan dan 7 diantaranya berhasil diatasi. Upaya ini, menurut beliau, menunjukkan bahwa patroli koordinasi ini berhasil mengatasi tindakan perompakan. Hambatan yang saat ini ditemukan di lapangan yaitu kurangnya keseriusan dalam hal informasi dan publikasi tentang pelayaran di Selat Malaka sehingga kejadian di laut cenderung dilaporkan ke International Maritime Beureu (IMB) di Kuala Lumpur. IMB ini adalah merupakan sebuah lembaga internasional yang menangani pencegahan aksi kriminalitas di laut yang merupakan bagian dari International Chambers of Commerce. Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI AL, Laksamana Pertama Slamet Yulistiono, mengakui adanya keterbatasan armada kapal TNI AL untuk mengawasi Selat Malaka, dan untuk mengatasi hal tersebut pihak TNI AL menggelar operasi pengumpulan informasi di daratan. Saat ini yang menjadi base ops (pusat operasi) adalah Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Dumai dan untuk berpatroli TNI AL menggunakan 2 kapal yaitu KAL Tedung dan KAL Jemur. Lanal Dumai dalam koordinasi dengan Lantamal I Belawan tersebut memiliki cakupan wilayah tugas yang luas, yaitu mulai dari Kabupaten Rokan Hilir di Riau sampai perairan Tanjung Tiram di Kabupaten Asahan, Sumatera Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Utara. Dan untuk mencegah para perompak bersembunyi di pulau-pulau kecil yang ada di Selat Malaka, TNI AL juga menugaskan prajuritnya untuk terus mengawasi pulau-pulau tersebut.
2. Represif Dalam hal perompakan itu telah terjadi, maka tindakan yang diambil adalah : Penyelidikan oleh KRI dilakukan untuk mencari atau menemukan petunjuk atau alat bukti tentang peristiwa tindak pidana, tindakan penyelidikan : a. Pendeteksian sasaran. Pelaksanaan operasi dilaksanakan dengan pengawasan dan pendeteksian pada daerah – daerah atau sektor patroli, berdasarkan informasi lanjutan yang didapat dari luar maupun dari unsur sendiri. Pengawasan dan deteksi dapat dilaksanakan oleh satu unsur secara mandiri atau secara gabungan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas operasi. 1. Informasi diperoleh dari : a). Analisa Daerah Operasi ( ADO ) b). Informasi Intelejen dari komando atas, komando samping atau instansi lain c). Laporan dari masyarakat nelayan / pantai d). Informasi / laporan dari kapal – kapal sipil e). Informasi dari Pesawat Udara Pengintaian / Patroli Udara 2. Deteksi, peralatan deteksi yang dapat digunakan : Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
a). Radar, sonar b). Electronic Support Measure ( ESM ) c). Pengawasan Visual b. Pengenalan Sasaran 1. Pengenalan awal dengan Electronic Support Measure ( ESM ) untuk memperkirakan apakah sasaran kapal perang ( kombatan ) atau kapal sipil ( non- kombatan ) dengan cara menganalisa parameter pancaran elektromagnetiknya. 2. pengenalan dengan radar dan sonar untuk menentukan elemen gerak sasaran. 3. pengenalan visual dengan teropong untuk membedakan : a). Jenis sasaran b). Tanda – tanda pengenal lainnya seperti bendera, nomor lambung, warna lambung, dan lain – lain. 4. Pengenalan
dengan
komunikasi
radio
atau
menentukan : a). Nama kapal / nahkoda b). Jenis kapal c). Agen perusahaan d). Negara / bendera e) Pelabuhan singgah terakhir dan tujuan f). Muatan kapal g). Jumlah Anak Buah Kapal Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
isyarat
untuk
5. Pengenalan sasaran disamping menggunakan peralatan – peralatan tersebut di atas, diperlukan juga data intelejen untuk mendukung proses pengenalan sasaran. Data intelejen tersebut menyangkut tentang daerah rawan tindak pidana, sasaran yang diintai, dan lain – lain. c. Penilaian Sasaran. Penilaian sasaran dilaksanakan dengan mengkorelasi data – ata yang didapat dari hasil pengenalan sasaran untuk mendapat konfirmasi dan selanjutnya menetukan keputusan yang akan diambil berupa : 1). Mencatat posisi dan tanggal waktu posisi sasaran. 2). Sasaran diabaikan / ditinggalkan apabila tidak ada kecurigaan, atau 3). Diadakan penghentian dan pemeriksaan 4). Dalam hal memerlukan informasi tambahan dapat meminta informasi dari Komando Atas. d. Penghentian Kapal 1). Syarat – syarat : a. Dilakukan di Perairan Teritorial Indonesia apabila terdapat bukti atau petunjuk kuat bahwa : 1. Melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam perundang – undangan Indonesia 2. Melakukan salah satu kegiatan pelanggaran yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 27
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
3. Terjadi suatu peristiwa di atas kapal sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 27 4. Kapal dagang yang mengangkut senjata / amunisi selama dalam lintas pelayaran. b. Dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif apabila terdapat bukti atau petunjuk kuat bahwa : 1. Melakukan penelitian kelautan tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia. 2. Melakukan eksplorasi / eksploitasi sumber daya di ZEEI tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia 3.
