Prolog
T
entu saja,
Alison tetap Alison. Ia-lah tempat untuk
curhat, satu-satunya yang kau inginkan menelepon
cowok yang kau taksir untuk mengetahui perasaan cowok������������� itu padamu, dan ������������������������������ pendapat terakhir tentang apakah jeans barumu membuat bokongmu tampak besar. Tetapi, gadis-gadis itu juga takut padanya. Ali tahu lebih banyak tentang mereka daripada siapa pun, termasuk hal-hal buruk yang mereka ingin pendam� ������� — seperti tubuh. Mengerikan rasanya memikirkan bahwa Ali mungkin sudah mati, tetapi... jika memang begitu, setidaknya rahasia mereka aman. Dan mereka memang aman. Setidaknya, selama tiga tahun.
Untuk JSW
Tiga orang bisa menyimpan rahasia, jika dua di antaranya mati.
—� Benjamin �������� � Franklin �������
Bagaimana Semuanya Berawal
B
ayangkan bahwa saat ini beberapa tahun yang lalu, musim panas antara kelas satu dan dua
SMP. Kulitmu cokelat karena berbaring di tepi kolam renangmu yang dipagari bebatuan, kau memakai setelan joging juicy sweat barumu (ingat saat semua orang memakainya?), dan kau memikirkan cowok yang kau taksir, cowok yang bersekolah di sekolah persiapan kuliah yang satu lagi itu yang namanya tidak akan kami sebut dan bekerja melipat jeans di Abercrombie di mal. Kau menyantap Cocoa Krispies-mu persis seperti kau menginginkannya—dicelup di susu rendah lemak—dan kau melihat wajah cewek ini di sisi karton susu. Hilang. Dia manis—mungkin lebih manis daripadamu—dan matanya memancarkan sinar berani. Kau berpikir, Hmm, mungkin dia juga suka Cocoa Krispies lembek. Dan, kau bertaruh dia juga bakal menganggap si cowok Abercrombie keren. Kau bertanya-tanya bagaimana
seseorang yang begitu... well, begitu mirip dirimu hilang. Kau mengira hanya cewek-cewek yang ikut kontes kecantikan yang berakhir di sisi karton susu. Well, pikirkan lagi.
Aria Montgomery mengubur wajahnya di lapangan rumput di rumah teman baiknya, Alison DiLaurentis. “Sedap,” gumamnya. “Apa kau sedang mencium rumput?” panggil Emily Fields dari belakangnya, sambil menutup pintu mobil Volvo-wagon ibunya. “Baunya enak.” Aria menyingkirkan rambutnya yang dicat garis-garis pink dan menghirup udara sore hari yang hangat. “Seperti musim panas.” Emily melambai pada ibunya dan menarik jeans kedodoran����������������� yang tergantung ��������������������������� di pinggul kurusnya. Emily sudah jadi perenang kompetisi sejak Liga Tadpole. Dan meskipun ia tampak keren dalam pakaian renang Speedo, ia tidak pernah memakai pakaian ketat atau yang mendekati imut seperti cewek-cewek lain di kelasnya. Itu karena orangtua Emily bersikeras bahwa karakter dibangun dari dalam keluar (Meskipun Emily sangat yakin bahwa dipaksa menyembunyikan T-shirt ketat dengan tulisan irish girls do it better-nya di pojok laci pakaian dalamnya tidak benar-benar mengembangkan karakter).
“Hei teman-teman!” Alison menari berputar-putar melintasi halaman depan. Rambutnya diikat ke atas membentuk kuncir ekor kuda berantakan, dan ia masih memakai rok hockey lapangannya yang digulung ke atas dari pesta akhir tahun tim sore itu. Alison adalah satusatunya anak kelas satu SMP yang masuk ke tim JV dan bisa pulang naik mobil dengan cewek-cewek Rosewood Day School yang lebih tua, yang memutar musik Jay-Z keras-keras dari jip Cherokee mereka dan menyemprot Alison dengan parfum sebelum menurunkannya, sehingga����������������������������������������������� ia tidak berbau rokok yang telah mereka isap. “Apa yang kulewatkan?” sapa Spencer Hastings, sambil menyelinap melalui sebuah celah di pagar tanaman Ali untuk bergabung dengan yang lainnya. Spencer tinggal di rumah sebelah. Ia menyibakkan kuncir ekor kuda panjang dan halus berwarna pirang gelapnya ke balik bahu dan menyesap air dari botol Nalgene ungunya. Spencer tidak lolos seleksi tim JV bersama Ali tahun lalu, dan harus bermain di tim kelas satu. Ia bermain hockey lapangan gila-gilaan selama setahun penuh untuk menyempurnakan permainannya, dan gadis-gadis itu tahu ia sejak tadi berlatih dribble di halaman belakang sebelum mereka sampai. Spencer benci jika ada orang lain yang lebih baik daripada dirinya dalam hal apa pun. Terutama Alison. “Tunggu aku!”
