Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka 2004-2009
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Oleh : Achmad Insan Maulidy NIM : 106083003638
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional Jakarta 2011
Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka 2004-2009
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hubungan Internasional
oleh :
ACHMAD INSAN MAULIDY NIM. 106083003638
di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Penasehat Akademik
M. Adian Firnas, M.Si
Ali Munhanif, Ph.D NIP. 196512121992031004
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka 20042009” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional. Jakarta, 20 Juni 2011
Sidang Munaqasyah Ketua Jurusan
Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D NIP. 1973041199032002
Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP.197808042009121002
Pembimbing
M. Adian Firnas, M.Si.
Penguji I
Dina Afrianty, Ph.D NIP. 1973041199032002
Penguji II
Arisman, M.Si.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dibuat dan diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Mei 2011
Achmad Insan Maulidy 106083003638
i
ABSTRAK
Selat Malaka merupakan perairan di kawasan Asia Tenggara yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak di antara Pulau Sumatra dan Semenanjung Melayu. Oleh kerena itu selat ini di sebut sebagai jalur pelayaran internasional, beberapa negara menggunakan selat ini sebagai jalur perlintasan kapal pengangkut bahan bakar dan bahan industri berbagai negara, hingga menyebabkan beberapa negara bergantung pada kondisi keamanan serta keselamatan di Selat malaka. Selat Malaka dilintasi 50.000 kapal berbagai tipe setiap tahunnya, dengan 30% kapal merupakan kapal niaga yang mengangkut barang-barang perdagangan dunia. Selat Malaka juga merupakan jalur pelayaran yang digunakan oleh kapal tanker untuk mengangkat separuh pasokan energi dunia. Strategisnya serta padatnya jalur pelayaran di Selat Malaka menyebabkan selat ini rawan akan terjadinya gangguan keamanan dan tindak kejahatan di laut. Gangguan keamanan yang sering terjadi di selat ini adalah pembajakan/ perompakan, penyeludupan serta terorisme, dalam penulisan karya ilmiah ini menitik beratkan pada masalah pembajakan (piracy). Tercatat pada tahun 2004 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus pembajakan di selat ini yaitu berjumlah 38 kasus, berdasarkan laporan IMB (international maritime bureau), lalu terbentuklah patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengatasi keamanan di Selat Malaka. Penelitian ini memiliki hasil bahwa patroli terkorrdinasi tiga negara tersebut berhasil meminimalisir tindak kejahatan pambajakan di Selat Malaka. Keberhasilan patroli terkoordinasi ini tercipta kerena adanya kekompakan dan mementingkan kepentingan bersama untuk mengamankan Selat Malaka dari pada kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota patroli terkoordinasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan di dukung oleh teori-teori dan juga data-data sekunder sehingga dalam penelitian ini di peroleh suatu bukti kebenaran hasil temuan. Patroli terkoordinasi tiga negara Selat Malaka sudah berhasil menurunkan tingkat kejahatan bajak laut di perairan Selat Malaka, terbukti dengan tingkat kejahatan yang menurun akibat dari intensifnya kegiatan patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, keberhasilan kerjasama keamanan yang beranggotakan tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat negara tetangga tertarik untuk bergabung dalam patroli tersebut contohnya seperti Thailand yang ikut bergabung dalam patroli tersebut karena posisi negaranya yang bersinggungan dengan Selat Malaka.
Kata Kunci: Selat Malaka, Patroli terkoordinasi, Pembajakan (piracy)
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, karena dengan hidayah dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka 2004-2009". Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan baik yang bersifat teknis maupun mated. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Kritik dan saran yang diberikan, akan penulis jadikan bahan dalam penyempurnaan skripsi ini. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu membantu penyelesaian skripsi ini. Dimana dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak menemui hambatan dan ritangan yang dihadapi penulis tetapi berkat bantuan yang diberikan berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, semua permasalah dan kendala dapat teratasi. Oleh kerena itu, penulis dengan tulus menguncapkan terima kasih atas bantuannya baik langsung dan tidak langsung kepada: 1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
3. M. Adian Firnas, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan ilmu, saran dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. AH Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis. 5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwa. 6. Armein Daulay, M.Si., terima kasih atas waktu dan pikirannya untuk dapat memberikan masukan kepada penulis dalam menulis skripsi ini. 7. Bapak Amaly, sebagai staf di Jurusan Hubungan Internasional yang telah membantu penulis dalam mengurus segala bentuk yang berhubungan dengan nilai kuliah. 8. Kedua orang tua, Mama dan Bapak terima kasih atas do'a, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materi sehingga skripsi ini dapat Selesai. 9. Ka Irma dan Ka Aan, terima kasih atas pengertian dan dukunganya pada saat penulisan skripsi ini. 10. Teman-teman terbaik penulis di HI A angkatan 2006: Beben, Firman, Fikri, Umam, Nanda, Alvi, lean, Kawe, Adnan, Julian, dan Irfan. Lima tahun yang luar biasa bersama kalian, penuh suka dan duka dalam berjuang bersama-sama dari awal hingga akhir kuliah ini. Sukses selalu ya kawan-kawanku dan jangan pernah lelah untuk mengejar cita-citamu.
iv
11. Teman-teman dari HI A angkatan 2006 lainnya dan teman-teman dari HI B angkatan 2006 yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta temanteman HI angkatan 2007, 2008, dan 2009. 12. Raudhatul Jannah, terima kasih atas waktunya, dukungan, semangat dan doanya dalam penyusunan skripsi ini, semoga engkau diberikan kesehatan selalu. 13. Teman-teman rumah: Budi Jawa, Kocrot, Onting, Pi'i, Azis, terima kasih atas dukunganya dalam penulisan skripsi ini. 14. Staf Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, KEMLU, LEMHANAS, Perpustakaan Freedom. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dalam penulisan skripsi ini. Semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT atas kebaikan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan atau ketidak sempurnaan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi perkembangan studi Hubungan Internasional dan Indonesia.
Jakarta, Mei 2011
Achmad Insan Maulidy
v
DAFTAR ISI
Abstrak....................................................................................................................…….i Kata Pengantar…………………………………………………………………………ii Daftar Isi………………………………………………………………………………..v Daftar Tabel . ……………………………………………………………………….…vii Daftar Istilah dan Singkatan.........................................................................................viii
Bab I
Pendahuluan A. Latar belakang masalah…………………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………...... 8 C. Tinjauan Pustaka………………………………………………………… 9 D. Kerangka Teori………………………………………………………….. 12 E. Metodologi penelitian…………………………………………………… 20 F. Sistematika Penulisan……………………………………………….…… 21
BAB II
Permasalahan Bajak Laut di Selat Malaka A. Definisi Bajak Laut................................................................................... 23 A.1. Tiga Tipe Perompakan/ Bajak Laut di Zaman Moderen…………... 28 B. Bajak Laut sebagai Ancaman Keamanan di Selat Malaka…………….... 37 C. Faktor-faktor yang Mendorong Meningkatnya Bajak Laut…………….. 42 C.1. Faktor Geografis…………………………………………………… 42 C.2. Faktor Ekonomi……………………………………………………. 44 C.3. Faktor Politik………………………………………………………. 45
vi
BAB III Patroli Terkoordinasi Indonesia, Malaysia dan Singapura sebagai Upaya Menjaga Keamanan di Perairan Selat Malaka A. Persepsi tentang Kerjasama Keamanan di Selat Malaka……………..….49 B. Kerjasama Penanganan Laut Indonesia, Malaysia dan Singapura…….…52 B.1. Patroli Terkoordinasi di Selat Malaka………………………….…...54 C. Analisis Masalah Keamanan di Selat Malaka Melalui Patroli Terkoordinasi……………………………………………………..65 C.1. Keuntungan dari Patroli Terkoordinasi…………………….……….65 C.2. Kelemahan Patroli Terkoordinasi…………………………………...69 C.3. Hambatan atas Patroli Terkoordinasi…………………………….…72 C.4. Keberhasilan dari Patroli Terkoordinasi……………………………75
BAB IV
Kesimpulan D. Kesimpulan………………………………………………………...…....78
Daftar pustaka…………………………………………………………………………x Lampiran
vii
Daftar Tabel
I.
Serangan bajak laut di Asia Tenggara 2000-2005………………………….27
II. Perompakan dan pembajakan di Selat Malaka tahun 2007………………...28 III. Perompakan dan pembajakan di Selat Malaka tahun 2008………………...28
viii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Ad hoc = Sementara AEC = ASEAN Economic Community APSC = ASEAN Political Security Community ASC = ASEAN Security Community AscC = ASEAN Socio-cultular Community ASEAN = Association of Southeast Asian Nations Binpotnaskuatmar = Pembinaan Potensi Nasional Kekuatan Maritim Choke point = Pintu masuk selat Cooperative security = Kerjasama keamanan Coordinated patrol = Patroli terkoordinasi CSCE = Conference on Security Cooperation in Europe Forward presence = Meneruskan kehadiran GAP = Grey-area Phenomena Illegal fishing = Penangkapan ikan secara illegal Illegal logging = Pencurian kayu/Penjulan kayu secara illegal Illegal migrant = Pengungsi yang tidak sah IMB = International Maritime Bureau IMO = International Maritime Organization KASAL = Kepala Staf Angkatan Laut Littoral States = Negara yang memiliki pantai berdampingan/negara pantai MIMA = Maritime Institute of Malaysia MSSP = Malacca Straits Sea Patrols National interest = Kepentingan nasional Piracy = Pembajakan Point control = Titik pengawasan Press secretary = Tekanan sekertaris RSN = Republic of Singapore Navy Safety at sea = Keselamatan di laut Sea robbery = Pembajakan di laut
ix
Security community = Komunitas keamanan SLOC = Sea Lines of Community SLOT = Sea Lines of Trade Special taks force = Tugas pasukan khusus Speed boat = Kapal dengan kecepetan tinggi The narrowest point = Wilayah sempit TNI AL = Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Transnational crimes = Kejahatan lintas negara UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the Sea
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Selat Malaka secara geografis membentang sepanjang 500 mil laut berada
diantara sepanjang Malaya dan pulau Sumatra. Lebar alur masuk di sebelah utara adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang merupakan wilayah
tersempit yaitu sekitar 8 mil laut. Selat Malaka juga
tersambung dengan selat Singapura yang mempunyai panjang selat 60 mil, dan sejak jaman dahulu Selat Malaka merupakan jalur transportasi yang di layari kapal-kapal. Perairan Asia Tenggara memiliki peran strategis karena menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudra Hindia. Selat Malaka merupakan salah satu jalur SLOC (Sea Line Of Communication) dan SLOT (Sea Line Of Trade) sekaligus choke point armada angkatan laut dalam forward presence ke seluruh penjuru dunia. Sebagai jalur SLOC Selat Malaka di lewati 72% kapal-kapal tanker yang melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik.1 Selat Malaka yang masuk ke dalam jalur SLOC dan SLOT yang sangat berperan penting bagi Dunia. Ini merupakan hal yang menjadi tugas negaranegara pantai Selat Malaka seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk menjaga keamanan di selat tersebut. Karena Selat Malaka yang menjadi jalur SLOT yang merupakan jalur perdagangan Internasional di mana dunia sangat tergantung pada keamanan selat tersebut. 1
S.Y.Pailah, Tantangan dan perubahan maritime; konflik perbatasan di wilayah perairan negara kesatuan Republic Indonesia jilid I, Manado; Klub Studi Perbatasan, 2007, h. 3.
2
Secara umum, Selat Malaka dan Selat Singapura yang mempunyai alur pelayaran sempit dan terdapat pulau-pulau kecil memberikan peluang kepada munculnya tindak kejahatan di perairan Selat Malaka yang merupakan salah satu dari sembilan selat dan terusan strategis dunia yaitu: Selat Babel Mandab yang menghubungkan
Laut
Merah dan
Laut
Arabia, Selat
Bosporus
yang
menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara, Selat Dardanelles di Turki, Selat Dover yang menghubungkan terusan Inggris dan Laut Utara, Selat Hormus yang menghubungkan semenanjung Oman dan Laut Arabia, Selat Jiblaltar sebagi pemisah antara Benua Afrika dan Benua Eropa, terusan Suez di Mesir dan terusan Panama. Di perairan kawasan Asia Pasifik, jalur SLOC yang terdapat adalah Selat Malaka.2 Di kawasan Asia Pasifik, perairan Asia Tenggara memiliki peranan yang sangat penting, kerena merupakan penghubung antara dua samudra besar, Pasifik dan Hindia. Jalur yang terpadat adalah Selat Malaka dilewati 72% tanker yang melintas dari samudra Hindia ke pasifik dan hanya 28% yang melewati selat lain, yaitu Selat Lombok, Selat Makasar dan laut Sulawesi. Di perkirakan sekitar 50.000 kapal dalam setahunya melintasi Selat Malaka, sehingga apabila terjadi interdiksi di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara di Asia Tenggara, melainkan juga akan memberikan dampak yang luar biasa bagi Negara lain.3
2
Edhi Nuswantoro, “Pengelolaan keamanan Selat Malaka,” keynote speech pada workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat Malaka, Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar negeri, Medan, 19-20 juli 2005, h. 1. 3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era Dinamika Global, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2003, h. 349.
3
Betapa penting Selat Malaka bagi dunia sehingga banyak negara yang ingin mengukuhkan pengaruhnya di wilayah laut Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu negara-negara seperti AS (Amerika Serikat) dan Jepang memanfaatkan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional untuk kebutuhan dalam dan luar negeri. Apabila terjadi insiden di Selat Malaka seperti adanya perompakan ataupun pembajak kapal-kapal yang bermuatan barang, dampaknya bermuara ke seluruh penjuru dunia. Jepang akan kehilangan 16% pasokan minyak bumi dan 80% pasokan gas alam, hal ini tentu mengancam stabilitas perekonomian Jepang.4 Ancaman serius yang ada di Selat Malaka adalah kegiatan terorisme dan pembajakan. Pembajakan maritim telah endemik ke daerah bagian Asia Tenggara sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam pembahasannya dari pembajakan, L. Wright dalam bukunya “Piracy in the Southeast Asian Archipelago” memperlihatkan bagaimana saat itu bangsa Belanda mencoba memonopoli perdagangan rempahrempah melalui Selat Malaka dari tahun 1670. Perdagangan yang dilakukan oleh Belanda dianggap telah menyimpang oleh penduduk lokal, sehingga menciptakan atau meningkatnya pembajakan di Asia Tenggara khususnya diperairan Selat Malaka. Pada abad ke-19, perampokan/ pemerusakan telah menjadi endemik di banyak dunia Melayu, sebagian besar ini adalah penting kerena dinamika politik, dengan peperangan antar suku dan membangun kekaisaran di nusantara. Perompakan adalah salah satu masalah yang tidak pernah habis selama periode kolonial.5
4
S.Y Pailah, Tantangan dan perubahan maritime, h. 4. L. Wright, “Piracy in the Southeast Asian Archipelago”, dalam buku, Peter Chalk, Grey-Area Phenomena In Southest Asia: Piracy, Drug Trafficking and political terrorism, 5
4
Dalam Kongres AS (April 2004) Panglima Komando Armada Pasifik, Laksamana Thomas Fargo manguraikan rencana untuk mengerahkan pasukan marinir dan armada kapal berkecepatan tinggi di Selat Malaka. Hal ini murni merupakan prakarsa Washington dalam rangka memerangi terorisme di Asia Tenggara.
Inisiatif
keamanan
laut
regional
merupakan
prakarsa
yang
dipergunakan oleh militer AS dalam memerangi ancaman transnasional seperti proliferasi nuklir, terorisme, lalulintas perdagangan manusia dan obat-obatan terlarang serta pembajakan.6 Inisiatif AS untuk turut memelihara dan menjaga keamanan Selat Malaka dari ancaman teroris adalah positif, tetapi inisiatif itu sangat sepihak. Sebenarnya apabila AS memahami kultur dan budaya pimpinan di Asia Tenggara, AS dapat mengutarakan dengan bijaksana. Inisiatif AS yang tampak sepihak tidak dapat di salahkan kerena keinginan AS untuk memerangi terorisme termasuk di perairan Selat Malaka, juga di dasari faktor Psikologis.7 Dalam hal ini, AS melihat Selat Malaka sebagai salah satu wilayah yang menjadi tempat tumbuhnya terorisme.8 Selain AS, Jepang juga menyatakan sikapnya melalui press secretary kementrian luar negeri Jepang, Mitsuo Sakaba dengan mengatakan bahwa Jepang akan berpartisipasi dalam keamanan laut dengan pemertintah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Perspektif Jepang sesungguhnya ingin menjadikan Selat Malaka sebagai urusan internasional bagi negara pantai dan negara pengguna selat. Akan tetapi, pandangan ini di tentang oleh Indonesia
dan Malaysia yang belum
Canberra: strategic and defence studies centre research school of pacific and Asian studies the Australian national University, 1997, h. 23. 6 Edhi Nuswantoro, Pengelolaan keamanan Selat Malaka, h. 3. 7 Peristiwa 11 September yang menghantam New york dan Washington telah mengubah perspectif AS terhadap terorisme secara signifikan. 8 Huala Adolf, “Tanggung Jawad RI atas Selat Malaka”, Kompas, 26 april 2004.
5
sepenuhnya menjadi anggota kerjasama pengamanan laut di Selat Malaka yang di prakarsai oleh Jepang walaupun disetujui oleh Singapura serta negara pengguna selat lainya.9 Berdasarkan fakta yang ada, KASAL Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh menyatakan penolakannya atas rencana kehadiran armada kapal perang Amerika. KASAL menegaskan bahwa penegakan kedaulatan di wilayah perairan Selat Malaka merupakan tanggung jawab bersama negara pantai, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura.10 Pasal 2 ayat 2 konvensi 1982 menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai meliputi ruang udara diatas serta dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya. Dalam pelaksanaan kedaulatanya negara pantai mempunyai beberapa macam wewenang yang diatur oleh pasal 25 konvensi 1982.11 Oleh karena itu, tidak perlu melibatkan pihak asing untuk menjaga keamanan wilayah perairan Selat Malaka dari serangan perompak dan ancaman yang ditujukan oleh para pengguna Selat Malaka. Akan tetapi, kerjasama keamanan antara negara pantai Indonesia, Malaysia Dan Singapura dalam upaya mengamankan Selat Malaka dengan menciptakan patroli terkoordinasi negara pantai Salat Malaka.
9
Yan Santosa EP, dalam Koran Harian Republika. 23 Juni 2004 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era Dinamika Global., h. 347. Dengan diadakannya perundingan Indonesia dengan Malaysia pada tanggal 17 febuari 1970, ditandatanganilah perjanjian garis batas laut wilayah antara dua negara yang dilanjutkan menjadi UU RI No. 2 tahun 1971 dan sebagi akibat dari perjanjian garis batas laut wilayah masing-masing negara yang lebarnya 12 mil , ilah bahwa pada bagian-bagian tertentu dari laut yang merupakan laut bebas sekarang telah menjadi laut-laut wilayah Indonesia dan Malaysia. Ini berarti bahwa di bagian-bagian laut yang telah menjadi laut wilayah ini akan berlaku kedaulatan negara-negara pantai yaitu Indonesia dan Malaysia. 11 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, h. 334. 10
6
B.
Rumusan Masalah Ancaman maritim regional Selat Malaka telah berkembang menjadi
kegiatan sindikat internasional serta dilakukan secara rapi dan terkoordinir. Masalah ini telah menjadi masalah maritim yang perlu ditangani secara serius seperti masalah pembajakan yang semakin meningkat di perairan Selat Malaka. Dalam menangani masalah pembajakan di perairan Selat Malaka tidak bisa hanya diselesaikan oleh satu pihak negara saja. Akan terapi harus bekerja sama dalam mengamankan selat malaka, terutama bagi tiga negara pantai tersebut Indonesia, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahannya yaitu, Bagaimana upaya yang dilakukan tiga negara pantai Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam mengamankan Selat Malaka dari tindak kejahatan pembajakan di laut?
C.
Tinjauan Pustaka Keamanan di Selat Malaka terutama masalah penyerangan bajak laut yang
terjadi di Selat Malaka telah menjadi topik pembahasan baik di tingkat pemerintah, pengambil kebijakan politik, praktisi militer maupun akademis masing-masing pandangan memiliki terminologi yang berbeda berdasarkan presepsi dan penempatan sebagai isu keamanan. Adapun penelitian sebelumnya yang menjadi acuan penulis dalam penulisan skripsi ini, yang berkaitan dengan keamanan Selat Malaka dan pembajakan di selat tersebut yaitu: 1. Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, Bumi Aksara, Jakarta, April 2010. Sub bab, Masalah Pengamanan Pelayaran Di Selat Malaka-Singapura. Dalam buku ini di jelaskan bahwa dasar dari kerjasama keamanan yang
7
dilakukan oleh negara pantai Selat Malaka adalah keamanan yang semakin memburuk di selat tersebut. Melalui Cooperation On Cooperation against piracy and other theats to maritime security di Pnom Penh, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa untuk dalam membasmi pembajakan perlunya kerjasama maritime bilateral maupun multilateral yang di tingkatkan dan latihan militer bersama. Akan tetapi kelemahan dari latihan militer bersama yang lebih banyak di rugikan adalah Indonesia
karena lebih banyak melakukan latihan di daerah
perairan Indonesia yang notabennya banyak terjadi pembajakan. 2. S. Y pailah, “Tantangan dan Perubahan Maritime (Konflik Perbatasan di Wilayah Perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia)”, Klub Studi Perbatasan, Manado, 2007. Dalam buku ini di jelaskan bahwa dengan situasi Selat Malaka yang rawan terhadap pembajakan, bayak negara besar seperti AS dan jepang yang ingin memberikan bantuan berupa pasukan militernya yang langsung terjun ke selat tersebut. Jika pasukan asing seperti AS terlibat langsung dalam penanganan Selat Malaka akan mengganggu kedaulatan negara pantai oleh kerena itu cukup negara pantailah Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang mengamankan Selat Malaka tersebut, tanpa pasukan asing dengan kepentingan yang berbeda. 3. Jusuf Dharma Senoputro, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana, Universita Indonesia, Jakarta 2005. “Pengelolaaan Bersama Keamanan Di Wilayah Perairan Selat Malaka (Studi Kasus Masalah Perompakan Di Perairan Selat Malaka periode 2003-2004)”.