Melakukan
kegiatan
yang
mengakibatkan
tercemarnya
lingkungan laut 4. Membongkar kabel dasar laut tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia 5. Melakukan kejahatan internasional antara lain pembajakan di laut, perdagangan budak, perdagangan narkotika 6. Kapal dagang yang mengangkut senjata / amunisi dan ditujukan untuk mengancam keamanan integritas wilayah dan kedaulatan Republik Indonesia. c. Dilakukan di Laut Lepas apabila terdapat bukti atau petunjuk kuat bahwa : 1. Kapal tersebut terlibat dalam perompakan. 2. Kapal tersebut terlibat dalam perdagangan budak. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
3. Kapal tersebut terlibat dalam penyiaran gelap. 4. Kapal tersebut tanpa kebangsaan. 5. Kapal tersebut mengibarkan bendera asing atu menolak untuk memperlihatkan benderanya. 2). Prosedur Penghentian Kapal a. Harus didahului dengan peran pemeriksaan b. Dimulai dengan memberikan isyarat keinginan untuk berkomunikasi c. Apabila komunikasi belum terjalin, dilakukan dengan cara : 1. Mengibarkan bendera L pada batas cuaca yang dapat dilihat, atau 2. Megaphone pada batas yang dapat didengar 3. Isyarat gaung d. Apabila tidak diindahkan, diberi peringatan sebagai berikut : 1. Tembakan meriam peluru hampa, atau 2. Peluru tajam dengan senjata kaliber kecil dengan arah ke atas e. Jika tidak juga diindahkan, laksanakan tembakan dengan senjata kaliber kecil atau meriam ke arah air laut di sekitar kapal yang percikan airnya dapat dilihat dengan jelas dari kapal yang dicurigai. 3). Hal – hal khusus Apabila peringatan – peringatan tersebut di atas kapal tidak juga berhenti maka komandan kapal dapat mengambil tindakan sebagi berikut :
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
a. Menembak ke arah badan kapal yang diperkirakan tidak ditempati oleh ABK seperti propeller, daun kemudi dan haluan kapal sehingga tidak meninggalkan korban jiwa b. Menembak ke arah anjungan jika tembakan badan kapal di atas tidak membuahkan hasil c. Melaksanakan tindakan pertolongan kepada ABK yang berada di air sebagai akibat bila kapal tenggelam dengan memperhatikan keamanan sendiri d. Tindakan di atas juga dilakukan bila kapal yang akan diperiksa mengadakan manufer yang membahayakan kapal pemeriksa e. Apabila di antara ABK melakukan perlawanan bersenjata dilakukan tindakan tegas dengan mempergunakan senjata api secara proporsional 4). Pengejaran Seketika ( Hot Persuit ) Dilakukan jika penghentian tidak dapat dilaksankan, menurut UNCLOS 1982 Pasal 111 diatur sebagai berikut : a. Apabila pihak yang berwenang mempunyai alasan yang cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan. b. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negara lain. Apabila terdapat bukti atau petunjuk yang kuat telah terjadi suatu tindak pidana maka : Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
1. Perwira pemeriksa setelah mendapat pengarahan dari komandan kapal menyatakan kepada nahkoda kapal yang diperiksa bahwa nahkoda, ABK bersama kapalnya tidak diizinkan melanjutkan pelayaran dan akan dibawa ke pangkalan / pelabuhan yang ditentukan serta dijelaskan secara singkat tentang jenis pelanggaran hukum yang dilakukan. 2. Meminta pernyataan kepada nahkoda pada peta posisi atau gambar situasi pengejaran dan penghentian 3. Komandan mengeluarkan Surat Perintah kepada Tim Kawal untuk membawa kapal dan awak kapal ke pelabuhan yang telah ditentukan. 4. Komandan mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Kapal. 23 Sampai disini, perompak akan diselidiki oleh pihak TNI AL dengan cara interogasi dan pengumpulan alat-alat bukti. Setelah berdasarkan hasil penyidikan ternyata tersangka terbukti melakukan tindak pidana perompakan, maka selanjutnya kasus dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan.