Mereka menoleh untuk melihat Hanna Marin turun dari mobil Mercedes ibunya. Ia tersandung tas kanvasnya dan melambai-lambaikan kedua lengan gemuknya dengan liar. Sejak orangtua Hanna bercerai tahun lalu, ia perlahan-lahan bertambah gemuk dan tidak muat lagi untuk baju-baju lamanya. Meskipun Ali memutar bola matanya, gadis-gadis yang lain berpura-pura tidak melihat. Itulah yang harus dilakukan teman baik. Alison, Aria, Spencer, Emily, dan Hanna berteman setahun yang lalu ketika orangtua mereka mengajukan mereka untuk bekerja setiap Sabtu sore di gerakan amal Rosewood Day School—well, kecuali Spencer yang mengajukan dirinya sendiri. Meskipun Alison bisa jadi tidak mengenal keempat gadis itu, keempat gadis itu mengenal Alison. Ia sempurna. Cantik, cerdik, cerdas. Populer. Cowok-cowok ingin mencium Alison, dan para cewek—yang lebih tua sekalipun—ingin menjadi dirinya. Jadi, pertama kali Ali tertawa mendengar salah satu gurauan Aria, menanyakan sesuatu tentang renang kepada Emily, mengatakan pada Hanna bahwa T-shirtnya lucu, dan berkomentar bahwa tulisan tangan Spencer jauh lebih bagus daripada tulisan tangannya, keempat gadis itu mau tidak mau... well, terpesona. Sebelum bertemu Ali, gadis-gadis itu merasa seperti jeans ibu-ibu yang berlipit-lipit dan berpinggang tinggi—canggung dan menonjol karena semua alasan yang salah—tetapi
10
saat itu Ali membuat mereka merasa seperti gaun Stella McCartney paling pas yang tidak bisa dibeli siapa pun. Sekarang, lebih dari setahun kemudian, pada hari terakhir kelas satu SMP, mereka bukan saja telah menjadi teman baik, tetapi telah menjadi cewekcewek terpopuler di Rosewood Day. Banyak hal telah terjadi yang mewujudkan hal itu. Setiap acara menginap bersama yang mereka lakukan, setiap darmawisata, telah menjadi petualangan baru. Bahkan homeroom tidak terlupakan saat mereka bersama-sama. (Membaca pesan panas kapten tim olahraga sekolah kepada guru matematikanya lewat pengeras suara sekarang menjadi legenda Rosewood Day.) Tetapi, ada hal-hal lain yang mereka semua ingin lupakan. Dan, ada satu rahasia yang bahkan tidak sanggup mereka bicarakan. Ali berkata bahwa rahasialah yang mengikat persahabatan erat antara mereka berlima untuk selamanya. Jika itu benar, mereka akan berteman seumur hidup. “Aku sangat senang hari ini sudah berakhir.” Alison mengerang sebelum perlahan mendorong Spencer kembali melalui celah di pagar tanaman. “Lumbungmu.” “Aku sangat senang kelas satu SMP sudah berakhir,” ujar Aria sementara ia, Emily, dan Hanna mengikuti Alison dan Spencer ke wisma-bekas-lumbung yang Aula sekolah tempat para siswa berkumpul setiap pagi untuk diabsen, menerima pengumuman penting, dan lain-lain.
11
sudah direnovasi tempat kakak perempuan Spencer, Melissa, tinggal selama tahun-tahun SMP dan SMAnya. Untungnya, ia baru lulus dan akan pergi ke Praha musim panas ini, jadi lumbung itu akan menjadi milik mereka malam itu. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang sangat mencicit. “Alison! Hei, Alison! Hei, Spencer!” Alison menoleh ke jalan. “Not it,” bisiknya. “Not it,” Spencer, Emily dan Aria buru-buru mengikuti. Hanna mengernyit. “Sial.” Permainan itu dicuri Ali dari kakak lelakinya, Jason, seorang murid senior di Rosewood Day. Jason dan teman-temannya memainkannya di pesta kebun antar-sekolah persiapan saat menilai cewek-cewek. Menjadi yang terakhir menyebut “not it” atau “tidak keren” berarti kau harus menemani cewek yang jelek malam itu sedangkan teman-temanmu bisa berkencan dengan teman-temannya yang cantik—yang berarti, pada dasarnya, kau sama payah dan tidak menariknya dengan cewek itu. Dalam versi Ali, gadis-gadis itu menyebut “not it” setiap kali ada orang jelek, tidak keren atau tidak beruntung di dekat mereka. Kali ini, “not it”-nya adalah Mona Vanderwaal—si culun dari seberang jalan yang hobi favoritnya berusaha berteman dengan Spencer dan Alison—dan dua teman
12
anehnya, Chassey Bledsoe dan Phi Templeton. Chassey cewek yang telah membajak sistem komputer sekolah dan lalu memberi tahu kepala sekolah cara memperketat keamanannya, dan Phi Templeton pergi ke mana-mana membawa yo-yo—tidak perlu dijelaskan lagi. Tiga serangkai itu menatap gadis-gadis itu dari tengah jalan pinggiran kota yang tenang. Mona bertengger di atas skuter Razor-nya, Chassey di atas sebuah sepeda gunung hitam, dan Phi berjalan kaki—dengan yo-yo-nya, tentu saja. “Kalian mau mampir dan nonton Fear Factor?” ajak Mona. “Sori,” Alison tersenyum konyol. “Kami agak sibuk.” Chassey mengernyit. “Masa kalian tidak mau menonton saat mereka makan serangganya?” “Jijay!” bisik Spencer pada Aria, yang lalu mulai pura-pura menjilat kutu tak tampak dari ubun-ubun Hanna seperti monyet. “Yeah, seandainya bisa.” Alison menelengkan kepala. “Kami sudah agak lama merencanakan acara menginap ini. Tetapi mungkin lain kali?” Mona menatap trotoar. “Yeah, oke.” “Sampai ketemu.” Alison berbalik, memutar bola mata, dan teman-temannya menirukannya.
13
Mereka melintas melalui gerbang belakang Spencer. Di sebelah kiri mereka terdapat halaman belakang Ali yang letaknya bersebelahan, tempat orangtuanya sedang membangun gazebo dengan dua puluh tempat duduk untuk piknik luar ruangan mewah mereka. “Syukurlah para tukang tidak sedang di sini,” ujar Ali, sambil melirik sebuah buldoser kuning. Emily menegang. “Apa mereka bicara yang tidaktidak lagi padamu?” “Tenang, Killer,” ujar Alison. Yang lain terkikik. Kadang-kadang mereka memanggil Emily “Killer” seperti nama anjing pit bull Ali. Emily dulu mendapatinya lucu juga, tetapi belakangan ia tidak ikut tertawa. Lumbung itu berada tepat di depan. Tempatnya kecil dan nyaman serta memiliki jendela besar yang menghadap ke tanah pertanian Spencer yang luas dan tidak beraturan, serta memiliki kincir anginnya sendiri. Di Rosewood, Pennsylvania sini, sebuah daerah pinggiran kecil yang terletak sekitar tiga puluh dua kilometer dari Philadelphia, kau lebih berpeluang tinggal di rumah pertanian dengan dua puluh lima kamar serta kolam renang dan bak mandi air panas berubin mosaik, seperti di rumah Spencer, daripada di rumah-rumah gedongan. Rosewood beraroma seperti bunga lilac dan rumput baru dipangkas di musim panas dan salju bersih serta perapian kayu di musim dingin. Tempat itu penuh dengan pohon-
14
pohon cemara tinggi dan lebat, berhektar-hektar tanah pertanian keluarga bergaya pedesaan, dan rubah serta kelinci paling lucu. Daerah itu juga memiliki tempat perbelanjaan dan berbagai tanah milik era Kolonial yang mengagumkan serta taman-taman untuk pesta ulang tahun, pesta kelulusan, dan pesta suka-suka. Dan cowok-cowok Rosewood ganteng dalam arti berseri-seri, sehat dan seperti-baru-keluar-dari-brosur-Abercrombie. Inilah jalur kereta api utama Philadelphia. Daerah itu penuh dengan keturunan keluarga tua dan berdarah biru, keluarga kaya, dan boleh dibilang skandal kuno. Ketika mencapai lumbung, gadis-gadis itu mendengar� ���������� suara cekikikan dari dalam. Seseorang memekik, “Kubilang, hentikan!” “Oh, Tuhan,” erang Spencer. “Apa yang dia lakukan di sini?” Ketika Spencer mengintip melalui lubang kunci, ia bisa melihat Melissa, kakaknya yang santun dan serbabisa, dan Ian Thomas, pacarnya yang keren, tengah bergulat di atas sofa. Spencer menendang pintu dengan tumit sepatunya, membukanya paksa. Lumbung itu tercium seperti lumut dan popcorn setengah hangus. Melissa berbalik. “Apa-apaan—?” tanyanya. Lalu ia melihat yang lain dan tersenyum. “Oh, hei semua.”
