TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK Pengembangan pertanaman jagung akan lebih produktif dan berorientasi pendapatan/agribisnis, selain untuk produksi biji juga diintegrasikan dengan upaya produksi biomas untuk pakan dalam mendukung pengembangan peternakan. Hal ini terasa semakin menjadi penting bagi wilayah-wilayah marjinal diantaranya wilayah dominan lahan kering yang beriklim kering dan lahan sawah tadah hujan setelah pertanaman padi musim hujan. Penelitian yang dilaksanakan di lahan petani di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada MK 2003 menghasilkan biomas jagung segar sebesar 82,5 t/ha; di Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur pada MK 2003 menghasilkan biomas segar sebesar 140,6 t/ha; di Tenilo. Gorontalo pada MH 2004 menghasilkan biomas segar tertinggi yaitu 121,3 t/ha; di Pangkep Sulawesi Selatan, MK 2005 menghasilkan biomas segar sebesar 66,8 t/ha dan di Sidrap, Sulawesi Selatan MK 2005 menghasilkan biomas segar 73 t/ha. Kata kunci : Budidaya Jagung, Biomas, Lahan Marjinal PENDAHULUAN Produksi jagung nasional perlu terus ditingkatkan, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat (Departemen Pertanian, 2002). Produksi jagung juga berpeluang memasuki pasar dunia karena permintaan di tingkat global dan regional terus pula meningkat (Pingali, 2001). Hingga saat ini produktivitas jagung nasional masih rendah, rata-rata 3,24 t/ha (Hafsah, 2004). Lahan untuk pengembangan jagung tersedia cukup luas, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Sekitar 6,96 juta ha lahan yang terdapat di empat propinsi tersebut berpotensi untuk pengembangan jagung (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2002). Kasryno (2002) memprediksi bahwa ke depan areal pertanaman jagung akan bergeser dari Jawa ke luar Jawa. Di beberapa daerah di Jawa Timur, Lampung, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan, sebagian petani mengusahakan tanaman jagung di lahan sawah pada musim kemarau karena dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan palawija lainnya. Pengembangan pertanaman jagung akan lebih produktif dan berorientasi pendapatan/agribisnis, selain untuk produksi biji juga perlu diintegrasikan dengan upaya produksi biomas untuk pakan dalam mendukung pengembangan peternakan. Hal ini terasa semakin menjadi penting bagi wilayah-wilayah marjinal diantaranya wilayah dominan lahan kering yang beriklim kering dan lahan sawah tadah hujan setelah pertanaman padi musim hujan. Biomas hijauan (jagung cacah) merupakan produk yang relatif baru dalam usahatani jagung di Indonesia (Najamuddin et al., 2005) Kini permintaan biomas jagung cacah telah menimbulkan minat sejumlah pihak dalam pengembangannya baik untuk kebutuhan peternak lokal/dalam negeri maupun ekspor ke Korea Selatan yang dilakukan oleh P.T. Wira Mandiri di Sukabumi dan P.T. Tata Harapan Cemerlang di Takalar, Sulawesi Selatan (Balitsereal, 2004). Fagi (2005) mengemukakan bahwa tingkat keuntungan usahatani jagung yang diperoleh dari hijauan (biomas) jauh lebih baik daripada biji. Untuk memperoleh pendapatan ganda dari jagung dapat ditempuh melalui panen tongkol muda sekaligus biomas segar. Untuk memperoleh hasil biomas yang memadai diperlukan teknologi budidaya yang optimal baik menyangkut varietas, ketersediaan hara, maupun populasi tanaman per hektar (jarak tanam dan jumlah tanaman per rumpun). HASIL-HASIL PENELITIAN BUDI DAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS
Budidaya jagung untuk menghasilkan biomas segar yang optimal memerlukan kombinasi penggunaan varietas, populasi tanaman dan umur panen yang tepat. Penelitian yang dilaksanakan di lahan petani di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada MK 2003 menunjukkan bahwa pada umur panen biomas 65 hari setelah tanam (hst), ada tiga varietas yang memberikan bobot biomas segar lebih dari 60 t/ha pada populasi 200.000 tanaman/ha (jarak tanam 75 cm x 20 cm, 3 tanaman/lubang). Varietas yang memberikan produksi tertinggi berturut-turut adalah varietas Bima-1, Semar-10 dan Lamuru dengan produksi masing-masing 82,5 t/ha, 66,0 t/ha dan 64,4 t/ha (Tabel 1). Tabel 1. Bobot biomas segar pada umur 65 hst dan 70 hst dari lima varietas dengan tiga variasi populasi tanaman di Takalar, Sulawesi Selatan, MK 2003 Biomas segar (t/ha) Populasi Bima-1 Semar-10 Lamuru Sukmaraga Bisi-2 (tan./ha) 65 hst 70 hst 65 hst 70 hst 65 hst 70 hst 65 hst 70 hst 65 hst 70 hst 66.667 45,1 42,0 37,3 46,2 34,2 43,1 48,0 48,0 36,2 40,2 133.333 57,1 55,1 52,2 59,8 50,9 50,2 47,6 50,0 48,2 46,7 200.000 82,5 62,2 66,0 64,2 64,4 71,1 47,3 48,4 56,4 53,8 Varietas Lamuru masih meningkat produksi biomas segarnya hingga umur 70 hst dengan produksi mencapai 71,1 t/ha. Pupuk yang diberikan dengan takaran 350 kg urea, 200 kg SP-36, dan 100 kg KCl/ha. Penelitian pada musim hujan di lahan kering Tenilo, Gorontalo, persiapan lahan dengan pengolahan tanah sempurna, dipupuk dengan takaran 350 kg urea, 200 kg SP 36 dan 100 kg KCl/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas Lamuru dengan populasi 200.000 tanaman/ha menghasilkan biomas segar tertinggi yaitu 99,5 t/ha dan 121 t/ha yang dipanen masing-masing pada umur 70 hst dan 75 hst (Tabel 2). Tabel 2. Bobot biomas segar pada umur 70 hst dan 75 hst dari empat varietas dengan empat variasi populasi tanaman di Tenilo, Gorontalo, MH 2004 Biomas segar (t/ha) Populasi Bisma Semar-10 Lamuru Sukmaraga (tan./ha) 70 hst 75 hst 70 hst 75 hst 70 hst 75 hst 70 hst 75 hst 66.667 35,0 46,5 52,4 41,9 48,2 51,9 41,1 48,0 100.000 42,9 59,1 57,6 69,1 64,8 54,4 54,0 42,7 133.333 82,7 104,2 73,9 105,8 92,1 114,7 77,3 89,6 200.000 98,9 107,5 88,0 105,6 99,5 121,3 88,8 100,9 Hasil penelitian di lahan datar Aluvial desa Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur pada musim kering 2003, menggunakan varietas Lamuru dengan pemberian air yang cukup selama pertumbuhan tanaman yang berasal dari sumur dalam dapat memberikan biomas segar tertinggi sebesar 140,6 t/ha dan hasil biji 4,2 t/ha (Tabel 3). Penanaman dengan jumlah 5-9 biji per lubang dimaksudkan untuk menyediakan pakan bagi ternak di musim kemarau dengan memanen secara bertahap, sehingga dapat diperoleh biomas yang memadai untuk pakan ternak dan juga hasil biji untuk bahan pangan masyarakat di NTT.
Tabel 3.
Bobot biomas segar dan hasil biji pada 6 variasi populasi tanaman di Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2003 Pupulasi Jumlah Waktu dan Jumlah Total Biomas Biji (tan/ha) Tan./ Tanaman Panen Biomas (t/ha) (t/ha) lubang 30 hst*) 45 hst*) 85 hst**) 285.714 5 2 2 1 106,0 4,8 357.142 5 2 2 1 105,5 5,3 400.000 7 3 3 1 105,3 4,9 500,000 7 3 3 1 137,9 4,6 514.285 9 4 4 1 137,4 4,2 642.857 9 4 4 1 140,6 4,2 *) Panen seluruh biomas di atas permukaan tanah **) Panen biomas di atas tongkol Penelitian yang dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di Pangkep dan Sidrap, Sulawesi Selatan, MK 2005. Persiapan lahan dilakukan dengan tanpa olah tanah. Lahan disemprot dengan menggunakan herbisida berbahan aktif glifosat dengan takaran 3 l bahan/ha untuk mengendalikan gulma sebelum dilakukan penanaman. Varietas yang digunakan adalah Lamuru. Pemupukan dengan takaran 350 kg urea, 200 kg SP 36 dan 100 kg KCl/ha. Hasil penelitian di Pangkep menunjukkan bahwa pada populasi 400.000 tanaman/ha dapat menghasilkan bobot biomas tertinggi sebesar 60,1 t/ha dan biji sebesar 4,4 t/ha. (Tabel 4). Sedangkan hasil penelitian di Sidrap diperoleh biomas tertinggi sebesar 73 t/ha dan biji sebesar 3,1 t/ha (Tabel 5). Hal ini memberi peluang kepada petani di lahan sawah tadah hujan untuk menanan jagung sebagai pangan dan pakan ternak. Di kabupaten Pangkep dan Sidrap umumnya petani mempunyai ternak sapi yang pada musim kemarau dibiarkan mencari makanan di sawah bekas pertanaman padi. Dengan penanaman jagung untuk biji dan juga untuk pakan maka terbuka peluang untuk mengembangkan ternak secara terintegrasi dengan tanaman yang dikenal crop livestock system. Tabel 4.