C. Analisa Kasus Untuk melengkapi pembahasan dalam skripsi ini, penilis melakukan analisa terhadap kasus perompakan/pembajakan di laut yang terjadi di Perairan Kwala Percut
Kbupaten
Deli
Serdang
dengan
Putusan
1.410/Pid.B/2005/PN.Mdn yang telah tercantum dalam lampiran.
23
Peranan TNI AL dalam Pengawasan Hukum di Laut, op.cit., hal. 31-39
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Nomor
:
a. Berdasarkan Analisa KUHAP Berdasarkan analisa KUHAP, maka putusan ini telah memenuhi Pasal 197 ayat (1) huruf a-l mengenai syarat pemidanaan yang pada rinciannya memuat : a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Untuk syarat ini, putusan dengan Nomor : 1.410/Pid.B/2005/PN.Mdn ini telah memenuhi syarat. a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Syarat ini pun telah dilengkapi, yaitu dengan rincian sebagai berikut : Nama lengkap
: Agus Silalahi
Tempat lahir
: Labuhan Batu
Umur/tanggal lahir
: 42 tahun/8 Agustus 1962
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Kampung Kurnia Lorong VII Gang Rel Belawan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Nelayan
Pendidikan
: SD
b. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Syarat ini telah dipenuhi dalam putusan karena tidak tercantum, putusan walaupu hanya memuat kalimat “Telah membaca dan mendengar Surat Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanggal 23 Mei 2005 No. Reg. Perkara : PDM-191/RP.9/Ep.1/05/2005”, dengan tidak mencantumkan dakwaan secara lengkap, namun dakwaan ini telah tercantum daam petitumnya dan merupakan inti dari dakwaan. c. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Pertimbangan-pertimbangan telah disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang, yaitu 2 orang saksi bernama Andi Atmaja dan Arifin yang dimintai keterangan di bawah sumpah dan menerangkan sesuai dengan yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Penyidik, serta barang bukti berupa satu unit kapal jenis Langei tanpa nomor lambung 201 bermesin Dompeng 23 Pk yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, sehingga dengan demikian putusan telah memenuhi syarat huruf d ini. d. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. Putusan memuat kalimat “Telah mendengar tuntutan pidana dari Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang mengadili perkara ini memutuskan : 1. menyatakan terdakwa Agus Silalahi telah melakukan tindak pidana melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal melanggar Pasal 439 (1) jo (2) KUHP.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
2. menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun. 3. menyatakan barang bukti berupa: satu unit kapal jenis Langei tanpa nomor lambung 201 bermesin Dompeng 23 Pk dikembalikan kepada pemilik Arifin. 4. menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Dengan demikian syarat Pasal 197 ayat (1) huruf e ini telah terpennuhi karena walaupun tuntutan tidak dicantumkan secara lengkap namun kalimat “pada pokoknya” telah merupakan sudah merupakan inti dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. e. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan adlah Pasal 439 (1) jo (2) KUHP, disertai keadaan yang memberatkan yaitu : - meresahkan masyarakat Keadaan yang meringankan yaitu : - mengaku terus terang - terdakwa belum pernah dihukum - menyesali perbuatannya. Dengan demikian syarat huruf f pasal ini telah dipenuhi. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
f. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. Putusan ini diputuskan pada hari Rabu, tanggal 13 Juli 2005 dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, dan telah dicantumkan dengan jelas dalam putusan. g. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Syarat ini telah terpenuhi dengan adanya pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. h. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. Putusan ini membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan perintah agar barang bukti berupa satu unit kapal jenis Langei tanpa nomor lambung 201 bermesin Dompeng 23 Pk dikembalikan kepada pemilik Arifin. i. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu. Karena tidak ada surat autentik yang dianggap palsu maka keterangan surat ternyata palsu tidak perlu dicantumkan, dan tetap memenuhi syarat huruf k pasal ini.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
j. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Putusan ini memuat perintah yang menetapkan agar terdakwa tetap ditahan. k. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Putusan ditetapkan pada hari Rabu, tanggal 13 Juli 2005 den mencantumkan nama penuntut umum yaitu Robert H. Panjaitan, SH., majelis hakim yaitu Effendi Gayo, SH.MH. SELAKU Hakim Ketua, Arifin, SH. Dan Suwarsa Hidayat, SH. Masing-masing sebagai Hakim Anggota.