15
Gadis-gadis itu mengamati Spencer. Ia selalu mengeluh bahwa Melissa cewek berengsek beracun, sehingga mereka selalu heran ketika Melissa tampak ramah dan manis. Ian berdiri, meregangkan tubuh, dan menyeringai pada Spencer. “Hei.” “Hei, Ian,” jawab Spencer dengan suara jauh lebih ceria. “Aku tidak tahu kau di sini.” “Ya, kau tahu.” Ian tersenyum menggoda. “Kau sedang memata-matai kami.” Melissa merapikan kembali rambut pirang panjang dan bando sutra hitamnya, sambil menatap adiknya. “Jadi, ada apa?” tanyanya agak menuduh. “Cuma... aku tidak bermaksud menerobos masuk...,” ujar Spencer terputus-putus. “Tetapi kami semestinya menginap di sini malam ini.” Ian dengan main-main memukul lengan Spencer. “Aku cuma menakut-nakutimu,” candanya. Secercah rona merah menjalari leher Spencer. Ian mempunyai rambut pirang berantakan, mata berwarna hazelnut sayu dan otot perut yang benar-benar menggiurkan. “Wow,” ujar Ali dengan suara agak terlalu keras. Semua menoleh padanya. “Melissa, kau dan Ian pasangan paling iiiii-mut sedunia. Aku tidak pernah
16
bilang begitu, tetapi aku selalu berpikir begitu. Kau setuju ’kan, Spencer?” Spencer mengerjap. “Um,” ujarnya pelan. Melissa menatap Ali sejenak, kebingungan, dan lalu kembali menoleh pada Ian. “Bisakah aku bicara denganmu di luar?” Ian menurunkan Corona-nya sementara para gadis itu mengawasi. Mereka hanya pernah minum diam-diam dari botol-botol di lemari minuman keras orangtua mereka. Ian menaruh botol kosong itu dan melayangkan cengiran perpisahan pada mereka sembari mengikuti Melissa keluar. “Sampai nanti, Ladies.” Ia mengedip sebelum menutup pintu di belakangnya. Alison membersihkan kedua tangannya. “Satu masalah lagi dibereskan oleh Ali D. Apa kau akan berterima kasih padaku sekarang, Spencer?” Spencer tidak menjawab. Ia terlalu sibuk memandang keluar jendela depan lumbung. Percik-percik kilat telah mulai menerangi langit yang keunguan. Hanna menghampiri mangkuk popcorn yang terlupakan dan meraup segenggam penuh. “Ian cakep banget. Dia, kayak, lebih cakep dari Sean.” Sean Ackard adalah salah satu cowok tercakep di tingkat mereka dan merupakan objek fantasi tetap Hanna.
17
“Kau tahu apa yang kudengar?” tanya Ali, sambil mengempaskan diri ke sofa. “Sean benar-benar suka cewek dengan selera makan sehat.” Hanna berbinar. “Benarkah?” “Tidak.” Alison mendengus. Hanna pelan-pelan menjatuhkan segenggam popcorn itu kembali ke mangkuk. “Jadi, Girls,” ujar Ali. “Aku tahu hal terbaik yang bisa kita lakukan.” “Kuharap kita tidak bertelanjang-ria lagi,” kikik Emily. Mereka melakukan itu sebulan lalu—dalam cuaca yang luar biasa dingin—dan meskipun Hanna menolak melepas baju dalam dan celana dalam untuksetiap-hari-dalam-seminggu-nya, yang lain telah berlari melintasi ladang jagung gundul di dekat sana tanpa sehelai benang pun. “Kau agak terlalu menyukai itu,” gumam Ali. Senyum itu memudar dari bibir Emily. “Tetapi tidak—aku sengaja menyiapkan ini untuk hari terakhir sekolah. Aku sudah belajar cara menghipnotis orang.” “Hipnotis?” ulang Spencer. “Adik Matt yang mengajariku,” jawab Ali, sambil menatap foto berbingkai Melissa dan Ian di rak atas perapian. Cowok Ali minggu ini, Matt, mempunyai rambut berwarna pasir sama seperti Ian. “Bagaimana kau melakukannya?” tanya Hanna.
18
“Maaf, dia menyuruhku bersumpah tidak ����� mengatakannya����������������������������������������������� ,” ujar Ali, sambil berpaling kembali. “Kalian ingin lihat apakah itu berhasil?” Aria mengerutkan dahi, sambil duduk di sebuah bantal lantai berwarna lavender. “Entahlah...” “Kenapa tidak?” Mata Ali sejenak melirik boneka babi yang mengintip dari tas besar Aria yang terbuat dari rajutan bahan sweter ungu. Aria selalu membawa-bawa berbagai barang aneh—boneka binatang, halaman yang dirobek acak dari novel-novel tua, dan kartu pos dari berbagai tempat yang belum pernah dikunjunginya. “Bukankah hipnosis membuatmu mengucapkan hal-hal yang tidak ingin kau katakan?” tanya Aria. “Adakah sesuatu yang tidak bisa kau katakan pada kami?” jawab Ali. “Dan kenapa kau masih membawa boneka babi itu kemana-mana?” Ia menunjuk boneka itu. Aria mengangkat bahu dan menarik keluar boneka babi itu dari tasnya. “Ayahku membelikanku Pigtunia di Jerman. Dia menasihatiku tentang kehidupan cintaku.” Dimasukkannya tangannya ke dalam boneka itu. “Kau memasukkan tanganmu ke pantatnya!” Ali memekik dan Emily mulai cekikikan. “Lagi pula, kenapa kau mau membawa-bawa sesuatu yang diberikan ayahmu kepadamu?”