8
Tesis ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Tesis ini menghasilkan fokus pembahasan mengenai permasalahan tindak pembajakan di perairan Selat Malaka, yang menghasilkan kerjasama keamanan antara negara-negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang tergabung dalam patroli terkoordinasi. Kerjasama ini sebelumnya juga sudah terbentuk akan tetapi hanya tingkat bilateral dan berkembang menjadi trilateral. Patroli terkoordiansi tiga negara pantai Selat Malaka ini dapat menurunkan tingkat tindak kejahatan pembajakan yang terjadi di Selat Malaka selama periode 20032004. 3. Steven Yohanes Pailah, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana, Universita Indonesia, Jakarta 2008. “Pengelolaan Isu-Isu Keamanan Di Selat Malaka Periode 2005-2006”. Tesis ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Dalam pembahasan di tesis ini memfokuskan isu-isu keamanan yang ada pada Selat Malaka, seperti internasionalisasi Selat Malaka oleh pihak asing, pembajakan sehingga dapat mengancam negara-negara pantai Selat Malaka, ancaman yang ada di Selat Malaka juga membuat ASEAN gerah sehingga menghasilkan persetujuan dalam seminar ASEAN-Japan yaitu: Regional Cooperation Agreement On Combating anti Armed Robbery Against Ship and Piracy in Asia (ReCAAP). Pada bulan September 2006 di Kuala Lumpur. Akan tetapi di tolak Indonesia, Malaysia dan China. Ancama yang terjadi di Selat Malaka membuat negara pantai berinisiatif untuk membuat kerjasama
9
keamanan yang berangotakan negara-negera pantai, untuk mengatasi isuisu keamanan yang terjadi di Selat Malaka periode 2005-2006. Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah: a. Dalam penelitian ini terdapat, keuntungan, kelemahan, hambatan, dan keberhasilan dari terselenggaranya patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. b. Rentan waktu yang digunakan dalam penelitian ini sampai pada tahun 2009 dengan melajutkan penelitian yang sudah ada, dan pada tahun ini pun terjadi penurunan tindak kejahatan pembajakan di perairan Selat Malaka.
D.
Kerangka Teori Teori adalah upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi.
Pernyataan yang disebut teori itu berwujud sekumpulan generalisasi dan karena generalisasi itu terdapat konsep-konsep, bisa juga diartikan bahwa teori adalah pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara logis. Pada dasarnya teori berfungsi membantu kita mengorganisasikan dan menata fakta-fakta yang kita teliti.12 Teori yang dipergunakan adalah teori Grey-area phenomena (GAP), teori ini digunakan untuk menjelaskan penomena bajak laut yang terjadi di perairan Selat Malaka, terutama ketika akhirnya bajak laut mendapat perhatian khusus dari pembuat kebijakan dikawasan, yang kemudian timbul gagasan menjaga keamanan
12
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi, Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1990, h. 186-187.
10
bersama perairan Selat Malaka. Peter Chalk menyebutkan bahwa GAP dapat diartikan sebagai ancaman terhadap suatu negara berdaulat, ancaman ini muncul dari aktor non-negara dan timbul dari luar proses yang berkaitan dengan struktur pemerintahan.13 GAP bukanlah pemikiran yang baru, GAP merupakan bagian dari spektrum keamanan namun biasanya di tempatkan pada posisi yang rendah dalam pembahasan keamanan, dan pada dasarnya sangat membahayakan keamanan dan tentunya mengganggu kedaulatan suatu negara. GAP kadang disertai dengan kekerasan, bila penggunaan kekerasan cukup menonjol dimana biasanya GAP tersebut terorganisir. Motif utama yang melatar belakanginya adalah politik atau ekonomi atau kedua-duanya sekaligus. GAP dengan karakter seperti ini muncul dalam bentuk kejahatan transnasional terorganisir.14 Dapat dikatakan seperti terorisme maritim, perdagangan obat bius, perdagangan manusia, dan bajak laut. Akan tetapi pembajakan yang terjadi di laut tidak selalu terjadi secara terorganisir, namun terdapat peningkatan dalam kasus yang mengindikasikan keterlibatan organisasi kejahatan transnasional. GAP menantang kemampuan negara untuk menjamin penegakan hukum di teritorinya dan keamanan tatanan sosial, terutama keamanan terhadap individu warga negara. GAP berbeda dengan dangan ancaman konvensional, seperti agresi eksternal yang lawannya jelas. Di sebukan bahwa, karakter GAP menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap keberadaan isu GAP dan dampak yang di akibatkannya. Negara baru akan memberikan perhatian terutama dalam bentuk kebijakan apabila pengaruh GAP besar atau pada tingkat ekstrem telah 13
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Soultheast Asia, Canberra: Strategic and Defence Studies Center Research School of Pasific and Asian Studies The Australian National University, 1997, h 5-7. 14 Philips Jusario Vermonte, “Transnasional Organized Crime: Isu dan Permasalahan” Analisis CSIS tahun XXXI/2002, no. 1, h. 18.
11
menyebabkan krisis.15 Dan perhatian yang diberikan oleh negara adalah kebijakan untuk mengamankan perairan Selat Malaka dalam masalah ini pembajakan. Konsep keamanan yang dikemukakan oleh Barry Buzan merupakan pandangan awal dari pokok permasalahan yang dikemukakan khususnya keamanan di perairan Selat Malaka. Menurut Barry Buzan, kemananan merupakan suatu konsep yang relative sifatnya, namun dalam pengertian yang lebih luas, keamanan dapat diartikan sebagai kemerdekaan atas suatu ancaman tertentu, dan kemampuan negara dan masyarakat untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan integritas fungsional mereka terhadap kekuatan-kekuatan tertentu yang dianggap musuh. Dasar utama dari keamanan adalah bertahan hidup, yang dapat mencangkup tradisi dan eksistensi suatu negara.16 Pengertian lain dari keamanan menurut Barry Buzan adalah keamanan sebagai suatu gagasan yang lebih luas dibandingkan dengan kekuasaan, yang mempunyai bentuk atau pola yang lebih bermanfaat di dalam melakukan kerjasama.17 Dalam hal ini patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah suatu kerjasama keamanan regional dalam tingkat Asia Tenggara. Menurut Barry Buzan, keamanan regional adalah unsur-unsur yang pada prinsipnya harus ditambahkan di dalam hubungan antar negara, yang merupakan bentuk persahabatan antar negara.18 Oleh karena itu,
keamanan mutlak hanya dapat diperoleh melalui
kooperasi bertingkat (lokal, regional maupun global) dan dalam berbagai dimensi
15
Ibid, h. 19. Barry Buzan, People, State and Fear: The National Security Problem in International Relations, Sussex: Wheatsheaf Book, 1993, h. 93. 17 Ibid, h. 189. 18 Barry Buzan, People, states and fear: an agenda for international security studies in the post cold war area, London: Harvester Wheatsheaf 1991, h. 189 16
12
seperti ekonomi, pertahanan dan lingkungan.19 Konsep keamanan tepat digunakan untuk masalah Selat Malaka, yang tergolong berbahaya kerena adanya pembajakan. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara pantai wajib menjaga keamanan perairan Selat Malaka, tetapi dalam konsep ini Indonesia tidak dapat bergerak sendiri, melainkan dengan bekerja sama dalam bidang keamanan oleh negara-negara pantai seperti Malaysia dan Singapura. Selat Malaka sebagai suatu wilayah strategis di kawasan Asia Tenggara, membuat negara-negara yang berada di sepanjang wilayah selat tersebut menjadi ketergantungan sehingga untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan mereka (Indonesia, Malaysia, Singapura) dibutuhkan suatu keamanan kolektif regional (kerjasama keamanan), dimana beban dan tanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas keamanan dapat dipikul bersama-sama oleh negaranegara kawasan Asia Tenggara agar lebih memadai. Selain itu, keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman dan bebas dari ancaman berupa pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku di wilayah perairan, serta ancaman terhadap keamanan negara prilaku subjek hukum di laut yang berpotensial mengancam keamanan negara atau disintegrasi wilayah negara. Dari perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, dapat diidentifikasi adanya berbagai bentuk ancaman, yaitu ancaman potensial yang bersumber dari masalah batas wilayah perairan yuridiksi nasional, masalah penyalahgunaan alur laut kepulauan Indonesia, masalah sumber daya alam dan energi, serta ancaman faktual berupa kegiatan perikanan illegal, penyeludupan, perompakan, pencurian harta karun, 19
Barry Buzan, People, State and Fear: The National Security Problem in International Relations, h. 43.
13
pelanggaran wilayah, pelanggaran imigrasi, penelitian ilmiah tanpa izin, seta pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan laut.20 Menurut Bernard Kent Sondakh, keamanan laut bukan semata-mata menegakan hukum di laut. Lebih tegasnya lagi, keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut, karena keamanan laut mempunyai cangkupan yang luas dan kompleks. Dalam pandangan TNI AL, keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman dan terkendali serta bebas dari empat hal pokok, yaitu: Laut bebas dari ancaman kekerasan, Laut bebas dari ancaman navigasi, Laut bebas dari ancaman terhadap sumberdaya laut, dan Laut bebas dari pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional.21 Konsep cooperative security dapat menjelaskan bentuk kerjasama yang paling mungkin diterapkan oleh tiga negara pantai di Asia Tenggara Indonesia, Malaysia dan Singapura, yaitu, untuk menangani bajak laut yang terjadi diperairan Selat Malaka. Davit Dewitt menyebutkan bahwa, model cooperative security mengandalkan mekanisme dialog. Model kerjasama cooperative security pertama kali muncul di kawasan Eropa lewat keberadaan Conference on Security Cooperation in Europe (CSCE).22 Menurut Muthiah Alagappa, dalam “Asian Security practices (Material and Ideational Influences)”, Konsep cooperative security ini ditandai oleh beberapa karakter. Pertama, pemahaman bahwa ancaman keamanan bersifat luas, tidak hanya bersifat militer tetapi bisa juga bersifat non-militer. Kedua, 20
Uray Asnol Kabri, “Kerjasama Keamanan Regional ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Kepantingan Keamanan Laut Nasional”, Dharma Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf Dan Komando TNI AL No. DW/112/2001, h. 85. 21 Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh Mengibarkan Bendera Kewajiban, Jakarta: Penerbit Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2004, h. 154-155. 22 Davit Dewitt, “Common, Comprehensive and Cooperative Security”, Pacific Affairs, vol. 7 no.1 tahun 1994, h. 7-12.
14
pendekatan bersifat inklusif artinya, cooperative security bersifat fleksibel terhadap bentuk-bentuk hubungan aliansi, termasuk hubungan-hubungan bilateral dan perimbangan kekuatan yang sudah ada dalam menciptakan keamanan regional. Kompetisi dan perbedaan antar negara tetap ada dalam suatu sistem yang menganut cooperative security, namun kondisi perbedaan tersebut berlangsung dalam koridor yang telah disepakati oleh semua negara yang berpartisipasi dalam kerjasama keamanan yang memakai model cooperative security koridor yang dimaksud disini adalah norma dan proses yang telah disepakati oleh negaranegara tersebut. Dengan penekanan kepada mekanisme dialog, cooperative security memungkinkan pembentukan multilateralisme yang bersifat ad hoc, informal dan proses-proses yang fleksibel sampai kondisi untuk pembentukan institusi multilateral lebih memungkinkan.23 Pada dasarnya manusia menginginkan keamanan yang bersifat kolektif (Universal). Hal ini sangat beralasan kerena masing-masing negara pada dasarnya tidak mampu untuk menanggulangi masalah secara individual, sehingga diperlukan pengamanan secara bersama-sama. Keamanan kolektif sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu militer, ekonomi, sosial dan lingkungan.24 Kelima faktor seperti: militer, ekonomi, sosial dan lingkungan sangat mempengaruhi sistem hubungan internasional dengan negara sebagai sentralnya dan akan menentukan stabilitas sistem internasional. Untuk itu diperlukan suatu kerjasama dalam bidang keamanan, faktor ancaman dapat memunculkan suatu bentuk kerjasama antar negara baik dalam bentuk kerjasama bilateral, trilateral, 23
Muthiah Alagappa, “Asian Security practices (Material and Ideational Influences)”, dalam skripsi Ilham Sani, “Perang Mengatasi Bajak Laut di SLOC I”, Depok: Universitas Indonesia, 1999, h. 35 24 Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers, The Structure of International Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 45.
15
regional dan sebagainya. Hal ini juga dapat diwujudkan dengan pembentukan suatu komunitas keamanan di kawasan/wilayah. Menurut Karl Deutsch, komunitas keamanan (security community) adalah kerjasama transnasional dalam kawasan yang terdiri atas negara-negara berdaulat yang saling sepakat untuk memelihara kondisi saling ketergantungan dalam melakukan perubahan secara damai.25 Menurut Adler, Suatu komunitas itu sendiri dapat di definisikan atas tiga karakteristik: 1. Anggota suatu komunitas mempunyai persamaan identitas, nilai dan cara. 2. Suatu komunitas memiliki banyak sisi dan hubungan langsung; interaksi tidak terjadi secara langsung dan hanya dalam wewenang khusus dan terpisah, tetapi lebih melalui beberapa pertemuan tatap muka dan hubungan dalam banyak latar. 3. Komunitas memperlihatkan suatu hubungan timbal balik yang menyatakan beberapa tingkatan kepentingan dalam jangka waktu yang lama dan bahkan altruism (altruism dapat dipahami sebagai rasa kewajiban dan tanggung jawab).26 Dalam ikatan komunitas keamanan, saling menolong menjadi hal kebiasaan dan identitas dan identitas nasional dinyatakan melalui penggabungan usaha. Hak untuk menggunakan perubahan kekuatan dari satuan kepada kebersamaan kedaulatan Negara-negara dan menjadi sah hanya pada ancaman dari luar atau terhadap anggota komunitas keluar dari norma inti komunitas. 25
Emanuel Adler and Michael Barnett, Security Community, Cambridge: Cambridge University Press 1998, h. 54. 26 Emanuel Adler and Michael Barnett, Security Community, h. 31.
16
Keseimbangan kekuatan, pencegahan nuklir dan ancaman pembalasan menguasai berarti dan tugas fungsional, tetapi hanya untuk menjaga komunitas dari orang luar, komunitas keamanan sebagai sistem keamanan bersama atau bahkan sebagai organisasi pertahanan militer yang terpadu. Pada hakekatnya, keamanan suatu wilayah bukanlah semata-mata untuk kepentingan suatu negara saja, tetapi menyangkut kepentingan semua negara dan bangsa di dunia terutama di sekitar kawasan, baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik secara global. Untuk itu, menjaga stabilitas keamanan di kawasan tersebut bukan monopoli satu negara semata, melainkan tanggung jawab bersama. Dalam kondisi keterbatasan kemampuan masing-masing negara, upaya terpadu negara kawasan secara sinergi merupakan kebutuhan mendesak yang perlu diwujudkan.27
E.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk memudahkan terkumpulnya data-data
yang diperlukan dalam penulisan suatu karya ilmiah. Disamping itu juga bisa digunakan untuk memudahkan perumusan suatu kesimpulan dan memeriksa kebenaran pernyataan yang disimpulakan.28 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data yang menjelaskan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Data diperoleh melalui kajian pustaka atas buku-buku, jurnal ilmiah, maupun surat kabar, dokumen-dokumen dan melalui media elektronik seperti internet yang berkaitan dengan “Kerjasama Keamanan Indonesia, 27
28
Uray Asnol Kabri, Kerjasama Keamanan Regional ASEAN, h. 80-81. Moch Nasir, metode penilitian, Jakarta: Ghalia Press, 1998, h. 51.
17
Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka Periode 2004-2009”. Melalui studi perpustakaan ini diharapkan dapat dipelajari konsepsi kerjasama keamanan negara pantai dalam menjaga keamanan wilayah perairan Selat Malaka.
F.
Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah tentang kondisi keamanan wilayah perairan Selat Malaka, tujuan penulisan, kerangka teori yang berisikan
konsep dan
perspektif para ahli mengenai definisi keamanan, metode penelitian yang bersifat deskriptif dan sistematika penulisan. Bab II : Permasalahan Bajak Laut Di Selat Malaka Bab ini menjelaskan definisi dan tipe-tipe tentang bajak laut di Perairan Selat Malaka,bajak laut sebagai ancaman yang dapat mengganggu aktivitas di Selat Malaka dan faktor-faktor yang menyebabkan populasi bajak laut di Selat Malaka meningkat. Bab III : Patroli Terkoordinasi Indonesia, Malaysia dan Singapura Sebagai Upaya Menjaga Keamanan di Perairan Selat Malaka Bab ini membahas mengenai kerjasama yang di lakukan oleh tiga negara pantai indoneisa, Malaysia dan Singapura untuk mengatasi keamanan di Selat Malaka melalui patroli terkoordinasi, dalam bab ini juga akan dimuat analisis tentang kerjasama patroli terkoordinasi. Bab IV : Penutup Bab ini berisi hasil kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
18
BAB II Permasalahan Bajak Laut di Selat Malaka
Pada abad ke-17 dan 18, perjalanan di lautan bagi awak dan penumpang kapal sangatlah berbahaya. Banyak di antara mereka yang meninggal atau sakit di perjalanan karena lingkungan yang kurang sehat dan terbatasnya bahan makanan. Keadaan ini memperhitungkan datangnya badai atau topan yang menyebabkan perjalanan menjadi lebih lama dan menyengsarakan. Tetapi, sekalipun keadaan di atas merupakan ancaman serius yang ditakutkan, namun ancaman datangnya bajak lautlah yang ternyata paling ditakuti. Sebab, bajak laut biasanya bertempur habis-habisan, membunuh semua awak dan semua penumpang kapal untuk memastikan kemenangan dan keamanan. Kalaupun ada beberapa diantaranya yang diselamatkan, biasanya adalah mereka yang di anggap berguna oleh para perompak.29 Ancaman terhadap jalur perdagangan internasional di perairan Asia Tenggara adalah aksi pembajakan yang berdasarkan ilustrasi dan dokumen sejarah bahwa ancaman terhadap keamanan itu berasal dari aktor-aktor non-negara atau ancaman non-konvensional yang bukan merupakan fenomena baru. Perompakan tercatat menjadi perhatian sejak Abad ke-4 Masehi di laut Cina dan berangsurangsur menyebar dan berkembang selama berabad-abad, dan berkembang luas di laut Mediterania dari abad ke-16 sampai ke-18.
29
Jean-Michel Chalier & Victor Hubinon, “Le Roi Des Sept Mers, Dargaud Editeurs”, dalam tesis Jusuf Dharma Senoputro, “Pengelolaan Kerjasama Keamanan di Wilayah Perairan Selat Malaka”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005. h. 33.
19
A.
Definisi Bajak Laut Motif dari para bajak laut untuk melakukan pembajakan di laut dari pada
di darat membuat negara-negara bekerja kerja keras dalam menghadapi mereka. Pembajakan mewakili perhatian klasik dari hukum internasional, yang secara tradisional terfokus pada masalah-masalah yang tidak langsung berada dalam hukum negara-negara. Sejumlah konvensi internasional telah di ratifikasi sejak abad ke-19 untuk melawan pembajakan di laut lepas dan mencapai puncaknya pada konvensi Genewa di tahun 1958 yang mengizinkan setiap negara untuk menangkap para pembajak tanpa mempedulikan kebangsaan pelaku pembajakan tersebut.30 Keberhasilan konvensi-konvensi ini telah menghasilkan dalam hubungan internasional, dengan efektifitas penegakan hukum yang tidak terkarakterisasi agar para pelaku kriminal dapat dikenai tindakan hukum lokal. Pembajakan di zaman moderen cendrung tidak beroperasi di laut lepas, karena mereka pasti akan berhadapan langsung dengan kekuatan angkatan laut yang besar dan lebih menyukai tantangan otoritas kedaulatan negara yang kurang kuat dengan membajak kapal-kapal di laut territorial sedang berlabuh atau berada di pelabuhan. Menurut International Maritime Organization (IMO) piracy atau pembajakan adalah suatu tindakan dari percobaan pada kapal laut dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan kepada orang lain dan dengan percobaan atau dengan kemampuan untuk menggunakan kekuatan/kekerasan
30
Peter Hough, Understanding Global Security, dalam tesis Jusuf Dharma Senoputro, “Pengelolaan Bersama Keamanan di Wilayah Perairan Selat Malaka” Jakarta: Universitas Indonesia, Desember 2005, h. 34.
20
dalam tindakan tersebut.31 Pada dasarnya bajak laut akan membunuh habis korbannya dengan alasan tidak meninggalkan jejak, jika ada yang selamat biasanya digunakan untuk budak atau dijual oleh para bajak laut. Sedangkan menurut prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh TNI AL, tindak pidana pembajakan didefinisikan sebagai setiap tindakan kekerasan/perampasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang lain atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal.32 Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar: 1. Pembajakan (piracy) melangar pasal 438 KUHP, Pasal 103, pasal 110, pasal 105, pasal 107 UNCLOS 1982 2. Pembajakan di laut (piracy at sea), Melanggar pasal 439 KUHP 3. Pembajakan di pesisir, Melanggar pasal 442 KUHP 4. Pembajakn di sungai, melanggar pasal 441KUHP 5. Nahkoda bekerja sebagai
atau
menganjurkan melakukan
pembajakan, melanggar pasal 442 KUHP 6. Bekerja sebagai ABK pembajak, Melanggar pasal 443 KUHP 7. Menyerahkan kapal untuk dibajak, melanggar pasal 448 KUHP 8. Penumpang merampas kapal, melanggar pasal 448 KUHP 9. Melarikan kapalnya dan pemilik kapal, melanggar pasal 449 KUHP
31
Graham Gerard Ong-Webb, “Piracy, Maritime Terorism and Securing the Malacca Straits, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006, h. xii. 32 Prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh TNI AL, Jakarta: Markas Besar TNI AL, Juni 2003, h. 13.