b. Dilihat dari Sudut Tuntutan Jaksa Apabila dilihat dari tuntutan jaksa, penulis merasa bahwa tuntutan yang diajukan jaksa terlalu ringan dibandingkan dengan perbuatn yang dilakukan oleh pelaku. Jaksa mendasarkan tuntutannya pada Pasal 439 KUHP mengenai perompakan di pesisir pantai dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara, namun dalam hal ini jaksa hanya menuntut terdakwa 2 tahun penjara dipotong masa tahanan. Padahal apabila dilihat dari kasusnya, selain merompak kapal boat pukat langgae, pelaku juga melakukan pengancaman kepada para korban sehingga hal ini mengakibatkan salah seorang korban, yaitu Syaiful Bahri alias Yung, melompat ke dalam laut karena ketakutan. Korban bisa saja terluka atau meninggal apabila ia tidak diselamtkan oleh rekannya Andi Atmaja. Dengan kata Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
lain pelaku telah melakukan ancaman kekerasan yang mendatangkan suatu bahaya bagi keamanan umum dari orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 336 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan bagi jaksa untuk mengajukan tuntutan.
c. Dilihat dari Sudut Pertimbangan Hakim Dari pertimbangan-pertimbangan yng Majelis Hakim kemukakan, diketahui bahwa tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf
yang dapat
membebaskan pelaku dari Pasal 439 KUHP yang dituntut oleh jaksa terhadap terdakwa, oleh sebab itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana 2 tahun penjara yang diminta oleh pihak jaksa. Penulis merasa bahwa putusan hakim menjatuhkan pidana selama 2 tahun penjara sesuai permintaan jaksa sudah tepat mengingat sangat rendahnya tuntutan jaksa.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah tersebut dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan dsebagai berikut : 1. Bahwasannya selain melakukan perompakan, umumnya pelaku juga melakukan
satu
atau
lebih
tindak
pidana
lainnya,
seperti
penculikan/penyenderaan untuk meminta tebusan kepada pemilik kapal, atau melakukan penganiayaan terhadap awak kapal untuk member rasa takut kepada awak kapal sehingga pelaku dapat dengan bebas melakukan aksinya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memperoleh hasil yang lebih besar dari perbuatan mereka yang diperoleh dari hasil tebusan bagi sandera atau setoran bulanan yang mereka peroleh dari pemilik kapal yang diancam keselamatan kapal dan awaknya oleh perompak. 2. Adapun faktor-faktor penyebab dari perompakan itu adalah : 1. keadaan ekonomi Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh pihak TNI AL, motif perompakan lebih didasari faktor keterdesakan ekonomi. Beberapa perompak juga mempergunakan alasan yang sama untuk memungut pajak Nanggroe, yang biasa disebut uang setoran dari para pemilik kapal. 2. alasan politis Dari hasil penyelidikan sementara staff intelejen di lapangan, pelaku perompakan adalah mantan anggota GAM sehingga timbul kecurigaan Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
bahwa perompakan ini ditujukan untuk menggalang dana untuk membeli persenjataan atau tujuan politis lainnya. Kecurigaan ini semakin kuat dengan dideklarasikanya partai lokal baru yang disebut sebagai Partai GAM baru-baru ini, dimana lambang yang dipergunakan adalah lambang pemberontakan GAM beberapa waktu lalu, sedangkan partai ini dipimpin dan sebagian besar dianggotai oleh mantan anggota dan simpatisan GAM. 3. Pemerintah sendiri belum mampu menetapkan suatu peraturan perundangundangan yang dapat menjerat pelaku dengan pidana yang setimpal mengingat dampak perompakan ini bagi masyarakat. Mengenai
upaya
penanggulangan
dalam
menghadapi
tindak
pidana
perompakan ini dilakukan seperlunya saja berkaitan dengan kejahatan pada umumnya, yaitu antara lain : Sebagai tindakan preventif atau pencegahan, dapat dibangun 2 strategi, yaitu : 1. Strategi tidak langsung a. peningkatan kualitas hidup b. menyediakan pendidikan yang baik c. menyediakan kegiatan mengisi waktu luang yang konstruktif d. menyediakan kesempatan kerja 2. Strategi langsung Strategi langsung dimaksud adalah dengan adanya patroli gabungan trilateral anatara pasukan militer Indonesia, Malaysia dan Singapura yang bertujuan untuk mengatasi terjadinya tindak pidana perompakan di sekitar wilayah perairan Selat Malaka. Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