19
“Itu tidak lucu,” bentak Aria, sambil berbalik menghadap Emily. Semua orang terdiam selama beberapa detik, dan gadis-gadis itu saling berpandangan kosong. Hal ini sering terjadi akhir-akhir ini: seseorang—biasanya Ali—mengatakan sesuatu, dan orang lain menjadi jengkel, tetapi semua orang terlalu malu untuk bertanya apa yang terjadi. Spencer memecah keheningan. “Dihipnotis, um, memang agak kedengaran aneh.” “Kau tidak tahu apa-apa tentang itu,” ujar Alison cepat. “Ayolah. Aku bisa melakukannya pada kalian semua sekaligus.” Spencer mencubit-cubit ikat pinggang roknya. Emily mengembuskan udara lewat giginya. Aria dan Hanna bertukar pandang. Ali selalu mengusulkan berbagai ide untuk mereka coba—musim panas lalu, idenya adalah merokok biji dandelion untuk melihat apakah mereka akan berhalusinasi, dan musim gugur kemarin ini mereka berenang di Pecks Pond, meskipun sesosok mayat pernah ditemukan di sana—tetapi masalahnya adalah mereka sering kali tidak mau melakukan hal-hal yang Alison paksa mereka lakukan. Mereka semua mencintai Ali, tetapi kadang-kadang membencinya juga—karena memerintah-merintah mereka dan karena sihir yang ditebarkannya pada mereka. Kadang-kadang jika Ali
20
ada, mereka tidak merasa benar-benar nyata. Mereka merasa seperti boneka, dengan Ali yang mengatur setiap gerakan mereka. Masing-masing ingin, sekali saja, sanggup mengatakan tidak pada Ali. “Pliiiiiiiiisss?” tanya Ali. “Emily, kau mau melakukannya ’kan?” “Um...” suara Emily bergetar. “Well...” “Aku akan melakukannya,” Hanna menyela. “Aku juga,” ujar Emily sesaat kemudian. Spencer dan Aria dengan enggan mengangguk. Puas, Alison mematikan semua lampu dan menyalakan lilin-lilin nazar beraroma vanila manis yang terletak di atas meja kopi. Lalu ia melangkah mundur dan bersenandung. “Oke, semua, santai saja,” gumamnya, dan gadisgadis itu duduk membentuk lingkaran di atas karpet. “Detak jantungmu sekarang melambat. Pikirkan pikiranpikiran menenangkan. Aku akan menghitung mundur dari seratus, dan begitu aku menyentuh kalian semua, kalian akan berada dalam kekuasaanku.” “Seram.” Emily tertawa gemetar. Alison mulai menghitung. “Seratus... sembilan puluh sembilan... sembilan puluh delapan... ” Dua puluh dua... Sebelas... Lima...
21
Empat... Tiga... Ia menyentuh dahi Aria dengan bagian paling tebal ibu jarinya. Spencer melepaskan lipatan kakinya. Aria menggerakkan kaki kirinya. “Dua...” Ia perlahan menyentuh Hanna, lalu Emily, dan lalu bergerak ke arah Spencer. “Satu.” Mata Spencer membuka sebelum Alison bisa menjangkaunya. Ia melompat bangun dan berlari ke jendela. “Apa yang kau lakukan?” bisik Ali. “Kau merusak momennya.” “Terlalu gelap di sini.” Spencer menjangkau ke atas dan membuka gorden. “Tidak.” Alison menurunkan kedua bahunya. “Memang harus gelap. Begitulah caranya.” “Yang benar saja, bukan begitu caranya.” Kerainya tersangkut; Spencer menggerung untuk melepaskannya. “Tidak. Memang begitu caranya.” Spencer berkacak pinggang. “Aku ingin ruangan lebih terang. Mungkin semuanya juga.” Alison memandang yang lainnya. Mereka semua masih memejamkan mata. Spencer tidak mau menyerah. “Semua tidak harus selalu seperti keinginanmu, kau tahu, Ali?” Alison terbahak. “Tutup kerainya!”
22
Spencer memutar bola matanya. “Ya ampun, minum obat sana.” “Menurutmu, aku harus minum obat?” tuntut Alison. Spencer dan Alison saling bertatapan beberapa saat lamanya. Perdebatan itu termasuk salah satu perdebatan konyol yang bisa saja tentang siapa yang lebih dulu melihat gaun polo Lacoste baru di Neiman Marcus atau apakah highlight warna madu tampak terlalu nakal, tetapi hal itu benar-benar tentang persoalan yang sama sekali berbeda. Jauh lebih besar. Akhirnya, Spencer menunjuk pintu. “Pergi.” “Oke.” Alison melangkah panjang-panjang keluar. “Bagus!” Tetapi setelah beberapa detik, Spencer mengikutinya. Udara malam yang kebiruan tenang, dan tidak ada lampu menyala di rumah utama keluarganya. Rumah itu juga hening—bahkan jangkrik pun tidak bersuara—dan Spencer bisa mendengar napasnya sendiri. “Tunggu sebentar!” serunya sejenak kemudian, sambil membanting pintu menutup di belakangnya. “Alison!” Tetapi, Alison sudah pergi.
Saat ia mendengar pintu terbanting, Aria membuka matanya. “Ali?” panggilnya. “Teman-teman?” Tidak ada yang menjawab.