21
10. Tanpa izin pemerintah bekerja sebagai Nahkoda atau ABK kapal pembajak, melanggar pasal 450 dan 451 KUHP.33 Pembajakan di perairan Asia Tenggara juga semakin berbahaya dan terorganisir, laporan IMB (International Maritime Bireau) yang berpusat di London. Direktur IMB Kapten Pottengal Mukun dalam laporan tengah tahunan biro maritim, mengenai laporan 182 serangan pada semester pertama 2004 turun 22%, dari tahun lalu sebanyak 234 serangan. Berbanding jauh dengan negara Bangladesh dan India mengalami penurunan besar dengan total 17 kasus sedangkan sebelumnya 41 kasus. Namun 30 orang terbunuh pada tahun 2004, dibandingkan dengan 2003 jumlah korban tewas 16 orang. "Pelabuhan Tanjung Priok dan Balikpapan di Indonesia, Lagos di Nigeria, dan Chennai di India yang termasuk kedalam kategori pelabuhan dengan jumlah penyerangan yang tinggi", sedangkan Selat Malaka menghadapi 20 serangan, naik dari tahun lalu dengan 15 serangan.34 Dari laporan IMB di atas masalah pembajakan semakin meningkat apa lagi di wilayah Asia Tenggara, jika dilihat sejarahnya masalah pembajakan di laut sudah terjadi sejak manusia mulai mempergunakan kapal bagi kepentingan kehidupannya melalui laut. Apalagi dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai, penggunaan kapal semakin meningkat, tidak saja untuk keperluan penangkapan ikan di laut, tetapi juga sudah dijadikan sebagai sarana transportasi bagi pedagang yang terus meningkat pula juga. Dalam sejarah, sudah
33
Ibid, h. 13. Pottengal Mukun, “Selat Malaka di Hantui Perompak”, Kuala Lumpur, http://www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236 di akses tanggal 20 Oktober 2010, pukul 22.00. 34
22
diketahui bahwa di wilayah Asia Tenggara sejak awal abad Masehi sampai abad ke-13 Masehi sudah terdapat kerajaan-kerajaan
besar maritim besar seperti
kerajaan Funan, Champa, Sriwijaya dan Majapahit. Perkembangan ke-4 kerajaan itu telah menyebabkan meningkatkan perdagangan Cina ke Selatan (Nanyang) dengan mempergunakan kapal-kapal layar. Bersamaan dengan itu telah berkembang pula pembajakan di laut seperti yang di catat oleh Ban Gu (32-29 M) bahwa pembajakan sudah terjadi sepanjang rute kapal-kapal dagang Cina ke Srilangka (Yichenghu) Melalui Singapura (Duyuan Go).35 Pada dasarnya para pembajak itu ada karena melihat dari aktifitas laut yang meningkat, dengan kapalkapal yang membawa barang komoditif, sehingga terjadi pembajakan pada kapalkapal yang akan melakukan transaksi dagang. Berikut ini diuraikan mengenai sejarah bajak laut di perairan Asia Tenggara. Perhatian akan ditunjukan pada aksi bajak laut di perairan Asia Tenggara bagian barat yaitu mulai dari Selat Malaka sampai laut Cina Selatan. Sebab, kasus bajak laut yang paling terbanyak ada di kawasan ini. Catatan sejarah paling awal mengenai bajak laut di Asia Tenggara di tulis oleh Shih Fa-Hsien.36 Shih Fa-Hsien menyebutkan ada bajak Laut di kawasan Bajak Laut di kawasan Selat Malaka pada sekitar tahun 413-414 Masehi. Berita mengenai keberaan bajak laut terus ada berabad-abad berikutnya. Berita Chia_tan yang di tulis akhir abad ke-8 menyebutkan tempat bajak laut secara lebih rinci, yaitu di sebuah pulau di sebelah barat laut kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-12 dikabarkan keberhasilan satu kerajaan kecil di bawah pengaruh Sriwijaya yang berhasil memukul mundur serangan bajak laut. Wang Ta-Yuan menulis bahwa 35 36
Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, Jakarta: Bumi Aksaraja, April 2010. h. 97-98. Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 23-24.
23
bajak laut pada tahun 1330-1340 terdapat di daerah Lung-Ya-Men (sekarang Keppei Harbor, Singapura) selama sembilan abad ini berita bajak laut terpusat di sekitar sekitar Selat Malaka dan sekitarnya. Sumber-sumber tersebut juga menyebutkan mengenai kegiatan-kegiatan para pembajak, seperti mengincar kapal karam kemudian membajak kapal serta menangkap orang-orang yang berada di atas kapal tersebut untuk dijual sebagi budak. Tatapi tidak disebutkan asal dari para bajak laut tersebut apakah mereka dari etnis yang sama atau tidak. Pada abad-abad berikutnya para pelaku pembajakan merupakan campuran dari berbagai campuran dari berbagai suku bangsa.37 Pada era perang dingin kegiatan bajak laut relatif rendah jumlahnya, karena perhatian pada masyarakat terfokus pada persaingan antara blok barat dengan blok timur dari pada memperhatikan isu keamanan tingkat rendah seperti bajak laut yang sering kali dianggap sebagai salah satu bentuk kriminalitas biasa, namun pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an laporan mengenai serangan bajak laut sangat menonjol.38 Sasaran mereka adalah orang-orang perahu yang berasal dari Vietnam. Seluruh perahu yang berasal dari Vietnam yang berlabuh di pantai negara lain diperkirakan berjumlah 500.000 dan separuhnya diperkirakan pernah mengalami serangan bajak laut selama pelayaran mereka.39 Sekitar akhir tahun 1980-an bajak laut di kawasan Asia Tenggara kembali mengalami peningkatan, terutama perairan di bagian barat, yaitu Selat Malaka,
37
Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan laut Selawesi abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, h. 122-123. 38 Pada masa pendataan mengenai serangan bajak laut sangat kurang sehingga sangat sulit untuk mengetahui jumlah kasus bajak laut secara tepat. Mark Bruyneel, “Modern day piracy statistic”, www. Tortuga.myweb.nl/archive/modern/figures.htm. di akses pada tanggal 20 Oktober 2010. Pukul 23:30. 39 Ko Tun Hwa, The Control of Piracy and Maritime terrorism, Dalam skripsi Ardiana wahyu Hapsari, “ASEAN dan permasalahan bajak laut di Asia Tenggara”, Depok: Universitas Indonesia, 2002, h. 29.
24
laut Jawa, Selat Singapura, dan Laut Cina Selatan. Bila jaman dahulu sebagian bajak laut memiliki motif politik dalam melaksanakan pembajakan, bajak laut modern mayoritas dilandasi oleh motif ekonomi, namun tidak menutup kemungkinan adanya motif politik seperti kegiatan perompakan kapal dan penyanderaan awak atau penumpang kapal yang dilakukan oleh gerakan separatis Moro.40 Peningkatan kasus pembajakan ini terjadi hingga tahun 2004 atas laporan tahunan IMB.
A.1.
Tiga-Tipe Pembajak/ Bajak Laut di Zaman Moderen Kegiatan bajak laut di zaman moderen ini berbeda dengan kegiatan
bajak laut zaman kerajaan dahulu, saat ini para bajak laut bukan lagi menangkap awak kapal untuk dijadikan budak. Namun, bukan berarti para bajak laut tidak berbahaya di zaman moderen ini. Pembajakan dan perusakan terhadap awak kapal kerap kali terjadi dan teknologi yang dipergunakan oleh bajak laut juga sudah berkembang. Menurut Peter Chalk, IMB menggolongkan pembajakan di zaman moderen dapat dibagi menjadi tiga katagori:41 a.
Low level armed robbery (pembajakan bersenjata tingkat rendah) Kegiatan kelompok pembajak ini berupa pencurian di pelabuhan dan dermaga aksi bajak laut seperti ini biasa terjadi di pelabuhanpelabuhan kecil. Sebab, pengawasan oleh petugas terhadap
40
Pemerintah Indonesia juga menuduh gerakan Aceh merdeka terlibat dalam beberapa kasus pembajakan di dekak di perairan Aceh, bajak laut merampok kapal dan menyandera awak kapal untuk meminta uang tebusan, seperti yang terjadi terhadap kapal MT Tirta Niaga IV pada awal tahun 2000. Namun, para pemilik kapal memilih untuk mengabulkan tuntutan para pembajak, sebab tuntutannya pada umumnya tidak terlalu besar dan pemilik kapal mengingikan agar masalah cepat selesai tanpa harus menghadapi prosedur investigasi resmi yang rumit. Di akses dari, www.iccwbo.org/ccs/imb_piracy/weekly_piracy_report, pada tanggal 20 Oktober 2010, pukul 21:00. 41 Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 24.
25
keamanan pelabuhan kurang. Kebanyakan kasus kebanyakan bajak laut tipe ini terjadi di Indonesia. Chalk mencontohkan 16 dari 17 kasus bajak laut di perairan Jakarta merupakan pembajak model ini, yaitu serangan terjadi saat kapal sedang berlabuh atau saat kapal tersebut
sedang
menuju
ke
luar
perairan
tersebut.42
IMB
menyebutkan bahwa serangan bajak laut ini adalah serangan yang bersifat oportunis yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang bersenjata
pisau
dengan
menggunakan
kapal
kecil
yang
berkecepatan tinggi. Sasaran perompakan biasanya uang tunai dan barang-barang berharga. Kerugian yang mereka timbulkan sekitar 5.000 sampai 15.000 dolar AS.43 Bajak laut ini juga bisa disebut pembajakan kecil-kecilan yang hanya membajak awak kapal kemudian melarikan diri. Biasanya terjadi ketika kapal yang menjadi sasaran sedang lego jangkar atau sedang berlabuh di pelabuhan. b. Medium level armed assault robbery (penyerangan pembajakan bersenjata tingkat menengah) Tipe ini merupakan bajak laut yang umumnya terjadi di perairan Asia Tenggara, yaitu pembajakan di laut lepas atau laut territorial. Bila berlangsung di selat yang sempit bajak laut seperti ini sangat mengganggu sistem pelayaran. Sebab ada kemungkinan kapal yang dibajak akan lepas kendali, terutama saat awak kapalnya diikat, dikurung atau mungkin dibunuh. Biasanya bajak laut seperti ini
42
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 24. David G. Wiencek, “The Growing Threat of Maritime Piracy”, diakses dari http.//www.china.jamestown.org/pubs/view/cwe_001_001_004.htm, pada 29 September 2010, pukul 13.00. 43
26
beroperasi secara terorganisir dan tidak jarang beroprasi dari semacam „kapal induk‟. Serangan bajak laut ini seringkali membahayakan nyawa awak kapal.44 c. Major criminal hijack (kejahatan bajak laut tingkat tinggi) Tipe bajak laut ini juga dikenal sebagai fenomena „kapal siluman‟ atau „phantom ship‟. Kegiatan bajak laut ini memiliki modal yang sangat besar dan jauh lebih terorganisir dengan melibatkan organisasi kejahatan internasional yang mengerahkan sekelompok orang yang telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Tindakan bajak laut ini mengikuti pola sendiri.45 Pertama, kapal dikuasai
kemudian
muatannya diturunkan kemudian kapal tersebut dicat ulang dan didaftarkan dengan nama lain dan juga disertai dokumen-dokumen palsu untuk melakukan pelayaran lagi. Muatan kemudian dijual kembali di tempat lain dengan pembeli yang telah diatur sebelumnya. Kerugian material yang ditimbulkan oleh bajak laut jenis ini lebih besar dari dua tipe sebelumnya, sebab, kapal dan muatannya lenyap sekaligus, serta ancaman kehilangan nyawa bagi awak kapal dan penumpangnya lebih besar. Pada awalnya perairan Asia Tenggara paling rawan terhadap bajak laut tipe low level armed robbery
dan
Medium level armed assault
robbery. Dua jenis bajak laut ini termasuk katagori yang sering terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sasaran utama yang diincar oleh bajak laut ini
44
Piracy in Southeast Asia, http://www.angelfire.com/ga3/tropicalguy/piracy- modernday .html, diakses tanggal 05 Juli 2011, pukul 20.00. 45
Ibid.
27
adalah kapal barang dan kapal tanker yang berukuran kecil atau sedang. Kapal tanker berisikan bahan bakar menjadi sasaran yang digemari bajak laut sebab bahan bakar mudah dijual. Secara umum perairan di Asia Tenggara dikenal penuh dengan serangan bajak laut bahkan secara khusus Indonesia dikenal dengan kawasan
paling mengkhawatirkan.
Tahun
2002
ditandai
dengan
peningkatan frekuensi serangan bajak laut yang sangat menyolok di Indonesia, dapat dilihat pada gambar tiga hasil laporan Maritime Institute of Malaysia (MIMA) Pada bulan Mei 2006. Selat Malaka dan Selat India adalah kawasan yang rentan terhadap serangan bajak laut. Para bajak laut ini merampas sebagian kecil atau seluruh muatan kapal yang dibajak, bahkan tidak jarang para bajak laut rela untuk membunuh awak kapal yang dibajak.46 (lihat Tabel 1) Tabel 1. Piracy Incident in Indonesia, Malaysia, Singapore and Straits of Malacca 2000
2001
Tahun 2002
2003
2004
2005
Indonesia
119
91
108
121
94
97
Malaysia
21
9
14
5
9
3
Singapura
5
7
6
2
8
7
Selat Malaka
76
17
16
28
38
12
Lokasi
ICC Internasional Maritime Beureau, Piracy and Armed Robbery Againts Ships, Annual Report 1 January 200547 46
Ralf Emmers and Leonard C. Sebastian, “Terrorism and Transnational Crime in Soultheast Asia International Relations”, dikutip oleh Donald E. Weatherbee, Internasional Relations in Soultheast Asia: the Struggle for Autonomy, dalam bambang cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: (teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. h. 226. 47 Sumber: http//:www.mima.online, “Indonesia‟s Efforts in Combating Piracy and Armed Robbery in The Straits of Malacca”, dalam Tesis, Steven Yohanes Pailah, Pengelolaan isuisu Keamanan di Selat Malaka Periode 2004-2006, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008, h. 3.
28
Pada tahun 2007, menurut IMO, jumlah pembajakan mengalami pengurangan menjadi sejumlah 12 pembajakan barsenjata/armed robbery dengan jumlah paling banyak terjadi pada kuartal kedua sebesar enam pembajakan bersenjata/ armed robbery. (lihat tabel 2)
Tabel 2. Perompakan & Pembajakan di Selat Malaka Tahun 2007 (Versi International Maritime Organization) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Waktu
21/01/2007 22/01/2007 28/03/2007 25/05/2007 29/04/2007 10/05/2007 24/05/2007 13/08/2007 28/08/2007 19/10/2007 01/11/2007 06/11/2007
Nama Kapal SINAR MERAK ARENDAL HEINRICH OLDENDORFF ECHIGO MARU SHOKO MARU ALAM CEPAT KUDAM BRANTAS 25 MARTHA RUSS KOTA TERAJU ISLAMABAD BOW FERTILITY
Jenis
Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery
(Sumber: Reports on Acts of Piracy And Armed Robbery Against Ships Annual Report 2006, International Maritime Organization, 10 April 2008)
Lalu pada tahun 2008, jumlah pembajakan bersenjata/armed robbery berkurang drastis menjadi hanya dua pembajakan bersenjata/ armed robbery yang terjadi pada kuartal pertama.( lihat tabel 3)
Tabel 3. Perompakan & Pembajakan di Selat Malaka Tahun 2008 (Versi International Maritime Organization) No. 1 2
Waktu
10/01/2008 10/02/2008
Nama Kapal LION CITY RIVER KASAGISAN
Jenis
Piracy/ Armed Robbery Piracy/ Armed Robbery
(Sumber: Reports on Acts of Piracy And Armed Robbery Against Ships Annual Report 2006, International Maritime Organization, 19 Maret 2009)
29
Tercatatat beberap contoh kasus pembajakan yang terjadi di perairan Selat Malaka. Kasus pembajakan 2 kapal milik Jepang yaitu Ten Yu tahun 1998 dan Alondara Rainbow tahun 1999. Kapal Ten Yu milik perusahaan Jepang Masumoto bersama 15 awak kapalnya meninggalkan Kuala Tanjung (Indonesia) pada bulan September 1998 menuju Inchon Korea dengan membawa sebanyak 3000 ton batang alumunium. Kapal ini ternyata telah dibajak di perjalanan dan baru ditemukan 3 bulan kemudian di sungai Yangtse di Cina, tetapi catnya sudah diganti berserta awak kapalnya. Adapun kapal Rainbow milik perusahaan Imura Lines, yang juga membawa 7000 ton batang alumuniumdari Kuala Tannjung pada tanggal 22 Oktober 1999 menuju Fukuoka Jepang. Dua setengah jam setelah berlayar mereka dibajak pada waktu malam hari oleh para pembajak yang memnggunakan Speed boat, senjata dan pedang. Kedua kapal jepang ini dibajak di perairan Asia Tenggara.48 Pada bulan Juli 2003, sebuah upaya pembajakan terjadi 3 kali berturut-turut di perairan Selat Malaka terhadap kapal tanker milik Indonesia yang bermuatan LPG/gas, dan kapal tanker bermuatan minyak. pembajak menembakkan senjata api, namun berhasil digagalkan. Pada tanggal 26 Maret 2003, terjadi serangan terhadap kapal bernama Dewi Madrim milik Indonesia.49 Sebuah kapal yang mengangkut bahan kimia berukuran kecil, di sebelah timur Propinsi Riau. Sekitar 1 orang perompak bersenjata api dan pisau menaiki kapal tersebut dan memotong jalur
48
Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, h. 101. http://www.klasifikasiindonesia.com/ajax/info/dataregister3.php?nr=7111, di akses tanggal 29 juni 2011, pukul 22.00. 49
30
komunikasi kapal tersebut, dan mengikat para awak kapal. Para pelaku tersebut kemudian mengambil alih navigasi kapal dan membawa kapal dengan kecepatan rendah. Setelah beberapa saat para perompak tersebut meninggalkan kapal dan membawa uang, peralatan dan barang-barang milik awak kapal. Pada tanggal 8 April 2003, Kapal Trimanggada (cargo) milik Indonesia dalam perjalanannya di Selat Malaka diapit oleh 3 buah kapal motor dan dipaksa untuk segera mematikan mesin. Para pelaku bersenjata api tersebut kemudian menaiki kapal dan menyandera serta menculik kapten kapal dan 1 orang ABKnya untuk kemudian meminta uang tebusan kepada pemilik kapal. Pada tanggal 5 Januari 2004, kapal Tanker Cherry 201 milik Indonesia diserang dan dibajak oleh orang-orang bersenjata di Selat Malaka. Para pembajak kemudian menyandera 13 anak buah-kapal. Setelah 1 bulan melakukan negosiasi, para pembajak kemudian menembak mati 4 ABK, dan sisanya melompat ke laut.50 Angka-angka kejahatan pembajakan di laut yang dicatat oleh IMB maupun MIMA cukup besar terutama bagi wilayah Indonesia, ketidakmampuan mengatasi pembajakan terlihat juga dari contoh kasus di atas hanya beberapa persen saja yang dapat di gagalkan. Sesungguhnya negara manapun di dunia tidak menghandaki perompakan dan pembajakan terus berlangsung. Akan tetapi, menyangkut tanggung jawab keamanan dan pengelolaan di Selat Malaka, tidak hanya diberi tugas kepada satu negara saja, seperti Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia dan Singapura harus 50
ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report-2003-dan Report 1 January 2004, http://www.icc-ccs.org/story/2008/05/080524_bajak.shtml, di akses tanggal 17 Maret 2011, pukul 00:10.
31
bertanggung jawab. Apalagi Malaysia dan Singapura lebih banyak mengambil keuntungan dan memanfaatkan jasa Selat Malaka untuk membangun perekonomian.51 Namun, konstelasi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki posisi strategis sebagai jalur komunikasi lalu lintas laut (Sea Line of Communication/SLOC) dunia, menyebabkan seringnya pembajakan terjadi di perairan Indonesia. Padatnya arus lalu lintas pelayaran dan sempitnya alur pelayaran yang harus dilalui merupakan faktor utama timbulnya keinginan para perompak melakukan aksinya.52 Secara geografis wilayah perairan Selat Malaka merupakan jalur hubungan perdagangan nasional dan internasional letaknya berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, dan Thailand yang juga merupakan wilayah yang menjadi tanggung jawab dalam bidang keamanan pangkalan utama TNI AL I/ Belawan. Sehingga para pengguna laut yang selalu menggunakan perairan ini sebagai salah satu jalur lalu lintas transportasi angkutan laut yang dirasakan memiliki nilai strategis dan ekonomis. Kasus terjadinya pembajakan di perairan Indonesia itu, menurut KASAL Benart Kent Sondakh, sebenarnya tidaklah tinggi seperti yang dilaporkan
oleh
IMB.
Menyoroti
besar-besaran
mengenai
kasus
pembajakan yang terjadi di Selat Malaka, sengaja dihembuskan dan dibesar-besarkan, sehingga menjadi isu internasional. Namun demikian, KASAL pun mengakui bahwa beberapa kasus perompakan itu memang 51
Republika, “RI, Singapura, dan Malaysia Patroli di Malaka” 21 Juni 2005. Hardiwan, “Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut”, Dharma Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf dan Komando TNI AL No. DW/114/2002, h. 67. 52
32
ditemukan di wilayah perairan Indonesia, dan biasanya bajak laut beroperasi diperairan atau selat yang sempit saat kapal yang menjadi sasaran berjalan perlahan, mereka naik kapal sasaran, merampas atau mengambil secara paksa barang-barang berharga ataupun uang yang ada di kapal. Setelah itu mereka kabur dengan menggunakan boat dengan kecepatan tinggi.53 Gangguan keamanan di Selat Malaka yang paling menonjol adalah perompakan di Laut (sea robbery), yang oleh international Maritime Bureau (IMB) dikategorikan sebagai pembajakan di laut (piracy), padahal antara keduanya sangat berbeda baik latar belakang maupun tujuannya. Perbedaan itu terjadi sebagai akibat tidak proposionalnya manejemen pelaporan dari kapal ke markas IMB di Kuala Lumpur. Realitasnya di lapangan, misalnya laporan dari kapal-kapal niaga yang sedang berlayar di Selat
Malaka
tidak
diverivikasi
keakuratanya
tetapi
langsung
dipublikasikan apa adanya. Sebagai contoh, kapal yang sedang berlayar dalam kegelapan malam merasa terancam saat tiba-tiba melihat gerakan perahu yang melintas dengan cepat dan langsung mengirim sinyal mara bahaya tanpa melakukan identifikasi yang jelas. Akibatnya sinyal tersebut langsung didengar atau dicatat oleh IMB. Padahal perahu yang melintas tersebut belum tentu perompak, tetapi hanya perahu tradisional yang lalu lalang antar pulau. Dari sinilah awal perbedaan data antara pihak Indonesia dan Singapura (melalui kerjasama antara TNI AL dan RSN) dengan IMB yang
53
Rajab Ritonga, Kerjasama Keamanan Regional ASEAN, h. 257.