Sebagai tindakan represif, karena Indonesia belum memiliki ketentuan khusus yang mengatur mengenai perompakan ini maka pihak aparat membuat suatu peraturan intern untuk mengambil tindakan jika telah ada bukti yang kuat kejahatan telah terjadi, maka oleh pihak aparat dilakukan : a. Perwira pemeriksa setelah mendapat pengarahan dari komandan kapal menyatakan kepada nahkoda kapal yang diperiksa bahwa nahkoda, ABK bersama kapalnya tidak diizinkan melanjutkan pelayaran dan akan dibawa ke pangkalan / pelabuhan yang ditentukan serta dijelaskan secara singkat tentang jenis pelanggaran hukum yang dilakukan. b. Meminta pernyataan kepada nahkoda pada peta posisi atau gambar situasi pengejaran dan penghentian c. Komandan mengeluarkan Surat Perintah kepada Tim Kawal untuk membawa kapal dan awak kapal ke pelabuhan yang telah ditentukan. d. Komandan mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Kapal.
B. Saran Setelah melihat uraian kesimpulan di atas, maka penulis berusaha memberikan saran yang semoga dapat diperhatikan di kemudian hari, yaitu : 1.
Setelah melihat uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka sebaiknya pihak pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan yang bahkan sudah dipandang sebagai sesuatu yang serius dari dunia internasional mengingat Selat Malaka adalah jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
2.
Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengaman di sekitar perairan Selat Malaka dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak Malaysia dan Singapura secara bersama-sama karena usaha ini terbukti mampu menekan angka perompakan.
3.
Agar pemerintah lebih memperhatikan sarana tempur pihak aparat karena kapal TNI AL saat ini sudah sangat ketinggalan dan bahkan kurang mampu bersaing ketika terjadi pengejaran dengan kapal perompak sehingga perompak seringkali dapat meloloskan diri dari kejaran aparat.
4.
Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana perompakan ini lebih ditingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku 1. Hamzah, Andi, Dr., SH, Asas-asas Hukum Pidana, 1994, Jakarta : Rineka Cipta. 2. Kunarto, Jend.Pol. (Purn) Drs., Tren Kejahatan dan Peradilan Pidana, 1996, Jakarta : Cipta Manunggal. 3. Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL, 2004, Peranan TNI AL dalam Pengawasan Hukum di Laut, Medan. 4. Marapaung, Laden, SH, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, 1993, Jakarta : Sinar Grafika. 5. Nasution, M. Arif, dkk, Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, 2005, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 6. Noach, dkk, Kriminologi, 1984, Bandung ; Penerbit Tarsito. 7. Prins, W.P, dkk, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, 1996, Jakarta : Aksara Baru. 8. Prodjodikoro, Wirjono, Prof.Dr., Hukum Laut bagi Indonesia, 1963, Bandung : Penerbit Sumur. 9. Prodjodikoro, Wirjono, Prof.Dr., Tindak-tindak PidanaTertentu di Indonesia, 2003, Bandung : Refika Aditama. 10. Ridwan, H.M, SH., dkk, Azas-azas Kriminologi, USU Press, Medan,1994. 11. Saleh, Roeslan, Beberapa Asas-asas Hukum Pidana dalam Perspektif, 1981, Jakarta : Aksara Baru. 12. Sunggono, Bambang, SH.,MS., 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
B. Peraturan Perundang-undangan 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009
C. Media Elektronik 1. www.google.co.id, diakses pada tanggal 24 Agustus 2007 pukul 19.30 WIB dan tanggal 28 Agustus 2007 pukul 19.07 WIB 2. www.liputan6.co.id, diakses pada tanggal 24 Agustus 2007 pukul 20.38 WIB 3. www.yahoo.co.id, diakses pada tanggal 28 Agustus 2007 pukul 19.23 WIB 4. www.wikipedia.co.id, diakses pada tanggal 28 Agustus pukul 20.09 WIB
D. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.410/Pid.B/2005/PN.Mdn
Eka Krisnawati : Tindak Pidana Perompakan Di Wilayah Perairan Selat Malaka, 2007. USU Repository © 2009