23
Ia memandang berkeliling. Hanna dan Emily duduk seperti gundukan di karpet, dan pintu terbuka. Aria keluar ke beranda. Tidak ada orang di sana. Ia berjingkatjingkat ke ujung halaman Ali. Hutan terbentang di hadapannya dan semuanya hening. “Ali?” bisiknya. Tidak ada jawaban. “Spencer?” Di dalam, Hanna dan Emily menggosok-gosok mata. “Aku baru bermimpi sangat aneh,” ujar Emily. “Maksudku, kukira itu mimpi. Terjadinya cepat sekali. Alison jatuh ke dalam sumur yang sangat dalam, dan ada banyak tanaman raksasa.” “Mimpiku juga begitu!” ujar Hanna. “Masa?” tanya Emily. Hanna mengangguk. “Well, seperti itulah. Ada tanaman besar di dalamnya. Dan kurasa aku melihat Alison juga. Mungkin itu bayangannya—tetapi itu jelas dia.” “Whoa,” bisik Emily. Mereka saling bertatapan dengan mata membelalak. “Teman-teman?” Aria kembali melangkah masuk melalui pintu. Ia tampak sangat pucat. “Kau tidak apa-apa?” tanya Emily. “Di mana Alison?” Aria mengerutkan dahi. “Dan Spencer?” “Kami tidak tahu,” ujar Hanna.
24
Tepat pada saat itu, Spencer menerobos kembali ke dalam rumah. Gadis-gadis itu terlompat. “Apa?” tanyanya. “Di mana Ali?” tanya Hanna pelan. “Aku tidak tahu,” bisik Spencer. “Kukira... entahlah.” Gadis-gadis itu terdiam. Yang bisa mereka dengar hanya ranting-ranting pohon yang meluncur melintasi jendela. Kedengarannya seperti orang yang menggoreskan kuku-kuku jarinya yang panjang di permukaan piring. “Kurasa aku ingin pulang,” ujar Emily.
Pagi berikutnya, mereka masih belum mendengar dari Alison. Keempat gadis itu saling menelepon untuk bicara, kali ini empat arah alih-alih lima. “Menurutmu dia marah pada kita?” tanya Hanna. “Dia tampak aneh semalaman.” “Mungkin dia di rumah Katy,” ujar Spencer. Katy adalah salah satu teman hockey Ali. “Atau mungkin dia bersama Tiffany—cewek dari perkemahan itu?” komentar Aria. “Aku yakin dia bersenang-senang di suatu tempat,” ujar Emily pelan. Satu per satu, mereka menerima telepon dari Mrs. DiLaurentis, bertanya apakah mereka mendengar dari Ali.
25
Awalnya, mereka mengarang-ngarang alasan untuknya. Itu sudah aturan tak tertulis: mereka mengarang-ngarang alasan untuk Emily saat ia menyelinap masuk setelah lewat jam malam akhir pekannya pukul 11 malam; mereka berbohong untuk Spencer ketika ia meminjam mantel duffel Ralph Lauren Melissa dan tidak sengaja meninggalkannya di tempat duduk kereta SEPTA; dan seterusnya. Tetapi ketika mereka masing-masing memutuskan pembicaraan dengan Mrs. DiLaurentis, perasaan tidak enak mengembang di perut mereka. Ada sesuatu yang rasanya sangat tidak beres. Sore itu, Mrs. DiLaurentis menelepon lagi, kali ini dengan suara panik. Saat malam tiba, keluarga DiLaurentis telah menelepon polisi, dan pagi berikutnya sudah banyak mobil polisi dan van berita yang parkir di halaman depan keluarga DiLaurentis yang biasanya rapi. Berita itu bagaikan mimpi basah saluran berita setempat: gadis kaya cantik, hilang di salah satu kota kelas atas teraman di negara itu. Hanna menelepon Emily setelah menonton laporan berita malam tentang Ali yang pertama. “Apakah polisi mewawancaraimu hari ini?” “Yeah,” bisik Emily. “Aku juga. Kau tidak memberi tahu mereka tentang...” Ia terdiam sejenak. “Tentang Peristiwa Jenna, ’kan?”
26
“Tidak!” kesiap Emily. “Kenapa? Kau kira mereka mengetahui sesuatu?” “Tidak... tidak mungkin mereka tahu,” bisik Hanna sedetik kemudian. “Hanya kita yang tahu. Kita berempat... dan Alison.” Polisi mewawancarai semua gadis itu—bersama hampir semua orang dari Rosewood, mulai dari guru senam kelas dua Ali sampai cowok yang pernah menjual rokok Marlboro padanya di Wawa. Saat itu musim panas sebelum kelas dua SMP dan gadis-gadis itu seharusnya sedang bermain mata dengan cowokcowok yang lebih tua di pesta kolam renang, makan jagung rebus di pekarangan belakang satu sama lain, dan belanja seharian di King James Mall. Malah, mereka menangis sendirian di tempat tidur berkanopi mereka atau menatap kosong ke dinding mereka yang dipenuhi foto. Spencer gila-gilaan membersihkan kamar, meninjau ulang alasan sesungguhnya pertengkarannya dengan Ali, dan memikirkan hal-hal yang diketahuinya tentang Ali yang tidak diketahui teman-temannya yang lain. Hanna menghabiskan berjam-jam di lantai kamar tidurnya, menyembunyikan kantong-kantong Cheetos kosong ke bawah ranjangnya. Emily tidak bisa berhenti memikirkan surat yang dikirimnya kepada Ali sebelum gadis itu menghilang. Apakah Ali pernah menerimanya? Aria duduk di mejanya dengan Pigtunia. Lambat-laun,
27
mereka mulai jarang saling menelepon. Pikiran yang sama menghantui mereka berempat, tetapi tidak ada lagi yang bisa mereka katakan kepada satu sama lain. Musim panas itu berganti menjadi tahun ajaran, yang berganti ke musim panas berikutnya. Ali masih menghilang. Polisi terus mencari—tetapi secara diamdiam. Media kehilangan minat mereka, beralih pada obsesi tentang tiga pembunuhan di Center City. Bahkan, keluarga DiLaurentis pindah dari Rosewood hampir dua setengah tahun setelah Alison hilang. Sedangkan bagi Spencer, Aria, Emily dan Hanna, sesuatu juga berubah di dalam diri mereka. Sekarang jika mereka lewat di jalan tempat tinggal lama Ali dan memandang rumahnya, tangis mereka tidak meledak. Malah, mereka mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa lega. Tentu saja, Alison tetap Alison. Ia-lah tempat untuk curhat, satu-satunya yang kau inginkan menelepon cowok yang kau taksir untuk mengetahui perasaan cowok itu padamu, dan pendapat terakhir tentang apakah jeans barumu membuat bokongmu tampak besar. Tetapi gadis-gadis itu juga takut padanya. Ali tahu lebih banyak tentang mereka daripada siapa pun, termasuk hal-hal buruk yang mereka ingin pendam—seperti tubuh. Mengerikan rasanya memikirkan bahwa Ali mungkin
28
sudah mati, tetapi... jika memang begitu, setidaknya rahasia mereka aman. Dan mereka memang aman. Setidaknya, selama tiga tahun. *
29
1
Jeruk, Persik dan Limun, oh Astaga!