33
menyamaratakan setiap laporan dari kapal niaga sebagai kejadian pembajakan di laut.54 Dari berbagai data yang dikumpulkan, para perompak pada umumnya menggunakan sarana speed boat/kapal dengan kecepatan tinggi, perahu pancung atau perahu penangkap ikan dengan perlengkapan senjata api, golok dan masker dan tali berkait untuk naik ke kapal. Kapal yang menjadi sasaran para perompak pada umumnya adalah kapal dagang, kapal tanker, dan kapal ikan. Modus oprasi yang digunakan para perompak pada umunya adalah dengan menempelkan speed boat ke kapal sasaran kemudian naik ke kapal dengan menggunakan tali. Selanjutnya para perompak mengadakan penjarahan di atas kapal dan hasil rampasannya di turunkan ke speed boat. Sedangkan untuk pembajakan modus operasi yang digunakan adalah dengan mengganti seluruh awak kapal baru yang dikontrak, mengubah warna kapal dan mengganti nama kapal dengan menggunakan dokumen palsu.55 Terkait dengan kondisi tersebut TNI AL telah meningkatkan frekuensi operasi di perairan Selat Malaka dan juga melaksanakan operasi terpadu dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura, sehingga diharapkan dapat menekan atau meminimalisasi tindak kejahatan di laut dengan menindak/ menangkap para pelaku dan memproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
54 55
Djoko Sumarjono, “Kerawanan di Selat Malaka”, Harian Kompas, 2 Juli 2005. Hardiwan, Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut , h. 67-68.
34
B.
Bajak Laut Sebagai Ancaman Keamanan di Selat Malaka Secara geografis Selat Malaka membentang sepanjang 500 mil laut berada
di semenanjung Malaya dan Pulau Sumatra. Lebar alur masuk di Selat Malaka di sebelah Utara adalah sekitar 200 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah Selatan yang merupakan wilayah sempit (The narrowest point) yaitu sekitar 8 mil laut. Selat Malaka bersambungan dengan Selat Singapura yang mempunyai panjang selat kurang lebih 60 mil laut, lebih jelasnya dapat dilihat gambar 1 Wilayah Selat Malaka. Gambar 1. Selat Malaka
Gambar 1. Wilayah Perairan Selat Melaka. 56
Dalam konstelasi geografis Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai jalur pelayaran yang sempit dan terdapat pulau-pulau kecil yang justru memberi peluang terjadinya tindak kejahatan di laut. Selat Malaka salah satu dari 13 selat strategis di dunia yang menghubungkan Asia dan Pasifik, serta Amerika dan Afrika. Adapun selat yang strategis lainya adalah Selat Babel Mandap yang 56
Solvay Gerke, “Perkembangan Selat Malaka”, Malaysia: CenPRIS, USM (Universiti sains Malaysia), 2009.
35
menghubungkan
Laut
Merah dan
Laut
Arabia, Selat
Bosporus
yang
menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara sampai Terusan Suez di Mesir dan Terusan Panama. Untuk kawasan perairan Asia Pasifik lintasan SLOC yang terdapat di Selat Malaka, dimana dilewati oleh 72% kapal tanker yang melintas dari Samudra Hindia ke Pasifik.57 Sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional maka keamanan alur dan keselamanatan kapal-kapal yang melintas di selat ini merupakan merupakan tanggung jawab negara pantai. Jaminan keamanan ini sangat penting mengingat faktor keamanan dapat menjadi isu yang krusial bagi kehidupan masyarakat internasional. Sebagai tiga negara yang secara trilateral bertanggung jawab untuk menjamin keamanan kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka, maka Indonesia, Malaysia dan juga Singapura harus memiliki komitmen yang kuat dan landasan kerja sama yang jelas serta akurat. Hal ini tampaknya belum dirasakan adanya jaminan keamanan pelayaran yang terkontrol, sebagaimana desakan negara-negara pengguna Selat Malaka.58 Perlu dipahami bahwa keamanan Selat Malaka sesungguhnya bukan terletak pada patroli keamanan semata namun mengandung pengertian bahwa Selat Malaka harus bebas dari ancaman maupun gangguan terhadap aktifitas pemanfaatannya. Oleh karena itu beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga Selat Malaka bebas dari proses sekuritisasi atau internasionalisasi, adalah:59 a. Selat Malaka bebas dari ancaman kekerasan yang menggunakan kekuatan bersenjata terorganisir, serta yang memiliki kemampuan mengganggu dan 57
Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h. 21-23. Djoko Sumaryono, “Kerawanan di Selat Malaka”, diakses dari http://www.unisosdem.org/ kliping_detail.php?aid=4285&coid=1&caid=45, pada tanggal 28 Oktober 2010, pukul 23:15. 59 Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h. 23. 58
36
membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, sabotase obyek vital, peranjauan, hingga aksi terror bersenjata. b. Selat Malaka bebas ancaman navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana seperti menara suar, system radar dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran. c. Selat Malaka bebas ancaman kerusakan lingkungan dan sumberdaya laut, yakni pencemaran dan perusakan ekosistem laut. Eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukan bahwa konflik
pengelolaan sumber daya
(jalur selat) memiliki
kecendrungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer. d. Selat Malaka bebas dari pelanggaran hukum yautu pelanggaran hukum nasional dan internasional, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyeludupan dan lain-lain. Bertitik tolak dari presepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan Selat Malaka memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi, manejemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dalam hal ini penulis menekankan pada masalah bajak laut di Selat Malaka yang sangat mengancam keamanan bagi tiga negara pantai Selat Malaka dan pengguna perairan Selat Malaka tersebut. Selanjutnya dalam forum The 2nd Asean Annual Senior Officials Meeting on Transnasional Crime yang diselenggarakan pada tanggal 17 Mei 2002 di
37
Kuala Lumpur, Malaysia dengan topic “Work Proggrame to Implement the ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime”, diperoleh kesepakatan sebanyak delapan jenis tindak kejahatan lintas negara (transnational crimes), yaitu: 1. Perdagangan gelap narkotika (Drug’s Trafiking) 2. Perdagangan Manusia (Human Trafiking) 3. Pembajakan di Laut (Sea-Piracy) 4. Penyeludupan Senjata (Arms Smuggling) 5. Pencucian Uang (Money Laundring) 6. Terorisme (Terorism) 7. Kejahatan Ekonomi Internasional (International Economic Crime) 8. kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime)60 Kesepakatan tersebut pada dasarnya tidak hanya berlaku secara regional, namun sudah menjadi komitmen masyarakat internasional untuk melawan kejahatan lintas negara yang terorganisir dan memiliki jaringan global. Menurut James Laki, transnational crime adalah keseluruhan bentuk kejahatan domestic yang terjadi di perbatasan internasional dalam satu negara atau lebih dan mendapatkan fokus perhatian masyarakat internasional.61 Laki menambahkan bahwa Faktor social dan ekonomi serta struktur yang lemah dari negara adalah penyebab terjadinya kejahatan transnasional.62 Ini seperti yang terjadi pada Selat Malaka terhadap bajak laut, maka sangat penting dilakukan
60
www.kemlu.go.id/Documents/ASP%202010.pdf, diakses 28 Oktober 2010, Pukul:
20:00. 61
James Laki, “Non-Traditional Security Issues:Securitisation of Transnational Crime in Asia”, Singapore: Research Paper nanyang Tecnological University, 2005. 62 James Laki, “Securitization of Transnational Crime”, Singapore: laporan Workshop Institute of Defence and Strategic studies (IDSS), 2005.
38
pengkajian terhadap aplikasi konsep keamanan maupun mekanisme kontrol di lapangan. Hal ini merupakan pintu masuk untuk meneliti apakah konsep kerjasama keamanan Selat Malaka dapat mengatasi masalah bajak laut serta mampu menguraikan keinginan-keinginan kolektif yang bersifat sekuritisasi trilateral antara tiga negara pantai Selat Malaka.
C.
Faktor-faktor yang mendorong meningkatnya bajak laut Bajak laut tidak serta merta timbul suatu komunitas, meskipun beberapa
kebudayaan tertentu menerima bajak laut. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kasus bajak laut di suatu komunitas terdiri dari faktor geografis, faktor sosial ekonomi, dan faktor politik.
C.1.
Faktor Geografis Perairan Asia Tenggara merupakan struktur kelautan yang paling
rumit di dunia. Hampir semua tipe topografis terdapat pada perairan ini. Seperti landas kontenen yang dangkal, laut dalam, lereng benua, palung dan pulau karang. Pulau ini mencapai 8.940.000 kilometer persegi, atau 2,5 persen dari lautan di dunia, meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, dan Selat Philip, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafuru, Laut Timor, Laut Sulawesi, Laut Sulu, dan Laut Pilipina. Dan secara umumnya Selat Malaka mempunyai alur yang sangan sempit. Dan juga merupakan jalan pintas bagi kapal-kapal untuk mempercepat waktu tempuh dan tidak harus melewati jalur memutar.63 Sehingga tercatat
63
Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h 2-3.
39
bahwa bahwa perairan Asia Tenggara merupakan perairan yang cukup sibuk. Perairan Asia Tenggara yang cukup luas dan beragam itu, namun terdapat perairan yang paling sibuk di dalamnya, adalah perairan di sebelah barat, yaitu Selat Malaka, Selat Philips, Laut Cina Selatan, dan laut Jawa. Selat Malaka dan Selat Philips sebenarnya bukan merupakan jalur yang ideal bagi lalu lintas kapal dan tanker secara topografis.64 Sebab, kedua selat lebarnya beragam dari 126 mil sampai 24 mil saja. Selain itu selat-selat ini juga memiliki beberapa titik yang sangat dangkal. Survey yang dilakukan pada tahun 1969 di Selat Malaka menunjukan ada 21 titik dangkal sepanjang selat.65 Akibatnya masih banyak kapal dan tanker yang mempergunakan Selat Malaka dan hanya kapal dan tanker yang mempunyai bobot yang berat melewati Selat Lombok. Kapal dan tanker yang melewati Selat Malaka terpaksa memperlambat laju sampai dengan kecepatan 10 knot. Pada saat ini lah kapal-pakal dan tanker rawan terhadap para bajak laut. Lambatnya kapal memudahkan perahu atau kapal bajak laut mengejar dan menghampiri korbannya. Apa lagi kebanyakan bajak laut menggunakan speed boat untuk menjalankan oprasinya.66 Selain itu bajak laut juga diuntungkan oleh adanya pulau-pulau yang tersebar di perairan Asia Tenggara, mereka menggunakan pulau-
64
Moehtar Kusuma Atmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung, Binacipta, 1978, h.
65
Kirdi Dipoyudo, Persoalan di Sekitar Selat Malaka, Jakarta: Analisa CSIS, Tahun IV
234. 1975. 66
Graham Gerard Ong-Webb, Piracy, Maritime Terrorims and Securing the Malacca Straits, h. 168.
40
pulau tersebut untuk bersembunyi. Baik sebelum mereka berangkat maupun sesudah melakukan pembajakan. Keadaan geografis seperti ini menyulitkan patroli untuk mencari keberadaan mereka.
C.2.
Faktor Ekonomi Negara-negara pendiri ASEAN, kecuali Filipina sempat menikmati
pertumbuhan yang bagus pada dekade 70-an dan 80-an. Pada tahun 19911996, pertumbuhan perekonomian Asia Tenggara sangat pesat, yang kemudian memunculkan julukan, “keajaiban ekonomi Asia" moderenisasi dan pembangunan yang dilakukan oleh Negara-negara Asia Tenggara juga memiliki potensi untuk menimbulkan sejumlah tindak kejahatan atau kriminalitas. Vagg berpendapat bahwa pembangunan di negara-negara berkembang menyimpan kerawanan yang terkait dengan masalah kriminalitas. Pembangunan yang berlangsung merupakan periode transisis dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat moderen.67 Eric Frecon menyebutkan bahwa faktor ekonomi juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bajak laut tumbuh di perairan Selat Malaka, menurutnya aksi kejahatan terjadi akibat meningkatnya kebutuhan ekonomi di kepulauan Riau dan sekitarnya maka persoalan keamanan di Selat Malaka sesungguhnya bermotif ekonomi.68 Pandangan Frecon ini mewakili sejarah bajak laut di Selat Malaka. Sejak abad ke-16, jalur lintasan Selat Malaka telah dikenal oleh bangsabangsa Eropa barat yang mencari rempah-rempah. Di lintasan ini juga 67
Jhon Bradford, “Shifting the Tdes Against Piracy in Southeast Asian Waters”, Asian Survey, Vol.XLVIII,No.3, May/June 2008. h. 479. 68 Eric Frecon, “Piracy and Armed Robbery at Sea Long the Malacca Straits: Initial Impressions from Fiedwork in Riau Island”. Singapore: ISEAS, 2006. h. 69.
41
sebelumnya berdiri kerajaan Sriwijaya dan kemudian kerajaan Malaka. Saat itu, aksi bajak laut terutama berasal dari orang-orang Bugis dan Makasar yang melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal dagang yang melewati perairan tersebut.69 Jadi, pembajakan yang terjadi di perairan Selat Malaka pemicu utamanya adalah masalah ekonomi akibat banyaknya pengangguran. Sebab, Selat Malaka sekarang ini merupakan jalur SLOC yaitu jalur perdagangan dunia. Setiap harinya rata-rata 200 kapal berbagai tipe dan lebih dari 25% perdagangan dunia dengan menggunakan kapal tanker minyak dan LNG melintas di Selat Malaka. Hal inilah yang memicu terjadinya pembajakan atau kapal-kapal tersebut menjadi sasaran bagi para pembajak laut, karena Kapal-kapal tersebut membawa barang yang mudah untuk di jual kembali.
C.3.
Faktor Politik Kapasitas negara yang menjadi fokus adalah kemampuan negara
dalam menjamin keamanan wilayah lautnya. Seperti, kemampuan negara untuk menyelenggarakan pengawasan terhadap kawasan laut sangat terbatas. Batasan itu disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia, finansial dan material. Secara tradisional bajak laut diatasi oleh kekuatan bersenjata, yaitu dengan angkatan laut. Keberhasilan negara-negara kolonial dalam menekan jumlah kasus bajak laut dengan mengerahkan kekuatan angkatan
69
Bernard Dorleans, “Sejarah Orang Indonesia dan Orang Prancis dari awal Abad XX”, Jakarta: KPG, 2006.
42
bersenjata untuk mengatasi para bajak laut tersebut. Namun, bersama dengan persoalan migrasi illegal, dan penyeludupan obat-obatan terlarang, persoalan bajak laut diserahkan oleh agensi seperti polisi air dan patroli pantai. Sementara itu, armada angkatan laut di Asia Tenggara kebanyakan terdiri dari kapal-kapal lama. Hanya Singapura yang berencana untuk mengembangkan angkatan lautnya dengan perlengkapan dan teknologi baru. Indonesia di masa pemerintahan Abdurahman Wahid menjadikan angkatan laut sebagai prioritas pertahanan keamanan. Rencananya adalah penambahan jumlah personel dan armada dalam lima tahun kedepan. Namun, sebenarnya pembaharuan Angkatan Laut/AL yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid tersebut antara lain disebabkan oleh sedikitnya inventaris AL yang bisa beroprasi secara baik hanya 25% saja.70 Pada dasarnya peran AL di negara-negara ASEAN adalah lebih kepada kepemilikan armada tempur, dan juga dalam menghadapi peperangan. Sedangkan untuk kemampuan patroli dan pengawasan pantai kurang mencukupi apabila dengan perairan yang harus dijaga. Namun, secara universal TNI AL mengemban tiga peran penting yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan laut bahwa laut merupakan wahana kegiatan angkatan bersenjata.71 Lemahnya koordinasi antara negara pantai Selat Malaka dan minimnya fasilitas patroli untuk menjangkau luas Selat malaka menjadi kendala dan juga dapat menciptakan pertumbuhan bajak laut di kawasan 70
Ibid, h. 180. Ken booth, “Law, Force & Diplomacy at sea”, London: George Allen & Unwin Ltd, 1985, h. 45. 71
43
perairan Selat Malaka. Sehingga terjadi peningkatan yang signifikan pada kasus bajak laut pada akhir tahun 1990-an membuat para pembuat kebijakan mulai mempertimbangkan suatu penanganan khusus. Sebab, selain kasus bajak laut yang muncul pada akhir tahun 1990-an muncul persoalan keamanan baru, terutama yang di sebabkan oleh aktifitas pelaku kejahatan transnasional. Oleh karena itu, tiga negara pantai Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk membentuk patroli terkoordinasi yang terpadu untuk mengatasi masalah bajak laut di perairan Selat Malaka.
44
BAB III PATROLI TERKOORDINASI INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEAMANAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat general dengan mengikutsertakan seluruh warga negara, pemanfaatan seluruh sumber daya nasional, dan seluruh wilayah negara. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara kesatuan RI, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Dengan demikian usaha menyelenggarakan pertahanan negara harus mengacu pada hakikat dan tujuan tersebut.72 Mengembang potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan dan keamanan negara di bidang maritim, Binpotnaskuatmar (Pembinaan Potensi Nasional Kekuatan Maritim), merupakan upaya dalam rangka membina dan mengambangkan kondisi segenap potensi nasional yang mempunyai kaitan atau pengaruh di bidang maritim, yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan termasuk sarana dan prasarananya agar mampu melaksanakan tugas pertahanan dan keamanan di bidang maritim. Jadi, tujuan akhirnya dari Binpotnaskuatmar adalah tumbuhnya kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa guna menanggulangi setiap bentuk ancaman, khususnya dibidang maritim.73
72
Estu Raharjo,”Dengan Dicabutnya Undang-Undang No.20 Tahun 1982 Apa Tugas TNI AL Sekarang ini”, Majalah TNI AL Cakrawala, No.380 Tahun 2004, h. 65. 73 Ibid, h. 66.
45
Seperti keamanan yang mengancam Selat Malaka dengan adanya bajak laut, itu termasuk tanggung jawab negara kesatuan Indonesia dan tentunya Malaysia dan Singapura juga bertanggung jawab dalam masalah keamanan di Selat Malaka. Selat Malaka merupaka selat yang digunakan sebagai jalur tranportasi internasional. Sebagai jalur yang sibuk tentunya diperlukan kerjasama untuk mengatur lalulintas dan juga pengamanan di Selat Malaka. Sebelum adanya kerjasama, banyak yang terjadi di perairan selat tersebut karena tidak adanya pengaturan dan pengamanan yang jelas, hingga banyak terjadinya kecelakaan lalulintas dan juga tindak kriminalkitas seperti pembajakan di perairan tersebut, mewarnai sekian banyak peristiwa di selat tersebut. Kesadaran akan pentingnya menciptakan keamanan dan ketertiban di Selat Malaka oleh tiga negara di sekitarnya mendorong terciptanya suatu kerjasama.
A.
Persepsi Tentang Kerjasama Keamanan di Selat Malaka Isu Selat Malaka senantiasa memperoleh perhatian dunia kerena fungsinya
yang sangat vital dan penting dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan internasional. Keamanan selat ini semakain penting dimana berbagai negara menggunakan jalur pelayaran internasional untuk mengangkut bahan mentah yang kemudian diolah di negaranya. Gangguan keamanan yang sering terjadi adalah pembajakan (Piracy). Pada beberapa kasus para bajak laut tidak hanya membajak muatan kapal, bahkan terkadang mencuri kapalnya dan meninggalkan kapal begitu saja dan meninggalkan awak kapal di tengah laut, atau sering kali menjadikan awak kapal sebagai Sandra kemudian para perompak tersebut meminta tebusan.
46
Indonesia, Malaysia dan Singapura yang merupakan negara yang berada tepat di sepanjang Selat Malaka, memiliki tanggung jawab untuk memelihara keselamatan dan keamanan pelayaran internasional tersebut. Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa keamanan laut merupakan tanggung jawab negara pantai yang memiliki wilayah tersebut. Menyadari pentingnya keamanan laut, perlu kiranya menyamakan persepsi mengenai keamanan laut diantara tiga negara selat ini, karena tanpa disadari adanya perbedaan-perbedaan kepentingan nasional tiap negara dapat menggiring ke dalam suatu polemik berkepanjangan yang berdampak negatif hal ini juga akan menyababkan terhambatnya upaya membangun keadaan yang aman damai bagi negara tepi selat dan negara pengguna Selat Malaka. Pada dasarnya tujuan suatu negara melakukan hubungan internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasional di dalam negerinya.74 Dalam masalah ini ketiga negara tepi harus memperjuangkan kepentingan nasionalnya di Selat Malaka, sebagai negara yang mempunyai hak dan tanggung jawab di wilayah perairan yang strategis ini. Untuk menghindari terjadinya kegagalan dan konflik di dalam kerjasama keamanan di Selat Malaka ini. Diperlukan pengertian keamanan laut75 itu sendiri, adalah laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan laut dari keamanan laut bukan hanya penegakan hukun di laut saja. Persepsi Indonesia mengenai keamanan laut antara lain:76
74
Syamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h.
15. 75
Slamet Soebijanto, Coordinate Patrol ; One of The Ways to Secure of Malacca Straits, dibawakan dalam seminar ASEAN Regional Forum Confidence Building Measures, Singapore: Regional Cooperation in Maritime Security, 2-4 Maret 2005, h.56. 76 Ibid, h. 58.