Bobot biomas segar dan hasil biji pada 6 variasi populasi tanaman di desa Mandalle, Pangkep, Sulawesi Selatan, 2005 Pupulasi Jumlah Waktu dan Jumlah Total Biji (tan/ha) Tan./ Tanaman Panen Biomas Biomas (t/ha) Lubang (t/ha) 30 hst*) 45 hst*) 85 hst**) 66.667 1 1 9,1 6,3 133.333 2 1 1 24,8 5,8 200.000 3 1 1 1 29,9 6,1 266.667 4 2 1 1 38,3 5,6 333.333 5 2 2 1 60,1 5,5 400.000 6 3 2 1 66,8 4,4 *) Panen seluruh biomas di atas permukaan tanah **) Panen biomas di atas tongkol
Tabel 5.
Bobot biomas segar dan hasil biji pada 6 variasi populasi tanaman di desa Pajalele, Sidrap, Sulawesi Selatan, 2005 Pupulasi Jumlah Waktu dan Jumlah Total Biomas Biji (tan/ha) Tan./ Tanaman Panen Biomas (t/ha) (t/ha) lubang 30 hst*) 45 hst*) 85 hst**) 66.667 1 1 15,4 5,2 133.333 2 1 1 26,6 3,9 200.000 3 1 1 1 50,3 3,4 266.667 4 2 1 1 65,4 3,4 333.333 5 2 2 1 67,7 3,3 400.000 6 3 2 1 73,0 3,1 *) Panen seluruh biomas di atas permukaan tanah **) Panen biomas di atas tongkol KESIMPULAN 1. Untuk menghasilkan biomas segar yang memadai maka perlu pemilihan varietas yang tepat. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Takalar (Sulawesi Selatan), Tenilo (Gorontalo), dan Naibonat (Nusa Tenggara Timur), maka ada empat varietas yang dapat dipilih yakni Bima-1, Semar-10, Lamuru dan Bisma. 2. Untuk menghasilkan biomas segar yang tinggi perlu dianjurkan penanaman dengan populasi 200.000 tanaman/ha dengan produksi biomas yang dipanen pada umur 65 – 75 hst. Produksi biomas dengan cara ini hanya memungkinkan apabila pasaran biomas segar tersedia sehingga petani dapat memperoleh hasil yang lebih cepat. 3. Pengembangan jagung untuk tujuan produksi biomas segar dapat memberikan nilai tambah atau keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan jagung pipilan. Keuntungan lainnya adalah penghematan waktu pertanaman sekitar 30- 40 hari. 4. Untuk petani yang mempunyai ternak besar seperti sapi dianjurkan menanam jagung dengan tujuan untuk produksi biomas untuk pakan dan produksi biji untuk bahan pangan mereka dalam suatu areal pertanaman dengan melakukan pemanenan biomas secara bertahap. 5. Penelitian dan pengembangan dalam skala yang lebih luas perlu dilaksanakan untuk menunjang sistem usahatani terpadu jagung-ternak. DAFTAR PUSTAKA Balitsereal, 2004. Rencana Strategis (Renstra) Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005 – 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2002. Agribisnis jagung: informasi dan peluang. Festival jagung pangan pokok alternatif, Bogor, 26-27 April 2002. Fagi, A.M. 2005. Reorientasi penelitian dan pengembangan jagung. Seri AKTP 2005. Puslitbang Tanaman Pangan (Tidak dipublikasikan). Hafsah, M.J. 2004. Peningkatan produksi dan kualitas jagung. Makalah disampaikan pada Seminar Peran Strategis Mekanisasi Pertanian dam Pengembangan Agroindustri Jagung. Jakarta, 20 Desember 2004. Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor. 24 Juni 2002. Badan Litbang Pertanian
Nadjamuddin A. M. Akil, dan M.Y. Maamun. 2005. Evaluasi ekonomi bebrap varietas dan populasi tanaman jagung untuyk produksi biomas. Penelitian Pertanian Vol. 24 No,1 :2005 Pingali, P. (ed). 2001. CIMMYT 1999/2000. World maize facts and trends. Meeting World Maize Needs. Technological opportunities and priorities for the public sector. Mexico. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. 2002. Peta potensi lahan pengembangan jagung di Indonesia, Bahan pameran pada Festival Jagung Pangan Pokok Alternatif. Bogor 26-27 April 2002.