“S
eseorang akhirnya membeli rumah lama keluarga DiLaurentis,” ujar ibu Emily Fields. Saat
itu Sabtu sore, dan Mrs. Fields sedang duduk di meja dapur, kacamata jauh-dekat bertengger di hidungnya, dengan tenang menghitung tagihannya. Emily merasakan Vanilla Coke yang sedang diminumnya mendesis naik ke hidungnya. “Kurasa anak perempuan lain seumurmu pindah ke sana,” lanjut Mrs. Fields. “Aku tadinya mau menaruh keranjang itu hari ini. Mungkin kau mau melakukannya untukku?” Ia menunjuk gundukan raksasa aneh berselotip di atas konter. “Ya ampun, Mom, tidak,” jawab Emily. Sejak pensiun dari mengajar sekolah dasar tahun lalu, ibu Emily telah menjadi wanita Penyambut Tamu tak resmi di Rosewood, Pennsylvania. Ia mengumpulkan jutaan barang beraneka-ragam—buah-buahan kering,
30
barang-barang karet pipih yang kau gunakan untuk membuka stoples, hiasan ayam keramik (ibu Emily terobsesi ayam), pedoman penginapan di Rosewood, apa saja—ke dalam satu keranjang anyaman selamat datang besar. Ia adalah tipe ibu-ibu pinggiran kota, hanya tanpa SUV. Menurutnya SUV terlalu pamer dan boros bensin, sehingga ia mengemudi wagon Volvo yang sangat praktis sebagai gantinya. Mrs. Fields berdiri dan menyisirkan jari-jarinya menembus rambut Emily yang rusak dengan klorin. “Apakah terlalu menyedihkan bagimu untuk pergi ke sana, Sayang? Mungkin aku sebaiknya menyuruh Carolyn?” Emily melirik kakaknya Carolyn, yang setahun lebih tua dan sedang berselonjor nyaman di kursi ��������� La-Z-Boy� ��� di ruang santai sambil menonton Dr. Phil. Emily menggeleng. “Tidak, tidak apa-apa. Aku saja yang melakukannya.” Tentu saja, Emily kadang-kadang mengeluh dan sesekali memutar bola matanya. Tetapi sebenarnya, jika ibunya meminta, Emily akan melakukan apa pun yang harus dilakukannya. Ia siswa dengan nilai-nilai nyaris sempurna, juara empat kali gaya kupu-kupu senegara bagian, dan putri yang sangat penurut. Menuruti aturan dan permintaan terasa mudah baginya. Selain itu, di dasar hatinya ia agak menginginkan alasan untuk melihat rumah Alison lagi. Meskipun
31
tampaknya��������������������������������������� penduduk Rosewood lain sudah mulai melupakan lenyapnya Ali tiga tahun, dua bulan dan dua belas hari yang lalu, Emily belum melupakannya. Sekarang pun, ia tidak bisa melirik buku tahunan kelas 1 SMP-nya tanpa ingin meringkuk menjadi bola. Kadang-kadang di hari berhujan, Emily masih membaca pesan-pesan lama Ali, yang disimpannya di kotak sepatu kets Adidas di bawah tempat tidurnya. Ia bahkan menyimpan celana korduroi Citizens yang dipinjamkan Ali kepadanya di gantungan baju kayu di dalam lemari bajunya, meskipun sekarang celana itu sangat kekecilan untuknya. Ia telah menghabiskan beberapa tahun terakhir yang sepi di Rosewood mendambakan teman lain seperti Ali, tetapi itu mungkin tidak akan terjadi. Ali bukan teman yang sempurna, tetapi terlepas dari semua kekurangannya, ia sangat sulit digantikan. Emily berdiri dan mengambil kunci Volvo dari gantungan di sebelah telepon. “Aku akan kembali sebentar lagi,” ujarnya sambil menutup pintu depan di belakangnya.
Hal pertama yang dilihatnya saat menghampiri rumah gaya Victoria lama Alison di ujung jalan penuh pepohonan������������������������������������ rindang itu adalah setumpuk sampah di ��� pinggir jalan dan papan tanda besar dengan tulisan
32
G ratis! Sambil menyipitkan mata, ia sadar bahwa sebagian barang-barang itu adalah milik Alison—ia mengenali kursi kamar tidur korduroi putih Ali yang lama dan terlalu tebal. Keluarga DiLaurentis sudah pindah hampir sembilan bulan lalu. Rupanya mereka meninggalkan beberapa barang. Emily memarkir mobil di belakang sebuah van pindahan���������������� Bekins raksasa dan ����������� keluar dari �������������������� Volvo. “Whoa,” bisiknya, sambil berusaha menjaga bibir bawahnya tidak bergetar. Di bawah kursi itu, ada beberapa tumpuk buku kotor. Emily menjangkau ke bawah dan melihat punggung-punggung bukunya. The Red Badge of Courage. The Prince and the Pauper. Ia ingat membaca buku-buku ini di kelas Bahasa Inggris Mr. Pierce di kelas 1 SMP, yang membahas tentang simbolisme, metafor dan penyelesaian. Ada lebih banyak buku di bawahnya, termasuk beberapa buku yang tampaknya cuma bukubuku catatan tua. Kotak-kotak tergeletak di sebelah tumpukan buku itu, ditandai dengan tulisan Baju-baju Alison dan kertas-kertas lama Alison. Sebuah pita birumerah tersembul keluar dari sebuah peti kayu. Emily menariknya sedikit. Barang itu adalah medali renang kelas enam yang ditinggalkannya di rumah Alison suatu hari ketika mereka menciptakan permainan bernama Dewi-dewi Seks Olimpiade. “Kau menginginkannya?”