47
1. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan mengunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk menggangu dan membahayakan personil atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, sabotase objek vital maupun aksi terror bersenjata. 2. Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang di timbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi seperti suar, buoy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran. 3. Laut bebas dari ancaman terhadap sumberdaya laut berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi yang berlebihan. 4. Laut bebas dari pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal logging, illegal immigrant, smuggling dan lain-lain. Atas dasar persepsi Indonesia di atas, maka semakin jelas keamanan laut memiliki ruang lingkup yang luas. Hal ini juga menjadi dasar menyamakan persepsi bagi tiga negara tepi dalam melakukan kerjasama keamanan di Selat Malaka. Suatu konsesus regional telah dibangun atas tiga prinsip berikut: pertama, bahwa tanggung jawab utama atas keamanan dan keselamatan jalur laut seperti Selat Malaka, berada di tangan negara-negara perairan, kedua beranekaragamnya pihak yang berkepentingan dan rumitnya tugas yang menjadi beban maka ada peran untuk seluruh pihak, apakah itu negara-negara yang berkepentingan, organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO), masyarakat perkapalan, dan juga perusahaan-perusahaan multi nasional, ketiga,
48
setelah kita menjabarkan cara yang baik untuk melakukan kerjasama dibidang yang baru ini, kita harus terus berkonsultasi sesuai dengan hukum internasional. 77
B.
Kerjasama Penanganan Laut Indonesia, Malaysia dan Singapura Kerjasama trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Singapura merupakan
bentuk kerjasama pengamanan laut sebagai upaya pengamanan di sepanjang perairan Selat Malaka. Kerjasama yang ditandatangani pada 20 Juli 2004 ini merupakan kerjasama untuk melakukan partroli terkoordinasi di antara tiga negara kerjasama koordinasi ini bukan merupakan bentuk kerjasama patroli bersama tetapi merupakan patroli terkoordinasi yang dilaksanakan sepanjang tahun dengan melibatkan angkatan laut dari tiga negara. Kerjasama ini merupakan peningkatan yang dilakukan oleh negara untuk berkoordinasi dalam menangani keamanan di Selat Malaka kerena sebelum terjadinya kerjasama ini, masing-masing negara melakukan kerjasama secara bilateral saja. Kerjasama bilateral yang dilakukan oleh masing-masing negara di Selat Malaka yaitu patkor Indonesia dengan Malaysia, patkor Indonesia dengan Singapura dan juga patkor Singapura dengan Malaysia. Kerjasama ini merupakan suatu bentuk upaya meningkatkan kualitas pengamanan di Selat Malaka yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman bagi siapa saja yang melintasinya. Bagi Indonesia, Malaysia dan Singapura, jelas kerjasama ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan pada kerjasama sebelumnya. Kerjasama sebelum ini di nilai sama sekali tidak dapat membuat angka kejahatan di perairan ini menurun. Bahkan sebelum kerjasama
77
Isu maritim: Fokus ASEAN Regional Forum 2005, http://rsi.com.sg/indonesian /fokusasia/view/20050303211500/I/htm. Di akses Tanggal 05 Januari 2011, pukul 00:30.
49
trilateral Indonesia, Malaysia dan Singapura ini dibentuk, angka tindak kejahatan di selat ini mencapai angka yang sangat menghawatirkan. Kerjasama trilateral Indonesia, Malaysia dan Singapura merupakan patroli terkoordinasi baru untuk mengamankan Selat Malaka. Dengan melibatkan tiga negara sekaligus. Ketiga negara tersebut tentu sangat berharap dengan kerjasama ini, keamanan di selat tersibuk di Asia Tenggara ini dapat menjadi kenyataan.78 Seperti diketahui, Selat Malaka menjadi sorotan dunia internasional. Banyak negara di dunia yang bergantung pada selat ini, karena pasokan komoditi mereka di pasok lewat selat ini. Apabila lalulintas terganggu maka akan berakibat fatal bagi negara-negara yang bersangkutan. Selat Malaka telah menjadi sebuah masalah yang rumit littoral states dikarenakan selat tersebut terkenal aksi dengan aksi pembajakan. Hal ini menyebabkan negara-negara di sekitar selat mendapat kritikan dari berbagai pihak. Oleh kerena itu, dijalin kerjasama diantara negara pantai Selat Malaka, oleh karena itu, maka terciptanya patroli terkoordinasi antara tiga negara pantai Selat Malaka.
B.1.
Patroli Terkoordinasi di Selat Malaka Pada tahun 1992, Singapura dan Indonesia sepakat untuk
mendirikan jalur komunikasi langsung antara angkatan laut kedua negara dan sepakat untuk menyelenggarakan patroli terkoordinasi untuk mengamankan jalur pelayaran Selat Singapura dari tindak pembajakan termasuk persyaratan untuk melakukan pengejaran yang terkoordinasi melewati batas territorial. Juga di tahun 1992, Indonesia dan Malaysia, 78
Ida Bagus Sanubari, “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Memcegah Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”, Kertas karya perorangan, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 2005, h. 52.
50
melalui mekanisme untuk kerjasama dalam bidang maritime (yang telah meliputi kerjasama Angkatan Laut dan Kepolisian untuk melaksanakan latihan dan oprasi di Selat Malaka, serta prosedur tetap pertemuan di laut untuk pertukaran informasi), di sepakati pada bulan Desember 1992 untuk membentuk suatu tim kerjasama oprasi maritim untuk melakukan patroli terkoordinasi sepanjang pesisir Selat Malaka.79 Dengan kerjasama bilateral antara dua negara ini seperti Indonesia dengan Singapura ataupun Indonesia dengan Malaysia, diharapkan kerjasama bilateral ini dapat menciptakan situasi yang aman dan terkendali di Selat Malaka maupun di Selat Singapura. Dimulai dengan latihan bersama angkatan laut kedua negara Indonesia dengan singapura di Selat Singapura, dengan tujuan utama yaitu mengamankan Selat Singapura dari para bajak laut. Patroli terkoordinasi antara Indonesia dengan Singapura (patkor indosin) merupakan sandi yang diberikan untuk The Indo-Sin Coordinate Patrol atau patroli terkoordinasi Indonesia-Singapura yang dilaksanakan oleh Republic of Singapore Navy dengan TNI AL sejak tahun 1992 untuk mencegah dan memberantas berbagai tindak kejahatan di laut seperti pembajakan, penyeludupan senjata dan lalu lintas perdagangan obat bius untuk mendukung integritas dan kedaulatan nasional bagi kedua negara yakni Indonesia dan Singapura.80 KASAL Laksamana TNI Bernatd Kent Sondakh menegaskan, bahwa masalah keamanan perairan Selat Malaka adalah tanggung jawab 79
Sam Bateman & Stephen Bates, Calming the Waters Initiatives For Asia Pacific Maritime h. 52. 80 Majalah Cakrawala, “Berita Koarmabar”, no. 373 Tahun 2002, h. 58.
51
tiga negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Kerjasama pengaman diwilayah ini sudah sejak lama dilakukan oleh tiga negara pantai tersebut dalam bentuk patroli terkoordinasi/Coordinated Patrol Malindo antara Malaysia dan Indonesia, patkor indosin antara Indonesia dan Singapura. Untuk itu perlu adanya kerjasama multilateral dalam keamanan laut. Kerjasama ini tidak berarti negara pengguna mengirim kekuatan militernya untuk melakukan pengamanan bersama dengan negara pemilik laut, namun dalam bentuk pertukaran informasi intelejen, latihan bersama, melengkapi
sarana
tanda-tanda
navigasi,
bantuan
pengembangan
kemampuan yang menyangkut sarana dan prasrana maupun manajemen oprasional, bantuan pengerukan, bantuan eksplolasi dan eksploitasi sumber daya laut, serta bantuan pencegahan, peniadaan pencemaran, perusakan lingkungan dan ekosistim laut.81 Dengan tidak menurunkan angkatan militer negara pengguna selat ke Selat Malaka untuk mengamankan Selat Malaka. Hal ini lebih menghormati kedaulatan negara pantai Selat Malaka. Karena kehadiran militer negara pengguna seperti AS atau Jepang akan secara otomatis mengganggu kedaulatan tiga negara pantai yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pada tanggal 20 Juli 2004, Singapura, Indonesia dan Malaysia memulai program kerjasama Trilateral Coordinated Patrol untuk mengamankan Selat Malaka. Dalam kegiatan pengamanan Selat Malaka
81
Ibid, h. 125.
52
lewat patroli terkoordinasi itu, dibangun beberapa titik pengawasan (point control) masing-masing di Belawan dan Batam (Indonesia), Lumut (Malaysia) dan Changi (Singapura) dan Kerjasama dalam bentuk patroli terkoordinasi ini di dasari atas dukungan yang kuat dari media setempat dan tanggapan masyarakat yang positif pada demonstrasi peluncuran patroli tersebut yang merupakan inisiatif pemerintah yang muncul untuk melaksanakan kegiatan ini. Hal ini merupakan program multilateral pertama di kawasan yang tidak melibatkan kehadiran extra-regional partner. 82 Peluncuran patroli terkoordinasi di Selat Malaka diresmikan pada tanggal 20 Juli 2004 dalam suatu upacara di perairan Selat Malaka, dihadiri Panglima TNI Jendral TNI Endriartono Sutartono, Panglima Tentara Diraja Malaysia Jendral Tan Sri Dato‟Zahidi Zainudin, Kepala Pertahanan Angkatan Bersenjata Singapura Letjen Ng Yat Chung, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Bernart Kent Sondakh, Panglima Tentara Laut Diraja Malaysia Laksamana Dato‟ Sri Mohd. Anwar bin HJ. Mohd. Nor dan Kepala Staf Angkatan Laut Singapura Laksamana muda Ronnie Tay.83 Dengan peresmian patroli terkoordinasi ini tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengharapkan dapat terciptanya suasana aman dan bebas dari tindak kejahatan di laut. Dengan hadirnya para petinggi Angkatan Laut tiga negara pantai Selat Malaka saat
82
John Bradford, “Southeast Asian Maritime Security In The Age Of Terror: Threats, Opportunity, And Charting The Course Forward”, Singapore: Instituteor Defence and Strategic Studies, April 2005, h. 9. 83 Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, h. 147.
53
upacara peluncuran patroli terkoordinasi dapat mempersatukan misi keamanan laut di Selat Malaka. Dengan digelar patroli terkoordinasi sejak tahun 2004 oleh tiga negara pantai Selat Malaka, terlihat semakin terasah kemampuan Angkatan Laut ke tiga negara pantai tersebut. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Agus Suhartono dalam pertemuan Malacca Strait Sea Patrol (MSSP) ke-6 di Batam, kepulauan Riau. Agus Suhartono mengungkapkan bahwa “kerjasama awal patroli terkoordinasi di rintis oleh tiga negara pantai Indonesia, Malaysia dan Singapura, dan pada tahun 2008 Thailand bergabung dalam MSSP, dan sekarang Brunai, Filipina dan Vietnam menjadi peninjau.84 Dalam kegiatan patroli terkoordinasi ini, masing-masing Angkatan laut mengikut sertakan sekitar 5-7 kapal perangnya. Di samping itu, di siagakan komunikasi hot line selama 24 jam untuk saling tukar informasi dan laporan, khususnya untuk mempercepat aksi penindakan dari unsurunsur patroli apabila terjadi gangguan atau ancaman di perairan Selat Malaka. Kegiatan patroli terkoordinasi ini tidak semata-mata kerena adanya laporan IMB, tetapi didorong oleh rasa tanggung jawab tiga negara pantai sebagian negara yang berdaulat untuk mewujudkan stabilitas keamanan di Selat Malaka.85 Dengan adanya hot line 24 jam dapat mempermudah Angkatan Laut tiga negara pantai Selat Malaka dapat saling tukar informasi dan juga mencegah adanya salah komunikasi yang berakibat fatal. Dengan patroli 84 85
Laksamana Agung Saputra, “Selat Malaka Hingga Somalia”, Kompas, 22 Juli 2010 Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, hal. 175, 177.
54
terkoordinasi ini tidak adanya anggota patroli yang melakukan aktifitasnya mengganggu kedaulatan negara anggota patroli. Untuk kerjasama setingkat Asia-Pasifik, justru ASEAN menjadi pelopor dalam instrumen diplomatik terutama penyelesaian masalah secara damai melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC).86 Tujuan di bentuknya TAC adalah untuk mempromosikan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang selalu mengedepankan kerjasama yang erat dengan sesama masyarakat ASEAN serta memberikan kontribusi yang kuat, solidaritas dan persahabatan antara negara. Disamping TAC, ASEAN Vision 2020 merupakan promosi keamanan saat ini. Secara simbolik visi ASEAN 2020 adalah sebuah kesatuan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang memiliki pandangan kedepan, hidup dalam perdamaian, stabilitas dan kemakmuran, terikat bersama dalam sebuah komunitas yang saling peduli. Visi ASEAN 2020 ini kemudian diwujudkan dalam bentuk sebuah komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang memiliki tiga pilar yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community/AEC), Komunitas Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultular Community/AScC).87 ASC mencerminkan komitmen negara-negara ASEAN untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama politik-keamanan, dalam hal ini kerjasama keamanan patroli terkoordinasi. ASC di dasarkan pada prinsip-
86
TAC terbentuk saat terselenggaranya KTT ke-1 ASEAN di Bali, Indonesia, 23-25 Pebruari 1976, yang di sepakati oleh negara-negara ASEAN. 87 “ASEAN Selayang Pandang”, Dirjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 2007.
55
prinsip non-interference, pembuatan keputusan berdasarkan consensus, ketahanan nasional dan regional, penghormatan atas kedaulatan nasional serta penyelesaian sengketa secara damai.88 Kerjasama keamanan maritime regional tiga negara Indonesia, Malaysia, Singapura melalui patroli terkoordinasi ini meliputi upayaupaya menciptakan keselamatan laut (safety at sea), penegakan hukum dan ketertiban di laut (law and order at sea). Kerjasama ini, secara eksplisit terdapat dalam butir A.5 Bali Concord II, sebagai berikut: “maritime issues and concerns are transboundary in nature, and therefore shall be addressed regionally in holistic, integrated and comprehensive manner. Maritime cooperation between and among ASEAN member countries shall contribute to evolution of the ASEAN Security Community”.89 Dapat di simpulkan bahwa terselenggaranya patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, Singapura merujuk dari prinsip-prinsip ASC yang sekarang telah berubah menjadi APSC (ASEAN Political Security Community) yang merupakan pilar dari ASEAN Community. Dalam blueprint dinyatakan bahwa APSC memiliki tiga karakteristik utama yang berkenaan dengan kerjasama kerjasama tiga negara pantai Selat Malaka yaitu: (1) A rules-based of shared values and norms; (2) A cohesive, peaceful, stable, and resilient region with shared responsibility for comprehensive security; dan (3) A dynamic and outward looking region in an increasingly integrated and interdependent world.90
88
Ibid. h. 29 Lihat Bali Concord II sebagaimana yang dihasilkan dari KTT ASEAN, 9 Oktober 2003 di Bali, dalam buku, “ASEAN Selayang Pandang”, Dirjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 2007, h. 178-179. 90 APSC (ASEAN Political Security Community) Blueprint, http://www.asean.org /22337.pdf, di akses tanggal 5 Juli 2011, pukul 22.44. 89
56
Tiga karakteristik yang dimiliki oleh APSC merupakan salah satu faktor yang menjadi acuan terselenggaranya patroli terkoordinasi tiga negara pantai Selat Malaka. Lebih spesifik terdapat pada karakteristik yang ke-dua yaitu: A cohesive, peaceful, stable, and resilient region with shared responsibility for comprehensive security, yang merupakan pengembangan aksi ASC dalam bidang keamanan non-tradisional, yaitu dalam mengatasi masalah issu keamanan non-tradisional dengan melakukan kerjasama keamanan antara negara anggota ASEAN. Untuk memperkuat kerja sama dan memperkokoh komitmen patroli terkoordinasi tiga negara itu dalam mengamankan Selat Malaka, telah di tandatangani term of Reference (TOR) Joint Coordinating Committee (JCC) Malacca Straits Patrol (MSP) di Batam pada 21 April 2006. TOR JCC MSP mengatur koordinasi tiga negara dalam melakukan operasi pengamanan di Selat Malaka, termasuk tukar menukar informasi intelijen. Selain itu TOR JCC MSP juga menjadi payung hukum bagi pelaksanaan patroli terkoordinasi di laut dalam kerangka Malsindo (Malaysia-Singapura-Indonesia) dengan pengamanan melalui udara (eye in the sky). Pengesahan TOR JCC MSP dan SOP MSP itu dihadiri oleh Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia Admiral Tan Sri Dato` Mohd Anwar bin Hj Mohd Noor, serta Panglima Angkatan Besenjata Singapura Letnan Jenderal Ng Yat Chung.91 Pada dasarnya usaha kerjasama internasional yang bagaimana pun harus sejalan dengan ketentuan UNCLOS 1982. Selat Malaka dan Selat 91
Laksamana Slamet Soebijanto, “pembahasan standar prosedur operasional (SOP) pengamanan Selat Malaka”, http://koarmabar.tnial.mil.id/Berita/tabid/62/articleType/ ArticleView/articleId/87.aspx, di akses tanggal 24 Desember 2010, pukul 23:00.
57
Singapura memenuhi criteria sebagai “selat yang digunakan untuk pelayaran internasional” menurut ketentuan UNCLOS 1982. Ketentuanketentuan Bab III UNCLOS 1982 adalah hasil kompromi yang telah dirundingkan secara rinci untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan negara-negara tepi (coastal/riparian States) dan kepentingan negara-negara pengguna selat (user states).92 Kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara pantai Selat Malaka harus berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, seperti patroli terkoordinasi yang di lakukan oleh tiga negara pantai Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam upaya mengamankan selat tersebut merujuk pada ketentuan UNCLOS 1982, sehingga apapun yang di putuskan dalam pertemuan tiga negara membahas patroli terkoordinasi tidak merugikan satu belah pihak. Kegiatan patroli terkoordinasi yang melibatkan Angkatan Laut dari tiga negara pantai Selat Malaka itu, bukanlah merupakan patroli bersama (Joint Patrol), tetapi merupakan patroli terkoordinasi (Coordinated Patrol) yang dilaksanakan sepanjang tahun. Kegiatan ini merupakan peningkatan dari kegiatan sebelumnya, yaitu patroli terkoordinasi bilateral yang dilaksenakan oleh dua negara. Seperti antara Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Singapura, dan Malaysia dengan Singapura.93
92
Etty R. Agues, “Pengelolaan Keamanan di Selat Malaka Secara Terpadu”, keynote speech pada “workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat Malaka,” Medan: Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar Negeri, 19-20 juli 2005, h. 3. 93 Alfian Sitompul, “Brunai memahami kebijakan RI terhadap selat malaka”, http://www.tni.mil.id/index2.php?page=detailindex.html&nw_code=361, diakses tanggal 24 Desember 2010, pukul 18:55
58
Direncanakan sedikitnya akan ada 15 kapal perang dari ketiga Angkatan Laut yang tergabung dalam Special Task Force, disamping setiap negara juga melaksanakan kegiatan patroli rutin. Dalam Special Task Force ini, menurut KASAL, meskipun trilateral tetapi tidak berarti kapal-kapal perang dari ketiga negara itu bisa masuk sampai keperairan wilayah negara lainnya. Coordinated Patrol ini berbeda dengan Joint Patrol dimana gugus tugasnya bisa masuk kemana saja. “dalam patroli terkoordinasi ini setiap force berada di wilayah masing-masing, namun dalam oprasinya kita koordinir dalam suatu Taks Force bersama” Laksamana TNI Bernart Kent Sondakh menambahkan, bahwa dalam kondisi tertentu, ketika suatu kapal perang sedang mengejar kapal yang melanggar, kemudian lari ke wilayah perairan negara tetangga, maka hal itu bisa diberi tahukan ke Angkatan Laut setempat untuk dilakukan pengejaran. Dan bila Ankatan Laut setempat kapalnya jauh dari lokasi pengejaran, maka bisa saja pengejaran oleh kapal perang tersebut diteruskan sampai ke wilayah perairan negara lain dengan terelebih dahulu memberikan informasi bahwa kapal perang itu sedang mengejar suatu target. “inilah yang dinamakan patroli terkoordinasi”.94 Dengan adanya patroli terkoordinasi trirateral ini diharapkan dapat mempercepat proses laporan dari para korban tindak kejahatan di laut, dimana sebelumnya permintaan bantuan atau laporan dari korban harus memakan waktu yang lama. Dengan adanya patroli terkoordinasi yang memasang jarring komunikasi hotline antara tiga negara selama 24 jam,
94
Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, h. 260.
59
maka proses penerimaan laporan dan aksi dari unit yang sedang berpatroli akan lebih akurat dan berlangsung cepat. Perairan Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan salah satu jalur pelayaran yang padat di lalui oleh kapal-kapal niaga maupun kapal perang asing yang akan menuju Singapura atau Selat Malaka maupun yang akan memasuki perairan Indonesia. Adanya objek vital dan padatnya jalur pelayaran yang tersebar di seluruh perairan Selat Malaka dan Selat Singapura serta perkembangan politik di tanah air tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mengganggu stabilitas keamanan nasional dan regional.95 Dihadapkan dengan keadaan tersebut maka perairan Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan perairan yang strategis dan vital, serta rawan terhadap timbulnya berbagai bentuk ancaman potensial maupun faktual. Dan sudah menjadi kewajiban bagi negara pantai sepanjang alur Selat Malaka dan Singapura untuk mengamankan wilayah tersebut. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah antisipasi sedini mungkin oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan menggelar patroli terkoordinasi antara angkatan laut Indonesia-Malaysia-Singapura dengan menghadiri unsur perairan Selat Malaka dan Selat Singapura.96 Ada banyak kemungkinan mekanisme pemicu yang memprakasai penelitian awal dan keinginan untuk membentuk lembaga atau organisasi untuk memelihara ketentraman dan membantu perkembangan hubungan 95 96
Rencana Operasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia)-01/2004, h. 1-2. Ibid, h. 2.
60
mereka. Salah satunya adalah ancaman keamanan bersama. Perang atau suatu ancaman bersama adalah kondisi yang cukup atau penting untuk membangkitkan kepentingan dalam komunitas keamanan. Hasil kerjasama keamanan mungkin memasukan perincian yang besar dari tindakan tersebut baik yang dianggap mengancam mupun tidak kebijaksanaan yang dibentuk untuk mengatasi masalah kegiatan bersama berhungan dengan kegiatan bersama berhubungan dengan pilihan saling tergantung, dan membangun rencana keamanan yang diharapkan untuk melayani kepentingan bersama mereka. Negara-negara sering membangun ikatan keamanan yang kuat, tidak hanya untuk memberikan pertahanan bersama dari ancaman bersama, tetapi juga memperdalam lembaga dan pertalian antar bangsa mengikat negara-negara ini bersama. Dengan didasari ancaman bersama dalam bidang maritim dalam bentuk gangguan stabilitas keamanan di wilayah perairan Selat Malaka yaitu tindak kriminal pembajakan, pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura
mengeluarkan
kebijaksanaan
penyelenggaraan
patroli
terkoordinasi. Terselenggaranya patroli terkoordinasi ini karena tidak ada negara Asia tenggara yang membangun kebijakan maritime yang kuat sepadan dengan dinamika maritim itu sendiri. Kekuatan Angkatan Laut nasional di pinggiran wilayah hanya terbatas untuk patroli laut dan kewajiban penegakan hukum di dalam wilayah kewenangannya. Patroli bersama Angkatan Laut di wilayah belum pernah dilaksanakan kerena penetapan bersama kegiatan seperti itu masih dianggap tidak lazim.97 97
Sam Bateman & Stephen Bates, Calming the Waters Initiatives For Asia Pacific Maritime, h. 15.
61
C.
Analisis Masalah Keamanan di Selat Malaka Melalui Patroli Terkoordinasi Berbagai permasalahan yang timbul di Selat Malaka kini telah menjadi
perhatian utama, tidak hanya menjadi perhatian dari negara pantainya saja namun perhatian berdatangan dari negara pengguna Selat Malaka. Berbagai kerjasama juga telah di bentuk dan dilaksanakan untuk menangani berbagai macam masalah yang ada di Selat Malaka. Namun dengan demikian negara pantai Selat Malaka memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menjaga perairan Selat Malaka khususnya dalam perspektif keamanan.
C.1.
Keuntungan dari Patroli Terkoordinasi Keuntungan dari kerjasama
keamanan
trilateral
Indonesia,
Malaysia dan Singapura ini adalah pertama, terbentuknya suatu koordinasi dan kerjasama antar penegak hukum ke tiga negara
di Selat Malaka
sebagai upaya mencegah tindak kriminalitas. Kedua, dapat meningkatkan perekonomian masing-masing negara. Ketiga, adalah sebagai upaya pencegahan masuknya kekuatan asing. Selat Malaka merupakan salah satu jalur transportasi perdagangan dunia. Sebanyak 50.000 kapal berukuran besar melintasi selat ini setiap tahunnya. Hal ini menjadikan sebagai peluang untuk melakukan aksi-aksi kejahatan maritim. Menyadari hal tersebut, negara-negara pantai Selat Malaka di sekitarnya perlu melakukan kerjasama secara trilateral hal ini demi terciptanya koordinasi yang baik dilapangan. Kerjasama trilateral negara
pantai
melalui
patroli
terkoordinasi
diharapkan
dapat
62
memaksimalkan patroli di perairan yuridiksi masing-masing negara di Selat Malaka dalam waktu tertentu untuk mengawasi, mengamankan dan menindak para pelaku pelangaran atau kejahatan di laut untuk menjamin keamanan di wilayah tiga negara.98 Dalam kerjasama ini, ketiga negara berpatroli di daerah perairan yuridiksi masing-masing pada sektor-sektor yang telah ditentukan serta pada waktu dan tempat yang terkoordinasi sehingga menjadi lebih efektif.99 Sebagai contoh seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, TNI AL memberitahukan kepada pihak Angkatan Laut Malaysia waktu dan tempat di kawasan Selat Malaka mana mereka akan melakukan patroli, Malaysia secara otomatis akan melakukan patroli yang mengalami kekosongan, demikian juga sebaliknya. Patroli terkoordinasi ini juga melakukan pertukaran informasi. Penindakan terhadap pelaku tindak kejahatan di perairan Selat Malaka ini juga berdasarkan pada undang-undang di masing-masing negara. Dan kerjasama ini juga akan mewajibkan sistem wajib lapor bagi setiap kapal yang akan memasuki perairan Selat Malaka pada titik koordinat tertentu.100 Kerjasama ini melibatkan tiga negara pantai Selat Malaka sekaligus dimana sebelumnya kerjasama yang dijalin hanya sebatas hubungan bilateral saja. Hal ini tentu akan sangat memudahkan petugas di lapangan tentunya Angkatan Laut tiga negara pantai tersebut untuk dapat 98
Nugroho F Yudho, ”Bertindak Lebih Tegas”, http://www.tokoh-indonesia.com/ ensiklopedi/b/bernard-sondakh/index.shtml, diakses tanggal 29 Desember 2010, Pukul 19:00 99 Aslizar Tandung, “TNI Intensifkan Cegah Senjata Bagi Teroris”, http://www.dephan.go.id/ modules.php?name=News&file=article&sid=9158, diakses tanggal 30 Desember 2010, Pukul 21:00. 100 Agus Susilo, “Implementasi Wawasan Nusantara Guna Memajukan Sistem Pengendalian Informasi Selat Malaka Dalam Rangka Ketahanan Nasional”, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2010, h.71-72.
63
melakukan pertukaran informasi secara cepat dan dapat segera langsung mengambil tindakan. Dengan semakin baiknya perairan di Selat Malaka maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian dikawasan ini. Kelancaran transportasi atas barang dan sumber daya alam menjadi
penggerak
bagi
sektor-sektor
industri
sehingga
roda
perekonomian akan berjalan lancar. Seperti ada lima pelabuhan penting internasional di Selat Malaka, yakni Singapura, Pelabuhan Klang (di dekat Kuala Lumpur), Johor, Penang dan Belawan (Medan). Selain itu masih ada sejumlah besar pelabuhan-pelabuhan kecil dan terminal feri yang cukup penting bagi kawasan setempat. Bila Singapura dan pelabuhan utama lainnya yang jumlahnya lebih sedikit, merupakan pusat pelayaran dunia, maka pelabuhan-pelabuhan kecil merupakan tulang punggung perdagangan lokal dan migrasi tenaga kerja. Malaysia memiliki 3 pelabuhan penting dalam jalur Selat Malaka dan sangat berpengaruh pada kemajuan perekonomian negaranya.101 Dari beberapa pelabuhan yang ada di negara pantai Selat Malaka merupakan tulang punggung penggerak perekonomian negaranya. Pelabuhan tersebut menjadi tempat transit kapal-kapal tanker, sehingga kapal-kapal tersebut harus membayar pajak sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Hal ini memberikan pemasukan terhadap tempat negara yang menjadi transit kapal-kapal tanker tersebut. Transit kapal-kapal tanker ini 101
Solvay Gerke dan Hans-Dieter Evers, “Perkembangan Wilayah Selat Malaka”, Malaysia: Center for policy research and Internasional Studies, Universiti Sains Malaysia, November 2009, h. 07.
64
lebih menguntungkan Singapura, sebab pelabuhannya yang indah dan lebih strategis. Selat Malaka juga pemasok sumber daya laut dalam jumlah yang besar dan menopang perekonomian negara-negara di pesisirnya. Lebih dari 380.000 ton ikan (lebih dari 60% jumlah keseluruhan penangkapan ikan per tahun) seharga RM 2 milyar per tahun yang masuk ke Malaysia berasal dari Selat Malaka. Di Indonesia, Selat Malaka merupakan sumber produksi ikan kedua terbesar setelah Laut Jawa. Kualitas yang tinggi dan panen ikan yang
dapat
diandalkan
adalah
sangat
penting
untuk
menjamin
perkembangan sosial-ekonomi yang berkelanjutan dan kesehatan rakyat. Kegiatan ekonomi lainnya, seperti budidaya laut, turisme, industri wisata dan maritim bergantung dengan kondisi viabilitas dan kondisi alam air laut di selat.102 Selain itu, juga terdapat juga keuntungan politis yang akan dicapai oleh tiga negara khususnya Indonesia. Berkurangnya angka kejahatan di laut akan dapat menunjukan keseriusan Indonesia dalam menangani keamanan negerinya. Sehingga posisi tarwarnya akan lebih baik terlebih dengan melakukan kerjasama dengan negara lain. Hal ini dikarenakan sebagian besar kawasan Selat Malaka merupakan bagian dari perlintasan kelautan wilayah Indonesia. Dengan melakukan patroli terkoordinasi ini, apabila kerjasama ini berhasil dalam meningkatkan keamanan dan mengurangi angka kejahatan di laut secara signifikan maka hal ini akan tentu dapat dijadikan nilai tawar
102
Ibid, h. 14.
65
bagi tiga negara tersebut khususnya Indonesia mampu menangani keamanan dalam negaranya sendiri.
C.2.
Kelemahan Patroli Terkoordinasi Kelemahan dari patroli terkoordinasi adalah yang pertama,
peralatan penunjang dan armada laut Indonesia yang sudah tua dan masih minim. Kedua, kerjasama patroli terkoordinasi ini walaupun bertujuan untuk penegakan hukum yaitu, mengatasi aksi-aksi pembajakan, penyeludupan manusia, illegal logging, illegal fishing, dan lain-lain, akan tetapi tetapi, hanya dititik beratkan pada masalah pembajakan (Piracy) saja. Kerjasama
patroli
terkoordinasi
Indonesia,
Malaysia,
dan
Singapura adalah bertujuan untuk melakukan penegakan hukum. Akan tetapi penegakan hukum di perairan Selat Malaka tidak akan berjalan dengan tanpa dukungan sarana penunjang yang memadai. Seperti diketahui perompakan dan aksi kejahatan di Selat Malaka selama ini banyak terjadi di wilayah yuridiksi hal ini tentunya akibat dari keterbatasan peralatan yang dimiliki oleh Angkatan Laut Indonesia. Adapun bukti kelemahan secara rinci dari kerjasama patroli terkoordinasi
yaitu peralatan Angkatan Laut salah satu negara yaitu
Indonesia yang kurang memadai. Dari data yang diperoleh penulis, pada tahun 2004 jumlah total pembajakan dan aksi kejahatan di seluruh belahan dunia mencapai 325 laporan kasus dimana sebagian besar terjadi di wilayah Asia. Pada tahun tersebut Malaysia melaporkan terdapat 9 kasus,
66
Singapua 8 kasus dan perairan Indonesia mencapai 93 kasus. 103 Hal ini terjadi di sebabkan karena perbedaan perlengkapan peralatan penunjang untuk mengamankan laut di wilayah masing-masing negara. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang luas. Indonesia, dalam hal ini pihak Angkatan Laut minim sarana penunjang. Angkatan Laut Indonesia hanya memiliki armada laut berupa 14 kapal perang berpeluru kendali (6 Van Speljk Trigates, 3 Fatahillah Corvettes, 1 Ki Hajar Dewantoro Corvettes, 4 Dengger Fast Missile Boats), Angkatan Laut Indonesia juga hanya memiliki 2 kapal tipe 209, kapal Amphibi 26 unit LSTs, Kapal penyapu ranjau 12 unit serta, 7 Kapal patroli frigate, 16 Parchim Corvettes, dan 8 Lurssen 57 mm craft.104 Jumlah tersebut sangat tidak ideal untuk melakukan pengamanan di wilayah laut Indonesia yang sangat luas, bahkan tahun pembuatan kapalkapal tersebut adalah antara tahun 1967 sampai dengan tahun 1990an walaupun armada laut Indonesia telah mengalami rekondisi, Indonesia sebenarnya membutuhkan 380 kapal perang untuk menjaga seluruh wilayah NKRI dan mencapai jumlah yang ideal bagi armada laut Indonesia. Di Selat Malaka sendiri, hanya 7 kapal patroli yang beroprasi padahal idealnya Selat Malaka memerlukan 36 kapal perang.105 Keterbatasan anggaran untuk melakukan peremajaan peralatan penunjang adalah salah satu hambatan bagi Indonesia. Hal ini berdampak
103
Graham Gerard Ong-Webb,Piracy, Maritime Terorism and Securing the Malacca Straits, h. 165-166 104 Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara, Jakarta: khalifa, 2005, h. 204. 105 Nugroho F Yudho, ”Bernard Kent Sondakh” http://www.tokoh-indonesia.com /ensiklopedi/b/bernatd-sodakh/index.shtml, diakses tanggal 29 Desember 2010, Pukul 19:00
67
pada upaya pengamanan yang dilakukan Angkatan Laut Indonesia dalam menjaga keamanan di Selat Malaka. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang rata-rata armada lautnya jauh lebih muda dibangdingkan dengan Indonesia. Angkatan laut Malaysia memiliki beberapa armada angkatan laut antara lain, 19 kapal perang berpeluru kendali (2 Leiku frigates tipe Exocet SSM dan Sewolf SAM, 2 FS 1500 frigates tipe Exocet SSM, 4 Laksamana (assaad) missile corvettes tipe OTO Melara SSM, 8 Spica/ Cambatante 11 missle boat tipe Exocet SSM).106 Luas wilayah laut Malaysia tidak seluas perairan Indonesia sehingga dalam melaksanakan tugas patroli perairanya pun tidak banyak memiliki kendala. Sedangkan kekuatan armada angkatan laut Singapura mempunyai 24 kapal perang berpeluru kendali (6 Victor Corvettes, 6 Sewofl Misseli boats, 12 Fearless Corvettes). 4 Kapal Selam (Chalengger A12 ex Swedia), 5 Amphibi (4 Endurance class LPDs, 1 perseverance LST ex Inggris) dan 6 Delta Class Lafayette Stealth missile frigates.107 Dari data di atas dapat kita bandingkan armada Angkatan Laut ketiga negara, Singapura dapat kita liat mempunyai armada laut yang sangat luar biasa kuat dan tangguh, mengingat negara tersebut merupakan negara dengan luas wilayah yang kecil. Akan tetapi bila melihat secara keseluruhan Angkatan Laut ketiga negara, Indonesia dengan armada laut yang terbatas sehingga menjadikan kerjasama ini sedikit mengalami kendala yang dapat menghambat proses pengamanan di lapangan. 106 107
Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara, h. 205. Ibid, h. 206.
68
Sehingga ketiga negara harus secara bersama-sama mencari cara untuk mengatasinya.
C.3.
Hambatan atas Patroli Terkoordinasi Hambatan-hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan patroli
terkoordinasi antara lain, pertama, adanya perbedaan kepentingan antar kepentingan umum dengan kepentingan pribadi. Maksudnya adalah adanya ketidak sadaran terhadap pengguna selat yaitu para pemilik kapal untuk mematuhi setiap peraturan yang diterapkan oleh pemerintah untuk menciptakan keselamatan pelayaran serta sebagai upaya penegakan hukum. Hal ini dikarenakan proses birokrasi yang terlalu berbelit-belit yang pada akhirnya membutuhkan biaya yang besar dari pemilik kapal. Sehingga banyak pemilik kapal yang berusaha yang menyewa jasa keamanan bersenjata yang jelas-jelas akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah yaitu masalah keamanan. Kedua adalah adanya perbedaan prioritas, negara di kawasan Selat Malaka sangat menyadari ancaman yang dihadapi dan senantiasa dituntut untuk selalu menciptakan keamanan di sepanjang perairan selat ini. Akan tetapi keterbatasan sumber daya manusia dan juga minimnya peralatan penunjang operasi akibat keterbatasan dana telah menimbulkan adanya prioritas kepentingan.108 Maksudnya adalah besar dana yang dibutuhkan untuk mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka telah membuat masingmasing negara untuk memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-
108
Ida Bagus Sanubari, “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Mencegah Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”, h. 69.
69
masing yang lebih mendesak. Keterbatasan anggaran membuat negara di sekitar Selat Malaka untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya masing-masing yang lebih mendesak merupakan salah satu hambatan dalam upaya kerjasama keamanan Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui patroli terkoordinasi untuk menciptakan jaminan keamanan di Selat Malaka. Ketiga, hambatan kerjasama ketiga negara ini adalah pada kepentingan nasional ketiga negara di sekitar selat itu sendiri. Sampai saat ini masing-masing negara masih memiliki konflik diantara mereka. Sebagai contoh Indonesia di masa lalu memiliki konflik dengan Malaysia atas sengketa pulau Simpadan dan Ligitan.109 Perebutan pulau Ambalat yang walau pun telah selesai di makamah internasional yang di menangkan oleh Malaysia atas kepemilikan pulau Ambalat.110 Dan seringnya bersih teganga di wilayah perbatasan laut Indonesia dengan Malaysia. Dengan Singapura pun Indonesia sebagai contoh banyaknya buronan korupsi yang lari ke Singapura, serta kasus penyeludupan pasir laut untuk proyek reklamasi pantai Singapura.111 Semua itu berkaitan dengan isu kedaulatan di laut dan perbatasan masing-masing negara di sekitar selat. Kasus diatas beberapa dari
109
Tim Liputan 6 SCTV, “Malaysia Menangkan Sengketa Simpadan Dan Ligitan”, http://berita.liputan6.com/politik/200212/46537/Malaysia.Memenangkan.Sengketa.Sipadan.dan.Li gitan, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 20:00 110 Teuku Rezasyah, “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia”, http://nasional.kompas.com/read/2009/06/06/14563761/Sengketa.Ambalat..Malaysia.Ukur.Kekuat an.Indonesia, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 23:40 111 Abdul Kadir, “Tindak Tegas Terhadap Ekspor Pasir Illegal”, http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/a rticleId/69/TINDAK-TEGAS-TERHADAP-EKPOR-PASIR-ILLEGAL.aspx, diakses tanggal 18 Januari 2011, pukul 01:00
70
banyaknya konflik yang terjadi diantara ketiga negara selain dari kelemahan dan hambatan di atas kerjasama keamanan antara Indonesia, Malaysia dan Singapuara ini juga masih belum dapat memberikan akses secara leluasa bagi masing-masing anggotanya untuk dapat melakukan crossborder pada saat melakukan patroli terkoordinasi. Akan tetapi, seiring dengan waktu berjalan dan kewajiban bagi negara patai Selat Malaka untuk mengamankan perairan tersebut membuat tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk mengedepankan terciptanya keamanan di Selat Malaka.
C.4.
Keberhasilan dari Patroli Terkoordinasi Keberhasilan tiga negara pantai dalam mengamankan Selat Malaka
melalui patroli terkoordinasi telah tercipta di tahun 2009, semenjak digelarnyanya patroli terkoordinasi tiga negara pantai Selat Malaka.112 keberhasilan yang telah tercipta melalui patroli terkoordinasi yang pertama adalah kesuksesan patroli terkoordinasi ini telah diakui oleh negara Asia Tenggara lainnya, sehingga beberapa negara Asia Tenggara ada yang ingin bergabung sebagai tim peninjau dalam patroli terkoordinasi. Kedua adalah dapat menurunkan angka pembajakan di perairan Selat Malaka. Ide ke ikut sertaan Thailand bergabung dalam patroli terkoordinasi sebenarnya telah ada tahun 2005, ide untuk melibatkan Thailand dalam patroli terkoordinasi di Selat Malaka datang dari Indonesia dan dibahas dalam Shangrilla Dialogue di Kuala Lumpur 2 Agustus 2005, yang
112
Agus Suhartono, “Selat Malaka Semakin Aman”, http://www.tempointeraktif. com/hg/politik/2011/01/17/brk,20110117-306983,id.html, 27 oktober 2010, pukul 23:55
71
dihadiri panglima angkatan bersenjata tiga negara pantai dan Thailand. Semula keikutsertaan Thailand akan di tetapkan pada 1 Desember 2005 dengan payung MIST (Malaysia-Indonesia-Singapura-Thailand), namun perkembangan politik di Thailand tidak memungkinkan dan akhirnya pemerintah setempat memutuskan Thailand berstatus peninjau dalam kerjasama pengamanan bersama di Selat Malaka.113 Hal ini telah menciptakan keamanan di perairan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional sehingga negara-negara pengguna selat dapat merasa aman dalam menggunakan selat tersebut. Pandangan dunia internasional juga berubah setelah melihat perubahan signifikan yang terjadi pada keamanan Selat Malaka, sehingga isu intervensi terhadap perairan Selat Malaka itu tidak ada. Seperti yang dilakukan AS yang ingin menurunkan pasukanya di wilayah Selat Malaka. Tetapi hal ini di tolak oleh Indonesia dan Malaysia dengan alasan mengganggu kedaulatan negara pantai Selat Malaka. Kerjasama keamanan tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui patroli terkoordinasi telah mencapai keberhasilan, patroli terkoordinasi ini yang di selengarakan pada 20 Juli 2004 telah berhasil menekan angka pembajakan yang terjadi di Selat Malaka. Ini terbukti pada laporan IMB tahun 2004-2009. Berdasarkan data Biro Maritim Internasional atau International Maritime Bureau (IMB),
113
Ruslan Burhani, “Thailand Ikut Amankan Selat Malaka”, http://www.antaranews. com/view/?i=1227191723&c=INT&s, di akses tanggal 18 Januari 2011, pukul 20:55
72
hanya ada satu insiden di Selat Malaka yang masuk perairan Indonesia dalam seperempat tahun pertama 2009.114 (Lihat Diagram 1)
Diagram 1 Incident in Straits Malacca 38
40 35 30 25 20 15
12
11
10
7
5
2
1
Tahun 2008
Tahun 2009
0 Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Sumber: Laksamana Agung Saputra, “Selat Malaka Hinga Somalia”, Kompas:22 Juli 2010. (diolah).
Keberhasilan patroli terkoordinasi yang dilakukan tiga negara pantai Selat Malaka, dengan menekan tindak kejahatan di laut. Patroli terkoordinasi ini juga merubah pandangan bahwa negara pantai Selat Malaka tidak mampu mengatasi tindak kejahatan di perairan Selat Malaka, akan tetapi dengan di gelarnya patroli terkoordinasi di Selat Malaka yang telah berjalan dari 20 Juli 2004 hingga saat ini telah merubah pandangan dunia luar terhadap negara-negara pantai Selat Malaka.
114
Elin Yunita Kristanti, “Selat Malaka Makin Aman, Indonesia Dipuji”, http://nasional.vivanews.com/news/read/51469-selat_malaka_makin_aman__ indonesia_di puji, diakses tanggal 27 oktober 2010, pukul 00:20
73
BAB IV KESIMPULAN
D.