33
Emily langsung menegakkan badan. Ia berhadapan dengan seorang cewek jangkung kurus dengan kulit berwarna kecoklatan dan rambut keriting berantakan berwarna cokelat kehitaman. Cewek itu memakai tank-top kuning yang salah satu talinya merosot ke bahu dan memperlihatkan tali bra berwarna oranye dan hijau. Emily tidak yakin, tetapi ia mengira ia punya bra yang sama di rumah. Bra itu dari Victoria’s Secret dan memiliki motif buah jeruk, persik dan limun kecil-kecil di seluruh, eh, bagian dada. Medali renang itu tergelincir dari tangannya dan jatuh berdenting ke tanah. “Um, tidak,” ujarnya, sambil buru-buru mengambilnya lagi. “Kau bisa mengambil yang mana saja. Lihat papannya?” “Tidak, sungguh, tidak apa-apa.” Cewek itu mengulurkan tangannya. “Maya St. Germain. Baru pindah kemari.” “Aku... ” Kata-kata Emily tersangkut di tenggorokan. “Aku Emily,” ujarnya akhirnya, sambil meraih tangan Maya dan menjabatnya. Rasanya formal sekali menjabat tangan seorang cewek—Emily tidak yakin pernah melakukannya sebelumnya. Ia merasa agak merinding. Mungkin ia belum makan cukup banyak Honey Nut Cheerios untuk sarapan?
34
Maya mengunjuk barang-barang di tanah. “Percayakah kau semua rombengan ini ada di kamar baruku? Aku harus mengeluarkan semuanya sendiri. Menyebalkan.” “Yeah, semua ini milik Alison,” Emily praktis berbisik. Maya membungkuk untuk memeriksa beberapa buku bersampul tipis itu. Ia menarik tali tank-top-nya kembali ke bahunya. “Apa dia temanmu?” Emily terdiam sejenak. Teman? Mungkin Maya belum mendengar tentang hilangnya Alison? “Um, dia dulu temanku. Dulu sekali. Bersama beberapa cewek lain yang tinggal di sekitar sini,” jelas Emily, tidak menyebut penculikan atau pembunuhan atau apa pun yang mungkin telah terjadi yang tidak sanggup dibayangkannya. “Di kelas 1 SMP. Aku sekarang mulai masuk kelas 2 SMA di Rosewood Day.” Sekolah akan mulai setelah akhir pekan ini. Begitu pula dengan latihan renang musim gugur, yang berarti tiga jam berenang bolak-balik setiap hari. Emily bahkan tidak ingin memikirkannya. “Aku akan masuk Rosewood juga!” Maya nyengir. Ia menjatuhkan diri ke kursi korduroi putih lama Alison, dan pernya berderit. “Yang dibicarakan orangtuaku dalam���������������������������������������������� penerbangan ke sini cuma betapa beruntungnya aku bisa masuk Rosewood dan betapa berbedanya sekolah itu nantinya dari sekolahku di California. Maksudku, aku bertaruh kalian tidak punya makanan
35
Meksiko, ’kan? Atau, kayak, makanan Meksiko yang benar-benar enak, seperti makanan Cali-Mexican. Kami dulu suka menyantapnya di kafetaria kami dan, mmm, rasanya sangat enak. Aku harus membiasakan diri dengan Taco Bell. Gordita-nya membuatku ingin muntah.” “Oh,” Emily tersenyum. Cewek ini jelas banyak bicara. “Yeah, makanan di sini agak payah.” Maya bangun dari kursi. “Ini mungkin pertanyaan aneh karena aku baru bertemu denganmu, tetapi maukah kau membantuku membawa sisa kotak-kotak ini ke kamarku?” Ia menunjuk beberapa kotak Crate & Barrel yang terletak di dasar truk. Mata Emily melebar. Pergi ke kamar lama Alison? Tetapi sangat tidak sopan jika ia menolak, ’kan? “Um, tentu saja,” ujarnya gemetar. Ruang depan rumah masih berbau seperti sabun Dove dan bunga rampai—persis seperti ketika keluarga DiLaurentis masih tinggal di sini. Emily berhenti di pintu dan menunggu Maya memberinya arahan, meskipun ia tahu ia bisa menemukan kamar lama Ali di ujung koridor atas dengan mata tertutup. Kotak-kotak pindahan tersebar di mana-mana, dan dua greyhound abu-abu tinggi kurus menyalak-nyalak dari balik pagar di dapur.
36
“Jangan pedulikan mereka,” ujar Maya sambil menaiki tangga ke kamarnya dan mendorong pintu terbuka dengan pinggulnya yang terbalut handuk. Wow, kelihatannya masih sama, pikir Emily ketika memasuki kamar tidur. Tetapi masalahnya adalah, kamar itu tidak tampak sama: Maya telah meletakkan tempat tidur ukuran queen-nya di sudut berbeda, ia mempunyai monitor komputer raksasa berlayar datar di meja tulisnya, dan ia menempelkan poster di mana-mana, menutupi kertas dinding bunga-bunga Alison yang dulu. Tetapi sesuatu terasa sama, seolah-olah kehadiran Alison masih mengambang di sini. Emily merasa pening dan bersandar ke dinding untuk menopang dirinya. “Letakkan di mana saja,” ujar Maya. Emily berusaha berdiri, meletakkan kotaknya di kaki tempat tidur, dan memandang berkeliling. “Aku suka poster-postermu,” katanya. Sebagian besar adalah poster band: M.I.A, Black Eyed Peas, Gwen Stefani dengan seragam pemandu sorak. “Aku suka Gwen,” tambahnya. “Yeah,” ujar Maya. “Pacarku terobsesi dengannya. Namanya Justin. Dia dari San Fran, tempat asalku.” “Oh, aku punya pacar juga,” ujar Emily. “Namanya Ben.” “Yeah?” Maya duduk di tempat tidurnya. “Seperti apa dia?”