Kesimpulan Pada dasarnya penegakan keamanan di laut merupakan fungsi yang sangat
mahal dan kompleks, sehingga di dunia ini tidak ada satupun yang mampu mewujudkan jaminan keamanan di laut hanya oleh satu institusi atau negara secara mandiri. Untuk mencapai hasil yang sempurna dan efesien, intinya adalah keterpaduan, dengan menyatukan kekuatan dan seluruh kemampuan dengan instansi-instansi yang mempunyai kewenangan di laut. Indikator dari keterpaduan itu adalah terwujudnya kerjasama tim (team work) yang kompak, dan hal itu dapat terwujud hanya apabila dilandasi rasa saling percaya (mutual trust) dan salaing menghargai kemampuan (competence) masing-masing instansi yang terlibat dalam upaya penegakan hukum di laut. Dengan berjalannya Patroli Terkoordinasi Trilateral yang dilakukan oleh beberapa negara-negara anggota ASEAN yang termasuk negara pantai Selat Malaka serta mengalami permasalahan yang sama yaitu menghadapi gangguan keamanan pelayaran oleh tindak pembajakan, diharapkan kegiatan patroli terkoordinasi dapat mengurangi tindak kejahatan itu sehingga hal ini dapat menghapus ketidak mampuan negara-negara pantai Selat Malaka ini dalam rangka menangani masalah keamanan di perairan Selat Malaka. Kegiatan patroli terkoordinasi ini sudah sejak dahulu dilakukan, akan tetapi sekarang ini di tingkatkan kerjasama dan lebih terkoordinasi dengan mengaktifkan
operasi-operasi
pengamanan
di
Selat
Malaka.
Dengan
74
terselenggaranya patroli terkoordinasi ini, selain mengadakan patroli rutin di perairan Selat Malaka, masing-masing negara sudah memiliki pos-pos koordinasi seperti Batam dan Belawan di Indonesia, Lumut di Malaysia, Changi Naval Base di Singapura. Sejak terselanggaranya patroli terkoordinasi tiga negara/trilateral pantai Selat Malaka antara Malaysia, Singapura dan Indonesia dengan sandi Malsindo di Selat Malaka, tingkat kejahatan di perairan tersebut mulai menurun sejak di gelarnya patroli terkoordinasi. Dahulu para perompak leluasa untuk melakukan aksinya di Selat Malaka, akan tetapi sejak digelarnya patroli terkoordinasi yang melibatkan 17 kapal perang, tidak ada lagi peluang gerak bagi mereka untuk melakukan aksinya. Selain itu, indikasi menurunya tindak kejahatan di Selat Malaka terlihat dari jumlah kasus yang dilaporkan oleh kapal-kapal yang melintasi perairan Selat Malaka. Sebelum terselenggaranya patroli terkoordinasi, paling sedikit ada 9 laporan kejadian tindak kejahatan perompakan setiap bulanya. Sedangkan sekarang sudah menurun, tercatat sepanjang tahun 2009 hanya ada 1 laporan tindak perompakan di perairan Selat Malaka. Pihak pemerintah Malaysia juga menyatakan bahwa Selat Malaka aman untuk dilayari. Penegasan ini dimaksudkan untuk meyakinkan sejumlah negara Asia Tenggara yang percaya bahwa selat tersebut diincar oleh kaum teroris. Patroli udara gabungan dengan Singapura dan Thailand yang diselenggarakan di atas perairan Selat Malaka di harapkan dapat menutup ruang bagi para bajak laut untuk beraksi, dan patroli udara gabungan ini juga diharapkan lebih meningkatkan keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka. Malaysia, Singapura dan Indonesia yang selama ini telah melaksanakan patroli laut terkoordinasi, sepakat
75
untuk meningkatkan pengawasan lewat patroli udara gabungan patroli udara ini diizinkan untuk terbang sampai 12 mil garis pantai di atas wilayah perairan negara-negara penyelenggara patroli terkoordinasi. Keikutsertaan Thailand dalam mengamankan Selat Malaka sangat penting mengingat posisis Thailand sebagai pintu gerbang pelayaran asing yang akan melalui perairan Selat Malaka. Keikutsertaan tersebut, di latar belakangi maraknya berbagai aksi kejahatan laut di wilayah perairan Thailand, di Selat Malaka, seperti perompakan dan penyeludupan senjata. Empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah sepakat untuk mengitensifkan pengamanan di perairan Selat Malaka melalui patroli terkoordinasi baik di laut maupun di udara. Untuk memudahkan upaya menekan tindak kejahatan di laut di perairan Selat Malaka, maka masing-masing negara mendirikan “incident hotline station” Sabang, Dumai di Indonesia, Lumut di Malaysia, Pukhet di Thailand, Changi di Singapura. Hal ini dapat memudahkan Angkatan Laut 4 negara mendapatkan informasi tertang pelanggaran hukum di perairan Selat Malaka dan langsung memberikan bantuan, sehingga dapat menekan angka tindak kejahatan di perairan Selat Malaka dan menciptakan suasana aman bagi pengguna Selat Malaka.
x
DAFTAR PUSTAKA BUKU Adler, Emanuel and Barnett, Michael. Security Community, Cambridge: Cambridge University Press 1998. Atmadja, Moehtar Kusuma. Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978. Bateman, Sam & Bates, Stephen. Calming the Waters Initiatives for Asia Pacific Maritime Cooperation, Australia: Strategic and Defencestudies Center Research School of Pacific and Asian Studies the Australian National University Canberra, 1996. Buzan, Barry and Waever, Ole. Regions and Powers, The Structure of International Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Buzan, Barry. People, State and Fear, The National Security Problem in International Relations, Sussex: Wheatsheaf Book, 1993. Chalk, Peter. Grey-Area Phenomena In Southest Asia: Piracy, Drug Trafficking and political terrorism, Canberra: strategic and defence studies centre research school of pacific and Asian studies the Australian national University, 1997. Dam, Syamsumar. “Politik Kelautan”, Jakarta: Bumi Aksaraja, April 2010. Gerard, Graham Ong-Webb. “Piracy, Maritime Terorism and Securing the Malacca Straits, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006 Lapian, Adrian B. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan laut Selawesi abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi, Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1990. Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era Dinamika Global, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2003. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Nasir, Moch. Metode Penilitian, Jakarta: Ghalia Press, 1998. Pailah, S.Y. Tantangan dan perubahan maritime; konflik perbatasan di wilayah perairan negara kesatuan Republic Indonesia jilid I, Manado; Klub Studi Perbatasan, 2007
xi
Ritonga, Rajab. Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh Mengibarkan Bendera Kewajiban, Jakarta: Penerbit Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2004.
DOKUMEN Agues, Etty R. “Pengelolaan Keamanan di Selat Malaka Secara Terpadu”, keynote speech pada “workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat Malaka,” Medan: Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar Negeri, 19-20 juli 2005 Gerke, Solvay. “Perkembangan Selat Malaka”, Malaysia: CenPRIS, USM (Universiti Sains Malaysia), 2009 Laki, James. “Securitization of Transnational Crime”, Singapore: laporan Workshop Institute of Defence and Strategic studies (IDSS), 2005 Nuswantoro, Edhi. “Pengelolaan keamanan Selat Malaka,” keynote speech pada workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat Malaka, Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar negeri, Medan, 19-20 juli 2005 Prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh TNI AL, Jakarta: Markas Besar TNI AL, Juni 2003 Rencana Oprasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia)-01/2004 Soebijanto, Slamet. Coordinate Patrol ; One of The Ways to Secure of Malacca Straits, dibawakan dalam seminar ASEAN Regional Forum Confidence Building Measures, Singapore: Regional Cooperation in Maritime Security, 2-4 Maret 2005 Sanubari, Ida Bagus. “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Memcegah Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”, Kertas karya perorangan, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 2005 Susilo, Agus. “Implementasi Wawasan Nusantara Guna Memajukan Sistem Pengendalian Informasi Selat Malaka Dalam Rangka Ketahanan Nasional”, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2010.
xii
JURNAL Bradford, Jhon F., “Shifting the Tdes Against Piracy in Southeast Asian Waters”, Asian Survey, Vol.XLVIII,No.3, May/June 2008 Dewitt, Davit. “Common, Comprehensive and Cooperative Security”, Pacific Affairs, vol. 7 no.1 tahun 1994 Dipoyudo, Kirdi. ”Persoalan di Sekitar Selat Malaka”, Jakarta: Analisa CSIS, Tahun IV 1975 Mustofa, Muhammad. “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002) Vermonte, Philips Jusario, “Transnasional Organized Crime: Permasalahan” Analisis CSIS, tahun XXXI/2002, no.1
Isu
dan
MAJALAH/ SURAT KABAR Adolf, Huala. “Tanggung Jawad RI atas Selat Malaka”, Kompas, 26 april 2004 Hardiwan. “Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut”, Dharma Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf dan Komando TNI AL No. DW/114/2002 Kabri, Uray Asnol. “Kerjasama Keamanan Regional ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Kepantingan Keamanan Laut Nasional”, Dharma Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf Dan Komando TNI AL No. DW/112/2001 Saputra, Agung. “Selat Malaka Hingga Somalia”, Kompas, 22 Juli 2010 Raharjo, Estu. ”Dengan Dicabutnya Undang-Undang No.20 Tahun 1982 Apa Tugas TNI AL Sekarang ini”, Majalah TNI AL Cakrawala, No.380 Tahun 2004 Republika. “RI, Singapura, dan Malaysia Patroli di Malaka” 21 Juni 2005 Rice, “AS Siap Bantu Asia Amankan Wilayah Perairan Terbuka”, Media Indonesia, Tanggal 15 Maret 2006 Santosa, Yan EP. “Jepang Bantu Amankan Selat Malaka”, dalam Koran Harian Republika. 23 Juni 2004 Sumarjono, Djoko. “Kerawanan di Selat Malaka”, Harian Kompas, 2 Juli 2005 “Malaysia Ajak Tetangga Amankan Selat Malaka”, Kompas, 14 Juni 2004.
xiii
TESIS/ SKRIPSI Hapsari, Ardiana wahyu. “ASEAN dan Permasalahan Bajak Laut di Asia Tenggara”, Depok: Universitas Indonesia, 2002 Pailah, Steven Yohanes. “Pengelolaan isu-isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2004-2006”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008. Sani, Ilham. “Perang Mengatasi Bajak Laut di SLOC I”, Depok: Universitas Indonesia, 1999 Senoputro, Jusuf Dharma. “Pengelolaan Kerjasama Keamanan di Wilayah Perairan Selat Malaka”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
WEBSITE Burhani, Ruslan. “Thailand Ikut Amankan Selat Malaka”,
http://www.antaranews.com/ view/?i=1227191723&c=INT&s=http://www.antaranews.com/view/?i=12271917 23&c=INT&s=, di akses tanggal 18 Januari 2011, pukul 20:55. http://koarmabar.tnial.mil.id/Berita/tabid/62/articleType/ArticleView/articleId/87/PatkorMalsindo-Mulai-Tunjukkan-Hasil.aspx, di akses tanggal 24 Desember 2010, pukul 23:00.
http.//www.china.jamestown.org/pubs/view/cwe_001_001_004.htm, September 2010, pukul 13.00.
pada
29
Isu maritim: Fokus ASEAN Regional Forum 2005, http://rsi.com.sg/indonesian /fokusasia/view/20050303211500/I/htm. Di akses Tanggal 05 Januari 2011, pukul 00:30. Kadir, Abdul. “Tindak Tegas Terhadap Ekspor Pasir Illegal”, http://www.tnial.mil.id /Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleI d/69/TINDAK-TEGAS-TERHADAP-EKPOR-PASIR-ILLEGAL.aspx, diakses tanggal 18 Januari 2011, pukul 01:00. Kristanti, Elin Yunita. “Selat Malaka Makin Aman, Indonesia Dipuji”, http://nasional.vivanews.com/news/read/51469selat_malaka_makin_aman__indon esia_di puji, diakses tanggal 27 oktober 2010, pukul 00:20. Pottengal, Mukun. “Selat Malaka di Hantui Perompak”, Kuala Lumpur, http://www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236 di akses tanggal 20 Oktober 2010, pukul 22.00. Rezasyah, Teuku. “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia”, http://nasional.kompas.com/read/2009/06/06/14563761/Sengketa.Ambalat..Malay sia.Ukur.Kekuatan.Indonesia, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 23:40.
xiv
Suhartono, Agus. “Selat Malaka Semakin Aman”, http://www.tempointeraktif. com/hg/politik/2011/01/17/brk,20110117-306983,id.html, 27 oktober 2010, pukul 23:55. Sumaryono, Djoko. “Kerawanan di Selat Malaka”, diakses dari http://www.unisosdem. org/kliping.detail.php?aid=4285&coid=1&caid=45, pada tanggal 28 Oktober 2010, pukul 23:15. Tim Liputan 6 SCTV, “Malaysia Menangkan Sengketa Simpadan Dan Ligitan”, http://berita.liputan6.com/politik/200212/46537/Malaysia.Memenangkan.Sengket a.Sipadan.dan.Ligitan, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 20:00.
LAMPIRAN I
ASEAN Political-Security Community Blueprint
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
1
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT I.
INTRODUCTION
1. The ASEAN Political-Security Community has its genesis of over four decades of close co-operation and solidarity. The ASEAN Heads of States/Governments, at their Summit in Kuala Lumpur in December 1997 envisioned a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies. 2. To concretise the ASEAN Vision 2020, the ASEAN Heads of States/Governments adopted the Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) in 2003, which establishes an ASEAN Community by 2020. The ASEAN Community consists of three pillars, namely the ASEAN PoliticalSecurity Community (APSC), the ASEAN Economic Community (AEC) and the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). 3. Conscious that the strengthening of ASEAN integration through accelerated establishment of an ASEAN Community will reinforce ASEAN’s centrality and role as the driving force in charting the evolving regional architecture, the ASEAN Leaders at the 12th ASEAN Summit in the Philippines decided to accelerate the establishment of an ASEAN Community by 2015. 4. At the 13th ASEAN Summit in Singapore, the ASEAN Heads of States/Governments signed the ASEAN Charter, which marked ASEAN Member States’ commitment in intensifying communitybuilding through enhanced regional cooperation and integration. In line with this, they tasked their Ministers and officials to draft the APSC Blueprint, which would be adopted at the 14th ASEAN Summit. 5. The APSC Blueprint is guided by the ASEAN Charter and the principles and purposes contained therein. The APSC Blueprint builds on the ASEAN Security Community Plan of Action, the Vientiane Action Programme (VAP), as well as relevant decisions by various ASEAN Sectoral Bodies. The ASEAN Security Community Plan of Action is a principled document, laying out the activities needed to realise the objectives of the ASEAN Political Security Community, while the VAP lays out the measures necessary for 2004-2010. Both documents are important references in continuing political and security cooperation. The APSC Blueprint provides a roadmap and timetable to establish the APSC by 2015. The APSC Blueprint would also have the flexibility to continue programmes/activities beyond 2015 in order to retain its significance and have an enduring quality.
II.
CHARACTERISTICS AND ELEMENTS OF THE APSC
6. It is envisaged that the APSC will bring ASEAN’s political and security cooperation to a higher plane. The APSC will ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with one another and with the world at large in a just, democratic and harmonious environment. 7. The APSC shall promote political development in adherence to the principles of democracy, the rule of law and good governance, respect for and promotion and protection of human rights
2
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
and fundamental freedoms as inscribed in the ASEAN Charter. It shall be a means by which ASEAN Member States can pursue closer interaction and cooperation to forge shared norms and create common mechanisms to achieve ASEAN’s goals and objectives in the political and security fields. In this regard, it promotes a people-oriented ASEAN in which all sectors of society, regardless of gender, race, religion, language, or social and cultural background, are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building. In the implementation of, the Blueprint, ASEAN should also strive towards promoting and supporting gender-mainstreaming, tolerance, respect for diversity, equality and mutual understanding. 8. At the same time, in the interest of preserving and enhancing peace and stability in the region, the APSC seeks to strengthen the mutually beneficial relations between ASEAN and its Dialogue Partners and friends. In doing so, it also maintains the centrality and proactive role of ASEAN in a regional architecture that is open, transparent and inclusive, while remaining actively engaged, forward-looking and non-discriminatory. 9. The APSC subscribes to a comprehensive approach to security, which acknowledges the interwoven relationships of political, economic, social-cultural and environmental dimensions of development. It promotes renunciation of aggression and of the threat or use of force or other actions in any manner inconsistent with international law and reliance of peaceful settlements of dispute. In this regard, it upholds existing ASEAN political instruments such as the Declaration on Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), the Treaty of Amity and Co-operation in South East Asia (TAC) and the Treaty on the Southeast Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ), which play a pivotal role in the area of confidence building measures, preventive diplomacy and pacific approaches to conflict resolution. It also seeks to address non-traditional security issues. 10. Based on the above, the ASEAN Political-Security Community envisages the following three key characteristics: a) A Rules-based Community of shared values and norms; b) A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with shared responsibility for comprehensive security; and c) A Dynamic and Outward-looking Region in an increasingly integrated and interdependent world. 11. These characteristics are inter-related and mutually reinforcing, and shall be pursued in a balanced and consistent manner. To effectively realise the APSC, the APSC Blueprint is an actionoriented document with a view to achieving results and recognises the capacity and capability of ASEAN Member States to undertake the stipulated actions in the Blueprint.
A.
A Rules-based Community of Shared Values and Norms
12. ASEAN’s cooperation in political development aims to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilities of the Member States of ASEAN, so as to ultimately create a Rules-based Community of shared values and norms. In the shaping and sharing of norms, ASEAN aims to achieve a standard of common adherence to norms of good conduct among
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
3
member states of the ASEAN Community; consolidating and strengthening ASEAN’s solidarity, cohesiveness and harmony; and contributing to the building of a peaceful, democratic, tolerant, participatory and transparent community in Southeast Asia. 13. Moreover, cooperation in political development will bring to maturity the political elements and institutions in ASEAN, towards which the sense of inter-state solidarity on political systems, culture and history will be better fostered. Such inter-state solidarity can be achieved further through the shaping and sharing of norms. A.1.
Cooperation in Political Development
14. Since the adoption of the ASC Plan of Action in 2003, ASEAN has achieved progress in different measures of political development. There was increased participation by organisations, such as academic institutions, think-tanks, and civil society organisations in ASEAN meetings and activities. Such consultations and heightened interactions fostered good relations and resulted in positive outcomes for the region. 15. Efforts are underway in laying the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information based on each country’s national laws and regulations; preventing and combating corruption; and cooperation to strengthen the rule of law, judiciary systems and legal infrastructure, and good governance. Moreover, in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms, the ASEAN Charter stipulates the establishment of an ASEAN human rights body. A.1.1.
Promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States
Actions: i. Assign appropriate ASEAN sectoral bodies to take necessary measures to promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States, which will undertake to: a. Encourage the holding of at least two track-two events per year, including academic conferences, workshops and seminars; b. Release periodic publications on the dynamics of ASEAN Member States’ political systems, culture and history for dissemination to the public; and c. Intensify exchange of experience and training courses in order to enhance popular and broader participation. ii. Hold seminars/workshops to share experiences on democratic institutions, gender mainstreaming, and popular participation; and iii. Endeavour to compile best practices of voluntary electoral observations.
A.1. 2. Lay the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information for mutual support and assistance among ASEAN Member States
Actions: i. Encourage the ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) to develop an
4
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
ii.
iii.
iv.
v.
institutional framework to facilitate free flow of information, based on each country’s national laws, by establishing an information baseline of these laws and to submit a progress report to the ASEAN Political-Security Community Council; Request each ASEAN Member State to develop relevant media exchange programmes to aid free flow of information, starting within three months from the adoption of this Blueprint; Enhance media capacity to promote regional-community building, explore the possibility of establishing an ASEAN media panel to boost cooperation and collaboration among the media-related institutions and organizations with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint; Implement internships, fellowships, scholarships and workshops, study visits and journalist exchange programs to enhance media capacity and professionalism in the region with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint; and Facilitate co-production and exchanges of films, TVs, animations, games and new media content to promote cultural exchanges with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint.
A.1.3.
Establish programmes for mutual support and assistance among ASEAN Member States in the development of strategies for strengthening the rule of law and judiciary systems and legal infrastructure
Actions: i. Entrust ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM), with the cooperation of other sectoral bodies and entities associated with ASEAN including ASEAN Law Association (ALA) to develop cooperation programmes to strengthen the rule of law, judicial systems and legal infrastructure; ii. Undertake comparative studies for lawmakers on the promulgation of laws and regulations; iii. Develop a university curriculum on the legal systems of ASEAN Member States by the ASEAN University Network (AUN) by 2010; and iv. Enhance cooperation between ALAWMM and ALA and other Track II organisations through seminars, workshops and research on international law, including ASEAN agreements.
A.1.4.
Promote good governance
Actions: i. Conduct analytical and technical studies to establish baselines, benchmarks, and best practices in various aspects of governance in the region; ii. Promote sharing of experiences and best practices through workshops and seminars on leadership concepts and principles with emphasis on good governance, and on developing norms on good governance; iii. Conduct a study by 2009 on partnership between public and private sectors and academia in creating a conducive climate for good governance to provide concrete recommendations to appropriate ASEAN sectoral bodies; and iv. Promote dialogue and partnership among governments, private sectors and other relevant organisations to foster and enable new ideas, concepts and methods with a view to enhance transparency, accountability, participatory and effective governance.
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
5
A.1.5. Promotion and Protection of human rights
Actions: i. Establish an ASEAN human rights body through the completion of its Terms of Reference (ToR) by 2009 and encourage cooperation between it and existing human rights mechanisms, as well as with other relevant international organizations; ii. Complete a stock-take of existing human rights mechanisms and equivalent bodies, including sectoral bodies promoting the rights of women and children by 2009; iii. Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the development of an ASEAN instrument on the protection and promotion of the rights of migrant workers; iv. Strengthen interaction between the network of existing human rights mechanisms as well as other civil society organisations, with relevant ASEAN sectoral bodies; v. Enhance/conduct exchange of information in the field of human rights among ASEAN countries in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms of peoples in accordance with the ASEAN Charter and the Charter of the United Nations, and the Universal Declaration of Human Rights and the Vienna Declaration and Programme of Action; vi. Promote education and public awareness on human rights; and vii. Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the establishment of an ASEAN commission on the promotion and protection of the rights of women and children.
A.1.6.
Increase the participation of relevant entities associated with ASEAN in moving forward ASEAN political development initiatives
Actions: i. Develop modalities for interaction between relevant entities associated with ASEAN, such as the ASEAN-ISIS network, and ASEAN sectoral bodies; ii. Promote research studies and scholarly publications on ASEAN political development initiatives; iii. Hold consultations between AIPA and appropriate ASEAN organs; and iv. Revise the Memorandum of Understanding of the ASEAN Foundation to take into account the provisions of the ASEAN Charter.
A.1.7.
Prevent and combat corruption
Actions: i. Identify relevant mechanisms to carry out cooperation activities in preventing and combating corruption and strengthen links and cooperation between the relevant agencies; ii. Encourage all ASEAN Member States to sign the Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation for Preventing and Combating Corruption signed on 15 December iii. 2004; Promote ASEAN cooperation to prevent and combat corruption, bearing in mind the above MoU, and other relevant ASEAN instruments such as the Treaty on Mutual Legal iv. Assistance in Criminal Matters (MLAT); Encourage ASEAN Member States who are signatories to the United Nations Convention
6
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
A.1.8.
v. against Corruption to ratify the said Convention; and Promote the sharing of best practices, exchange views and analyse issues related to values, ethics and integrity through appropriate avenues and fora and taking into account inputs from various seminars such as the ASEAN Integrity Dialogue. Promote Principles of Democracy
Actions: i. Promote understanding of the principles of democracy among ASEAN youth at schools at an appropriate stage of education, bearing in mind the educational system in the ii. respective ASEAN Member States; Convene seminars, training programmes and other capacity building activities for government officials, think-tanks and relevant civil society organizations to exchange iii. views, sharing experiences and promote democracy and democratic institutions; and Conduct annual research on experiences and lessons-learned of democracy aimed at enhancing the adherence to the principles of democracy. A.1.9. Promote peace and stability in the region
A.2.
Actions: i. Support the inclusion of culture of peace which includes, inter alia, respect for diversity, promotion of tolerance and understanding of faiths, religions and cultures in the ii. curriculum of ASEAN academic institutions; Develop programmes and activities aimed at the promotion of culture of peace, iii. interfaith and intrafaith dialogue within the region; Promote respect and appreciation for the region’s diversity and harmony among the iv. peoples of the region; v. Promote dialogue and greater interaction among various religious and ethnic groups; Promote networking among schools in the region to develop peace-education in their vi. respective curricula; and Support poverty alleviation and narrowing development gaps to contribute to promoting sustained peace and stability in the region. Shaping and Sharing of Norms
16. ASEAN promotes regional norms of good conduct and solidarity, in accordance with the key principles enshrined in the ASEAN Charter. In this context, ASEAN also continues to uphold the Treaty of Amity and Co operation in Southeast Asia (TAC), the SEANWFZ Treaty and other key agreements, as well as the Declaration on the Conduct of Parties (DOC) in the South China Sea. A.2.1.
Adjust ASEAN institutional framework to comply with the ASEAN Charter
Actions: i. Prepare and implement a transitional work plan on the necessary institutional reforms ii. needed to comply with the ASEAN Charter; Develop, as appropriate, supplemental protocols and/or agreements, including terms
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
7
iii. of references and rules of procedures, needed to implement the ASEAN Charter; and Develop a legal division to support the implementation of the ASEAN Charter. A.2.2. Strengthening Cooperation under the TAC
Actions: i. Convene workshops and seminars to assess the progress of the implementation of the ii. TAC and explore ways to improve its mechanisms; Convene a conference of High Contracting Parties to the TAC to review its implementation; iii. and Encourage the accession to the TAC by non-ASEAN countries. A.2.3. Ensure full implementation of the DOC for peace and stability in the South China Sea
Actions: i. Continue ASEAN’s current practice of close consultation among Member States to ii. achieve full implementation of the DOC; Explore and undertake cooperative activities identified in the DOC and eventually explore other co-operative measures on the basis of close consultation among the iii. member countries, while respecting sovereignty and integrity of each other; Carry out on a regular basis the overview of the process of implementation of the DOC, thus ensuring timely and proper conducts of the Parties in the South China Sea in iv. accordance with the DOC; and Work towards the adoption of a regional Code of Conduct in the South China Sea (COC). A.2.4. Ensure the implementation of South East Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEAN WFZ) Treaty, and its Plan of Action Actions: i. Comply with the undertakings in the SEANFWZ Treaty, including accession to the International Atomic Energy Agency (IAEA) safeguards agreements and related ii. instruments; iii. Encourage Accession to the Protocol of the SEANWFZ Treaty by Nuclear Weapon States; and Cooperate to implement the Plan of Action and draw up specific work programmes/ projects to implement the Plan of Action. A.2.5. Promote ASEAN Maritime Cooperation
Actions: i. ii. Establish the ASEAN Maritime Forum; Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security iii. concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community; Stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member iv. countries; and Promote cooperation in maritime safety and search and rescue (SAR) through activities such as information sharing, technological cooperation and exchange of visits of authorities concerned.
8
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
B.
A Cohesive, Peaceful and Resilent Region with Shared Responsibility for Comprehensive Security
17. In building a cohesive, peaceful and resilient Political Security Community, ASEAN subscribes to the principle of comprehensive security, which goes beyond the requirements of traditional security but also takes into account non-traditional aspects vital to regional and national resilience, such as the economic, socio-cultural, and environmental dimensions of development. ASEAN is also committed to conflict prevention/confidence building measures, preventive diplomacy, and post-conflict peace building. B.1.
Conflict Prevention/Confidence Building Measures
18. Confidence Building Measures and Preventive Diplomacy are important instruments in conflict prevention. They mitigate tensions and prevent disputes from arising between or among ASEAN Member States, as well as between ASEAN Member States and non-ASEAN member countries. They will also help prevent the escalation of existing disputes. 19. In the area of defence and regional political consultations, ASEAN Defence Officials have been involved in the ASEAN security dialogue since 1996. Under the framework of the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN has made voluntary briefings on political and security developments in the region and regularized meetings of high-level defence officials under the ARF Defence Officials’ Dialogue (DOD) and the ARF Security Policy Conference (ASPC). ASEAN has also established an annual ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) and ASEAN Defence Senior Officials’ Meetings. B.1.1.
Strengthen confidence-building measures
Actions: i. Organise regional exchanges among ASEAN Defense and military officials, at all levels, including among military academies, staff colleges and defence universities in ii. the ASEAN Member States; Promote the exchange of observers of military exercises, commensurate with the iii. capability and condition of each ASEAN Member State; Share information among ASEAN Member States on submissions to the UN Register of iv. Conventional Arms; Promote bilateral exchanges and cooperation between defence officials and exchange visits between military training institutions to promote trust and mutual understanding; v. and Conduct joint research projects on defence issues between government-affiliated policy and strategic research institutes in the region. B.1.2. Promote greater transparency and understanding of defence policies and security perceptions
Actions: i.
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
9
ii. Work towards developing and publishing an annual ASEAN Security Outlook; iii. Hold voluntary briefings on political and security developments in the region; Develop an ASEAN early warning system based on existing mechanisms to prevent iv. occurrence/escalation of conflicts; and Hold consultations and cooperation on regional defence and security matters between ASEAN and external parties and Dialogue Partners including through the ADMM Plus when it is operationalised. B.1.3. Build up the necessary institutional framework to strengthen the ARF process in support of the ASEAN Political-Security Community (APSC)
Actions: i. ii. Follow-up on the recommendations of the Review of the ARF; Implement the enhanced role of the ARF Chair, and activate the Friends of the ARF iii. Chair mechanism as and when needed; Implement the decision of the ARF Ministers to move the ARF towards the preventive iv. diplomacy stage (PD); Expand the capacity of the ARF Heads of Defense Universities, Colleges and Institutions Meeting (ARF HDUCIM) to exchange best practices in defense policies and acav. demic development; Compile best practices on confidence building measures, preventive diplomacy and vi. conflict resolutions for further development by ARF; and Enhance the role of the Secretary-General of ASEAN in the ARF including further strengthening the ARF Unit in the ASEAN Secretariat. B.1.4. Strengthen efforts in maintaining respect for territorial integrity, sovereignty and unity of ASEAN Member States as stipulated in the Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations
Actions: i. Compile best practices and relevant international law to promote understanding and appreciation of best practices concerning friendly relations and cooperation among ii. Member States of the United Nations; Convene consultation as well as a series of tract-two activities to strengthen cooperation in addressing threats and challenges that may affect the territorial integrity of ASEAN iii. Member States including those posed by separatism; and Further promote and increase awareness on these issues to help accelerate the pace of ASEAN Community building and elevate ASEAN’s profile in the world. B.1.5. Promote the development of norms that enhance ASEAN defence and security cooperation
Action: i. Initiate preparatory work for the development of practical cooperation programmes among the militaries of ASEAN Member States.
10
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
B.2.
Conflict Resolution and Pacific Settlement of Disputes
20. Convinced that the settlement of differences or disputes should be regulated by rational, effective and sufficiently flexible procedures, avoiding negative attitudes, which might endanger or hinder cooperation, ASEAN promotes the TAC, which seeks to preserve regional peace and harmony and prescribes that Member States refrain from threat or use of force. 21. The TAC gives provision for pacific settlement of disputes at all times through friendly negotiations and for refraining from the threat or use of force to settle disputes. The strategies for conflict resolution shall be an integral part of a comprehensive approach. The purpose of these strategies shall be to prevent disputes and conflicts from arising between ASEAN Member States that could potentially pose a threat to regional peace and stability. 22. ASEAN, the United Nations and other organisations have held a number of cooperation activities in the effort to promote peace and stability. More efforts are needed in strengthening the existing modes of pacific settlement of disputes to avoid or settle future disputes; and undertaking conflict management and conflict resolution research studies. Under the ASEAN Charter, ASEAN may also establish appropriate dispute settlement mechanisms. B.2.1.
Build upon existing modes of pacific settlement of disputes and consider strengthening them with additional mechanisms as needed
Actions: i. Study and analyse existing dispute settlement modes and/or additional mechanisms ii. with a view to enhancing regional mechanisms for the pacific settlement of disputes; iii. Develop ASEAN modalities for good offices, conciliation and mediation; and Establish appropriate dispute settlement mechanism, including arbitration as provided for by the ASEAN Charter. B.2.2. Strengthen research activities on peace, conflict management and conflict resolution
Actions: i. ii. Consider the establishment of an ASEAN Institute for Peace and Reconciliation; Compile ASEAN’s experiences and best practices on peace, conflict management and iii. conflict resolution; Identify priority research topics, with a view to providing recommendations on iv. promoting peace, conflict management and conflict resolution; Enhance existing cooperation among ASEAN think tanks to study peace, conflict v. management and conflict resolution; Hold workshops on peace, conflict management and conflict resolution with relevant vi. regional and international organisations, including the UN; Undertake studies to promote gender mainstreaming in peace building, peace process vii. and conflict resolution; and Develop a pool of experts from ASEAN Member States as resource persons to assist in conflict management and conflict resolution activities.
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
11
B.2.3.
Promote regional cooperation to maintain peace and stability
Actions: i. Carry out technical cooperation with the UN and relevant regional organisations to ii. exchange expertise and experiences in maintaining peace and stability; Identify national focal points, with a view to promoting regional cooperation in iii. maintaining peace and stability; and Establish a network among existing ASEAN Member States’ peace keeping centres to conduct joint planning, training, and sharing of experiences, with a view to establishing an ASEAN arrangement for the maintenance of peace and stability, in accordance with the ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) 3-Year Work Programme. Post-Conflict Peace-building
B.3.
23. ASEAN’s efforts in post-conflict peace building shall complement other comprehensive approaches to: (a) ensure the complete discontinuity of conflicts and violence and/or man-made disasters in affected areas; (b) facilitate the return of peace and/or normalisation of life as early as possible; and (c) lay the ground for reconciliation and all other necessary measures to secure peace and stability, thus preventing the affected areas from falling again to conflicts in the future. 24. Measures can be pursued in promoting humanitarian relief activities, including intensifying cooperation with the United Nations and other organisations, as well as capacity building for people in affected areas. B.3.1.
Strengthen ASEAN humanitarian assistance
Actions: i. Provide basic services or assistance to bring relief to victims of conflict in consultation ii. with the receiving State; Promote cooperation for orderly repatriation of refugees/displaced persons and iii. resettlement of internally displaced persons; iv. Promote the safety of the humanitarian relief assistance workers; Develop common operating procedures for the provision of humanitarian assistance v. in the event of conflict; Intensify cooperation with the United Nations and promote the role and contributions vi. of relevant international organisations on humanitarian assistance; vii. Promote civil-military dialogue and coordination in humanitarian assistance; and Expand the role and contribution of women in field-based humanitarian operations. B.3.2. Implement human resources development and capacity building programmes in post-conflict areas
Actions: i. ii. Draw up guidelines for training and capacity-building needs assessment; iii. Identify priority training topics; Design training programmes in the identified priority topics and development of
12
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
iv. training materials; v. Implement annual programmes in each target area; Develop cooperation programmes with relevant external parties and financial institutions to promote Human Resources Development and capacity building in post-conflict vi. reconstruction and peace building; and Work towards the development of a systematic training programme for formal and community educators in the field of peace education and reconciliation, which can be conceptualised and implemented. B.3.3. Increase cooperation in reconciliation and further strengthen peace-oriented values
B.4.
Actions: i. Undertake studies to increase cooperation in reconciliation and further strengthen ii. peace-oriented values; Promote public participation in the development of cooperation in post-conflict reconstruction and rehabilitation including the encouragement of comprehensive input of academia, media, non-governmental organisations, civil society and community iii. groups; and Promote inter-communal understanding through exchange activities. Non-Traditional Security Issues
25. A key purpose of ASEAN is to respond effectively and in a timely manner, in accordance with the principles of comprehensive security, to all forms of threats, transnational crimes and transboundary challenges. B.4.1.
Strengthen cooperation in addressing non-traditional security issues, particularly in combating transnational crimes and other transboundary challenges
Actions: i. Implement effectively eight priority areas in the Work Programme to Implement the ii. Plan of Action to Combat Transnational Crime; Endeavour to ratify the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters among iii. ASEAN Member States and work towards elevating it to an ASEAN treaty; Continue the work of the working group, as mandated by the ASEAN Law Ministers’ iv. Meeting, to enhance cooperation on the issue of extradition; Further strengthen criminal justice responses to trafficking in persons, bearing in mind the need to protect victims of trafficking in accordance with the ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, and where applicable, v. other relevant international conventions and protocols on trafficking in persons; vi. Enhance cooperation to combat people-smuggling; Work towards a drug-free ASEAN by 2015, in accordance with the ASEAN Work Plan for Combating Illicit Drug-Trafficking, by: strengthening measures to prevent the illicit production of drugs, import and export of controlled chemical precursors as well as regional cooperation in controlled delivery; and enhancing cross-border law enforcement cooperation through information sharing, best practices, and capacity building, in
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
13
vii. combating drug-trafficking; Develop multilateral or bilateral legal arrangements towards combating drug and viii. precursor chemical trafficking starting in 2008; Provide assistance to ASEAN Member States in enhancing scientific laboratory capacity in precursor identification and drugs signature analysis for drug enforcement ix. operation and intelligence; Provide transfer of knowledge concerning the profile of drug crime syndicate groups x. as well as watch-list of their drug activities; Provide transfer of knowledge on best practices on the disposal of precursors and xi. essential chemicals seized from clandestine laboratories; Strengthen the capacity of the criminal justice system including judges, prosecutors xii. and law enforcement officials on drug control; Enhance cooperation with relevant external parties in combating transnational crimes, xiii. including countering terrorism; Enhance cooperation and coordination among existing ASEAN sectoral bodies in dealing xiv. with transnational crimes; Strengthen close cooperation among ASEAN Member States, to combat IUU fishing in the region and where applicable, through the implementation of the IPOA - IUU fishing xv. and work towards the establishment of ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFCF); Promote full implementation by relevant sectoral bodies, to prevent, combat and eradicate the illicit trade in small arms and light weapons in all its aspects, in accordance with the UN Programme of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All its Aspects (UN PoA) and the International Instrument to enable States to Identify and Trace, in Timely and Reliable xvi. Manner, Illicit Small Arms and Light Weapons (International Tracing Instrument); Strengthen cooperation and assistance in combating and suppressing cyber crimes including cooperation among law enforcement agencies, taking into account the need xvii. of each country to develop laws to address cyber crimes; Forge closer cooperation in fighting against sea piracy, armed robbery against ships, xviii. hijacking and smuggling, in accordance with international laws; and Strengthen cooperation in the field of border management to jointly address matters of common concern, including forgeries of identification and travel documents, by enhancing the use of relevant technologies to effectively stem the flow of terrorists and criminals. B.4.2. Intensify counter-terrorism efforts by early ratification and full implementation of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism
Actions: i. Work towards the entry into force of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) by 2009 its ratification by all ASEAN Member States, and promote effective ii. implementation of the Convention; Endeavour to accede and ratify the relevant international instruments on counter iii. terrorism; Promote effective implementation of the ASEAN Comprehensive Plan of Action on iv. Counter-Terrorism; and Cooperate to support development initiatives aimed at addressing the root causes of
14
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
B.5.
terrorism and conditions conducive on to terrorism. Strengthen ASEAN Cooperation Disaster Management and Emergency Response
Actions: i. Enhance joint effective and early response at the political and operational levels in activating the ASEAN disaster management arrangements to assist affected countries ii. in the event of major disasters; Enhance civilian-military coordination in providing effective and timely response to iii. major natural disasters; Finalise the SOP for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations for establishing joint operations in providing relief aid to disaster affected areas of Member States in line with the iv. ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER); Work towards effective interface on disaster management between ASEAN and other ASEAN-related bodies such as the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Plus Three and East Asia Summit (EAS) in a manner that will enhance ASEAN’s disaster management v. capacities; and Develop ARF strategic guidelines for humanitarian assistance and disaster relief cooperation. Effective and timely response to urgent issues or crisis situations affecting ASEAN
B.6.
Action: i. Convene special meetings at the Leaders’ or Ministerial levels in the event of crisis or emergency situations affecting ASEAN; and develop arrangements to address such situations in a timely manner.
C.
A Dynamic and Outward-looking Region in An Increasingly Integrated and Interdependent World
26. ASEAN fosters and maintains friendly and mutually beneficial relations with external parties to ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with the world at large in a just, democratic and harmonious environment. ASEAN remains outward-looking and plays a pivotal role in the regional and international fora to advance ASEAN’s common interests. 27. Through its external relations, ASEAN will exercise and maintain its centrality and proactive role as the primary driving force in an open, transparent and inclusive regional architecture to support the establishment of the ASEAN Community by 2015. C.1.
Strengthening ASEAN Centrality in Regional Cooperation and Community Building
Actions: i. Initiate, host, Chair and/or Co-Chair activities and meetings with Dialogue Partners, ii. other external parties, and within the context of ASEAN Plus Three, EAS and ARF;
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
C.2.
C.3.
15
Explore, initiate and implement concrete cooperation activities on actions as stipulated in various agreed documents including the APSC Blueprint under the existing iii. regional frameworks; Advance the ARF towards Preventive Diplomacy in a phased and prudent manner while continuing with Confidence Building Measures; while also engaging other iv. regional and international organisations and Track II organisations in the process; and Enhance coordination in ASEAN’s external relation and regional and multilateral fora. Promoting enhanced ties with External Parties Actions: i. Promote activities to raise awareness of ASEAN and enhance ASEAN’s interests, including ii. the establishment of ASEAN Committees in Third Countries where appropriate; Explore cooperation projects with regional organisations such as the GCC, ECO, Rio iii. Group, SAARC and SCO; and Develop cooperation projects to implement the ASEAN-UN Memorandum of Understanding (MOU). Strengthening Consultations and Cooperation on Multilateral Issues of Common Concern
Action: i. Enhance consultations within ASEAN including by ASEAN Permanent Missions in United Nations and other International Organisations with the aim of promoting ASEAN’s interests.
III.
IMPLEMENTATION AND REVIEW OF THE APSC BLUEPRINT
A.
Implementation Mechanism
28. To ensure the success in implementing the APSC Blueprint, Member States shall integrate the programmes and activities of the Blueprint into their respective national development plans. 29. All relevant ASEAN senior official bodies or their equivalent shall be responsible in ensuring the implementation of the various elements, actions and commitments in the Blueprint by reflecting them in their respective work plans, mobilising resources for them, raising issues for the consideration of their respective ministerial bodies and the ASEAN Leaders, and undertaking national initiatives in order to meet these commitments. 30. The Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security Community Plan of Action (ASCCO) shall continue to serve as the platform in coordinating the efforts of various sectoral bodies through exchanges ofinformation, best practices, and lessons learned in the implementation of the APSC Blueprint. ASCCO’s new initiatives and recommendations on emerging issues shall be reported to the ASEAN Political-Security Council. 31. The ASEAN Political-Security Community (APSC) Council shall be responsible for the overall implementation of the Blueprint and shall ensure coordination of efforts under its purview as well as those which cut across the other Community Councils.
16
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
32. Progress of implementation of the APSC Blueprint shall be reported annually by the Secretary-General of ASEAN to the annual ASEAN Summit, through the APSC Council.
B.
Resource Mobilisation
33. Financial resources to implement the Blueprint will be mobilised by ASEAN Member States, as well as from various facilities including the ASEAN Development Fund (ADF), Dialogue Partners, donor countries, international agencies, the private sector, and non-governmental organisations.
C.
Communication Strategy
34. To ensure the success of establishing the APSC, a comprehensive communication plan will be developed and launched at the national and regional levels. This will not only create greater public awareness of the various initiatives, outcomes and issues of the APSC, but also enable all stakeholders to be involved in the process.
D.
Review Mechanism
35. The APSC Blueprint shall be reviewed and evaluated to ensure that all the activities are responsive to the needs and priorities of ASEAN, taking into account the changing dynamics of the region and the global environment. The review and evaluation shall be conducted biennially by the ASCCO, in co-ordination with the ASEAN Secretariat. In the course of the review and evaluation, ASEAN Member States are given the flexibility to update the Blueprint. As in the progress of implementation of the APSC Blueprint, the results of the review and evaluation shall be reported by the Secretary-General of ASEAN to the ASEAN Summit through the APSC Council.