37
Emily berusaha membayangkan Ben, cowoknya selama empat bulan ini. Ia baru melihatnya dua hari lalu—mereka menonton DVD Doom di rumah Emily. Ibu Emily ada di ruangan lain, tentu saja, sambil sesekali muncul, bertanya apakah mereka butuh sesuatu. Mereka sudah agak lama berteman baik, di tim renang tahunan yang sama. Semua rekan setim mereka memberi tahu mereka bahwa mereka sebaiknya berkencan, jadi mereka melakukannya. “Dia keren.” “Jadi, kenapa kau tidak berteman lagi dengan cewek yang dulu tinggal di sini?” tanya Maya. Emily menyingkirkan rambut pirang kemerahannya ke balik telinga. Wow. Jadi, Maya benar-benar tidak tahu tentang Alison. Tetapi jika Emily mulai bicara tentang Ali, ia mungkin akan mulai menangis—yang bakal aneh. Ia nyaris tidak kenal cewek bernama Maya ini. “Aku sudah tidak dekat lagi dengan semua teman kelas 1 SMP-ku. Semua orang banyak berubah, kurasa.” Itu benar-benar jauh dari kenyataan. Dari temanteman baik Emily yang lain, Spencer sudah menjadi versi lebih berlebihan kepribadian kelewat-sempurnanya; keluarga Aria tiba-tiba pindah ke Islandia pada musim gugur setelah Ali menghilang; dan Hanna yang culun-tetapi-menggemaskan telah menjadi sangat tidak culun dan sangat tidak menggemaskan dan sekarang benar-benar menyebalkan. Hanna dan teman baiknya
38
yang sekarang, Mona Vanderwaal, telah berubah total pada musim panas antara kelas dua dan tiga SMP. Ibu Emily baru-baru ini melihat Hanna pergi ke Wawa, toserba setempat, dan memberi tahu Emily bahwa Hanna tampak “lebih jalang daripada cewek Paris Hilton itu”. Emily belum pernah mendengar ibunya mengucapkan kata jalang. “Aku tahu seperti apa rasanya tidak lagi akrab,” ujar Maya, sambil melambung-lambungkan diri di tempat tidurnya ketika ia duduk. “Seperti pacarku? Dia begitu takut aku bakal mencampakkannya sekarang setelah kita berada di negara bagian berbeda. Dia cengeng sekali.” “Pacarku dan aku ikut tim renang, jadi kami sering bertemu,” jawab Emily, sambil mencari tempat untuk ikut duduk. Mungkin terlalu sering, pikirnya. “Kau berenang?” tanya Maya. Ia menatap Emily dari atas sampai bawah, yang membuat Emily merasa sedikit aneh. “Pasti kau benar-benar mahir. Kau punya bahu perenang.” “Oh, entahlah.” Emily merona dan bersandar di meja kayu putih Maya. “Betul kok!” Maya tersenyum. “Tetapi... kalau kau atlet besar, apa itu berarti kau bakal membunuhku kalau aku mengisap sedikit ganja?”
39
“Apa, sekarang?” Mata Emily melebar. “Bagaimana dengan orangtuamu?” “Mereka di toko bahan makanan. Dan kakak cowokku—dia ada di sekitar sini, tetapi dia tidak akan peduli.” Maya menjangkau ke bawah ranjangnya untuk mengambil kotak Altoids dari timah. Ia mengangkat daun jendela, yang terletak tepat di sebelah tempat tidurnya, menarik selinting ganja, dan menyalakannya. Asapnya berpilin ke halaman dan menciptakan kabut samar-samar di sekeliling sebatang pohon ek besar. Maya membawa ganja itu kembali ke dalam. “Mau coba?” Emily belum pernah mengisap narkoba seumur hidupnya—ia selalu mengira orangtuanya entah bagaimana akan tahu, misalnya dengan mencium rambutnya atau memaksanya buang air kecil di cangkir atau semacamnya. Tetapi ketika Maya menarik lintingan itu dengan anggun dari bibir merah cerinya, kelihatannya seksi. Emily juga ingin kelihatan seseksi itu. “Um, oke.” Emily bergeser mendekati Maya dan mengambil lintingan itu darinya. Tangan mereka bersinggungan dan tatapan mereka bersirobok. Mata Maya hijau dan agak kekuningan, seperti mata kucing. Tangan Emily gemetar. Ia merasa gugup, tetapi memasukkan lintingan itu ke mulutnya dan mengisap sedikit, seolaholah sedang menyeruput Vanilla Coke lewat sedotan.
40
Tetapi rasanya tidak seperti Vanilla Coke. Rasanya seperti baru mengisap satu stoples penuh rempah-rempah busuk. Ia terbatuk seperti kakek tua. “Whoa,” ujar Maya, sambil mengambil kembali lintingan itu. “Pertama kali ya?” Emily tidak bisa bernapas dan hanya menggeleng, tersengal-sengal. Ia menarik napas pendek-pendek lagi, berusaha memasukkan udara ke dadanya. Akhirnya ia bisa merasakan udara mengisi paru-parunya lagi. Ketika Maya membalik lengannya, Emily melihat parut panjang berwarna putih dari bawah pergelangan tangannya. Whoa. Tampaknya agak seperti ular albino di kulit cokelatnya. Ya ampun, dia mungkin sudah sakaw. Tiba-tiba ada suara berkelontang keras. Emily terlompat. Lalu ia mendengar kelontangan itu lagi. “Apa itu?” ujarnya tercekik. Maya mengisap ganja lagi dan menggeleng. “Tukangtukang. Kami baru di sini sehari dan orangtuaku sudah mulai merenovasi.” Ia nyengir. “Kau cuma ketakutan, kayak mengira polisi bakal datang. Sudah pernah tertangkap sebelumnya?” “Tidak!” Emily terbahak; bayangan itu benar-benar konyol. Maya tersenyum dan mengembuskan napas. “Aku harus pergi,” ujar Emily parau. Maya kelihatan kecewa. “Kenapa?”
41
Emily bergeser turun dari tempat tidur. “Aku bilang pada ibuku aku cuma akan mampir sebentar. Tetapi aku akan menemuimu di sekolah hari Selasa.” “Asyik,” ujar Maya. “Mungkin kau bisa mengajakku berkeliling?” Emily tersenyum. “Tentu saja.” Maya nyengir dan melambaikan tangan dengan tiga jari. “Kau tahu caranya keluar?” “Kurasa begitu.” Emily sekali lagi memandang berkeliling kamar Ali—eh, Maya—dan lalu berlari menuruni tangga yang terlalu dikenalnya. Barulah setelah Emily menggeleng-gelengkan kepala di udara terbuka, melewati semua barang lama Ali di pinggir jalan, dan kembali naik ke mobil orangtuanya, ia melihat keranjang Selamat Datang di tempat duduk belakang. Masa bodohlah, pikirnya, sambil �������������������������� menancapkan��������������� keranjang itu ��������������������� di tengah kursi lama Alison dan kotak-kotak bukunya. Siapa pula yang perlu pedoman ke penginapan di Rosewood? Maya ’kan sudah tinggal di sini. Dan Emily tiba-tiba senang gadis itu tinggal di sana. *
42